Ceritasilat Novel Online

Makam Bunga Mawar 2

Makam Bunga Mawar Karya Opa Bagian 2


bayangan orang itu tadi. Tetapi ketika masih terpisah sejarak
kira-kira sepuluh tombak dengan orang itu tadi, matanya dapat
menyaksikan bahwa orang brewok berbaju kuning tadi,
tubuhnya sudah melesat sejauh lima enam tombak lagi, orang
itu melayang turun ke dalam sungai dengan ilmunya
meringankan tubuh yang luar biasa, ternyata berhasil
menyeberangi sungai dengan menginjakkan kakinya di atas
air. Hee Thian Siang yang menyaksikan kejadian itu semakin
kagum. Ilmunya meringankan tubuh orang itu, ia tahu bahwa
ia sendiri tentu tidak berhasil mengejarnya, terpaksa berdiri di
tepi sungai dengan mulut menganga memandang berlalunya
orang tadi, dari jauh samar-samar ia dengar orang tadi
mengeluarkan suara nyanyian dari mulutnya.
Nyanyian yang keluar dari mulut orang tadi adalah sebuah
syair dari pujangga Lie Gie Sa di jaman Tong. Ia tahu bahwa
orang tadi menyanyikan syair tersebut, pasti mengandung
maksud dalam, tetapi sesaat itu bagaimana is ada
kesempatan untuk mempelajari arti dan maksud orang tadi "
Setelah berdiri termangu mangu sekian lama, tiba-tiba ia
teringat bahwa orang berewokan tadi, karena merupakan
salah seorang kuat dalam rimba persilatan, sebagai seorang
tokoh kenamaan, tadi ia sudah berjanji kepadanya, asal ia
sanggup meminum habis sepoci araknya, ia akan
memberitahukan dimana pendekar pemabokan itu berada,
ucapannya itu tentunya tidak akan diingkari begitu saja.
Oleh karena berpikir demikian, maka ia segera berjalan
menuju ke tepi sungai dimana orang tadi pernah berlalu,
mungkin di situ ada peninggalan tulisan olehnya.
He Thian San wujudkan pikirannya itu, jarak sepuluh
tombak itu dengan cepat sudah dicapai olehnya, benar saja
seperti apa yang ia duga, diatas sebuah batu di tepi sungai
terdapat tulisan yang ditulis dengan jari tangan, tulisan itu
berbunyi: "BESOK MALAM KIRA KIRA JAM SATU, HARAP
DATANG KEBAWAH JEMBATAN DEWA DIBUKIT KING
BUN SAN!" Mengenai tempat-tempat kreasi di kota itu, ia pernah
diceritakan oleh Lam-kiong How, maka ia tahu tempat yang
disebut King Bun San tadi, letaknya ialah di sebelah Timur laut
kota Gie-ciang. Oleh karena dinyatakan tegas jamnya dan tempatnya,
maka segera dimengerti olehnya, tapi pada saat itu arak
didalam perutnya mula bekerja, ditambah lagi dengan tiupan
angin ditepi sungai, arak itu bekerja semakin keras, sehingga
ia tidak sanggup mempertahankan dirinya lagi, maka lalu
rebahkan diri diatas batu dimana terdapat tulisan jari tangan
lelaki berewokan tadi. Tak lama kemudian, ia lantas tidur pulas, Ketika ia
mendusin, ternyata sudah esok harinya hampir tengah hari,
maka ia buru-buru meninggalkan tempat tersebut untuk
mencari barang hidangan untuk mengisi perutnya, kemudian
pergi mencari sewaan perahu, Diwaktu sore hari itu juga ia
lantas melakukan perjalanan ke tempat yang dituju, maka
malam itu juga ia sudah sampai di bawah jembatan dewa
yang letaknya di gunung King Bun San.
Di luar dugaannya, ketika ia tiba ditempat yang dijanjikan,
lelaki berewokan yang tadi malam mengenakan pakaian
kuning, ternyata sudah tiba lebih dahulu, saat itu ia sedang
duduk seorang diri, dua tangannya dibalikkan ke belakang,
matanya memandang jauh. Hee Thian Siang yang beberapa kali menyaksikan
kepandaian ilmu meringankan tubuh orang itu, dalam hati
sudah merasa sangat kagum, maka ia segera menjura dan
berkata sambil tersenyum.
"Kepandaian ilmu meringankan tubuh Lo-cianpwee benarbenar merupakan seorang yang sukar dicari tandingannya. . "
Belum lagi habis ucapannya, orang aneh itu sudah
menatapnya dan berkata sambil tertawa, sambil
menggelengkan kepala: "Bocah, kau jangan pura pura berlaku
menghormat kepadaku, asal usulmu ini sangat aneh, kau
murid Thian-gwa Ceng-mo Tiong-sun Song, ataukah muridnya
Pak-bin Sin-po Hong-poh Cui ?"
Ditanya demikian, Hee Thian siang sesaat tercengang,
sedang orang aneh itu berkata pula sambil tertawa: "Di
badanmu menyimpan bom senjata peledak Kian-thian Pek-lek
dan Sam-ciok Kian Hwan, seharusnya kau adalah muridnya
Pak-bin Sin-po, akan tetapi dengan cara bagaimana pula kau
masih memiliki salah satu benda pusaka Tiong-sun0song
yang dinamakan jala sutera warna merah darah ". . "
Mendengar pertanyaan itu Hee Thian Siang lalu sadar
bahwa tadi malam waktu ia mabok dan tidur di tepi sungai,
sekujur badannya pasti sudah diperiksa oleh orang aneh itu,
seandainya orang aneh itu mengandung maksud jahat, bukan
saja barang-barang pusakanya sudah hilang semua, bahkan
mungkin jiwanya sendiri juga akan melayang begitu saja,
berpikir sampai di situ, ia mula merasa bergidik menghadapi
kejahatan dan kebahayaan dunia Kang-ouw, maka ia harus
berlaku hati-hati, sedikitpun tidak boleh lalai !
Sementara itu orang aneh itu sudah melanjutkan kata
katanya lagi sambil tetawa:
"Dalam badanmu kecuali dua macam benda pusaka yang
berlainan asalnya, yang lebih mengejutkan aku ternyata masih
ada sebuah benda yang jauh lebih berharga daripada senjata
Kian-Thain Pek-lek dan jala merah darah itu !"
Hee Thian Siang semula tidak mengerti, tetapi setelah
berpikir sejenak, lalu tersadar, maka ia lantas bertanya sambil
tersenyum: "Yang Locianpwe maksudkan apakah sebuah lambang
kepercayaan bunga mawar yang terbuat dari batu giok warna
ungu itu ?" Orang aneh berbaju kuning itu kembali dengan sinar mata
tajam menatap Hee Thian Siang sekian lama, kemudian
berkata lambat-lambat sambil menganggukkan kepala:
"Lambang bunga mawar ungu, senjata peledak, dan jala
sutera warna merah, ditambah lagi dengan kipas bambu
pemberianku tadi, kau sesungguhnya satu satunya orang
yang paling beruntung, dengan seorang diri kau memiliki
empat benda pusaka yang jarang ada di rimba persilatan, hal
ini sesungguhnya merupakan suatu kejadian yang belum
pernah terjadi sebelumnya. Sekalipun ketua-ketua delapan
partai besar rimba persilatan dewasa ini, jikalau ketemu
padamu, mereka juga akan perlakukan kau dengan sangat
hormat tidak berani berlaku congkak !"
Hee Thain Siang kini baru tahu, bahwa kipas bambu itu
oleh orang tersebut sudah dihadiahkan kepadanya. Tentang
empat benda pusaka rimba persilatan itu kecuali bom peledak
Kian-thian pek-lek milik gurunya dan jala sutera warna merah
pemberian Hwa Ji Swat, karena ia sudah pernah
diberitahukan bagaimana cara menggunakannya, maka ia
sudah tahu. Hanya kipas pemberian ornag aneh itu dan
lambang bunga mawar warna ungu yang dipuji sangat tinggi
oleh orang aneh itu, bagaimana cara menggunakannya, ia
sedikitpun tidak mengerti.
Karena mendapat hadiah benda pusaka itu dalam
kegirangannya Hee Thian Siang buru buru mengucapkan
terima-kasih lebih dulu kepada orang aneh itu, dan selagi
hendak menanyakan nama dan asal usulnya serta gunanya
kipas dan lambang bunga mawar itu, orang aneh itu dengan
tiba-tiba pasang telinganya kemudian berkata dengan suara
pelahan kepadanya: "Empat jago wanita dari golongan Ngo-bi-pay sudah tiba,
tak lama lagi Bo Bu Ju juga akan datang! Oleh karena sesuatu
sebab aku perlu menyingkir lebih dahulu: kau boleh sembunyi
di atas pohon cemara besar yang daunnya rindang itu untuk
menyaksikan keramaian. Dan kau harus waspada, apabila Bo
Bu JU dalam keadaan terjepit benar-benar, kau boleh segera
unjuk diri dengan mengeluarkan salah satu benda pusaka
yang kau miliki, kau boleh berkata kepada mereka bahwa
Hong-tim Ong-hek Mai-ceng Ong katanya sedang melakukan
perjalanan ke gunung Ngo-bie-san, katakan saja bahwa Maiceng-ong akan mengambil benda pusaka keturunan Ngo-biepay yang disimpan didalam kuil Khu-leng To-koanmo. Benda
pusaka itu adalah kitab ilmu pedang Thuan-hiam Kiam-pho.
Barangkali saja dengan ucapanmu itu, kau dapat menolong
Bo Bu Ju dari kesulitannya !?"
Sehabis mengucapkan perkataan yang terakhir, orangnya
sudah melayang ke jembatan dewa, sedang Hee Thian Siang
sendiri pada waktu itu juga sudah mendengar berkibarnya
baju, maka buru-buru ia lompat melesat ke sebuah pohon
cemara yang ditunjuk oleh orang aneh tadi. Di bawah sinar
bulan purnama ia dapat menyaksikan keadaan di bawah,
sedangkan dirinya tak dapat dilihat orang-orang yang berada
di bawahnya. Bagi setiap orang rimba persilatan, hampir semua tahu
tokoh-tokoh kuat kenamaan dari delapan partai besar,
khususnya mengenai partai Ng-bie-pay sejak berdirinya,
seperti biasa pada keadaan partai-partai, partai itu juga
mengalami pasang surut. Selama itu baru sekarang inilah
partai itu mulai menanjak lagi pamornya. Partai itu sekarang di
bawah pimpinan lima persaudaraan, pimpinan partai adalah
yang tertua dari lima saudara itu, julukannya Hian Hian Sianlo, empat uang lainnya terdiri dari golongan pendeta wanita
atau biasa, usia mereka berbeda jauh, tetapi kekuatan dan
kepandaian silat hampir berimbang, terutama yang termuda;
ilmu pedangnya hebat sekali. Dalam kalangan Kang-ouw
empat persaudaraan kaum wanita itu merupakan empat jago
wanita golongan Ngo-bie. Ilmu silat mereka yang berujud
barisan yang dinamakan Susiang-tui-hun-kiam-tin, sejak
diciptakannya jarang sekali menemukan tandingan!
Ditambah lagi dengan kebiasaan dalam kalangan Kangouw yang suka mengalah terhadap kaum wanita, kalau tidak
bermusuhan terlalu dalam, kebanyakan suka menghindari
pertempuran dengan demikian maka lama kelamaan, Hian
Hian Sian-lo dan nama julukan empat jago wanita golongan
Ngo-bi, hampir merupakan orang-orang delapan partai besar
rimba persilatan. Maka ketika Hee Thian Siang mendapat kabar bahwa
orang yang datang itu adalah empat jago wanita dari golongan
Ngo-bi, diam-diam juga mengerutkan alisnya. Ia tidak berani
bernapas sama sekali ditempat persembunyiannya, ia juga
ingin menyaksikan bagaimana wanita kuat dari golongan
rimba persilatan yang sudah lama didengar namanya tapi
belum pernah melihat orangnya, sebetulnya bagaimana
mereka benar bermusuhan dengan pendekar pemabokan ?"
Baru saja ia menyembunyikan dirinya, empat sosok
bayangan wanita, bagaikan terbang melayang ke puncak
gunung, empat bayangan wanita itu mengenakan pakaian dari
golongan wanita biasa dan pendeta, sedang di punggung
mereka masing masing menyoren sebilah pedang empat
wanita itu dua dari golongan pendeta dan dua dari golongan
biasa, akan tetapi usia mereka satu sama lain terpaut sangat
jauh, Yang paling tua merupakan seorang pendeta wanita
yang rambutnya sudah putih semuanya, usianya mungkin
sudah mencapai delapan puluh lebih, sedang yang termuda
merupakan seorang gadis yang usianya kira-kira enam-belas
tahun dan berpakaian seperti biasa, sedang yang lainnya yang
satu berpakaian seperti pendeta, usianya sekitar empat
puluhan tahun, yang lain usianya kira-kira dua-puluhan tahun,
wanita ini parasnya cantik sekali.
Empat jago wanita dari golongan Ngo-bi itu berdiri di
puncak gunung, mata mereka menyapu keadaan sekitarnya,
wanita yang tertua lalu membuka suara:
"Sumoay bertiga, Bo Bu Ju sekarang masih belum tiba,
sebentar kalau ia datang kita jangan sungkan-sungkan lagi,
masing-masing harus berusaha sekuat tenaga, jangan
membiarkan setan pemabukan itu lolos dari barisan Susiangtui-bun-kiam. Salam seorang sumoaynya, ialah pendeta wanita setengah
umur, agaknya merupakan wanita yang sifatnya paling keras
diantara saudara saudaranya, ketika mendengar perkataan
itu, sepasang alisnya lantas berdiri dan berkata dengan nada
suara dingin: "Kee-kia sampai menjadi tercacat, semua itu
karena gara-gara sepatah ucapan setan pemabokan itu, maka
malam ini kupikir kita juga harus dapat memotong sebelah
kakinya, barulah merasa puas, kemudian baru mencari
perempuan genit itu untuk membuat perhitungan ! Tetapi Sucie juga jangan pandang terlalu tinggi kepada Bo Bu Ju, di
bawah ilmu pedangku, dia masih tidak sanggup bertahan
seratus jurus, mengapa masih perlu menggunakan barisan
pedang kita uang terampuh itu ?"
Wanita uang agak muda ketika mendengar ucapan itu
alisnya bergerak, selagi hendak bicara tiba-tiba terdengar
suara orang tertawa, yang datang dari tempat agak jauh.
Pendeta wanita berambut putih lalu berkata sambil
mengeluarkan tangannya: "Sebentar lagi, tidak perduli dengan cara bagaimana kita
sekarang lebih dahulu berdiri di empat penjuru menurut bentuk
barisan se siang tui-hun kiam-tin."
Setelah itu mereka berempat lalu berpencaran masingmasing berdiri di empat penjuru.
Dari kata-kata mereka itu, Hee Thian Siang sudah
mendapat dengar dengan jelas, entah apa sebabnya
pendekar Pemabukan Bo Bu Ju hanya dengan sepatah kata
saja telah membuat cacat diri seseorang, dan orang itu justru
ada hubungan erat dengan wanita cantik dari empat jago
wanita golongan Ngo-bi, hingga mengakibatkan pertemuan
malam ini. Tetapi tentang diri perempuan genit yang diucapkan oleh
pendeta wanita itu, ia belum dapat memastikan dengan tegas;
wanita yang dimaksudkan olehnya itu, apakah Tho-hwa niocu
Kiu Liu Hiang, yang ia pernah bertemu muka di daerah
gunung Bu-san belum lama berselang "
Apabila urusan ini ada hubungannya dengan perempuan
itu, bukanlah akan menjadi ramai "
Berpikir sampai di situ, tampak olehnya sesosok bayangan
orang dari atas puncak gunung, melayang turun ke bawah.
Bayangan orang itu ternyata adalah seorang berwajah bersih
berusia kira-kira empat-puluh tahun, sedang di pinggangnya


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tergantung sebuah buli-buli arak berwarna merah.
Begitu tiba di hadapan empat jago wanita, matanya
menyapu mereka sejenak, kemudian menyoja memberi
hormat, dan berkata sambil tertawa terbahak bahak:
"Bo Bu Ju sedang minum arak dirumah makan Kim-hoklauw tiba tiba mendapat panggilan dari empat jago wanita
golongan Ngo-bi, sehingga aku harus perlu datang ke atas
puncak gunung King-bun-san, dengan tergesa gesa, entah
lantaran urusan Wie Kee Kie dari golonganmu yang dipotong
sebelah kakinya oleh Tho-hwa Niocu Kiu Liu Hiang dari Ki
Lian-san, ataukah ada urusan lain ?"
Wanita cantik berpakaian biasa, segera bertanya dengan
nada suara dingin: "Bo Bu Ju, tahukan kau bahwa dalam dunia Kang-ouw ada
suatu kebiasaan yang menetapkan bahwa hutang jiwa harus
bayar jiwa, hutang uang harus bayar uang ?"
Pendekar pemabukan menjawab sambil tertawa dan
memberi hormat: "Nona Seng Siu cie. . "
Baru saja mengeluarkan ucapan itu, sudah dipotong oleh
saudara termuda dari empat jago wanita itu:
"Bo Bu Ju, kau juga terhitung seorang kesatria pada
dewasa ini, mengapa kau tidak tahu tentang kebiasaan dalam
dunia Kang-ouw itu " Apakah kau perlu menunggu aku Koh
Siu In ini turun tangan dulu barulah menyerahkan sebelah
paha kananmu ?" Mendengar ucapan itu Bo Bu Ju tercengang, tetapi ia
segera menjawab sambil tertawa:
"Nona nona, harap kalian jangan salah paham, jikalau
kalian menyebut hutang darah dibayar darah, kalian
seharusnya berkunjung ke gunung Kie-lian san, kalian harus
perhitungkan dengan raja setan Tong Kie si malaikat maut
Gouw Eng dan Tho-hwa Niocu Kie Liu Hiang, justru merekalah
yang melakukan penganiayaan terhadap Wie Kee Kie."
Pendeta yang berdiri disebelah Selatan lalu berkata sambil
tertawa dingin: "Tong Kie, Gouw Eng Kie Liu Hiang memang merupakan
orang penting dalam peristiwa ini, tetapi kau Bo Bu Ju biang
keladinya ! Jikalau bukan lantaran kau yang banyak mulut
mengatakan bahwa Kie Liu Hiang itu adalah perempuan cantik
genit yang tak ada tandingannya, serta memiliki daya sex luar
biasa yang dapat memikat kaum lelaki sehingga lelaki yang
berdekatan dengannya hampir tidak berdaya; sudah tentu Wie
Samtee tidak akan pergi berkunjung ke gunung Ki-lian-san
yang mengakibatkan kehilangan sebelah paha kanannya !"
Pendekar pemabukan juga menjawab sambil tertawa
dingin: "Siu-wan Tokow, dalam urusan ini bukan sengaja aku
hendak mencelakakan orang lain, hanya secara iseng aku
membicarakan beberapa wanita-wanita rimba persilatan yang
paling genit, pada dewasa ini, dalam pembicaraan dengan
sahabatku itu, aku bahkan peringatkan bahwa beberapa
perempuan genit itu yang sudah banyak melakukan kejahatan,
perlu segera dilenyapkan dari rimba persilatan supaya tidak
akan membawa korban lebih banyak. Waktu itu Wie Kee Kie
yang sedang mendengarkan pembicaraan tersebut tiba-tiba
timbul pikirannya ingin belajar kenal dengan perempuan genit
itu, barulah ia melakukan perjalanan jauh ke gunung Ki-liansan, jadi dalam hal ini adalah ia sendiri yang mencari
penyakit. . " Belum habis ucapannya, Seng Siu Cie yang cantik itu,
dengan cepat menghunus pedangnya, dan berkata sambil
menudingkan pedangnya: "Bo Bu Ju kau jangan menuduh orang sembarangan
suamiku itu bukanlah orang sebangsa hidung belang, dia pergi
ke gunung Ki Lian san maksudnya ialah hendak
menyingkirkan perempuan genit itu, bukanlah karena tertarik
oleh kecantikan atau kegenitannya, sebelah kaki kanannya,
karena ucapanmu itu sehingga harus dikorbankan. Malam ini
jikalau kau tidak membayar hutang dengan memotong sendiri
pahamu, lekas hunus pedangmu, sambutlah pedang golongan
Ngo-bi sampai seratus jurus ! "
Bo Bu Ju yang mempunyai pengalaman sangat luas dalam
dunia Kang-ouw sudah tentu mengetahui bahwa empat jago
wanita dari golongan Ngo-bi itu semuanya memiliki sifat
sombong dan keras kepala, maka urusan malam ini tentu tidak
dapat diselesaikan dengan baik, ia terpaksa berkata sambil
tertawa terbahak bahak: "Seratus jurus ilmu pedang golongan Ngo-bi belum tentu
dapat memotong sebelah pahaku, jikalau kalian ingin
memuaskan hati, sebaiknya mengeluarkan ilmu silat Su-siang
Tui-hun-kiam-tin yang dimainkan oleh kalian berempat itu !"
Seng Siu cie yang mendengar perkataan itu semakin
marah, hingga wajahnya pucat pasi, ia berpaling dan berkata
kepada pendeta wanita rambut putih yang merupakan Toa
suci-nya. "Suci, dalam seratus jurus apabila sumoay tidak berhasil
memotong sebelah paha Bo Bu Ju aku nanti akan habiskan
jiwaku sendiri dengan melompat ke dalam sungai Tiangkang
dri puncak gunung ini, kau dengan sam-suci dan siao-suci
cukup menjaga saja dengan sampai orang ini melarikan diri,
jangan sekali kali kau menjadi buah tertawaannya karena
mengandalkan jumlah orangnya yang banyak, sehingga
merendahkan derajat Ngo-bi-pay !"
Dari empat jago wanita itu, yang paling mahir ilmu
pedangnya, adalah saudara termuda Hok Siu In, Seng Siu cie
merupakan orang kedua, dalam seratus jurus, rasanya cukup
untuk menundukkan lawannya, maka pendeta wanita
berambut putih itu lalu menganggukkan kepala dan
memerintahkan yang lainnya bersiap siap menghunus
pedangnya, sedangkan Seng Siu cie dengan pedang
melintang pelahan-lahan masuk ke dalam kalangan, tiga yang
lainnya berdiri di luar kalangan untuk menjaga kaburnya
pendekar pemabukan. Pendekar pemabukan Bo Bu Ju dengan mengerutkan
alisnya, berdiri sambil mengerahkan seluruh kekuatan
tenaganya. Seng Siu Cie yang menyaksikan keadaan demikian, lalu
berhenti dan bertanya: "Bo Bu Ju, dimana senjatamu ?"
Sepasang mata pendekar pemabukan dengan tiba-tiba
dibuka lebar, dengan sinar mata yang tajam, ia menatap
wajah Seng Siu Cia, kemudian berkata sambil tertawa
terbahak bahak: "Bo Bu Ju hanya mengandalkan keberaniannya, untuk
bekal berkelana di seluruh negeri, aku selamanya tidak pernah
membawa senjata !" "Setan pemabukan yang tidak tahu diri, jikalau kau
berkelahi dengan tangan kosong, barangkali belum sampai
setengahnya dari seratus jurus, jiwamu sudah melayang di
bawah pedangku !" berkata Seng Siu Cie dengan suara keras.
Sehabis berkata, ia segera membuka serangannya dengan
ilmu pedangnya yang terampuh.
Hee Thian Siang yang menyaksikan dari tempat
sembunyinya, diam-diam juga mengakui ilmu pedang luar
biasa wanita itu, ia pikir jikalau ia sendiri yang menghadapi
barangkali belum tentu dapat mengimbangi dengan baik.
Dalam anggapannya, ilmu pedang empat persaudaraan itu
mungkin hanya yang termuda yang ia dapat menghadapinya,
akan tetapi dugaan pemuda itu ternyata keliru jauh sekali,
karena diantara empat saudara seperguruan itu, hanya yang
termuda itulah yang ilmu pedangnya yang paling tinggi, justru
karena anggapan yang keliru itu, maka di kemudian hari ia
hampir celaka di tangannya Hok Siu In !
Pendekar pemabukan tahu benar bahwa sendiri barangkali
belum sanggup melawan Si Siu cie yang memiliki ilmu pedang
sangat tinggi itu, akan tetapi karena urusan sudah berubah
begitu rupa, mau tak mau ia harus menghadapinya dengan
seluruh kekuatan yang ada. Di bawah serangan gencar wanita
itu, hanya dengan mengandalkan sepasang tangan kosong
dan gerakan yang sangat lincah untuk menghindarkan
serangan tersebut. Hee Thian Siang telah mengetahui bahwa Bo Buju
meskipun juga memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, tetapi ia
agak dipersulit oleh kebiasaannya yang tidak pernah
menggunakan senjata, sedangkan lawannya yang
menggunakan ilmu pedang golongan Ngo-bi, justru
merupakan ilmu pedang yang paling hebat, maka baru dua
puluh jurus, berulang ulang ia sudah dalam keadaan bahaya !
Menyaksikan keadaan demikian, jikalau tidak segera unjuk
diri, nama baik Bo Bu Ju barangkali akan terkubur di puncak
gunung ini, maka ia buru-buru mengeluarkan senjatanya
seciok Kang-hoan, dari atas ia sambitkan ke bawah !
Sambitan senjata itu mengeluarkan suara hebat, apalagi
Hee Thian Siang melakukannya dengan kekuatan tenaga
sepenuhnya, mak ketika senjata itu mengenakan batu besar,
segera menimbulkan suara dan percikan percikan yang hebat,
hingga empat jago wanita dan pendekar pemabukan yang
sedang bertempur semuanya terperanjat, mereka segera
mendongakkan kepala untuk menyaksikan dari mana
datangnya sambaran senjata secara tiba-tiba itu "
Hee Thian Siang sementara itu tertawa terbahak bahak,
dengan menggunakan ilmunya meringankan tubuh, melayang
turun ke bawah, akan tetapi ilmu meringankan tubuh itu tidak
mengejutkan empat jago wanita golongan Ngo-bi, sedangkan
Siu-wan Tokow yang berambut ubanan lalu bertanya padanya:
"Bocah, kau murid dari golongan mana " Mengapa berani
main gila di hadapan empat jago golongan Ngo-bi ?"
Hee Thia Siang yang dengan seorang diri menghadapi
empat jago golongan ngo-bi, namun sikapnya masih tetap
tenang, ia menjawab sambil tertawa.
"Kalian mengadakan pertempuran ditempat ini, sebetulnya
tidak ada hubungan denganku, tetapi empat orang
menggunakan pedang sedang seorang hanya dengan tangan
kosong, pertempuran semacam ini sesungguhnya tidak adil
sekali, sehingga aku yang menyaksikan juga merasa tidak
puas ! Dengan demikian maka aku hendak meminjamkan
senjataku ini kepada locianpwe yang namanya terkenal
karena kegemarannya minum arak ! Tentang diriku dari
golongan mana dan murid siapa, kalian yang menganggap diri
tokoh-tokoh terkuat timba persilatan, apakah tidak bisa
mengenal diriku dari sepasang senjata gelangku ini !"
Keberanian dan kejumawaan pemuda yang baru muncul
itu, seorang beradat aneh seperti pendekar pemabukan itu
diam-diam juga merasa heran, tetapi ia adalah seorang
berpengalaman luas, ketika menyaksikan sepasang senjata
Sam-ciok-kang-hwan yang menancap dalam batu besar,
tanpa sadar sudah mengeluarkan seruan tertahan, dan ia
sudah mengetahui bahwa pemuda berbaju hijau yang berani
sekali itu, adalah murid Pak-bing Sia-po Hong -poh Cui?""
merupakan satu dari tiga orang yang terkuat paling susah
dihadapi dirimba persilatan.
Oleh karena empat jago wanita dari golongan Ngo-bi itu,
biasanya pandang dirinya sendiri terlalu tinggi, kecuali para
ketua partai rimba persilatan yang lainnya, atau tokoh-tokoh
kenamaan, hampir semuanya tidak dipandang mata oleh
mereka. Maka empat wanita itu hanya mengawasi senjata
Sam-ciok-kang-hwan, namun sedikitpun tidak mengetahui asal
usulnya. Sedangkan Hok Siu In yang merupakan jago termuda
dari yang lainnya, sebaliknya malah perdengarkan suara
tertawa dingin dan kemudian berkata.
"Sepasang gelang berbentuk aneh yang dibuat olehnya
sendiri, paling banter dibuat dari bahan baja, apa yang
diherankan " . . "
Hee Thian Siang mendelikkan matanya, dengan sinar mata
yang tajam menatap wajah gadis itu, kemudian berkata sambil
tertawa bergelak gelak. "Kau sendiri yang berpengetahuan kurang dan bermata
picak terlalu berniat pandang rendah orang lain ! Beranikah
kau bertempur seratus jurus dengan sepasang senjataku yang
tidak ada asal usulnya dan tidak ada namanya ini ?"
Sepasang alis Hok Siu Ing berdiri, dengan sikap menghina
ia berkata: "Kau seorang yang belum mempunyai nama juga berani
melawan aku sampai seratus jurus " Barangkali belum sampai
sepuluh jurus perutmu sudah berlubang atau kepalamu
menggelinding ditanah !"
Mendengar kata kata yang sangat jumawa itu, Hee Thian
Siang sangat marah, ia berkata:
"Jangankan kau seorang perempuan yang masih begini
muda, sekalipun barisan Su-siang Tui-hun kiam-tin yang
kalian banggakan itu, aku juga dapat menghancurkan dengan
satu gerakan tangan saja !"
Hok Siu In yang mendengarkan itu berulang ulang
memperdengarkan suara tertawa dingin, sedang pedang di
tangannya beberapa kali digerakkan, agaknya sudah hendak
turun tangan. Pendekar pemabukan karena sudah mengetahui asal usul
Hee Thian Siang, ia khawatir apabila kedua pihak benar-benar
terjadi pertempuran dan masing-masing turun tangan ganas,
barangkali seluruh rimba persilatan nanti akan mengalami
kegegeran hebat, maka buru-buru ia menggoyangkan tangan
dan berkata kepada Hok Siu In "
"Nona Hok, aku dengan saudara kecil ini meskipun belum
pernah kenal, tetapi aku tahu apa yang dikatakan tadi,
sedikitpun bukan ucapan gertakan saja !"
Siu wan Tokow yang merupakan orang kedua dari empat
jago wanita itu juga berkata:
"Bo Bu Ju, didalam rimba persilatan, kau juga terhitung
orang yang mempunyai nama baik, bagaimana kau juga
membantu seorang bocah yang masih ingusan, mengeluarkan
perkataan yang susah dipercaya orang ini " Dengan cara
bagaimana ia dapat menghancurkan barisan kita dengan satu
gerakkan tangan saja ?"
Sikap Pendekar pemabukan itu kini nampak semakin
tenang, ia lalu mengangkat buli-buli araknya dan minum dua
cegukan, dengan mata menatap Siu-wan Tokow, ia berkata
sambil memalingkan kepala:
"Mungkin aku anggap saudara kecil ini sangat mungkin
dapat menghancurkan barisan kalian dengan satu gerakan
tangan saja !"

Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hok Siu In sangat marah mendengar perkataan itu, ia
berkata dengan suara gusar:
"Coba kau katakan, jikalau kau tidak dapat memberikan
keterangan sebab apa ia dapat menghancurkan barisan kita
dengan satu gerakan tangan, aku nanti akan suruh kalian
bersama sama merasakan rasanya tercincang dalam barisan
su-siang Tui-hun-kiam-tin ini !"
Bo Bu Ju lebih dulu memberikan buli-buli araknya kepada
Hee Thian Siang, suruh ia minum, kemudian menunjukkan
senjata gelang yang menancap di atas batu, setelah itu ia baru
berkata sambil tersenyum:
"Dari sepasang senjatanya yang luar biasa itu, aku dapat
mengenali bahwa saudara kecil ini adalah murid Pak-bin Sinpo Hong-poh Cui !" Hee Thian Siang yang mendengar ucapannya benar-benar
merasa kagum atas pengetahuan yang luas dari pendekar
pemabukan itu, ia merasa bahwa maksudnya yang hendak
minta keterangannya tentang gadis berbaju putih yang pernah
disaksikannya di gunung Kiu-gi-san, pasti ada harapan.
Nama besar Pak-bin Sin-po Hong-poh Cui, benar saja telah
membikin kuncup hati empat jago wanita golongan Ngo-bi
yang sangat jumawa itu ! Tetapi Hok Siu In yang termuda dan
sedang berdarah panas, oleh karena sikapnya tadi, merasa
malu hendak mundur begitu saja maka setelah berdiam
sejenak, kembali ia berkata kepada pendekar pemabukan:
"Tentang suhunya Pak-bin Sin-po, meskipun benar aku
pernah dengar memiliki kepandaian sangat tinggi, tetapi ia
sendiri belum tentu memiliki kepandaian seperti suhunya !
Apalagi sekalipun Pak-bin Sin-po Hong-poh Cui datang
sendiri, juga belum tentu sanggup menghancurkan barisan
Su-siang Tui-hun-kiam tin dengan satu gerakan tangan saja !"
Pendekar pemabukan berkata sambil tertawa: "Nona Hok
benar, barisan Su-siang Tui-hun-kiam-tin kalian memang luar
biasa hebatnya, juga memang benar jarang sekali ada orang
yang sanggup bertahan sampai dua atau tiga-ratus jurus !. . "
"Pengetahuanmu benar-benar luas sekali, tetapi kalau kau
sudah tahu kekuatan bariana Su-siang Tui-hun-kiam-tin,
mengapa masih berani mengatakan bahwa pemuda itu dapat
menghancurkannya hanya dengan satu gerakan tangan saja
?" bertanya Hok Siu In.
Pendekar pemabukan merasa bahwa orang-orang
golongan muda ini, selamanya hanya ingin menang saja, juga
terlalu keras kepala, maka ia lalu tersenyum, dan menatap
wajah empat wanita itu, kemudian bertanya:
"Apakah kalian belum pernah dengar orang kata tentang
senjata peledak Kian-thian Pek-lek ?"
Kali ini adalah Siu-wan tokow yang menjawab:
"Kian-thian Pek-lek adalah senjata pusaka Pak-bin Sin-po,
tidak mungkin dengan mudah diberikan kepada muridnya,
yang masih begini muda, untuk digunakan sehingga
menimbulkan bencana hebat !"
"Saudara kecil ini sudah berani membuka mulut besar,
mungkin dalam badannya ada membekal senjata pusaka yang
hebatnya menggetarkan rimba persilatan itu !" berkata Bo Bu
Ju sambil tertawa. Selagi empat jago wanita itu hendak membuka mulut, Hee
Thian Siang benar-benar sudah mengeluarkan sebuah benda
kecil sebesar tinju orang yang berwarna hitam dan berbentuk
seperti bola, benda itu diletakkan di atas tangan kanannya.
Empat jago wanita meskipun masih tidak mau percaya
bahwa bole hitam yang tidak mengandung sifat aneh itu
adalah bom Kian-thian pek-lek yang namanya pernah
menggemparkan rimba persilatan, tetapi mereka juga pernah
dengar bahwa benda ini juga bernama "mutiara terbang",
kehebatannya memang dapat menggegerkan ini, manusia
yang terdiri daging dan darah betapapun tinggi ilmu silatnya,
sudah tentu tidak sanggup menahan senjata peledak itu! Maka
itu, meskipun mereka semua dalam hati agak bersangsi, tetapi
juga tiada satupun yang berani mencoba dan memaksa Hee
Thian Siang turun tangan !
Hee Thian Siang yang menyaksikan lawan lawannya itu
semuanya sudah merasa jeri, lalu menyimpan senjatanya itu
lagi dengan sikap sangat hati hati sekali.
Hok Siu In yang menyaksikan sikap jumawa Hee Thian
Siang, dalam hati masih merasa tidak puas, maka lalu
bertanya: "Kau bernama apa ?"
"Namaku Hee Thian Siang, bukankah kau hendak
bertempur denganku ?"
"Aku kira murid Pek-bin Sin-po Hong-poh Cui, barangkali
tidak sehebat gurunya, tetapi apakah kau berani
menggunakan senjata Kian-thian Pek-lek ?"
"Bom ini terlalu hebat, bagaimana dapat digunakan dengan
sembarangan " Apabla kalian tidak merebut kemenangan
dengan mengandalkan jumlah orang yang banyak,
menggunakan barisan Su-siang Tui-han-kiam-tin, aku juga
sanggup melawan kau seratus jurus dengan sepasang senjata
Sam-jiok Kang-hwan ini !"
Sehabis berkata ia lalu lompat melesat untuk mengambil
kembali sepasang senjatanya yang menancap didalam batu.
Begitu senjata berada ditangan Hee Thian Saing tiba tiba
teringat ucapan lelaki aneh berewokan yang diucapkan
kepadanya, maka ia lalu bertanya sambil menatap Hok Siu In:
"apakah benar didalam kuil kalian digunuung Ngo-bie-san ada
menyimpan kitab ilmu pedang Thian-hian Kiam-pho ?"
Kitab ilmu pedang Thian-hian Kiam-pho adalah pusaka
simpanan dari golongan Ngo-bie-pay, hanya calon-calon ketua
partai itu yang boleh mempelajari ilmu pedang yang tertulis
dalam kitab itu, maka dalam kalangan Kang-ouw sedikit sekali
orang yang mengetahui. Begitu mendengar pertanyaan Hee Thian Siang, wajah
empat jago wanita itu lantas berubah, Sui-long Tokow lantas
bertanya: "Sahabat, bagaimana kau bisa tahu bahwa dalam kuil Khuleng To-kuan kita,ada menyimpan kitab rahasia Thian-hian
Kiam-pho ?" Didalam kota Gi-ciang, dengan secara kebetulan aku telah
berjumpa dengan Hong-tin Ong-khak. . " menjawab Hee Thian
Siang kembali tersenyum. Mendengar jawaban itu, jago wanita itu semakin terkejut,
Seng Siu Cie lalu bertanya kepada sucinya sambil
mengerutkan alis: "Suci, kalau benar Hong-tin Ong-khek May Ceng Ong
sudah muncul di kota Gi-ciang. mungkinkah ia melanjutkan
perjalanannya kesana dengan memalui sungai Ting-kang ?"
Tidak menantikan habis ucapan wanita itu, Hee Thian
Siang lantas berkata: "Benar, benar, aku pernah dangan May Ceng Ong berkata
kepada seorang kawannya, katanya ia belajar melalui selat
sungai Tiang-kang kemudian menuju ke barat dan terus ke
gunung Ngo-bie-san, ia hendak pergi ke kuil Khun-leng Tokuan, dan berusaha akan mengambil kitab ilmu pedang Thianhian Kiam-pho milik Hian-thian Sian-lo !"
Empat jago wanita yang mendengarkan keterangan itu
semakin terheran heran, meraka khawatirkan ketua mereka
Hian-hian Sain-lo tidak tahu kalau May Ceng Ong diam-diam
kandung maksud hendak mencuri kitab itu, sehingga partai
Ngo-bie harus kehilangan benda pusaka keturunannya.
Maka mereka lalu saling berunding sebentar kemudian
Seng- Siu cie yang maju dan berkata kepada Bo Bu Ju:
"Oleh karena partai kita sekarang sedang menghadapi
urusan lain, maka urusan malam ini untuk sementara kita
tunda dulu, tetapi dilain waktu apabila ada kesempatan, harap
sahabat Bo. . " Hee Thian Siang tertawa terbahak bahak dan memotong
ucapan itu: "Kalian tidak perlu khawatir, dalam waktu satu
tahun aku pasti akan mengawani Bo Locianpwe untuk
berkunjung ke gunung Ngo-bie; tetapi aku merasa bahwa
kalian empat wanita dari golongan Ngo-bie-pay, seolah-olah
hanya berani kepada seorang saja dan takut neghadapi orang
banyak. . " Hok Siu In yang mendengar ucapan itu, sepasang alisnya
lantas berdiri dan bertanya dengan suara gusar:
"Hee Thian Siang, dengan bukti apa kau berani berkata
demikian ?" "Aku tadi dengar bahwa Wie Kee Kie kehilangan sebelah
paha kanannya, jelas telah dipotong oleh manusia-manusia
jahat dari golongan Ki-lian-pay, akan tetapi kalian tidak
mencari mereka pergi menuntut balas, sebaliknya telah
beramai ramai minta pertanggungan jawab kepada Bo
locianpwe yang suka berkelana seorang diri, apakah ini tidak
jelas bahwa kalian sudah takut pengaruhnya golongan Ki-lianpay " Dan tidak berani menghadapi ketua mereka Khie Tay
Tiu yang menggunakan senjata berat seratus lima puluh kati
itu ?" Siulong tokow yang mendengarkan perkataan itu lalu
merangkapkan kedua tangannya ke dadanya, setelah memuji
nama budha lalu berkata: "Hee Thian Siang, kau jangan pandang ringan ilmu pedang
golongan Ngo-bie, senjata berat yang berupa tongkat baja
ketua dari Ki-hian-pay itu, didalam rimba persilatan hanya
mendapat sedikit nama saja, padahal sebetulnya, tak ada apa
apanya yang patut dibanggakan. Setahun kemudian, kalau
kalian nanti berkunjung ke gunung Ngo-bie-san, apabila empat
jago wanita golongan Ngo-bie tidak dapat mengeluarkan
sebelah paha raja setan Tong-kie atau paha Gouw-eng, untuk
ditunjukkan kepada kalian, maka permusuhan kita dengan Bo
Bu Ju ini kita habiskan begitu saja dan selanjutnya tidak akan
dibicarakan lagi !" Sehabis berkata demikian lalu pamitan dan bersama tiga
saudara lainnya meninggalkan tempat tersebut. Didalam
keadaan sunyi hanya terdengar ucapan Hok Siu In yang
diucapkan dari tempat jauh: "Hee Thian Siang, satu tahun
kemudian, kalau kau nanti datang berkunjung ke gunung Ngobie-san, jangan lupa kau harus bertanding denganku seorang
diri di atas puncak gunung Ngo-bie-san !"
Bo Bu Ju menunggu dengan tenang, sehingga suara itu
menghilang ditelan oleh suasana gelap, kemudian dengan
perasaan bersyukur menatap wajah Hee Thian Saing dan
berkata sambil menghela napas:
"Peribahasa ada kata: laki-laki yang baik tidak suka
berkelahi dengan kaum wanita, Empat jago wanita ini
sesungguhnya susah sekali dihadapi ! Kedatangan Hee Thian
Siang ini karena secara kebetulan, ataukah mendapat
petunjuk orang lain, sehingga dapat membantu aku
melepaskan diri dari kesulitan ini " Kau tadi pernah kata
bahwa Hong-tim Ong-khek May Ceng Ong menuju ke barat
pergi ke gunung Ngo-bie hendak mencuri kitab ilmu pedang
Thian-hian Kiam-pho, rasanya tidak benar !"
Hee Thian Siang benar-benar sangat kagum pengetahuan
yang luas dari pendekar pemabukan ini. Ia lalu menceritakan
semua pertemuannya dengan seorang aneh berewokan
berbaju kuning dirumah minum di kota Gie-chiang, setelah itu
minta keterangan kepada Bo Bu Ju tentang orang aneh
berkepandaian tinggi itu, dan apakah masih unjukkan diri
untuk bertemu muka "
Setelah mendengar itu, Bo Bu Ju tertawa geli-geli dan
berkata: "lelaki berewokan berbaju kuning itu adalah satu satunya
sahabat minum arakku, juga orang yang tadi kau sebut Hongtim Ong-khek May Ceng Ong ! segala sepak terjang orang ini
seolah-olah naga sakti dari langit, sungguh susah diduga atau
ditangkap maksudnya ! Waktu ini mungkin ia sudah berlayar
menuju ke barat dan benar-benar hendak menyatroni Khunleng To-koan" Hee Thian Siang baru sadar, bahwa orang aneh yang
ditemui dalam rumah minum itu adalah salah satu dari tiga
orang yang paling sulit dihadapi pada dewasa ini, orang itu
ternyata adalah May Ceng Ong yang namanya berendeng
dengan suhunya sendiri dan Thian-gwa Ceng-mo Tiong Sun
seng, pantas ia memiliki kepandaian ilmu silat demikian hebat
! Tetapi setelah mendengar ucapan Bo Bu Ju ia masih belum
begitu paham, maka ia bertanya:
"Bukankah locianpwe tadi kata bahwa dia menuju ke barat
ke gunung Ngo-bie hendak mencuri kitab ilmu pedang Thianhian Kiam-pho rasanya hal itu tidak benar?"
"Waktu itu mungkin tidak benar, tetapi sekarang barangkali
tidak bisa salah lagi " sebab jikalai ia tidak menyuruh kau
berkata demikian empat jago wanita dari golongan Ngo-bie
sudah tentu tidak mau melepaskan kita begitu saja. Dalam
keadaan sulit begitu rupa, kecuali kau bersedia menggunakan
senjata peledakmu. Kian-thian-pek-lek melakukan pembunuhan besar-besaran, meskipun kita berdua
mengerahkan tenaga, barangkali juga masih susah terlepas
dari barisan sui-san Tui-hun Kaim-tin !"
Oleh karena Hee Thian Siang tadi sudah menyaksikan
hebatnya ilmu pedang Sing Siu cie, maka ia tahu bahwa
ucapan Bo Bu Ju itu bukanlah omong kosong belaka! Maka ia
lalu menganggukkan kepala sambil tersenyum, untuk
mendengarkan lebih lanjut keterangan orang aneh itu.
Bo Bu Ju berkata lagi: "Sekarang kita sudah lolos dari bahaya, aku tahu sifat May
Ceng Ong yang biasanya pasti akan melakukan apa yang ia
sudah katakan, pada waktu ini sudah pasti is sudah
melakukan perjalanan ke barat ! aku duga ia pasti akan
mendahului empat jago wanita itu sebelum mereka tiba di kuil
Khun-leng To-koan, supaya dapat menjumpai Hian-hian
Sianlo !" Hee Thian Siang masih agak sangsi, maka ia bertanya
pula: "Dengan kepandaian dan kekuatan tenaga seperti May
Ceng Ong Locianpwe, jikalau ia tadi berada di sini dan turun
tangan sendiri, untuk menegor atau merintangi maksud empat
jago wanita itu, bukankah lebih mudah " Perlu apa harus
memutar demikian rupa, dan perlu pergi sendiri ke gunung
Ngo-bi ?" "Laotee, kau tidak tahu, kalau May Ceng Ong berbuat
demikian, itu karena hendak menghindarkan diri supaya


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jangan sampai bertemu muka dengan Hok Siu In!" berkata Bo
Bu Ju sambil tersenyum. "Hok Siu In hanya seorang gadis yang masih kecil, apa
sebabnya seorang yang namanya sudah sangat terkenal
seperti May Ceng Ong Locianpwe, harus menghindarkan dan
tidak mau bertemu muka dengannya ?" bertanya Hee Tian
Siang terheran heran. Pada saat itu, wajah Bo Bu Ju menunjukkan sikap seolaholah sedang mengenangkan kembali kejadian dimasa yang
lampau, ia menjawab lambat-lambat: "Sebab musababnya
kejadian ini, merupakan suatu rahasia dalam rimba persilatan !
Tetapi sekarang belum tiba waktunya untuk diungkapkan,
harap laotee memaafkan yang aku tidak dapat
memberitahukan kepadamu !" Mendengar orang aneh itu
berkata demikian, sudah tentu Hee Thian Siang tidak berani
bertanya lebih jauh. Sementara itu Bo Bu Ju kembali menenggak araknya, dan
setelah itu ia berkata pula sambil tersenyum: "Malam terang
bulan dan angin sejuk, sehingga membuat badan panas hilang
semua. Tak kusangka di puncak gunung Keng-bun-san ini
bukan saja sangat indah pemandangan alamnya, tetapi juga
merupakan suatu tempat yang cocok untuk tempat tetirah!
Laotee, kau tadi pernah berkata bahwa kau mencari aku
karena hendak menanyakan sesuatu urusan. Urusan apa
yang kau ingin tanya " Tidak halangan kau jelaskan apa yang
aku tahu, aku tentu akan memberitahukan kepadamu. Marilah
kita duduk di bawah langit yang biru ini, beromong-omong satu
malam suntuk. Hee Thian Siang yang secara kebetulan telah berhasil
menjumpai pendekar pemabukan uang tidak menentu tempat
kediamannya, sudah tentu hendak menggunakan kesempatan
itu untuk mengutarakan semua isi hatinya, tetapi sungguh
aneh setelah berhadapan dengan orang yang dicari
tenggorokannya seolah-olah terkancing, kata-kata yang
sedianya hendak dikeluarkan,
agaknya merasa berat diceritakannya. Bo Bu Ju yang menyaksikan keadaan demikian lalu
bertanya sambil tersenyum:
"Laotee, kau seorang gagah yang sangat berani,
bagaimana sikapmu menjadi demikian rupa" Kau seolah-olah
menyimpan rahasia yang sulit di keluarkan. Pertanyaan yang
hendak kau ajukan kepadaku itu mengenai persoalan orang
ataukah persoalan yang menyangkut sesuatu perkara ?"
Didalam keadaan demikian, Hee Thian siang terpaksa
godek-godekkan kepala dan menjawab: "Aku hendak
menanyakan seseorang!"
"Didalam dunia yang luas ini, untuk menanyakan
seseorang, sesungguhnya memang sulit, orang yang ingin kau
tanyakan itu, lelaki ataukah perempuan " Apakah ada tandatanda keistimewaannya " Kapan dan ditempat mana serta
didalam keadaan bagaimana kau pernah berjumpa
dengannya" Dan sekarang ada urusan apa kau mencari dia ?"
Diserbu dengan pertanyaan yang bertubi tubi itu, Hee Thian
siang merasa kelabakan. Terpaksa ia menceritakan semua
pengalaman dan apa yang dilihatnya ketika berada di gunung
Kiu-gi-san, tetapi terhadap pertanyaan terakhir, ia sengaja
tidak mau menjawab. Bo Bu Ju setelah mendengarkan penuturan itu kembali
menghirup araknya, lalu duduk di atas batu sambil menyandar
di pohon cemara untuk berpikir.
Hee Thian Siang tidak mau mengganggu, ia berjalan ke
tepi selat, matanya ditujukan ke air sungai Tiang-kang yang
mengalir deras. Tetapi pikirannya tetap merasa tegang.
Setelah hening cukup lama, Bo Bu Ju bangkit dari tempat
duduknya dan berkata kepada Hee Thian Siang:
Hee Laotee, pertanyaanmu ini mungkin akan menyulitkan
diriku !" Hee Thian siang yang mendengarkan perkataan itu, dalam
hati merasa kecewa ! Tetapi pendekar pemabukan itu kembali
menghibur kepadanya dan berkata sambil tertawa.
"Laotee, kau jangan kesal dulu, Minumlah secawan arak
lagi, marilah kita pelajari bersama sama !"
Dalam keadaan terpaksa, Hee Thian siang menurut saja,
tetapi Bo Bu Ju melarang ia minum terlalu banyak, ia minta
kembali buli-buli araknya, suruh Hee Thian Siang duduk
disampingnya, kemudian ia berkata sambil tersenyum:
"Apa yang kukatakan tadi, bukan berarti bahwa aku sudah
tidak dapat memikirkan diri nona itu, sebaliknya, malah ada
tiga nona dalam dugaanku! Hanya diantara tiga orang gadis
itu rasanya tiada satupun yang mirip benar-benar dengan
gadis yang pernah kau lihat di gunung Kui-gi-san itu!"
Hee Thian Siang yang sudah agak putus asa kembali
timbul sedikit harapannya, maka buru buru bertanya:
"Bo Locianpwee, coba kau terangkan siapa-siapa kiranya
tiga orang gadis yang kau duga itu " Marilah kita pelajari
bersama sama, mungkin bisa menemukan jawabannya !"
Pendekar pemabukan nampak berpikir agak lama,
kemudian berkata: "Gadis yang berusia masih muda, mengenakan mantel
warna hitam, dengan menggunakan pedang, dalam waktu
sekejap mata, seorang diri telah berhasil membinasakan
empat setan golongan Kie-lian. Gadis tangkas itu, dalam
dugaanku adalah: Ke satu, adalah Hok Siu In yang tadi kau
sudah lihat, salah seorang dari empat jago wanita golongan
Ngo-bie yang termuda !" Hee Thian Siang menggelengkan
kepala dan berkata: "Waktu itu, meskipun aku belum melihat
tegas wajah nona itu, tetapi agaknya tidak mirip dengan Hok
Siu In." "Dengan seorang diri dapat membinasakan empat setan
golongan Kie-lian,, ini memerlukan keberanian dan
kepandaian ilmu silat yang luar biasa, maka kecuali Hok Siu
In, dalam dunia ini hanya tinggal dua orang gadis muda yang
memiliki kepandaian setinggi itu ! Tetapi tidak tahu apakah
mereka itu menggunakan pedang dan suka mengenakan
mantel berwarna hitam ?"
"Harap Locianpwee sebutkan dulu namanya dua nona itu,
supaya kita dapat mempelajari lebih dahulu !"
"Dua nona ini semua bukan orang-orang sembarangan,
mereka lebih sukar dihadapi daripada Hok Siu In, yang satu
adalah murid ketua partai Kun-lun-pay The Hui Cu, yang
bernama Liok Giok-jie, dan yang lain adalah puteri tunggal
Thian-gwa Ceng-mo yang bernama Tiong-sun Hui-kheng!"
Bagi Hee Thian siang, nama-nama ketua Kun-lun-pay dan
Thian-gwa Ceng-mo Tiong Sun Seng. sedikitpun tidak merasa
heran atau jeri, maka ia lalu bertanya kepada Bo Bu Ju sambil
tersenyum: "Bo Locianpwee, urusan ini seharusnya mudah sekali,
diantara tiga nona itu, siapakah uang memelihara kuda Cengcong-ma yang biasa digunakan berjalan jauh ?"
"Di sinilah letak kesulitannya, karena baik Hok Siu In, Liok
Giok-jie maupun Tiong-sun Hui-kheng, di waktu biasanya tiada
satu yang suka menunggang kuda! Sedangkan kuda pilihan
sebangsa Ceng-Cong-ma itu di dalam rimba persilatan ada
dua ekor !" Hee Thian Siang tahu bahwa urusan ini makin berbelit-belit,
terpaksa ia mendengarkan terus penuturan Bo Bu Yu.
Sementara itu Bo Bu Yu sudah berkata lagi:
"Dua ekor kuda pilihan itu, seekor di antaranya adalah milik
ketua golongan Kie-lian-pay. Khie Tay Cao, kuda itu
dinamakan Cian-li Kiau-hwa-cang! Sedang seekor lagi adalah
milik tabib kenamaan dalam rimba persilatan dewasa ini, ialah
tabib Say Han Kong yang mengasingkan diri di gunung Siongsan, yaitu dinamakan Ceng-hong-ki!"
Mendengar penuturan itu, Hee Thian Siang bahkan
semakin bingung. "Menurut pikiranku, sebaiknya laotee mengecek kudanya
dulu, kemudian baru mencari orangnya. Jikalau kau dapat
mencari keterangan antara Khie Tay Cao dan Say Han Kong,
siapa yang pernah meminjamkan kudanya kepada seorang
nona muda, melakukan perjalanan ke propinsi Ouw-lam,
bukankah akan segera kau ketahui nama dan asal-usul nona
itu?" Berkata Bo Bu Yu sambil tersenyum.
Hee Thian Siang dapat menyetujui usulan Bo Bu Yu itu,
justru ia sendiri sedang membantu tugas guta bunga mawar,
pada nanti tanggal sembilan bulan sembilan, akan pergi ke
gunung Siong-san, berkunjung ke rumah Say Han Kong maka
ia dapat menggunakan kesempatan itu untuk mencari
keterangan sekalian! Tetapi menurut keterangan Hwa Ji Swat,
It-pun Sin-ceng sudah meninggalkan kediamannya di pulau
Kura-kura, sedang melakukan perjalanan ke seluruh negeri,
hal ini merupakan suatu kesulitan lagi baginya, karena dengan
cara bagaimana ia baru dapat menemukan paderi itu" Jikalau
ia tidak dapat menemukannya, sudah tentu ia tidak dapat
minta getah pohon Leng-cie yang berumur ribuan tahun, dan
jikalau tidak mendapatkan barang mukjijat itu, bagaimana
harus mempertanggung-jawabkan kepada duta bunga mawar
" Bo Bu Yu yang melihat sikap Hee Thian Siang yang
mendengar ucapannya, lalu menundukkan kepala dan berpikir
keras, segera bertanya padanya sambil tersenyum:
"Laote pikir bagaimana " Apakah kau kira usulku ini bisa
dipakai ?" "Buah pikiran locianpwe bagaimana bisa salah" Aku
sebetulnya sedang memikirkan seorang aneh lain dari rimba
persilatan, karena orang itu tidak menentu jejaknya, hingga
susah sekali ditemukannya !"
"Laotee, kau barangkali sedang membawa tugas hendak
mencari orang. Tidak sangka begitu banyak orang yang
hendak kau cari ! Siapakah orang yang kau anggap aneh dari
rimba persilatan itu " Mungkin aku masih dapat mengetahui
sedikit yang dapat kuberitahukan padamu !"
Wajah Hee Thian Siang kemerah-merahan, tetapi ia
menjawab juga: "Orang yang kucari itu adalah It-pun Sin-ceng yang
biasanya berdiam di pulau Kura di lautan timur, tetapi
khabarnya ia sudah melakukan perjalanan. . "
Bo Bu Yu tidak menunggu Hee Thian Siang berkata habis,
lantas tertawa terbahak-bahak dan berkata:
"Laote, nasibmu benar-benar sangat bagus dan
pertanyaanmu ini boleh dikata "tepat" kalau kau tanyakan padaku. Mengenai jejak
It-pun Sin-ceng itu barangkali selain
aku tidak ada orang lain lagi yang tahu!"
Hee Thian Siang sangat girang, selagi hendak minta
keterangan lebih jauh, Bo Bu Yu sudah berkata lagi sambil
tertawa: "Laote, tahukah kau bahwa dalam partai besar rimba
persilatan pada dewasa ini, kecuali Ngo-bi dan Kie-lian, yang
lantaran urusan Wie Kee Kie, sehingga timbul dendam sakit
hati, di samping itu adalah partai Tiam-cong dan Lo-hu yang
permusuhannya sangat dalam ?"
"Aku bukan saja mengetahui bahwa partai Tiam-cong dan
Lo-hu setiap tujuh tahun sekali pasti mengadakan
pertempuran mati-matian. Bahkan mengetahui pula bahwa
ketua Tiam-cong-pay sendiri ialah Thiat Kwan Totiang
bersama ketua Kie-lian Khie Tay Cao, telah mengundang
ketua golongan partai Lo-hu-pay Peng-sim Sin-nie, pada
musim panas tahun depan, mengadakan pertempuran di
lembah kematian di gunung Ciong-lam-san !"
Pendekar pemabokan oleh karena tidak tahu bahwa Hee
Thian Siang ketika berada di gunung Bin-san secara
kebetulan telah berjumpa dengan Liong-hui Kiam-khek Su-to
Wie dan Tho-hwa Nio-cu, maka ketika mendengar penuturan
demikian jelas dari pemuda itu, agaknya merasa heran, ia lalu
berkata lambat-lambat: Kata-katamu itu sedikit pun tidak salah, tetapi jago pedang
ke satu golongan Tiam-cong, juga yang menjadi pemimpin
golongan itu ialah Thiat-kwan
Totiang, dalam surat undangannya kepada Peng-sim Sin-nie untuk mengadakan
pertandingan di lembah kematian di gunung Ciong-lam-san
itu, diberikan sebuah undangan rahasia, maksudnya ialah
pertempuran kedua partai itu yang dilakukan setiap tujuh
tahun sekali, mengakibatkan pertumpahan darah di antara
murid-murid di kedua golongan tersebut, sudah tentu hal itu
akan merugikan kedua partai itu sendiri, maka sebaiknya
pertempuran itu dilakukan satu dengan satu antara ketua
kedua partai itu. Sebelum, orang-orang di kedua pihak datang,
supaya datang lebih dahulu di lembah kematian gunung
Ciong-lam-san, dalam kedatangannya itu, siapa pun tidak
boleh membawa peserta sebagai bantuan tenaga. Kedua
pihak hanya diperbolehkan
menggunakan kepandaian masing-masing, untuk menentukan siapa yang menang dan
siapa yang kalah, dengan demikian mungkin dapat
menghindarkan pertumpahan darah besar-besaran bagi kedua
pihak !" "Usul Thiat-kwan Totiang itu maksudnya baik. Apakah
Peng-sim Sin-nie dapat menerima usul itu ?"
"Peng-sim Sin-nie seorang beradat tinggi dan keras kepala,
setelah membaca undangan yang bersifat rahasia itu segera
dapat menyetujuinya ! Tetapi dengan demikian, ketua Lo-hu
dan Tiam-cong, setelah bersama-sama masuk ke dalam
lembah kematian, paling-paling hanya tinggal satu yang bisa
keluar dalam keadaan hidup, bahkan kedua-duanya mungkin
akan terkubur dalam lembah itu !"
Hee Thian Siang mengerutkan alisnya, lama tidak
membuka suara. Pendekar pemabokan kembali minum araknya, kemudian
melanjutkan kata-katanya:
"Akan tetapi usul Thiat-kwan Totiang itu entah dengan cara
bagaimana telah bocor ! Sehingga dapat diketahui oleh
sahabat karib Peng-sim Sin-nie, ialah It-pun Sin-ceng ! It-pun
Sin-ceng lalu buru-buru meninggalkan kediamannya di lautan
timur, sambil melakukan perjalanan ke seluruh negeri, ia akan
menuju ke gunung Ciong-lam dan bersedia akan
menggunakan kekuatan dan cinta kasih golongan Buddha,
untuk menghindarkan dua ketua itu dari ancaman bahaya
maut !" "Bo locianpwe, Thiat-kwan Totiang dan Peng-sim Sin-nie


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

entah kapan hendak mengadakan pertemuan di lembah
kematian ?" "Mereka telah menetapkan tanggalnya, nanti tanggal lima
bulan delapan. Sekarang kira-kira masih ada waktu dua bulan
setengah lagi. . " Berkata sampai di situ ia berhenti sejenak dengan pandangan
mata yang penuh perhatian ia menatap
Hee Thian Siang, kemudian dengan sikap sungguh-sungguh
ia berkata pula: "Meskipun aku sudah memberitahukan padamu tentang
rahasia sangat besar ini, tetapi kau sekali-sekali jangan
berlaku gegabah ! Paling-paling kau boleh mondar-mandir
saja di mulut lembah untuk menantikan kedatangan It-pun Sinceng, jangan sekali-sekali kau lantaran tertarik oleh
keinginanmu hendaknya menyaksikan pertandingan itu,
sehingga dengan semberono kau memasuki lembah kematian
itu ! Kau harus tahu, bahwa pertempuran yang bersifat rahasia
ini paling pantang dilihat orang, apalagi orang-orang yang
tersangkut dalam urusan ini adalah orang-orang kenamaan
dan pemimpin dari kedua partai besar. Apabila mereka marah,
dalam waktu sekejap mata. . "
"Maksud locianpwe, apakah Thiat-kwan Totiang atau Pengsim Sin-nie, dalam waktu sekejap dapat membinasakan aku ?"
Pendekar pemabokan tahu bahwa ucapannya telah
menyinggung perasaan pemuda itu, maka buru-buru berkata
lagi sambil tersenyum: "Laote, kau jangan salah paham ! Dengan dirimu yang
memiliki kepandaian dari golongan Pak-bin, lagi pula dengan
membawa bekal senjata Kian-thian Pek-lek, sekali pun Thiatkoan Totiang atau Peng-sim Sin-nie, walaupun ketua-ketua
dari dua golongan besar, juga pasti akan pandang lain
terhadapmu! Maksudku tadi ialah aku khawatir pertandingan
mereka yang sudah diketahui orang luar, dalam keadaan malu
dan marah, dengan mudah menimbulkan keonaran dan
malapetaka lebih hebat hingga semakin sulit diselesaikan !"
Hee Thian Siang bangkit memberi hormat kepada Bo Bu
Yu seraya berkata sambil tertawa:
"Locianpwe tidak usah khawatir, Hee Thian Siang juga tidak
berani berlaku begitu kurang ajar terhadap dua ketua
golongan rimba persilatan itu! Rasanya sudah cukup kita
mengobrol, lagi pula juga sudah hampir terang tanah dan
sekarang Bo cianpwe hendak pergi kemana lagi" Satu tahun
kemudian kita masih perlu bersama-sama pergi ke gunung
Ngo-bie, apakah kita perlu berjanji lebih dahulu, di mana kita
nanti saling bertemu ?"
"Jejakku selamanya tidak menentu, sebetulnya aku dapat
mengawani kau, tetapi oleh karena urusanku sendiri masih
belum selesai maka terpaksa untuk sementara kita berpisahan
dahulu. Mengenai perjalanan kita ke gunung Ngo-bie,
sebaiknya kita tetapkan pada tahun depan, hari dan tanggal
seperti ini. Laote, kau boleh datang ke jurang di bawah
gunung Ngo-bie-san! Laote, aku lihat di wajahmu ada tanda
suram, meskipun kau memiliki kepandaian sangat tinggi dan
keberanian luar biasa, tetapi karena keberanianmu yang
terlalu menonjol maka di kemudian hari meskipun besar
rezekimu namun ada kemungkinan juga akan ada banyak
bahaya yang selalu mau mendampingimu. Aku sebetulnya
mengerti sedikit tentang ilmu melihat wajah orang, pesanku
sebelum aku meninggalkan kau, harap kau jangan kecil hati !"
Hee Thian Siang menjura dalam-dalam, menyatakan terima
kasihnya, Bo Bu Yu tersenyum menyambut pemberian hormat
itu, kemudian menggerakkan kakinya dan menghilang di balik
pohon cemara. Hee Thian Siang mengawasi berlalunya Bo Bu Yu, dengan
seorang diri yang masih berdiri di tempatnya, mengawasi air di
sungai Tiang-kang yang berombak tinggi, apalagi ketika
matahari muncul di ufuk timur, pemandangan itu memberikan
gambaran yang sangat indah sekali.
Ia diam-diam juga merasa geli sendiri, pembicaraannya
dengan Bo Bu Yu semalam suntuk hanya mendengarkan
cerita tentang rahasia rimba persilatan, sebaliknya sudah
melupakan urusannya sendiri yang ingin menanyakan
padanya, apakah gunanya kipas May-ceng-ong dan lambang
bunga dari duta bunga mawar "
Dari situ ia hendak melakukan perjalanannya ke gunung
Ciong-lam, barulah menuju ke utara dan ke barat, dalam
perjalanan itu ia harus melewati gunung Bu-tong-san,
perjalanan itu bukanlah merupakan suatu perjalanan yang
dekat. Oleh karena waktunya masih cukup, waktu melewati
gunung Bu-tong-san, dari jauh menampak bayangan gunung
Thian-cu-hong timbullah keinginannya hendak menyambangi
orang-orang penting dari golongan Bu-tong.
Partai Bu-tong merupakan partai golongan orang baik-baik
di antara delapan partai besar rimba persilatan. Baik ilmu
pedangnya maupun ilmu kekuatan tenaga dalamnya, semua
mempunyai sifat keasliannya tersendiri. Pada waktu belakangbelakangan ini agaknya mulai sepi, jarang sekali mengadakan
hubungan dengan partai-partai lainnya, juga tiada keinginan
dari pihak mereka untuk berebut nama dan kedudukan, hanya
tekun memperdalam ilmunya.
Hee Thian Siang yang sudah timbul pikiran itu, lalu
menunjukkan kakinya mendaki gunung Thian-cu-hong. Tetapi
baru saja ia melewati jalan tikungan di atas gunung, telinganya
sudah mendengar suara memuji nama Buddha, suara yang
keluar dari dalam rimba di tepi jalan, kemudian dari dalam
rimba itu muncul dua orang imam berjubah hijau.
Hee Thian Siang tahu, bahwa suara memuji Buddha tadi
ditujukan kepada dirinya, tetapi ia masih tetap melanjutkan
perjalanannya sambil menggoyang-goyangkan
kipas di tangannya, agaknya tidak menghiraukan suara tadi itu.
Satu di antara dua imam itu, yang usianya lebih muda, lalu
maju menyongsong dan berkata:
"Harap Anda berhenti dahulu !"
Melihat imam itu menghalangi dirinya, Hee Thian Siang lalu
menutup kipasnya dan bertanya dengan nada suara dingin:
"Totiang, mengapa kau merintangi perjalananku ?"
"Oleh karena dalam partai kami sedang terjadi sesuatu
peristiwa, pinto telah mendapat perintah ketua, bahwa kuil
Sam-gwan-koan, dalam waktu seratus hari ini, tidak menerima
kunjungan tamu !" Hee Thian Siang yang mendengar ucapan itu diam-diam
merasa terkejut. Belakangan ini memang banyak kejadiankejadian yang menimpa rimba persilatan. Peristiwa itu terjadi
pada golongan Bu-tong-pay ini, agaknya juga bukan peristiwa
kecil, jikalau tidak, mengapa ketuanya sampai perlu
mengeluarkan perintah untuk menutup kuil Sam-gwan-koan "
Meskipun hatinya merasa heran, tetapi ia masih berkata
dengan nada suara dingin:
"Ada terjadi peristiwa di golongan Bu-tong, paling-paling
tokh tidak mengijinkan orang memasuki kuil Sam-gwan-koan.
Apakah puncak gunung Thian-cu-hong juga termasuk daerah
terlarang ?" Imam yang menghadang di depan Hee Thian Siang tadi
ketika melihat sikap dan jawaban anak muda itu kelewat
sombong, wajahnya juga menunjukkan perobahan.
Tetapi seorang kawannya yang usianya lebih tua, yang
waktu itu juga sudah berjalan menghampirinya, matanya
ditujukan kepada kipas di tangan Hee Thian Siang, cepat ia
unjukkan sikap terkejutnya kemudian ia memberi isyarat
dengan pandangan mata kepada kawannya, lalu berkata
kepada Hee Thian Siang sambil tersenyum:
"Di hadapan orang yang mengerti, tidak perlu menyimpan
rahasia. Golongan Bu-tong-pay kami oleh karena dengan
beruntun kehilangan nyawa tiga orang dari anggota yang
terpenting, maka oleh ketua kami telah dikeluarkan perintah
untuk mengumpulkan semua anak muridnya dan anggotanya
yang terkuat, berkumpul di kuil Sam-gwan-koan untuk
bersama-sama merundingkan persoalan itu. Selama
perundingan itu berlangsung, kuil Sam-gwan-koan akan
ditutup selama seratus hari, dalam waktu seratus hari itu,
semua anggota golongan kami diharuskan melatih ilmu dan
mempersiapkan diri hendak mengumpulkan bukti-bukti, untuk
mencari dan membuat perhitungan kepada orang yang
melakukan kejahatan itu. Oleh karena pinto lihat Siao sicu ada
memegang kipas milik May-ceng-ong Locianpwe, sudah pasti
bukan orang sembarangan dalam rimba persilatan, pada
waktu biasanya memang benar akan menjamu tetamu
terhormat bagi Sam-gwan-koan, tetapi sekarang oleh karena
terjadi peristiwa yang luar biasa ini, maka pinto minta agar
Siao sicu suka memberi maaf dan sebaiknya jangan
melanjutkan perjalananmu ini !"
Melihat imam itu memberitahukan dengan terus terang dan
sikapnya yang menghormati sikap Hee Thian Siang lalu
berubah menjadi lunak, ia berkata sambil tertawa:
"Kalau benar ada terjadi peristiwa dalam partai Bu-tong,
Hee Thian Siang juga tidak akan mempersulit orang lain.
Biarlah di lain waktu saja apabila ada jodoh, aku akan datang
berkunjung lagi! Tetapi, tentang tiga orang penting dari
golongan Bu-tong itu semuanya tokh merupakan orang-orang
dari golongan kelas satu pada dewasa ini, dengan cara
bagaimana beruntun dan begitu mendadak bisa kehilangan
tiga di antaranya" Bahkan dari keterangan Totiang tadi aku
dapat menduga bahwa orang yang melakukan perbuatan itu
masih belum diketahui oleh ketua Bu-tong-pay sendiri. . ."
Berkata sampai di situ, tiba-tiba ia teringat olehnya yang
didengar di gunung Bu-san, tetapi oleh karena kesannya
terhadap Hwa Ji Swat tidak buruk, maka ia tidak mau
menerangkan, hanya berlagak tidak tahu dan bertanya pula:
"Di antara tiga orang penting yang tewas itu, apakah di
dalamnya terdapat Lie-tim Cu ?"
"Lie-tim susiok itu, terjunkan diri sendiri ke selat gunung Busan pada tahun
lalu bulan lima, Bu-tong-pay tidak akan
menuntut dendam terhadap Hwa Ji Swat, hanya ditangguhkan
pada lain waktu untuk diperhitungkan kepada gurunya Hwa Ji
Swat, Thian-gwa Ceng-mo Tiong-sun Seng. Sementara itu,
mengenai Tek-tin, Ngo-tim dan Hu-tim ketiga susiok,
semuanya telah terbokong orang dengan semacam senjata
duri berbisa yang berwarna ungu hitam, berbentuk ujung tiga,
karena dalam keadaan tigak berjaga-jaga, ketiga susiok itu
setelah mengalami penderitaan
kejang kaku sekujur badannya, lalu meninggal secara mengenaskan !"
Hee Thian Siang diam-diam berpikir: "Sayang Bo Bu Yu
tidak di sini, jikalau tidak dengan pengetahuannya yang luas,
mungkin ia dapat tahu bahwa duri berbisa warna ungu hitam
berujung tiga itu, senjata rahasia tunggal dari golongan mana
?" Baru saja berpikir demikian, di atas puncak gunung Thiancu-hong tiba-tiba terdengar beberapa kali suara benturan batu
giok. Imam yang usianya lebih tua itu, ketika mendengar suara
itu lalu menganggukkan kepala kepada Hee Thian Siang dan
berkata padanya sambil tertawa:
"Pinto It-hwan, telah mendapat panggilan dari Sam-gwankoan. Maaf pinto tidak dapat mengawani siao sicu lebih lama.
Semoga siao sicu yang berkelana di kalangan Kang-ouw,
diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa !"
Hee Thian Siang merasa suka terhadap It-hwan Tojin yang
ramah dan sopan santun, maka ia juga menjura dan berkata
sambil tertawa: "Keterangan Totiang tadi mengenai diri Pek-tim, Ngo-tim
dan Hu-tim tiga orang penting golongan Bu-tong yang binasa
dibokong oleh orang, Hee Thian Siang nanti jikalau
mendengar kabar, pasti akan memberitahukan kepada
ketuamu di Sam-gwan-koan !"
Setelah itu, mereka lalu berpisahan.
Dengan demikian, sudah tentu Hee Thian Siang merasa
tidak enak melanjutkan perjalanannya ke puncak, maka ia
terpaksa turun lagi dan melanjutkan perjalanannya yang
menuju ke gunung Ciong-lam-san. Tetapi dalam hati masih
diliputi berbagai pertanyaan, golongan Bu-tong yang
merupakan golongan orang-orang yang beribadat dan yang
selama iuni tidak memikirkan untuk mencari nama dan
mendapat kedudukan, entah apa sebabnya ada orang yang
melakukan perbuatan keji terhadap orang-orang penting
golongannya " Apakah orang yang melakukan kejahatan itu
mengandung maksud, dan sengaja hendak menimbulkan
kekeruhan di dalam rimba persilatan "
Karena dalam otaknya diliputi berbagai pertanyaan
demikian, maka sepanjang perjalanannya itu Hee Thian Siang
sengaja memperhatikan segala sesuatu yang menarik
perhatiannya, tetapi cuma-cuma saja usahanya itu, karena
sepanjang jalan itu tidak menemukan hal-hal yang
mencurigakan dirinya, bahkan tanpa dirasa sang waktu berlalu
laksana terbang, tahu-tahu sudah tiba tanggal tiga bulan
delapan, dan kini jejaknya sudah memasuki daerah
pegunungan Ciong-lam. Dalam hati Hee Thian Siang berpikir, karena lembah itu
dinamakan lembah kematian, letaknya pasti di daerah
pedalaman. Maka ia sengaja menjelajahi bagian-bagian yang
sangat seram dan berbahaya, tetapi dua hari lamanya ia
mencari, ketika pada tanggal lima tengah hari, ia masih belum
menemukan tempat yang dicari. Dalam hati cemas itu ia
khawatir akan menggagalkan usahanya sendiri yang hendak
menjumpai It-pun Sin-ceng, serta hendak menyaksikan
pertandingan antara Thiat-kwan Totiang dengan Peng-sim
Sin-nie, maka ia diam-diam menyesali dirinya sendiri,
mengapa sebelumnya tidak tanya lebih dahulu jalan yang
menuju ke lembah itu kepada Bo Bu Yu.
Keadaan yang dihadapinya pada waktu itu adalah: sebelah
timur, selatan dan utara, semua merupakan tebing-tebing
tinggi yang menjulang ke langit, sedangkan sebelah barat
adalah air terjun yang sangat tinggi. Hee Thian Siang yang
menjelajahi gunung beberapa hari lamanya, pikirannya mulai
risau, maka ia hendak beristirahat di tepi danau, supaya
pikirannya tenang kembali.
Di luar dugaannya, begitu tiba di tepi danau, tiba-tiba
menemukan kejadian aneh. Di belakang air terjun itu ternyata


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada sebuah goa sangat gelap, sedang luar samping mulut goa
itu masing-masing terdapat sebuah lukisan.
Lukisan di sebelah kiri adalah setangkai bunga dan yangliu, sedangkan sebelah kanan adalah lukisan dua buah tangan
orang. Lukisan-lukisan itu bukan dilukis dengan menggunakan
senjata tajam, melainkan dilukis dengan menggunakan jari
tangan. Hee Thian Siang telah menyaksikan kejadian itu,
dalam hati lalu berpikir: Apakah ini tanda-tanda yang dibuat
oleh Thiat-kwan Totiang dan Peng-sim Sin-nie" Apakah
lembah kematian itu ada di balik lubang goa yang gelap dan
dalam ini " Tidak perduli benar atau tidak, apa salahnya kalau
memasuki ke dalamnya untuk memeriksa sebentar "
Oleh karena timbulnya pikiran itu, dan karena khawatir pula
di dalam goa yang gelap dan dalam itu ada tersembunyi
binatang-bintang berbisa atau binatang buas, maka lebih dulu
ia memusatkan kekuatan tenaga dalamnya kepada kedua
tangannya. Dengan tangan kiri melindungi dadanya, tangan
kanan membuka jalan, ia perlahan-lahan berjalan menuju ke
mulut goa. Tetapi baru saja ia bergerak, telinganya dapat menangkap
suara orang memuji Buddha, sangat perlahan, Hee Thian
Siang terkejut dan membalikkan badannya, sebab di sekitar
danau itu tadi jelas tidak terdapat orang lain, apalagi dengan
daya pendengarannya yang sangat luar biasa, yang sudah
dapat membedakan benda jatuh di tempat sepuluh tombak
jauhnya, bagaimana tadi ia tidak mengetahui, sedang
sekarang dengan mendadak timbul suara orang yang memuji
nama Buddha itu " Di atas sebuah batu besar kira-kira satu tombak terpisah
dengan danau, tampak berduduk seorang paderi berjubah
abu-abu, tetapi usia paderi itu paling banter baru kira-kira dua
puluh lima atau dua puluh enam, wajahnya putih bersih dan
tampan, tangan kanannya membawa sebuah benda seperti
pot yang terbuat dari batu giok warna ungu.
Dengan adanya pot batu giok sebagai lambang, tanpa
ditanya sudah dapat diketahui bahwa paderi itu pasti adalah Itpun Sin-ceng yang berdiam di pulau Kura lautan Timur !
Hee Thian Siang telah menyaksikan orang aneh luar biasa
dari golongan Buddha itu yang usianya ternyata masih muda
dan berwajah tampan, barulah menyadari dan pantas saja Busan Sian-cu Hwa Ji Swat bisa begitu tergila-gila terhadapnya.
Pertemuan yang tidak terduga-duga itu seharusnya ia
mengeluarkan lambang bunga mawar, dipertunjukkan kepada
It-pun Sin-ceng guna minta obat mukjijat getah pohon lengci
yang umurnya sudah ribuan tahun, di samping itu ia juga perlu
menyampaikan pesan Hwa Ji Swat, supaya ia datang ke
puncak gunung Tiaw-in-hong untuk menepati janji. Tetapi Hee
Thian Siang setelah menatap paderi itu sejenak, dengan tibatiba merubah maksudnya semula, ia berlaku pura-pura tidak
kenal dengan paderi muda itu, lalu menjura dan memberi
hormat kepadanya: "Aku yang rendah, Hee Thian Siang, bagaimanakah
sebutan Taysu" Kau tadi menyebut nama Buddha, agaknya
melarang aku memasuki goa ini, apakah di dalam goa itu ada
tersembunyi ular berbisa atau binatang buas "
It-pun Sin-ceng angkat sedikit pot batu giok di dalam
tangannya, kemudian berkata sambil tersenyum:
"Pinto selamanya berdiam di lautan timur hanya dengan pot
ini saja sebagai julukan!"
Hee Thian Siang yang mendengar jawaban itu lalu
merubah sikapnya dan memberi hormat sedalam-dalamnya
seraya berkata: "Ouw, kiranya taysu ini adalah It-pun Sin-ceng yang
namanya sangat terkenal di dalam rimba persilatan! Kalau
begitu Hee Thian Siang sudah berlaku kurang sopan terhadap
taysu. ." It-pun Sin-ceng menggoyangkan tangannya dan berkata
sambil tertawa: "Aku tidak ada sangkut pautnya dengan berbagai golongan
dalam rimba persilatan, maka dalam hubungan dengan
mereka selamanya kuperlakukan sama rata, tidak membedabedakan yang derajatnya tinggi atau rendah, yang tua atau
yang muda! Kau tadi hendak masuk ke dalam goa, apakah
kau tidak kenal dengan tanda yang terpampang di kedua sisi
mulut goa itu?" Hee Thian Siang kembali mengamat-amati dua lukisan
yang terpampang di kedua sisi mulut goa kemudian
menggelengkan kepala. It-pun Sin-ceng berkata pula:
"Setangkai daun pohon yang-liu itu adalah lambangnya
ilmu pedang Hui-hong U-liu-kiam-hwat Thiat Kwan Totiang,
kedua dari golongan Tiam-cong; sedangkan tangan manusia
yang dirangkapkan itu, adalah lambang dan tanda ilmu tangan
kosong Pan-siang-ciang-lek,
Peng-sim Sin-nie, ketua golongan Lo-hu-pay."
Terkejut Hee Thian Siang mendengar keterangan itu, maka
lalu berkata: "Tanda-tanda dan lambang ketua-ketua partai Tiam-cong
dan Lo-hu, semua sudah ada di mulut goa, kalau begitu
lembah kematian letaknya di dalam goa ini ?"
Begitu mendengar pertanyaan tentang lembah kematian,
alis It-pun Sin-ceng dikerutkan, matanya dengan mendadak
memancarkan sinar tajam menatap wajah Hee Thian Siang,
kemudian bertanya: "Kau ini murid dari golongan mana" Bagaimana kau tahu
ketua golongan Tiam-cong dan Lo-hu-pay, mengadakan
pertemuan di dalam lembah kematian ini ?"
Hee Thian Siang tahu bahwa ia tadi sudah terlanjur lancang
mulut, jikalau membohong lagi, sudah pasti akan
menimbulkan kecurigaan paderi muda itu, maka ia lalu
menjawab sambil tertawa: "Suhuku adalah Pak-bin Sin-po, tetapi tentang pertemuan
kedua ketua partai di lembah kematian itu, kudengar dari Bo
Bu Yu Locianpwe, maka barulah aku datang kemari untuk
menyaksikan dengan mata kepala sendiri."
It-pun Sin-ceng menggelengkan kepala dan berkata sambil
menghela napas: "Bo Bu Yu sifatnya memang suka banyak mulut, satu hari
kelak ia pasti akan mendapat susah dengan sifatnya itu
sendiri!" Hee Thian Siang yang mendengar ucapan itu diam-diam
merasa geli, karena ucapan It-pun Sin-ceng itu sesungguhnya
sangat jitu, sebab Bo Bu Yu baru saja mengalami kesukaran
akibat dari sifatnya yang banyak mulut, sehingga hampir saja
tidak dapat lolos dari barisan Susian Tu-hun-kiam-tin yang
sengaja dibentuk oleh empat jago wanita golongan Ngo-bie.
It-pun Sin-ceng berkata pula:
"Suhumu Pak-bin Sin-po Hong-poh Cui meskipun namanya
sangat terkenal di seluruh jagat, dan pernah menggemparkan
rimba persilatan, tetapi Peng-sim Sin-nie dan Thiat-kwan
Totiang yang kini berada di dalam lembah kematian ini,
semuanya merupakan ketua-ketua dari suatu golongan besar,
terutama pertempuran yang sifatnya rahasia semacam ini,
paling pantang disaksikan oleh orang lain, mau keramaian
yang membawa akibat bisa mencelakakan diri sendiri itu,
sebaiknya jangan disaksikan saja !"
Hee Thian Siang perlahan-lahan berjalan menghampiri Itpun Sin-ceng, baru kinilah ia dapat melihatnya dengan tegas
bahwa pot batu giok yang berwarna ungu itu di dalamnya
ternyata ada tanahnya yang juga berwarna ungu, dan di atas
tanah itu tumbuh sebuah tanaman warna ungu pula yang
berdaun sembilan ! Dalam ke heran-heranannya, ia
bertanya sambil tersenyum: "Taysu suruh aku sebaiknya jangan menyaksikan
keramaian itu, sedangkan kau sendiri jauh-jauh datang dari
lautan timur, apakah perlunya ?"
"Aku hanya ingin menggunakan kepandaianku yang ada
untuk mencegah terjadinya malapetaka yang mengancam diri
Peng-sim Sin-nie dan Thiat-kwan Totiang !"
"Taysu dengan cinta kasih yang begitu besar kau hendak
mencegah kedua pihakj yang bersangkutan terhindari dari
bahaya maut, apakah Taysu tidak keberatan kalau Hee Thian
Siang juga turun mengeluarkan sedikit tenaga yang ada untuk
berbagi pahalamu ini ?"
It-pun Sin-ceng kembali terbungkam oleh pertanyaan itu,
tapi akhirnya berkata juga sambil menganggukkan kepala dan
tertawa: "Hee Siao-sicu, kau sesungguhnya seorang gagah yang
sangat berani dan pandai bicara, sesungguhnya merupakan
jago muda yang jarang terdapat di dalam rimba persilatan !
Baik, baik, baik, pinceng bersedia membantu untuk mencapai
cita-citamu yang baik ini !"
"Kedatangan taysu barangkali terlalu pagi Peng-sim Sin-nie
dan Thiat-kwan Totiang berdua entah sejak kapan memasuki
goa ?" Bertanya Hee Thian Siang sambil tertawa.
"Tadi pagi-pagi sekali, dua ketua dari dua partai besar itu, setelah masingmasing melukiskan lambang tandanya ke atas
batu di mulut goa itu, lalu bersama-sama memasuki lembah
kematian !" Mendengar jawaban itu Hee Thian Siang terkejut, maka lalu
bertanya: Pagi-pagi sekali sudah masuk ke dalam lembah, hingga
sekarang sudah cukup lama, kalau taysu memang hendak
mencegah terjadinya pertempuran antara kedua ketua itu,
bagaimana hingga sekarang masih belum bersedia masuk ke
dalam lembah ?" "Bagaimana kau pandang begitu tidak berharga dua ketua
itu " Mereka setelah masuk ke lembah kematian,
pertandingan yang dilakukan dengan tangan kosong hingga
menggunakan senjata tajam, dan dari senjata tajam lalu
beralih ke pertandingan kekuatan tenaga dalam, setidaktidaknya akan makan waktu dua atau tiga hari lamanya,
barulah kedua-duanya kehabisan tenaga dan melakukan
pertempuran mati-matian yang terakhir!" Berkata It-pun Sinceng sambil menggelengkan kepala dan tertawa.
"O, jadi taysu hendak menunggu sampai keduanya
melakukan pertandingan yang terakhir, barulah hendak masuk
ke dalam lembah ?" It-pun Sin-ceng memandangnya sejenak, kemudian berkata
sambil tersenyum: "Orang-orang rimba persilatan seperti Peng-sim Sin-nie dan
Thiat-kwan Totiang yang menjadi ketua dari partai besar,
sudah tentu sifatnya tinggi hati, sayang namanya daripada
nyawanya, jikalau tidak menunggu sampai mereka kehabisan
tenaga, siapakah yang bisa memasuki goa itu " Sekalipun kita
berhasil memasuki goa dengan diam-diam, asal terlihat oleh
mereka, pasti akan ditertawakannya dan diejeknya sehingga
kita mendapat malu besar, bahkan ada kemungkinan kita akan
diusir keluar !" Setelah mendengar keterangan itu, Hee Thian Siang tahu
bahwa apa yang telah dikatakan It-pun Sin-ceng, memang
sebenarnya, maka ia hanya menghela napas karena merasa
sayang. It-pun Sin-ceng yang menyaksikan keadaan demikian,
bertanya dengan heran: "Siao-sicu, mengapa sikapmu menunjukkan perasaan
sayang ?" Thiat-kwan Totiang dalam rimba persilatan mendapat
julukan jago pedang nomor satu dari golongan Tiam-cong-pay,
di samping ilmu pedangnya yang terdiri dari tujuh puluh dua
jurus, kepandaian ilmu silat lainnya juga sudah
menggemparkan dunia kang-ouw! Sedangkan Peng-sim Sinnie, ilmu tangan kosongnya Pan-sian-ciang-lek dan senjata
kebutannya Pin-swi-hut, merupakan kepandaian luar biasa
dalam rimba persilatan, yang sudah lama sangat kukagumi!
Pertandingan yang jarang tampak ini sebaliknya aku tidak
mendapat kesempatan untuk menyaksikan, maka itu merasa
sangat sayang !" Mata It-pun Sin-ceng memandang Hee Thian Siang dari
atas sampai ke bawah, tiba-tiba bertanya:
"Apakah suhumu pernah mengajari kau ilmu mengkeretkan
badan ?" Hee Thian Siang meskipun merasa pertanyaan itu agak
mendadak, tetapi ia tahu ada mengandung maksud dalam,
maka menjawab dengan muka kemerah-merahan.
"Suhu memang pernah mengajarkan, tetapi oleh karena
aku diam-diam meninggalkan suhu turun gunung, hingga
ilmuku belum mencapai ke taraf yang sempurna betul,
barangkali hanya tujuh atau delapan bagian saja!"
"Pelajaran ilmu batin keturunan Pak-bin Sin-po sudah tentu
sangat jauh berlainan dengan golongan biasa, kalau sudah
berhasil mempelajari ilmu mengerutkan tubuh sehingga
delapan bagian, barangkali sudah cukup kau pakai !"
Berkata sampai di situ, It-pun Sin-ceng berdiam sejenak
dan selagi Hee Thian Siang hendak menanyakan sebabnya, ia
harus menggunakan ilmu mengerutkan badan, It-pun Sin-ceng
sudah berkata pula sambil menunjuk goa yang gelap itu:
"Ucapanmu tadi benar, dengan tidak mudah kita
menemukan pertandingan antara orang-orang seperti Pengsim Sin-nie dan Thiat-kwan Totiang yang kedua-duanya
memiliki kepandaian ilmu silat sangat tinggi, jikalau kita tidak
menyaksikan dengan mata sendiri, sesungguhnya sangat
sayang dengan perjalanan kita ini !"
Hee Thian Siang dapat menyelami maksud ucapan It-pun
Sin-ceng itu maka dengan sangat girang ia bertanya:
"Apakah taysu mengijinkan aku masuk ke dalam lembah
untuk menyaksikan secara diam-diam?"
It-pun Sin-ceng menjawab sambil menganggukkan kepala:
"Tetapi aku minta kau mesti mematuhi ucapanmu sendiri
itu, ialah menyaksikan secara diam-diam. Ketahuilah olehmu
bahwa daya pendengaran orang-orang seperti dua ketua
partai itu, sekalipun hanya sebutir pasir jatuh di tanah sudah
cukup mengejutkan mereka, maka sekali-kali kau jangan
mendekati tempat sejarak sepuluh tombak dari tempat


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertempuran, jikalau tidak perbuatanmu ini bukan saja
mencelakakan orang lain, tetapi juga bisa mencelakakan
dirimu sendiri !" Hee Thian Siang menganggukkan kepala tanda menurut,
baru saja hendak lompat melesat, It-pun Sin-ceng sudah
berkata lagi: "Setelah kau masuk ke dalam goa, kau harus melewati
dinding batu yang terdiri empat lapis, barulah bisa sampai ke
lembah kematian! Tetapi dinding lapis empat itu, sulit bagimu
untuk melewati, juga tidak boleh kau lewati, kau hanya boleh
berpisah dengan dinding batu itu, untuk menyaksikannya
dengan menahan nafas."
Dalam benak Hee Thian Siang saat itu sudah terbayang
bagaimana serunya pertempuran antara Peng-sim Sin-nie dan
Thiat-kwan Totiang itu, maka ketika mendengar perkataan itu,
sambil menganggukkan kepala ia sudah lompat melesat, dua
kali lompatan saja sudah masuk ke dalam goa yang gelap.
Setelah melewati lima tikungan, beradalah di dalam goa
yang sedikit pun tidak ada sinarnya, hingga keadaan gelap
gulita, di samping itu juga terdapat selapis dinding tembok
yang merintangi perjalanannya.
Hee Thian Siang mengulur tangannya meraba-raba dinding
itu; benar saja dinding itu terpisah kira-kira empat kaki
tingginya dari sana, di situ terdapat lubang kecil kira-kira satu
kaki, maka lalu ia menggunakan ilmunya mengkeretkan
badannya, menyusup ke dalam lubang kecil itu. Lobang yang
terdapat di lapisan kedua lebih kecil lagi, garis tengahnya
hanya satu kaki. ketika tiba di lapis ketiga, lobang yang
terdapat di dinding itu sekecil pot yang berada di tangan It-pun
Sin-ceng. Hee Thian Siang mengerahkan seluruh kepandaian
ilmunya, baru berhasil menyusup melalui lobang itu!
Tempat ia sekarang berada, merupakan balik dinding ke
empat yang gelap, juga merupakan alingan lembah kematian,
maka tampak sedikit sinar, tetapi apa yang dinamakan sinar
itu hanya sinar samar-samar yang keluar dari bagian atas
dinding itu, jelas bahwa goa di atas turun menurun ke bawah,
sehingga sinar yang menyinari atas goa memantul ke dalam
tempatnya, tetapi karena terlalu suram maka keadaan dalam
goa masih tidak dapat melihat dengan pandangan mata. Dua
tangan Hee Thian Siang menempel di dinding, menggunakan
ilmunya "cecak merambat tembok", perlahan-lahan merambat naik ke atas setinggi
satu tombak lebih, benar saja di luar
dinding terdapat tempat yang dinamakan lembah kematian itu,
karena tempat itu agak rendah, dengan demikian hingga
lubang itu benar menurun ke bawah.
Lembah kematian itu, memang tepat dengan namanya!
Hee Thian Siang meskipun terhalang oleh kecilnya lobang goa
dan jurusannya sehingga tidak bisa banyak melihat keadaan
dalam lembah, tetapi apa yang masuk ke dalam pandangan
matanya, tampak dengan jelas olehnya tumpukan tulangtulang putih, di tengah-tengah runtuhan tulang-tulang itu,
terpisah kira-kira enam kaki jauhnya, duduk berhadapan
seorang pendeta wanita berbaju putih dan berwajah cantik,
dengan seorang imam yang wajahnya kurang jelas, hanya dari
rambut dan jenggotnya yang putih semuanya, ditaksir usianya
kira-kira sudah enam puluh tahun lebih!
Pendeta wanita dan Imam yang saling berhadapan itu,
keduanya duduk bersila sambil memejamkan mata, tiada
sepatah kata pun yang keluar dari mulut masing-masing,
tetapi pakaian dan jubah kedua pihak, semuanya
bergelombang, agaknya badan mereka sedang gemetaran.
Hee Thian Siang merasa sangat kecewa, dia pikir dua
ketua itu keadaannya tidak mirip sedang mengadu
kepandaian, mereka mirip sekali dengan orang-orang yang
sedang menderita kesakitan hebat!
Di luar tahunya Hee Thian Siang, di dalam goa yang sangat
gelap gulita itu, terpisah dengan dinding tembok berlapis
empat, waktu ia sedang tujukan pandangan matanya ke dalam
lembah kematian, ada sepasang mata yang sangat kejam
buas dan licik mengawasi gerak-geriknya di tempat yang
terpisah hanya beberapa kaki dengan dirinya.
Sayang, Hee Thian Siang yang tidak mengira bahwa di
dalam goa itu masih ada orang lagi juga belum pernah
memikirkan untuk berpaling memandang keadaan di
belakangnya, maka ia sama sekali tidak tahu kalau ada
sepasang mata yang mengintai dirinya, jikalau tidak, mungkin
ia dapat melihat bahwa sepasang mata yang mengintai dirinya
itu, tidak asing bagi dirinya, lalu dapat mempelajari maksud
orang itu untuk mengetahui maksud yang sebenarnya. Kalau
ia bertindak demikian, niscaya tindakannya itu dapat
mencegah terjadinya banyak persoalan di kemudian hari, juga
dapat mencegah pula kehancuran seluruh rimba persilatan!
Orang yang sembunyi di tempat gelap itu beberapa kali
mengangkat tangannya, hendak membokong Hee Thian
Siang, tetapi entah pertimbangan
apa, akhirnya ia membatalkan maksudnya, sedangkan Hee Thian Siang saat
itu sudah mendapat lihat bahwa Peng-sim Sin-nie dan Thiatkwan Totiang benar seperti dalam keadaan terluka parah,
maka ia telah mengambil keputusan hendak balik kembali
untuk memberitahukan kepada It-pun Sin-ceng dan minta ia
supaya mengambil tindakan seperlunya.
It-pun Sin-ceng sendiri juga tidak menduga bahwa di dalam
lembah kematian itu bisa terjadi perobahan secara tiba-tiba
demikian. Ketika menampak Hee Thian Siang yang belum
lama masuk ke dalam goa, sudah melompat keluar kembali
dengan sikap gugup dan bingung, maka lalu ditegurnya
dengan perasaan heran: "Siao sicu, bagaimana demikian cepat kau sudah kembali
lagi" Apa kau tadi mengeluarkan suara, sehingga
mengejutkan mereka berdua. .?"
Belum lagi habis ucapannya, Hee Thian Siang sudah
menjawab: "Taysu, lekas pergi lihat, aku sendiri tidak mengalami
kesulitan apa-apa, namun aku khawatir dua ketua itu
barangkali akan mengalami kesulitan besar! "
Agak bingung It-pun Sin-ceng mendengar jawaban itu,
maka ia masih bertanya dengan perasaan sangsi:
"Kau maksudkan Thiat-kwan Totiang yang mendapat
kesulitan dari serangan tangan Pan-sian Ciang-lek Peng-sim
Sin-nie, ataukah Peng-sim Sin-nie yang mendapat kesulitan
menghadapi ilmu pedang Hui-hong-u-liu-kiam-hoat?"
Karena keadaan sudah mendesak, maka Hee Thian Siang
tidak menjawab pertanyaan It-pun Sin-ceng, sebaliknya
menarik tangan paderi itu dan diajak bersama-sama masuk ke
dalam goa. Dalam perjalanan itu ia menceritakan tentang apa yang
dilihatnya di dalam lembah.
It-pun Sin-ceng yang mendengar laporan ini merasa
setengah percaya setengah tidak, tetapi ketika dia tiba di
dinding lapis ke empat, dari satu celah lobang mengintai ke
dalam lembah kematian, baru tahu bahwa ucapan Hee Thian
Siang sedikit pun tidak salah !
Dalam perjalanan itu, Hee Thian Siang baru menyadari
bagaimana hebatnya kepandaian ilmu It-pun Sin-ceng,
dengan tangan membawa pot batu giok, dengan mudah sekali
ia dapat menyusup masuk melalui lobang-lobang goa yang
sangat kecil itu. Dalam keadaan demikian, ia sangat kagum sekali terhadap
kepandaian paderi itu, saat itu tampak olehnya It-pun Sin-ceng
sedang pusatkan perhatiannya kepada Peng-sim Sin-nie dan
Thiat-kwan Totiang yang duduk berhadapan di sekeliling
tulang-tulang manusia, namun agaknya juga tidak berdaya,
maka ia lalu berkata dengan suara perlahan:
"Mengapa Taysu tidak mau menggunakan ilmu "Singa
Mengaung" dari golongan Buddha, atau "Naga Sakti
Menyanyi", coba mungkin dapat menyadarkan dua ketua
partai yang agaknya berada dalam keadaan pingsan itu ?""
It-pun Sin-ceng merasa bahwa usul Hee Thian Siang itu
sesungguhnya boleh dicoba, maka ia lalu mengerahkan
kekuatan tenaganya, lebih dulu ia menggunakan ilmu "Naga
Menyanyi" yang sangat lembut, namun paling tepat untuk
menggerakkan pikiranb orang, ia berkata sambil tertawa:
"Peng-sim Sin-nie dan Thiat-kwan Totiang, dengan cara
bagaimana kalian berdua bisa bersama-sama ebrada di dalam
lembah kematian ini " Sungguh gembira nampaknya kalian
berdua. .!" Peng-sim Sin-nie dan Thiat-kwan Totiang yagn mendengar
suara itu, lebih dulu Thiat-kwan Totiang yang agaknya terkejut,
kemudian disusul oleh Peng-sim Sinc-nie yang bergerak
kelopak matanya, tetapi akhirnya karena tiada sanggup
membukanya, sehingga badannya gemetar semakin hebat.
Pada saat itu, orang yang tadi sembunyi di dalam ruang
yang gelap itu sudah lama mengundurkan diri melalui jalan
rahasia. It-pun Sin-ceng yang melihat bahwa ilmunya tadi itu masih
belum berhasil menyadarkan kedua pemimpin itu, lalu
mengerahkan ilmunya yang dinamakan "Singa Mengaung",
dengan suara keras ia berkata:
"Toyu berdua, bagaimana kalian seperti dalam keadaan
bingung" Pinceng It-pun ada di sini !"
Suara ini menimbulkan gema yang sangat hebat, sehingga
menggetarkan lembah dan gua yang gelap itu.
Kali ini Peng-sim Sin-nie, dengan susah payah dari
mulutnya mengeluarkan suara lemah dan terputus-putus:
"Di luar. . lembah. . kema. .tian. . ada. . orang. . .
membokong. . aku. . . . dan. . . ketua. . . Tiam-cong-pay. . .
Thiat-kwan. . Totiang. . . selagi. . . pertempuran. . . ber. . .
langsung. . . tidak lama. . . . lalu. . sama-sama. . .
terkena. . . racun. . berbisa. . . "
Jawaban itu sesungguhnya di luar dugaan It-pun Sin-ceng,
maka ia lalu mengeluarkan suara terkejutnya, sedangkan Hee
Thian Siang yang sudah tidak perlu merasa ragu-ragu lagi,
lalu menyalakan api untuk memeriksa keadaan dalam goa
kemudian ia berkata kepada It-pun Sin-ceng:
"Apakah taysu merasa perlu menghancurkan dinding lapis
ke empat ini" Jikalau Taysu anggap perlu, biarlah kuberikan
senjata peledakku ini ! "
"Kian-thian Pek-lek dari perguruanmu, meskipun
merupakan senjata yang sangat dahsyat cukup untuk
menghancurkan goa ini, tetapi jikalau kita gunakan di sini,
bukan saja Peng-sim Sin-nie dan Thiat-kwan Totiang yang
berada di lembah, yang sudah pasti akan hancur lebur
bersama, sedangkan kau dan aku sendiri juga akan terkubur
hidup-hidup di dalam goa ini. ." Menjawab It-pun Sin-ceng
sambil menggelengkan kepala.
Berkata sampai di situ, tiba-tiba sikapnya menunjukkan
sangat serius, sepasang matanya memancar sinar berkilauan
menatap Hee Thian Siang, setelah itu ia memberikan pot batu
giok yang ada di tangannya kepada Hee Thian Siang seraya
berkata dengan sungguh-sungguh:
"Sejak pinceng masuk dalam golongan Buddha dan
menggunakan sebuah pot ini sebagai tanda, pot ini belum
pernah terpisah dari tanganku! Hari ini oleh karena perlu
hendak menolong ketua Lo-hu-pay dan Tiam-cong-pay yang
dibokong orang, dan jelas dalam keadaan sangat berbahaya,
terpaksa akan membuang kebiasaanku sendiri, sekarang
kuserahkan benda ini supaya sicu pegang, kau boleh tunggu
mulut goa ini untuk mendengar perintahku lebih jauh, sekalikali jangan sampai tanaman yang berada di dalam pot ini
tersentuh dengan benda logam !"
Menyaksikan sikap sungguh-sungguh dari orang aneh
golongan Buddha ini, Hee Thian Siang dengan sikap sangat
menghormat menyambuti pot batu giok dari tangannya,
sedang matanya mengawasi It-pun Sin-ceng yang
menggunakan ilmunya mengkeretkan badan, perlahan-lahan
keluar dari lubang itu dan memasuki lembah kematian yang
penuh tulang manusia ! Begitu It-pun Sin-ceng keluar dari lubang goa dan
melompat turun ke dalam lembah, pertama-tama
mengeluarkan suara pujian nama Buddha terhadap tulangtulang manusia yang berserakan di dalam lembah itu.
Pada saat itu, ketua dari golongan Lo-hu dan Tiam-cong
meskipun mereka memiliki kekuatan tenaga yang sudah
sempurna, namun kedua-duanya masih tidak sanggup
mempertahankan keadaannya duduk di tanah, sehingga jatuh
rubuh di atas tumpukan tulang, sedang sekujur badannya
gemetaran, jika ditilik dari keadaannya yang demikian, paling
lama hanya dalam waktu beberapa menit saja jiwanya pasti
akan melayang ! It-pun Sin-ceng kembali memuja Buddha, ibu jari dan jari
tengah tangan kanan, melakukan gerakan ke tengah udara,
dengan menggunakan ilmunya membuka totokan jalan darah
melalui udara dari golongan Buddha, untuk sementara ia
menahan bergolaknya darah dalam tubuh kedua ketua itu.
Kemudian, ia cepat-cepat lompat kembali ke dalam goa,
dan berkata kepada Hee Thian Siang:
"Siao sicu, lekas kau petikkan selembar daun yang berada
dalam goa itu, berikan kepadaku untuk menolong mereka!"
Hee Thian Siang menurut, ia melakukan seperti apa yang
diminta oleh It-pun Sin-ceng. Poros bekas petikan tangkai
daun itu, mengeluarkan getah berwarna putih, getah itu
menimbulkan bau yang sangat harum sekali, sehingga bagi
orang yang menciumnya pikirannya merasa segar dan begitu
pula perasaannya. Getah dari tumbuhan ajaib yang memiliki bau demikian
harum, mengingatkan Hee Thian Siang akan perintah duta
mawar, hingga diam-diam menduganya apakah getah itu
getahnya pohon lengci yang sudah berumur ribuan tahun"
It-pun Sin-ceng setelah menerima daun dari tangan Hee
Thian Siang, segera dibagi menjadi dua potong, yang masingmasing dimasukkan ke dalam mulut Peng-sim Sin-nie dan
Thiat-kwan Totiang, di samping itu, di atas badan dua orang
itu, dia mengurut-urut dengan melalui ilmu dari jarak jauh.
Tindakan itu seolah-olah menggunakan tenaga terlalu banyak,
hingga di atas kepalanya sampai mengeluarkan keringat.
Hee Thian Siang yang menyaksikan dengan jelas, tahu
bahwa It-pun Sin-ceng karena terbatas oleh adat istiadat
antara kaum pria dengan wanita, terpaksa harus


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan ilmunya yang memakan banyak tenaga itu,
meng urut-urut melalui udara, supaya getah dari daun tadi
lekas membawa hasil. It-pun Sin-ceng yang merupakan Sahabat akrab Peng-sim
Sin-nie, tidak heran jika ia mengeluarkan banyak tenaga untuk
menolong jiwa sahabatnya itu, tetapi terhadap musuh besar
sahabatnya itu ialah Thiat-kwan Totiang, ia juga perlakukan
dengan cara yang serupa, tidak membeda-bedakan atau pilih
kasih. Ini membuktikan betapa agung cinta kasih It-pun Sinceng terhadap sesama manusia, dan betapa adil tindakannya
itu; sehingga Hee Thian Siang yang menyaksikan semuanya
itu merasa sangat kagum sekali.
Tak lama kemudian It-pun Sin-ceng menarik napas
panjang, dan menarik kembali tangannya sambil tersenyum.
Hee Thian Siang tahu bahwa usaha paderi muda itu telah
berhasil, hingga dengan demikian dua ketua dari dua partai
besar yang saling bermusuhan itu, terhindarlah dari ancaman
maut. Benar saja, dalam waktu sekejap mata, Peng-sim Sin-nie
dan Thiat-kwan Totiang dua-duanya telah sadar kembali dan
lompat dari tumpukan tulang. Dua orang itu dengan berbareng
membuka tangannya, dalam telapak tangan masing-masing
terdapat sebuah duri beracun yang panjangnya satu dim dan
bentuknya sangat aneh, tetapi besar dan kecilnya benda itu
serupa benar. Thiat-kwan Totiang membolak-balikkan duri beracun dalam
tangannya, dengan sangat hati-hati dimasukkan dalam saku
bajunya, lebih dahulu ia menganggukkan kepala kepada It-pun
Sin-ceng untuk mengucapkan terima kasih atas
pertolongannya, kemudian berkata kepada Peng-sim Sin-nie:
"Pertemuan kita hari ini, oleh karena kita sama-sama
terbokong oleh manusia licik, sudah tentu kita habiskan
sampai disini dahulu! Tetapi pinto ingin berunding dengan
taysu, bolehkah kiranya pertempuran yang dijanjikan akan
dilakukan pada musim panas tahun depan kita undurkan
waktunya?" "Kalau sudah ditentukan, perlu apa harus diundurkan?"
jawab Peng-sim Sin-nie dengan nada suara dingin.
Sepasang mata Thiat-kwan Totiang terbuka lebar. Dengan
sinar mata tajam menatap wajah Peng-sim Sin-nie, kemudian
berkata dengan suara tegas: "Peng-sim Taysu, kau jangan
salah paham, tiga jago pedang dari golongan Tiam-cong dan
semua anak muridnya, apa kau kira ada orang-orang yang
takut mati" Aku hanya pikir hendak menyelidiki lebih dahulu
siapa manusianya yang begitu tidak tahu malu, yang
menggunakan senjata duri beracun ini membokong kita"
Setelah kita berhasil menangkap kawanan tikus itu barulah
kita mengadakan pertemuan lagi untuk melangsungkan
pertandingan antara Tiam-cong dengan lohu! "
Hee Thian Siang yang mendengar pembicaraan itu tiba-tiba
teringat pada tujuh orang penting golongan Bu-tong, tiga
diantaranya juga binasa oleh senjata duri beracun itu.
Keadaannya mirip dengan kejadian hari ini, sayang, oleh
karena jarak terlalu jauh ia tidak dapat melihat dengan tegas
duri beracun di tangan Peng-sim Sin-nie dan Thiat-kwan
Totiang itu, apakah betul merupakan duri yang berbentuk
ujung tiga?" Selagi dalam hatinya timbul perasaan curiga, terdengar
pula Peng-sim Sin-nie menjawab: "Kata-katamu ini aku dapat
mengerti, kita masing-masing berusaha untuk mencari dan
membasmi orang itu, setelah kita berhasil dalam usaha itu,
lalu mengadakan pula tempat dan waktunya untuk
melangsungkan pertandingan!"
Thiat-kwan Totiang yang mendengar ucapan itu lalu
berkata sambil menganggukkan kepala: "Baiklah, demikian
saja kita tetapkan, oleh karena pinto ingin segera melakukan
penyelidikan terhadap manusia tidak tahu malu yang
melakukan perbuatan rendah itu, maka disini aku minta diri
lebih dahulu!" Sehabis berkata, kembali ia memberi hormat kepada It-pun
Sin-ceng, lalu melompat melesat melalui lobang dalam goa,
dengan menggunakan ilmunya mengkeretkan tubuh.
Hee Thian Siang sebetulnya ingin menyingkir tapi
kemudian berpikir lain. Ia tetap berdiri dengan tegak sambil
memegang pot It-pun Sin-ceng. Thiat-kwan Totiang setelah
memasuki lapisan dinding itu, dengan tiba-tiba ia tampak Hee
Thian Siang, sejenak ia menatap terkejut dan hendak turun
tangan. Hee Thian Siang lalu tersenyum kepadanya dan
mengangkat tinggi pot batu giok yang berada di tangannya.
Thiat-kwan Totiang yang melihat pot batu giok berwarna
ungu itu baru tahu bahwa Hee Thian Siang adalah orang yang
datang bersama It-pun Sin-ceng, maka ia membatalkan
maksudnya hendak turun tangan, dan melanjutkan
perjalanannya menyusup ke lobang dinding lapis ketiga!
JILID 3 Pada waktu itu, didalam lembah kematian itu Peng-sim Sinnie dan It-pun Sin-ceng tampak berdiri berhadapan saling
memandang, tetapi kedua-duanya bungkam. Lama tiada
seorang pun yang membuka suara.
Hee Thian Siang yang menyaksikan keadaan demikian,
timbullah rasa herannya, namun ia sedikitpun tidak berani
bergerak, karena takut mengganggu mereka.
Dua tokoh luar biasa dalam rimba persilatan itu, setelah
sekian lama berdiri berhadapan dalam keheningan, Peng-sim
Sin-nie baru bertanya kepada It-pun Sin-ceng, sambil
menghela napas: "Kau tidak berdiam di lautan Timur untuk
melakukan pertapaanmu, mengapa kau datang lagi ke gunung
Ciong-lam untuk campur tangan urusan ini?"
It-pun Sin-ceng menjawab sambil tersenyum: "Jikalau aku
tidak datang dari tempat demikian jauh dan secara kebetulan
pula berjumpa dengan sahabat kecil murid Pak-bin Sin-po itu,
sehingga secara keberulan mengetahui keadaan didalam
lembah dan dapat menolong pada waktunya yang tepat, kau
dengan Thiat-kwan Totiang bukankah sudah mati bersamasama didalam lembah ini?"
"Jikalau aku dan Thiat-kwan Totiang bersama-sama binasa
didalam lembah kematian ini mungkin dapat menghapuskan
semua dendam dan sakit hati yang ada diantara golongan Lohu-san dan golongan Tiam-cong!"
"Pikiranmu semacam itu, sesungguhnya salah sekali.
Andaikata benar hari ini ketua dari golongan Lo-hu-pay dan
Tiam-cong-pay bersama-sama binasa didalam lembah kematian ini tetapi kematian itu disebabkan karena terbokong
oleh orang lain, maka hal ini pasti akan membawa akibat
hebat bagi rimba persilatan! Dengan demikian, bukankah
berarti kau yang masuk neraka, tetapi semua orang juga ikut
masuk ke dalam neraka?"
Dikatakan demikian oleh It-pun Sin-ceng, Peng-sim Sin-nie
tidak bisa menjawab. Maka dengan tiba-tiba ia lompat melesat
ke dalam goa dengan melalui lobang kecil itu.
It-pun Sin-ceng berkata sambil tertawa: "Sudah lama kita
tidak pernah bertemu muka, bagaimana kau pergi begitu
tergesa-gesa?" Peng-sim Sin-nie yang waktu itu sudah menggunakan
ilmunya mengkeretkan tubuh, menyusup ke dalam lobang
goa, atas perkataan It-pun Sin-ceng itu ia menjawab dengan
suara nyaring: "Kau yang berdiam di lautan timur, dengan
susah payah baru mendapatkan kemajuan ilmu
kepandaianmu, janganlah lagi tergerak pikiran keduniawianmu! Tunggu setelah aku berhasil menyelidiki asalusulnya duri beracun itu, dan menyelesaikan permusuhan
dengan golongan Tiam-cong, aku akan undang kau ke gunung
Lo-hu-san untuk berkumpul lagi selama sepuluh hari!"
Berkata sampai di situ, orangnya sudah keluar dari lobang
kecil itu, tetapi ketika ia menampak Hee Thian Siang yang
berdiri sambil memegang pot batu giok milik It-pun Sin-ceng,
ketua dari golongan Lo-hu itu mendadak merah wajahnya,
setelah itu ia menggerakkan kakinya melanjutkan
perjalanannya keluar dari goa itu!
Hee Thian Siang yang menyaksikan kejadian itu, terkejut,
heran dan timbul kecurigaannya, diam-diam memikirkan diri
Bu-san Siancu Hwa Ji Hwat yang sudah tergila-gila kepada Itpun Sin-ceng, tetapi Peng-sim Sin-nie ketua dari golongan Lohu-pay itu agaknya juga mempunyai hubungan erat sekali
dengannya, kalau begitu It-pun Sin-ceng ternyata tidak mirip
dengan orang beribadat yang menganut agama Buddha,
perbuatannya itu bahkan mirip dengan seorang pemuda yang
romantis. Selagi ia berada dalam keadaan keheran-heranan, It-pun
Sin-ceng sudah berada di belakangnya, dan berkata sambil
tertawa: "Siao sicu kau sedang memikirkan apa" Meskipun
ilmu silatmu dari keturunan orang ternama tetapi ada
beberapa bagian pengetahuan dalam golongan Buddha
bukanlah orang semuda kau ini, apalagi yang belum lama
terjun didalam dunia Kang-ouw dan belum mempunyai
pengalaman banyak, yang dapat memahami apalagi
merasakan!" Wajah Hee Thian Siang merah seketika, ia mengembalikan
pot batu giok kepada It-pun Sin-ceng, keduanya lalu
menggunakan ilmu mengkeretkan tubuh, keluar melalui
lobang kecil itu. Sekeluarnya dari goa yang gelap itu, ia baru bertanya
kepada It-pun Sin-ceng sambil tertawa: "Apakah taisu tadi
pernah melihat duri berbisa yang digunakan untuk
membokong Peng-sim Sin-nie dan Thiat Kwan Totiang,
benarkah bentuknya itu berujung segi-tiga?"
Dengan terheran-heran, It-pun Sin-ceng menatap wajah
Hee Thian Siang, kemudian bertanya padanya: "Bagaimana
kau dapat menduga duri berbisa itu ujungnya berbentuk segitiga?" Hee Thian Siang yang mendengar jawaban itu, segera
mengetahui bahwa duri berbisa itu benar duri berbentuknya
segi-tiga, ia juga menduga bahwa dalam rimba persilatan
kembali terancam oleh bahaya maut, jikalau perbuatan itu
dibiarkan berlangsung terus, tidak dicegah, sudah pasti nanti
akan menimbulkan keonaran dan pertumpahan darah tidak
henti-hentinya! Maka ia segera menjawab: "Tahukah taisu
bahwa Tek-tim, Ngo-tim dan Hu-tim tiga orang penting dari
golongan Bu-tong juga terbinasa oleh senjata rahasia duri
berbisa itu?" It-pun Sin-ceng ketika mendengar bahwa tiga orang penting
dari golongan Bu-tong juga terbinasa di bawah senjata duri
berbisa itu, tergerak hatinya, maka segera menanyakan lebih
jauh kepada pemuda itu. Hee Thian Siang menjawab bahwa
apa yang diketahui olehnya juga belum begitu jelas, ia hanya
menceritakan apa yang dilihatnya dan apa yang diucapkan
oleh Imam Bu-tong-pay It-hwan Totiang ketika berjumpa
dengannya di puncak gunung Thian-cu-hong.
It-pun Sin-ceng dengan tenang mendengarkan cerita itu,
matanya kembali ditujukan ke arah lembah kematian dan goa
yang gelap itu. Pada waktu itu, lukisan tanda dan lambang pemimpin
kedua partai sudah dihapus oleh dua orang yang
bersangkutan. Dengan sikap serius It-pun Sin-ceng berkata sambil
mengerutkan alisnya: "Orang yang menggunakan senjata
rahasia duri berbisa semacam itu, dengan beruntun telah
turun terhadap orang-orang penting dari golongan Bu-tong,
Lo-hu dan Tiam-cong, maksud dan tujuannya sangat
mencurigakan, terutama kejadian hari ini, sesungguhnya
sangat mengherankan sekali!"
Hee Thian Siang menanyakan sebabnya, It-pun Sin-ceng
menjawab lambat-lambat: "Kedatanganku ditempat ini masih
terlalu pagi sekali, ketika aku tiba di sini keadaan masih gelap,
dan jam waktu itu menunjukkan jam satu malam, maka
pinceng segera menyembunyikan diri disekitar tempat ini,
terus menunggu sampai datangnya pagi, barulah tampak
ketua Tiam-cong Thiat-kwan Totiang dan ketua Lo-hu-pay
Peng-sim Sin-nie tiba hampir berbareng ditempat ini, dua
ketua partai itu setelah melukiskan tanda dan lambing masingmasing dengan beruntun memasuki lembah kematian! Kecuali
ini, sama sekali tidak tampak orang lain yang memasuki goa,
maka dari manakah orang yang melakukan serangan gelap
itu" Apakah ada orang yang sudah merancangkan suatu
rencana lebih dahulu, dan orang itu sebelumnya sudah tahu
pertempuran antara Peng-sim Sin-nie dan Thiat-kwan Totiang
yang akan berlangsung ditempat ini, sehingga sembunyikan
diri lebih dahulu didalam goa dengan melalui jalan rahasia,
maka setelah melakukan perbuatannya dengan mudah sekali
dapat mengundurkan diri." Hee Thian Siang juga merasa
bingung. It-pun Sin-ceng lalu berkata lagi padanya sambil
tertawa: "Siao-sicu yang hendak berkelana di kalangan Kang-ouw,
ada baiknya banyak ambil perhatian terhadap persoalan yang
mengandung rencana keji dan sifatnya agak misterius ini,
jikalau dapat membuka kedok orang yang main gila di
belakang layer itu, mungkin dapat mencegah terjadinya
pertumpahan darah didalam rimba persilatan, hal ini
merupakan suatu pahala besar bagi umat manusia! Pinto juga
hendak pergi ke kuil Sam-gwa-kwan untuk menjumpai
pemimpinnya, untuk menanyakan sebab musabab kematian
tiga anggotanya yang terpenting itu!" Sehabis berkata
demikian, baru saja hendak membalikkan badannya, Hee
Thian Siang sudah berkata sambil tersenyum:
"Taysu harap tunggu sebentar, sungguh kebetulan kita
berjumpa di sini, jikalau tidak, Hee Thian Siang yang ada
urusan pasti masih perlu pergi ke lautan Timur untuk mencari
Taysu!" It-pun Sin-ceng agak terkejut, maka segera bertanya: "Aku
semula masih mengira bahwa pertemuan dengan siau sicu ini
hanya secara kebetulan saja, tak disangka bahwa siao sicu
memang sengaja mencari pinceng, akan tetapi orang-orang
dari golongan Pak-bin denganku selamanya tidak ada. ."
"Maksud dan tujuan Hee Thian Siang hendak berkunjung


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada Taysu, sebenarnya ada dua hal, tetapi semuanya
tidak ada hubungannya dengan perguruanku."
Mendengar pernyataan Hee Thian Siang, yang
mengatakan bahwa ia mencari dirinya ada keperluan dua hal,
karena ia tidak mengetahui yang dimaksudkan dengan dua hal
itu maka menatap wajah pemuda itu, kemudian bertanya
sambil tertawa: "Siao sicu, pinceng meskipun menganut
agama Buddha, tetapi masih belum dapat mengetahui apaapa yang belum terjadi, kau hendak pergi ke lautan Timur
mencari pinceng, ada urusan apakah sebetulnya" Sebaiknya
kau berkata terus terang!"
Mata Hee Thian Siang ditujukan ke atas pot batu giok
berwarna ungu itu, kemudian berkata sambil tersenyum: "Ke
satu, aku hendak minta dua tetes getah pohon lengci ini
kepada taysu!" Jawaban itu agaknya di luar dugaan It-pun Sin-ceng, ia
memandangnya sejenak, setelah berpikir barulah berkata
pelan-pelan: "Pohon lengci yang kutanam dalam mangkok ini,
semuanya ada sembilan daun, setiap daun khasiatnya dapat
menghidupkan orang yang sudah hampir mati, apalagi
getahnya lebih-lebih manjur sekali! Kecuali hari ini, karena
untuk keperluan menolong jiwa Peng-sim Sin-nie dan Thiatkwan Totiang, pinceng sangat saying sekali hingga belum
pernah menggunakannya! Tetapi pinceng dengan siao sicu
agaknya sudah berjodoh, karena mengingat kau sangat butuh
dengan benda ini, pinceng bersedia menghadiahkanmu
setetes, betapapun hebatnya dan parahnya luka-luka berat
juga sudah cukup digunakan untuk memunahkannya!"
Hee Thian Siang yang sudah tahu khasiat getah itu, dan ia
sendiri yang baru pertama bertemu muka dengan It-pun Sin Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 28 Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Rajawali Hitam 7

Cari Blog Ini