Ceritasilat Novel Online

Pesanggrahan Keramat 2

Joko Sableng 1 Pesanggrahan Keramat Bagian 2


tegang. Sosok keduanya terlihat tersurut ke belakang hingga beberapa langkah.
Malah mungkin karena sudah terluka, Malaikat Lembah Hijau tampak
terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh berlutut dengan bahu berguncang dan
kedua tangan bergemetaran keras! Di seberang, Dewi Asmara bisa segera kuasai
tubuh, hingga meski sempat terseret, namun tak sampai terjatuh. Meski
demikian, paras mukanya tampak berubah.
Dadanya bergetar hingga buah dadanya berguncang-guncang. Dan ketika matanya
memperhatikan, perempuan cantik ini membelalak. Pakaian yang dikenakannya robek
dan hangus di bagian lengan.
"Jahanam! Terimalah kematianmu, Bandung Bandawangsa!" teriak Dewi Asmara
lantang. Tubuhnya lantas berkelebat.
Malaikat Lembah Hijau segera
bergerak bangkit. Belum sampai tubuhnya benar-benar tegak, tendangan kaki Dewi
Asmara telah melabrak mengarah pada kepalanya.
Dengan menindih rasa sakit pada
sekujur tubuh, Malaikat Lembah Hijau segera rebahkan tubuh dengan punggung
sejajar tanah. Tendangan kaki Dewi Asmara lewat sejari telunjuk di depan
kepalanya dan menghajar angin. Saat Itulah Malaikat Lembah Hijau gaetkan kaki
kanannya pada kaki kiri Dewi Asmara yang dipakai untuk tumpuan kekuatan
tubuhnya. Seeettt! Bukkk! Dewi Asmara menjerit tinggi,
tubuhnya terbanting deras ke atas tanah!
Malaikat Lembah Hijau tak sia-siakan kesempatan. Dia segera bergerak bangkit.
Namun tanpa diduga sama sekali, Dewi Asmara gulingkan tubuhnya dua kali, dan
serta-merta kedua tangannya segera dihantamkan!
Sinar yang mengembang kembali
melabrak kearah Malaikat Lembah Hijau.
Begitu cepatnya lesatan serangan itu serta karena jaraknya sudah dekat, maka tak
ada jalan lain bagi Malaikat Lembah Hijau selain menangkis serangan, meski hal
itu amat beresiko bagi dirinya, karena tenaganya sudah terkuras juga tubuhnya
telah cidera bagian dalam. Tapi kalau tidak ditangkis, maka tubuhnya akan
terhantam telak dan tidak mustahil akan membuat nyawanya putus. Sadar akan
keadaan demikian, Malaikat Lembah Hijau cepat pukulkan kedua tangannya.
Untuk kedua kalinya terdengar
ledakan dahsyat. Sosok Dewi Asmara mencelat mental dan terkapar lagi di atas
tanah. Parasnya makin pias. Tapi
perempuan ini segera katupkan sepasang matanya, alihkan tenaga mumi pada sekujur
tubuhnya yang terasa ngilu.
Di seberang, Malaikat Lembah Hijau terpelanting. Karena sudah tak bisa kuasai
gerak tubuhnya, dan menduga tubuhnya akan menghantam jajaran pohon yang ada di
belakangnya, Malaikat Lembah Hijau pejamkan sepasang matanya. Namun bersamaan
dengan itu telinganya
menangkap ringkihan kuda. Dan tiba-tiba tubuhnya menumbuk benda keras namun
empuk. Begitu tubuhnya tersuruk, Malaikat Lembah Hijau segera buka kelopak
matanya. Tak jauh di sebelahnya terlihat kuda tunggangan Dewi Asmara
berputar-putar. Selain kaget karena bentroknya dua pukulan juga terkejut karena
tertumbuk tubuh Malaikat Lembah Hijau yang terpelanting.
Tanpa membuang kesempatan, Malaikat Lembah Hijau segera tertatih-tatih bangkit.
Dengan sisa-sisa tenaganya laki-laki ini segera melangkah cepat ke arah kuda
Dewi Asmara. Tanpa menoleh lagi, Malaikat Lembah Hijau melesat naik dan berpacu
meninggalkan tempat itu.
Bersamaan dengan itu, Malaikat
Lembah Hijau sayup-sayup mendengar hentakan ladam langkah-langkah kaki kuda
menuju ke arahnya. Menduga bahwa kuda itu ditunggangi Hantu Makam Setan, lakilaki ini segera pukul punggung kuda
tunggangannya dengan keras hingga kuda tunggangannya berlari kencang.
Di lain pihak, begitu mendengar
langkah-langkah kaki kuda, Dewi Asmara buka kelopak matanya. Dari mulutnya
segera terdengar makian panjang pendek.
"Keparat! Hendak lari ke mana kau bangsat"!" bersamaan itu kepalanya berpaling,
ekor matanya masih dapat menangkap kudanya yang membawa lari Malaikat Lembah
Hijau. Serta-merta kedua tangannya segera dipukulkan.
Seberkas sinar menggebrak dengan keluarkan deru dahsyat. Namun terlambat, karena
Malaikat Lembah Hijau telah lebih dahulu berkelebat bersama kuda
tunggangannya. Pukulan Dewi Asmara terus melesat sebelum akhirnya menghantam sebuah pohon.
Pohon itu langsung berderak tumbang!
"Setan alas! Jangan kira kau bisa lolos dari tanganku, Bandung
Bandawangsa!" teriak Dewi Asmara seraya bergerak bangkit dan berkelebat ke arah
berpacunya Malaikat Lembah Hijau. Tapi gerakannya tertahan, karena dari arah
samping terdengar ringkihan kuda yang dihentikan mendadak. Secepat kilat Dewi
Asmara berpaling. Sepasang matanya mendelik besar dengan langkah kaki tersurut
ke belakang. Dadanya yang membusung dan tampak turun naik karena geram melihat
lawan melarikan diri, terlihat makin bergerak-gerak.
"Hantu Makam Setan...," desis Dewi Asmara begitu mengenali siapa adanya si
penunggang kuda.
Sang penunggang yang bukan lain
memang Hantu Makam Setan adanya sejurus menatap tajam pada Dewi Asmara. Lalu
memandang berkeliling. Dari sekilas memandang, laki-laki berhidung sebelah ini
sudah dapat menduga jika baru saja terjadi pertempuran di tempat itu.
"Waktu aku lewat tadi tak ada orang lain di sini. Pasti keparat itu
bersembunyi di sini lalu membiarkan kudanya berlari sendirian untuk
mengelabuiku. Lantas datang perempuan ini. Dan terjadi bentrok.... Lamat-lamat
aku menangkap hentakan kaki kuda, apakah keparat itu berhasil melarikan diri
lagi..."!" Hantu Makam Setan menduga-duga dalam hati. Lalu berkata dengan suara
agak keras. "Mana dia"!"
"Siapa yang kau maksud dengan dia"!"
Dewi Asmara balik bertanya dengan suara tak kalah kerasnya, membuat Hantu Makam
Setan membeliak dengan mulut
komat-kamit. Seraya menahan rasa marah, laki-laki ini menghardik.
"Setan! Kau masih saja
berpura-pura. Mana keparat si Bandung Bandawangsa itu"!"
Meski tahu bahwa laki-laki di
hadapannya adalah seorang tokoh yang tidak asing lagi dalam rimba persilatan,
namun dibentak demikian rupa mau tak mau membuat Dewi Asmara naik pitam. Seraya
tersenyum sinis, perempuan berparas cantik ini alihkan pandangannya sambil
keluarkan suara garang.
"Kau punya mata, apakah kau lihat di sini"!" Tulang-rulang rahang Hantu Makam
Setan terangkat. Gerahamnya saling beradu keluarkan suara menggidikkan.
Namun mungkin terpancang pada Malaikat Lembah Hijau, dan khawatir jika orang
yang lama dicarinya itu akan lolos begitu saja, yang berarti perjalanan dan
pencariannya akan sia-sia, laki-laki ini segera putar kudanya setengah
lingkaran. "Melihat jejak-jejak kaki kuda, pasti perempuan ini datang dengan membawa kuda.
Dan dia berhasil dikelabui keparat itu. Hmm.... Aku harus segera mengejarnya!"
Tanpa menoleh lagi pada Dewi Asmara, Hantu Makam Setan segera tarik kekang kuda
tunggangannya. Namun gerakan tangannya tertahan ketika didengarnya Dewi Asmara
berseru. "Tunggu!"
Dewi Asmara langsung berkelebat dan berdiri tegak di samping Hantu Makam Setan.
Perempuan ini tampak ragu-ragu sebentar. Memandang lekat-lekat pada Hantu Makam
Setan. "Manusia ini mukanya sangat
menjijikkan. Namun apa boleh buat. Untuk sementara aku harus dapat merangkulnya.
Jika tidak buruan itu pasti akan lenyap!
Akan kubohongi dia, bahwa sebenarnya aku tidak tertarik dengan kabar senjata
pedang mustika yang kini petunjuknya ada di tangan Bandung Bandawangsa. Tapi
punya urusan lain...."
Berpikir begitu, Dewi Asmara lantas angkat bicara. Sementara Hantu Makam Setan
menunggu. di atas kudanya tanpa berpaling.
"Sobatku, Hantu Makam Setan....
Harap kau suka memaafkan sikapku yang kasar tadi. Karena saat itu aku masih
geram dengan laki-laki keparat itu!"
Hantu Makam Setan menyambuti ucapan Dewi Asmara dengan dengusan sengau.
Tanpa berpaling dia berucap.
"Aku tak punya waktu banyak. Katakan apa maksudmu sebenarnya menahanku!"
"Kau mencari Bandung Bandawangsa bukan"!"
"Pertanyaan itu tak pada tempatnya kau ucapkan! Kau membuang- buang waktu saja!"
Meski dalam hati mengumpat
habis-habisan, namun perempuan cantik ini masih bisa menahannya. Seraya
tersenyum dan berujar.
"Aku tahu ke mana Bandung
Bandawangsa pergi!"
"Kau baru saja bentrok dengannya bukan"!" dengus Hantu Makam Setan masih tanpa
berpaling ke arah Dewi Asmara.
"Betul. Tapi urusanku adalah persoalan dendam!" jawab Dewi Asmara dengan
langsung katakan alasannya.
Hantu Makam Setan menoleh kearah
Dewi Asmara. Karena Dewi Asmara berada di bawahnya, maka dari punggung kudanya
sepasang mata Hantu Makam Setan dengan jelas dapat menangkap busungan buah dada
yang menyembul putih menantang milik Dewi Asmara, membuat laki-laki Ini sejenak
menghela napas panjang dan membelalak tak berkedip. Dadanya
berdebar keras. Namun wajahnya buru-buru dipalingkan ketika Dewi Asmara
mendongak menatap ke arahnya.
"Aku tahu. Kau juga punya urusan dengan Bandung Bandawangsa. Bagaimana kalau
kita mengejarnya bersama-sama"!"
Hantu Makam Setan tidak segera
menjawab. Dalam hati diam-diam laki-laki ini berkata. "Ucapan perempuan ini
tidak sepenuhnya bisa dipercaya. Namun kalau dia memang benar-benar tahu ke mana
arah perginya keparat itu, tidak ada salahnya jika aku bekerja sama."
"Hantu Makam Setan...," kata Dewi Asmara menyambungi ucapannya karena Hantu
Makam Setan tidak menjawab
pertanyaannya. "Seperti ucapanmu, waktu kita tidak banyak. Sebelum orang yang
kita kejar lenyap tiada rimbanya kau harus cepat ambil keputusan!"
"Tapi...," Hantu Makam Setan terlihat ragu-ragu.
Dewi Asmara tersenyum melihat
kebimbangan di wajah Hantu Makam Setan.
Rupanya perempuan ini dapat menebak apa yang menjadikan laki-laki itu bimbang.
Masih dengan tersenyum, perempuan ini berkata.
"Kau tak keberatan bukan kalau kudamu itu kita tunggangi berdua"!"
Mungkin masih terkejut dengan
ucapan Dewi Asmara, lagi-lagi Hantu Makam Setan tidak segera menjawab. Di pihak
lain, Dewi Asmara segera saja lesatkan dirinya ke atas. Dan dengan sigap, dia
segera duduk di belakang Hantu Makam Setan.
Hantu Makam Setan terkejut. Namun keterkejutannya segera berubah tatkala tanpa
disengaja Dewi Asmara rapatkan dadanya ke punggungnya. Lalu terdengar
bisikannya. "Kita tak punya waktu banyak. Kita berangkat sekarang!"
Hantu Makam Setan masih coba
menguasai gejolak yang perlahan-lahan merayapi tubuhnya. Tiba-tiba laki-laki
berhidung sebelah ini meloncat turun, membuat Dewi Asmara terperangah. Dan
sebelum lenyap keterperangahan Dewi Asmara, Hantu Makam Setan telah berkata.
"Kau yang dimuka. Bukankah kau yang tahu kemana keparat itu pergi"!"
Habis berkata demikian, Hantu Makam Setan melompat, sementara Dewi Asmara geser
sedikit tubuhnya ke depan.
"Bagaimana kau bisa mengetahui ke mana bangsat itu pergi"!" tanya Hantu Makam
Setan begitu telah berada di belakang Dewi Asmara.
"Selain kita ikuti jejak-jejak kaki kuda tunggangannya, kuda yang
ditunggangi adalah kudaku. Aku hapal betul baunya! Lagi pula kukira dia belum
terlalu jauh!"
"Hmm...," Hantu Makam Setan hanya menyambuti dengan helaan napas panjang dan
dalam. Bukan karena mengerti ucapan Dewi Asmara melainkan karena menahan gejolak
yang semakin membara akibat tubuh depannya bersentuhan langsung dengan pinggul
Dewi Asmara yang besar dan menggairahkan.
"Agar kuda ini tak merasakan beban terlalu berat, kita harus kerahkan ilmu
peringan tubuh...," ujar Dewi Asmara seraya tarik kekang tali kuda.
Sejenak kemudian kuda tunggangan
yang dinaiki dua orang itu telah berlari kencang. Karena kedua penunggangnya
telah sama-sama kerahkan Ilmu peringan tubuh masing-masing, membuat kuda itu tak
mengalami beban berat.
Bersamaan dengan melesatnya kuda, samar-samar dari ufuk sebelah timur cahaya
kuning kemerah-merahan telah menerangi jagat raya, pertanda sebentar lagi sang
mentari akan segera
menampakkan diri.
*** 5 MATAHARI baru saja unjuk diri dari balik julangan Gunung Kinibalu. Langit tampak
cerah tanpa secuil pun awan mengambang. Angin pagi berhembus semilir
menggantikan terpaan angin malam yang dingin menusuk.
Di lereng gunung, dusun Kampung
Anyar tampak mulai terlihat tanda-tanda kehidupan. Beberapa orang keluar rumah
masing-masing. Sebagian ada yang pergi ke sawah, sebagian lagi ada yang
bergerombol menuju hutan untuk mencari kayu bakar. Anak-anak berusia belasan
tahun pun tampak keluar rumah
masing-masing. Ada yang sekadar
main-main dan ada pula yang membantu kedua orangtua mereka.
Di sudut dusun Kampung Anyar,
tepatnya pada sebuah rumah dari kayu yang terletak berbatasan dengan jalan
menuju hutan, tampak dua orang sedang duduk berhadap-hadapan di ruangan yang
tidak terlihat satu pun perabot rumah tangga.
Ruangan itu hanya dihiasi sebuah tikar lusuh yang alasnya dari jerami kering.
Duduk di sebelah kanan menghadap ke kiri adalah seorang laki-laki berusia agak
lanjut. Mengenakan pakaian warna putih kusam dan lusuh. Rambutnya panjang dan
putih. Sepasang matanya telah sayu karena digerogoti usia. Kulit sekujur
tubuhnya pun telah mengeriput.
Beberapa kali orang tua ini menghela napas panjang seraya memandang seorang anak
laki-laki berusia kira-kira sepuluh tahun yang duduk di hadapannya. Anak ini
berparas tampan, kulitnya kuning dengan rambut hitam dan tebal. Kedua alis
matanya membentuk bagus. Sepasang matanya tajam dengan dada bidang.
Setelah berdiam diri agak lama, si orang tua batuk batuk beberapa kali, lalu
membuka mulut. Suaranya pelan namun tegas.
"Joko.... Sebenarnya Paman tidak perlu mengulang-ulang lagi apa yang pernah
Paman katakan padamu. Tapi karena kau belum bisa memahami apa yang dikatakan
Paman, terpaksa Paman
mengulanginya lagi." Sejenak orang tua hentikan ucapannya. Pandangannya
matanya yang sayu tak lepas memandang lekat-lekat pada anak yang dipanggilnya
dengan sebutan Joko.
Sementara Joko sendiri
hanya menundukkan kepala. Hanya sesekali anak ini melirik dan begitu ekor matanya
menumbuk pada mata orang yang
menyebutkan diri Paman, Joko segera tundukkan wajahnya lagi.
"Joko.... Paman sudah sering bilang. Kau jangan berbuat yang
tidak-tidak. Apa jadinya jika anak-anak yang kau pukuli itu orangtuanya tidak
terima" Paman tahu, dalam hal ini sebenarnya kau berada di pihak yang benar,
tapi setidak-tidaknya kau
memikirkan akibatnya...."
Tiba-tiba Joko gerakkan kepalanya tengadah. Sepasang matanya yang tajam menatap
lurus ke mata pamannya.
"Paman.... Paman pernah bilang, kebenaran harus dibela meski akibatnya berat.
Apakah aku salah jika melawan anak-anak itu demi mempertahankan milikku yang
hendak mereka rampas" Aku telah bersusah payah mencari kayu bakar dan rumput.
Tiba-tiba mereka menghadang dan seenaknya saja hendak mengambilnya."
Mendengar ucapan Joko, si orang tua menghela napas panjang. Dalam hati diam-diam
orang tua ini berkata. "Kau tak beda dengan mendiang ayahmu.... Selalu teguh
pada pendirian. Sayang.... Ayah ibumu telah meninggal dan tidak sempat melihatmu


Joko Sableng 1 Pesanggrahan Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tumbuh besar.... Ah...."
"Paman...," sambung Joko ketika dilihatnya sang paman tidak menyambuti katakatanya. "Apakah tindakanku salah"!"
Sang paman tidak segera menjawab.
Orang tua ini tampaknya masih
kebingungan untuk mencari kata yang tepat bagaimana mengatakan apa yang ada
dalam benaknya agar dimengerti anak sekecil Joko.
"Paman.... Paman sering cerita tentang seorang tokoh silat hebat yang berani
mengadu nyawa demi me-bela kebenaran. Apakah aku salah mengikuti orang-orang
yang sering Paman ceritakan itu"!"
Sang paman tertawa perlahan
mendengar ucapan Joko.
"Joko.... Kau tak salah mengikuti perbuatan tokoh-tokoh hebat itu. Tapi kau
harus tahu, siapa kau dan siapa mereka! Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi
yang sanggup menghadapi akibat! Sedangkan kita...?"
"Aku akan belajar ilmu silat!"
tiba-tiba Joko menyahut. Nada suaranya berapi-api, membuat sang paman kembali
tertawa. Tapi dalam hati kecilnya si paman ini kagum akan semangat anak di
hadapannya ini.
"Paman. Apakah tokoh yang sering Paman ceritakan itu masih hidup"!"
"Maksudmu tokoh yang mana" Paman sering cerita tentang banyak tokoh padamu."
Sejenak Joko kernyitkan dahi seolah berpikir. Setelah agak lama anak ini angkat
bicara lagi. "Yang paling sering Paman
ceritakan. Yang Paman sebut dengan nama Pendeta Sinting."
Sang paman terdiam. Pandangannya
beralih ke luar ruangan, Memandang jauh.
Lalu berkata dengan suara pelan.
"Joko.... Sebenarnya apa yang Paman ceritakan padamu itu juga di peroleh dari
cerita ayah Paman. Namun cerita itu sudah begitu melekat di hati setiap orang.
Karena Pendeta Sinting seiain memiliki ilmu tinggi juga berbudi luhur meski
kadang-kadang sifatnya mirip seperti orang tak waras. Makanya dia disebut orang
Pendeta Sinting. Soal sampai sekarang masih hidup atau sudah
meninggal, aku sendiri tak tahu."
Joko tampak menarik napas
dalam-dalam. Paras wajahnya jelas menunjukkan rasa kecewa. Tanpa sadar dari
mulut anak ini terlontar gumaman.
"Seandainya pendeta itu masih hidup, aku ingin berguru padanya...."
"Semangat anak ini begitu
tinggi.... Sayang aku tak memiliki ilmu silat...," keluh sang paman dalam hati
dengan alihkan pandangannya kembali pada Joko. Untuk beberapa saat anak itu
dipandanginya lekat-lekat dari ujung rambut sampai kaki. Tiba-tiba sepasang
matanya yang sayu terhenti pada telapak tangan Joko sebelah kiri yang saat itu
dibuka dan dibuat main-main dengan digosok-gosokkan pada telapak tangan satunya.
"Anak ini memiliki telapak tangan lain dari yang lain. Samar-samar di telapak
tangan kirinya terdapat gambar seorang laki-laki tua bersorban. Aku tak tahu,
apa maknanya itu...."
Tiba-tiba sepasang mata sang paman menangkap beberapa orang yang melangkah
menuju arah rumahnya. Orang tua ini menghela napas panjang, lalu memandang pada
Joko dan berkata pelan.
"Apa yang kita khawatirkan akhirnya terjadi juga, Joko. Seperti beberapa waktu
yang lalu, mereka pastilah
orang-orang tua anak yang kau pukuli.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan, sebaiknya kau segera menuju
hutan. Carilah kayu bakar. Biar mereka Paman hadapi!"
"Tidak Paman. Mereka yang salah, kenapa harus takut"!" sahut Joko seraya
berpaling. Dari jauh memang tampak beberapa orang mendatangi kearah
rumahnya. "Joko. Bukan masalah takut atau tidak. Tapi ini demi keselamatanmu juga demi
nama baik Paman. Kau tak ingin nama baik Paman rusak, bukan"!"
Joko tidak menyahut. Dia berpaling lagi dan menatap paras pamannya dengan
tatapan tajam. Meski tidak berkata sepatah kata pun, namun sang paman jelas
dapat melihat ketidaksetujuan pada wajah anak itu.
"Joko.... Aku tahu, kau tidak setuju dengan apa yang Paman katakan. Namun untuk
sementara ini kau harus dapat menerimanya. Cepatlah keluar lewat belakang!"
Dengan agak berat, akhirnya Joko
menuruti perkataan pamannya.
Perlahan-lahan anak ini bergerak bangkit dan melangkah menuju ke belakang. Namun
sebelum ia keluar, anak ini masih sempat berkata lantang.
"Paman, kejadian ini adalah yang terakhir. Pada waktu mendatang, aku tak akan
mau seperti ini. Aku akan hadapi mereka! Aku tak takut! Karena aku benar!"
Sang paman hanya dapat menghela
napas panjang. Lalu anggukkan kepalanya.
"Anak ini benar-benar teguh. Tapi kadang-kadang sifatnya bandel. Hingga tak
salah jika teman-temannya memanggil dengan Joko Sableng...."
"Rajek Wesi! Suruh keluar anak kurang ajar itu!" tiba-tiba terdengar teriakan
dari luar. Paman Joko yang bernama Rajek Wesi ini bergerak bangkit. Seakan terkejut, lakilaki yang telah berumur ini
melangkah ke arah pintu depan. Dari pintu, orang tua ini dapat melihat beberapa
orang berdiri tegak dengan mata nyalang memandang ke dalam rumahnya.
"Ada apa?" Rajek Wesi ajukan tanya dengan memandang satu persatu orang yang
berdiri di depan rumahnya. "Silakan masuk. Mari kita bicara! Ada apa
sebenarnya"!"
"Kami tak perlu masuk. Kami hanya ingin anak itu!" salah seorang menjawab dengan
suara keras. "Yang kau maksud siapa"!" Rajek Wesi masih coba bertanya, membuat orang yang
tadi menjawab agak geram. Seraya maju satu tindak dan dengan mata menyelidik ke
dalam rumah, orang ini berujar.
"Rajek Wesi. Dengar balik-baik.
Kami inginkan Joko Sableng!"
Rajek Wesi batuk-batuk beberapa
kali. Setelah menghela napas panjang orang tua ini berkata periahan.
"Ada apa" Apa sebenarnya yang terjadi hingga kalian mencari Joko Sableng"!"
"Anak sableng itu telah memukuli anak kami! Lekas suruh keluar anak itu!"
Rajek Wesi pura-pura terkejut, lalu dari mulutnya terdengar omelan memaki pada
Joko Sableng. "Aku sebagai orangtua yang mengasuh Joko Sableng minta maaf jika anak itu
melakukan perbuatan yang tidak berkenan di hati kalian semua, termasuk padamu,
Samparan. Aku berjanji akan mendidik dan memarahi anak itu!"
Orang yang dipanggil Samparan dan yang tadi menjawab, kembali keluarkan sahutan
keras. "Sudah beberapa kali ucapan itu kau katakan pada kami! Tapi tak ada buktinya!
Anak sableng itu pantas mendapat
hajaran!" Rajek Wesi gelengkan kepalanya.
Seraya melangkah keluar orang tua ini berujar datar.
"Sebenarnya sudah tak kurang-kurang aku mengingatkannya. Namun kuharap kalian
mau memaafkannya untuk yang terakhir ini. Dan aku berjanji akan menghajarnya
jika dia berani berbuat yang tidak-tidak!"
Samparan berpaling pada beberapa
orang yang datang bersamanya. Mereka sama mengangguk. Samparan lalu berpaling
lagi dan memandang pada orang tua di hadapannya.
"Rajek Wesi.... Untung kami masih memandangmu sebagai orang tua yang patut
dihormati. Namun hal ini untuk yang terakhir kali. Sekali lagi Joko Sableng
mencederai anak-anak kami, kami tak akan memandangmu lagi!" habis berkata
begitu, Samparan putar tubuh lalu mengangguk pada beberapa orang yang datang
bersamanya. Mereka pun lantas melangkah meninggalkan halaman rumah Rajek Wesi
dengan mulut merendeng tak karuan.
Rajek Wesi memandangi kepergian
orang-orang itu dengan angkat bahunya dan menarik napas dalam-dalam.
"Hmm.... Orang-orang yang terlalu memperturutkan hawa marah. Hingga tak tahu
siapa sebenarnya yang salah! Ah, Joko Sableng.... Selalu bikin orang tua harus
berhadapan dengan orang-orang yang tak mau mengerti...."
* * * Joko Sableng terus melangkah cepat menuju arah hutan lereng Gunung
Kinibalu. Seraya melangkah anak ini bersiul-siul seakan tak ada persoalan.
Malah tak jarang dia bernyanyi-nyanyi dengan suara keras. Namun baru saja masuk
hutan dan hendak mulai mencari kayu bakar, telinganya menangkap derap langkah
kaki kuda. Merasa bahwa orang berkuda akan melewati jalan di mana kini dia
sedang melangkah, Joko Sableng segera menepi.
Baru saja Joko Sableng melangkah
menepi, seakan memberi jalan pada penunggang kuda, dari arah belakangnya sang
binatang itu sudah berderap kencang.
"Sontoloyo! Untung aku cepat minggir, jika tidak, mungkin kuda itu telah
menabrak tubuhku. Apa
p-nunggangnya sudah tidak bisa melihat lagi"!" seraya memaki Joko Sableng
palingkan wajahnya pada kuda yang berlari dari arah belakangnya.
Tiba-tiba sepasang mata tajam anak ini membelalak besar, dahinya
mengernyit. Dan seakan tak percaya dengan pandangan matanya, untuk sesaat anak
ini tertegun, lalu usap-usap matanya. Dan sekali lagi memperhatikan kuda yang
kini telah melewatinya.
"Aneh. Penunggang kuda itu tertidur apa gimana" Kalau tertidur kenapa tangannya
terus menarik-narik tali kekang kudanya" Kalau tidak tertidur kenapa menunggang
kuda dengan sikap begitu"!" Joko Sableng coba menduga-duga apa yang sedang
dilakukan oleh penunggang kuda yang baru saja lewat.
Memang, sang penunggang kuda yang baru saja lewat menunggang kuda dengan sikap
aneh. Tubuhnya seakan ditekuk sedemikian rupa hingga kepalanya sejajar dengan
punggung kuda tunggangannya.
Sementara tangan kiri kanannya tak henti-hentinya menarik tali kekang kuda
tunggangannya, hingga binatang itu terus berlari kencang. Melihat sikapnya,
dapat segera ditebak jika sang penunggang seakan diburu waktu, setidak-tidaknya
ada sesuatu yang harus diselesaikan dengan cepat.
Namun tiba-tiba sepasang mata Joko Sableng membelalak lebih besar lagi tatkala
bola matanya melihat ceceran darah di sepanjang jalan yang baru saja dilewati
oleh si penunggang kuda.
Dengan agak heran, Joko Sableng
melangkah mendekati ceceran darah yang ada di bekas jejak-jejak kaki kuda. Dia
seakan ingin meyakinkan bahwa darah itu darah yang baru keluar. Sambil jongkok
memperhatikan hidung anak ini mengembang dan mengempis.
"Kulihat tak ada binatang yang terluka lewat sini. Pasti darah ini berasal dari
penunggang kuda tadi.
Hm.... Berarti orang itu tidak tidur, mungkin dia terluka...." Memikir sampai di
situ, Joko segera bergerak bangkit.
Matanya nyalang ke arah mana kuda tadi berlari. Telinganya pun dipasang
baik-baik. "Kuda itu tidak terlihat lagi.
Langkahnya pun tidak terdengar. Padahal masih beberapa saat berlalu dari sini.
Jangan-jangan...," Joko tidak meneruskan dugaannya. Anak ini segera berlari ke
arah mana kuda tadi berlari.
Dengan menelusuri jejak-jejak kaki kuda, tak sulit bagi anak ini untuk mengikuti
ke mana kuda itu mengarah. Dan anak ini semakin yakin jika sang penunggang
mengalami cidera tatkala sepanjang jejak-jejak yang diikutinya, darah itu
semakin banyak!
Pada suatu tempat, Joko Sableng
hentikan langkahnya. Karena jejak yang diikutinya lenyap. Sepasang matanya
lantas menyapu berkeliling. Dan dia tercenung tatkala melihat kuda yang tadi
lewat dan diikutinya melangkah
berputar-putar tanpa penunggang.
Keyakinan Joko makin jelas tatkala matanya melihat lelehan darah pada punggung
kuda itu. "Ke mana penunggang kuda itu" Kalau terjatuh di jalan, pasti aku telah
melihatnya. Atau...," Joko putuskan gumamannya ketika sepasang telinganya
mendengar erangan perlahan dari balik pohon yang di sekitarnya ditumbuhi semak
belukar merangas tinggi.
Tanpa pikir panjang lagi, Joko
Sableng segera berlari ke arah datangnya suara erangan. Semak belukar tinggi itu
disibakkannya dengan mata nanar
mencari-cari. Anak ini segera melompat sigap tatkala matanya dapat menangkap
sesosok tubuh yang melingkar di tengah semak belukar dengan memperdengarkan
erangan kecil. Sejurus Joko memperhatikan sosok
orang di sebelahnya. Dengan tangan agak gemetar dan mata tak berkedip, anak ini
bergerak jongkok. Lalu tangannya meraba orang yang melingkar di sebelahnya.
Orang itu mengenakan pakaian selempang putih yang telah hangus, sementara kedua
tangannya tampak mengembung merah. Dari mulut dan hidungnya mengalir darah merah
kehitaman. Sepasang matanya terpejam rapat. Dari mulutnya yang berdarah, keluar
erangan pelan. Begitu dirasa ada tangan menyentuh, sosok yang tersuruk di atas semak belukar
dan bukan lain adalah Bandung
Bandawangsa alias Malaikat Lembah Hijau buka kelopak matanya dengan air muka
terkejut besar. Hingga untuk beberapa lama sepasang matanya memandang liar tak
berkedip. Namun keterkejutannya segera hilang tatkala dilihatnya yang menyentuh
adalah tangan seorang anak kecil.
"Kek...," kata Joko setelah terdiam agak lama dan hanya memperhatikan keadaan
orang di sampingnya. "Kau terluka. Bagaimana kalau Kakek kuajak ke rumahku"!"
"Terima kasih, Nak!" sambut Malaikat Lembah Hijau dengan suara bergetar dan
tersendat. "Kalau mau menolong, tolong dekatkan kuda itu kemari! Aku harus
segera pergi dari sini!"
"Tapi kau masih terluka...."
Malaikat Lembah Hijau pejamkan kedua matanya menindih rasa sakit yang mendera
sekujur tubuhnya. Setelah sedikit dapat mengatasi rasa nyeri pada dadanya,
Malaikat Lembah Hijau berujar lirih.
"Nak. Aku punya urusan yang harus segera kuselesaikan. Sekali lagi aku ucapkan
terima kasih atas bantuan yang hendak kau berikan. Namun untuk
sementara ini tolong dekatkan kuda itu kemari!"
Dengan benak dipenuhi rasa heran, akhirnya Joko Sableng bergerak bangkit dan
melangkah ke arah kuda. Dan
perlahan-lahan pula kuda tunggangan itu dituntunnya ke arah Malaikat Lembah
Hijau. Malaikat Lembah Hijau kerahkan
segenap tenaganya untuk dapat bergerak bangkit. Melihat hal ini, Joko segera
menolong orang tua itu untuk berdiri. Dan perlahan-lahan pula dibimbingnya
Malaikat Lembah Hijau untuk mendekati kuda tunggangannya. Bukan hanya itu saja,
dengan segenap tenaganya pula anak ini membantu Malaikat Lembah Hijau untuk naik
ke atas punggung kudanya.
"Nak. Terima kasih atas budimu.
Siapa namamu"!" tanya Malaikat Lembah Hijau begitu tubuhnya telah berada di atas
punggung kuda. Joko Sableng tengadahkan kepalanya memperhatikan lekat-lekat. Dengan tersenyum
ramah dia menjawab.
"Aku Joko Sableng. Kakek sendiri siapa..." Dan hendak ke manakah
sebenarnya"!"
Belum sampai Malaikat Lembah Hijau menjawab pertanyaan Joko, terdengar hentakan
ladam kaki-kaki kuda menuju ke arahnya. Paras muka Malaikat Lembah Hijau berubah
seketika. Sepasang matanya membesar mengikuti gerak bahunya yang menegang. Dari
mulutnya terlontar gumaman peian.
"Pasti mereka! Celaka...!"
Malaikat Lembah Hijau bimbang.
Apakah akan segera keluar dari tempat itu dan meneruskan perjalanan, atau tetap
di situ dan bersembunyi. Selagi laki-laki ini dilanda kebimbangan dan belum
dapat memutuskan apa yang akan dilakukan, terdengar kekehan tawa bersahutan.
Baik Malaikat Lembah Hijau maupun Joko sama-sama palingkan wajah. Muka Malaikat
Lembah Hijau tambah pucat, kedua tangannya gemetar dengan kuduk merinding. Dan
keringat dingin pun keluar membasahi dahi dan lehernya.
Sementara Joko sempat tersedak dan melongo dengan paras ngeri. Tanpa sadar
kakinya bergeser ke belakang, mendekat ke arah kuda tunggangan Malaikat Lembah
Hijau! * * *

Joko Sableng 1 Pesanggrahan Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

6 DI hadapan mereka berdua, Hantu
Makam Setan dan Dewi Asmara terlihat tegak memandang dengan mata dingin.
Bibir mereka masing-masing sunggingkan senyum seringai penuh kemarahan.
"Bandung Bandawangsa! Kau bisa lari dari pandangan mataku, tapi jangan mimpi
bisa lepas dari tanganku! Aku masih memberimu kesempatan. Serahkan petunjuk itu
atau serahkan nyawamu!" yang keluarkan suara adalah Hantu Makam Setan. Sementara
Dewi Asmara hanya tegak mematung, namun diam-diam dalam hati perempuan cantik
ini membatin. "Hantu Makam Setan. Kau boleh mengambil petunjuk itu dari tangan Bandung
Bandawangsa, namun untuk diriku!
Hik.... Hik.... Hik.... Aku tahu
bagaimana menghadapimu nanti...."
"Sialan benar! Tak mungkin aku menghadapi mereka berdua dengan keadaan demikian.
Bagaimana kedua orang ini bisa bersatu" Hmm.... Mendengar kekejian mereka, pasti
anak ini nanti juga akan mereka hajar. Anak malang.... Ah, bagaimanapun juga aku
harus menyelamatkan diri, juga menyelamatkan anak ini!"
Mendapati Malaikat Lembah Hijau tak menyambuti ucapan Hantu Makam Setan, Dewi
Asmara sorongkan wajahnya mendekat Hantu Makam Setan, lalu berbisik.
"Hantu Makam Setan. Serahkan dia padaku! Rupanya dia tak bergeming dengan
ancamanmu! Orang macam dia tak akan bisa ditekan dengan kata-kata. Dia hanya
bisa ditaklukkan dengan tangan!"
Hantu Makam Setan gelengkan kepala.
Rupanya laki-laki berhidung sebelah ini bertindak hati-hati sekali. Dia masih
khawatir jika Malaikat Lembah Hijau tidak membawa petunjuk itu, tapi
menyimpannya pada suatu tempat. Hingga jika kekhawatirannya benar, maka dengan
tewasnya Malaikat Lembah Hijau, bukan hanya perjalanannya saja yang sia-sia,
lebih dari itu pedang mustika itu tak akan jatuh ke tangannya!
"Dewi Asmara! Kau boleh punya dendam setinggi langit pada keparat itu, tapi
sebelum urusanku selesai jangan
coba-coba mendahului!" sungut Hantu Makam Setan, membuat Dewi Asmara
mendelik dan katupkan bibir rapat-rapat.
Namun dalam hati perempuan cantik ini sebenarnya merasa lega. Karena dia pikir
lebih mudah menghadapi Hantu Makam Setan daripada menghadapi Malaikat Lembah
Hijau. Hantu Makam Setan masih bisa dibujuk dengan
tubuh, tapi tidak
demikian halnya dengan Malaikat Lembah Hijau.
Memikir sampai di situ, meski dengan menunjukkan wajah tak senang, akhirnya Dewi
Asmara berbisik lagi.
"Kalau itu maumu, baiklah! Tapi jangan lupa, nyawanya adalah untukku!"
Hantu Makam Setan menyeringai
buruk. Sementara Malaikat Lembah Hijau berpikir mencari jalan bagaimana bisa
menyelamatkan diri dan menyelamatkan anak di bawahnya. Sebab tak mungkin
meninggalkan anak itu sendirian bersama dua tokoh biang sesat yang kejam itu.
Selagi Malaikat Lembah Hijau
tercenung mencari jalan keluar, Joko Sableng tengadahkan kepala memandang
Malaikat Lembah Hijau. Lalu berkata polos.
"Kek. Apakah mereka itu
mencideraimu" Tampaknya mereka bukan orang baik-baik. Seandainya Kakek mengikuti
aku ke rumah, tak mungkin mereka dapat menemukanmu!"
"Hmm.... Anak ini perasaannya peka sekali. Dari tampang dan nada bicara orang,
dia telah dapat menduga...,"
batin Malaikat Lembah Hijau. Namun dia tak menyahut ucapan Joko. Sebaliknya
dengan mengerahkan sisa-sisa tenaga sebelah tangannya bergerak mengayun. Dan
tahu-tahu tubuh Joko telah melesat ke atas. Dan belum sempat Joko keluarkan
kata-kata, Malaikat Lembah Hijau telah mendudukkannya di punggung kuda di
sebelah depannya. Serta-merta tali kekang kuda dihela dengan keras. Kuda
tunggangan itu meringkik kaget, tapi bersamaan dengan itu tubuhnya menghentak
dan kakinya bergerak berlari
meninggalkan tempat itu.
"Keparat busuk!" umpat Hantu Makam Setan. Sekonyong-konyong kedua
tangannya bergerak menghantam. Mungkin karena marah, hingga tujuannya semula
yang tidak akan membuat Malaikat Lembah Hijau tewas sebelum memberikan apa yang
diminta jadi teriupa. Serangannya kini ditujukan langsung ke arah Malaikat
Lembah Hijau! Wuuuttt! Wuuuttt!
Keadaan sekitar tempat itu mendadak pekat. Bersamaan dengan itu dua berkas sinar
hitam melesat dengan keluarkan suara menderu dahsyat.
Di lain pihak, Dewi Asmara tak
tinggal diam. Begitu tahu Hantu Makam Setan telah mengarahkan langsung
pukulannya pada sosok Malaikat Lembah Hijau, perempuan ini pukulkan kedua
tangannya dan diarahkan pada kuda yang ditunggangi.
Hingga di kepekatan suasana itu
melesat pula angin geiombang dahsyat yang mengembang dan menyergap dari empat
jurusan ke arah kuda tunggangan Malaikat Lembah Hijau!
Namun serangan dua orang ini terlambat datangnya. Sebab Malaikat Lembah Hijau telah menyentakkan lagi tali
kekang kudanya dengan lebih keras.
Lalu membelokkan kuda tunggangannya ke arah selatan. Hingga dua serangan maut
itu hanya menghajar tempat kosong. Lalu menghantam pohon dan somak belukar di
sekitar tempat itu.
Pohon-pohon itu berderak tumbang, sementara semak belukar tercerabut dari tanah
dan berhamburan ke udara, membuat suasana makin pekat hitam!
Mendapati lawan bisa lolos, Hantu Makam Setan mendengus keras. Dadanya
bergemuruh marah. Dan dengan berteriak meradang, laki-laki itu berkelebat lalu
hantamkan kembali kedua tangannya ke arah mana kuda tunggangan Malaikat Lembah
Hijau berlari. Sekali lagi sinar hitam melesat,
karena kali ini Hantu Makam Setan dengan pengerahan tenaga dalam penuh, maka
lesatan sinar hitam itu laksana bersitan cahaya dan melabrak dengan kecepatan
yang suiit diikuti pandangan mata telanjang.
Malaikat Lembah Hijau yang merasa mendapati gelagat tidak baik segera saja
berpaling. Dan mendadak paras muka laki-laki ini bertambah pias. Darahnya seakan
sirap! Betap tidak. Tiga depa di belakangnya sinar hitam itu menderu cepat ke
arahnya. Tapi untung laki-laki ini bisa berpikir cepat. Karena bukan saja dia
harus menyelamatkan dtrmya saja, tapi juga anak yang ada di
depannya. Memikir demikian, tali kekang kuda diserahkan pada anak di depannya. Joko
sendiri yang meski terlihat heran bercampur takut, segera mengambil alih tali
kekang kuda. Lalu menghelanya dengan keras-keras. Di belakangnya, Malaikat
Lembah Hijau segera sentakkan kedua tangannya ke arah belakang.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Sinar hijau segera melesat dan
langsung memapak serangan Hantu Makam Setan. Terdengar dentuman menggelegar
tatkala kedua pukulan sakti itu bentrok di udara. Namun karena tenaga yang
dikeluarkan Malaikat Lembah Hijau tidak penuh, maka sebagian sinar hitam yang
ambyar terkena papasan sinar hijau terus melesat dan menyambar deras ke punggung
Malaikat Lembah Hijau!
Tubuh Malaikat Lembah Hijau
bergetar. Untung laki-laki ini masih sempat menyahut tali kekang kuda hingga
meski tubuhnya sempat oleng dan kuda tunggangannya doyong hendak
terjerembab, namun segera bisa dikuasai.
"Kek...," ucap Joko di sela rasa takut dan ngeri, ka-rena kuda itu kini berlari
dengan kencang dan tak tentu tujuan.
"Nak!" sahut Malaikat Lembah Hijau dengan suara sendat dan pelan. "Kau tak usah
takut! Dan jangan banyak bicara dulu."
Habis berkata begitu, Malaikat
Lembah Hijau terlihat batuk-batuk, lalu mulutnya mengembung besar. Sebentar
kemudian dari mulutnya keluar menyembur darah kehitaman!
Jauh di belakangnya, Hantu Makam
Setan dan Dewi Asmara segera berkelebat ke arah kuda tunggangannya yang disimpan
agak jauh dari tempatnya kini. Dan tanpa membuang tempo lagi, kedua orang ini
segera naik punggung kudanya dan berlari mengejar.
"Setan keparat!" maki Hantu Makam Setan di sela hentakan kuda tunggannya yang
berpacu kencang. Dan seakan tak sabar dengan lari kuda tunggangannya laki-laki
ini segera membentak garang.
"Dewi. Pukul binatang jahanam ini.
Aku yang mengendalikan!" seraya berkata tali kekang kuda diambil dari tangan
Dewi Asmara. Sementara Dewi Asmara sendiri meski dengan geram diperintah dengan
bentakan demikian rupa segera pukulkan kedua tangannya ke dada kiri kanan
binatang tunggangannya! Hingga binatang itu menghentak dan berpacu makin
kencang. *** Baik Joko Sableng maupun Malaikat Lembah Hijau tak tahu ke mana kuda
tunggangannya mengarah. Yang ada di benak orang tua ini hanya bisa selamat dari
kejaran Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara. Karena sayup-sayup dia bisa mendengar
hentakan kuda yang terus mengikutinya ke mana kuda tunggangannya berlari.
Karena Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara menunggang dengan pengerahan ilmu
peringan tubuh, lagi pula tak
henti-hentinya Dewi Asmara memukul dada kudanya sementara Hantu Makam Setan
tarik-tarik tali kekang kudanya, maka dalam beberapa saat kemudian, kedua orang
ini telah berada beberapa tombak di belakang Malaikat Lembah Hijau dan Joko
Sableng! Di depan sana, Malaikat Lembah Hijau makin bergetar tubuhnya, selain
merasakan sakit pada punggungnya, juga dadanya seakan pecah, apalagi
terus-menerus diguncang kuda
tunggangannya. Tapi laki-laki ini tak mau menyerah begitu saja. Dia terus memacu
dan memacu tanpa mempedulikan ke mana langkah kudanya mengarah! Hal ini
berakibat fatal bagi Malaikat Lembah Hijau dan Joko Sableng, karena ternyata
kuda tunggangannya mengarah pada sebuah tebing jurang!
Malaikat Lembah Hijau dan Joko
Sableng sama-sama tertegun, mata
masing-masing sama membeliak besar.
Bahkan dari mulut Joko terdengar jeritan tinggi melengking. Malaikat Lembah
Hijau terkesima dan segera mencoba hentikan lari kudanya. Namun terlambat,
karena begitu kuda berhenti, kaki depannya sudah tidak menginjak tanah,
melainkan mengambang di tepi bibir jurang! Melihat situasi demikian, Hantu Makam
Setan dan Dewi Asmara tercengang.
"Dewi. Kita harus cepat lakukan sesuatu untuk mencegahnya!"
Habis berkata demikian, Hantu Makam Setan segera melesat dari punggung kudanya,
begitu pula Dewi Asmara.
Beeettt! Beeettt!
Gerakan kedua orang ini mampu
menahan kuda tunggangan Malaikat Lembah Hijau, namun karena yang tersahut tangan
kedua orang ini adalah kaki belakang kuda Malaikat Lembah Hijau, membuat kuda
tunggangan itu tertekuk ke belakang, sementara tubuh bagian depannya tertekuk
turun ke jurang. Hal ini membuat sosok Malaikat Lembah Hijau dan Joko Sableng
melesat ke depan dan tak ampun lagi melayang masuk ke dalam jurang!
"Ah...," Dewi Asmara mengeluh kecewa, sementara Hantu Makam Setan memandangi
dengan wajah merah padam.
"Kita terlambat!" gumamnya parau.
Mungkin merasa geram, kaki kuda yang masih mereka pegang sama-sama mereka
sentakkan, hingga kuda itu tepelanting kelamping
jurang dengan keluarkan
ringkikan keras sebelum akhirnya
melayang masuk ke jurang!
Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara sama-sama bergerak bangkit. Masih dengan muka
sulit diartikan Hantu Makam Setan melangkah ke bibir jurang. Demikian pula Dewi
Asmara. Keduanya melongok ke bawah.
Meski saat itu matahari memancarkan sinar terang tanpa awan, namun yang tampak
oleh sepasang mata Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara hanyalah pucuk warna hijau
rimbun dedaunan pohon yang banyak merayap di lamping jurang, dan selebihnya
adalah warna hitam pekat!
Pertanda bahwa jurang itu sangat dalam!
"Bagaimana sekarang"!" tiba-tiba Dewi Asmara ajukan pertanyaan. Hantu Makam
Setan tidak menyahut, menoleh pun tidak. Dia masih memandang ke bawah dan
sesekali memutar keliling dengan harapan tubuh Malaikat Lembah Hijau tersangkut
sebagian pohon di lamping jurang. Namun harapan laki-laki berhidung sebelah ini
tak menjadi kenyataan. Laki-laki ini rupanya masih tak putus asa. Dia
melangkah menyusuri bibir jurang dengan sepasang mata tak berkedip! Sepasang
telinganya pun dipasang baik-baik.
Di lain pihak, meski merasa kecewa yang amat sangat, Dewi Asmara segera sadar.
Walau hatinya seakan menangis namun kenyataan ini diterimanya. Dan melihat Hantu
Makam Setan masih saja tak mempercayai kenyataan dan melangkah mondar-mandir di
bibir jurang, perempuan berwajah cantik ini putar tubuhnya dan melangkah
menjauh. Kiraa-kira lima belas langkah, dia berpaling, Hantu Makam Setan masih
mondar-mandir. "Manusia dungu! Sampai kakimu tanggal kau tak akan menemukannya!"
dengus Dewi Asmara perlahan lalu
tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat itu.
Hantu Makam Setan untuk beberapa
lama masih berjalan di bibir jurang, dan begitu menyadari bahwa pencariannya
sia-sia, dia kembangkan telaapak tangannya. Lalu berteriak histeris. Kedua
tangan dan kakinya bergerak bersama-sama menghantam bibir jurang.
Bummm! Lamping jurang itu bergetar hebat.
Sebagian tanah di bibir jurang kontan rengkah lalu terbongkar! Tanahnya
berhamburan masuk ke dalam jurang. Kuda tunggangannya meringkik kaget dan sempat
terangkat setengah tombak sebelum akhirnya jatuh tumbang di atas tanah.
Binatang itu segera bangkit, lalu menghambur lenyap.
Hantu Makam Setan tengadah
memandang langit. Tulang-tulang
wajahnya bergerak gerak. Mulutnya komat-kamit namun tiada suara yang jelas
terdengar. Sesaat kemudian, dia luruskan lagi kepalanya dan memandang
berkeliling. "Perempuan setan! Ternyata dia sudah minggat!" gumamnya pelan.
Laki-laki ini lantas melangkah ke arah sebuah pohon besar. Pantatnya
dihempaskan lalu duduk bersandar. Kedua tangannya bergerak mengusap wajahnya
yang dipenuhi keringat.
"Akan kutunggu sampai matahari tenggelam. Siapa tahu...," desisnya lirih dengan
memandang jauh.
*** 7 DI sebuah tempat yang suasananya
sangat lembab dan remang-remang, karena kiri kanannya hanyalah jajaran pohon
berusia ratusan tahun serta semak belukar dan lumut-lumut tebal berwarna hijau,
seorang laki-laki berusia amat lanjut terlihat duduk bersila dengan mata
terpejam setengah membuka. Mulutnya terkancing rapat. Mungkin karena usia dan
juga karena tak pemah terkena cahaya matahari, paras muka kakek ini amat pucat dan berkeriput. Namun keriputan kulit
wajahnya hanya merupakan garis-garis yang samar-samar sebab kulit wajah itu
demikian tipisnya. Rambutnya telah putih dan dibiarkan menjulai hingga sebagian
menutupi wajah dan lehernya. Kumis dan jenggotnya juga putih dan lebat. Kakek
ini mengenakan jubah panjang yang ketika dibuat duduk demikian rupa, sebagian
kain jubahnya berserakan di samping kanan kirinya. Jubah itu telah kusam dan
bertambal-tambal dari beberapa kain dan warna.
Pada beberapa tahun yang silam,
jagat rimba persilatan pernah diguncang dan disentak oleh munculnya seorang
tokoh berilmu tinggi yang malang
melintang tanpa tanding. Beberapa tokoh golongan hitam yang coba-coba menjajal
kesaktiannya, harus rela roboh dan yang memaksanya harus rela menyerahkan
selembar nyawanya. Hingga ketika tokoh ini malang melintang, dunia persilatan
menjadi tenteram damai. Dan satu persatu tokoh golongan hitam pergi menyingkir.
Tokoh ini namanya lantas harum dan dikenal sampai di kalangan rakyat biasa.
Tokoh ini sebenarnya adalah seorang pendeta. Namun karena melihat rimba
persilatan banyak dikotori oleh
tangan-tangan yang serakah dan
merajalelanya kebusukan, tokoh ini menanggalkan kependetaannya. Lalu turun ke


Joko Sableng 1 Pesanggrahan Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelanggang persilatan.
Karena tokoh ini selalu mengenakan pakaian tambal sulam dan sifatnya yang
kadang-kadang mirip seperti seorang tak waras, orang-orang menyebutnya dengan
gelar Pendeta Sinting.
Tapi beberapa tahun kemudian
Pendeta Sinting hilang lenyap tiada berita. Beberapa orang coba menyelidiki ke
mana lenyapnya Pendeta Sinting. Namun hingga beberapa lama, tak seorang pun yang
dapat membuka tabir lenyapnya Pendeta Sinting. Bersamaan dengan itu, tokoh-tokoh
golongan hitam pun mulai lagi merajalela. Dan kekejian serta kemelut pun mulai
muncul di mana-mana.
Kemelut itu makin keruh dengan
tersebarnya berita tentang pusaka pedang mustika yang dikabarkan berada di
tangan seseorang.
Sebenarnya Pendeta Sinting saat itu masih ingin terjun dalam rimba
persilatan. Namun karena merasa usia telah menggerogoti dirinya, dia mulai
berkeinginan untuk hidup tanpa bising segala macam ilmu silat. Dan secara diamdiam dia pergi ke sebuah jurang yang dikenal orang dengan nama jurang Tlatah
Perak. Sebuah jurang yang sangat dalam dan tidak pernah didiami seorang
manusia. Beberapa puluh tahun telah berlalu, Pendeta Sinting tetap berdiam diri di dalam
jurang Tlatah Perak. Selain menyendiri untuk menenangkan diri, tokoh ini juga
memperdalam ilmu silat.
Saat itu Pendeta Sinting sedang
bersemadi dengan duduk bersila. Wajahnya telah mengeriput dimakan usia.
Rambutnya pun telah memutih. Jubahnya yang
bertambal-tambal berserakan di samping kanan kirinya. Namun semadinya saat itu
tidak begitu khusuk. Karena sayup-sayup sepasang telinganya yang tajam menangkap
hentakan ladam kaki-kaki kuda. Hal ini tidak biasa. Karena selama
berpuluh-puluh tahun berdiam diri di dalam jurang, baru kali ini ada kuda yang
lan-kah-langkahnya seperti mendekati ke arah jurang dimana dia berada. Dan
semadinya jadi kacau tatkala dengan jelas sepasang telinganya menangkap jeritan.
Jeritan itu menggema dan memantul ke lamping bibr jurang. Dari suara pantulan
jeritan, dengan cepat Pendeta Sinting segera dapat menduga jika orang yang
keluarkan jeritan pasti masuk ke dalam jurang. Keyakinannya makin tebal tatkala
bersamaan dengan itu terdengar suara makian, lalu bergetarnya lamping jurang
serta berhamburannya tanah dari atas jurang.
Merasa ada yang tidak beres, Pendeta Sinting buka kelopak matanya. Kepalanya
bergerak mendongak. Saat itulah sepasang matanya yang kelabu menangkap tiga
bayangan hitam melayang-layang.
Pendeta Sinting komat-kamitkan
mulutnya. Tak lama kemudian dari
mulutnya terdengar kekehan tawa panjang.
Namun cuma sesaat, sekejap kemudian tubuhnya telah melesat, dan tahu-tahu telah
tegak sambil mendongak tak
berkedip. "Gila! Benda apa itu"!" ujarnya dengan tertawa mengekeh. Lalu berkelebat karena
salah satu bayangan hitam itu telah hampir menghempas ke bawah. Kedua tangannya
bergerak ke depan dengan tubuh sedikit ditarik ke belakang.
Tabbb! Tabbb! Benda yang melayang hampir
terhempas itu tertangkap kedua tangan Pendeta Sinting. Orang ini segera saja
tertawa terkekeh demi mengetahut bahwa yang ditangkapnya adalah seekor kuda yang
tubuhnya hampir hancur.
"Sialan! Binatang sudah tewas masih juga dilemparkan ke dalam jurang!
Sungguh tak tahu peradatan manusia yang melakukan hal ini...," gumam Pendeta
Sinting, lalu meletakkan bangkai kuda itu di atas tanah. Mungkin karena bobot
kuda itu lebih berat dari tubuh Malaikat Lembah Hijau dan Joko Sableng maka
binatang itu lebih dahulu sampai di bawah meski ketiganya hampir bersamaan saat
terjatuh ke dalam jurang.
Sesaat setelah kuda itu ditangkap dan diletakkan di atas tanah, dua bayangan
yang melayang segera menyusul.
Sepasang mata Pendeta Sinting membeliak untuk meyakinkan. Begitu matanya yakin
jika dua bayangan yang menyusul bayangan kuda adalah sosok manusia, kakek ini
segera lesatkan tubuhnya ke udara dan dengan gerakan sigap dua bayangan itu
ditangkapnya. Lalu dengan gerakan ringan sosoknya melayang turun ke tempatnya
semula. Dua sosok manusia itu segera
diletakkan di atas tanah. Sepasang matanya memandangi dua tubuh yang sama-sama
pingsan itu seraya menghela napas panjang.
"Seorang tua dan seorang anak kecil.... Mungkin mereka adalah kakek dan cucunya.
Hmm.... Yang tua tampaknya mengalami cidera dalam yang cukup parah.
Sepertinya baru saja mengalami bentrok dengan seorang berilmu tinggi. Hm....
Rimba persilatan tak habis-habisnya menelan korban. Dunia edan!"
Pendeta Sinting lantas arahkan
pandangannya pada sosok Joko Sableng.
Memandang sebentar lalu bergumam. "Anak ini tak mengalami cidera. Dia pingsan
mungkin karena terangas pohon dan akar-akar berduri di lamping jurang.
Tubuhnya penuh barutan merah dan
berdarah, tapi tak mengalami cidera dalam. Ah.... Anak-anak tak berdosa pun
harus jadi korban rimba persilatan!
Benar-benar jagat gila!"
Pendeta Sinting alihkan lagi
pandangannya pada sosok Malaikat Lembah Hijau. Setelah menarik napas panjang
orang tua ini jongkok di samping tubuh Malaikat Lembah Hijau. "Aku akan
memeriksa tubuhnya. Kalau Tuhan masih menentukan baik, jiwanya akan
tertolong...."
Kakek yang dulu pernah menggegerkan rimba persilatan ini gerakkan kedua
tangannya dan ditempelkan pada dada Malaikat Lembah Hijau.
"Masih ada denyutan meski
pelan...," desisnya. Kakek ini lantas kerahkan tenaga dalamnya. Tubuh Malaikat
Lembah Hijau yang tadi diam tak
bergerak-gerak mulai menampakkan
gerakan pelan. Perlahan-lahan pula dari kedua tangan Pendeta Sinting.yang
menempel di dada Malaikat Lembah Hijau mulai mengepulkan asap. Bersamaan dengan
itu gerakan Malaikat Lembah Hijau makin kelihatan. Pendeta Sinting lipat
gandakan alirkan hawa murninya, hingga tak lama kemudian mulut Malaikat Lembah
Hijau terbuka dan bergetar. Bersamaan dengan terbukanya mulut, dari sudut mulut
itu meleleh darah hitam. Melihat hal ini Pendeta Sinting pejamkan
matanya. Tangannya makin menekan pada dada Malaikat Lembah Hijau. Darah hitam
makin banyak mengalir, namun
perlahan-lahan darah itu berubah warna.
Begitu Pendeta Sinting buka kelopak matanya, darah yang mengalir telah berubah
jadi merah. Pendeta Sinting menghela napas lega. Dan bersamaan dengan berubahnya
darah, yang berarti racun akibat cidera telah lenyap, perlahan-lahan paras
Malaikat Lembah Hijau berubah agak cerah. Dan kedua kakinya mulai bergerakgerak. Kelopak matanya pun mulai bergerak mengerjap dan tak lama kemudian
kelopak mata itu terbuka.
Begitu melihat paras wajah Pendeta Sinting, sepasang mata Malaikat Lembah Hijau
membesar. Mulutnya dibuka namun suaranya seakan tersekat di tenggorokan, hingga
yang terdengar adalah gerengan pelan. Setelah agak lama dan merasa dapat
menguasai keterkejutannya, Malaikat
Lembah Hijau keluarkan suara. Agak parau dan tersendat.
"Kau.... Kau... siapa..."! Apakah aku tidak sedang mim.... Mimpi?"
Keterkejutan Malaikat Lembah Hijau makin besar hingga matanya makin
melotot, karena jawaban dari
Pendeta Sinting adalah tawa
mengekeh! Namun ketika menyadari bahwa orang tua di hadapannya telah menolong
dirinya, Malaikat Lembah Hijau kembali ajukan pertanyaan.
"Orang tua. Siapakah... kau?"
Namun lagi-lagi Malaikat Lembah
Hijau hanya mendapat jawaban kekehan tawa, membuat Malaikat Lembah Hijau
memperhatikan lebih seksama pada orang tua di sampingnya itu. Tiba-tiba
sepasang matanya mendelik dengan dahi berkerut. Mulutnya bergerak
komat-kamit. Dalam hati Malaikat Lembah Hijau bertanya-tanya sendiri.
"Apakah aku tidak mimpi" Melihat ciri-cirinya, meski aku belum pernah bertemu,
bukankah orang tua ini seorang tokoh berilmu tinggi yang sejak beberapa tahun
belakangan ini menjadi teka-teki besar karena kepergiannya yang begitu tiba-tiba
dan tanpa kabar berita" Ah, apakah benar dia tokoh yang bergelar Pendeta
Sinting?" Meski masih menduga-duga, Malaikat Lembah Hijau segera bergerak bangkit untuk
duduk. Lalu akan menjura, namun sebelum hal itu sempat dilakukan, tubuhnya telah
oleng ke belakang dan jatuh lagi telen-tang.
"Kau memang telah selamat dan cidera dalammu telah berkurang, namun aliran
darahmu masih kocar-kacir...," ujar Pendeta Sinting. "Kerahkan sedikit tenaga
dalammu untuk mengatasi aliran darahmu!"
Malaikat Lembah Hijau segera turuti ucapan Pendeta Sinting. Kedua tangannya
segera ditakupkan di depan dada.
Sepasang matanya dipejamkan. Lalu perlahan-lahan dia menarik napas untuk
mengatasi aliran darahnya. Setelah merasa aliran darahnya berfungsi dengan
normal, perlahan-lahan Malaikat Lembah Hijau buka kelopak matanya, kedua
tangannya digerakkan ke samping kanan dan kiri. Dengan bertumpu pada kedua
tangannya, Malaikat Lembah Hijau
bergerak bangkit. Lalu membungkuk dalam-dalam.
Pendeta Sinting tertawa mengekeh
seraya mendongak.
"Kau tak perlu berbuat dengan segala macam peradatan begitu rupa! Lebih baik kau
ceritakan apa yang baru saja
menimpamu!"
Malaikat Lembah Hijau luruskan
tubuh. Memandang lekat-lekat pada orang tua di hadapannya. Dan mendengar apa
yang baru saja diucapkan Pendeta Sinting, Malaikat Lembah Hijau semakin yakin
jika orang tua di hadapannya adalah orang yang diduganya. Karena menurut apa
yang pernah didengar, Pendeta Sinting adalah seorang tokoh yang tak gila hormat
dan tak mau dihormati dengan segala
peradatan yang berlaku dalam rimba persilatan.
"Orang tua, kalau tak salah apakah aku tengah berhadapan dengan tokoh yang
bergelar Pendeta Sinting?"
Pendeta Sinting tertawa dahulu
sebelum buka suara.
"Ternyata kau telah mengenaliku.
Namun rasanya aku merasa kesulitan untuk mengenalimu. Siapa kau"!"
"Ah. Ternyata dugaanku tidak meleset. Sungguh satu kebahagiaan besar bagiku bisa
bertemu dengan tokoh yang bernama harum sepertimu, Pendeta Sinting.... Aku
adalah Bandung Bandawangsa.
Berasal dari Lembah Hijau...."
"Ha.... Ha.... Ha...! Jika
demikian, bukankah kau manusia yang bergelar Malaikat Lembah Hijau?"
"Ah, itu hanya nama sebutan yang diberikan orang-orang, Pendeta...."
"Hmm.... Begitu" Sekarang ceritakan bagaimana kau bisa sampai jatuh ke tempatku
ini dan mengganggu
kesendirianku!"
"Maafkan jika aku mengganggu, Pendeta...," ujar Malaikat Lembah Hijau pelan.
Lalu dia segera menceritakan apa yang dialaminya hingga sampai masuk ke dalam
jurang Tlatah Perak.
"Hmm.... Rimba persilatan memang tak akan dikatakan arena rimba jika tak selalu
diselimuti kegegeran. Dan masalah Pedang Malaikat itu, sebenarnya telah lama
juga kudengar. Namun baru kali ini aku mendengarnya jika kau yang
dikejar-kejar orang dan diduga memiliki petunjuk tentang pedang mustika itu.
Boleh aku tahu, siapa gurumu"!"
Sejenak Malaikat Lembah Hijau
terdiam, membuat Pendeta Sinting tertawa seakan mengejek.
"Kau tak usah khawatir. Aku tak akan menyelidik. Aku juga tak tertarik dengan
pedang itu!"
Paras muka Malaikat Lembah Hijau
berubah merah padam. Laki-laki ini buru-buru menjawab pertanyaan Pendeta
Sinting. "Guruku adalah Ki Buyut Mangun Raksa...." Untuk pertama kalinya Pendeta Sinting
terperangah kaget. Sepasang matanya yang kelabu mendeiik
memperhatikan lekat-lekat Malaikat Lembah Hijau. Orang tua ini telah tahu siapa
sebenarnya manusia yang bernama Ki Buyut Mangun Raksa. Dia adalah seorang tokoh
berilmu tinggi juga seorang tokoh yang bisa menembus hal secara gaib!
Melihat sampai di situ, Pendeta
Sinting lantas berkesimpulan jadi tak salah apabiia beberapa tokoh
mengejar-ngejar Malaikat Lembah Hijau.
Mereka menduga, Malaikat Lembah Hijau pasti tahu petunjuk tentang beradanya
pusaka Pedang Malaikat itu dari mendiang gurunya yang punya kesaktian dapat
melihat hal-hal yang gaib itu.
"Bandung Bandawangsa. Ingat, aku tidak menyelidik, hanya sekadar ingin tahu.
Apakah mendiang gurumu pernah bercerita tentang senjata pedang mustika itu"
Setidak-tidaknya pernah
menyinggungnya"!" tanya Pendeta Sinting setelah agak lama berdiam diri.
"Tak pernah, Pendeta...."
"Aneh...," gumam Pendeta Sinting heran.
"Apanya yang aneh, Pendeta..."!"
"Gurumu itu. Juga kau! Bagaimana mungkin orang lain bisa tahu, tapi kau sendiri
sebagai muridnya tak diberitahu!
Mustahil jika manusia macam Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara juga tokoh-tokoh
geblek lain-nya bersusah payah
mengejar-ngejarmu jika tak yakin gurumu telah memberikan petunjuk tentang
beradanya pedang mustika itu padamu!
Entah dari siapa, mereka pasti sudah tahu bahwa gurumu telah memberitahukan
tentang beradanya pedang itu!"
"Tapi, Pendeta. Guru memang tidak pernah memberitahukan padaku! Maka dari itu
aku sendiri heran, orang-orang itu tiba-tiba mengusikku dan meminta sesuatu yang
tak pernah kumiliki!"
Pendeta Sinting manggut-manggut
meski dalam hatinya tak mengerti.
"Hal-hal seperti inilah yang membuat rimba persilatan lain dari pada yang
lain.... Dan hal-hal seperti ini juga yang membuat rimba persilatan penuh dengan
selimut fitnah dan bara dalam sekam! Jika hal seperti ini tidak segera terbuka,
rimba persilatan akan terus guncang dan umat manusia tidak akan aman
tenteram.... Sayang, aku telah undur diri...," gumam Pendeta Sinting seakan
mengeluh. Wajahnya berubah jadi murung.
Namun cuma sesaat. Tak lama kemudian bibirnya telah membuka dan keluarkan tawa
mengekeh, membuat Malaikat Lembah Hijau geleng-geleng kepala.
"Hmm.... Biarlah itu menjadi urusan orang-orang di luar sana. Jikalau Yang Kuasa
menghendaki, cepat atau lambat misteri ini akan juga terbuka. Hanya saja kalau
segera terbuka, dan orang yang ditakdirkan memiliki senjata itu orang baik-baik,
maka rimba persilatan akan menjadi tenang. Setidak-tidaknya segala fitnah untuk
sementara akan reda...."
Pendeta Sinting lantas berpaling.
Dia terkejut. "Astaga! Kenapa kita asyik ngomong melulu. Bukankah anak itu juga
per!u pertolongan."
Pendeta Sinting lantas geser
tubuhnya ke arah Joko Sableng. Kedua tangannya pun segera meneliti t-buh Joko.
Karena anak ini tak mengalami cidera dalam, Pendeta Sinting hanya memijit-mijit
jidat dan dada Joko. Dan orang tua ini tak menunggu lama. Tubuh Joko mulai
bergerak-gerak. Lalu sepasang matanya terbuka. Bola mata tajam dan bening itu
sesaat mengerjap, lalu memandang lurus ke atas. Setelah agak terbiasa, sepasang
mata itu melirik ke samping. Sepasang alis matanya naik ke atas. Keningnya
berkerut dengan mulut bergumam tak jelas. Namun wajahnya jelas mengisyaratkan
rasa terkejut bukannya takut!
"Hmm.... Nyalinya besar juga ini anak. Anak lain mungkin sudah
terkencing-kencing melihat tampangku.
Ha.... Ha.... Ha...!" Pendeta Sinting membatin dalam hati dan tertawa sendiri.
"Orang tua... Kek.... Siapakah kau"!" tiba-tiba Joko Sableng ajukan pertanyaan
seraya bangkit duduk.
Sepasang matanya tak berkedip
memperhatikan raut wajah Pendeta


Joko Sableng 1 Pesanggrahan Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sinting. Lalu berpaling ke samping.
Ketika melihat Malaikat Lembah Hijau, Joko sedikit terkejut dan langsung
menyapa. "Kek...."
Malaikat Lembah Hijau tersenyum
seraya anggukkan kepalanya.
"Bocah. Siapa namamu"!" Pendeta Sinting balik ajukan tanya.
"Joko. Tapi teman-teman biasa memanggilku Joko Sableng," jawab Joko sambii
berpaling lagi pada Pendeta Sinting.
Mendengar ucapan Joko, Pendeta
Sinting tertawa ngakak.
"Sinting bertemu sableng.... Ha....
Ha.... Ha...! Mana yang lebih geger dari hal ini"! Bagaimana menurutmu, Bandung
Bandawangsa"!"
Bandung Bandawangsa alias Malaikat Lembah Hijau menjawab dengan senyum.
"Kek...," ujar Joko sambil berpaling pada Malaikat Lembah Hijau.
"Bukankah kita tadi, atau kemarin jatuh dan masuk ke dalam jurang?"
Malaikat Lembah Hijau anggukkan
kepalanya. Memandang lama pada Joko, lalu berkata pelan.
"Benar, Nak! Tapi kita diselamatkan oleh kakek ini! Dia adalah tokoh rimba
persilatan yang digelari orang Pendeta Sinting. Kau harus berterima kasih
padanya." Mungkin karena terkesima dengan
ucapan Malaikat Lembah Hijau untuk beberapa, lama Joko terdiam kaku. Hanya
sepasang matanya yang memandang tajam memperhatikan pada Pendeta Sinting.
"Pendeta Sinting..." Jadi.... Apa yang pernah diceritakan Paman padaku itu benar
adanya...!" gumam Joko lirih.
"Cerita" Cerita apa"!" sahut Malaikat Lembah Hijau.
"Paman sering cerita, bahwa pada puluhan tahun yang silam, hidup seorang tokoh
sakti yang berbudi luhur namun juga seperti...," Joko tak meneruskan ucapannya.
Matanya meneliti pakaian juga wajah Pendeta Sinting.
Pendeta Sinting tertawa mengekeh.
"Hai.... Kenapa kau putuskan ucapanmu"
Teruskan! Ayo katakan apa lanjutan ucapanmu!"
Joko tersedak. Dia rupanya sadar bahwa dia keceplosan omong. Hingga meski
Pendeta Sinting memerintah untuk
melanjutkan ucapannya, Joko masih diam.
"Bocah! Kau dengar kata-kataku.
Teruskan ucapanmu!"
"Paman bilang kadang-kadang seperti orang tak waras...," ujar Joko dengan suara
dipelankan. Malaikat Lembah Hijau menghela
napas panjang. Namun dia maklum, anak sekecil Joko masih belum bisa mengerti
perasaan orang. Namun sebaliknya Pendeta Sinting bukannya marah mendengar ucapan
Joko. Orang tua ini malah tertawa terbahak-bahak. Membuat Malaikat Lembah Hijau
menggeleng tak habis pikir. Joko pun yang tadinya agak takut-takut meneruskan
ucapannya jadi tersenyum dan garuk-garuk kepala.
Tiba-tiba sepasang mata kelabu
Pendeta Sinting membeliak besar. Tawanya putus mendadak seakan direnggut setan.
Membuat Malaikat Lembah Hijau kerutkan dahi. Sementara Joko hentikan tangannya
yang menggaruk. Tangan itu tetap di kepalanya. Diam tak bergerak-gerak.
Kedua orang ini menunggu dengan dada berdebar. Malaikat Lembah Hijau khawatir
jika Pendeta Sinting marah dibilang seperti orang tak waras oleh Joko.
"Celaka. Jangan-jangan orang tua ini tersinggung. Menghadapi orang tua begini
memang susah-susah gampang...."
"Pendeta...," kata Malaikat Lembah Hijau akan memintakan maaf jika ucapan Joko
tadi memang menyinggung
perasaannya. Namun sebelum Malaikat Lembah Hijau meneruskan ucapannya, Pendeta
Sinting angkat tangannya memberi isyarat padanya untuk tidak teruskan ucapan,
membuat Malaikat Lembah Hijau memandang lekat-lekat pada orang tua di
hadapannya. Saat itulah Malaikat Lembah Hijau baru tahu jika sepasang mata orang
tua itu menatap bukan pada wajah Joko, melainkan pada telapak tangan kirinya
yang diam di atas kepalanya. Dan
serta-merta sepasang mata Malaikat Lembah Hijau ikut-ikutan membelalak.
Malah mungkin merasa kurang yakin, dia condongkan tubuhnya ke depan, membuka
lebar-lebar sepasang matanya. Dan lukisan itu memang benar-benar terlihat meski
samar-samar. Melihat dirinya
dipandangi oleh dua orang tua di hadapannya demikian rupa, membuat Joko Sableng
salah tingkah. Buru-buru anak ini turunkan tangannya, lalu menunduk.
"Bandung Bandawangsa. Kau
melihatnya bukan"!" tiba-tiba Pendeta Sinting ajukan pertanyaan.
"Benar, Pendeta. Aku melihatnya!"
jawab Malaikat Lembah Hijau seraya menatap sekujur tubuh Joko.
Sebenarnya kedua orang tua itu
secara tak sengaja telah dapat melihat sebuah lukisan bergambar seorang tua
bersorban pada telapak tangan kiri Joko sewaktu anak itu menggaruk kepalanya.
"Joko. Siapa orangtuamu"!" Pendeta Sinting angkat bicara setelah agak lama
terdiam. Joko angkat kepalanya. Memandang
sejenak pada Pendeta Sinting lalu pada Malaikat Lembah Hijau.
"Aku tak tahu. Karena keduanya telah meninggal saat aku masih kecil. Aku hidup
bersama Paman, adik ayahku...."
"Apakah kau masih ingin kembali pulang"!"
Joko Sableng diam sesaat. Anak ini terlihat ragu-ragu. Sebenarnya dalam hatinya
sangat gembira dan hampir tak percaya jika dia dapat bertemu dengan orang yang
selama ini hanya didengarnya lewat cerita-cerita pamannya. Keinginan hatinya
yang besar untuk belajar silat muncul. Namun di lain pihak dia khawatir dengan
pamannya. Karena kepergiannya tanpa pamit terlebih dahulu.
"Joko. Kalau kau ingin di sini bersamaku, aku senang sekali! Soal kepergianmu,
biarlah nanti Bandung Bandawangsa yang mengatakan pada
pamanmu!" kata Pendeta Sinting.
"Hmm.... Rupanya pendeta ini ingin mengambil anak ini sebagai murid! Ah, sungguh
sangat beruntung anak ini...,"
batin Malaikat Lembah Hijau begitu mendengar ucapan Pendeta Sinting.
Laki-laki berpakaian selempang resi ini anggukkan kepalanya dan berkata.
"Benar, Joko. Masalah dengan pamanmu, biar nanti aku yang
menceritakannya. Kurasa dia tak akan keberatan."
"Apakah.... Apakah kalau aku di sini Eyang mau mengajari ilmu silat"!" tanya
Joko sambil arahkan pandangannya pada tempat sekitarnya.
Pendeta Sinting tertawa mengekeh.
"Masalah ini belum bisa kuputuskan. Kita lihat saja nanti! Kalau kau kuat dan
berbakat, hal ini tak akan sulit."
"Aku kuat, Eyang!" sahut Joko cepat, membuat Malaikat Lembah Hijau dan Pendeta
Sinting tertawa berbarengan.
"Dan aku mau tinggal di sini asalkan Eyang mau mengajariku ilmu silat!"
"Baiklah. Itu urusan nanti. Yang penting kau mau tinggal di sini
menemaniku!" ujar Pendeta Sinting.
Saat itulah tiba-tiba Malaikat
Lembah Hijau mengerang. Wajahnya
mendadak pucat pasi. Tubuhnya gemetar dengan bahu berguncang.
"Punggungku...," hanya itu ucapan yang terlontar dari mulutnya. Bersamaan dengan
itu laki-laki ini terhumbalang jatuh menelentang.
"Edan! Kenapa lagi orang ini"
Punggung..." Sialan. Jangan-jangan punggungnya cidera. Bodohnya aku, kenapa tadi
punggungnya tak kuperiksa"!" gumam Pendeta Sinting, lalu buru-buru
mendekat. Dengan cepat tangannya
bergerak membalikkan tubuh Malaikat Lembah Hijau. Sementara Joko hanya memandang
tak tahu apa yang harus diperbuat.
Pendeta Sinting cepat memeriksa
punggung Malaikat Lembah Hijau. Mungkin karena terhalang pakaiannya, orang tua
ini segera menyibakkan pakaian Malaikat Lembah Hijau.
Begitu punggung Malaikat Lembah
Hijau tersingkap, Pendeta Sinting terkesiap kaget. Dia tersentak...
*** 8 DI punggung Malaikat Lembah Hijau, Pendeta Sinting melihat guratan tulisan!
Untuk beberapa lama kakek ini diam tak bergerak dengan mata memandang tak
berkedip. Sementara Joko Sableng sendiri ikut-ikutan memandang ke arah punggung
Malaikat Lembah Hijau. Entah karena masih tak mengerti, wajah anak ini tak
menunjukkan rasa terkejut. Malah
sebaliknya tersenyum seraya memasukkan jari keiingkingnya ke lubang telinganya
hingga dia menggelinjang dan meringis.
Setelah dapat mengatasi
ketersimaannya, Pendeta Sinting
condongkan tubuhnya ke depan. Lalu membaca tulisan itu.
Pedang Tumpul 131. Pesanggrahan Keramat. Puncak Bukit Sono Keling. Bulan
Kaki Tiga Menjangan 24 Pengelana Rimba Persilatan Jiang Hu Lie Ren Karya Huang Yi Rajawali Emas 14

Cari Blog Ini