Ceritasilat Novel Online

Dewi Penyebar Maut X I 1

Candika Dewi Penyebar Maut X I Bagian 1


CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-11 Oleh Djokolelono
? Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Desain dan gambar sampul oleh Djokolelono
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, Juni 1991
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1. TARI DIA lari terus. Gerakannya memang gesit. Tata larinya juga hebat. Ia begitu
cepat. Dan ia tak memperhatikan di mana ia lewat.
Semak-semak, onak, duri, semua diterabasnya. Pakaiannya memang tadinya sudah compang-camping.
Dan kini makin compang-camping.
Rambutnya berantakan karena sering tersangkut di
ranting-ranting. Kulitnya yang kemerahan semakin merah karena duri yang merobek-robek kulit itu.
Dan dia terus berlari.
Entah ke mana. Tanah tempat ia berlari menurun terus, hingga larinya makin tak terasa.
Entah kenapa. Ia tak tahu kenapa ia berlari.
Pemuda itu, si Ahireng, mengucapkan sesuatu yang
membuatnya sakit hati. Tapi kenapa" Toh Ahireng juga memang sering menyakiti
hati dan badannya" Oh. Ya.
Hanya karena Ahireng memuji kecantikan seseorang
yang disebutnya 'Buyut'. Lalu kenapa"
Tak terasa ia melambatkan larinya. Karena berpikir
tadi. Dan juga karena tiba-tiba dirasanya ia makin bebas bergerak. Ternyata
pepohonan makin jarang. Dan
matahari... aneh. Matahari masih rendah ataukah sudah rendah lagi"
Akhirnya ia berhenti. Tidak. Itu bukan matahari terbit. Itu matahari hampir terbenam. Sebab itu Gunung
Kawi. Bukan Gunung Mahameru.
He. Kenapa dia tahu nama gunung-gunung itu" Tapi
... apakah memang seharusnya ia tak tahu" Apakah itu berarti ia telah seharian
berlari tak tentu arah"
Hanya karena... Ia berjalan perlahan menunduk...
Hanya karena Ahireng memuji kecantikan seseorang.
Ah. Apa hubungannya dengan dirinya" Apakah ia... suka... pada... pemuda hitam legam itu"
Sejelek itu" Ah. Apa ukurannya jelek" Ia tak pernah
melihat pemuda lain. Memang tidak ada. Tidak! Ada!
Sekilas otaknya seolah ingin menghadirkan suatu tokoh. Tapi gambar itu langsung lenyap lagi. Siapa sih"
Ia seolah pernah punya teman. Pria. Dengan wajah
tampan. Tapi siapa"
Ia tertegun sejenak. Didengarnya suara air. Dan suara anak-anak ramai. Ah. Apakah ia sudah meninggalkan hutan"
Dikuaknya semak-semak.
Ia berada di puncak suatu tebing. Sedikit di bawahnya ada sebuah sungai. Jernih. Bening. Dan beberapa
orang anak sedang berteriak-teriak bermain di air.
Ah. Rasanya ia pun pernah seperti itu. Ia senang sekali air. Ia ingin ikut bermain.
Ia melompat dari tebing. Langsung turun ke air.
"Adik-adik... aku ikut, ya?" Dia mencoba membuat
wajahnya semanis mungkin.
Sesaat anak-anak itu membeku. Dan mendadak mereka semua semburat. Bertemperasan lari keluar dari
sungai. Dan terus lari sambil menjerit-jerit. Sama sekali tak lagi memperhatikan
kain mereka yang tersampir di semak-semak.
Turi ternganga. Apa yang membuat mereka lari"
Dan ia melihat bayangan wajahnya di cerminan air.
Huh. Wajah itu lagi. Wajah hitam kemerahan. Dengan
rambut tak keruan. Dan mata putih bening yang tampak nyata di wajah gelap tersebut.
Ia sudah terbiasa akan wajah itu kini. Namun akhirakhir ini ia sering bermimpi tentang sebuah wajah gadis dusun yang cantik.
Apakah itu wajahnya"
Dan ia ingat pula Ahireng tadi membandingkannya
dengan seseorang yang bernama 'Buyut'. Hatinya bergolak rasa benci. Kenapa
Ahireng tak suka wajahnya" Kenapa anak-anak itu tadi takut pada wajahnya"
Terpandang kain-kain yang tersampir di semaksemak. Yah. Sudahlah. Kebetulan kain yang dipakainya compang-camping.
Ia menunggu. Akan kembalikah anak-anak itu"
Ia merenungi air jernih yang gemersik berlalu di bagian sungai yang dangkal. Dan air tenang dekat batu
tempatnya duduk menjulurkan kaki. Begitu jernih. Dan dingin.
Ah. Dulu rasanya ia sering bermain-main di air dingin. Bukan di telaga berair panas tempat ia biasa bermain dengan Ahireng.
Turi tahu-tahu sudah berada di dalam air. Dan air
dingin menyejukkan benaknya. Sesaat ia merasa benarbenar ceria. Ia berenang-renang di bagian dalam yang terlindung ceruk tebing
itu. Entah berapa lama. Dan entah apa yang dipikirkannya. Dan ia memang tak begitu peduli lagi apa yang tak bisa dipikirkannya
lagi. Ia sudah terbiasa. Dan bahkan sering ia menghindar dari keinginan untuk
berpikir. Karena berpikir membuat kepalanya sering sakit.
Dan jika kepalanya sakit, entah bagaimana ia telah
bersila, bernapas dengan teratur dan badannya serasa segar kembali. Ahireng
berkata ilmu semadinya hebat.
Tapi ilmu-ilmunya yang lain juga hebat. Hampir tiap
hari ia memang dihajar oleh Ahireng. Tetapi bukannya dirinya sakit, ia bahkan
merasa badannya semakin
kuat. Gerakannya semakin ringan. Dan itu semua keluar tanpa dipikirkannya.
Tiba-tiba nalurinya mengatakan ada orang lain di situ. Ia berhenti berenang. Memasang telinga.
Ya. Ada beberapa orang di semak-semak sana. Sial.
Pakaiannya jauh darinya. Tapi buat apa kain compangcamping itu" Ada kain anak-anak itu.
Seperti dalam latihan, tiba-tiba saja tubuh Turi melesat. Hampir tak terlihat. Dan sekejap ia telah meli-litkan kain-kain desa itu
ke badannya. Di hadapannya telah muncul beberapa orang lelaki.
Mereka tampaknya para petani. Dan semua bersenjata.
Dan mereka semua memandangnya dengan mata terbelalak. "Sssi... siapa kau?" seorang lelaki yang tubuhnya
paling tinggi besar tergagap bertanya. "Jjika... jjika kau bukan mmmanusia...
jjangan ganggu kami..."
Siapa dia" Ya. Mungkin yang ditanyakan adalah namanya. Namanya! Ia ingat ia punya nama. Pemuda hitam itu memanggilnya Turi. Turi. Tapi ia tak yakin itu namanya yang asli. Turi"
Ataukah... Tari! He. Tidak.
Mungkin juga bukan itu. Turi mendengus, membalikkan badannya untuk pergi. Tetapi ternyata ia telah dikepung. Dan mereka membawa
senjata. Berbagai macam senjata. Turi berbalik lagi.
"Jjjangan gangggu kkkami...," orang itu berkata lagi.
"Aku pergi," kata Turi. Sudah begitu lama ia tak berbicara pada orang asing.
Rasanya kaku. "Jjangan kkembali lagi...," kata orang itu. Ia mundur selangkah. Dan kawankawannya yang memegang senjata makin maju. Ujung-ujung tombak dan bambu runcing makin dekat ke dada Turi. Beberapa orang tampak mengacungkan keris
sementara mulutnya komat-kamit.
"Aku mau pergi," Turi menegaskan.
Dan tiba-tiba saja mereka menyerangnya.
Secara wajar Turi bergerak. Seolah melangkah tak
acuh ke kiri dan ke kanan. Dan ia sudah lolos dari kepungan. Bahkan beberapa
pengepungnya saling tabrak
dan labrak. "Gempur, teman!" seseorang berteriak. Dan puluhan
orang itu bergerak serentak menyerbu Turi.
Turi bergerak makin gesit. Semula ia pun balas memukul. Tapi mereka ini jelas bukannya Ahireng yang
tahan akan tendangan dan hantaman Turi. Turi sendiri sampai terkejut. Beberapa
orang yang terkena tangan
dan kakinya langsung terpelanting dan pingsan.
Turi jadi gugup melihat ini. Beberapa ujung tombak
nyaris menyambar punggungnya. Ia mengerahkan tenaga dan melompat menyingkir.
Bagi para pengepungnya Turi tiba-tiba lenyap.
Turi sendiri berlari di antara semak belukar. Dia
mengumpamakan semak belukar itu lawan-lawan atau paling tidak orang yang menghadangnya dalam
suatu permainan - dan ia selalu menghindar. Nyaris ia
tak menyentuh semak-semak tersebut.
Tiba-tiba ia sampai di tempat terbuka.
Sebuah ladang ubi.
Sepi. Di sudut ada sebuah gubuk. Sangat sederhana. Dan
di depannya sebuah bekas api unggun yang asapnya
masih mengalun perlahan ke langit.
Turi melihat berkeliling. Memasang telinga. Tak ada
tanda-tanda ada kehidupan di sekelilingnya.
Turi maju ke api unggun itu.
Pastilah ada orang. Api itu masih berasap. Bahkan
membara. Dan di samping api unggun ada beberapa
buah ubi. Turi jadi lapar. Sekali lagi ia menunggu. Tak ada suara. Mungkin pemiliknya
sudah pulang. Turi duduk dan memanggang sebuah ubi.
Ditiupnya api unggun itu yang kemudian berkobar.
Dan entah, dari kedalaman pikirannya ia seolah mempunyai pengalaman yang sama. Duduk dekat api unggun dan membakar ubi.
O, enaknya ubi yang panas dan manis itu. Dengan
rakus Turi memakannya. Sampai tiba-tiba ia merasa tidak sendiri di situ.
Ia menengadah. Di seberang ladang itu entah sejak kapan telah berdiri dua orang. Seorang lelaki tua berjenggot putih lebat.
Dan seorang pemuda yang sangat tampan dan berpakaian rapat beberapa rangkap. Rambutnya yang hitam
legam digelung tinggi, hitam mengkilap bagai bukan
rambut lelaki. Dan... mungkin juga ia bukan lelaki.
Bahan pakaiannya kasar, namun jelas tampak kulitnya halus. Dan kakinya memakai alas kaki.
Juga, tiba-tiba saja Turi mencium bau wangi.
Yang membuat Turi gelisah adalah orang tua itu. Matanya begitu tajam menusuk. Turi merasa sampai gemetar. Terutama saat orang itu melangkah mendekat.
Dengan ketakutan Turi berdiri. Mundur hingga sampai ke gubuk. "Jangan takut... kami hanya ingin istirahat," kata si tua. "Boleh kami minta
ubimu" Dan sedikit air minum?"
Suara itu serasa menggedor dada Turi. Dan tiba-tiba
ia merasa bahwa mungkin orang itu sesungguhnya tak
ingin istirahat, tak ingin ubi dan tak ingin air. Lalu ingin apa"
Gugup Turi menuding pada ubi-ubi di tanah. Menyuruh mereka mengambil sendiri.
Orang tua itu seenaknya duduk di balai-balai bambu
di dalam gubuk. "Tolong bakarkan dua. Untuk aku dan
cucuku ini..."
Entah kenapa Turi tak sanggup membantah. Pemuda yang disebut cucu tadi kini berdiri begitu dekat dengannya. Dan Turi melihat
betapa betis pemuda itu begitu kuning dan halus.
"Kau bukan orang sini?" tanya si orang tua.
Turi menggelengkan kepala.
"Mengapa kulitmu begitu... jingga?"
Turi menggelengkan kepala lagi, seolah-olah asyik
membolak-balik ubi itu.
"Kakekku bertanya padamu." Pemuda cantik tadi
mengulurkan kakinya untuk menyentuh kaki Turi. Turi
masih menggelengkan kepala.
"He... aku seperti pernah melihat kau... Di mana,
ya?" Pemuda itu mengingat-ingat.
Turi jadi tertarik.
Ia memandang si pemuda dengan pandangan mengharap. "Tapi rasanya aku belum pernah melihat orang sejelek kamu," si pemuda berkata ketus. Dan gerak bibirnya sama sekali tidak mirip
pria. "Jangan ganggu dia," cegah si kakek. "Mungkin nanti
ia mau bercerita sendiri...."
"Dia memang jelek." Pemuda itu duduk di samping
kakeknya. "Aku tidak jelek," gumam Turi.
"Siapa bilang?" Si pemuda agaknya mendengar juga
kata-kata Turi yang nyaris berbisik itu. "Siapa pernah melihat orang biasa
berkulit... jingga?"
Turi tersentak, berpaling. Dan sesaat ia pun melihat si tua tersentak kaget
seakan baru sadar akan sesuatu.
Turi kembali menunduk. Ia tak merasa aneh dikatakan berkulit jingga. Hanya ini untuk pertama kalinya orang asing berkata begitu
padanya. "Hei, Nak... katakan... apakah kau anak dari daerah
sini?" si tua itu bertanya, dan nadanya amat lembut.
Turi mengangguk.
"Kau tidak berdusta?" tanya kakek itu lagi.
Turi menggelengkan kepala.
"Lalu... kenapa orang-orang desa mengepungmu?"
Turi terkejut. Mengangkat kepala. Benar juga. Belasan orang yang mengejarnya telah tiba. Tadi ia tak mendengar karena asyik
membakar ubi dan memusatkan
perhatian pada kata-kata si kakek.
"Mereka mengejarmu karena kau begitu jelek?" tanya
si pemuda. Ia akan berkata-kata lagi. Tapi pandang ma-ta si tua mencegahnya.


Candika Dewi Penyebar Maut X I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau kenapa, Nakmas?" kata si tua berbisik. "Belum
pernah kurasakan kau membenci orang seperti ini."
Turi sendiri terkejut. Benarkah orang tua itu berbisik dan ia mendengarnya. Tapi
dari sudut matanya si tua
terlihat tak menggerakkan bibir sedikit pun. Demikian juga si pemuda saat
menjawab. "Entah, Eyang. Mungkin di kehidupan yang lalu ia
pernah menjadi musuhku. Tiba-tiba saja aku begitu
benci padanya," kata si pemuda.
Kehidupan lalu, kehidupan lalu... Turi mengernyitkan kening. Apa yang dialaminya di kehidupannya
yang dahulu" Bagaimana ia bisa tahu, kalau kehidupannya yang tidak terlalu lama ia sudah lupa"
Misalnya, siapa sebenarnya namanya"
Ia berasal dari mana" Ia bisa bersusah payah mengingat suatu tempat. Isinya banyak wanita cantik. Baunya wangi selalu. Dan
seorang wanita setengah baya
bernama Emban Layarmega. Juga ada seorang tinggi
besar bernama Bima. Kemudian seseorang memberikan
padanya seutas kalung kayu... tangan Turi tak terasa meraba lehernya. Kosong.
Ah. Ya. Dia baru ingat. Ingat kalung kayu. Kalung
kayu itu tanda jabatan. Dan ia yakin orang yang memberinya pasti ingat masa lalunya. Lalu ia ingat beberapa hari yang lewat kalung
itu berantakan. Tapi Ahireng...
ya. Ahireng. Ia ingat nama itu. Membungkusnya dalam
kain dan disimpannya di kain ikat pinggangnya.
Ingatannya ternyata berjalan! Kain ikat pinggang itu ada dan suatu benjolan
padanya menunjukkan di da-lamnya ada buntalan berisi kalung kayu itu!
"Auuu!" tiba-tiba ia menjerit. Ternyata ia begitu teng-gelam dalam lamunannya
hingga tak memperhatikan
apa yang terjadi di sekelilingnya. Dan pangkal sebatang tombak mendorongnya
hingga jatuh terjengkang.
"Kami bicara padamu!" Ternyata orang tinggi-besar
yang menyerangnya tadi.
"Hah?" Turi bingung.
"Tinggalkan tempat ini. Jangan ganggu kami lagi.
Jangan kembali. Hanya itu yang kami minta. Walaupun... sesungguhnya kau harus dihukum untuk membalaskan kejahatan yang kaulakukan sebelumnya...."
Terdengar orang itu tak setakut tadi. Mungkin kini ia baru sadar bahwa Turi
bukanlah makhluk halus. Jelas
makhluk halus tidak makan ubi bakar.
"Ke... kejahatan apa?" Turi belum berdiri, masih terjengkang di tanah.
Diliriknya orang tua dan pemuda itu seolah tak acuh memperhatikan itu semua. Apa
orang-orang ini mereka yang suruh"
Agaknya bukan. Orang-orang itu menjaga jarak terhadap si kakek.
"Gempur saja, Kiai!" seseorang berseru.
"Tak usah ditanyai!" sahut yang lain.
"Dia toh tidak bertanya-tanya sewaktu membunuh
anak-anak kita!" terdengar suara lain, jauh dari belakang kerumunan.
"Barangkali kakek tua itu majikannya!" sebuah suara lagi berteriak.
"Dia dalangnya!" ada yang menyambut keras.
"Usir juga dia!"
"Tangkap!"
"Bunuh!"
Suasana yang mendadak hiruk pikuk tiba-tiba terdiam oleh kata-kata terakhir itu. Semua memandang si kakek.
"Maaf, Orang Tua, siapakah Tuan?" Orang bertubuh
tinggi-besar itu bertanya dengan sikap hati-hati. Dan tanpa diperintah orangorang pun mengambil kedudukan mengepung si orang tua.
"Boleh aku tahu lebih dulu, siapakah Tuan?" sahut
si tua teramat sopan.
"Namaku Bawong, petugas keamanan Desa Weling.
Dan daerah sekitar tempat ini sudah sering menderita kejadian aneh. Anak-anak
kami hilang. Kemudian dike-temukan tanpa kepala. Kami kira hanya gandarwa yang
mampu berbuat itu. Kami kira makhluk ini...," ia menuding pada Turi, "adalah gandarwanya. Tetapi ternyata ia manusia biasa.
Walaupun kesaktiannya mungkin
luar biasa. Dan karena Tuan berdua asing... serta bergabung dengannya... terus
terang kami curiga."
Tiba-tiba si tua tertawa terkekeh-kekeh.
"Paling gampang memang orang bercuriga, Ki Sanak...," katanya. "Kami berdua hanya pencari tumbuhtumbuhan berkhasiat dari Trang Galih. Kami dengar di hutan ini ada sumber air
panas dengan tumbuh-tumbuhan berkhasiat."
Kembali Turi terperangah.
Jelas-jelas kupingnya mendengar apa yang diucapkan si kakek, kata demi kata. Tetapi baginya seolah si kakek berbicara lain
dalam saat yang bersamaan.
Si kakek didengarnya juga berbicara dengan si pemuda,
"Coba Nakmas bereskan orang-orang ini, tetapi jangan sampai ada yang cedera
berat...."
Dan seolah-olah didengarnya pula si pemuda menjawab, "Mengapa Kakek tiba-tiba memperhatikan keselamatan orang-orang ini?"
"Aku merasa ada wibawa orang sakti di dekat sini....
Aku tak ingin mengundang perhatiannya," jawab si kakek, kini tanpa menggerakkan bibir lagi.
"Mengapa kita harus takut pada orang yang belum
tentu ada?" si pemuda bertanya lagi tanpa bersuara.
Saat itu si tinggi-besar yang mengaku bernama Bawong itu telah berkata, "Bolehkah Tuan menunjukkan
bukti bahwa Tuan memang pencari obat?"
Si pemuda telah maju. Bertolak pinggang dan cemberut. "Kaukira kau ini siapa berani bertanya kurang sopan
pada kakekku?" tanyanya.
"Kami bukannya tidak sopan," sahut Bawong mengerutkan kening tak senang. Dan matanya memberi isyarat agar pengepungan makin diperketat. "Ini adalah daerah kami. Sudah wajar jika
kami menanyai orang yang memasukinya."
"Daerah kalian?" Tiba-tiba si pemuda cantik tertawa.
"Apakah kau Yang Dipertuan Agung dari Wilwatikta"
Kalau begitu, mohon tunjukkan buktinya."
"Tak usah. Tanyakan pada semua orang yang ada di
daerah sekitar tempat ini...," kata Bawong makin tak senang.
"Tak usah. Aku hanya percaya itu jika kau bisa melakukan hal yang sangat sederhana." Si pemuda tersenyum nakal. "Apakah itu?" tanya Bawong.
"Bunuh dia!" si pemuda menuding. Tepat ke arah
Turi. Turi terperanjat. Semua terperanjat.
Turi terperanjat dua kali karena si kakek tanpa bersuara bertanya, "Nakmas, apa maksudmu?"
"Bukankah hamba tak boleh melukai mereka" Biarlah si jingga ini yang membereskan mereka. Aku yakin dia mampu. Sekalian... aku
ingin tahu siapa dia?" si pemuda menjawab dengan cara yang sama.
"Kalau ternyata ia orang gila biasa?" tanya si kakek.
"Hamba akan turun tangan," jawab si pemuda singkat. Sementara itu Bawong dan kawan-kawannya sudah
sadar dari rasa kaget mereka.
"Jadi... Tuan tak akan ikut campur jika kami menyerang dia?" Bawong yang tak mengerti percakapan itu
bertanya hati-hati.
"Tentu," si pemuda tertawa dan duduk. "Terus terang, kami pun sudah tiga bulan ini mengejar dia. Dari desa ke desa yang punya
cerita yang sama. Tadi aku
hanya ingin melihat apakah kalian benar-benar punya
semangat untuk membekuk dia. Nah, silakan...."
Beberapa saat hening. Semua perhatian tertuju pada
Turi. Dan tiba-tiba saja Turi bergerak begitu cepat.
Dengan gerakan tak terputus ia menyambar abu dan
bara api yang tadi dipakainya untuk memanggang ubi,
langsung melemparkannya ke arah Bawong dan kawankawannya. Sementara semua orang menjerit terkejut, tubuh Turi telah melesat miring. Berkelit dua kali dan ia telah lepas dari kepungan.
Tiga-empat kali lompatan. Dan ia telah melesat cepat menerobos semak-semak dan
pagar hidup. Kemudian
tahu-tahu ia telah berlari di ladang-ladang.
Rupanya tak ada yang mengejarnya. Turi melesat
naik ke sebatang pohon raksasa bercabang banyak dan
rimbun. Daerah sekelilingnya tampak jelas. Dan, ya, ia melihat mereka di kejauhan. Di sana, antara pepohonan
dan semak-semak. Beberapa orang tampak kebingungan. Wah. Secepat itukah ia berlari" Orang-orang itu tampak kecil-kecil. Mereka pasti tak bisa mengejarnya.
"Dari mana kau belajar Sura-caya itu?" tiba-tiba sebuah suara terdengar di
sampingnya. Turi begitu terkejut hingga kakinya goyang dan ia
langsung menjatuhkan diri ke tanah.
"Sura-caya!" tak terasa Turi membisikkan nama itu.
Bukan hanya karena Ahireng pernah mengucapkannya.
Tapi suara orang tua itu seolah menembus suatu lapis-an di pikirannya. Dan ia
sekilas, hanya sekilas, merasa nama itu begitu akrab dengan dirinya.
Kemudian ia lupa.
Orang tua itu sendiri.
Sayup-sayup terdengar teriakan maut di kejauhan.
Pemuda itu! Nyalang Turi melihat berkeliling. Pemuda itu tak ada. Mungkin dialah
yang menyebabkan teriakan-teriakan maut itu.
"Muridku paling tidak suka jika ditentang kemauannya." Orang tua itu seolah membaca pikiran Turi. "Dia bisa bertindak kejam,
memang." Melihat mata si kakek saat itu, maka hati Turi menciut. Mata itu begitu kejam mendadak, walaupun suaranya lembut. "Si... siapakah Tuan?" tanya Turi gemetar. Mundur.
"Kau murid siapa?" tanya si orang tua.
"Aku... aku tak tahu...."
Sesaat hening. Si orang tua berpaling menatap wajah
Turi. "Hmmm...." Ia manggut-manggut. "Kau berkata benar. Kau tak tahu! Aneh!"
Semak-semak terkuak. Pemuda itu muncul. Ada bercak-bercak darah di pakaiannya. Ia memandang Turi
penuh curiga. "Mungkin ia salah seorang murid Rahtawu," ia berbicara tanpa menggerakkan bibir pada si tua. "Gerakan
larinya sangat mirip dengan orang-orang di sana. Tapi...
hamba tak begitu yakin. Hamba bertiga mengawasi tempat itu beberapa lama saat itu. Tak terlihat ada seseorang yang berkulit jingga.
Orang aneh macam dia pasti sangat menonjol."
"Dia takut padamu, Nakmas....," si tua menyahut
tanpa menggerakkan bibir pula.
Tapi Turi tak memperhatikan itu. Rahtawu! Kata itu
juga menyusup masuk daya ingatnya. Itu nama tempat,
ataukah nama orang"
"Aku paling benci orang aneh," tukas si pemuda.
"Nakmas lupa... Sang Bhre Wirabhumi juga berkulit
jingga," si kakek pun memotong.
"Oh!" hanya itu reaksi si pemuda. Sementara berbicara tanpa suara, kedua orang itu saling bergerak. Seolah tanpa tujuan. Tapi
Turi segera merasa terkejut. Mereka selalu berada di titik-titik mereka akan
sanggup menghadangnya, ke mana pun ia bergerak.
Dan... langkah-langkah mereka mirip Ahireng jika
sedang berlatih dengannya! Ahireng sering berbuat seolah-olah tak acuh. Kemudian
tiba-tiba menyerang. Turi demikian pula. Seolah-olah tak tahu. Dan mendadak
menghindar serta menerjang.
Seperti saat itu.
Mendadak saja si pemuda menjerit. Dan menerjang.
Persis gerakan Ahireng. Ahireng menamakan gerak
itu Ombak Samudera Menggempur Karang. Tubuhnya berputar cepat meloncat tinggi
dan menghantam sasaran dengan kedua kaki bertenaga penuh. Turi tak tahu nama
gerakan yang dipakainya untuk menghindar. Gerakan itu serta merta keluar. Dan
sambil bercanda Ahireng menamakan gerak Turi Kelabang Terinjak Luput.
Semua gerakan Turi diberinya gelar dengan nama Kelabang, karena selalu disertai
gerak serangan balik yang menyengat.
Si pemuda berseru kaget. Hampir kakinya hancur
oleh entakan kaki Turi. Tapi dengan mantap ia berputar mundur. Ombak Samudera
Berkisar Bubar. Turi tampak seolah-olah mundur. Tapi sesungguhnya kakinya
melecut ke depan.
Ia terjebak. Agaknya si pemuda jauh di atas Ahireng.
Dua jarinya terulur menyambut kaki Turi. Dan Turi
menjerit keras. Kakinya seakan menginjak bara yang
sangat, sangat panas!
Turi terjatuh dan bergulingan di tanah. Si pemuda
melompat maju untuk memberikan hantaman maut.
Tapi si tua berseru, "Jangan, Nakmas!"
Tapi terlambat. Si pemuda telah menghantam. Dan
Turi merasa seolah-olah tubuhnya berada di lautan api.
Dan tanpa terasa ia membalas. Dengan mengerahkan
semua kekuatannya. Kemudian semuanya gelap.
2. NAGABISIKAN HUJAN. Deras sekali.
Di mulut gua Nagabisikan berdiri. Deru hujan mengembuskan angin dingin yang deras membelai jenggot
putihnya. Ia memejamkan mata.
Di dalam gua, Wara Hita yang berpakaian pemuda
menutup tubuhnya rapat-rapat dengan kain tambahan.
Hawa dingin tentu saja tak begitu mengganggu. Namun
ia sedang kesal dan seolah-olah ingin melupakan kekesalannya itu dengan berbuat
sebagai manusia lumrah.
Berselimut rapat. Membuat api unggun.
Di luar gua, di tanah lapang kecil, Turi diikat pada sebatang tonggak. Hujan
deras mengguyur dirinya. Basah kuyup. Dan ia masih belum sadarkan diri.
Wara Hita memainkan api dengan sebatang ranting.
Sesekali ia melirik gurunya. Nagabisikan diam bagai patung. Kemudian gadis
itu... yang karena basah kuyup
makin nyata kegadisannya, tubuh sintal yang hanya
terbalut kain tipis. Dan warna jingga kulitnya tak begitu kentara diliputi air
hujan. "Dia luar biasa," tiba-tiba Nagabisikan berbisik.


Candika Dewi Penyebar Maut X I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, Eyang," tukas Wara Hita dalam peranannya
sebagai 'cucu' si 'kakek'. "Dia biasa saja. Roboh dengan sekali sentuh."
"Kau tahu satu tak tahu dua." Nagabisikan masih
memejamkan mata. "Tubuhnya berisi hawa sakti yang
aku sendiri pun tak bisa mempunyainya."
Ada sesuatu perubahan pada Nagabisikan. Dan Wara Hita tentu saja segera mengetahui hal itu. Gurunya yang biasanya tak pernah
mempunyai rasa iba, bahkan
seolah tak pernah punya pertimbangan apa pun, tibatiba begitu memikirkan anak berkulit jingga itu.
"Kalau begitu lebih baik dia dimusnahkan saja. Daripada kelak menjadi duri."
"Aku ingin menyelidikinya."
"Kita buka saja perutnya. Kita lihat apa isinya."
Nagabisikan menghela napas panjang. Ia tentu mengerti mengapa muridnya begitu ketus. Tetapi ia harus mempertimbangkan segala
hal. Ia sesungguhnya tak punya persoalan tentang siapa
pun yang duduk di takhta Majapahit. Ia tahu, wahyu
kerajaan besar itu telah lenyap. Dan mungkin ia mempertaruhkan diri pada hal yang sia-sia.
Dari bintang-bintang ia membaca bahwa keturunan
langsung Sang Rajasa akan berakhir. Dan ia yakin pemegang wahyu kerajaan berikutnya adalah salah satu
keturunan yang tidak langsung. Ia memperhitungkan
itu akan datang dari keturunan Bhre Wirabhumi. Dan
ini bukan hanya dari perhitungan perbintangan. Ia merasa, keturunan Wirabhumi
punya daya dorong lebih
hebat. Mereka pasti ingin membalas dendam. Mereka
juga masih punya pengaruh. Mereka manusia-manusia
luar biasa. Untuk itulah Nagabisikan rela bergabung dengan
Wara Hita, yang menurut penyelidikannya memang keturunan langsung dari Sang Wirabhumi. Memang agak
sulit memastikan apakah keturunan Sang Wirabhumi
hanya satu. Ataukah memang ada. Ketika Raden Gajah
melabrak Tanah Timur, keturunan Sang Wirabhumi sudah berpencaran dan lenyap.
Tapi itu semua sesungguhnya tak perlu bagi Nagabisikan. Ia bangkit dari kematian, hanya dengan tujuan satu,
yaitu menaklukkan Megatruh.
Kekalahannya dari Megatruh yang lalu sangat menyakitkan hati. Kalah ilmu kesaktian, kalah siasat perang, dari seorang yang
boleh dibilang masih anakanak! Untuk mencari Megatruh sangat sulit. Ia hanya pernah menyaksikan beberapa ilmu yang mirip ilmu-ilmu
Megatruh yang pernah menaklukkannya. Dan ilmu Megatruh juga sealiran dengan ilmu-ilmu yang ada di istana Wilwatikta.
Maka ia memutuskan untuk sekali tepuk beberapa
tujuan tercapai.
Mungkin ia bisa mendukung Wara Hita sampai ke
takhta Wilwatikta.
Mungkin ia bisa menyelidiki rahasia ilmu-ilmu Megatruh. Mungkin ia bisa mempermalukan Megatruh.
Mungkin ia bisa memancing keluar Megatruh dan
menundukkannya.
Semua berjalan lancar. Perjalanannya kali ini di
samping untuk mencoba kesaktian Wara Hita juga untuk mencari beberapa pusaka Wirabhumi yang masih
ada di Wilwatikta.
Kemudian muncul anak ini.
Entah siapa dia, hawa sakti di tubuhnya sungguh
luar biasa. Tata gerak kewiraannya juga mirip-mirip gerak Sura-caya, Birawadana, dan
Wajraprayaga - walaupun semuanya tampak ngawur.
Dan kulitnya itu.
Wara Hita langsung menyebutnya jingga.
Menurut cerita, Sang Bhre Wirabhumi juga berkulit
jingga. Apakah ada hubungannya"
"Sekali pukul, hamba bisa merogoh jantungnya,"
sungut Wara Hita.
"Aku tahu. Tapi aku ingin menyelidikinya," bisik Nagabisikan. "Dia?" Wara Hita heran.
"Ya. Bagiku dia adalah teka-teki. Dan aku harus
menjawabnya."
"Tetapi rencana yang sudah Eyang Guru titahkan?"
"Tak berubah. Hanya... berangkatlah lebih dahulu.
Langsung ke Wengker. Kita bertemu di Penataran bulan purnama ini."
"Eyang... hamba berjalan sendiri?"
"Hitunglah sebagai ujian. Nakmas, selama ini keputusanmu selalu bisa kaurundingkan dengan Paman Juru Meya. Atau Bibi Huyeng. Atau aku. Dan itu tidak
baik. Kau harus berlatih mengambil keputusan sendiri."
Wara Hita menunduk. Ada rasa gembira. Bahwa ia
bisa bepergian sendiri. Tapi juga rasa kesal. Agaknya Sang Guru mementingkan
anak ini. "Baiklah. Titah Eyang Guru hamba junjung," katanya akhirnya.
"Bagus. Berangkatlah sekarang."
"Sekarang" Di hujan selebat ini?"
"Sekarang. Di hujan selebat ini."
Kata-kata itu dingin. Tapi bagi Wara Hita agak aneh.
Ini bukan keputusan yang kejam. Ini bahkan bukan mirip-mirip gaya Nagabisikan.
Sesaat ia merenung.
Ia tak bisa merasa pasti sejak kapan ia berkenalan
dengan Nagabisikan.
Masa kecilnya ia hanya ingat sebuah desa di pesisir
selatan. Ombaknya besar-besar. Dan ia diasuh oleh Bibi Wara Huyeng. Ia ingat
walaupun desa itu melarat, ia
dan Wara Huyeng hidup lebih dari kecukupan, bahkan
punya rumah bagai istana dan anak buah yang mengawal mereka siang-malam.
Kemudian muncul orang berwajah jelek itu. Ki Juru
Meya. Dan ia mulai belajar beberapa ilmu kesaktian.
Kemudian entah sejak kapan, muncul Nagabisikan.
Dan kehidupannya berubah.
Ia harus bersiap-siap untuk jadi penguasa tanah Jawa. Apa yang diperolehnya selama ini"
Ia punya jaringan yang luas. Dan ia boleh bertindak
bagaikan raja. Dan ia makin yakin bahwa dialah sebenarnya penguasa tanah Jawa.
Ia sudah punya pasukan. Ia sudah mengobrak-abrik
mereka yang diperkirakan membantu tumbangnya keluarga Wirabhumi.
Tetapi tetap saja Nagabisikan sebagai guru utamanya
mencegahnya untuk secara terbuka melabrak Wilwatikta. Kadang-kadang, seperti saat ini, ia pun curiga.
Apakah benar Nagabisikan mendukung dirinya sepenuhnya" "Ada keraguan dalam tindakanmu...," desis Nagabisikan. "Tidak, Eyang Guru. Hamba mohon pamit," Wara Hita berkata tegas. Diambilnya buntalan bekalnya. Dieratkannya ikat pinggang serta kerisnya. Kemudian ia berlutut. Menyembah. Dan
berangkat. Masuk ke hutan
lebat. Nagabisikan tak memperhatikannya.
Ia memejamkan mata.
Kemudian perlahan ia berjalan masuk ke hujan lebat
pula. Dengan mata tertutup rapat. Tangannya terulur
mendekati Turi yang terikat.
Didekapnya gadis itu. Erat-erat. Dan hawa panas
disalurkannya. Mereka berdua bagai patung batu. Kaku. Membeku.
Di hujan deras dan amukan hawa dingin. Namun terlihat asap putih mengepul dari kedua tubuh itu.
Nagabisikan masih berpejam mata. Dan Turi mulai
bergerak. Mula-mula gelisah. Kemudian meronta-ronta.
Menjerit-jerit.
Seluruh tubuhnya dialiri hawa panas.
Seluruh darahnya serasa mendidih.
Dan keringat pun mengalir keluar, walaupun hawa
dingin begitu menggigit.
Sampai akhirnya hujan reda. Dan pagi pun tiba. Sepanjang malam mereka berdekapan.
"Ki Sanak, apa yang sedang kauperbuat?"
Suara itu terngiang, mampu menembus batas pemusatan pikiran Nagabisikan. Ia terpaksa mengendurkan
semadinya. Melepaskan Turi yang langsung lunglai dalam ikatannya di tonggak.
Nagabisikan berpaling.
Seorang pemuda berdiri memandanginya, menuntun
seekor kuda. Keduanya tegap. Gagah. Bahkan si pemuda bagai memancarkan suatu cahaya.
Mata batin Nagabisikan serasa tergetar.
"Uh... aku... ingin mengobati cucuku... " kata Nagabisikan. "Ya... tampaknya dia sakit berat...." Si pemuda mengerutkan kening. "Kenapa kauikat?"
"Dia... biasa mengamuk jika... kumat...," kata Nagabisikan. "Makanya... kubawa ke sini...."
"Boleh kuperiksa?" Si pemuda bersiap melangkah
mendekat. "Aku juga punya kebisaan sedikit," kata Nagabisikan.
"Kukira aku berhasil menyadarkannya. Tapi... siapa
nama Tuan?"
"Namaku Patah," jawab pemuda itu.
"Tidak seperti orang Jawa. Suara Tuan. Dan tingkah
Tuan." "Aku dari tanah seberang, memang," kata si pemuda
yang memang adalah Raden Patah. "Dan Tuan sendiri?"
"Namaku Bisikan," sahut Nagabisikan. "Mmm... Raden seorang ksatria, tentunya?"
"Karena aku lahir di keluarga ksatria." Raden Patah
tersenyum. "Namun sesungguhnya antara sesama manusia sama sekali tak ada bedanya."
"Tak ada bedanya...." Nagabisikan mengamati Raden
Patah dari balik alis matanya yang putih terjurai. "Raden penganut agama baru
itu?" "Itu pun tak ada bedanya..." Raden Patah tersenyum.
"Tak akan membuatku sombong dan berkata bahwa
aku lebih benar dalam menyembah Dia yang satu... walaupun aku wajib mewartakan itu pada Tuan...."
"Terima kasih.... Tentunya Raden mengerti jika aku
tak mau menerima warta itu?"
"Tentu, betapapun aku akan berusaha agar Tuan
mendengarkannya."
"Dan Raden mengerti jika aku tak mau diganggu dalam mengobati cucuku ini?"
"Tentu. Sepanjang itu tidak membatasi kewajibanku
kepada sesama manusia," Raden Patah selalu tersenyum, kedudukan kedua kaki dan tangannya santai,
bahkan ia telah mundur untuk menambatkan kudanya.
"Maksud Raden?"
"Aku wajib menolong sesama manusia. Jika aku yakin Tuan dapat menolong cucu Tuan itu... maka tentu
aku tak ikut campur. Namun jika aku berpendapat
Tuan keliru berbuat atau tak mampu menolongnya, maka pertama-tama akan kutawarkan bantuanku. Jika ditolak, aku akan memaksa... sekali lagi, demi menolong jiwanya."
"Pendirian yang sangat menarik." Nagabisikan mengelus jenggotnya. "Seolah-olah Raden berpendapat... Pertama, aku tak akan
mampu... Kedua, aku akan menolak... Hingga ketiga, Raden terpaksa memaksaku..."
"Tidak sepenuhnya begitu... sebab aku pun merasa
Tuan adalah tetua yang bertuahkan terangnya pikiran
dan adilnya nurani untuk bisa menilai diri sendiri atau orang lain..."
Keduanya terdiam sesaat.
Dan tiba-tiba Nagabisikan melangkah mundur.
"Baiklah. Silakan Raden periksa dia," katanya.
Tampak sesaat Raden Patah terperangah. Jawaban
pasrah seperti itu sama sekali tak diduganya.
Dan tiba-tiba ia tunduk dan menyembah.
Gerak ini juga sama sekali di luar dugaan Nagabisikan. "Tuan sangat bijaksana," kata Raden Patah sambil
terus menunduk. "Dan aku begitu gegabah. Tetapi ini
semua demi menolong jiwa gadis ini. Bukannya aku
sombong dan tak menghormati golongan tua..."
"Coba sajalah Raden...," Nagabisikan mempersilakan.
Ada beberapa pertimbangan mengapa ia berbuat seperti itu. Ia yakin pemuda di depannya itu bukan sembarang
ksatria. Ada wibawa aneh yang begitu kuat. Dan ksatria semacam itu mungkin hanya
mereka yang berada di kerabat terdekat istana Wilwatikta.
Tapi si pemuda mengaku beragama baru. Dan ia berasal dari tanah seberang. Ini merupakan teka-teki. Apakah hanya seorang utusan"
Kemudian, jelas, ia ingin tahu kemampuan si pemuda. Maka ia menunggu.
Raden Patah sendiri tak bermaksud apa-apa. Ia melihat keadaan gadis itu memang sangat payah. Ia mengerti si tua telah menyalurkan sejenis tenaga pada si gadis. Ia tak yakin itu
akan memberi manfaat.
Mula-mula diambilnya selembar kain dari pelana kudanya. Ditutupkannya ke tubuh Turi. Kemudian ia meraba nadi gadis itu.
Turi terasa sangat panas. Dan darah bergolak tak keruan. Semacam kekuatan dahsyat deras mengalir mencoba berontak. Dengan mengerutkan kening Raden Patah mengurut
tengkuk Turi, matanya terpejam dan bibirnya komatkamit. Lama sekali. Kemudian ia mundur.
"Bagaimana, Raden?" tanya Nagabisikan.


Candika Dewi Penyebar Maut X I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Penyakitnya telah dideritanya agak lama...," kata
Raden Patah seolah berbisik. "Mula-mula disebabkan
semacam racun... kemudian racun yang berbeda, yang
meresap ke dalam darahnya, mengherankan, tanpa
daya tolak dari tubuhnya.... Setelah itu berbagai gempuran aneh dari luar dan
dari dalam dirinya... juga rasa takut... dan kebingungan yang amat sangat...."
"Wuah! Sebanyak itu keterangan yang Raden peroleh
hanya dengan menyentuh tangannya?" Nagabisikan benar-benar kagum.
"Akan memerlukan perawatan lama sekali... Pertama
untuk menyadarkan tentang siapa dirinya sendiri... Kedua untuk memulihkan
keaslian dirinya... Ia dihinggapi suatu tenaga asing yang sangat dahsyat...."
"Dan Raden bersedia mengobatinya?" tanya Nagabisikan. "Sayang aku tak punya waktu." Raden Patah menggelengkan kepala perlahan. "Aku harus bepergian dengan cepat."
"Ceritakan apa yang harus kukerjakan, mungkin Raden bisa mengajariku?"
"Hm." Perlahan Raden Patah berpaling dan memperhatikan Nagabisikan. "Tuan tentunya juga memiliki il-mu yang sangat tinggi. Aku
tak ingin menggarami air
laut." "Orang berilmu senantiasa haus. Dalam usia setua
ini, aku tak yakin bisa meresapi pelajaran yang Raden turunkan. Tapi aku akan
berusaha."
"Aku tak ingin berbuat gegabah dan pamer."
"Aku yakin jika Raden bertemu orang yang ilmunya
kurang dari yang kumiliki, Raden bahkan akan malu
mempertunjukkan ilmu Raden..." Kali ini Nagabisikan
tersenyum. Dan Raden Patah pun tersenyum pula.
"Pertemuan kita digariskan oleh Allah," katanya. "Itu takkan bisa kuhindari. Aku
hanya akan memberikan
gambaran apa yang akan kulakukan jika aku merawat
anak ini. Dan semuanya terpulang pada Tuan."
Mereka berdua berpandangan.
"Baiklah. Pertama akan kubuat anak ini tidur, dan
istirahat. Tolong Tuan kemudian rawat dia sementara
aku akan belajar sebentar dari bukuku."
Dan Raden Patah bergerak cepat. Tangannya berkelebat. Ujung-ujung jari yang tegang dengan cepat
mengentak di beberapa tempat di tubuh Turi. Turi langsung lemas. Dan bahkan
mendengkur. Raden Patah
menyilakan Nagabisikan menggendong Turi, membawanya masuk ke gua. Ia sendiri mengambil sebuah buku besar dari pelana kudanya.
3. AKUWU TUNGGUL RETA
DI DEPAN desa Wara Hita menghentikan kudanya. Desa
ini cukup besar. Tapi ia tak tahu desa apa.
Kuda putih tunggangan Wara Hita gelisah. Dua hari
dua malam ia dipacu terus. Kalaupun bukan kuda pilihan, mungkin ia sudah roboh tewas. Tapi Tatit Katiga ini memang kuda luar
biasa. Wara Hita sendiri sangat gelisah. Baru kali ini ia merasakan bahwa masih ada
kemungkinan impiannya bubar. Nagabisikan mungkin tak berpengaruh dalam suatu pertempuran besar. Tapi setidaknya ia adalah gurunya. Dan ia merasa Sang Guru tiba-tiba tak memperhatikan dirinya. Atau mungkin ini suatu siasat Sang
Guru. Tapi ia tak memperoleh keterangan apa-apa. Jadi ia betul-betul merasa
kecewa. Dan gelisah.
Ini pagi hari ketiga. Ia berpacu asal berpacu. Diperkirakan ia menuju ke
Wengker. Kalaupun keliru... ia
pun tak peduli. Matahari terbit di balik punggungnya.
Jadi ia menuju ke arah barat. Tapi tadi malam, apakah
ia ke barat atau ke selatan, mana ia tahu"
"Raden, mohon ampun, kuda Raden mungkin sudah
sangat terlalu lelah...," tiba-tiba terdengar suara menegur.
Wara Hita tersentak kaget.
Seorang petani tua agaknya akan berangkat ke sawah. Orang itu menunduk menyembah, menjauh, dan
menegur, semua dalam batas-batas tata cara kesopanan. Tetapi Wara Hita sedang tak bergembira.
Sekali tangannya bergerak, tali kendali kudanya melecut menampar muka petani tua itu. Yang langsung
roboh dengan muka bersimbah darah. Tak bangun lagi.
Darah itu mengingatkan Wara Hita akan gebrakan
pertama gerakannya.
Saat itu ia menyebar teror. Dan nama Dewi Candika
benar-benar ditakuti.
Huh. Mengapa sekarang semuanya jadi dingin"
Memang ini siasat Nagabisikan. Biar Wilwatikta lengah. Kemudian di perayaan di Wengker mereka akan
menampilkan kekuatan penuh. Mungkin bisa menumbangkan Sang Raja. Paling tidak dunia akan geger sekali lagi. Tapi saat itu terasa sangat jauh.
Tatit Katiga semakin gelisah mencium bau darah.
Wara Hita turun dari kudanya.
Untuk apa ia harus menunggu sekian lama. Mungkin begitu lama bahkan Nagabisikan sudah kehilangan
semangat. Ia harus membuat onar. Belum waktunya, kata gurunya. Ia belum memiliki pusaka-pusaka yang bisa
memberinya dukungan kejiwaan. Tapi perlukah"
Wara Hita memusatkan kekuatan ajiannya. "BIRAWADANA!" pekiknya. Hawa panas menggetar di kepalan
tinjunya. Dan saat tinju itu terayun terdengar desah hebat.
Kemudian tangan itu mencengkeram dada si petani
tua yang tergeletak di tanah. Sosok tubuh itu langsung hangus. Habis. Jadi
arang. Wara Hita terengah-engah. Dan ini sesungguhnya
tak boleh terjadi. Ia seharusnya bisa menguasai dirinya.
Apa yang terjadi"
Semuanya berubah, sejak ia bertemu dengan Tun
Kumala itu. Ya. Bahkan di saat-saat seperti itu ia teri-ngat akan pemuda aneh
tersebut. Dan dadanya serasa
panas. Mungkinkah pemuda itu tak memperhatikan dirinya" Mungkinkah ia sama sekali tak punya daya tarik sebagai seorang wanita"
Dadanya panas kalau mengingat kemungkinan bahwa bahkan pada saat ini si pemuda itu masih berada
dalam kehangatan wanita lain! Huh.
Kemudian ia gelisah karena berbagai kegiatannya
seolah terhenti. Ia tak berdaya, memang. Sesungguhnya ia tahu kelompok-kelompok
kecil pasukannya telah mulai bergerak menyusup ke berbagai kota. Tapi itu tak
membuat dirinya puas. Ia ingin kembali namanya disebut dan ditakuti.
Lalu peristiwa beberapa hari yang lalu. Apa yang dilihat gurunya pada anak berkulit jingga itu"
Apa anehnya"
Ada kalanya Wara Hita begitu kokoh memegang kemauannya. Tapi kini pikirannya begitu kalut.
Dihirupnya udara pagi dalam-dalam. Dan tercium
olehnya daging panggang. Begitu kuat. Seolah-olah sebuah pesta akan diadakan.
Tapi sepagi ini memanggang daging"
Wara Hita menggamit kudanya. Dengan gerak ringan
ia melompat ke punggungnya. Dirapikannya gelungnya.
Dan baju yang menutupi dadanya. Kemudian kudanya
berjalan perlahan menuruni bukit.
Desa di depannya agaknya bukan desa biasa. Jalan
setapak yang dilaluinya bertemu jalan besar. Dan jalan besar itu lurus menuju
gerbang desa. Pagar dan gerbang desa itu menunjukkan bahwa desa ini lebih mirip
sebuah benteng. Beberapa orang bersenjata tampak
duduk-duduk di depan gerbang, mengelilingi api unggun sisa tadi malam. Mereka membakar ubi. Tapi di
balik pagar agaknya ada api unggun yang lebih besar.
Di mana orang sedang memasak besar-besaran.
Wara Hita membiarkan kudanya berjalan seenaknya
maju terus. Dan orang-orang yang mengelilingi api unggun itu berdiri. Seseorang
berlari masuk ke dalam gerbang. Untuk beberapa saat kemudian ia keluar mengiringi seorang lelaki bertubuh tinggi-besar dan kekar.
Orang ini berdiri tegak di tengah jalan, menghadang.
Wara Hita menjalankan kudanya sampai hampir menubruk orang itu. Orang itu tak bergerak. Bahkan tak berkedip. Menantang tapi
tetap sopan. "Mohon ampun, Raden.... Kami mohon Raden turun
dari tunggangan Raden...," kata orang itu.
"Kenapa?" tanya Wara Hita. Ia sedikit senang pada
orang ini. Tidak takut dan kalaupun takut tidak menyembunyikan perasaan itu dengan gertak sambal.
"Kuda Raden sudah dua hari dua malam tidak beristirahat. Beberapa langkah lagi mungkin dia roboh," kata orang itu tenang.
Wara Hita tercengang. Orang ini mungkin prajurit
yang sangat berpengalaman. Dan ia menghargai itu.
Atau kudanya memang jauh lebih menderita dari dugaannya. Ia ragu-ragu sejenak. Kemudian ia mengangguk. Dan
mengangkat sebelah kakinya. Turun. Menepuk-nepuk
muka Tatit Katiga sementara matanya terus mengawasi
orang-orang yang walaupun bersikap menghormat jelas
mengepungnya. Sejak kapan orang desa berani bertingkah seperti itu pada seseorang yang mereka
akui adalah seorang bangsawan"
"Terima kasih," kata Wara Hita akhirnya. "Aku memang ingin beristirahat di desa itu. Tapi agaknya kalian tidak bersahabat pada
orang asing?"
"Terus terang... kami sedang bentrok dengan daerah
tetangga kami..." Orang itu berkata sambil agaknya
memberi isyarat agar orang-orang di sekelilingnya tak terlalu bergerombol.
"Dan... mereka didukung oleh
orang-orang Wilwatikta. Hanya persoalan kecil saja, Raden... karenanya... kami
mohon jika Raden berasal dari Wilwatikta... harap menaruh belas kasihan pada
kami dan mohon mengalah saja...."
Jawaban ini betul-betul di luar dugaan Wara Hita.
"Kalian berontak melawan Wilwatikta?" tanyanya heran. "Mohon ampun, Raden, itu adalah kata-kata yang
kami tak berani mengakui. Kami hanya bentrok dengan
desa tetangga, Raden."
"Eh... ini wilayah mana, sih?"
"Ini adalah wilayah junjungan kami, Sang Akuwu
Tunggul Reta dari Pagalan... Apakah kedua nama itu
membuat Raden memusuhi kami?"
"Terus terang, aku belum pernah mendengar kedua
nama tersebut."
"Memang, akuwu kami baru saja melantik diri menjadi akuwu. Yaitu setelah menewaskan akuwu dari Uteran, Sang Tunggul Seloka. Ini membuat Raden murka?"
"Aku tak merasa bersangkut paut dengannya juga,"
kata Wara Hita.
"Sisa-sisa pasukan Uteran masih bertahan. Bahkan
mendapat bantuan dari Wilwatikta. Raden bukan salah
satu di antaranya?"
"Bukan, sama sekali bukan."
"Lalu, mohon ampun, siapakah Raden ini dan apa
maksud Raden?"
"Aku seorang pengembara... tak punya negara, tak
punya junjungan. Jika junjunganmu baru saja merebut
kedudukan akuwu dari Uteran... Aku ingin tahu, apakah aku mampu merebut kedudukan itu darinya."
"Maaf, maksud Raden?"
"Kau pasti mengerti maksudku, Paman... Aku akan
mencoba mendobrak pertahanan kalian. Jika berhasil,
aku yang menjadi akuwu di sini... Jika tidak... aku rela mati di tanganmu."
"Raden jangan bergurau..."
"Aku tidak bergurau, Paman... Siapa namamu?"
"Nama hamba Roga, Raden, dan hamba memang diberi tugas memimpin pasukan orang-orang bodoh desa
ini. Raden sendiri... Mohon ampun... bergelar apa?"
"Namaku Ra Hita. Sudahlah. Tak usah basa-basi.
Bersiaplah..." Benar-benar Wara Hita mengambil sebilah pedang dari pelana
kudanya. Ia memang tak terbiasa
memakai pedang, tapi dalam kegeramannya untuk
menjernihkan pikirannya ia ingin melampiaskan seluruh daya dan tenaganya untuk menumpas sesuatu.
Mungkin orang-orang ini.
Orang bernama Roga itu mundur tiga langkah.
"Hamba akan bahagia dapat tewas di tangan Paduka,
Raden, tapi sekali lagi, mohon Raden sudi mengalah.
Kami semua jelas bukan lawan seorang ksatria dengan
pedang pusaka seperti itu...."
Wara Hita melirik pedang di tangannya. Pedang itu
memang pedang pusaka. Berwarna hitam kelabu, terbuat dari campuran beberapa logam bertuah. Dengan
ukiran kepala Kala di pangkalnya.
Ini adalah salah satu pemberian Juru Meya. Kiai Kala Wilis, namanya. Sebilah pedang yang memang untuk
berperang. Namun masih belum punya cukup wibawa
untuk jadi pedang pusaka kerajaan.
"Bersiaplah, Roga. Juga semua anak buahmu. Aku
memang tak meminta apa-apa. Hanya kepala-kepala
kalian!" Dan tanpa sungkan-sungkan Wara Hita membuat gerakan menyerang.
Ia tahu, tanpa menyerang lebih dahulu, mungkin
orang bernama Roga itu akan terus mengulur waktu.
Tapi kini prajurit itu tak punya pilihan lain. Sambil memekik ia melompat
memasang kuda-kuda dan langsung
membalas. Roga ternyata sangat gesit. Sambaran pedangnya tak
ada yang berlebihan. Semua mengarah titik-titik maut.
Dan jelas ia menghindari benturan dengan Kiai Kala Wilis. Wara Hita mengertakkan
gigi. Ia mempercepat gerakannya. Sekali pedang Roga tersambar dan... patah!
Gesit Roga berjumpalitan mundur langsung berteriak,
"Tawur!"
Serentak dari kiri-kanan berbagai senjata menghajar
Wara Hita. Namun bahkan mereka ini bukan tandingan
kegesitannya. Teriakan-teriakan terkejut terdengar, beberapa orang roboh
berlumuran darah, kemudian
sunyi.

Candika Dewi Penyebar Maut X I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wara Hita berdiri di antara orang-orang yang roboh
di tanah, sementara Roga dan mereka yang masih selamat mundur merapat ke pagar.
"Raden... Raden dapat membunuh kami... Tapi kami
tak akan takluk!" geram Roga.
"Bagus, itu namanya prajurit sejati..."
Tiba-tiba pintu gerbang terbuka. Puluhan orang
menghambur keluar bersenjata lengkap, langsung mengepung Wara Hita.
Roga memberi isyarat agar mereka semua menunggu. Tapi jelas terus mengepung.
"Kami sungguh malu harus mengerahkan puluhan
prajurit untuk mengepung Raden...," kata Roga.
"Tak ada yang harus malu jika kau segagah ini." Wara Hita tertawa. Sebagian kekesalannya memang sedikit lenyap.
"Mungkin ini semua juga bukan tandingan Raden.
Tapi junjungan kami yang baru pasti akan membalaskan sakit hati kami."
"Si Akuwu... siapa namanya tadi... Itu yang Paman
maksud?" "Junjungan kami mempunyai tulang punggung juga.
Mungkin Raden sudah pernah mendengar tentang
orang-orang dari Trang Galih?"
Nama itu sungguh mengejutkan Wara Hita. Jelas ia
terkejut. Ia memang tahu tentang rencana yang diatur oleh Nagabisikan dan
sesungguhnya diotaki oleh Juru
Meya. Kelompok-kelompok kecil menyusup menggerogoti Wilwatikta untuk kelak bergerak serentak.
Tapi selama ini ia hanya menerima laporan. Dan baru kali ini menemukan bahwa hal itu benar-benar terja-di. "Yang aku tahu, hanya
orang-orang gila yang meludah ke matahari. Trang Galih itu apa, sehingga berani
menentang Wilwatikta?"
"Trang Galih mungkin memang hanya cita-cita. Tapi
Istana Tanpa Bayangan 4 Misteri Tirai Setanggi Tujuh Manusia Harimau (4) Karya Motinggo Busye Harpa Iblis Jari Sakti 29

Cari Blog Ini