Ceritasilat Novel Online

Tangan Rembulan 2

Gento Guyon 10 Tangan Rembulan Bagian 2


tam legam dengan sekujur tubuh di tumbuhi bulu
berperut besar berpuser bodong. Kejut Maut Tanpa Suara bukan alang kepalang. Dia sama sekali
tidak menyangka acara pengorbanan yang baru
dipersiapkan menjadi kacau. Lebih kaget lagi melihat Ambini kini sudah dapat pula membebaskan
diri dari pengaruh totokan.
"Dwi Kemala Hijau, cepat bantu mereka.
Para tetamu sialan ini harus dijatuhi hukuman
seberat-beratnya karena mereka telah mengacaukan acara pengorbanan!" teriak si buruk rupa sangat marah sekali.
Si gadis dalam menghadapi suasana seperti
itu menjadi ragu-ragu. Sebaliknya pada saat yang sana terdengar sosok serba
hijau yang baru saja
menyelamatkan Gento dari serangan maut sudah
berkata. "Acara gila ini harus dihentikan! Aku tak ingin melihat ada pertumpahan
darah lagi terjadi disini!" kata laki-laki bercelana hitam komprang yang sekujur
tubuhnya berwarna kehijauan.
7 Ucapan laki-laki serba hijau yang bukan
lain adalah Iblis Racun Hijau ini ternyata cukup berpengaruh. Membuat Maut Merah
menahan serangan kampaknya yang tertuju ke arah Ambini.
Maut Kuning juga berdiri tertegun, sedangkan
Maut Biru walaupun siap menyerang Datuk Labalang kembali tapi tetap terpacak di tempatnya.
Di depan sana Maut Tanpa Suara memandang tajam ke arah Iblis Racun Hijau. Walaupun
suasana di halaman Kuil Setan tidak begitu terang, namun dia dapat mengenali siapa adanya
orang tua yang mulai rambut hingga ke ujung kaki berwarna hijau ini. Dia adalah tokoh sesat berhati baik yang masih terhitung
sahabat Yang Agung juga sahabatnya sendiri.
"Paman Racun Hijau. Mengapa kau mencampuri urusan kami?" bentak Maut Merah penuh teguran. Si orang tua tertawa mengekeh. Dia melirik
ke arah Gento Guyon sambil kedipkan mata kirinya. "Bocah konyol, keadaan begini genting. Aku sendiri tidak mungkin sanggup
menghadapi mereka berlima. Jika kau masih bisa semburkan ludah, maka semburkan ludahmu ke seluruh benang yang melilit tangan dan kakimu. Benang itu
akan hancur dengan sendirinya.!" kata Iblis Racun Hijau yang ternyata masih
kenali si gondrong.
"Sukur kau mau datang menolong dan
mau memberi tahu kelemahan benang sakti yang
hampir membuatku celaka ini. Terima kasih paman biang racun." Sahut Gento sambil tersenyum. Diam-diam pemuda ini kumpulkan air ludah di rongga mulut. Tak lama kemudian mulutnya menyembur. Ludah berhamburan, begitu air
ludah membasahi benang biru. Terdengar suara
mendesis seperti besi panas yang dicelupkan ke
dalam air. Libatan benang yang mengikat tubuhnya raib berubah menjadi kepulan asap biru.
Maut Biru tersentak kaget dan keluarkan suara
menggerung begitu melihat lawan mengetahui kelemahan benang saktinya.
Maut Tanpa Suara yang melihat semua ini
kini jadi tahu kalau Iblis Racun Hijau tidak berdiri di pihaknya. Sekali lagi
sambil memandang kea rah Iblis Racun Hijau dia berteriak. "Paman Iblis Racun
Hijau, masih belum terlambat bagimu untuk meninggalkan tempat ini. Jika kau
tidak mencampuri urusan kami, aku menganggap persahabatan kita tetap berjalan sebagai mana yang
kita harapkan. Tapi jika kau membangkang dan
tetap keras kepala bukan hanya aku saja namun
guruku Yang Agung pasti akan membunuhmu!"
"Ha ha ha. Diantara kita tetap bersahabat
jika kau mau membatalkan acara pengorbanan
gila ini.!" kata Iblis Racun Hijau. Mendengar jawaban laki-laki berkulit serba
hijau itu mendidih-lah darah Maut Tanpa Suara. Sementara itu sejak
tadi diam-diam Iblis Racun Hijau berusaha membebaskan totokan di tubuh Gento melalui tiupan
dengan mulut. "Tinggalkan batu ranjang kematian. Kau tidak bisa menghadapi mereka karena sebagian besar kesaktian yang kau miliki saat ini dalam keadaan membeku." kata orang tua
itu melalui ilmu menyusupkan suara. Gento hanya mengangguk-kan kepala. Hembusan
yang dilakukan Iblis Racun Hijau membuat totokan di beberapa bagian
tubuhnya lenyap seketika.
Kini Gento dapat bergerak dan bangkit dari
ranjang batu yang sangat dingin luar biasa.
"Aku tak mungkin pergi meninggalkan
tempat ini! Kau telah menolongku paman Racun
Hijau." "Bocah edan, saat ini tidak ada waktu berdebat bagi kita." teriak orang tua itu. Dalam kesempatan yang sama Maut Tanpa
Suara berteriak
pula memberi aba-aba pada pengawal Kuil Setan.
"Kalian bertiga, bunuh keparat serba hijau
itu!" perintah si buruk berbaju merah.
Maut Biru, Maut Merah dan Maut Kuning
kini serentak berbalik menghadap ke arah Iblis
Racun Hijau. Tiga mahluk berkepala empat ini serentak keluarkan pekikan menggeledek. Tubuh
mereka secara bersamaan pula melesat, berkelebat kea rah Iblis Racun Hijau. Dua belas tangan
terjulur. Empat dari dua belas tangan tiga mahluk itu lakukan gerakan menghantam kepala,
empat lagi menyambar ke bagian dada dan yang
lainnya mencabik ke bagian perut. Dua belas serangan maut ini tentu saja sangat berbahaya sekali. Karena salah satu dari mahluk ini bila melakukan serangan saja sudah
menimbulkan kesulitan besar bagi lawannya, apalagi kini ketiganya
maju secara bersamaan. Tapi anehnya Iblis Racun Hijau yang mendapat serangan hebat ini tidak nampak gugup, apalagi menciut nyalinya. Ketika dia melihat badai serangan datang dari tiga arah sekaligus, Iblis Racun
Hijau langsung hantamkan salah satu kakinya ke atas tanah. Tanah
amblas disertai letupan keras menggelegar. Mendadak bersamaan dengan itu pula tubuh Iblis Racun Hijau lenyap. Dua belas serangan tangan
mengenai tempat kosong. Bukan hanya ketiga
penyerangnya saja yang di buat kaget, tapi semua
yang melihat kejadian itu ikut terperangah.
"Dia punya ilmu Panglemunan!" desis Gen-to Guyon yang kini sudah berdiri tak
jauh di sebelah Ambini dengan tubuh terhuyung-huyung akibat kehilangan tenaga dalamnya.
"Sebaiknya kita bantu orang tua yang itu!"
ujar Ambini "Aku memang sedang berfikir untuk melakukannya." kata si pemuda. "Tapi seperti yang dikatakannya, kurasa aku telah
kehilangan tenaga
dalamku. Aku merasa sulit sekali menggerakkan
tubuhku. Semuanya terasa lemas tak bertenaga."
keluh murid si gendut Gentong ketawa.
"Kurasa hal yang sama pun terjadi padaku,
karena aku juga tadi sempat dibaringkan di atas
ranjang kematian." ujar Ambini. Diam-diam si gadis coba salurkan tenaga dalamnya
ke bagian tangan. Dia jadi terkejut karena tenaga dalam
yang dimiliki ternyata tidak bekerja sebagaimana yang diharapkan.
Sementara itu Iblis Racun Hijau yang mendadak saja raib, lenyap dari serangan lawanlawannya dalam keadaan tidak terlihat semua
orang yang ada di tempat itu kini berputar di uda-ra. Dua tangan di hantamkan ke
bagian kepala Maut Kuning, Merah dan Biru secara berturutturut. Des! Des! Des!
Hantaman keras membuat ketiga lawan
meraung hebat. Mereka terhempas, dua kepala
yang menghadap kedepan yang lembek itu pecah
menyemburkan darah. Tapi begitu tubuh mereka
menyentuh tanah dan salah satu tangan menyentuh kepala yang pecah. Masing-masing kepala
yang sudah tidak utuh itu kini bertaut kembali.
Tiga mahluk aneh ini kembali bangkit, pada saat
itu Iblis Racun Hijau begitu jejakkan kaki ke tanah, ujudnya kembali terlihat.
Dia gelengkan kepala. Rasa kejutnya bukan olah-olah, belum lagi
hilang rasa kaget yang menyelimuti diri orang tua ini, sekarang ketiga mahluk
berkepala empat itu
sudah menyerangnya kembali dengan kecepatan
berlipat ganda. Enam tangan yang menghadap
searah dada menyambar ganas ke arah Iblis Racun Hijau. Berturut-turut sinar biru, merah dari kuning berkiblat. Laki-laki tua
yang diserang menggerung dahsyat, tubuhnya berputar lalu mulutnya yang menggembung besar menyembur.
Pruuuh! Laksana kilat pula cairan hijau berhamburan dari mulut Iblis Racun Hijau. Melihat apa
yang dilakukan oleh Iblis Racun Hijau, Maut Tanpa Suara berteriak ditujukan pada para pengawalnya. "Racun Hijau"! Menghindar!"
Maut Merah, Kuning dan Biru sama sekali
tidak menggubris peringatan murid majikan mereka. Bukannya mundur, sebaliknya mereka merangsak maju teruskan serangan
Tes! Tes! Tes! Enam sinar yang melesat dari jari tiga lawannya langsung lenyap begitu berbenturan dengan cairan racun yang disemburkan oleh Iblis Racun Hijau. Tiga mahluk berkepala empat itu menjerit
tertahan. Semburan cairan beracun itu ternyata
bukan saja hanya memusnahkan sinar berhawa
dingin yang mencair dari ujung jari mereka. Lebih mengerikan lagi semburan racun
lawan meng-hanguskan kuku-kuku mereka. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang mereka derita, dengan cepat mereka memutar tubuh. Dua tangan yang berada di bagian punggung kini menyambar.
"Pergunakan Benang Sakti Penjerat Dewa!"
Maut Merah berteriak memberi aba-aba pada kawannya. "Benang Sakti siap diluncurkan!" sahut Maut Kuning dan Biru bersamaan. Karena
ketika berteriak empat mulut berucap serentak, maka di
puncak bukit itu terdengar gelegar berkepanjangan. Ambini merasakan dadanya bergetar hebat,
telinga berdenyut sakit dan pengang bukan main.
Gento Guyon tutupi kedua telinganya, namun dia
tidak dapat tinggal diam ketika melihat enam benang merah, biru dan kuning laksana kawat baja
berturut-turut melabrak ke arah Iblis Racun Hijau. "Pengecut...!" teriak Gento. Sambil melesat di udara dia hantamkan kedua
tangannya melepas pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis. Pukulan
ini warisan Tabib Setan. Walaupun Gento telah
kehilangan sebagian tenaga dalam yang dia miliki.
Tapi ketika dia menghantamkan kedua tangan ke
arah tiga mahluk berkepala empat, dari telapak
tangan pemuda ini melesat berturut-turut sinar
hitam dan merah disertai deru angin panas bergulung-gulung. Des! Des! Des! Tiga hantaman telak ini membuat tiga
mahluk berkepala empat yang menyerang mereka
jadi terhuyung-huyung, hingga serangan enam
benang yang nyaris melibat tubuh Iblis Racun Hijau meleset dari sasaran.
"Ha ha ha.. Terima kasih sobat sinting. Jika enam benang sialan itu sampai melibat tubuhku, habislah sudah harapanku." celetuk Iblis Racun Hijau
"Terima kasihnya simpan saja dulu. Lihat,
mahluk keparat itu kini berbalik menyerangku!"
teriak Gento. Dia yang sudah jejakkan kakinya di atas tanah kembali lepaskan
pukulan Dewa Awan
Mengejar Iblis sambil menghindari serangan benang yang meliuk menyambar ke bagian lehernya.
Bum! Berturut-turut tiga pukulan melabrak Maut
Merah, Kuning dan Biru. Kembali tubuh mahlukmahluk ini terhuyung. Bagian dada hangus gosong, empat mulut dari ketiga mahluk ini semburkan darah. Tapi mereka seakan tidak merasakan sakit sama sekali sungguhpun saat itu mereka menderita luka di bagian dalam.
"Sahabat Gento menjauh, aku akan memandikan mereka dengan racunku!" teriak Iblis Racun Hijau.
Sambil melompat mundur Gento menyahuti. "Racun Hijau, kau hendak memandikan orang, apakah dirimu sendiri sudah
mandi. Sejak kau
hadir dalam acara gila ini aku mencium bau busuknya bangkai dan asamnya bau ketiakmu. Ha
ha ha!" "Dasar pemuda sinting sialan!" damprat Iblis Racun Hijau. Sekali lagi
orang tua ini semburkan mulutnya ke tiga arah. Tiga mahluk berkepala empat menggerung, dua tangan di bagian belakang berputar ke belakang lakukan tangkisan,
sedangkan tangan yang berada di bagian depan
terus gerakkan benang ke arah Iblis Racun Hijau.
Dengan mengandalkan kecepatan gerak dan ilmu
meringankan tubuh orang tua ini mampu menghindar dari libatan enam benang. Sementara
semburan cairan racun yang dilancarkan secara
bertubi-tubi kini menghantam tangan lawan

Gento Guyon 10 Tangan Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya yang dipergunakan untuk menangkis.
Bukan hanya itu saja sebagian cairan hijau yang
kena ditangkis bahkan bermuncratan membasahi
tubuh mereka. Ces! Ces! Ces! "Arkh...!"
Maut Biru dan Maut Merah menjerit keras,
tubuh mereka berkaparan. Tangan hangus berlubang. Tubuh mereka juga dipenuhi lubang akibat
terkena percikan racun ganas yang disemburkan
Iblis Racun Hijau. Sebaliknya Maut Kuning masih
beruntung karena dia dapat selamatkan diri dengan melompat ke belakang. Di depan sana Maut
Biru dan Maut Kuning yang tubuhnya dipenuhi
lubang hitam mengerikan dan mengepulkan asap
berbau busuk dengan tertatih-tatih bangkit lagi.
"Mahluk sialan, bagaimana dalam keadaan
seperti itu masih dapat bertahan hidup?" membatin murid Gentong Ketawa
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini Gento. Mereka bukan manusia seperti kita, tapi iblis yang menyaru seperti manusia!"
kata Ambini mengisiki. Rupanya dia merasa jerih melihat kehebatan mahluk penjaga Kuil Setan itu
Gento gelengkan kepala. Dalam kesempatan itu, selagi Iblis Racun Hijau merasa putus asa menghadapi kenyataan yang
ada, lapat-lapat Gento mendengar satu suara membisiki. "Untuk
membunuh mereka, hantam mulutnya, patahkan
bagian gigi depan!"
Gento Guyon terkejut, dia memandang ke
arah mana suara bisikan berasal. Rasa kagetnya
semakin bertambah ketika melihat satu kenyataan bahwa yang memberitahu kelemahan mahluk berkepala empat itu bukan lain adalah gadis
cantik berpakaian dan bertubuh serba hijau.
"Mengapa dia malah membantuku. Apakah ini
bukan satu tipuan?" batin si pemuda. Akan tetapi dia sudah tidak dapat berfikir
lebih jauh lagi. Karena pada saat itu Maut Kuning telah melabrak
ke arahnya. Sedangkan Maut Biru dan Maut Merah dengan tubuh dipenuhi luka kembali menyerang Iblis Racun Hijau.
"Sobatku gondrong sinting. Aku harus bagaimana, mahluk-mahluk keparat ini agaknya tak
mengenal mati. Tubuhnya sudah hancur begitu
tapi tidak mau mampus. Kalau terus menerus
semburkan ludah, mulutku bisa kering sariawan!"
keluh si orang tua.
"Agaknya kau harus minum air kencingku
atau air kencingmu dulu. Biar racunmu semakin
bertambah hebat. Tapi kalau tak mau pusing,
ikuti saran sobatmu ini. Hantam mulutnya hancurkan giginya. Kujamin nyawa mereka amblas ke
neraka! Ha ha ha!" sahut Gento. Sambil tertawa bekakakan pemuda, ini membalas
serangan Maut Kuning. Karena dia sering bergerak, tanpa disada-ri pemuda ini tenaga dalamnya
yang sempat membeku akibat tersedot ranjang kematian kini
mulai berfungsi lagi. Sehingga ketika dia menghantam ke mulut lawan, terdengar suara deru
angin laksana badai.
Maut Kuning terkesiap, empat tangannya
lindungi mulut sambil melompat mundur. Namun
Gento cukup cerdik. Begitu wajah di bagian depan dilindungi, dia lalu berputar dan kini menghantam wajah yang menghadap ke bagian belakang. Demikian cepat serangan itu, hingga Maut
Kuning tidak sempat. menyelamatkan mulutnya
dari hantaman tangan pemuda ini.
Prok! Satu jeritan keras laksana merobek langit
kembali terdengar. Maut Kuning terhuyung darah
menyembur dari mulut yang kena hantaman. Selagi sosok Maut Kuning limbung, Gento Guyon
melompat tangannya menyambar ke arah mulut.
Preet! Sekali lagi terdengar suara jeritan keras.
Maut Kuning terbanting. Ketika tubuh Maut Kuning menyentuh tanah, sosoknya langsung hancur
meleleh, hangus menghitam hingga berubah jadi
seonggok debu. Gento bergidik ngeri, Ambini sendiri langsung tutupi wajahnya tak sanggup menyaksikan kejadian aneh itu.
"Sobatku Racun Hijau, kau sudah melihat,
kau sama menyaksikan, tanpa gigi mereka tidak
punya daya tak mampu unjuk kekuatan. Sekarang tunggu apa lagi. Cepat habisi dua kunyuk
itu!" seru Gento sambil unjukkan gigi runcing milik lawan yang berhasil
dibetotnya. "Tenang saja, kau cuma dapat dua. Aku
akan mencabut habis semua gigi milik Maut Merah dan Maut Biru." Selesai berucap Iblis Racun Hijau berkelebat, mulut terus
semburkan ludah
beracun, sedangkan dua tangan menyambar ke
arah mulut lawannya.
Jika Maut Biru sibuk hindari semburan
cairan beracun yang disemburkan lawannya sambil merangsak kedepan lancarkan serangan dengan kedua tangan belakang yang dapat digerakkan ke depan. Sebaliknya Maut Merah yang sudah terluka parah berfikir lain. Dia kemudian malah memutar arah. Dengan cara
berlawanan se- bagaimana orang yang berjalan pada umumnya
Maut Merah tanpa terduga berkelebat pergi melarikan diri dari tempat itu. Jika Gento tertawa tergelak-gelak melihat cara Maut Merah melarikan
diri dengan punggung menghadap ke depan dan
dada menghadap ke belakang sambil lepaskan
pukulan saktinya. Sebaliknya Maut Tanpa Suara
menjadi sangat marah.
"Maut Merah terkutuk, jahanam pengecut!
Aku tak akan membiarkan dirimu mempermalukan Yang Agung!" Laksana kilat tangan kanan Maut Tanpa Suara lepaskan satu
pukulan maut-nya. Sinar putih berkeluk-keluk laksana lintasan kilat menderu di
udara. Kuil Setan laksana di
guncang gempa. Puncak bukit sebelah selatan
longsor. Pukulan Gento yang diarahkan ke arah
Maut Merah saja sudah membuat puncak bukti
laksana dikobari api, apalagi kini Maut Tanpa Suara mengarahkan pukulannya pada
Maut Merah, dan juga pada Ambini serta Gento. Tak ayal lagi
Maut Merah tenggelam oleh kedua pukulan itu.
Terdengar suara ledakan laksana gunung
meletus. Api berkobar di ujung selatan bukit, ba-tu-batu dan pasir bertaburan di
udara. Suasana berubah gelap. Di saat kegelapan menyelimuti
puncak bukit, pada waktu itu pula terdengar satu jeritan. Semua orang tentu jadi
kaget karena jeritan bukan berasal dari selatan bukit dimana
Maut Merah melarikan diri, melainkan terdengar
begitu dekat dengan mereka. Ketika empat obor
yang sempat meredup terkena sambaran angin
pukulan kembali menerangi tempat itu. Semua
mata sama terpentang lebar. Ternyata yang menjerit tadi adalah Maut Biru. Iblis Racun Hijau tertawa terkekeh-kekeh sambil unjukkan beberapa
buah gigi berlumuran darah pada semua orang
yang berada di puncak bukit itu.
"Gento... kau lihat. Aku berhasil mendapatkan gigi lebih banyak. Sayang Maut Biru keburu hangus, sehingga aku tidak sempat mencabut
sisa giginya yang lain. Ha ha ha!" kata si orang tua sambil unjukkan belasan
gigi ditangannya
pada Gento. Melihat semua ini Gento tertawa mengekeh. Sedangkan Ambini meski pun sempat dilanda ketegangan akibat hantaman pukulan Maut
Tanpa Suara jadi tersenyum.
Jika di saat Maut Tanpa Suara melepaskan
pukulan saktinya tadi Gento tidak cepat menarik
pinggangnya dan membawanya menghindar dari
pukulan lawan, mungkin saat ini dia hanya tinggal namanya saja.
Sebaliknya Maut Tanpa Suara yang sempat
memandang ke arah bekas ledakan semakin bertambah geram karena ternyata Maut Merah berhasil menyelamatkan diri. Kini dia berbalik
menghadap ke arah ranjang kematian yang berada paling disudut kanan. Matanya mendelik besar
mulut ternganga seakan tak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Dwi Kemala Hijau," desis Maut Tanpa Suara. "Kau lihat, jahanam setinggi galah
itu ternyata hilang Raib dari tempatnya." kata pemuda itu sambil melangkah dua
tindak ke depan. "Aku tak tahu bagaimana caranya dia melepaskan diri. Tadi aku hanya melihat ada seseorang bertubuh hitam berdiri di sampingnya. Mungkin pemuda itu
yang telah membawanya pergi!" sahut gadis secantik bidadari ini tenang.
Mendengar jawaban Dwi Kemala Hijau, pucatlah wajah Maut Tanpa Suara. Dia memandang
ke arah si gadis. Namun Dwi Kemala Hijau palingkan wajahnya ke arah Gento. Gento Guyon
jadi salah tingkah dan usap keningnya tiga kali.
"Pemuda muka kunyuk itu melarikan Datuk keparat, kau disini sejak tadi hanya diam sa-ja" Tidak melakukan sesuatu
apapun juga tidak
membantu Pengawal Kuil Setan. Sejak tadi kau
kulihat malah sering melirik pada si gondrong keparat itu. Jangan-jangan....!"
Maut Tanpa Suara terdiam sesaat sambil berfikir. Sekarang mata
mendelik besar dengan tatapan seakan penuh rasa tak percaya. "Aku tahu sekarang, kau pasti yang menunjukkan kelemahan para
pengawal Kuil ini pada musuh! Eeh... Dwi Kemala Hijau,
apa sebenarnya yang ada dalam benakmu?" hardik Maut Tanpa Suara.
Yang dibentak terdiam sambil tundukkan
kepala. Iblis Racun Hijau, murid si gendut Gentong Ketawa dan Ambini saling pandang. Mereka
sendiri tak tahu kapan kakek setinggi galah pergi bersama pemuda berwajah monyet
besar. Tapi lebih tak mengerti lagi melihat sikap gadis cantik luar biasa yang
nampaknya berada di pihak mereka.
8 Untuk sementara kita tinggalkan dulu,
Gento dan Maut Tanpa Suara yang tengah terheran-heran melihat sikap Dwi Kemala Hijau yang
mendadak nampak berubah itu. Sementara itu
pada waktu yang bersamaan di sebelah timur
puncak bukit, di bawah keremangan cahaya bulan sabit di malam ke sembilan terlihat satu sosok tubuh berjalan dengan
terseok-seok menjauh dari
halaman Kuil Setan. Sosok hitam bertelanjang
dada ini bukan berjalan melenggang. Karena di
atas bahunya dia memanggul satu sosok berpakaian daster hitam dan berkerudung. Sosok tinggi panjang ini bukan lain adalah
Datuk Labalang.
Kakek setinggi galah yang tubuhnya dilibat benang merah. Adapun pemuda yang memanggulnya dengan lidah terjulur karena lelah bukan lain adalah Memedi Santap Segala.
Seperti telah dituturkan sebelumnya begitu
Memedi Santap Segala menemukan senjata Bintang Penebar Petaka, dia langsung keluar dari
ruangan tempat penyimpanan senjata. Setelah itu
tanpa menemui kesulitan dia langsung keluar dari Kuil Setan karena pada saat itu pintu kuil dalam keadaan terbuka. Tapi betapa
kagetnya pe- muda ini begitu melihat seperti akan ada acara
pengorbanan di halaman kuil. Dia melihat ada tiga sosok tergeletak tanpa daya di atas ranjang.
Saat itu Memedi Santap Segala yang telah berhasil mendapatkan Bintang Penebar Petaka yang didapatnya secara tidak sengaja melihat Maut Merah sudah mengayunkan kampak besar ke arah
leher seorang gadis cantik. Karena merasa tidak
mengenal, Memedi Santap Segala kurang begitu
perduli. Tapi di saat dia memandang ke ranjang
kematian yang terdapat di sudut paling kanan
dekat obor besar, kagetlah pemuda ini. Dia lalu
menghampiri sosok tinggi panjang yang bukan
lain adalah junjungannya sendiri Datuk Labalang.
Secara tak terduga pada saat itu muncul Iblis Racun Hijau hendak menolong
seorang pemuda gondrong. Kehadiran Iblis Racun Hijau cukup
menguntungkan bagi Memedi Santap Segala karena perhatian semua yang ada di puncak bukit
tertuju pada manusia hijau itu. Termasuk juga
Maut Biru yang hampir mencelakai Datuk Labalang. Ketika kemudian terjadi perkelahian sengit dimana Maut Biru juga ikut
mengeroyok Iblis Racun Hijau, maka kesempatan itu dipergunakan
oleh Memedi Santap Segala alias Mahluk Tangan
Rembulan untuk membawa Datuk Labalang menjauhi dari puncak bukit. Usaha ini tidak mudah,
karena tubuh Datuk Labalang berat bukan main.
Beberapa kali si pemuda nyaris terjungkal, langkahnya yang terburu-buru membuat kaki atau
kepala Datuk Labalang tersangkut pada semak
belukar atau batang pepohonan. Semua ini membuat Datuk Labalang sering mendamprat tidak
putus-putusnya.
"Memedi Santap Segala, manusia kampret
tak berperasaan. Kau kira diriku ini batang kayu"
Kepalaku kau benturkan ke batang kayu, muka
kau goreskan ke semak-semak. Tidak dapatkah
kau memilih jalan yang lebih baik lagi!" semprot si kakek yang kakinya terkadang
terpaksa terseret
akibat terlalu panjang menjuntai.


Gento Guyon 10 Tangan Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Datuk.... aku takut orang mengejar kita.
Pula tubuhmu begini panjang, selain itu beratnya minta ampun. Melarikan dirimu
dalam malam yang gelap begini aku tidak ubahnya seperti makan biji kedondong Datuk. Di telan susah ditarik keluar juga susah. Selain tubuh
Datuk yang panjang bukan main, seperti yang kukatakan tadi beratnya bukan kepalang. Mungkin Datuk kebanyakan dosa, tobat Datuk sebelum maut datang menjemput!" Ketika bicara begitu Memedi Santap Segala,
sedikitpun tidak tersenyum juga tidak tertawa.
Malah kini semakin mempercepat langkahnya. Tidak perduli walau terkadang tubuhnya terhuyung
ke kiri dan ke kanan.
"Budak hitam terkutuk, beraninya kau
menggurui diriku"!" hardik Datuk Labalang.
Entah sengaja atau tidak, setiap kakek setinggi galah ini mendamprat, pasti kepala atau
kaki Datuk Labalang terbentur pada batang kayu
dan rerantingan pohon hingga membuat kakek
berbadan kurus tinggi ini jadi semakin uringuringan. "Pemuda tukang makan, turunkan aku disini aku ingin memutuskan benang-benang celaka
itu sekarang!" perintah si kakek.
"Sekarang Datuk...?" tanya Memedi Santap Segala. Agak dia ragu, namun tetap
hentikan langkahnya. "Ya sekarang. Cukup turunkan!" perintah Datuk Labalang.
"Disini, Datuk" Di semak-semak ini?" tanya pemuda itu lagi.
"Bangsat bertanya melulu. Kupecahkan
kepalamu!" dengus Datuk Labalang semakin bertambah kesal.
Memedi Santap Segala tersenyum. "Orang
tua tak tahu diri. Menggerakkan tangan saja tidak mampu, konon mau memecahkan
kepalaku!" rutuk si pemuda. Dia kemudian enak saja jatuhkan
sosok Datuk Labalang di atas ranting semak. Begitu jatuh Datuk ini menjerit kesakitan sambil
menyumpah. "Pembantu kurang ajar, mengapa kau jatuhkan aku di atas reranting semak berduri?"
"Datuk ini bagaimana" Tadi aku hendak
mengatakan tempat ini dipenuhi semak berduri.
Tapi kau tetap ngotot." Sahut Memedi Santap Segala tenang.
Datuk Labalang menggerutu dan memakimaki pembantunya yang bodoh. Dia gerakkan
tangannya bermaksud menampar, tapi ketika sadar tangannya dalam keadaan terikat Datuk Labalang terpaksa telan keinginannya. Dalam kesempatan itu si pemuda membuka suara, "Datuk, kulihat benang ini bukan benang
biasa. Sudah- kah Datuk berusaha memutuskannya?"
"Bagus, kalau kau tahu benang terkutuk
ini bukan benang sembarangan, sekarang coba
katakan padaku apa yang harus kulakukan" Aku
telah berusaha memutuskannya tapi aku tak
sanggup. "ujar Datuk Labalang berterus terang.
Memedi Santap Segala, dalam gelap keningnya berkerut seakan tengah berfikir keras.
Datuk Labalang cemberut. Dia tahu pembantunya
ini tidak bisa memikirkan apa-apa. Otaknya tumpul, daya fikir tidak berkembang. Mungkin cara
berfikir pemuda itu hanya dua tingkat di atas
monyet. Tapi ternyata si kakek setinggi galah salah
menduga karena pada saat itu Memedi Santap
Segala berucap. "Konon orang yang telah dibaringkan di atas ranjang kematian
sebagian tenaga saktinya jadi membeku. Tapi itu tidak selamanya, begitu ia
terlepas dari ranjang itu, jika masih ada nyawa dan nafasnya dia dapat
menggunakan tenaga dalamnya kembali. Selain itu Datuk aku
pasti bisa memutuskan benang merah yang melilit tubuhmu." ujar si pemuda. Mendengar ucapan si pemuda, Datuk Labalang
berjingkrak kaget
sambil delikkan matanya. Kembali dia memaki.
"Pembantu sialan. Bicara seenak perutmu. Aku yang memiliki kesaktian begitu
tinggi saja tak
mampu memutuskan benang-benang ini, konon
dirimu!" "Datuk apa yang kuucapkan semuanya benar. Kalau Datuk tak percaya coba Datuk sekarang kerahkan tenaga dalam yang Datuk miliki."
ujar Memedi Santap Segala dengan mulut penuh
makanan. Melihat pemuda itu nampaknya bersungguh-sungguh, Datuk Labalang diam-diam
mencoba kerahkan tenaga dalam yang berpusat
di bagian pusar. Mula-mula nafas ditarik perlahan, perut dikencangkan. Dalam gelap Datuk Labalang yang lebih dikenal dengan gelar Datuk
Penguasa Tujuh Telaga dari tanah Andalas itu
terkejut besar ketika merasakan hawa panas
mengalir deras dari bagian pusarnya ke sekujur
tubuh. Sejenak lamanya wajah kakek setinggi galah berubah cerah, namun dilain kejab ketika dia teringat sesuatu wajahnya
sontak berubah mu-rung kembali.
"Apa yang kau katakan ternyata benar
adanya, pembantuku. Tenaga dalamku pulih
kembali, pengaruh ranjang kematian punah. Tapi
apa gunanya" Walaupun aku memiliki tenaga dalam dua kali lipat dari yang ada sekarang ini, kurasa aku tak bisa memutuskan
benang merah yang melibat tubuhku!" keluh Datuk Labalang putus asa.
"Kau tidak bisa, tapi aku sanggup melakukannya Datuk. Tapi... tapi aku takut Datuk nantinya jadi marah padaku!"
"Eeh, apa maksudmu" Kalau kau bisa memutus benang laknat ini mengapa tak kau lakukan" Jika kau sanggup menolong mengapa harus
marah, malah aku harus berterima kasih padamu!" "Datuk, ketika kita menjauh kesini, aku sempat mendengar orang hijau itu
mengatakan agar gondrong sinting menggunakan air ludahnya. Aku tahu seumur hidup Datuk tidak pernah
meludah, mulut Datuk kering. Kalau Datuk mau
sekarang aku bersedia meludahi benang itu!" ujar Memedi Santap Segala.
"Air ludahmu tentu berbau busuk karena
kau memakan makanan apa saja." dengus Datuk Labalang.
"Dua minggu setelah terkena air ludahku
baunya memang tidak akan hilang, tapi saya kira
sudah tidak ada jalan lain. Lebih baik badan jadi bau Datuk. Daripada pelarian
kita diketahui oleh orang-orang dari Kuil Setan. Jika Datuk sampai
tertangkap lagi, mana berani saya... aku memberi pertolongan."
Mendengar penjelasan pembantunya, mau
tak mau Datuk Labalang harus bersedia menerima kenyataan yang ada. Dengan bersungutsungut kakek tinggi itu berkata. "Manusia salah kaprah, bicara beraku bersaya.
Cepat lakukan tu-gasmu. Awas jika ternyata nanti kau tak mampu
memutuskan benang ini, lidahmu pasti kubetot
lepas dan mulutmu kubeset menjadi dua bagian!"
akan si kakek berdestar dan berkerudung hitam.
Memedi Santap Segala usap mulutnya sendiri. Membayangkan apa yang dikatakan Sang
Datuk dia jadi miris. Karena dia sadar orang tua itu tak pernah bergurau dengan
ucapannya. "Datuk, ku mohon jangan menakuti aku
dengan ancaman seberat itu. Aku hanya berusaha, namun ketentuan ditangan Tuhan. Jika Datuk tak suka, biarlah aku pergi." Sambil berkata begitu Memedi Santap Segala
beranjak dari tempatnya. Namun Datuk Labalang buru-buru mencegahnya "Sudah lakukan saja, ancaman ku tidak berlaku lagi bagi dirimu." Si
pemuda kembali ke tempat duduknya di samping Datuk Labalang.
Dia kemudian kumpulkan ludah didalam mulut,
setelah mulutnya gembung besar baru kemudian
dia menyembur"
Pruuuh! Empat kali semburan dilakukannya berturut-turut. Begitu air ludah menyentuh benang
yang melibat tangan kaki dan badan Datuk Labalang, terdengar suara letupan empat kali berturut-turut. Benang merah sakti hangus gosong
mengepulkan asap hitam. Melihat kenyataan yang
terjadi Memedi Santap Segala berjingkrak kegirangan, sedangkan Datuk Labalang segera bangkit sambil mengusap-usap pergelangan tangan
dan kakinya yang baru terbebas dari ikatan benang itu. Sejenak lamanya dia pandangi sang
pembantu, matanya yang mencorong tajam memancarkan rasa terima kasih yang mendalam. Di
saat dirinya merasa terbebas dari libatan benang itu, barulah kini si kakek
ingat dan bertanya dalam hati bagaimana pembantunya Memedi Santap
Segala bisa membebaskan diri dari jebakan maut
beberapa hari yang lalu.
"Kau telah berbuat pahala besar, pembantuku. Tapi yang membuat aku heran, bagaimana
kau bisa membebaskan diri dari lubang jebakan
itu?", tanya sang Datuk. Sambil ajukan pertanyaan orang tua itu melirik ke arah
kegelapan di sebelah kirinya dimana dia melihat ada sosok tubuh mendekam di
balik pohon besar. Sosok itu
telah berada di sana sejak tadi.
Memedi Santap Segala terdiam cukup lama. Bukan pertanyaan junjungannya yang dia risaukan. Melainkan dia tengah berfikir haruskan
dia melaporkan apa yang ditemukannya di dalam
ruangan penyimpanan senjata pusaka. Padahal
kedatangan Datuk itu bersamanya ke tanah Jawa
semata-mata adalah untuk mencari senjata yang
kini tersimpan di dalam kantong perbekalannya.
Memedi Santap Segala jadi bimbang, dia
sadar Datuk Labalang bukan manusia baik, ilmu
kesaktiannya tinggi. Jauh sebelum berangkat ke
tanah Jawa dia pernah mengatakan akan menghabisi sedikitnya tiga tokoh golongan putih dengan senjata yang dicarinya. Jika tiga tokoh selatan itu dibunuh dengan senjata
Bintang Penebar
Petaka, berarti Datuk Labalang berkuasa penuh
di daerah selatan dan timur Andalas. Ini sangat
berbahaya, karena Datuk Labalang manusia angin-anginan yang sulit ditebak maksud dan keinginannya. "Memedi Santap Segala, mengapa kau diam" Jawab pertanyaanku!" suara Datuk Labalang memecah keheningan.
"Eeh, Datuk. Saya.... aku...dapat lolos dari dalam jebakan maut itu atas bantuan
Batu Rembulan. Batu Rembulan yang menjebol pintu, tembus ke ruangan lain hingga aku dapat menyelamatkan diri." sahut si pemuda hitam berpuser bodong.
"Hanya itu saja, kau tak melihat atau menemukan dimana senjata yang kita cari?" tanya si kakek setinggi galah disertai
pandangan menyelidik. "Tid... tidak Datuk. Tidak ada sesuatupun yang kutemukan!"
jawab Memedi Santap Segala gugup. "Nafasmu tersengal, suaramu gugup. Jika tidak
ada yang kau sembunyikan apakah saat ini
kau sedang menderita sakit?" pancing si kakek.
"Betul Datuk, aku sakit. Aku lagi tidak
enak badan...."
Belum lagi suara Memedi Santap Segala lenyap, mendadak saja terdengar satu suara berkumandang tak jauh dari tempat itu disertai tawa tergelak-gelak.
"Otaknya tolol, wajah lugu. Tapi dia adalah seorang pendusta besar. Ha ha ha!"
Jika si pemuda menjadi kaget, sebaliknya
Datuk Labalang yang sudah mengetahui kehadiran orang hanya tersenyum sinis sambil memandang kearah datangnya suara
9 Sejenak dengan wajah pucat Memedi Santap Segala pandangi sosok tua berdestar dan berkerudung hitam. Datuk Labalang tahu dirinya diperhatikan, namun dia bersikap seakan tidak tahu. Tenang saja kakek setinggi galah ini berucap ditujukan pada orang yang baru
bicara tadi. "Ta-mu dalam gelap, sudah kuketahui kedatanganmu
sejak tadi. Mendekam disitu mencuri dengar
pembicaraan orang bukan tindakan terpuji, kalau
kau punya keperluan denganku atau salah seorang diantara kami sebaiknya cepat datang kemari!" Sosok yang mendekam dibalik pohon
bangkit berdiri, lalu dengan gerakan cepat sekali dia berkelebat. Dilain saat
sosok berpakaian merah bertangan hitam itu telah berdiri tegak di hadapan Datuk
Labalang. Beberapa jenak lamanya
saling berpandang, namun pandangan sosok bertangan hitam itu kini lebih banyak tertuju ke arah Memedi Santap Segala.
"Tadi kau mengatakan pembantuku ini telah mengucapkan satu kedustaan yang besar.
Pertama katakan siapa namamu dan apa maksud
dari ucapanmu!" kata Datuk Labalang tegas.
"Aku Si Tangan Sial, sengaja datang ke Kuil Setan untuk menjalankan perintah
seseorang. Aku ditugaskan mencari senjata Bintang Penebar
Petaka. Senjata itu telah kuketahui letak penyimpanannya, sayang aku tak sanggup mengambilnya. Tak lama kemudian muncul pemuda muka
kunyuk itu. Entah ilmu kepandaian apa yang dia
miliki. Kulihat dengan mudah tanpa halangan dia
mampu mengambil senjata itu. Lalu aku mengikutinya. Mulai dari dalam Kuil, keluar dan sampai kesini. Sekarang cepat serahkan senjata itu
padaku!" kata Si Tangan Sial dengan mata mene-rawang kosong dan wajah
menggerimit menahan
sakit. Hanya sekali lihat Datuk Labalang tahu kalau laki-laki dihadapan itu
sesungguhnya sedang
mengalami penderitaan hebat. Entah apa bentuk
penderitaan itu si kakek tak tahu. Dia bahkan tak peduli. Kini sang Datuk
memandang ke arah Memedi Santap Segala. Pemuda yang dipandang cepat sekali tundukkan kepala. Dalam hati dia


Gento Guyon 10 Tangan Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membatin. "Tak mungkin ku serahkan senjata
pada Datuk Labalang, juga tidak pada Tangan Sial. Aku sendiri menginginkan senjata ini, tapi bila senjata ini sampai jatuh ke
tangan orang yang salah dia bisa menjadi malapetaka. Kurasa aku harus kembali ke puncak bukit untuk mencari
orang yang pantas mengamankan senjata ini."
"Memedi Santap Segala, pembantuku yang
paling setia." ujar Datuk Labalang dengan suara lemah lembut. "Seumur hidup kau
belum pernah berbohong padaku. Sekarang kuharapkan segala
kejujuranmu, benarkah kau telah menemukan
senjata Bintang Penebar Petaka?"
"Benar Datuk!" sahut si pemuda.
Datuk Labalang tersenyum. "Kau hebat.
Hanya apakah kau tahu siapa kau?"
"Sa.. saya tahu Datuk. Engkau adalah junjunganku, orang yang segala perintahnya harus
ku patuhi."
"Kalau sudah tahu, jika sadar senjata yang
kucari ada padamu sekarang coba serahkan senjata itu padaku" perintah si kakek setinggi galah.
"Datuk.... aku... aku bukan tak mau serahkan senjata padamu. Tapi sebaiknya Datuk
singkirkan dulu orang itu Datuk. Jika Datuk sudah dapat menyingkirkannya, senjata pasti kuserahkan padamu," janji Memedi Santap Segala.
Datuk Labalang tergelak-gelak. Perasaannya saat
itu gembira bukan kepalang.
"Ha ha ha. Kau mau aku berbuat apa padanya" Membunuh atau melubangi dadanya?" ka-ta Datuk Labalang.
"Mengenai itu urusan Datuk sendiri. Terserah Datuk mau berbuat apa. Menunggu kau meringkusnya, sekarang perutku lagi mulas Datuk,
aku mau buang hajat besar, tidak jauh dari sini.
Permisi dan terima kasih!" Tanpa menunggu jawaban majikannya, terbirit-birit
Memedi Santap Segala tinggalkan tempat itu menuju ke balik semak-semak belukar.
"Jangan kau coba minggat apalagi menghindar dariku!" seru Datuk Labalang mengingatkan. Sebagai jawaban dari balik semak belukar terdengar suara kentut besar.
Sang Datuk menyumpah dalam hati. Kini dia percaya pembantunya itu memang benar-benar hendak buang hajat. Karena sudah menjadi kebiasaannya setiap
hendak buang hajat Mahluk Tangan Rembulan
selalu mengawalinya dengan kentut yang luar biasa kerasnya. Yakin pemuda itu tidak akan membuat ulah, maka kini Datuk Labalang langsung
menghadap ke arah Si Tangan Sial.
"Manusia bertangan hitam, melihat rupamu melalui sinar bulan sabit ini aku tahu dirimu tengah menderita sakit yang
sangat hebat. Orang
menyuruhmu, kau menjalankan perintahnya
dengan sangat terpaksa karena kulihat engkau
sangat menderita. Jika kau mau aku bisameyembuhkanmu atau mencari dimana sumber
penyakit itu tertanam. Tapi dengan satu syarat....
jika aku mampu menyembuhkan penyakitmu, harap kau jangan lagi kemaruk untuk mendapatkan
senjata Bintang Penebar Bencana. Penawaranku
hanya berlaku satu kali, tidak pernah ku ulang.
Kau boleh mempertimbangkannya." kata Datuk
Labalang. Di depan sana Si Tangan Sial memang
sempat tertarik. Tapi begitu rasa sakit menyerang bahunya kiri kanan juga di
bagian belakang leher, maka dia tak dapat berfikir normal. Apalagi ketika itu
dia sempat ada suara orang mengancam. "Kau turuti perintahnya, maka
penderitaanmu tidak
hanya sampai disini saja. Kau akan kubuat menjadi gila, hilang akal hilang kewarasan seumurumur." Kata suara itu.
Bersamaan dengan itu pula hawa dingin
menyengat menyerang bagian belakang kepala
dan terus menjalar naik ke dalam otak. Si Tangan Sial meraung keras, matanya
seketika berubah
merah laksana bara. Di depan sana Datuk Labalang sempat tercengang. Namun segera mengetahui kalau lawan dikendalikan dari jarak jauh oleh seorang. Ilmu hitam semacam
ini banyak terdapat
di tanah Andalas hingga membuat Datuk Labalang tidak begitu heran.
Baru saja kakek setinggi galah berkerudung hitam dan berdestar panjang menjela berwarna sama ini hendak mengatakan sesuatu. Di
saat bersamaan Si Tangan Sial telah berkelebat
ke arahnya, kirimkan satu jotosan ke bagian wajah. Belum lagi jotosan sampai pada sasaran sinar hitam berhawa dingin laksana es melesat
mendahuluinya menghantam wajah si kakek. Ini
merupakan tanda lawan mengerahkan tenaga dalam penuh ketika lancarkan serangan tadi. Mendapat serangan hebat dan sangat mematikan ini,
Datuk Labalang miringkan kepala sambil mendengus. Dua tangannya menangkis sambil berusaha menangkap pergelangan tangan lawan yang
meluncur deras ke arahnya.
Tangan lawan meluncur di samping kepala
Datuk Labalang. Begitu melihat tangan melewati
kepalanya, tangan kiri sang Datuk langsung bergerak laksana kilat menangkapnya.
Tangan yang menjotos muka tadi kena ditangkap, tapi sang Datuk menjerit kesakitan dan
langsung lepaskan cekalannya pada pergelangan
tangan lawannya. Betapa tidak orang tua itu merasakan telapak tangannya laksana terbakar, melepuh di beberapa bagian dan langsung menghitam. "Gila! Bagaimana dia mampu melepaskan pukulan berhawa dingin, sementara
tangannya sendiri terasa panas bukan main" batin Datuk Labalang
"Tangan Sial. Berarti kedua tangan orang
ini mengandung satu kesaktian aneh. Aku ingin
melihat apakah bagian tubuhnya yang lain juga
sama berbahayanya dengan bagian tangan" gumam si kakek. Orang tua ini sudah tak dapat berfikir panjang lagi karena pada waktu itu Si Tangan Sial telah menggempurnya dengan
serangan ganas bertubi-tubi yang terarah di lima bagian tubuhnya
paling mematikan. Mendapat serangan maut ini
Datuk Labalang masih dengan berdiri tegak langsung kebutkan lengah daster hitamnya. Segulung
angin laksana topan menderu. Di udara terdengar
ledakan menggelegar. Si kakek setinggi galah keluarkan seruan kaget, sedangkan tubuhnya tergontai-gontai. Didepanya sana Si Tangan Sial
sampai tersurut sejauh dua tombak wajahnya pucat, bibirnya bergetar. Selain kedua tangan saktinya, bagian tubuh yang lain seperti disiram air panas. Akan tetapi seakan tak
merasakan sakit
apapun laki-laki itu sambil melompat ke depan
kirimkan satu pukulan jarak jauh yang cukup
berbahaya Sinar hitam kembali menderu, dua tangan
yang ikut meluncur seakan berubah besar seperti
pohon kelapa, mencari sasaran di bagian perut
dan kaki lawannya. Datuk Labalang memang
sempat tercekat, mata mendelik besar seolah tak
percaya dengan penglihatannya sendiri. Tapi hal
itu hanya berlangsung sesaat, karena detik kemudian dia sudah melompat di udara, berjumpalitan begitu rupa hingga kini posisinya berada di belakang lawan. Serangan tinju
besar yang mengarah di bagian perut memang luput, tapi tulang
betis Datuk Labalang kena dihantam oleh lawannya. Si kakek menjerit tertahan, tapi dia masih meneruskan serangannya ke bagian
punggung. Desss! Si Tangan Sial jatuh tersungkur, Dibelakangnya Datuk Labalang yang baru jejakkan kaki
nampak terhuyung. Kakinya seperti putus ketika
dia melihat ke bagian kaki, celana di bagian depan betis robek besar hangus
terbakar dan masih
mengepulkan asap berbau sangit. Lebih dari itu
kulit dibalik celana juga nampak menghitam.
Terpincang-pincang sambil menyeringai
kesakitan Datuk Labalang alias Datuk Penguasa
Tujuh Telaga melompat ke depan. Saat itu Si Tangan Sial akibat terkena pukulan di belakang
punggung semburkan darah dan masih belum
bangkit dari tempatnya. Sambaran keras menghantam bagian pinggang orang tua bertangan
sakti ini. Sambil mengerang Si Tangan Sial begitu
merasakan sambaran angin dingin menerpa bagian punggung segera menggulingkan badan selamatkan diri. Gerakan yang dilakukan sayang
kalah cepat dengan gerakan lawan. Di lain kejap
Si Tangan Sial merasakan sekujur tubuhnya berubah menjadi kaku dan dia tak kuasa menggerakkan tubuhnya lagi.
"Jahanam terkutuk pengecut! Lepaskan totokan ini, aku ingin mengadu jiwa denganmu
sampai mati!" teriak laki-laki itu.
Sebagai jawabannya Datuk Labalang menginjak kaki kiri lawan dengan satu hentakan yang keras. Si Tangan Sial meraung
terlolong-lolong
Datuk Labalang tersenyum sinis, tangannya kembali berkelebat, menyambar pakaian lawannya. Bret! Breet! Terdengar suara robeknya pakaian. Baju di
bagian punggung Tangan Sial robek besar sehingga punggungnya dalam keadaan polos. Datuk Labalang pentang mata lebar memperhatikan punggung lawan. Dia lalu menyeringai begitu melihat
kedua bahu lawan sampai di bagian leher menggembung besar berwarna merah seperti bisul
yang hendak meletus.
"Tiga barang laknat yang membuatmu bertindak seperti sapi gila telah kutemukan. Aku tak tahu apa nama benda ini, namun
aku yakin inilah jarum Penggedam Roh. Jika benar dugaanku,
seperti yang sering kudengar berarti urusan semakin bertambah besar. Konon pemilik jarum
maut yang membuat orang kehilangan akal fikiran ini adalah Begawan Panji Kwalat!" kata Datuk Labalang.
"Jahanam apa yang hendak kau lakukan?"
teriak Si Tangan Sial kasar.
"Ha ha ha. Seperti yang telah kukatakan,
jika penyakitmu dapat kusembuhkan sebaiknya
kau tak usah repot mengurus senjata, lebih baik kau urus dirimu sendiri!" Sekali
lagi begitu selesai berkata Datuk Labalang gerakkan tangannya ke
bagian bahu, berturut-turut jarum yang terbenam
di bagian bahu kiri kanan juga di bagian belakang leher dicabutnya.
"Akrkh...!"
Si Tangan sial mengeluh tertahan. Perlahan dia merasakan belakang bagian tubuhnya
yang terasa dingin dan menimbulkan sakit yang
hebat di saat dia mencoba berpikir kini mulai lenyap. Kesadaran orang tua ini
kembali pulih. Dan dia nampak bingung tidak ubahnya seperti orang
yang baru terjaga dari mimpi buruk berkepanjangan. "Oh dimanakah aku!" desis orang tua malang ini
"Kau berada di neraka, maka tidurlah
kembali. Semoga kali ini kau mendapatkan sebuah mimpi yang indah." selesai bicara begitu Datuk Labalang acungkan
telunjuknya di tengkuk Si
Tangan Sial. Sinar biru melesat menyambar bagian tengkuk orang. Begitu tengkuknya terkena
sambaran sinar biru, Si Tangan Sial merasakan
matanya sangat berat. Mata itu dengan cepat terpejam, kepala terhempas. Dalam waktu tak seberapa lama Si Tangan sial sudah mendengkur.
"Manusia bodoh." dengus Si Datuk sambil tinggalkan lawannya. Dia kemudian
berlari ke arah mana tadi Memedi Santap Segala mengatakan ingin buang hajat. Tapi begitu sampai di balik semak belukar dia jadi kaget
karena dia tidak melihat pembantunya ada di sana.
Datuk Labalang mulai berteriak-teriak
memanggil pembantunya. Tidak ada jawaban.
Sunyi. Memedi Santap Segala lenyap.
"Tangan Rembulan, kau... kau berada dimana?" teriak si kakek. Setelah menunggu beberapa saat lamanya ternyata tak ada
sahutan atau jawaban apapun. "Jahanam keparat. Aku kena
dibodohi orang tolol, dia melarikan diri!" maki Datuk Labalang. Dia terdiam,
mata nyalang mencari
kian kemari. Sampai kemudian terfikir olehnya
akan sesuatu. "Benarkah dia telah menipuku"
Bagaimana jika dia diculik orang mengingat banyak orang yang menginginkan senjata itu. Ah...
mengapa selama ini aku berkenan memelihara
manusia setolol itu"!" rutuk Datuk Labalang sambil tinggalkan tempat itu untuk
mencari pembantunya.
10 Kembali ke puncak bukit di bagian halaman Kuil Setan. Ketika bulan sabit telah berada
di atas kepala. Pada saat itu Iblis Racun Hijau, Gento Guyon juga Ambini sudah
berdiri berdeka-tan satu sama lain. Sedangkan didepan sana Dwi
Kemala Hijau yang sejak tadi tundukkan kepala
tanpa sadar melangkah menjauh dari saudara seperguruannya sendiri.
Sekian saat lamanya tempat itu diliputi kesunyian. Dalam kesunyian itu yang terdengar
hanya suara deru angin yang tidak ubahnya se

Gento Guyon 10 Tangan Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perti suara setan yang membisikkan kejahatan di
hati setiap manusia.
"Dwi Kemala Hijau, kau tak mau menjawab
pertanyaanku" Aku tahu kaulah yang telah membuat kehancuran bagi pengawal kuil ini. Mengapa
kau lakukan kekejian itu Kemala" Mengapa kau
bertindak seakan-akan berada di pihak musuh?"
suara Maut Tanpa Suara itu terdengar memecah
keheningan. Untuk pertama kalinya gadis cantik yang
wajahnya mirip bidadari itu palingkan muka, matanya yang bening memandang ke arah Maut
Tanpa Suara. Di bawah siraman cahaya bulan
sabit mulut bagus Dwi Kemala Hijau membuka
berucap. "Maut Tanpa suara, sesungguhnya aku bukan kerabat Kuil Setan. Aku
adalah penghuni
negeri Kayangan. Satu tempat yang sangat jauh
dari sini. Sekarang ini aku ingin kembali ke negeri ku, tidak ada jalan kembali
jika aku tidak mendapat bantuan seseorang. Seseorang yang kumaksudkan adalah pemuda gondrong yang bernama Gento Guyon!" berkata begitu Dwi Kemala Hijau menunjuk ke arah Gento hingga
membuat murid kakek Gendut Gentong Ketawa itu jadi tercekat, bingung dan usap hidungnya.
Di sampingnya Maut Tanpa Suara berjingkrak kaget. Mata mendelik memandang tajam
pada si gondrong. "Bantuan apa yang bisa kau harapkan dari pemuda gondrong edan
itu" Apakah kau mengira Yang Agung akan melepaskanmu begitu saja" Ha ha ha." tanya Maut Tanpa Suara disertai tawa mengejek.
"Aku tahu Yang Agung tidak akan melepas
ku. Karena sejak dulu pun ketika diriku tersesat ke negeri ini dia telah
menjebakku, dia memaksa
agar aku jadi pengikutnya dengan kedok purapura dijadikan murid. Saat itu dirimu belum ada
di kuil ini Maut Tanpa Suara, mungkin ketika itu kau masih menjadi angin,
mungkin saat itu kau
masih berada di dalam tulang rusuk ayah ibumu." ujar si gadis.
Mendengar ucapan Dwi Kemala Hijau Gento tak dapat menutupi rasa kagetnya. Dia tak bisa memperkirakan berapa usia
gadis serba hijau ini
sekarang. Ambini gelengkan kepala. Sedangkan
Iblis Racun Hijau hanya tersenyum sambil kedipkan matanya pada Gento.
"Mungkin saat itu saudara seperguruanmu
si muka buruk itu masih berada di dalam perut
kuda, Kemala. Lalu dia jadi kentut dan begitu
kentut keluar terhirup oleh ibunya. Ibunya kemudian hamil dan lahirlah anak manusia sebagaimana yang ada didepan kita. Ha ha ha!" celetuk si gondrong disertai tawa
berderai. Wajah buruk Maut Tanpa Suara berubah
mengelam. Walaupun kemarahannya pada Gento
telah memuncak demikian hebat, namun dia masih mencoba bersabar diri dengan berkata ditujukan pada Dwi Kemala Hijau.
"Apapun keinginanmu, terlebih-lebih yang
menyangkut masa lalumu apa hubungan dengannya" lagi pula kau tidak mungkin kembali ke
negerimu. Yang Agung pasti tak akan memberi
izin, begitu juga aku!" kata pemuda itu tegas.
"Mengenai apa yang harus kulakukan atau
pertolongan apa yang kuharapkan darinya kau
tak perlu tahu. Yang Agung boleh saja melarang,
kau bisa saja menghalangi. Tapi aku tidak perduli.!" "Kemala, rupanya kau tak tahu bahwa selama ini aku....!" Maut Tanpa Suara tidak teruskan ucapannya
Gento tersenyum lebar. "Gadis cantik, aku
tahu kelanjutan dari ucapan saudara seperguruanmu itu. Dia pasti hendak mengatakan sebenarnya selama ini menaruh harapan dan cinta
padamu. Cuma karena disini ada kami dia jadi
malu, bukankah begitu paman Racun Hijau?"
"Aku sependapat. Jika dia cinta pada gadis
secantik ini boleh saja. Tapi rasanya dia harus
mengikis wajahnya yang buruk biar jadi bagusan
sedikit. Jika dia tetap dalam keadaan seperti itu, rasanya tidak sepadan antara
si buruk dan si
cantik berdampingan hidup bersama. Mending
gadis ini menjadi kekasihku karena kami samasama memiliki kulit hijau. Ha ha ha." sahut Iblis Racun Hijau
"Kalau kalian jadi menikah apa jadinya
nanti dengan warna kulit anakmu" Ha ha ha...!"
kata Gento menimpali.
Ambini jadi cemberut, sedangkan Dwi Kemala Hijau jadi tersipu-sipu. Iblis Racun Hijau
tertawa ngakak. Di depan sana wajah Maut Tanpa
Suara sebentar memucat sebentar memerah. Tubuhnya menggigil, pelipis bergerak-gerak, rahang menggembung pertanda bahwa
kemarahannya sudah sulit dikendalikan.
"Manusia kurang ajar. Malam ini kalian
akan terkubur di puncak bukit ini secara sia-sia."
teriak Maut Tanpa Suara. Dia kemudian berpaling
ke arah Dwi Kemala Hijau. "Kau tidak pernah pergi kemana pun apalagi bersama
kunyuk gondrong itu!" seru Maut Tanpa Suara. Bersamaan dengan ucapannya itu
laksana kilat secara tak
terduga Maut Tanpa Suara berkelebat ke arah si
gadis dan langsung lancarkan satu totokan di bagian dada Dwi Kemala Hijau. Tapi rupanya gadis
ini telah bersikap waspada sejak tadi, sehingga
begitu dia merasakan ada sambaran angin dingin
menghantam ke bagian dada dia langsung melompat mundur sambil melancarkan serangan balasan berupa tendangan menggeledek ke bagian
perut. Dari bagian kaki si gadis menderu hawa
dingin yang disertai dengan berkiblatnya sinar hijau yang langsung menghantam ke
arah sasaran. Lawan tertawa mengejek, lalu dorongkan tangan
kanannya menyambut tendangan lawan. Dengan
tangan kiri dia balas menghantam. Dwi Kemala
Hijau yang tahu kehebatan dan tenaga sakti yang
dimiliki lawannya tidak menjadi surut ketika melihat lawan bukan saja hanya menangkis. Tapi
sambil menangkis dia juga balas menghantam.
Tak dapat dihindari lagi benturan keras
terjadi. Si gadis menggerakkan kepala ke belakang. Sehingga jotosan tangan kiri lawan luput
namun akibat benturan antara kaki dan tangan
kanan lawannya membuat Dwi Kemala Hijau terhuyung dan hampir terjatuh. Selagi dirinya dalam keadaan seperti itu lawan telah
berkelebat ke arahnya sambil lancarkan satu pukulan menggeledek. Si gadis nampaknya kali ini tidak dapat
menghindar walaupun dia sudah mencoba berkelit dengan memutar badan ke samping
Buuk! "Hukh...!"
Gusrak! Satu tendangan yang dilakukan Maut Tanpa Suara tepat mendarat di bagian perut gadis
serba hijau, hingga membuat gadis ini terpelanting roboh dengan perut terasa pecah, panas seolah mau meledak. Darah menetes dari sudut bibir
Dwi Kemala Hijau. Belum lagi gadis ini sempat
bangkit berdiri lawan telah menyerangnya kembali sambil hantamkan kakinya ke arah kepala gadis itu. Melihat ganasnya serangan
yang datang itu
tentu membuat Gento Guyon tak dapat tinggal diam. Sambil berteriak keras dia menghantamkan
kedua tangannya secara berturut-turut.
"Katanya cinta, mengapa sekarang berubah
jadi benci" Konon sayang, mengapa sekarang malah hendak dibunuh?" Suara si pemuda yang
menggeledek tenggelam dalam gemuruh suara
pukulan yang dilepaskannya sendiri. Melihat serangan datang dari arah sampingnya, Maut Tanpa
Suara terpaksa batalkan serangan, kini dia berbalik sambil memapaki serangan
ganas yang dilancarkan Gento Guyon.
Ketika tangan kanan Maut Tanpa Suara
dihantamkan ke depan selarik sinar merah menderu di udara. Hawa panas dan hawa dingin datang silih berganti. Satu benturan keras tak dapat dihindari lagi.
Terdengar suara ledakan berdentum. Kuil
Setan laksana di guncang gempa. Dua sosok tubuh sama terpental ke belakang. Di sebelah kiri
dekat obor besar Gento terkapar, nafas megapmegap dada terasa sesak bukan main sedangkan
dari mulut dan hidungnya darah nampak menetes. Di depan sana tak jauh dari Kuil Setan,
Maut Tanpa Suara jatuh terhenyak sambil dekap
dadanya. "Pemuda gondrong itu ternyata tak dapat dianggap enteng. Entah ilmu pukulan apa
yang dia miliki, yang jelas aku merasakan sekujur tulang-tulang tubuhku laksana
bertanggalan!" rutuk Maut Tanpa Suara. Tapi tanpa menghiraukan
sakit dibagian dadanya pemuda itu bangkit lagi.
Rasa dendamnya pada Gento demikian besar karena dia menganggap pemuda itu telah menarik
perhatian Dwi Kemala Hijau. Kini selagi Gento dalam keadaan terlentang dia ingin
menghabisinya. Melihat gelagat yang tidak baik ini Ambini
tidak tinggal diam. Dia langsung melompat ke
arah Gento dengan sikap melindungi. Akan tetapi
pada saat itu ternyata Maut Tanpa Suara, sesuai
dengan julukannya tanpa mengucapkan sepatah
katapun sudah berkelebat ke arahnya. Satu tendangan diarahkan pada Gento, satu hantaman
keras menderu ke bagian bahu Ambini. Serangan
yang dilakukan Maut Tanpa Suara ini bukan serangan biasa karena lawan telah mengerahkan
seluruh kesaktian sekaligus tenaga dalam yang
dia miliki. Melihat ganasnya serangan sambil bergulingan Gento berteriak.
"Ambini menyingkir!"
Entah mendengar atau tidak, yang jelas
Ambini tidak bergeser dari tempatnya. Sementara
Gento telah bergulingan ke samping hingga luput
dari hantaman kaki lawan. Sebaliknya Ambini kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke bagian tangan. Kedua tangan lalu didorongkan ke depan
menyambut hantaman lawannya.
Buuuk! Deees! Hantaman yang luar biasa kerasnya itu
ternyata tak dapat dibendung oleh Ambini. Tinju
lawan menerobos pertahanannya hingga menghantam bagian ulu hati.
Ambini memekik kesakitan, tubuhnya terpelanting lalu jatuh terbanting dengan wajah pucat laksana mayat.
"Ambini....!" jerit Gento yang menyangka gadis itu tewas seketika. Laksana kilat
dia berlari mendapatkan Ambini. Dia melihat dari mulut gadis itu mengucurkan
banyak darah. Gento segera
memeriksa denyut nadi gadis yang telah menolongnya itu. Gento segera mengetahui Ambini
menderita luka hebat di bagian dalam. Dia cepat
tempelkan tangannya ke perut gadis itu, tenaga
dalam disalurkan ke dada si gadis. Hingga Ambini kemudian merintih dan terbatukbatuk. Ketika batuk darah lebih banyak keluar.
"Gento...!" rintih si gadis. Murid Gentong Ketawa memberi isyarat agar Ambini
jangan bicara. Dari balik kantung celananya pemuda ini
mengambil sebuah pil berwarna hitam pemberian
Tabib Setan. Pil itu kemudian dimasukkanya ke
dalam mulut Ambini. Ketika obat mujarab itu
memasuki tenggorokannya, Ambini merasakan
dadanya yang panas laksana terbakar kini berubah sejuk. "Tetaplah kau berada disini. Kau belum boleh bergerak!" kata Gento. Setelah itu dia bangkit, kemudian membalikkan badan,
hingga menghadap ke arah lawan. Namun pada saat itu lawan
sedang menghadapi gempuran hebat dari Iblis
Racun Hijau dan juga Dwi Kemala Hijau. Ternyata
ketika melihat Gento dan Ambini terpukul roboh,
Iblis Racun Hijau sudah tak dapat tinggal diam
lagi. Kini mendapat serangan bertubi-tubi dari
dua lawan sekaligus Maut Tanpa Suara nampak
terdesak hebat. Beberapa kali pukulan yang dilancarkannya tidak mengenai sasaran. Semua ini
membuat Maut Tanpa Suara menjadi sangat marah "Bangsat-bangsat pengecut beraninya main keroyok!" teriak pemuda berpakaian
serba merah itu sengit. Dia kemudian salurkan tenaga dalamnya ke bagian tangan.
Tak berselang lama kedua
tangan itu telah berubah biru berkilauan.
"Hati-hati dia hendak menggunakan ajian
Telapak Setan!" seru Dwi Kemala Hijau lantang.
Gento yang saat itu hendak mengambil tindakan
urungkan niat karena bagaimanapun dia tak mau
bertindak pengecut dengan melakukan keroyokan, sungguhpun demikian dia tetap bersikap
waspada menjaga segala kemungkinan yang tidak
diingini. Pada waktu itu begitu mendengar peringatan Dwi Kemala Hijau. Iblis Racun Hijau hanya
tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku tahu inilah ilmu yang paling hebat
yang dimiliki oleh penguasa Kuil Setan. Malam ini aku ingin merasakan
kehebatannya!" teriak Iblis Racun Hijau lantang. Sambil berucap begitu Iblis
Racun Hijau tunggingkan pantatnya menghadap
ke langit. Dua tangan ditempelkan ke permukaan


Gento Guyon 10 Tangan Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanah. Tenaga dalam dikerahkan, lalu disalurkan
ke bagian kedua belah tangannya. Tak berapa lama kemudian dengan tubuh membungkuk dan
tangan diacungkan ke arah lawan tubuhnya berkelebat. "Heaaa. ..!"
Satu teriakan keras bergema di udara. Dari
sebelah kirinya Dwi Kemala Hijau juga lepaskan
satu pukulan menggeledek. Angin panas seperti
puting beliung bergemuruh di udara. Maut Tanpa
Suara yang yakin akan kehebatannya sendiri
sambil berteriak lantang langsung menghantam
ke dua arah sekaligus.
Wuut! Wuuut! Untuk yang kesekian kalinya Kuil Setan
laksana di guncang gempa.
Tiga sosok tubuh yang saling lancarkan serangan hebat dengan mengerahkan segenap kesaktian yang mereka miliki nampak tenggelam dalam kepulan pasir dan debu yang berterbangan di
udara. Di salah satu sudut diluar tempat terjadi pertempuran hebat, Gento yang
sempat terhuyung jadi gelengkan kepala, "Mereka rupanya sudah menjadi gila untuk
membunuh hingga
mengeluarkan seluruh kekuatan yang mereka miliki!" gumam Gento.
Bummm! Buuum! Tak urung pemuda ini terpaksa jatuhkan
diri sama rata dengan tanah ketika ledakan berdentum menggema di tempat itu. Satu jeritan terdengar, namun suara jeritan seolah lenyap di tin-dih suara gemuruh hebat akibat
ledakan. 11 Beberapa saat kemudian ketika suara gemuruh lenyap, dan debu, batu yang bertaburan di
udara juga sirna. Maka Gento dapat melihat satu
lubang hitam menganga di samping halaman Kuil
Setan. Tak jauh di depannya terlihat Iblis Racun Hijau tergeletak dalam keadaan
terlentang. Sekujur tubuhnya yang hijau pucat kotor berselimut
debu, tangan bengkak menggembung sedangkan
kening benjol besar. Perut orang tua ini berkedut-kedut, sedangkan nafas kembang
kempis. Jauh di
depan sana, di sebelah kiri Gento, Dwi Kemala Hijau nampak terduduk. Sebagian
pakaian di ba- gian perut robek besar. Hingga terlihat kulit perutnya yang mulus kehijauan.
Melihat darah yang
mengalir dari mulut gadis ini, nampak jelas saat itu dia menderita luka dalam
cukup parah. Sedangkan tak jauh dari lubang besar akibat ledakan terlihat satu sosok hitam hangus
yang masih mengepulkan asap berbau busuk,
menyengat. Itulah mayat Maut Tanpa Suara yang
tewas akibat tak sanggup membendung pukulan
yang dilancarkan kedua lawannya. Sekali lagi
Gento gelengkan kepala.
Kini perhatiannya kembali tertuju ke arah
Iblis Racun Hijau. Melihat keadaan orang tua itu kini dia tertawa tergelakgelak. "Sungguh saat ini keadaan tubuhmu seperti seorang bocah yang baru tercebur ke dalam air comberan. Paman Racun Hijau,
kau mau terus rebahan disitu, apa perlu kutolong"!" tanya Gento disertai senyum mengejek.
"Bocah edan sial!" damprat Iblis Racun Hijau. Dengan tertatih-tatih dan nafas
megap- megap orang tua yang sekujur tubuhnya berwarna hijau ini bangkit berdiri. "Keadaanku jadi tak karuan begini rupa, gara-gara
menolongmu. Jika
kau dan gadis itu kubiarkan sejak tadi kau sudah merat dari dunia ini. Aku...
aku sendiri merasa
tubuhku menjadi gerah. Aku harus kembali ke
tempat asalku. Aku harus berendam di Telaga Hijau," kata Iblis Racun Hijau. Dia lalu menoleh ke arah Ambini. "Gadis yang
terluka itu harus ku-bawa. Mungkin dia akan kuberi racun karena obat mu kurang mujarab!"
Mendengar ucapan orang tua itu Gento
tentu saja jadi kaget. Dia memandang pada Ambini dan Iblis Racun Hijau silih berganti "Paman Racun Hijau. Kau hendak membawa
Ambini mau kau apakan rupanya dia?" tanya si pemuda. "La-gipula urusan disini belum
selesai. Ambini memang sudah dapat kita selamatkan, tapi guruku
entah dimana saat ini. Selain itu senjata Bintang Penebar Petaka juga masih
belum ketahuan berada di mana." ujar pemuda itu lagi.
Iblis Racun Hijau gelengkan kepala "Urusan senjata dan juga mengenai dirimu itu menjadi tanggung jawabmu sendiri. Aku
terus terang saja
tidak dapat berada di luar telaga Hijau lebih lama.
Karena tubuhku bisa kering, jika kering aku jadi sulit bernafas. Bahkan tubuhku
bisa meledak. Sekarang aku harus pergi, sampaikan salamku
pada gurumu jika dia panjang umur. Tapi jika dia meninggal nanti pasti akan
kukirim karangan
bunga dan panggang ayam ke pusarannya! Nah
bocah edan, selamat berjuang. Ha ha ha!" berkata begitu dengan kecepatan laksana
kilat dia berkelebat menyambar Ambini.
"Hei, kodok.... apa-apaan ini....!" teriak Gento. Dia tidak tinggal diam. Dengan
cepat pula pemuda ini menghalangi. Sayang kakinya terge-lincir hingga membuatnya
terjatuh. Ketika dia
bangkit kembali dilihatnya Iblis Racun Hijau telah raib. Jauh di bagian lereng
bukit sayup-sayup
terdengar suara tawa Iblis Racun Hijau yang diselingi oleh jerit Ambini yang memanggil-manggil
nama Gento. Dalam kebingungan pemuda ini hendak lakukan pengejaran. Tapi ketika dia hendak laksanakan niatnya satu suara menegur.
"Biarkan saja gadis itu. Dia tak akan disakiti oleh Iblis Racun Hijau!" kata satu suara. Kaget, Gento langsung menoleh.
Kejutnya bukan kepalang ketika menyadari orang yang baru bicara
tadi ternyata adalah Dwi Kemala Hijau.
"A... apa maksudmu" Apakah kau mau
mengajakku pelesiran" Aku pasti mau jika urusanku telah selesai. Apalagi walaupun tubuhmu
hijau tapi wajahmu secantik ini! Ha ha ha." kata Gento sambil tertawa terbahakbahak "Gento, jaga kau punya mulut. Saat ini ada
sesuatu yang amat penting ingin kubicarakan
denganmu!" kata Dwi Kemala Hijau tegas.
Baru saja murid kakek Gentong Ketawa
hendak membuka mulut keluarkan ucapan. Pada
saat itu secara tiba-tiba terdengar suara bergemuruh hebat yang berasal dari
bagian bawah perut
bukit juga dari bagian dalam Kuil Setan. Bersamaan itu pula terdengar suara raungan aneh
yang begitu keras menggeledek.
Kemudian terdengar suara ratap bercampur amarah. "Jahanam terkutuk! Bintang Penebar Bencana raib, salah seorang murid
jadi penghia-nat dan satunya lagi tewas. Darahnya tertumpah
membasahi puncak bukit. Kuil Setan tak dapat
ku pertahankan keutuhannya. Aku akan gentayangan. Semua orang yang mengusik ketenanganku pasti kubunuh!" teriak suara itu.
Suara gemuruh makin bertambah menghebat. Guncangan yang terjadi di puncak bukit makin menggila. Kuil Setan retak disana sini.
"Gento.... cepat kita menyingkir dari tempat ini. Tadi yang bicara itu adalah
Iblis Berjubah Merah.... dia adalah Yang Agung....!" teriak Dwi Kemala Hijau.
Wajahnya yang cantik itu jadi berubah hijau pucat, mata mendelik memandang ke
arah Kuil. Jelas sekali pada saat itu dia dilanda
ketegangan luar biasa
"Lari... hendak lari kemana" Apakah ini
yang namanya Kiamat"!" sahut Gento yang masih tercengang seolah tidak percaya.
"Sesuatu telah kita lakukan, darah penerusnya telah tertumpah. Tempat ini segera meledak!" teriak Dwi Kemala Hijau. Gadis ini kemudian berlari ke arah Gento,
menyambar tangan
pemuda itu lalu bermaksud segera meninggalkan
tempat itu. Akan tetapi di saat yang sama mendadak terjadi ledakan menggelegar laksana gunung
meletus. Bukit meledak melontarkan apa saja
yang ada di sekitarnya.
"Akhh...!" Gento dan Dwi Kemala Hijau sa-ma-sama berteriak ketika merasakan
seakan ada satu tangan raksasa melontarkan mereka ke langit kelam. Dalam gelap tubuh mereka entah tercampak ke mana. Sementara itu puncak bukit
meledak, maka Kuil Setan juga ikut meledak disertai semburan api yang berasal dari bagian
ruangan dalam kuil. Ledakan-ledakan keras terus
terdengar mengiriskan hati yang mendengarnya.
Bersamaan dengan meledaknya Kuil Setan, dibagian sebelah timur kuil dua sosok tubuh terpental di udara. Satu diantara dua
sosok yang terlempar keluar dari dalam kuil itu yang satu berbadan
gemuk besar luar biasa, sedangkan satunya lagi
sangat pendek, kecil bukan main. Dua sosok ini
kemudian melayang ke arah kegelapan dan lenyap bersama lenyapnya suara jeritan mereka.
Sementara pada saat yang sama pula dekat pintu
kuil yang hancur menjadi puing-puing satu cahaya merah laksana api nampak melesat meninggalkan Kuil yang hancur serta puncak bukit yang
kini sudah sama rata dengan tanah. Cahaya merah itu kemudian lenyap di sebelah timur bukit
yang hancur. Ledakan-ledakan keras masih terus terdengar sesekali diselingi dengan suara lolong
aneh serta pekik mengerikan seperti suara arwah
gentayangan yang sedang menjalani penyiksaan
yang hebat. Malam terus berlalu, bulan sabit lenyap
tenggelam di ufuk barat. Kuil Setan sudah tidak
terlihat lagi. Hanya asap hitam mengepul, membubung tinggi ke angkasa menyambut datangnya
sang fajar. -TAMAT- NANTIKAN EPISODE MENDATANG!!!
BIDADARI BIRU Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Laron Pengisap Darah 5 Pedang Pelangi Jay Hong Ci En Karya Tong Hong Giok Petualang Asmara 8

Cari Blog Ini