Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa Bagian 2
lebih suka sang guru mengganggapnya benar-benar sudah mati. Masih
seperti tergiang di telinganya ucapan Kunti Kendil sebelum dia digantung:
"Aku memungutmu dari comberan di liang kubur. Bukan untuk memberi
pelajaran dusta dan membalas air susu dengan air tuba!" Mengingat katakata sang guru apakah masih ada guna baginya untuk menemui nenek itu"
Mahesa tidak mengetahui kalau sang guru telah menyadari bahwa bukan
dialah yang mencelakai Lembu Surah.
"Sahabat-sahabat," kata Mahesa pada tujuh orang katai. "Aku harus
pergi. Sebelum pergi apakah ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk
kalian. Sekedar sedikit membalas budi hingga hutangku tidak terlalu
berat...?"
Tujuh orang katai itu saling pandang sesaat. Lalu si hijau membuka
mulut: "Karena kau yang berkata lebih dulu, maka kamipun tak sungkan
untuk mengutarakan sesuatu. Tapi apa yang kami minta ini bukan kami
anggap sebagai satu keharusan bagimu untuk melakukannya. Apalagi
kalau kau menganggap sebagai balas budi segala...."
"Katakanlah, apa yang bisa kulakukan."
"Setahun lalu kami kehilangan sebuah kitab. Kitab pelajaran ilmu silat.
Kitab itu bernama Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang Katai. Merupakan ilmu
silat yang sangat langka dan tidak ada duanya di dunia persilatan..."
Mahesa kaget. Dia cabut rokok kawungnya. "Jadi kalian ini memiliki
kepandaian silat" Pasti silat yang sangat aneh...!"
"Ah, manusia-manusia pendek seperti kami ini punya kemampuan
apa...!" ujar si coklat merendah.
"Aku tidak percaya. Kalian harus memperlihatkan kehebatan kalian
padaku!" Tak satupun orang katai itu bergerak atau menjawab.
"Bukankah kita bersahabat!"
"Apapun ilmu silat atau kepandaian yang kami miliki, bukanlah untuk
dipamerkan..." jawab si hijau.
Diam-diam Mahesa mengerahkan tenaga dalamnya. Kesehatannya
sudah pulih sempurna. Karenanya dia kini dapat mengumpulkan lebih dari
seprti tenaga dalamnya di tangan kanan dan dia siap untuk melepaskan
pukulan Api Geledek Menggusur Makam. Namun sebelum tangannya di
gerakkan untuk memukul, si baju hitam tampak tersenyum dan berkata:
"Ternyata kau benar-benar sudah sembuh. Mengapa tidak melipat
gandakan tenaga dalammu...?"
Mahesa kaget. "Bagaimana anak setan ini mengetahui aku mengerahkan
tenaga dalam!" katanya dalam hati.
Dari samping kiri terdengar si merah berkata: "Sahabat apakah kau
tidak tahu ada sepotong ranting kecil menyusup di pinggang
pakaianmu...?"
Ketika Mahesa memperhatikan pinggang pakaiannya sebelah kiri,
astaga! Sepotong ranting kering telah merobek pakaiannnya. Ranting itu
masih menancap di sana sampai dia kemudian mencabutnya. "Gila!
Bagaimana mereka menusuk pakaianku tanpa aku melihat ataupun
merasa"! Jika mereka musuhku dan menusukkan dengan pisau berarti
ususku sudah membusai!"
"Mahesa, kami tidak punya ilmu apa-apa," kata si merah. "Yang tadi
kami perlihatkan padamu hanya ilmu sulap kampungan." Tetapi Mahesa
kini sudah yakin bahwa tujuh manusia katai ini benar-benar memiliki
kepandaian luar biasa. Dan mereka berjumlah tujuh orang. Bukan mustahil
dunia persilatan ada dalam tangan mereka!
"Hai, tadi kalian bicara tentang kitab silat. Cerita kalian teputus.
Lanjutankanlah..." kata Mahesa akhirnya.
"Entah bagaimana kitab itu lenyap setahun lalu. Kami menyelidik
kemudian kami ketahui kitab itu ada pada seorang tokoh silat bergelar
Pendekar Muka Tengkorak..."
"Pendekar Muka Tengkorak!" Mahesa melengak kaget. "Orang itu
mencuri kitab kalian..." Tidak mungkin. Mustahil!"
"Bagaimana kau bisa mengatakan tidak mungkin. Mustahil"!" Tanya si
baju merah. "Aku kenal baik dengan orang tua itu. Dia bukan pendekar bangsa
pencuri. Dia pernah menyelamatkanku beberapa kali. Memang... aku
pernah mendengar dia menyebut-nyebut kitab silat. Tapi aku yakin dia
tidak mengambilnya dari kalian..."
"Kami juga menduga demikian," jawab si hitam. "Hanya saja ketika
kami ketahui bahwa kitab itu ada padanya, dia lenyap beberapa lama, tak
bisa kami ketemukan. Ketika dia muncul lagi kami ketahui kitab itu tak
ada padanya. Kami kawatir ada yang telah mencurinya. Kami lihat
pendekar tua itu patah salah satu tangannya. Mungkin akibat perkelahian
dengan pencuri kitab..."
Mahesa ingat penuturan Pendekar Muka Tengkorak sewaktu di puncak
gunung Bromo. Lalu diapun menceritakan. Mendengar keterangan Mahesa
itu maka si baju merahpun berkata: "jadi dukun jahat bernama Embah
Bromo Tunggal itulah yang telah merampas kitab kami dari tangan
Pendekar Muka Tengkorak. Berarti dia yang harus dicari. Sahabat Mahesa,
maukah kau sedikit mencapaikan diri dan membuang waktu untuk mencari
dukun keparat itu" Mendapatkan kitab silat itu kembali dan
menyerahkannya pada kami...?"
"Tidak kalian mintapun aku akan melakukannya!" sahut Mahesa. "Dosa
dan kebejatan dukun itu sudah selangit tembus. Dia juga yang mencuri
Keris Naga Biru, dia pula yang menyebabkan ayah menjadi gila dan
membunuh ibu..."
"Kami sudah tahu semua riwayatmu. Tak usah diceritakan lagi..." kata
si katai baju putih.
Lagi-lagi Mahesa dibikin kaget.
"Bagaimana kalian bisa tahu...?" tanyanya heran.
Si merah tertawa. "Kami bertujuh punya empat belas telinga empat
belas mata. Masakan buta akan apa yang terjadi dalam dunia
persilatan..."!"
Mahesa hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar jawaban itu. Dia
berdiri. "Kalau kitab itu berhasil kudapatkan di mana aku akan menemui
kalian?" "Kami yang akan dating mengambilnya," jawab si biru.
"Kalau begitu, aku akan pergi sekarang." Mahesa lalu memeluk satu
demi satu ketujuh manusia katai itu.
**** Bagaimanapun setia dan hormatnya Mahesa terhadap gurunya yaitu
nenek bernama Kunti Kendil itu, namun dengan adanya kejadian luar biasa
yang dialaminya, mau tak mau kini ada perasaan lain di lubuk hati pemuda
ini. Perasaan itu bukan satu perasaan membenci atau mendendam terhadap
sang guru. Sebaliknya justru perasaan membenci pada dirinya sendiri.
Mengapa dia dilahirkan ke dunia ini kalau kemudiannya hanya akan
menyusahkan orang lain. Kalau kemudian dirinya diperlakukan sangat
kejam dan hina, di perlakukan seperti sampah. Malah mungkin sampah
lebih berharga, di buang ada tempatnya, dirinya kemudian bisa dan mudah
saja dijadikan umpan gantungan. Digantung di atas pohon, kaki ke atas
kepala kebawah. Penjahat besarpun tidak akan digantung seperti itu.
Dirinya rupanya lebih keji dari penjahat besar!
Bagaimana hal itu bisa terjadi, Mahesa tak habis piker. Seorang guru
yang telah menyelamatkannya lalu memeliharanya selama belasan tahun,
member pelajaran ilmu silat dan pukulan sakti. Tahu-tahu kemudian
menghukumnya secara biadab seperti itu! Apalagi kalau bukan karena
dirinya memang tidak berharga dibanding sampah sekalipun!
Dalam hatinya pemuda ini mengambil keputusan untuk tidak mau lagi
bertemu dengan gurunya untuk selama-lamanya. Lalu bagaimana dengan
dua tugas utama yang harus dijalankannya" Memikir kesitu Mahesa
merasa kurang enak. Tugas kedua dia memang merasa bebas dan tak perlu
lagi melakukannya. Yakni mencari Lembu Surah alias Datuk Iblis
Penghisap Darah. Kakek itu akhirnya telah bertemu malah kawin dengan
gurunya. Tetapi bagaimana dengan tugas pertama yaitu membunuh
Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam yang adalah kakak seperguruannya
sendiri" Jangankan membunuh, malah terakhir sekali dia justru
menyelamatkan Wirapati dari serangan membokong yang dilepaskan sang
datuk. Berlari sambil membekal beban pikiran seperti itu membuat Mahesa
seolah-olah tidak sadar ke mana arah tujuannya. Ketika hari sore beranjak
malam dan udara mulai gelap didapatkannya dirinya berada di hutan
alang-alang. Dia memandang berkeliling. Di ujung sebelah selatan
dilihatnya deretan bukit memanjang dari barat ke timur yang agaknya
tertutup oleh rimba belantara itu dari pada kedinginan di tengah alangalang. Maka diapun lari menuju bebukitan.
"Aku harus menjauhi pegunungan Iyang," katanya dalam hati. "Dari
pada mencari Wirapati lebih baik aku mencari ayahku sendiri. Lalu
mencari kitab ilmu silat orang katai itu. Wirapati mungkin sudah bahagia
bersama Kemala..." mengingat gadis itu Mahesa menjadi menarik nafas
panjang. Dia lalu teringat pula pada sapu tangan putih yang dilemparkan
sang dara. Cepat-cepat dia memeriksa ke balik pakaiannya. Ternyata sapu
tangan putih itu masih ada padanya meski kini kotor lembab.
Mahesa sampai di bukit di ujung selatan. Tenggorokannya kering dan
perutnya terasa lapar. Tubuhnya sangat letih, tetapi keletihan beban pikiran
lebih dari pada keletihan aurat tubuhnya. Pemuda ini naik ke atas pohon,
tetap ketika tiba-tiba diantara kelaeatan semak belukar dia melihat dua titik
menyala. Ketika diperhatikan ternyata sepasang mata seekor harimau
besar. Rupanya binatang ini tadi tempat persembunyiannya. Melihat
mangsanya berada di atas pohon yang tak mungkin lagi dijangkau raja
hutan itu menggerang dan menggaruk-garukkan kaki depannya ke batang
pohon. "Anak setan!" maki Mahesa. "Kau inginkan dagingku. Ini kuberikan air
hangat sedap untukmu!" dari atas pohon Mahesa lorotan celananya ke
bawah dan sssrrr... Air kencingnya memancur jatuh tepat ke kepala
harimau. Binatang ini mengaum keras, goyangkan kepalanya lalu lari dari
tempat itu. Mahesa tertawa lebar. Setelah kucak-kucak matanya pemuda
ini segera tertidur. Namun tak selang berapa lama dia terbangun ketika
sepasang telinganya menangkap adanya gerakan-gerakan sosok tubuh
manusia di bawah pohon.
5 SURAT MAUT DI MALAM BUTA
KARENA MALAM gelap sekali Mahesa tidak dapat melihat jelas
orang-orang itu, apalagi wajah mereka nasing-masing. Namun setelah
mereka membuat perapian kecil, di bawah nyala api yang cukup terang
Mahesa memperhatikan orang-orang itu.
Mereka berjumlah lima orang. Yang pertama seorang berpakaian
perwira muda, berbadan tidak tinggi tapi memiliki otot-otot menonjol luar
biasa. Orang kedua adalah seorang kakek berpakaian hitam. Rambutnya
putih awut-awutan, mengingatkan Mahesa pada rambut gurunya Kunti
Kendil. Kakek ini memiliki wajah cekung dan rongga mata sangat dalam
hingga tampangnya seperti mayat hidup. Lelaki ke tiga berusia sekitar 40
tahun, bertampang keren berpakaian rapi. Pada pinggangnya terselip
sebatang tongkat rotan yang ujungnya berkeluk. Orang ke empat dan ke
lima berwajah hampir sama karena keduanya memang kembar dan
mengenakan pakaian serta ikat kepala serba merah. Sepasang mata
merekapun tampak merah aneh.
"Hampir satu bulan kita mencari dan menyelidik. Kuharap saja
keterangan terakhir yang kita dapat adalah benar dan tidak menyesatkan."
Yang bicara adalah lelaki berpakaian perwira muda, berotot kuat.
Namanya Sukat Ragil. Dia seorang perwira muda dari keraton
Banyuwangi yang tengah menjalankan tugas dan menjadi pimpinan dalam
rombongan itu. Orang berpakaian merah di sebelah kanan, yakni Kembar Merah Tua
mencampakkan rokoknya ke tanah lalu berkata: "Selama ini aku dan
saudaraku hanya mendengar nama dan cerita saja dari manusia itu. Hampir
tak dapat dipercaya ada perempuan sejahat dn sekeji itu."
"Sahabatku," bicara lagi Sukat Ragil. "Kau akan segera melihat sendiri
tampang perempuan itu. Kuharap saja kau tidak akan terpikat. Dia sangat
senang pada lelaki-lelaki muda dan gagah. Seperti kawan kita Parit Teguh
ini!" Orang yang bernama Parit Teguh yaitu lelaki keren berpakaian rapi
tampak merah mukanya. "Akupun ingin sekali ,elihat perempuan itu. Apa
benar cantik luar biasa hingga banyak yang tergoda tapi akhirnya jadi
korban!" "Dia bukan hanya cantik," kata Sukat Ragil lagi. "Tubuhnya mulus
menggiurkan, berkulit putih. Serta menghambur bau harm yang membuat
lelaki bias lupa diri..."
"Diantara kita hanya kakek Tulodong Hitam yang pernah melihatnya.
Mungkin bias memberikan keterangan lebih banyak..." kata Kembar
Merah Muda. Orang yang bernama Tulodong Hitam ialah kakek berpakaian hitam itu.
"Sebenarnya aku tak mau bicara banyak malam ini. Aku punya firasat ada
yang mengintai kita saat ini..."
Karena diantara mereka berlima memang kakek ini yang memiliki
kepandaian paling tinggi maka empat orang lainnya sangat mempercayai
ucapannya. Langsung keempatnya memandang berkeliling, mengawasi
keadaan sekitar ditu dengan teliti.
"Saya mencium bau sesuatu..." kata Parit Teguh.
Di atas pohon Mahesa mendekam tak bergerak. "Apakah orang-orang
itu tahu aku ada di sini..." piker si pemuda.
Terdengar suara berkeresek. Tiba-tiba semak belukar di samping kanan
bergerak menguak dan sesosok tubuh besar kuning berbelang hitam
melompat disertai suara auman dahsyat.
"Raja hutan!" teriak Kembar Merah Tua.
Lima orang itu melompat berpencaran. Parit Teguh cabut tongkatnya.
Sepasang Kembar Merah tampak membungkuk memasang kuda-kuda.
Kakek berpakaian hitam tampak tegak dengan sikap tetap tenang
sementara Sukat Ragil menunggu dengan kedua tinju terkepal. Ototototnya nampak mengembung.
Karena terkamannya yang pertama tidak membawa hasil, harimau besar
yang beberapa saat sebelumnya juga menyerang Mahesa, kini tampak
menggereng. Ekornya bergerak-gerak. Sepasang matanya bergerak kian
kemari seolah-olah menimbang-nimbang siapa diantara kelima manusia itu
yang hendak diterkamnya. Tiba-tiba didahului suara mengaum keras, raja
hutan itu melompat kea rah Parit Teguh. Justru ini kesalahan besar yang
dibuat sang raja hutan karena Parit Teguh adalah satu-satunya orang yang
saat ini memegang senjata.
Begitu harimau besar itu menerkamnya dengan dua kaki depan
menyambar ganas. Parit Teguh menghantam dengan tongkatnya.
Kraak! Kaki kiri harimau patah. Binatang ini terhempas ke kanan, terguling ke
dekat perapian dan mengaum dahsyat tidak henti-hentinya. Dia bangun
dan siap menyerang kembali. Saat itulah Sukat Ragil melompat dari
samping. Tinju kanannya yang besar dan keras menghantam pelipis kiri
harimau itu. Untuk kedua kalinya sang raja hutan terhempas ke tanah.
Suara aumannya menggelegar dalam rimba belantara itu. Empat kakinya
mencakar-cakar ke atas. Darah tampak mengalir dan pelipisnya yang
rengkah. Tak selang berapa lama harimau ini terkulai tak bergerak lagi.
"Hebat sekali pukulan tenaga luar perwira itu," kata Mahesa yang
memperhatikan dari atas pohon.
"Sukat Ragil," kakek Tulodong Hitam berkata, "Aku harus berterima
kasih padamu yang telah memberkan bantal untuk tidur bagiku!" orang tua
ini lalu menyeret bangkai harimau itu ke dekat perapian, lalu
membaringkan tubuhnya dengan kepala diletakkan di atas tubuh harimau
sebagai bantal.
Empat orang lainnya kembali duduk mengelilingi perapian.
"Kakek Tulodong," berkata Kembar Merah Muda. "Sebelum kau tidur
apa tidak hendak menerangkan dulu tentang perempuan yang tengah kita
buru itu?"
"Apa yang akan kuceritakan," jawab si orang tua tanpa berubah
berbaringnya. "Aku hanya melihatnya satu kali. Itupun tak lama. Waktu
Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu sebelum dia membunuh Tudung Maut. Tubuhnya semampai. Berkulit
puith. Aku yang sudah tua ini harus mengakui belum pernah melihat
perempuan bertubuh sebagus dan semulus itu. Parasnya memang cantik
walau dandannya agak seronok. Dia selalu muncul dengan pakaian merah
tipis hingga bagian-bagian tubuhnya yang terlarang terkadang jelas
kelihatan. Di balik semua kemulusan dan kecantikan itu tersembunyi ilmu
kepandaian yang luar biasa. Sejauh ini tak satu orangpun sanggup
menjatuhkannya. Sebaliknya banyak korban menemui ajal ditangannya.
Kita harus brhati-hati jika menemui dan menghadapinya..."
"Kita berlima dia sendirian, masakan tidak sanggup meringkusnya?"
ujar Sukat Ragil. Sebagai pimpinan rombongan yang menerima tugas dari
keratin Banyuwangi, dia tanggung jawab penuh akan keberhasilan tugas
itu. Tulodong Hitam tidak mau menjawab langsung kata-kata Sukat Ragil
tadi. Dia berkata memberi ingat: "Perempuan itu bukan saja berilmu
tinggi, tetapi juga licik sekali. Ada satu hal yang harus kalian ingat baikbaik. Dia memiliki kepandaian meneber bau harum luar biasa. Sekali
seseorang mencium bau itu, tubuhnya akan lemas, jatuh tak mampu
bergerak lagi. Saat itulah biasanya dia menghabisi lawannya. Karenanya
jika bertempur nanti kalian harus selalu menjaga jalan pernafasan. Jangan
sampai mencium bau harum yang ditebarkannya!"
"Turut keterangan yang kita dapat, perempuan itu akan berada di sekitar
daerah ini besok. Satu-satunya desa terdekat adalah Bangsalsari. Kita
sudah memutuskan untuk datang ke situ karena kemungkinan paling besar
dia akan muncul di Bangsalsari. Rencana ini tidak berubah atau ada
gagasan lain?"
Tak ada menjawab.
"Jadi rencana tetap seperti semula," kata Sukat Ragil menutup
pembicaraan. Lalu dia mencari tempat yang baik untuk memberingkan
tubuh. Namun sebelum sempat memberingkan mata perwira ini tiba-tiba
melompat, disusul Tulodong Hitam di sebelah kiri. Keduanya sama-sama
melihat sesosok bayangan bergerak dalam kegelapan. Sebelum sempat
mengejar bayangan itu telah lanyap. Ketika keduanya melangkah kembali
ke perapian, di situ Kembar Merah Muda tampak tengah memungut
sehelai kertas yang melayang jauth dekat perapian. Empat orang lainnya
segera mengelilinginya. Di atas kertas merah ternyata ada sederet tulisan,
yang justru ditulis oleh orang yang tengah mereka buru.
Aku tahu kalian telah lama mencariku
Sayang malam ini tak punya waktu menemui kalian
Tapi besok akan berjumpa juga
Ratumu menunggu dengan tangan dan paha terbuka
Apakah kalian membekal nyawa cadangan"
"Keparat! Perempuan busuk!" maki Sukat Ragil.
"Benar-benar mesum!" desis Kembar Merah Tua.
Tulodong Hitam hanya tegak merenung sementara Parit Teguh berdiri
sambil menggigit-gigit bibir. Sesaat Kembar Merah Muda mesih
memegang kertas merah itu. Hidungnya mencium bau harum. Tidak sadar
kertas itu didekatkannya ke hidungnya.
"Jangan disium!" seru Tulodong Hitam.
Tapi terlambat.
Bau harum yang mengandung racun pada kertas sudah keburu tercium
dan masuk ke jalan pernafasan Kembar Merah Muda. Dadanya langsung
sesak, pemandangan menjadi gelap, sekujur tubuhnya bergetar goyah.
Orang ini akhirnya roboh dalam pelukan saudara tuanya. Darah keluar dari
mata, hidung dan mulutnya.
"Adikku mati!" teriak Kembar Merah Tua. Suaranya keras sekali tetapi
bergetar. Di kejauhan, entah dibagian mana dalam rimba belantara yang gelap itu
terdengar suara tertawa perempuan. Panjang menggidikkan.
Kembar Merah Tua lepaskan tubuh adiknya. Melompat untuk mengejar
ke arah datangnya suara tertawa itu. Tapi si kakek Tulodong Hitam cepat
memegang bahunya.
"jangan kejar. Berbahaya!"
"Keparat! Aku akan membunuh perempuan itu. Aku harus
membunuhnya!" kata Kembar Merah Tua dengan dua tinju terkepal.
Di atas pohon Mahesa geleng-gelengkan kepala. Sejak tadi semua yang
terjadi di bawah sana dilihat dan didengarnya dengan seksama tak satupun
yang terlewat. Tapi bagaimana dia bias tidak sempat melihat orang yang
menyelinap melemparkan surat maut itu"
"Anak setan itu pasti tinggi sekali ilmunya. Benarkah dia seorang
perempuan yang cantik" Ingin sekali aku melihatnya. Secantik Kemalakah
dia...?" 6 SI PENCURI JANTUNG TONGKAT SERATUS BAYANGAN
HUJAN lebat turun ketika mereka memasuki Bangsalsari. "Hujan
keparat!" rutuk Kembar Merah Tua. Sejak kematian adiknya yang terpaksa
dikubur pagi tadi dalam rimba belantara lelaki ini menunjukkan sikap
selalu tak sabar dan sering memaki. Semua karena dendam kesumat
terhadap orang yang telah membunuh adiknya.
Bangsalsari merupakan sebuah desa berpenduduk ramai yang terletak
jauh di selatan pegunungan Iyang. Di sini terdapat sebuah masjid besar
dengan menaranya yang tinggi menjadi kebanggaan penduduk. Setelah
mengisi perut di sebuah warung, Kembar Merah Tua, TulodongHitam,
Parit Teguh dan Sukat Ragil mengelilingi desa untuk mencari orang
buruan mereka. Tetapi sampai siang berganti sore perempuan itu tidak
mereka temukan.
"Kita harus bersabar," kata Tulodong Hitam memberi semangat
rombongannya yang kini tinggal empat orang itu. "Permpuan itu kurasa
memang tidak biasanya muncul di siang hari. Apalagi di tempat ramai
Bangsalsari ini. Kita tunggu sampai malam..."
Sukat Ragil membenarkan ucapan si kakek. "Kalau dia mau
mengirimkan surat malam tadi, hari ini bukan mustahil dia juga mengikuti
gerak-gerik kita. Lalu menanti saat yang baik untuk muncul..."
Hujan yang hampir turun sepanjang hari membuat udara malam itu
terasa dingin. Apalagi angin berhembus kencang. Sukat Ragil dan kawankawannya berada di bagian desa yang berbukit-bukit. Dalam udara
sedingin itu penduduk lebih suka mengunci diri di dalam rumah masingmasing. Keempat orang itu berlari cepat menuruni bebukitan, menuju
pusat desa yang masih ramai, yakni sepotong jalan pendek di mana
terdapat tiga buah bangunan yang masih terang. Bangunan pertama sebuah
kedai minuman. Sepi, hanya ada seorang tamu duduk menikmati secangkir
kopi. Bangunan kedua sebuah warung menjual kebutuhan sehari-hari. Juga
sepi. Bangunan terakhir adalah kedai gudek. Lagi-lagi sepi. Hanya ada
seorang tamu kelihatan asyik menyantap makanan. Namun ketika
memperhatikan tamu yang seorang itu, Sukat Ragil dan kawan-kawannya
serta merta terpaku di depan pintu. Tamu itu seorang perempuan
berpakaian serba merah duduk menyantap makanan membelakangi pintu.
"Itu dia!" desis Sukat Ragil.
"Kita masuk!" memberi isyarat Tulodong Hitam. Dia melangkah masuk
lebih dahulu. Sukat Ragil di samping belakang, menyusul Kembar Merah
Tua dan Parit Teguh.
Mendekati meja makan itu Kembar Merah Tua melompat mendahului,
langsung menggebrak meja dan menghardik.
"Perempuan iblis! Manusia mesum keparat! Kau harus bayar nyawa
adikku dengan nyawa busukmu!"
Perempuan yang tengah makan palingkan kepalanya.
Astaga! Perempuan itu ternyata seorang nenek-nenek bermuka pucat.
Kembar Merah Tua terkesiap.
Parit Teguh melengak.
Sukat Ragil mendesis: "Bukan dia...."
Tapi Tulodong Hitam tak bergerak di tempatnya. Sepasang matanya
memandang tak berkesip pada wajah tua beriput itu, lalu turun ke tubuh
dan sepasang lengannya yang tersembul dibalik pakaian. Ada hal yang
aneh disaksikannya. Dan dia segera meklum kalau keanehan itu
mengandung bahaya besar. Perempuan itu memiliki wajah tua seorang
nenek. Tapi sebaliknya sepasang lengan dan tangannya berkulit putih
mulus! Perempuan yang tengah makan bukannya tidak tahu kalau kakek
berpakaian hitam itu telah mencium keanehan pada dirinya. Maka diapun
pendengarkan suara tertawa tinggi. Sambil tertawa dia bergerak tangan
kirinya ke mukanya.
Sreet! Wajah tua berkeriput itu ternyata sebuah topeng tipis belaka. Ketika
topeng itu dibukanya, kelihatanlah wajahnya yang asli.
"Hah! Memang dia!" ujar Sukat Ragil terangah.
Parit Teguh gerakkan tangan kanan memegang tongkat rotan. Kembar
Merah Tua kembali hendak menggebrak dan memaki, tetapi perempuan
berbaju merah yang memakai mahkota kecil pada kepalanya mendahului
berkata. "Aku sudah lama menunggu di sini. Kukira kalian tidak datang!" lalu
perempuan itu berseru memanggil pelayan meminta agar menyiapkan
hidangan untuk empat orang itu.
Melihat sikap yang dibuat-buat dan sengaja menghina itu. Kembar
Merah Tua tidak dapat menahan amarahnya, kini langsung berteriak.
"Perempuan mesum! Kami datang bukan untuk bersantap! Kami kemari
untuk mengambil nyawa busukmu!'
Si baju merah tertawa panjang. Tertawa itu membuat wajahnya tambah
cantik. Barisan gigi-giginya yang putih tampak bagus dan lidahnya yang
merah basah membuat Parit Teguh tercekat.
"Kalian datang dari jauh. Pakaian kalian masih basah. Masakan tak
hendak makan dan minum lebih dulu"!"
"Tidak! Kau telah membunuh adikku malam tadi! Kau harus mampus
detik ini juga!" hardik Kembar Merah Tua. Lalu menghantam dengan
tangan kanan. Sasarannya adalah dada perempuan ini terkejut karena angin
pukulan lawan yang semula dianggap enteng ternyata terasa deras dan
menyambar dingin. Cepat-cepat dia menggerakkan kaki kiri, menendang
hingga meja terpelanting menghalangi gerakan Kembar Merah Tua.
Saking marahnya serangannya dipapasi demikian rupa, Kembar Merah
Tua tendang meja kayu itu hingga hancur berkeping-keping. Disaat yang
sama Parit Teguh dan Sukat Ragil serta Tulodong Hitam sudah
mengepung. Si baju merah bertolak pinggang, memandang berkeliling dan sambil
tersenyum dia berkata: "Bagus ... bagus. Kalian sudah terima suratku
malam tadi" Bagus! Apakah kalian sudah membawa nyawa cadangan?"
"Betina durjana! Untuk mengambil sepotong nyawa busukmu kami tak
perlu membawa nyawa rangkap!"
Yang membentak adalah Sukat Ragil.
Si baju merah berpaling ke arah perwira muda ini. Ada cahaya aneh
pada matanya. Tak pernah dia melihat lelaki yang memiliki otot sehebat
orang ini. Dia lantas tersenyum. "Sejak seminggu lalu aku mengetahui
gerak-gerik kalian. Satu hal yang aku masih buta, kalian ini siapa
sebenarnya dan mengapa menginginkan kematianku. Kenal dengan kalian
pun tidak!"
"kami rombongan dari keraton Banyuwangi," yang menjawab Sukat
Ragil. "Beberapa bulan lalu kau menculik seorang Pangeran lalu
membunuhnya!"
"Hal kedua mengapa kami menginginkan nyawamu," buka suara Parit
Teguh, "Kau juga telah membunuh sahabat kami si Tudung Maut!"
"Hal ketiga!" menimpali Kembar Merah Tua dengan mata berapi-api,
"Kau membunuh adikku!"
Si baju merah lagi-lagi tersenyum. Kali ini sambil gelengkan kepala.
"Kalian salah sangka. Biar kuberi penjelasan," katanya sambil melirik
pada Parit Teguh dan mengerling pada Sukat Ragil. "Aku tidak menculik
Pangeran itu. Dia sendiri yang mau ikut bersamaku. Karena dia tergila-gila
padaku. Ketika kusuruh pulang dia lantas putus asa dan bunuh diri!"
"Dusta!" sentak Sukat Ragil. "Mayatnya ditemui tanpa pakaian. Di
lehernya ada bekas cekikan. Aman ada orang bunuh diri mencekik dirinya
sendiri!" "Soal dia berpakaian atau tidak ketika mati mana aku tahu. Siapa yang
mencekiknya akupun awam!"
"Kami tahu kau licik dan pandai berdalih!" ujar Parit Teguh.
Kembali perempuan baju merah itu melemparkan kerling dan senyum
pada lelaki ganteng ini. "Soal sahabatmu yang bergelar si Tudung Maut
itu, bukan aku yang membunuh. Dia yang datang malam-malam buta
mengganggu ketenteraman orang dan agaknya memang minta mati. Kalau
saja aku tahu sebelumnya bahwa dia kawanmu, mungkin aku tidak
mengganggunya!" lalu perempuan ini berpaling pada Kembar Merah Tua.
"Aku juga tidak merasa membunuh adikmu itu. Salah dia sendiri. Siapa
mau-mauan mencium kertas beracun..."! Hik... hik... hik...!"
"Perempuan keparat! Riwayatmu hanya sampai malam ini!" teriak
Kembar Merah Tua lalu menyerbu, tapi gerakkannya ditahan oleh
Tulodong Hitam. Orang tua ini maju selangkah lalu berkata.
"Ratu Mesum, kami datang memang untuk menghukummu. Dosa dan
kejahatanmu sudah melebihi takaran. Jika kau mau menyerah baik-baik,
kami akan bawa kau hidup-hidup ke Banyuwangi. Tapi jika melawan
terpaksa kau bakal menemui kematian dalam warung ini!"
Si baju merah yang ternyata adalah Ratu Mesum alias Mawar tertawa
panjang. Lidahnya yang basah bergerak kian kemari.
"Orang tua macammu memang layak bicara memakai peradatan. Hanya
saja semua maksudmu tak bisa kulayani. Sayang kalian tidak membawa
nyawa cadangan. Namun aku memberi kesempatan agar kalian pergi saja
dari sini demi keselamatan diri masing-masing. Kecuali jika dua kawanmu
yang berotot hebat serta yang memegang tongkat itu mau ikut bersamaku,
aku tidak keberatan. Hik... hik... hik!"
"Iblis! Kau memang sudah saatnya mampus!" teriak Kembar Merah
Tua. Namun gerakkannya hendak menyerang lagi-lagi dicegah Tulodong
Hitam. Kakek ini berkata: "Aku tak ingin kau mati tanpa mengetahui siapa
kami ini..."
"Oh, mau perkenalkan diri" Bagus! Ada baiknya agar kalian tidak
menyesal sampai di liang kubur. Ratumu menunggu. Silakan beritahu
siapa kalian...."
"Kawanku si baju merah itu adalah orang tertua dari sepasang Kembar
Merah. Yang memegang tongkat rotan bernama Parit Teguh, bergelar
Tongkat Seratus Bayangan. Yang di sampingku Sukat Ragil, perwira
keraton Banyuwangi. Dan aku yang jelek ini Tulodong Hitam alias Si
Pencuri Jantung. Nah sudah siapkah kau untuk mati"!"
Ratu Mesum kembali perdengarkan suara tawanya yang panjang dan
tinggi. Nama sepasang Kembar Merah ataupun Sukat Ragil sang perwira
dari Banyuwangi itu tidak dikenal dan tidak mengejutkannya. Namun dia
cukup terkesiap ketika mengetahui si kakek baju hitam adalah manusia
yang menyandang gelar Si Pencuri Jantung sedang lelaki gagah berpakaian
rapi ternyata adalah Tongkat Seratus Bayangan! Dia melirik ke arah
sepasang tangan si kakek yang ternyata berkuku panjang hitam. Kukukuku jari itu telah mengorek puluhan jantung lawan yang rata-rata
berkepandaian tinggi. Sedang Tongkat Seratus Bayangan merupakan satu
nama besar menggetarkan daerah timur sejak tiga tahun belakangan ini!
Meskipun sadar menghadapi lawan-lawan tangguh namun Ratu Mesum
yang percaya pada kemampuannya tidak menjadi kecut. Dasar perempuan
hidung belang yang tidak boleh melihat lelaki gagah maka dia berkata
seenaknya. "Malam begini dingin, mengapa kita tidak ngobrol menghangatkan diri
dengan kopi atau tuak...," katanya. Lalu menyambung: "Aku bersedia
menganggap selesai perkara inisampai di sini asal saja kau yang bernama
Parit Teguh dan yang berotot hebat ini suka ikut bersamaku!"
Paras Parit Teguh jadi merah. Dia harus mengakui belum pernah
melihat perempuan secantik dan semulus manusia iblis bergelar Ratu
Mesum ini. Sebaliknya Sukat Ragil yang memikul tugas berat tak mau
menunggu lebih lama lagi. Setelah memberi isyarat pada Tulodong Hitam
Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia menyergap dari samping kiri.
Seta merta Kembar Merah Tua menerjang pula dari sebelah kanan, Parit
Teguh menusuk dengan tongkat rotannya sedang Tulodong Hitam
menyambarkan kuku-kukunya yang hitam panjang. Sesuai dengan
gelarnya yakni Si Pencuri Jantung maka setiap serangannya selalu berakhir
pada gerakan yang mengarah ke jantung lawan!
Pada gebrakan pertama itu Ratu Mesum segera mengetahui kalau empat
lawannya kali ini benar-benar berat. Dia bukan saja harus mempergunakan
kepandaian untuk menghadapi mereka, tetapi juga harus memutar akal.
Lima jurus pertama perempuan itu dibuat repot oleh gerakan tongkat
Parit Teguh. Tongkat Rotan itu seperti berubah menjadi puluhan
banyaknya. Mendesing, menyambar, menusuk, terkadang mengait ke arah
bagian badan secara tak terduga. Di samping itu sulit pula diterka mana
batang atau bayangan belaka. Beberapa kali ujung tongkat hampir
menusuk bahu atau perutnya. Beberapa kali pula ujung tongkat yang
lainnya hampir mengait lengan atau lehernya!
Sepuluh jari tangan Tulodong Hitam menggapai, mencengkeram,
mengorek tiada henti. Sementara itu pukulan, sikutan dan tendangan yang
dilepaskan Sukat Ragil datang bertubi-tubi. Ditambah pula dengan
serangan Kembar Merah Tua yang sangat nekad berbahaya karena disertai
kebencian dan dendam atas kematian adiknya. Semua itu membuat Ratu
Mesum terdesak hebat. Namun menusia berpengalaman, bermata jeli dan
panjang akal ini masih sanggup melihat titik lemah pada lawan yang
menyeroyoknya. Titik-titik lemah ini adalah Kembar Merah Tua dan si
perwira Sukat Ragil. Kalau dia bisa menghajar dua lawan ini lebih dulu,
rasanya menghadapi si kakek dan Tongkat Seratus Bayanan tidak akan
terlalu menyulitkan. Maka Ratu Mesum sambil bertahan lancarkan
serangan-serangan mematikan ke arah Kembar Merah Tua atau Sukat
Ragil. Tulodong Hitam yang menghadapi gerakan-gerakan lawan, terpaksa
membagi perhatian untuk melindungi dua kawannya yang digempur
gencar itu. Terutama Kembar Merah Tua. Lelaki ini berkelahi seperti
orang kemasukan setan. Menghamburkan pukulan dan tendangan dengan
tenaga dalam tinggi tanpa memperhatikan lagi pertahanan dirinya.
Tiba-tiba Ratu Mesum kumandangkan tawa melengking. Tubuhnya
merunduk dan berputar seperti titiran. Tangan kanannya dipukulkan ke
depan tetapi terpaksa ditarik karena ujung tongkat Parit Teguh datang
menghantam dengan deras. Tapi dengan tangan kiri lalu bertumpu pada
senjata lawan diayunkan tubuh untuk melompat ke kiri. Dan buuk!
Kaki kirinya mencium dada Kembar Merah Tua keras sekali. Lelaki ini
sampai keluarkan suara seperti muntah. Tubuhnya terlipat ke depan lalu
jatuh berlutut. Ada darah mengalir dari sela bibirnya. Tulodong Hitam
segera berteriak agar Kembar Merah Tua cepat menyingkir. Namun
terlambat. Pukulan tepi telapak tangan sang ratu menghantam lebih dulu.
Kembar Merah Tua terbanting ke lantai warung, mengerang sebentar lalu
tak berkutik lagi.
Berhasilnya Ratu Mesum membunuh salah satu lawannya tidak
didapatnya dengan mudah. Karena untuk itu dia harus menerima jotosan
keras Sukat Ragil pada bahunya sebelah kanan. Perempuan ini menggigit
bibir menahan sakit. Tulang bahunya serasa remuk. Tubuhnya terhuyung
ke kiri. Kalau dia tidak lekas menyingkir menjauhi tiga lawannya,
mungkin kepalanya sudah kena gebuk tongkat rotan di tangan Parit Teguh!
Dengan mata berkilat-kilat, memancarkan hawa pembunuhan Ratu
Mesum alirkan tenaga dalam ke tangan kiri. Begitu lawan mendatangi
maka dia hantamkan ke depan.
"Lekas menyingkir!" teriak Tulodong Hitam ketika dilihatnya sinar
merah muda berkiblat.
Wuss! Angin pukulan yang memancarkan sinar merah itu menderu lepas,
melabrak dinding warung hingga hangus dan bolong. Begitu pukulan maut
itu berhasil dielakkan, Tulodong dan Parit Teguh lekas menyerbu sebelum
lawan berkesempatan membuat gerakan baru. Kini meskipun mereka
tinggal bertiga, tetapi Tulodong Hitam mamu mengembangkan serangan
sehingga kembali Ratu Mesum terdesak. Beberapa kali perempuan ini
coba mengeluarkan ilmu simpanannya yakni membuat gerakan melompat
ke atas lalu menghamburkan hawa harum beracun tetapi selalu gagal.
Setiap dia siap melompat, ujung tongkat yang berkeluk di tangan Parit
Teguh menyambar ganas menarik bahu atau batang lehernya. Mau tak mau
Ratu Mesum terpaksa batalkan lompatannya. Tetapi dia tidak mau
menyerah begitu saja. Dia yang punya seribu akal harus mampu bertempur
mengatur jarak menjauhi lawan. Kadang-kadang dia sengaja menyerang
tempat-tempat kosong atau membuat gerakan-gerakan aneh lainnya yang
sulit diraba lawan. Tahu-tahu tubuhnya sudah berada di belakang lawan,
siap untuk menjotos, menendang atau mencengkeram. Tetapi tidak terlalu
mudah untuk dapat merobohkan tiga lawan ini. Mempercepat gerakan
sama dengan menguras tenaga. Setelah sembilan jurus berlalu tanpa dapat
menciderai salah seorangpun dari lawannya, kembali Ratu Mesum
terdesak. Breet! Jurus ke dua puluh empat kuku jari tangan kiri Tulodong hitam
menyambar ke dada kiri Ratu Mesum. Perempuan ini terpekik. Saat itu dia
masih harus mengelakkan serangan tongkat Parit Teguh yang
mengemplang ke kepalanya. Masih untung kedudukan kedua kakinya pada
posisi yang cukup tangguh hingga dia mampu membuang diri ke belakang
dan hanya baju merahnya saja yang robek. Sebagian dadanya tersingkap.
Sesaat Parit Teguh dan Sukat Ragil terkesiap melihat dada yang putih dan
menonjol besar itu sementara si tua Tulodong Hitam kelihatan menjadi
jengah! Hal ini cepat terlihat oleh Ratu Mesum maka diapun lemparkan
jeratnya. "Malam begini dingin dan kita orang-orang tolol pada berkelahi.
Dengar, dibagian belakang warung ini ada kamar dengan tempat tidur
besar. Aku bersedia melayani kalian..."
"Perempuan busuk! Jangan dengarkan tipuan kejinya!" teriak Tulodong
Hitam memotong.
"Aku tidak menipu. Aku memang suka pada kalian. Kau yang tua jika
tak mau silakan pergi. Dua kawanmu ini pasti mau...!"
Khawatir Parit Teguh dan Sukat Ragil terpengaruh maka Tulodong
Hitam cepat kirimkan serangan. Kembali terjadi perkelahian. Ratu Mesum
menyumpah dalam hati. Sementara itu bekas pukulan Sukat Ragil pada
bahu kanannya terasa bertambah sakit.
"Diberi surga mau neraka! Bersiap-siaplah untuk mampus!" teriak Ratu
Mesum. Kembali dia melepaskan pukulan yang mengeluarkan sinar
merah. Lalu tubuhnya di putar seperti gasing. Tetapi gerakan selanjutnya
dihadang oleh tongkat di tangan Parit Teguh. Ujung tongkat yang berkeluk
menyambar batang lehernya hingga dia tak berkesempatan melompat.
"Apa boleh buat! Aku harus menebarkan hawa beracun itu tanpa
melompat!" membatin Ratu Mesum setelah melihat lawan membaca
gerakannya. Maka diapun tutup penciumannya dan singsingkan bagian
bawah pakaian merahnya.
"Awas! Jangan biarkan dia mengangkat pakaiannya!" Tulodong Hitam
berikan peringatan. Dia melompat ke atas untuk mencegah gerakan lawan
jika sekiranya Ratu Mesum memaksakan diri melompat. Sementara Parit
Teguh hantamkan tongkatnya ke arah kedua tangan Ratu Mesum guna
mencegah perempuan ini menyibakkan pakaiannya. Dalam pada itu Sukat
Ragil tidak hentinya kirimkan serangan berantai. Semua ini membuat Ratu
Mesum lagi-lagi terpaksa membatalkan gerakannya dan cari selamat dari
ketiga serangan lawan.
Menyadari dirinya tak punya kesempatan untuk menebarkan hawa
beracun sementara tenaganya mulai terkuras. Ratu Mesum keluarkan
jurus-jurus simpanannya. Gerakannya tidak secepat sebelumnya namun
penuh kekuatan serta tipuan-tipuan mematikan. Dengan cara begini tiga
jurus dimuka dia berhasil memukul roboh Sukat Ragil hingga perwira
muda ini patah tangan kirinya dan melompat keluar dari kalangan
perkelahian. Saat itulah Ratu Mesum melihat adanya kesempatan untuk
menebarkan hawa harum beracunnya. Tubuhnya berputar seperti gasing
lalu mencelat ke atas. Akan tetapi lagi-lagi serangannya di patahkan oleh
tongkat di tangan Parit Teguh. Lelaki ini lebih cepat dan berhasil
mendahului gerakan Ratu Mesum. Ujung tongkatnya yang berkeluk
berhasil menggaet batang leher lawan. Sekali sentak saja tubuh perempuan
ini tertarik keras ke depan. Disaat yang sama Tulodong Hitam sudah
menunggu dengan serangan sepuluh jari. Lima jari tangan kiri membuat
gerakan merobek ke arah dada kiri sedang lima jari tangan kanan siap
membetot isi dada itu.
Ratu Mesum menjerit. Seumur hidupnya baru sekali inilah dia menjerit
dan ketakutan seperti itu. Dia tak dapat berbuat apa-apa. Tongkat lawan
masih terus menjepit. Kali ini dia tidak sanggup menyelamatkan diri
dengan cara apapun. Maka dipusatkannya untuk berjibaku. Kalau
Tulodong Hitam berhasil membunuh dan mencopot jantungnya, maka
orang tua inipun harus mati ditangannya. Ratu Mesum pukulkan kedua
tangannya ke depan, mengarah perut dan batang tenggorokan Tulodong
Hitam. Masih belum cukup, perempuan ini juga miringkan lututnya ke
selangkangan kakek itu.
Parit Teguh kaget melihat kejadian ini. Dia yakin Tulodong Hitam
berhasil membunh perempuan ini lebih dulu, tetapi diri si kakekpun tak
akan lepas dari bahaya. Dia putar tongkatnya yang masih menggeluh di
leher Ratu Mesum. Paling tidak gerakkannya itu akan menahan lajunya
serangan perempuan itu. Justru saat itulah tiba-tiba lampu minyak dalam
warung tersebut mental dan padam dihantam sebuah benda besar.
Terdengar pekik Ratu Mesum. Keadaan dalam warung menjadi galap
gulita. Tulodong Hitam mendadak merasakan ada angin yang menyambar
dari samping. Tubuhnya terdorong keras dan jatuh terpelanting. Dilain
pihak Parit Teguh merasakan ngiku pada tengkuknya. Setelah itu tubuhnya
kaku tak bisa digerakkan lagi. Seseorang telah menotoknya dalam gelap.
"Bangsat! Siapa yang berani membokong!" teriak Parit Teguh.
Tulodong Hitam menghambur ke pintu. Maksudnya untuk mencegah
jalan keluar hingga siapapun yang tadi masuk bisa dihadang dan
dihantamkan di situ. Tetapi dia kecele. Sesosok bayangan putih berkelebat
sangat cepat lewat jendela samping warung. Orang ini memanggul sesosok
tubuh berpakaian merah. Seseorang telah menyelamatkan dan melarikan
Ratu Mesum. 7 SIPENOLONG TERNYATA.....
RATU MESUM ingin sekali melihat wajah orang yang menolong dan
melarikannya. Namun malam begitu gelap. Di samping itu lehernya masih
terasa sakit dan kaku akibat tarikan keras tongkat Parit Teguh. Sedang luka
dibagian dada akibat cengkeraman kuku-kuku jari Tulodong Hitam masih
mengeluarkan darah dan sakitnya bukan alang kepalang seolah-olah
jantungnya benar-benar sudah dicopot kakek lihay itu! Sekujur tubuhnya
terasa lemas, akhirnya perempuan ini jatuh pingsan di atas bahu
penolongnya. Sawah itu luas sekali. Sejak panen dua minggu lalu keadaannya kini
tampak gundul dan tak seorang petanipun tampak ketika orang yang
menolong Ratu Mesum sampai di situ. Dia membaringkan tubuh
perempuan itu di atas sebuah dangau bamboo dan memeriksa luka
dibagian dada. Si penolong geleng-gelengkan kepala. Ada dua hal yang
membuat dia begitu. Pertama melihat luka di tubuh perempuan itu yang
berupa empat guratan cukup dalam. Jika luka itu masuk lebih dalam lagi
tidak mustahil akan merobek daging sampai ke tulang iga. Bahkan
jantungnya. Hal kedua ialah payudara yang putih besar dan keras serta
bagian laindari tubuh yang begitu mulus hamper tidak tertutup saking
tipisnya baju merah yang dikenakan.
Setelah menetapkan beberapa totokan darah mudanya yang tergoncang,
lelaki itu melakukan beberapa kekuatan baru pada tubuh yang tampak
lemah itu, si penolong salurkan tenaga dalamnya yang hangat lewat
telapak tangan yang ditempatkan ke bagian perut dan punggung Ratu
Mesum. Ketika matahari pagi mulai naik, kabut lenyap, pemandangan di
persawahan itu bagus sekali. Dan sang ratu tampak menggerak-gerakkan
kedua matanya. Sepasang mata itu kemudian terbuka. Yang pertama
dilihatnya adalah atap dangau di mana dia berada, lalu sosok tubuh
seorang yang duduk memunggunginya, orang ini mengenakan pakaian dan
ikat kepala putih. Rambutnya hitam tebal dan gondrong. Ada asap
kelihatan. Agaknya orang itu tengah merokok. Ratu Mesum dapatkan
kepalanya agak pening tetapi tubuhnya yang semalam sangat lemas kini
terasa sehat dan kuat kembali. Aneh, tentu ada seseorang yang
menolongnya dengan obat atau entah dengan apa. Hanya ada rasa perih
pada bagian dadanya sebelah kiri. Perlahan-lahan Ratu Mesum bangkit dan
duduk lalu menyapa.
"Hai...! Hai...! Apakah kau yang menolongku tadi malam...?"
Orang yang disapa memutar kepalanya.
"Aih.... Wajahnya gagah sekali. Tapi sedikit kebodohan-bodohan
seperti anak-anak..." kata Ratu Mesum dalam hati begitu melihat wajah
lelaki itu. Yang disapa tersenyum sedikit mengangguk.
"Kau masih belum sembuh benar. Labih baik berbaring terus..."
"Berbaring malah membuatku jadi lemas..." Ratu Mesum ingat pada
rasa peri di dadanya. Ketika diperiksa perempuan ini mengeluarkan
keluhan kecil. Darah telah berhenti mengucur tapi luka itu pasti lama baru
bias sembuh. Tiba-tiba perempuan ini menyingkapkan pakaiannya sebelah
bawah. Lelaki itu jelas dapat melihat sepasang kaki sampai kepaha bahkan
sebagian pinggul yang putih mulus, membuat kedua matanya tak mau
berkedip. Dari balik pakaiannya perempuan itu mengeluarkan sehelai
lipatan kertas kecil. Ketika lipatan kertas dibuka tampak sejenis bubuk
putih. Bubuk ini kemudian ditebarkannya di atas lukanya. Aneh, luka yang
tadi membuka itu kini kelihatan menutup. Ratu Mesum tampak lega.
"Makan ini..." Si gondrong berambut hitam mengeluarkan sebuah
benda hijau bulat sebesar kelereng.
"Apa ini. Tahi kambing...?" Tanya Ratu Mesum.
Lelaki itu tersenyum tapi dalam hati menyumpah. "Ini obat. Bukan tahi
kambing. Apa kau suka makan tahi kambing?"
Ratu Mesum tertawa cekikikan.
"Obat untuk apa...?"
"Agar lukamu cepat sembuh dan kesehatanmu pulih kembali."
"Apa kau pernah makan obat ini. Dari siapa kau dapat....?"
"Aku pernah makan. Dari siapa aku dapat kau tak usah tahu. Bukankah
kau ingin lekas sembuh...?"
"Kau telah menolongku. Jadi aku harus percaya padamu!" perempuan
itu mengambil obat tersebut, langsung menelannya. Setelah pejamkan
mata beberapa saat dia kemudian berkata: "Hai, obat mujarab sekali.
Pening dikepalaku lenyap. Tubuhku terasa ringan. Masih ada obatnya...?"
"Cukup sekali saja. Terlalu banyak malah bisa jadi penyakit."
Ratu Mesum manggut-manggut. "Kau telah menolongku. Siapa
namamu orang gagah...?" Ratu Mesum menggeser duduknya lebih dekat.
"Mahesa..."
Ratu Mesum mengangguk lagi. "Mengapa kau menolongku?"
Sesaat si penolong yang bukan lain Mahesa adanya tak bisa menjawab.
"Karena kau terpikat oleh kecantikanku...?" ujar Ratu Mesum.
"Anak setan ini enak saja bicaranya!" maki Mahesa dalam hati. "Kau
memang cantik. Luar biasa. Tak pernah aku melihat perempuan
secantikmu. Malah mungkin kau akan jauh lebih cantik jika tidak
berdandan seronok...?"
Ratu Mesum tertawa. "Begitu..." Karena kau yang berkata aku akan
menuruti nasihatmu."
"Nasihat apa?"
"Aku akan dandan wajar-wajar saja. Begitu maumu bukan?"
"Terserah padamu," sahut Mahesa.
"Hai, kau belum menerangkan mengapa kau menolongku!"
"Yang pasti bukan karena kecantikanmu semata," jawab Mahesa. "Aku
tidak suka melihat ketidak adilan. Seorang dikeroyok lawan. Apalagi
perempuan sepertimu. Mana pantas. Dan saat itu kulihat keselamatanmu
Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terancam. Kakek berpakaian hitam itu benar-benar hampir mencuri
jantungmu!"
"Aku bersumpah untuk membunuhnya jika bertemu. Juga lelaki keren
bersenjata tongkat itu!" kata Ratu Mesum pula.
"Malam tadi, waktu kau melempar surat merah, aku ada ditempat itu.
Aku dengar semua pembicaraan mereka. Itu sebabnya aku menguntit
gerak-gerik mereka sampai di Bangsalsari. Sebenarnya mengapa mereka
ingin membunuhmu...?"
"Jika kau ada di tempat mereka berkemah, pasti kau dengar semua
pembicaraan mereka. Jadi sudah tahu mengapa mereka ingin
membunuhku!"
Mahesa menggeleng. "Tak banyak yang mereka bicarakan tentang kau."
"Apa saja?" Tanya Ratu Mesum ingin tahu.
"Bahwa kau seorang perempuan cantik. Lalu banyak lelaki yang
terpikat. Juga keliahayanmu menebar hawa harum yang mengandung
maut..." "Nah, kau sudah tahu semua..."
"Belum. Satu diantaranya mengapa mereka ingin membunhmu."
Kalau orang lain yang bicara seperti memaksa itu seperti Ratu Mesum
mungkin sudah naik darah dan menyerang. Tetapi terhadap pemuda ini
sang ratu justru tertawa dan berkata: "Panjang ceritanya. Kelak kau akan
tahu juga."
"Aku tak mengerti mengapa mereka memanggilmu dengan nama Ratu
Mesum. Apakah kau benar-benar seorang ratu...?"
Perempuan itu tertawa. "Seorang yang benci pada kita, bisa saja
memberi gelar atau julukan jelek seribu macam. Dengar, aku ingin kau
menolongku tidak kepalang tanggung..."
"Apa maksudmu?" tanya Mahesa lalu menyalakan sebatang rook
kawung. "Perutku lapar. Aku juga haus. Maukah kau mencarikan air dan
makanan untukku?"
Sebenarnya Ratu Mesum saat itu tidak lapar ataupun haus. Sejak
melihat wajah Mahesa perempuan ini langsung tertarik. Dia hanya ingin
mengetahui apakah pemuda itu juga tertarik padanya. Karena dia sengaja
memancing minta tolong.
Mahesa tak menjawab. Dimana pula bisa mendapatkan air dan makanan
pagi-pagi begini" Dia memandang berkeliling. Jauh diujung pesawahan
sebelah timur tampak sederatan rumah penduduk.
"Aku akan mencoba ke sana!" kata Mahesa menunjuk ke timur.
"Jangan salahkan kalau aku Cuma bisa mendapatkan sejumput nasi basi
tanpa ikan dan sekaleng air!"
Ratu Mesum tersenyum. Ternyata pemuda itu mau menolongnya.
Mungkin diapun suka padany.
"Kau tunggu di sini. Jangan ke mana-mana," kata Mahesa.
"Tinggalkan dulu rokokmu itu. Ingin tahu bagaimana rasanya
merokok..."
Terpaksa Mahesa serahkan rokok kawungnya pada Ratu Mesum.
Perempuan ini langsung menghisapnya dalam-dalam. "Hai... enak juga..."
katanya. Hanya sesaat setelah Mahesa meninggalkan dangau di persawahan itu,
sesosok tubuh berkelebat. Ratu Mesum cepat berpaling dan dia jadi
terkejut melihat siapa yang muncul sendirian. Hatinya lega kalau terjadi
apa-apa masakan satu lawan satu dia tak bakal menang.
"Kutemui kau di sini!" orang yang dating buka suara sambil
melintangkan tongkay rotannya di depan dada. "Siapa orang yang
menolongmu itu?"
"Apa perdulimu!" sahut Ratu Mesum. Untuk memastikan bahwa lelaki
itu benar-benar dating sendirian dia bertanya: "Mana kawanmu kakek
jelek baju hitam itu....?"
"Dia mengejar ke jurusan lain. Aku kemari. Aku beruntung ternyata
berhasil menemuimu di sini..."
"Kau tidak beruntung orang gagah. Kau akan mati di tempat ini!"
Lelaki itu tertawa lalu sisipkan tongkatnya ke pinggang.
8 BERGANTI PAKAIAN BERGANTI NAMA
PARIT TEGUH naik ke atas dangau dan duduk dekat-dekat Ratu
Mesum. "Dengar," katanya hampir berbisik seolah-olah takut ada yang akan
mendengar. "Aku akan menganggap urusan kita selesai jika kau mau ikut
dan tinggal bersamaku di pantai selatan Banyuwangi..."
"Hemmm.... Lelaki ini terpikat padaku. Dia akan membayar mahal..."
kata Ratu Mesum dalam hati.
Orang yang dating ke dangau itu memang adalah Parit Teguh alias
Tongkat Seratus Bayangan Hitam berunding. Diputuskan bahwa si kakek
akan mengejar kea rah timur sedang Parit Teguh kea rah barat. Sebenarnya
lelaki ini sudha melihat arah mana Ratu Mesum dilarikan. Karena itu dia
memilih arah barat karena dia memang dia berharap dapat menemui
perempuan yang sangat memikat hatinya itu meskipun dia baru saja kawin
setahun lalu dengan seorang gadis yang berparas cantik tapi berkulit hitam
manis. Ratu Mesum tertawa sambil rundukkan kepala hampir menyentuh
wajah Parit Teguh. Tidak dapat menguasai rangsangannya dalam tubuhnya
lantas saja dia mencium pipi Ratu Mesum. Lalu tangan kanannya menjalar
ke dada. Seolah-olah hendak memeriksa luka perempuan itu dia bertanya:
"Bagaimana lukamu...?" tapi yang dibelainya bukan luka di tubuh Ratu
Mesum, melainkan payu dara perempuan itu.
Ratu Mesum menepiskan tangan Parit Teguh.
"Luka itu akan segera sembuh. Sebaiknya kita bicarakan dulu urusan
kita..." "Kau mau ikut aku...?"
"Tentu saja. Mana ada perempuan yang tidak suka pada lelaki
segagahmu. Tetapi....?"
"Tetapi apa" Katakana syaratmu! Jika kau sampai membantah terpaksa
aku meneruskan niat semula. Membunuhmu...!"
"Apa kau betul-betul tega membunuhku...?" Tanya Ratu Mesum sambil
mengerling. Lalu perempuan ini merubah duduknya sehingga tubuhnya
sebelah bawah tersingkap, membuat silau kedua mata Parit Teguh.
"Kalau kau mau hidup bersamaku, masakan aku akan membunuhmu..."
"Aku bersedia. Hanya saja, apakah yang diharapkan perempuan
sepertimu ini dari seorang lelaki gagah sepertimu" Bukan harta bukan
kekayaan. Tapi kekuatan..."
"Maksudmu?"
"Maksudku, aku harus menguji kejantanan lebih dulu. Aku tak suka
pada lelaki yang akan membuatku merana karena ketagihan..."
Mendengar kata-kata itu Parit Teguh tertawa gelak-gelak.
"Kau akan segera mengetahui. Kita berangkat sekarang. Di rumahku di
Banguwangi akan kubuktikan..."
Ratu Mesum menggeleng sambil tersenyum.
"Aku ingin bukti saat ini juga!" katanya.
"Di sini...?"
"Di kolong dangau ini ada tumpukan jerami kering. Cukup nyaman
untuk kita berdua..."
Parit Teguh terbelalak. Tapi ketika Ratu Mesum meluncur turun dari
dangau dan masuk ke kolong lalu membaringkan diri di atas tumpukan
jerami kering, diapun melompat turun.
"Perempuan luar biasa!" katanya dalam hati. Tubuhnya kejang
dirangsang nafsu. Terlebih ketika dilihatnya perempuan itu menggeliat
tubuh seperti tidak sabaran.
"Hai! Kenapa hanya celanamu yang kau tanggalkan semua
pakaiannya."
"Bagus begitu... sekarang kemarilah..." Ratu Mesum ulurkan tangan
dan kembangkan kedua kaki.
Parit Teguh yang lupa diri langsung saja menjauhkan diri masuk ke
dalam pelukkan perempuan itu, balas memeluk dengan kuat dan nafsu.
Nafasnya memburu. Tapi tiba-tiba terdengar jerit lelaki ini. Tubuhnya
terlempar ke udara, menghantam bagian perutnya sehingga anggota
rahasianya remuk. Selagi dia melintir kesakitan, Ratu Mesum sambar
tongkat rotannya lalu tekankan batang tongkat tenggorokan Parit Teguh.
Lelaki ini tidak berdaya lagi untuk selamatkan diri. Dia menemui ajal
dengan lidah terjulur dan mata mendelik!
Ratu Mesum ludahi mayat Parit Teguh. Tongkat yang masih
dipegangnya ditusukkan ke perut bugil lelaki itu. Lalu seperti tidak terjadi
apa-apa, setelah merapikan pakaiannya dia naik ke atas dengau kembali.
Tak selang berapa lama Mahesa muncul membawa sebuah kendi tanah
dan nasi serta sepotong kecil ikan yang dibungkus dalam daun pisang.
Tentu saja dia terkejut ketika melihat mayat Parit Teguh yang mati dengan
lidah mencelet mata mendelik, perut tertusuk tongkat miliknya sendiri dan
bugil. "Apa yang terjadi?" tanyanya.
"Lelaki itu melakukan pengejaran dan menemuiku di sini. Dia berusaha
memikatku, hendak memperkosaku. Dia terima sendiri akibatnya!"
"Gila!" rutuk Mahesa dalam hati. Lalu diserahkannya kendi dan
bungkusan nasi. "Makanlah cepat. Setelah itu tinggalkan tempat ini. Bukan
mustahil kawannya kakek berbaju hitam itu juga muncul di sini."
"Apa kau takut?"
Mahesa tak menjawab.
"Kau tak menemaniku makan...?"
"Aku tidak lapar."
"Tapi aku tidak sudi makan kalau tidak bersamamu!"
"Ah, kolokan sekali perempuan ini!" kata Mahesa dalam hati. Tapi
akhirnya dia duduk juga berhadap-hadapan dan menemani perempuan itu
makan dari bungkusan nasi yang sama. Memang lain pula nikmatnya
makan bersama perempuan cantik walau nasi yang dimakan sedikit dan
mulai basi serta ikan hanya secuil, itupun tinggal tulangnya saja.
"Enak makannya...?" tanya Ratu Mesum lalu meneguk air kendi tanah.
"Enak sekali!" jawab Mahesa. Dia menerima kendi yang diulurkan Ratu
Mesum lalu menempelkan bibirnya di mulut kendi, pada bekas bibir Ratu
Mesum menempel waktu minum tadi. Sisa air dalam kendi dipergunakan
perempuan itu untuk mencuci mukanya. Ketika dia mengeluarkan
peralatan untuk berhias, Mahesa berkata: "Kurasa kau tak perlu
berdandan..."
"Eh, memang kenapa?"
"Kau akan lebih cantik tanpa berdandan...!"
Jawaban polos pemuda itu membuat Ratu Mesum terkesiap. Entah
mengapa kemudian dia menyimpan alat-alat kecantikannya kembali. Ada
rasa suka muncul semakin besar dalam hatinya terhadap pemuda ini. Rasa
suka yang sekali ini tidak disertai nafsu bejat seperti yang selalu meracuni
dirinya ini. "Aku harus pergi sekarang..." kata Mahesa. Suaranya datar seperti
tidak ditunjang oleh hasrat hati yang sesungguhnya.
"Setelah menolongku apakah kau akan meninggalkanku begitu saja?"
tanya Ratu Mesum.
"Aku banyak urusan!" kata Mahesa.
"Aku juga. Kalau kita pergi sama-sama bukankah bisa membagi pikiran
hingga urusan bisa diselesaikan dengan baik?"
Dalam hati Mahesa berkata: "Mungkin begitu, tapi mungkin juga malah
Jejak Di Balik Kabut 7 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Bara Dendam Menuntut Balas 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama