Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Pedang Pusaka Naga Putih Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo Jilid 01 Pada suatu pagi, ketika fajar
tengah menyingsing dan dari
sana sini terdengar ayam hutan berkokok nyaring, di
halaman depan sebuah pondok bambu di puncak bukit Kam-hong-san, tampak
sesosok bayangan putih berkelebat kesana kemari di antara
bayang-bayang pohon yang gelap. Ia adalah seorang pemuda baju
putih yang sedang berlatih silat. Gerakan tubuhnya demikian cepat
hingga seolah-olah ia bertangan enam berkepala tiga ketika ia
bersilat ilmu pukulan Ouw-Wan-Cianghoat (Silat Monyet Hitam).
Sambaran kepalan tangannya sampai menggetarkan daun-daun
pohon jauh di depan sehingga mutiara-mutiara air di ujung daundaun itu jatuh berhamburan bagaikan hujan gerimis.
Kakinya demikian ringan meloncat kesana kemari seakan-akan ia
tak menginjak tanah! Tiba-tiba di atas pohon terdengar suara
sayap bergerak. Anak muda itu menengok sedikit ke atas,
kemudian sekali mengayun kakinya, tubuhnya melayang ke atas
menuju ke sebuah dahan di mana seekor ayam hutan sedang
1 bertengger. Ayam itu terkejut sekali dan ketika tangan anak muda
itu hendak menangkapnya, dengan gesit ayam itu terbang ke
bawah. Anak muda itu tak kehabisan akal, ia tadinya telah berdiri
di atas sebuah dahan, ketika melihat ayam itu terbang ke bawah,
ia segera menjatuhkan dirinya pula ke bawah, tapi kedua kakinya
mengait dahan hingga kepalanya menukik ke bawah. Secepat kilat
tanggannya terulur dan ia berhasil menangkap ayam hutan. Ayam
itu bergerak-gerak hendak melepaskan diri, tapi tak berhasil,
kemudian dengan tertawa riang pemuda itu lompat turun.
"Ah, engkau kurus benar," katanya kepada ayam yang
menggelepar-gelepar di tangannya itu. "Bibi tentu akan
mengatakan aku bodoh, karena ayam ini hanya berisi tulang
belaka, buat apa. Nah, pergilah kau. Kelak kalau sudah gemuk
boleh kutangkap lagi!" ia melepaskan ayam itu, yang segera
terbang dengan terkeok-keok. Pemuda itu berusia lebih kurang
lima belas tahun, berwajah putih, cakap, dengan sepasang mata
bersinar tajam, tapi lembut dan dihiasi sepasang alis tebal hitam
yang panjang. Tubuhnya yang sedang besar dan tingginya itu mengenakan
pakaian serba putih dengan angkin kuning kepalanya bertopi
kuning pula. Di pinggangnya agak di belakang tergantung
sekantong kim-chie-piao (senjata rahasia mata uang). Tadi ia telah
melatih ilmu silatnya dengan tangan kosong. Kini ia berdiri di
bawah pohon itu tertawa-tawa seorang diri karena geli melihat laku
ayam hutan tadi. Kemudian ia memungut sebatang dahan kering
berwarna hijau di tanah dan segera memulai melatih dirinya lagi.
2 Dahan kering itu dipermainkannya seperti sebilah golok.
Sungguhpun yang diayunkan dan digerakkannya itu hanya
sebatang dahan, namun sambaran anginnya bersiutan dan dahan
itu sendiri tak tampak lagi, hanya kelihatan bayangan putih kehijauhijauan berputar-putar kesana kemari. Setelah ia bersilat beberapa
puluh jurus tiba-tiba terdengar suara pujian,
"Bagus!!" dan tahu-tahu bayangan hitam seorang tinggi besar
menerjangnya! "Lihat pedangku!" bentak bayangan itu sambil menyerang dengan
tipu Hui-eng-bok-thou (Biang Terbang Menyambar Kelinci). Ia agak
terkejut akan serangan orang yang tiba-tiba tanpa sebab itu,
namun pemuda baju putih itu tak kurang waspada. Ia berkelit ke
samping, tapi lawannya melanjutkan serangannya dengan tipu
Liong-ting-ti-cu (Mengambil Mutiara di Atas Kepala Naga)
Pedangnya berpusing-pusing seperti alap-alap menyambar dari
atas. Serangan ini sangat cepat hingga pemuda itu tak sempat
mengelak lagi, maka terpaksa ia gunakan dahan kering yang masih
dipegangnya untuk menangkis.
"Prak!" terdengar suara dahan itu beradu dengan pedang. Pemuda
itu merasa telapak tangannya perih. Ia kagum akan tenaga
penyerangnya. Tapi biarpun demikian pedang yang tertahan oleh
dahannya itu terpental juga.
3 "Hai, mengapa kau menyerangku" Aku Si Han Liong belum pernah
punya musuh!" Ia menegur keren, tapi yang ditegurnya tak berkata
apa-apa hanya kini berserak kembali menyerangnya dengan
hebat! Pedangnya bergerak seperti baling-baling dan dengan tidak
disadarinya ujungnya meluncur ke arah pinggang kanan Han
Liong. Anak muda itu masih saja berkelit ke sana sini dengan gesit
sampai tujuh jurus. Akhirnya ia merasa bahwa penyerangnya yang
berkedok hitam itu bukanlah lawan yang ringan. Segera aa balas
menyerang. Saling serang antara pedang dan dahan kering terjadi
dengan serunya sampai tiga puluh jurus lebih. Makin lama Han
Liong makin merasa heran, karena lawannya itu menggunakan
ilmu golok Oei-liong-coan-sin (Naga Kuning Memutar Tubuh)
kemudian terdapat pula jurus-jurus ilmu gabungan golok dan
pedang ciptaan Bie Kong Hosiang, gurunya sendiri! Ia terkejut,
karena ilmu ini menurut gurunya itu tak pernah diturunkan kepada
lain orang, tapi mengapa orang ini dapat menggunakan demikian
mahirnya! Tak terasa ia berseru,
"Tahan!" Tapi lawannya tak memberi kesempatan padanya dan
terus menyerang makin sengit, Han Liong terpaksa
menghadapinya pula beberapa puluh jurus dan selama itu ia dapat
melayaninya dengan baik. Semua serangan yang dikenalnya tipu-tipunya itu dapat
dipecahkan, malah kalau ia mau, ia bisa menggunakan kegesitan
4 tubuhnya yang melebihi lawannya itu untuk balas menyerang
dengan ilmu-ilmu berbahaya. Tapi Han Liong tidak mau melakukan
serangan yang mematikan karena ia tak suka mencelakakan lawan
yang belum diketahui sebab-sebab memusuhinya ini. Tiba-tiba ia
teringat sesuatu setelah mengamat-amati tubuh dan gerakan
orang itu, lagi pula keadaan cuaca kini telah agak terang. Ketika
lawannya menusuk dengan tipu Raja Naga Menyerbu Goa, sebuah
tipu silat gabungan golok pedang yang sangat berbahaya dan
banyak perpecahannya, Han Liong menyontak tanah dan
melayang jauh ke belakang sampai tiga tombak. Lalu ia
melemparkan dahan keringnya dan segera berlutut.
"Suhu (guru)!" teriaknya. Lawannya berdiri, melempar pedangnya,
dan sambil tertawa ia membuka kedoknya,
"Ha, ha, ha! Anak baik, muridku yang baik!" Bie Kong Hosiang
tertawa lagi dengan gembira lalu menghampiri dan mengangkat
bangun Han Liong yang segera dipeluknya. Kemudian ia
memegang kedua pundak anak muda itu dan dipandangnya baikbaik.
"Lima tahun kita tak berjumpa dan engkau sudah banyak maju!
Bagus sekali, muridku."
5 "Sungguh berbahaya, suhu. Kalau suhu tidak menyerang dengan
tipu terakhir itu, teecu (murid) takkan mengira bahwa suhu sedang
mencoba kebisaanku!" jawab Han Liong.
"Aku hanya ingin tahu kemajuanmu." berkata Kim-too Bie Cong
Hosiang si Golok Emas. "He, hwesio (pendeta) tua! Enak saja engkau memuji murid kami
sesukamu. Berilah waktu padaku untuk mengujinya juga!" tiba-tiba
terdengar seruan dari atas pohon, dan segera pembicaranya
tampak melayang ke bawah. Han Liong segera berlutut dan
berseru dengan girang, "Hee-suhu, selamat datang, teecu menghaturkan hormat!" Bie
Kong Hosiang juga merangkapkan kedua tangannya memberi
hormat dan berkata, "Omitohud, kebetulan sekali engkau telah datang. Selamat
bertemu, selamat datang!" Hee Ban Kiat membalas hormatnya
dengan tertawa, kemudian ia menyuruh muridnya bangun berdiri,
"Han Liong, sudah tiba masanya kini aku harus mengujimu. Ayoh,
bersiaplah." 6 "Teecu tak berani melawan suhu."
"Apa katamu" Siapa bilang melawan" Ini hanya latihan, anak
bodoh!" Kemudian secepat kilat ia menyerang. Han Liong sangat
kagetnya dan merasa bahwa ia bersalah dalam jawabannya.
Bukanlah lima atau enam tahun yang lalu ia selalu berlatih dan
harus melawan bersilat dengan gurunya ini" Segera ia melompat
mundur menghindarkan serangan itu dan memasang kuda-kuda
menjaga serangan seterusnya.
"Jangan terlalu seeji (segan-segan)!" tegur gurunya yang segera
menggeser kakinya maju sambil menyerang dengan tipu Kim-liong
tam-jiauw (Naga Mas Mengulur Kuku).
Dengan berturut-turut kedua lengannya meluncur ke arah dada
muridnya. Menghadapi serangan hebat ini, Han Liong jungkir balik
menghindarinya dengan tipu Koai-bong houn-sin. Demikianlah
selanjutnya, Siauw-Io ong Hee Ban Kiat si Giam lo-ong kecil
bermata satu itu menyerang muridnya dengan tipu-tipu silat Thai
Kek Touw, Kiauw-ta-sin-na dan Ouw-wan-ciang-hoat diselangseling. Han Liong melayaninya dengan sangat baik hingga tak
pernah tampah terdesak. Hanya ia masih ragu-ragu untuk balas
menyerang, sehingga kebanyakan ia hanya bertahan saja.
Kelincahan dan keringanan tubuh dan kaki tangannya banyak
menolong dirinya, karena ternyata gerakannya lebih gesit dari
pada gurunya itu! Akhirnya ia menarik nafas lega dan tertawa
gembira, karena gurunya menghentikan serangannya,
7 "Bagus, bagus. Tak percuma aku si tua bangka mengajarimu. Eh,
bagaimana pendapatmu, Hong Losuhu dan Pouw Losuhu!"
tanyanya menoleh ke belakang, matanya yang hanya tinggal
sebuah itu bercahaya girang dan bangga.
"Memang bagus, Hee Koanjin (orang aneh)." menjawab Liok-tee
Sin-mo Hong In si Iblis Daratan dan Pauw Kim Kong si Malaikat
Rambut Putih dengan mengangguk-angguk girang. Han Liong
tercengang melihat bahwa kedua gurunya itupun telah berada di
situ dan juga ie-ienya (bibi) yang tadi turun gunung membeli
barang-barang keperluan mereka telah pula berada di situ. Dalam
kebingungannya menghadapi serangan-serangan gurunya tadi, ia
tak sempat memperhatikan keadaan di sekitarnya. Segera ia
berlutut dan menunjukkan hormatnya kepada kedua gurunya yang
datang belakangan itu. "Kami juga datang hendak melihat kemajuanmu, Liong," kata Lioktee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan,
"Nah, cobalah kejar aku seperti permainan kita dahulu." Tubuh Han
Liong segera bergerak ke depan dan dengan gembira mengejar
gurunya itu. Sekejab kemudian mereka hanya merupakan dua
Sosok bayangan, yang kuning di depan dan yang putih di belakang
kejar-mengejar sehingga tak lama kemudian hanya tampak dua
titik kecil yang makin jauh.
8 Tak lama antaranya, segera tampak dua orang guru dan murid itu
melayang-layang mendekat. Sebuah bayangan kuning gurunya, Si
Iblis Daratan berputar cepat dan tiba-tiba berdiri dan beberapa
puluh detik kemudian sebuah bayangan putih Han Liong
berkelebat dan telah tiba pula menyusul gurunya. Liok-tee Sin-mo
Hong In segera melompat ke arah dahan sebuah pohon, ketika
Han Liong menyusul, ia telah meloncat pula ke atas dahan yang
lebih tinggi dan segera disusul pula oleh Han Liong. Demikianlah
gurunya meloncat-loncat ke atas puncak pohon sebagai seekor
kupu-kupu kuning disusul oleh Han Liong dengan cepatnya.
Akhirnya sang guru melayang turun dan kakinya menyentuh tanah
dengan ringan seperti sehelai daun kering jatuh. Perbuatannya ini
ditiru oleh Han Liong dengan gerakan serupa pula.
"Cukup muridku, engkau sudah hampir dapat melebihiku." Tapi
diam-diam Han Liong maklum bahwa ia masih kalah setingkat.
Kemudian oleh gurunya itu Han Liong disuruh mendemonstrasikan
kepandaiannya menggunakan kim-cie-piaow. Liok-tee Sin-mo
melempar dengan uang logamnya ke arah sebatang pohon yang
jauhnya kira-kira lima tombak lebih. Berturut-turut ia melempar
sampai lima kali, kemudian ia menyuruh muridnya menyusul
lemparannya itu. Han Liong mengerti maksudnya. Segera
dilakukannya dengan sebuah piao. Ketika tangannya terayun,
terdengar bunyi nyaring lima kali di batang pohon itu. Ketika
diperiksa, ternyata piao sang guru yang tertanam di dalam pohon
kena dihantam oleh piao muridnya, sehingga keluar menembus
pohon itu. Sang guru tersenyum memuji.
9 "Eh, aku jangan ditinggalkan!" seru Pauw Kim Kong si Malaikat
Rambut Putih. "Kemarilah, Liong, dan pegang bambu ini." Han
Liong menghampiri gurunya yang berdiri lurus sambil memegang
tongkat bambu itu dan diacungkannya ke depan. Han Liong segera
memegang ujung tongkat itu, sehingga mereka masing-masing
memegang kedua ujungnya. "Nah, kerahkan tenagamu menahan, karena aku hendak
mengangkatmu!" Han Liong segera mengumpulkan tenaga dalam,
memasang bhesinya (kuda-kudanya) dengan kuat sehingga kedua
kakinya seakan-akan berakar ke dalam tanah. Tiba-tiba ia merasa
ujung bambu itu seakan-akan tergetar dan aliran tenaga gurunya
telah menyentuhnya. Bambu itu kini makin bergetar ketika dua
tenaga dalam itu bertanding mengadu kekuatan.
"Naik!" Si Malaikat Rambut Putih berseru dan Han Liong merasa
betapa tenaga gurunya dengan hebat menggempur pertahanannya hingga bhesinya terasa lemah dan untuk sesaat
kedua kakinya terangkat dari tanah kira-kira satu setengah dim!
Namun ia masin tetap dalam keadaan memasang kuda-kuda dan
memegang ujung bambu itu dengan tangan kanan, sedangkan
tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mengembang di atas
kepalanya, sehingga ia merupakan sebuah patung kayu!
10 Ia mengerahkan tenaganya dan perlahan-lahan ia dapat turun
kembali. Kini tangan kiri gurunya turun ke bawah, suatu tanda
bahwa ia kini yang harus menyerang. Dengan penuh semangat ia
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mengangkat
gurunya. Ternyata ia berhasil membuat gurunya menggeserkan
kaki depannya yang berarti bahwa ia telah berhasil menggempur
bhesi gurunya! Kendatipun ia belum dapat mengangkat si Malaikat
Rambut Putih itu ke atas, tapi ia telah memperoleh banyak
kemajuan. Ia mengerahkan pula tenaganya dan ditahan oleh
gurunya. Dua tenaga dalam bertemu dengan kerasnya dan "brak!!"
bambu itu pecah berkeping-keping! Kedua-duanya mundur dan
Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama-sama memeramkan mata mengatur nafas sebentar,
"Engkau sudah banyak maju, Liong. Ketika latihan yang terakhir
beberapa tahun yang lalu, kau masih dapat kuangkat setinggi dua
kaki! Kini engkau sudah bisa menggempur kedudukan kakiku.
Berlatihlah terus, muridku." Kemudian ia minta muridnya
memperlihatkan pelajaran Sin-kut-hoat yakni ilmu melepas tulang
yang segera diturut pula oleh Han Liong. Merela memilih sebuah
pohon yang banyak dahannya dan di situ Han Liong
memperlihatkan kemahirannya. Ia melayang ke atas dan
menerobos diantara dahan-dahan dan cabang-cabang yang
demikian rapatnya sehingga tubuhnya seakan-akan melilit-lilit
dahan seperti seekor ular besar! Keempat gurunya bukan main
girang melihat kemajuan murid mereka itu. Mereka puas dan
gembira sekali, lebih-lebih Pauw Kim Kong yang tiada hentinya
menepuk-nepuk pundak muridnya dengan kasih sayang.
11 "O ya, dan bagaimana pelajaranmu dalam ilmu surat" Kami ingin
sekali tahu," kata Pauw Kim Kong sambil melirik ke arah Yo Leng
In. "Ah, teecu sangat bodoh dan hanya dapat menulis beberapa patah
kata dan beberapa buah huruf saja, suhu," jawab Han Liong malu.
"Eh, jangan membuat malu aku yang mendidikmu, Liong," sela
bibinya, Yo Leng In. "Yo Toanio benar, Liong. Di depan orang lain kau boleh merendah,
tapi karena hari ini adalah hari ujianmu, kau tak boleh malu-malu.
Ayoh perlihatkan kepandaianmu menulis, agar kami puas." Siauwlo-ong Hee Ban Kiat si mata satu mendesak. Dengan terpaksa Han
Liong lari mengambil alat tulis dan kertas dari dalam pondok, lalu
menulis di atas sebuah batu yang rata, dilihat oleh keempat guru
dan bibinya. Setelah selesai, ia perlihatkan tulisannya itu. Semua
orang-orang tua itu memuji, kecuali Liok-tee Sin-mo yang berkata
sambil tertawa, "Aku orang tua tak berguna yang harus malu! Setua ini tapi satu
huruf pun aku tidak kenal. Coba tolong bacakan tulisan Han Liong
itu Yo Toanio!" Yo Leng In mengambil kertas itu lalu membacanya.
Ternyata tulisan Han Liong itu berbentuk sajak berbunyi demikian
: 12 Kecil lemah tak berdaya Yatim piatu menderita sengsara
Hidup terancam bahaya gelap gulita
Untung datang lima bintang bercahaya
Aku orang sengsara tiada guna ini
Sampai mati tak mungkin membalas budi
Hanya berjanji mengorbankan nyawa
Menjunjung tinggi nama lima bintang dengan Setia!
Yo Leng In membaca dengan suara merayu, dan semua
pendengarnya maklum bahwa yang dimaksud dengan lima bintang
itu ialah keempat gurunya dan seorang bibinya yang telah
menolong dan mendidiknya. Kemudian, dengan huruf-huruf kecil
yang ditulis dengan tangan gemetar, terdapat dua baris syair
demikian, Sebatang kara, yatim piatu
Siapa ayah, siapa ibu?"
Dua baris tulisan ini seakan-akan teriakan jiwa anak muda itu yang
ingin sekali mengetahui di mana dan siapakah orang tuanya, tapi
13 ia tak berani bertanya, karena dahulu tiap kali ia bertanya, selalu ia
dilarang karena belum waktunya. Tulisannya ini membuat keempat
guru dan bibinya sangat terbaru, sehingga dikedua pipi bibinya
yang membaca sajaknya itu mengalir air mata! Pauw Kim Kong
menghela nafas, dan ketika ia memandang Han Liong, ternyata
kedua mata pemuda itupun mengeluarkan dua butir air mata.
"Hm, sudahlah jangan bersedih. Mari kita masuk ke dalam pondok,
dan di situ nanti akan kami ceritakan padamu sebenarnya tentang
engkau dan orang tuamu. Karena hari ini engkau telah tamat
belajar, maka sudah sepatutnya pula kalau kau ketahui akan hal
Itu." Semua orang memasuki pondok kecil itu dan di situ Han Liong
untuk pertama kalinya mendengar cerita mengenal orang tuanya
dan tentang dirinya seperti berikut.
Si Han Liong adalah putera
tunggal dari Si Enghiong (orang gagah she Si) atau Si Cin Hai yang
tak lain adalah seorang siucai (sasterawan) muda patriot sejati
yang diangkat menjadi kepala daripada banyak kaum kang-ouw
dan liok-lim (kalangan persilatan dan jagoan-jagoan). Si Cin Hai ini
adalah putera seorang bekas menteri pemerintah Beng Tiauw
bernama Si Kim Pau dan tadinya menjadi kawan baik Gouw Sam
Kwie yang ternama itu. Pada masa Si Kim Pau masih menjadi menteri, kerajaan Beng
Tiauw kacau-balau karena ancaman pemberontak Lie Cu Seng.
Gouw Sam Kwie yang melihat bahaya ini lalu minta pertolongan
serdadu-serdadu Boan dari Mancuria untuk memasuki tembok
besar dan membantu usaha menindas kaum pemberontak. Hal ini
tidak disetujui oleh Menteri Si Kim Pau dan ia berkata bahwa usaha
14 itu seakan-akan "mengusir serigala dan mendatangkan harimau".
Gouw Sam Kwie yang biasanya menghargai pendapat Si kim Pau,
ketika itu karena sedang bingung melihat ancaman dan desakan
Lie Cu Seng, tidak memperdulikan nasihat Si Kim Pau sehingga
mereka berdua berselisih paham. Akhirnya serdadu-serdadu Boan
betul berhasil juga menindas pemberontakan Lie Cu Seng. Namun,
setelah melihat keindahan dan kekayaan bumi Tiongkok,
Orang Boan itu menjadi keenakan dan tak mau meninggalkan
Tiongkok, bahkan lalu berbalik memukul hancur dan menjatuhkan
pemerintah Beng Tiauw, dan semenjak itu bangsa Boan Ciu
berkuasa di Tiongkok dan mendirikan pemerintah Ceng Tiauw. Si
Kim Pau melihat keadaan menjadi begitu hebat, hatinya bersedih
dan menyesal sekali, ia seorang menteri yang setia dan berjiwa
patriot, maka karena diri sendiri tidak berdaya, ia mengambil
keputusan untuk mengorbankan nyawanya sebagai pernyataan
bakti kepada negara dengan membunuh diri. Tapi, ketika ia
menghunus pedangnya dan hendak menusuk lehernya sendiri,
tiba-tiba sepucuk sinar putih berkelebat, serta merta pedangnya
terpotong menjadi dua dan di depannya berdiri seorang tua
berjubah putih dan rambut serta jambangnya yang panjang sampai
kepinggang semuanya putih melepak!
Ia merasa seakan-akan bermimpi, tapi sebagai seorang yang
waspada ia segera maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan
seorang suci. Tanpa perdulikan, pangkat dan kedudukan, ia
segera berlutut. Orang tua itu mengaku bernama Kam Hong
Siansu, seorang suci setengah dewa yang mengasingkan diri di
15 bukit Kam-hong-san. Kam Hong Siansu menyatakan bahwa Si Kim
Pau berbakat untuk menjadi seorang pertapa, lalu dengan samarsamar ia meramalkan bahwa untuk sementara ini pemerintah Ceng
Tiauw tak dapat dirobohkan, karena sudah takdirnya demikian.
Dengan pertolongan Kam Hong Siansu yang menggunakan
ilmunya, sekaligus Si Kim Pau, isterinya, dan Si Cin Hai, puteranya
yang berusia sembilan belas tahun, dibawa ke puncak Gunung
Kam hong-san. Atas petunjuk Kam Hong Siansu, Si Kim Pau bertapa di situ sambil
mendidik puteranya dalam ilmu-ilmu ketatanegaraan dan
kesusasteraan. Namun darah patriot yang mengalir dalam tubuh Si
Cin Hai membuat ia tak betah tinggal di atas gunung dan tanpa
dapat dicegah ia pergi turun gunung. Ibunya sangat sedih karena
hal ini lalu jatuh sakit dan meninggal dunia. Si Kim Pau yang
ditinggal seorang diri di puncak gunung melanjutkan pertapaannya
tanpa memperdulikan urusan dunia. Kadang-kadang, Kam Hong
Siansu, entah dari mana datangnya, datang mengunjunginya dan
memberi wejangan-wejangan ilmu batin. Si Cin Hai turun dari Kam
hong san dan membuat hubungan dengan Enghiong (orang
gagah) berjiwa patriot dari seluruh tempat untuk berusaha
merobohkan pemerintoh Ceng Tiauw dan mengusir orang-orang
Boan, penjajah angkara itu dari permukaan bumi Tiongkok.
Iapun berhubungan pula dengan Gouw Sam Kwie yang bergerak
dari Propinsi Hun Lam. Karena ternyata Si Cin Hai seorang
terpelajar yang cerdik pandai dan seorang patriot sejati, walaupun
ia masih muda dan tak pandai ilmu silat, ia diangkat menjadi
16 Bengcu oleh semua Enghiong dan disebut Si-Enghiong.
Sementara itu, ia kawin dengan Yo Lu Hwa, puteri dari Yo Beng
Kiat seorang piauwsu (tukang pengantar barang ekspedisi)
ternama di kota Liok-cu. Yo Lu Hwa lalu ikut aktip dalam
perjuangan suaminya. Pada permulaan tahun Kong Hie ke empat
belas, ketika Raja kedua dari pemerintah Ceng Tiauw mulai
bertahta, Si Cin Hai bersamaan dengan Gouw Sam Kwie dari
daerah lain, mulai bergerak untuk menggulingkan pemerintah
musuh. Tapi sayang, karena Gouw Sam Kwie kurang berhati-hati,
maka rahasia pergerakan itu bocor,
dan mereka dipukul oleh Pemerintah Ceng Tiauw sebelum mereka
sempat bergerak, sehingga banyak kawan-kawan seperjuangannya yang tewas. Ternyata pemerintah penjajah
mempunyai banyak panglima jagoan, diantaranya ialah Coan Eng,
Ta Hai dan Lie Ban si Naga Tanduk Besi. Di antara para patriot
yang gugur, termasuk juga Si Cin Hai dan Ong Kee Lin suami Yo
Leng In. Yo Leng In ini adalah adik kandung Yo Lu Hwa. Yo Lu
Hwa sendiri tertawan oleh Tiat-kak-liong Lie Ban si Naga Tanduk
Besi! Sebetulnya Yo Lu Hwa ingin mengamuk sampai titik darah
penghabisan setelah melihat suaminya gugur, tapi apa daya, ia
terpaksa menyerah untuk melindungi puteranya dari bahaya maut!
Demikianlah, ia dan Han Liong, puteranya yang baru berusia lima
bulan itu ditawan musuh. Masih bergema di telinganya pesan
suaminya yang terakhir. "Peliharalah Han Liong baik-baik dan teruskanlah perjuangan kita!"
Pesan pertama untuk memelihara Han Liong telah dilaksanakan
17 dengan pengorbanan menyerah kepada musuh, tetapi pesan
kedua takkan mungkin dapat ia lakukan. Tiat-kak-liong Lie Ban
yang baru setahun kematian isterinya, sangat tertarik melihat
kecantikan dan kegagahan Yo Lu Hwa, maka ia sengaja
menawannya dengan anaknya.
Kemudian, ia membujuk-bujuk agar nyonya muda itu suka menjadi
isterinya. Tentu saja Yo Lu Hwa tidak sudi dan memaki-makinya
sebagai seorang tak tahu malu dan rendah budi. Tapi setelah Lie
Ban mengancam akan membunuh Han Liong jika ia tidak mau
menjadi isterinya, dengan hati hancur luluh nyonya muda itu
terpaksa menurut. Ia mau berkorban apa saja asal anaknya
terluput dari bahaya maut. Hal ini sangat menyakitkan hati kawankawan di kalangan kang ouw dan liok-lim. Mereka anggap bahwa
penyerahan Yo Lu Hwa itu sangat memalukan dan merendahkan
nama para patriot, terutama nama Si-Enghiong yang mereka
hormati. Teristimewa Yo Leng In yang telah menjadi janda pula, ia
merasa sangat malu dan telah berkali-kali dicobanya memasuki
gedang Lie Ban untuk menculik Han Liong dan kalau mungkin
membunuh Lie Ban serta encinya!
Tapi Tiat kak-liong Lie Ban bukan anak kemarin sore. Ia tahu betul
bahwa Yo Lu Hwa mau menjadi isterinya karena menjaga
keselamatan Han Liong. Kalau Han Liong sampai terculik hilang,
tentu isterinya yang baru itu takkan sudi lagi mendekatinya, bahkan
mungkin akan menimbulkan keributan! Maka, ia menjaga Han
Liong dengan sangat hati-hati, bahkan sengaja ia mendatangkan
beberapa orang kawan-kawannya yang juga ahli-ahli silat kelas
18 satu untuk menjaga gedungnya. Karena itu, segala daya upaya Yo
Leng In menjadi gagal sama sekali, bahkan beberapa orang
kawannya mendapat luka berat di dalam percobaan menculik Han
Liong itu. Demikianlah tujuh bulan telah lampau. Peristiwa
tewasnya Si-Enghiong dan dirampasnya Yo Lu Hwa oleh Lie Ban
telah terdengar oleh semua kawan-kawan di kalangan kang-ouw
dan menggerakkan hati para hohan (kesatria) di seluruh pelosok.
Di antara mereka yang tergerak hatinya adalah Liok-tee Sin-mo
Hong In si Iblis Daratan. Ia meninggalkan guanya di Gunung Kwan
lim-san dan memberi kabar kepada beberapa orang sahabatnya
untuk mengadakan penemuan di Kam hong-san pada permulaan
musim Chun (musim semi)! la sendiri langsung menggunakan
ilmunya berlari cepat menuju ke gedung Tiat-kak-liong Lie Ban
yang dijaga kuat itu. Malam itu, tidak seperti biasanya, di rumah Lie
Ban agak sunyi. Biasanya Tiat-kak-liong Lie Ban dengan ditemani
oleh tiga orang kawannya, ialah Oei-kak-liong Lie Kong si Naga
Tanduk Kuning adiknya sendiri, dan berdua saudara Beng Liok Hui
dan Beng Liok Houw yang dijuluki orang Sankang Jie-pa-cu (Dua
Macan Tutul dari Sankang), minum arak atau main maciok sampai
tengah malam. Tapi malam itu Lie Kong dan kedua saudara Beng telah masuk ke
kamar masing-masing, sedangkan Tiat-kak-Liong Lie Ban berada
di kamar isterinya. Di antara bayang.bayang daun pohon yang
ditimpa sinar bulan, berkelebat seSosok bayangan tubuh manusia
di atas genteng gedung itu. Gerakannya demikian enteng dan gesit
sehingga gerakan seekor kucingpun kalah olehnya! Dengan ilmu
19 meringankan tubuh Keng-kong-tee-sut-hoat ia berlari-lari ke sana
ke mari di atas genteng mencari-cari. Tiba-tiba ia berhenti di atas
kamar Lie Ban dan kakinya bergerak dalam tipu Ouw liong coantah (Naga Hitam Menembus Menara) ia melompat turun ke bawah
tanpa bersuara sedikitpun. Kemudian dengan langkah ringan
sekali ia menghampiri jendela dan memasang telinga.
"Isteriku, janganlah engkau terlampau makan hati. Kurang apakah
engkau jadi isteriku" Aku cinta padamu, hormat padamu, dan
menjaga Han Liong seperti anakku sendiri. Bergembiralah isteriku,
dan ingat akan kandunganmu," terdengar suara seorang laki-laki
halus membujuk. Lalu terdengar helaan nafas seorang
perempuan, "Memang nasibku yang buruk... nasibku yang sial... ahh..."
terdengar isak perlahan. "Sudahlah, bukankah engkau cinta kepada Han Liong" Dan
bukankah aku berlaku baik padamu" Jangan bersedih, supaya
lekas sembuh." "Memang engkau baik padaku dan Han Liong... dan sekarang aku
mengandung pula... mengandung anakmu..."
20 "Bukankah itu baik sekali?" tiba-tiba suaranya terdiam dan dengan
gerakan Ouw-liong-chut-tong (Naga Hitam Keluar Gua) ia
meloncat keluar pintu dan masih sempat melihat sekelebat
bayangan hitam melayang ke atas genteng.
"Bangsat, jangan lari!" la berseru dan mengayun tubuhnya ke atas
genteng, mengejar. Tapi ketika kakinya menginjak wuwungan
rumahnya dan matanya mencari-cari ke sana ke mari, ia tak
melihat sesuatu kecuali bayangan daun-daun pohon yang bermain
di atas genteng. Heran, pikirnya, apakah aku tadi melihat kucing"
Ia langsung menuju ke kamar adiknya dan kedua saudara Beng.
Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ternyata mereka sudah tidur, maka segera ia kembali ke kamar
isterinya. Alangkah kagetnya ketika ia mendengar Yo Lu Hwa
menjerit-jerit. "Jangan... jangan ambil anakku...!!" Cepat ia meloncat masuk
melalui pintu dan melihat seorang laki-laki tua yang mukanya
bagian bawah tertutup jambang dan jenggot putih, berpakaian
kuning tua. Orang tua itu telah memondong Han Liong, Sedangkan
isterinya berusaha merebutnya. Tapi gerakan orang tua itu cepat
benar dan isterinya yang sedang sakit tak dapat berbuat apa-apa.
Lie Ban amat marah. "Bangsat tua! Kau berani bermain-main di depan tuanmu!
Lepaskan anak itu!" 21 "Ha, ha! Lie Ban orang rendah! Anak ini bukan anakmu, ada hak
apakah kau melarang aku membawanya pergi?"
"Kurang ajar!" Dengan kemarahan yang meluap-luap, Tiat-kak
liong Lie Ban menyerbu dengan gerakan Go-yang-pok-sit
(Kambing Kelaparan Tubruk Makanan) dan mencengkeram ke
arah dada orang tua itu. Ketika cengkeramannya ditangkis lawan,
Lie Ban merubah serangannya dengan Kim-liong-tam-jiauw (Naga
Emas Mengulur Cakar), kedua tangannya maju serentak, yang
kanan memukul ke arah muka lawan dan yang kiri mencengkeram
hendak merampas Han Liong. Tapi ternyata lawannya lebih tinggi
kepandaiannya. Ia meloncat ke sana ke mari sambil ketawa
mengejek. Orang tua itu adalah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan,
menggunakan ilmu silat Jiauw-pouw-poan-toan (Tindakan
Mengitar Berputar-putaran), berkelit kian ke mari dan sekali lompat
saja ke arah pintu, ia terus menghilang ke atas genteng! Anak yang
didukungnya berteriak-teriak menangis hingga membangunkan Lie
Kong dan kedua Macan Tutul dari Sankang. Dengan susulmenyusul mereka bertiga memburu ke atas genteng. Si Iblis
Daratan yang sedang meloncat dengan tipu Tiang-hong-koan-jit
(Bianglala Melintang Langit), tiba-tiba merasa sambaran angin
keras ke arah kakinya. Ia tak heran lagi, dan terus menahan
kakinya yang hendak turun, lalu berpoksai (jungkir balik) di udara
dengan gerak tipu Koai-bong-hoan-sin (Siluman Ular Berputar
Balik) ia meloncat secepat kilat ke belakang. Ternyata serangan itu
adalah sebuah toya yang menyambar kakinya.
22 "Penculik hina jangan lari!" teriak penyerangnya yang bukan lain
adalah Oei-kak-liong Lie Kong. Kemudian dengan tipu Hok houwkun hoat atau Ilmu Toya Penakluk Harimau, Lie Kong menyerang
dengan buasnya, tak peduli lagi bahwa pukulan-pukulannya bisa
mencelakakan Han Liong yang berada dalam dukungan orang tua
itu. Namun dengan masih tertawa-tawa kecil orang tua yang bertubuh
ringan lincah itu yang sangat mahir dalam berkelit, berpusingpusing ke sana ke mari di antara sambaran toya. Lie Ban yang
tadinya menolong isterinya yang sedang jatuh pingsan, kini tibatiba mengejar dan menyerang dengan goloknya. Serangannya ini
sangat hebatnya, karena dilakukannya dalam keadaan marah
yang sangat memuncak. Lie Ban menyerang dengan ilmunya yang
paling diandalkan, ialah Ilmu golok Ngo-houw-bun to atau Lima
Harimau Mencegat Pintu. Goloknya yang berat berkeredepan di
bawah sinar bulan dan menyerang ke arah tenggorokan lawannya
dengan mengeluarkan angin dingin yang berciutan. Karena di
dalam hatinya terasa takkan baik jadinya jika menghadapi Kedua
bersaudara yang tak boleh diabaikan itu, ia segera meng gunakan
ilmunya berlari cepat sambil berkata,
"Lie Ban, aku tak sempat melayanimu lebih lama. Selamat tinggal!"
Tetapi dua bersaudara itu lompat mengejar lagi. Ketika Liok-tee
Sin-mo Hong In sudah melalui dua wuwungan, tiba-tiba dari depan
23 terlihat dua bayangan orang menghadang. Mereka ternyata adalah
dua saudara Beng yang berdiri menanti dengan pedang di tangan!
"Berhenti, bangsat tua bangka!"
Mereka menyerang serentak dengan menggunakan tipu silat
pedang mereka yang terkenal yakni Jie-pa-cu Siang-Kiam Hoat
(Ilmu Silat Pedang Sepasang Macan Tutul) yang mereka ciptakan
berdua. Ilmu ini hebat sekali, teristimewa kalau dilakukan di dalam
penyerangan bersama, seakan-akan mereka berdua itu hanya
seorang dengan empat tangan dan empat pedang! Belum pernah
selama hidupnya Liok-tee Sin- mo Hong In menyaksikan ilmu
pedang sebaik ini. Ia merasa kagum serta gembira, kalau saja ia
tidak sedang mendukung Han Liong, tentu ia ingin sekali mencoba
ilmu pedang istimewa ini. Ia tak usah takut, karena dengan,
mengandalkan kelincahan dan ilmu meringankan tubuh yang
tinggi, belum tentu dua pasang pedang itu akan dapat melukainya.
Tapi kini ia tiada waktu untuk melayani kedua macan tutul itu, maka
ia meloncat pergi melayang ke atas pohon dan berkata.
"Bagus benar permainan pedang kalian!" Kedua saudara Lie Ban
dan Lie Kong yang mengejar sudah sampai pula di situ, dan
mereka berempat ternyata tak mampu mengejar si Iblis Daratan.
Tiba-tiba Beng Liok Hui mengayunkan kedua tangannya dan dua
buah benda hitam melayang menyambar ke arah punggung dan
24 pinggang Liok-tee Sin-mo Hong In yang baru saja menurunkan
sebelah kakinya di atas cabang pohon yang tertinggi. Baru saja
angin senjata rahasia itu terasa olehnya, dengan cepat ia jungkir
balik ke bawah pohon, dan benda itu menyambar dengan cepat
sekali sehingga terasa dingin sambaran anginnya, Mau tak mau si
Iblis Daratan terkejut! Ia maklum kelihaian penyambit piauw tadi,
karena sambaran anginnya menunjukkan tenaga dalam yang
hebat! Maka segera ia menggunakan ilmu Keng-sin-sut hingga
tubuhnya bagaikan melayang-layang di atas rumput, sekejap saja
sudah berada jauh dan lenyap dari pandangan mata musuhmusuhnya! Gunung Kam-hong-san yang dikelilingi bukit-bukit kecil
berjejer-jejer merupakan seorang jenderal perang yang
mengepalai barisan pejuang.
Gunung itu berdiri di tengah-tengah, puncaknya menjulang tinggi
menembus awan, bukit-bukit yang mengelilinginya hijau gelap
penuh hutan liar. Pada waktu pagi, keadaan di sekitar lereng
gunung ini sungguh indah. Bumi yang naik turun tak rata itu dihiasi
rumput hijau muda yang membentang luas bagaikan kain beludru
menutupi seluruh gunung. Di sana sini tumbuh bunga-bunga hutan
beraneka warna dan ragam, bagaikan sulaman-sulaman indah di
permukaan beludru hijau itu, menebarkan bau semerbak harum.
Hutan-hutan yang penuh dengan pohon Liu, Siong, dipayungi
cabang-cabang beberapa pohon raksasa yang telah ribuan tahun
usianya. Matahari bersinar merah di timur, menerjang halimun
menimbulkan cahaya pelangi beraneka warna yang indah sekali.
25 Suara burung-burung beraneka macam berkicau dan berdendang
melakukan puja-puji kepada tamasya alam, suara mereka nyaring
merdu diiringi suara anak sungai gemercik tiada berkeputusan
menambah sedap pemandangan dan pendengaran. Jika di Sorga
terdapat taman, agaknya seperti inilah macamnya! Dari dalam
hutan, sayup-sampai terdengar suara geraman binatang buas,
yang dibalas oleh auman di lain hutan, sehingga suara gerengan
susul menyusul bersahut-sahutan, menggelegar bagaikan bunyi
tambur besar yang dipukul riuh rendah menggetarkan ujung-ujung
daun yang dihias butiran-butiran air embun. Sungguh benar kata
orang bahwa di tempat yang indah merupakan sorga dunia itu
ternyata tersembunyi bayangan-bayangan maut yang mengintai
mangsanya! Maka tak heran bila belum pernah ada yang berani menjelajahi
tempat yang indah itu, karena semua orang kampung yang tinggal
puluhan li dari kaki gunung tahu akan bahayanya memasuki hutanhutan yang penuh binatang liar itu. Namun, pada pagi hari di
permulaan musim Chun, di kala hawa udara sangat sejuknya dan
segala taman-tamanan sedang semi berkembang, ketika angin
gunung sedang berdesir perlahan menghalau halimun ke arah
timur, dari bukit yang terdekat dengan Gunung Kam-hong-san,
tampak seSosok bayangan terbang melayang-layang di atas
rumput-rumput hijau. Dilihat dari jauh, bayangan itu mungkin akan
disangka setan penjaga gunung. Tapi, ketika bayangan itu sampai
ke tempat yang agak terang, maka ternyatalah bahwa ia adalah
seorang tua yang sedang berlari sangat cepatnya sehingga
seakan-akan melayang. 26 Memang ia sedang berlari menggunakan ilmu lari cepat Keng-sinsut yang telah sempurna diyakininya. Yang mengherankan, adalah
kepandaiannya meringankan tubuh. Rumput-rumput yang terinjak
oleh kakinya hanya bergerak-gerak sedikit seakan-akan hanya
dihinggapi sepasang kupu-kupu. Ujung-ujung rumput rebah sedikit
dan segera bangkit kembali setelah kakinya berlalu. Ini
menandakan bahwa ilmu meringankan tubuh "Co-siang-hui" dari
orang tua itu sudah hampir mencapai puncak kesempurnaannya.
Kakak itu berwajah kurus, berusia kira-kira enam puluh tahun.
Mukanya hanya kelihatan dari batas hidung ke atas, karena dari
hidung ke bawah tertutup oleh jambang dan jenggot putih melepak
yang berkilauan laksana benang perak.
Rambutnya yang putih lebat digelung ke atas. Pakaiannya
berwarna kuning tua, telah robek dan compang-camping. Leher
dan lengan bajunya lebar, berkibar-kibar ditiup angin ketika ia lari.
Sepasang kakinya berkasut jerami. Ia menggendong seorang anak
kecil dalam lengan kirinya, anak yang berusia kira-kira setahun.
Karena kecepatan larinya, sebelum matahari selesai mengusir
semua embun di lereng gunung, orang tua itu telah sampai di dekat
puncak Kam hong-san dan memasuki sebuah hutan yang besar di
puncak. Hutan itu penuh dengan pohon yang aneh-aneh dan
jarang terdapat di hutan lain. Ia langsung menuju ke sebuah
pondok bambu di tengah-tengah hutan, dan kedatangannya
disambut oleh tiga orang kakek lain.
27 "Ha, ha, Hong Losuhu, bagus benar! Kulihat engkau telah berhasil,"
kata seorang dari mereka yang matanya buta sebelah. Anak kecil
itu lalu didukung bergantian oleh mereka dengan wajah girang dan
kagum. Siapakah mereka itu" Anak itu adalah Han Liong dan
pendukungnya bukan lain Ialah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis
Daratan yang telah berhasil menculik Han Liong. Tiga orang kakek
itu ialah kawan-kawan si Iblis Daratan yang ia beri kabar dan
diminta datang berkumpul di Kam-hong-san pada permulaan
musim Chun. Yang bermata sebelah adalah Siauw- lo-ong Hee
Ban Kiat, yang di kalangan kangouw dikenal sebagai Giam lo-ong
kecil bermata satu. Tubuhnya kecil kurus kering seperti cecak mati,
tetapi matanya yang hanya sebelah kanan itu bersinar-sinar seperti
bintang pagi. Rambut dan jambangnya telah berwarna dua, kasar
dan kaku, kacau balau tak teratur.
Orang ketiga adalah seorang hwesio (pendeta) gundul bertubuh
tinggi besar. Sepasang matanya besar bundar dilindungi alis tebal
hitam, tapi mukanya licin seperti kepalanya. Ia adalah Kim-to Bie
Kong Hosiang si Golok Emas, ketua kelenteng Kim kee-tang di
bukit, Hun-tian-si, seorang ahli silat golok yang kenamaan. Orang
keempat adalah seorang tosu (pertapa atau imam). Usianya juga
sebaya dengan yang lain, kurang lebih enam puluh tahun, tapi
berbeda dengan kawan-kawannya yang sudah tampak tua itu, ia
sendiri mempunyai muka seperti kanak-kanak, walaupun
rambutnya sudah putih seperti salju, panjangnya sampai ke
punggung, diikat menjadi satu. Wajahnya kemerah-merahan dan
nampak sehat sekali. Ini adalah Beng-san Tojin Pauw Kim Kong
yang dijuluki orang si Malaikat Rambut Putih. Keempat orang tua
28 itu berganti-ganti memegang dan memandang anak kecil itu sambil
berkali-kali menyebut, "Anak baik. Tampang luar biasa. Tulang suci," dan lain pujian lagi.
"Hong Losuhu," kata Hee Ban Kiat si mata satu, "sebagai orang tua
kali ini kau harus mengalah padaku. Anak ini serahkan saja padaku
untuk kudidik. Dengan mempunyai murid seperti ini aku akan
dapat mati tenteram!"
"Eh, Hee-koaijin!" bantah Hong In si Iblis Daratan, ia sudah biasa
menyebut si mata satu "koaijin" (orang aneh). "Engkau mau
enaknya saja. Aku yang memeras keringat engkau yang menjadi
tukang tadah. Ini tak mungkin!"
"Jiwi losuhu. Kelentengku kosong. Pinceng si tua bangka belum
pernah punya murid. Keadaan pinceng ini cocok dengan anak ini.
Memang kedatangan pinceng ke sini hendak menyambut
keturunan Si-Enghiong ini untuk diwarisi sedikit kemampuan yang
ada pada pincang," menyambung Bie Kong Hosiang dengan
senyum memohon. "Hm, saudara-saudara, jangan berebut," sela Pauw Kim Kong yang
mempunyai suara halus seperti wanita. "Baiknya diatur begini.
Karena semua ingin mewariskan kepandaiannya kepada anak ini
29 yang memang sudah sepatutnya, maka baiklah sekarang diadakan
sayembara. Siapa diantara kita yang berkepandaian paling tinggi,
dialah yang berhak menjadi guru anak ini!"
"Eh, eh! Pauw Toheng (saudara Pauw) hendak menguji kita
semua?" tanya si mata satu, matanya yang tunggal memancarkan
cahaya kilat. Beng-san Tojin Pauw Kim Kong mengangkat lengan
kanannya yang terbungkus baju putih panjang,
"Jangan keliru sangka kawan. Maksudku hanya untuk
memperlihatkan kepunsuan (kepandaian) masing-masing. Yang
dianggap paling tinggi kepandaiannya dialah yang menang."
Semua setuju mendengar usul ini.
"Nah, Pauw Toheng, karena kau yang mengusulkan, sudah
sepantasnya kalau engkau pula yang membuka pertunjukan
sayembara ini dengan mengeluarkan kepandaianmu untuk
menambah pengertian kita." Pauw Kim Kong tidak ragu-ragu lagi.
Ia menuju ke lapangan rumput di depan pondok itu dan semua
orang mengikutinya. Kemudian, dengan sekali lompat, ia melayang
dengan menggunakan gerakan Hui-niauw-coan-in (Burung
Terbang Menerjang Mega), dengan gesit dan ringan kakinya turun
dan berdiri di tengah-tengah lapangan. Kemudian sambil
menghadapi kawan-kawannya, ia mengangkat kedua kepalan
tangan di atas dada memberi hormat, dan berkata.
30 "Aku si tua bangka yang tak tahu diri mohon maaf. Karena tulangtulangku yang tua sudah lemah, dagingku sudah loyo, maka aku
tak mempunyai apa-apa yang patut disajikan. Sekarang aku sudah
tak berani menghadapi musuh dan menjadi orang penakut. Palingpaling- aku hanya berani melawan pohon yang tak bisa membalas
memukul. Maka, cu-wi (saudara-saudara sekalian) maafkanlah,
aku mau main-main dengan pohon sion g tua ini."
Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih lalu menghampiri
sebatang pohon siong sebesar pelukan lengan. Ia berdiri sejauh
dua langkah dari pohon itu, memasang bhesi dengan kaki
terpentang merupakan segi tiga, kedua tangan terjulur ke depan,
kepala tunduk. Ternyata ia sedang mengumpulkan tenaga dalam
dan memusatkan nuitungnya ke dalam lengan. Kini kedua lengan
bajunya tampak tergetar-getar dan ia menegakkan kepalanya,
lurus memandang sebatang pohon. Kedua lengannya bergerakgerak bagaikan mendorong, dan... segera datang hujan daun
pohon itu yang rontok berhamburan melayang-layang ke bawah,
pada hal pohonnya tak bergerak sedikitpun.
"Bagus!" memuji tiga orang kawannya dengan kagum melihat
tenaga dalam yang istimewa itu" Pauw Kim Kong segera memberi
hormat dan merendah,
Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sepertl tadi telah kukatakan, aku sekarang takut berkelahi, maka
aku mengandalkan ilmuku melarikan diri! Janganlah cuwi
menertawakanku, tapi kalau untuk meloloskan diri dari musuh saja,
31 aku setua ini masih sanggup. Persilakan cuwi menyaksikan aku
yang penakut kalau lari dari muiuh." Ia berdongak memandang ke
atas, dan di antara cabang pohon siong yang sekarang telah
menjadi setengah gundul itu, terdapat banyak cabang-cabang
besar. Renggang di antara cabang-cabang itu kira-kira hanya
setengah kaki lebih, dan terhalang oleh cabang-cabang yang
bersimpang siur itu. Si Malaikat Rambut Putih lalu membuka baju
luarnya yang lebar dan panjang itu, dan kini hanya memakai baju
dalam yang pendek ringkas. Lalu ia menjejakkan kaki ke tanah,
dan tubuhnya segera melayang ke atas, tak dinyana telah berdiri
di kedua cabang terendah.
Kemudian, setelah sekali lagi bersoja ke arah kawan-kawannya, ia
segera meluncur menerobos renggangan-renggangan di antara
cabang-cabang itu. Gerakannya demikian bagus, tubuhnya
demikian licin den lemas pula, sehingga seakan-akan merupakan
seekor ular yang berbelit-belit, meluncur di antara cabang-cabang
pohon. Dengan menggunakan ilmu Sin-kut-hoat (Melepas Tulang),
ia berhasil membuat tubuhnya seakan-akan tak bertulang dan
berhasil lolos dari renggangan-renggangan yang kecil dan sempit
itu! Sekali lagi kawan-kawannya memuji. Setelah menyatakan
kebodohannya sendiri dengan ucapan-ucapan merendah, Pauw
Kim Kong lalu mempersilakan yang lain memperlihatkan
kepandaiannya. Bie Kong Hosiang segera maju ke depan. Ia
merangkapkan kedua tangan di dada dan berkata kepada Pauw
Kim Kong, 32 "Omitohud! Kepandaian seperti Toheng ini sungguh jarang tolok
bandingannya. Pinceng benar-benar menyerah dan memang
pantas kalau anak ini kau bawa ke Gunung Beng-san untuk kau
didik. Tapi pinceng akan memperlihatkan juga sedikit pertunjukan
golok yang tak berarti, kiranya boleh juga diwariskan kepada anak
ini. Maafkan pincang."
Hwesio itu dengan sigap lalu loncat ke lapangan sambil
menggerakkan tangan kanannya ke arah punggung. Ia melompat
dengan gerakan Ang-liong-coan-lah (Naga Merah Menembus
Menara). Gerakannya tak kalah lincah dari pada si Malaikat, dan
tahu-tahu tangan kanannya telah memegang sebatang golok
bergagang emas yang berkilauan hijau karena tajamnya. Ternyata
golok itu sangat tipis dan diselipkan di bawah baju belakang,
sehingga tersembunyi. Dengan sekali putar, jari-jarinya
menyembunyikan golok itu dibelakang lengan dan setelah
memberi hormat kepada kawan-kawannya ia segera mulai bersilat.
Ia membuka pertunjukannya dengan Ilmu golok Ngo-houw-toanbun-to (Lima Harimau Memegat Pintu).
Gerakannya mula-mula perlahan, kakinya berkisar ke sana ke
mari, kuda-kudanya sangat teguh dan tubuhnya yang tinggi besar
itu sangat lemas gerakannya. Goloknya menari-nari dan berputar
makin cepat dan akhirnya ketika ia bersilat dengan gerak tipu Uiliong-coan sin (Naga Kuning Memutar Tubuh), maka bayangan
goloknya merupakan bundaran putih yang melindungi tubuhnya!
Bayangan tubuhnya lenyap dari pandangan mata, hanya bundaran
putih terdiri dari ribuan ujung golok berputar-putar dan orang hanya
33 dapat tahu bahwa di dalam lingkaran mata golok itu terdapat orang
yang memainkannya karena kadang-kadang kelihatan sepatu
hitam hwesio itu menginjak tanah! Setelah Bie Kong Hosiang
berhenti bersilat. Dengan tenang tanpa kelihatan lelah sedikitpun
menghampiri kawan-kawannya dan memberi hormat, semua orang
memuji. "Waah, Losuhu terlalu merendahkan diri," memuji Pauw Kim Kong.
"Silat golok seperti yang baru saja kulihat, aku orang she Pauw tak
dapat menandinginya!" Ketika Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata
satu diberi giliran. Ia segera ayunkan tubuhnya dengan gerakan
Yan-cu sip pat-sian-hoan (Burung Walet Terbang Jungkir Balik),
dengan indah, tubuhnya berpoksai atau berputar-putar beberapa
kali di udara dan turun di tengah-tengah lapangan.
"Cuwi, selama berpuluh tahun berkeliaran di dunia, aku hanya
mengharapkan kekuatan kedua tanganku yang tua ini. Karena
kepandaianku yang lain tidak ada, terpaksa juga aku
mempertunjukkan sedikit kebisaan lenganku yang kurus kering ini
untuk diwariskan kepada putera Si Enghiong." Setelah memberi
hormat, ia segera bersilat dengan tangan kosong yang menjadi
jaminan hidupnya selama ini di kalangan kang-ouw. Pertama-tama
ia bersilat Ouw-wan-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Lutung Hitam)
yang mempunyai tiga puluh enam jalan,
tiap gerakan mempunyai tiga jurus hingga seluruhnya berjumlah
seratus delapan jurus, tetapi ia hanya mengeluarkan sepertiganya
34 saja, kemudian mengganti gerakannya dengan tipu-tipu Pat-kwamui yang tak kalah hebatnya! Bagi orang biasa, gerakangerakannya biasa saja, bahkan agak lambat tak bertenaga, tapi
bagi ketiga orang yang melihatnya ketika itu, mau tidak mau
mereka harus memuji karena maklum akan luar biasanya kedua
lengan tangan itu. Di dalam tiap-tiap tipu dan gerakan bergantiganti menggunakan tenaga nui-kang dan nge-kang hingga dapat
mengimbangi musuh yang bagaimanapun. Bahkan belakangan, si
mata satu itu mengeluarkan kepandaiannya menotok dengan jari
menurut gerakan Su-sat-chiu yang terkenal kesaktiannya. Jika
mempunyai ilmu ini sampai mahir, maka biarpun bertangan
kosong, tidak khawatir rasanya menghadapi lawan yang
bersenjata! Tentu saja setelah ia akhiri pertunjukannya, semua kawannya
memujinya. Kini tiba giliran Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis
Daratan. Seperti ketiga orang kawannya, iapun merendah dan
kemudian mengeluarkan kepandaiannya yang mengagumkan. Si
Iblis Daratan memang terkenal dengan ilmunya meringankan
tubuh dan kepandaian melempar dengan kim-chie-piao (senjata
rahasia uang logam). Pertama-tama ia keluarkan ilmunya
meringankan tubuh Too-tiam-leng-po-pou sehingga tubuhnya
bagaikan melayang-layang ketika ia melompat-lompat di antara
puncak-puncak pohon. Dari bawah ia kelihatan seperti seekor
burung garuda yang bermain-main dengan puncak pohon,
membuat setiap ujung daun pohon bagian atas bergerak-gerak,
sebentar di pohon ini, sebentar di pohon itu dengan gerakan
secepat kilat. 35 Ia menggunakan gerakan Kim-hong-hi-lui (Tawon Gula Bermain di
Tangkai Bunga). Kemudian ia mendemonstrasikan ketangkasannya melempar dengan kim-chie-piao. Kedua
tangannya masing-masing memegang sepuluh buah uang logam.
Ia melemparkan kim-chie-piao itu ke arah batang pohon dengan
gerakan bermacam-macam. Langsung, miring, dari bawah lengan,
dengan membelakangi, bahkan dengan mendekam di tanah.
Gerakan tangannya terus menerus tiada hentinya sampai semua
kim-chie itu menyambar ke arah batang pohon. Ketika mereka
semua menghampiri batang pohon siong itu, maka terlihat dua
puluh buah uang logam itu semua telah memasuki tubuh pohon itu
dengan berjajar-jajar rapi bagaikan diatur! Semua uang itu masuk
miring dan dalam sekali. "Dalam hal mengentengkan tubuh dan melempar piao, engkau
pasti paling unggul, Hong Losu!" memuji si mata satu.
"Nah, sekarang bagaimana?" kata Hong In, "Ternyata melihat
jalannya sayembara, kita masing-masing mempunyai kemampuan
tersendiri hingga sukar untuk menentukan siapa di antara kita yang
tertinggi ilmunya. Bagaimanakah baiknya ini?"
Sedang empat orang tua itu bingung dan saling pandang, tiba-tiba
di atas udara terdengar suara tertawa yang merdu dan halus, suara
tertawa itu dari perlahan lalu makin nyaring dan susul-menyusul
36 hingga bergema di seluruh hutan seakan-akan di semua penjuru
ada orang yang sedang tertawa! Keempat orang kakek itu maklum
bahwa ada seorang wanita yang sedang menunjukkan
iweekangnya. Suara ketawa itu digerakkan oleh sebuah tenaga
yang keluar dari Tan-tian sehingga dapat dikirim ke tempat jauh
dan bergema dengan nyaringnya. Dari suara ini saja seorang ahli
dapat mengukur ketinggian ilmu orang. Diantara keempat kakek
itu, Pauw Kim Kong yang tertinggi ilmu tenaga dalamnya, maka
segera ia dapat menduga di mana adanya orang yang tertawa tadi.
Ia menghampiri sebuah pohon besar di samping pondok, dan
memberi hormat ke arah daun-daun pohon sambil berkata.
"Li Enghiong, silakan turun. Kami merasa terhormat sekali
mendapat kunjunganmu yang mulia." Dari dalam pohon itu segera
melayang turun seSosok bayangan hitam dan seorang wanita
muda yang cantik tapi berwajah duka dan berpakaian serba hitam
berdiri di hadapan mereka sambil mengangkat tangan memberi
hormat berulang-ulang. "Maaf sebanyak-banyaknya. Saya yang tidak tahu diri dan rendah
telah mengganggu losuhu sekalian. Sebenarnya telah sejak tadi
saya datang, tapi tak berani turun karena khawatir mengganggu
permainan losuhu sekalian. Kemudian karena mendengar tentang
hasil sayembara itu, dengan lancang saya telah melepaskan
tertawa, mohon Losuhu sekalian sudi memaafkan. Sebetulnya
kedatangan saya Ini tak lain juga berhubungan pula dengan puter?
almarhum Si-Enghiong dan ingin sekali mendidiknya sekadar
37 membaktikan sedikit tenagaku untuk negara." Mendengar katakata yang bersifat patriotik ini, Hong In bertanya dengan hormat,
"Maaf, Toanio, bolehkah kiranya kami mengetahui namamu yang
terhormat?" "Saya yang rendah adalah Yo Leng In, dan Si-Enghiong almarhum
adalah cihuku (kakak Ipar), dan anak ini adalah keponakanku
sendiri," jawab nyonya muda itu. "Saya datang terlambat dan
mendengar bahwa keponakanku telah dibawa kemari, maka saya
segera menyusulnya." Keempat kakek itu kini tahu bahwa mereka
sedang berhadapan dengan janda almarhum Ong Kee In, kawan
seperjuangan Si-Enghiong yang gugur pula dalam usaha mereka
meruntuhkan kekuasaan Boan. Maka segera mereka
menunjukkan hormat kepada wanita patriot itu.
"Losuhu sekalian," berkata Yo Leng ln pula, "saya tadi telah
mendengar akan kecintaan hati Losuhu untuk mendidik Han Liong.
Saya merata terharu dan berterima kasih. Tak perlu kiranya
Losuhu sekalian berebut. Karena pondok di Kam-hong-san ini
memang kosong dan tadinya hanya dipakai sebagai tempat
pertemuan rahasia dari Si-Enghiong dan kawan-kawan lain,
apakah salahnya kalau Losuhu dengan bergiliran datang ke sini
untuk mendidik Han Liong" Saya sendiri akan merawatnya di sini,
karena anak ini harus dididik ilmu surat pula, agar kelak setelah
dewasa dapat melanjutkan cita-cita kita semua, menjadi orang
Bun-bu-Enghiong (ksatria gagah dan pandai), mewakili kita orang38
orang tua menggerakkan sekalian orang gagah membela negara
dan bangsa. Bagaimana, Losuhu, dapatkah usulku ini diterima!"
Empat orang kakek itu saling pandang dengan tertawa ditahan,
kemudian mereka serentak menyatakan setuju sambil menyatakan
kebodohan mereka sendiri-sendiri yang sudah berebut dengan
kacau balau tak keruan! Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu
tertawa terbahak-bahak. "Yo toanio, maafkanlah kami berempat orang, orang kasar yang
tolol ini! Baiknya toanio segera datang dengan cepat, kalau tidak,
mungkin kami akan tersesat makin jauh. Usulmu baik sekali. Aku
yang bodoh setuju sepenuhnya! He, bagaimana pendapat kalian?"
tegurnya kepada kawan-kawannya.
"Hee Koanjin bicara betul. Kami setuju. Memang usul Toanio itu
wajar sekali," kata Hong In si Iblis Daratan.
"Nah, marilah kita rayakan hari gemilang ini. Tadi sambil
menantikan kembalinya Hong Losuhu, kami bertiga sudah
menyediakan arak tua dan makanan. Pinceng sudah merasa lapar
sekali!" kata Bie Kong Hosiang si Golok Emas dengan senyum
lebar. Bersama-sama mereka melangkah memasuki pondok,
didahului oleh Yo Leng In yang mendukung Han Liong. Di tengahtengah pondok terdapat sebuah meja kayu bundar besar dan dua
losin bangku yang mengelilingi meja itu. Memang tempat ini
biasanya digunakan untuk rapat para Hohan (orang gagah) dari
kalangan kang-ouw dan liok-lim yang berjiwa patriot dari segala
39 pelosok, yang dipimpin oleh Si-Enghiong. Tentang halnya bekas
menteri Si Kim Pau, ayah mendiang Si-Enghiong, tak seorangpun
tahu di mana tempat tinggalnya kini, bahkan sebelum Si Enghiong
gugur, iapun tak pernah berjumpa dengan ayahnya.
Agaknya Si Kim Pau telah pergi mengikuti Kam-hong Siansu,
Entahlah! Gua bekas tempat ia bertapapun telah lama sekali
kosong. Karena di dalam pondok itu telah tersedia lilin, maka Yo
Leng In segera mengatur meja sembahyang, dan kemudian
dengan disaksikan oleh keempat Losuhu, ia mengajak Han Liong
bersembahyang minta izin roh ayah anak itu, Si-Enghiong, untuk
berguru kepada keempat Losuhu yang pandai-pandai itu! Setelah
itu, Yo Toanio dengan memangku Han Liong, mengajak anak itu
bersama-sama berlutut kepada mereka bergiliran. Keempat orang
kakek itu sangat gembira. Lebih-lebih setelah Han Liong diberi
makan oleh bibinya, tampak kemungilannya. Ia tertawa-tawa
dengan girang sekali, pipinya kemerah-merahan, sepasang
matanya yang jeli memandang kepada guru-gurunya dengan
bersinar-sinar. Tak sedikitpun tampak takut.
"Anak baik!" memuji guru-gurunya dengan rasa kasih sayang.
Semenjak terculik oleh Liok-tee Sin-mo Hong In dibawa ke puncak
Gunung Kam-hong-san dan dapat pula kata sepakat antara
keempat orang kakek yang kini menjadi gurunya, Han Liong lalu
diserahkan dalam asuhan Yo Leng In. Bibinya ini selain tangkas
dalam ilmu silat, iapun ahli pula dalam kesusasteraan, pandai
menulis sajak-sajak dan pernah membaca habis kitab-kitab kuno.
40 Yo Toanio yang baik ini tiap hari memelihara Han Liong dengan
penuh kasih sayang, mengajar anak itu bercakap-cakap.
Tiap pagi dan sore ia melatih tubuh anak itu, memukulinya dari
perlahan sampai keras dengan kulit bambu dan rotan sambil
memandikannya dalam air tercampur arak hangat dengan ramuan
obat buatan Beng-san Tojin Pauw Kim Kong yang pandai pula
dalam ilmu pengobatan. Dengan rawatan luar biasa ini, kulit dan
daging anak itu tumbuh dengan baik dan mempunyai kekuatan dan
keuletan yang sempurna, namun kulitnya tetap lemas halus karena
tiap habis mandi, Yo Toanio menggosok seluruh tubuhnya dengan
bedak batu kuning yang terdapat di atas Gunung Kam-hong-san.
Ketika Han Liong telah berusia empat tahun, ia mulai menerima
pelajaran-pelajaran pokok dalam ilmu silat dari bibinya, Yo Toanio
mengajar dengan cara halus dan sewajarnya, tidak dengan
paksaan. Ajaib sekail, anak kecil itu seakan-akan senang sekali
mempelajari kuda-kuda atau bhesi dan mencontoh gerakangerakan kaki bibinya dengan gembira.
Alangkah heran dan senang hati nyonya muda itu karena dalam
beberapa bulan saja Han Liong telah dapat menirunya dalam
gerakan-gerakan bhesi Thiao Ma, Peng Ma dan lain-lain pasangan
Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuda-kuda yang sulit dengan sempurna! Setahun kemudian, dalam
usia kurang lebih lima tahun, Han Liong telah pandai bergerak ke
sana ke mari dengan lincah dan sigap dalam segala macam bentuk
"pou" gerakan perubahan kaki) yang baik. Selain itu, ia telah hafal
dan faham benar akan segala cara menggunakan tangan dan jari
dalam ilmu pukulan seperti Houw Jiauw Ciu (gerakan jari telunjuk
41 dan tengah untuk menyodok atau tiam) Yang Ciu, Sam Ciat Ciu
dan lain-lain. Pandai pula menggunakan tendangan kaki Heng Tui
dan lain-lain, menggunakan siku seperti Teng Tun, In Tun dan
sebagainya, dan ia mengerti pula cara yang bermacam-macam
dari kepalan tangan (koan).
Sampai sebegitu jauh maka selesailah tugas Yo Toanio
membimbingnya dalam pokok dasar ilmu silat dan kini mulai
mengajarnya dalam ilmu surat (bun) saja. Juga dalam mata
pelajaran ini, Han Liong ternyata sangat cerdas. Tiap harinya ia
dapat menghafal lebih dari dua puluh huruf. Anehnya, sekali
menghapal, seperti huruf-huruf itu sudah tercetak dalam
ingatannya hingga tak bisa lupa lagi! Setelah Han Liong paham
benar akan dasar-dasar ilmu silat dan selanjutnya untuk
mendapatkan pendidikan (Lanjut ke Jilid 02) Pedang Pusaka Naga Putih (Seri 04 - Serial Jago Pedang Tak
Bernama) Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02 yang lebih tinggi agar menjadi seorang ahli silat yang sempurna,
maka Yo Leng ln menyerahkannya kepada Liok-tee Sin-mo Hong
42 In, karena ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat Yo Leng
In sendiri, seperti yang sudah diajarkannya kepada Han Liong.
Si Iblis Daratan Hong In mulai mengajar Han Liong dari latihan
napas (khikang) sampai kepada ilmu meringankan tubuh dan lari
cepat. Dasar ia memang berbakat pendekar, dalam setahun saja
berlatih siang malam, ia telah mewarisi seluruh dasar-dasar
kepandaian Liok tee Sin-mo Hong In, dan setengah tahun
kemudian, kepandaian dasar menggunakan dan menyambit Kimchie-piao telah ia pahami pula. Tentu saja baru dasar-dasarnya
dan tinggal meyakinkannya dengan latihan-latihan praktek. Karena
masih ada tiga orang guru lainnya, si Iblis Daratan setelah merasa
bahwa Han Liong sudah mewarisi seluruh pokok dasar
kepandaiannya, lalu menyerahkan anak itu ke dalam asuhan Pauw
Kim Kong si Malaikat Rambut Putih. Beng-san Tojin Pouw Kim
Kong menerima tugas ini dengan gembira dan segera melatih Han
Liong dalam ilmu silat berdasarkan tenaga dalam dan melemaskan
tulang. Ia mendidik anak itu memperkuat tenaga dalamnya dan
mengajarnya ilmu le Kin Keng dan cara bagaimana untuk Siulian
(semadhi) memperkuat ketabahan batin. Kemudian, selang
setahun lebih, Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat mengajarnya ilmu silat
tangan kosong yang cekatan. Selama satu tahun, ilmu silat Ouwwan cianghoat (Ilmu Silat Tangan Lutung Hitam) yang berjumlah
seratus delapan jurus, Thai Kek Touw dan seratus dua puluh jurus
Kiauw-ta-sin-na ialah gabungan Kim-na-hoat dari Siauw-lim dan
Bu-tong pai telah dipelajarinya dengan baik. Gurunya yang terakhir
43 ialah Bie Kong Hosiang) yang mewariskan ilmu goloknya yang
tiada taranya itu. Selain ilmu golok, hwesio tinggi besar itu
mengajarnya pula ilmu ciptaannya sendiri, ialah gabungan
permainan golok dan pedang.
Ilmu ini dapat digunakan baik dengan golok maupun dengan
pedang dan gerakan-gerakannya sulit sekali. Sementara itu, Han
Liong masih tetap melanjutkan pelajarannya dalam ilmu surat
menyurat dengan rajin di bawah bimbingan Yo Leng In seperti
sediakala. Keempat orang gurunya masih terus memberi petunjukpetunjuk berganti-ganti sehingga ketika ia berusia lima belas
tahun, Han Liong yang digembleng oleh empat orang ahli itu
mewaiisl kepandaian silat campuran yang sangat hebat.
Demikianlah penuturan dari guru-gurunya yang didengarkan oleh
Han Liong dengan bercucuran air mata. Lebih-lebih ketika ia
mendengar tentang kematian ayahnya dan nasib ibunya. Ia
menjatuhkan diri dan hampir pingsan karena duka. Baiknya gurugurunya pandai menghibur, dan di depan guru-gurunya ia
bersumpah untuk melanjutkan cita-cita ayahnya dan membalaskan
sakit hati orang tuanya. "Han Liong," berkata Pauw Kim Kong, "biarpun kini engkau sudah
memiliki kepandaian yang lumayan, tapi janganlah sekali-kali
engkau takabur dan menganggap dirimu sendiri yang terpandai di
dunia Ini. Di dalam dunia masih banyak terdapat orang-orang
pandai. Jika kau menyombongkan kepandaianmu, maka engkau
akan terjeblos!" 44 "Lagi, jangan sekali-kali menggunakan kepandaian untuk
menindas kaum yang lemah, Liong. Ingatlah selalu bahwa kami
memberi pelajaran padamu ialah untuk digunakan menolong
sesama hidup yang tertindas, untuk membela negara dan
membasmi penjahat. Kalau kau tersesat dan menggunakan
kepandaianmu untuk keuntungan sendiri, maka kau tak akan
selamat," sambung Siauw lo-ong Hee Ban Kiat.
"Pesanku padamu ialah, jangan terlampau mudah membunub
orang, muridku. Jauhkanlah golok dan pedangmu sedapat
mungkin dari pertumpahan darah. Kalau tidak sangat terpaksa,
janganlah membunuh orang secara serampangan," ujar Bie Kong
Hosiang. "Dan berlakulah sebagai orang gagah yang kenal pribudi. Harus
selalu merendahkan diri dan rajin menambah pengetahuan. Ingat,
Liong, sepanjang pengalamanku, yang tidak boleh dipandang
ringan adalah orang-orang yang kelihatan paling lemah, misalnya
kaum wanita, orang-orang tua, pengemis-pengemis, dan orangorang lain yang kelihatan sangat lemah. Biasanya lawan yang
sangat berbahaya itu aalah mereka yang kelihatan lemah itu, tapi
di dalamnya tersembunyi kekuatan dan kepandaian tinggi. Karena
tampaknya dari luar lemah, maka orang mudah sekali memandang
sepi. Tapi kau jangan sekali-kali memandang rendah orang-orang
lemah itu, Liong. Kepandaian orang tak tampak di luar tubuhnya,"
kata Hong In si Iblis Daratan. Han Liong menghaturkan terima
45 kasih atas nasehat-nasehat keempat gurunya itu dan berjanji akan
memperhatikannya sungguh-sungguh. Kemudian bibinya bicara.
"Han Liong anakku, kami berlima sudah bersepakat untuk
menyuruh engkau turun gunung hari ini juga. Kau perlu mencari
pengalaman di luar, nak. Dan kau boleh mencari ibumu. Tentang
sakit hati terhadap Tiat-Kak-liong Lie Ban terserah padamu. Itu
adalah soal pribadimu, kami hanya memesan agar segala sepak
terjangmu dilakukan atas dasar prikebenaran yang layak. Engkau
sudah tahu ke mana harus mencari ibumu. Tapi, sekali lagi
kuulangi nasehat-nasehat guru-gurumu, yaitu engkau jangan
mengambil jalan salah karena kalau engkau kelak dikemudian hari
ternyata berobah menjadi anak durhaka dan murid yang
mencemarkan nama baik guru-gurumu, maka kami berlima tentu
akan mencarimu!" Pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi guntur
keras menggelegar dan satu tenaga besar menggetarkan bumi
yang mereka injak sehingga mereka berenam walaupun memiliki
kepandaian tinggi, jadi sempoyongan dan terhuyung-huyung.
Semua orang heran karena hari itu langit bersih dan tiada tandatanda kemungkinan ada guntur. Kemudian terdengar ledakan
keras dan tahulah mereka bahwa suara gemuruh itu bukan sekalikali suara guntur, tapi adalah suara tanah yang gugur dari pinggir
gunung. Suara "krek-krek" terdengar dan keenam orang itu segera
berlompatan keluar pondok. Ternyata pondok itu menjadi miring
dan belum lama mereka berada di luar, pondok itu roboh dengan
mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Di luar mereka lihat debu
46 mengepul di sebelah kiri bukit dan Pauw Kim Kong segera maklum
apa yang telah terjadi. Ketika tanah yang mereka injak tadi tergetar
membuat mereka terhuyung-huyung berkali-kali, kenyataan
sebenarnya ialah gempa bumi besar di gunung sehingga pondok
mereka juga roboh karenanya. Dan suara hebat tadi tentu tanah
dan batu-batu gunung yang gugur karena gempa bumi itu dan jatuh
ke dalam jurang. Debunya masih tampak hebat! Tanpa mufakat
lebih dulu mereka berenam serentak berlari-lari menuju ke kiri di
mana nampak debu mengepul tinggi.
"Hati-hati!" Hee Ban Kiat memesan dan betul saja, ketika sampai
di sebuah tikungan, dari atas turun menimpa beberapa buah batu
besar yang rupanya terlepas dari sandarannya di atas puncak dan
berguling-guling ke bawah.
Untungnya mereka telah waspada dan segera meloncat ke
belakang menjauhi tempat bencana itu. Betapapun tinggi
kepandaian mereka, kalau sampai, tertimpa batu-batu yang
berpuluh ribu kati beratnya itu, pasti akan tamatlah riwayat mereka!
Han Liong yang belum banyak pengalaman dan ingin sekali
melihat sesuatu yang masih asing baginya, tak terasa maju
mendekati tempat di mana batu-batu tadi jatuh. Tiba-tiba ia melihat
sebuah benda pulih berkilau-kilauan yang bergerak gerak diantara
tumpukan batu. Ia heran dan maju mendekat. Tiba-tiba benda
panjang itu melayang menyambarnya. Han Liong terkejut dan
serangan benda itu demikian cepatnya hingga tak mungkin pula
dikelit olehnya. Maka terpaksa ia mengibaskan tangan kirinya
47 untuk menangkis. Alangkah terkejutnya ketika benda itu tidak
terlempar, tapi menempel di jari tangan kirinya dan terus menggigit.
"Aduh!" hanya itulah yang dapat diteriakkannya dan ia roboh
pingsan. Guru-gurunya dan bibinya dengan terkejut lari memburu.
Bukan main khawatir mereka melihat keadaan anak muda itu.
Seekor ular berkulit putih berkilau seumpama perak digosok
menempel di jari telunjuk tangan kirinya, giginya masih tertanam di
jari Han Liong. Yang sangat mencemaskan adalah keadaan tubuh
anak muda itu. Seluruh tubuhnya tampak hitam semu hijau.
Mulutnya terkancing, matanya tertutup dan nafasnya sengalsengal, tinggal satu-satu! Yo Toanio tak dapat menahan getaran
hatinya. Ia tubruk keponakannya sambil menjerit-jerit! Guru-guru
Han Liong pun menjadi bingung, hanya Pauw Kim Kong yang agak
tenang. Tapi setelah memeriksa keadaan muridnya dan melihat
ular yang masih menggerak-gerakkan ekornya itu, ia menjadi lebih
sedih daripada yang lain-lain.
"Bagaimana, Pauw-suhu?" tanya Bie Kong Hosian ketika melihat
Pauw Kim Kong berdiri putus asa dan menggeleng-gelengkan
kepala sambil menghela nafas.
"Ular berbisa. Bisanya sangat berbahaya. Belum pernah kulihat
racun ular demikian luar biasa!" Sambil menangis keras Yo Toanio
mencabut pedangnya dan dengan gemas membacok ular yang
masih menempel di tangan Han Liong. Sekali bacok uiar itu putus
kepalanya dan Yo Leng In agaknya masih belum puas. Dibacoknya
tubuh ular itu berkali-kali hingga hancur menjadi berpotong-potong!
48 Kemudian, setelah menubruk dan menangisi keponakannya sekali
lagi, ia mengangkat pedangnya dan ditusukkan ke lehernya
sendiri! Untunglah Hee Ban Kiat berada di dekatnya dan dengan
cepat memegang pergelangan Yo Toanio yang memegang pedang
hingga sesaat kemudian pedang itu sudah berpindah tangan!
"Sabar, Toanio. Jangan putus harapan. Han Liong belum mati,"
kata Hee Ban Kiat menghibur.
"Belum mati" Lihatlah... lihatlah! Mukanya sudah hitam semua.
Siapa bisa memberi obat" Kan, bertahun-tahun kita didik ia, darl
anak-anak sampai dewasa. Pengharapan kita semua
digantungkan kepadanya... tapi... tapi justeru hari ini,saat ia harus
mulai menunaikan kewajibannya... saat seperti ini... ia... ia
berangkat mati...". Dimanakah keadilan Thian (Tuhan)?"" Tibatiba, bagaikan menjawab keluhan nyonya yang bersedih hati itu,
terdengar desis keras di dekat mereka. Mereka terkejut dan
menengok ke arah suara itu. Alangkah terperanjat dan marahnya
mereka ketika melihat seekor ular lain menggeleser-geleser
mendekati tubuh Han Liong! Ular itu sangat hitamnya, dengan
belang-belang kuning emas pada kepala dan ekornya.
Kelihatannya ganas benar dan beracun pula!
"Kau... binatang!! Siluman!! Engkau mau ganggu anakku juga?"?"
Yo Leng In dalam kemurkaannya menyambar pedang yang sudah
diletakkan di tanah oleh Hee Ban Kiat, lalu melompat ke arah ular
hitam itu. Heran sekali, ular itu berhenti dan menanti serangan Yo
49 Toanio dengan berdiri di atas ekornya, seperti ular sen duk, tapi
lebih tinggi lagi! Kedua matanya mencorong dan lidahnya yang
merah menjilat-jilat. Yo Leng ln mengayunkan pedangnya
memancung ke arah kepala ular itu, tapi kenyataannya ular itu
bukan main gesitnya dan dapat mengelak,
Yo Leng In makin marah dan dengan nafas sesak ia memancung
berulang ulang, tapi sekalipun serangannya tak mengenai sasaran.
Bie Kong Hosiang berseru keras dan setelah mencabut goloknya
ia membantu Yo Toanio untuk membinasakan ular itu, sungguh
aneh, bacokan-bacokan Bie Kong Hosiang yang tak mudah
dielakkan oleh seorang ahli silat ternyata dapat dihindarkan oleh
ular itu, hingga tiada lama kemudian Hong In, Pauw Kim Kong, dan
Hee Ban Kiat terpaksa turun tangan mengeroyok ular kecil itu!
Karena dikeroyok lima orang ahli silat yang hebat itu ular itu sudah
dapat dipastikan nasibnya. Dapat dibayangkan bahwa sebentar
lagi ia tentu akan hancur menjadi berpotong-potong, kalau tidak,
hancur sama sekali! Tapi, tiba-tiba terdengar deruan angin dan
disusul suara yang angker,
"Siancai, siancai Cuwi yang terhormat, hentikan segera serangan
itu!" Suara itu sangat berpengaruh dan kelima orang itu segera
melompat mundur, sedangkan ular itu berlenggak-lenggok,
rupanya sangat kelelahan membela diri, mengelak ke sana ke mari
di antara hujan senjata tadi! Suara yang berpengaruh itu disusul
dengan munculnya seorang tua berjubah putih dan bertubuh kurus
tinggi. Wajahnya kelihatan alim sekali, tapi sepasang matanya
yang lembut mengeluarkan cahaya tajam berkilauan. Tampaknya
50 ia berjalan perlahan saja dengan tenangnya, tapi tiba-tiba ia telah
berada di depan mereka sambil mengangkat kedua tangan
memberi hormat. "Cuwi yang terhormat maafkan pinto datang mengganggu."
Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi ia menghampiri tubuh Han
Liong yang masih rebah tak bergerak itu, diikuti oleh kelima orang
itu dengan was-was dan khawatir. Setelah dekat dengan tubuh
Han Liong, ia berjongkok lalu tiba-tiba memberi tanda supaya
semua orang mundur. Sepasang matanya dengan tajam
memandang ke arah ular hitam tadi. Yo Toanio dan kawankawannya menengok dan dengan hati berdebar-debar mereka
lihat ular itu bergerak cepat menghampiri tubuh Han Liong.
Tiba-tiba ular hitam itu melihat atau mencium bau darah ular putih
yang telah hancur tubuhnya. Ia berdiri di atas ekornya, mendesisdesis mengeluarkan lidah dan ajaib sekali, dari kedua matanya
yang merah itu menitik keluar dua butir air mata. Sikapnya jadi
makin galak, kepalanya digerakkan ke kanan dan ke kiri seakanakan mencari orangnya yang membunuh ular putih itu. Ketika sinar
matanya beradu dengan sinar mata orang tua yang masih jongkok
di dekat tubuh Han Liong, tiba-tiba ia bergerak mundur lalu
membalikkan tubuh hendak pergi. Tiba-tiba orang tua itu cepat
mengulurkan kedua tangannya dan mengangkat tubuh Han Liong
dan dengan sekali lompat ia telah berada di depan ular hitam,
mencegat dan jongkok pula sambil memondong tubuh Han Liong.
Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ular itu segera membalikkan tubuh lagi, tapi orang tua itu segera
mengejar dan melompatinya lalu menghadang di depannya.
51 Setelah hal ini terjadi berkali-kali, ular hitam itu rupa-rupanya
menjadi marah dan ia berdiri di atas ekornya sambil menjulurkan
lidahnya yang merah. Desisnya keras dan tajam menyakitkan
telinga. Kemudian setelah menurunkan kepalanya ke bawah untuk
mengumpulkan tenaga, ular itu melompat, meluncur bagaikan
anak panah terlepas dari busurnya menuju ke arah leher orang tua
itu. Yang diserang tenang saja dan memegang tangan kanan Han
Liong dan menggunakan tangan anak muda itu untuk menangkis,
dengan gerakan yang sama benar dengan gerakan anak muda itu
ketika menangkis serangan ular putih tadi. Yo Toanlo yang dari tadi
terheran-heran dan tidak mengerti, kini sangat terkejut melihat
betapa ular hitam itu menggigit jari tangan kanan Han Liong dan
menempel di situ tidak mau melepaskannya! Yo Toanio tak dapat
menahan gelora kemarahan hatinya,
"Siluman tua, apa yang kau lakukan?" Dengan penuh kebencian
ia memungut pedang yang diletakkan di atas tanah lalu
melemparkan pedang itu dengan sekuat tenaganya.
Ketika itu orang tua yang aneh itu tengah menggunakan tangan
kirinya memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan tangan kanannnya
memegang leher ular hitam. Agaknya ia sama sekali tidak ambil
perduli akan datangnya pedang yang melayang ke arah dadanya!
Yo Toanio dengan jelas sekali melihat betapa pedang itu tepat
menancap di dada orang tua itu, tapi ajaib, orang tua itu seolaholah tidak merasa apa-apa, dan melanjutkan pekerjaannya
52 memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan mencekik-leher ular!
Sejenak kemudian ia berdiri dan ular hitam itu malah dipegangnya,
karena itu dengan mudah saja ia mencabut gigitan ular ular itu dari
jari Han Liong. Baru sekarang ia memandang mereka berlima itu
dengan sebuah senyum manis tersungging di bibirnya.
"Siancai, siancai! Berkat kemurahan Thian Yang Agung, cucuku
Han Liong tertolong jiwanya." Kemudian ia memandang ular hitam
yang di tangannya. "Maafkan pinto, Kim-Ouw-Coa (ular emas
hitam), terpaksa pinto melakukan dosa besar. Engkau telah
menolong jiwa orang, tapi kau sendiri harus dibalas dengan
kematian." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Alangkah kejamnya, tapi apa boleh buat, jiwa cucuku lebih penting
dari pada jiwamu. Nah, mengalahlah kali ini, Ouw-Coa biarlah di
lain penjelmaan pinto balas budimu dan menebus dosa!"
Kemudian dengan perlahan ia mencabut pedang yang masih
menancap di dadanya dan sekali pancung saja maka putuslah
leher ular hitam itu! Yo Toanio dengan kawan-kawannya terheranheran melihat kelakuan orang tua itu, lebih-lebih ketika mereka
melihat bahwa bekas tusukan pedang di dadanya ternyata tidak
mengeluarkan darah, seolah-olah dadanya itu belum tertusuk
pedang. Mereka memandang ke arah tubuh Han Liong, dan
alangkah girang hati mereka melihat Han Liong bergerak-gerak
perlahan-lahan, lalu bangun dan menggosok-gosok matanya
seakan-akan baru bangun tidur! Segera mereka berebut
53 menghampiri Han Liong dan serentak bagaikan mendapat
komando, mereka berlima menjatuhkan diri berlutut di depan orang
tua itu. "Ah, cuwi, jangan lakukan peradatan tak berarti ini. Silahkan
bangun, pinto tak layak menerima kehormatan ini." Kata-kata ini
diucapkan dengan suara demikian halus dan sopan oleh orang tua
itu, hingga mereka segera berdiri dan mengangkat tangan
memberi hormat! "Maafkan kami yang buta tak mengenal orang pandai," kata Pauw
Kim Kong mewakili kawan-kawannya bicara, "Dan maafkanlah
perbuatan Yo Toanio tadi yang dilakukan terdorong karena
kebingungan hatinya melihat keadaan keponakannya. Mohon
tanya siapakah toheng yang mulia?"
"Ah, pinto sendiri sudah hampir lupa akan nama pinto. Dan lagi,
apakah artinya nama" Diberi tahu juga, cuwi takkan mengenalnya.
Rasanya sudah cukup bila pinto katakan bahwa pinto adalah orang
yang mengasingkan diri dan menerima berkah dari Kam Hong
Siansu. Kedatangan pinto inipun bukannya bermaksud untuk
mencampuri urusan cuwi. Tapi tak lain karena menerima perintah
dari Siansu untuk membawa cucuku ini. Ketahuilah cuwi, bahwa
Han Liong berjodoh untuk berjumpa dengian Kam Hong Siansu.
Adapun kedua ular ini, bukannya kebetulan saja mereka datang
menggigit Han Liong. Agaknya sudah kehendak Thian bahwa anak
ini menerima karunia yang luar biasa. Ketahuilah, racun ular putih
54 yang penuh dengan hawa Yang dapat mematikan seratus orang
dengan bisanya. Tidak ada obat di dunia ini yang dapat
menyembuhkan pengaruh bisanya yang hebat itu. Sebaliknya, ular
hitam inipun penuh dengan racun yang mengandung sari hawa Im,
maka apabila ia menggigit orang yang menjadi korban gigitan ular
putih, racunnya menjadi saling tolak dan saling memunahkan,
bahkan kedua racun yang mengandung hawa Yang dan Im itu
kalau bercampur di dalam tubuh menjadi obat yang mempunyai
daya luar biasa, memperkuat tubuh dan memperbesar daya tan
tian. Dapat cuwi bayangkan betapa beruntungnya Han Liong
karena tergigit oleh kedua ular ini." Tak perlu dikatakan betapa
senangnya hati keempat guru itu dan Yo Toanio mendengar
keterangan ini, dan pula saat itu Han Liong sudah sadar benar.
Segera Yo Toanio memerintahkan keponakannya untuk
mengucapkan terima kasih. Han Liong segera berlutut.
"Nah, cuwi, kini perkenankanlah pinto membawa Han Liong
kepada Siansu. Bangkai kedua ular ini pinto bawa karena
merupakan obat untuk anak ini. Musim Chun tahun depan cuwi
boleh menanti di sini untuk menyambut Han Liong kembali."
Dengan tenang ia pungut dua bangkai ular itu dan memegang
lengan Han Liong. Yo Toanio penasaran.
"Maaf, suhu. Bukannya saya tidak percaya padamu, tapi Han Liong
adalah keponakanku yang kudidik semenjak kecil. Maka
perkenankanlah saya mengetahui nama suhu dan ke mana suhu
akan membawa Han Liong agar hatiku menjadi tenteram."
55 "Ha, ha! Memang wanita selalu ingin tahu segala hal! Nah.
ketahuilah, aku adalah ayah iparmu Si Cin Hai, jadi Han Liong ini
adalah cucuku sendiri. Kemana aku hendak bawa anak ini, tak
seorangpun boleh tahu, pendeknya, ke tempat Kam Hong Siansu.
Nah, selamat tinggal!" Sebelum mereka dapat berkata sesuatu,
orang tua itu segera menarik lengan Han Liong dan membawa
pemuda itu lompat ke jurang di mana batu-batu besar tadi
berjatuhan! Yo Toanio hendak mengejar, tapi dicegah oleh Pauw
Kim Kong. "Jangan, toanio. Kulihat ia bukan orang sembarangan. Dan lagi,
bukankah ayah Si Enghiong itu Menteri Si Kim Pauw yang dulu
dikabarkan lenyap setelah bertapa di gunung ini?" Yo Toanio mulai
sadar, "Si Kim Pauw! Betul, betul dia. Biarpun aku belum pernah bertemu
denganya, tapi wajahnya serupa benar dengan Si Enghiong. Ya
Tuhan, syukur kalau begitu. Han Liong berada di tangan kakeknya
sendiri dan pasti sekali Kam Hong Siansu adalah seorang luar
biasa dan pandai!" Semua menyatakan kegirangan mereka karena
kenyataan itu dan Hee Ban Kiat berkata.
"Kalau bukan Yo Toanio sudah yakin bahwa orang itu adalah kakek
Han Liong sendiri, aku masih saja merasa khawatir, karena orang
56 tua itu seperti bukan manusia. Kusangka tadi ia siluman gunung
ini." "Jangan gegabah, Hee Koanjin," tegur Hong In. "Orang tua itu
sudah tinggi sekali ilmu batinnya. Tidakkah kau lihat betapa tadi ia
menerima tusukan pedang yang dilemparkan Yo Toanio" Ia dapat
mematikan rasa, dan ilmunya yang sempurna telah dapat
menahan jalan darahnya hingga tusukan pedang itu sama sekali
tidak dirasanya dan tidak dapat melukainya. Bagi kita yang masih
suka berada di tengah-tengah kekotoran dunia ini, jangan harap
akan mencapai tingkat setinggi itu."
Kemudian mereka bermufakat untuk berkumpul kembali pada
musim Chun tahun depan seperti yang telah dijanjikan oleh Si Kim
Pauw itu. Setelah itu, mereka berpisah dan kembali ke tempat
masing-masing. Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Si Han
Liong yang dibawa oleh kakeknya. Ketika ia dibawa oleh kakeknya
melompat ke dalam jurang, diam-diam hatinya cemas karena
kakinya menginjak tempat kosong dan mereka berdua meluncur ke
bawah dengan amat cepatnya! Ketika memandang ke bawah,
terpaksa Han Liong menutup matanya, karena jurang itu seakanakan tak berdasar karena dalamnya! Tiba-tiba kakeknya
memperkuat pegangannya pada pergelangan lengannya dan
berbisik, "Pegang dahan pohon di bawah itu!" Han Liong waspada, ia
menggunakan ilmunya meringankan tubuh dengan kegesitannya.
57 Pohon di bawah itu seperti melayang naik menuju dirinya, pada hal
tubuhnya sendirilah yang sedang melayang turun dengan
cepatnya. Bagaikan bersayap, kaketnya dapat menggerakkan tubuh hingga
mereka meluncur ke samping pohon. Orang tua itu mengulurkan
lengan dan tangannya berhasil memegang cabang pohon. Han
Liong memperlihatkan pula kegesitannya, ia sambar ujung ranting
pohon itu, tapi malang baginya ranting itu patah. Tapi sedikitnya
kelajuan luncuran tubuhnya telah tertahan dan dengan gerakan
mementangkan kedua kakinya, ia dapat bergerak ke arah cabang
rendah dan berhasil memegangnya! Keringat dingin keluar dari
keningnya ketika ia duduk di dahan pohon dan memandang ke
bawah. Ternyata jurang itu sangat dalam dan tak mungkin orang
akan dapat hidup jika jatuh ke bawah. Pohon yang didudukinya itu
tumbuh miring. Akar-akarnya berada di tanah gunung yang curam.
"Lompat ke situ!" kakeknya berkata sambil menunjuk ke kiri. Ketika
Han Liong memandang, ternyata kira-kira empat tombak dari
pohon itu terdapat sebuah gua besar yang hitam dan gelap,
bentuknya bagaikan mulut naga sedang menganga dengan batubatu tajam di atasnya bergantungan ke bawah merupakan taring
dan gigi naga. Kakeknya mendahului lompat dan lapun segara
mengerahkan tenaganya terjun menyusul dan tiba di mulut gua
dengan selamat. Han Liong mengikuti kakeknya memasuki gua itu
yang ternyata panjang berliku-liku. Di dalam gua itu tampak sinar
terang, dan ketika mereka sampai di situ, ternyata bahwa di atas
58 gua itu ada sebuah lobang yang memasukkan sinar matahari dan
menerangi gua itu. Di sebelah kanan ada pula lobang besar merupakan jendela.
Ketika Han Liong menghampiri jendela itu dan memandang. Ia
menjadi sangat kagum. Bukan main indahnya pemandangan yang
nampak di luar jendela! Tamasya alam yang belum pernah
dilihatnya seumur hidupnya. Daun-daun liu di hutan-hutan
berkelompok-kelompok, beberapa anak sungai yang berkelak
kelok bagaikan ular ular kecil, bukit-bukit yang berjajar-jajar rapi
seakan-akan diatur oleh tangan seorang ahli, dihiasi dengan batu
batu bundar besar berwarna hijau dan biru karena tertutup lumut,
dan warna warni merah, kuning, biru dari bunga-bunga gunung
merupakan hiasan terakhir dan terindah. Ia terpesona sejenak oleh
lukisan alam yang luar biasa itu. Pikirannya menjadi tenang,
tubuhnya terasa segar dan sedap.
"Han Liong, jangan melamun. Menghormatlah kepada Siansu,"
kata kakeknya tiba-tiba. Han Liong terkejut dan segera menengok.
Terlihat olehnya seorang tinggi besar berjubah putih, berkumis dan
berjenggot putih yang panjangnya sampai ke perut. Wajahnya
yang tua nampak amat agung, dan entah kapan ia masuk ke situ,
karena serta merta ia telah duduk bersila di atas sebuah batu hitam
berbentuk pat-kwa (segi delapan). Wajah yang agung itu
menjadikan Han Liong merasa dirinya sangat kecil tak beiarti.
Dengan penuh khidmat ia maju berlutut. Mulutnya berkata
perlahan-lahan dengan penuh hormat,
59 "Teccu menghaturkan hormat." Kam Hong Siansu membuka kedua
matanya yang ternyata sangat bening seperti mata kanak-kanak.
"Anak baik, beristirahatlah dulu untuk mengembalikan tenagamu.
Mulai besok sampai setahun penuh, kau akan sibuk belajar
menambah pengetahuanmu." Han Liong memberi hormat sekali
lagi, kemudian ikut kakeknya ke ruangan dalam di mana tersedia
sebuah kamar tanah kira-kira dua meter persegi,
Di mana tersedia sebuah batu yang rata untuk duduk. Kakeknya
memberitahu bahwa ia hanya boleh mengaso atau tidur sambil
bersila di atas batu itu! Demikianlah, tiap hari Han Liong
menghadap Kam Hong Siansu di mana ia diperintahkan bersilat
memperlihatkan segala macam kepandaian yang telah
dipelajarinya dari keempat gurunya yang lalu. Untuk tiap ilmu
pukulan maupun permainan senjata, selalu Kam Hong Siansu
memberi petunjuk-petunjuk yang membuat gerakannya menjadi
luar biasa, hingga ilmu silat pemuda itu mengalami perobahan
penuh rahasia dan tak terduga. Petunjuk-petunjuk yang diberikan
secara sabar dengan suara lemah lembut itu meresap betul ke
dalam hati dan pikiran Han Liong hingga ia mendapat kemajuan
sangat pesat. Kam Hong Siansu sangat sayang kepadanya hingga orang tua
pertapa yang berilmu tinggi itu turun tangan, menciptakan ilmu silat
60 tangan kosong yang dipetiknya dari semua pelajaran yang
diperoleh anak muda itu. Ilmu pukulan ini dinamakannya Ilmu Silat
Empat Bintang dan di dalam gerakan-gerakannya terkandung sarisari pelajaran yang dipelajari Han Liong dari keempat suhunya.
Selain dari itu, anak muda ini menerima pelajaran-pelajaran dasar
ilmu batin yang tinggi, hingga batinnya menjadi kuat dan tenaga
dalamnya mencapai tingkat tinggi. Pada suatu hari Kam Hong
Siansu mengeluarkan sebilah pedang mustika yang terbuat dari
logam putih laksana perak dan pedang itu ternyata lemas sekali
hingga dapat dililitkan di pinggang merupakan ikat pinggang. Ia
serahkan pedang itu kepada Han Liong sambil berkata,
"Anakku, kau berjodoh untuk memiliki pedang ini. Pokiam ini
disebut Pek Liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Putih). Karena
pokiam ini adalah barang pusaka yang suci, maka untuk
memilikinya, orang harus terlebih dahulu dikuatkan tubuhnya oleh
racun ouw-pek-coa (ular hitam dan putih) serta ia harus bersumpah
dulu." Dengan sangat hormat Han Liong menerima pedang itu lalu
bersumpah. "Teecu akan menjunjung tinggi prikebenaran, dan pokiam ini hanya
akan teecu gunakan untuk membela yang lemah dan menindas
yang jahat. Jika teecu gunakan pokiam ini untuk maktud-maksud
tidak baik atau hanya untuk keuntungan diri teecu sendiri, biarlah
teecu mati mendadak di bawah mata pedang ini sendiri!" Kam
Hong Siansu tersenyum puas mendengar sumpah pemuda itu.
61 "Han Liong, ketahuilah olehmu, pokiam ini kudapat dari suhuku,
dan suhu juga menerima dari gurunya. Maka setelah kau
menerima pokiam ini, boleh dikata bahwa kaupun menjadi
muridku." Han Liong segera berlutut dan menyebut.
Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suhu!" "Muridku, di dunia ini hanya ada dua bilah pokiam yang paling tua
dan sempurna, ialah Pek-Liong-pokiam yang kau pegang itu dan
yang kedua ialah Ouw-liong pokiam (Pedang Pusaka Naga Hitam).
Pek-liong pokiam ini mengandung sari hawa Yang, sebaliknya
Ouw-liong pokiam mengandung sari hawa Im. Selain merupakan
senjata yang tajam dan ampuh, kedua pokiam itu juga dapat
mengobati korban-korban racun jahat. Jika seorang terkena racun
hingga mukanya berobah hitam, maka air yang dicelupi Pek-liong
pokiam akan dapat menyembuhkannya dengan segera.
Sebaliknya, jika racun itu membuat korbannya menjadi pucat
seperti mayat, air yang dicelupi Ouw-liong-pokiam akan menjadi
obatnya." "Bolehkah teecu bertanya, suhu. Di manakah adanya Ouw-liong
pokiam itu dan siapa pula yang memilikinya?" tanya Han Liong.
"Ouw liong-pokiam berada dalam tangan sumoiku yang bertapa di
Gunung Heng san. Nah, sekarang bersiaplah, muridku. Aku akan
memberi pelajaran Pek-liong-kiamsut padamu. Belajarlah dengan
62 rajin, karena ilmu pedang ini walaupun nampaknya mudah, namun
jika tidak dipelajari dengan tekun dan sepenuh hati, takkan ada
manfaatnya. Tapi bila kau sudah mencapai kesempurnaan dalam
ilmu ini, kukira, takkan mudah lain ilmu dapat mengalahkannya.
Hanya Ouw liong-kiam-sut saja yang barangkali dapat
menandingi!" Han Liong yang masih berlutut menganggukanggukkan kepala sambil menghaturkan terima kasih.
Demikianlah, untuk beberapa bulan ia mempelajari Ilmu Pedang
Naga Putih dengan giatnya hingga tak terasa musim Chun telah
tiba pula. Pagi hari di musim Chun itu, ketika Han Liong masuk ke
kamar Kam Hong Siansu, ternyata pertapa itu tidak ada dalam
kamarnya. Yang ada di situ hanya kakeknya, Si Kim Pauw. Han
Liong segera memberi hormat dan bertanya ke mana kakek
selama setahun ini pergi hingga tak pernah ia melihatnya.
"Aku bertapa di lain bukit, cucuku. Sungguh kau beruntung, Liong,
karena Pek-liong-pokiam menjadi milikmu. Dulu aku pernah
mendengar sebuah dongeng tentang pokiam itu. Ribuan tahun
yang lalu, di Gunung Kam-hong-san ini bertapa dua ekor naga
sakti, seekor jantan berkulit putih dan seekor betina berkulit hitam.
Kedua ekor naga sakti itu bertapa dan membersihkan diri untuk
menjadi dewa. Hal ini menimbulkan rasa iri hati seorang pertapa
yang juga bertapa di gunung itu. Ia merasa iri hati karena ia sendiri
gagal dalam pertapaannya dan hatinya mengiri sekali melihat dua
ekor naga itu nampak makin hari makin bercahaya karena sudah
mendekati kesempurnaannya. Maka rasa iri hatinya menimbulkan
pikiran jahat. Dilemparnya dua naga itu, tapi ia tak berhasil karena
ternyata dua ekor naga itu amat sakti. Si pertapa menjadi sakit hati
dan akhirnya ia berhasil mendapat semacam obat yang jahat dan
63 manjur sekali. Ia masuk dengan diam-diam ke ruang pertapaan
kedua naga itu dan menyemburkan obat beracun itu ke arah
hidung kedua naga itu. Ketika kedua naga itu mencium bau harum
dan tersadar dari samadhi mereka, racun jahat itu telah bekerja.
Hebat sekali jalannya racun itu hingga batin kedua naga yang
sudah kuat itu tidak tahan menindas pengaruhnya. Mereka berdua
dipengaruhi rasa nafsu berahi besar dan keduanya lalu bercampur.
Setelah sadar mereka merasa sangat menyesal dan segera
mengejar pertapa itu, lalu membunuhnya. Kemudian mereka
bertapa kembali dengan hati sedih, tapi karena dosa yang telah
mereka perbuat, pertapaan mereka gagal. Maka putuslah harapan
mereka, lalu beribu tahun kemudian mereka menjelma menjadi
sepasang pedang pusaka dan berniat menebus dosa dengan
menjadi pedang guna membantu orang-orang gagah membela
keadilan dan kebenaran. Nah, pedang Pek liong-pokiam inilah
penjelmaan dari naga putih itu dan naga hitam menjelma menjadi
Ouw liong-Pokiam." "Kongkong (kakek), benar-benar adakah dongeng itu, maksudku,
benarkah terjadi peristiwa aneh itu?" Kakeknya tertawa.
"Aku tadi kan mengatakan bahwa semua itu hanya dongeng. Benar
atau tidaknya, siapakah yang dapat menentukan" Kalau benarbenar ada, peristiwa itu telah terjadi ribuan tahun yang lalu. Dan
siapakah orangnya di jaman ini dapat mengetahui apa yang terjadi
pada waktu itu" Ini hanya dongeng, Liong, namun, sungguhpun
hanya dongeng, di dalamnya terkandung arti dan nasehat yang
sangat berguna. Maka, kau yang memiliki Pek-liong-pokiam, hati64
hatilah dan waspadalah terhadap godaan dari musuh yang tak
nampak di mata, musuh yang jauh lebih jahat dan pada musuh
yang berupa manusia, yang bagaimanapun buasnya ialah nafsu
sendiri! Kuatkanlah batinmu untuk mengalahkan musuh yang
seperti ini. Nah, mari kuantarkan kau keluar, karena Kam Hong
Siansu kini sedang pergi keluar gunung dengan meninggalkan
pesan bahwa hari ini adalah hari terakhir bagimu tinggal di tempat
ini. Kau diharuskan keluar gua, turun gunung mulai dengan
kewajibanmu." Han Liong berlutut memberi hormat ke arah tempat duduk Kam
Hong Siansu dengan dilihat oleh kakeknya yang menganggukanggukkan kepala memuji kesopanan cucunya. Kemudian mereka
keluar gua, melompat ke pohon di depan gua, lalu menggunakan
kekuatan mereka melayang ke atas, tiba di tebing jurang dengan
selamat. Ternyata keempat suhunya dan ie ienya sudah menanti
di situ. Yo Toanio memeluk keponakannya dengan mengeluarkan
air mata karena suka cita. Si Kim Pauw tidak lama di situ, setelah
minta diri ia lalu terjun ke jurang kembali. Tapi ia tidak lupa untuk
memberi nasehat-nasehat terakhir kepada cucunya yang
tersayang itu. Han Liong dihujani pertanyaan-pertanyaan oleh
kelima orang tua itu. Ia menceritakan pengalamannya dengan
ringkas hingga mereka menjadi girang sekali. Pauw Kim Kong
menghela napas. "Tidak percuma Si Kim Pauw lo Enghiong menjadi menteri setia
dan Si-Enghiong menjadi seorang patriot yang mengorbankan
nyawanya demi tanah air dan bangsa.
65 Ternyata keturunan mereka telah menjadi orang pandai dan
beruntung. Han Liong, kami hanya mempunyai satu keinginan,
yakni melihat kau melanjutkan usaha ayahmu dan berbakti kepada
bangsa. Negara sekarang sedang kacau, para durna memegang
tampuk kekuasaan. Pembesar-pembesar rakus merajalela di kota,
menindas rakyat sesuka hatinya. Di mana-mana berlaku hukum
rimba, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya menghisap
yang miskin. Kasihan rakyat kecil yang tertindas, tiada pembela.
Maka sudah menjadi kewajibanmu untuk membantu mereka yang
tertindas yang butuh pertolongan. Kami sudah tua, tenaga kami tak
seberapa, usia kami tak lama lagi. Maka, berilah kami kebahagiaan
terakhir, yaitu, melihat kau yang menjadi murid kami melakukan
tugas mulia mewakili kami."
"Betul kata Pauw suhu, Liong," menyambung Hong In sambil
mengelus jenggotnya yang panjang.
"Hanya saja, sebagai tanda peringatan bagi kami, cobalah kau
perlihatkan Ilmu Silat Empat Bintang ciptaan Kam Hong Siansu itu,
kami ingin sekali melihatnya."
Dengan segera Han Liong menyanggupi, lalu mulai bersilat. Mulamula gerakannya lambat, indah dan menarik, makin lama makin
cepat hingga tubuhnya tak tampak lagi, hanya kelihatan gundukan
putih bergerak-gerak ke sana ke mari dengan cepatnya. Tidak
66 sedikitpun debu mengepul dari bawah kakinya, namun kelima
orang tua itu merasa betapa angin pukulan yang dingin membuat
jubah mereka bergerak-gerak, bagaikan tertiup angin gunung!
Empat orang guru itu dengan tegas sekali melihat betapa ilmu-ilmu
pukulan mereka digerakkan dalam cio-hwat Han Liong, tapi
pecahan-pecahannya demikian ganjil dan cepat hingga mereka
merasa betapa sukarnya menandingi seorang yang bersilat
dengan cara demikian sulit. Sertamerta mereka bertepuk tangan
setelah Han Liong menghentikan gerakannya. Dengan merendah
Han Liong berlutut sambil berkata.
"Semua ini berkat didikan suhu sekalian dan ie ie. Teccu tak tahu
bagaimana harus membalasnya!"
"Anak baik," kata Yo Toanio, "Asal engkau menjadi seorang yang
kenal pribudi kebaikan dan pembela kebenaran, maka itu sudah
merupakan pembalasan budi yang besar terhadap kami."
Kemudian Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan memberitahu
kepada Han Liong bahwa ia mempunyai dua orang murid bernama
Bhok Kian Eng dan Lie Kiam yang kedua-duanya kini berada di
kota Tong hai. Lain orang murid Pauw Kim Kong adalah Bie Cauw
Giok yang berada di kota Lam chiu. Kedua guru ini berpesan agar
Han Liong dalam perjalanannya menemui mereka itu. Lain-laln
guru tidak mempunyai murid lain kecuali Han Liong. Setelah
menerima nasehat-nasehat penting, Han Liong berangkat
merantau, menggendong bungkusan kuning pemberian bibinya
yang berisi dua pasang pakaian dan beberapa potong perak dan
67 emas. Keempat suhunya serta bibinya melihat ia pergi dengan hati
terharu. Si Han Liong yang sudah mendapat petunjuk dari bibinya,
langsung menuju ke kota Lam-ciu di mana ibunya dan musuh
besarnya tinggal! Tapi alangkah kecewa hatinya ketika tiba di kota
itu ia mendapat keterangan bahwa Tiat-kak-liong Lie Ban telah
beberapa bulan yang lalu pindah ke kota Hong-lung-cian beserta
keluarganya. Kota ini jauhnya ratusan li dari Lam-ciu dan jika
ditempuh jalan darat berkuda kira-kira sepuluh hari baru sampai.
Ada jalan yang lebih dekat, yaitu jalan air sepanjang Sungai Lienho dengan naik perahu. Karena memang maksudnya pergi
merantau meluaskan pengalaman, maka ketika mendengar bahwa
jalan melalui sungai lebih indah pemandangannya, Han Liong
mengambil keputusan menyewa perahu. Maka pergilah ia ke
perkampungan nelayan yang tinggal di dekat Sungai Lien ho,
Perkampungan itu besar juga, dan penduduknya hidup dari hasil
ikan sungai dan ada pula yang khusus berpenghasilan dari
menyewakan perahu, baik untuk berpesiar maupun untuk
menyeberang sungai yang lebar itu.
"Kalau tuan mau pelesir, sekarang ini musimnya baik sekali, air
sungai tenang dan jernih. Jika sedang banjir, ah, jangan harap
berpelesir naik perahu," kata seorang nelayan tua sambil
menawarkan perahunya. "Tuan hendak pesiar ke mana?" Han
Liong tersenyum. 68 "Aku tidak hendak pesiar, tapi hendak menyewa perahu untuk
membawaku ke kota Hong-lung cian. Berapakah sewanya?"
"Ke kota Hong-lung cian?" Nelayan tua itu geleng-geleng kepala.
"Ah, lebih baik jangan tuan."
"He, apa maksudmu" Kenapa?" tanya Han Liong.
"Dengar tuan muda. Aku adalah nelayan tertua di kampung ini, dan
aku memiliki perahu yang terkuat. Naik perahu Lo Sam sama
dengan rasa tidur di ranjang, demikian orang-orang kota di sini
berkata. Bukan aku hendak menyombong, tapi selama
pekerjaanku mengantar orang-orang dengan perahuku dalam tiga
puluhan tahun ini, belum pernah aku mengalami kecelakaan,
kecuali ketika bajak sungai Hek Sam Ong mencegatku. Ke mana
saja tuan akan kuantarkan dengan jaminan keselamatan penuh,
Petualangan Manusia Harimau 6 Delapan Kitab Pusaka Iblis Kwi Po Cin Keng Pat Karya Rajakelana Naga Merah Bangau Putih 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama