Ceritasilat Novel Online

Tiga Maha Besar 8

Tiga Maha Besar Karya Khu Lung Bagian 8


kauw membunuh orang, sama sekali berbeda dengan apa
yang kau bayangkan, andaikata engkau tak ingin merasakan
penderitaan yang lebih hebat, lebih baik tutuplah mulutmu
dan jangan banyak bicara!"
Dari nada ucapan itu dengan jelas mengartikan bahwa
pihaknya telah ambil keputusan untuk mencabut nyawa Thian
Ik-cu. Panglima perang yang baru saja menderita kalah, seringkali
memang nyalinya jauh lebih kecil, ketika Thian Ik-cu dipelototi
oleh Kiu-im Kaucu dari tempat kejauhan, dia merasakan sorot
mata lawan begitu tajam bagaikan anak panah yang
menembusi ulu hatinya, tanpa sadar sekujur badannya
gemetar keras dan bulu kuduknya pada bangun berdiri, ia
segera membungkam dalam seribu bahasa.
Giok Teng Hujin merasa makin ngeri dan takut tatkala
dilihat Kiu um kaucu tidak memerintahkan dirinya untuk
bangkit berdiri, dalam gelisah dan cemasnya ia segera
berseru, "Tecu yang mengemukakan siasat dengan budak
tecu, Che Giok menyaru sebagai Kun Gie untuk membunuh
putra Jin Hian serta mencari pedang emas, dan karena siasat
itu pula tiga kekuatan besar terjadi perpecahan...."
Tiba-tiba terdengar Jin Hian menengadah dan tertawa
seram, suaranya begitu seram penuh kesedihan dan rasa
dendam, begitu kerasnya suara tertawa itu membuat lembah
Cu-bu-kok bergetar keras suasana tegang dan sedih
menyelimuti seluruh angkasa.
Jin Hian makin tertawa makin keras, kutungan lengan
kirinya yang telah dibalut kini merekah kembali hingga darah
segar m ngucur tiada hentinya, mendadak ia muntah darah
segar.... Dipihak lain secara diam-diam Thian Ik-cu telah
melepaskan pedang mustika Poan liong kiam nya dan
diserahkan ketangan Pia Leng-cu sambil berbisik penuh
kegelisahan, "Pedang emas itu tersimpan dalam pedang
mustika ini, harap susiok segera melarikan diri, selewatnya
hari ini baik atau buruknya kita harus berusaha untuk
membinasakan Ku Ing-ing perempuan sialan itu!"
Terdengar Jin Hian yang sedang tertawa seram, tiba-tiba
berhenti tertawa kemudian membentak keras, "Ku Ing-ing
semoga aku diberkahi umur panjang, akan kulihat
bagaimanakah akhir hidupmu?"
"Hmm! mati hidup anak murid perkumpulan kami berada
dalam genggamanku!" seru Kiu-im Kaucu dengan nada
menyeramkan, raja akhiratpun tak kuasa menguasai kematian
mereka, apalagi engkau....
Bicara sampai disini, tiba-tiba ia saksikan Pia Leng-cu yang
berada dalam barak seberang sedang mengenakan pedang
mustika dengan sikap yang tergesa-gesa, kecurigaannya
segera timbul dan ia membentak keras, "Ku lng Ing!
dimanakah pedang emas itu?"
"Dalam pedang mustika Poan liong kiam milik Thian Ik-cu!"
Baru saja ucapan itu diutarakan, Pia Leng-cu dengan
membawa serta pedang mustika Poan liong poo kiam telah
meluncur kedepan serentetan suara suitan nyaring bergema di
angkasa, imam tua itu langsung kabur keluar lembah.
Kiu-im Kaucu amat gusar sekali menyaksikan perbuatan
imam tua tadi, sambil mengetukkan tongkat kepala setannya
keatas tanah ia membentak keras kemudian secepat kilat
mengadakan pengejaran dari belakang.
Dua orang itu satu didepan yang lain di belakang, bagaikan
anak panah yang terlepas dari busurnya langsung menerjang
ke arah mulut lembah, dalam sekejap mata bayangan tubuh
mereka sudah lenyap dari pandangan mata.
Siang Tang Lay buru-buru berseru kepada Hoa Thian-hong
dengan nada cemas, "Seng ji, cepat kejar! bagaimanapun juga
engkau harus merampas kembali pedang emas itu!"
Hoa Thian-hong dengan cepat melirik sekejap ke arah
ibunya, lalu berpikir didalam hati, "Luka dalam yang diderita
ibu parah sekali, mungkin keselamatan jiwanya sukar dijamin,
aku mana tega untuk tinggalkan dia orang tua lagi....?"
Berpikir sampai disitu, ia segera gelengkan kepalanya dan
membungkam dalam seribu bahasa.
Mendadak.... terjadi kegaduhan yang amat ramai diempat
penjuru. Rupanya Pek Siau-thian telah menyadari bahwa gelagat tak
menguntungkan bagi pihaknya, menggunakan kesempatan
Kiu-im Kaucu belum kembali dari pengejarannya atas diri Pia
Leng-cu, tiba-tiba ia pimpin sisa laskar yang tergabung dalam
perkumpulan Sin-kie-pang dan cepat-cepat mengundurkan diri
dari Lembah tersebut. Jin Hian dari perkumpulan Hong-im-hwie serta malaikat
kedua Sim Ciu dan nenek dewa bermata buta, masing-masing
dengan membopong seorang rekannya yang terluka, ikut
kabur tinggalkan mulut lembah tersebut.
Thian Ik-cu pun tak mau membuang kesempatan itu
dengan begitu saja, ia segera perintahkan seorang murid
untuk membopong tubuhnya dan kabur keluar dari lembah
Cu-bu-kok. Begitulah dalam keadaan serba kalut dan Kiu-im Kaucu
belum kembali dari pengejarannya atas Pia Leng-cu, beberapa
orang pen tolan dunia persilatan yang sudah terdesak
posisinya pada melarikan diri dari sana.
Hoa Hujin sendiri diam-diam berpikir dalam hati kecilnya,
"Pengaruh dan kekuatan pihak Kiu-im-kauw terlalu besar
untuk dilawan, Seng ji sendiripun belum tentu bisa menandingi
kepandaian ilmu silat dari kaucu mereka, apalagi semua orang
sedang terluka dan kami hanya menggantungkan Seng ji
seorang, bagaimanapun juga posisi serta situasi semacam ini
sangat menguntungkan bagi kita"
Perempuan ini cermat dalam pemikiran tegas dalam
keputusan setelah ambil keputusan ia segera berseru, "Seng ji
bersiap sedia untuk buka jalan, mari kita undurkan diri lebih
dahulu dari sini!" Hoa Thian-hong paling menguatirkan keadaan luka yang
diderita ibuaya, mendengar ibunya memerintahkan mundur ia
amat gembira sebab keputusan tersebut sesuai dengan
maksud hatinya. Pemuda itu segera berlutut dan membopong ibunya diatas
punggung kemudian sambil memegang pedang bajanya ia
berjalan dulu didepan barisan.
Dalam waktn singkat Chin Pek-cuan telah membopong
putranya Giok Liang, Dewa yang suka pelancongan Cu Thong
membopong Bong Pay, Hoa In membopong Suma Tiang-cing,
tiga orang murid Siang Tang lay membopong tubuh suhunya
keatas tandu dan mengusung tandu tersebut, sedang Cu Im
taysu menggandeng Ciu Thian-hau.
Sementara itu, sisanya masing-masing membopong dua
sosok jenasah dan mengikuti dibelakang Hoa Thian-hong
segera kabur keluar dari lembah Cu-bu-kok tersebut,
Para jago itu merupakan orang-orang cekatan, setelah
mereka ambil keputusan untuk pergi maka gerakan tubuh
mereka cepat sekali, tidak sampai seperminum teh kemudian,
semua orang telah meloloskan diri dari lembah itu.
Dipihak para pendekar kaum lurus, Hoa Thian-hong
bergerak dipaling depan membuka jalan sedang Kiu-tok Sianci
mengikuti dibarisan paling belakang, tentu saja orang-orang
perkumpulan Kiu-im-kauw lebih-lebih tak berani menghadang
jalan pergi mereka. Sesudah keluar dari lembah, buru-buru Hoa Thian-hong
bertanya, "Ibu, kita akan pergi kemana?"
"Bergerak dulu ke kota Cho ciu!"
"Aaaah benar, kita memang harus kembali keperkampuan
Liok Soat Sanceng yang sudah lama ditinggalkan" pikir Hoa
Thian-hong didalam hati. Ia segera perkencang larinya dan meluncur ke arah depan
tanpa lengah barang sedikitpun.
Tiba-tiba terdengar Chin Pek-cuan membentak keras, "Seng
ji, lambat sedikit larinya!"
Buru-buru Hoa Thian-hong mengiakan ia segera perlambat
larinya dari keadaan semula.
Meskipun pemuda itu sudah memperlambat gerakan
larinya, namun buat Chin Pek-cuan serta Biau-nia Sam-sian
sekalian masih tetap tak sanggup untuk menyusul.
Diantara mereka, Li-hoa Siancu yang paling payah, dengan
nafas tersengkal-sengkal ia segera percepat larinya melampaui
Hoa Thian-hong dan menghadang dihadapan si anak muda
itu, sehingga terpaksa pemuda itu harus mengurangi gerak
cepatnya. Pada saat itu tengah hari baru saja lewat, sang surya
memancarkan sinarnya dengan amat panas, setelah berlarilarian
beberapa waktu lamanya tubuh mereka semua telah
basah kuyup oleh air keringat.
Tiba-tiba Lan-hoa Siancu merasakan perutnya gemerutuk
tiada hentinya, ia segera teringat satu urusan, dengan cepat
tegurnya, "Siau long, hari ini tanggal berapa?"
"Entah, aku sendiripun tak tahu?"
Kiu-tok Sianci yang berada didekatnya segera
menyambung, "Ini hari tanggal delapan belas, ada apa sih?"
"Yaaa ampun! aku sudah tiga hari tiga malam tak makan
sesuatu apapun" seru Lan boa siancu setengah berteriak.
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, semua orang
segera merasakan perutnya sangat lapar, begitu haus dan
laparnya sehingga hampir saja tak tertahankan.
Tiba-tiba Cu Im taysu mengheta nafas panjang dan
berkata, "Aaai....! pertamuan besar Kian ciau tayhwee telah
berlangsung selama tiga hari tiga malam lamanya, kalau
diingat kembali pertarungan ini mungkin merupakan suatu
pertarungan yang paling panjang"
"Aaai....! ucapanmu memang benar" sambung Ciu Thianhau
dengan suara berat, andaikata tidak murcul manusiamanusia
setan dari perkumpulan Kiu-im-kauw, mungkin dalam
sekali gebrakan Seng ji dapat menumpas habis sisa-sisa
kekuatan dari perkumpulan Sin-kie-pang dan dunia
persilatanpun akan menjadi tenang kembali.
"Walaupun kita gagal mengusir kaum penjahat dari muka
bumi, sedikit banyak perkumpulan Hong-im-hwie dan Thongthiankauw berhasil ditumpas, hasil yang kita peroleh itu
sudah cukup memuaskan hati pin ceng," sambung Cu Im
taysu. "Hmm!" Tio Sam-koh mendengus penuh kegusaran,
"seorang manusia laknat telah lenyap, muncul manusia laknat
lain, apa yang engkau puaskan....?"
Tiba-tiba ia membentak keras, "Seng ji kurang ajar....!!
engkau memang telur busuk"
Hoa Thian-hong jadi melongo ketika secara mendadak ia
dicaci maki nenek tua itu, dengan keheranan ia lantas
bertanya, "Nenek Sam poo, kenapa sih engkau mencaci maki
diriku?" Tio Sam-koh makin gusar, teriaknya, "Tadi bedebah Pek
Siau-thian hendak bunnuh diri, kenapa engkau musti
menghalangi perbuatannya itu?"
Li-hoa Siancu yang berada dibelakang, sambil mencibirkan
bibirnya dia segera menyambung, "Huuuh....! kenapa lagi"
tentu saja ia memandang diatas muka Pek Kun-gie"
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong mendengar
perkataan itu, buru-buru selanya, "Engkau keliru besar, aku
berbuat demikian karena memandang diatas wajah istrinya.
"Huuh, engkau anggap aku tak tahu siapakah istrinya itu"
bukankah dia calon mertuamu?" sindir Li-hoa Siancu lebih jauh
sambil tertawa dingin. Dewa yang suka pelancongan Cu Tong tertawa terbahakbahak.
"Haaah.... haaah.... haaah.... setia kawan yang diperlihatkan
Kho Hong-bwee patut dipuji, kita harus menghormati
kepribadiannya yang luhur"
Hoa Hujin yang selama ini membungkam terus, tiba-tiba
berkata, "Jikalau orang-orang pihak Kiu-im-kauw melakukan
pengejaran satu-satunya jalan yang bisa kita lakukan adalah
melawan dengan sepenuh tenaga, bagaimanapun juga kita
bukan lagi melarikan diri, lebih baik cari dulu sebuah dusun
setelah makan kenyang baru kita lanjutkan kembali perjalanan
kita." Lan-hoa Siancu segera berseru, "Ucapan hujin tepat sekali,
Siau long dimanakah ada dusun?"
"Siaute tidak tahu!"
"Haaah! engkau ini segala apapun tidak tahu, yang engkau
ketahui cuma bagaimana caranya melindungi Pek Kun-gie."
Hoa In tak tega majikan mudanya dibuat bulan-bulanan
oleh sekawanan gadis Biau itu, dengan cepat ia maju kedepan
sambil berkata, "Hamba tahu, disebelah depan sana ada
sebuah kota kecil!" Ketika semua orang teringat akan makan dan minum tanpa
sadar perjalanan dilakukan jauh lebih cepat, kurang lebih
setengah jam kemudian sampailah mereka disebuan kota
kecil. Meskipun kota kecil tapi disitu terdapat sebuah rumah
makan, setelah Hoa In membawa semua orang kerumah
makan itu ia pergi seorang diri untuk membeli peti mati.
Setelah peti mati tersedia beberapa orang itu segera
mengebumikan jenasab dari It sim hweesio sekalian beberapa
orang, menghadapi rekan-rekan mereka yang telah gugur
dalam keadaan mengenaskan semua orang merasa amat
bersedih hati terutama Harimau pelarian Tiong Liau yang
hampir pada saat yang bersamaan kehilangan istri dan
putranya yang tercinta, kesedihan hatinya benar-benar sukar
dilukiskan dengan kata-kata.
Untung semua orang adalah pendekar-pendekar sejati yang
berhati lapang dalam menghadapi pertarungan tersebut pada
dasarnya semua orang telah membawa tekad untuk berjuang
hingga titik darah penghabisan serta membasmi perkumpulan
Hong Im twee, Sin-kie-pang serta Thong-thian-kauw, yang
hidup merasa bersukur karena masih dapat melanjutkan hidup
sebaiknya yang gugurpun berkorban dengan terpuji setelah
bersedih hati beberapa waktu lamanya, perasaan hati
merekapun menjadi lapang kembali seperti sedia kala.
Daun Leng-ci mustika yang masih tersisa tinggal selembar
daun belaka, tapi Suma Tiang-cing, Chin Giok-liong dan Bong
Pay tiga orang sama-sama menderita luka dalam yang amat
parah, karena itu selembar daun mustika itu dibagikan kepada
mereka bertiga untuk dimakan, hingga saat itu masih tertidur


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyenyak dan tak pernah sadar barang sebentarpun jua.
Siang Tang Lay dan Ciu Thian-hau sendiri walaupun isi
perutnya terluka sangat parah, tapi dengan dasar tenaga
dalam mereka berdua yang amat sempurna, asal bersemedi
beberapa hari saja niscaya luka itu dapat di sembuhkan
dengan sendirinya. Justru diantara mereka keadaan Hoa Hujin yang termasuk
paling payah, segenap tenaga dalamnya telah ludas, ilmu
silatnya punah dan luka racun yang didcitanya dahulu mulai
kambuh kembali, keadaannya paling serius dan gawat
diantara yang lainnya. Kiu-tok Sianci kecuali ahli dalam bidang obat-obatan
beracun, iapun menguasai dalam ilmu pengobatan, setelah
mengisi perut dia segera memeriksa keadaan luka yang
diderita Hoa Hujin serta mengobati penyakitnya itu.
Setelah ribut sampai sore hari, akhirnya semua persoalan
dapat diatasi dan para jago pun bersama-sama kumpul dalam
ruangan untuk merundingkan gerakan mereka selanjutnya.
Hoa Hujin memandang sekejap ke arah Kin tok sian ci,
kemudian sambil tertawa ujarnya, "Putra ku pernah berhutang
budi kepada Sian ci dan ini hari berkat pertolonganmu semua
orang berhasil lolos dari bencara tersebut, bukan saja kami ibu
dan anak merasa amat berterima kasih sekali atas
penolonganmu itu, aku rasa semua orang yang hadir disinipun
mempunyai perasaan yang sama"
Mendengar perkataan itu, Kiun tok sian ci tertawa.
"Aaah! hujin terlalu sungkan-sungkan, kita toh mempunyai
pandangan dan cita-cita yang sama, tak apa kalau kita saling
bantu membantu" Hoa Hujin tersenyum. "Aku tahu kalau sian ci paling tak suka mencampuri urusan
keduniawian, aku lihat lebih baik engkau segera pulang ke
wilayah Biau saja karena urusan disini sudah selesai dan aman
bila lain waktu ada kesempatan aku orang she Bun pasti akan
berkunjung kesitu. "Ibu! bagaimana dengan luka racunmu?" tukas Hoa Thianhong
darin samping, "sian nio paling sayang kepada
ananda...." "Sian ci telah tinggakan resep obat kepadaku, asal kita
belikan obat itu bukankah lukaku akan sembuh?" sela Hoa
Hujin sambil tertawa. Sesudah berhenti sebentar ia melanjutkan.
"Sekarang engkaupun telah lerhitung seorang pendekar
kenamaan dalam dunia persilatan, lain kali kalau ingin
menyelesaikan sesuatu masalah maka engkau harus
mengutamakan soal cengli lebih dulu janganlah urusan pribadi
maka engkau merampas cengli dengan emosimu itu!"
"Ananda akan ingat selalu nasehat dari ibu" sahut Hoa
Thian-hong sambil tertawa riku.
Sementara itu Kiu-tok Sianci telah tertawa santai lalu
berkata, "Chin loo enghiong, putri kesayanganku itu akan kau
ajak pulang ke kota Keng ciil ataukah ikut aku pulang ke
wilayah Biau?" "Haahh.... haahh.... haahh...." Chin Pek-cuan tertawa
terbahak-bahak, "selamanya perempuan mondong keluar,
sejak dari permulaan aku telah berikan putriku ini kepada
orang lain" Kiu-tok Sianci kembali tersenyum, "Hong ji, inginkah
engkau pulang ke wilayah Biau dan belajar warisan ilmu
kepandaianku?" "Ingin!" sahut Chin Wan-hong lirih, kepalanya ditundukkan
rendah-rendah. Jawaban tersebut diutarakan dengan suara yang lirih dan
lembut bagaikan bisikan nyamuk, semua orang tahu gadis itu
sebenarnya ingin tapi tidak ingin, tidak ingin tapi sebenarnya
ingin. Tiba-siang Siang Tang Lay berkata, "Hujin, aku adalah
orang yang berasal dari luar perbatasan, bila ada perkataan
yang menyumbat tenggorokanku, rasanya tak leluasa kalau
tidak diutarakan keluar"
Kita toh sesama rekan seperjuangan, bila Siang heng ingin
mengucapkan sesuatu silahkan saja diutarakan secara terus
terang. Aku tak habis mengerti, apa sebabnya hujin tak mau
menganggap Hong ji sebagai menantumu" apakah engkau
benar-benar penuju dengan Pek Kun....
Buru-buru Hoa Hujin goyangkan tangannya berulang kali,
sambil tertawa ia menukas.
"Aku orang she Bun amat penuju sekali dengan Hong ji,
sebenarnya aku sudah ingin menimangnya sejak dulu, tapi
berhubung Hong ji masih punya harapan untuk mewarisi
segenap kepandaian dari sian ci maka aku kuatir karena soal
perkawinannya ini sehingga menghilangkan kesempatan baik
tersebut baginya" Mendengar perkataan itu, Kiu-tok Sianci segera tertawa.
"Soal itu sih tak perlu kau risaukan, anak murid wilayah
Biau bisa menjadi menantu keluarga Hoa, sekalipun tiap tahun
aku harus berkunjung sekali kedaratan Tionggoan aku juga
rela...." Berbicara sampai disini, tiba-tiba paras mukanya berubah
jadi amat serius serunya, "Siau long!"
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong, dengan
terbata-bata ia mengiakan.
Dengan nada serius Kiu-tok Sianci berkata lebih jauh,
"Ibumu adalah seorang pendekar sejati diantara kaum wanita,
selamanya bertindak ia lebih mengutamakan kepentingan
umum daripada kepentingan diri pribadi, sedang aku adalah
suku Biau aku mempunyai jalan pikiran yang lain mengenai
kehidupan seorang manusia, mengertikah apa yang
kumaksudkan?" Hoa Thian Hoag agak terperangah.
"Meskipun aku yang muda tidak mempunyai banyak
kesempatan untuk berkumpul dengan sian nio, tapi dalam
pikiranku. Sian nio tak ada ubahnya dengan ibu kandungku
sendiri" Kiu-tok Sianci mengangguk, "Baik, akan kujelaskan
kepadamu sifat suku Biau kami, bagi orang Biau mereka lebih
mengutamakan soal cinta kasih daripada kepentingan umum,
kalau engkau tak bersedia mengawini Hong jin, maka
katakanlah sekarang juga, aku tak mungkin akan membenci
atau mendendam kepadamu, tapi seandainya engkau telah
mengawini Hong jin kemudian melakukan perbuatan yang
mengakibatkan ia merasa sakit hati, jikalau kami orang Biau
sudah membalas dendam, maka cara dan tindakan yang kami
lakukan tak akan kepalang tanggung, kami akan gunakan
berbagai cara yang terkeji untuk lenyapkan dirimu dari muka
bumi" Selesai mendengar keterangan tersebut. Hoa Thian-hong
berdiri termangu-mangu, lama sekali ia baru berseru dengan
terbata-bata, "Empek Chin adalah tuan penolong keluarga Hoa
kami...." "Sekarang kita tidak membicarakan soal budi atau setia
kawan, yang dibicarakan hanya soal cinta asmara, cintakah
engkau kepada Hong ji....?"
Hoa Thian-hong melirik sekejap ke arah Chin Wan-hong,
lalu tanpa disadari ia mengangguk.
Li-hoa Siancu yang selama ini membungkam, tiba-tiba
menimbrung dari samping, "Siau long, cintakah engkau
kepada Pek Kun-gie?"
Mendengar pertanyaan ttu, Hoa Thiao Hong berdiri
tertegun dan gelabakan setengah mati, bibirnya bergerak
seperti mau mengucapkan sesuatu namun tak sepatah
katapun yang meluncur keluar.
Li-hoa Siancu jadi mendongkol sekali, segera hardiknya,
"Ayoh jawab engkau cinta padanya atau tidak?"
"Siaute!.... siaute sendiripun tak tahu apakah aku cinta
padanya atau tidak!"
"Hmm! kalau tidak tahu itu tandanya engkau cinta pada
budak ingusan tersebut! bukan begitu?" seru Li hoa siansu
makin naik pitam. Lan-hoa Siancu yang berada disisinya segera ikut nimbrung
dari samping. "Kalau memang begitu urusan makin gampang untuk
diselesaikan, sebentar kita berangkat dan cari Pek Kun-gie
sampai ketemu setelah gadis ingusan itu kita bunuh bukankah
urusan akan beres?" Hoa Thian-hong kaget sekali mendengar ancaman tersebut
segera pikirnya didalam hati.
"Ketiga orang budak ini sangat binal dan tak tahu aturan
apa yang diucapkan dapat sungguh-sungguh dilaksanakan,
waah.... kalau sampai terjadi peristiwa itu urusannya jadi
runyam" Berpikir sampai disini buru-buru ia berpaling ke arah Kiutok
Sianci dan berseru. "Sebagai seorang lelaki sejati aku berani menerima resiko
macam apapun juga tapi aku mohon agar sian ci jangan
membinasakan diri Pek Kun-gie"
Kiu-tok Sianci menghela napas panjang.
"Aaiai.... Hujin lebih baik engkau yang selesaikan urusan ini,
aku sendiripun tak tahu apa yang harus kulakukan!"
0000O0000 60 "Sian Ci tak usah kuatir" sahut Hoa Hujin dengan wajah
serius, "setelah putraku mengawini Hong ji jika tindak
tanduknya tidak genah dan cintanya tidak setia maka akan
kuhantar sendiri batok kepalanya ke wilayah Biau untuk
diperiksa oleh sianci!"
"Kalau memang begitu akupun tak akan mengatakan apaapa
lagi!" Hoa Hujin segera berpaling dan tegurnya, "Chin heng entah
bagaimana pendapatmu?"
Chin Pek-cuan segera menengadah dan tertawa terbahakbahak.
"Haaahhh.... haaahh.... haahh.... apa yang harus kukatakan
lagi?" Sampai disitu maka urusan perjodohanpun sudah
ditetapkan, Dewa yang suka pelancongan Cu Thong sekalian
segera memberi selamat kepada keluarga pihak lelaki,
keluarga pihak perempuan serta Kiu-tok Sianci, sedangkan
Biau-nia Sam-sian menggoda adik seperguruannya hingga
membuat Chin Wan-hong jadi tersipu-sipu.
Setelah ribut beberapa waktu, merekapun membicarakan
soal waktu perkawinan, Chin Pek-cuan tidak memberi
komentar apapun dan menurut semua pendapat yang
diutarakan. Sebaliknya Hoa Hujin yang teringat letak perkampungan
Liok Soat Sanceng jauh di wilayah San see, kalau perkawian
itu diseleng garakan setelah tiba dirumah, maka hal ini pasti
akan memperlambat waktu pulang Kiu-tok Sianci ke wilayah
Biau, selain itu diantara rekan-rekan seperjuangan pun masih
banyak yang terluka, pengaruh perkumpulan Kiu-im-kauw
makin mengganas sedang masa depan dunia persilatan tetap
diselubungi kabut bencana, belum tentu semua orang
berminat untuk ikut menghadiri perayaan tersebut, karenanya
ia ambil keputusan daripada musti gelisah lebih baik upacara
perkawinan dilakukan secepatnya.
Kiu-tok Sianci adalah seorang suku Biau, ia tidak punya
pantangan atau kesulitan apa-apa kecuali urusan Pek Kun-gie
yang masih mengganjal dalam hatinya, menurut pemikirannya
asal sang murid segera melangsungkan perkawinannya dan
merekapun telah menjadi suami istri maka keadaan tersebut
akan jauh lebih mantap. Setelah berunding beberapa waktu lamanya, terakhir tiga
orang itu memutuskan untuk menyelenggarakan upacara
perkawinan pada saat itu juga dalam rumah penginapan kecil
jauh diluar kota tersebut.
Dalam sekejap mata suasana dalam kedai itupun jadi ribut
dan ramai, Hoa In segera pergi ke pasar untuk siapkan lilin
dan hiasan, Lan-hoa Siancu dan Tio Sam-koh menyiapkan
pakaian serta perhiasan, Li-hoa Siancu dan Ci-wi Siancu
mengatur kamar pengantin, Dewa yang suka pelancongan Cu
Thong menyiapkan meja perjamuan.
Karena jumlah pembantu yang sangat kurang, Cui Im taysu
seorang yang pergi membereskan soal peti mati dan lelayon
rekan-rekannya untuk dipindahkan dari depan kedai ke arah
belakang, bekerja pulang pergi dengan repotnya membuat
beberapa orang itu basah kuyup oleh air keringat....
Setelah repot seharian penuh, tatkala malam hari
menjelang tiba semua persiapan pun telah beres.
Pada malam itu juga, ruang tengah kedai bermandikan
cahaya terang, Hoa Thian-hong mengenakan jubah panjang
warna merah, sedangkan Chin Wan-hong mengenakan gaun
yang gemerlapan, kecuali tidak memakai penutup kepala,
dandanan mereka persis seperti pengantin pada umumnya.
Sesudah upacara dimeja sembahyang pay ciu maka
sepasang pengantin baru itupun dihantar masuk kekamar
pengantin. Keesokan harinya, sepasang pengantin baru itu
mengucapkan banyak terima kasih kepada para cianpwee dan
rekan lainnya yang ikut memeriahkan upacara itu.
Sejak pertempuran sengit dalam pertemuan besar Kian ciau
tayhwee, dalam hati kecil setiap orang sama-sama timbul
suatu perasaan yang sangat aneh, seolah-olah dalam
beberapa hari yang singkat, umur mereka semua telah
bertambah tua dua tiga puluh tahun kegagahan dan semangat
berkobar-kobar yang mereka perhatikan dimasa silam secara
tiba-tiba lenyap tak berbekas, setiap orang merasakan
badannya lesu dan penat bahkan Ciu Thian-hau serta Tio
Sam-koh sekalian yang merupakan orang-orang gagah yang
suka berterus terangpun sama-sama berharap agar dunia
persilatan dapat menjadi tenang untuk beberapa saat lamanya
sehingga memberi kesempatan buat mereka untuk
mengundurkan diri dan mengasingkan diri dari urusan dunia.
Selesai bersantap pagi, Kiu-tok Sianci memanggil sepasang
pengantin baru itu dihadapannya dan berkata, "Siau long ini
hari juga aku akan pulang ke wilayah Bitu, Hong ji adalah
seorang bocah yang jujur dan setia engkau harus hati-hati
merawat dirinya" Hoa Thian-hong anggukkan kepalanya berulang kali.
"Aku yang muda tak berani menyia-nyiakan dirinya!"
"Hmm! aku tanggung engkau tak berani, sela Lan hoa sian


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cu dari samping. Hoa Thian-hong dan Chin Wan-hong saling berpandangan
sekejap lalu tertawa, setelah perkawinan paras muka mereka
berdua meman-carkan cahaya berkilauan, cinta kasih yang
begitu hangat dan mesrah terkandung semua dibalik
senyuman tersebut membuat Biau-nia Sam-sian yang
menjumpai keadaan tersebut sama-sama terperangah
dibuatnya. Tiba-tiba Li-hoa Siancu berteriak keras, "Bagus sekali!
setelah Hong ji punya suami, ia tak mau suhunya serta para
sunci nya lagi" "Benar akupun merasakan juga akan hal ini" sambung Ci-wi
Siancu dari samping secara tiba-tiba, "aku merasa hubungan
siau sumoay dengan diriku jadi terpaut sekali"
Chin Wan-hong jadi sangat gelisah, ia berusaha hendak
membantah tapi mulutnya tergagap dan tak sepatah katapun
yang sanggup di utarakan keluar.
Melihat keadaan muridnya yang terkecil ini, Kiu-tok Sianci
segera tertawa dan menghentikan suara ribut-ribut semua
orang, dari sakunya diambil keluar sejilid kitab lalu berkata,
"Isi kitab isi merupakan kepandaian ilmu tusuk jarum guna
mengobati luka akibat keracunan, ambillah dan pelajari sendiri
dengan seksama, setengah tahun kemudian aku akan
berkunjung lagi keperkumpulan Liok Soat Sanceng guna
mewariskan kepandaian yang lain"
Ching Wan Hong menerima kitab tersebut dan
mengucapkan banyak terima kasih kepada suhunya, Kiu-tok
Sianci pun menggunakan kesempatan itu mohon diri kepada
semua orang. Tiba-tiba Siang Tang Lay berseru, "Seng ji, bagaimanakah
ilmu silat yang dimiliki Kiu-im Kaucu menurut pendapatmu"!"
Hoa Thian-hong termenung dan berpikir beberapa saat
lamanya, kemudian menjawab, "Aku yang muda tak dapat
menerkanya!" Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan.
"Tongkat kepala setan yang menjadi senjata andalannya itu
entah terbuat dari bahan apa" kalau didengar dari pantulan
suara ketika tongkat itu menyentuh tanah, mungkin beratnya
melebihi lima ratus kati...."
"Aaah! omong kosong, pandai benar engkau ngaco belo tak
karuan!" maki Lan-hoa Siancu.
Hoa Thian-hong tersenyum.
"Betul! tongkat itu berat sekali, mungkin enci tidak
perhatikan dengan seksama...."
"Aaaah! ngawur, omong kosong, aku lihat tongkat itu
dibawa olehnya dengan enteng sekali kami yang ada
didekatnyapun tak dengar sentuhan tongkat dengan tanah
maka engkau yang ada ditempat kejauhan malah mendengar
dengan jelas?" "Suhu kau dengar atau tidak?" tanya Ci-wi Siancu.
Aku sih tidak mendengar jawab Kiu-tok Sianci sambil
tertawa, tapi aku percaya tongkat kepala setan itu bukan
benda sembarangan tongkat itu pasti berat sekali.
Kalau senjata itu benar-benar lima ratus kati beratnya tapi
ia bisa membawa dengan begitu enteng seolah-olah barang
kecil, dari sini dapat diketahui kalau ilmu silatnya pasti luar
biasa sekali!" teriak Lan-hoa Siancu.
Siang Tang Lay mengangguk.
Menurut pandanganku, Kiu-im Kaucu pastilah seorang jago
persilatan yang berkepandaian silat luar biasa, bukan saja
akalnya banyak dan cerdas diapun merupakan seorang
manusia yang licik dan kejam, manusia semacam ini sukar
dihadapi. "Perkataan dari lociqnpwee tidak salah, Hoa Thian-hong
menanggapi, setelah orang ini munculkan diri dalam dunia
persilaan pelbagai perbuatan yang mengoncangkan dunia
persilatan pasti dilakukan olehnya, dalam keadaan demikian
rasanya tak mungkin bagi kita untuk tetap santai dan
menganggur" Emmm! orang kuno mengatakan: Setelah Thian
memberikan kecerdasan kepada kita umat manusia, maka
setelah kita hidup di kolong langit kenapa musti menganggur
atau bermalas-malasan! cuma...."
Dia menyapu sekejap kawan-kawannya yang hadir disana,
lalu melanjutkan, "Aku adalah seorang manusia yang bertubuh
cacad, ketika pinjam ilmu iblis pekikkan maut Hong hiat mo
kang aku telah berjanji hanya akan menggunakan satu kali
saja, mulai sekarang aku tak dapat menggu nakan kepandaian
itu lagi, seandainya terjadi persoalan maka aku tak dapat
memberi bantuan apa-apa lagi"
Hoa Hujin tersenyum. "Jadi kalau begitu, sepantasnya kalau namaku pun ikut
terhapus dari dunia persilatan"
Terdengar Siang Tang Lay melanjutkan kata-katanya lebih
jauh, "Kalau kita gunakan racun untuk melukai seorang atau
dua orang, maka kejadian ini merupakan suatu peristiwa yang
umum dan tak aneh tapi kalau mengandalkan benda racun
untuk membirasakan segenap musuh-musuh kita, maka
kejadian itu merupakan suatu peristiwa yang melanggar
hukum Thian serta memperkosa asas perikemanusiaan, sekali
pun meracuni sekelompok binatang buas hingga mati juga
merupakan tindakan kelewat kejam, oleh sebab itulah kita tak
boleh terlalu menggantungkan kemampuan Sian ci...."
Kiu-tok Sianci tertawa dan segera berkata, "Persoalannya
terletak pada kemampuan ilmu racun yang kadangkala tak
bisa digunakan sebagaimana mestinya kita berbicara menurut
keadaan yang kita alami kemarin, pada waktu itu kabut Kiu
tok ciang milikku sudah kusebarkan pada tingkat yang paling
hebat, seandainya berada ditanah lapang yang luas atau
ditempat yang berhembus oleh angin kuat maka benda racun
itu tidak akan banyak mendatangkan manfaat, meskipun aku
mempunyai ilmu racun lainnya, akan tetapi kepandaian
tersebut tak dapat di gunakan untuk mengbahapi jumlah
orang yang terlalu banyak."
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, "Kabut racun itu
paling anti dengan api, sebab kalau bertemu api segera akan
berkobar dan musnah tak berbekas, hawa racun akan kalut
dan buyar bahkan kemungkinan besar malahan akan melukai
orang-orang dari pihaknya sendiri, terus terang saja ilmu
racun itu banyak sekali penyakit dan kelem hannya,
seandainya pihak lawan mengetahui keadaan itu dengan jelas,
maka sulitlah bagi kita untuk pancing mereka hingga masuk
perangkap" "Yaa.... kalau ditinjau dari sini, bicara pulang pergi akhirnya
toh untuk menghadapi perbuatan dunia persilatan, kita masih
menggantungkan diri dengan soal ilmu silat, kalau ilmu silat
trak dapat menandingi maka cepat atau lambat akibatnya
akan menuju jalan kematian"
"Aku yang muda akan berlatih tekun siang maupun malam,
aku harap Cianpwee sekalian bersedia untuk menyumbangkan
pula tenaga untuk bersama-sama menghadapi situasi yang
gawat dan serba susah ini" pinta Hoa Thian-hong serius.
Siang Tang Lay menghela napas panjang.
"Aaai.... yang tua dan berpengalaman telah mengundurkan
diri, orang-orang yang masih hidup sekarang tinggal beberapa
gelintir saja, kami beberapa orang ini sudah tak akan
memberikan manfaat apa-apa lagi bagi dirimu"
Mendengar sampai disitu, Ci-wi Siancu baru paham dengan
apa yang dimaksudkan oleh jago tua itu, dengan alis mata
berkenyit serunya tercengang, "Kenapa sih" maksud Siang
locianpwee, untuk menghadapi semua urusan dalam dunia
persilatan dikemudian hari, maka sian long harus
menanggulanginya seorang diri?"
"Kalau tidak begitu lantas apa yang harus kita lakukan?"
Ciwi siancu merasa sangat tidak puas, serunya, "Kita
semua....?" Tetapi ketika ia saksikan kecuali dirinya guru dan murid
serta Siang Tang Lay, para jago yang hadir disinipun cuma
beberapa orang belaka yang mungkin merupakan segenap
anggota persilatan dari golongan lurus, ia jadi terbungkam dan
tak sanggup meneruskan kembali kata-katanya.
Terdengar Siang Tang Lay dengan suara lantang berkata
lagi, "Seng ji, seribu patah kata lebih baik kuringkas jadi
sepatah kata saja, cepat-cepatlah rampas kembali pedang
emas itu dan ambillah kitab Kiam keng dari pedang baja
tersebut, menanti ilmu silatmu telah berhasil dilatih hingga
mencapai tingkatan yang tiada tandingannya lagi di kolong
langit, pada saat itulah apa yang ingin kau kerjakan dapat di
laksanakan dengan leluasa"
"Terima kasih atas petunjuk dari locianpwee, aku telah
memahami arti dari kata-katamu itu" sahut Hoa Thian-hong
serius. Siang Tang Lay tertawa ringan, kembali katanya, "Dan
disinilah letak kunci rahasia mengapa Kiu-im Kaucu tidak
terburu nafsu untuk membinasakan kita sebaliknya malah
ribut untuk merampas pedang emas itu"
"Mungkin dia kuatir kalau di kolong langit terdapat jago
lihay yang memiliki ilmu silat yang lebih tinggi dan lihay diri
pada dirinya?" ujar Ci-wi Siancu.
"Tentu saja dari pada menggantungkan kekuatan anak
buah lebih baik menggantungkan kekuatan sendiri, musibah
yang menimpa diri Pek Siau-thian merupakan suatu contoh
yang amat jelas sekali"
Kiu-tok Sianci tiba-tiba tersenyum sesudah memandang
sekejap ke arah sepasang pengantin baru itu, ia bangkit
berdiri dan mohon diri, Siang Tang Laypun segera mohon diri
pula, kepada semua orang dan berangkat kembali ke wilayah
See ih. Hoa Hujin berusaha untuk menahan mereka, tapi setelah
usahanya gagal terpaksa ia menghantar keberangkatan
mereka. Siang Tang Lay adalah rekan seperjuangan para jago,
gerak-geriknya sudah terbiasa pergi datang tak menentu,
kepergian jago tua itu tidak begitu memberatkan hati semua
orang. Lain keadaannya dengan Kiu-tok Sianci, bukan saja ia
merupakan gurunya Chin Wan-hong, dengan diri Hoa Thianhong
pun mempunyai ikatan bubungan yang sangat erat.
Biau-nia Sam-sian amat menyayangi siau sumoynya ini,
sejak permulaan memandang Hoa Thian-hong sebagai
saudara sendiri pula, beberapa orang yang selalu berkumpul
dengan riang gembira ini, setelah harus berpisah mereka
sama-sama merasa berat hati dan segan untuk berpisah satu
dengan lainnya. Setelah menghantar sampai keluar pintu rumah
penginapan, Siang Tang Lay beserta anak muridnya berangkat
ke arah barat, sedangkan Kiu-tok Sianci beserta Biau-nia Samsian
berangkat ke arah barat daya, Hoa Thian-hong dan Chin
Wan-hong menghantar guru dan kakak sepergu ruan mereka
hingga sepuluh li jauhnya, disitulah dengan air mata
bercucuran mereka saling berpisah.
Sesaat setelah berangkat, Lan-hoa Siancu diam-diam
berpikir dalam hati kecilnya, "Pek Kun-gie cantik jelita
bagaikan bidadari sebaliknya Hong ji segan untuk mencampuri
urusan itu, keadaan semacam ini benar-benar amat
membahayakan posisinya."
Berpikir sampai disitu, ia lantas berseru, "Siau long!"
"Enci ada persoalan apa?" tanya Hoa Thian-hong dengan
air mata berlinang. Lan-hoa Siancu menarik anak muda itu ke samping lalu
dengan muka serius bisiknya, "Aku hendak memperingatkan
dirimu lebih dahulu, jika engkau berani kasak kusuk
mengadakan cinta dengan Pek Kun-gie maka aku bersumpah
pasti akan bunuh budak ingusan she Pek itu sampai mampus
mengerti?" "Siaute tidak berani!"
"Aku tak mau tahu engkau berani atau tidak" tukas Lan hoa
sianco cepat, "asal aku dengar engkau adakan hubungan
gelap dengan perempuan itu, maka aku akan segera bunuh
Pek Kun-gie secara keji, engkau pasti tahu bukan ilmu racun
dari suku Biau kami tersohor karena kelihayannya dan
membuat orang yang diserang sama sekali tak bisa
menghindar ataupun bersiap sedia!"
Hoa Thian-hong termangu beberapa saat lamanya,
kemudian sahutnya. "Akan siaute ingat selalu!"
Lan boa siancu mendengus dingin, setelah dipikir sebentar
agaknya ia masih merasa tidak lega hati maka kembali Chin
Wan-hong ditarik kesamping dan secara diam-diam memesan
sepatah dua patah kata kepadanya, lalu memberikan sebuah
benda kedalam gengamannya, kemudian mereka guru dan
murid empat orang baru berangkat melakukan perjalanan.
Menanti bayangan punggung keempat orang itu sudah
lenyap dari pandangan, Hoa Thian-hong suami istri baru
kembali kerumah penginapan sambil bergandengan tangan,
pada waktu itu Hoa Hujin sekalian sudah menunggu diluar
pintu siap untuk berangkat keutara.
Dari tempat itu menuju keutara, perjalanan dilakukan
dengan sangat lambat, Hoa Hujin naik tandu, Suma Tian Cing
sekalian yang terluka parah naik kereta sedangkan sisanya
ada yang menunggang kuda ada pula yang jalan kali, sedang
empat buah kereta besar penuh berisikan peti mati dengan
layon dari rekan-rekan mereka yang gugur.
Suasana dalam dunia persilatan pada saat itu sangat
tenang dan sepi sekali, perkumpulan Thong-thian-kauw serta
Hong-im-hwie yang baru saja terbasmi dan musnah, lebihlebih
tak ada suara lagi sampai para anak buahnya yang
berada dipelbagai daerah pun ikut lenyap tak berbekas.
Bagi kalangan hitam, suasana semacam ini dinamakan
musim meng-hindari angin ibaratnya pohon tumbang monyet
pada berlarian, tak seorang anggota komplotan dari dua buah
perkumpulan itu yang berani munculkan diri secara terus
terang. Setiap orang sama-sama menguatirkan suasana yang
tenang tapi menegangkan itu orang-orang dari perkumpulan
Kiu-im-kauw belum ada yang munculkan diri secara resmi,
sedang pihak Pek Siau-thian setelah mengalami pukulan batin
yang amat berat itu, pengaruh pihak Sin-kie-pang pun kian
hari kian bertambah merosot.
Sepanjang perjalanan menuju keutara, para jago tak


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah berjumpa seorang manusiapun yang menggembol
golok atau pedang hingga akhirrya pada suatu hari mendadak
terjadilah suatu peristiwa yang sangat aneh.
Kiranya kisah pertarungan dan akibat dari pertemuan besar
Kian ciau Tay bwee telah tersiar secara luas dikalangan rakyat
jelata, para penduduk pada mengetahui kalau pihak pendekar
telah berhasil melenyapkan perkumpulan Thong-thian-kauw
dan Hoa Im hwee dari muka bumi, hanya saja berita yang
tersiar kian lama kian menjauhi garis kenyataan yang
sebenarnya, bahkan sampai-sampai tersiar berita yang
mengatakan secara bagaimana pihak pendekar bertempur
sengit selama tiga hari tiga malam sebelum akhirnya berhasil
melenyapkan Thong-thian-kauw dan Hong-im-hwie dari muka
bumi. Bagaimana pihak Sin-kie-pang tinggalkankan medan dan
melarikan diri terbirit - birit, bagaimana ada beberapa orang
manusia tanpa nama yang menyaru sebagai setan dengan
mengaku orang-orang dari perkumpulan Kiu-im-kauw tapi
sandiwara mereka ketahuan dan ketuanya melarikan diri
terbirit-birit, sampai ada yang menyiarkan berita yang
mengatakan dunia telah aman tenteram dan bebas dan
kelaliman serta kejahatan.
Berdasarkan berita yang tersiar itulah setiap rumah
penduduk yang dilalui para pendekar rata-rata menyiapkan
meja sembahyang di luar pintu rumahnya segenap keluarga
menyiapkan sayur dan arak untuk menjamu pahlawanpahlawan,
mereka keluarga kaya dan kaum bangsawan
memimpin rakyatnya menyambut kedatangan jago-jago lihay
itu, nama besar Hoa Hujin sampai Hoa In dan Harimau
pelarian Tiong Liu tersohor di mana-mana dan dihormati
bagaikan malaikat, Dua wilayah yang mereka lewati semuanya menunjukkan
keadaan yang sama, dengan susah payah akhirnya toh para
jago berhasil melanjutkan kembali perjalanannya namun
banyak waktu telah terbuang dengan percuma.
Dalam keadaan demikian, semua orang merasa malu dan
jengah dengan sendirinya, untuk menghindari semua keadaan
seperti itu terpaksa mereka menghindari kota besar dan
melewati jalan gunung, setelah tengah malam tiba, mereka
baru berani cari tempat penginapan untuk beristirahat.
Suatu ketika sewaktu rombongan para jago masih berada
beberapa li dari sebuah kota, mereka saksikan cahaya lampa
lentera menyinari sekeliling pintu gerbang kota, beratus-ratus
orang penduduk berkumpul dikaki pintu kota menantikan
kedatangan mereka, hal ini segera menyusahkan hati Hoa
Hujin dan buru-buru memerintahkan semua rombongan untuk
menghentikan perjalanan. Tiba-tiba Ciu Thian-hau loncat turun dari atas kereta,
kemudian berseru, "Hujin, lo koko sekalian, aku ingin buruburu
pulang kerumah, lebih baik kita berpisah sampai disini
saja" Setelah memberi hormat ia segera meneruskan perjalanan
kabur menuju ketempat yang sepi dan kegelapan.
Semua orang terperangah menyaksikan kejadian itu
sebelum mereka sempat mengucapkan sesuatu bayangan
tubuh Ciu Thian-hau sudah lenyap dari pandangan.
Dewa yang suka pelancongan Cu Thong berpikir sebentar
ketika merasakan bahwa cara itu sangat bagus maka sambil
tertawa terbahak-bahak ia segera bopoag tubuh Bong Pay
sambil berkata, "Sampai jumpa lain kesempatan, akupun ingin
berangkat selangkah lebih dulu"
"Cu toako kapan kita dapat bertemu lagi?" seru Hoa Hujin
dengan gelisah. Dewa yang suka pelancongan Cu Thong tertawa.
"Kalau aku masih bernasib panjang permulaan tahun
mendatang aku pasti akan datang untuk menyampaikan tahun
baru kepada hujin" "Cu toako engau akan berdiam dimana?"
Dewa yang suka pelancongan Cu Thong segera tertawa
terbahak-bahak. Haahhh.... haahhh.... haahh.... empat penjuru samudra
adalah rumahku, kalau bercokol disuatu tempat tertentu maka
bukanlah Dewa yang suka pelancongan"
Bicara sampai disitu, ia putar badan dan segera berlalu dari
sana dengan cepatnya. Hoa Thian-hong dengan cemas segera berseru, "Bong
toako!" Terdengar Bong Pay mengiakan tapi dalam sekejap mata
bayangan tubuh Cu Thong sudah lenyap dibalik kegelapan.
Tiba-tiba Hoa Hujin menyaksikan Suma Tiang-cing ngeloyot
turun dari atas kereta, dengan muka berubah jadi amat serius
ia segera menegur, "Engkau harus ikut kami untuk kembali
keperkampungan Liok Soat Sanceng, setelah lukamu sembuh
barulah boleh pergi tinggalkan tempat ini"
"Paman!" ujar Hoa Thian-hong pula dari samping, "engkau
toh sebatang kara dan tak ada urusan apa-apa, berdiamlah
selama setengah tahun dalam perkampungan kami agar
keponakan dapat memperoleh banyak manfaat darimu"
"Bukan saja kalian harus membawa sanak keluarga bahkan
harus membawa pula orang-orang yang sudah mati,
perjalanan bukan saja lambat bahkan banyak urusan tetek
bengek, lebih baik aku berangkat lebih dahulu....!" seru Suma
Tiang-cing tegas. Cui Im taysu tersenyum dan segera ikut menimbrung, "Aku
memangnya seorang padri yang tak punya kuil, baiklah akan
kutemani Suma loo te untuk berkelana keempat penjuru
samudra!" "Hey hweesio tua, mau ajak dia pesiar sih boleh, tapi
jangan kau bujuki dirinya untuk cukur rambut jadi pendeta
lho! goda Tio Sam-koh. "Aaah.... tentu saja, tentu saja, haahh.... haah.... haah
engkau tak usah kuatir" jawab Cu Im taysu sambil tertawa.
Suma Tiang-cing paling tidak terbiasa kalau terikat dan tak
bisa bebas, ia kuatir dihadang oleh Hoa Hujin lagi, maka
dengan cepat dirampasnya kuda tunggangan dari Hoa In, lalu
sekali cemplak melari kan kuda itu cepat-cepat meninggalkan
tempat itu. Cui Im taysu yang menyaksikan kejadian tersebut, buruburu
menggerakkan senjata sekopnya dan menyusul dari
belakang. Setelah beberapa orang itu berlalu, kini yang tersisa tinggal
keluarga Hoa, Chin dan Tio Sam-koh.
Meskipun usia Chiu Pek Cuan sudah melewati setengah
abad, tapi ia masih punya ibu yang masih hidup, sebenarnya
ia ada maksud untuk pulang dan merawat ibunya yang sudah
tua, tapi karena berat hati untuk tinggalkan menantu
kesayangannya ini, maka ia ambil keputusan untuk
menghantar mereka hingga tiba diperkampungan Liok Soat
Sanceng lebih dulu sebelum berangkat pulang.
Tapi sekarang setelah melihat para jago berlalu sendirisendiri,
timbul kembali keinginannya uniuk pulang rumah,
maka akhirnya ia pun mohon diri terhadap Hoa Hujin.
Dalam keadaan apa boleh buat, terpaksa Hoa Hujin
mengijinkan permintaannya itu.
Menanti semua orang sudah berangkat, ia baru berpaling
ke arah Tio Sam-koh sambil menyindir, "Apakah engkau juga
akan berangkat?" Tio Sam-koh termenung dan berpikir sebentar, kemudian
jawabnya, "Baiklah, aku adalah sesosok sukma gentayangan
yang tak punya sanak tak punya keluarga, akan kutemani
engkau sampai akhir hidupku nanti....!"
Hoa Hujin tersenyum, kepada Hoa In ia segera berkata,
"Hantarlah layon dari Lie, Ma, Kwik tiga orang jago kerumah
keluarga masing-masing dan serahkan kepada anak mereka,
apabila dian tara ketiga keluarga itu sedang menjumpai
kesulitan, bantu mereka hingga semuanya beres!"
Hoa In mengiakan dan segera melaksanakan perintah
tersebut. Harimau pelarian Tiong Liau yang kini hidup sebatang kara
segera ambil keputusan pula untuk selama hidup mengabdi
kepada Hoa Thian-hong, kini dia sudah termasuk menjadi
anggota keluarga Hoa, maka Hoa Hujin pun memerintah dia
untuk membawa ketiga layon lainnya keperkumpungan Liok
Soat Sanceng dan dikebumikan disitu.
Dua orang itu terima perintah, dan berangkatlah mereka
menuju ke arah kota dengan membawa kereta yang penuh
berisikan peti mati itu. Chin Giok Liok yang terluka parah masih belum sembuh
dari lukanya itu, ia berbaring diatas sebuah kereta besar, Chin
Pek-cuan dengan menunggang seekor kuda jempolan segara
berpamitan kepada besannya, putrinya, menantunya dan
rekan-rekan yang lain, setelah menjanjikan saat pertemuan,
berangkatlah kereta dan kuda itu menuju ke arah barat.
Kini yang tersisa tinggalkan Hoa Hujin, Hoa Thian-hong,
Chin Wan Hoag serta Tio Sam-koh empat orang dan sebuah
kereta yang besar. Hoa Hujin segera tinggilkan tandunya, bersama Tio Samkoh
dan Chia Wan Hong mereka naik kedalam ruangan kereta,
sedang Hoa Thian-hong duduk disisi sang kusir kereta.
Demikianlah beberapa orang itupun meneruskan kembali
perjalanan mereka dengan mengitari kota tersebut.
Beberapa hari kemudian, suatu senja kereta besar itu
masuk kedalam kota Cho ciu.
Di depan pintu gerbang kota tiba-tiba muncul seorang
kakek tua yang menghadang jalan pergi kereta tersebut
sambil berseru, "Hoa ya, masih ingatkah engkau dengan
hamba?" "Tentu saja masih ingat" jawab Hoa Thian-hong sambil
tersenyum manis, "apakah engkau adalah pemilik rumah
penginapan Teng hwat?"
Pemilik rumah penginapan itu jadi terkejut bercampur
girang, buru-buru serunya, "Hamba Tio Tiang Hwat, betulbetul
pemilik rumah penginapan Teng Hwat, aaah....! sungguh
tak nyana kalau Hoa ya masih ingat dengan diri hamba...."
"Majukah usahamu?" tegur Hoa Thian-hong sambil
tersenyum. Dengan muka berseri-seri, pemilik rumah penginapan itu
menjawab, "Berkat berkah dari Hoa ya, usaha hamba masih
berlangsung seperti sediakala, Hoa ya! penginapan kami telah
dibangun dan di kapuri hingga baru, apakah Hoa ya hendak
menginap di rumah penginapan hamba?"
"Tentu saja rumah penginapanmu bagus sekali"
Mendengar persetujuan itu, pemilik rumah penginapan tadi
jadi sangat kegirangan, dia segera berseru, "Hey kusir, ayoh
belok kekiri dan percepat lari kudamu!"
Sang kusir kereta itu, sejak permulaan sudah tahu pemuda
yang duduk disampingnya adalah seorang jago lihay yang
paling tersohor di kolong langit dewasa ini, sepanjang
perjalanan sudah banyak penghormatan yang diterimanya.
Sekarang mendengar pemilik rumah penginapan itu
menyebut dirinya dengan panggilan kurang sedap paras
mukanya jadi ketus, serunya dingin, "Didalam kereta masih
terdapat lo hujin dan Tio loo tay, kalau kularikan kereta ini
cepat-cepat sehingga menggoncangkan isi kereta ini, siapa
yang akan bertanggung jawab?"
Pemilik rumah penginapan itu jadi amat terperanjat, lalu
serunya, "Aaah benar, kalau begitu biarlah aku yang
membawa jalan, loo hen mari ikutilah aku"
Jilid 14 SAMBIL menyingsing jubahnya, selangkah demi selangkah
berjalan pemilik rumah penginapan itu didepan kereta untuk
membawa jalan. Sang kusirpun menyetak kudanya untuk berjalan amat
lambat sambil busungkan dada dan celingukan kesana kemari,
gaya sang kusir itu seakan-akan membawa seorang sarjana
yang baru lulus ujian untuk berpawai keliling kota.
Hoa Thian-hong dibikin menangis tak bisa tertawapun tak
dapat untung sepanjang jalan ia sudah banyak pengalaman
menghadapi kejadian semacam ini maka pemuda itu masih
dapat menahan sabar. Setelah berjalan beberapa waktu lamanya kereta itupun
berhenti didepan pinta gerbang rumah penginapan Teng hwat.
Hoa Thian-hong segera loncat turun dari atas kereta membuka
pintu ruangan dan mempersilahkan ibunya untuk turun.
Rupanya pemilik rumah pengiuapan telah menyiarkan
berita tentang kedatangan Hoa Thian-hong yang pernah
tersohor dikota Cho ciu karena Lari racun nya dan baru-baru
ini namanya makin tersohor setelah pertarungan dilembah Co
bu kok, ketika rombongan tiba dirumah penginapan Teng
hwat, tetangga disekitar tempat itu, beberapa tamu yeng
berdiam dirumah penginapan tersebut telah penuh
berdesakan disamping ruangan untuk bersama-sama
menonton kehadiran sang pahlawan yang amat tersohor itu.
Begitu penuh sesak orang yang berjejal disana membuat
pintu masuk rumah penginapan tersumbat dan Hoa Thianhong
tak dapat masuk kedalam. Terpaksa pemilik rumah penginapan harus menjura
memberi hormat dan berteriak-teriak minta jalan kepada para
penonton, setelah bersusah payah akhirnya ia baru berhasil
menghantar keempat orang tamu terhormatnya ini masuk
kamar Setelah berada dalam kamar, Hoa Hujin menghembuskan
napas panjang dan berkata, "Seng jil mulai besok engkau
bopong aku untuk melanjutkan perjalanan, kita harus cepatcepat
tiba kembali dirumah"
"Aku takut teriknya matahari akan merusak badan ibu yang
masih lemah...." Tiba-tiba terdengar serentetan suara langkah manusia yang
tergesa-gesa berkumandang da-tang, disusul suara pemilik
rumah penginapan itu bergema, "Hoa ya baru saja tiba dan
masuk kamar beliau ada dikamar sana"
Belum babis ucapan itu berkumandang pintu sudah terbuka
lebar dan muncullah seorang pemuda berpakaian ringkas
langsung berlutut dihadapan Hoa Thian-hong sambil berseru
terbata-bata, "Hujin, Tio loo tay, Hoa toako, enci Hoa"
Sekilas memandang Hoa Thian-hong segera kenali kembali
pemuda itu sebagai murid termuda dan terkecil dari Siang
Tang Lay, ia berasal dari siku Fibulo dan bernama Haputule
bukan saja keenam orang murid Siang Tang Lay dia berusia
paling kecil, ilmu silat yang dimilikipun paling lihay.


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada waktu itu dengan air mata bercucuran, keringat
membasahi seluruh tubuhnya dan muka penuh kegelisahan
berlutut diatas tanah tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Menyaksikan keadaan tersebut, Hoa Hujin jadi amat
terperanjat, ia segera berkata, "Nak! ayoh bangun dan
bicaralah perlahan-lahan, apakah gurumu menjumpai mara
bahaya?" Haputule mengangguk tiada hentinya, sambil menangis dia
menjawab, "Guruku telah dirampas orang!"
"Baga'mana caranya bisa dirampas" dan siapa yang
merampas dirinya?" tanya Hoa Hujin keheranan.
"Seorang hweesio, seorang hweesio yang belum pernah
kami jumpai sebelumnya...."
Dia ingin berbicara dengan lebih jelas lagi, tapi karena
kurang lancar bicara dalam bahasa Han dan lagi kalimat yang
diketahui pun sangat terbatas maka meskipun hatinya gelisah
bercampur cemas, namun tak ada perkataan lain yang dapat
diutarakan lagi. Hoa Thian-hong maju kedepan dan membimbing bangun
pemuda suku Fibulo tersebut, kemudian dengan halus
katanya, "Saudaraku, duduklah dengann tenang! pusatkan
perhatianmu dan ceritakan duduknya persoalan dari
permulaan hingga akhir dengan jelas, jangan ada yang
kelewatan" Buru-buru Haputule duduk diatas kursi, Chin Wan-hong
menghidangkan air teh, setelah meneguk secawan dan
mengusap air mata pemuda itu berkata kembali.
"Dua hari berselang, ketika malam telah menjelang tiba
kami telah sampai dikota ok yang dan menginap disebuah
rumah penginapan, ketika selesai bersantap...."
Bicara sampai disitu mendadak ia tergagap dan tak
sanggup melanjutkan kembali kata-katanya.
Dengan hati iba Hoa Hujin berkata, "Jadi dalam sehari
semalam engkau telah berangkat dari kota Lok yang menuju
kemari" Aaah.... engkau benar-benar amat menderita"
Air mata jatuh berlinang membasahi seluruh wajah
Haputule, setelah berhenti sebentar ia melanjutkan, "Setiap
kali selesai bersantap guru pasti minum air teh dan biasahya
daun teh itu kami yang sediakan, begitu selesai bersantap
akupun minta seteko air mendidih pada pelayan rumah
penginapan itu, setelah membuat air teh maka aku hidangkan
kepada suhu, siapa tahu baru saja suhu minum seteguk tibaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tiba ia muntahkan kembali air teh itu sambil berteriak, "Dalam
air teh ada setannya, hati-hati sergapan pihak musuh!"
Mendengar sampai disitu, Hoa Hujin mengerutkan dahinya
dan menyela, "Bagaimana selanjutnya?"
"Baru saja suhu selesai berteriak, dari depan pintu
menerjang masuk sedrang hweesio, sementara badan suhu
mulai sempoyongan seperti mau roboh tak sadarkan diri,
sekali sambar hweesio itu segera menghempit suhu dibawah
ketiaknya, kami suheng te bertiga dengan kalap menerjang
kedepan, tapi hweesio itu dengan menggunakan sebuah jurus
serangan yang mirip dengan gerakan Raja setan
mengebaskan kipas, dalam sekali gebrakan saja telah berhasil
pukul roboh dua orang suhengku, diapun melarikan diri dari
sana, aku akan mengejar keluar tapi hweesio itu naik keatas
atap rumah dan dalam sekejap mata lenyap tak berbekas"
Mendengar sampai disitu, Hoa Hujin, Hoa Thian-hong serta
Tio Sam-koh saling berpandangan muka tanpa mengucapkan
sepatah katapun, didalam kisah tersebut terlalu banyak hal-hal
yang mencurigakan membuat timbulnya kecurigaan dalam hati
mereka bertiga. Setelah termenung beberapa saat lamanya, Hoa Thianhong
segera bertanya, "Saudaraku, coba pikirlah kembali
dengan seksama, pernahkah engkau bertemu dengan hweesio
itu hari sebelumnya?"
"Engkau harus membayangkan mulai dari orang-orang Kiuimkauw" sambung Hoa Hujin, "bayangkan saja paras
mukanya, jangan kau perdulikan dia adalah seorang hweesio
atau bukan!" Mendengar perkataan itu Haputule segera membayangkan
kembali setiap raut wajah para anggota perkumpulan Kiu-imTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kauw yang pernah dijumpainya, tapi dengan cepat ia
gelengkan kepalanya berulang kali.
"Bukan, dia sudah pasti bukan orang-orang dari
perkumpulan Kiu-im-kauw!"
"Kalau begitu coba bayangkan orang-orang dari
perkumpulan Sin-kie-pang!" sela Tio Sam-koh.
"Dari pihak perkumpulan Sin-kie-pang hanya Pek Siau-thian
seorang dengan dipaksakan dapat merampas orang dengan
tangan kiri dan memukul luka dua diantara tiga orang anak
muridnya dengan satu jurus pukulan tangan kanannya" kata
Hoa Hujin, "namun aku rasa hal itu terlalu dipaksakan sekali,
kalau bukan sangat kebetulan sekali tak mungkin ia bisa
berhasil" "Hweesio itu sudah pasti bukan penyaruan dari Pek Siauthian!"
seru Haputule menegaskan.
Bagaimana dari pihak perkumpulan Thong-thian-kauw"
mungkinkah Pia Leng-cu" sebab dengan ilmu kepandaian yang
dimilikinya ia dapat melakukan perbuatan seperti itu!"
Kembali Haputule gelengkan kepalanya berulang kali.
"Bukan, sudah pasti orang itu bukan Pia Leng-cu, Hweesio
itu bermuka runcing sedang Pia Leng-cu bermuka persegi, dan
berhidung pesek, sebaliknya hweesio itu bermuka besar, Pia
Leng-cu bermata sopit, hweesio itu pendek gemuk sebaliknya
Pia Leng-cu jauh lebih tinggi perawakan tubuhnya"
Mendengar penjelasan itu, diam-diam Hoa Hujin kembali
berpikir, "Bocah ini benar-benar amat cerdik hingga melebihi
orang lain, daya ingatnya pun sangat baik, kalau ditinjau dari
penjelasannya mengenai ciri-ciri Pia Leng-cu, ternyata apa
yang diuraikan sama sekali tidak keliru, kalau begitu apa yang
dia uraikan atas ciri-ciri hweesio tersebut mungkin tak salah
lagi, atau berbeda pun terlalu jauh...."
Mendadak terdengar Haputule berkata lagi dengan cemas,
"Selama sehari semalam ini aku telah memikirkan persoalan ini
beberapa ratus kali banyaknya, aku merasa yakin bahwa
hweesio yang sangat asing itu bukan saja tidak mirip orangorang
dari perkumpulan Kiu-im-kauw juga tidak mirip Pek
Siau-thian, tidak mirip Pia Leng-cu pun tidak mirip malaikat
kedua Sim Ciu atau mirip siapapun juga po tongan tidak mirip,
paras muka tidak mirip ilmu silatpun sama sekali tidak mirip"
0000O0000 61 "KALAU begitu padri tersebut mirip siapa?" tanya Tio Samkoh,
"masa dari atas langit tiba-tiba terjatuh seorang padri
macam begitu?" Haputule jadi amat gelisah, paras mukanya berubah jadi
merah padam bagaikan kepiting rebus, sahutnya, "Darimana
aku bisa tahu" tapi yang jelas hweesio itu adalah penduduk
Tionggoan jelas ia bukan orang yang datang dari wilayah See
ih!" "Diantara persoalan ini terdapat beberapa hal yang amat
mencurigakan hati" kala Hoa Hujin, "pertama dimanakah letak
maksud dan tujuan hwessio itu menculik pergi gurumu?"
"Tentu saja dikarenakan urusan Malaikat pedang Gi Ko"
sahut Hapatule dengan cepat, setiap umat manusia di kolong
langit ingin mengetahui rahasia mengenai pedang emas itu
dan dimana kitab pusaka Kiam keng disimpan dan diantara
berapa juta manusia di kolong langit hanya guruku seorang
yang tahu. Engkau memang amat cerdik, menurut ceritamu tadi
hweesio itu berlalu dengan tergesa-gesa dan rupanya tak
berani diam terlalu lama dalam rumah penginapan itu, aku
rasa dibalik kejadian ini pasti ada sebab-sebab tertentu.
Haputule garuk-garuk kepalanya dengan kebingungan.
"Tentang soal ini aku sih belum sampai memikirkan"
katanya, "lalu menurut pendapat hujin apa sebabnya hweesio
itu begitu gugup dan tergesa-gesa?"
Hoa Hujin termenung sebentar, lalu menjawab, "Mungkin ia
takut bertemu dengan orang lain, mungkin juga ada
seseorang sedang mengejar di belakang tubuhnya, tapi semua
itu cuma menurut dugaanku belaka bagaimana kenyataan
yang sesungguhnya sukar untuk di ketahui."
"Saudaraku, kini dua orang suhengmu itu berada dimana?"
tanya Hoa Thian-hong "Mereka masih menginap dirumah penginapan kota Lok
yang!" "Bagaimana dengan keadaan lukanya" apakah jiwa mereka
terancam bahaya?" Haputule gelengkan kepalanya.
"Luka yang mereka derita sih tak terlalu parah, toa suheng
dihajar oleh hweesio itu dengan ilmu lutut saktinya hingga
tulang ke tiaknya terluka, sedangkan ji suheng kena disikut
oleh ilmu sikutan raja lalim yang mengakibatkan isi perutnya
terluka" Hoa Hujin segera mengerutkan dahinya.
Jurus-jurus serangan yang sangat sederhana, hweosio itu
dapat menggunakan jurus serangan yang sederhana untuk
melukai Toohan dan Temotay, dari sini bisa diketahui bahwa
ilmu silat yang dimilikinya pasti sudah mencapai tingkat yang
tak terhingga tingginya, para jago-jago seperti Pek Siau-thian
dan malaikat kedua Sim Ciu pun belum tentu bisa
menggunakan jurus seperti itu hingga ketingkat yang
demikian sempurnanya. Toohan adalah murid tertua dari Siang Tang Lay,
sedangkan Temotay adalah murid kedua, ilmu silat yang
mereka miliki pernah disaksikan kelihayannye oleh semua
orang apalagi setelah mendengar keterangan dari Hoa Hujin,
rata-rata mereka merasa bahwa ucapan tersebut sangat
masuk diakal, untuk beberapa saat suasana jadi hening dan
semua orang membungkam dalam seribu bahasa.
Ditengah matanya yang terbelalak lebar, air mata jatuh
bercucuran membasahi pipi Haputule, sambil memandang ke
arah Hoa Thian-hong serunya setengah memohon, "Hoa
toako, hanya engkau seorang yang dapat menolong suhuku....
selamatkan jiwanya...."
Hoa Thian-hong menepuk sepasang bahunya dengan
lembut, kemudian berkata, "Saudaraku, engkau tak usah
gelisah atau pun cemas, bagaimanapun juga kami pasti akan
berusaha untuk selamatkan Siang Tang Lay looianpwee dari
ancaman mara bahaya"
"Berbicara sampai disitu, sorot matanya tanpa terasa
dialihkan keatas wajah ibunya.
Hoa Hujin termenung beberapa saat lamanya, lalu kapadi
putranya ia berkata, "Siang loocianpwee adalah kawan senasib
sependeritaan dengan kita semua, apalagi budi kebaikan yang
pernah diberikan kepada mu luar biasa besarnya,
bagaimanapun juga persoalan ini harus diurus sampai beres
tapi hweesio itu tidak diketahui nama maupun asal usulnya,
tanpa tanda-tanda yang bisa memberi petunjuk kepada kita,
rasanya untuk mencari orang diantara lautan manusia
bukanlah suatu pekerjaan yang gampang....
"Bagaimanapun juga kita harus cari sampai ketemu!" sela
Haputule dari samping, keempat anggota badan suhu telah
cacad, sedang ilmu pekikan maut Hua hiat hou adalah ilmu
silat dari partai Seng sut pay setelah berjanji untuk dipinjam
pakai satu kali saja pastilah suhu tak akan mengingkari janji
sendiri, lagipula menggunakan ilmu kepan daian tersebut
sangat merusak kesehatan badan.
Hoa Hujin tertawa ramah, kepada Hoa Thian-hong serunya,
"Segera berangkatlah menuju kota Lok yang, coba lihat
bagaimana keadaan luka yang diderita Toohan serta Temotay,
apabila ada petunjuk jalan yang menerangkan identitas
hweesio asing itu, bertindaklah menurut kemauanmu sendiri,
pokoknya yang penting engkau harus cari jejak hweesio itu
dan berusaha untuk selamatkan jiwa Siang locianpwee dari
mara bahaya....!" Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, "Dalam
mengatasi persoalan yang sama sekali tak ada tanda ataupun
petunjuk ini, engkau harus bertindak dengan andalkan ke
cerdasan otak serta semangat bekerjamu yang besar, tapi
engkau harus ingat menolong orang harus menolong sampai
pada akhirnya, setelah berhasil engkau tak boleh lepaskan
utusan itu ditengah jalan, sekali pun delapan tahun lamanya
engkau harus menolong sampai berhasil"
"Bagaimana dengan ibu?"
"Kami akan langsung pulang keperkampungan Liok Soat
Sanceng, sewaktu lewat dikota Lok yang nanti jika dapat
bertemu kita bertemu, kalau tidak maka aku akan lanjutkan
perjalanan menuju keutara, setelah berhasil menolong Siang
locian pwee, engkau harus menghantarnya sampai ke wilayah
See ih, jika semua urusan sudah selesai baru engkau pulang
kerumah! mengerti?" Mendengar perintah itu, dalam hati kecilnya Hoa Thianhong
segera berpikir, "Waah....! kalau begitu, waktu yang
kubutuhkan untuk menyelesaikan persoalan ini panjang
sekali...." Pemuda itu adalah seorang anak yang sangat berbakti
kepada orang tuanya, ia merasakan tak tega hati karena ilmu
silat yang dimiliki ibunya telah musnah dan tubuhnya lemah
kembali, selain itu diapun belum lama menikah, cinta kasih
antara suami istri masih amat tebal melekat dalam hatinya,
untuk berpisah dalam jangka waktu yang cukup lama tentu
saja amat memberatkan hatinya.
Dari perubahan paras mukanya yang berat hati, Hoa Hujin
dapat segera menebak suara hatinya, dengan alis mata
berkernyit ia segera menegur tajam
"Tugas berat ini tak dapat ditawar lagi, engkau tak boleh
sangsi atau ragu-ragu untuk menerimanya!"
Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat, dengan cepat ia
jatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil serunya, "Ibu,
semoga engkau bisa baik-baik jaga diri"
"Aku sudah tahu!" sahut Hoa Hujin sambil ulapkan
tangannya. Kepada Tio Sam-koh si anak muda itupan jatuhkan diri
berlutut, baru saja dia akan buka suara untuk mohon
bantuannya agar merawat ibunya, tiba-tiba Tio Sam-koh
ulapkan tangannya sambil berseru, "Ayoh enyah dari sini!


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semangat seorang pria berada ditempat samudra, apakah
engkau hendak menjaga bini mu sepanjang masa?"
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong, ia segera
bangkit berdiri dari atas tanah.
Buru-buru Chin Wan-hong membungkuskan beberapa setel
pakaian dan diangsurkan ke depan.
Hoa Hujin dapat memaklumi kalau putranya belum lama
menikah, iapun dapat menyadari kalau pada saat itu rasa cinta
di antara mereka berdua sedang berkobar mencapai
puncaknya, maka ia perintahkan Chin Wan-hong untuk
menghantar Hoa Thian-hong dan Haputule sampai diluar
pintu. Sementara Haputule sedang menerangkan tempat
tinggalnya dikota Lok yang, Chin Wan-hong lari kedapur dan
buru-buru menyiapkan sebuah bungkusan besar.
Ketika tiba didepan pintu ia serahkan bungkusan tersebut
kepada suaminya. Hoa Thian-hong terima bungkusan tersebut sambil
berpesan. "Kesehatan ibu kurang baik setiap hari harus minum obat,
engkau harus hati-hati melayaninya!"
Dengan air mata bercucuran Chin Wan-hong mengangguk.
"Dalam bungkusan terdapat dua tahil perak...." titik air
mata jatuh berlinang memotong ucapan selanjutnya.
Lama.... lama sekali suasana diliputi keheningan akhirnya
Hoa Thian-hong berkata lagi dengan suara lirih, "Mempelajari
obat-obatan paling banyak menghisap perhatian dan tenaga,
engkau jangan mengesampingkau ilmu silatmu terutama ilmu
mengatur pernapasan setiap hari engkau harus berlatih
dengan tekun dan jangan berhenti barang seharipun"
Dengan lembut Chio Wan Hong mengangguk.
"Ilmu silatmu terlalu tersohor di kolong langit, hati-hatilah
menghadapi segala tipu daya yang licik dan keji, terutama
sekali dalam soal minuman dan makanan, kau harus lebihlebih
menaruh perhatian" Haputule sangat gelisah dan ingin cepat-cepat berangkat,
melihat kedua orang itu, tak tahan lagi ia menyela dari
samping, "Enso! engkau toh seorang ahli memunahkan racun,
siapa berani main setan dihadapan Hoa toako, itu berarti
mencari penyakit buat diri sendiri"
Mendengar perkataan itu, Hoa Thian-hong tertawa
tergelak. "Ensomu belum lama angkat guru, ilmu kepandaian yang
dipelajari pun belum banyak, untuk mencapai tingkatan ahli
pemunah racun masih terlampau jauh"
Tahun itu usia Haputule baru mencapai enam tujuh belas
tahunan, ia belum mengerti apa artinya cinta muda mudi. Hoa
Thian-hong yang harus berpisah lama dengan istrinya merasa
ada banyak perkataan hendak disampaikan, tapi disaksikan
dengan mata melotot oleh sang pemuda itu tanpa berkedip
barang sedikitpun, sedikit banyak ia merasa kaku juga
akhirnya setelah berpesan beberapa patah kata dan saling
berpandangan dengan perasaan hati berat terpaksa mereka
harus saling berpisah. Setelah keluar dari pintu barat, Hoa Thian-hong membuka
makanan itu sambil meneruskan perjalanan, kedua orang itu
menyikat semua ransum yang tersedia hingga ludas dan
sedikpun tak ada sisanya.
Sambil meraba perutnya yang kenyang Haputule memuji
tiada hentinya, "Aaah.... enso memang sangat baik, sejak kecil
sampai dewasa belum pernah kujumpai orang yang begitu
baiknya seperti enso ini Aaaai....! dia memang sangat baik!"
Hoa Thian-hong segera tersenyum.
"Baik! akan kuperhatikan persoalan ini, andaikata
dikemudian hari aku temukan seorang gadis semacam itu
yang berusia hampir sebaya dengan engkau, aku harus jadi
mak comblang untukmu!"
"Kalau suhu tak dapat diselamatkan selamanya aku tak
akan cari bini!" "Betul!" puji Hoa Thian-hong, "kita memang harus cepatcepat
menyelamatkan Siang locianpwee dari ancaman bahaya
maut!" Ia cengkeram pergelangan tangannya dan segera berlari ke
arah depan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
yang lihay. Ketika tempo hari Hoa Thian-hong masih lari racun setiap
harinya ia berhasil melatih gerakan tubuhnya hingga mencapai
tingkat kecepatan yang sukar ditandingi setiap orang setelah
makan rumput mustika Leng-ci sian cho, maka ilmu
meringankan tubuhnya jauh melebihi tingkatan yang berhasil
mencapai tempo dulu apalagi sekarang tenaga dalamnya
setingkat jauh lebih sempurna, bisa dibayangkan betapa
sempurna dan luar biasanya gerakan tubuh pemuda itu boleh
dibilang ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya saat ini tiada
tandingannya di kolong langit.
Haputute yang diseret oleh pemuda itu seketika merasakan
sepasang kakinya sama sekali tidak menempel tanah, deruan
angin kencang menyambar lewat dari sisi telinganya, begitu
tajam hembusan angin dari arah depan membuat ia tak
sanggup membuka matanya, diam-daim ia merasa amat
kagum dan tunduk seratus persen terhadap kelihayannya.
Ditengah jalan mereka hanya beristirahat sebentar, ketika
fajar menyingsing keesokan harinya mereka telah masuk
kedalam kota Lok- yang. Haputule segera berlarian kecang membawa Hoa Thianhong
menuju kerumah penginapan dimana kedua orang
suhengnya sedang merawat luka yang mereka derita.
Pada waktu itu rumah penginapan tersebut baru saja buka
pintu, ketika kedua orang itu masuk kedalam ruangan mereka
telah berpapasan dengan seorang pelayan.
Begitu mengetahui siapa yang sedang di hadapi, dengan
gelisah bercampur cemas pelayan itu segera berseru, "Siau
ya.... aduuh kalau engkau tidak datang lagi, rumah
penginapan kami pasti akan diseret kepengadilan dengan
tuduhan menghilangkan nyawa orang...."
"Apa yang telah terjadi"!" seru Haputule dengan hati
terperanjat. "Siau ya!" seru pelayan itu sambil menuding keruang
belakang, "kemarin sore dua orang rekanmu pergi dari sini,
tapi entah bagaimana kemudian ternyata mereka telah
dibunuh orang, mayatnya menggeletak diluar tembok kota
dan.... Mulai Haputule berdiri menjablak dengan mata terbelalak,
kemudian sambil menangis menggerung ia lari menuju
keruang belakang rumah penginapan itu.
Buru-buru Hoa Thian-hong memburu dari belakang, ketika
masuk kedalam sebuah ruang terlihatlah dialas tikar terkapar
dua sosok mayat manusia, mereka bukan lain adalah Toohan
serta Temotay. Haputule segera menjerit sambil menangis tersedu-sedu,
teriaknya dengan penuh kesedihan, "Hoa toako! aku mau cari
suhu.... aku mau membalas dendam.... aku mau membalas
dendam!" Paras muka Hoa Thian-hong telah berubah jadi hijau
membesi, sambil menggigit bibir katanya, "Aku pasti akan
temukan kembali suhumu, aku pasti akan balaskan dendam
bagimu!!" Ia berjongkok membuka kain selimut yang menutupi tubuh
mayat itu dan periksa keadaan lukanya.
Apa yang dialami Tooban maupun Temotay ternyata sama
sekali tak berbeda, kedua orang itu tertusuk dadanya oleh
senjata tajam pada ulu hati, masing-masing berbekaslah
sebuah mulut luka yang panjangnya beberapa senti dengan
lebar dua tiga mili, noda darah membasahi seluruh pakaian
mereka tapi karena kejadian itu sudah berlangsung sehari
semalam yang lalu noda darah itu sudah kering dan
membeku. Sepasang mata Haputule berubah jadi merah berapi-api,
giginya saling beradu gemerutukan, tiba-tiba la cengkeram
bahu Hoa Thian-hong sambil menjerit, "Hoa toako siapa yang
melakukan pembuhan ini" siapa yang turun tangan sekeji ini
siapa.... siapa....?"
"Saudaraku, teguhkan imanmu dan hadapilah kenyataan
dengan hati tabah" bisik Hoa Thian-hong sedih, "akan
kupetaruhkan selembar jiwaku untuk menyelidiki siapakah
pembunuh kejam itu dan balaskan dendam bagi kematian dua
orang suhengmu!" "Mereka mati ditusuk oleh pisau belati?" tanya Haputule
dengan wajah termangu-mangu.
Hoa Thian-hong mengangguk, ia lanjutkan pemeriksaannya
dengan lebih teliti lagi.
Tapi kecuali mulut luka diatas dada serta luka lama yang
ditinggalkan hweesio asing, diatas tubuh kedua sosok mayat
itu ti dak ditemukan bekas luka lainnya, melihat kenyataan
tersebut dalam hati kecilnya ia segera berpikir, "Letak luka
yang diderita dua orang ini sama sekali tak berbeda satu sama
lainnya, andaikata sang pembunuh bukan turun tangan karena
telah berhasil menawan dua orang itu lebih dahulu, maka
orang yang melakukan perbuatan ini pastilah memiliki ilmu
silat yang amat tinggi dan sangat lihay...."
Sementara itu Haputule sambil menggigit bibir, telah
berseru, "Hoa toako, perbuatan ini dilakukan oleh hweesio
tersebut" ataukah orang lain"....
Diam-diam Hoa Thian-hong menghela napas panjang,
pikirnya, "Rupanya bocah ini sudah menganggap diriku
sebagai seorang malaikat yang tahu akan segala-galanya dan
bisa melakukan perbuatan macam apapun. Aaai....! ia begitu
percaya pada diriku seandainya aku tak berhasil untuk
menolong Siang loccianpwee serta balaskan dendam bagi
kematian dua orang suhengnya betapa kecewa dan putus
asanya bocah ini...."
Berpikir sampai disitu, ia segera berkata, "Bekas luka yang
ditinggalkan adalah bekas luka keras dari sini sukarlah untuk
meraba ilmu silat dari aliran manakah yang telah
dipergunakan sang pembunuh untuk melakukan perbuatan
keji ini, untuk sementara waktu anggap saja pembunuh itu
adalah hweesio tersebut, kita harus berusaha untuk
menemukan dulu orang itu dan selamatkan Siang locianpwee
dari mara bahaya kemudian setelah itu baru membicarakan
soal balas dendam." Dengan air mata bercucuran karena sedih, Haputule
menganggukkankan kepalanya.
"Senjata tajam dari kedua orang suhengku sudah tidak
berada dalam saku mereka!"
"Pedang perak milik kalian merupakan benda yang sangat
berharga sekali, aku rasa senjata tersebut tentu sudah diambil
oleh sang pembunuh tersebut."
Ketika dia angkat kepalanya memandang keluar, tampaklah
sang pelayan berdiri di tepi pintu, selain itu masih ada belasan
orang berdesakan didepan pintu menonton keramaian.
Diantara manusia-manusia itu, terlibat pula dua orang pria
kekar berusia setengah baya, ketika menyaksikan sorot mata
Hoa Thian-hong ditunjukkan ke arah mereka, dua orang itu
buru-buru menyembunyikan diri kebelakang kerumunan orang
banyak. Haputule kebetulan menyaksikan tingkah laku mereka,
secepat sambaran kilat ia menerjang kedepan dan sekaligus ia
cengkeram bahu dua orang pria itu.
Menyaksikan datangnya tubrukan, dua orang pria setengah
baya itu berusaha untuk menghindarkan diri, namun usaha
mereka gagal dan tahu-tahu lengan mereka terasa amat sakit
dan cengkeraman lawan telah bersarang disana.
Haputule mencengkeram bahu dua orang lawannya
kencang-kencang, dengan suara berat hardiknya, "Ayoh cepat
jawab, apa yang sedang kalian lakukan?"
Saking sakitnya dua orang pria kekar itu menggigit bibir
untuk menahan penderitaan, keringat dingin telah membasahi
seluruh tubuh mereka sementara sorot matanya ditujukan ke
arah Hoa Thian-hong penuh mohon belas kasihan.
Hoa Thian-hong maju kedepan dan berkata, "Saudaraku
lepaskanlah cengkeraman mu itu biar aku yang bertanya
kepada mereka. Dengan penuh kebencian dan kebengisan
Haputule melotot sekejap ke arah dua orang itu kemudian
kendorkan cengke-ramannya dan mundur kebelakang.
Sambil memegang bahunya yang sakit dan linu, dua orang
pria berusia setengah baya itu berpaling ke arah Hoa Thianhong
paras muka mereka telah berubah jadi pucat pias
bagaikan mayat. "Kalian berasal dari mana?" tegur Hoa Thian-hong dengan
sepasang alis berkenyit "Hamba sekalian sebetulnya berasal dari perkumpulan
Hong-im-hwie...." jawab dua orang pria setengah baya hampir
berbareng, "tapi berhubung perkumpulan Hong-im-hwie sudah
bubar maka hamba...."
"Gerak-gerik kalian sangat mencurigakan, apakah kalian
berdua telah melakukan pekerjaan yang melanggar hukum?"
tukas Hoa Thian-hong dengan cepat.
"Baru kemarin malam hamba berdua tiba dikota Lok yang"
buru-buru dua orang pria itu membantah, hamba bersumpah
tak pernah melakukan perbuatan yang melanggar hukum,
kalau Hoa ya tak percaya silahkan ta nyakan sendiri kepada
pemilik rumah penginapan"
Hoa Thian-hong awasi sekejap paras muka dua orang pria
itu, kemudian tanyanya lagi, "Dahulu apakah kalian pernah
bertemu dengan aku?"
Dua orang itu gelengkan kepalanya berulang kali, pria yang
ada disebelah kiri segera berseru, "Kami belum pernah
berjumpa dengan Hoa ya, tapi cuma pernah mendengar
tentang potongan badan serta raut wajah Hoa ya dari mulut
orang lain, apalagi di pinggang Hoa ya tergantung sebilah
pedang baja maka sekali bertemu kami dapat segera
mengenali kembali" "Lalu apa sebabnya kalian bersembunyi dan menghindar
dengan gerak-gerik yang mencurigakan?" bentak Haputule
dengan gusar. Dua orang itu memandang sekejap ke arah Hoa Thianhong,
lalu dengan ketakutan sahutnya, "Kami takut berjumpa
dengan Hoa ya yang penuh berwibawa, karena itu...."
Hoa Thian-hong tahu bahwa kedua orang pria tersebut
pastilah merupakan manusia yang tidak penting dalam


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkumpulan Hong-im-hwie, maka ia segera ulapkan
tangannya memerintahkan kedua orang itu segera tinggalkan
tempat tersebut. Bagaikan mendapat pengampunan, dua orang pria itu
buru-buru memberi hormat kemudian ngeloyor pergi dengan
tergopoh-gopoh. Sedangkan para penonton keramaian lainnya kebanyakan
terdiri dari kaum pedagang dan saudagar kelilingan, tapi
rupanya mereka sudah kenal siapakah Hoa Thian-hong itu,
paras muka mereka rata-rata menunjukkan sikap yang sangat
menghormat. Haruslah diketahui keadaan dari Hoa Thian-hong pada saat
itu ibarat sang surya yang berada ditengah angkasa, nama
besarnya amat tersohor dimana-mana dan menggemparkan
seluruh dunia persilatan, dari rakyat jelata sampai para
pembesar, dari kuli kasar sampai saudagar kaya hampir tak
seorangpun yang tak kenal siapakah Hoa Thian-hong, hal ini
disebabkan karena pengaruh tiga bibit bencana dunia
persilatan terlalu luas dan dalam membekas dihati setiap
orang maka ketika bibit bencana sumber kehancuran itu
lenyap dari permukaan bumi, nama Hoa Thian-hong segera
membubung setinggi langit dan pemuda itu menjadi pujaan
setiap keluarga disegala penjuru dunia.
Semula Hapntule mengira ia telah berhasil menemukan titik
terang, siapa tahu kedua orang itu tak ada sangkut pautnya
dengan persoalan itu, tak disangka lagi ia jadi amat sedih
hingga air mata kembali jatuh bercucuran.
"Hoa loako bagaimana sekarang" apa yang harus kita
lakukan....?" tanyanya dengan kebingungan.
"Saudaraku, tak usah gelisah mari bereskan dulu jenasah
dari kedua orang kakak seperguruanmu itu kemudian barulah
kita berangkat untuk mencari pembunuhnya"
Bicara sampai disitu, ia segera berpaling sambil menegur,
"Siapakah pemilik rumah penginapan ini?"
Sejak permulaan tadi sang pemilik rumah penginapan
sudah menunggu disamping, mendengar seruan tersebut
buru-buru ia maju kede-pan sambil membungkuk-bungkuk
memberi hormat. "Hamba yang pemilik rumah penginapan ini, tuan ada
perintah apa....?" Hoa Thian-hong ambil sekeping uang perak dari sakunya,
sambil diangsurkan kedepan, katanya, "Ciang kwee, harap
kirimlah orang untuk membeli peti mati serta tanah
pekuburan, kami akan segera mengembumikan jenasah dari
dua orang rekan kami ini, kalau uang tersebut tidak cukup,
nanti akan kuberi lagi....!"
"Hamba akan segera melaksanakanaya....!" sahut pemilik
rumah penginapan itu dengan gelisah, "sedang uang itu tak
berani terima, harap tuan simpan kembali.... harap tuan
simpan kembali!" Dengan badan berbungkuk-bungkuk, pemilik rumah
penginapan itu mundur kebelakang.
Hoa Thian-hong mengerutkan dahinya, sambil memandang
pelayan rumah penginapan, ujarnya, "Siau jiko, siapa yang
menghantar jenasah dari dua orang rekanku ini pulang
kepenginapan?" "Peronda kota berhasil mendapat tahu kalau mereka adalah
tamu yang menginap dalam rumah penginapan kami,
berhubung mereka adalah tamu asing dan lagi salah seorang
diantaranya belum kembali, maka terpaksa.... terpaksa
jenasah mereka dikirim kembali kerumah penginapan kami"
"Dimanakah peristiwa berdarah ini terjadi" apakah ada
orang yang menyaksikan jalannya pertarungan itu?"
Pelayan itu gelengkan kepalanya berulang kali.
"Tak ada orang yang menyaksikan jalannya peristiwa itu,
dan tak ada orang yang mengatakan telah menyaksikan
sesuatu, kejadian berdarah ini terjadi diluar kota sebelah
utara, kurang lebih lima enam puluh tombak dari pintu
gerbang kota." Hoa Thian-hong berpikir sebentar, kemudian menyusupkan
uang perak itu ketangan sang pelayan, setelah itu sambil
menarik tangan Haputule, mereka berlalu dari situ dengan
langkah lebar. Setelah keluar dari rumah penginapan, kedua orang itu
langsung berangkat menuju kepintu kota sebelah utara.
Sementara itu fajar baru menyingsing dan belum terlalu
banyak orang yang berlalu lalang dijalan raya, belum jauh
kedua orang itu melakukan perjalanan, tiba-tiba dari arah
belakang terdengar ada orang yang menyusul mereka.
Dengan cepat Hoa Thian-hong berpaling kebelakang, ia
lihat dua orang bocah cilik yang berusia empat lima tahun dan
seorang bocah berusia sepuluh tahun sedang membuntuti
perjalanan mereka dengan kencangnya.
Pakaian yang dikenakan mereka berdua telah compang
camping dan dekil sekali, rambutnya kusut dan mukanya
penuh berminyak, rupanya dua orang bocah itu adalah
pengemis-pengemis cilik kota.
Yang berusia agak muda hanya berkaki lelanjang, sedang
bocah yang agak besaran memakai sepatu, tapi pada waktu
itu bocah tersebut telah melepaskan sepatunya dan berlarian
dengan kencangnya. Hanya sayang gerakan tubuh Hoa Thian-hong dan Haputule
terlalu cepat, sehingga kendatipun dua orang bocah itu lari
dengan sepenuh tenaga namun kian lama mereka tertinggal
semakin jauh. Hoa Thian-hong sendiri sama sekali tidak pikirkan kejadian
itu dalam hatinya, sebab dua orang bocah tersebut tidak lebih
hanya dua orang bocah pengemis yang sama sekali tak kenal
ilmu silat. Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba dipintu
sebelah utara dan sampai ditempat peristiwa berdarah itu
terjadi. Dialas permukaan tanah hanya tersisa dua gumpalan darah
yang telah mengering, kecuali itu tiada tanda-tanda lain yang
berhasil di temukan lagi.
Hoa Thian-hong berdua tidak putus asa, mereka mencari
lagi di sekitar tempat kejadian itu, namun bagaimanapun juga
mereka berusaha senjata tajam milik Toohan dan Temotay tak
berhasil ditemukan. Akhirnya dengan wajah murung bercampur sedih Haputule
mengeluh, "Ooh....! Hoa toako, bagaimana sekarang" apa
yang harus kita lakukan lagi?"
Hoa Thian-hong termenung dan berpikir beberapa saat
lamanya, setelah itu ujarnya, "Mari kita periksa semua rumah
penginapan yang ada dikota ini coba kita cari data, apakah
dalam beberapa hari berselang ada kaum padri yang
menginap disini kemudian kita cari dan selidiki pula setiap kuil
yang ada disekitar kota ini. Cuma.... yaaah! perbuatan kita ini
ibaratnya mencari jarum dari dasar samudra"
Mendadak dari balik pintu gerbang kota muncul dua buah
batok kepala manusia, setelah melirik sekejap ke arah mereka,
kepala kecil itu di tarik kembali dengan cepatnya.
Hoa Thian-hong adalah seorang jago persilatan yang
memiliki ketajaman mata yang luar biasa, sekilas menandang
ia segera kenali kembali mereka berdua sebagai dua orang
pengemis cilik yang mengejar dibelakang tubuhnya tadi.
Sambil tersenyum ia segera menggapeh bocah itu seraya
serunya, "Eeeei saudara cilik berdua, kemarilah mari kita
bercakap-cakap" Dua orang pengemis cilik maju beberapa langkah kedepan,
tapi dengan cepat mereka berhenti dengan wajah
terperangah. Beberapa detik kemudian mereka putar diri dan kabur ke
arah kaki tembok kota sambil memberi tanda kepada Hoa
Thian-hong berdua. Melihat tanda itu, si anak muda itu mengerutkan dahinya
rapat-rapat, lalu bisiknya, "Ayoh ikuti mereka, coba lihat apa
yang hendak mereka lakukan, sambil berkata ia segera maju
kedepan. Buru-buru Haputule mengejar dari belakang, tanyanya
dengan nada kebingungan, "Tahukah engkau dua orang
pengemis cilik itu berasal dari aliran mana?"
Hoa Thian-hong gelengkan kepalanya.
"Aku sendiripun kurang begitu jelas!" jawabnya.
"Bagaimana kalau kita kejar dua orang bocah itu kemudian
menanyai mereka?" "Aku rasa kalau sampai bertindak begitu, kurang baik, lebih
baik ikuti saja mereka berdua dan coba lihat mereka akan
bawa kita pergi kemana?"
Dua orang bocah pengemis itu berlarian didepan,
sedangkan Hoa Thian-hong dan Haputule mengikuti
dibelakang dengan langkah yang santai, kurang lebih
setengah jam kemudian sampailah mereka dibawah sebuah
pagoda lama yang telah tak terpakai.
Pagoda itu terdiri dari tujuh tingkat dan berdiri disebuah
tanah lapang yang luas serta terpencil letaknya, berhubung
dimakan usia bangunan tersebut sudah rusak dan hancur,
setiap saat ada kemungkinan untuk tumbang ketanah, sekitar
bangunan telah dipagari dengan kayu siap untuk dibongkar,
tapi karena belum dikerjakan maka diatas pagar
terpancanglah sebuah tulisan yang berbunyi, "Dilarang
masuk!" Ketika empat orang itu sudah tiba disekitar bangunan, dari
balik semak belukar tiba-tiba berkumandang suara tepuk
tangan yang amat nyaring, pengemis yang berusia empat lima
belas tahun ini segera balas menepuk tangan mengikuti irama
tertentu. Dari balik semak belukar muncullah seorang bocah
pengemis berbadan hitam yang berusia antara tujuh delapan
tahun, dengan cepat ia lari menghampiri rekan-rekannya.
"Siau Ngo-ji, ada orang yang datang kemari?" tegur
pengemis yang rada besaran itu.
Pengemis hitam itu gelengkan kepalanya sementara
sepasang biji matanya yang melotot gede memperhatikan Hoa
Thian-hong dari atas sampai kebawah, tiba-tiba ia nampak
terperanjat hingga mulutnya ternganga dan tubuhnya berdiri
menjublak. Pengemis yang rada besaran itu segera menuding ke arah
Hoa Thian-hong sambil berkata, "Dialah Hoa thian....!"
"Ooooh! tak aneh, kalau sejak pandangan pertama aku
sudah merasa kenal...." teriak Siau Ngo-ji.
Hoa Thian Hoag tersenyum.
"Saudara cilik, apa yang sedang kau kerjakan seorang diri
berada disini?" Sambil menuding ke arah puncak pagoda dihadapannya,
Siau Ngo-ji menjawab, "Jenasah kakek tua dari wilayah See ih
berada diatas pagoda itu, aku sedang menjaga jenasahnya
agar tidak dicuri orang"
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, Haputule
nampak tergetar keras karena terperanjat bagaikan angin
puyuh dia langsung lari menuju ke arah pintu pagoda.
"Hey, berhenti!" teriak Siau Ngo-ji dengan suara lantang.
Haputule sama sekali tidak menggubris teriakan itu lagi,
sekali hantam ia hajar pintu pagoda itu sampai terbuka lalu
dengan cepat menerjang masuk keruang pigoda.
Hoa Thian-hong sangat menguatirkan keselamatan jiwanya,
sekali enjot badan bagaikan sambaran kilat ia merebut lari
dihadapan mukanya. "Blaammm!" terdengar ledakan keras bergelegar diudara
pintu pagoda yang kena diterjang segera membentang lebar
dan menumbuk diatas dinding kayu
Dalam sekejap mata debu dan pasir berterbangan
memenuhi seluruh angkasa, empat belah dinding bergetar
keras seakan-akan sebentar lagi bakal roboh sama sekali.
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat,
Haputule sama sekali tidak merasakan hal itu.
Ketika ia menengok keatas, tampaklah enam tingkat
dibagian bawah sudah roboh sama sekali, hanya pada tingkat
yang terakhir saja masih ada lantai papannya, tapi karena
jaraknya dari permukaan tanah terlalu tinggi, Haputule tak
mampu untuk melayang naik keatns.
Saat itulah Siau Ngo-ji menengok dari luar pintu, sambil
menggape serunya dengan suara lantang, "Hoa toako, cepat
keluar! hati-hati kalau sampai pagoda itu roboh dan mengubur
kalian berdua didalamnya!"
Hoa Thian Hoag segera menarik tangan Haputule sambil
serunya, "Saudaraku, ayoh keluar dulu! aku akan naik keatas
puncak terakhir untuk memeriksa keadaan disana!"
"Toako!" teriak Haputule dengan sepasang mata berubah
jadi merah berapi-api, "suhu pasti sudah mendapat celaka....
suhu pasti sudah mendapat celaka...."
Hoa Thian-hong sundiripun dapat merasakan pula bahwa
situasi tidak beres, ia bawa Haputule sampai keluar dari pagar
kayu ke mudian sambil mengepos tenaga tubuhnya segera
melayang naik keatas pagoda setinggi enam tujuh tombak,
sekali ujung bajunya dikibaskan pemuda itu sudah melayang
masuk kedalam ruang pagoda.
Siau Ngo-ji membelalakkan matanya lebar-lebar, tiba-tiba
sambil acungkan jempolnya ia berkata kepada dua orang
pengemis rekannya, "Hoa toako benar-benar hebat kalau
dibandingkan dengan hweesio itu.... huuh! kentutnya saja
belum bisa mengejar"
Begitu mendengar tentang kehadiran seorang hweesio
Haputule tak dapat menahan diri lagi, sekuat tenaga ia loncat
naik keatas pagoda tingkat keempat kemudian sekali enjot
badannya loncat naik lebih keatas.
Braak....Bluummm! seketika itu juga dinding pagoda jadi
retak dan roboh kebawah, Haputule yang menginjak tempat
kosong segera terjatuh kembali kebawah.
Dalam Waktu singkat batu bata dan pasir berguguran
diatas tanah dengan hebatnya, bangunan lama itu mulai
retak-retak lebar dan agaknya sebentar lagi bangunan
tersebut sama sekali akan roboh.
Reaksi dari Siau Ngo-ji paling cepat, menyaksikan keadaan
tersebut ia segera berteriak keras, "Hoa toako cepat loncat
keluar! pagoda itu bakal roboh keatas tanah!"
Sementara itu Hoa Thian Hoag sudah loncat masuk
kedalam ruang pagoda tingkat terakhir, begitu sorot matanya
dialihkan keruangan itu, hatinya kontan tercekat, ternyata
dalam ruangan diatas sebuah tikar buntut berbaringlah


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesosok mayat dan mayat itu bukan lain adalah tubuh dari
Siang Tang Lay. Sebuah lobang besar yang penuh berpelepotan darah
muncul pada ulu hati Siang Tang Lay, dadanya penuh noda
darah, kematiannya sama sekali tidak berbeda dengan
kematian yang dialami oleh Toohan maupun Temotay, hal ini
membuktikan bahwa pembunuhnya adalah seorang yang
sama. Belum sempat mayat itu diteliti, pagoda itu sudah roboh
keatas tanah, tergopoh-gopoh Hoa Thian-hong bopong mayat
tersebut dan loncat keluar lewat jendela.
"Braakk! Braakk! Braaakk!!" pagoda kuno itu roboh sama
sekali dan hancur Jadi berkeping-keping, pasir dan debu
segera beterbangan menyelimuti seluruh angkasa.
Haputule maupun ketiga orang bocah pengemis itu buruburu
loncat mundur kebelakang sedangkan Hoa Thian-hong
yang memiliki ilmu meringankan badan amat sempurna segera
berputar setengah lingkaran ditengah udara kemudian
melayang turun keatas permukaan jauh dari tempat kejadian.
Haputule masih diliputi rasa kaget yang luar biasa ketika
Hoa Thian-hong melayang turun keatas permukaan tanah, tapi
begitu ia lihat si anak muda itu membopong jenasah dari
gurunya, bagaikan orang kalap ia segera menerjang maju
kedepan, sambil mendekap mayat tersebut menangislah
bocah itu sejadi-jadinya.
Belasan tahun berselang Siang Ting Lay yang berilmu tinggi
datang ke wilayah timur untuk bertarung melawan jago
persilatan dari daerah Tionggoan dengan andalkan sebilah
pedang emas, ia berhasil mengobrak abrik utara maupun
selatan daratan Tionggoan tanpa menjumpai seorang
lawanpun yang bisa menandingi kehebatannya.
Tapi kemudian ia disergap oleh gabungan tenaga dari Pek
Siau-thian, Jin Hian, Thian Ik-cu, Bu Liang Sinkun serta Ciu ItTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
bong sehingga tertuka parah, untung jiwanya diselamatkan
oleh Hoa Goan-siu. Kendatipun begitu badannya sudah jadi cacad dan ilmu
silatnya jauh mengalami kemunduran.
Dalam perjalanannya kedaratan Tionggoan kali ini sekaligus
ia berhasil melukai Jin Hian dan Thian Ik-cu boleh dibilang
sakit hatinya berhasil dibalas sebagian tapi sayang mereka
secara beruntun telah mengalami musibah, dari tujuh orang
ada enam orang sudah mati dan sekarang tinggal muridnya
yang terkecil Haputule seorang, kalau ditinjau kembali maka
nasib yang mereka alami benar-benar amat menyedihkan
sekali. Haputule menangis tersedu-sedu, dengan sedihnya karena
begitu berduka menyaksikan gurunya dibunuh orang akhirnya
pemuda itu jatuh tak sadarkan diri.
Hoa Thian-hong sendiripun melelehkan air mata karena
sedih, tapi bagaimanapun juga dia adalah seorang pemuda
yang sudah banyak pengalaman meskipun rasa sedih yang
dialaminya sukar dilukiskan dengan kata-kata namun
pikirannya tidak sampai kacau karenanya.
Dengan cekatan ia segera mengurut dada Haputule
sehingga membuat pemuda itu sadar kembali dari pingsannya.
Sambil membuka kembali matanya lebar-lebar, Haputule
memeluk Hoa Thian-hong seraya menangis tersedu-sedu,
teriaknya, "Ooooh, toako aku ingin balaskan dendam untuk
suhu dan suheng-suhengku, engkau harus membantu aku!"
"Saudaraku engkau tak usah kuatir" jawab Hoa Thian-hong
dengan air mata bercucuran", sekalipun barus pertaruhkan
jiwa, aku pasti akan menangkap pembunuh kejam itu agar
engkau bisa membalas dendam sendiri atas sakit hati ini"
"Tapi siapakah pembunuhnya" uuuh.... uuuhh.... uuuhh....
kita harus pergi kemana untuk mencari hweesio yang
dilahirkan oleh anjing betina itu?"
"Saudaraku, engkau tak perlu gelisah! selama pembunuh
itu belum mati, sekalipun dia sudah lari keujung langit atau
dasar samudra, kita pasti akan berhasil menangkapnya
kembali!" "Betul, engkau tak perlu kuatir" sambung Siau Ngo-ji
terhadap diri Haputule, "selama janji yang diucapkan Hoa
toako kami ini selalu ditepati, apa yang lelah dia janjikan tentu
akan dilaksanakan sebagaimana mestinya"
Tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benak Hoa Thianhong,
ia segera berseru, "Saudara-saudara cilik sekalian, dari
mana kalian bisa tahu akan peristiwa ini" bersediakah kalian
ceritakan kisah tersebut kepadaku?"
"Tentu saja bersedia!" jawab Siang ngo ji dengan cepat, ia
ber batuk-batuk sebentar, lalu melanjutkan, "Ceritanya
begini...." "Bagaimana jalan ceritanya?" seru Haputule dengan hati
cemas. "Dua hari berselang ketika malam telah menjelang tiba, aku
sedang menangkap jangkerik dibawah pagoda ini, tiba-tiba
muncul seo rang hweesio sambil membopong seseorang,
sekali loncat hweesio itu terbang keudada dan mencapai
tingkat keempat, kemudian dalam sekejap mata ia sudah
mencapai tingkat teratas!"
0000O0000 62 MENDENGAR sampai disitu, diam-diam Hoa Thian-hong
berpikir dihatinya, "Hweesio itu sambil membopong tubuh
seseorang sanggup melayang naik keatas puncak pagoda
dengan beberapa enjotan badan, ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki tentu luar biasa sekali!"
Terdengar Siau Ngo-ji bercerita lebih jauh.
"Dari tingkah lakunya aku segera merasa bahwa asal usul
dari hweesio itu agak kurang beres, dalam hati aku mulai
berpikir sekali lompat hweesio itu bisa mencapai ketinggian
beberapa tombak itu berarti ilmu silat yang dimilikinya pasti
lihay sekali, karenanya terpaksa aku cuma bertiarap dibawah
pagoda tanpa berani bergerak barang sedikitpun juga"
"Kemudian bagaimana?" sela Haputule dengan hati amat
gelisah, "ayoh cepatlah bercerita"
Siau Ngo-ji segera mengerutkan dahinya.
"Tenangkan hatimu, kenapa musti terburu nafsu?" katanya.
Bocah pengemis itu cuma berusia tujuh delapan tahun, tak
bisa ilmu silat, badanpun kecil tapi sikapnya luar biasa sekali
gagahnya, terutama gerak-geriknya yang cerdik dan aneh,
sangat menarik perhatian orang.
Hoa Thian-hong dibikin serba salah, terpaksa dengan suara
yang amit lirih ia berkata, "Saudara cilik, cepatlah kalau
bercerita, setelah ada petunjuk yang jelas kami akan segera
menangkap pembunuh kejam itu"
Siau Ngo-ji mengangguk. "Aku yang bersembunyi dibawah pagoda sempat
mendengar hweesio itu mengajukan beberapa pertanyaan
kepada suhu dari saudara ini dan mendesaknya untuk
menjawab, hweesio itu antara lain bertanya dimanakah kitab
pusaka Kiam keng disembunyikan, tapi suhu dari saudara ini
cuma tertawa dingin tiada hentinya tanpa mengucapkan
sepatah katapun, sikap yang ketus dan tidak bersahabat dari
suhunya saudara ini kontan menggusarkan hweesio tersebut,
ia segera turun tangan menyiksa suhu dari saudara ini."
"Bagaimana selanjutnya?" seru Hoa Thian-hong dengan
sepasang alis mata berkenyit.
"Kemudian.... mendadak hweesio itu bertanya, 'Apakah
kitab pusaka Kiam keng itu di simpan dalam pedang bajanya
Hoa toako"'" Biji mata bocah itu segera berputar dan melirik sekejap ke
arah pedang baja yang tergantung dipinggang Hoa Thiao
Hong. Diam-diam si anak muda itu merasa amat terperanjat,
tanyanya lagi, "Lalu apa yang dijawab oleh Siang locianpwee
itu?" Siang locianpwee itu" sepatah katapun ia tidak berbicara, ia
tetap membungkam dalam seribu bahasa, mendadak hweesio
tersebut tertawa terbahak-bahak dengan kerasnya begitu
keras suara tertawa itu sehingga hampir saja pagoda itu akan
roboh, sesaat kemudian terdengarlah Siang locianpwee itu
menjerit kesakitan, rupanya hweesio tersebut telah turun
tangan untuk membunuh orang.
"Bagaimana selanjutnya?"
Pada saat itulah dari luar pagoda terdengar seorang
perempuan berbicara, perempuan itu berkata, "Hey Pia Lengcu....
Pia Leng-cu, dengarkanlah anjuranku dan cepat-cepatlah
takluk kepadaku ber gabunglah dengan perkumpulan Kiu-imkauw
kami...." "Oooh....! jadi mereka adalah Pia Leng-cu serta Kiu-im
Kaucu!" seru Haputule dengan terperanjat.
"Emmm! saudaraku, lanjutkan ceritamu, bagaimana
selanjutnya?" sela Hoa Thian-hong.
"Hweesio itu.... aah! bukan, Pia Leng-cu itu segera loncat
turun dari atas pagoda, dengan sikap yang garang ia
berteriak, "Kiu-im Kaucu, engkau jangan terlalu mendesak
orang sehingga terpojok, ketahuilah kalau anjing sedang panik
tembok pekarangan pun akan diloncati, kalau engkau paksa
aku Pia Leng-cu terus sampai tak ada jalan lagi, terpaksa aku
akan serahkan pedang emas ini kepada Hoa Thian-hong"
"Apa yang kemudian diucapkan oleh Kiu-im Kaucu"!"
kembali Haputule bertanya dengan suara gelisah.
"Apa yang dia katakan"!" Siau Ngo-ji sengaja berjual
mahal, setelah berhenti beberapa saat ia baru melanjutkan.
Kiu-im Kaucu tertawa terbahak-bahak, ujarnya, "Waah,
kalau engkau berbuat demikian malah jauh lebih bagus lagi,
Hoa Thian-hong pernah berhutang budi kepada perkumpulan
Kiu-im-kauw kami, kalau engkau serahkan pedang emas itu
kepadanya, maka aku akan mintanya kembali dari tangannya,
aku yakin ia pasti tak akan menampik"
"Hoa toako!" seru Haputule dengan wajah tercengang,
"engkau pernah berhutang budi apa sih dengan pihak
perkumpulan Kiu-im-kauw?"
Hoa Thian-hong menghela napas panjang.
"Aaai....! nyonya hiolo kumala Ku Ing-ing pernah
menghadiahkan sebatang Leng-ci mustika berusia seribu
tahun kepadaku untuk memunahkan racun teratai yang
mengeram didalam tubuhku, berkat Leng-ci tersebut beberapa
orang toyu yang terlukapun berhasil diselamatkan jiwanya,
yang dimaksudkan Kuu im kaucu pastilah persoalan ini."
"Betul!" seru Siau Ngo-ji membenarkan, "Kiu-im Kaucu juga
berkata demikian, semula aku masih mengira kalau dia lagi
mengibul dan omong besar!"
"Bagaimana selanjutnya?" tanya Hoa Thian-hong.
"Kemudian...." Siau Ngo-ji berhenti sejenak, kemudian baru
terusnya. "Pia Leng-cu segera mendengus dingin, dengan sikap acuh
tak acuh dia berkata, 'Sekalipun ilmu silat yang kau miliki
masih setingkat lebih lihay daripada kepandaianku, namun
untuk bereskan nyawa aku Pia Leng-cu bukanlah suatu
pekerjaan yang mudah, apalagi toh masih ada seorang to yu
yang pasti tak akan setuju dengan tindakanmu itu.'"
"To yu yang mana sih yang dia maksud kan?" tanya Hoa
Thian-hong keheranan. "Pada mulanya aku sendiripun keheranan dan tak habis
mengerti, tapi setelah kutenggok ke arah mana asalnya suara
pembicaraan itu.... oohh hoohh.... rupanya dari arah lain telah
berdiri seorang makhluk yang sangat aneh."
"Makhluk aneh macam apa?" tanya Haputule ikut
tercengang bercampur keheranan.
"Keanehan yang terdapat pada diri orang itu sukar
dilukiskan dengan kata-kata, pokoknya barang siapapun
bertemu dengan orang itu maka sekujur badannya akan
merinding dan bulu kuduknya pada bangun berdiri, lagi pula
waktu itu udara gelap aku sendiripun tidak dapat melihat jelas
raut wajahnya." "Apa yang diucapkan mauusia aneh itu?" kembali Haputule
bertanya dengan cepat. "Manusia aneh itu berkata, 'Pia Leng-cu, darimana engkau
bisa menebak kalau kitab Kiam keng disimpan dalam pedang
baja milik Hoa Thian-hong"'"
"Benar, dibalik peristiwa ini pasti ada hal yang diluar
dugaan" batin Hoa Thian-hong dihati kecilnya.
Terdengar Siau Ngo-ji melanjutkan kembali kata-katanya,
"Pia Leng-cu segera menjawab, 'Gampang sekali untuk
menebak hal itu, coba bayangkan saja kitab pusaka Kiam keng
tersebut sudah pasti adalah suatu benda yang bisa dilihat tak
dapat diambil.' Siang Tang Lay pun tak dapat mengambilnya,
kalau tidak kenapa ia tidak tidak ambil kitab pusaka Kiam keng
itu untuk diwariskan kepada anak muridnya, atau dihadiahkan
kepada Hoa Thian-hong"
"Pintar juga anjing bulukan ini!" seru Haputule dengan
penuh rasa benci dan mendendam.
"Sementara itu Pia Leng-cu melanjutkan kembali katakatanya!"
sambung Siau Ngo-ji lebih jauh, "dia bilang benda
pusaka warisan dari Dewa pedang Gi Ko sudah pasti
mempunyai sangkut pautnya antara yang satu dengan yang
lain, pedang baja yang berada ditangan Hoa Thian-hong
adalah sebilah senjata yang kuat dan keras sekali, sebalik nya
pedang emas adalah pedang paling tajam di kolong langit, dua
bilah senjata yang saling berlawanan ini pasti bukan kebetulan
saja sebaliknya mengandung maksud-maksud tertentu.
Mendengar perkataan itu manusia aneh tersebut segera
berseru, "Ucapanmu itu sangat masuk diakal dan...."
"Pia Leng-cu pun kembali berkata, 'Keponakan muridnya
menyembunyikan pedang emas itu didalam pedang pusaka
Boan liong poo-kiamnya, perbuatannya itu segera
menggerakkan kecerdasannya, kalau didalam pedang itu
disimpan sejilid kitab pusaka Kiam keng, rasanya hal ini besar
sekali kemungkinannya, apalagi pedang baja itu kuat dan
ampuh tak mempan dibacok atau ditebas kutung oleh golok
atau pedang mustika biasa, sebaliknya hanya bisa ditebas
kutung oleh pedang emas, ditinjau dari rentetan hubungan itu
bukankah dapat ditarik kesimpulan kalau pedang emas itu
sebenarnya tak lain tak bukan adalah kunci untuk
mendapatkan kitab pusaka Kiam keng"'"
Mendengar kisah itu, tanpa terata sambil meraba gagang
pedangnya Hoa Thian-hong tertawa dingin.
"Hmmm! bagaimana selanjutnya?" ia bertanya.


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian ketiga orang itu saling memaki dan saling
membentak, lama kelamaan dari cekcok mulut akhirnya Kiu-im
Kaucu bertempur melawan Pia Leng-cu malah bertempur
sengit melawan manusia aneh itu sedangkan Pia Leng-cu
mengundurkan diri dari gelanggang pertarungan dan
melarikan diri dari tempat kejadian, melihat Pia Leng-cu kabur
maka Kiu-im Kaucu dan manusia aneh itupun segera berhenti
bertempur kedua orang itu dengan cepatnya mengejar Pia
Leng-cu yang sudah kabur lebih dahulu, dalam sekejap mata
ketiga orang itu sudah lenyap dari pandangan mata.
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat, ia tak
dapat menebak siapakah manusia aneh yang berani
bertempur melawan Kiu-im Kaucu itu.
Haputule dengan sepasang mata berubah merah berapi-api
segera bertanya, "Saudara cilik, apakah engkau sempat
melihat jelas ke arah mana ketiga orang itu berlalu?"
"Pada waktu itu aku tak sempat melihat jelas, tapi kedua
orang kakak seperguruanmu kemarin sore baru menemui
ajalnya, oleh karena itu aku yakin sampai kemarin sore Pia
Leng-cu masih berada dikota Lok yang."
"Pintar sekal bocah cilik ini" pikir Hoa Thian-hong dengan
perasaan terperanjat. Haputule segera berpaling ke arah Hoaa Thian-hong,
kemudian ajaknya dengan suara lirih, "Hoa toako, bagaimana
kalau kita lakukan penggeledahan lebih dahulu disekitar kota
Lok yang, coba libat apakah kita masih dapat menemukan
jejak dari bajingan anjing bulukan itu!"
Siau Ngo-ji segera goyangkan tangannya berulang kali
sambil menyela dari samping.
"Tak usah dicari lagi, kami telah melakukan pencarian yang
teliti diseluruh kota Lok yang, namun tak berhasil menemukan
jejak dari ketiga orang itu. Hoa toako lebih baik segera
kembali untuk menyambut kedatangan ibumu."
"Kenapa?" tanya Hoa Thian-hong dengan sepasang dahi
berkerut. Pada waktu itu setelah aku kembali kedalam kota, dan
menceriterakan kisah kejadian itu kepada Ko toako....
"Ko toako" siapakah dia?" sela Haputule dengan wajah
keheranan. Oooh yaa! dia adalah toako kami! belum habis aku
bercerita tiba-tiba saja toako berteriak. Aduh celaka....! pada
saat itu juga dia segera mencuri seekor kuda dan berangkat
menuju ke kota Cho Ciu....
"Mau apa Ko toako mau berangkat ke kota Cho ciu?"
Ko toako bilang begini: "ketiga orang gembong iblis itu ada
maksud untuk mendapatkan kitab Kiam keng, sedang kitab
kiam keng didalam pedang baja milik Hoa toako, mereka
bertiga pasti akan menggunakan segala daya upaya untuk
mendapatkannya. Mendengar perkataan itu aku lantas
membantah: 'Aaahh! tak mungkin, ilmu silat yang dimiliki Hoa
toako lihay sekali dan tiada tandingannya di kolong langit,
sudah pasti dia tak akan pikirkan ketiga orang itu dalam
hatinya', namun Ko toako tidak sependapat dengan jalan
pikiranku ini" "Lalu apa yang dikatakan Ko toakomu?"
"Ko toako bilang begini: pertama, serangan yang datang
secara menggelap sukar di duga, kedua kemungkinan besar
tiga orang gembong iblis itu bakal bersekongkol untuk
bersama-sama menghadapi Hoa toako seorang, selain itu kami
dengar kabar yang mengatakan ilmu silat yang dimiliki ibunya
Hoa toako telah punah, seandainya tiga orang itu secara tibatiba
turun tangan dan menculik ibu Hoa toako bukankah
dalam keadaan demikian Hoa toako serta-merta akan
serahkan pedang baja itu kepada mereka tanpa syarat" jika ke
tiga orang itu sampai berhasil mendapatkan kitab kiam keng,
waaah.... ilmu silat mereka sudah pasti akan lihay sekali!"
Pucat pasi selembar wajah Hoa Thian-hong karena kaget
dan terkesiapnya, sambil membelai kepala Siau Ngo-ji ia
segera berseru. "Saudara cilik engkau memang luar biasa sekali! Ko toako
mu juga hebat, kalau dibandingkan dengan aku maka
kecerdikan kalian jauh lebih hebat beberapa kali lipat"
"Ko toako seperti juga dengan aku, diantara para jago dan
orang gagah yang ada di kolong langit kami cuma kagum
terhadap Hoa toako seorang" tukas Siau Ngo-ji dengan cepat.
Jilid 15 HOA THIAN-HONG sangat terharu hingga air mata tanpa
terasa jatuh berlinang membasahi pipinya.
Sebelum bertemu, aku sama sekali tidak saling mengenal
dengan kalian, tapi karena urusanku Ko toako mu telah
bersusah payah berangkat ke kota Cho ciu uatuk memberi
kabar, bila bertemu nanti aku pasti akan mengucapkan banyak
terima kasih kepadanya. Belum habis Hoa Thian-hong bicara kembali Siau Ngo-ji
menukas, "Kami sudah lama bersahabat dan berkenalan
dengan Ko toako urusan ini toh kecil sekali, kenapa Hoa toako
musti berterima kasih"
Ia berhenti sebentar, kemudian sambil tertawa haha hihi
sambungnya lebih jauh, "Hiiih.... hiiih.... hhiiih.... apakah Hoa
toako segera akan berangkat ke kota Cho ciu
"Apa yang diucapkan Ko toako mu memang tak sala, ibuku
dalam keadaan bahaya karenanya aku harus segera berangkat
kesana" "Bagaimana kalau aku temani Hoa toako tanya Siau Ngo-ji
sambil mengerdipkan matanya.
Hoa Thian-hong jadi serba salah, dalam hati ia merasa
Pendekar Pemetik Harpa 30 Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Lembah Nirmala 9

Cari Blog Ini