Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 25
Ketika Kui Lian memperlambat jalannya karena sudah merasa aman dan tidak mungkin dapat tertangkap oleh para pengejarnya menurut perkiraannya, tiba tiba terdengar bentakan nyaring dari belakang.
"Siluman jahat, kau hendak lari ke mana?"
Kui Lian cepat membalikkan tubuhnya dan.... hatinya berdebar debar. Ia melihat seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali. Belum pernah selama hidupnya ia melihat pemuda segagah dan setampan ini. Pemuda ini mengenakan pakaian seperti seorang pendekar silat, mukanya yang bulat berkulit putih kemerahan, halus kulitnya seperti muka wanita. Sepasang matanya bersinar sinar seperti bintang, dilindungi sepasang alis yang hitam lebat terbentuk golok melintang. Sekaligus jatuhlah hati Kui Lian. Setelah sekarang ia berhasil membalas dendamnya, satu satunya keinginan hanya hidup tenteram dan bahagia. Dengan pemuda seperti ini di sampingnya, kiranya selama hidupnya ia akan menikmati dan dapat bahagia, pikirnya.
Dengan sepasang matanya yang berpengaruh, Kui Lian memandang pemuda itu, mulutnya tersenyum semanis manisnya, lalu ia menjura dengan sikap hormat.
"Seorang enghiong yang gagah perkasa tidak akan sembarangan saja menuduh orang sebagai siluman, apalagi kalau orang itu seorang wanita yang tak berdaya, sama sekali pantang baginya untuk mengganggu. Sahabat yang gagah perkasa, mengapa kau datang datang menuduhku seorang siluman?"
Pemuda itu menatapnya tajam penuh selidik, lalu mencabut pedang sambil berkata, "Orang banyak mengejarmu sampat keluar kota raja dan menurut mereka, kau adalah seorang yang telah melakukan perbuatan keji melukai sepasang pengantin yang sedang dirayakan pernikahannya! Siapa tahu apakah kau benar benar salah ataukah pura pura tidak sadar?"
Akan tetapi, Kui Lian tidak perdulikan kata kata ini melainkan memandang penuh perhatian kepada pedang di tangan pemuda itu, kemudian berseru perlahan,
"Kim kong kiam...." Ia sudah sering kali mendengar dari suhunya tentang pedang Kim kong kiam dan bahkan suhunya telah menyuruhnya mencuri pedang itu. teringat ia akan kegagalannya ketika berusaha mencuri pedang itu dan tangan Thian te Kiam ong yang sakti.
Di lain pihak, pemuda itu terkejut ketika melihat Kui Lian mengenal pedangnya dan ia makin percaya bahwa wanita cantik sekali di hadapannya itu teatulah bukan wanita sembarangan, dan di pegangnya gagang pedangnya erat erat. Siapakah pemuda yang memegang Kim kong kiam ini" Dia bukan lain adalah Liem Kong Hwat.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, ibu pemuda ini yang marah marah telah meninggalkan Tit le malam malam bersama Pun Hui dan Kong Hwat sendiri pulang ke Liok can. Sakit sekali hati Song Siauw Yang. Berhari hari ia menangis dan memaki maki puteranya sendiri.
"Kau anak tidak berbakti, anak memalukan orang tua! Kalau kau tidak mau belajar ilmu silat lagi sampai melebihi Song Tek Hong dan Ong Siang Cu, kalau kau tidak mau mencari seorang isteri yang jauh melebihi Bi Hui dalam kecantikan dan kepandaiannya, aku benar benar malu mempunyai anak engkau!" Kata kata ini diucapkan berkali kali dan Siauw Yang tidak bisa dihibur oleh suaminya. Melihat keadaan ibunya ini, Kong Hwat menjadi terpukul hatinya dan ia merasa menyesal timbul perkara seperti ini karena gara garanya. Saking menyesalnya melihat keadaan ibunya, ia merasa benci sekali kepada ayah bunda Bi Hui, terutama sekali kepada Ong Siang Cu, bibinya yang telah menamparnya itu. Akhirnya, karena tidak tahan menghadapi makian makian ibunya, tiga hari kemudaan Kong Hwat minggat dari rumahnya membawa pedang Kim kong kiam! Dia pergi menghibur diri dan merantau sampai kekota raja di mana secara kebetulan sekali ia melihat Kui Lian di kejar kejar orang. Sebagai seorang pemuda gagah perkasa dan keturunan pendekar, tentu saja Kong Hwat tidak mau tinggal diam melihat kejadian ini dan segera mempergunakan ilmu lari cepatnya untuk mengejar Kui Lian.
Demikian, kini ia berhadapan dengan Kui Lian yang ternyata mengenal pedang di tangannya.
"Hemm, kau mengenal Kim kong kiam, berarti kau seorang wanita kang ouw. Bukan mustahil kalau kau benar benar telah melakukan perbuatan kejam tadi."
Kui Lian tersenyum lagi dan diam diam Kong Hwat berdebar jantungnya. Senyum ini baginya begitu manis, kalah senyum Bi Hui, kalah rasa madu. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Kui Lian telah mempergunakan ilmu sihirnya sehingga senyum itu mempunyai pengaruh yang tidak sewajarnya. Mata biasa akan menyatakan tanpa ragu ragu lagi bahwa senyum Bi Hui sepuluh kali lebih manis daripada senyum tokouw ini.
"Siangkong, kau benar benar galak sekali. Nanti dulu, tentang perbuatanku atas diri sepasang pengantin itu ada ceritanya tersendiri untuk urusan itu. Aku ingin sekali tahu apakah hubunganmu dengan Thian te Kiam ong Song Bun Sam maka pedang Kim kong kiam bisa berada di tanganmu?" Sepasang mata yang bersinar ganjil itu dengan amat tajamnya menentang pandang mata Kong Hwat sehingga pemuda itu tak kuasa menentang lebih lama lagi dan terpaksa menundukkan mukanya. Menghadapi wanita ini, ia merasa seakan akan dilucuti senjatanya, seakan akan hilang kekuasaannya. Wanita ini bersikap demikian ramah, demikian wajar sehingga ia merasa malu sendiri mengapa ia tadi terburu nafsu memakinya siluman. Padahal, seperti dikatakan oleh wanita ini, urusan yang terjadi tadi tentu ada latar belakangnya dan ia belum tahu apa latar betakang itu dan siapa pula gerangan yang bersalah.
"Thian te Kiam ong adalah mendiang kakekku. Apakah.... suthai sudah mengenalnya?" Ia merasa tak enak dan kaku sekali menyebut suthai kepada wanita ini. Akan tetapi kalau tidak menyebut suthai, habis menyebut apa lagi" Memang wajah secantik itu tidak patut menjadi wajah seorang pertapa wanita, akan tetapi mengapa pakaiannya serba putih dan kerudung kepalanya serta kebutannya seperti yang biasa dipakai oleh para tokouw"
Melihat keraguan pemuda itu, Kui Lian tertawa geli.
"Siangkong, kau tak perlu menyebut suthai, karena aku memang bukan pendeta, hanya karena aku murid pendeta maka aku meniru niru pakaian guruku. Aku seorang wanita biasa saja. Tentu saja aku sudah mengenal kakekmu yang sakti itu. Menyesal sekali aku tidak mendengar bahwa ia telah meninggal dunia. Ahh, kiranya kita ini masih terhitung orang segolongan. Di antara orang segolongan, biarlah aku tidak menyimpan nyimpan rahasia lagi. Siangkong, harap kau menyimpan dulu Kim kong kiam itu dan marilah kita saling berkenalan sebelum kita bicara lebih lanjut. Ataukah.... barangkali cucu dari Thian te Kiam ong merasa diri terlalu tinggi untuk berkenalan dengan seorang hina dan bodoh seperti aku?"
Memang Kui Lian pandai sekali bicara dan dalam hal ini Kong Hwat hanya seorang pemuda hijau yang belum banyak pengalaman. Sekaligus pemuda itu menyerah dan dengan malu malu ia menyarungkan pedangnya sambil berkata, "Ah, bagaimana kau bisa bilang begitu" Biarpun aku cucu Thian te Kiam ong, apa sih anehnya dan apa bedanya dengan orang lain" Tentu saja aku tidak keberatan untuk berkenalan dengan.... nona. Aku bernama Liem Kong Hwat dan tinggal di Liok can," kata Kong Hwat sambil menjura.
"Oh, kalau begitu seorang cucu luar dari Thian te Kiam ong Sing Bun Sam?" tanya Kui Lian sambil menatap wajah yang makin lama makin ganteng dalam pemandanganaya itu.
"Betul. Ibuku adalah anak dari Thian te Kiam ong. Ayahku she Liem, tadinya seorang siucai."
Buru buru Kui Lian memberi hormat sambil tertawa, memperlihatkan deretan gigi yang teratur rapi dan putih bersih.
"Ahh, kiranya aku berhadapan dengan seorang bun bu enghiong (orang gagah ahli silat dan sastera). Maaf, maaf Aku telah berlaku kurang hormat."
"Sudahlah, nona. Mengapa banyak sungkan dan merendahkan diri" Kau membikin aku merasa malu saja. Tidak tahu siapakah nona yang gagah dan siapa pula gurumu?"
Dengan suara dibikin merdu dan halus, Kui Lian menjawab, "Namaku Cia Kui Lian, seorang yatim piatu yang sejak kecil ikut suhuku. Guruku itu adalah Koai Thian Cu, seorang tokoh dari selatan dan kenal baik dengan Thian te Kiam ong."
Tentu saja Kong Hwat belum pernah mendengar nama Koai Thian Cu yang memang jarang muncul di dunia kang ouw.
Akan tetapi ia merasa malu kalau mengaku belum kenal, dan pula memang ia merasa bahwa ia belum luas perhubungannya di dunia kang ouw, maka ia hanya berkata, "Ah, kiranya murid dari seorang guru besar yang terkena! Nona, setelah kita berkenalan, harap kau suka menceritakan tentang peristiwa keributan tadi."
"Apakah tidak baik kita bicara sambil melanjutkan perjalanan?" tanya Kui Lian. Kong Hwat menyetujui dan berjalanlah dua orang muda itu berdampingan seperti dua orang kenalan lama. Dengan secara licin sekali Kui Lian telah dapat merobah suasana. Kalau tadinya Kong Hwat hendak mengejar dan menangkap "siluman" adalah sekarang pemuda itu berjalan berdampingan secara akrab dan mesra dengan "siluman" itu sendiri! Bercakap cakap dalam suasana persahabatan.
"Liem siangkong, sebetulnya aku menceritakan tentang peristiwa tadi, aku ingin bertanya apakah kau pernah merasa di bikin sakit hati orang?"
Pertanyaan ini hanya untuk menganbil hati dan tidak disengaja oleh Kui Lian, akan tetapi secara tepat sekali telah menancap di ulu hati pemuda itu yang teringat akan sakit hatinya terhadap keluarga Song!
"Tentu saja pernah!" jawabnya.
"Lalu apa yang hendak kaulakukan terhadap orang yang membikin kau sakit hati itu?" Kui Lian kembali memancing, girang bahwa pemuda inipun hanya punya musuh sehingga mudah baginya untuk menarik pemuda ini sebagai kawan dan mengambil hatinya.
Kong Hwat masih terlalu muda untuk dapat melihat betapa dengan amat cerdik keadaan kembali dibalikkan oleh wanita itu. Kalau tadinya dia yang mengejar dan hendak menyelidik, sekarang bahkan wanita cantik itu yang selalu bertanya dan dia yang menjawab! Dia sama sekali tidak merasa akan hal ini, sambil mengerutkan kening ia menjawab, "Apa yang hendak aku lakukan" Tentu saja membalas hinaan orang kalau saja aku mampu. Sayang kepandaianku masih terlampau rendah."
Kui Lian kaget. Pemuda ini adalah cucu Thian te Kiam, ong dan dapat diduga bahwa kepandaiannya tentu tinggi sekali. Akan tetapi mengapa pemuda ini agaknya berputus asa dan tidak berdaya menghadapi musuhnya" Alangkah lihainya musuh itu gerangan! Biarpun hatinya ingin sekali tahu, namun Kui Lian tidak mau mendesak, tahu betul bahwa terlalu mendesak hanya akan menimbulkan kecurigaan pemuda ganteng yang sudah memasuki perangkapnya ini.
"Demikian pula aku, siangkong. Ketahuilah, bahwa peristiwa yang terjadi di kota raja tadi, memang kuakui bahwa itu adalah perbuatanku. Memang aku sengaja menyerang dan menghina sepasang pengantin. Akan tetapi perbuatanku itu pun hanya sekedar membalas dendam yang seperti lautan dalamnya."
Kong Hwat mengangguk angguk, penuh kepercayaan. Makin lama ia makin tertarik kepada Kui Lian dan dianggapnya bahwa seorang gadis seperti ini tak mungkin jahat! Memang kecantikan yang sudah menggilakan hati orang dapat membuat orang itu menjadi orang sebodoh bodohnya dan dapat membuat matanya buta, pikiran sempit, dan pertimbangannya patah!
"Nona Kui Lian, kalau boleh aku mengetahui, sakit hati apakah yang kaudendam terhadap mereka?"
Mendengar pertanyaan ini, tiba tiba Kui Lian menangis tersedu sedu. Air matanya mengucur deras melalui celah celah jari tangan yang dipakai menutupi mukanya dan tubuhnya bergoyang goyang sambil dari mulutnya keluar isak isak tertahan. Menghadapi senjata ampuh kaum wanita ini, Kong Hwat terperosok makin dalam!
"Nona, tenanglah dan jangan berduka, Kalau sakit hatimu belum terbatas seluruhnya, dengan adanya aku di sini, aku siap sedia untuk membantumu." Kata kata ini sama sekali bukan kata kata seorang pendekar gagah perkasa yang bijaksana lagi, melainkan kata kata seorang pemuda yang sudah mulai tergila gila sehingga berani menyatakan siap melakukan apa saja untuk si dia tanpa dipertimbangkan apakah perbuatan itu salah ataukah benar.
Kui Lian menghentikan tangisnya, masih terisak isak. lalu memperlihatkan kerling mata yang penuh pernyataan terima kasih yang besar sekali sehingga Kong Hwat menjadi terharu dibuatnya.
"Liem siangkong, ternyata olehku bahwa Thian masih menaruh kasihan kepada diriku yang sebatangkara sehingga hari ini aku bertemu dengan kau yang begini gagah dan berbudi mulia. Biarpun musuhku itu telah kubalas dan aku sudah puas, namun tetap saja aku menghaturkan banyak terima kasih atas budimu yang mulia." Tiba tiba Kui Lian menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu dengan sikap dan gerakan yang lemah gemulai dan memikat!
Kong Hwat tersipu sipu melangkah mundur.
"Ah, nona Cia Kui Lian, jangan begitu.... jangan kau merendahkan diri seperti ini. Aku belum berbuat apa apa untuk menolongmu!" Kong Hwat benar benar terharu dan bingung.
Akan tetapi Kui Lian tetap tidak mau bangkit. "Kau seorang berhati mulia dan aku amat berterima kasih telah bertemu dengan orang sebaik ergkau, siangkong. Biarkanlah aku berlutut delapan kali di depan kakimu...."
"Jangan! Jangan, nona. Kau bangunlah!"
"Aku tidak akan bangun kalau bukan kau yang membangunkan aku, siangkong. Dengan begitu baru percaya bahwa aku tidak seharusnya berlutut di depanmu."
Terpaksa Kong Hwat melangkah maju, memegang kedua pundak wanita itu dan menariknya berdiri. Hatinya berdebar tidak karuan ketika jari jari tangannya menyentuh pundak yang lunak halus dan hangat. Selama hidupnya belum pernah Kong Hwat bersentuhan dengan wanita, bahkan dengan Bi Hui yang dicintainya juga hanya saling tukar pandang dan menyatakan isi hati dengan sinar mata dan senyum saja. Apalagi ketika ia sudah menarik Kui Lian berdiri, wanita itu lalu menangis dan menjatuhkan kepala di dadanya, Kong Hwat merasa pening dan pandang matanya berputar putar! Akan tetapi di dalam keadaan aneh ini ia merasai suatu kenikmatan hati yang sukar dituliskan. Bau sedap harum yang keluar dari rambut kepala Kui Lian membuatnya sukar bernapas. Hatinya ingin sekali untuk mendekap kepala itu, untuk memeluk tubuh wanita itu yang menyandarkan kepala ke dadanya, akan tatapi rasa malu mencegahnya. Dan ia khawatir kalau kalau ada orang melihat keadaan mereka seperti itu, karena ia berada di jalan raya.
"Nona, jangan begitu, nanti orang melihat kita...."
Kui Lian menjatuhkan dirinya, lalu memandang. Dua pasang mata bertemu dan Kui Lian yang menundukkan muka dengan sepasang pipi kemerahan. Cantik dan manis sekali.
"Maafkan, Liem siangkong. Karena terlalu bersedih aku sampai lupa diri, Ketahuilah bahwa pengantin laki laki itu adalah seorang she Thio yang sebetulnya semenjak kecil sudah ditunangkan dengan aku. Aku mau bersumpah bahwa aku sama sekali tidak cinta dan tidak suka padanya, akan tetapi karena dia memutuskan pertunangan begitu saja, hal ini berarti hancurnya hidupku. Aku telah menjadi janda sebelum menikah. Pula, ia telah menghina orang tuaku yang miskin sehingga ayah dan ibu sampai membunuh diri saking malu dan berduka. Coba kaupikir, apakah sakit hati dan penghinaan ini tidak hebat" Aku lalu belajar ilmu dan hari ini berhasil aku membalas dendam. Aku tidak tega membunuh, hanya membikin jahanam itu kehilangan ingatannya."
Mendengar ini, Kong Hwat bernapas lega. Tadinya ia memang merasa kecewa dan khawatir sekali kalau kalau gadis ini melakukan perbuatan kejam untuk merampok atau bagaimana. Cepat ia mengangkat tangan memberi hormat.
"Maafkan, Cia tihiap, maafkan aku banyak banyak. Seharusnya aku membantumu memberi hajaran kepada pemuda Thio yang jahanam itu, akan tetapi sebaliknya, aku malah mengejar ngejarmu dan menganggapmu seorang penjahat. SUngguh aku bermata namun tak pandai melihat."
"Ah, jangan btang begitu, Liem siankong. Setelah kita menjadi sahabat baik, mengapa mengeluarkan ucapan sungkan" Bukankah kita sudah menjadi sahabat" Tentu saja kalau kau sudi menganggap aku sebagai sahabat...."
"Tentu saja. Aku merasa amat terhormat dan beruntung sekali bisa berjumpa dengan kau, apa lagi dapat menjad sahabatmu."
"Bagus!" Wajah Kui Lian berseri seri. "Kalau begitu. tak perlu lagi kita saling merasa sungkan dan menggunakan sebutan seperti orang orang asing. Berapakah usiamu?"
"Duapuluh tahun."
"Luar biasa! Akupun duapuluh. Kalau begitu kita terlahir dalam tahun yang sama, tapi karena kau laki laki biarlah aku menyebutmu koko saja dan kau boleh menyebutku moi moi. Bukankah sebutan ini lebih sedap didengar dan menandakan bahwa kita benar menjadi sahabat baik lahir batin?"
Wajah Kong Hwat menjadi merah sekali, ia heran mengapa gadis ini demikian ramah dan lancar, sedangkan dia yang mendengar saja merasa jengah. Akan tetapi tak dapat disangka! pula bahwa hatinya berdebar aneh dan girang mendengar kata kata Kui Lian.
"Baiklah.... Lian moi, aku memang tidak mempunyai adik perempuan...."
Kui Lian cemberut "Aku bukan adikmu. Hwat ko. Aku adalah sahabat baikmu, sahabat setia dan biasanya sahabat lebih baik dan dekat hubungannya daripada hanya seorang adik!"
Kong Hwat tertawa, tidak dapat melihat sindiran yang genit dalam ucapan itu. Maklum dia masih mula dan belum ada pengalaman.
"Sesukamulah, moi moi."
"Hwat ko, setelah kita menjadi sahabat baik kurasa tidak ada rahasia lagi di antara kita. Tadi sudah kuceritakan kepadamu bahwa aku adalah seorang janda kembang, sungguhpun aku belum pernah menikah dan hanya menjadi tunangan semenjak bayi dengan jahanam Thio itu. Maka perlu kiranya aku mengetahui apakah kau sudah mempunyai isteri ataukah seorang tunangan?"
Kong Hwat menggelengkan kepala "Aku belum beristeri, tentang tunangan.... juga belum."
"Kekasih" Sudah adakah?" tanya Kui Lian berani.
Wajah Kong Hwat merah sekali. Teringat ia akan Bi Hui dan teringat pula ia akan hinaan yang ia derita di rumah Bi Hui di Tit le itu ia tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala sambil menundukkan mukanya. Sepasang alisnya yang tebal itu berkerut dan wajahnya menjadi muram.
Kui Lian melangkah maju dan memegang tangan kanannya Satu perbuatan yang amat berani dan menantang. Kong Hwat merasa betapa kulit tangan yang halus hangat meremas tangannya, ia kaget dan heran, juga bingung tak tahu harus bagaimana, hanya memandang kepada Kui Lian dengan mata bingung dan jengah.
"Koko, aku...... kasihan melihatmu. Kau menyimpan rahasia yang menyedihkan hatimu, ini aku tahu pasti. Tadinya kau bilang sudah pernah dihina orang, dan kiranya hinaan itu ada hubungannya dengan kisah cintamu. Bukankah begitu?" Ia meremas jari jari tangan Kong Hwat sambil memandang dengan tajam dan mesra. "Koko ku yang baik setelah kita bertemu dan merasa saling cocok, mengapa kau menyimpan rahasia lagi" Percayalah seperti juga kesanggupanmu, betapapun pandainya dia, aku akan mempertaruhkan nyawaku yang tak berguna untuk membelamu!"
Kali ini Kong Hwat benar kaget. Debar jantungnya makin mengeras. Bagaimana dara itu sampai demikian mati matian hendak membelanya" Berani mempertaruhkan nyawa" Ah, jawaban untuk ini hanya satu. Cinta! Gadis manis ini mencintainya! Ia memandang dan kembali untuk kesekian kalinya, dua pasang mata memandang. Setiap kali bertemu pandang, makin eratlah cengkeraman pengaruh ilmu sihir yang memancar dari sepasang mata Kui Lian dan makin robohlah pertahanan batin Kong Hwat. Pemuda itu memegang tangan Kui Lian erat erat.
"Ah, adikku yang baik, adikku yang manis. Kau benar benar baik hati sekali. Dalam keadaan putus asa dan terhina, aku bertemu dengan seorang seperti engkau, benar benar hatiku terhibur. Sampai mati aku takkan melupakan budimu ini, Lian moi. Akan tetapi kau tidak tahu, orang yang menghinaku itu sepuluh teah lebih pandai daripada aku."
"Ceritakanlah, siapa dia dan bagaimana dia menghinamu?" Kai Lian mendesak.
"Dia itu adalah bibiku sendiri, isteri dari pamanku. Kakekku Thian te Kiam ong mempunyai dua orang anak, yang laki laki benama Song Tak Hong yaitu pamanku dan yang perempuan adalah Song Siauw Yang ibuku. Paman Song Tek Hong mempunyai seorang anak perempuan bernama Song Bi Hui. Belum lama ini aku dan ayah bundaku berkunjung ke Tit le untuk membantu merawat kong kong sampai datang kematiannya. Pada malam hari.... ketika aku sedang barcakap cakap dengan.... Bi Hui, muncul isteri pamanku itu yang dalam hal ilmu silat, kiranya tidak kalah oleh ibuku sendiri! Dan di situlah aku menerima tamparan dan hinaan!" Kong Hwat menutupi mukanya dan menggigit bibirnya.
Jari jari tangan yang harus merenggut tangan nya itu dan sepasang mata yang bening dan bersinar aneh menatapnya, memaksanya menyambut pandang mata itu.
"Koko, kau.... kau mencinta Song Bi Hui adik misanmu itu, bukan?"
Kong Hwat merasa sukar menjawabnya. "Dulu.... memang begitu...."
"Akan tetapi sekarang tidak lagi, bukan" Sekarang kau tidak mencintai nya lagi setelah kau bertemu dengan aku" Bukankah begitu?"
Kong Hwat memandang gadis itu dengan mata terbuka lebar lebar, ia sudah jatuh betul betul di bawah pengaruh sihir.
"Heran sekali, bagaimana kau bisa tahu begitu tepat" Menang.... betul begitu, Lian moi."
"Kau sekarang benci dia dan kau.... kau mercinta aku, bukan?"
Kong Hwat mengangguk. "Lian moi, bagaimana kau bisa tahu dan bagaimana kau berani menyatakan ini" Biasanya seorang gadis akan malu malu bicara tentang ini...."
Kui Lian tersenyum lalu memeluk pundak pemuda itu dan menyandarkan kepalanya di dadanya.
"Koko ku yang baik, pujaan hatiku yang kucinta. Aku memang seorang yang suka berterus terang suka bicara secara langsung. Begitu aku melihatmu, hatiku sudah jatuh. Aku cinta kepadamu dan badan serta nyawaku kusediakan untuk membelamu, untuk membahagiakanmu. Ketika tangan kita bersentuh, jari jarimu gemetar, maka aku menduga bahwa kaupun suka kepadaku. Koko, jangan kau ragu ragu, mari kita pergi ke rumah orang yang menghinamu itu dan aku akan membantumu membalaskan dendam ini!"
Kong Hwat memeluk tubuh Kui Lian, tanpa malu malu lagi. Setelah mendengar pengakuan Kui Lian, ia merasa berbahagia sekali dan menganggap bahwa gadis ini patut menjadi calon jodohnya. Patut menjadi pengganti Bi Hui. Gadis ini tidak kalah oleh Bi Hui! Bukankah ibunya bilang bahwa dia harus mendapatkan seorang isteri yang melebihi Bi Hui"
Akan tetapi ajakan Kui Lian untuk membalas dendam, kembali mendukakan hatinya.
"Moi moi yang tercinta, kau tidak tahu. Apa kaukira mereka itu orang orang biasa saja" Paman Tek Hong adalah putera kong kong Thian te Kiam ong, kepandaiannya tinggi sekali, lebih tinggi daripada ibuku. Dan kepandaian isterinya juga bukan main tingginya, lagi pula isterinya itu ganas dan galak. Belum lagi ada Bi Hui di sana yang kepandaiannya kiranya tidak kalah olehku. Bagaimana aku dapat menghadapi tiga orang itu?"
"Koko, bukankah kau juga sudah mempelajari ilmu pedang warisan Thian te Kiam ong" Buktinya Kim kong kiam ada padamu. Bukankah kau cucu laki laki tunggal dan kau yang menjadi ahli waris?"
Kong Hwat mencabut pedangnya dan melemparkannya ke tanah dengan wajah kesal dan sebal.
"Kau bilang Kim kong kiam" Sungguh lucu. Inilah celakanya. Aku sudah membanting tulang dan selalu mendekati kakek sebelum meninggal, akan tetapi orang tua yang aneh itu tidak meninggalkan apa apa kepadaku melainkan pedang palsu ini!"
"Palsu?" Kui Lian cepat mengambil pedang itu dari atas tanah dan terlihatlah olehnya ujung pedang itu patah dan nampak bahwa warna kuning hanya sepuhan dari luar saja. "Kalau ini palsu, habis yang aselinya di mana?"
"Itulah yang menyebabkan sakit hati. Tak seorangpun tahu di mana pedang yang tulen, karena kong kong tidak meninggalkan pesan apa apa, Akan tetapi, ibu mempunyai dugaan bahwa pedang itu sengaja disembunyikan oleh paman Tek Hong. Rupa rupanya paman Tek Hong tidak rela pedang itu diwariskan kepada keluarga Liem oleh kong kong. maka diam diam dibuatnya pedang ke dua dan yang tulennya tentu mereka simpan sendiri!"
Kui Lian mengangguk angguk. "Bisa jadi.... bisa jadi.... Kalau begitu, lebih lebih perlunya kau pergi ke Tit le. Tidak hanya untuk membalas hinaan, akan tetapi juga untuk mengambil Kim kong kiam tulen yang sudah menjadi hakmu." Sambil berkata demikian, Kui Lian merenggutkan tubuhnya dari pangkuan Kong Hwat, berdiri menatap pemuda itu dengan dada membusung, kepala dikedikkan, mata bersinar sinar dan nampak gagah sekali. Melihat kekasihnya seperti ini, dengan gemas Kong Hwat meraihnya dan memeluknya kembali.
"Kau manis dan gagah sekali, penuh semangat. Betul betul makin lama aku makin cinta kepadamu, Lian moi. Kau harus kubawa pulang, kuperkenalkan kepada ayah bundaku dan kau harus menjadi.... isteriku. Kau maukah, sayang?"
Kui Lian memejamkan mata, ingatannya melamun jauh, penuh kebahagiaan. Menjadi isteri seorang pemuda seperti ini, cucu Thian te Kiam ong, keluarga perkasa dan ternama. Pemuda tampan ganteng dan berkepandaian tinggi. Ahh... apalagi yang lebih dari ini. Ia mengangguk angguk dan tanpa membuka mata ia berbisik, "Aku siap sedia, koko. Sudah kukatakan tadi bahwa badan dan nyawaku ini adalah milikmu. Akan tetapi.... kau harus membalas dendammu lebih dulu, baru aku puas. Aku tidak suka melihat kau selalu bermuram durja dan membawa dendam dan hinaan yang membuat sakit hati di dalam dadamu. Biarlah aku membantumu sehingga aku tidak malu kelak menjadi isterimu setelah aku memperlihatkan kesetiaan dan pembelaanku."
Kong Hwat memeluknya erat erat penuh kasih sayang "Kui Lian, kau berhati mulia. Akan tetapi, kalau kita menyerbu ke sana hanya untuk menemui kematian, bukankah itu akan sia sia belaka?"
"Apa susahnya kalau kita mati" Mati berdua dengan kau merupakan kenikmatan bagiku, koko...."
Wajah yang cantik manis, tubuh yang menggairahkan, sikap yang menarik penuh tantangan, kerling mata memikat, senyum memadu dengan kata kata yang indah penuh bujuk rayu, semua ini ditambah dan diperkuat oleh ilmu sihir pengasihan yang memancar penuh daya pikat dari sepasang mata dan ujung ujung jari tangan Kui Han. Tidak mengherankan apabila Kong Hwat jatuh dan lupa daratan. Jangankan baru Kong Hwat yang masih hijau, biarpun seorang laki laki yang sudah kawakan dalam menghadapi godaan wanita, kiranya takkan dapat mempertahankan diri lama lama terhadap Kui Lian.
"Kui Lian.... Kui Lian...." Kong Hwat memeluk mesra sambil membelai rambut kekasih nya. "Kau benar benar seorang dewi! Akan tetapi aku tak ingin mati, kasihku. Aku ingin hidup seribu tahun agar dapat menikmati kebahagiaan di sampingmu."
Tiba tiba Kui Lian merenggutkan tubuhnya dan ia menarik Kong Hwat bangun dan berdiri dari atas rumput. "Koko, kau agaknya tidak percaya akan kesanggupanku" Mungkin dalam hal ilmu sitat aku tidak bisa menangkan mereka, bahkan, mungkin ilmu silatku tidak setinggi kepandaianmu. Akan tetapi, marilah kita buktikan. Apakah kau dapat memukul roboh pohon di sana itu?"
Kong Hwat memandang. Pohon yang ditunjuk oleh Kui Lian itu adalah sebatang pohan siong yang besarnya sama dengan tubuh seorang biasa. Memukul roboh batang pohon sebesar itu kiranya tak mungkin.
"Memukul roboh aku tak sanggup, Lian moi. Kalau aku mengerahkan tenaga lweekang mendorongnya, itupun masih belum berani aku memastikan bahwa pohon itu akan roboh."
"Bukan! Bukan merobohkan dengan memukul dan mendorongnya. Kumaksudkan merobohkannya dari tempat ini." kata Kui Lian menantang.
Kong Hwat tertawa. "Apa kau mengimpi" Bagaimana bisa merobohkannya dari sini" Aku bukan dewa!"
"Hwat ko, apakah kiranya pamanmu, isteri nya, juga Bi Hui akan sanggup melakukannya?"
"Tak mungkin. Memang kepandaian paman dan isterinya amat tinggi, akan tetapi untuk merobohkan pohon yang batangnya sebesar manusia dan jarak kurang lebih lima tumbak, benar benar adalah hal yang mustahil. Tidak, mereka takkan dapat melakukannya!"
"Mendiang kong kongmu bagaimana" Apakah Thian te Kiam ong kiranya juga tidak mampu merobohkan pohon itu dari tempat ini?"
"Aku pernah mendengar ibu berceritera bahwa kong kong telah amat tinggi ilmunya. Bahkan ilmu pukulan tangan kosong dari kong kong yang disebut Thai lek Kim kong jiu warisan dari Kim Kong Taisu, juga ilmu pukulan Soan hong pek lek jiu warisan dari Mo bin Sin kun, katanya sudah demikian tinggi hingga bisa memukul roboh seorang lawan dari jarak lima tombak. Akan tetapi, memukul orang mempergunakan tenaga pukulan atau hawa pukulan tidak begitu sukar, biarpun tidak begitu kuat akupun sudah dapat melakukannya. Berbeda sekali dengan memukul sebatang pohon yang tumbuh dengan kokoh kuat. Tak mungkin, moi moi, biarpun Thian te Kiam ong sendiri, takkan mungkin merobohkan pohon itu."
Kui Lian tertawa manis dan mencubit pipi Kong Hwat.
"Maka jangan kau memandang rendah pada ku. Kekasihmu yang bodoh ini sanggup merobohkan pohon itu dari tempat ini!"
"Kau bisa....?" Betul betulkah, Lian moi?"
"Kaulihat baik baik. Lihatlah pohon itu. Lihat daun daunnya yang hebat. Ada cabangnya di sebelah kiri yang bengkak bengkok seperti ular. Lihat baik baik, Hwat ko.... aku akan merobohkannya, roboh bersama sekalian cabang dan daunnya, roboh seperti ditebang, roboh ke sebelah, kiri.... kau lihatlah pukulan mautku!" Kui Han mengeluarkan kata kata ini dengan suara mengguntur, penuh pengaruh ilmu hitam yang dahsyat sehingga Kong Hwat bagaikan terpaku memandang kearah pohon itu, ttak kuasa lagi atas pandang mata dan pikirannya. Kui Lian menggerak gerakkan kedua tangannya ke arah Kong Hwat dan". pemuda itu melihat betapa pohon besar itu benar benar roboh ke kiri, mengeluarkan suara keras seperti dtsambar petir!
"Hebat....! Hebat! Kepandaianmu seperti kepandaian malaikat...." kata Kong Hwat terheran heran, akan tetapi Kui Lian sudah memeluk dengan mesra.
"Apa kau masih tidak percaya kepada kekasihmu yang bodoh ini?" tanyanya manja.
"Percaya penuh, sepenuh penuhnya. Ha, ha, ha, keluarga Song yang sombong, sekarang kau akan tahu rasa. Rasakanlah datangnya pembalasan dari Liem Kong Hwat dengan calon isterinya." Pemuda itu tertawa tawa girang dan mereka melanjutkan perjalanan sambil bergandengan tangan, mesra sekali. Kalau saja Kong Hwat tahu. Kalau saja ia melihat bagaimana tak lama kemudian setelah ia dan Kui Lian pergi dari situ, seorang anak penggembala kerbau memanjat pohon itu sambil tertawa tawa dan pohon itu sama sekali tidak tumbang, masih berdiri kokoh kuat seperti biasa. Ia tidak tahu bahwa bukan pohon itu yang dirobohkan oleh Kui Lian, melainkan dialah yang dirobohkan, dia yang disihir sehingga dalam penglihatannya pohon itu roboh seperti yang dikatakan oleh Kui Lian.
Dan Kong Hwat tenggelam makin dalam ketika dalam perjalanan itu, tiada hentinya Kui Lian menggoda membujuk rayu, menghujani pelakuan perlakuan manis sehingga mereka berdua melakukan perjalanan seperti sepasang suami isteri yang sedang berbulan madu. Biarpun belum diresmikan oleh pernikahan, Kui Lian telah menjadi isteri dari Kong Hwat, dan mendapatkan cinta kasih pemuda itu yang sudah jatuh di bawah telapak kakinya. Dalam ketidaksadarannya Kong Hwat juga merasa berbahagia sekali. Dalam kesadarannya Kui Lian juga merasa berbahagia. Kiranya segalanya akan berjalan baik dan mereka akan dapat menikmati hidup sampai tua, kalau saja segala ini bisa lancar seperti diingini manusia. Akan tetapi, kepuasan dan kekecewaan selalu datang bergandeng tangan, mempermainkan manusia berganti ganti. Dan cerita ini masih panjang.
0odwo0 "Beng Han, jangan kau memandang rendah ilmu tangan kosong Soan hong pek lek jiu yang hendak kuturunkan kepadamu ini. Mengapa kau begitu keras hati tidak mau mempelajari ilmu silat lain kecuali ilmu Pedang Kim kong Kiam sut" Apa kaukira gampang saja mempelajari ilmu pedang itu?" tanya Tek Hong sambil mengerutkan keningnya karena tidak senang melihat Beng Han menolak pelajaran ilmu silat lain kecuati Kim kong Kiam sut.
Beng Han menjatuhkan diri berlutut di depan Song Tek Hong, lalu berkata penuh hormat, "Suheng, harap kau sudi memaafkan, karena bukan sekali kali aku memandang rendah Soan hong pek lek jiu atau ilmu silat lain. Akan tetapi sesungguhnya, aku hanya minta supaya suheng melanjutkan kehendak mendiang suhn. Suhu telah mulai memberi pelajaran dasar dasar ilmu Pedang Kim kong Kiam sut kepadaku, oleh karena ini, kuharap sudilah kiranya suheng melanjutkan usaha suhu dan menurunkan kepadaku pelajaran dasar ilmu Pedang Kim kong Kiam sut,"
Tek Hong mengerutkan keningnya. Dia maklum bahwa Beng Han sutenya ini bukan seorang bocah biasa. Seorang anak berusia enam tahun lebih dapat bicara dengan sikap seperti orang dewasa, dapat berpikir secara mendalam dan memiliki pandangan luas, benar benar bocah ini termasuk bocah yang luar biasa. Apalagi memang ia tahu bahwa Beng Han memiliki bakat yang baik sekali. Dia sendiri tidak dapat mewarisi Kim kong Kiam sut sampai sempurna betul dan boleh dibilang bahwa ilmu kepandaian ayahnya belum ada yang mewarisi dan belum ada yang menggantikan kedudukan ayahnya yang tinggi. Anak Beng Han inikah yang kelak akan mengangkat tinggi tinggi nama keluarga Song"
"Sute, yang kau katakan tadi memang tidak salah. Akan tetapi kau harus tahu bahwa ilmu Pedang Kim kong Kiam sut bukan ilmu biasa saja dan tidak sembarangan orang mampu memilikinya. Ketahuilah bahwa aku sendiri setelah berlatih puluhan tahun, masih belum dapat mewarisi setengahnya saja dari ilmu pedang itu. Juga sucimu dewi-kz Siauw Yang hanya memiliki kurang dan setengahnya, hanya bedanya kalau kau lebih banyak mewarisi bagian pertahanannya, adalah dia mewarisi lebih banyak bagian penyerangannya. Padahal ketika itu kami belajar di bawah pimpinan langsung dari ayah. Apalagi sekarang, kalau kau belajar dari aku, apakah hasilnya nanti" Jangan jangan hanya akan menimbulkan buah tertawaan orang belaka dan akan dianggap bahwa Kim kong Kiam sut amat janggal dan tidak berarti."
"Suheng, maafkan siauwte. Pertama tama, aku ingat akan pesan dan nasihat suhu dahulu, bahwa ilmu silat sebagai tanaman pohon. Yang perlu mempelajari pokok pokok dan dasar dasarnya, atau diumpamakan batang pohonnya. Tentang perkembangannya, itu tergantung sepenuhnya kepada orang yang mempelajarinya, seperti juga batang pohon yang sudah hidup, tentu akan bersemi, mengeluarkan cabang, daun, kembang dan buah. Kuharap suheng sudi memimpin aku dalam mempelajari dasar dasar Kim kong Kiam sut sampai sempurna. Adapun tentang perkembangannya, biarlah itu digantungkan kepada nasib siauwte saja. Kalau nasib baik, kiranya aku akan dapat memperkembangkan sendiri. Dengan mempelajari dasar Kim kong Kiam sut, berarti aku dan suheng tidak menyia nyiakan harapan mendiang suhu. Dan ke dua, aku bersumpah takkan memperlihatkan Kim kong Kiam sut kepada siapapun juga sebelum sempurna betul seluruhnya agar ilmu kita ini tidak menjadi celaan orang."
Terpaksa Tek Hong menuruti permintaan sutenya ini yang memang mempunyai alasan kuat sekali. Dengan sungguh sungguh ia mulai melanjutkan latihan sutenya, memberi petunjuk petunjuk memecahkan semua rahasia pokok dari gerakan dasar ilmu Pedang Kim kong Kiam sut. Memang, tepat seperti dikatakan oleh Beng Han tadi, ilmu Silat betapapun tingginya, dasar dasarnya adalah sama dan tak dapat dirobah robah. Seperti hanya Kim kong Kiam sut, dasar pergerakan kaki dan langkah sudah mempunyai ketentuan sendiri. Langkah dan dasar ilmu silat ini tidak begitu di pelajari, bahkan selain Tek Hong dan Siauw Yang sendiri, anak anak mereka, Bi Hui dan Kong Hwat, sudah lama hafal dan dapat menguasai sebaiknya. Akan tetapi, yang sukar adalah kembang tembangnya. Setiap jurus ilmu silat Kim kong Kiam sut ini dapat dipecah menjadi tigapuluh enam gerakan disesuaikan dengan keadaan dan siasat gerakan lawan pada saat dihadapi, oleh karena itu amat sukar dipelajari. Apalagi ilmu pedang ini seluruhnya mempunyai seratus duapuluh jurus!
Beng Han dengan amat tekun melanjutkan latihannya, tak mengenal telah, tak mengenal siang malam. Berkat kecerdikannya, akhirnya ia dapat menguasai pasangan dan kedudukan kaki serta teori teorinya.
Song Bi Hui sering kali mengomel panjang pendek kalau melihat ayahnya tekun melatih Beng Han.
"Ayah memang aneh sekali. Mengapa Kim kong Kiam sut dtiurunkan kepada orang lain" Banyak macam ilmu silat yang dikuasai ayah, mengapa justeru memberikan dasar dasar Kim kong Kiam sut kepada Beng Han?" omelnya di depan ibunya.
"Beng Han biarpun masih kecil terhitung susiok mu (paman gurumu) karena dia murid mending kong kongmu. Oleh karena itu sudah sepatutnya kalau dia mempelajari Kim kong Kiam sut. Mengapa kau ribut?" ibunya menegurnya.
"Aku sama sekali tidak mengiri, ibu. Aku sendiri sudah mempelajari Kim kong Kiam sut dan terus terang saja, aku tidak sanggup. Tidak mengapa ayah mengajarkan ilmu itu kepada orang lain, asal saja jangan Beng Han. Harap ibu pikir baik baik. Siapakah Beng Han itu" Kalau kita tanya tentang asal usulnya, dia sama sekali tidak tahu siapa ayah bundanya, dan dia dibawa ke sini oleh seorang tosu tukang khoamia, seorang tosu gelandangan yang tidak karuan riwayatnya lagi. Kalau kelak Beng Han sudah besar lalu melakukan kejahatan mempergunakan ilmu silat keturunan kita, bukankah nama baik keluarga Song yang akan hancur lebur?"
"Kurasa tidak. Anaknya kelihatan baik dan andaikata kelak dia menyeleweng, masih ada kita untuk memberi hajaran," kata pula Siang Cu menghibur puterinya. Namun Bi Hui masih nampak ragu ragu dan tidak puas. Entah mengapa, gadis ini merasa kurang suka terhadap Beng Han, Hal ini mungkin ditimbulkan karena kong kongnya dan ayahnya kelihatan begitu sayang kepada Beng Han. Makin baik sikap anak itu terhadap ayah ibunya makin bencilah dia karena mengira bahwa anak itu bersikap baik dan manis untuk "mencuri" ilmu silat keturunan mereka. Memang sikap Beng Han terlalu luar biasa bagi seorang anak berusia enam tahun lebih, kelakuan dan kata katanya membayangkan pikiran yang masak. Tentu saja seorang dara manja seperti Bi Hui yang masih panas darahnya, melihat gejala ganjil ini sebagai perbuatan sengaja yang menyembunyikan maksud buruk.
Telah beberapa hari Tek Hong meraba tidak enak hatinya ia telah menyuruh seorang utusan mengantarkan suratnya kepada Sin tung Lo kai Thio Houw di Leng ting. Dalam suratnya itu dia memberitahukan tentang pesan terakhir dari Thian te Kiam ong tentang perikatan jodoh. Sebagai orang tua pihak wanita, tentu saja Tek Hong merasa tidak patut kalau ia datang mengajukan usul ikatan jodoh, maka sebagai alasan ia katakan bahwa mereka sekeluarga masih berkabung sehingga tidak ada waktu untuk datang sendiri ke Leng ting menghadap pada jago tua itu.
Telah sebulan lebih utusannya pergi, akan tetapi sampai hari itu belum juga utusannya kembali. Diterimakah atau ditolakkah usul ikatan jodoh itu" Tek Hong dan isterinya belum pernah melihat cucu Sin tung Lo kai, sungguhpun mereka tahu bahwa Bi sin tung Thio Leng Li, yaitu puteri Sin tung Lo kai dan sahabat baik mereka, mempunyai seorang putera yang sebaya dengan Bi Hui. Sebetulnya mereka tidak ingin buru buru menjodohkan puterinya, akan tetapi semenjak peristiwa di dalam taman dengan Kong Hwat, Tek Hong suami isteri merasa tidak enak hati. Sebagai orang tua, tentu saja mereka dapat menduga bahwa sedikit banyak tentu ada "apa apa" antara Bi Hui dan Kong Hwa. Setelah peristiwa ribut ribut itu, jalan satu satunya yang paling baik adalah cepat cepat mengikat jodoh Bi Hui dengan cucu Sin tung Lo kai seperti yang dipesan oleh Thian te Kiam ong.
Bagaimana dengan Bi Hui sendiri" Gadis ini tentu saja belum diberi tahu. Dan diam diam Bi Hui masih terkenang kepada Kong Hwat. Sungguhpun ia sendiri belum dapat menentukan dan belum yakin apakah ia sesungguhnya jatuh cinta kepada Kong Hwat, akan tetapi tak dapat disangkal pula bahwa pemuda itu mendapatkan tempat baik di lubuk hatinya. Ia menganggap kakak misannya itu selain tampan, juga gagah dan berwatak baik. Lebih lebih kalau ia teringat betapa pemuda itu mendapat tamparan dari ibunya, ia makin merasa kasihan dan diam diam merasa menyesal mengapa ibunya berlaku begitu kejam, ia tidak menyalahkan sikap Kong Hwat yang hendak mengajaknya melarikan diri karena pemuda itu takut kehilangan dia yang hendak dijodohkan dengan orang lain.
Perangai Bi Hui makin mudah marah dan mudah tersinggung semenjak terjadnya peristiwa di taman itu. Karena tidak ada orang lain yang boleh menerima timpaan sesalnya, ia sering kali menimpakan kemarahannya kepada Beng Han. Juga pada pagi hari itu ia marah marah kepada Beng Han di taman bunga. Pagi hari itu Bi Hui berjalan jalan di taman bunga, lalu termenung memikirkan di mana adanya Kong Hwat sekarang dan apakah masih ada harapan baginya untuk berjumpa dengan kakak misan itu lagi. Tiba tiba renungannya tergoda oleh suara nyaring di sebelah kiri taman.
"Satu...... satu dua.... satu dua tiga.... satu dua tiga empat....satu dan tiga empat lima... satu dua tiga empat lima enam tujuh....!" Bi Hui menoleh dengan muka sebal. Itulah suara Beng Han dan ia tahu apa artinya suara itu. Bocah itu sedang berlatih langkah langkah dasar ilmu silat Kim kong Kiam sut dengan langkah yang disebut Jit seng pouw (Langkah Tujuh Bntang). Memang Kim kong Kiam sut berdasarkan langkah tujuh bintang. Tujuh bintang itu dapat diatur dalam delapan penjuru sehingga jumlah pergeseran kaki itu macamnya ada tujuh kali detapan, limapuluh enam pasangan atau langkah! Bi Hui hafal benar akan Jit seng pouw ini yang sekarang sedang dilatih secara rajin sekali oleh Beng Han. Dahulu ketika ia mula mula mepelajari Jit seng pouw ini tidak serajin BengHan. Bocah ini pagi, sore, malam tak pernah berhenti berlatih Jit seng pouw dan ini masih dibarengi dengan mulutnya menyebut dan menghitung langkah langkah itu agar hafal betul dan dapat mendarah daging dengan kakinya.
Makin di dengar suara itu makin memanaskan hati, makin dilupakan makin merangsang telinga. Akhirnya Bi Hui membanting kaki dan berdiri dari tempat duduknya, berjalan cepat menghampiri Beng Han.
"Kau kira kau sudah jadi jagoan di sini" Baru bisa begitu saja lagaknya bukan main! Cih, tak tahu malu!"
Beng Han menghentikan latihannya, mukanya merah sekali. Bukan baru kali ini ia menerima caci maki gadis ini, akan tatapi ia tak pernah menaruh dendam. Biarpun masih kecil, ia dapat menilai watak orang, dan ia tahu bahwa Bi Hui tentu sedang terganggu hatinya maka kelihatan marah marah selalu. Sambil menjura ia berkata,
"Cici Bi Hui, kau tahu bahwa aku tidak berlagak. Aku hanya melatih diri sesuai dengan petunjuk ayahmu."
"Tidak berlagak" Kau berlatih dengan mulut berteriak teriak biar semua orang tahu bahwa kau sedang berlatih Kim kong Kiam sut. Hemm, kau, sudah menjadi jagoan, ya?"
"Tidak, Cici Bi Hui Aku hanya seorang sute dari ayah bundamu, sorang yatim piatu yang menumpang di sini."
Mendengar Beng Han merendahkan diri begini, Bi Hui makin marah, seakan akan ia merasa disindir babwa dialah yang jahat terhadap seorang anak yatim piatu!
"Apa kau bilang" Kau tidak berlagak" Kalau kau betul betul tahu seorang yang menumpangkan diri mengapa kau semalas ini" Kau hanya makan tidur dan berlatih silat. Kau sudah menerima banyak sekali kebaikan dari kami, dan apa balasmu" Membersihkan taman saja tidak mau."
"Setiap hari kubersihkan, cici...."
"Apa" Berani kau membohong Lihat, kalau sudah dibersihkan bagaimana begini kotor" Penuh daun kering!"
"Memang hari ini belum kubersihkan. Biasanya setelah berlatih baru kubersihkan. Daun daun itu gugur malam tadi."
"Tak tahu diri! Setelah beres pekerjaan baru main main. Masa kau ini main main dulu baru bekerja. Benar benar tak tahu diri kau!"
Pada saat itu, muncul Tek Hong dan Siang Cu. "Eh, ada apa sih ribut nbut seperti ini?" tanya Siang Cu.
"Anak ini sejak pagi main main dan berlatih silat dan taman begini kotor. Ketika kutegur katanya baru membersihkan dan bekerja sehabis main main. Mana ada aturan begitu" Kusuruh dia bekerja dulu, baru main main."
Siang Cu menoleh kepada Beng Han. Nyonya inipun sedang merasa jengkel, mungkin karena utusan mereka ke Leng teng belum juga datang.
"Beng Han, kau jangan selalu membantah kalau diberi tahu oleh B Hui Betapapun juga, kau harus mentaati perintahnya. Apalagi kau yang salah sepagi ini belum apa apa sudah main main. Hayo bekerja!"
Beng Han menundukkan kepala dan memberi hormat. "Memang siauwte yang salah, harap suci maafkan."
"Beng Han, sikapmu yang selalu merendah rendah itu lama lama menyebalkan!" tiba tiba Tek Hong juga membentaknya. "Kau sudah kuanggap sebagai orang sendiri, mengapa baru mendapat teguran begitu saja sudah bersungkan sungkan dan minta minta maaf segala?"
Bang Han kaget sekali. Kalau ia mendapat hinaan atau makian dari Bi Hui, itu dianggapnya malah lucu, kalau ia ditegur oleh Siang Cu dia hanya akan menghela napas dan tahu diri, akan tetapi teguran dan Tek Hong yang ia anggap sebagai pengganti suhunya, benar benar menusuk hatinya dan tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipinya.
"Nah, nah, dia menangis! Benar benar anak ini telah diberi hati oleh ayah. Menjadi manja dan besar kepala!" kata Bi Hui.
"Bi Hui, jangan kau berkata begitu!" Tek Hong membentak anaknya. Ketika ia menoleh. Bang Han telah pergi mengambil sapu untuk memulai bekerja. Ia hanya menghela napas, lalu bersama isterinya pergi duduk di dekat empang ikan. Memang hampir setiap pagi suami isteri ini duduk di dekat empang itu, yaitu di waktu matahari mulai muncul. Mereka tahu bahwa sinar matahari pagi amat perlu bagi kesehatan mereka yang sudah mulai tua.
Wajah Beng Han nampak muram saja sehari itu, dan matanya selalu basah. Dengan sembunyi sembunyi ia menahan isak dan kadang kadang menghapus air matanya. Semua ini tidak terlepas dari penglihatan mata Bi Hui yang tajam.
"Biarlah, kalau kau merasa sakit hati pergi saja dari sini agar jangan menambahkan kejengkelan orang saja." Bi Hui berkata di dalam hatinya.
Malam tiba. Gelap sekali di luar. Hawa malam yang amat dinginnya membuat seisi rumah sudah tidur nyenyak sebelum tengah malam. Kecuali Beng Han. Bocah ini tidak dapat tidur. Gelisah selalu. Ia teringat akan segala pengalamannya. Diam diam ia merasa rindu kepada ayah dan bunda, akan tetapi dimanakah ia dapat mencari mereka" Tahu saja siapa mereka juga tidak! Di mana adanya kong kongnya, Koai Thian Cu" Ah, hanya Koai Thian Cu dan mendiang Thian te Kiam ong yang benar benar jujur dan baik terhadap dia. Kebaikan suhengnya, Tek Hong seperti dipaksakan. Dia merasa akan hal ini.
Tengah malam lewat. Keadaan sunyi sekali, baik di dalam maupun di luar ramah. Akan tetap, di dalam gelap itu, tiba tiba berkelebat dua bayangan orang dengan gerakan gesit sekali memasuki ruangan di dekat taman rumah keluarga Song! Di bawah sinar pelita ruangan belakang ini, nampaklah bahwa mereka ini adalah seorang pemuda tampan dan dw-kz seorang wanita cantik. Liem Kong Hwat dan Cia Kui Lian! Kong Hwat memegang Kim kong kiam palsu sedangkan Kui Lian membawa pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri.
Kong Hwat nampak ragu ragu dan takut takut, akan tetapi Kui Lian menarik tangannya dan berbisik, "Jangan takut. Mana kamar mereka?"
Kong Hwat menuding ke depan. Dengan kekuatan sihirnya, Kui Lian dapat membuka pintu tanpa banyak kesukaran dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara. Akan tetapi, ketika mereka lewat di kamar tengah, seorang pelayan yang tidur di atas lantai menjadi terbangun dan dengan kaget pelayan itu duduk, matanya memandang terbelalak kepada Kong Hwat. Akan tetapi, sekali kebutan dengan hudtim ke arah muka orang itu, Kui Lian telah berhasil membuat orang itu jatuh lagi, tidur atau setengah pingsan! Ujung kebutannya telah dipasang racun penidur yang luar biasa kuatnya.
Mereka maju terus dan tiba di depan kamar Song Tek Hong. Kembali Kong Hwat ragu ragu dan jerih. Ia maklum benar akan kelihaian Tek Hong dan Siang Cu. Akan tetapi kembali Kui Lian menarik tangannya dan dengan kebutan dan sihirnya, Kui Lian berhasil membuka pintu kamar itu dengan amat mudah.
Biarpun jerih, akan tetapi Kong Hwat menjadi bernafsu dan amarahnya timbul ketika ia memasuki kamar bibinya yang pernah menghina dan membikin sakit hatinya. Rasakan pembalasanku sekarang, geramnya di dalam hati. Sementara itu. Kui Lian sudah membuka kelambu dan menudingkan hudtimnya ke arah muka seorang wanita setengah tua yang masih nampak kecantikan wajahnya.
"Dia inikah orangnya?" tanyanya kepada Kong Hwat.
Pemuda itu mengangguk, pedang di tangannya gemetar. Kui Lian lalu mencambukkan kebutannya rada muka Siang Cu yang sedang tidur sambil berkata, "Biar kubalaskan tamparanmu!"
Serangan kebutan ini bukanlah serangan biasa, melainkan serangan ke arah urat syaraf di kening dan disertai hawa yang penuh dengan tenaga hoat sut. Orang lain yang terkena serangan ini pasti akan roboh pingsan dan ingatannya tidak beres lagi. Akan tetapi Ong Siang Cu adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi sekali. Begitu kulit mukanya tersentuh, otomatis hawa sinkang di tubuhnya melindungi urat uratnya sehingga biarpun totokan itu tepat kenanya, ia masih dapat melompat bangun. Melihat Kong Hwat berdiri di situ bersama seorang wanita, keduanya memegang pedang, tahulah ia bahwa mereka ini datang dengan maksud jahat. Cepat ia menyerang Kong Hwat sambil berseru,
"Bocah keparat, kau benar benar jahat!"
Serangan yang dilakukan oleh Siang Cu luar biasa hebatnya, biarpun dengan tangan kosong saja, akan tetapi kalau berhasil mengenai Kong Hwat, tentu akan dapat merenggut nyawanya. Sayang sekali Siang Cu sudah terpukul oleh kebutan Kui Lian sehingga serangannya tidak jitu, jaga kakinya menjadi limbung. Kong Hwat mengelak dan hanya pundaknya saja yang terlanggar membuat ia berjumpalitan dan mengeluh kesakitan! Di lain saat, Siang Cu yang berhadapan dengan Kui Lian telah kena disihir oleh Kui Lian dan nyonya ini berdiri seperti patung memandang kepada Kui Lian dengan sikap seperti hendak menyerang.
Kong Hwat tidak tahu bahwa bibinya ini sudah tak dapat bergerak lagi. Melihat sikapnya, dan marah karena pukulan tadi, Kong Hwat cepat menggerakkan pedangnya, membuat serangan balasan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya itu dengan mudah amblas ke dalam perut bibinya!
"Ayaaa....!" ia melompat ke belakang sambil mencabut pedang yang sudah berlepotan darah, matanya terbelalak memandang darah menyembur keluar dari perut bibinya dan tubuh itu perlahan lahan roboh. Sepasang mata bibinya memandang kepadanya, penuh keheranan dan kebencian, Siang Cu roboh tanpa mengeluarkan suara lagi, masih setengah berada dalam kekuasaan sihir Kui Lian.
Tek Hong melompat setelah tadi mendengar suara ribut ribut dalam kamar. Tadinya Kui Lian memang sudah memasang sihir ketika mulai memasuki kamar maka suami isteri pendekar ini tidak mendengar apa apa dan agak kepulasan. Alangkah kagetnya Tek Hong yang melihat tubuh isterinya berlumur darah menggeletak di lantai dan melihat Kong Hwat berdiam dengan pedang Kim kong kiam palsu berlepotan darah, di sebelahnya dikawani seorang gadis cantik yang bermuka mengerikan.
"Song Tek Hong, lihat padaku!" bentak Kui Lian. Tek Hong tidak menduga apa apa dan menoleh kepada gadis itu, masih belum sadar benar dari tidur. Biarpun dia seorang pendekar besar yang sudah banyak pengalaman, akan tetapi ia tak dapat disalahkan kalau sampai terjatuh ke dalam kekuasaan Kui Lian. Siapa yang dapat menyangka bahwa gadis muda ini seorang ahli sihir" Tek Hong sadar setelah terlambat. Begitu ia memandang Kui Lian, ia merasa betapa sepasang mata gadis itu menembusi matanya dan langsung menguasai hati dan pikirannya.
"Song Tek Hong, kau tak dapat bergerak.... kaku.... kaku seperti balok...." Kui Lian menggerak gerakkan hudtimnya dengan lambaian seperti menulis huruf huruf rahasia di udara dan sepasaag matanya terus menatap wajah itu dengan pandangan tajam menusuk.
Tek Hong meronta, berusaha sekerasnya untuk melepaskan diri dari cengkeraman ilmu sihir yang luar biasa. Nampak urat urat seluruh tubuhnya berkerotokan, tanda bahwa lweekangnya dijalankan untuk memaksa dan mendobrak pengaruh yang menyelubungi tubuhnya dan membuat ia tak dapat bergerak itu.
"Koko, lekas tusuk mati dia....!" kata Kui Lian, terus melanjutkan sihirnya. Ia hampir tidak kuat menguasai Tek Hong, demikian tinggi kepandaian Tek Hong, demikian dahsyat tenaga lweekangnya.
"Lian moi, aku.... aku tidak bisa.... dia.... pamanku...."
"Bodoh, dia melihat kau membunuh isterinya, dia takkan mengampuni kau. Lebih baik lekas bunuh, siapa akan tahu?" Kui Lian mulai terenggah engah dan Tek Hong mulai dapat menggerakkan leher dan tangan. "Lekas, koko, aku.... hampir tak dapat menguasainya lagi..." Kemudian disambung dengan suaranya yang berpengaruh. "Song Tek Hong, jangan bergerak.... kau tak kuasa bergerak.... kau harus mentaati perintahku ..."
Akan tetapi Tek Hong makin keras berusaha melepaskan diri. Melihat ini dan mendengar kata kata Kui Lian tadi, Kong Hwat tahu bahwa jalan satu satunya untuk menyelamatkan diri hanya mendahului pamannya. Dengan mata dipejamkan ia lalu menggerakkan pedangnya, menusuk dada Tek Hong. Akan tetapi ia berteriak keras dan jatuh terguling! Dada Tek Hong begitu keras seperti baja sehingga ketika pedang itu membentur dada, semacam tenaga dahsyat telah menolak dan merobohkan Kong Hwat.
"Pilih bagian berbahaya"." Kui Lian sempat memberi peringatan.
Tahulah Kong Hwat bahwa pamannya itu telah mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya, maka dadanya demikian kuat. Sekali lagi ia menggerakkan pedangnya, kali ini dengan mata terbuka. Menusuk bagian pusar dan pedang itu". menancap dalam! Tubuh Tek Hong terguling dan darahnya menyembur ke lantai, bercampur dengan darah isterinya! Suami isteri pendekar yang berkepandaian tinggi ini tewas dalam keadaan yang mengecewakan.
Pada saat itu, Beng Han dengan pedang pendek yang biasa ia pakai berlatih, menyerbu masuk dan memaki maki, "Jahanam terkutuk". kau berani membunuh suheng" Kau". baru sekarang ia melihat bahwa penjahat itu adalah Kong Hwat dan seorang wanita muda yang tidak dikenalnya. "Kau". yang". melakukan ini".?" Saking heran, marah, berduka melihat Tek Hong dan Siang Cu menggeletak di atas lantai penuh darah, dan melihat Kong Hwat, Beng Han sampai tak dapat bicara lagi! Ia segera menubruk maju, pedang pendek yang biasa dipakai berlatih itu ditusukkan ke arah Kong Hwat. Akan tetapi, sekali menggerakkan pedangnya, pedang pendek di tangan Beng Han terlempar dan sebuah dupakan membuat Beng Han roboh bergulingan di atas lantai yang penuh darah sehingga pakaian, tangan. Dan mukanya terkena darah. Melihat bahwa Beng Han dapat menjadi saksi dari perbuatannya, Kong Hwat sudah mengangkat pedang hendak membunuh saja bocah ini. Akan tetapi tiba tiba Kui Lian berseru, "Tahan, jangan bunuh dia!"
Kong Hwat memutar tubuh, memandang kepada kekasihnya dengan heran. Akan tetapi Kui Lian tersenyum manis dan tanpa berkata apa apa lagi kebutannya menyambar ke muka Beng Han. Anak ini masih pening karena terbanting dan dadanya terasa sesak oleh tendangan Kong Hwat. Ia masih berusaha mengelak, akan tetapi racun di ujung kebutan sudah bekerja dan ia terguling roboh, pingsan.
Kui Lian lalu mengambil pedang pendek yang tadi dibawa Beng Han, memasukkan ujung pedang itu ke dalam genangan darah sampai di pegangan kemudian menaruh gagang pedang di dalam genggaman tangan kanan Beng Han. Setelah itu, ia lalu membongkar bongkar kamar itu, mengeluarkan uang emas dan perak serta perhiasan perhiasan berharga, membungkus barang barang ini dengan sebuah kain dan meletakkan bungkusan di dekat Beng Han pula. Setelah semua ini beres, barulah ia menarik tangan kekasihnya diajak keluar.
Kong Hwat sekarang mengerti akan akal kekasihnya, akan tetapi ia membantah, "Moi moi, bagaimana kalau ia membuka mulut dan bercerita bahwa aku yang melakukan itu?"
"Bodoh. Siapa percaya padanya" Bukti buktinya, pedangnya yang berlepotan darah dan barang yang ada padanya, menyatakan bahwa dia membunuh untuk merampas. Bukankah kau sudah bercerita bahwa anak itu adalah murid termuda dari Thian te Kiam ong, seorang bocah yang tadinya hanya menumpang saja" Siapa percaya kau yang melakukannya, sedangkan kepandaianmu sama sekali bukan tandingan mereka berdua" Kalau bocah itu lain lagi, dia tinggal di rumah ini, banyak kesempatan baginya untuk melakukan pembunuhan di waktu tuan rumah tidur nyenyak."
Kong Hwat puas sekali, lalu hendak menuju ke kamar Bi Hui. Akan tetapi Kui Lian melarangnya, bahkan cepat cepat menariknya dan mengajaknya keluar dari rumah itu, terus berlari cepat meninggalkan Tit le.
"Eh, Lian moi. Bagaimanakah kau ini" Bukankah kau sudah berjanji hendak mendapatkan Bi Hui untukku" Kau sendiri yang merencanakan semua ini dan sekarang, kau yang melarangku mendapatkan Bi Hui. Apakah kau cemburu, ataukah kau takut kalau kalau cinta kasihku kepadamu akan berubah?"
Kui Lian tersenyum dan memeluk pemuda kekasihnya itu "Koko, aku adalah isterimu yang setia dan aku sudah percaya sepenuhnya kepadamu. Karena besarnya cintaku kepadamu, maka aku hendak membikin kau bahagia, hendak melihat kau bahagia, biarpun syaratnya harus rela bermadu Bi Hui. Tidak, aku tidak cemburu, aku rela membagi cintamu dengan Bi Hui, gadis yang telah kau cinta sebelum kau berjumpa dengan aku. Akan tetapi, kau laki laki bodoh. Kalau kau langsung memasuki kamar Bi Hui, apakah artinya akal kita menimpakan kesalahan ke pundak bocah gila itu" Memang dengan ilmuku, aku dapat membikin Bi Hui cinta kepadamu, akan tetapi kalau semua orang gagah tahu akan perbuatan kita, bukankah itu berarti kita mencari penyakit" Biarlah, kita biarkan Bi Hui dan yang lain lain mengira bahwa bocah itu yang bersalah. Kelak, baru kita muncul untuk menaklukkan Bi Hui, agar kita tidak menimbulkan kecurigaan. Muncul di waktu peristiwa itu terjadi benar benar bodoh."
Lagi lagi Kong Hwat harus mengakui kelicinan Kui Lian dan sebagai upah ia merayu dan memuji mujinya.
"Lian moi, kau benar benar isteriku yang hebat! Selain cantik manis dan berilmu tinggi, kau juga cerdik sekali, tanpa kau, entah akan apa jadinya dengan aku!"
"Ah, bisa saja kau memuji. Aku melakukan semua ini karena cintaku kepadamu. Asal saja kau tidak gampang melupakan bini mu yang hina ini. Asal aku dapat berdampingan dengan kau selama hidupku, apa saja akan kulakukan untukmu, koko."
Sambil bergandengan tangan mereka melanjutkan perjalanan, bahkan tak lama kemudian Kong Hwat memondong tubuh Kui Lian ketika wanita itu mengeluh kakinya sakit sakti dan lelah. Memang, dalam hal ilmu silat, Kong Hwat menang jauh apalagi dalam ilmu lari cepat. Benar benar harus disesalkan bahwa Liem Kong Hwat, seorang pemuda berkepandaian tinggi yang tadi nya seorang yang berhati lurus dan bersih pula keturunan orang orang gagah, bertemu dengan seorang wanita iblis seperti Kui Lian. Pemuda ini seakan akan sudah tak dapat mempergunakan pikirannya sendiri, dia yang berbuat Kui Lian yang mengemudi. Dengan kepandaian seperti yang dimilikinya, dipimpin oleh otak yang cerdik licin dan watak yang sudah seperti siluman seperti Kui Lian itu, benar benar pasangan ini merupakan bahaya besar yang mengerikan bagi siapa yang mereka musuhi.
0odwo0 Pada keesokan harinya, terdengar ribut ribut di dalam rumah keluarga Song. Keadaan di dalam rumah menjadi geger. Pelayan wanita menjerit jerit pelayan laki laki berlari lari ke sana ke mari.
"Celaka.... ada penjahat.... !"
"Pembunuh....! Loya dan toanio terbunuh....!"
"Tolong.... tolong....!" Seorang pelayan menggedor gedor pintu kamar Song Bi Hui.
"Siocia.....! Bangunlah....!"
Bi Hui melompat dari tempat tidurnya, kepalanya masih agak pening. Seperti beberapa orang pelayan penjaga di depan, iapun terkena pengaruh sihir yang membuat ia tertidur seperti mati, tidak mendengar suara ribut ribut lagi. Kini ia memlompat ke pintu, dibukanya dan mukanya pucat sekali ketika mendengar kata kata "pembunuhan"!
Tanpa bertanya lagi ia lalu menerjang pelayan pelayan itu dan berlari cepat ke kamar ayah bundanya, ia melihat kamar itu sudah penuh pelayan dan ketika ia menerjang masuk, ia melihat ayah bundanya menggeletak dalam gelimangan darah, sudah kaku dan mati, dan di sudut kamar, dua orang pelayan laki laki sedang memegangi Beng Han yang diikat erat erat.
"Ayaaaaah....! Ibuuuuu.... !" Bi Hui memekik dengan suara melengking tinggi, menubruk kedepan dan roboh pingsan di antara jenazah ayah bundanya!
Bi Hui menerima pukulan batin yang hebat sekali ketika melihat keadaan ayah bundanya yang sudah tewas itu. Ia pingsan sampai lama, tubuhnya seperti sudah menjadi mayat. Sia sia saja para pelayan mencoba untuk menyadarkan sehingga terpaksa para pelayan wanita mengangkat tubuhnya dan membaringkannya di atas tempat tidur di kamarnya sendiri.
Hari sudah siang ketika akhirnya Bi Hui dapat siuman kembali dari pingsannya. Mukanya pucat dan tubuhnya panas sekali. Begitu siuman, ia lalu membuka mata dan mengeluh,
"Ayah.... ibu.... !"
Menangislah gadis ini tersedu sedu. Air matanya membanjir seakan akan air bah memecahkan bendungan. Para pelayan mendiamkannya saja karena maklum bahwa pada saat seperti itu, tangis merupakan obat terbaik bagi Bi Hui. Kemudian gadis itu teringat dan matanya terbelalak lebar. Ia memandang kepada pelayan pelayan itu dan bertanya.
"Siapa membunuh ayah dan ibu" Siapa....?""
"Entahlah, sioca," kata pelayan ini takut takut "Hanya sekarang para pelayan laki laki sedang mendesak Beng Han untuk mengaku. Kita mendapatkan loya dan toanio sudah tewas dilantai kamarnya sedangkan di dalam itu terdapat pula Beng Han yang memegang pedang pendek penuh darah dan sebungkus emas permata milik toanio berada di dekatnya. Agaknya.... agaknya iblis telah memasuki pikiran anak itu dan.... menggunakan kesempatan selagi loya dan toanio pulas, memasuki kamar dan...."
Belum habis pelayan ini bicara, Bi Hui sudah melompat, menyambar pedangnya di tembok dan berlari cepat keluar kamar. Sesamparnya di ruangan belakang, ia melihat Beng Han duduk di bangku dengan muka pucat, rambut awut awutan dan mukanya biru biru bekas pukulan. Di depan nya berdiri dua orang pelayan laki laki yang marah marah dan sedang mendesaknya memberi keterangan.
"Bukan aku.... bukan aku....!" Bi Hui mendengar Beng Han menggeleng gelengkan kepala membantah. "Apa kalian sudah gila" Bagaimana aku bisa membunuh suheng sendiri" Aku bukan orang gila dan kalian tentunya belum gila untuk mendakwa begitu keji!"
Bi Hui melompat ke depan Beng Han dan sekali tangan kirinya terayun, pipi Beng Han sudah ditamparnya sedemikian keras sehingga anak itu mencelat dan membentur dinding, pipi kanannya menjadi bengkak seketika dan giginya copot copot!
"Bukti apa yang ada padanya?" tanya Bi Hui kepada dua orang pelayan itu.
"Dia berada di kamar loya, tangannya memegang pedang pendek yang berlumur darah, baju, tangan dan mukanya penuh darah dan dia membawa pula sebungkus uang emas dan barang perhiasan toanio. Sudah terang setan cilik ini hendak mencuri dan membunuh loya dan toanio selagi mereka tidur pulas, siocia. Terserah kepada siocia bagaimana hendak menghukumnya. Apakah kita harus menyeretnya ke pengadilan?"
"Biar aku adili anjing ini!" kata Bi Hui penuh kemarahan ketika ia menghampiri Beng Han yang sudah bangun dan mengusap usap pipinya.
"Bi Hui cici, aku bersumpah bahwa aku tidak membunuh suheng dan suci," kata Beng Han sambil menatap wajah gadis itu dengan tabah.
"Apa kau bilang?" Bi Hui menjambak rambut anak itu dan menyeretnya "Aku sudah tahu bahwa kau adalah seekor anjing yang tak kenal budi. Kau disayang ayah dan ibu, dan kau membalas dengan perbuatan terkutuk. Anjingpun tidak sekeji engkau." Bi Hui terus menyeret rambut Beng Han dibawa ke ruang tengah di mana jenazah ayah bundanya telah dimasukkan peti.
-ooo0dw0ooo- Jilid XXXV MELIHAT dua peti itu, Beng Han menangis. Juga Bi Hui menangis, mendorong tubuh Beng Han didepan meja sembahyang. Beng Han jatuh berlutut dan menangis di depan meja. Bi Hui juga berlutut lalu menangis. Dilihat begitu saja nampaknya dua orang ini sedang sama sama berkabung menangis di depan dua peti mati suami isteri Song.
"Ayah dan ibu.... anak telah membawa anjing ini.... menghadap ayah dan ibu.... untuk mengakui dosanya...."
Bi Hui berbisik. Beng Han menangis keras dan berkata lantang, "Suheng dan suci, siauwte Beng Han bersumpah bahwa siauwte kelak pasti akan dapat menangkap dan membalaskan dendam suheng berdua kepada bangsat laki wanita jahanam itu."
Bi Hui berbangkit dan membentak marah. "Tutup mulut! Hayo kau lekas mengakui dosa dosamu di depan ayah dan ibu!"
"Cici Bi Hui, aku tidak berdosa.... .." kata Beng Han, suaranya bercampur isak.
"Jangan coba menyangkal. Ataukah kau harus kusiksa lebih dulu?" Bi Hui menodongkan ujung pedangnya di dada Beng Han. Ujung pedang itu menembus baju dan melukai kulit didada. Akan tetapi Bang Han tidak merasa takut.....
"Tusuklah dan belek dadaku agar kau dapat melihat bahwa hatiku tidak keji seperti yang kau sangka, cici. Aku benar benar tidak pernah melakukan dosa itu. Aku sama sekali tidak membunuh suheng dan suci. Percayalah!"
"Mengapa pedang pendekmu berlumuran darah dan mengapa tubuh dan pakaianmu juga berlumuran darah.... ayah dan ibu?"
"Aku.... aku bergumul dengan pembunuh pembunuh itu, aku kalah.... terpelanting dilantai yang penuh darah...."
Bi Hui tersenyum sindir, "Hemm, kau mau jadi jagoan, ya" Dan bagaimana kau dapat menjelaskan tentang bungkusan barang barang berharga itu?"
"Itu.... itu aku tidak tahu, cici."
"Duk!" Tubuh Beng Han terjengkang kena tendangan Bi Hui dan dari mulut anak itu keluar darah.
"Hayo mengaku!" Bi Hui membentak. "Kalau tidak, hmm, kupenggal lehermu!"
"Aku.... aku tidak membunuh mereka"." Beng Han terengah engah, sukar bernapas. Tendangan tadi hebat sekali dan telah mendatangkan luka di dalam dadanya.
"Kau tidak membunuh" Habis siapa yang membunuh ayah dan ibu menurut pendapatmu?" Bi Hui mengecek.
"Pembunuhnya adalah.... Liem Kong Hwat...."
Bi Hui tersentak kaget, akan tetapi kemarahannya memuncak. Tangan kirinya bergerak, leher Beng Han kena dipukul dan bocah ini terpelanting tak dapat bangun lagi. Ia telah pingsan.
"Guyur dia dengan air dingin!" seru Bi Hui tak puas melihat Beng Han menjadi pingsan karena ia masih hendak bertanya. Dua orang pelayan laki laki itu mengambil air dan mengguyur kepala Beng Han. Anak itu siuman kembali, kepalanya serasa berputaran, lehernya sakit sekali. Ia lalu berlutut lagi di depan peti peti mati.
"Beng Han, manusia laknat. Kau tentu tahu bahwa semua kata katamu tadi tidak ada artinya. Kau sudah berlaku jahat dan melakukan pembunuhan mengapa harus membawa bawa orang lain yang tidak berdosa?"
"Betul, cici. Aku tidak membohong. Pembunuh suheng dan suci adalah Liem Kong Hwat. Tak salah lagi."
"Keparat, siapa percaya akan obrolanmu" Melawan aku saja belum tentu dia menang, bagaimana dia bisa merobohkan ayah dan ibu" Kau bohong!"
"Dia dibantu oleh.... oleh seorang siluman wanita, muda dan cantik, tetapi jahat.... siluman itulah yang mengalahkan suheng dan suci...."
"Kaulah silumannya! Biar ada seribu orang siuman perempuan muda, tak mungkin dapat mengalahkan ayah dan ibu. Kalau kau yang berbuat selagi ayah dan ibu tidur pulas, itu sangat boleh jadi! Kau masih tidak mau mengaku?"
Beng Han yang dihajar sejak tadi oleh dua orang pelayan kemudian oleh Bi Hui, mendengar ini menjadi panas juga.
"Cici. kau tetap menuduh aku dan bahkan membela Liem Kong Hwat yang memang berdosa. Biarpun aku tahu bahwa kau membelanya karena kau mencinta pemuda itu, akan tetapi kelak kau akan menyesal cici, dan arwah suheng berdua akan mengutukmu."
Bukan main marahnya Bi Hui mendengar ini. "Bukti bukti sudah jelas menyatakan bahwa kau hendak mencuri barang berharga dan membunuh aah dan ibu, masih banyak cerewet, berani sekali kau menghinaku dengan kata kata kotor" Benar benar kau harus mampus di depan peti mati ayah ibu untuk menebus dosa. Bersiaplah menghadap arwah ayah dan ibu!"
Bi Hui melompat mengangkat pedangnya tinggi tinggi hendak memenggal leher Beng Han sedangkan bocah itu sambil berlutut memejamkan mata menanti binasa, Bi Hui mengayun pedangnya dan". "Trang"!"
Bi Hui melompat mundur cepat cepat karena tangan yang memegang pedang tergetar hebat dan hamper saja pedangnya terlepas dari pegangannya. Di depannya berdiri seorang kakek pengemis yang memegang tongkat merah yang pendek dan tongkat itulah yang tadi dipakai menangkis pedang Bi Hui sebelum mengenai leher Beng Han.
Kakek ini sudah tua sekali, pakaiannya tembel tembelan dan biarpun semua rambutnya sudah putih dan mukanya sudah penuh keriput, namun sepasang matanya memancarkan pengaruh luar biasa.
"Nona, kau pernah dengan Thian te Kiam ong" Dan peti mati siapakah ini" Mengapa pula kau hendak membunuh bocah itu?"
Bi Hui maklum bahya ia berhadapan dengan seorang sakti, maka ia menjawab kaku.
"Thian te Kiam ong adalah kong kongku, aku Song Bi Hui dan iri adalah peti mati ayah bundaku yang malam tadi dibunuh oleh anjing cilik ini. Maka aku hendak membunuhnya di depan peti mati ayah dan bundaku. Kau ini orang tua yang menolong pembunuh, siapakah?"
Kakek pengemis itu membelalakkan kedua matanya, sebentar memandang kepada Bi Hui, kemudian kepada dua buah peti mati itu, lalu kepada Beng Han.
Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa kau bilang....." Tek Hong dan Siang Cu mati terbunuh malam tadi" Oleh bocah ini....?" Katek itu melangkah maju, menjambak rambut Beng Han dan mengangkat anak itu untuk memeriksa mukanya, seperti seorang jagal memeriksa seekor kelinci, lalu melemparkan tubuh Beng Han ke bawah sehingga anak yang sudah setengah mati itu kembali jatuh di depan peti peti mati. "Tak mungkin dia ini becus membunuh Song Tek Hong putera Thian te Kiam ong dan Ong Siang Cu murid Lam hai Lo mo," kata kakek pengemis itu.
Mendengar kakek itu menyebut nyebut nama ayah bundanya, kakeknya dan guru ibunya, Bi Hui makin terkejut dan ia segera berkata lebih hormat.
"Locianpwe, bukti bukti sudah ada yang menyatakan bahwa bocah inilah pembunuh ayah ibu selagi tidur. Akan tetapi siapakah locianpwe ini....?"
"Kau ini tentu cucu Thian te Kiam ong puteri Song Tek Hong, bukan" Jadi kau ini yang hendak di jodohkan dengan cucuku Kwan Sian Heng" Hemm, sungguh tidak kebetulan sekali, kedatanganku disambut oleh peti peti mati. Mengapa tidak kemarin aku datang hingga dapat mencegah terjadinya hal menyedihkan ini" Benar benar sudah nasib, sudah karma...."
"Bukankah locianpwee ini Sin tung Lo Kai?" Bi Hui bertanya mendengar kata kata itu.
Kakek itu mengangguk angguk. "Benar, akulah Sin tung Lo kai, sahabat baik kong kong mu, juga besannya karena pateranya Song Siuw Yang berjodoh dengan putera angkatku Liem Pun Hui."
Bi Hui lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu dan menangis tersedu sedu, teringat akan nasib orang tuanya. Pada saat itu masuklah sepasang suami isteri setengah tua, yang laki laki berpakaian seperti sasterawan, yang wanita nampak gagah dan memegang sebatang tongkat merah. Di belakang mereka berjalan seorang pemuda tampan dan gagah, tinggi besar dan wajahnya jujur, menggandeng seorang bocah perempuan berusia enam tahun yang munggil dan manis.
Sepasang suami isteri itu bukan lain adalah puteri Sin tung Lo kai Thio Houw yang bernama Thio Leng Li dan berjuluk Bi sin tung (Nona Cantik Tongkat Sakti) bersama suaminya, seorang sasterawan bernama Kwan Lee kawan sekolah Liem Pun Hui. Adapun pemuda gagah tinggi besar itu adalah Kwan Sian Hong putera mereka dan bocah perempuan itu adiknya, Kwan Li Hwa.
Ketika mereka ini mendengar penuturan singkat dari Sin tung Lo kai tentang peristiwa nebat yang menimpa keluarga Song, semua memandang kepada Beng Han dengan mata terbelalak, terkejut, heran juga marah. Bi sin tung Thio Leng Li segera memeluk Bi Hui dan menghiburnya dengan nasihat bahwa, mati hidup ditentukan oleh Thian Yang Maha Kuasa.
Beng Han yang menjadi "tontonan" merasa betapa semua orang membencinya. Darah yang mengucur dari luka di jidatnya memasuki matanya, membuat matanya pedas sekali. Dengan canggung dan kaku ia mencoba untuk menghapus darah campur peluh ini, akan tetapi tidak berhasil. Ia meraba raba saku mencari cari, tetapi tidak mendapatkan saputangannya. Tiba tiba sebuah tangan yang munggil menyerahkan sehelai saputangan jambon kepadanya, diikuti kata kata halus.
"Ini, pakai saputanganku untuk menghapus darah di mukamu itu. Mengerikan sekali...."
Beng Han memaksa matanya yang pedas itu memandang dan melihat seorang gadis cilik yang manis. Dengan perasaan terima kasih ia menerima saputangan itu dan menghapus darah di muka dan matanya.
"Siapa namamu?" Gadis cilik itu bertanya.
"Aku.... Thio Beng Han...."
"Eh, kau seketurunan dengan kong kong! Kong kong juga ber she Thio!"
"Li Hwa, mundur kau!" bentak Sin tung Lo kai Thio Houw yang melihat cucunya bercakap cakap dan memberi saputangannya kepada Beng Han, bocah yang didakwa menjadi pembunuh itu.
"Locianpwe, perkenankan saya melaksanakan hukuman kepada pembunuh ayah bundaku agar sakit hati dan penasaran ayah ibu dapat terbalas sekarang juga," kata Bi Hui kepada Sin tung Lo kai (Pengemis Tua Bertongkat Sakti), lalu berdiri da dengan pedang di tangan menghampiri Beng Han.
"Nanti dulu, kau mau apakan dia?" tanya Thio Houw.
"Saya hendak membunuhnya di depan meja sembahyang," jawab Bi Hui tenang.
"Jangan bunuh dia.... kasihan...." tiba tiba Li Hwa menjerit dan Beng Han kembali memandang kepada gadis cilik ini dengan kagum dan terima kasih. Selama hidupnya ia takkan dapat melupakan wajah gadis cilik ini yang pada saat itu merupakan satu satunya orang yang menaruh kasihan dan perhatian kepada dirinya.
"Nona Bi Hui, nanti dulu, jangan kau tergesa gesa. Aku masih meragukan apakah benar benar bocah ini mampu membunuh ayah bundamu, biarpun dalam keadaan tidur pulas. Apakah kau sudah bertanya kepada semua pelayan dan mereka itu tidak melihat apa apa malam tadi?"
"Sudah, locianpwe. Tak seorangpun di antara mereka melihat orang lain kecuali Beng Han," jawab Bi Hui. Memang demikian, pelayan pelayan yang semalam melihat Kui Lian dan dirobohkan sudah tak ingat apa apa lagi hanya lapat lapat merasa seperti mimpi. Tentu saja menghadapi peristiwa hebat itu tak seorangpun di antara mereka berani bicara tentang mimpi yang tak masuk akal itu.
"Nona Bi Hui, kuharap kau suka bersabar dulu dan berpikir lebih dalam. Andaikata kau sekarang membunuh bocah ini, lalu kelak terbukti bahwa dia itu tidak berdosa bukankah kau akan menjadi pembunuh kejam. Tidak, aku tidak ingin cucu mantuku membunuh bocah tidak berdosa Nona Bi Hui, ayah bundamu mengirim surat kepada kami, mengusulkan perjodohan antara kau dan cucuku Kwan Sian Hong. Oleh karena itu, kuanggap bahwa aku boleh mewakili orang tuamu mengamat amati segala hal yang terjadi di sini dan kiranya aku tidak akan terlalu lancang untuk mengambil keputusan pula dalam urusan bocah ini."
Memang kalau dipikir pikir, Bi Hui juga masih ragu ragu apakah betul Beng Han dapat membunuh ayah bundanya. Tadi karena terlampau berduka, pula tidak melihat bukti lain, ditambah rasa tidak sukanya kepada Beng Han maka membuat ia kukuh menuduh Beng Han yang menjadi pembunuh ayah bundanya. Sekarang ia mendengar kata kata kakek pengemis itu, hanya menangis dan berkata,
"Terserah pada locianpwe...." Ia lalu menubruk peti mati ibunya dan menangis tersedu sedu, segera ditolong dan dipeluk serta dihibur oleh Bi sin tung Thio Leng Li, caton ibu mertua nya.
Sin tung Lo kai menghadapi Beng Han dan berkata, "Beng Han, bukti bukti menyatakan bahwa kau bersalah. Sekarang hendak bicara apa?"
"Terserah kepada kalian apakah aku bersalah atau tidak. Membela diri tidak ada gunanya, tetap takkan dipercaya. Aku hanya mau bicara begini, bahwa apabila umurku panjang aku akan nencari dan menyeret pembunuh pembunuh suheng dan suci dan memenggal leher mereka di depan makam suheng dan suci!"
Sin tung Lo kai mengangguk angguk. Kakek pengemis sakti ini sekelebatan saja tahu bahwa anak di depannya bukannya bocah sembarangan, maka ia makin sangsi apakah benar bocah ini yang menjadi pembunuhnya.
"Baiklah, atas nama keluarga Song, aku membebaskan kau, akan tetapi jangan kira bahwa kami akan menutup mata begitu saja. Kelak sih belum terlambat untuk menghukummu apabila ternyata kau yang bersalah dalam pembunuhan ini."
Beng Han tidak menjawab, sebaiknya ia lalu berlutut di depan meja sembahyang dan berkata dengan suara tantang dan air mata bercucuran.
"Suheng dan suci, siuwte bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini. Biar siauwte menebus dengan nyawa kalau siauwte sampai gagal menyeret dua pembunuh itu di depan makam suheng berdua. Harap suheng berdua mengaso dengan tenang." Setelah berkata demikian, ia menjura kepada Bi Hui dan berkata, "Cici Bi Hui, aku tidak menyesal kepadamu karena aku maklum betapa hancur hatimu kehilangan ayah bunda. Juga aku terima kasih sekali atas kebaikan keluargimu selama aku berada di sini. Cici, baik baiklah menjaga dirimu sendiri. Kelak kita bertemu kembali!"
Pergilah Beng Han ke kamarnya, mengambil pakaian lalu keluar dari rumah itu dengan tubuh sakit semua dan jalanya terhubung huyung, air matanya bercucuran karena ia merasa amat kasihan kepada keluarga Song yang selama ini ia junjung tinggi. Benar benar bocah luar biasa. Setelah menerima siksaan yang menyakitkan semua tubuh, dalam meninggalkan tumah itu ia masih bisa melupakan keadaan diri sendiri dan sebaliknya merasa amat kasihan kepada Bi Hui.
Setelah Beng Han pergi, seperti kepada diri sendiri Sin tung Lo kai berkata, "Bocah luar biasa.... ah, ingin sekali aku dapat menyaksikan terlaksananya sumpahnya tadi."
Kedatangan Sin tung Lo kai Thio Houw dan anak cucunya merupakan hiburan besar bagi Bi Hui. Sin tung Lo kai mengurus segalanya, juga mengutus seorang pelayan untuk pergi ke Liok can memberi tahu tentang peristiwa hebat itu kepada Liem Pun Hui dan Song Siauw Yang.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Siauw Yang dan Pun Hui mendengar berita itu. Siauw Yang menangis menjerit jerit. Biarpun ia pernah ribut dengan Siang Cu, akan tetapi sebagai adik ipar, tentu ia merasa berduka sekali mendengar kematian kakak dan iparnya. Cepat ia mengajak suaminya pergi, ke Tit le.
Siauw Yang menubruk peti mati peti mati itu dan menangis sampai jatuh pingsan. Bi Hui menangis bersama bibinya, dan setelah Siauw Yang sadar, dua orang wanita ini saling berpelukan sambil menangis. Lenyap kemarahan lama. Ketika mendengar bahwa Beng Han dibebaskan oleh Sin tung Lo kai, Siauw Yang mengerutkan kening dan berkata, "Kalau bukti bukti menyatakan bahwa anjing cilik itu yang melakukan pembunuhan, mengapa ia di bebaskan dan tidak dihukum menebus nyawa di sini?"
Sin tung Lo kai berkata, "Kesalahannya belum nyata betul, bahkan dipikir pikir, aku berani bertaruh nyawaku yang sudah tua bahwa anak itu tidak berdosa. Selain itu, apabila kelak ternyata dia yang berdosa, akulah yang akan sanggup menyeretnya di depanmu."
Pun Hui menghibur isterinya sehingga akhirnya Siauw Yang mengalah dan ia sendiri bersumpah hendak menjadi orang pertama yang menusukkan pedang ke dada pembunuh kakaknya dan kakak iparnya.
Ketika Siauw Yang bercakap cakap dengan Leng Li sahabat lamanya, Leng Li bertanya mengapa Kong Hwat tidak ikut datang.
"Ia di sebut sebut oleh mendiang kakakmu yang katanya menurut pesanan Song lo enghiong, harus di jodohkan dengan puteriku. Kau lihat, puteriku masih kecil, baru betusia enam tahun, agaknya ayahmu itu lupa dan mengira bahwa anak perempuanku sudah dewasa."
Siauw Yang menarik napas panjang den teringatlah ia akan semua peristiwa yang lalu di rumah kakaknya ini, sehingga mengakibatkan Kong Hwat minggat dari rumah.
"Anak itu pergi merantau untuk meluaskan pengalaman, tentang perjodohan, ah, mana bisa orang tua sekarang memaksa puteranya" Kalau dia belum mempunyai niat, kita ini bisa berbuat apakah?"
Juga sambil lalu Sin tung Lo kai bertanya tentang pemuda itu, ketika dijwab bahwa Kong Hwat sedang merantau untuk meluaskan pengalaman, ia mengangguk angguk den berkata, "Memang baik sekali bagi seorang muda untuk merantau meluaskan pengalaman. Apa gunanya kepandaian tinggi tanpa pengalaman" Akan mudah tertipu orang dan kadang kadang kepandaian tinggi sama sekali tidak ada gunanya, sebaliknya pengalaman membikin orang menjadi waspada dan tidak mudah tertipu. Sayang dia tidak mengetahui tentang nasib paman dan bibinya yang buruk...."
Setelah selesai menguruskan penguburan jenasah Song Tek Hong dan isterinya di mana Bi Hui menangis sampai beberapa kali pingsan, mereka lalu berunding. Sin tung Lo kai Thio Houw tadinya mengharapkan supaya Bi Hui ikut tinggal di rumah calon mertuanya, yakni Kwan Lee dan Thio Leng Li di kota Leng ting. Akan tetapi Siauw Yang minta dengan sangat supaya keponakannya itu untuk sementara tinggal bersama dia di Liok can. Ternyata Bi Hui memilih tinggal bersama bibinya, karena ia merasa sungkan dan malu malu harus tinggal di runah calon suaminya, apa lagi karena ia belum mengenal mereka semua kecuali Kwan Li Hwa yang ternyata adalah seorang bocah perampuan yang lucu dan pandai bergaul.
0odwo0 Dalam keadaan setengah mati Beng Han melakukan perjalanan keluar dari kota Tit le. Tempat yang ia tuju adalah Gunung Kui san. Ia hendak memenuhi pesan gurunya, untuk pergi ke menara Kim hud tah dipuncak Kui san dan mengambil pedang Kim kong kiam serta kitab pelajaran ilmu pedang dari Thian te Kiam ong, mempelajari itu sampai sempurna baru turun gunung dan membalas dendam terhadap pembunuh pembunuh suheng dan sucinya! Pikirannya sudah buntu, disaat itu tidak ada lain cita cita melainkan mempelajari ilmu silat tinggi peningglan gurunya lalu membalas dendam terhadap Liem Kong Hwat dan siluman wanita itu!
Akan tetapi Kui san bukanlah tempat dekat, ia harus melakukan perjalanan ratusan li, dan keadaannya sungguh tidak baik untuk melakukan pejalanan jauh. Selain ia tidak mempunyai uang sekepingpun, tubuhnyapun terasa sakit sakit. Mukanya bengkak bengkak dan matang biru, leher nya seperti salah urat dan dadanya masih sakit, kadang kadang ia muntah muntah darah segar!
Betapapun juga sengsaranya, anak ini bukan anak sembarangan. Ia mempunyai kekerasan hati seperti baja, mempunyai ketekadan yang mengagumkan. Tak pernah terdengar keluhan dari mulutnya. Bibirnya sampai berdarah darah karena ia menggigit gigitnya menahan rasa sakit yang kadang kadang merangsang dengan hebatnya.
Ia melakukan perjalanan sebagai seorang pengemis, mengisi perutnya dengan cara minta minta, bahkan kadang kadang mencuri. Tadinya memang berat sekali baginya untuk minta minta, apalagi mencuri.
Ketika untuk pertama kalinya, yaitu tiga hari kemudian semenjak melarikan diri, saking tak kuat menahan lapar ia mencoba untuk minta makan pada pintu rumah orang, ia dibentak bentak dan diusir. Ada yang memaki makinya, ada pula yang menyuruh anjing mengusirnya! Beng Han menuju ke sebuah restoran di mana banyak terdapat orang orang berpakaian mewah sedang makan minum.
Akan tetapi, belum juga mulutnya terbuka mengeluarkan suara, baru saja kedua kakinya sampai di ambang pintu, seorang tamu gendut yang menghadapi sepiring besar masakan ikan sebesar paha dan tadinya kelihatan berseri gembira, menjadi marah marah dan membentaknya,
"Pergi kau, jembel hina! Membikin jijik saja pada orang makan!"
Mendengar bentakan ini, para pelayan datang membawa tongkat dan mengusirnya setelah memberi pukulan beberapa kali pada kepalanya. Persis seperti orang mengusir anjing!
Sakit di hati Beng Han lebih hebat daripada rasa sakit di kepalanya ketika ia duduk di bawah pohon di pinggir jalan. Akan tetapi ia tidak putus asa. Mungkin orang tadi kebetulan sedang marah marah atau memang kebetulan ia bertemu dengan orang yang berhati kejam, pikirnya. Kalau aku bertemu dengan orang orang yang baik hati, seperti mendiang suhu dan suheng berdua yang tak pernah menolak seorang pengemis, tentu aku akan mendapat makan. Dengan pikiran ini Beng Han kembali pergi ke rumah makan lain. Melihat beberapa orang sedang makan di dekat jendela, ia lalu berkata penahan, "Mohon kasihan dan bantuan, sudah tiga hari saya tidak makan...."
Lima pasang mata menatapnya, disusul suara suara menyindir dan memaki.
"Anak malas! Kalau kau tidak mau bekerja, biar setahun kau takkan makan. Tak tahu malu, masih muda sudah mengemis. Hayo pergi, kuketok kepalamu nanti!"
Beng Han menundukkan mukanya dan pergi. Kerja...?"" Kalau ia bekerja kapan ia bisa sampai di Kui san" Karena hinaan dan ejekan inilah maka Beng Han lalu berlaku nekad, yaitu mencuri makanan! Dengan modal kepandaiannya yang ia dapat dari Koai Thian Cu dan Thian te Kiam ong, ia sudah lebih daripada orang orang biasa. Mencuri makanan dari pelayan pelayan restoran bagi nya mudah saja. Sekali sambar dan lari, para pelayan restoran tak seorangpun yang mampu mengejarnya. Andaikata ada yang dapat mengejarnya dengan kepandaiannya Beng Han dapat merobohkannya dan lari lagi.
Demikianlah, dengan cara mnta minta atau kalau perlu mencuri makanan, Beng Han dapat melanjutkan perjalanannya ke Kui san. Dengan bertanya tanya ia dapat mengetahui di mana letaknya gunung itu. Akan tetapi celakanya, keaadaan tubuhnya makin lama makin payah, biarpun mukanya kini sudah tidak bengkak bengkak lagi dan matang birunya sudah hilang akan tetapi rasa sakit pada leher dan dadanya makin menghebat.
Bekal pakaiannya telah di jualnya semua untuk makan, karena kadang kadang ia tidak mempunyai kesempatan untuk mencuri dan terpaksa menukar pakaian dengan makanan. Pakaian yang menempel ditubuhnya sudah kotor dan compang camping, sepatunya sudah dibuang karena sudah rusak semuanya. Beng Han benar benar nenjadi seorang jembel muda!
Pada suatu hari ia tiba di kota Liang ke. Kota ini berada di kaki gunung Kui san. Dari kota itu nampak gunung Kui San menjulang tinggi dan bentuknya seperti raksasa atau iblis yang menakutkan. Dari bawah saja sudah kelihatan bahwa gunung ini amat kaya akan hutan hutan liar dan amat sukar didaki. Akan tetapi ini semua tidak membikin gentar hati Beng Han, bahkan hatinya girang bukan main melihat gunung ini. Setelah melakukan perjalanan yang amat sengsara selama setengah tahun baru ia sampai di kaki gunung itu. Tubuhnya sudah menjadi kurus kering, bukan saja karena kurang makan, terutama sekali karena luka di dalam dadanya. Mukanya selalu pucat dan hanya sepasang matanya saja yang masih kelihatan hidup, bercahaya penuh semangat dan keberanian hidup.
Setelah bertanya tanya ia mendapat keterangan dari penduduk Liang ke yang ramah tamah. Memang ada sebuah menara kuno sekali di puncak Kui san, sebuah menara yang menurut dongeng dahulu pernah dipergunakan oleh Kiang Cu Ge (Seorang tokoh besar dalam dongeng Hong sin pong, yang mendapat kekuasaan sebagai pemberi pangkat kepada roh roh) untuk mengurung dan menghukum tiga ekor naga! Kemudian, menurut dongeng itu, datang Ji Lai Hud (Budha) membebaskan naga naga itu, dari hukuman mereka. Untuk tanda terima kasih, tiga ekor naga sakti itu lalu membuat sebuah patung Buddha daripada emas murni, ditaruh di dalam menara sebagai pujaan.
"Apakah sampai sekarang patung itu masih ada?" tanya Beng Han kepada kakek penjual kipas di pinggir jalan itu.
"Tentu saja masih ada, akan tetapi siapa yang dapat melihatnya" Gunung itu sendiri sudah amat sukar didaki, penuh jurang, hutan hutan liar dan belum lagi binatang binatang buas. Bahkan kabarnya masih ada ular besar seperti liong di dekat puncak. Setelah orang berhasil sampai disana misalnya, tetap saja percuma, karena tidak mungkin dapat memasuki menara, apalagi memanjat naik."
"Mengapa, lopek?"
"Pintu menara di sebelah dalam sampai ke atas berlapis tujuhbelas buah, semuanya dari baja yang amat kuat dan selalu terkunci rapat. Selama ini, di dalamnya kabarnya ada siluman siluman yang menjaganya, entah siluman entah pertapa pertapa, hal ini banyak yang menduga duga. Pendeknya, selama aku tinggal di sini sudah puluhan tahun, belum pernah aku mendengar ada orang bisa masuk ke dalam."
Hati Beng Han menjadi kecil mendengar ini. Bagaimana kalau dia sendiri tidak bisa masuk. Apakah waktu setengah tahun dibuang begitu saja secara sia sia" Hampir ia menangis mendengar penuturan itu, akan tetapi ia lalu menenteramkan hatinya. Tak mungkin. Suhu adalah Thian te Kiam ong, tak mungkin dia membohongiku. Kakek ini tanya berceritera karena mendengar dongeng dongeng yang tidak karuan ujung pangkalnya. Ingin sekali Beng Han kalau dapat terbang ke puncak gunung itu, akan tetapi tak dapat ia segera melakukan pendakian. Perutnya telah kosong semenjak kemarin. Selain harus diisi, juga dia harus membawa bekal, karena ia dapat menduga bahwa pendakian itu memerlukan waktu lama dan takkan mungkin ia mendapatkan makanan di tengah perjalanan itu.
Setelah menghaturkan terima kasih kepada kakek yang menganggapnya seorang jembel yang baru datang, ia lalu pergi menuju ke pasar di mana banyak terdapat warung warung nasi dan kedai kedai arak.
Ketika ia tiba di depan sebuah restoran besar yang penuh tamu, ia berhenti. Hidungnya kembang kempis ketika ia mencium bau masakan yang amat sedap sehingga beberapa kali menelan ludah.
"Aduh enaknya...." katanya perlahan. Timbul pikirannya untuk merasakan masakan yang amat enak baunya ini. Kalau ia mengemis di sini, tak mungkin ia akan mendapatkan masakan yang baunya membuat ia makin lapar itu. Paling paling hanya akan mendapat makanan makanan bekas atau makanan basi. Jalan satu satunya untuk dapat merasai masakan itu hanya satu, mencuri!
Cepat bagaikan seekor kucing ia menyelinap dan pura pura mencari sisa sisa makanan di belakang restoran itu. Ia mendengar seorang yang suaranya parau membentak bentak pelayan, "Hayo cepat bawa bebek panggang itu ke sini! Aku sudah lapar!"
Yang bicara itu adalah seorang hwesio gundul yang gemuk sekali. Di atas meja di depannya sudah nampak piring piring bekas yang sudah kosong, dan ia tengah makan sepiring mie yang banyak sekali. Di sudut kiri terdapat guci arak besar. Benar benar aneh sekali melihat seorang hwesio makan minum dalam restoran!
Pelayan cepat cepat membawa bebek panggang yang baunya membuat mulut Beng Han berliur tadi, dari dapur hendak dibawa ke meja hwesio itu. Bebek itu masih kelihatan utuh berikut kepalanya, seperti bebek tak berbulu sedang duduk di atas piring yang diletakkan di atas penampan lebar. Kulit bebek itu merah kekuningan masih mengebul hangat dan kelihatan menantang setiap orang kelaparan!
Beng Han menyelinap maju dan sekali melompat dari belakang telah dapat menyambar bebek itu dan dibawanya lari. Gerakannya cukup cepat dan gesit sehingga pelayan itu sana sekali tidak merasa! Setelah ia tiba di dekat meja si gundul dan menurunkan baki dari pundaknya, baru ia melongo melihat piring telah kosong, bebek sudah lenyap.
"Mana bebek panggangnya?" hwesio itu membentak sambil menggebrak meja.
Pelayan itu bengong seketika, lalu menjawab gagap.
"Tadi.... tadi bebek itu.... ada.... duduk di piring.... sekarang.... .. apa dia terbang pergi?"
Hwesio itu mengereng seperti harimau, bangkit berdiri dengan kasar sampai bangku yang di dudukinya terpelanting kemudian sekali ia menendang tubuh pelayan itu melayang seperti bebek terbang Tubuh pelayan itu melayang dan hendak jatuh menimpa meja penuh hidangan di mana seorang tosu beserta dua orang laki laki gagah sedang duduk makan minum. Tosu itu mengibaskan ujung lengan bajunya dan.... tubuh pelayan itu terbang balik seperti bola ditendang kembali ke tempat hwesio itu.
"Bagus!" Hwesio gemuk berseru sambil melirik ke arah tosu, dan sekali ia mengulur tangan ia telah menjambak leher baju pelayan tadi.
"Hayo bilang sungguh sungguh, ke mana perginya bebek panggangku?"
"Ampun.... losuhu.... ampun. Sesungguhnya tadi aku sudah membawanya dari dapur. Entah bagaimana dia bisa.... terbang "."
Hwesio itu melempar pandang ke arah meja tosu tadi dengan curiga ia tidak melihat ada bebek panggang di situ. Lalu sepasang matanya yang besar besar itu memandang keluar restoran. Tiba tiba ia berkata.
"Aku sudah melihat pencurinya, Hayo sediakan lagi bebek panggang lain, aku hendak menangkap pencuri cilik itu." Dengan langkah lebar ia meninggalkan restoran itu langsung mengejar Beng Han yang berlari lari kecil sambil mengggerogoti bebek panggang.
"Pencuri, kau hendak lari ke mana?"
Beng Han kaget sekali, apalagi ketika tiba tiba saja pundaknya dipegang orang dan tubuhnya diputar sehinga ia menghadapi seorang hwesio gemuk dan bermuka menyeramkan.
"Kau mencuri bebek panggangku!" bentak hwesio itu marah.
"Maaf losuhu, teecu, merasa lapar sekali dan bau bebek panggang itu membuat teecu tak dapat menahan keinginan hati lagi. Harap losuhu sudi memaafkan. Kalau teecu tahu nama besar losuhu, kelak kalau ada rejeki teecu akan mengundang suhu dan menjamu seratus ekor bebek panggung sebagai gantinya."
Mendengar ini, tiba tiba hwesio itu tertawa bergelak.
"Ha, ha. ha, ha, kau serigala cilik! Kau tentu murid orang pandai. Siapa gurumu?"
Melihat keadaan hweesio ini, tahulah Beng Han bahwa ia berhadapan dengan seorang berilmu, maka ia tidak berani membohong "Teccu adalah murid dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam." Ucapan ini ia keluarkan dengan suara bangga.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba tiba hwesio itu kelihatan beringas, matanya terbeliak dan lain saat tubuh Beng Han telah dilemparkan ke atas. Tenaga lemparan ini demikian hebatnya sehingga tubuh anak itu melayang dan jatuh di puncak wuwungan rumah yang amat tinggi! Beng Han memegangi balok melintang di dekat wuwungan, dipegangnya erat erat karena takut kalau jatuh ke bawah. Bebek panggang yang baru dimakan sedikit itu entah terlempar ke mana.
"Ha, ha, ha, kau murid Thian te Kiam ong" Biar kautunggu suhumu di sana untuk menurunkanmu. Ha, ha, ha!" Hwesio gemuk itu berjalan kekenyangan kembali ke rumah makan.
Biarpun keadaan Beng Han begitu tak berdaya dan berbahaya, anak itu tetap tidak mau berteriak teriak minta tolong. Orang orang yang melihat kejadian ini hanya berkerumun di pinggir jalan menuding nuding ke atas dan sebagian ribut ribut menceriterakan kepada pendatang pendatang baru bahwa anak itu adalah seorang jembel yang mencuri bebek panggang dan dihajar oleh seorang hwesio lihai.
Beng Han yang sudah lemas tubuhnya itu tentu sebentar lagi akan jatuh ke bawah dan akan patah patah tulangnya karena ia sudah hampir tidak kuat mempertahankan diri. Kedua tengahnya yang memeluk balok itu sudah gemetar kelelahan dan ia sudah memejamkan kedua mata untuk menghadapi kematian.
Tiba tiba pada saat itu berkelebat bayangan putih dan tahu tahu Beng Han sudah direnggut orang. Para penonton di jalan mengeluarkan seru kagum melihat seorang kakek tua melayang ke atas seperti seekor burung garuda, kemudian dengan mudahnya menyambar tubuh Beng Han, menjejakkan kaki ke wuwungan dan melompat kembali ke bawah membawa tubuh pengemis cilik itu.
Ketika Beng Han memandang, ternyata yang menolongnya adalah seorang tosu tua yang ia tadi tidak melihat telah lama duduk bersama dua orang muda gagah di dalam restoran. Melihat tosu tua ini, segera Beng Han mengenalnya karena tosu itu bukan lain adalah Pat pi Locu, tosu Tibet lihai yang pernah mengunjungi Tit le dengan maksud menantang pibu (mengadu kepandaian) Thian te Kiam ong akan tetapi karena kakek sakti itu telah meninggal, lalu menyerang makam dan bertempur melawan Song Tek Hong dan Song Siauw Yang. Melihat orang yang memusuhi keluarga Song ini, Beng Han yang tadinya hendak menghaturkan terima kasih, menelan kembali kata katanya dan memandang dengan mata tajam terbelalak.
"Ha, ha, ha, anak baik, kita saling berjumpa pula di sini. Kau hendak kemanakah?"
Biarpun tidak suka kepada tosu ini, karena merasa bahwa dirinya sudah ditolong dari bahaya maut, Beng Han merasa tidak enak kalau tidak menjawab sejujurnya. Tidak menghaturkan terima kasih atas pertolongan tadi kiranya sudah cukup memperlihatkan rasa tidak sukanya kepada Pat pi Lo cu. Kalau ia tidak mau menjawab penanyaan yang diajukan dengan ramah, ia anggap kurang ajar.
"Aku hendak pergi ke gunung itu." katanya sambil menatar tubuh dan menudingkan telunjuk nya ke arah Kui san yang nampak puncaknya dari tempat itu.
Sementara itu, dua orang gagah yang tadi duduk makan minum bersama Pat pi Lo cu sudah sampai di situ pula. Beng Han juga mengenai mereka, bukan lain dua orang murid Pat pi Lo cu yang mukanya sama benar, dua saudara kembar See thian Siang cu Ma Thian dan Ma Kian, yang pernah bertempur melawan Kong Hwat dan Bi Hui.
"Hendak ke Kui san?" Pat pi Lo cu mendesak dengan penuh perhatian. Beng Han mengangguk.
"Heran, kau pergi ke gunung liar itu hendak mengunjungi siapakah?"
Beng Han mulai tak senang. Kakek ini keterlaluan, pikirnya, mendesak desak dan ingin tahu urusan orang. Tentu saja tak mungkin ia mau menceriterakan tentang niatnya yang dirahasiakan.
"Aku hendak pergi ke Kim hud tah di puncak gunung itu dan selanjutnya harap totiang tidak banyak tanya tanya lagi karena totiang tidak ada sangkut pautnya dengan urusanku."
Pat pi Lo cu bertukar pandang dengan kedua orang muridnya kemudian ia tertawa tawa dan berkata, "Aha, jadi kau hendak ke Kim hud tah" Eh, anak baik, siapakah yang menyuruhmu kasana" Tentu Thian te Kiam ong yang mengutusmu, bukan?"
Beng Han makin mendongkol. Kakek Tibet ini sudah tahu bahwa suhunya telah meninggal dunia, bahkan kakek ini melihat pula makamnya. Bagaimana sekarang masih pura pura bertanya bahwa dia diutus oleh Thian te Kiam ong" Mengingat ini, ia berkata mendongkol, setengah menyindir, "Benar, guruku menyuruh aku ke sana."
Wajah Pat pi Lo cu berseri "Bagus! Sudah kuduga! Memang Thian te Kiam ong tukang membohong dan menipu. Peti mati itu tentu kosong dan orangnya masih hidup! Jadi dia juga hendak datang ke Kim hud tah dan kau disuruh mengamat amati lebih dulu dan disuruh menanti di sana?"
Karuan saja hati Beng Han menjadi makin gemas. Gilakah tosu ini" Atau sengaja hendak mempermainkan dia" Baik, diapun akan main main terus!
"Memang begitulah kiranya...." jawabnya, lalu dilanjutkan, "dan kalau nanti suhu melihat kau menggangguku terus, aku tidak bertanggung jawab untuk keselamatanmu, totiang."
Pat pi Lo cu tertawa lagi, nampaknya gembira betul.
"Siapa mau mengganggumu" Aku bahkau hendak mempermudah tugasmu. Kalau kau naik sendiri ke Kui san, kiranya baru sampai di tengah jalan saja kau akan diterkam harimau. Lebih baik mari ikut dengan kami. Kita sama sama menanti munculnya Thian te Kim ong di sana." Sebelum Beng Han sempat menjawab, lengannya sudah disambar oleh Pat pi Lo cu dan di lain saat ia telah dibawa lari seperti terbang cepatnya menuju ke Gunung Kui san!
Mula mula Beng Han terkejut dan menyesal. Mengapa dia mempermainkan kakek ini, akan tetapi ketika melihat betapa sukar perjalanan mendaki bukit Kui san itu, diam diam ia merasa girang. Memang betul andaikata dia harus mendaki sendiri, belum tentu ia akan sanggup. Apalagi di seranjang jalan banyak ia melihat binatang binatang buas yang tidak berani berbuat sesuatu terhadap Pat pi Lo cu dan dua orang muridnya yang dapat bergerak secepat kijang itu.
Betapapun cepatnya Pat pi Lo cu dan dua orang muridnya mempergunakan ilmu lari cepat berlari mendaki Kui san tetap saja gunung yang penuh jurang dan hutan liar itu tak mudah begitu saja mereka daki dan setelah hari menjadi gelap barulah mereka tiba di puncak, di mana terdapat sebuah menara di dalam taman bunga yang amat indahnya. Menara itu menjulang tinggi seperti raksasa aneh, merupakan pagoda besar bertingkat tujuhbelas, terbuat daripada batu batu putih yang keras.
Pat pi Lo cu menurunkan Beng Han dan mereka duduk di atas batu batu putih yang banyak terdapat di taman itu seperti bangku bangku yang enak diduduki karena licin dan halus permukaannya. See thian Siang cu mengeluarkan buntalan makanan dan mereka mulai makan kue kering dan minum arak. Beng Han juga ditawari dan anak yang kelaparan ini tanpa sungkan sungkan lalu makan sekenyangnya karena persediaan kue kering itu memang cukup banyak. Beng Han tidak biasa minum arak wangi maka setelah habis lima cawan, anak ini menjadi merah mukanya dan segala apa terputar putar di depan mukanya. Akan tetapi, tetap saja pikirannya terang dan sadar sehingga bicaranya tidak mengacau.
"Anak baik, kau bilang kapankah gurumu itu akan tiba di sini?"
"Aku tidak pernah bilang kapan dia datang di sini," jawab Beng Han, suaranya lantang dan berkumandang di dalam taman yang dikelilingi pohon kembang itu.
Jago Kelana 3 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Lembah Nirmala 29
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama