Ceritasilat Novel Online

Tenda Biru Candi Mendut 1

Boma Gendeng 6 Tenda Biru Candi Mendut Bagian 1


BASTIAN TITO BOMA GENDENK TENDA BIRU CANDI MENDUT
Sumber: Bastian Tito
EBook: fujidenki E-mail : guruh@fdk.co.jp
BOMA GENDENK TENDA BIRU CANDI MENDUT
1 MENYEKAP DWITA MEMBUNUH BOMA
NGIN kencang yang mengeluarkan deru menggidikkan
menyapu kawasan Candi Borobudur. Dalam keadaan seperti Aitu satu kejadian luar
biasa berlangsung di bagian selatan bangunan raksasa yang didirikan tahun 800
Masehi itu. Sejak candi ini dibangun, agaknya baru kali inilah terjadi peristiwa
seperti itu. Di bawah pandangan mata ratusan pengunjung, antara lain
rombongan guru dan para pelajar SMU Nusantara III, tiga orang terlibat dalam
pertarungan maut. Mereka adalah Pangeran Matahari, Pendekar 212 Wiro Sableng dan
Boma Tri Sumitro pelajar Kelas II-9 SMU Nusantara III. Secara aneh dan entah
bagaimana kejadiannya Pangeran Matahari menyekap Dwita Tifani dalam sebuah
Stupa. Wiro dan Boma berusaha membebaskan anak
perempuan ini . Di bawah deru angin kencang yang menyapu permukaan candi, Pangeran Matahari
lepaskan pukulan Telapak Matahari ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng musuh
bebuyutannya. Dari telapak tangan pemuda itu menderu satu gelombang angin panas
disertai suara mendesis menggidikkan. Jangankan manusia, seekor gajah sekalipun
akan leleh dihantam pukulan ini. Pohon atau batu akan hancur hangus berkepingkeping. Serangan ganas ini dilepas Pangeran Matahari dari tempatnya berdiri di
samping Arca Amoghasidi di puncak selatan Candi Borobudur.
Dari, kuda-kuda sepasang kaki serta gerakan tangan waktu melancarkan pukulan,
jelas Pangeran Matahari hendak
menghantam Pendekar 212 Wiro Sableng yang berada beberapa langkah di hadapannya.
Tetapi setengah jalan dengan kecepatan luar biasa dan tidak terduga Pangeran
Matahari merubah gerakan.
Pukulan maut Telapak Matahari kini diarahkan pada Boma Tri Sumitro! Berarti
memang anak lelaki inilah sebenarnya yang menjadi sasaran pukulan maut sang
Pangeran! Dalam kagetnya Wiro berteriak.
"Boma! Awas!"
Boma juga kaget. Tapi anak ini masih bisa menguasai diri. Malah membuat satu
gerakan mengelak dengan memiringkan tubuh lalu kaki kirinya melesat ke udara,
menyambar ke arah dada Pangeran Matahari.
Boma tidak sadar bahaya apa yang tengah dihadapinya. Dia tidak tahu pukulan
sakti apa yang menghantam ke arahnya.
Sebelumnya, sewaktu Pangeran Matahari mendatanginya di SMU Nusantara III, Boma
memang pernah menghajar pemuda itu dengan pukulan tangan kiri hingga telinga
kanan lawan mengucurkan darah dan salah satu tulang iganya patah. Saat itu dia mampu
melakukan karena sosoknya tidak kelihatan. Karena dia mengandalkan kesaktian
Batu Penyusup Batin yang dimasukkan Sinto Gendeng ke dalam tubuh di bawah tulang
belikat bahu kanannya. Tapi kali ini keadaan berbeda. Sosok Boma terlihat jelas.
Ilmu apapun yang telah diterimanya dari Sinto Gendeng tidak mungkin
menyelamatkannya dari pukulan maut Telapak Matahari.
Kakinya yang menendang, bahkan sekujur tubuhnya akan hancur hangus, leleh,
dihantam pukulan Pangeran Matahari.
Boma berteriak keras ketika angin pukulan yang menyambar masih tiga langkah dari
hadapannya membuat sekujur tubuhnya terasa seperti dipanggang.
"Celaka!" ucap Wiro. Secepat kilat dia melompat mendorong bahu kiri Boma hingga
anak ini terpental ke bawah Stupa, terhenyak di batu keras. Orang banyak dan
teman-teman Boma berpekikan. Beberapa diantara mereka mendekati anak ini
berusaha menolong tapi Wiro berteriak keras.
"Menyingkir semua! Lari! Menjauh!"
Sambil melompat ke atas menghindari sambaran angin pukulan Pangeran Matahari,
Wiro dorongkan dua tangannya ke arah orang-orang yang ada pada jalur hantaman
serangan. Belasan orang yang ada di depan sana, diantaranya beberapa pelajar SMU
Nusantara III mental bergulingan dilanda dua rangkum gelombang angin yang keluar
dari telapak tangan Wiro kiri kanan. Hanya dengan mengeluarkan pukulan Benteng
Topan Melanda Samudera itulah Wiro berhasil menyelamatkan orang-orang itu. Waktu
memukul dia sengaja mengerahkan sedikit tenaga dalam saja agar tidak ada yang
cidera. Wiro memang berhasil menyelamatkan Boma dan belasan orang dari hantaman pukulan
Telapak Matahari, namun pukulan sakti yang lolos itu sesaat lagi pasti akan
menghantam Stupa di bawah sana, terus melabrak dinding candi yang penuh dengan
rilief. "Ya Tuhan!" seru Pendekar 212. Dia tidak mampu berbuat suatu apapun untuk
menyelamatkan Stupa dan dinding candi. Kerusakan dan kehancuran yang akan
terjadi pasti luar biasa hebatnya.
"Pangeran Jahanam! Aku memang tidak bisa mencegahmu merusak warisan leluhur!
Tapi untuk itu aku bersumpah
membunuhmu saat ini juga!"
Wiro tiup telapak tangan kanannya. Detik itu juga di telapak tangan itu muncul
gambar seekor harimau putih dengan sepasang mata berwarna hijau. Sang pendekar
mengeluarkan Pukulan Harimau Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh.
Dengan pukulan ini Wiro sanggup menghancurkan apa saja. Untuk melancarkan
serangan itu Wiro pergunakan jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung. Gebukan tangan
kanannya yang mengandung aji kesaktian Harimau Dewa laksana kilat berkelebat ke
arah kepala Pangeran Matahari.
Angin pukulan menyambar. Pangeran Matahari merasa seperti ada ratusan jarum
menusuk permukaan kulitnya. Dia segera maklum kalau lawan tengah mengeluarkan
satu pukulan dahsyat mematikan. Apa lagi pukulan itu diarahkan ke kepala. Satu
tangan memegang kening, satu tangan memegang perut. Lalu Pangeran Matahari tekan
perutnya. Hal ini akan melipatgandakan kekuatan arus tenaga dalam yang bersumber
di perut. Begitu tenaga dalam yang dahsyat meluncur ke tangan kanannya yang ada
di kening, Pangeran Matahari gerakkan tangan itu dalam jurus Menahan Bumi
Memutar Matahari. Tangan kanan itu membabat ke depan, menangkis serangan
Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Buukkk!" Dua tangan pendekar sakti yang sama-sama mengandung
tenaga dalam tinggi beradu keras. Lalu dua lengan saling menempel di udara.
Masing-masing kerahkan tenaga dalam penuh.
Lantai batu Candi Borobudur yang mereka injak bergetar dan kepulkan asap. Dari
celah dua lengan yang masih terus menempel dan saling dorong juga kelihatan
kepulan asap. Tiba-tiba Pangeran Matahari angkat kaki kanannya lalu
dihentakkan ke lantai batu. Ini satu gerakan untuk menjebol pertahanan lawan
dengan kekuatan tenaga dalam yang dibantu dengan kekuatan bumi yang barusan
dihunjamnya dengan kaki kanan.
Ketika merasakan lantai batu bergetar dan ada hawa panas dahsyat laksana banjir
lahar mengalir, ke pergelangan tangannya Wiro maklum apa yang terjadi. Murid
Sinto Gendeng ini berteriak menggeledek. Dari perutnya menggelegak mengalir hawa
dingin luar biasa, menghantam hawa panas yang dikeluarkan Pangeran Matahari.
"Desss!" "Desss" Dua letupan keras menggema di udara. Kepulan asap kembali keluar dari celah dua
lengan yang masih saling mendorong bertempelan.
"Celaka!" keluh Pangeran Matahari ketika dia merasa hawa dingin luar biasa
laksana pisau tajam menyayat tangannya, menusuk ke arah jantung! Sekujur
tubuhnya mulai menggigil.
Ketika Wiro sekali lagi keluarkan teriakan menggelegar dan Pangeran Matahari
sambut dengan pekik menggeledek, sosok dua pendekar itu sama-sama terpental.
Murid Sinto Gendeng terduduk terhenyak di lantai batu, di depan sebuah Stupa.
Untuk beberapa detik lamanya tangan kanannya sakit bukan kepalang, lumpuh tak
bisa digerakkan. Pada bekas bentrokan lengan kelihatan kemerahan dan mulai
menggembung bengkak. Sepuluh langkah di depan Wiro, Pangeran Matahari jatuh
berlutut. Dari keadaan jatuhnya agaknya dia lebih mampu bertahan dari pada Wiro.
Tapi sebenarnya saat itu murid Si Muka Bangkai ini menderita cidera yang lebih
parah dari yang dialami Wiro. Di sebelah luar lengannya tampak bengkak dan
berwarna putih, pertanda hawa dingin masih menyelimuti tangan itu. Di sebelah
dalam tulang lengannya ada yang retak. Lalu dadanya mendenyut sakit, membuatnya
susah bernafas. Tulang iganya yang sempat patah dan saat itu masih dalam
penyembuhan kini terasa seperti putus kembali! Tenaga dalam Wiro yang mengandung
hawa dingin karena tadi dia keluarkan inti kekuatan pukulan sakti Angin Es,
bukan saja berhasil memukul tenaga dalamnya yang bersumber pada kekuatan panas,
tapi juga membuat hawa panas itu berbalik menciderai tubuhnya bagian dalam. Dan
begitu hawa panas ini ditumpas hawa dingin, sang Pangeran langsung menggigil
sampai gerahamnya keluarkan suara bergemeletakan! Ketika Pangeran Matahari
berusaha menarik nafas dalam-dalam sambil pegangi dadanya, mulutnya batuk.
Diantara ludah yang menyembur terlihat ada cairan merah. Darah!
*** BOMA GENDENK TENDA BIRU CANDI MENDUT
2 PENYELAMAT CANDI TERSEMBUNYI
INGINLAH tengkuk Pangeran Matahari. Hampir tak bisa dia mempercayai. Sejak
beberapa waktu belakangan ini dia
Dtelah berlatih keras mendalami ilmu silat dan menambah kekuatan tenaga
dalamnya. Ternyata tingkat tenaga dalamnya masih belum bisa menandingi kehebatan
musuh bebuyutannya itu.
"Kurang ajar! Bagaimana mungkin tingkat tenaga dalamku masih berada di bawah
jahanam ini!" Pangeran Matahari merutuki diri sendiri.
Pangeran Matahari kumpulkan tenaga, lalu bergerak bangkit.
Mukanya kelihatan pucat. Rahang terkatup dan pelipis bergerak-gerak. Sepasang
matanya menyorot tajam dan galak ke arah lawan.
Namun hatinya agak tergetar. Bukan hanya dari akibat bentrokan kekuatan tadi,
tapi juga dikarenakan ada satu kejadian aneh berlangsung di depan sana. Semua
ini membuat otaknya yang penuh akal cerdik licik saat itu juga serta merta
bekerja mencari jalan keluar dari bahaya.
Ketika Wiro mendorong Boma dan berhasil menyelamatkan
anak ini dari serangan Pangeran Matahari lalu menyelamatkan banyak orang dari
sambaran pukulan Telapak Matahari, pukulan sakti itu terus menggebu ke arah
Stupa. Sesaat lagi pukulan sakti akan menghancurkan Stupa dan selanjutnya
memusnahkan dinding candi bersejarah itu, tiba-tiba terdengar suara bergemerincing. Lalu
entah dari mana datangnya mendadak sebuah benda kecoklatan melesat di udara.
Begitu cepat daya lesat dan putarannya hingga sulit dilihat dan dipastikan benda
apa itu adanya. Benda ini menderu menyongsong dan menghadang
pukulan Pangeran Matahari yang siap menghancurkan Stupa dan dinding relief.
Benturan hebat antara benda coklat berputar dan pukulan sakti tidak terhindarkan
lagi. "Wusss!" "Wuuut!" "Braaakkk!"
Benda coklat hancur berkeping-keping. Di udara kelihatan pancaran cahaya api
disusul kepulan asap kelabu. Semua kaki pengunjung yang menginjak lantai candi
sama merasakan bagaimana lantai batu yang mereka pijak jadi bergetar. Semua orang, termasuk
Pendekar 212 dan Pangeran Matahari tersentak kaget melihat apa yang terjadi.
"Kurang ajar, ada orang pandai berpihak pada pemuda sableng ini!" rutuk Pangeran
Matahari dalam hati. Sepasang matanya bergerak berputar. Tapi dia tidak
menemukan atau melihat siapa adanya orang pandai itu diantara orang banyak.
"Bangsat itu agaknya sengaja sembunyikan diri! Sialan. Untuk sementara aku
terpaksa harus menyingkir."
Dari mimik di wajah Pangeran Matahari, Pendekar 212 sudah maklum apa yang
terpikir di benak musuh besarnya itu. Dia cepat berkelebat sambil berteriak.
"Seorang Pangeran putus nyali! Punya pikiran melarikan diri!
Manusia pengecut! Kau akan mampus hari ini! Di tempat ini!"
Rahang Pangeran Matahari menggembung. Mulutnya dipencongkan sebelum membuka
suara. "Hebat! Tidak dinyana kau pandai bicara seperti penyair! Aku mau lihat, apakah
kau juga pandai menyambuti seranganku ini"!"
Pangeran Matahari balas berteriak. Tangan kanannya
dihantamkan ke arah Wiro. Menyangka lawan hendak melancarkan satu serangan
pukulan sakti, murid Sinto Gendeng tidak mau kepalang tanggung. Dia siapkan
Pukulan Sinar Matahari. Tangan kanannya sebatas siku sampai ke ujung jari serta
merta berubah menjadi seperti perak, putih berkilat menyilaukan!
Tapi untuk kedua kalinya murid Sinto Gendeng ini tertipu.
Pangeran Matahari bukan melancarkan serangan berupa pukulan sakti, melainkan
melemparkan sebuah benda bulat berwarna hijau.
Sebelum Wiro sempat melepas Pukulan Sinar Matahari benda yang melayang di udara
itu meletus. Kepulan asap kehijauan serta merta membungkus seantero tempat.
Khawatir asap hijau itu mengandung racun Wiro berteriak agar semua orang
menyingkir jauh-jauh. Orang banyak kembali berpekikan ketakutan dan menjauh
berlarian. Yang tak sempat menutup jalan nafas, batuk-batuk bahkan ada yang
muntah. Kecuali Wiro, semua orang merasa mata mereka perih. Wiro merutuk habis-habisan.
"Pangeran licik! Pengecut! Aku tahu nyalimu leleh! Kau mau kabur!"
Dari balik kepulan asap terdengar tawa bergelak Pangeran Matahari.
"Pendekar 212! Boma! Aku masih berbaik hati memperpanjang umur kalian satu dua
hari! Aku masih berbaik hati memberi kesempatan pada kalian untuk meratap
menangisi kematian anak perempuan bernama Dwita yang akan membusuk di dalam
Stupa! Aku akan kembali untuk menghabisi kalian! Ingat hal itu baik-baik!"
"Pangeran jahat! Bebaskan Dwita!" Teriak Boma. Dia hendak mengejar ke arah
terdengarnya suara Pangeran Matahari tapi lengannya cepat dipegang Wiro. Murid
Sinto Gendeng ini tadinya juga ingin mengejar sambil lepaskan pukulan. Namun
tidak tahu mau mengejar ke arah mana, mau memukul ke jurusan mana karena kepulan
asap hijau masih menutup pemandangan. Salah bergerak bisa-bisa dibokong Pangeran
licik itu. Kalau hal itu terjadi mungkin dia bisa menghadapi, tapi bagaimana
kalau Boma yang dihantam secara licik" Anak itu pasti menemui ajal secara
mengenaskan! Ketika asap hijau sirna dan keadaan di tempat itu terang kembali, seluruh
pelajar SMU Nusantara III termasuk Pak Sanyoto dan Ibu Renata mendatangi Boma
yang saat itu masih dipegangi oleh Wiro.
"Bom, kau tidak apa-apa?" tanya Ronny.
Boma menowel hidungnya, membuat semua temannya tertawa lalu mengelengkan kepala.
Padahal akibat jatuh terhenyak tadi punggungnya sakit bukan main dan sampai saat
itu rasa sakit masih belum hilang.
"Bom, minum dulu. Mukamu keliatan pucet," kata Vino sambil mengulurkan sebotol
Aqua. Boma menggeleng. "Jangan pikirin aku. Ingat Dwita! Kita harus menolong Dwita!"
Wiro pertama sekali berkelebat ke arah Stupa di mana Dwita tersekap dan masih
terbujur pingsan. Boma menyusul lari ke sana diikuti oleh semua anak-anak SMU
Nusantara III. Sulastri, Gita dan juga Trini serta Ibu Renata bcrteriak-teriak
memanggil Dwita. Namun di dalam Stupa Dwita tidak bergerak tidak bersuara. Anak-anak perempuan
itu terus memanggil-manggil. Suara mereka kemudian berubah menjadi isak tangis.
Mereka tidak pasti apakah Dwila hanya pingsan atau sudah menjadi mayat!
Boma diikuti Ronny dan Vino, mengelilingi Stupa tapi tidak tahu bagaimana harus
menolong Dwita. Sampai di hadapan Wiro anak ini berkata.
" Bang, Dwita harus ditolong. Harus dikeluarkan..."
Wiro tidak menjawab. Hanya berdiri menggaruk kepala sambil memandang ke dalam
Stupa. Sikap dan tampangnya seperti orang bloon tapi sebenarnya saat itu otaknya
tengah bekerja. "Eh, kok Boma manggil Abang sama si gondrong itu"
Memangnya dia siapa?" Sulastri bertanya sambil memegang lengan Ronny.
"Gue juga nggak kenal," jawab Ronny.
"Dandanannya aneh..." ucap Trini. "Liat, ada tatto di dadanya..."
"Baunya kecut," Si Centil Sulastri kembali menyeletuk.
Yang dirasani rupanya mendengar. Si gondrong murid Sinto Gendeng itu palingkan


Boma Gendeng 6 Tenda Biru Candi Mendut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala ke arah Sulastri. Memandang tak berkesip.
Sulastri Si Centil jadi grogi.
"Rasain lu! Ngomong seenaknya!" kata Rio.
Tapi Wiro tidak marah malah tersenyum dan kedipkan matanya.
Sulastri jadi lega. "Bang!" panggil Boma lagi. "Dwita harus dikeluarin dari dalam Stupa! Tolong
Bang!" Boma lalu pegangi salah satu batu Stupa dengan kedua tangannya. Anak ini
kerahkan tenaga. Jangankan bergeser, bergeming seujung rambutpun batu itu tidak!
"Boma, susunan batu Stupa ini berat sekali. Kau tak bakal bisa menggesernya..."
"Bang, Stupa ini terbuat dari susunan batu-batu. Kalau salah satu dijebol pasti
yang lainnya ikut terbongkar." Kata Boma tidak percaya pada ucapan Wiro. Lalu
dia berpaling pada Ronny dan Vino.
"Ron, Vin, bantu gua narik batu yang satu ini. Masa sih nggak bisa dijebol!"
Dibantu Ronny dan Vino Boma kembali berusaha menarik salah satu batu Stupa.
Tetap saja batu itu tidak bergerak. Wiro pegang bahu Boma. "Jangankan kalian
bertiga, semua orang yang ada di sini tidak bakal bisa menggeser batu itu. Daya
tekan batu-batu di sebelah atas beratnya ratusan kilo. Lalu ada daya tarik bumi
di sebelah bawah..."
"Kalau 'gitu, kita geser batu paling atas di bawah tutup Stupa.
Pasti tekanannya lebih enteng," kata Boma pula sambil memandang ke bagian atas
Stupa lalu siap hendak memanjat.
Wiro cepat pegang pinggang Boma.
"Ada satu hal lagi yang harus kau ketahui..."
"Apaan?" tanya Boma. Kakinya masih setengah menggantung.
"Selain tekanan batu-batu di sebelah atas dan daya tarik bumi di sebelah bawah,
masih ada satu kekuatan lain yang sulit ditembus.
Kekuatan gaib. Kekuatan keramat."
Boma turunkan kedua kakinya ke lantai candi. "Saya tidak perduli kekuatan apa,
Bang. Yang penting Dwita musti ditolong.
Musti dikeluarin!" jawab Boma. Mukanya yang merah disengat matahari basah oleh
keringat. Begitu juga badan dan seluruh pakaiannya. Tiba-tiba anak ini ingat
pada hawa murni yang pernah diberikan nenek sakti di Gunung Gede lewat tangan
kirinya. Menurut si nenek tangan kirinya itu sanggup memukul mati seseorang. Kalau
dipergunakan untuk memukul batu masakan tidak jebol"! Rahang Boma menggembung,
tenaganya dikumpul, tangan kirinya diangkat lalu dipukulkan.
Satu jengkal lagi tangan itu akan menghantam batu Stupa, dengan gerakan kilat
Wiro pegang lengan kiri Boma.
"Jangan berlaku tolol! Merusak Stupa bisa berbahaya..."
"Demi keselamatan Dwita, kita harus melakukan apa saja! Kalau perlu Stupa ini
kita hancurkan!"
"Ini bangunan keramat warisan leluhur. Jangan sekali-kali dirusak."
"Lalu bagaimana kita harus menyelamatkan Dwita?" Ronny yang berkata. "Kalau
Pangeran jahat itu bisa memasukkan Dwita ke dalam Stupa, pasti ada cara
mengeluarkan Dwita...."
"Betul, Bang..." ujar Boma sambil mengusap-usap tinju kirinya dengan tangan
kanan. "Pangeran Matahari punya ilmu kepandaian yang mungkin orang lain tidak
memilikinya. Kita harus menyelidiki..."
"Menyelidik bagaimana" Berapa lama" Orangnya aja udah kabur entah kemana!" kata
Boma penasaran. "Sebaiknya kita melapor pada petugas keamanan Candi. Biar saya yang melakukan.
Kalian semua tunggu di sini. Jangan ada yang berpencar." Pak Sanyoto Guru Olah
Raga keluarkan ucapan untuk pertama kali.
Wiro menggaruk kepala. Saat itulah dia melihat banyak orang berpakaian seragam
bergerak naik ke atas candi. Wiro pegang bahu Boma dan berbisik. :
"Aku terpaksa pergi dulu. Nanti aku menemuimu lagi."
"Abang mau kemana?" tanya Boma. "Bagaimana Dwita?"
Wiro menjawab dengan membelintangkan jari telunjuknya di atas mulut lalu
kedipkan mata. "Bang..." "Ssshhh... Ada Isilop datang. Aku lebih baik pergi. Kalau sampai kena diusut,
ditanyain KTP, bisa berabe. Aku mana gablek KTP!
Selain itu tadi ada orang pandai menolong kita menahan hantaman pukulan Pangeran
Matahari. Aku mau menyelidik dan mencari siapa dia adanya. Mungkin dia bisa
membantu mengeluarkan Dwita dari dalam Stupa."
Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat. Sebelum lenyap dari tempat itu dia
menyambar tiga buah benda yang bertaburan di lantai candi sebelah bawah.
" Ajie Gile" kata Andi. "Bisa lenyap kaya setan aja! Bom, lu kenal dimana Si
Abang itu?" " Isilop" Apaan Isilop?" tanya Vino.
Bagian Candi di sekitar Stupa dimana Dwita tersekap kini dipenuhi petugas
berseragam Candi Borobudur. Lalu dua belas anggota Polisi juga telah berada di
tempat itu. " Isilop... Isilop," ucap Firman berulang kali. "Eh, pasti yang dimaksud si
gondrong Abang 'lu itu Polisi. Polisi kalau dibalik 'kan jadi Isilop. Ngacok
aja' tu orang!"
Boma memandang ke bagian bawah candi.
"Ah, Polisi lagi. Urusan lagi..." Ucap Boma dalam hati. Dia memandang sedih ke
dalam Stupa. "Dwita..." suara Boma parau setengah berbisik. "Kalau bisa biar aku
saja yang ada di dalam sana. Jangan kamu...."
Gita Parwati mendekat, memegang lengan Boma.
"Bom, ini kejadian di luar akal manusia! Mana mungkin ada orang bisa masuk ke
dalam Stupa." "Buktinya, kamu liat sendiri Git," sahut Boma.
"Ada kekuatan gaib yang menjebloskan Dwita ke dalam Stupa.
Kita hanya bisa minta pada Tuhan agar Dwita bisa diselamatkan..."
Tidak terasa air mata meluncur di pipi si gemuk Gita. Trini yang selama ini
selalu bermusuhan dengan Dwita kelihatan berkaca-kaca matanya. Sulastri
tundukkan kepala, mulutnya komat-kamit entah apa yang dilafatkan.
"Gimana kalau orang tua Dwita dikasih tau?" kata Sulastri pula.
"Baiknya jangan dulu. Nanti saja," jawab Gita Parwati. Dia ulurkan tangan,
dimasukkan ke dalam Stupa. Aneh, Gita tidak bisa menyentuh tubuh Dwita, padahal
kelihatannya dekat saja. Gita memberitahu hal itu pada Boma. Berdua dengan
Ronny, Boma memasukkan tangan lewat lobang Stupa. Seperti yang dialami Gita,
kedua anak ini tidak berhasil menyentuh tubuh, kaki atau tangan Dwita.
"Aneh Ron," bisik Boma.
"Tengkuk gue jadi merinding," sahut Ronny.
"Heran, kok bisa sih kejadian kayak gini," kata Vino pula.
"Jangan-jangan Dwita bikin kesalahan. Jangan-jangan dia kencing sembarangan.
Yang punya tempat marah. Dwita lalu di bekep dalam Stupa."
"Enak aja lu ngomong!" Ada yang menyeletuk ketus. Ternyata si gendut Gita
Parwati. "Anak cewek nggak pernah kencing sembarangan 'tau! Kalian 'tuh anak
cowok yang suka beser seenaknya. Kencing berdiri, nggak cebok!"
"Huss, udah! Jangan pada betengkar," kata Ronny Celepuk.
Petugas Kepolisian yang kemudian datang ke tempat itu
bersama petugas kawasan wisata Candi Borobudur meminta para pengunjung untuk
menjauh. Kecuali rombongan anak-anak SMU
Nusantara III dan para guru, semua mereka dimintai keterangan apa yang telah
terjadi. Pengusutan yang dilakukan pihak berwajib tidak selesai di tempat itu
saja. Pak Sanyoto, Ibu Renata, beberapa pelajar SMU Nusantara III dan beberapa
orang pengunjung yang diperlukan sebagai saksi diminta datang ke sebuah kantor
untuk dimintai keterangan lebih lanjut.
Menurut Polisi walau tidak terjadi kerusakan pada Candi Borobudur, tapi kejadian
itu perlu diusut lebih jauh. Apa lagi disitu telah terjadi perkelahian antara
dua pemuda aneh yang rnelibatkan seorang pelajar SMU Nusantara III yaitu Boma.
Lalu, ini yang luar biasa, seorang pelajar perempuan yakni Dwita secara diluar
akal berada di dalam Stupa. Ini merupakan satu kejadian besar kedua yang pasti
akan menggegerkan. Peristiwa besar pertama adalah kejadian peledakan salah satu
kawasan Candi beberapa tahun yang lalu.
"Pak, maaf," kata Boma. "Saya nggak bisa ninggalin teman saya sendirian di dalam
Stupa. Saya mau terus di sini aja, Pak. Nungguin Dwita."
"Saya juga," kata Gita.
"Saya juga..." kata beberapa anak lainnya lermasuk Trini hampir berbarangan.
Para Petugas Kepolisian bicara sebentar dengan Pak Sanyoto dan Ibu Renata.
Akhirnya diputuskan hanya kedua guru SMU
Nusantara III itu bersama Boma, Sulastri, Trini, Vino dan Ronny serta tiga orang
pengunjung yang diminta datang ke Kantor. Yang lain-lain tetap di tempat itu
menunggui Dwita yang masih terbaring pingsan di dalam Stupa, dikawal oleh enam
orang petugas Kepolisian.
BOMA GENDENK TENDA BIRU CANDI MENDUT
3 BOMA DIPERIKSA POLISI
EPADA Serda Sujiwo dan Kopral Pirngadi yang meminta
keterangan, Pak Sanyoto dan Ibu Renata menjelaskan
Kbahwa mereka baru tahu kejadian Dwita Tifani berada di dalam Stupa setelah
banyak pengunjung berlarian ke tempat itu.
Bagaimana kejadian anak perempuan itu bisa berada di dalam Stupa mereka tidak
bisa menjelaskan. "Saat orang banyak berlarian, saya tanya sama yang kebetulan lewat di depan
saya. Ada apa Pak" Orang itu bilang ada kejadian aneh. Ada orang dalam Stupa."
Pak Sanyoto memberi keterangan.
Lalu meneruskan. "Saya tanya lagi sama seorang yang lewat di depan saya. Katanya
ada orang gila menculik gadis. Gadisnya dikurung dalam Stupa. Saya tidak tahu
kalau yang ada dalam Stupa adalah murid SMU Nusantara III. Baru tahu setelah
melihat sendiri. Ternyata Dwita."
Ibu Renata memberi keterangan yang sama dan dikuatkan oleh tiga pengunjung yang
dijadikan saksi. "Waktu saya dan anak-anak sampai di tempat itu, di dekat Stupa
di mana Dwita terkurung, berdiri seorang lelaki tinggi besar, berambut gondrong.
Orang ini mengaku bernama Pangeran Matahari. Dia mengancam akan
membunuh siapa saja yang berani mendekati Stupa. Waktu dia berteriak, bangunan
Candi serasa bergetar, kami semua berlari menjauh."
"Orang laki-laki berambut gondrong ini, apa Pak Sanyoto dan Ibu Rena pernah
melihat sebelumnya?"
Dua guru SMU Nusantara III itu sama menggelengkan kepala.
Boma, Ronny dan Vino saling berlirikan. Dari tempatnya duduk Pak Sanyoto
kemudian memandang pada ketiga anak itu. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu
tapi tidak jadi karena saat itu Serda Sujiwo bicara, meminta Ibu Renata
memberitahu ciri-ciri orang bernama Pangeran Matahari itu lebih rinci sementara
Kopral Pirngadi mengetik semua keterangan yang diberikan.
"Orangnya tinggi besar Pak. Rambut panjang segini..." Ibu Renata meletakkan
tangan kanannya di belakang punggung.
"Pakaiannya baju dan celana hitam. Pakai mantel hitam. Di dada bajunya ada
gambar gunung dan matahari. Lalu keningnya diikat kain merah."
"Ada keterangan bahwa orang bernama Pangeran Matahari itu berteriak mencari
seorang anak bernama Boma."
"Boma, ini anaknpa Pak," kata Pak Sanyoto sambil menunjuk dengan ibu jari tangan
kanannya pada Boma yang berdiri di belakangnya. Tampaknya Guru Olah Raga ini
bersemangat sekali membantu Polisi.
Serda Sujiwo perhatikan Boma sejenak lalu berkata. "Nanti giliran Dik Boma saya
tanyai. Ibu Rena, teruskan keterangan Ibu."
"Waktu Boma tidak muncul, orang bernama Pangeran Matahari itu lalu memukul ke
arah Stupa tempat Dwita terkurung. Saya melihat ada cahaya angker melesat keluar
dari tangannya. Lalu saat itu tiba-tiba Boma muncul. Tapi disaat yang sama juga
muncul seorang lain. Berpakaian serba putih. Rambutnya gondrong sebahu, di
kepalanya ada sebentuk destar putih. Orang ini agaknya kenal dengan Pangeran
Matahari. Dia berteriak lalu memukulkan tangan.
Saya lihat ada cahaya putih menyembur dari tangannya yang memukul. Lalu ada
letusan keras. Ada hawa panas sekali. Saya dan semua anak-anak, saya rasa juga
semua pengunjung berlarian menjauh. Gagal mencelakai Dwita di dalam Stupa, orang
bernama Pangeran Matahari itu lalu menyerang Boma. Tapi lagi-lagi lelaki
gondrong berpakaian putih menolong hingga Boma selamat."
Serda Sujiwo dan Kopral Pirngadi memandang ke arah Boma sesaat.
"Ibu Rena, terima kasih atas keterangan Ibu. Mungkin ada hal lain yang ingin Ibu
sampaikan?" "Begini Pak, saya minta supaya murid saya Dwita bisa dikeluarkan dari dalam
Stupa secepat mungkin. Saya kawatir..."
"Hal itu sudah kami pikirkan. Beberapa petugas tengah berunding dengan pihak
berwenang yang mengelola kawasan wisata Candi Borobudur ini," jawab Serda
Sujiwo. "Saya boleh memberi keterangan tambahan sedikit Pak," kata Pak Sanyoto tibatiba. "Silahkan."
"Kalau saya tidak keliru, orang berpakaian hitam dengan ikat kepala merah,
mengaku bernama Pangeran Matahari itu ciri-cirinya sama dengan orang gila yang
pernah menyerang Boma dan kawan-kawan di sekolah beberapa minggu lalu. Orang
dengan ciri-ciri yang sama ini juga yang pernah diberitakan dalam koran membunuh
seorang pengamen tua di jembatan penyeberang depan gedung Sarinah di Jakarta..."
"Brengsek Si Umar," bisik Ronny pada Boma. "Perlu apa dia ngomong begitu. Nggak
ditanya kok nyelonong ngasih keterangan.
Songong! Urusan bisa jadi panjang. Bisa sampai malam kita nongkrong disini."
Serda Sujiwo berpaling pada Kopral Pirngadi. "Untuk pengembangan, kontak
Jakarta. Pakai jalur komunikasi Pos I"
"Siap Pak," jawab Kopral Pirngadi lalu tinggalkan tempat itu.
Serda Sujiwo memindahkan mesin ketik ke hadapannya lalu berpaling pada Boma.
Setelah menyuruh Boma maju sedikit anggota Polisi ini mulai menanyai anak ini.
"Orang bernama Pangeran Matahari itu berteriak mencari Dik Boma. Dik Boma tahu
apa sebabnya?" "Saya... Mungkin dia mau membunuh saya Pak."
Jawaban Boma ini membuat ruangan kantor vang tidak
seberapa besar itu menjadi berisik untuk beberapa lamanya.
"Dari mana tahunya orang itu mau membunuh Dik Boma?"
"Dia jelas mengancam Pak. Kalau saya nggak muncul, dia mau membunuh Dwita. Lalu
waktu saya kemudian muncul, dia
menyerang saya."
"Urusan bunuh membunuh adalah urusan sangat serius.
Merupakan tindak pidana berat. Apa lagi kalau sampai
direncanakan sebelumnya. Nah, Dik Boma tahu mengapa orang bernama Pangeran
Matahari itu berniat jahat mau membunuh Dik Boma?"
"Saya tidak tau Pak," jawab Boma.
"Menurut Pak Sanyoto tadi, sebelumnya orang itu pernah menyerang Dik Boma dan
kawan-kawan di sekolah."
"Betul, waktu itu saya anggap dia cuma orang gila."
"Dik Boma tidak kenal dengan orang itu" Punya hubungan sebelumnya?"
"Tidak Pak. Tidak kenal, nggak punya hubungan apa-apa."
"Kalau dia cuma orang gila, bagaimana mungkin bisa mengikuti Dik Boma sampai di
Jogja ini?" "Saya juga nggak ngarti Pak."
"Setelah gagal membunuh Dik Boma, orang itu melarikan diri.
Tahu larinya kemana?"
"Nggak tau Pak."
Serda Sujiwo membaca apa yang telah diketiknya lalu kembali mengajukan
pertanyaan. "Di tempat kejadian, diketahui muncul seorang lelaki berpakaian
serba putih, rambut gondrong. Kenal dengan orang ini?"
Boma menowel hidungnya. Dia tidak segera menjawab.
"Bom, lu ditanya kenal nggak" Jawab..." bisik Ronny.
"Nggak kenal Pak," jawab Boma.
"Banyak orang melihat, juga mendengar Dik Boma bicara dengan orang itu. Malah
memanggilnya dengan sebutan Abang.
Kalau tidak kenal bagaimana bisa bicara banyak dan memanggil Abang?"
"Sebetulnya begini Pak, dibilang kenal nggak. Dibilang tidak kenal juga sulit.
Habis, saya kenal orang itu dalam mimpi."
"Dalam mimpi?" Serda Sujiwo tertawa lebar. Yang lain-lain juga ikut tertawa
kecuali kawan-kawan Boma. Ibu Renata menatap Boma dari samping dalam herannya.
"Betul Pak, saya nggak bohong," kata Boma. "Saya pertama sekali melihat orang
itu dalam mimpi. Lalu yang beneran tadi di Candi..."
Serda Sujiwo masih tertawa bahkan kini mengetik sambil geleng-geleng kepala.
"Tahu siapa nama orang yang Dik Boma panggil Abang itu?"


Boma Gendeng 6 Tenda Biru Candi Mendut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak tau Pak."
"Tidak tahu?"
"Betul Pak." Jawab Boma.
"Dik Boma tidak tahu nama orang itu. Tapi orang itu menyelamatkan Dik Boma dari
serangan Pangeran Matahari..."
"Pak, mungkin Bapak nggak percaya."
"Nggak percaya bagaimana" Apa yang saya tidak percaya?"
"Agaknya antara Pangeran Matahari dengan orang yang menolong saya itu sudah ada
perselisihan. Lalu, mereka berdua bukan makhluk alam kita Pak."
Kembali ruangan kantor itu dipenuhi suara orang. Serda Sujiwo mengambil rokok
dari dalam kantong bajunya. Hendak dinyalakan tapi tidak jadi. "Dik Boma, saya
ada dua pertanyaan. Pertama bagaimana Dik Boma tahu dua orang itu bukan makhluk
alam kita. Kedua kalau mereka bukan makhluk alam kita lalu makhluk alam mana?"
"Begini Pak, semua orang tadi melihat, kedua orang itu lenyap secara aneh.
Manusia biasa mana mungkin bisa berbuat begitu.
Pangeran Matahari menyekap Dwita di dalam Stupa..."
"Tidak ada yang melihat dia memasukkan anak perempuan itu ke dalam Stupa."
"Benar nggak ada yang liat Pak. Tapi dari ucapan-ucapan serta ancaman-ancamannya
jelas dia yang punya pekerjaan..."
"Sulit dibuktikan."
"Bapak sebagai petugas Kepolisian yang harus menyelidik dan membuktikan." Katakata Boma itu membuat Serda Sujiwo agak terperangah. "Pak," ucap Boma. "Maaf
yang penting saat ini kita harus berbuat sesuatu. Menolong teman saya keluar
dari dalam Stupa."
Serda Sujiwo mendorong mesin tik di atas meja ke depan, duduk bersandar ke
kursinya, menatap Boma sesaat. Ketika dia hendak mengatakan sesuatu, Kopral
Pirngadi masuk ke ruangan.
"Sudah ada kontak dengan Jakarta Pak. Kapten Heru dari Serse Polda Jaya ingin
bicara dengan Bapak melalui tilpon. Silahkan di Pos I Pak."
"Sambungkan saja ke sini," kata Serda Sujiwo sambil memegang tilpon di atas
meja, di samping mesin tik.
"Maaf Pak, Kapten Heru yang minta agar Bapak bicara di Pos I saja..."
Serda Sujiwo mengusap dadanya. "Saya mengerti," katanya kemudian. Lalu berdiri
dari kursi. Sebelum meninggalkan ruangan dia minta pada semua orang agar mau
menunggu sebentar. Ternyata Sersan Dua itu tidak hanya sebentar. Lebih dari setengah jam kemudian
baru dia kembali. Wajahnya tampak serius. Begitu duduk di kursi dia segera saja
bicara. "Pak Sanyoto, Ibu Rena dan semua pelajar dari Jakarta. Ternyata peristiwa yang
tengah kita hadapi tidak sesederhana yang saya sangka. Sebelumnya saya memang
mengira bahwa selesai saya mendapat keterangan, urusannya sementara cukup sampai
di sini. Tapi setelah saya bicara dengan atasan di Jakarta ternyata kita tengah
menghadapi satu perkara besar. Bukan saja menyangkut perkelahian di Candi tadi
yang syukur-syukur tidak menimbulkan kerusakan ataupun korban jiwa, tapi
kejadian ini ada sangkut pautnya dengan pembunuhan atas diri seorang pengamen di
Jakarta. Saya diberi tahu, pengamen itu sendiri jenazahnya kemudian dilarikan
orang dalam perjalanan ke Rumah Sakit.
Mengingat keterbatasan waktu, tempat serta sarana komunikasi, saya terpaksa
harus membawa Dik Boma sebagai saksi utama ke Jogja. Di sana akan dilakukan
pengusutan lebih lanjut."
"Loh, kok saya ditangkap Pak?" tanya Boma.
*** BOMA GENDENK TENDA BIRU CANDI MENDUT
4 PERTOLONGAN SANG BOKAP
ANGAN salah sangka. Adik tidak ditangkap. Cuma dibawa ke Jogja untuk diminta
keterangan lebih rinci. Selain itu, ini juga J satu tindakan untuk melindungi,
agar tidak terjadi apa-apa dengan diri Dik Boma."
"Waduh! Berantakan deh acara wisata kita!" kata Ronny.
"Kalau Boma di bawa ke Jogja, kami semua yang ada di sini juga minta dibawa!"
Tiba-tiba Si Centil Sulastri berkata.
"Betul Pak. Kami juga minta dibawa," ikut bersuara semua anak SMU Nusantara III
yang ada dalam ruangan itu.
"Pak, saya mau diapakan saya nggak perduli," kata Boma seraya melangkah maju
mendekati meja Serda Sujiwo. "Tapi yang penting, saya ingin kawan saya Dwita
segera ditolong. Kita sudah menghabiskan waktu berjam-jam di tempat ini.
Sementara teman saya masih terkurung di dalam Stupa."
"Sebentar lagi aparat dari kawasan wisata akan datang."
"Kalau datang cuma buat nanya ini nanya itu nggak ada gunanya Pak," Ronny
keluarkan ucapan. "Kami mengerti kekhawatiran kalian. Kami juga tengah berusaha mencari cara untuk
mengeluarkan teman kalian yang ada di dalam Stupa."
"Dari tadi dia berdua 'kan ada di sini, kapan berusahanya," bisik Sulastri.
"Pak Sanyoto, mungkin bisa menemani Dik Boma ke Jogja. Yang lain-lain kembali ke
Candi..." "Hemm, tambah ribet tambah ernpet deh Si Boma kalau sampai Si Umar ikutan ke
Jogja." Bisik Vino.
"Maaf, Pak. Kami tidak kembali ke Candi. Kami semua ikut kemana Boma dibawa,"
kata Sulastri pula dengan beraninya sambil menatap sorotan mata dua petugas
Polisi di depannya. "Kami tidak bisa melakukan permintaan itu. Kami hanya ingin menanyai Boma..."
"Boma sudah ditanyai. Boma tidak ada sangkut pautnya dengan kematian pengamen di
Jakarta. Saya mohon kami anak-anak sekolah yang sedang wisata ini jangan
dipersusah Pak. Wong niatnya ingin jalan-jalan kok jadi ngalamin kayak gini."
"Nama Adik siapa?" tanya Serda Sujiwo pada anak perempuan yang barusan bicara.
"Trini Pak."
"Begini Dik Trini. Kami ini cuma bertugas menjalani perintah atasan. Atasan
bilang Dik Boma harus dibawa ke Jogja, kami hanya bisa mematuhi. Dik Boma dibawa
ke Jogja bukan ditangkap, bukan mau diapa-apakan, tapi untuk ditanyai. Ini satu
tindakan proaktif untuk menjaga segala kemungkinan agar jangan terjadi apa-apa
dengan diri Dik Boma sendiri dan paling utama tidak terjadi apa-apa dengan Candi
Borobudur." "Maaf Pak," jawab Trini. "Kalau mau nanyai Boma, mengapa nggak dilakukan di sini
saja" Kami bersedia menunggui sampai pagi..."
"Sudah Rin, aku nggak keberatan dibawa ke Jogja. Asal Dwita bisa ditolong..."
kata Boma pula. "Nggak bisa!" jawab Trini. "Kita bukan mau melawan hukum, bukan mau melawan
Bapak Polisi. Tapi apa perlunya kamu dibawa ke Jogja sementara Dwita sengsara
terkurung dalam Stupa. Bahkan nggak ada petugas medis yang dikirim ke lokasi!"
"Dik Trini, tenang. Saya senang melihat rasa setia kawan Dik Trini. Begini ya,
kalau saya boleh ngomong..."
Ucapan Serda Sujiwo itu segera dipotong oleh Trini.
"Maaf Pak, kalau Bapak bersikeras mau bawa Boma ke Jogja, boleh nggak kami
memberikan jaminan..." `
"Maksud Dik Trini?" tanya Serda Sujiwo.
"Maksud saya soal usut mengusut ini tidak usah diteruskan.
Kalau memang atasan Bapak di Jakarta ingin melanjutkan penyelidikan, nanti Boma
juga akan pulang ke Jakarta. Nanti dia juga bisa ditanyai di sana."
"Saya bisa mengerti maksud baik Dik Trini. Maunya saya juga gitu. Tapi saya
bekerja atas perintah atasan..."
"Pak, saya boleh minjam tilpon Bapak?"
"Mau nilpon kemana?" yang bertanya Kopral Pirngadi.
"Ke Jakarta."
"Nilpon siapa?"
"Bapak saya," jawab Trini.
"Bisa nanti saja?"
"Maaf Pak, kalau bisa maunya sekarang."
Kopral Pirngadi memandang pada atasannya. Serda Sujiwo anggukkan kepala.
"Tolong sebutkan nomornya, nanti saya yang nyambungin," kata Kopral Pirngadi.
Trini menyebutkan nomor tilpon yang ditujunya.
Kopral Pirngadi lalu menekan tombol-tombol angka di pesawat tilpon. Pada nomor
terakhir yang ditekannya dia baru sadar dan memandang pada Trini lalu berpaling
pada Serda Sujiwo. "Lho, ini nomor tilpon Kadit Serse Polda Jaya."
"Memang betul Pak. Bapak saya tugas di sana," Kata Trini pula.
Dia melirik dan sempat melihat perubahan wajah Serda Sujiwo.
"Nama Bapaknya Dik Trini siapa?" tanya Kopral Pirngadi dengan suara dipelankan
sementara menunggu sambungan.
"Kusumo Atmojo."
"Boleh tahu pangkatnya?"
"Letkol." Serda Sujiwo mengusap rambutnya.
Kopral Pirngadi mengangkat tangan kiri memberi tanda pada Trini bahwa kontak
sudah didapat. "Selamat siang. Saya Kopral Pirngadi dari, Borobudur. Minta disambung dengan
Letkol Kusumo Atmojo.... Yang mau bicara puteri beliau. Oh, sebentar..."
Kopral Pirngadi menyerahkan pesawat tilpon pada Trini.
Mendadak saja ada rasa tegang di hati, semua pelajar SMU
Nusantara III yang ada di ruangan itu. Mereka memasang telinga.
Apa yang hendak dibicarakan Trini dengan ayahnya yang Letkol di Polda Java itu.
"Bapak" Trini Pak.... Di Borobudur...." Trini lalu menceritakan apa yang telah
dan tengah terjadi dengan dirinya dan kawan-kawan termasuk perihal Boma yang
akan dibawa ke Jogja. Setelah bicara cukup lama sebelum menyerahkan pesawat
tilpon pada Serda Sujiwo Trini berkata pada bapaknya. "Pak, jangan dulu diberi
tau orang tuanya Dwita. Nanti mereka geger. Nanti Trini tilpon lagi dari wisma."
Trini lalu menyerahkan pesawat pada Serda Sujiwo sambil berkata. "Bapak mau
bicara." Serda Sujiwo cepat mengambil pesawat tilpon. Mula-mula dia mengucapkan selamat
siang setelah itu yang keluar dari mulutnya berulang kali hanya kata-kata "Siap
Pak." "Siap Pak. Harap bantuannya menghubungi Kapten Heru di Polda Jaya.
Monggo...Maturnuwun."
Serda Sujiwo meletakkan pesawat tilpon ke tempatnya. Dia memandang ke arah Pak
Sanyoto dan Ibu Renata, lalu pada para pelajar SMU Nusantara III. Pandangannya
terhenti agak lama pada Boma dan Trini. Semua orang semakin tegang. Serda Polisi
itu hanya memandang dan memandang, tidak mengatakan apa-apa.
Sulit diduga perasaan apa yang ada dibalik air mukanya. Tiba-tiba wajah itu
tersenyum. "Kalian semua boleh kembali ke Candi. Boma tidak perlu dibawa ke Jogja. Tapi
begitu kembali ke Jakarta harus segera menghubungi Letkol Kusumo Atmojo."
Kantor yang tak seberapa besar itu riuh oleh pekik sorak gembira para pelajar
SMU Nusantara III. Ibu Renata tersenyum lega.
Pak Sanyoto menarik nafas panjang berulang kali. Semua anak menyalami Serda
Sujiwo dan Kopral Pirngadi. Mereka
mengucapkan terima kasih. Malah Vino mengucapkan terima kasih pada Serda Sujiwo
sambil mencium tangan Polisi itu sampai tiga kali dengan gaya lucu, membuat
Serda Sujiwo tertawa gelak-gelak.
Sambil mengusap kepala Vino Serda Sujiwo berkata.
"Sayang, anak saya lelaki semua. Kalau ada yang perempuan si ganteng ini pasti
saya ambil mantu."
"Nggak usah anak perempuan Pak. Kalau di rumah Bapak ada kucing atau kambing
perempuan juga boleh!" Celetuk Si Centil Sulastri. Kembali kantor itu ramai oleh
gelak tawa. Waktu keluar dari kantor, Firman mendatangi Trini.
"Wah, Rin. Untung bokap lu yang Letkol nulungin. Kalau nggak terpaksa babe gue
yang Jenderal turun tangan."
"Uhh! Lagak lu!" kata Gita sambil mendorong kepala Firman.
"Kapan 'lu punya bokap Jenderal" Anaknya aja ceking kayak gini, apa lagi
bapaknya. Pasti kayak cicek kering!"
Sembarangan bilang bokap gue ceking. Emangnya lu udeh pernah ngeliat?" kata
Firman sambil monyongkan mulut. "Bapak gue gendut, lebih gendut dari kamu, tau!"
Gita tak mau kalah. "Kalau bapak lu gendut, kok kamunya ceking" Berarti kurang
gizi kali"' Beberapa anak termasuk Boma yang mendengar pertengkaran konyol Firman dan Gita
itu mau tak mau jadi pada tertawa. Mereka sesaat lupa pada Dwita yang berada dalam Stupa.
TAK LAMA setelah rombongan anak-anak itu meninggalkan
Kantor pengelola kawasan wisata Candi Borobudur, dua orang petugas beseragam
menemui Serda Sujiwo. Mereka memberitahu bahwa seorang ahli yang pernah membantu
pemugaran Candi Borobudur tahun 1973 sampai 1983 tengah dijemput di Muntilan.
Sementara itu pihak Rumah Sakit juga telah dihubungi. Sebuah ambulans dan tenaga
medis akan segera dikirim ke lokasi.
KETIKA berjalan kembali menuju Candi Boma mrndekati Trini dan memegang tangan
anak perempuan itu. Trini berpaling.
Pandangan mata mereka bertemu. Boma agak kikuk. Trini tenang-tenang saja.
"Rin, aku nggak tau mau bilang gimana...."
"Memangnya kamu mau bilang apa?" tanya Trini sambil senyum.
Jari-jari tangan Boma terasa hangat. Anak perempuan ini merasa sejuta bahagia.
Ini kali pertama Boma memegang tangannya seperti itu.
"Pokoknya aku terima kasih banget. Kalau kamu sama bokap kamu nggak nulungin,
aku pasti udah dibawa ke Jogja. Di deportasi."
" Deportasi. Keren betul istilahnya," Trini Damayanti tertawa lebar.
Boma menyengir, lalu menowel hidungnya.
"Rin, aku..."
"Ssshh... Udah, nanti kita ngomong lagi," kata Frini sambil menarik tangan
kirinya dari genggaman Boma. Tangan kiri ini kemudian digelungkannya sesaat di
pinggang anak lelaki itu.
"Dwita, aku kasihan sama dia. Heran. Nggak habis pikir gimana bisa kejadian
seperti itu. Kita musti nolong dia."
Boma melirik. Selama ini hubungan antara Trini dan Dwita tidak terlalu baik.
Mereka bahkan hampir tidak pernah bertegur sapa.
Semua gara-gara ingin mendapat perhatian lebih banyak dari Boma, terutama Trini
yang kalau ngomong ceplas ceplos dan gaya atau sikapnya bisa membuat orang
jengkel. Namun saat itu Boma melihat kata-kata tadi itu diucapkan Trini dengan
wajah polos dan jujur.
Di sebelah belakang Vino menyentuh lengan Ronny sambil menunjuk ke arah Boma dan
Trini. "Kenapa, lu ngiri?" tanya Ronny. "Pegang aja tangan Sulastri kalau pengen..."
"Brengsek lu," gerutu Vino.
"Eh, ada apa nih" Gue denger nama ogut disebut-sebut." Si Centil Sulastri tahutahu sudah menyeruak di antara Vino dan Ronny.
DI DEPAN rombongan anak-anak yang kembali ke Candi
Borobudur itu berjalan Pak Sanyoto berdampingan dengan Ibu Renata. Dengan suara
seperlahan mungkin, setelah terlebih dulu menoleh ke belakang untuk memastikan
tidak ada pelajar SMU
Nusantara III di belakang mereka, Guru Olah Raga itu berkata.
"Boma, lagi-lagi Boma. Lagi-lagi anak itu. Saya menyesal dia ikut.
Kita semua jadi susah dibuatnya."
Pak Sanyoto memperhatikan wajah Ibu Renata. Setelah
ditunggu Guru Bahasa Inggris ini masih saja diam, Pak Sanyoto berkata lagi. "Ibu
mungkin tidak jengkel, tidak kesal terhadap anak itu?"
"Yang saya rasakan saat ini Pak, saya capek sekali."
Ibu Renata akhirnya bersuara memberikan jawaban.
"Kalau begitu Ibu tak usah naik ke Candi. Saya temani mencari tempat yang baik
untuk duduk dan istirahat."
"Tidak, saya harus kembali ke Candi. Melihat Dwita. Anak itu butuh pertolongan
kita semua." Pak Sanyoto terdiam.
Ibu Renata tidak perduli apakah ucapannya itu menyinggung Pak Sanyoto. Sejak
tadi dia ingin menjauhi Guru Olah Raga itu. Tapi Pak Sanyoto selalu mendatangi
mendekatinya. "Anak itu masih sering ke rumah Ibu Renata?" Meluncur pertanyaan Pak Sanyoto
yang terasa aneh itu di telinga Ibu Renata.
Dalam keadaan seperti itu, adakah pantas mengajukan pertanyaan semacam itu"
Ibu Renata tidak menjawab. Saat itu mereka sudah sampai di depan tangga menuju
tingkat pertama Candi. Para pengunjung yang naik dan turun cukup padat.
*** BOMA GENDENK TENDA BIRU CANDI MENDUT


Boma Gendeng 6 Tenda Biru Candi Mendut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

5 DWITA GAGAL DIKELUARKAN DARI DALAM STUPA
EDATANGAN ahli percandian Drs. Projosastrokusumo Msc
berusia sekitar lima puluh tahun disambut laksana "malaikat Kpenyelamat" oleh
semua orang yang ada di sekitar Stupa terutama para pelajar SMU Nusantara III.
Saat itu hampir jam empat sore. Sengatan sang surya sudah jauh berkurang. Ahli
percandian bertubuh tinggi kurus dan berkulit pucat ini membawa sebuah tas besar
yang kelihatan cukup berat. Dia datang ditemani oleh Serda Sujiwo dan Kopral
Pirngadi. Setelah meletakkan tasnya di lantai candi, untuk beberapa lama Projosastrokusumo
memperhatikan sosok Dwita Tifani yang terbujur di dalam Stupa. Lelaki ini
berjalan mengelilingi Stupa satu kali lalu mendekati Serda Sujiwo yang tegak
berdekatan dengan Pak Sanyoto dan Ibu Renata.
"Bagaimana Mas Projo?" tanya Serda Sujiwo yang sudah kenal baik dan cukup lama
dengan ahli percandian itu.
"Sa...sa...sayya du ...dua pul..puluh tahun leb..lebih me..mengenal Candi
Bor...Borobudur. Bar ...baru kali in ...ini meng...mengalami kej...kejadi..dian
begini. Lu... luar biasa.
Sul...sulit dipercay...cayya."
Ternyata ahli percandian itu seorang gagap.
"Bom, kok 'ni orang ngomongnya kayak gitu?" bisik Vino.
Boma menowel hidungnya dan berpaling. Untuk sesaat dia diam saja. Tidak
menanggapi ucapan Vino. Disamping Vino berdiri Ronny bersama Firman lalu
Sulastri, Gita dan Allan. Mereka semua kelihatan senyum-senyum.
Boma menowel hidungnya sekali lagi lalu bicara dengan suara perlahan. "Gua rasa
dia kelewat lama main di Candi. Mungkin dipencet setan Candi jadi begini."
Sulastri dan Gita menekap mulut menahan tawa. Allan
menyengir. Firman memencet hidungnya menahan semburan tawa.
"Pada brengsek lu. Orang mau nulungi temen kita malah dibilang yang bukanbukan." Ronny menggerendeng.
"Ngeliat tampangnya gue sangsi dia mampu nolong. Tapi ya kita doain aja biar dia
berhasil," kata Firman.
Dari dalam tas besarnya Proosastrokusumo mengeluarkan
sebuah buku tebal yang sudah lecak. Dia membalik-balik halaman buku sambil
sesekali memperhatikan Stupa di depannya. Buku dimasukkan kembali ke dalam tas
lalu dari dalam tas dikeluarkan tiga buah dongkrak kecil terbuat dari baja
putih. "Dar ...dari buku cat ...catatan saya, Stupa in..ini sal...sallah satu yang
tet..tetap utuh. Tid..tidak ikut dipug...pugar."
"Mendingan die jangan ngomong deh. Kerja, kerja aja. Peg
...pegel..gu...gue nge.. ngedenger.. ngerin..." Bisik Vino meniru-niru gagapnya
si ahli percandian lalu menyelinap ke belakang si gemuk Gita begitu Ronny
dilihatnya melotot ke arahnya.
Dengan hati-hati Projosastrokusumo memasukkan tiga dongkrak baja ke dalam tiga
buah lobang di bagian paling bawah Stupa. Lalu tuas pengungkit untuk menaikkan
dongkrak pada dongkrak baja di ujung kanan perlahan-lahan ditekannya ke bawah.
Tapi tuas itu tidak bergerak. Dicobanya sekali lagi. Tuas tetap tidak bergerak.
Dongkrak tidak mau naik. Projo mengeluarkan dongkrak itu dari dalam lobang lalu
memeriksanya. Tuas ditekan kebawah. Tuas bisa bergerak. Dongkrak dimasukkan
kembali ke dalam lobang Stupa.
Ketika ditekan tuas itu tidak mau bergerak.
"An..aneh..." ucap ahli percandian itu. Dipandanginya dongkrak baja itu sesaat
lalu dia beralih pada dongkrak di sebelah tengah.
Hal yang sama terjadi. Tuas dongkrak di sebelah tengah juga tak bisa ditekan ke
bawah. Akibatnya dongkrak tidak naik ke atas.
Seperti tadi Projosastro mengeluarkan dongkrak baja dari dalam lobang. Diperiksa
tak ada yang rusak. Tuas ditekan bergerak ke bawah. Namun begitu dimasukkan ke
dalarn lobang kembali, tuas tak mau ditekan. Apa vang terjadi dengan dongkrak
pertama dan kedua, terjadi pula dengan dongkrak ke tiga di ujung kiri.
Projosastro kucurkan keringat. Bibirnya digigit. Matanya menatap tidak percaya
pada tiga dongkrak di dalam lobang Stupa.
"Mungkin daya angkat dongkrak ini tidak mampu mengangkat bagian atas Stupa..."
Pak Sanyoto berkata seraya jongkok disamping Projosastro.
Ahli percandian itu gelengkan kepala. "In ...inni bu..bukan dong..dongkrak
sem...sebar..barangan. Mob..mobbil saj..sajja bis..bissa diangkat. Say ...sayya
mau cob ...cobba lag...lagi."
Heran tapi juga penasaran Projosastrokusumo menekan tuas dongkrak baja di lobang
paling kiri. Tuas tetap tidak berjalan. Berat, seperti ada yang mengganjal.
Projo kerahkan tenaga. Menekan tuas lebih kuat.
"Kling...."
Tuas baja patah! Projosastrokusumo tampak kaget. Mukanya pucat. Keringat tambah banyak membasahi
wajah, tengkuk dan tubuhnya.
"Baj...bajja kok ya bisa patah. Say..sayya tid..tiddak meng...mengerti," kata
Projosastro sambil menyeka peluh di keningnya.
"Ba..bagaimana..manna mung...mungkin baja bis..bissa pat..pattah."
"Sayy...saayya jug ...jugga tid..tiddakmeng...mengerti.." Ucap Vino menirukan.
Tapi dengan Suara perlahan agar tidak terdengar ahli percandian itu. Beberapa
anak yang berdiri di dekat Vino walau agak tegang tapi geli juga. Gita yang
berdiri di belakang Vino sambil sembunyikan senyum menggerakkan tangan ke
belakang hendak mencubit. Vino buru-buru menghindar.
Projosastrokusumo memasukkan kembali tiga buah dongkrak baja ke dalam tas
besarnya lalu melangkah mendekati Serda Sujiwo.
"Pak Jiwo, say..sayya tid..tidak mung...mungkin
men..menerusken. Per..percuma saj..sajja. In..ini dilu..luar kem..kemampuan
say..sayya. Ada...ada sat..sattu ke..kekuatan ma..magis menghal...hallangi
say..sayya." Semua orang terdiam mendengar ucapan ahli percandian itu.
Pak Sanyoto dan Ibu Renata saling pandang. Serda Sujiwo memandang pada Kopral
Pirngadi lalu membuka topi, mengusap rambutnya yang basah oleh keringat berulang
kali. Semua anak merasa merinding. Tapi dasar konyol, Vino yang berada di
belakang Gita berbisik.
"Git, gua kira orangnii bohong aja. Sebenernya dia memang kagak bisa ngeluarin
Dwita, lalu bilang ada kekuatan magis segala.
Masa sih jaman sekarang masih ada hal-hal seperti itu. Jangan-jangan dia bukan ahli pemugaran candi tapi cuman montir delman!"
Dalam keadaan lain Gita mungkin akan tertawa cekikikan mendengar ucapan Vino
itu. Tapi saat itu dia palingkan kepala.
Matanya melotot tapi mulutnya tersenyum. "Lu, jangan ngomong sembarangan Vin.
Kalau tu orang ampe denger..."
Di langit sang surya semakin jauh condong ke barat.
Boma menowel hidungnya. Dia memandang pada temantemannya. Pada Pak Sanyoto dan Ibu Renata. Semua mereka kelihatan terpukul
mendengar ucapan ahli percandian itu. Berarti Dwita tidak bisa ditolong. Tidak
bisa dikeluarkan dari dalam Stupa.
Pak Sanyoto kemudian mendekati Projosastro. "Jadi bagaimana Mas Projo" Apa yang
harus kita lakukan. Sebentar lagi malam."
"Ma ...maaf ken say ...sayya."
Projosastro menutup tas besarnya lalu mendekati Serda Sujiwo.
"Say..sayya sar..saranken menghub...hub...hubungi Ki Tunggul Sekati.
Mung..mungkin beliau bis..bissa meno...nollong."
"Saya pernah mendengar nama orang itu. Tapi tidak tahu mencari dimana." Kata
Serda Sujiwo. "Set..settahu say ...sayya beliau tid..tiddak lagi bertug...tugas sebag..baggai
Abdi Dalem Punokawan Bagusan. Bel..belliau ser..serring berada di...di Masjid
Besar dekat Alun-alun Lor."
Begitu Drs. Projosastrokusumo meninggalkan tempat itu diantar Kopral Pirngadi,
Firman berkata pada teman-temannya.
"Gua bilang apa, nggak bisa 'kan dia. Dari tampangnya aja udah ketauan."
"Ga....ga....gatel eh ga...gal," ucap Vino sambil menudingkan ibu jari ke arah
ahli percandian yang menuruni tangga candi di depan sana diantar Kopral
Pirngadi. Semua orang termasuk Ibu Renata, Pak Sanyoto bahkan Serda Sujiwo
tersenyurn mendengar dan melihat gaya Vino itu.
"Lu dari tadi ngomong kayak gitu, lama-lama lu gagap beneran Vin," kata Gita
Parwati. "Kalau lu sampai gagap, apa Si Centil masih mau sama kamu." Gita
melirik pada Sulastri. Anak perempuan ini mengepalkan tinjunya.
"Wah..wah. Dikebet boleh aja, Git. Tapi jangan dibacain dong!"
sahut Vino sambil nyengir.
Ibu Renata diikuti Pak Sanyoto mendekati Serda Sujiwo.
"Pak Sujiwo," kata Ibu Renata, "Tadi saya dengar Pak Projo bilang agar menemui
Ki Tunggul Sekati. Siapa orang itu Pak?"
"Mengapa kita disarankan menemui dia?" ' Bertanya Pak Sanyoto.
"Ki Tunggul Sekati dulunya seorang Punggawa Keraton dari kelompok Polowijo
Bagusan. Setelah uzur dia mengundurkan diri.
Usianya sekarang bisa-bisa delapan puluh tahun lebih. Kabarnya dia memiliki
kemampuan sebagai paranormal tingkat atas.
Kepandaiannya sering dipergunakan untuk mengantisipasi keadaan. Mas Projo
agaknya mengetahui sesuatu dibalik kejadian ini. Itu sebabnya dia minta kita
menemui Ki Tunggul Sekati."
"Pak Sujiwo, kalau memang kita harus menemui orang itu, kita harus berangkat
sekarang juga. Saya minta diijinkan ikut." Berkata Boma.
"Kalau boleh saya ikut menemani," kata Ibu Renata.
"Saya ikut," kata Trim.
"Saya juga," ujar Pak Sanyoto.
"Sebaiknya jangan terlalu banyak yang pergi. Yang lain-lain biar disini saja
menunggui Dwita. Enarn orang anak buah saya akan mengawal tempat ini. Saat ini
saya rasa ambulans dari Rumah Sakit sudah ada di bawah. Saya akan minta para
petugas medis naik ke sini."
Sebelum meninggalkan tempat itu Boma menarik tangan Ronny hingga mereka terpisah
agak jauh dari para pelajar lainnya.
"Ada apa Bom?"
"Gini Ron. Gua nggak tau apa orang bernama Ki Tunggul Sekati itu bisa nolong
Dwita keluar dari dalam Stupa. Tapi buat jaga-jaga gua minta bantuan kamu sama
teman-teman." "Siap Bom, bantuan apa?"
"Kamu liat sendiri dongkrak baja yang dipakai Pak Projo tadi.
Kecil banget. Mungkin benar apa yang Pak Sanyoto bilang. Dongrak sekecil itu
tidak mampu menekan ke atas batu Stupa yang beratnya ratusan kilo. Begini Ron,
kamu sama teman-teman tolong cari dongkrak mobil. Jangan yang model lipet.
Paling sedikit tiga biji.
Nanti kalau ternyata orang tua di Masjid Besar itu tidak bisa menolong, biar
kita sendiri yang ngerjain, ngedongkrak batu Stupa."
"Gila lu Bom! Kamu liat sendiri, dongkrak baja itu sampai patah.
Lagian...Kalau kita sampai merusak Stupa..."
"Aku nggak perduli Ron. Mau rusak kek, mau roboh kek! Yang penting Dwita bisa
dikeluarkan. Urusan belakangan."
"Jangan nekad Bom! Disini banyak Polisi. Pasti..."
"Ahh! Udah!" Boma menowel hidungnya. "Nanti gua sirep semua..."
"Apa Bom"!" tanya Ronny. Tapi Boma sudah pergi menyusul Serda Sujiwo, Ibu Renata
dan Trini. Setelah Serda Sujiwo, Ibu Renata, Boma dan Trini meninggalkan tempat itu, Vino
berbisik pada Ronny.
"Ron, lu pratiin tampangnya Si Umar. Dia gondok banget nggak bisa ikut."
"Gue syukurin Vin." Jawab Ronny Celepuk. "Niatnya pasti nggak bener. Bukan
seratus persen mau nolong, tapi cuman mau deketan terus sama Ibu Renata."
"Gimana kalau sampai malam Dwita masih, belum bisa dikeluarin?" Gita yang ada di
dekat Vino dan Ronny menyatakan kekawatirannya.
Vino dan Ronny tak bisa menjawab.
Gita berkata lagi. "Gue nggak habis pikir ngeliat keadaannya Dwita. Anak itu apa
pingsan apa gimana" Dari tadi siang nggak bergerak barang sedikit. Nggak
bersuara..." "Malam hari di tempat ini pasti dingin. Kasihan Dwita. Kita musti bejejer
ngelilingi Stupa agar Dwita tidak kena sapuan angin."
Berkata Vino. "Kalau nggak ada Polisi rasanya ngeri juga," bisik Gita.
"Nggak ada lampu. Selain dingin pasti gelap. Matek aku. Aku takut gelap..."
menyambung Si Centil Sulastri.
"Gampang, nanti gua suruh Vino ngekepin kamu biar nggak takut," kata Ronny pada
Sulastri. "Ah, jangan gitu, Ron." Menyahuti Vino. "Yang begitu aku sih nggak tapi ogah."
Sulastri mengacungkan tinjunya pada Ronny lalu pada Vino.
"Hemm...Di depan kita sih ngasih tinju, di belakang kita ngasih pipi..." kata
Andi yang sejak tadi diam saja. Beberapa anak tertawa gelak-gelak.
Pak Sanyoto mendekati anak-anak yang asyik bicara.
"Kalian ini ngobrol apa" Ketawa apa" Apa tidak sadar kawan kalian mengalami
musibah" Enaknya malah ngobrol sendiri-sendiri!
Tertawa seperti melihat dagelan saja!"
Semua anak jadi terdiam. Beberapa diantaranya bergerak menjauh.
"Rasain lu!" kata Gita Parwati sambil mencibir.
KABAR adanya anak perempuan dari Jakarta yang terkurung secara aneh di dalam
Stupa di Candi Borobudur cepat sekali menebar. Pada sore hari , dimana
pengunjung seharusnya telah berkurang yang naik ke Candi kini sebaliknya orang
yang datang bertambah membludak. Diantara mereka terdapat beberapa orang
wartawan dan juru kamera surat kabar. Ada yang memberitahu bahwa dua rombongan
reporter serta juru kamera Stasiun Televisi Swasta tengah menuju ke tempat itu.
"Wah, kalau sampai berita Dwita terkurung dalam Stupa ini masuk tivi, anak-anak
SMU Nusantara III di Jakarta pasti geger!"
kata Sulastri pula. "Seharusnya waktu bicara di tilpon tadi, Trini nggak usah melarang bokapnya
ngasih tau kejadian ini pada orang tua Dwita.
Kalau mereka tau dari orang lain atau dari tivi, bisa-bisa marah bokap sama
nyokapnya Dwita. Kita semua, terutama Si Umar sama Ibu Renata dianggap nggak
punya rasa tanggung jawab."
"Udah, jangan mikirin orang yang jauh-jauh. Pikiran aja Dwita yang ada di sini,"
kata Gita Parwati. "Gue mau turun dulu. Nggak tahan..."
"Nggak tahan apa?" tanya Ronny.
Gita mengecilkan mulutnya lalu berucap perlahan. "Kenciiiing..."
" Ajie Busyet... Mau kencing aja diwarta beritain," kata Firman.
Ronny berpaling pada Allan.
"Lan, temenin tuan puteri yang langsing mau kencing. Cepet balik, jangan ngacir
kemana-mana. Jangan ngerjain yang nggak-nggak," kata Vino.
"Sok lu. Emangnya gue mau ngerjain apa?"
"Bukan ngerjain, tapi dikerjain," jawab Vino sambil mengedipkan matanya pada
Allan. "Brengsek lu!" sungut Gita.
"Lan, jangan lupa beli ini. Mulut gue ude asem!" kata Ronny pada Allan sambil
meletakkan dua jari tangannya yang diluruskan di atas bibir.
"Jagan dibeliin Lan. Biar mulutnya jadi cuka!" kata Gita Parwati lalu mencibir
ke arah Ronny. *** BOMA GENDENK TENDA BIRU CANDI MENDUT
6 KI TUNGGUL SEKATI EMASUKI Kawasan Keraton Kesultanan Yogyakarta pada
malam hari tidak semudah siang hari seperti
Mberkunjungnya wisatawan. Untung ada Serda Sujiwo yang cukup dikenal oleh
sebagian pengawal dan kerabat Keraton.
Masjid Besar terletak di sebelah barat Alun-alun Lor.
Bangunannya berbentuk pendopo besar dengan serambi cukup luas di sebelah depan.
Seorang lelaki tua berkacamata, mengenakan jas putih dan blangkon hitam di
kepalanya, yang oleh Serda Sujiwo dipanggil dengan nama Pak Gondo mengantarkan
ke empat orang itu sampai di depan Masjid Besar. Sebelum masuk ke dalam bangunan
dia melepaskan sandal lalu meminta Serda Sujiwo dan Boma membuka sepatu masingmasing. Ibu Renata dan Trini disuruh menunggu dekat sebuah bangunan bernama
Pagongan. Konon biasanya dibangunan ini sebuah gamelan besar dibunyikan selama satu minggu
menjelang Perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW.
Boma melangkah di samping Serda Sujiwo, mengikuti Pak
Gondo. Di dalam bangunan mesjid tidak seorangpun kelihatan.


Boma Gendeng 6 Tenda Biru Candi Mendut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Boma tengah menghitung-hitung jumlah tiang kayu jati bulat penyanggah atap yang
ada dalam bangunan Masjid Besar ketika lapat-lapat dia mendengar suara orang
mengaji. Suara itu perlahan saja, tapi menimbulkan gema sejuk di seantero
bangunan. Di dekat sebuah tiang bulat kayu jati lelaki berjas putih duduk bersimpuh di
lantai. Dia memberi isyarat pada kedua orang yang ada di belakangnya agar ikut
duduk. Rupanya orang yang mengaji berada di balik tiang besar. Dari tempatnya
duduk baik Boma maupun Serda Sujiwo tidak dapat melihat orang itu. Dan lelaki
berjas putih, Pak Gondo, agaknya hanya bersikap menunggu, tidak berani
menganggu. Boma merasa pinggangnya seperti mau patah dan pantatnya sudah pedas
karena setelah menunggu sekian lama orang dibalik tiang besar baru mengakhiri
kajiannya. Orang berjas putih, dengan beringsut-ingsut bergerak mendekati tiang
besar. Lalu dia membungkuk memberi salam sambil mengulurkan tangan bersalaman dan
mencium tangan orang di balik tiang. Kemudian kedua orang itu bercakap perlahan
sekali dalarn bahasa Jawa.
Tak selang berapa lama Pak Gondo memberi isyarat pada Serda Sujiwo dan Boma
untuk datang mendekat. Ketika Boma bersama Serda Sujiwo sampai di sebelah Pak
Gondo, dekat tiang kayu jati besar bulat, untuk pertama kalinya anak ini melihat
orang yang tadi hanya didengarnya suaranya. Seorang tua berusia lebih dari
delapan puluh tahun dengan kumis, janggut dan alis putih, namun berwajah merah
segar seperti bayi. Sepasang matanya hitam berkilat dan tajam tapi sejuk menatap
ke arah Serda Sujiwo dan Boma.
Di pangkuan orang tua itu atau di lantai mesjid tidak ada Kitab Al Qur'an.
Berarti orang ini hafal dan mengaji ayat-ayat suci Al Qur'an di luar kepala.
Yang membuat Boma maupun Serda Sujiwo agak tertegun ialah karena tidak menyangka
orang tua itu bertubuh cebol. Dia mengenakan baju lengan panjang hitam, sehelai
kain panjang batik dan sebuah blangkon.
Pak Gondo mengatakan sesuatu pada Serda Sujiwo. Serda
Sujiwo kemudian memberitahu Boma bahwa orang tua yang duduk di depan tiang besar
kayu jati itu adalah Ki Tunggul Sekati, orang yang mereka cari. Sebelumnya
anggota Polisi ini sudah sering keluar masuk Keraton untuk berbagai keperluan.
Beberapa keluarga dekatnya ada yang jadi Abdi Dalem. Namun baru sekali itu dia
bertemu dengan orang tua bernama Ki Tunggul Sekati. Sebelum mengundurkan diri
orang tua ini dulunya adalah salah seorang Abdi Dalem Punokawan golongan
Polowijo - Cebolan yang biasa juga disebut golongan Bagusan.
Dalam bahasa Jawa yang tidak dimengerti Boma Serda Sujiwo menerangkan bahwa
mereka tahu tentang orang tua itu dari Projosastrokusumo, ahli percandian itu.
Serda Sujiwo kemudian merunduk menyalami Ki Tunggul Sekati. Boma maju mendekat,
merunduk bersalaman dan mencium tangan orang tua itu. Ketika Boma mencium
punggung tangan Ki Tunggul Sekati, dia mencium bau wangi sekali dan merasa hawa
wangi itu merasuk masuk ke jalan pernafasannya hingga dadanya terasa sejuk dan
lega. Boma ingat kejadian ketika nenek sakti di Gunung Gede memasukkan hawa
murni ke dalam tangan kirinya. Keadaannya saat itu hampir sama dengan yang
dialaminya sekarang hanya saja hawa yang keluar dari tangan orang tua cebol itu
menebar bau harum. Serda Sujiwo kemudian memberitahu maksud kedatangannya.
Namun Ki Tunggul Sekati mengangkat tangan kanannya dan bertanya.
"Magrib hampir berlalu. Saat sembahyang lsya akan segera datang. Apakah kalian
berdua sudah melakukan sembahyang Magrib?"
"Maaf, Kek, kami memang belum sembahyang Magrib." Boma mendahului menjawab
polos. Dipanggil Kakek, Ki Tunggul Sekati tersenyum.
"Ambil air wudhu, laksanakan sembahyang Magrib lebih dulu.
Nanti baru kita bicara."
Setelah sembahyang Magrib kedua orang itu kembali menemui Ki Tunggul Sekati.
Serda Sujiwo memberitahu apa yang terjadi. Si orang tua mendengarkan dengan dua
mata dipejamkan. Tubuhnya tidak bergerak bahkan tidak kelihatan dia seperti
bernafas. Punggung dan kepalanya disandarkan ke tiang besar kayu jati.
Boma berpikir-pikir apakah Ki Tunggul Sekati mendengar atau sedang tidur. Dan
anak ini jadi melengak ketika dari mulut orang tua itu terdengar suara mengorok.
Serda Sujiwo hentikan ceritanya. Dia ingin Ki Tunggul
mendengar semua apa yang diterangkan. Tapi kalau orang yang dihadapinya tidur,
buat apa dia terus bercerita. Boma sendiri merasa heran melihat perilaku orang
tua bertubuh cebol ini.
Hidungnya ditowel beberapa kali.
Pak Gondo tepuk bahu Serda Sujiwo lalu berbisik. "Terus saja Dik Jiwo, teruskan
ceritanya." Serda Sujiwo, juga Boma, memandang pada Pak Gondo,
memperhatikan Ki Tunggul Sekati lalu kembali berpaling pada Pak Gondo. Orang tua
berkacamata ini anggukkan kepala, kembali berkata agar Serda Sujiwo meneruskan
ceritanya. Dengan berbisik Pak Gondo berucap. "Beliau tidak tidur, beliau
mendengar semua yang Dik Gondo ucapkan."
Setelah memperhatikan wajah Ki Tunggul Sekati sesaat, Serda Sujiwo kembali
meneruskan ceritanya. Pada akhir cerita dia minta agar Ki Tunggul Sekati
bersedia menolong membebaskan anak perempuan yang terkurung di dalam Stupa.
Paling tidak memberi petunjuk apa yang harus mereka lakukan.
Begitu Serda Sujiwo selesai bercerita, sepasang mata Ki Tunggul Sekati perlahanlahan terbuka. Orang tua ini mengusap wajahnya yang kelihatan lebih jernih dan
lebih segar. Blangkon di atas kepalanya dirapikan.
"Siapa nama anak perempuan yang ada dalam Stupa?" Tiba-tiba Ki Tunggul Sekati
ajukan pertanyaan. "Dwita. Dwita Tifani." Boma yang menjawab.
Dua mata si kakek menatap ke arah Boma. Ketika Boma balas menatap, sepasang
matanya terasa bergetar.
"Anak sendiri namanya siapa?"
"Saya Boma. Boma Tri Sumitro."
Ki Tunggul Sekati mengangguk-angguk sambil menyebut nama Boma beberapa kali.
"Stupa, tempat anak perempuan itu dikurung, Stupa apa" Arca apa yang ada di
dalamnya?" Ki Tunggul Sekati bertanya lagi.
Serda Sujiwo tidak ingat, tidak begitu jelas Stupa atau Arca yang ada dalam
Stupa di mana Dwita disekap Pangeran Matahari. Dia memandang pada Boma.
"Dik Boma tahu" Ingat?" tanya Serda Sujiwo.
"Kalau saya tidak salah, arca dalam Stupa itu adalah Arca Amoghasidi."
"Pasti?" tanya Ki Tunggul Sekati.
Boma menowel hidungnya.
"Pasti." "Kalau memang anak itu berada dalam Stupa Amoghasidi, berarti tidak ada yang
dikawatirkan. Dia pasti bisa diselamatkan."
"Bagaimana caranya Kek" Kakek sendiri yang nolong?" tanya Boma.
"Setiap Arca Amoghasidi mengambil sikap duduk dengan tangan kiri diletakkan di
atas pangkuan, tangan kanan dikembangkan, telapak terbuka menghadap ke depan.
Ini adalah sikap Abhayamudra yang berarti jangan takut, jangan gentar."
Boma diam-diam merasa kesal. Pertanyaannya tidak dijawab.
Anak ini lantas keluarkan ucapan.
"Berarti Arca itu yang akan menolong membebaskan kawan saya?"
Ki Tunggul Sekati tertawa. Tangan kirinya diulurkan. Boma kaget. Jarak antara
dia duduk dan si kakek cukup jauh, yang jelas lebih dari satu jangkauan tangan.
Apa lagi dengan keadaan tubuhnya yang cebol begitu, jarak antara dirinya dengan
si kakek jadi tambah jauh. Namun anehnya tangan kiri Ki Tunggul Sekati mampu
memegang kepala Boma dan mengusapnya beberapa kali.
Seperti tadi ketika mencium tangan orang tua itu, saat itu Boma merasa ada hawa
aneh keluar dari tangan Ki Tunggul Sekati mengalir masuk ke dalam kepalanya.
Boma melihat bagian dalam Masjid Besar yang tadinya agak redup karena memang
kurang penerangan kini seperti terang benderang.
"Anak, Arca itu hanya benda mati. Terbuat dari batu. Tidak bernafas, tidak bisa
bergerak. Berarti tidak bisa menolong. Namun jika Yang Maha Kuasa mau berbuat
sesuatu, apa saja bisa dilakukanNya."
"Lalu bagaimana dengan teman saya Kek?" Boma masih belum jelas bagaimana caranya
orang tua itu menolong Dwita keluar dari dalam Stupa.
"Benar, Ki Tunggul," ikut berucap Serda Sujiwo. "Mungkin Ki Tunggul tahu
bagaimana caranya."
"Saya tidak tahu caranya. Saya tidak punya kepandaian apa-apa."
Boma seperti dihenyakkan ke lantai mesjid mendengar kata-kata orang tua itti.
Serda Sujiwo terdiam. Pak Gondo juga diarn tapi tampak tenang.
"Sialan," Boma memaki dalam hati. "Ahli percandian itu jangan-jangan asal sebut
saja. Menyuruh menemui kakek cebol ini.
Padahal dia tidak bisa berbuat apa-apa! Ngabisin waktu aja! Buat apa lama-lama
di sini"!" Boma berpaling pada Serda Sujiwo, maksudnya mau memberi tanda agar
mereka segera saja meninggalkan tempat itu. Namun saat itu terdengar Ki Tunggul Sekati berkata.
"Anak Boma, ulurkan tangan kirimu."
Boma melakukan apa yang dikatakan Ki Tunggul Sekati. Orang tua ini perhatikan
telapak tangan Boma. Matanya sesaat membesar lalu kepala diangkat menatap anak
lelaki di hadapannya itu. Ki Tunggul Sekati mendongak, pejamkan mata. Mulutnya
berucap. "Ganti, ulurkan tangan kanan."
Boma ulurkan tangan kanannya. Si orang tua masih terus mendongak, tidak melihat
atau memperhatikan telapak tangan Boma. Tapi ujung jari-jari tangannya diusapkan
pulang balik di atas permukaan telapak tangan hingga anak ini tersentak-sentak
dan hendak menarik tangannya.
"Kenapa?" tanya Ki Tunggul Sekati.
"Geli Kek," jawab Boma.
Orang tua itu tertawa.
"Kalau anak perempuan cantik yang mengusap telapak tanganmu, apa kau juga merasa
geli" Ha ...ha...ha." Orang tua ini pandai juga bergurau rupanya. Kepalanya yang
sejak tadi mendongak diturunkan. Telapak tangan kanannya ditempelkan ke telapak
tangan kanan Boma lalu berkata." Den Bagus, ada yang ingin kenal denganmu."
"Ingin kenal dengan saya" Siapa Kek?" tanya Boma.
"Saya tidak mau mendahului aturan. Nanti kau tahu sendiri..."
"Kek, kami datang kesini mau minta tolong. Menyelamatkan teman saya...."
"Saya tahu....Saya tahu." Jawab Ki Tunggul Sekati. "Di luar sana, ada dua orang
perempuan. Masih muda-muda. Seperti kakak adik dan cantik-cantik. Mereka datang
bersamamu. Siapa mereka?"'
Boma terkejut mendengar pertanyaan Ki Tunggul Sekati. Orang tua ini sejak mereka
datangi berada dalam bangunan Masjid Besar.
Bagaimana dia bisa tahu kalau di luar sana ada Ibu Renata dan Trini.
"Yang di luar itu Ibu Renata, Guru Bahasa lnggris. Sama kawan saya satu sekolah,
Trini." Ki Tunggul Sekati tersenyum, kedipkan matanya. "Anak Boma ulurkan tangan
kananmu." "Mau diapain lagi?" pikir Boma. Tapi dia menurut juga. Tangan kanannya
diulurkan. Begitu Boma mengulurkan tangan kanan, Ki Tunggul Sekati ulurkan pula tangan
kanannya. Sebuah benda bulat dan hangat diletakkannya di atas telapak tangan
Boma. "Pegang baik-baik, jangan sampai jatuh. Jangan sampai pecah."
Kata si orang tua bertubuh cebol itu lalu menarik tangannya kembali.
Boma perhatikan benda di atas telapak tangannya. Ternyata sebutir telur ayam.
Dengan tangan kirinya Boma menowel hidungnya. Anak ini heran, bingung. Mungkin
juga tidak percaya. Telur didekatkan ke depan matanya untuk memastikan itu memang telur betulan.
Tadi waktu Ki Tunggul Sekati menggerakkan tangan kanannya, jelas Boma melihat
tangan itu kosong. Lalu bagaimana tahu-tahu Ki Tunggul Sekati bisa menaruhkan
sebutir telur ayam di telapak tangannya" Dari mana telur itu datangnya" Untuk
apa" Mau digoreng, atau direbus" Boma menowel hidungnya sekali lagi.
Mendadak dia ingat. Ada ilmu aneh. Seseorang bisa membuat lenyap atau
memindahkan "telur" orang lain dari tempat semula ke mana saja dia suka.
Termasuk menempelkannya di jidat. Boma susupkan tangan kirinya ke bawah perut.
Meraba-raba. Ki Tunggul Sekati tertawa mengekeh.
"Masih lengkap dua-duanya?" tanya orang tua ini.
Wajah Boma bersemu merah. Ki Tunggul Seka kembali
terkekeh. *** BOMA GENDENK TENDA BIRU CANDI MENDUT
7 NENEK BUNGKUK DI BAWAH POHON BERINGIN
NAK Boma, dengar baik-baik. Telur ayam itu harus selalu kau pegang di tangan
kanan. Jangan dimasukkan dalam saku,
Ajangan dipindah ke tangan kiri. Kau dan Dimas Sujiwo masuk ke dalam Keraton,
harus keluar menempuh jalan yang sama.
Keluar dari pintu gerbang, membelok ke kanan. Ikuti tembok Keraton. Pada belokan
pertama ke kanan, kalian akan berpapasan dengan seseorang. Boma, kau harus
memberikan telur ayam itu pada orang yang kau temui itu. Jika dia memberikan
sesuatu padamu, ambil dengan tangan kiri. Benda itu harus kau bawa ke Candi
Borobudur. Letakkan di dalam salah satu lobang sebelah bawah Stupa dimana anak
perempuan temanmu terkurung. Pada pertengahan malam, tepatnya jam dua belas
sesuatu akan terjadi.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih Maha Penyayang akan menolong
sahabatmu itu."
Boma sesaat terdiam.
"Ada yang hendak kau tanyakan?"
"Orang di tikungan tembok Keraton itu, Kek. Bagaimana ciri-cirinya" Lelaki atau
perempuan. Masih muda atau sudah tua?"
Panji Sakti 2 Juragan Tamak Negeri Malaya Karya Widi Widayat Pendekar Pemanah Rajawali 25

Cari Blog Ini