Ceritasilat Novel Online

Pendekar Baju Putih 7

Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


Cin Po merasa tersudut. Apa yang diucapkan gadis itu memang tepat dan
tentu kelihatan pihaknya yang keterlaluan kalau menolak permintaan tolong
ayah dan anak itu. Bukan hendak mencari imbalan jasa dia pergi ke kota raja,
melainkan untuk mengawal mereka.
Pula, dia belum pernah melihat kota raja, hanya mendengar dari dongeng saja
dan inilah kesempatan baginya untuk melihatnya. Tadi ketika Bwe Kim bicara
kepadanya, gadis itu menyebut namanya saja dan terdengar demikian akrab,
417 akan tetapi ayahnya menyebut tai-hiap, sebutan yang membuatnya rikuh
sekali. Dia menghela napas panjang. "Baiklah, tai-jin. Akan tetapi saya mohon tai-jin
tidak menyebut tai-hiap kepada saya, cukup dengan menyebut nama saya
saja." Pembesar itu tertawa. "Ha-ha-ha, engkau yang begini lihai kalau tidak disebut
tai-hiap lalu siapa yang berhak atas sebutan itu" Engkau berilmu tinggi akan
tetapi rendah hati, Sung Cin Po. Panglima beri seekor kuda yang baik untuk
Sung Cin Po!" perintah Menteri Lu Tong Pi.
Tak lama kemudian dia bersama puterinya memasuki kereta lagi dan
rombongan itu berangkat, kini ditambah dengan Cin Po yang mengawal
dengan menunggang seekor kuda yang besar, yang atas permintaan menteri
Lu dijalankan di dekat kereta sehingga sang menteri dapat bercakap-cakap
dengan Cin Po. Dengan ramah tamah dan akrab pembesar itu bertanya, "Cin Po, dari
manakah engkau datang" Di mana tempat tinggalmu?"
"Saya datang dari Thian-san, tai-jin."
"Ah, pegunungan Thian-san" Di sana kalau tidak salah ada sebuah
perkumpulan persilatan bernama Thian-san-pang?"."
"Memang dari sanalah saya datang."
"Ah, jadi murid Thian-san-pang" Siapakah ayah bundamu, Cin Po?"
418 Ditanya siapa ayah bundanya, wajah Cin Po diliputi kabut. Bagaimana dia
harus mengakui bahwa ayahnya adalah mendiang Ban Koan seorang yang
bersifat jahat, berhati palsu, pengkhianat dan pembunuh"
"Ayah saya sudah meninggal dunia, hanya tinggal ibu saya yang kini menjadi
ketua Thian-san-pang."
"Wah, pantas engkau lihai sekali! Kiranya engkau adalah putera ketua Thiansan-pang."
Cin Po merasa gembira bahwa pembesar itu tidak bertanya lebih jauh tentang
orang tuanya, agaknya pembesar itu juga melihat betapa wajahnya menjadi
muram ketika ditanya tentang ayah bundanya dan pembesar ini mengira
bahwa pemuda itu berduka mengenang ayahnya yang sudah tiada.
Sebetulnya alasan yang diucapkan Lu Bwe Kim bahwa perjalanan jauh itu
menggelisahkan dan mungkin terdapat bahaya mengancam adalah alasan
belaka untuk membujuk pemuda itu agar suka mengikuti ayahnya ke kota
raja. Perjalanan makin mendekati kota raja, tentu saja makin jauh dari bahaya.
Kalau hanya gerombolan perampok biasa saja mana berani mengganggu
kereta pembesar itu yang dikawal puluhan orang pasukan"
Maka perjalanan itu berjalan lancar. Setiap kali berhenti melewatkan malam
di sebuah kota, tentu pembesar setempat menyambut rombongan Menteri
Kebudayaan ini penuh penghormatan dan menjamunya.
Cin Po sebagai seorang di antara para pengawal pribadi, tentu saja ikut pula
dijamu. Cin Po melihat betapa penjabat daerah bersikap menjilat terhadap
419 Menteri itu, bahkan ada yang hendak memberi sumbangan dan bekal yang
berlebihan. Dan Cin Po juga melihat betapa Lu-taijin bersikap biasa saja, sama sekali tidak
congkak dan bahkan menolak pemberian sumbangan dan bekal yang
berlebihan itu. Hal ini tentu saja membuat Cin Po semakin suka dan kagum
kepada pejabat tinggi itu.
Selama hidupnya, baru satu kali Cin Po mengenal tentang pangkat dan
kedudukan, yaitu ketika dia berusia enambelas tahun, mengikuti ujian
menjadi perwira dan lulus sebagai seorang perwira kerajaan Khi-tan. Di
sanapun dia melihat betapa pejabat rendahan menjilat-jilat pejabat atasan
dan betapa pejabat atasan bersikap congkak terhadap bawahannya.
Kemudian dia melihat betapa pasukan merampok dan membunuh, memperkosa, maka dia lalu mengamuk, membunuhi anak buahnya sendiri
yang melakukan kejahatan lalu melarikan diri.
Kini dia melihat sikap yang berbeda sekali dari Lu-taijin. Bahkan para
pengawalnya tidak ada yang berani bersikap kasar terhadap rakyat.
Ketika rombongan itu memasuki dusun, Lu-taijin selalu memerintahkan agar
keretanya dijalankan lambat-lambat dan dia selalu membalas lambaian
tangan rakyat yang menghormatinya.
Juga Lu Bwe Kim bersikap ramah dan menghadiahkan senyum dan lambaian
tangan kepada rakyat. Cin Po tidak merasa menyesal telah menyelamatkan
keluarga Lu ini, yang ternyata memang pantas menjadi seorang pembesar.
420 Setelah tiba di kota raja, Cin Po tidak dapat menolak ajakan pembesar itu
untuk singgah di gedungnya. Sebuah gedung yang besar, akan tetapi tidaklah
terlalu mewah. Ini saja membuktikan bahwa Lu Tong Pi bukan semacam pejabat yang suka
mengumpulkan uang untuk diri sendiri. Dibandingkan dengan gedung tempat
tinggal Pat-jiu Pak-sian umpamanya, gedung ini masih kalah jauh.
"Sung Cin Po, perjalananku. besok aku Ketahuilah akan bahwa melaporkan selain pergi kepada kaisar mengunjungi tentaug kampung halamanku, juga aku bertugas menyelidiki dan mendengar-dengar tentang
keadaan di perbatasan. Maka, penyerangan terhadap rombonganku itu
merupakan peristiwa penting yang perlu kulaporkan kepada kaisar.
"Karena itu, aku mengharap sekali lagi agar engkau ikut dengan aku
menghadap kaisar, karena kalau tidak, kaisar tentu akan menanyakan
tentang dirimu yang sudah menyelamatkan aku dan sungguh tidak enak kalau
aku tidak dapat membawamu ke sana."
Karena sikap yang baik dari Lu Tong Pi, Cin Po sudah mulai tertarik. Diapun
ingin sekali melihat bagaimana macamnya istana yang pernah didengarnya
dari ibunya sebagai dongeng.
Menurut penuturan ibunya yang juga belum pernah melihatnya, istana adalah
sebuah tempat yang luar biasa indahnya. Seperti sorga di atas bumi! Diapun
mendengar bahwa Kaisar Sung Thai Cung yang sekarang bertahta adalah
kaisar yang baru satu tahun dinobatkan menjadi kaisar dan kabarnya
merupakan seorang kaisar yang bijaksana.
421 Di rumah Menteri Lu diapun diterima dengan sikap hormat sekali, bukan
seperti orang bawahan, melainkan sebagai tamu yang dihormati. Dia
diperkenalkan dengan para selir menteri itu yang jumlahnya ada empat orang,
dengan anak-anak para selir itu yang semua menjadi kagum mendengar
bahwa pemuda berbaju putih itu telah menyelamatkan nyawa sang menteri
berikut nyawa puterinya dari ancaman orang-orang Wu-yeh.
Juga Lu Bwe Kim, gadis bangsawan itu, bersikap ramah dan bersahabat
dengannya. Bahkan kini Bwe Kim menyebutnya "twako" sebutan yang
sungguh amat menghormatinya, tanda bahwa gadis itu menganggapnya
seperti seorang sahabat sendiri.
Dan malam itu diadakan sebuah pesta keluarga kecil untuk menghormati Cin
Po. Dalam kesempatan ini, para selir menabuh yang-kim dan suling, dan Bwe
Kim lalu menari, suguhan yang mengasyikkan dan merupakan kehormatan
besar bagi Cin Po! Sungguh Cin Po mengalami perasaan yang menggembirakan sekali, dan
sedikit banyak mengusir kedukaannya yang terbawa dari Thian-san-pang,
kedukaan yang timbul ketika dia mengetahui bahwa ayah kandungnya adalah
Ban Koan! Tarian Bwe Kim memang indah, indah dan lemah gemulai, seperti tarian
bidadari saja layaknya. Cin Po merasa terayun, belum pernah dia melihat yang
seindah itu. Apa lagi pengaruh arak membuatnya menjadi agak mabok
sehingga dia terpesona dan setelah gadis itu selesai menari, dia tidak dapat
menahan dirinya untuk tidak bertepuk tangan memuji.
422 Mendapat tepukan tangan Cin Po, Lu Bwe Kim dengan gaya luwes menekuk
sedikit lututnya dan menghadapi Cin Po sambil berkata, "Aihh, Sung-twako,
tarianku jelek, tidak pantas kaupuji!"
"Ah, nona. Siapa bilang jelek" Belum pernah seumur hidupku melihat yang
begitu indah!" kata Cin Po sejujurnya dan karena maklum bahwa pemuda itu
tidak menjilat melainkan berkata sejujurnya, tentu saja hati Bwe Kim girang
bukan main. "Ha-ha-ha, di istana engkau akan dapat melihat hal-hal lain yang indah-indah,
Cin Po," kata Lu Tong Pi. "Selagi muda sebaiknya membuat jasa dan
memperoleh kedudukan tinggi, dengan demikian berarti engkau telah
memenuhi dua kewajiban. Pertama, engkau mengangkat derajat orang
tuamu, dan kedua, engkau membangun dasar yang kokoh kuat untuk
keturunanmu kelak." Mendengar ucapan ini, Cin Po mengangguk-angguk. Dia dapat merasakan
kebenaran dalam ucapan menteri itu. Orang tuanya, terutama ayah
kandungnya, adalah seorang laki-laki brengsek yang namanya buruk dan
tercemar. Kalau orang mengetahui bahwa dia adalah anak Ban Koan, tentu dia akan ikut
dikutuk orang. Untuk membersihkan nama keluarga itu, memang jalan satusatunya membuat jasa dan nama besar, barulah noda yang melekat pada
keluarganya dapat terhapus.
Juga, dia akan dapat membahagiakan ibunya kalau dia memperoleh
kedudukan baik di kerajaan. Ibunya yang sejak muda menderita sengsara.
Dia harus dapat membahagiakannya dan mengangkatnya menjadi seorang
wanita yang dihormati dan dimuliakan orang!
423 Dan selain itu, dia akan dapat menarik wanita yang dicintanya, yaitu Ciok
Hwa, ke tempat yang tinggi pula. Dan anak-anaknya kelak juga akan menjadi
orang-orang yang dihormati. Benar Lu-taijin. Berbakti kepada orang tua dan
memberi landasan yang kuat bagi anak-anak cucunya kelak!
"Akan tetapi, paman, saya tidak memiliki kepandaian apapun. Bagaimana
saya akan dapat menghambakan diri kepada Sribaginda Kaisar?" Cin Po
bertanya. Pembesar itu telah minta kepadanya untuk menyebut paman kepada
pembesar itu, suatu kehormatan yang membuat Cin Po merasa rikuh juga.
Bahkan Bwe Kim minta agar dia menyebut adik, akan tetapi lidahnya masih
sering menolak dan dia menyebut nona kepada gadis bangsawan itu.
"Ha-ha-ha," Lu Tong Pi yang sudah setengah mabok itu tertawa. "engkau
bilang tidak mempunyai kepandaian apapun" Kiraku di istana tidak ada
seorangpun panglima yang dapat menandingi kepandaianmu, Cin Po. Kalau
menurut aku, engkau pantas menjadi seorang panglima!"
"Panglima?"." Cin Po teringat ketika dia menjadi perwira rendahan di Khi-tan
dan dia merasa ngeri kalau membayangkan betapa dia akan mengepalai lebih
banyak tentara lagi. Bagaimana kalau tentara bawahannya itu juga jahat
seperti tentara Khi-tan"
"Ya, mengapa tidak" Jangan khawatir, akulah yang akan menghadap dan
melapor kepada Yang Mulia Kaisar!"
Demikianlah, malam itu Cin Po tidur di sebuah kamar yang indah dan
pembaringan yang lunak, sedemikian lunak dan bersih indahnya kamar itu
sehingga membuat dia tidak dapat tidur nyenyak!
424 "Y" Pada keesokan harinya Cin Po mengenakan pakaian serba putih yang baru,
dibuatkan oleh Menteri Lu karena sang menteri menghendaki dia memakai
pakaian yang pantas kalau menghadap Kaisar, akan tetapi Cin Po minta agar
pakaian itu berwarna putih.
"Engkau selalu berpakaian putih, Cin Po?"
"Benar, paman. Sejak kecil saya berpakaian serba putih."
"Bagus, kalau begitu aku akan memperkenalkanmu, sebagai Pek I Tai-hiap
(Pendekar Besar Baju putih)."
"Ah, mana aku berani, paman," kata Chin Po merendah.
"Kalau engkau diangkat menjadi panglima, aku akan mengusulkan agar
engkau diperkenankan pula memakai pakaian putih agar engkau disebut
Panglima Baju Putih," menteri itu berkelakar.
Ketika mereka sedang tertawa-tawa dan siap hendak berangkat, muncullah
Lu Bwe Kim. Gadis itu nampak cerah dan cantik jelita di pagi itu.
"Wah, engkau gagah sekali mengenakan pakaian itu, twako!" kata Bwe Kim,
dan sikapnya sudah akrab dan bebas memuji biarpun di depan ayahnya.
Agaknya ayah dan anak ini merasa berhutang budi benar kepada Cin Po
sehingga sikap mereka demikian ramah dan akrab.
"Wah, pakaian serba putih mana bisa membuat orang kelihatan gagah, nona?"
425 "Twako, sudah berapa kali aku bilang. Kita ini sudah seperti keluarga sendiri,
setidak-tidaknya seperti sahabat-sahabat baik, kenapa engkau masih sungkan-sungkan dan menyebut nona kepadaku. Apakah engkau tidak mau
menyebut adik kepadaku?"
"Bukan begitu, non..... ah, siauw-moi, hanya aku merasa kurang pantas........" "Siapa bilang tidak pantas" Kalau engkau tidak menyebutku adik dan tetap
menyebut nona, akupun akan menyebut tai-hiap kepadamu."
"Maafkan aku. Baiklah, Kim-moi (adik Kim)?".!"
"Nah, begitu kan lebih enak?"
Gadis itu tertawa, ayahnyapun tertawa dan Cin Po ikut tersenyum, akan tetapi
senyumnya penuh rasa sungkan. Keluarga ini demikian baik kepadanya, dan
dia merasa rikuh bukan main.
Mereka lalu berangkat, diantar Bwe Kim sampai ke beranda depan. Ketika
mereka tiba di istana, Cin Po merasa rikuh dan sungkan sekali.
Berdebar jantungnya melihat segala kemegahan, kebesaran dan kemewahan
di istana. Segalanya serba besar. Bahkan pintu-pintunya pun besar seperti
pintu raksasa, dicat indah dan di mana-mana terdapat hiasan, hiasan dinding


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang serbaneka dan berharga.
Para pengawal istana berjaga dengan pakaian mereka yang indah pula, apa
lagi setelah tiba di sebelah dalam di mana penjagaan dilakukan oleh pasukan
426 pengawal Kim-i-wi (Pasukan Baju Emas) sungguh mereka itu nampak gagah
dan berwibawa. Memasuki bangunan yang serba megah besar dan mewah itu Cin Po merasa
betapa dirinya kecil tak berarti. Maka jantungnya berdegup tegang ketika
akhirnya pasukan pengawal menyambut dan mengantarkan mereka ke
ruangan persidangan di mana kaisar menerima para menteri dan panglimanya. Ruangan itu luas sekali. Sudah banyak pembesar yang hadir ingin menghadap
Kaisar dengan laporan-laporan mereka, dan singgasana masih nampak
kosong. Akan tetapi singgasana yang kosong itu agaknya mempunyai
pengaruh kekuasaan yang mendalam karena semua pejabat menghadap ke
arah kursi kebesaran itu dengan sikap hormat, walaupun mereka berdiri dan
bercakap-cakap dengan suara bisik-bisik.
Menteri Lu Tong Pi disambut rekan-rekannya dan Cin Po terpaksa berdiri di
pinggiran, tidak berani mencampuri mereka dan Menteri Lu agaknya juga
belum ingin memperkenalkan penolongnya kepada mereka sebelum dia
memperkenalkan kepada Kaisar.
Suara thai-kam (sida-sida) yang meninggi nyaring mengumumkan bahwa
Yang Mulia Kaisar telah tiba. Semua orang berdiam diri dan ketika Kaisar
muncul diiringkan serombongan thai-kam dan pengawal pribadi, semua orang
menjatuhkan diri berlutut menghadap kaisar dan berseru dengan suara
nyaring dan serempak, "Ban-swe?"., ban-ban-swe (Hidup selaksa tahun)!"
Cin Po memang sudah diberi keterangan lebih dulu oleh Menteri Lu bagaimana
harus bersikap kalau menghadap kaisar, maka dia pun sudah berlutut
bersama yang lain di belakang Menteri Lu dan menyerukan pujian panjang
427 umur itu sebagai penghormatan. Dari balik bola matanya karena kepalanya
menunduk tidak berani diangkat seperti pesan Menteri Lu, Cin Po melirik untuk
memandang ke arah Kaisar.
Seorang laki-laki yang agak gemuk dengan wajah kemerahan dan mata tajam
bersinar-sinar, mulut tersenyum mengejek, berusia kurang lebih empatpuluh
tahun dan pakaiannya serba gemerlapan, kini mengangkat kedua tangan ke
atas dan berkata dengan suaranya yang agak parau.
"Kalian bangkitlah!"
"Terima kasih, Yang Mulia!" kata mereka serempak dan kini semua orang
bangkit berdiri sambil menundukkan kepala menghadap Kaisar. Di hadapan
Kaisar semua orang harus menundukkan mukanya, tidak
ada yang diperbolehkan mengangkat muka menatap wajah kaisar, kecuali mereka
diajak bicara. Kemudian, sesuai dengan daftar yang dibacakan oleh seorang thai-kam,
seorang demi seorang mereka yang datang membawa laporan diperkenankan
maju dan berlutut menyampaikan laporannya. Seorang pembantu lain, juga
seorang thai-kam, siap untuk mencatat semua pelaporan para pejabat tinggi
itu. Ketika tiba giliran menteri Kebudayaan Lu Tong Pi dipanggil untuk maju,
Menteri itu memandang Cin Po kemudian melangkah maju dan menjatuhkan
dirinya berlutut di hadapan kaisar.
Lu Tong Pi masih terhitung paman luar dari Kaisar Sung Thai Cung, maka
tentu saja dia merupakan seorang pembesar yang terpandang dan dihormati
semua rekannya. Akan tetapi dia menjadi menteri bukan karena dia masih
428 paman kaisar, karena sebelum Kaisar Sung Thai Cung naik tahta, Lu Tong Pi
sudah lama menjadi seorang pejabat tinggi. Dia menjadi pejabat tinggi karena
kepandaiannya, dan keahliannya tentang sastera, maka dia diangkat menjadi
Menteri Kebudayaan. Ketika Kaisar memandang kepada Menteri Lu, kaisar tersenyum dan berkata
ramah, "Ah, engkau sudah pulang, Paman Menteri Lu" Bagaimana kabarnya
di kampung halamanmu?"
"Terima kasih, Yang Mulia. Semua dalam keadaan sehat dan selamat."
"Bagus! Dan bagaimana dengan penyelidikanmu tentang keadaan di
perbatasan timur?" "Setelah mengunjungi kampung halaman, dalam perjalanan pulang hamba
sengaja mengambil jalan di sepanjang perbatasan. Dan ternyata banyak
sekali pelanggaran perbatasan dilakukan oleh pasukan Wu-yeh.
"Menurut keterangan para penduduk di dekat perbatasan, hampir setiap hari
pasukan Wu-yeh melanggar wilayah Song dan membikin kacau. Bahkan
hamba sendiri dihadang oleh pasukan Wu-yeh dan mereka menyerang
pasukan pengawal yang mengiringkan hamba."
"Hemm,......! Bagaimana kesudahannya" Pasukan pengawalmu menang,
bukan?" kata kaisar, tertarik.
"Mula-mula memang demikian, Yang Mulia. Pasukan hamba dapat memukul
mundur mereka, akan tetapi lalu muncul seorang kakek yang sakti dan kakek
ini yang membuat pasukan hamba kocar kacir. Untunglah muncul seorang
pendekar muda yang gagah perkasa, dan pendekar inilah yang 429 menyelamatkan hamba sekeluarga dan dia mampu mengalahkan kakek sakti
yang kemudian dikenal oleh pendekar itu sebagai Tung-hai Mo-ong!"
Semua pembesar, terutama para panglimanya, terkejut mendengar disebutnya nama ini, nama yang sudah terkenal sebagai datuk sesat dari
timur yang berilmu tinggi.
"Aha, bagus sekali. Siapakah pendekar itu dan di mana dia?" tanya kaisar dan
semua orang juga ingin mengetahui siapakah pendekar muda yang dapat
mengalahkan Tung-hai Mo-ong.
"Hamba sudah mengajaknya menghadap di sini, Yang Mulia. Kalau paduka
menghendaki, akan hamba suruh maju menghadap."
"Ya, panggil dia ke sini, kami ingin melihatnya."
Menteri Lu lalu memberi isyarat ke belakang kepada Cin Po. Pemuda ini
melangkah maju dan segera menjatuhkan dirinya berlutut menghadap Kaisar
di samping Menteri Lu. "Inilah Yang Mulia. Inilah pendekar muda yang telah menyelamatkan hamba,
inilah Pendekar Baju Putih."
Kaisar mengamati wajah Cin Po yang menunduk. "Pendekar muda, coba
angkat mukamu, ingin kami melihatmu."
Dengan hati berdebar tegang Cin Po mengangkat sedikit mukanya tanpa
berani memandang kepada kaisar sehingga kaisar dapat melihat wajahnya
yang tampan gagah. 430 "Siapakah namamu?" tanya kaisar dengan suara senang.
"Hamba bernama Sung Cin Po, Yang Mulia."
"Engkau murid dari perguruan manakah?"
Inilah saatnya untuk mengangkat nama ibunya sebagai ketua Thian-sanpang, mengangkat nama perkumpulan itu.
"Hamba murid Thian-san-pang, Yang Mulia!"
Sribaginda Kaisar mengangguk-angguk lalu berkata kepada Menteri Lu,
"Lanjutkan, ceritamu, Paman Menteri Lu."
"Setelah pasukan Wu-yeh dapat dipukul mundur, hamba mengajak Sung Cin
Po untuk menghadap paduka, bukan untuk menonjolkan jasanya melainkan
untuk mengusulkan kepada paduka bahwa dia pantas sekali untuk diangkat
menjadi seorang panglima. Mohon paduka ketahui bahwa pihak Wu-yeh selalu
melakukan pelanggaran dan keadaan mereka kuat sekali.
"Bahkan hamba mendengar desas-desus bahwa pihak Wu-yeh sedang
melakukan pendekatan untuk bersekutu dengan pihak Hou-han. Karena itu,
perlu sekali seorang panglima yang pandai untuk melakukan penyelidikan dan
kalau memang benar demikian, menghancurkan persekutuan itu sebelum
merepotkan pihak kita!"
"Dan paman mengusulkan agar Sung Cin Po ini melakukan tugas itu?"
"Benar demikianlah, Yang Mulia. Hamba kira hanya dia yang sanggup memikul
tugas yang amat penting itu."
431 Pada saat itu, seorang kakek berusia kurang lebih enampuluh tahun yang
pakaiannya seperti sasterawan melangkah maju dan berlutut kepada kaisar.
"Mohon beribu ampun. Yang Mulia, kalau hamba hendak memberi pandangan
tentang pengusulan pengangkatan panglima oleh Menteri Kebudayaan Lu."
"Bicaralah, Kok-su," kata kaisar.
Orang itu ternyata adalah Kok-su (Guru Negara) yang tugasnya sebagai
penasehat kaisar dan dia bernama Lauw Thian Seng-cu, yang dahulu sebelum
menjadi Kok-su adalah seorang tosu yang pandai ilmu perbintangan, ilmu silat
dan ilmu sihir. Dia menjadi penasehat karena memang orangnya pandai dan
ahli dalam segala hal sehingga kaisar amat percaya kepadanya.
"Ampun, Sribaginda. Di dalam peraturan istana disebutkan bahwa setiap
pengangkatan pejabat atau panglima baru haruslah melalui ujian. Hal ini
untuk mencegah terjadinya pengangkatan orang yang tidak cakap dan tidak
cocok untuk jabatannya."
"Akan tetapi Sung Cin Po yang berjuluk Pendekar Baju Putih ini sudah
menolong Paman Menteri Lu dan kepandaiannya dalam ilmu silat tinggi,"
bantah Kaisar. "Bagaimanapun juga, paduka belum menyaksikan sendiri, bukan" Bukannya
hamba tidak percaya akan keterangan Lu-taijin, akan tetapi mengingat bahwa
Lu-taijin adalah seorang ahli bun (sastera) sedangkan kedudukan panglima
bertalian dengan keahlian bu (silat) maka penilaian Lu-taijin bukan penilaian
seorang ahli." 432 Kaisar mengangguk-angguk. "Hemm, paman menteri Lu. Keterangan Kok-su
tadi memang masuk diakal."
Diam-diam Lu Tong Pi mendongkol akan tetapi cepat dia memberi hormat
kepada kaisar. "Tentu saja sebaiknya diuji agar paduka dapat menyaksikannya sendiri."
"Bagus, setelah selesai persidangan ini, nanti kami akan menyaksikan ujian
itu di lian-bu-thia (ruangan silat)!" kata kaisar gembira dan Menteri Lu beserta
Cin Po diperbolehkan mundur untuk memberi tempat kepada para menteri
lain yang hendak memberi laporan mereka.
Setelah persidangan selesai, kaisar lalu dikawal pergi ke lian-bu-thia. Kaisar
naik di panggung dan duduk di kursi kebesaran yang berada di panggung, siap
untuk menonton ujian pertandingan yang akan diatur oleh Kok-su sendiri
karena pengangkatan panglima ini bukan panglima pasukan di luar istana,
melainkan panglima penyelidik yang berada di bawah kekuasaan panglima
pengawal istana. Dan Kok-su adalah seorang pejabat yang tertinggi di istana
setelah kaisar, maka tentu saja dia boleh melakukan ujian ini untuk memilih
panglima yang sudah sepatutnya dipercaya oleh kaisar.
"Engkau berhati-hatilah, Cin Po. Kok-su adalah seorang yang banyak
akalnya," pesan Lu Tong Pi sebelum pemuda itu memasuki ruangan ujian silat
itu. Para menteri yang menonton disediakan ruangan di samping ruangan itu
sehingga ruangan itu tidak terganggu kehadiran orang lain. Semua orang,
termasuk kaisar, melihat Cin Po memasuki ruangan itu dan di sudut ruangan
itu duduklah Kok-su Lauw Thian Seng-cu.
433 Lauw Thian Seng-cu lalu menghadap kaisar dan memberi hormat, bertanya,
"Apakah hamba sudah boleh memulai, Yang Mulia?"
Kaisar memberi tanda dengan tangannya dan Lauw Thian Seng-cu memberi
isyarat ke pintu tembusan sebelah dalam. Dari pintu itu lalu keluarlah seorang
laki-laki tinggi besar seperti raksasa.
Dan melihat munculnya orang ini, semua yang hadir terkejut. Terutama sekali
menteri Lu Tong Pi. Dia terkejut sekali, tidak menyangka bahwa Lauw Thian
Seng-cu akan memilih orang ini untuk menguji kepandaian silat Cin Po.
Orang itu adalah jagoan istana yang paling tangguh, bernama Un Liong Tek.
Menurut kabar, belum pernah jagoan ini kalah oleh siapapun juga, karena itu
diapun tidak pernah diajukan untuk menguji seseorang karena tentu akan
kalah dan gagal. Akan tetapi mengapa sekali ini Lauw Thian Seng-cu justeru
memilih dia untuk menghadapi Cin Po"
Akan tetapi sudah terlambat untuk mencegah. Un Liong Tek yang tubuhnya
seperti orang utan itu sudah memberi hormat kepada kaisar dan kaisar
menganggukkan kepalanya. Kaisar juga tahu akan kehebatan Un Liong Tek, maka dia menjadi gembira
sekali, ingin menyaksikan pertandingan yang menegangkan. Mampukah
Pendekar Baju Putih menandingi raksasa yang menjadi kebanggaan istana ini"
Dengan suara lantang, Lauw Thian Seng-cu berkata kepada Un Liong Tek yang
sudah berpangkat panglima pasukan pengawal dalam istana itu.
"Un-ciangkun, engkau terpilih menjadi orang yang harus menguji ilmu
kepandaian silat calon panglima ini. Dia bernama Sung Cin Po. Kalian boleh
434 saling serang, tidak boleh menggunakan senjata apapun dan tidak usah
bersungkan-sungkan karena pertandingan ini harus sungguh-sungguh untuk
menilai sampai di mana kepandaian calon ini.
"Sung Cin Po, kalau engkau ingin lulus dalam ujian ini, engkau harus mampu
menandingi Un-ciangkun. Dan ingatlah kalian berdua bahwa kalau ada yang
terluka dalam pertandingan, itu sudah menjadi resiko pertandingan ujian.
Nah, mulailah!" Cin Po merasa tidak enak kalau harus menyerang lebih dulu. Dia adalah pihak
yang diuji, maka dia akan menyerahkan kepada pengujinya untuk mulai lebih
dulu. Karena dia melihat orang tinggi besar itupun hanya memasang kudakuda dan memandang kepadanya, seolah menanti dia menyerang lebih dulu,
diapun berkata dengan sikap hormat.
"Ciangkun, silakan mulai, saya sudah siap."
"Lihat serangan!" panglima itu membentak dan dia sudah menerjang ke depan
seperti seekor biruang. Gerakannya cepat sekali dan dari kedua tangannya
menyambar angin pukulan yang kuat.
Melihat sifat serangan, Cin Po tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang
yang mengandalkan tenaga otot dalam penyerangannya dan bahwa orang ini
memiliki tenaga besar sekali. Dengan sigapnya dia mengelak ke kiri.
Akan tetapi, cepat sekali tubuh penyerangnya juga sudah membelok ke kiri
dan melanjutkan serangan pertama yang luput tadi. Kembali Cin Po mengelak
mundur sehingga serangan kedua itupun tidak mengenai tubuhnya.
435 Un Liong Tek menjadi penasaran sekali. Gerakan pemuda itu demikian lincah
dan dia merasa dipermainkan. Dia mengeluarkan suara geraman di
kerongkongan dan kini dia menyerang dengan ilmu silat yang dahsyat, yang
datangnya seperti ombak bergulung-gulung.
Itulah ilmu silat Lo-hai-kun-hoat (Ilmu Silat Pengacau Lautan) yang hebat.
Bukan hanya kedua tangan yang menghantam secara bergantian dan bertubitubi, akan tetapi juga kedua kakinya berselang-seling mengirim tendangan.
Dan setiap pukulan atau tendangan dilakukan dengan amat kuatnya.
Sampai belasan jam lamanya Cin Po berhasil mengelak dengan loncatan ke


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sana sini, akan tetapi karena serangan itu bertubi-tubi datangnya, akhirnya
dia harus menangkis juga. Dan inilah yang dikehendaki oleh lawannya.
Un Liong Tek segera mengetahui bahwa pemuda itu memiliki kelincahan
sehingga sukar dipukul, maka dia mainkan Lo-hai-kun-hoat untuk mendesak
dan memaksa lawannya untuk menangkis. Kalau lawan menangkis, tentu
mereka harus mengadu tenaga dan dia yakin bahwa pemuda itu tentu akan
terpental dan roboh. Cin Po mengangkat kedua lengannya untuk menangkis kedua tangan lawan
yang menghantamnya dari atas ke bawah. Dua pasang lengan bertemu di
udara. "Dessss?".!!"
Akibatnya bukan Cin Po yang terpental dan roboh, melainkan tubuh Un Liong
Tek yang terhuyung ke belakang. Tentu saja panglima tinggi besar itu terkejut
setengah mati. 436 Tadi ketika memukul dia telah mengerahkan hampir seluruh tenaganya dan
dia yakin bahwa jarang ada orang yang mampu menangkis pukulannya itu
tanpa terpental atau terdorong ke belakang. Akan tetapi pemuda itu sama
sekali tidak goyah, bahkan dia sendiri yang terhuyung ke belakang karena
merasa ada tenaga yang bukan main kuatnya keluar dari tangkisan pemuda
itu dan mendorongnya. Dari rasa kaget dan heran, Un Liong Tek kini menjadi penasaran dan marah.
Tentu saja dia tidak berani memperlihatkan kemarahannya karena di situ
hadir banyak pejabat tinggi, bahkan kaisar sendiri menonton adu kepandaian
ini. Dia hanya mengatupkan gigi kuat-kuat dan menyerang lagi, sekali ini
mengerahkan seluruh tenaganya dan juga mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Kembali Cin Po mengelak dan pemuda ini merasa penasaran juga. Dia tadi
sudah mengalah, kalau dia mau tangkisan itu dapat membuat lawannya
terjengkang. Namun dia membatasi tenaganya sehingga Un Liong Tek yang
ditangkisnya itu hanya terhuyung ke belakang. Penguji itu tidak mau mengaku
kalah malah sebaliknya kini menyerang mati-matian.
Selagi dia mengelak ke sana sini, tiba-tiba telinganya mendengar suara yang
berada dekat sekali dengan telinganya, seolah ada orang berbisik kepadanya.
"Sung Cin Po, engkau kehilangan tenagamu, hayo engkau menjatuhkan diri
berlutut!" Suara itu mengandung daya yang kuat dan dia merasa seakan-akan lututnya
harus ditekuk. Dia segera menyadari bahwa ini merupakan serangan dengan
ilmu sihir. 437 Ketika dia memandang, ternyata Lauw Thian Seng-cu yang tadi duduk kini
telah berdiri dan kakek itulah yang menyerangnya! Dia menjadi penasaran
sekali. Kenapa kakek itu harus bertindak curang dan menyerangnya, hendak
memaksanya agar kalah dalam ujian ini" Dia lalu mengerahkan kekuatan
sihirnya seperti yang dipelajarinya dari Bu Beng Lojin dan menuding ke arah
kakek itu. "Engkau yang jatuh berlutut!" katanya dengan pengerahan khi-kang sehingga
dia hanya berbisik dan yang mendengar suaranya hanya kakek itu.
Sementara itu, pukulan Un Liong Tek datang menyambar. Dia menangkap
lengan itu dengan tangannya, memutar sekaligus membanting. Tak dapat
dihindari lagi, lengan Un Liong Tek terputar dan tubuhnya terbanting keras,
hampir berbareng dengan jatuhnya tubuh Lauw Thian Seng-cu yang berlutut!
Terdengar tepuk tangan dari Kaisar Sung Thai Cung dan para pejabat tinggi
juga ikut bertepuk tangan memuji kemenangan Cin Po.
Un Liong Tek yang terkejut sekali karena tiba-tiba saja dia terbanting roboh,
segera berlutut ke arah kaisar dan mengundurkan diri dekat Kok-su.
Kaisar mengangkat tangan dan semua yang bertepuk tangan berhenti
bertepuk. Terdengar suara kaisar yang merasa heran. "Kok-su, kenapa
engkau tadi tiba-tiba saja berlutut?"
Semua orang melihat ini dan semua orang juga merasa heran. Wajah Lauw
Thian Seng-cu menjadi merah. Dia sendiri heran setengah mati melihat
438 betapa kekuatan sihirnya membalik dan dia seolah memerintahkan diri sendiri
untuk berlutut! "Hamba"... hamba tadi saking tegangnya bangkit dan hampir lupa bahwa
paduka hadir di sini, maka setelah teringat hamba lalu berlutut memberi
hormat kepada paduka."
Kaisar mengangguk-angguk dan hanya Cin Po seoranglah yang tahu persis
mengapa Kok-su itu tiba-tiba berlutut tadi. Diam-diam Cin Po waspada dan
berhati-hati karena dia menemukan seorang yang berbahaya sekali dalam diri
Kok-su itu. "Sung Cin Po!" kata kaisar dengan nada suara gembira, "Engkau telah lulus
ujian dan kami menerima usul Paman Menteri Lu Tong Pi. Engkau kami angkat
menjadi seorang panglima penyelidik yang bertugas menyelidiki daerah
perbatasan dengan kerajaan-kerajaan lain dan mengamankannya. Kalau
membutuhkan pasukan, engkau boleh minta bantuan panglima pasukan
keamanan kota raja."
Cin Po yang sudah lebih dulu menerima keterangan dari menteri Lu, segera
menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih.
Demikianlah, Cin Po diangkat menjadi panglima penyelidik, diperbolehkan
minta pasukan berapa saja untuk membantu dalam tugasnya. Dan untuk
sementara Kaisar memenuhi permintaan Menteri Lu agar panglima muda baru
itu diperbolehkan tinggal di rumahnya.
Cin Po juga menerima tanda pangkat yang diperlukan dalam tugasnya untuk
memperkenalkan diri kepada para pejabat daerah.
439 Dengan girang Menteri Lu membawa Cin Po pulang. Ketika mendengar
tentang pengangkatan Cin Po sebagai panglima penyelidik Lu Bwe Kim
menjadi girang sekali dan gadis ini cepat memberi selamat.
"Selamat atas pengangkatan itu, twako. Engkau memang tepat sekali untuk
menjadi seorang panglima besar sekalipun!" kata gadis itu sambil mengangkat
kedua tangan ke depan dada sebagai pemberian selamat.
Cin Po cepat membalas. "Terima kasih, Kim-moi. Sebetulnya semua ini adalah
atas jasa dan bantuan ayahmu. Tanpa bantuan Paman Lu, mana mungkin aku
menjadi panglima!" "Aih, Cin Po, kenapa berkata begitu" Biarpun aku yang membawamu ke
istana, kalau engkau tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi tentu tidak akan
berhasil. Bayangkan saja kalau engkau tadi gagal dan kalah! Hatiku sudah
berdebar penuh ketegangan dan kekhawatiran karena kalau engkau gagal
tentu aku ikut menjadi bahan ejekan dan tertawaan."
"Paman Lu, saya melihat sikap Kok-su itu seolah tidak percaya dan tidak suka
kepada paman, benarkah penglihatan saya itu" Dan kalau benar mengapa dan
siapakah dia?" Lu Tong Pi menarik napas panjang. "Memang penglihatanmu benar, Cin Po.
Aku pernah bentrok dengan Kok-su Lauw Thian Seng-cu yang hendak
mencampuri urusan kebudayaan yang menjadi wewenangku."
"Dia seorang yang berbahaya, paman. Agaknya dia pandai ilmu silat dan ilmu
sihir." 440 "Memang akupun mendengar bahwa dia ahli ilmu silat dan sihir. Sungguh
keadaannya mencurigakan dan mengkhawatirkan melihat betapa kekuasaannya semakin besar dan Kaisar berada di dalam pengaruhnya."
Kekuasaan memang dapat memabokkan orang. Semua orang berebutan
kekuasaan, semua orang berambisi dan menganggap bahwa ambisi atau citacita itu sesuatu yang amat baik, yang mendorong orang untuk maju dan
berhasil dalam tujuannya.
Pada hal, tujuanlah yang seringkali menyeret manusia ke arah penyelewengan. Tujuan menghalalkan segala cara. Orang terlalu mengejar
tujuan sehingga membuta terhadap cara yang dipergunakannya untuk
mencapai tujuan itu. Tujuan menjadi kaya mendorong orang melakukan penipuan, curang dalam
perdagangan, korupsi dalam jabatan, bahkan mencuri dan merampok. Tujuan
untuk memperoleh kedudukan membuat orang lupa diri dan saling berebutan
kekuasaan dengan berbagai tipu muslihat untuk menjatuhkan dan mengalahkan lawan. Tujuan dikejar-kejar, dinamakan dengan istilah muluk seperti cita-cita dan
sebagainya. Pada hal, tujuan ini bukan lain hanyalah keinginan untuk menjadi
sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kesenangan, akan membuat
keadaannya lebih baik dan lebih menyenangkan dari pada keadaannya
sekarang. Dan keinginan untuk senang adalah ulah dan gejolak nafsu yang
menyeret manusia. Yang terpenting bukanlah tujuannya, melainkan caranya. Hasil dari pada cara
itu tidak terpisah dari caranya sendiri karena hasil hanya merupakan akibat
dari cara yang ditempuhnya. Kalau cara itu baik, tentu akibat atau hasilnya
441 baik pula. Mungkinkah mengharapkan suatu hasil yang baik kalau caranya
tidak benar?" "Kalau begitu, sebaiknya paman berhati-hati menghadapi Kok-su itu. Terus
terang saja, Paman Lu, tadi ketika saya menghadapi ujian, diam-diam Kok-su
itu membantu dengan kekuatan sihirnya untuk membuat saya kalah. Masih
untung saya dapat mengatasinya sehingga saya dapat keluar sebagai
pemenang." Menteri Lu terkejut sekali.
"Ahh, aku melihat hal yang ganjil tadi. Tiba-tiba saja Kok-su itu berlutut dan
hampir berbareng dengan itu, engkaupun mengalahkan Un-ciangkun."
"Benar, paman. Dia mendorongku dengan kekuatan sihir agar saya jatuh
berlutut, akan tetapi masih untung saya dapat menangkis serangan gelapnya
itu." "Sungguh licik dan curang. Karena itu, engkau harus berhati-hati terhadap
orang itu, Cin Po. Siapa tahu, dia masih merasa penasaran karena selain
engkau telah mengalahkan Un-ciangkun, juga engkau mampu menangkis
serangan sihirnya." Setelah menteri itu pergi untuk mengurus pekerjaannya, Cin Po ditinggal
berdua dengan Lu Bwe Kim. Gadis ini memandang dengan matanya yang
indah, penuh kagum. "Twako, engkau memang hebat. Kau tahu, Un-ciangkun itu terkenal sebagai
jagoan nomor satu di istana dan engkau telah dapat mengalahkannya dengan
442 mudah. Sungguh aku kagum sekali dan aku merasa amat girang bahwa
engkau kini telah menjadi seorang panglima."
"Engkau baik sekali, Kim-moi. Dan sekarang, maafkan aku. Aku hendak
menghadap panglima pasukan keamanan karena setelah Sribaginda mengangkatku, aku harus segera melaksanakan tugas. Aku akan berunding
dengannya dan minta disediakan pasukan untuk membuat pembersihan di
sepanjang tapal batas dengan kerajaan Wu-yeh."
"Baiklah, twako. Selamat bekerja dan berhati-hatilah. Aku akan menunggumu
pulang dengan berhasil dan selamat," kata gadis itu dan pandang matanya
membuat jantung Cin Po berdebar tegang karena dari kata-kata dan pandang
mata gadis itu dia dapat menangkap isyarat cinta!
"Y" Cin Po membawa seratus orang pasukan dan pergilah dia ke perbatasan.
Setiap melihat pasukan Wu-yeh yang melanggar wilayah Sung, segera
diserangnya pasukan itu dan dalam setiap pertempuran, Cin Po mengamuk
sehingga pasukan musuh menjadi kocar-kacir.
Dalam waktu sebulan lebih Cin Po mengadakan pembersihan di tapal batas
dan dia sendiri tidak mengijinkan pasukannya melanggar perbatasan, hanya
menyerang kalau lihat pasukan musuh melanggar perbatasan. Ada kalanya
dia bertemu dengan pasukan yang lebih besar jumlahnya sehingga dalam
pertempuran itu diapun kehilangan banyak anak buah.
Walaupun akhirnya pasukannya keluar sebagai pemenang, akan tetapi banyak
anak buahnya yang terluka atau tewas. Terpaksa dia minta bantuan tambahan
tenaga dari panglima yang berjaga di benteng dekat perbatasan.
443 Perang antara manusia memang merupakan puncak dari keganasan nafsu.
Dalam perang, nyawa manusia tidak ada harganya lagi. Manusia berbunuhbunuhan dengan bebas. Dalam keadaan biasa, membunuh seorang manusia
merupakan dosa dan dianggap sebagai kejahatan, dan akan dihukum oleh
peraturan pemerintah yang manapun juga.
Akan tetapi dalam perang, manusia boleh membunuh sebanyak-banyaknya.
Lebih banyak dia membunuh, lebih hebat dan dikagumilah dia, dianggap
sebagai seorang pahlawan yang pantas dihormati.
Perang dengan dalih apapun, merupakan bentuk kekerasan dan kekejaman
yang berada di puncaknya. Dan kalau ada dua pihak saling bermusuhan,
saling berperang, sudah pasti?". mereka itu masing-masing mempunyai
alasan tersendiri yang membenarkan tindakannya itu.
Pada hal, yang bermusuhan itu hanyalah mereka yang mengatur perang, yang
sebagian besar biasanya malah tidak ikut dalam pertempuran. Yang
bertempur, yakni para pasukan, para perajurit, babkan tidak tahu apa-apa.
Tahunya hanya saling bunuh-membunuh atau dibunuh.
Untuk itu mereka mungkin dibayar, mungkin digerakkan oleh bujukan dan
propaganda. Ada yang mengatakan bahwa perang perlu diadakan untuk
memperoleh kedamaian! Betapa menggelikan dan menyedihkan. Damai
melalui perang! Tentu merupakan damai paksaan, damai karena takut, bukan damai karena
persahabatan. Yang kalah tentu takut dan menurut saja kehendak yang
menang, dan nampaknya ada kedamaian karena yang kalah tidak berani
berkutik. 444 Akan tetapi jauh di lubuk hati yang kalah tentu terdapat dendam dan sekali
waktu kalau terdapat kesempatan, yang kalah tentu akan membalas dendam
dan menebus kekalahannya. Dan perang berlarut-larut tiada hentinya.
Kalau padampun hanya sama seperti api dipadamkan dengan timbunan
sekam. Api dalam sekam. Tidak bernyala akan tetapi membara di dalam.
Seperti lahar dalam gunung berapi, sewaktu-waktu dapat meletus dan
membakar. Setelah lebih dari sebulan mengadakan pembersihan, mengusir pasukan Wuyeh yang melanggar perbatasan dan mengacau di dusun-dusun sekitar
perbatasan, Cin Po kembali ke kota raja. Dia dianggap berjasa besar dan
mendapat kenaikan pangkat.
Ketika kembali ke rumah Menteri Lu, dia disambut dengan pesta. Terutama


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali Lu Bwe Kim menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Gadis ini
merasa bangga sekali dan dengan terang-terangan ia memperlihatkan
perasaan hatinya yang mencinta Cin Po.
Dia dengan ayah dan keluarganya yang menyambut pemuda itu dalam sebuah
pesta kecil, Lu Bwe Kim mengangkat cawan arak sampai tiga kali untuk
memberi selamat kepada Cin Po! Tentu saja pemuda ini menyambut dengan
berterima kasih dan dengan wajah kemerahan karena penyambutan Bwe Kim
kepadanya itu agak berlebihan.
"Ha-ha-ha," Menteri Lu Tong Pi tertawa melihat sikap Cin Po yang menjadi
salah tingkah itu. "Dalam keadaan begini, makan sekeluarga, kami
menganggap engkau seperti anggota keluarga sendiri, Cin Po. Berapakah
usiamu sekarang, Cin Po" "
445 "Saya berusia duapuluh satu tahun, paman," jawab Cin Po dengan muka
menunduk karena semua mata memandang kepadanya, dan dia sudah dapat
menduga ke arah mana pertanyaan itu menuju.
"Duapuluh satu tahun dan sudah menjadi seorang panglima yang naik
pangkat! Ah, engkau sudah sepatutnya membentuk rumah tangga dan
menikah, Cin Po!" Semua keluarga itu tersenyum dan Bwe Kim juga tersenyum malu-malu
karena ayahnya memandang kepadanya penuh arti.
"Paman, saya".. saya belum memikirkan tentang itu," kata Cin Po agak
tersipu karena ucapan Menteri Lu itu dikeluarkan di depan banyak orang.
Menteri Lu tertawa dan pesta itu dilanjutkan, dan pembesar itu yang melihat
Cin Po tersipu tidak melanjutkan lagi pembicaraan mengenai hal itu. Setelah
selesai, Menteri Lu mengatakan bahwa dia hendak ke istana mengurus
pekerjaannya. "Bwe Kim, temani kakakmu yang harus beristirahat setelah bekerja keras
selama sebulan lebih," pesannya kepada puterinya dan pesan ini saja sudah
menunjukkan bahwa sang Menteri itu sudah setuju sekali kalau puterinya
berhubungan erat dengan Cin Po!
Ketika mendapat kesempatan untuk bicara berdua saja, Bwe Kim memberanikan diri berkata, "Twako, harap engkau suka memaafkan ayahku
tadi." "Eh, mengapa, Kim-moi" Apa yang harus dimaafkan?"
446 "Tadi ayah menyinggung-nyinggung tentang pernikahan, membuat engkau
menjadi rikuh dan malu, twako."
Wajah pemuda itu berubah merah. "Ah, sebetulnya tidak mengapa.
Pertanyaan seperti itu wajar saja, dari seorang yang lebih tua kepada yang
muda. Tidak perlu engkau mintakan maaf, Kim-moi?"
"Akan tetapi tahukah engkau ke mana tujuan pertanyaan dan pembicaraan
ayah tadi, twako?" "Tidak, mengapa?"
Kini wajah gadis itu yang berubah kemerahan akan tetapi ia memaksakan diri
menjawab juga. "Dia maksudkan".. eh, ayah agaknya ingin sekali melihat
engkau menjadi mantunya."
"Ehh?"!" Cin Po memandang kepada gadis itu dengan mata terbelalak. Kalau
Menteri Lu ingin mengambil dia sebagai mantu, berarti dia akan dijodohkan
dengan Bwe Kim! "Aku sudah cukup mengenal watak ayah dan aku dapat menduga apa yang
dikehendakinya, twako. Karena itu aku berterus terang saja dan ingin sekali
aku mendengar darimu sendiri, bagaimana pendapatmu dengan kehendak
ayah itu?" Cin Po merasa tidak enak sekali. Dari sikap dan pertanyaan gadis itu, dia dapat
menduga bahwa Bwe Kim agaknya setuju dengan kehendak ayahnya, berarti
gadis ini "ada hati" kepadanya. Ini sama sekali tidak boleh.
447 Dan agar gadis itu jangan terus mengharapkan dan salah duga, sebaiknya
kalau dia berterus terang saja. Dia memberanikan dirinya, mengangkat muka
dan memandang kepada gadis itu penuh perhatian.
"Kim-moi, aku adalah seorang yang amat berterima kasih kepadamu dan
kepada ayahmu sekeluarga. Kalian
begitu baik kepadaku dan tidak semestinya kalau aku mengecewakan harapan kalian.
"Akan tetapi dalam hal perjodohan?" bukan aku tidak suka kepadamu,
engkau seorang gadis yang mengagumkan, cerdik dan cantik jelita, berdarah
bangsawan pula. Akan tetapi, bagaimana lagi, Kim-moi, aku terpaksa harus
menyatakan tidak sanggup menerima kehendak ayahmu yang begitu berbudi,
karena aku".. aku sudah bertunangan dengan seorang gadis lain."
Bwe Kim menundukkan mukanya dan sejenak ia memejamkan matanya dan
menahan napas untuk menelan semua kekecewaannya. Sejenak kemudian,
ia membuka matanya kembali dan memandang kepada pemuda itu.
"Terima kasih, twako, atas kejujuranmu. Aku percaya bahwa apa yang kau
katakan itu semuanya benar, dan maafkan ayahku. Aku yang akan
memberitahu ayahku bahwa engkau sudah bertunangan agar ayah menghilangkan kehendaknya yang tidak pada tempatnya itu."
"Terima kasih, Kim-moi."
Pada saat itu, datang seorang pengawal memberi tahu bahwa Cin Po dipanggil
ke istana sekarang juga. Mendengar ini, Cin Po lalu mengenakan pakaian
panglimanya yang serba putih, dan berangkatlah dia ke istana.
448 Setibanya di depan kaisar, ternyata di situ kaisar dihadap para Menteri dan
panglima. Cin Po diberi tahu bahwa menurut berita laporan para penyelidik,
terjadi lagi kerusuhan di perbatasan Wu-yeh dengan munculnya pasukan Wuyeh yang agak besar jumlahnya, bukan saja melanggar tapal batas akan tetapi
juga membikin kacau daerah itu.
Dan Cin Po mendapat tugas lagi untuk mengusir dan membasmi para
pengacau dari Wu-yeh itu. Setelah mendapatkan pasukan tentara, Cin Po
segera berangkat melaksanakan tugasnya.
"Y" Pasukan yang dipimpin Cin Po tiba di perbatasan dan segera dia mencari
pasukan Wu-yeh yang dikabarkan membuat kerusuhan itu. Setelah bertemu,
dia terkejut melihat bahwa pasukan Wu-yeh yang besarnya lebih dari seratus
orang itu dipimpin oleh Tung-hai Mo-ong dan puterinya, Ciok Hwa!
Tentu saja Cin Po tidak menghendaki pertempuran dengan kekasihnya itu,
maka dia tidak memerintahkan pasukannya untuk menyerbu, melainkan
menahan pasukannya dan dia sendiri lalu maju menemui Tung-hai Mo-ong
dan puterinya. Setelah bertemu, Cin Po cepat memberi hormat kepada Tung-hai Mo-ong.
"Kiranya Paman Kui Bhok yang berada di sini," katanya setelah memberi
hormat. "Dan engkau, Hwa-moi."
"Dan engkau di sini membawa pasukan mau apa?" bentak Tung-hai Mo-ong.
"Mau membasmi kami?"
449 "Sribaginda mendengar bahwa di perbatasan terjadi kerusuhan dan beliau
memerintahkan aku untuk memadamkan kerusuhan itu. Aku tidak percaya
bahwa engkau dan adik Ciok Hwa yang mengadakan kerusuhan, paman.
"Karena itu, kuharap dengan hormat dan sangat agar paman menarik mundur
pasukan dan tidak melanggar wilayah Sung sehingga tidak sampai terjadi
bentrokan. Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan paman, apa lagi
dengan adik Ciok Hwa," katanya sambil memandang kepada wajah yang
tertutup cadar hitam itu.
"Kembalilah, Cin Po. Aku akan menjaga agar anak buah kami tidak akan
melakukan kerusuhan apapun. Katakan kepada kaisarmu bahwa kerusuhan
sudah tidak ada lagi."
"Akan tetapi?"."
"Twako, aku yang menanggung akan kebenaran janji ayah," kata Ciok Hwa
dan mendengar ini, Cin Po menjadi lega hatinya.
"Baiklah, aku akan menarik mundur kembali pasukanku dan melapor ke kota
raja." Cin Po membedal kudanya kembali kepada pasukannya dan dia memerintahkan pasukannya untuk mundur dan kembali ke kota raja. Di
antara pasukannya itu terdapat kaki tangan Kok-su dan melihat betapa Cin Po
bergaul demikian akrabnya dengan pimpinan pasukan Wu-yeh, cepat dia
melapor kepada atasannya setelah tiba di istana.
450 Cin Po sedang beristirahat di rumah gedung Menteri Lu, siap untuk
menghadap dan memberi laporan kepada kaisar ketika tiba-tiba Menteri Lu
datang berlari-lari. "Wah celaka, Cin Po!"
"Kenapa, paman?"
"Celaka, kaisar memerintahkan panglima untuk menangkapmu!"
Tentu saja Cin Po terkejut sekali sehingga dia bangkit dari tempat duduknya.
"Akan tetapi kenapa paman?"
"Ada anak buah pasukan melapor bahwa engkau bergaul akrab dengan
pimpinan Pasukan Wu-yeh. Celaka, cepat kau pergi, engkau sudah dituduh
mata-mata musuh, pemberontak. Cepat pergi sebelum mereka datang!"
Mendengar ini, Cin Po segera lari ke kamarnya, membawa buntalan pakaian
lamanya dan diapun pergi meninggalkan gedung itu, bahkan langsung keluar
dari kota raja. Setelah keluar dari kota raja, Cin Po teringat kepada kekasihnya dan diapun
segera lari ke arah perbatasan untuk menemui kekasihnya. Akan tetapi
ternyata pasukan Wu-yeh yang dipimpin Tung-hai Mo-ong itu sudah
meninggalkan perbatasan, agaknya sudah kembali ke wilayah Wu-yeh. Maka
Cin Po lalu hendak menyusul ke Wu-yeh.
Pada suatu hari, selagi dia berjalan seorang diri melalui jalan yang sunyi, dia
melihat serombongan orang menunggang kuda. Karena khawatir bahwa dia
451 akan dikenal orang dan terjadi keributan, Cin Po menyelinap ke balik rumput
alang-alang dan mengintai.
Alangkah kaget dan herannya ketika dia mengenal See-thian Tok-ong berada
di antara rombongan lima orang itu. Sungguh aneh dan mengherankan,
pikirnya, See-thian Tok-ong adalah seorang datuk dari kerajaan Hou-han,
bagaimana kini tahu-tahu berada di daerah Wu-yeh"
Dia menjadi curiga sekali dan diam-diam Cin Po mempergunakan kepandaiannya membayangi lima orang yang lewat dengan cepatnya di jalan
itu. Tidak sukar bagi Cin Po yang berilmu tinggi untuk membayangi lima orang
penunggang kuda itu. Ketika rombongan itu tiba di sebuah lapangan rumput di lereng bukit dalam
sebuah hutan, mereka berhenti dan seorang anggauta rombongan membunyikan peluit seperti memberi isyarat rahasia. Tak lama kemudian
terdengar suara peluit lain yang menjawab dan muncullah tujuh orang dari
lereng sebelah atas. Mereka ini tidak berkuda dan ketika mereka sudah mendatangi tempat itu,
Cin Po yang bersembunyi dan mengintai tak jauh dari situ terkejut mengenal
bahwa yang muncul adalah rombongan orang yang dipimpin oleh Tung-hai
Mo-ong! Tentu saja dia merasa tidak enak sekali, akan tetapi hatinya merasa
agak lega bahwa Ciok Hwa tidak ikut dalam rombongan itu.
Dia menyusup makin dekat untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
Dia tahu dari sikap mereka, bahwa pertemuan ini memang sudah direncanakan dan agaknya mereka hendak merundingkan sesuatu. Wakil dari
kerajaan Hou-han hendak berunding dengan wakil dari kerajaan Wu-yeh!
452 See-thian Tok-ong tertawa bergelak ketika dia melihat Tung-hai Mo-ong.
"Ha-ha-ha, ternyata Tung-hai Mo-ong masih merupakan seorang datuk yang
memegang janji. Ini pertanda bahwa kerajaan Wu-yeh memang pantas untuk
dijadikan sekutu kerajaan Hou-han!
"Nah, kami dari Hou-han sudah berani datang menyusup ke dalam wilayah
Wu-yeh, sekarang pesan apa yang akan kausampaikan dari rajamu untuk
kami teruskan kepada raja kami, Tung-hai Mo-ong?"
Tung-hai Mo-ong yang kurus kering itu bersikap tenang dan berwibawa,
nampaknya tidak mau kalah dengan sikap See-thian Tok-ong. Bagaimanapun
juga tingkat mereka berdua adalah seimbang, maka tidak ada yang perlu
merendahkan diri di antara mereka.
"See-thian Tok-ong, bagus sekali engkau sudah datang. Kami memang
merupakan orang-orang yang selalu memegang janji. Persekutuan di antara
kita sudah disetujui oleh kedua orang raja kita, tinggal pelaksanaan tugas kita
saja yang harus dipenuhi.
"Pihakmu berjanji untuk menghubungi sutemu di kerajaan Sung, bagaimana
beritanya" Kami telah siap dengan pasukan kami di perbatasan, dan sewaktuwaktu usaha pembunuhan kaisar Sung Thai Cung itu berhasil, kami segera
akan bergerak menyerbu Sung dari arah timur. Dan bagaimana dengan
persiapanmu?" "Beres, kami juga sudah mempersiapkan pasukan besar di perbatasan dan
begitu usaha pembunuhan itu berhasil, kami juga akan segera bergerak!"
453 "Kalau begitu, harap siap dengan pembawa berita tentang usaha pembunuhan
itu kepada kami. Kami siap menanti datangnya berita baik itu."


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha-ha, jangan khawatir, Tung-hai Mo-ong. Kami telah mempersiapkan
segalanya. Dan usaha pembunuhan itu pasti berhasil karena yang melakukannya adalah orang dalam istana sendiri."
"Bagus, kita menyerang dari kedua pihak selagi istana dalam keadaan kacau
karena kematian kaisarnya, sudah pasti usaha kita sekali ini akan dapat
menghancurkan kekuasaan Sung!"
"Memang demikian, dan raja kita masing-masing tentu akan memegang teguh
perjanjian untuk membagi kerajaan Sung menjadi dua, masing-masing
menjadi wilayah kita berdua."
Cin Po demikian terkejut dan khawatir mendengar percakapan itu sehingga
dia membuat gerakan yang terdengar oleh dua orang datuk yang lihai itu. Ke
dua orang datuk itu cepat menengok dan segera mereka seperti berlomba
melompat ke balik semak di mana Cin Po bersembunyi. Akan tetapi, Cin Po
juga sudah mendapat kembali ketenangannya, maka begitu ke dua orang itu
melompat ke arahnya, diapun melompat melarikan diri.
"Cin Po?".!"
Dia mendengar Tung-hai Mo-ong berteriak memanggil, akan tetapi dia terus
berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dia telah ketahuan ayah kekasihnya,
akan tetapi dia tidak perduli. Bagaimana pun juga Tung-hai Mo-ong telah
bersekutu dengan pihak Hou-han dan merencanakan pembunuhan atas diri
kaisar Sung Thai Cung. 454 Biarpun dengan perasaan tidak enak karena dia tahu saat itu dia menjadi
orang buruan, akan tetapi Cin Po tidak mungkin dapat mendiamkan saja
kaisar terancam bahaya maut. Dia harus memperingatkan kaisar akan bahaya
maut yang mengancam. Akan tetapi bagaimana" Begitu muncul di istana dia tentu akan ditangkap
karena dia telah dianggap sebagai mata-mata musuh, sebagai pengkhianat
yang bersekutu dengan Wu-yeh!
Dengan nnenggunakan kepandaiannya yang telah mencapai tingkat tinggi,
tanpa banyak kesukaran Cin Po mampu melewati pagar tembok kota yang
menjadi benteng itu dan akhirnya dia dapat menyeludup ke dalam kota raja.
Cepat dia menyelinap dari rumah ke rumah dan akhirnya dia dapat melompati
pagar tembok rumah Menteri Kebudayaan Lu Tong Pi.
Kebetulan Menteri itu berada di rumah dan dia sampai melompat saking
kagetnya melihat betapa tiba-tiba Cin Po muncul di dalam ruangan itu.
"Twako?".!!" Bwe Kim berseru dengan girang dan juga kaget melihat betapa
pemuda itu kembali tanpa diduga-duga.
"Cin Po, apa yang kaulakukan di sini" Bukankah engkau sudah keluar dari kota
raja?".?" Menteri Lu bertanya dengan khawatir sekali, sambil menutupkan
pintu ruangan itu agar jangan ada penjaga yang melihat pemuda itu.
"Paman Lu, terpaksa saya kembali ke sini karena ada sesuatu yang amat
gawat. Nyawa Sribaginda Kaisar terancam bahaya maut dan aku menghendaki agar paman yang memperingatkan baginda!"
Wajah Menteri Lu menjadi pucat. "Apa...... apa yang terjadi?"
455 Cin Po lalu menceritakan apa yang didengarnya dari percakapan para wakil
Hou-han dan Wu-yeh dan mengadakan persekutuan untuk membunuh Sung
Thai Cung dan menjatuhkan kerajaan Sung.
"Tung-hai Mo-ong adalah wakil dari kerajaan Wu-yeh dan dia telah menyebutnyebut soal sute dari See-thian Tok-ong wakil Hou-han. Entah siapa yang
dimaksudkan dengan sutenya yang agaknya bekerja di sini."
"Wah, kalau begitu bisa gawat! Bagaimana harus dijaga keselamatan
Sribaginda Kaisar kalau pembunuhnya adalah orang dalam istana sendiri" Cin
Po, engkau menanti dulu di sini! Aku akan segera menghadap Sribaginda dan
akan kuceritakan terus terang segala apa yang engkau dengar itu.
"Dengan demikian, selain namamu akan dibersihkan dari fitnah bahwa engkau
mata-mata musuh, juga mungkin sekali Sribaginda Kaisar akan mempercayamu untuk melakukan penjagaan di istana sebagai pengawal
pribadinya." "Memang sebaiknya begitu, paman. Kalau tidak dijaga dengan ketat,
keselamatan Sribaginda amat terancam. Aku mengenal orang-orang seperti
Tung-hai Mo-ong dan See-thian Tok-ong. Mereka adalah orang-orang yang
amat berbahaya dan tentu sute dari See-thian Tok-ong yang sudah
menyeludup di dalam istana Sung itu amat lihai pula."
Demikianlah, bergegas Menteri Kebudayaan Lu pergi menghadap kaisar dan
mohon bicara empat mata dengan kaisar Sung Thai Cung. Tidak sembarangan
pejabat dapat memohon bicara empat mata dengan Sribaginda, akan tetapi
karena Menteri Kebudayaan Lu Tong Pi masih terhitung paman sendiri dari
Kaisar, maka Kaisar segera memenuhi permintaannya itu.
456 "Ada apakah paman Lu" Sikapmu begini penuh rahasia," kata Sribaginda
kaisar sambil tersenyum ramah.
"Ini memang merupakan rahasia besar, Yang Mulia. Rahasia besar yang
mengancam keselamatan paduka, juga keselamatan kerajaan Sung yang
terancam kehancuran."
"Heii, paman! Apa yang kaumaksudkan?"
"Tentu paduka masih ingat kepada Sung Cin Po, bukan?"
"Ah, pemuda yang menjadi mata-mata musuh dan pengkhianat itu?"
"Sama sekali tidak, Yang Mulia. Semua itu hanya fitnah belaka. Dan sekarang
Cin Po membuktikan bahwa dia adalah seorang hamba yang setia.
"Dia kembali ke kota raja membawa berita yang teramat penting. Dia melihat
utusan-utusan dari Hou-han dan Wu-yeh mengadakan pertemuan dan mereka
mengadakan persekutuan busuk untuk membunuh paduka dan setelah usaha
jahat itu berhasil, pasukan mereka yang sudah siap di perbatasan akan segera
menyerbu." Kaisar terbelalak, wajahnya menjadi agak pucat. "Ceritakan yang jelas,
Paman. Apa yang telah terjadi?"
Lu Tong Pi lalu mengulang apa yang didengarnya dari Cin Po dan
menambahkan, "Kalau benar yang akan melaksanakan pembunuhan itu sute
dari See-thian Tok-ong dan orangnya sudah berada di dalam istana, maka hal
ini sungguh berbahaya sekali, Yang Mulia. Harus ada seorang yang sakti selalu
457 melindungi paduka untuk menjaga kalau-kalau setiap saat pembunuh itu akan
turun tangan." "Hemm, pengawalku sudah cukup banyak, tentu mereka akan mampu
menangkap pembunuh itu!" kata kaisar, namun tetap saja suaranya agak
gemetar karena ketakutan.
"Yang mulia, bagaimana kalau Cin Po dipekerjakan di sini untuk menjadi
pengawal pribadi paduka. Kita semua telah menyaksikan kelihaiannya."
"Ah, bagaimana kalau dia benar-benar mata-mata musuh dan pengkhianat?"
"Hamba yang menanggung, Yang Mulia. Kalau dia berlaku khianat biarlah
kepala hamba menjadi tanggungan. Dahulu dikabarkan dia bersekutu dengan
Tung-hai Mo-ong, hal itu fitnah belaka. Buktinya kini dia malah membawa
berita tentang ancaman Tung-hai Mo-ong dan See-thian Tok-ong. Percayalah,
Yang Mulia. Apakah Yang Mulia masih menyangsikan kesaksian hamba?"
Setelah berpikir sejenak, Sribaginda Kaisar mengangguk. "Baiklah, panggil
Cin Po ke sini dan biar dia menjadi pengawal pribadiku yang bertugas menjaga
keselamatanku dan sedapat mungkin menangkap pembunuh yang kabarnya
menyusup ke istana."
Menteri Lu Tong Pi bergegas pulang dan membawa kabar gembira ini kepada
Cin Po. Akan tetapi bagi Cin Po, kabar ini tidaklah terlalu menggembirakan.
Tugasnya itu teramat berat. Kalau benar sute dari See-thian Tok-ong yang
hendak melakukan pembunuhan, hal itu berbahaya sekali karena sang sute
itu tentu lihai bukan main, dan sulitnya, dia tidak tahu siapa sute itu maka dia
harus melakukan penjagaan dengan waspada sekali.
458 Begitu berada di istana dan diberi kekuasaan untuk mengatur pasukan
pengawal pribadi, Cin Po lalu membagi tugas kepada semua pengawal,
diperintahkan untuk melakukan pengawalan ketat siang malam dan selalu
waspada terhadap semua petugas dalam istana tanpa kecuali.
Dia sendiri hampir tidak pernah jauh dari kaisar, kecuali di waktu kaisar
beristirahat dan tidur, dia berjaga di luar kamar. Karena dia harus bertugas
secara rahasia maka Cin Po dalam tugas ini menyamar sebagai tentara
pengawal biasa, berpakaian seperti pengawal pula agar tidak menimbulkan
kecurigaan. Yang tahu bahwa dia merupakan pengawal rahasia hanyalah para anggauta
pengawal dan kaisar sendiri. Bahkan para thai-kam tidak diberitahu dan ini
adalah kehendak Cin Po yang tentu saja juga mencurigai kalau-kalau
pembunuh itu adalah seorang di antara para thai-kam!
Demikian hati-hati dan waspada Cin Po dalam penjagaannya sehingga setiap
makanan atau minuman yang disuguhkan kepada kaisar harus lebih dulu
melalui pemeriksaannya! Tidak akan mungkin kaisar dibunuh dengan racun
melalui minuman atau makanan karena kaisar sendiri juga sudah tahu bahwa
dia tidak boleh menyentuh makanan atau minuman sebelum diperiksa oleh
Cin Po. Sudah tiga hari tiga malam tidak pernah terjadi sesuatu. Cin Po yakin bahwa
pembunuh pasti akan segera turun tangan dengan nekat karena jalan untuk
membunuh melalui racun tidak mungkin dilakukan. Pada hari keempat akan
diadakan persidangan dan sejak kaisar keluar dari peraduan, Cin Po sudah
mengawalnya, selalu siap tak jauh dari kaisar.
459 Kaisar sudah berdandan dan siap untuk menuju ke balai persidangan. Yang
mengantarkan kaisar seperti biasa adalah serombongan thai-kam dan
pengawal. Baru saja sampai di tempat persidangan, tiba-tiba seorang thaikam tersandung kakinya dan terjatuh.
Tentu saja semua orang, termasuk kaisar, menengok untuk melihat thai-kam
yang terjerembab ini. Dan pada saat itu seorang anggauta pengawal
mencabut pedang dan meloncat, dengan cepat sekali menyerang kaisar
dengan sebuah tusukan ke arah dadanya!
Cin Po tentu saja terkejut, tidak menduga bahwa pembunuh itu adalah
seorang di antara anak buahnya sendiri. Namun dia telah waspada, tubuhnya
berkelebat dan dengan tangan telanjang, dia menepis dengan tenaga
sepenuhnya, tenaga Ngo-heng-sin-kun.
"Plakk?". Cappp"..!" Pedang yang ditepis dengan tenaga sin-kang amat
kuatnya itu membalik dan menusuk dada pemegangnya sendiri sehingga dia
mengeluarkan teriakan dan roboh terjengkang.
Thai-kam yang terjerembab tadi tiba-tiba menghunus sebatang pisau belati
dan dengan nekat diapun meloncat dan hendak menancapkan pisaunya di
punggung kaisar! Akan tetapi Cin Po sudah waspada dan sekali kakinya
menendang, tubuh thai-kam itu terlempar ke bawah anak tangga.
Melihat ini, semua pembesar yang berada di situ menjadi terkejut dan sekali
lompat, Kok-su sudah mendekati thai-kam yang ditendang jatuh itu dan
tangannya bergerak ke arah kepala thai-kam itu.
"Krekkk!" Kepala itu retak dan thai-kam itu tewas seketika!
460 Cin Po cepat mendekati penyerang tadi, dan mendapat kenyataan bahwa
penyerang itupun sudah tewas oleh pedangnya sendiri yang menembus
jantungnya! Suasana menjadi ribut, akan tetapi Kok-su dapat menenangkan keadaan dan
persidangan dilanjutkan setelah kedua mayat penyerang itu disingkirkan.
Tentu saja kaisar membicarakan tentang penyerangan itu di dalam sidang.
Akan tetapi siapa yang hendak dipersalahkan" Kedua pelakunya itu telah
tewas dan tidak dapat menceritakan apa-apa.
Diam-diam Cin Yo merasa mendongkol sekali. Tadi dia sudah merobohkan
thai-kam itu tanpa membunuhnya, sengaja untuk menangkapnya hidup-hidup
agar dapat ditanyai dan diperiksa.
Siapa kira Kok-su begitu cepat turun tangan membunuhnya sehingga tidak
ada lagi saksi yang dapat dimintai keterangan. Baik pengawal maupun thaikam itu adalah pekerja-pekerja lama maka semua orang merasa heran
mengapa mereka itu tiba-tiba saja dapat menjadi pembunuh!
Tentu saja Cin Po berjasa besar. Bukan saja dia telah menyelamatkan nyawa
kaisar, akan tetapi jasa dengan gagalnya pembunuhan itu, pasukan Hou-han
dan Wu-yeh tidak jadi menyerang walaupun pihak Sung juga sudah siap siaga
menjaga kalau-kalau mereka melakukan penyerangan.
Setelah kaisar memperkenalkan pengawal yang menyelamatkan nyawanya
itu, barulah semua orang mengenalnya sebagai Cin Po yang pernah dituduh
sebagai pengkhianat dan menjadi orang buronan! Kaisar hendak mengangkatnya kembali sebagai panglima, namun sambil berlutut Cin Po
menghaturkan terima kasih.
461 "Hamba bersumpah untuk setia terhadap kerajaan Sung dan akan hamba
bantu sekuat tenaga kalau kerajaan membutuhkan tenaga hamba. Akan tetapi
ampunkan hamba, Yang Mulia, hamba tidak ingin terikat oleh suatu
kedudukan. Hamba mohon diperkenankan untuk tetap bebas, akan tetapi
hamba siap menghadap sewaktu-waktu tenaga hamba dibutuhkan untuk
negara." Penolakan terhadap anugerah kaisar dapat dikenakan hukuman karena
dianggap tidak taat. Akan tetapi kaisar yang baru saja diselamatkan nyawanya
oleh Cin Po itu tidak menjadi marah dan kaisar bahkan menyetujui dan
memberi surat kuasa kepada Cin Po sebagai seorang kepercayaan kaisar yang
harus diterima dengan kehormatan oleh semua pejabat pemerintah! Juga
pemuda itu menerima hadiah sekantung emas dari kaisar, yang diterima
dengan pernyataan terima kasih.
Kesetiaan Cin Po terhadap pemerintah kerajaan Sung adalah kesetiaan yang
tulus. Dia bekerja tanpa pamrih memperoleh imbalan jasa. Seorang pejuang
yang berpamrih memperoleh imbalan bagi jasanya, pada hakekatnya
bukanlah seorang pejuang karena dia mempergunakan perjuangannya hanya
sebagai cara untuk mendapatkan sesuatu.
Segala macam bentuk perbuatan baik di dunia ini bukan lagi merupakan
kebaikan kalau perbuatan itu dilakukan dengan pamrih apapun juga. Pamrih
dipuji, pamrih dibalas imbalan, pamrih mendapatkan sorga, pamrih mendapatkan uang, pamrih dijauhkan dari kesengsaraan.
Segala macam pamrih ini sebenarnya sama saja. Apa bedanya antara pamrih
mendapatkan uang atau kedudukan dengan pamrih mendapatkan sorga"
462

Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak ada bedanya. Keduanya dianggap akan mendatangkan kesenangan.
Pamrih selalu bertujuan memperoleh kesenangan, melalui pujian, melalui
uang, kedudukan, sorga, beban dosa dan segala macam cara untuk
memperoleh kesenangan. Perbuatan itu baru benar, bukan baik, kalau dilakukan dengan wajar, timbul
dari dasar hati, tanpa pamrih, tidak memandang perbuatan itu sebagai baik
buruk. Hasil atau akibat setiap perbuatan itu pasti ada, seperti orang
menanamkan sesuatu, pasti akan bertunas, berbunga dan berbuah.
Tuhan Maha Adil, hukum sebab akibat akan berjalan terus, berputar terus,
seperti berputarnya bumi dan alam semesta. Akan tetapi perbuatan yang
mengandung pamrih adalah perbuatan palsu. Kebaikan berpamrih adalah
kebaikan palsu dan tentu buahnyapun palsu.
Kita sudah terbiasa melihat keluar, tidak melihat ke dalam. Seorang yang
menyumbangkan uang satu juta disanjung-sanjung, disebut-sebut, sedangkan orang yang menyumbang seribu tidak disinggung-singgung, lewat
begitu saja. Pada hal, apakah penyumbang sejuta itu lebih dermawan dari pada
penyumbang seribu" Belum tentu!
Kalau penyumbang sejuta itu memiliki harta seratus juta, maka sumbangannya itu tidak berarti. Sebaliknya kalau penyumbang seribu itu
hanya memiliki uang dua ribu, maka dialah penyumbang yang dermawan!
Orang biasa melihat lahirnya, tidak menjenguk batinnya. Jauh lebih benar
menjadi penyumbang seribu dengan hati rela dan tanpa pamrih apapun dari
pada menjadi penyumbang sejuta dengan pamrih agar dipuji sebagai
463 dermawan, agar diperhatikan orang, agar masuk
koran, agar kelak mendapatkan sorga dan sebagainya. Palsu semua ini, dan yang palsu itu
kotor, yang palsu itu berdosa!
Cin Po tidak lama tinggal di rumah Menteri Lu Tong Pi. Setelah dua hari tinggal
di situ, dia lalu pamit dan sekali ini, tidak terasa terlalu berat bagi Bwe Kim.
Semenjak gadis ini mendengar dari Cin Po bahwa pemuda itu sudah
mempunyai tunangan, gadis itu menghibur diri sendiri dan menganggap
bahwa pemuda yang amat dikaguminya itu bukanlah jodohnya.
"Y" Cin Po melakukan perjalanan ke timur, memasuki wilayah Wu-yeh untuk
mencari kekasihnya, Ciok Hwa. Dia menduga bahwa Ciok Hwa tentu berada
di Pulau Hiu dan tidak mengikuti ayahnya yang bekerja demi kepentingan
pemerintah kerajaan Wu-yeh. Dan hal ini menyenangkan hatinya.
Cin Po menyewa sebuah perahu dan seorang diri berlayar menuju ke Pulau
Hiu. Dia sama sekali tidak tahu bahwa sejak dia memasuki wilayah Wu-yeh,
telah ada mata-mata musuh yang melihatnya dan diam-diam membayanginya. Karena itu, ketika memasuki perahu dan meluncurkan perahunya, ada perahu
lain, sebuah perahu besar, yang juga meluncur dan mengikutinya. Dan di atas
perahu besar ini terdapat dua orang yang amat marah kepadanya, yaitu Seethian Tok-ong dan Tung-hai Mo-ong.
Kedua orang datuk ini mendengar bahwa yang menggagalkan usaha mereka
mombunuh kaisar adalah Cin Po. Maka, ketika mendengar dari penyelidik
464 bahwa pemuda itu memasuki wilayah Wu-yeh, mereka berdua sendiri turun
tangan membayangi dengan perahu.
Setelah tiba dekat Pulau Hiu, Cin Po yang sedang melamun dan merasa
gembira melihat pulau itu sudah nampak sebagai sebuah titik hitam, tiba-tiba
terkejut melihat sebuah perahu besar hampir menabraknya. Dia bangkit
berdiri dan menegur tukang perahu.
"Hei"..!" akan tetapi tegurannya tidak dilanjutkan ketika dia melihat Seethian Tok-ong dan Tung-hai Mo-ong menjenguk keluar dari perahu besar itu.
"Cin Po, engkau terlalu mencampuri urusan kami. Sekarang engkau harus
mati di tangan kami!" bentak Tung-hai Mo-ong dengan marah.
Tadinya dia memang sudah setuju kalau puterinya menikah dengan pemuda
ini, apa lagi dia telah membuktikan sendiri bahwa kini ilmu kepandaian
pemuda itu sudah hebat sekali. Puterinya berwajah buruk, kalau dapat
menikah dengan pemuda ini, maka hal itu sudah menguntungkan sekali.
Akan tetapi ketika mendengar betapa usahanya membunuh kaisar digagalkan
pemuda ini yang dulu juga telah mendengarkan percakapannya dengan Seethian Mo-ong, hatinya menjadi penuh kemarahan dan kebencian terhadap
pemuda itu. "Paman Kui, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Kalau aku menolong
Kaisar Sung Thai Cung, hal itu sudah menjadi kewajibanku karena aku adalah
kawula Sung. Pula, kalau dua negara bermusuhan, sebaiknya diselesaikan
melalui perang, bukan dengan tindakan curang untuk melakukan pembunuhan kepada kaisarnya. Tidak, paman Kui, aku tidak merasa bersalah
dan aku tidak ingin bermusuhan denganmu!"
465 "Mo-ong, kenapa mesti banyak cakap dengan bocah itu" Mari kita turun
tangan membunuhnya!" teriak See-thian Tok-ong dan begitu tangan kirinya
bergerak, sinar hitam menyambar ke arah Cin Po.
Pemuda ini maklum bahwa Raja Racun dari Barat itu menggunakan senjata
yang pasti beracun, maka diapun cepat mencabut Yang-kiam dan memutar
pedang itu menangkis. Akan tetapi kedua orang kakek itu menggunakan
kesempatan selagi Cin Po menangkisi senjata rahasia itu, sudan melayang
turun ke arah perahu kecil itu.
Cin Po menjadi terkejut dan segera menggerakkan pedangnya untuk
melindungi dirinya. Akan tetapi perahu itu terlampau kecil, kini menahan
tubuh tiga orang yang sedang bertanding, tentu saja menjadi tidak kuat, lalu
miring dan hampir terbalik, membuat ketiganya terlempar dan terjatuh ke
dalam air! Tung-hai Mo-ong yang ahli dalam air segera menangkap lengan rekannya
dibawa meloncat ke atas perahu besar. Akan tetapi Cin Po yang maklum
bahwa kalau tertawan tentu dirinya akan celaka, lalu menyelam dan
membiarkan dirinya terbawa gulungan ombak lautan sehingga sebentar saja
dia sudah jauh dari perahu besar dan tidak nampak lagi oleh ke dua orang
musuhnya. Tung-hai Mo-ong dan See-thian Tok-ong menganggap bahwa pemuda itu
tentu telah tewas tenggelam, lalu melanjutkan perjalanannya.
Cin Po bukan seorang ahli renang yang pandai. Setelah beberapa lamanya
terbawa ombak, dia merasa lelah sekali. Untung dia tidak kehilangan
pedangnya dan sudah menyimpan kembali pedangnya, lalu berusaha untuk
tidak tenggelam dengan menggerak-gerakkan kaki tangannya.
466 Akan tetapi dia telah kehilangan arah, tidak tahu di mana arah Pulau Hiu yang
tadi sudah agak dekat. Dia menjadi bingung dan terpaksa hanya mengikuti
saja ke mana air laut yang bergelombang itu membawanya. Namun
keganasan air membuat dia beberapa kali terpaksa harus menelan air laut
sehingga terasa asin dan membuat kerongkongannya seperti kering.
Tiba-tiba dia melihat sebuah benda terapung tidak jauh dari tubuhnya. Betapa
girangnya melihat bahwa benda itu adalah sebuah perahu terbalik. Itulah
perahunya yang tadi terbalik ketika dia bertanding melawan dua orang datuk
itu. Cepat dia menggerakkan kaki tangan berenang menghampiri dan akhirnya dia
dapat meraih perahu itu. Dia lalu membalikkan perahu itu dan duduk di
dalamnya. Akan tetapi dia sudah kehilangan dayung.
Dan ketika dia melihat ke sekelilingnya, Pulau Hiu tidak nampak lagi. Bahkan
daratan besar nampak jauh sekali, hanya merupakan garis menghitam dari
situ. Betapapun juga, ini sudah merupakan petunjuk dan dia lalu menggerakkan perahu sedapatnya, menggunakan lengannya sebagai dayung
menuju ke garis hitam itu.
Entah berapa lama dia akan mencapai pantai karena setiap kali perahunya
terdorong dan terbawa ombak. Tenaga kedua tangannya untuk mendayung
hampir tidak ada artinya. Cin Po merasa cemas juga.
Tiba-tiba nampak sebuah perahu hitam meluncur cepat. Cin Po merasa
khawatir, mengira bahwa penumpang perahu itu musuh-musuhnya dan di
atas air itu dia merasa tidak berdaya. Ilmu silatnya tidak banyak menolong
kalau perahunya terguling. Akan tetapi setelah perahu mendekat, hampir dia
467 bersorak saking girangnya. Penumpang perahu itu adalah Ciok Hwa,
kekasihnya! "Hwa-moi?"!" Serunya girang bukan main. Akan tetapi gadis yang memakai
cadar menutupi mukanya itu tidak menyambutnya dengan seruan girang.
"Twako, mengapa engkau selalu membuat ayahku marah kepadamu?" ia
malah menegur. "Akan tetapi aku?"."
"Sudahlah, cepat pindah ke perahu ini. Akan kuantarkan engkau ke pantai,"
kata Ciok Hwa, suaranya terdengar seperti seorang yang berduka.
Memang gadis ini merasa berduka. Ayahnya marah bukan main kepadanya,
marah karena Cin Po telah menggagalkan rencana ayahnya yang membela
kepentingan kerajaan Wu-yeh. Ayahnya memaki-maki Cin Po dan melarang
ia berhubungan lagi dengan pemuda itu, apalagi berjodoh!
"Hwa-moi, kalau ayahmu marah kepadaku, itu sama sekali bukan karena
salahku, bukan karena aku memusuhinya." Cin Po mencoba untuk menghibur
hati kekasihnya yang nampak murung dari sikapnya yang diam saja sambil
mendayung perahunya. "Tidak memusuhi akan tetapi selalu menantangnya. Ayah marah sekali
kepadamu karena semua rencananya gagal karena engkau, demikian kata
ayah." "Hwa-moi, tahukah engkau dalam hal apa aku menggagalkan rencana
ayahmu?" 468 "Aku tidak tahu, dan tidak ingin tahu. Aku hanya menghendaki agar engkau
tidak menantang ayahku, twako. Bagaimana mungkin ayah dapat merestui
hubungan kita kalau engkau selalu menentangnya dan membuat ayah marah
dan benci kepadamu?"
"Aku tidak menentang kepribadian ayahmu, akan tetapi apa yang dia
rencanakan itu, tentu saja aku harus menentangnya. Dia bersekutu dengan
See-thian Tok-ong dari Hou-han untuk membunuh Kaisar Sung Thai Cung.
Melihat kenyataan ini, tentu saja aku mencegahnya. Aku adalah kawula Sung,
melihat kaisarnya akan dibunuh, apakah aku harus berdiam diri saja!"
"Ahhh......, ayah tidak bicara tentang itu kepadaku!"
"Tentu saja. Itu merupakan rahasia besar. Agaknya kerajaan Wu-yeh
bersekutu dengan Hou-han dan merencanakan untuk membunuh kaisar Sung
kemudian dalam keadaan kacau itu mereka berdua akan mengerahkan
pasukan untuk menggempur kerajaan Sung. Itulah sebabnya maka aku
menggagalkan usaha pembunuhan itu, Hwa-moi. Salahkah aku?"
Ciok Hwa menghentikan gerakan dayungnya sehingga perahu itu berhenti,
terapung-apung di atas air lautan. Ia menghela napas dan menundukkan
mukanya. "Aku bingung, twako. Kalau mendengarkan keteranganmu, aku memang tidak
dapat menyalahkanmu. Akan tetapi ayah juga membela Wu-yeh, kami kawula
Wu-yeh. Aih, perang memang amat jahat, twako. Aku membenci perang!"
"Akupun membencinya, Hwa-moi. Akan tetapi kita tidak berdaya, kita terlibat.
Kau tahu, Hwa-moi, kaisar Sung hendak memberikan kedudukan panglima
kepadaku, akan tetapi kutolak. Aku tidak mau terlibat langsung, aku tidak
469 ingin perang, kalau tidak terpaksa sekali. Bagaimana, Hwa-moi, dapatkah
engkau memaafkan aku bahwa, aku telah mengecewakan hati ayahmu?"
Mendengar ini, Ciok Hwa malah menangis di balik cadarnya. Suara tangisnya
jelas terdengar, isak tertahan dan ke dua pundaknya bergoyang-goyang.
"Hwa-moi kau kenapakah?"
"Ayah telah marah sekali, dia memutuskan agar aku tidak lagi mengadakan
hubungan denganmu, twako, atau dia tidak akan mengakuiku sebagai anak
lagi. Akan tetapi aku..... aku......" Cin Po merangkul dan kini meledaklah,
tangis Ciok Hwa di dada kekasihnya.
"Hwa-moi, tenangkanlah hatimu. Percayalah, aku cinta padamu seorang dan
aku bersumpah tidak akan menikah dengan wanita lain kecuali engkau!"
Hiburan ini menenangkan hati Ciok Hwa dan kini Cin Po yang menggantikannya mendayung perahu sampai mereka tiba di tepi pantai.
Keduanya, melompat ke darat dan Cin Po menarik perahu itu ke darat.
Akan tetapi baru saja mereka mendarat, secara tiba-tiba muncul Tung-hai Moong dan See-thian Tok-ong.
"Bocah setan, engkau masih belum tewas?" bentak See-thian Tok-ong yang
terkejut juga melihat Cin Po Masih hidup.
"Ciok Hwa, apa yang kaulakukan ini" Aku sudah melarangmu!" bentak Tunghai Mo-ong.
470 "Ayah, aku..... aku cinta padanya........" Ciok Hwa membuat pengakuan yang
membuat ayahnya semakin marah akan tetapi pengakuan itu mendatangkan
rasa bangga dan girang di dalam hati Cin Po.
"Anak durhaka........" Tung-hai Mo-ong lalu menampar ke arah muka Ciok
Hwa yang bercadar. "Dukkk".." Lengan datuk itu bertemu dengan lengan Cin Po yang sudah
menangkis pukulan itu karena dia melihat kekasihnya sama sekali tidak
berusaha mengelak. Tangan Tung-hai Mo-ong terpental ketika ditangkis pemuda itu dan dia
menjadi semakin marah. Sementara itu, See-thian Tok-ong juga sudah marah
dan dia menyerang Cin Po dengan pukulan yang beracun.
Namun Cin Po sekarang bukanlah Cin Po dahulu yang pernah dipukulnya
roboh. Dengan mudah Cin Po mengelak dari pukulan itu dan ketika pukulan
kedua melayang, pemuda itu menggerakkan tangan menangkis sambil


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerahkan sin-kangnya. "Desss?"!" Dan akibat pertemuan dua tenaga itu, See-thian Tok-ong
terhuyung ke belakang. Datuk ini terkejut dan juga marah sekali, bersama
Tung-hai Mo-ong dia lalu maju lagi dan tanpa malu-malu ke duanya
mengeroyok pemuda yang lihai itu!
Cin Po menggunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini
sambil mencari kesempatan untuk membalas. Akan tetapi dia mendengar
teriakan kekasihnya. "Twako, jangan lawan ayahku. Mengalah dan pergilah, twako!"
471 Mendengar suara kekasihnya yang demikian lemah mengandung tangis, Cin
Po tidak tega dan diapun melompat jauh ke belakang lalu berkelebat lenyap,
melarikan diri dari tempat itu. Terdengar suaranya dari jauh disertai
pengerahan khi-kang, "Selamat berpisah, Hwa-moi!"
Dua orang datuk itu tidak melakukan pengejaran. Agaknya mereka maklum
bahwa mereka tidak akan mungkin dapat mengejar dan menyusul pemuda
yang memiliki ilmu meringankan tubuh sedemikian hebatnya.
Tung-hai Mo-ong memandang kepada puterinya. "Kembali kau ke Pulau Hiu
dan awas, sekali lagi aku melihat engkau berhubungan dengan Cin Po, engkau
akan kubunuh!" Setelah berkata demikian, Tung-hai Mo-ong lalu pergi dari situ bersama Seethian Tok-ong.
Ciok Hwa masih berdiri dan menangis. Hatinya terasa berat dan bingung. Di
satu pihak ia tidak ingin melihat ayahnya marah dan membencinya, di lain
pihak ia tidak mungkin dapat memutuskan hubungannya dengan Cin Po.
Ia terlalu mencinta pemuda itu! Cintanya terhadap pemuda itu amat besar
dan tulus ikhlas. Hal ini bukan saja karena ia merasa suka dan kagum kepada
pemuda itu, karena ketampanannya, karena kesederhanaannya, karena
kebaikan budinya, atau karena ilmu kepandaiannya, melainkan terutama
sekali karena cinta pemuda itu kepadanya!
Ciok Hwa merasa yakin sekali akan cinta kasih pemuda itu kepadanya. Ia
merasa yakin bahwa ia tidak akan dapat menemukan cinta kasih seorang
pemuda yang seperti itu kepadanya. Cin Po tentu benar-benar mencintanya,
dan hal ini amat mengharukan hatinya.
472 Setiap orang pria, tua ataupun muda, akan merasa jijik dan takut melihat
wajahnya yang demikian buruk. Akan tetapi Cin Po bukan jijik, bahkan
pemuda itu terang-terangan menyatakan cintanya kepadanya. Cinta karena
kepribadiannya, bukan karena sekadar wajah cantik.
Bahkan pemuda itu baru saja bersumpah tidak akan menikah dengan wanita
lain kecuali ia! Bagaimana mungkin ia akan dapat menjauhi pemuda seperti
itu" Apa yang dipikirkan Ciok Hwa memang benar. Cinta asmara antar pria dan
wanita memang selalu mengandung nafsu yang mendorongnya. Karena itu,
maka ketampanan dan kecantikan memegang peran penting sekali dalam
cinta kasih mereka. Maka, melihat betapa Cin Po tetap mencintanya walaupun
telah melihat betapa wajahnya cacat dan buruk menjijikkan, tentu saja hati
Ciok Hwa merasa terharu dan iapun menumpahkan seluruh perasaan cinta
kasihnya kepada pemuda itu.
Cinta kasih kita kepada orang lain selalu mengandung nafsu ingin senang
sendiri. Kita boleh jadi tidak merasakan hal ini, akan tetapi kalau kita suka
bercermin dan meneliti keadaan dalam hati kita sendiri, maka akan jelaslah
bahwa seperti juga dalam hal-hal lain dalam kehidupan ini, nafsu juga sudah
menyusup ke dalam perasaan yang kita namakan cinta itu, bahkan kita
namakan cinta suci. Kita mengaku mencinta suami, isteri, ataupun pacar. Benarkah cinta kita itu
tulus dan ikhlas" Tidakkah terdapat pamrih yang besar tersembunyi di balik
cinta itu" 473 Kita mencinta, akan tetapi kita menghendaki imbalan yang lebih besar lagi.
Kita ingin dia yang kita cinta itu juga mencinta kita, melayani kita, menurut
kita, pendeknya menyenangkan kita.
Bagaimana kalau yang kita cinta itu membenci kita, mengacuhkan kita, tidak
menyenangkan hati kita" Masih akan adakah cinta kita itu"
Demikian pula dengan cinta terhadap anak. Kita menganggap cinta kita itu
murni, bersih dari segala pamrih. Benarkah itu" Bagaimana kalau anak kita
itu durhaka terhadap kita, tidak berbakti, bahkan membenci kita dan melawan
kita" Akan tetap adakah cinta kita terhadap anak yang demikian itu"
Jangan lagi cinta terhadap seorang sahabat. Kita cinta kepada seorang
sahabat karena dia baik kepada kita, karena dia menyenangkan kita,
menguntungkan kita. Coba andaikata sahabat itu tidak menyenangkan,
merugikan kita, masih adakah cinta kita itu"
Cinta yang hinggap di hati kita manusia hanyalah cinta nafsu. Cinta kasih yang
sesungguhnya suci dan murni hanyalah cinta Tuhan kepada semua umatNya!
Cintanya tak terbatas dan melimpah ruah. Tuhan adalah Cinta!
Dosa manusia tak terhitung banyaknya, setiap saat manusia membuat dosa.
namun Tuhan tak pernah melepaskan cintanya terhadap diri manusia, tetap
dipeliharanya, tetap dihidupkannya. Bahkan orang yang sejahat-jahatnya pun
di dunia ini masih tetap menikmati karunia cintanya. Tuhan tidak, pernah
menginginkan sesuatu, apa lagi imbalan. Terpujilah Nama Tuhan dengan cinta
kasihnya yang sejati. "Y" 474 Cin Po melakukan perjalanan cepat pulang ke kota raja Hang-cou,
menggunakan surat kekuasaannya untuk menghadap kaisar dan setelah
menghadap Kaisar Sung Thai Cung, dia melaporkan tentang penyelidikannya.
"Tidak dapat diragukan lagi, Yang Mulia. Kerajaan Wu-yeh bersekutu dengan
kerajaan Hou-han dan hal ini akan merupakan bahaya besar bagi kerajaan
Sung. Mereka dapat serentak menyerang dari arah timur dan selatan.
Terutama sekali bangsa Wu-yeh kelihatan amat bersemangat untuk merebut
kerajaan paduka." Mendengar laporan ini, Kaisar Sung Thai Cung segera memanggil semua
menteri dan panglimanya, termasuk pula Kok-su, untuk diajak berunding.
Biarpan Kok-su mengusulkan agar mengajak ke dua negara itu berdamai
dengan mengirim upeti hadiah yang besar, namun sebagian besar para
menteri dan panglima mengusulkan kepada kaisar bahwa sudah tiba saatnya
untuk membasmi ke dua musuh yang selalu mengganggu perbatasan itu.
Kaisar akhirnya menurut dan segera pasukan besar dikerahkan dan
berangkatlah pasukan dipimpin oleh panglima besar Ciu Kok Ciang menyerang
ke kerajaan Wu-yeh. Cin Po juga ikut dalam pasukan itu, akan tetapi bukan untuk berperang. Dia
tidak suka akan perang dan kalau dia pergi mengikuti pasukan besar itu
adalah karena dia teringat akan kekasihnya dan mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya. Kalau Ciok Hwa tetap tinggal di pulau Hiu, ia tentu akan selamat. Akan tetapi
bagaimana kalau gadis itu dipaksa ayahnya dan ikut pula bertempur" Karena
475 itulah dia ikut untuk melindungi kekasihnya, kalau-kalau gadis itu ikut dalam
pertempuran. Pasukan Wu-yeh yang berjaga di perbatasan menjadi terkejut sekali ketika
tiba-tiba muncul pasukan Sung yang amat besar jumlahnya. Pertempuran
terjadi dengan hebatnya, akan tetapi hanya sebentar karena pasukan Wu-yeh
yang jauh kalah besar jumlahnya itu dapat didesak mundur. Pasukan Sung
terus menggempur dan maju sampai ke kota raja Wu-yeh.
Perang terjadi di mana-mana dan seperti biasanya, kalau terjadi perang, maka
rakyatlah yang menderita paling hebat. Bahkan pasukan sendiri dapat
menjadi musuh dengan tiba-tiba karena mereka yang berperang itu seperti
kehausan darah. Mungkin karena perasaan takut yang menyelinap di hati membuat pasukan
menjadi kejam dan berprasangka. Mereka merampoki rakyat dengan tuduhan
membantu musuh. Belum lagi pasukan yang menyerang. Kemenangan
membuat mereka mabok dan agaknya bagi yang menang, perbuatan apa saja
halal. Cin Po yang ikut dengan pasukan itu melihat ini semua. Dia tentu selalu turun
tangan mencegah dan melarang kalau melihat sendiri ada pasukan yang
menindas rakyat, akan tetap bagaimana mungkin dia seorang diri mencegah
terjadinya semua kebuasan itu" Dia hanya dapat berduka dan penasaran
sekali melihat kesengsaraan rakyat jelata yang dusun atau kotanya dilanda
perang. Pasukan Sung terus maju menuju ke kota raja. Wu-yeh adalah sebuah
kerajaan kecil dan pasukannyapun tidak berapa besar. Karena itu, mereka
kewalahan menghadapi penyerbuan pasukan Sung yang jumlahnya jauh lebih
476 besar. Akhirnya, pertahanan dipusatkan di kota raja dan di sini terjadilah
pertempuran yang paling hebat.
Bahkan Tung-hai Mo-ong sendiri ikut mempertahankan kota raja ini. Namun,
betapapun lihainya Tung-hai Mo-ong, menghadapi pasukan yang banyak dan
di antara para perwira Sung terdapat banyak orang yang lihai maka akhirnya
pertahanan itu bobol dan Tung-hai Mo-ong sendiri menderita luka-luka parah
yang memaksa dia untuk melarikan diri!
Istana kerajaan Wu-yeh jatuh ke tangan pasukan Sung dan semua
perlawanan pun berhenti. Kerajaan Sung menang dan seluruh wilayah Wuyeh terjatuh ke tangan kerajaan Sung.
Cin Po yang tidak ikut berperang, tiba-tiba melihat seorang kakek tinggi kurus
menggunakan ilmu berlari cepat. Kakek itu berlari cepat sekali akan tetapi dia
terhuyung-huyung maka cepat dia pergi mengejarnya.
Setelah dekat, dia melihat bahwa kakek itu adalah Tung-hai Mo-ong! Dan pada
saat dia dapat menyusulnya, kakek itu tidak kuat lagi dan terguling roboh,
pingsan! Cin Po cepat memeriksanya. Dia menggeleng kepala dan menarik napas
panjang. Luka-luka yang diderita kakek itu parah sekali. Agaknya tubuhnya
telah menjadi sasaran banyak senjata dan terutama sekali dia mendapat
pukulan-pukulan yang membuatnya terluka di sebelah dalam tubuhnya.
Cin Po lalu menggendong tubuh itu, dibawanya masuk ke dalam hutan agar
jangan terlihat orang bahwa dia menolong seorang tokoh bear di pihak musuh.
477 Setelah berada di dalam hutan, dia merebahkan tubuh kakek itu di atas
rumput, kemudian menempelkan ke dua tangannya di dada kakek itu dan dia
mengerahkan sin-kang untuk membantu kakek itu.
Tak lama kemudian, Tung-hai Mo-ong mengeluh dan membuka matanya.
Ketika melihat siapa yang menolongnya, kembali dia mengeluh.
"Paman Kui Bhok, harap jangan banyak bergerak, engkau terluka parah
sekali. Biarkan aku berusaha mengobatimu!"
Kakek itu merintih. "Percuma. Habis semua sudah. Bantu aku duduk, Cin Po."
Terpaksa Cin Po menghentikan pengobatannya dan merangkul kakek itu,
dibantunya duduk. Napas kakek itu tinggal satu-satu dan ia berkata,
"Cin Po, engkau anak yang baik".. engkau masih suka membantuku...... Aku
sekarang mengerti, mengapa Ciok Hwa mati-matian mencintaimu. Engkau
anak baik...... aku titip Ciok Hwa kepadamu...... Jadikanlah ia seorang isteri
yang baik...... auhhh...."
"Paman, di mana Ciok Hwa" Di Pulau Hiu?"
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Tidak".. ia lari lagi karena aku melarang
ia berhubungan denganmu........ Ia lari entah ke mana, kau".. kau".. carilah
sampai dapat......." Kakek itu terkulai dan tewaslah dia.
Cin Po menghela napas. Dia merasa bingung dan sedih sekali mendengar Ciok
Hwa tidak berada di Pulau Hiu. Ke mana perginya gadis itu"
478 Dia merasa khawatir sekali kalau-kalau gadis itu terlibat dalam pertempuran
pula. Dia tidak dapat melakukan apa-apa lagi terhadap Tung-hai Mo-ong Kui
Bhok kecuali mengubur jenazahnya.
Dia lalu menggali lubang di hutan itu juga dan mengubur jenazah kakek itu.
Kemudian dia menggulingkan sebuah batu besar, diletakkan di depan makam
sebagai batu nisan agar kelak kalau dia dapat bertemu dengan Ciok Hwa dia
akan dapat mengajak gadis itu berkunjung ke makam ayahnya.
Perang itu selesai dan pasukan pulang membawa kemenangan besar. Cin Po
juga ikut pulang ke Hang-cou. Kaisar girang sekali mendengar laporan akan
kemenangan itu dan kaisar membagi-bagi hadiah dan kenaikan pangkat.
Setelah selesai pembagian hadiah, dalam perundingan selanjutnya, Panglima
Ciu Kok Ciang melapor kepada kaisar,
"Yang Mulia, setelah pasukan paduka mengadakan serangan ke Wu-yeh,
maka terbuktilah bahwa kerajaan Wu-yeh yang selama ini menjadi sebab
kekacauan di perbatasan, hanya merupakan kekuatan yang amat kecil saja
dan dengan mudah dapat ditalukkan.
"Oleh karena itu, mengingat bahwa kerajaan Wu-yeh telah bersekutu dengan
kerajaan Hou-han untuk merobohkan kerajaan Sung, kalau menurut pendapat
hamba, sebaiknya kalau mempergunakan kesempatan ini untuk melanjutkan
pembersihan ke Hou-han. Hamba sanggup memimpin pasukan untuk
menundukkan kerajaan Hou-han yang juga merupakan duri di dalam daging."
Mendengar laporan itu, suasana menjadi hening dan sebagian besar para
menteri dan panglima mengangguk setuju. Cin Po yang mendengarkan juga
diam-diam merasa setuju. Kalau Hou-han sudah dapat ditundukkan, berarti
479 musuh Sung hanya tinggal dua, yaitu Khi-tan dan Nan-cou, berarti
mengurangi bahaya yang mengepung kerajaan Sung.
Akan tetapi tiba-tiba Kok-su berkata dengan suaranya yang lantang, "Mohon
ampun kalau hamba berani mengemukakan pendapat hamba, Yang Mulia."
Kata-kata ini membuat semua orang memandang kepada Lauw Thian Sengcu, Kok-su yang berpengaruh itu.
"Bicaralah, Kok-su," kata kaisar.
"Menurut pendapat hamba, sungguh tidak bijaksana kalau sekarang kita
menyerang Hou-han. Baru saja pasukan mendapat kemenangan, akan tetapi
tidak berarti bahwa pasukan tidak lelah. Kita telah kehilangan banyak pasukan
yang tewas dan terluka. "Dalam keadaan lelah, perlukah dibebani lagi dengan penyerangan ke Houhan" Sebaiknya ditunda dulu dan disusun lagi pasukan yang lebih kuat, baru
beberapa waktu kemudian mengadakan penyerangan ke Hou-han."
Kaisar mengangguk-angguk, lalu memandang kepada para panglima.
"Usul itu baik juga, bagaimana pendapat kalian para panglima?"
Panglima Ciu Kok Ciang menjawab, "Hamba kira kekhawatiran Kok-su itu tidak
beralasan. Pasukan yang menang perang justeru sedang dalam keadaan
bersemangat tinggi, dan sebaliknya, pasukan Hou-han yang tentu sudah
mendengar akan kemenangan kita atas Wu-yeh tentu sedang dalam keadaan
gelisah dan khawatir. 480 "Sekaranglah saat terbaik untuk memukul mereka. Kalau dibiarkan sampai
lain waktu, hamba khawatir Hou-han akan menghimpun kekuatan yang lebih
besar untuk berjaga diri, dan kalau hal itu terjadi, tentu tidak mudah bagi kita
untuk menundukkan Hou-han."
Kembali kaisar mengangguk-angguk. "Bagaimana pendapat para Menteri dan
panglima yang lain?"
Ternyata semua menteri dan panglima mendukung usul Panglima Ciu, maka
akhirnya kaisar memutuskan untuk sekarang juga mengirim pasukan ke
kerajaan Hou-han dan menundukkan kerajaan itu. Dan kembali Cin Po
mendapat perintah dari kaisar sendiri untuk membantu Panglima Ciu.
Dengan hati berat sekali Cin Po menerima tugas ini. Sebetulnya dia sedang
bersedih karena mengingat Ciok Hwa. Dia belum tahu di mana adanya Ciok
Hwa dan bagaimana keadaannya setelah berakhir perang di Wu-yeh.
Dia ingin sekali pergi mencari Ciok Hwa sampai dapat, akan tetapi dia
menerima perintah kaisar yang tidak berani dia tolak. Dia harus berangkat ke
Hou-han bersama pasukan! Setelah diperkenankan bubaran, Cin Po pergi ke taman umum di kota raja dan
duduklah dia di bangku taman itu seorang diri melamun. Pasukan baru
diberangkatkan besok, akan tetapi dia tidak mempunyai waktu untuk pergi
mencari Ciok Hwa. Mungkin membutuhkan waktu lama untuk dapat
menemukan kekasihnya itu.
Dia merasa seluruh tubuhnya lemas dan semangatnya melayang kalau
teringat kepada Ciok Hwa. Mendiang Tung-hai Mo-ong mengatakan dengan


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

481 jelas bahwa Ciok Hwa tidak berada di Pulau Hiu, sudah melarikan diri karena
dimarahi ayahnya yang melarang ia berhubungan dengan dia.
Ke mana perginya gadis itu" Pergi dalam keadaan negara sedang perang itu
amat mengkhawatirkan hatinya.
Dari mana timbulnya kekhawatiran" Kekhawatiran timbul dari pikiran yang
mengada-ada, membayangkan yang bukan-bukan, membayangkan hal yang
belum terjadi. Seperti seorang yang sehat, kalau ada wabah membayangkan
dirinya terkena wabah penyakit dan diapun khawatirlah.
Kalau dirinya sudah terkena penyakit, maka kekhawatiran terhadap penyakit
itupun, tidak ada lagi. Yang menimbulkan kekhawatiran adalah hal yang
belum terjadi lagi, misalnya khawatir kalau penyakitnya tidak akan sembuh
dan membawanya ke kematian! Demikian selanjutnya.
Berbahagialah orang yang tidak membayangkan apa yang akan terjadi,
melainkan pasrah kepada Kekuasaan Tuhan dan hanya menghadapi apa
adanya saja, soal nanti bagaimana nanti, dan diapun akan terbebas dari
kegelisahan dan kekhawatiran.
Duka timbul dari perasaan iba diri. Karena memikirkan kekasihnya, khawatir
kalau kekasihnya tertimpa malapetaka sehingga dia akan ditinggalkan
kekasihnya, maka timbullah iba diri yang mendatangkan duka dalam hati Cin
Po. Orang yang berduka di kala kematian orang yang disayang juga berduka
karena iba diri. Dia kehilangan yang tercinta, dia ditinggalkan yang tercinta,
maka timbullah iba diri dan duka.
482 Berbahagialah orang yang tidak mementingkan diri sendiri, yang tidak selalu
memikirkan dirinya sehingga dapat menerima apa adanya dan bersikap wajar,
karena dia tidak akan dihinggapi iba diri dan bebas dari pada duka. Mengapa
duka kehilangan sesuatu yang dianggap menjadi miliknya"
Kita manusia tidak memiliki apa-apa, bahkan dirinya sendiripun bukan
miliknya, sewaktu-waktu dapat saja lenyap atau mati! Berbahagialah orang
yang batinnya tidak memiliki apa-apa, yang batinnya tidak terikat dengan
apapun, karena hanya batin yang bebas demikianlah yang akan mampu
mengenal apa artinya bahagia.
"Y" Kembali terjadi perang! Sekali ini, pasukan Sung menyerang ke selatan, ke
daerah yang diduduki kerajaan Hou-han, yaitu di daerah Shan-si. Dan sekali
ini perang terjadi dengan hebatnya karena selain pasukan Hou-han lebih besar
jumlahnya dibandingkan pasukan Wu-yeh, juga mereka telah membuat
persiapan lebih dulu. Begitu mendengar bahwa sekutu mereka, yaitu Wu-yeh telah digempur dan
diduduki oleh pasukan Sung, kerajaan Hou-han sudah merasa khawatir kalaukalau Hou-han mendapatkan gilirannya. Maka, mereka segera menyusun
kekuatan dan berjaga-jaga sehingga ketika pasukan Sung benar-benar
menyerang, mereka dapat melakukan perlawanan yang gigih.
Pertempuran berlangsung sampai berbulan-bulan. Cin Po yang juga berada di
pasukan Sung, tidak ikut bertempur dan seperti biasa, dia lebih banyak
mengurus penduduk yang lari mengungsi dan mencegah rakyat terganggu,
baik oleh pasukan Sung maupun pasukan Hou-han.
483 Pada suatu hari dia melihat pertempuran antara dua kelompok pasukan Sung
melawan pasukan Hou-han. Seperti biasanya, Cin Po tidak ingin terlibat
pertempuran, akan tetapi ketika dia melihat See-thian Tok-ong muncul dan
mengamuk, membunuhi banyak perajurit Sung, dia tidak dapat tinggal diam
saja. "See-thian Tok-ong, akulah lawanmu!" bentaknya dan dia sudah melompat ke
depan kakek itu. Kakek tinggi besar bermuka hitam dan bersorban itu marah sekali melihat Cin
Po. Tadinya dia mengamuk menggunakan ke dua tangannya yang besar
panjang membunuhi para perajurit, akan tetapi begitu berhadapan dengan
Cin Po, dia mencabut senjatanya yang mengerikan, yaitu sebatang pedang
melengkung yang berkilauan saking tajamnya.
Cin Po maklum akan kelihaian datuk dari barat itu, maka diapun telah
mencabut Yang-kiam dari punggungnya.
"Bocah setan, kembali engkau yang berani menentangku. Engkau telah
menggagalkan semua rencana kami, sekarang bersiaplah untuk mampus di
tanganku!" See-thian Tok-ong membentak.
"Tok-ong, dosamu sudah bertumpuk-tumpuk. Agaknya sekali ini engkau yang
akan mengakhiri hidupmu, bukan aku!" kata Cin Po dengan sikap tenang,
sama sekali tidak terpancing kemarahan oleh ucapan kakek itu.
"Mampuslah!" bentak pula See-thian Tok-ong dan dia mengeluarkan teriakan
menyeramkan. 484 Kalau bukan Cin Po diserang oleh teriakan yang mengandung kekuatan ilmu
hitam itu saja sudah cukup untuk merobohkannya. Akan tetapi pemuda
berpakaian serba putih ini sudah menerima gemblengan dari Bu Beng Lojin,
sudah menguasai kekuatan sihir yang dahsyat, maka teriakan itu ditolaknya
dan dia tidak terpengaruh. Ketika pedang melengkung menyambar lehernya,
dia cepat mengelak dengan langkah ke belakang dan mengelebatkan Yangkiam di tangannya untuk menangkis.
"Cring?". trang-trang"..!" Beberapa kali pedang itu bertemu pedang
melengkung dan menimbulkan percikan bunga api.
See-thian Tok-ong merasa betapa tangannya tergetar hebat, maka dia
menjadi semakin penasaran. Tiba-tiba dia menyerang lagi dengan sabetan
pedangnya dan ketika Cin Po mengelak, tangannya mulur panjang dan pedang
itu, tetap mengejar. Cin Po menggerakkan pedangnya menangkis dan ketika pedang lawan
terpental, pedangnya menyambar ke arah lengan yang berubah panjang itu.
Cepat See-thian Tok-ong menarik kembali tangannya, kemudian sekali tangan
kirinya bergerak, sebatang benda hitam meluncur ke arah dada Cin Po.
Pemuda ini maklum bahwa pisau terbang itu tentu mengandung racun yang
jahat sekali, maka dia tidak berani menyambut dengan tangannya melainkan
mengelak. "Crapp?"!" Pisau yang terbang lewat itu mengenai tubuh seorang perajurit
Sung yang segera roboh dan seketika tubuhnya menjadi hitam seperti arang!
Kucing Suruhan 5 Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Pendekar Gelandangan 10

Cari Blog Ini