Joko Sableng Malaikat Penggali Kubur Bagian 2
Jangankan ikrar kata, derajat dan harta dipandangnya sebelah mata...."
Mendengar ucapan si kakek, Wulandarl ganti tertawa.
"Orang tua. Kau bukan saja pandai bicara membual, tapi juga pintar urusan
cinta!" "Kita ini hidup. Dalam hidup, siapa pun dia adanya pasti memiliki rasa cinta.
Kalau saat ini kalian belum merasakan, mungkin belum tiba saatnya. Dan satu hal
lagi, cinta seringkali butuh pengorbanan. Nah, di sinilah kelak kalian harus
tentukan pilihan. Rela berkorban untuk cinta atau...."
"Orang tua! Omonganmu sudah ngelantur! Kami tak butuh korban untuk cinta.
Silakan orang lupa dan buta karena cinta, tapi bagi kami...."
"Anak gadis!" Kali ini ganti si kakek yang memotong ucapan Wulandari.
"Tadi kukatakan, cinta datang tanpa diundang, berarti kita belum tahu kapan
datangnya. Dan karena kalian
belum merasakan maka kalian dapat bicara apa saja.
Tapi aku yakin, kalian akan lupa pada ucapan kalian
sendiri jika la telah melanda hati kalian. Silakan percaya apa tidak. Kelak
kalian sendiri akan membuktikannya...."
Habis berkata begitu, si kakek hadapkan wajahnya ke
atas. "Ah. Rupanya kita telah banyak bicara. Aku harus pergi.... Aku tak mau ganggu
urusan pertemuan kalian dengan gadis yang kalian cari...."
Si kakek lalu melangkah dengan kepala tetap
menengadah menghadap langit.
"Tunggu!" tahan Ayu Laksmi, membuat si kakek hentikan langkah.
"Katakan siapa kau sebenarnya" Dan hendak ke mana kau pergi"!"
Tetap dengan mendongak si kakek buka mulut
memberi jawaban.
"Kadang-kadang orang memanggil tua bangka Ini
Gendeng Panuntun. Namun jangan salah sangka, meski
aku gendeng tapi banyak orang yang perlu tuntunan
dariku. Ha ha ha...! Dan karena aku biasa berjalan tanpa tujuan, maka aku tak
bisa katakan ke mana aku hendak pergi. Tapi jangan salah tangkap, meskipun aku
jalan tanpa tujuan, namun pasti punya maksud! Ha... ha...
ha...!" Masih tetap tertawa dan menengadah, si kakek
lanjutkan langkah. Bersamaan dengan itu dari perutnya di mana cermin bulat
berada, tampak cahaya cemerlang menyorot. Seakan bisa melihat, si kakek
melangkah menuruti cahaya yang keluar dari cerminnya.
Meski terlihat melangkah pelan, tapi dalam waktu
sekejap sosok si kakek sudah berada jauh dari tempat di mana Wulandari dan Ayu
Laksmi berada. Bahkan kejap
kemudian, kedua gadis murid Dewi Siluman ini hanya
mendengar suara tawa dan kilatan cahaya tanpa
terlihatnya sosok si kakek!
"Untuk apa pikirkan omongan orang gendengl" gumam Ayu Laksmi saat dilihatnya
Wulandari tegak dengan
sikap gelisah dan memandang jauh dengan sorot mata
kosong. "Tapi ucapan-ucapannya sepertinya benar!" sahut si jubah kuning Wulandari tanpa
menoleh. Ayu Laksmi tertawa bergelak msndengar ucapan
Wulandarl. "Rupanya kau tergoda dengan kata-kata Tua bangka itu.
Padahal dugaannya belum kita buktikan kebenarannya!"
"Dugaannya tentang pertemuan dan janji kita malam ini dengan Guru tepat!"
"Itu mungkin satu kebetulan belaka! Perlu waktu untuk pembuktian selanjutnya.
Kalau benar...."
Ayu Laksmi putuskan ucapannya. Lalu sentakkan
kepalanya ke samping. Demikian pula halnya dengan
Wulandari. "Gemerisik itu pasti bukan ulah binatang. Ada orang di sekitar tempat Ini...,"
bisik Wuiandarl saat telinganya mendengar gemerislk semak-belukar tidak jauh
dari tempatnya berdiri. Ayu Laksmi anggukkan kepala dan
cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Belum sampai ada yang membuat gerakan, semak
belukar di samping kedua gadis ini bergerak menguak.
Lalu muncul ah sesosok tubuh!
Wulandari dan Ayu Laksmi sama-sama pentangkan
mata masing-masing memandang tak berkesip pada
sosok yang kini melangkah ke arah mereka. Ternyata
sosok ini adaiah seorang gadis berwajah cantik
mengenakan jubah merah!
"Sitoresmi...!" gumam Wulandari.
-oo0dw0oo- LIMA EAKAN tak percaya, laksana terbang Wulandari
SdanAyuLaksmisegeramelompat.Berdiritegak
tiga langkah di hadapan sosok gadis berjubah
merah yang bukan lain Sitoresmi adanya dengan mata
perhatikan dari atas sampai bawah.
Merasa jengah dipandangi begitu rupa, Sitoresmi
balas memandang dengan tatapan melotot dan segera
buka mulut menegur.
"Kenapa kalian memandang demikian padaku" Apa
yang salah"!"
Wulandari dan Ayu Laksmi tak segera memberi
jawaban. Sebaliknya kedua gadis ini saling pandang.
"Ucapan orang tua itu ternyata terbukti...," desis Wuiandari. Diam-diam perasaan
gadis berjubah kuning
ini menjadi tak enak dan tampak bimbang. Hatinya pun lantas berkata. "Apakah
dugaan orang tua itu akan apa yang hendak menghadang perburuan ini juga akan
menjadi kenyataan" Akankah seorang laki-laki akhirnya hendak memisahkan kami"
Mungkinkah kami harus
berhadapan dengan pilihan yang meminta pengorbanan?"
Ternyata bukan hanya Wulandari yang dilanda gelisah
dengan berbagai pertanyaan. Diam-diam pula Ayu
Laksmi membatin.
"Dugaan Gendeng Panuntun tentang janji pertemuan dengan Guru mungkin saja bisa
satu kebetulan. Tapi
kalau tepatnya dugaan tentang datangnya Sitoresmi, Ini sudah bukan lagi
kebetulan! Hem.... Apakah dugaannya tentang apa yang akan terjadi betul-betul
akan terbukti"
Siapa laki-laki yang dikatakannya Itu?"
Karena sama-sama tenggelam dengan pikiran masingmasing, membuat kedua gadis ini belum juga memberi
jawaban pada Sitoresmi. Sltoresmi makin tak enak. Dia sepertinya salah tingkah.
"Apa pun yang akan terjadi, aku sudah bulat. Kalau mereka tak mau mengerti, apa
hendak dikata. Aku tak
hendak surutkan langkah...," kata Sitoresmi dalam hati.
Lalu dengan suara agak keras dia berkata.
"Kalian diam tak jawab tanyaku. Aku bukannya
lancang bicara. Tapi aku menangkap perubahan pada
kalian! Hem.... Malam ini memang belum saatnya kita
bertemu. Aku harus pergi dulu. Besok pagi kita bertemu di tempat yang kita
tentukan!"
Sitoresmi segera putar diri dan melangkah meninggalkan tempat Itu. Namun langkah gadis berjubah merah ini tertahan saat
didengarnya satu suara
menahan. "Sitoresmi! Tunggu!"
Meski tak ucapkan sepatah kata, namun Sitoresmi
hentikan langkah. Dia tegak menunggu tanpa berpaling.
"Malam ini Guru menunggu kita! Aku dan Ayu Laksmi diberi perintah mencarimu dan
ditunggu malam ini juga!"
Wajah Sitoresmi tampak berubah tegang. Dahinya
mengernyit. Sepasang matanya tiba-tiba memejam rapat dengan bibir saling
mengigit. Untuk sesaat gadis ini coba menahan guncangan pada tubuh dan dadanya.
"Apakah aku harus menemui Guru" Bagaimana kalau dia.... Ah, ini sudah resiko
yang harus kutanggung...,"
bisik Sitoresml dalam hati. Tanpa menoleh ia berkata
"Apakah Guru ikut serta turun tangan dalam urusan ini"
Dan untuk apa kita menemuinya"!"
"Turun tangan atau tidak bukan hal penting yang harus kita ketahui. Kita juga
tak usah pikir untuk apa
menemuinya. Ini perintah!" ucap Wulandari dengan suara tak kalah keras. Gadis
ini yang sedari tadi telah menindih rasa jengkel karena harus mencari Sitoresmi
sepertinya sudah tak sabar. Namun dia masih mencoba menahan
rasa jengkelnya.
"Baiklah. Kita temui Guru sekarang juga!" kata Sitoresmi pada akhirnya, lalu
balikkan tubuh menghadap Wulandari dan Ayu Laksmi.
"Tapi menurut dugaan orang tua itu, kita tak akan bertemu dengan Guru. Apa tidak
sebaiknya kita tunda
dulu sampai besok pagi?" kata Ayu Laksmi dengan suara perlahan seraya berpaling
pada Wulandari.
Wulandari tertawa. "Nyatanya kau juga terpengaruh dengan ucapan orang tua
itu...." "Dua hal yang dikatakannya tepat. Ini sudah bukan sebuah kebetulan lagi."
"Ucapanmu benar. Tapi yang kita hadapi lain. Bertemu atau tidak kita ke sana
sekarang! Kita tunggu dia di tempat yang ditentukan!" ujar Wulandari.
"Hem....Dari tadi kailan berdua menyebut-nyebut orang tua. Siapa yang kalian
maksud?" tanya Sitoresmi.
"Seorang pembual yang kami temui di tempat Ini
beberapa saat yang lalu. Kita berangkat sekarang!" kata Wulandari lalu
berkelebat mendahului.
Sitoresmi segera mendekati Ayu Laksmi, lalu menjajari gadis berjubah biru ini
dan berbisik. "Kukira yang kalian temui bukan seorang pembual.
Bisa katakan padaku siapa sebenarnya orang-tua yang
kalian bicarakan tadi?"
Sambil berkelebat menyusul Wulandari, Ayu Laksmi
berkata. "Dia mengaku bernama Gendeng Panuntun. Menurutku dia bukan seorang pembual!"
"Pasti kau punya alasan...."
"Apa yang diucapkan tepat dan terbukti!"
Sitoresmi memegang lengan Ayu Laksmi seraya terus
mengikuti Wulandari.
"Apa saja yang dikatakan orang tua itu"l" Tanya Sitoresmi.
"Tentang janji kami yang hendak menemui Guru
malam ini. Lalu soal kedatanganmu yang kami cari-cari!
Juga tentang pertemuan malam ini dengan Guru. Tapi
dalam hal Ini, dia mengatakan,
kita tak akan menemuinya malam Ini. Kita buktikan nanti apakah
ucapan orang tua itu terbukti...."
"Tak ada lagi yang dikatakannya selain itu?"
"Hem.... Ada. Namun terus terang dalam soal yang terakhir ini aku masih
sangsi...."
"Soal apa itu"!"
"Soal pemburuan kita dan masa depan kita bertiga!"
"Apa yang diucapkannya"!"
"Dia menyarankan agar kita tidak meneruskan
pemburuan ini, karena kelak sang pewaris Kitab Serat Biru adalah seorang lakilaki. Dan yang lebih tidak
mengenakkan, dia bilang justru seorang laki-laki itu kelak yang akan memisahkan
kita bertiga!"
Perubahan tampak di raut wajah Sitoresmi. Entah
kenapa gadis ini tiba-tiba dilanda perasaan tak enak.
Dadanya berdebar, kedua tangannya bergetar.
"Kenapa tanganmu bergetar, Sitoresmi?" tanya Ayu Laksmi sambil melirik. "Apa
yang ada dalam benakmu"!"
Sitoresmi menggeleng perlahan. "Kau percaya dengan itu semua?" dia balik ajukan
tanya pada Ayu Laksmi.
Ayu Laksmi tertawa pelan. "Untuk tiga hal yang
pertama, mungkin aku bisa menerima. Tapi untuk soal
yang terakhir, kukira orang tua itu sudah terlalu jauh bicara...."
Di depan sana, mendadak Wulandarl hentikan larinya.
Kepala gadis ini bergerak berputar berkeliling. Sepasang matanya membesar tak
berkedip. "Dia belum datang...," katanya setelah Ayu Laksmi dan Sitoresmi tegak di
sampingnya. "Kita tunggu sebentar...!"
Beberapa saat berlalu. Namun orang yang ditunggu
belum juga tampak. Ketiga gadis ini sudah terlihat agak gelisah. Malah Wulandari
tampak berjalan mondar-mandir dengan sesekali memandang ke arah Sitoresmi
dan Ayu Laksmi. Entah karena tak sabar, akhirnya
Wuiandarl berkata.
"Bagaimana sekarang"!"
"Ucapan orang tua itu kali ini terbukti lagi. Hem.... Kita sudah terlanjur di
tempat Ini. Terpaksa kita cari tempat istirahat di sini!" sahut Ayu Laksmi
seraya menoleh pada Sitoresmi.
"Benar. Lagi pula malam masih panjang. Siapa tahu Guru akan datang tengah malam
nanti...," ujar Sitoresmi menyahut.
Tak lama kemudian, ketiga gadis ini sama mencari
tempat untuk istirahat. Tapi meski ketiganya sudah sama rebahkan diri dan mata
sama terpejam, sebenarnya
dalam hati masing-masing gadis ini sama dibuncah
berbagal hal. Dan yang tampak paling gundah adalah
Sitoresmi. Sesekali gadis berjubah merah ini buka
kelopak matanya dan memandang pada dua saudara
seperguruannya.
"Cerita Ayu Laksmi tadi, apakah benar-benar akan terjadi..." Ah.... Kenapa
hatiku jadi berdebar-debar tak karuan" Dan wajah itu, kenapa tak bisa lepas dari
mataku?" -oo0dw0oo- Sitoresmi tak sadar sampai berapa lama dia gundah
Joko Sableng Malaikat Penggali Kubur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri malam Itu. la baru buka kelopak matanya lebar-lebar tatkala telinganya
menangkap suara gemeretak
sayup-sayup di kejauhan. Sejurus dia menatap pada
Wulandari dan Ayu Laksmi yang rebah tak jauh dari
tempatnya. Lalu bangkit duduk dan memandang ke arah
sumber suara gemeretakan. Saat itu langit di sebelah timur tampak terang
kekuningan, pertanda tak lama lagi sang mentari akan unjuk diri menggantikan
malam. Suara gemeretak makin lama makin dekat, dan tak
berselang lama, dari tempatnya berada, Sitoresmi
melihat sebuah kereta yang di bagian depannya tampak seorang laki-laki berjubah
hitam duduk di bangku kusir.
Sejenak wajah Sitoresmi berubah. Dadanya makin
berdebar. Buru-buru gadis ini berseru pada Wulandari dan Ayu Laksmi.
"Guru datang!"
Wulandari dan Ayu Laksmi cepat-cepat bergerak
bangkit. Kini ketiganya tegak berdiri menyongsong kereta yang terus berderak
menghampiri ke arah mereka.
Sejarak tiga tombak dari hadapan ketiga gadis ini, di depan sana mendadak sang
kusir kereta menarik tali
kekang kuda keretanya. Terdengar suara kaki ladam
kuda menggeru tanah. Serta-merta binatang penarik
kereta Itu hentikan larinya. Sejurus terlihat tanah lembab muncrat setengah
tombak ke udara. Lalu satu bayangan hitam berkelebat. Dan tahu-tahu tiga langkah
di hadapan para gadis tadi tegak berdiri seorang kakek berjubah hitam besar dan
panjang dengan rambut putih dan
disanggul ke atas. Paras wajahnya pucat keriput.
Sepasang matanya besar. Kedua tangannya tampak
dimasukkan ke dalam saku kedua jubahnya.
"Kl Buyut Pagar Alam...," seru ketiga gadis lalu sama menjura.
Si kakek berjubah hitam besar dan panjang yang
kedua tangannya masuk ke dalam saku yang dikenal
sebagai paman sekaligus pendamping utama Dewi
Siluman perdengarkan gumaman dengan mata memandang bergantian ke arah tiga gadis di hadapannya. Si kakek yang dipanggil dengan Kl Buyut Pagar Alam
tengadah, lalu terdengar ucapannya.
"Apakah kalian bertiga sudah lama menanti?"
"Kami belum begitu lama di tempat ini, Kl Buyut,"
jawab Wulandari.
"Dan kalaupun Guru tidak datang hari ini, kami akan tetap di sini menunggu...,"
sambung Sitoresml.
Ki Buyut Pagar Alam sunggingkan senyum, tapi cuma
sekejap. Masih dengan mendongak, si kakek ini berkata.
"Bagaimana keadaanmu Sitoresmi"!"
Untuk sesaat raut Sitoresmi berubah sedikit tegang.
Namun kejap kemudian gadis berjubah merah ini
tersenyum sambil berkata menjawab.
"Aku baik-baik saja, Ki Buyut. Hanya beberapa saat kemarin aku menemui halangan,
hingga tak sempat
bertemu dengan Guru. Lagi pula kami bertiga telah
sepakat untuk bertemu pagi ini...."
"Hem.... Aku gembira mendengar keteranganmu.
Terus terang aku dan gurumu sangat cemas dengan
ketidakhadiranmu kemarin siang. Karena kusirap telah banyak orang-orang muncul
di sekitar tempat Ini. Dan kemunculan mereka pasti punya maksud yang sama
dengan kita!"
Beberapa saat suasana di tempat itu sunyi, karena
keempat orang itu tidak ada yang buka mulut. Namun tak berapa lama kemudian, Ki
Buyut Pagar Alam memecah
kesunyian dengan berucap.
"Guru kalian Dewi Siluman hari ini tak bisa menemui kalian, karena ada sesuatu
yang harus dikerjakan. Hanya dia berpesan agar kalian teruskan perjalanan menuju
arah selatan. Tujuh hari di depan, kalian ditunggu di sebuah kanal yang menuju
arah laut selatan! Tapi harus diingat, meski kailan menuju arah selatan, tapi
kalian harus berpencar. Dan beri tanda seperti biasa jika salah satu di antara
kalian ada yang mengalami kesulitan! Ada yang ingin utarakan sesuatu"!"
"Berarti jarak di antara kami bertiga harus tidak terlalu jauh. Begitu?"
Wulandari ajukan tanya.
"Itu bisa kalian atur. Yang penting jika salah satu di antara kalian memberi
tanda, lainnya dapat menangkap tanda itu!" jawab Ki Buyut.
"Dan yang juga perlu kalian perhatikan, kailan harus lebih waspada. Orang yang
kini banyak muncul, rata-rata punya kepandaian yang tidak bisa dipandang remeh.
Jangan liat orang dari segi pakaian atau ucapannya!
Justru di balik pakaian rombeng dan ucapan yang seperti orang gila kadang
tersimpan kekuatan luar biasa! Kalian dengar"!"
Ketiga gadis di hadapan Ki Buyut Pagar Alam sama
anggukkan kepala.
"Satu hal lagi. Singkirkan setiap orang yang punya maksud searah dengan
perjalanan kalian! Siapa saja.
Jangan pandang bulu!" sambung Ki Buyut. Kakek Ini lantas putar tubuh, dan sekali
bergerak, tubuhnya
melesat. Kejap lain sosoknya telah tegak di atas kereta.
Ketiga gadis saling pandang sejurus. Lalu sama
anggukkan kepala memberi isyarat. Sitoresmi yang
membuat gerakan terlebih dahulu dengan melesat ke
arah selatan. Lalu disusul dengan Ayu Laksmi yang juga berkelebat ke arah
selatan namun mengambil jarak kira-kira enam tombak dari arah yang diambil
Sitoresmi. Yang terakhir berkelebat adalah Wulandari. Tapi tiba-tiba gadis ini
tercengang sendiri. Meski dia telah kerahkan tenaga namun sepertinya ada satu
kekuatan luar biasa yang
menahan gerakannya.
"Gila! Pasti ada orang yang berbuat kurang ajar!"
teriak Wulandari dalam hati, lalu kerahkan tenaga dalam sekali lagi. Namun siasia. Selagi sadis berjubah kuning ini memaki sendiri, tiba-tiba terdengar orang
tertawa. Wulandari cepat berpai ng.
Di depan sana, di atas kereta tampak Ki Buyut Pagar
Alam arahkan wajah ke jurusan lain dengan mulut
terbuka tertawa.
"Apa maksud orang tua itu menahan gerakanku"!"
desis Wulandari. Gadis ini sudah buka mulut untuk
berucap. Namun suaranya belum terdengar, Ki Buyut
Pagar Alam telah putuskan tawanya. Kedua tangannya
yang mengepal di dalam saku dibuka perlahan-lahan.
Lalu mulutnya terbuka.
"Wulandari! Kemarilah...."
Sejurus Wulandari tampak bimbang. Di atas kereta Ki
Buyut keluarkan tangan kanannya dari saku jubahnya.
Lalu tangan itu membuat gerakan melambai seperti
orang memanggil.
Wulandari merasakan ada satu kekuatan dahsyat
mendorong tubuhnya dari belakang. Dan belum sempat
mengetahui apa yang terjadi menimpa dirinya, sosok
Wulandari perlahan-lahan bergerak maju ke arah kereta!
Empat langkah lagi sampai, tiba-tiba Ki Buyut hentikan lambaian tangannya dan
dimasukkan kembali ke dalam
saku jubahnya. Pada saat bersamaan, sosok Wulandari
terhenti. "Wulandari! Kau mendapat tugas khusus dari gurumu.
Kau diperintahkan berjalan membuntuti Sitoresmi!"
"Ki Buyut...."
"Kau tak usah tanya mengapa. Ini pesan Dewi
Siluman! Jika kepergok, kau cari sendiri alasannya! Nah.
Berangkatlah!" tukas Ki Buyut Pagar Alam.
Meski dalam hati masih disarati berbagai tanya, tapi Wulandari tak bisa berbuat
banyak. Karena begitu
selesai bicara Ki Buyut Pagar Alam segera tarik tali kekang kereta. Anehnya,
bukan kedua tangannya yang
menghentak tali kekang Itu, melainkan mulutnya! Dan
meski tali kekang yang ada di mulutnya itu hanya ditarik pelan, kuda kereta itu
tersentak dan perdengarkan suara ringkikan keras. Kedua kaki depannya terangkat
tinggi. Lalu sekali Ki Buyut tarik kepalanya, sang kuda berputar dan berderak cepat
meninggalkan tempat itu.
Untuk beberapa saat Wulandari pandangi punggung
kereta. Dan masih dengan benak dipenuhi tanda tanya, Wulandari balikkan tubuh
lalu berkelebat mengambil arah sejalan dengan arah Sitoresmi.
-oo0dw0oo- ENAM ENDEKAR Pedang Tumpul 131 Joko Sableng
sandarkan tubuh pada sebatang pohon. Lalu
tangan kirinya bergerak ke atas. Jari Pkelingkingnyadimasukkankelobangtelinganya,
hingga tak lama kemudian dia tampak meringis sendiri seraya berjingkat. Sejurus
tangan kanannya bergerak
pula ke balik pakaiannya. Mengeluarkan dua gulungan
kulit berwarna coklat lusuh. Perlahan-lahan tubuhnya melorot. Dua gulungan kulit
diletakkan di atas tanah. Lalu dibuka satu persatu dan dijajar bersambung.
"Hem.... Peta kedua ini berakhir tak jauh dari tempat ini...," desisnya iaiu
menggulung kembali gulungan kulit dan dimasukkan ke balik pakaiannya. Sepasang
matanya memandang ke depan.
"Urusan peta belum ada ujung pangkalnya tapi
pedangku telah lenyap disambar orang. Hem.... Perempuan bercadar dan berjubah hitam. Hanya itu
tanda yang kuketahui tentang orang yang mengambil
pedangku. Apa aku harus mencari orang itu dahulu atau teruskan perjalanan gila
ini?" Murid Pendeta Sinting itu untuk beberapa saat dilanda kebingungan tentukan
keputusan. "Ah. Benar kata Ratu Maiam. Orang yang mengambil pedangku sudah ada gambaran.
Sedangkan urusan
Kitab Serat Biru harus diselesaikan dengan cepat,
karena telah banyak orang yang muncul. Terlambat
sedikit kitab itu tidak mustahil akan didahului orang iain.
Dan dunia persilatan akan geger dan kiamat jika orang itu dari golongan orang
yang tidak bertanggung jawab.
Sebaiknya aku teruskan perjala nan ini. Tidak tertutup kemungkinan perempuan
bercadar dan berjubah hitam
itu juga sedang memburu Kitab Serat Biru. Siapa tahu aku berjumpa dengannya...."
Berpikir sampai di situ, murid Pendeta Sinting ini
bangkit. Memandang ke arah selatan seperti yang tertera dalam peta, lalu
melangkah cepat.
Hanya beberapa saat berlari, tiba-tiba Joko hentikan langkah. Pada sebuah batu
besar, tempak seorang laki-laki duduk ongkang-ongkang kaki. Joko hanya bisa
melihat rambut putih yang menggerai di punggung orang.
Karena orang yang duduk itu membelakangi.
"Meski sikapnya acuh, sepertinya dia bukan tak
sengaja duduk di situ. Siapa orang ini" Tapi tak perlu diladeni...," putus Joko.
Lalu teruskan langkah berjalan di belakang orang.
Sampai batu di mana orang duduk terlewati, tak
terdengar orang buka mulut. Hingga Joko teruskan
langkah tanpa memandang. Namun baru beberapa
langkah, tiba-tiba terdengar suara tawa.
Tanpa berpaling, Joko telah tahu siapa adanya orang
yang perdengarkan tawa. Dia hentikan langkah. Suara
tawa kian keras melengking, membuat murid Pendeta
Sinting harus kerahkan tenaga dalam pada telinga untuk menutup suara yang masuk.
Tiba-tiba suara tawa diputus laksana disambar setan.
Lalu terdengar suara orang bicara.
"Setengah jalan sudah dikayuh. Namun setengahnya lagi masih harus ditempuh.
Makin tinggi pohon dipanjat.
Makin kencang angin menghujat. Makin dalam lobang
digali, makin gelap yang terpandangi. Tapi takdir sudah terpentang, tak pantas
putus asa berpatah arang!"
Joko Sableng terkesiap mendengar ucapan orang. Cepat dia putar diri dengan mata
lurus memandang ke arah
orang yang duduk di atas batu. Karena dari arah
samping, Joko tak bisa mengenali dengan jelas raut
wajah orang. Yang terlihat hanya sebagian wajahnya
sebelah kanan yang putih berkilat. Dan sekali lihat, Joko telah bisa menebak
jika arang itu menggunakan penutup wajah untuk menyembunyikan wajah aslinya.
"Wajahnya beda. Tapi suaranya kukenal betul! Apakah memang dia"!" Joko melangkah
mendekat. "Berbalik dan teruskan langkah berjalan. Sedikit terlambat gerak akan tertahan.
Di depan orang telah
menunggu. Jangan sia-siakan dengan diam termangu."
Habis ucapkan kata-kata orang yang duduk ongkangongkang kaki di atas batu membuat gerakan dengan
Jejakkan sepasang kakinya ke batu yang diduduki.
Bersamaan dengan itu tubuhnya berkelebat melesat ke
depan. Batu yang tadi diduduki bergetar sesaat, lalu bergerak menggelinding ke
arah Joko! Dengan menggerendeng panjang pendek, murid
Pendeta Sinting melompat ke samping hindarkan diri.
Begitu memandang ke depan, dia sudah tak melihat
siapa-siapa lagi! Orang yang baru saja berkelebat lenyap laksana ditelan bumi.
Sambil geleng-geleng kepala Pendekar 131 balikkan
tubuh. "Orang aneh. Tapi kata-katanya mengandung kaitan dengan apa yang sedang
kulakukan. Hem...Di depan
orang sudah menunggu. Aku yang ditunggu"!"
Tanpa pikir panjang lagi, murid Pendeta Sinting segera berkelebat teruskan
langkah ke arah selatan. Kira-kira seratus
tombak, samar-samar sepasang matanya
menangkap adanya sesosok tubuh yang berjalan pelan
di depan sana. "Hem.... Mungkin orang ini yang dimaksud...," gumam Joko Ialu percepat larinya.
Namun Joko jadi terkesiap sendiri. Meski dia telah berusaha kerahkan segenap
ilmu peringan tubuh, dan di depan sana si orang berjalan
Joko Sableng Malaikat Penggali Kubur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pelan, tapi Joko mengalami kesulitan untuk mempersempit jarak! Malah pada suatu tempat, orang
yang dikejar tak tampak lagi sosoknya.
"Ke mana lenyapnya orang itu! Baru saja kulihat, tapi sekarang sudah tak
tampak!" Joko mengawasi berkeliling. Namun sampai matanya
pedas berpeluh, orang yang dicari tak juga ditemukan.
"Ah. Untuk apa buang waktu mencari orang yang
belum jelas sangkut-pautnya?" Joko putar diri lalu teruskan langkah ke arah
selatan. Baru beberapa tombak, tiba-tiba terdengar suara
orang bersenandung tak jelas. Lalu tampak cahaya
berkilat-kilat memantul. Karena suara Itu datangnya dari arah belakang, Joko
cepat balikkan tubuh.
Di depan sana, tampak seorang kakek berjalan pelan
dengan kepala mendongak. Dia mengenakan pakaian
gombrong warna hijau. Rambutnya disanggul ke atas
tinggi. Dari perut orang ini tampak keluar cahaya
pantulan matahari.
Anehnya, meski Joko tegak menunggu dengan mata
tak berkesip memperhatikan, sementara orang tua itu
berjalan ke arahnya, namun jarak antara keduanya tak juga jadi dekat!
"Waduh. Orang ini hantu atau manusia biasa" Kalau hantu kenapa siang-siang
begini berkeliaran. Kalau
manusia kenapa memiliki keunikan demikian"!"
Karena ditunggu agak lama. kakek bertubuh gemuk
besar mengenakan pakaian hijau tak juga mendekat
meski tampak melangkah ke arahnya, murid Pendeta
Sinting segera berkelebat ke depan. Empat langkah di depan orang, Joko berhenti.
Sepasapg matanya di
pentang besar mengawasi orang dengan tak berkesip.
Mendadak kakek bertubuh besar luruskan kepalanya.
Sepasang matanya bolak-balik mengerjap. Ternyata
mata itu hanya kelihatan putihnya seja, menandakan jika orang Itu buta.
"Mengapa kau mengikuti, Bocah"!" Tiba-tiba kakek bertubuh besar perdengarkan
teguran. Joko terkesiap. Sambil gelengkan kepala diam-diam
dia membatin. "Matanya buta, bagaimana dia tahu ku ikuti" Akan kucoba, apakah dia benar-benar
tahu meski matanya
buta!" Lalu Joko kerahkan tenaga dalam ke tenggorokan.
Kejap kemudian dia buka muiut.
"Orang tua! Siapa mengikutimu" lagi pula apa
untungnya mengikutimu" Masih banyak laki-laki muda
yang gagah yang pantas untuk di kuti!"
Si kakek kernyitkan dahi. Karena suara Joko kali ini terdengar seperti suara
seorang perempuan!
"Eh, meski mataku buta tapi mata hatiku bisa melihat dan merasakan. Orang yang
diam-diam mengikutiku
adalah seorang pemuda. Tapi kenapa suaranya mirip
suara orang perempuan"! Giia. Jangan-jangan orang di hadapanku ini banci.... Ah,
kebetulan sekali. Sudah lama aku tak ngomong-ngomong dengan banci," gumam si
kakek lalu tertawa panjang.
'Busyet! Dia telah tahu". Bagaimana Ini" Aku tak
mungkin terus menerus berkata seperti perempuan...,"
batin Joko seraya cengengesan.
"Anak Banci! Kalau kau tak mengikuti, ke mana
tujuanmu sebenarnya?" si kakek yang bukan lain adalah Gendeng Panuntun ajukan
tanya seraya arahkan cermin
bulat di depan perutnya pada Joko.
Sejenak Joko tadangkan telapak tangannya di depan
mata karena silau. Lalu melangkah satu tindak ke
samping dan berkata.
"Ke mana tujuanku, seorang pun tak layak mengetahuinya! Kau sendiri akan ke mana?"
Si kakek tak segera menjawab. Sebaliknya dia
bergumam sendiri dengan kepala ditengadahkan. "Rambut panjang sedikit acak-cakan. Pakaian warna putih dengan ikat kepala
putih. Hem..., penglihatan
cerminku yang salah atau pendengaranku yang tidak
benar?" Sejenak Gendeng Panuntun hentikan gumamannya, tapi tak berapa lama bergumam iagi.
"Tampangnya seperti tampang laki-laki. Ah, kasihan sekali jika dugaanku benar.
Tampang laki-laki tapi jiwa dan suara perempuan...."
Pendekar 131 hanya bisa mengumpat dalam hati
mendengar gumaman si kakek. Tapi diam-diam dia sadar jika orang tua di
hadapannya bukan orang sembarangan.
Dengan sekali pantulkan cermin, dia dapat mengetahui siapa adanya orang!
"Eh, kau tadi tanya apa"!" si kakek tiba-tiba bertanya.
"Ke mana kau hendak menuju"!" jawab Joko masih dengan suara perempuan.
"Apa itu penting bagimu"!"
"Dibilang penting ya penting. Dikatakan tidak penting juga bisa!"
"Pentingnya apa" Dan tidak pentingnya juga apa?"
"Pentingnya.
Maaf, kulihat penglihatanmu tidak berfungsi. Kalau kita satu arah tak ada jeleknya kita jajan bersama. Akan
kuceritakan padamu tentang tempat-tempat yang kita lewati. Tidak pentingnya,
kalau tujuanmu tidak boleh diketahui orang lain aku tak akan usil mencari tahu...."
"Begitu" Sayang sekali niat baikmu tak bisa kuterima.
Karena selama malang melintang di hamparan bumi ini
aku telah mendapatkan teman seperjalanan yang bukan
saja tidak pernah berkata dusta dan pura-pura namun
juga tak pernah bertanya-tanya...!"
Sejenak sepasang mata Joko mengawasi, mencaritahu teman seperjalanan yang baru saja
dikatakan si kakek. Tapi hingga agak lama murid
Pendeta Sinting ini tak bisa menemukan apa yang
dikatakan si kakek.
"Apa yang kau cari, Bocah"!"
"Kau tadi mengatakan punya teman...."
Gendeng Panuntun tertawa bergelak. Puas tertawa dia
berkata. "Bocah. Lihatlah sesuatu dari sudut berbeda! Karena sesuatu apa pun ingin
dilihat lebih dari apa adanya!"
"Aku belum mengerti maksudmu!"
"Hem.... Lihat! Apa ini"!" tanya Gendeng Panuntun seraya arahkan telunjuk
tangannya pada cermin bundar di depan perutnya.
"Cermin!" jawab Joko.
Kembali Gendeng Panuntun tertawa mengekeh. "Anak kecil pun pasti akan menjawab
seperti jawabanmu!
Namun tidak bagi orang yang memandang cermin dari
sudut berbeda! Cermin adalah sahabat sejati yang
mengatakan apa adanya! Hitam adanya, cermin akan
pantulkan hitam. Putih adanya, cermin akan tunjukkan putih! Kau paham"!"
Joko hanya bisa mengangguk tanpa sepatah kata pun
keluar dari mulutnya.
"Nah, Jika kau dapat memandang sesuatu dari sudut beda dan melihatnya lebih dari
apa adanya, maka kau
tidak akan meremehkan ciptaan Tuhan meski ciptaan itu seperti benda tak berguna:
Demikian pula cara
pandangmu padaku. Maaf meski penglihatanku tak bisa
digunakan, tapi mungkin aku dapat menduga ke mana
dan apa tujuanmu!"
"Hem.... Coba katakan...!"
"Kau sebenarnya belum paham betul ke mana kau
hendak melangkah. Namun yang pasti kau punya tujuan
mencari Kitab Serat Biru! Betul"!"
"Luar biasa orang tua ini. Siapa dia sebenarnya?" Joko bertanya-tanya
sendiri dalam hati. Lalu berkata menjawab. "Aku tak bisa katakan betul apa tidak!"
"Dan kau sebenarnya seorang pemuda yang berlagak bicara seperti perempuan.
Benar"!"
Murid Pendeta Sinting tidak menjawab. Tapi dia
sunggingkan senyum dengan kepala menggeleng.
"Anak muda! Siapa namamu?"
"Hem.... Joko Sableng!"
"Sableng.... Sama artinya dengan edan. Tak beda dengan sinting. Juga berarti
gendeng.... Ha... ha... ha...!"
Mendadak Gendeng Panuntun tertawa terbahak-bahak.
"Namamu sama artinya dengan namaku. Berarti kamu ditentukan berjodoh denganku,
Anak muda!"
"Eh. Apa maksud ucapanmu, Kek"!"
"Berjodoh artinya harus bersatu hati meski tidak bersanding. Orang berjodoh
harus saling terbuka. Satu sama lain harus rela memberikan apa yang dibutuhkan
lainnya. Milikku adalah punyamu. Milikmu juga boleh
kumiliki!"
"Tapi, Kek. Aku sepertinya tak punya sesuatu yang
pantas kau miliki!"
"Jangan khawatir, Anak muda. Aku tak akan meminta lebih dari apa yang tak kuasa
kau berikan! Aku tak akan minta penglihatanmu. Karena aku sudah senang dengan
keadaanku yang demikian ini. Orang punya mata
memang bisa melihat. Namun harus diingat. Justru dari matalah, awal terjadinya
kebohongan! Lain dengan orang buta sepertiku yang melihat segala sesuatu dengan
hati Karena hati tak bisa diajak untuk berbohong!"
"Kek. Aku tadi sudah mengatakan siapa diriku.
Sekarang katakan siapa dirimu...."
"Orang-orang menyebutku Gendeng Penuntun....!"
"Gendeng Panuntun. Hem...," Joko bergumam, lalu tersenyum.
"Eh. Ingat nama itu, aku jadi ingat dengan nama seorang sahabat dan tokoh yang
artinya sama...," ujar Gendeng Panuntun dengan terus mendongak.
"Yang kau maksud Pendeta Sinting?" kata Joko menebak setelah agak iama si kakek
terdiam seolah mengingat-ingat.
"Ah. Betul. Pendeta Sinting. Kau kenal dengannya?"
"Lebih dari kenal, Kek. Dia adalah Eyang guruku!"
"Wah. Berarti kita benar-benar berjodoh. Satunya Sableng, lainnya Gendeng,
ditambah Sinting! Ha... ha...
ha...!" Setelah puas tertawa, Gendeng Panuntun usap-usap
cerminnya. Lalu berkata. "Mendung.... Kulihat awan hitam berarak di atas
kepalamu. Apa sebenarnya yang
terjadi menimpa dirimu"!"
"Hem.... Dia sepertinya tahu apa yang akan terjadi.
Aku akan berkata terus terang. Barangkali dia bisa
membantu," kata Joko dalam hati, lalu setelah menarik napas panjang dia berkata.
"Pedang Tumpul 131 milikku dibawa orang! Aku tak tahu siapa orangnya, tapi berat
dugaan dia adalah
seorang perempuan mengenakan cadar dan jubah
hitam...."
"Hem... tak salah. Berarti Ini anak manusianya yang ditakdirkan memiliki barang
yang terpendam di Pulau
Biru," membatin Gendeng Panuntun.
"Tak usah cemas dengan senjatamu, Anak muda. Aku menduga kelak kau akan bertemu
dengan perempuan
itu. Tapi kau harus hati-hati. Karena aku melihat kau dikelilingi bunga. Bunga
adalah isyarat perempuan.
Sementara perempuan adalah makhluk di kolong langit
yang dengan kelemahannya bisa mengguncang bumi!"
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kek!"
"Dalam perjalananmu kelak, akan menghadang
beberapa perempuan yang tidak saja membawa
kekuatan ilmu, namun juga berbekal senjata cinta! Di sini kau dihadapkan dengan
pilihan pelik. Sekali kau salah tentukan langkah, bukan saja akan terperosok,
tapi tugasmu akan terbengkelai!"
"Ah, kau ada-ada saja. Mana mungkin ada perempuan yang mau sama manusia jelek
sepertiku ini. Apalagi
beberapa perempuan!"
"Kelak kau bisa buktikan ucapanku. Dan sekali lagi pesanku, berhati-hatilah.
Kadangkala laki-laki bisa
menerjang badai ombak, tegar menghadapi letusan
gunung. Namun terhenti dan bersimpuh karena tetes air mata perempuan!"
Murid Pendeta Sinting terdiam mendengar ucapan
Gendeng Panuntun. Dia buka muiut hendak mengatakan
sesuatu. Namun si kakek telah mendahului.
"Joko. Sebenarnya telah bertahun lamanya aku
menyimpan sesuatu untukmu. Sekarang mumpung
bertemu, terimalah barang itu!"
Habis berkata, Gendeng Panuntun selinapkan tangan
ke balik ikat pinggangnya. Ketika tangan itu menjulur kembali, tampaklah sebuah
gulungan kulit berwarna
coklat lusuh. Kulit coklat segera diangsurkan ke depan. Tanpa ragu-ragu lagi Pendekar 131
cepat angsurkan tangan untuk
menerima gulungan kulit itu.
"Dengan sampainya kau di sini, aku telah dapat
menduga jika kedua saudaraku telah memberikan
penggalan kulit seperti ini padamu! Nah. Silakan
Joko Sableng Malaikat Penggali Kubur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
teruskan jalan! Jangan lupa. Jika dugaanku tentang
bunga-bunga tadi tidak meleset, tolong sisakan satu
untukku!" "Hem.... Karena kita berjodoh, jangankan satu,
semuanya nanti bisa kau ambil. Bukankah milikku juga milikmu?"
"Ha... ha... ha...! Boleh, boleh. Tapi jangan coba-coba curang. Karena aku tak
bisa melihat, lantas kau ganti dengan nenek-nenek girang!"
"Wah, sebagai orang yang lama malang melintang, sekali pegang tentu kau dapat
membedakan. Dan
kalaupun tak dapat, kau harus melihatnya dari sudut
berbeda! Bukankah begitu"!"
"Sontoloyo! Kau pandai juga!"
Bersamaan dengan selesainya ucapan, Gendeng
Panuntun goyangkan pantatnya. Cermin di perutnya ikut bergerak ke kanan kiri
ikuti goyangan pantat. Cahaya putih tampak memantul. Di hadapannya, murid
Pendeta Sinting terpaksa pejamkan mata untuk menghindari silau.
Begitu sepasang mata Pendekar 131 dibuka kembali,
astaga! Sosok Gendeng Panuntun sudah tidak tampak
lagi di tempat itu. Hanya samar-samar Joko dapat
menangkap kelebatan pakaiannya yang berkibar-kibar
ditiup angin jauh di depan!
-oo0dw0oo- TUJUH RANG berjubah biru itu berkelebat laksana
angin. Melihat tubuhnya telah basah kuyup oleh
Okeringat, napasnya yang terengah-engah,
namun tak juga berhenti barang sejenak, berat dugaan jika orang ini punya satu
maksud yang sangat penting.
Menilik dari sepasang matanya yang tak henti terpentang besar pandangi setiap
jalan yang dilewati dan kadang tak jarang memandang jauh ke depan, jelas dia
sedang mencari sesuatu.
"Hem.... Sudah dua hari aku berlari, tapi tiada seorang pun yang kutemui. Apakah
petunjuk yang diberikan tidak salah" Ataukah perintah itu hanya untuk menemui
Guru di tempat yang ditentukan itu"!" kata orang berjubah biru sendirian seraya
terus berkelebat.
Mendadak sepasang mata orang ini yang ternyata
milik seorang gadis muda berparas cantik dan bukan lain adalah Ayu Laksmi, salah
seorang murid Dewi Siluman
mendelik besar menatap jauh ke depan.
"Aku menangkap seseorang di depan sana. Mudahmudahan orang itu ada hubungannya dengan Kitab Serat Biru yang sedang diincar
banyak-orang...," gumamnya perlahan. Penglihatannya semakin dipertajam. Meski
tubuhnya sudah terasa capek bukan main, dia tetap
berkelebat ke depan dengan kerahkan tenaga tambahan.
Seperti diketahui, sang Guru Dewi Siluman melalui Ki Buyut Pagar Alam memberi
perintah pada ketiga
muridnya, Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu Laksmi untuk bergerak menuju arah
selatan dan dalam waktu enam
hari ditunggu di sebuah kanal yang menuju arah Laut
Selatan. Karena dalam pesan itu Dewi Siluman
memerintahkan muridnya untuk bergerak berpencar,
maka menuruti perintah itu ketiga gadis muda murid Dewi Siluman bergerak
sendiri-sendiri meski arahnya sama.
"Hai! Berhenti!" Tiba-tiba Ayu Laksmi berseru ketika jarak antara dia dengan
orang di depannya sudah agak dekat meski saat itu Ayu Laksmi belum jelas benar
siapa adanya orang di depannya.
Orang yang diteriaki seolah tak mendengar. Malah dia percepat larinya. Pada satu
jalan berkelok, orang yang dikejar cepat menerabas rumpun lebatnya semak belukar
dan menyelinap mendekam. Hingga tatkala si jubah biru Ayu Laksmi sampai pada
kelokan jalan, gadis ini
kehilangan jejak.
"Hem.... Pasti masih di sekitar sini!" desis Ayu Laksmi setelah memandang jauh
ke depan dia tak melihat
seorang pun. Sepasang mata tajam milik Ayu Laksmi bergerak
mementang lebar mengawasi rumpun semak belukar di
sekitar kelokan jaian. Tapi tetap saja dia tak melihat siapa-siapa.
"Heran. Jelas jika tadi aku menangkap seseorang.
Tapi mana tampangnya"! Hem.... Tampaknya dia ingin
main-main!" Ayu Laksmi mulai tampak jengkel, karena meski dia telah pentangkan
mata berkali-kali dia tak juga bisa menemukan orang yang diyakininya ada di
sekitar tempat itu.
"Jahanaml Hai. Manusia atau iblis sekalipun, mengapa pengecut tak berani
tunjukkan rupa"!" membentak Ayu Laksmi hilang kesabaran.
Enam langkah dari tempat Ayu Laksmi tegak dengan
mata melotot, rumpun semak belukar perlahan bergerak sedikit menguak. Dari celah
kuakan itu terlihat sepasang mata tajam memperhatikan ke arah Ayu Laksmi. Mata
itu sejenak menyipit lalu membesar. Berkedip-kedip lalu
menghilang tertutup kembali oleh rumpun semak belukar yang tadi menguak.
"Jangkrik! Bagaimana gadis itu bisa berada di sini"
Apakah selama ini dia menguntit jalanku" Atau ini hanya kebetulan belaka" Dia
sendirian. Bukankah tempo hari bertiga"
Hem.... Bunga sama artinya dengan perempuan. Adakah ini pertanda dugaan itu sudah akan terbukti?" Orang yang
mendekam di balik semak belukar berkata sendiri dalam hati.
"Jahanam keparat! Sekali lagi kuperintah tak juga perlihatkan diri, jangan
menyesal bila tubuhmu akan
hancur bersama leburnya tempat ini!" teriak Ayu Laksmi mengancam seraya angkat
kedua tangannya ke atas
kepala membuat gerakan seperti orang hendak lepaskan pukulan.
"Gelagatnya dia tak main-main dengan ancamannya!
Walah. Daripada cari penyakit, lebih baik kutemui saja!"
desis orang di balik rumpun semak seraya berjingkat
karena jari kelingkingnya tampak masuk kedalam lobang telinganya.
"Kalau tak dibuktikan, dikira aku main-main!" Ayu Laksmi kertakkan rahang. Lalu
alirkan tenaga dalam
pada kedua tangannya. Kejap kemudian kedua tangannya bergerak lepaskan satu pukulan ke arah
semak belukar di samping kirinya, tepat di mana orang yang mendekam berada.
"Busyeti Jangan-jangan dia tahu aku berada di sini !"
keluh orang di balik semak, lalu bergerak bangkit dan menguak semak belukar.
Seraya nongolkan kepala
orang ini berseru.
"Tahan!"
Ayu Laksmi tarik pulang kedua tangannya. Gadis ini
berpijak di atas tanah dengan sepasang mata
membelalak namun air muka berubah. Dia pandangi
orang yang baru muncul dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ternyata orang ini
adalah seorang pemuda
mengenakan pakaian putih-putih dengan ikat kepala juga berwarna putih. Seraya
keluar si pemuda tersenyum-senyum.
"Aku telah turuti perintah. Sekarang perintah apalagi yang hendak dititahkan?"
sambil berkata si pemuda yang bukan lain adaiah Pendekar 131 menjura dalamdalam. Namun sepasang matanya tampak melirik.
Ayu Laksmi berdiri di atas tanah dengan kaki bergetar.
Dia sama sekail tidak menduga jika orang di hadapannya adalah Pendekar 131.
Dalam pertemuan tempo hari, si
pemuda dapat membendung pukulan 'Kabut Neraka' dan
'Sinar Setan'. Padahal saat itu Ayu Laksmi bersama
Wulandari dan Sitoresmi. Kini dia sendirian, bagaimana perasaannya tidak kecut"
Namun mengingat perintah
gurunya, perlahan-lahan muncul keberanian di dalam
dada gadis berjubah biru ini.
"Jeias sekarang jika dugaan Wulandari ada benarnya.
Jalan yang ditempuh pemuda ini searah dengan yang
dikatakan Guru. Berarti pemuda ini memburu Kitab Serat Biru! Aku harus segera
menyingkirkannya!"
Ayu Laksmi arahkan pandangannya pada jurusan lain.
"Akan kuhantam sekaligus dengan 'Kabut Neraka' dan
'Sinar Setan'! Jika tidak, aku sendiri yang mendapat celaka!"
Berpikir sampai di situ, Ayu Laksmi segera kerahkan
tenaga dalam pada kedua tangan dan sepasang
matanya. Siap hendak lepaskan dua pukulan sekaligus.
Namun sebelum si gadis sempat membuat gerakan,
terdengar murid Pendeta Sinting buka suara.
"Hai! Kenapa jadi diam" Kita telah dua kali Ini bertemu.
Pertama bertemu kau dan dua sahabatmu sebutkan diri
Pemburu Dari Neraka. Itu pasti gelar kailan bertiga.
Waktu itu aku telah katakan siapa diriku. Kalau boleh, mau sebutkan siapa namamu
sebenarnya?"
Mulut Ayu Laksmi masih terkancing tak memberi
jawaban. Namun sejurus kemudian dia buka mulut
membentak. "Siapa namaku bisa kau tanya pada Malaikat Maut!"
"Ah. Berarti kenalanmu banyak. Sampai-sampai
Malaikat Maut sudah mengenalmu.... Bisa tunjukkan
padaku di mana Malaikat Maut berada"!"
Ucapan Joko makin membuat Ayu Laksmi geram.
Masih dengan palingkan wajah, gadis berjubah biru ini berkata.
"Aku memang akan tunjukkan padamu di mana
beradanya Malaikat Maut! Bersiaplah!"
Habis berkata begitu, Ayu Laksmi angkat kedua
tangannya, sementara kedua kakinya dibantingkan ke
atas tanah. Gadis ini hendak lepaskan pukulan 'Kabut Neraka' sekaligus dengan
pukulan sakti 'Sinar Setan'.
Namun gerakan Ayu Laksmi tertahan, tatkala mendadak satu bayangan
berkelebat dan tegak memandang lima langkah di samping Pendekar 131.
Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng berpaling. Sejenak keningnya mengernyit. Tapi kejap iain bibirnya tersenyum dan
mulutnya membuka.
"Dewi Seribu Bunga" serunya ketika mengenali siapa adanya yang tegak tak jauh
darinya. Di tempat itu kini terlihat seorang gadis muda berparas jelita mengenakan
pakaian warna merah ketat. Hidung
mancung dengan mata bulat dan buru mata lentik.
Rambutnya panjang dikuncir ke atas dengan diikat
menggunakan ikat kepala warna putih.
Gadis berbaju merah ketat berparas jelita dan bukan
lain memang Dewi Seribu Bunga adanya sunggingkan
senyum. Lalu gadis ini berpaling pada Ayu Laksmi
dengan aiis mata diangkat. Namun kejap lain Dewi
Seribu Bunga telah alihkan pandangannya kembali pada Joko Sableng. (Tentang Dewi
Seribu Bunga silakan baca serial Joko Sableng dalam episode: "Ratu Pemikat").
"Pendekar 131 Joko Sableng.... Terima kasih. Kau tak lupa padaku...."
"Ha... ha... ha.... Wajah secantik dirimu, mana mungkin mudah dilupakan?" ujar
Joko lalu hendak melangkah mendekat. Tapi di depan sana, Dewi Seribu Bunga
memberi isyarat agar Joko urungkan niat, membuat
murid Pendeta Sinting urungkan niat tak jadi melangkah.
Saat Dewi Seribu Bunga muncul dan Joko menyambut
dengan gembira, Ayu Laksmi semakin geram. Dan demi
mendengar kata pujian yang diucapkan Joko, raut wajah Ayu Laksmi berubah
mengelam. Gadis berjubah biru ini segera berpaling.
"Tampaknya mereka begitu akrab. Bisa jadi mereka pasangan kekasih. Hm.... Siapa
sebenarnya gadis itu
belum jeias. Yang jelas dengan adanya gadis itu di
tempat ini, pasti dia juga sedang memburu Kitab Serat Biru. ini tak boleh
dibiarkan!"
Ayu Laksmi lipat gandakan tenaga dalamnya. Dia
menduga jika si pemuda diserang, si gadis berbaju
merah pasti tak akan tinggal diam. Apalagi keduanya
sudah tampak akrab.
Gelagat dan sikap Ayu Laksmi tampaknya tak lepas
dari pandangan Dewi Seribu Bunga, hingga tatkala
Pendekar 131 hendak melangkah mendekat, gadis
berbaju merah murid Maut Mata Satu ini memberi isyarat pada Joko untuk urungkan
niat. Malah tak lama
kemudian dia berkata.
"Maaf. Rupanya kedatanganku mengganggu kalian
berdua. Aku harus segera pergi...."
"Dewi.... Tunggu!" panggil Joko menahan langkah Dewi Seribu Bunga yang telah
putar diri hendak
tinggalkan tempat itu.
"Bagus! Memang tidak semudah itu untuk tinggalkan tempat ini!" Tiba-tiba Ayu
Laksmi perdengarkan suara keras.
Sambii kernyitkan dahi, Pendekar 131 berpaling pada
Ayu Laksmi. Ayu Laksmi hujamkan sepasang matanya
lekat-lekat pada Dewi Seribu Bunga. Saat bersamaan, di depan sana Dewi Seribu
Bunga yang merasa tak enak
dengan nada ucapan orang segera balikkan tubuh.
Sejenak Ayu Laksmi dan Dewi Seribu Bunga saling
bentrok pandangan. SI jubah biru Ayu Laksmi sunggingkah senyum seringai. Di seberang Dewi Seribu Bunga tersenyum simpul.
"Hm.... Apa maunya gadis berjubah biru ini?" kata Joko dalam hati begitu melihat
gelagat tidak baik dalam adu pandangan dua gadis yang kini telah saling
berhadapan. Untuk mencegah terjadinya sesuatu, cepat-cepat
murid Pendeta Sinting meiangkah maju ke arah Ayu
Joko Sableng Malaikat Penggali Kubur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laksmi dan berkata.
"Dia sahabatku. Kalau kau merasa punya urusan
denganku, harap jangan sangkut-pautkan orang lain!"
Tanpa berpaling, Ayu Laksmi membentak garang.
"Persetan dengan sahabat! Kau dan dia silakan
tinggalkan tempat ini tapi tanpa nyawa!"
"Hai... Ada apa ini sebenarnya"!"
"Tutup mulutmul" sentak Ayu Laksmi. "Jangan bergerak dari tempatmu. Setelah dia
kuselesalkan, kau akan dapat giliran!"
Kedatangan Dewi Seribu Bunga ternyata telah
membuat salah seorang murid Dewi Siluman ini
bertambah geram. Hingga yang ada dalam hatinya kini
adalah melenyapkan Dewi Seribu Bunga juga Pendekar
131 sekaligus. Dewi Seribu Bunga sebenarnya tak tahu urusan antara
Joko Sableng dengan Ayu Laksmi. Dia hanya tahu
bahwa saat Itu pemuda yang secara diam-diam
dirindukan berada berdua-dua dengan seorang gadis
cantik. Perasaan cemburu mendera dada Dewi Seribu
Bunga. Dia menduga ucapan keras gadis berjubah biru
karena dia juga cemburu dengan kedatangannya.
"Dia adalah pemuda tampan, berilmu tinggi. Tak heran jika banyak gadis yang
menyukainya. Tapi sejak pertama bertemu, aku tak dapat melupakannya. Aku tak
dapat mendustai diri sendiri. Sebenarnya aku mengharapkan
dirinya, perhatiannya. Tapi mungkinkah dia mengetahui apa yang selama ini
kurasakan" Apakah dia tahu
bagaimana selama ini aku merindukan pertemuan
dengannya" Ah. Sekian lama memendam rindu, begitu
jumpa ternyata dia.... Hemm.... Lebih baik aku segera tinggalkan tempat ini. Tak
ada guna meladeni orang!"
Berpikir sampai di situ, Dewi Seribu Bunga palingkan wajah ke arah Pendekar 131
seraya berujar.
"Pendekar 131, aku pergi dulu. Katakan pada gadismu Itu, bahwa urusan hati tak
akan pernah selesai meski diputus dengan jalan kekerasan! Urusan hati akan
tuntas jika orang sadar bahwa takdir telah menyuratkan
demlkian!"
Habis berkata begitu, Dewi Seribu Bunga balikkan
tubuh. Namun untuk kedua kalinya gerakan gadis jelita berbaju merah Ini tertahan
ketika terdengar suara tawa panjang. Ayu Laksmi yang kemudian disusul dengan
ucapan. "Kau salah duga, Gadis Liar! Ini bukan lagi urusan hati!
Ini urusan mati hidup yang baru selesai jika salah satu terkapar tak bernyawal"
Dikatakan gadis liar, paras wajah Dewi Seribu Bunga
seketika berubah. Dia kembali putar tubuh dengan wajah merah padam dan mata
menyorot tajam.
"Kalau begitu ucapmu, sekarang katakan apa maumu!"
bentak Dewi Seribu Bunga.
"Kau sudah mendengar sejak tadi!" jawab Ayu Laksmi balik membentak.
Dewi Seribu Bunga tertawa pendek. "Kalau kau
inginkan nyawa orang kenapa masih diam" Apa yang
kau tunggu, hah"!"
"Bagus! Kau telah siap untuk mati rupanya!" hardik Ayu Laksmi lalu gadis ini
melompat ke depan. Kedua
tangannya diangkat tinggi-tinggi.
"Tahan!" teriak Joko sambil melompat ke depan menghadang gerakan Ayu Laksmi.
Merasa dirinya dihadang demikian rupa, kemarahan
Ayu Laksmi makin memuncak. Serta-merta kedua
tangannya yang hendak kirimkan pukulan pada Dewi
Seribu Bunga dipukulkan pada murid Pendeta Sinting.
Menduga bahwa si gadis berjubah biru tak akan
memukulnya, Joko hanya tegak dengan kedua tangan
mengembang ke samping.
Bukkk! Bukkk! Dua jotosan telak menghantam dada dan perut
Pendekar 131. Karena pukulan itu bukan pukulan biasa, tapi telah dialiri tenaga
daiam tinggi, maka meski sesaat sosok murid Pendeta Sinting tetap diam tak
bergeming, namun kejap lain tubuhnya tersurut dua langkah ke
belakang! Saat itulah, Ayu Laksmi cepat berkelebat dan
langsung kirimkan tendangan keras ke arah Dewi Seribu Bunga. Dewi Seribu Bunga
tak mau bertindak ayal. Dari gerakan dan pukulan yang baru saja disarangkan pada
Joko Sableng, gadis berbaju merah ini telah dapat
menduga jika gadis berjubah biru berbekal ilmu yang
tidak rendah. "Apa hendak dikata. Meski apa urusannya tidak jelas namun orang telah
menginginkan nyawaku!" kata Dewi Seribu Bunga dalam hati, lalu angkat kedua
tangannya dan dilintangkan di depan kepala.
Saat tendangan sejengkal lagi sampai, Dewi Seribu
Bunga sentakkan tangan kiri kanannya.
Dess! Desss! Karena Ayu Laksmi belum tahu siapa adanya Dewi
Seribu Bunga, dan merasa dirinya berilmu tinggi,
membuat gadis berjubah biru ini remehkan orang.
Hingga meski tendangannya dialiri tenaga dalam, namun karena kedua tangan yang
memapak juga dialiri tenaga dalam, membuat tubuhnya terpental dan terhuyung
hampir jatuh. Namun Ayu Laksmi adalah murid seorang
tokoh sakti dan sudah beberapa tahun digembleng,
hingga pada saat tubuhnya terhuyung bahkan sampai
akan roboh, gadis berjubah biru Ini cepat membuat
gerakan seperti orang mengayun. Kejap kemudian sosok Ayu Laksmi tampak meliuk ke
depan. Lalu....
Wuuuttl Wuuttt!
Tubuh Ayu Laksmi melesat ke udara setinggi dua
tombak. Membuat gerakan jungkir balik dua kali. Begitu tubuhnya melayang turun,
sosoknya langsung melesat
ke arah Dewi Seribu Bunga dengan kedua tangan
sekaligus kirimkan pukulan!
Dewi Seribu Bunga tak tinggal diam. Gadis Ini segera pula sentakkan kedua tangannya ke depan.
Prakk! Prakkk! Terdengar dua benturan keras. Dua Seruan tertahan
segera pula terdengar. Ayu Laksmi tampak terjajar lima langkah ke belakang.
Wajahnya berubah memucat.
Tubuhnya bergetar dengan dada bergerak turun naik.
MuLutnya terkancing rapat dengan sepasang mata
mendelik memandang ke arah Dewi Seribu Bunga.
"Gadis jahanam ini ternyata punya ilmu juga. Jika tak segera kuselesaikan kelak
bisa menghadang jalan!"
Berpikir ke sana, gadis murid Dewi Siluman ini segera kerahkan tenaga dalam
siapkan pukulan 'Kabut Neraka'.
DI lain pihak, Dewi Seribu Bunga tampak berpijak di
atas tanah dengan sosok bergoyang-goyang sebelum
akhirnya tersurut tiga langkah. Raut wajahnya yang jelita pias dengan napas
terengah-engah. Namun gadis murid
tokoh bergelar Maut Mata Satu ini segera alirkan tenaga dalam demi melihat lawan
membuat gerakan.
"Rupanya dia hendak lepaskan pukulan andalanl"
duga Dewi Seribu Bunga. Dia segera pula siapkan
pukulan sakti 'Api Seribu Bunga'.
Melihat gelagat yang makin buruk, Joko segera maju
kembali menghalangi.
"Tunggu! Jangan lakukan pukulan!" teriak Joko.
Namun sudah terlambat. Karena Ayu Laksmi yang telah
marah besar, apalagi mengetahui Dewi Seribu Bunga
memiliki simpanan ilmu telah melesat dan menggebrak
terlebih dahulu dengan lepaskan pukulan sakti 'Kabut Neraka'
-oo0dw0oo- DELAPAN ABUT putih tampak melesat hamparkan hawa
panas dan perdengarkan suara luar biasa
Kdahsyat.SejurusDewiSeribuBungaterkesiap.
Tapi kejap lain kedua tangannya bergerak lepaskan
pukulan 'Api Seribu Bunga'.
Wusss! Dari kedua tangan Dewi Seribu Bunga menggebrak
satu sinar yang sebarkan cahaya berwarna-warni.
Setengah jalan, sinar itu pecah. Lalu terlihat beberapa bunga-bunga api muncrat
yang selain keluarkan hawa
luar biasa panas juga berdesing laksana pisau tajam!
Bummm! Tempat Itu laksana didera gempa hebat. Di udara
sekejap terlihat cahaya terang yang kemudian padam
dengan keluarkan letupan. Bersamaan itu tanah muncrat membungkus udara hingga
suasana menjadi agak pekat.
Semak belukar yang ada di sekitar tempat Itu terabas rata.
Ketika hamburan tanah surut, Ayu Laksmi terlihat
tegak dengan lutut goyah. Dan tak berselang lama gadis berjubah biru ini jatuh
terduduk dengan lutut menekuk.
Dari mulutnya mengalir darah agak kehitaman pertanda dia telah terluka dalam.
Wajahnya pucat pasi seakan tak berdarah. Tubuhnya bergetar keras. Sepasang
matanya setengah memejam jelas membayangkan rasa sakit.
Lima belas langkah di seberang Ayu Laksmi, Dewi
Seribu Bunga tampak terhuyung-huyung sebentar
sebelum akhirnya juga jatuh terduduk. Seperti halnya Ayu
Laksmi, gadis berbaju merah Ini tampak mengeluarkan darah dari mulutnya.
Sementara murid Pendeta Sinting tampak tegak
dengan kepala berpaling bergantian ke arah Ayu Laksmi dan Dewi Seribu Bunga.
"Urusan ini tak boleh dibiarkan! Mereka bisa celaka sendiri. Padahal urusannya
apa belum jelas...!" gumam Joko lalu melangkah ke arah Dewi Seribu Bunga.
"Dewi.... Lekas tinggalkan tempat Ini. Tunggu aku di arah selatan. Aku perlu
bicara denganmu!" bisik murid Pendeta Sinting.
"Hem.... Tampaknya dia juga tak suka dengan
kemunculanku di sini! Seenaknya dia memerintahku
untuk menunggu, sementara dia sendiri akan menunggui gadis keparat itu! Huh....
Jauh berjalan membawa rindu, namun
yang kutemui adalah malapetaka yang menyakitkan hati!"
Dewi Seribu Bunga memandang tajam pada Pendekar
131. Yang dipandang tersenyum dan anggukkan kepala.
Namun senyum murid Pendeta Sinting pupus seketika
tatkala perlahan-lahan Dewi Seribu Bunga bangkit dan berkata dengan suara
bergetar. "Aku tahu ke mana arah bicaramu, Pendekar 131! Aku memang datang mengganggu
keasyikanmu, dan jika kau
menginginkan aku pergi, aku tak keberatan! Tapi aku tak bisa diam menerima
serangan gadis keparatmu itu!"
Joko jadi terlengak mendengar ucapan Dewi Seribu
Bunga. Dia maju lebih mendekat. Mulutnya terbuka
hendak berkata, namun telah didahului oleh Dewi Seribu Bunga.
"Tak perlu bicara, Pendekar 131! Dan kuingatkan jangan lagi ikut campur urusan
ini! Ini urusan
perempuan!"
"Dewil Jangan salah paham. Aku...."
Belum habis ucapan Joko, Dewi Seribu Bunga telah
menukas. "Kau laki-laki. Memalukan bila usil urusan perempuan!
Menyingkirlah!"
Selagi Pendekar 131 dan Dewi Seribu Bunga
bercakap-cakap, diam-diam Ayu Laksmi yang kini sadar jika lawan tidak bisa
dipandang remeh segera membatin.
"Kalau terjadi bentrok lagi, pasti keadaanku akan bertambah parah. Sementara
perjalanan masih jauh.
Dah aku juga tak mau mati konyol! Hem.... Terpaksa aku harus meminta bantuan!"
Cepat gadis berjubah biru ini selinapkan tangan kanan ke balik jubahnya lalu
mengeluarkan satu benda bulat warna putih sebesar telor. Tak menunggu lama, Ayu
Laksmi segera lemparkan benda bulat itu ke udara.
Sepuluh tombak di atas udara benda bulat putih itu
pecah, lalu tampaklah asap biru bertabur.
"Hem.... Gadis keparat Itu lepaskan tanda. Untuk siapa" Sebelum telanjur lebih
baik kudahului!" desis Dewi Seribu Bunga ketika melihat hal yang dilakukan
Ayu Laksmi. Namun karena di hadapannya Pendekar
131 masih tegak dengan sikap menghadang, membuat
Dewi Seribu Bunga terhalangi. Gadis ini jadi jengkel.
"Kalau kau tetap di situ, berarti kau buat urusan denganku!" bentak Dewi Seribu
Bunga dengan mata membesar dan bibir bergetar. Sebenarnya gadis Ini tak kuasa
ucapkan kata-kata begitu, namun dia kuatkan hati apalagi dilihatnya Joko
sepertinya melindungi Ayu
Laksmi. "Dewi.... Harap jangan salah sangka.
Bagiku, kemunculanmu adalah kebahagiaan tersendiri. Aku tahu siapa dia dan siapa kau!
Aku tak ingin melihat kau
terluka...," bisik Joko dengan mata tajam menghujam ke dalam mata si gadis.
Ucapan dan tatapan murid Pendeta Sinting membuat
gadis berbaju merah di hadapannya dirasuki berbagai
perasaan tak karuan.
"Dia tak ingin melihatku terluka. Apakah hanya itu"
Apakah dia tak tahu lukanya hati lebih pedih dari luka tubuh" Apakah dia memang
benar-benar hendak
melindungiku" Atau hanya ingin jual kebaikan di
hadapanku untuk menutupi hal sebenarnya?"
Selagi Dewi Seribu Bunga bergulat dengan perasaannya sendiri, Ayu Laksmi yang melihat sikap
Joko terhadap Dewi Seribu Bunga tak bisa lagi menahan rasa geram.
"Keparat jahanam!" makinya lalu sekonyong-konyong hantamkan kedua tangannya ke
depan, lepaskan
pukulan 'Kabut Neraka'.
Wuuttt! Wuuuttt!
Kabut putih menggebrak lurus ke arah Pendekar
Pedang Tumpul 131 yang tegak membelakangi Ayu
Laksmi. "Perempuan licik!" teriak Dewi Seribu Bunga, lalu peringatkan Joko agar segera
menyingkir.
Joko Sableng Malaikat Penggali Kubur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Murid Pendeta Sinting keluarkan gerendengan panjang pendek sambil melompat menghindar. Bersamaan dengan menyingkirnya Joko, Dewi Seribu
Bunga segera lepaskan pukulan 'Api Seribu Bunga'.
Saat itulah, mendadak dari balik rumpun semak
belukar terdengar satu seruan. Lalu melesat kabut putih yang membantu pukulan
'Kabut Neraka'-nya Ayu Laksmi, hingga saat
terdengar dentuman dahsyat
akibat bentroknya pukulan, tubuh Dewi Seribu Bunga tampak
mental mencelat sampai tiga tombak dan terhuyunghuyung siap menghajar tanah.
Melihat hal demikian, Joko cepat berkelebat. Lalu
menyambar tubuh Dewi Seribu Bunga, hingga selamatlah tubuh gadis jelita ini dari jilatan tanah yang sudah menunggu
luncuran tubuhnya.
Di seberang, sosok Ayu Laksmi juga tersapu ke
belakang. Namun tubuhnya serta-merta terhenti tatkala dua tangan tampak mendekap
dari arah belakangnya.
Pemilik tangan itu ternyata seorang gadis muda berparas cantik mengenakan jubah
warna kuning. "Kau tak apa-apa, Ayu Laksmi?" tanya gadis berjubah kuning.
Ayu Laksmi gelengkan kepalanya. Gadis berjubah
kuning yang bukan lain adalah Wulandarl segera
salurkan tenaga pada Ayu Laksmi, karena walau Ayu
Laksmi menggeleng tapi dari mulutnya keluarkan darah pertanda terluka cukup
parah. "Untung kau segera datang...," gumam Ayu Laksmi setelah merasa tubuhnya agak
enak. "Terlambat sedikit kau memberi tanda, mungkin
nyawamu tak tertolong!" ujar Wulandari lalu melangkah ke depan menjajari Ayu
Laksmi dengan sepasang mata
memandang tajam tak berkesip ke arah Pendekar 131
dan Dewi Seribu Bunga.
Seperti diketahui, Dewi Siluman lewat Paman
sekaligus pendampingnya Ki Buyut Pagar Alam berpesan pada ketiga muridnya untuk menuju arah
selatan dengan cara berpencar. Namun jika salah satu mendapatkan bahaya, harus
Tengkorak Maut 6 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Manusia Srigala 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama