Ceritasilat Novel Online

Liang Pemasung Sukma 2

Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma Bagian 2


tergantung sosok tubuh
seorang kakak berambut dan beralis merah. Keadaan kakek itu memang sangat mengenaskan. Pakaian hitam yang melekat di tubuhnya hancur tercabik-cabik. Sedangkan tubuh kakek itu sendiri
dipenuhi luka mengerikan akibat cambukan rotan
berduri. Sementara darah mengucur dari setiap
luka yang ada di tubuhnya.
Di tempat itu ternyata si kakek tidak sendiri
karena tidak jauh dari pohon tempat di mana dirinya tergantung dengan posisi kaki menghadap ke
atas dan kepala menghadap ke bawah. Tampak
pula seorang gadis cantik berpakaian serba merah.
Di bagian pinggang gadis itu tergantung sebilah
pedang. Bagian rangka padang terbilang unik karena rangka itu tidak terbuat dari kayu atau besi
sebagaimana mestinya melainkan berasal dari potongan tangan manusia. Sedangkan di tangan
sang dara tergenggam sebatang rotan berduri.
Agaknya benda itulah yang dipergunakan gadis
berpakaian serba merah ini untuk menyiksa si kakek. Sejak tadi si gadis tidak henti-hentinya memandang ke arah si kakek. Agaknya ia merasa heran melihat daya tahan yang dimiliki oleh kakek
itu. Dan kini setelah sekian lama ia memperhatikan si kakek dengan tatapan dingin. Akhirnya dia
membuka mulut berkata. "Angin Pesut, ternyata selama ini nama besarmu hanya
kosong belaka. Gelar Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan di depanku tidak ada artinya sama sekali. Dulu guruku
pernah mengatakan bila bagian tubuhmu terpotong dengan cepat bersambung kembali. Satu dari
dua yang dikatakan guruku telah kulakukan. Dan
kini tinggal satu lagi untuk menguji kebenaran cerita itu. Aku sebenarnya sangat ingin memotong
tanganmu atau membuntungi kakimu supaya dapat kulihat apakah anggota tubuhmu yang telah
tercerai berai dapat menyambung kembali. Tapi
kuanggap hal itu kurang sedap jika tidak kulakukan di depan guruku!" ujar si gadis yang adalah Indah Sari ini dengan suara
ketus. Kakek yang tergantung dan dalam keadaan
terluka cukup parah itu mengerang. Bibirnya yang
bengkak membiru itu berkata, "Indah Sari, segala yang dikatakan gurumu bukan
suatu kebohongan.
Terkecuali niatnya mengelabui dirimu selama ini.
Aku tidak mau melakukan apa yang bisa kulakukan karena aku tahu kau adalah putriku, anakku
yang hilang!"
"Cukup!" hardik Indah Sari. "Sekali lagi kau mengaku-ngaku aku sebagai anakmu
aku pasti membunuhmu! Ketahuilah kedua orang tuaku telah lama mati, bahkan mereka mampus sejak aku
masih kecil!" dengus sang dara dengan muka merah padam menahan kegeraman.
"Kalau itu katamu, aku tidak memaksa. Satu hal yang patut kau ketahui andai aku mau
membunuhmu bagiku hanya pekerjaan semudah
membalikkan telapak tangan. Biarpun tubuhmu
mengandung racun hal itu tidaklah begitu berarti
bagiku!" kata Angin Pesut.
Mendengar ucapan si kakek mendidihlah
darah gadis ini. Sungguh dia tidak habis mengerti
mengapa Angin Pesut yang sudah tidak berdaya
masih saja bisa bicara sombong. Padahal kini dia
sudah tak sanggup melakukan tindakan sekecil
apapun. "Angin Pesut, tua bangka keparat! Benarkah
kau dapat membunuhku" Hik hik hik!" Indah Sari tertawa dingin. Dengan tatapan
sinis dia melanjutkan ucapannya. "Mulutmu memang kelewat takabur kakek keparat. Jika aku tidak ingat dengan
pesan guruku, pasti saat ini aku telah membunuhmu!" geram sang dara. Kemudian tanpa berka-ta apa-apa lagi gadis itu segera
melecutkan rotan
panjang yang dipegangnya sejak tadi. Begitu rotan
melibat pinggang si kakek sang dara langsung menyentakkan tubuh Angin Pesut.
Dheel! Masih dalam keadaan terikat Angin Pesut
jatuh berdebum. Orang tua itu mengeluh. Indah
Sari tertawa tergelak-gelak. Tak berselang lama seperti orang kesetanan segera
menyeret tubuh si
kakek. Karena gadis itu mengerahkan ilmu lari cepatnya, tak ayal lagi tubuh Angin Pesut yang telah terluka itu membentur
bebatuan dan batang pepohonan. Angin Pesut benar-benar merasakan derita hebat akibat perbuatan darah dagingnya sendiri. Setelah sekian lama Indah Sari berlari sambil menyeret tubuh Angin Pesut yang sudah tidak
berdaya tiba-tiba sang dara menghentikan langkahnya. Dia palingkan kepala ke belakang, kening
Indah Sari berkerut tajam. Dalam hati dia berkata.
"Aku merasakan ada orang yang membayangiku.
Tapi mengapa orangnya tidak kelihatan?"
Indah Sari menarik nafas, lalu berkata lagi.
"Aku tidak perduli. Siapapun yang coba-coba
menghalangiku pasti kubunuh!"
Beberapa saat sang dara menunggu, setelah
merasa yakin memang tidak ada orang yang mengikutinya dia pun segera balikkan badan dan siap
melanjutkan perjalanan kembali. Tapi alangkah
kagetnya gadis ini ketika melihat di depannya sana kini telah berdiri tegak
seorang kakek tua berambut kaku. Kakek itu berpakaian serba hitam berbadan tegak, sedangkan kepalanya selalu digelengkan tak mau diam.
"Kakek keparat ini siapa dia adanya" Dia
muncul begitu saja seperti setan. Sedangkan aku
sendiri tidak mengetahuinya. Sungguh menakjubkan! Aku yang memiliki ilmu begini tinggipun tidak bisa mengetahui
kehadirannya!" fikir Indah Sari.
Namun rasa herannya cuma berlangsung sekejap.
Dia yang sejak kecil dididik untuk tidak mengenal
rasa takut pada siapapun segera membentak.
"Rambut macam ijuk. Aku tidak punya silang sengketa denganmu, cepat menyingkir dari
hadapanku!"
Si kakek bukannya menuruti perintah sang
dara. Sebaliknya malah dongakkan kepala. Dengan kepala terus menggeleng tak mau diam sebagaimana kebiasaannya kakek itu tertawa tergelakgelak. Tak berselang lama begitu tawanya lenyap
si Kakek memandang lurus ke arah Indah Sari.
Dengan ketus dia berkata, "Aku Tapa Gedek tak pernah patuh pada perintah raja
apalagi perintah
rakyat jelata dan anak durhaka sepertimu. Ha ha
ha!" Mendengar ucapan si kakek Indah Sari jadi belalakkan matanya. Dia heran
bagaimana kakek
rambut kaku itu bisa mengatakan dirinya anak
Angin Pesut. Bahkan menuduh dia sebagai anak
yang durhaka" Agaknya yang tegak di depan sana
itu adalah sahabat Angin Pesut. Karena merasa
curiga Indah Sari kemudian ajukan pertanyaan.
"Kakek gila kau ini siapa" Ada hubungan apa kau dengan Angin Pesut?"
Sebelum menjawab pertanyaan orang kembali si kakek mengumbar tawa. "Kau adalah seorang gadis yang cantik. Namun
sayangnya tuli.
Aku sudah mengatakan namaku Tapa Gedek. Hubunganku dengan kakek hebat namun berlaku tolol itu seperti minyak dengan air. Yang jelas dia
bukan sanak bukan kadangku." jawab si kakek.
"Kalau bukan apa-apamu mengapa kau
membelanya?" hardik Indah Sari jengkel.
Tapa Gedek mengulum senyum. "Angin Pesut sudah kesohor tentang segala kejahatan dan
rasa penyesalannya. Siapapun tahu kisah getirnya
akibat kehilangan anak. Dia telah mengatakan segalanya kepadamu. Mengapa kau masih tidak percaya?" Sang dara terdiam, wajahnya merah padam.
Jelas sekali saat itu dia sudah tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Kakek itu
mengetahui se- mua pembicaraan antara dirinya dengan Angin Pesut jelas ini merupakan pertanda si kakek telah
berada di sekitar sungai sejak lama.
"Tua bangka bermulut usil, kau sudah terlalu jauh mencampuri segala urusanku. Kurasa
aku harus membungkam mulutmu!"
Tapa Gedek mengguman tidak jelas. Sementara itu Angin Pesut yang sempat memperhatikan
kakek itu dengan matanya yang bengkak lebam
dengan suara perlahan namun jelas segera berkata. "Orang tua, siapapun dirimu harap jangan
campuri urusan kami. Persoalan diantara kami
adalah masalah yang sangat pribadi. Tak boleh
ada orang luar yang ikut campur!" ujar Angin Pesut mengingatkan.
"Walah, Angin Pesut. Siapa yang mencampuri persoalan dalam" Sejak tadi aku dengan gadis
itu juga membicarakan urusan luar, tidak sampai
ke dalam segala. Aku heran Angin Pesut! Dulu kau
adalah manusia jahat yang mudah menurunkan
tangan jahat tanpa pandang bulu siapapun lawanmu. Kejahatanmu selangit tembus. Bahkan
kalau di atas langit masih ada langit pasti tembus lagi. Sekarang mengapa hanya
menghadapi anak
yang durhaka ini kau tidak berdaya" Apakah semua ini suatu pertanda ilmu yang kau miliki telah
rontok?" "Aku tidak mungkin jatuhkan tangan keras
pada anakku sendiri!" jawab si kakek.
Tapa Gedek kembali mengumbar tawa.
"Sampai, dunia kiamat kau mengaku dia sebagai anakmu, bocah itu tak bakal
mempercayainya. Karena jiwanya sejak kecil diracuni oleh musuh besarmu sendiri! Angin Pesut, bersikap pasrah pada
ketentuan takdir itu memang sudah menjadi ketentuan manusia. Tapi pasrah seperti yang kau lakukan ini adalah perbuatan tolol besar! Apakah
kau mau menunggu keajaiban dari langit, atau
kau sedang menunggu datangnya malaikat maut?"
tanya Tapa Gedek disertai seringai mengejek.
Indah Sari sendiri tidak bergeming. Sejak
kecil dari gurunya si gadis selalu mendapat gemblengan agar tidak mempercayai semua ucapan
orang terkecuali gurunya sendiri.
Karena itu apapun yang dikatakan baik oleh
Angin Pesut maupun Tapa Gedek tentang dirinya
dia sudah tidak mau mendengarnya lagi. Sebelum
Angin Pesut memberi tanggapan apa-apa atas
ucapan Tapa Gedek. Sang dara melangkah maju
dua tindak. Dengan suara lantang dia berkata.
"Orang tua jika kau tidak menyingkir dari hadapanku, tidak ada pilihan lain aku
pasti akan membunuhmu!"
"Ha ha ha! Dengan apa kau membunuhku"
Dengan pukulan beracun atau dengan menggunakan Pedang Tumbal Perawan?" tanya si kakek.
"Mengapa harus menggunakan pedang"
Dengan kedua tanganku ini aku sudah sanggup
membungkammu!" tegas sang dara. Baru saja gadis ini selesai berucap dengan kecepatan laksana
kilat sosoknya melesat ke arah Tapa Gedek. Tangan kanan menyambar wajah si kakek sedangkan
tangan kiri sang dara meluncur deras ke bagian
dada. Angin yang menyambar dari tangan sang
dara menebarkan bau busuk luar biasa pertanda
serangan yang dilancarkan lawan mengandung racun jahat. Tapa Gedek langsung menutup jalan
pernafasannya. Dia lalu jatuhkan tubuhnya, memungut sepotong ranting, lalu bergulingan ke
samping. Sambil bergulingan ranting di tangan segera dikibaskan ke atas.
Tak! Tak! Hantaman ranting yang keras mengandung
tenaga dalam tinggi membuat tangan Indah Sari
tersentak, gadis itu bahkan terhuyung namun tidak sampai terjatuh. Hantaman ranting yang dilancarkan si kakek membuat kedua tangannya untuk beberapa ketika seakan menjadi lumpuh, nyeri
dan panas luar biasa. Namun semua itu segera lenyap begitu sang dara salurkan tenaga dalamnya
ke bagian tangan.
Belum lagi Indah Sari siap dengan serangan
kedua, Tapa Gedek kini balas melancarkan serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Di tangan si kakek ranting itu kini menjadi amat berbahaya.
Tetapi Indah Sari yang memiliki ilmu meringankan tubuh serta gerakan cepat yang sudah
sangat sempurna itu secara mengagumkan dapat
menghindari serangan si kakek. Malah sang dara
kemudian melompat tinggi di udara, setelah itu
dengan gerakan cepat dia melepaskan tendangan
beruntun ke arah bagian kepala Tapa Gedek.
Si kakek menyadari betapa berbahayanya
serangan kaki Indah Sari. Jika tendangan sampai
menghantam kepala, dapat dipastikan kepalanya
hancur. Sebaliknya si kakek juga menyadari jika
dia menangkis serangan lawan. Tentu tangannya
yang dipergunakan untuk menangkis, pasti tangannya keracunan karena sekujur tubuh gadis itu
memang mengandung racun jahat. Merasa tidak
punya pilihan lain sambil bergerak mundur menghindari setiap tendangan lawan, Tapa Gedek mele

Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paskan pukulan 'Tiga Topan Menggulung Bumi'
serta pukulan 'Tanpa Ujud'. Tiga larik sinar biru
menderu dari tangan si kakek. Sedangkan dari
tangan yang satunya lagi melesat hawa yang amat
ganas luar biasa. Indah Sari yang tak pernah menyangka lawan melepaskan dua pukulan sekaligus
jadi terkesiap. Dia mencoba menarik kedua kakinya sekaligus lakukan gerakan jungkir balik untuk menyelamatkan diri. Sayang tindakan yang dilakukan oleh sang dara kalah cepat dibandingkan
serangan lawan. Tak ampun lagi kedua pukulan
itu menghantam kaki kiri Indah Sari.
Tubuh sang dara jatuh terguling. Kakinya
yang terkena pukulan lawan seperti hangus. Hebatnya dengan penuh ketabahan dan sama sekali
tidak memperlihatkan rasa sakit yang dialaminya
dengan terpincang-pincang indah Sari bangkit
berdiri. Sejenak dia pandangi kakinya. Bagian kaki celananya sebelah bawah
ternyata hangus, kasut
kulit yang dipakainya juga hangus. Sang dara menyeringai, sakitnya dirasakannya memang cukup
hebat, namun lebih hebat lagi kemarahan yang
melanda jiwanya.
"Kakek keparat! Kau telah melakukan suatu
kesalahan besar. Aku pasti tak bakal mengampuni
jiwamu!" geramnya.
"Ha ha ha! Siapa yang minta ampun pada
bocah ingusan sepertimu!" sahut si kakek sinis.
Dalam hati dia berkata. "Hari ini aku tidak ubahnya dengan memakan buah
simalakama. Bila kuserang dia dalam jarak rapat aku khawatir tubuhnya yang beracun dapat membahayakan jiwaku.
Sebaliknya bila aku menjaga jarak sama saja artinya dengan membuka kesempatan bagi dia untuk melancarkan serangan-serangan dengan jurus-jurus serigalanya! Mungkin sudah saatnya bagiku untuk menggunakan Ilmu pukulan
'Gelombang Naga'. Dengan begitu dia tak bakal
mempunyai kesempatan untuk menggunakan Pedang Tumbal Perawan!"
Pada waktu begitu selesai laksana kilat Indah Sari memutar kedua tangannya di atas kepala.
Sepuluh jari berkuku runcing, berwarna hitam
mengandung racun itu berkelebat menyambar
atau menghantam dari atas ke bawah siap mencabik-cabik. Angin Pesut yang melihat jurus-jurus sang
dara dalam hati berkata. "Kakek berambut jabrik itu. Kurasa sulit baginya untuk
meloloskan diri da-ri serangan Indah Sari. Saat ini bocah itu telah
mengerahkan jurus 'Seribu Serigala Menyapa Kegelapan'. Dugaan Angin Pesut memang tidak berlebihan. Begitu Indah Sari merangsak ke depan, Tapa
Gedek langsung bersurut langkah. Gempuran hebat yang dilakukan lawan membuat si kakek dalam beberapa gebrakan di depan jadi terdesak hebat. Malah ketika sang dara mencecar bagian perut Tapa Gedek kakek ini nyaris menjadi korban
cakaran lawan. Tapi dengan segala kegesitannya
ditambah tempaan pengalaman selama berpuluhpuluh tahun membuat Tapa Gedek dapat meloloskan diri dari serangan sepuluh kuku lawannya.
Indah Sari mendengus geram. Dia terus merangsak maju. Tiga kali tendangan berturut-turut
dilepaskannya. Si kakek melompat ke samping. Tidak terduga begitu si kakek ini berkelit, sambil miringkan tubuhnya lima jari
tangan sang dara berkelebat di bagian dada. Serangan tak terduga itu
tak dapat dielakkan oleh Tapa Gedek.
Breet! Baju di bagian dada robek besar. Tidak
hanya itu saja, kuku lawan sempat menggores kulit, tembus ke bagian daging. Bukan cuma darah
berwarna merah kehitaman saja yang mengucur,
tapi sakitnya juga luar biasa. Tapa Gedek terhuyung, dia sadar adanya racun ganas yang terdapat di dalam lukanya. Karena itu si kakek cepat
menotok beberapa nadi besar di sekitar bagian luka untuk mencegah menjalarnya racun ke jantung. Selagi Tapa Gedek dibuat sibuk oleh lukanya. Pada waktu itu pula Indah Sari yang merasa berada di atas angin menerjang kembali sambil
melepaskan satu pukulan ke bagian kepala lawannya. Cahaya hitam berkiblat menghantam kepala
Tapa Gedek di saat lawan hantamkan pukulannya.
Si kakek berseru kaget ketika secara tiba-tiba dapatkan dirinya terbungkus sinar pukulan yang dilepaskan lawan. Akan tetapi dia yang sebelumnya
telah siap dengan pukulan 'Gelombang Naga' tidak
menjadi gugup. Dua tangan yang mendekap dada
segera dihantamkannya ke depan menyambuti
pukulan sang dara. Di depan sana Indah Sari jadi
tercekat saat merasakan tubuhnya seperti menghantam tembok baja. Selain itu sayup-sayup dia
seperti mendengar pekikan aneh seperti suara naga di tengah-tengah deru gelombang laut yang
menggila. Segala sesuatunya berlangsung cuma dalam
sekejapan saja. Begitu dirinya merasa menghantam tembok baja, pada saat lain mendadak tubuhnya seperti dilamun badai topan menggila. Indah
Sari menggerung, lalu lipat gandakan tenaga dalam ke bagian tangan dan kembali menghantam ke
arah Tapa Gedek. Tetapi sehebat apapun dia mencoba mendobrak serangan lawan. Tetap saja sang
dara tak sanggup bertahan.
Bagaikan pohon kering tubuh sang dara
tersapu angin dahsyat berhawa panas dan dingin
yang bersumber dari Pukulan Gelombang Naga.
Indah Sari jatuh terpelanting, lalu tergulingguling dan terkapar tak jauh dari tempat Angin Pesut tergeletak. Gadis itu jelas menderita cidera di bagian perut dan dada.
Sedangkan pakaiannya robek di beberapa bagian. Selagi Angin Pesut terkesima tak menyangka kakak berambut jabrik memiliki ilmu pukulan sehebat itu, Indah Sari yang terluka dan tak mau mengambil
resiko terhadap kemungkinan bahaya-bahaya yang lebih besar cepat
bangkit berdiri. Kemudian dengan terbungkukbungkuk dia menyambar rotan berduri yang dipergunakannya untuk menyeret Angin Pesut. Setelah
itu tanpa menunggu lebih lama Indah Sari berkelebat tinggalkan lawan sambil menyeret Angin Pesut. "Anak durhaka hendak lari kemana kau?"
Tapa Gedek memaki. Dia cepat merogoh saku celananya, mengambil lima butir pil berbentuk bulat
berwarna merah. Kelima pil itu langsung ditelannya. Beberapa saat setelah menelan obat tersebut
Tapa Gedek segera merasakan reaksinya. Bagian
dadanya yang terluka terasa panas bagai terbakar.
Tapa Gedek mengerang kesakitan. Dia jatuhkan
diri, lalu bersila. Tapa Gedek menarik nafas sambil pejamkan matanya.
"Aku harus memulihkan kondisi tubuhku
dulu. Gadis itu pasti pergi ke Kalimayat. Aku tidak mungkin mengejar dalam
keadaan seperti ini. Paling tidak aku membutuhkan waktu sepekan untuk
menyembuhkan luka beracun yang kuderita.
Huakh... aku hanya bisa berharap semoga ada
orang lain yang dapat menyingkirkan manusiamanusia seperti Indah Sari dan gurunya!" batin Tapa Gedek. Habis berkata begitu
masih dengan mata terpejam si kakek salurkan tenaga sakti ke
bagian lukanya. Dari bagian luka terlihat ada uap
tipis kebiruan mengepul keluar. Si kakek mencium
bau seperti daging terbakar. Tapi dia tidak perduli, berkali-kali tenaga dalam
disalurkan ke bagian lu-ka tersebut.
4 Kemarau yang berkepanjangan membuat
Kalimayat kering kerontang. Sejauh mata memandang dari arah hulu hingga ke hilir yang terlihat
hanya bebatuan sungai dan hamparan pasir memutih bagaikan untaian mutiara yang gemerlapan
tertimpa cahaya matahari.
Sementara tak jauh di bagian hulu Kalimayat tepatnya di sebuah gua seorang nenek berwajah angker berambut panjang riap-riapan duduk bersila menghadap ke arah sebuah perapian
yang berasal dari sumber api abadi. Sedangkan di
atas tungku perapian yang senantiasa mengobarkan api tersebut tergantung sebuah benda berbentuk empat persegi, terbuat dari batu tebal. Benda
dari batu tersebut bentuk yang sesungguhnya
sangat mirip dengan ayunan bayi, cuma ukuran
dan panjangnya saja yang lebih besar dan lebih
panjang. Sewaktu-waktu ayunan batu tersebut
bergerak turun naik memasuki lubang perapian
yang bagian dasarnya memiliki kedalaman satu
tombak. Anehnya setiap ayunan bata seukuran
tinggi orang dewasa itu masuk ke dalam liang maka api yang menyala-nyala yang keluar dari liang
perapian seolah-olah menjadi padam. Namun bila
ayunan batu bergerak naik ke atas apipun kembali
berkobar. Ke arah liang perapian abadi dan ayunan
batu tersebutlah perhatian si nenek tercurah sejak tadi. Entah berapa lama si
nenek tenggelam dalam lamunannya. Yang jelas kemudian si nenek
tersenyum sambil menarik nafas pendek. Sepasang mata orang tua itu berkilat tajam ketika dia
teringat pada kejadian sekitar dua puluh lima tahun yang lalu. "Saat pembalasan itu kini sudah hampir tiba. Iblis jahanam itu harus tahu bagaimana rasanya tidur dalam ayunan batu kemudian di pendam dalam liang perapian. Liang Pemasung Sukma... begitu dulu Angin Pesut memberi nama liang
perapian itu. Sekarang dia segera tahu tempat itu
bukanlah tempat yang nyaman untuk dijadikan
sebagai tempat ketiduran. Hik hik hik!" Setelah berkata begitu, si nenek kembali
terdiam. Sementara tatapan matanya yang menyorot tajam memandang lurus ke arah liang perapian yang dulu
pernah membuatnya nyaris celaka.
Dalam keadaan menunggu seperti itu agaknya menimbulkan rasa bosan bagi si nenek. Perempuan renta ini lalu pejamkan matanya. Tetapi
itupun tidak berlangsung lama. Mata setan si nenek terbuka kembali begitu pendengarannya yang
tajam mendengar suara berkeresekan seperti benda yang diseret dan dibawa lari cepat. Suara itu
datangnya jelas dari arah gua.
Agaknya biarpun belum tahu siapa orang
yang datang ke gua itu, namun dia punya pendengaran yang baik. Terbukti si nenek kemudian
nampak sunggingkan seulas senyum kemenangan.
"Mudah-mudahan dia. Jika memang dia,
berarti usahaku dalam membesarkannya selama
ini tidaklah sia-sia. Hik hik hik!" si nenek tertawa perlahan.
Tawa si nenek kemudian lenyap karena di
depan pintu gua kini telah berdiri sosok seorang
gadis berpakaian serba merah. Pakaian gadis itu
tidak lagi utuh tapi robek di sana sini.
"Guru, aku datang menghadap!" kata si gadis setelah jatuhkan diri berlutut di
belakang si nenek. Nenek angker yang dikenal dengan julukan
Bayangan Maut sama sekali tidak menoleh. Dia tetap duduk sebagaimana tadi. Lama si nenek terdiam, barulah kemudian dia berkata. "Kau telah kembali, tapi apakah tugas yang
kuberikan kepadamu telah kau lakukan dengan semestinya?"
"Perintahmu telah kulaksanakan. Malah jika aku tidak ingat dengan pesanmu pasti aku telah membunuhnya!" habis berkata begitu Indah
Sari sentakkan rotan di tangannya. Laksana kilat
sesosok tubuh melesat melewati bagian atas kepala sang dara lalu jatuh bergedebukan persis di depan si nenek. Sosok yang baru terjatuh itu mengerang, dia mencoba menggerakkan tangan dan kakinya yang terikat, tapi usahanya tidak membawa
hasil. "Ha ha ha ha! Angin Pesut.... akhirnya kau bertekuk lutut di bawah kaki
muridku. Sekarang
apakah kau masih mengenali diriku?" tanya si nenek sambil bangkit berdiri.
Setelah itu dia menghampiri Angin Pesut. Dengan sikap penuh kesombongan diinjaknya dada si kakek. Perlahan Angin
Pesut membuka matanya yang bengkak dan lebam
membiru. Dengan susah payah dipandanginya perempuan tua itu. Angin Pesut menyeringai.
"Aku tak bakal melupakanmu Ni Pambayon.
Bagaimana aku bisa melupakan pembunuh orang
tuaku sendiri?" sahut si kakek.
"Bagus! Sekarang kulihat kau tidak berdaya
Angin Pesut" Padahal baru muridku yang turun
tangan. Hik hik hik!"
"Muridmu.... bukankah muridmu itu adalah
anakku" Anak yang kau culik belasan tahun yang
lalu?" tanya Angin Pesut.
"Hik hik hik! Aku tidak pernah menculik
anakmu." Dengus Ni Pambayon alias Bayangan
Maut berbohong. "Kau salah besar jika menyangka Indah Sari adalah anakmu!" tegas
si nenek dengan
suara keras. Hal ini memang disengaja agar muridnya ikut mendengar segala apa yang diucapkannya.

Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha ha ha! Sepanjang hidup boleh saja kau
berdusta Ni Pambayon. Tapi sebagai orang tua aku
tak dapat ditipu. Terlebih-lebih setelah melihat no-da tahi lalat di punggung
Indah Sari."
"Puah... kau boleh saja menyebut seribu
tanda. Cuma perlu kau ketahui ketika aku mengambilnya sebagai murid, orang tua Indah Sari telah meninggal terserang wabah penyakit aneh!" tegas si nenek.
Meskipun Angin Pesut tahu Indah Sari memang anaknya. Namun karena si nenek tetap ngotot akhirnya dia berkata. "Baiklah Ni Pambayon.
Kurasa cuma Tuhan yang tahu kebenaran dari
semua pengakuanmu. Lalu sekarang kau mau
apa?" tanya si kakek.
Bayangan Maut tidak menjawab. Perempuan tua itu kitarkan pandangan matanya ke segenap penjuru ruangan gua. Barulah setelah itu
perhatiannya tertuju ke arah liang tungku perapian. "Puluhan tahun yang lalu kau pernah
membawaku ke tempat ini. Kau tahu apa yang kau
lakukan pada diriku, Angin Pesut?" tanya si nenek.
Angin Pesut diam-diam jadi terkesiap. Tanpa sadar
dia menoleh dan menatap ke arah liang perapian
dimana pada bagian atasnya tergantung sebuah
ayunan batu yang dapat digerakkan turun naik.
"Celaka... perempuan ini pasti berniat menjebloskan aku ke dalam Liang Pemasung Sukma."
batin si kakek. "Harapanku untuk menyadarkan
Indah Sari agaknya tinggal harapan. Semua perjuanganku sia-sia, kini paling tidak aku masih
punya kesempatan untuk menyelamatkan diri!" fikir si kakek.
Diam-diam Angin Pesut mengerahkan ajian
saktinya untuk melenyapkan luka-luka yang dia
derita. Satu perubahan tidak terduga kemudian
segera terjadi. Sekujur permukaan kulit si kakek
mengepulkan asap tipis. Bayangan Maut keluarkan suara kaget ketika melihat bagaimana lukaluka yang terdapat di seluruh tubuh Angin Pesut
lenyap. Untuk menjaga segala sesuatu dari kemungkinan lolosnya Angin Pesut si nenek segera
jentikkan tangannya ke arah tiga bagian tubuh
Angin Pesut. Berturut-turut dari ujung jemari tangannya si nenek melesat lima larik sinar biru
menghantam tubuh Angin Pesut.
Tess! Tess! Angin Pesut mengeluh tertahan ketika hantaman sinar tersebut membuat sekujur badannya
mendadak menjadi kaku tak dapat digerakkan.
"Hik hik hik! Kau boleh sanggup menyembuhkan luka-lukamu dengan Ilmu setanmu Angin
Pesut. Tapi kau tak bakal kubiarkan lolos Liang
Pemasung Sukma telah menantimu. Sekarang sudah waktunya bagimu untuk menerima pembalasan dariku!" dengus si nenek.
Sementara itu di belakang sana di depan
mulut gua Indah Sari tentu saja terperangah melihat Angin Pesut dapat sembuh dari luka-lukanya
secepat itu. "Tak kusangka kakek itu ternyata
memang mempunyai ilmu setan. Kulihat luka di
tubuhnya bertaut kembali. Mengapa proses penyembuhan itu tidak dilakukannya ketika aku melakukan berbagai penyiksaan?" fikir Indah Sari.
"Apakah mungkin dia memang ayahku" Ah...tidak, aku tidak pernah memiliki ayah
sejahat itu!"
Dalam kesempatan itu Angin Pesut berkata.
"Ni Pambayon, rupanya hukuman pendam di dalam liang perapian selama bertahun-tahun tidak
juga menyadarkan dirimu. Tidak hanya itu saja
kau kemudian melakukan perbuatan salah kaprah
dengan meracuni jiwa seorang anak yang tidak
berdosa!" "Kau tidak usah membual Angin Pesut. Kau
juga tak perlu mempengaruhi muridku dengan
mengaku sebagai ayahnya. Sekarang meskipun
kau sanggup menyembuhkan luka-lukamu, kau
tak bakal lolos dari Liang Pemasung Sukma." dengus Bayangan maut. Begitu selesai
berucap si ne- nek berpaling ke arah muridnya. Setelah itu dia
berkata. "Indah Sari. Cepat bantu aku memasukkan bangsat terkutuk itu ke dalam
ayunan batu. Biar dia rasakan betapa pedihnya dipendam di dalam Liang Pemasung Sukma!"
"Guru... demi baktiku kepadamu, apapun
pasti kulakukan! Sekarang muridmu ini siap melakukan perintah!" sahut Indah Sari. Dengan cepat gadis itu menghampiri Angin
Pesut. Kemudian dia
berdiri tegak di depan si kakek. Sekilas dia menatap ke arah Angin Pesut, namun ketika si kakek
menatapnya dengan sorot mata penuh rasa belas
kasih sang dara cepat palingkan kepala dan memandang ke jurusan lain.
Sementara itu tanpa menunggu lebih lama
lagi Bayangan Maut segera menekan salah satu
tonjolan batu yang berfungsi sebagai alat untuk
menggerakkan ayunan.
Begitu tombol batu diinjak terdengarlah suara bergemuruh dahsyat tidak ubahnya sedang
terjadi gempa hebat. Ayunan batu yang tergantung
di atas liang perapian bergerak turun dan jatuh di samping lubang menganga
tersebut. "Angin Pesut. Jika dulu kobaran api di
Liang Pemasung Sukma tidak bisa menghanguskan tubuhku. Maka kini yang terjadi adalah
sebaliknya. Aku telah memasukkan suatu cairan
yang membuat Liang Pemasung Sukma menjadi
panas berlipat ganda. Jangankan hanya tubuh
manusia, besi sekalipun bisa meleleh. Hik hik hik!"
"Perempuan keparat! Manusia keji durjana
pembunuh orang tuaku. Dosamu tak bakal kuampuni. Tidak hanya itu saja aku pasti akan membunuhmu!" teriak Angin Pesut dan untuk pertama kalinya setelah dirinya bertobat
kini si kakek telah kehilangan kesabarannya.
"Tua bangka keparat! Berani kau mengancam guruku, terimalah tendanganku!" habis berkata begitu Indah Sari melepaskan
satu tendangan ke bagian perut Angin Pesut.
Buuk! Si Kakek meskipun telah melindungi tubuhnya dengan pengerahan tenaga dalam tetap saja merasakan suatu derita sakit yang luar biasa.
"Anak durhaka yang melupakan asal usul,
jika kau tidak dapat menggunakan otakmu untuk
membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Aku bersumpah atas nama Gusti Allah
umurmu pasti tak bakal lama!" rutuk si kakek.
Tapi tak kalah sengitnya Indah Sari menjawab. "Aku tidak punya orang tua sepertimu. Kau sudah menjadi penyebab biang
kesengsaraan guruku, karena itu sekarang sudah selayaknya kau
menerima balasan dari semua perbuatanmu!" Setelah bicara begitu sang dara berpaling dan memandang ke arah Bayangan Maut sambil berkata.
"Guru... aku sudah tidak sabar untuk memasukkannya ke dalam ayunan batu."
"Hik hik hik! Kau benar muridku, sekarang
gurumu ini telah gatal tangan untuk melakukan
tugas. Mari kita angkat dia!" tegas si nenek. Tanpa menunggu lebih lama murid
dan guru itu segera
menggotong Angin Pesut. Begitu si kakek dimasukkan ke dalam ayunan maut tersebut dia merasakan sekujur tubuhnya panas bukan main seperti dipanggang. "Celaka...! Satu-satunya untuk mengatasi
ajian panas di dalam liang itu hanya dengan mengerahkan ajian Selimut Es. Tapi seberapa lama
aku bisa bertahan. Saat ini aku bukan saja dalam
keadaan terikat tapi juga tertotok. Bagaimana pun
aku harus berusaha membebaskan diri. Anakku
sudah tidak dapat lagi diharapkan kesadarannya.
Biarpun begitu aku harus mencari kesempatan
untuk meloloskan diri!" batin si kakek.
"Angin Pesut, sekarang kau rasakanlah betapa nyamannya berada di dalam pendaman Liang
Pemasung Sukma. Sekejap lagi kau akan menjadi
daging panggang hangus yang tidak berguna! Hik
hik hik!" Selesai berucap si nenek dan muridnya segera tinggalkan Angin Pesut.
Dia kemudian menekan tonjolan batu yang berfungsi sebagai niat
penggerak ayunan batu. Kemudian tombol batu ditekan maka ayunan batu terangkat naik setelah
posisinya tepat berada di mulut perapian abadi
yang dikenal dengan nama Liang Pemasung Sukma itu. Ayunan batu itupun dengan cepat bergerak
turun memasuki liang perapian. Kobaran api mendadak lenyap, sebaliknya api kini membakar ayunan batu dimana Angin Pesut terbaring.
Panas luar biasa yang membakar bagian
bawah ayunan batu dalam waktu sekejap menjalar
kemana-mana. Angin Pesut meraung dan menjerit
kesakitan. Dalam waktu sekejap seiring dengan lenyapnya ayunan batu dari pandangan mata sekujur tubuh Angin Pesut basah bersimbah keringat.
Tapi biarpun derita siksa sedemikian hebat si kakek masih dapat menggunakan otak cerdiknya.
Diam-diam dia kerahkan ilmu ajian Selimut Es untuk melindungi diri dari pengaruh sengatan panas
yang membakar ayunan batu juga dirinya.
Angin Pesut sadar pengerahan ajian secara
terus menerus tak mungkin dapat dilakukannya.
Tapi dengan menggunakan ajian pelindung tubuh
dari sengatan panas luar biasa paling tidak telah
memberinya kesempatan dan waktu untuk mencari jalan meloloskan diri.
Sementara itu Bayangan Maut tampak merasa puas begitu berhasil menjebloskan orang
yang sangat dibencinya ke dalam Liang Pemasung
Sukma. Dengan disertai seringai sinis dia berkata.
"Jahanam tua yang mengaku sebagai ayahmu itu
pasti segera mampus tak lama lagi. Muridku sekarang alangkah baiknya jika kita keluar dari gua ini.
Kau harus menceritakan bagaimana caranya meringkus Angin Pesut!"
"Meringkus kakek gila itu tidaklah sesulit
yang kau bayangkan guru. Cuma ketika aku
membawanya kemari aku mendapat satu rintangan besar."
"Rintangan besar apakah?" tanya Bayangan Maut sambil melangkah meninggalkan
ruangan gua. Indah Sari menjawab. "Guru tentu sudah
melihat keadaanku yang begini rupa. Semua ini
terjadi akibat ulah seorang kakek bernama Tapa
Gedek." Mendengar ucapan muridnya si nenek kerutkan kening. "Tapa Gedek" Aku belum pernah
mendengar nama itu. Kulihat bukan hanya pakaianmu saja yang hancur, kulihat kasut mu juga
rusak. Bagaimana ciri-ciri orangnya?" tanya si nenek. Dengan perasaan masih
memendam geram akibat kekalahannya ketika menghadapi Tapa Gedek dia menerangkan ciri-ciri si kakek. Nenek itu
manggut-manggut. "Kau tak usah berkecil hati. Ji-ka pada waktu itu kau sempat
mempergunakan Pedang Tumbal Perawan yang tergantung di pinggangmu itu. Aku yakin kakek yang bernama Tapa
Gedek itu tak bakal dapat menyelamatkan diri
meskipun dia menggunakan seribu ilmu hebat."
ujar si nenek. "Tapi aku masih penasaran guru. Kakek itu
mempunyai ilmu aneh yang membuatku hampir
celaka!" ujar sang dara.
Bayangan Maut tersenyum sinis. Dia kemudian membelai kepala muridnya. Tak berselang
lama murid dan guru itu lenyap dari pandangan
mata setelah sosok mereka melewati pintu gua.
5 Tak jauh dari tebing curam yang terdapat di
Kalimayat, kakek gendut berpakaian hitam tak
terkancing itu sejak tadi terus menerus memandang ke arah gua. Sesekali si kakek gendut besar
mengusap wajahnya yang keringatan. Setelah itu
dia kembali mendekam di balik pohon besar, sedangkan mulutnya berkata: "Orang yang diseret oleh gadis berbaju merah tadi aku
yakin adalah Angin Pesut. Jika memang benar dugaanku mengapa Angin Pesut berlaku tolol. Dia memiliki ilmu
kesaktian tinggi. Padahal jika Angin Pesut menggunakan salah satu ilmu simpanannya, aku yakin
gadis itu tak bakal bisa meloloskan diri bukan malah sebaliknya. Dasar kakek tolol, kurasa dia memilih mengambil sikap mengalah agar anaknya
mau menyadari bahwa sebenarnya Angin Pesut
adalah orang tua gadis itu. Tolol... sungguh tolol.
Bagaimana gadis itu mau mengakui dia sebagai
orang tua jika sejak kecil bocah itu berada dalam
didikan musuh besarnya?" batin si kakek. Setelah terdiam sejenak sambil garukgaruk keningnya
yang lebar si kakek gendut yang bukan lain adalah
Gentong Ketawa guru Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon ini kembali julurkan kepala. Sepasang mata
si kakek yang bulat bundar memandang tak berkesip ke arah mulut gua yang sunyi. Kemudian si


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gendut bicara sendiri. "Apa yang terjadi di dalam gua itu. Apakah Angin Pesut
sudah tewas atau dia
menjadi betah karena bertemu dengan bekas kekasihnya?" Kakek Gentong Ketawa gelengkan kepala. Dia tidak yakin Bayangan Maut mau mengampuni jiwa bekas dedengkot tokoh sesat itu.
Apalagi urusannya menyangkut persoalan dendam. Lalu apa yang harus dia lakukan kini" Satusatunya kemungkinan untuk menolong Angin Pesut adalah dengan cara menyerbu ke dalam gua.
Tapi si kakek nampak meragu. "Kudengar Bayangan Maut adalah manusia yang sangat berbahaya.
Jika aku menyerbu ke dalam, boleh jadi Bayangan
Maut dan muridnya menyerangku secara tiba-tiba.
Kalau mereka menyerangku dari dalam nasibku
bisa konyol, mati penasaran sebelum dapat menolong kakek goblok Angin Pesut." kata si gendut.
Di tengah-tengah keraguannya itu si gendut
tiba-tiba belalakkan mata ketika melihat dari mulut gua keluar dua sosok tubuh. Satu diantaranya
yang berpakaian merah adalah gadis yang tadi
menyeret Angin Pesut. Sedangkan satunya lagi
seorang nenek berpakaian hitam. Kakek Gentong
Ketawa menduga, nenek yang bersama gadis berbaju merah itu pastilah guru sang dara yang bergelar Bayangan Maut. "Mereka telah keluar, tapi aku tidak melihat Angin Pesut
ada diantara mereka. Mungkinkah kakek itu telah mereka bunuh"
Hemm.... aku tidak bisa menunggu lebih lama.
Apapun yang telah terjadi atas diri kakek malang
tersebut aku harus mengetahuinya. Sekarang selagi mereka duduk di depan mulut gua, aku akan
membuat suatu kejutan!" berfikir begitu si gendut siap keluar dari tempat
persembunyiannya, namun belum lagi si gendut sempat mendadak sontak terdengar suara gemuruh hebat yang datang
dari arah sebelah selatan Kalimayat. Selagi si gendut dibuat terkesima dan belum
tahu gerangan apa kiranya yang mengeluarkan suara aneh laksana gempa. Dari arah hulu sungai yang kering kerontang muncul satu sosok yang tingginya mencapai pucuk pohon. Sosok itu bukan saja bertubuh
tinggi, tapi juga memiliki badan yang sangat besar seperti raksasa. Setiap
kakinya menindak selalu
mengeluarkan suara gemuruh dan guncangan pada tanah yang dipijaknya. Melihat kehadiran sosok
raksasa itu si gendut jadi terkagum-kagum sendiri.
"Ada manusia setinggi dan sebesar itu. Apakah mungkin dia termasuk salah satu
korban pukulan beracun Perubah Bentuk" Lalu apa yang hendak
dilakukannya di tempat ini?" kata si kakek seorang diri. Si kakek urungkan
niatnya, dia menunggu gerangan apa kiranya yang bakal terjadi.
Sementara begitu muncul diri, raksasa berusia sekitar hampir enam puluh tahun ini dengan
langkah lebar langsung berjalan menuju mulut
gua. Langkah laki-laki itu baru terhenti sepuluh
tombak di depan gua begitu dia melihat orang yang
dicarinya berada disitu bersama seorang gadis
yang tidak dikenalnya. Dengan mulut menyeringai
dan tatapan nyalang si kakek raksasa berteriak.
"Bayangan Maut manusia jahanam! Seperti yang
telah kuduga setelah membunuh istriku ternyata
kau bersembunyi di Kalimayat ini. Kau pasti mengira aku tak bakal mengejarmu bukan?" kata raksasa itu dengan suara menggeledek.
Gentong Ke- tawa buru-buru menutup pendengarannya yang
pengang akibat teriakan sang raksasa. "Raksasa gila, teriak tidak kira-kira.
Untung tidak ada orang hamil disini. Jika tidak bisa melahirkan mendadak."
gerutu si gendut dengan mulut cemberut.
Sementara itu Bayangan Maut dan muridnya sudah tegak berdiri. Indah Sari langsung menutup telinganya yang pengang. Sedangkan
Bayangan Maut dengan sikap tenang sambil berkacak pinggang setelah mengumbar tawa segera
menyahuti. "Senggana... bagimu masih terbuka
kesempatan untuk hidup. Mengapa kau datang
mencari penyakit?" Manusia raksasa yang berna-ma Senggana dongakkan kepala, dari
mulutnya keluar suara menggeram. Lalu dengan penuh rasa
benci Senggana berkata. "Bagiku penyakit telah datang sejak dulu. Kedatanganku
kemari adalah untuk mengambil jiwa busukmu!" tegas si kakek.
"Ah, apakah kau telah kehilangan minat untuk minta obat penawar racun Perobah Bentuk?"
tanya si nenek disertai senyum sinis.
"Racun Perobah Bentuk. Keadaanku sudah
terlanjur begini. Keinginan untuk menyembuhkan
diri telah lenyap begitu istriku terbunuh di tanganmu!" "Hik hik hik. Apa kau mengira jika istrimu
masih hidup kau punya harapan untuk mendapatkan obat penawar racun" Huh... ketahuilah,
Angin Pesut barang kali saat ini sudah mampus
menjadi arang karena aku telah menjebloskannya
ke dalam Liang Pemasung Sukma!" kata Bayangan Maut. Sang raksasa kembali
memperlihatkan seringai dingin. "Aku sudah menduganya Ni Pambayon. Kau memang manusia segala keji yang tidak layak hidup lebih lama lagi di dunia ini!"
"Kakek sialan! Jangan sekali-kali mencoba
menghina guruku, karena aku pasti tidak tinggal
diam!" kata Indah Sari. Senggana menatap sang dara dengan sorot mata angker
penuh rasa tidak
suka sedangkan Bayangan Maut melalui ilmu menyusupkan suara memberi peringatan pada muridnya. "Hati-hati muridmu, dia memiliki tenaga sepuluh kali lebih besar dari
manusia biasa. Aku
sendiri hampir kena dicelakainya. Tapi kau tak
perlu risau, kurasa jika keadaan memaksa kita bisa membasahi pedang Tumbal Perawan yang ada
di pinggangmu dengan darahnya!" Indah Sari anggukkan kepala. Senggana yang
memang tidak kenal pada gadis berbaju merah itu dengan suara serak namun tetap menyengat telinga berucap.
"Kau masih muda bocah. Gurumu itu adalah nenek gila yang punya dendam selangit tembus
pada Angin Pesut. Selama ini kau telah ditipunya
mentah-mentah. Jika kau mau menurut apa kataku, lebih baik kau tak usah mencampuri urusan
kami. Pergilah dari tempat ini selagi masih ada kesempatan!" ujar Senggana.
Rupanya meskipun
saat itu Senggana tengah dilanda kemarahan besar akibat kematian istrinya yang telah dibunuh
Bayangan Maut, namun kiranya dia tidak mau
melibatkan gadis itu. Tetapi sayang secara tak terduga niat baik manusia raksasa
itu oleh si gadis
ditanggapi dengan penuh kegusaran. Dengan gusar pula dia mencabut pedang miliknya yang tergantung di bagian punggung. Lalu sambil menyilangkan pedang di depan dada Indah Sari berseru.
"Kakek raksasa, seperti Angin Pesut rupanya kau juga manusia gila. Kau tidak
usah memberi nase-hat padaku. Bagiku aku rela mati demi membela
guruku. Karena itu saat ini aku merasa punya kewajiban untuk mewakilinya!" selesai berkata begitu sang dara tiba-tiba
lentingkan tubuhnya ke udara.
Sadar lawan memiliki tinggi badan lima kali lipat
dengan tinggi tubuhnya sendiri, maka Indah Sari
pun menyerang lawan dengan mengandalkan ilmu
mengentengi tubuhnya yang sudah sangat sempurna. Setelah tubuh sang dara berada di atas ketinggian, dengan gerakan cepat dia memutar tubuhnya baru kemudian melesat lalu babatkan pedang di tangannya ke arah Senggana. Orang tua
itu sadar meskipun si gadis masih begitu muda,
tapi dia pasti memiliki ilmu kesaktian tak jauh di-bawah gurunya. Itulah
sebabnya begitu melihat
sinar putih menyambar ke bagian wajah dan tenggorokannya manusia raksasa ini segera melompat
mundur sejauh satu langkah, kemudian tangannya ditarik ke atas setelah itu dengan cepat segera di hantamkannya ke bagian
kepala sang dara.
Singg! Wuut! Pedang sang dara melenceng dari sasaran
karena begitu dia mendengar suara menderu yang
datang dari bagian atas kepala gadis ini juga terpaksa selamatkan kepala dari hantaman lawan.
Tiga kali Indah Sari lakukan gerakan berjumpalitan. Dilain waktu dia jejakkan kakinya di atas tanah. Gadis ini tidak menunggu lebih lama, begitu
melihat lawan julurkan tangannya. Dia menyerbu
ke depan. Yang menjadi sasaran adalah bagian
kaki Senggana. Si kakek keluarkan seruan kaget
ketika merasakan sambaran angin dingin disertai
berkelebatnya sinar putih bergulung-gulung melabrak bagian kaki. Cepat kakinya yang menjadi sasaran pedang lawan diangkat. Begitu lawan berada
di bawah telapak kakinya si kakek segera hentakkan kakinya. Sekali serangan Senggana mengenai
sasaran dapat dipastikan tubuh Indah Sari amblas
ke dalam tanah dan remuk seketika.
Tapi pada saat itu gurunya berteriak. "Indah
Sari, awas dari atasmu."
Sang dara tak sempat memandang ke atas,
namun dia sadar akan bahaya yang mengancamnya. Sambil memaki sang dara segera jatuhkan diri, lalu bergulingan hindari hantaman kaki lawan.
Blaaaarr! Tanah tempat dimana Indah Sari tadi berpijak amblas, terjadi guncangan yang sangat keras.
Si nenek yang mengawasi berlangsungnya perkelahian antara murid dan raksasa itu nampak limbung. Sedangkan Gentong Ketawa yang juga turut
mengawasi perkelahian sengit yang terjadi menggerutu. "Raksasa itu agaknya memiliki kesaktian tinggi. Tapi aku khawatir jika
Bayangan Maut ikut
melakukan penggeroyokan, dia tak bakal dapat
meloloskan diri dari kematian. Aku harus bersikap
waspada. Jika Bayangan Maut berlaku curang aku
juga tak bakal tinggal diam menonton atau jadi
orang tolol. Senggana perlu dibantu." batin si kakek. "Tapi biar bagaimanapun
Angin Pesut tidak boleh mati begitu saja. Bayangan Maut tadi sempat mengatakan
pada manusia raksasa itu bahwa
Angin Pesut kemungkinan telah menemui ajal
menjadi arang yang tidak berguna. Akh ... tololnya aku, mengapa tak kupergunakan
saja kesempatan
ini. Selagi Bayangan Maut lengah, aku bisa melakukan pemeriksaan di dalam gua!"
Setelah mengambil keputusan begitu, kakek
Gentong Ketawa segera berkelebat menuju ke arah
gua. Tapi rupanya kemunculan si kakek kiranya
sempat diketahui oleh Bayangan Maut.
"Tamu tak diundang, berani kau masuk ke
dalam gua jiwamu tak bakal kuampuni!" bersamaan dengan bentakan si nenek dia dorongkan
kedua tangannya ke arah sosok si gendut yang
saat itu tak pernah menduga mendapat serangan
seperti itu keluarkan seruan kaget. Karena posisinya mengambang di atas ketinggian begitu serangkum hawa dingin menebar bau tak sedap melabrak tubuhnya, membuat si kakek jadi kehilangan keseimbangan. Jungkir balik dalam gerakan
kalang kabut si kakek berputar-putar di udara.
Tak urung dia masih dapat jatuhkan diri dengan
kedua kaki menjejak tanah terlebih dulu.
Kini si kakek berdiri tegak sambil bertolak
pinggang. Sementara perkelahian antara Indah Sari dan Senggana berlangsung makin sengit, sebaliknya Bayangan Maut terkesima melihat kehadiran kakek gendut berwajah bundar berpipi tembem yang satu ini.
"Apa yang hendak kau lakukan di dalam
gua hingga kau mencoba memasukinya?" tanya
Bayangan Maut curiga.
Si Gendut unjukkan sikap seperti orang tidak bersalah, enteng saja dia menjawab:"Aku masuk kemana saja ku suka perlu apa
kau tahu?"
"Kau ini siapa?" tanya si nenek yang merasa geram mendengar jawaban si gendut.
Si kakek bersikap acuh. Dia pura-pura memandang ke arah perkelahian dimana Indah Sari
saat itu jatuh terjengkang akibat terkena jotosnya Senggana. Gadis itu cepat
bangkit berdiri, selan-jutnya kembali menyerbu ke arah lawan dengan
serangan yang amat berbahaya.
Sekilas saja si kakek memandang ke arah
itu, seolah bosan dia layangkan pandang ke arah
si nenek sambil berkata: "Jika kau mau mengenal siapa diriku cepat bebaskan dulu
Angin Pesut!"
"Hah ....!" si nenek terperangah. Dengan mata mendelik dia ajukan pertanyaan:
"Kau memintaku membebaskan Angin Pesut dari Liang
Pemasung Sukma" Hik ...hik ...hik!" Bayangan
Maut tertawa mengikik. "Kau ini siapa" Kerabatnya atau sahabatnya?"
"Aku boleh dikatakan orang yang bersimpati
atas nasib buruk yang menimpanya." sahut si
gendut. Seperti orang tolol orang tua itu lalu ikut-ikutan tertawa.
"Ketahuilah, Angin Pesut mungkin sekarang
sudah mampus. Buat apa kau mengurusi manusia
terkutuk seperti dia"!" hardik Bayangan Maut
sambil unjukkan muka garang. Sebaliknya kakek
Gentong Ketawa menyibukkan diri dengan mengusap wajahnya yang selalu berkeringat. Selanjutnya
dengan mulut terpencong dia berucap. "Nenek ga-lak, kurasa yang keparat itu
adalah dirimu. Di dunia ini mana ada orang yang tega memisahkan


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak dari bapaknya. Bukankah gadis itu sesungguhnya adalah anak Angin Pesut. Tapi dengan akal bulusmu kau menipunya sejak bocah itu masih
kecil!" "Gendut kurang ajar. Buat apa kau mencampuri urusanku" Persoalanku
dengan Angin Pesut menyangkut urusan pribadi, orang luar tak boleh campuri" hardik si nenek.
"Ha ha ha. Nenek sinting, keinginanku masuk ke dalam gua juga menyangkut kepentingan
pribadi, mengapa kau menghalangiku?" Si nenek menjadi gusar mendengar jawaban
Gentong Ketawa. Dia berfikir si gendut itu kalau dilayani omongan lama kelamaan
dirinya bisa ikutan menjadi gila karena itu dengan geram dia berkata.
"Gendut berhidung pesek, kau boleh melihat ke dalam gua, kau juga kuizinkan menjenguk
Angin Pesut di dalam Liang Pemasung Sukma,
namun kau harus meninggalkan kepalamu dulu di
sini!" Di luar dugaan kakek Gentong Ketawa menyahuti. "Kau menginginkan kepalaku
nek" Buat apa, lagipula kepala tanpa badan tidak ada gunanya. Lalu kepala yang
sebelah mana yang kau
inginkan" Ha ha ha!"
"Kau benar-benar gendut gila. Memangnya
kepalamu ada berapa bangsat!" damprat si nenek marah. Gentong Ketawa yang merasa
tidak punya kesempatan masuk ke dalam gua sebelum dapat
merobohkan Bayangan Maut segera menanggapi.
"Ha ha ha! Aku lupa aku punya berapa, coba kau hitung saja sendiri!" kata si
kakek diselingi tawa bergelak.
Merah padam wajah Bayangan Maut begitu
menyadari arti ucapan si kakek, hilang pula kesabarannya. Tanpa bicara lagi dan tidak membuang
waktu si nenek tiba-tiba keluarkan satu jeritan
melengking. Bersamaan dengan terdengarnya suara jeritan perempuan itu sosoknya berkelebat laksana kilat. Dua kaki secara beruntun lepaskan serangkaian tendangan secara susul menyusul. Bersamaan dengan tendangan yang dilepaskannya si
nenek juga lancarkan pukulan berupa jotosan
dengan menggunakan tangan kiri, sedangkan tangan kanan dengan jemari terkembang menyambar
bagian wajah. Kakek Gentong Ketawa begitu melihat serangan itu sebenarnya sempat dibuat terkejut. Belum pernah dia melihat seorang lawan dapat melancarkan serangan secara bersamaan dengan kecepatan seperti itu. Namun dasar kakek konyol
sambil melompat selamatkan diri dia masih sempat menggumam. "Hebat kurasa inilah jurus nenek moyang serigala. Tak kusangka
rupanya kau masih punya hubungan dengan mahluk menjijikkan
itu. Serigala tua sambutlah gebukanku!" berkata begitu si gendut hantarkan
tangan kirinya menangkis tendangan Lawan. Sementara tangan kiri
berusaha lancarkan totokan di bagian bawah ketiak Bayangan Maut.
Duuk! Benturan keras antara tangan dan kaki lawan membuat tubuh si kakek tergetar. Sebaliknya
si nenek juga keluarkan seruan kaget. Tubuhnya
yang mengapung di udara sempat terdorong mundur, tapi lebih celaka lagi jika dia tidak cepat menarik pukulannya dapat
dipastikan totokan lawan
mengenai sasarannya. Si kakek begitu melihat lawan kehilangan keseimbangan dengan gerakangerakan gerubak gerubuk seperti orang mabuk
merangsang maju. Kini dia melesat ke udara menyusul lawan, sementara tangannya yang terkepal
dihantamkan ke bagian punggung lawan.
Bayangan Maut tidak sempat lagi menghindar. Tak ayal tubuhnya terpental tinggi sejarak sepuluh tombak terkena hantaran
tinju orang tua
itu. Melihat ini Gentong Ketawa terus melentingkan tubuhnya mengejar sosok lawannya yang terus melambung. "Ha ... ha, ha, ha! Rupanya kau mau terbang ke langit. Bayangan
Maut, kau ingin
mendarat di bulan, biarlah tua bangka jelek ini
membantumu sampai ke tempat tujuan!" berkata
begitu kakek Gentong Ketawa hantamkan satu
pukulan lagi. Si nenek yang masih belum sempat
menguasai diri terpental tinggi ke udara. Kini jaraknya dengan tanah sekitar tiga puluh batang
tombak. Si nenek yang kemudian meluncur deras ke
bawah setelah pada puncak batas tenaga hantaman si Gendut meraung hebat. Dia tidak lagi
menghiraukan rasa remuk redam yang mendera
punggungnya akibat serangan penuh kegilaan
yang dilancarkan kakek Gentong Ketawa. Dia juga
kehilangan keseimbangan hingga saat jatuh ke tanah Bayangan Maut jatuh dengan punggung terlebih dulu menghantam tanah.
Bayangan Maut menggeliat. Dia yang semula menganggap remeh lawannya kini menyadari
bahwa lawan yang dihadapinya sesungguhnya bukanlah manusia gila. Tapi seorang kakek konyol
yang menyembunyikan segala kesaktiannya di balik tampang yang tidak meyakinkan.
"Huarkh...!" begitu berdiri tegak si nenek meraung hebat. Rasa amarah yang
melanda jiwa si
nenek kiranya melebihi rasa sakit yang melanda
punggungnya. Dengan tatapan bengis perempuan
tua itu berseru. "Gendut kurang ajar, aku Bayangan Maut jika hari ini tidak bisa
membunuhmu bi- arlah aku akan berguru pada raja iblis!"
Gentong Ketawa tertawa pendek. Dia lalu
menirukan ucapan si nenek. "Nenek kerempeng,
aku Gentong Ketawa jika hari ini tidak dapat
membetot telingamu biarlah aku juga ingin berguru pada setan ompong. Klak klak klak!"
Bukan main geramnya Bayangan Maut melihat tingkah si gendut. Sambil katubkan mulutnya si nenek jatuhkan diri ke tanah. Dari mulut
orang tua itu terdengar suara racau aneh. Hanya
beberapa saat dia keluarkan racauan dengan sikap
seperti serigala hendak menerkam. Setelah itu ketika nenek tersebut tegak seperti semula. Maka kini wajahnya nampak mengalami perubahan wajah
itu sama sekali bukan wajah si nenek seutuhnya
melainkan berubah-ubah antara wajah si nenek
atau bagian muka serigala.
Kakek Gentong Ketawa sempat dibuat terkesiap melihat perubahan dan penampilan lawannya. Dia segera menyadari kalau pada saat itu lawan tengah mengerahkan salah satu ilmu yang
menjadi andalannya.
Si kakek tua tidak mau mengambil resiko,
sadar lawan mengeluarkan ilmu simpanan maka si
kakek lipat gandakan tenaga dalam. Tenaga dalam
lalu disalurkan ke bagian tangan dan kaki. Sementara itu di depan sana Bayangan Maut mengeluarkan suara lolongan panjang. Tak lama setelah suara lolongan lenyap Bayangan Maut berkelebat lenyap dari pandangan kakek Gentong Ketawa. Si
gendut cepat memutar tubuhnya sambil mementang kedua matanya. Lawan tetap tak terlihat terkecuali satu bayangan hitam yang menyambar
mengelilingi si kakek disertai berkelebatnya tangan dan kaki yang menyambar ke
beberapa bagian tubuh si kakek. Sadar lawan dapat melancarkan serangan dengan kecepatan luar biasa si kakek tibatiba jejakkan kakinya hingga tubuhnya melesat di
udara. Tapi secara tak terduga lawan dengan cepat
menyusulnya, tahu-tahu tangan Bayangan Maut
terjulur lalu menyambar bagian pinggang kakek
Gentong Ketawa. Si gendut mendapat serangan
begitu rupa masih dapat menghindar. Tapi serangan berikutnya yang datang tidak terduga berturut-turut menghantam pinggulnya.
Kakek Gentong Ketawa jatuh bergedebukan.
Sebelum orang tua ini sempat berdiri tegak lawan
yang berada di atas ketinggian kini meluncur ke
bawah lalu melepaskan serangkaian tendangan
menggeledek. Meskipun si gendut telah menggunakan jurus Belalang Mabok untuk menghindari
tendangan Bayangan Maut namun salah satu tendangan itu masih menyambar dadanya. Tubuh besar dengan bobot lebih dari dua ratus kati itupun
terpental, lalu jatuh dengan berlutut.
Untuk sementara kita tinggalkan perkelahian sengit antara kakek Gentong Ketawa dan
Bayangan Maut yang berlangsung menegangkan.
Kita kembali pada si raksasa Senggana dan Indah
Sari yang juga terlibat perkelahian tak kalah serunya dengan kakek gendut.
Saat itu perkelahian antara sang dara dengan Senggana sudah berlangsung lebih dari tujuh
puluh jurus. Dalam perkelahian yang cukup panjang itu Indah Sari beberapa kali terkena pukulan
keras yang dilancarkan lawannya. Bahkan darah
nampak pula menetes dari sudut bibir Indah Sari.
Gadis itu sebenarnya sudah merasakan betapa
berbahayanya serangan Senggana. Tubuh sang dara yang terkena pukulan seolah remuk. Beruntung
Indah Sari mendapat gemblengan dari gurunya
sehingga dia dapat bertahan. Sebaliknya serangan
baik berupa pukulan dan tendangan beracun yang
dilancarkan sang dara juga mengenai punggung,
dada maupun perut kakek raksasa itu. Tapi serangan-serangan itu bagi sang raksasa tidak mengakibatkan suatu cidera yang berarti. Celakanya biarpun tubuh maupun pukulan sang dara mengandung racun hebat, tapi raksasa Senggana ini kebal
terhadap serangan beracun maupun sentuhan
anggota tubuh lawannya. Hal ini dapat dimengerti
karena sebenarnya di dalam tubuh si kakek juga
mendekam racun yang tak kalah hebatnya berupa
racun Perubah Bentuk.
Akibatnya serangan sang dara yang mengandalkan racun yang terkandung di sekujur tubuhnya tidak mempunyai arti apa-apa bagi lawannya. Indah Sari kini merasa telah kehilangan akal untuk menghadapi lawannya. Sementara mengharapkan bantuan gurunya saat itu tidak mungkin
mengingat sang guru sendiri sedang menghadapi
gempuran kakek gendut yang tidak dia kenal.
Indah Sari memang berada dalam posisi terjepit, manusia raksasa yang bernama Senggana
tersebut ternyata terlalu tangguh baginya. Dia tidak punya pilihan lain. Satu-satunya cara untuk
menghadapi gempuran manusia raksasa yang berbahaya itu adalah dengan menggunakan Pedang
Tumbal Perawan. Karenanya beberapa saat setelah
tubuhnya terpental sejauh delapan tombak akibat
tendangan Senggana. Indah Sari yang kembali
muntahkan darah segar sambil terbungkukbungkuk bangkit kembali. Senggana yang melihat
kenekadan si gadis saat itu segera memperingatkan. "Masih ada kesempatan bagimu untuk
pergi dari tempat ini. Asal kau berjanji mau bertobat dan bersedia meninggalkan
gurumu aku pasti
bersedia mengampuni jiwamu! Sekarang tinggalkanlah tempat ini!" perintah si kakek dengan suara nyaring.
Bukannya pergi, Indah Sari sambil menggeram segera mencabut pedang Tumbal Perawan dari rangkanya. Rangka pedang itu sendiri seperti diketahui berasal dari lengan
tangan seorang gadis
perawan lengkap dengan jari-jarinya.
Sang raksasa sempat sipitkan matanya ketika melihat pedang hitam berikut rangka pedang
yang tergantung di pinggang sang dara. Dia bahkan sempat tertegun ketika melihat pedang tersebut langsung menggeletar seolah menjadi hidup
ketika berada dalam genggaman lawan.
"Hemm, aku yakin pedang di tangannya itu
bukanlah senjata biasa. Dia merupakan sebuah
senjata sakti yang menyimpan pengaruh dan kekuatan iblis. Rasanya sekarang merupakan saat
yang tepat bagiku untuk melepaskan pukulan
'Raksasa Membelah Bintang." fikir si kakek.
Tak lama kemudian begitu Indah Sari menyerbu ke arahnya dengan serangkaian serangan
mautnya, Senggana segera salurkan tenaga dalam
ke arah kedua belah tangannya. Dua tangan kemudian diangkat tinggi melewati bagian atas kepala begitu dia melihat sinar hitam pekat berhawa
dingin luar biasa bergulung-gulung disertai suara
deru nyaring memekakkan telinga.
Kira-kira dua depa lagi ujung pedang membabat putus kaki Senggana, manusia yang tinggi,
dia segera menghantam Indah Sari yang berada di
bawahnya. Wuut! Wuut! Berturut-turut serangkum sinar biru menyilaukan mata berkiblat. Hawa panas menggidikkan
langsung menyergap diri sang dara. Indah Sari
yang siap membabat perut Senggana menjerit kaget begitu merasakan sambaran hawa panas luar
biasa. Bahkan hawa dingin yang memancar dari
pedang Tumbal Perawan berubah meredup. Tak
punya pilihan lain Indah Sari terpaksa memutar
pedang di tangannya di bagian atas kepala membentuk perisai diri.
Begitu pedang diputar hawa dingin kembali


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebar. Tak berselang lama terjadilah benturan
dahsyat luar biasa. Satu ledakan keras bagai mencerai beraikan sekujur tubuh orang-orang yang berada di tempat itu. Bahkan Gentong Ketawa dan
Bayangan Maut yang terlibat perkelahian sengit
juga sempat jatuh terjengkang. Begitu juga halnya
Bayangan Maut. Tetapi kedua orang tua itu segera
bangkit kembali, lalu kembali terlibat perkelahian seru. Sementara itu begitu
terjadi ledakan keras
Indah Sari jatuh terkapar. Pakaian yang melekat di tubuhnya hancur, wajahnya
menghitam. Biarpun
tidak hangus tapi panasnya luar biasa. Sedangkan
Pedang Tumbal Perawan masih tergenggam di tangan si gadis. Pedang tersebut terus menggeletar
tak mau diam. Di depan sana Senggana yang tegak
tergontai-gontai nampak tertegun namun juga kaget. Dia terkejut karena ternyata lawan dapat bertahan dari pukulan maut yang dilepaskannya, padahal jika orang lain yang terkena pukulan itu
pasti jiwanya tidak bakal selamat.
"Pasti ada yang salah." gumam Senggana
dalam hati. Sesaat dia memperhatikan si gadis
yang kini sudah bangkit berdiri. "Tak mungkin dia dapat bertahan seperti itu.
Pedang di tangannya
itu, aku yakin pasti senjata itulah yang membuatnya dapat bertahan dari pukulan."
Di depan kakek raksasa itu Indah Sari menatap tajam ke arah lawannya dengan pandangan
sinis. "Orang tua, ilmu pukulanmu memang hebat.
Tapi selama padang Tumbal Perawan berada di
tanganku jangan harap kau bisa mengalahkan
aku. Sekarang lihat serangan...!" Indah Sari berteriak lantang. Dengan gerakan
cepat sang dara menyerbu ke depan. Bersamaan dengan itu pedang di
tangannya terus menggeletar seolah hidup berkelebat menyambar ke bagian perut Senggana. Raksasa itu tekankan kedua kakinya ke tanah, selanjutnya tubuh sang raksasa melesat ke udara. Dalam gerak cepat luar biasa Indah Sari yang gagal
menghantam perut lawan kini memutar
><><><> 82-83
6 Untuk sementara kita tinggalkan dulu kakek Gentong Ketawa dan Bayangan Maut yang terlibat perkelahian antara hidup dan mati. Kini kita lihat dulu bagaimana nasib
Angin Pesut yang di-masukkan ke dalam ayunan batu lalu dipendam
ke dalam Liang Pemasung Sukma.
Setelah Bayangan Maut dan muridnya berlalu meninggalkan gua. Angin Pesut tidak menyianyiakan kesempatan itu. Dia sadar meskipun dirinya mengerahkan ilmu Selubung Es untuk melawan hawa panas yang membakar ayunan batu,
hal itu tidak mungkin dapat dipertahankannya secara terus menerus karena dapat menguras habis
seluruh tenaga yang dia miliki. Karenanya Angin
Pesut kemudian sambil tetap melindungi diri segera mencari jalan keluar. Dia berfikir tak mungkin
dirinya dapat keluar dari Liang Pemasung Sukma
jika dirinya tetap dalam keadaan tertotok juga terikat kedua kaki dan tangan.
"Aku tak tahu Ni Pambayon menggunakan
ilmu totokan apa. Tapi aku dapat merasakan pengaruh totokan sangat kuat sekali. Satu-satunya
cara adalah dengan menghancurkan totokan dengan penyaluran tenaga dalam. Namun jika ini
sampai gagal resiko yang kutanggung sangat tinggi, lalu aku akan kehilangan semua tenaga. Jika
tenagaku terkuras habis, dapat kupastikan tubuhku bisa hangus." Batin si kakek.
Dia terdiam lagi, sambil mencoba mengatur
jalan nafas sementara sekujur tubuhnya meskipun
telah diselimuti ajian Selimut Es tetap saja bermandi keringat.
Tak berselang lama kemudian Angin Pesut
mengambil keputusan nekad. Dia tetap bertekad
membebaskan diri dari pengaruh totokan Bayangan Maut meskipun resikonya jika dia gagal tubuhnya harus hangus. Sebaliknya jika usaha si
kakek berhasil dia paling tidak akan kehilangan
setengah dari tenaga dalam dan kekuatan yang dia
miliki. Perlahan Angin Pesut memusatkan fikiran
dan segenap panca inderanya. Secara perlahan pula si kakek salurkan tenaga yang bersumber dari
bagian pusar. Hawa panas mengalir deras dari
arah pusar ke bagian yang terkena totokan. Begitu
tenaga dalam yang disalurkan menyentuh bagianbagian tubuh yang kena totokan maka...
Dess! Dess! Terjadi letupan dua kali berturut-turut. Dari
permukaan kulit yang ditotok mengepulkan asap
tipis berwarna kelabu.
"Kurang ajar. Mengapa bisa gagal!" desis si kakek dengan hati berdebar dan
perasaan kecut.
"Akan kucoba dua kali lagi. Jika sampai
gagal habislah sudah. Berarti hidupku memang
cuma sampai di sini!" guman Angin Pesut. Si kakek lalu pejamkan matanya. Dia
melipat gandakan
tenaga dalamnya. Setelah itu jika pertama tadi dia salurkan tenaga dalam ke arah
totokan dengan ca-ra perlahan maka kini dilakukannya secara cepat.
Deep! Deep! Deep!
Asap tebal mengepul di udara. Si kakek
menarik ><><><><><> hal 86-87
lagi. Tapi mengapa tubuhku jadi oleng begini" Eeh... benar-benar oleng!" kata si nenek dengan tubuh termiring-miring.
"Coba kau ingat-ingat nek. Barangkali kau
mabuk, bukankah tadi kau sempat minum air
sungai" Siapa tahu air sungainya diracun orang."
celetuk Gento kesal.
"Gento, kau jangan bercanda. Apa kau kira
Rajawali Hitam 7 Keturunan Pendekar Karya Rajakelana Pendekar Cengeng 3

Cari Blog Ini