Ceritasilat Novel Online

Warisan Laknat 2

Joko Sableng 12 Warisan Laknat Bagian 2


Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra ini. Anak manusia itu memiliki tanda angka
131 pada telapak tangan kirinya serta gambar seorang tua mengenakan sorban
putih. Kelak jika anak manusia itu muncul, terlebih dahulu serahkan
butiran merah ini.
Pada bagian bawah daun lontar juga
terdapat tulisan.
Siapa pun yang tidak berhak, jangan coba-coba membuka. Dan sampaikan pesan ini
pada orang yang dipercaya kalau anak manusia yang ditentukan belum juga muncul.
Setelah membaca berulang kali, Mara Sakti masukkan daun iontar ke balik
pakaiannya. Lalu perlahan-lahan kedua tangannya menjulur mengambil dua tumpukan
kitab berwarna kuning dan biru,
Sepasang mata Mara Sakti tak berkesip perhatikan dua kitab yang dipegangnya
dengan tangan bergetar. Sesaat dada pemuda ini dirasuki kebimbangan antara
menuruti pesan dan melanggarnya. Malah sejurus tangan kanannya sudah bergerak
hendak membuka kitab.
Namun tiba-tiba seakan-akan ada kekuatan dahsyat yang menghalangi. Bukan saja
membuat tangan kanannya tertahan, tapi tubuhnya
berguncang! Sadar akan apa yang hendak terjadi, Mara Sakti urungkan niat. "Maafkan aku
Eyang...,"
gumamnya seraya menoleh pada gundukan tanah merah di sebelah kanan.
Setelah dapat kuasai diri, Mara Sakti putar kepalanya kembali. Kejap lain kedua
kitab dimasukkan ke balik pakaiannya. Lalu melangkah kearah gundukan tanah
merah. "Eyang Guru.... Semoga arwahmu tenang.
Aku akan laksanakan tugas yang kau
berikan...." Mara Sakti bungkukkan tubuh.
Lalu putar diri dan berkelebat ting-galkan tempat itu.
* * * Kita tinggalkan dahulu Mara Sakti yang mengemban tugas dari eyang gurunya. Kita
ikuti lagi perjalanan dedengkot rimba persilatan Ageng Barada yang kini telah
memaklumkan diri sebagai Datuk Kematian.
Saat ini adalah hari kesembilan setelah terbunuhnya Resi Kamahayanan di tangan
Datuk Kematian.
Matahari baru saja merambat dari titik tengahnya. Pada lamping jurang sebelah
selatan Dusun Udan Awu, seorang laki-laki berusia setengah baya berwajah garang
mengenakan pakaian lusuh tampak berulang kali menghela napas panjang dan
sesekali mengusap wajahnya yang kelimis dengan kedua telapak tangannya. Lalu
sepasang matanya yang tajam berputar liar ke sana kernari dan acap kali
terpentang besar perhatikan ke arah luar goa, di dalam mana saat itu dia berada.
Mungkin karena suasana di luar goa tidak begitu jelas, laki-laki ini beranjak
melangkah ke arah mulut goa. Kepalanya lalu disorongkan melampaui mulut goa.
Teriknya sinar matahari segera menyambut, namun orang ini tidak segera menarik
pulang kepalanya.
Seba-liknya sepasang matanya dipentangkan besar perhatikan keadaan di luar.
Setelah agak lama baru laki-laki ini tarik kembali kepalanya masuk. Lalu putar
diri dan melangkah ke ba-gian tengah dalam goa. Kedua bahunya tampak digerakgerakkan. Kedua telapak tangannya kembali mengusap wajahnya. Sesaat kemudian dia melangkah
mondar-mandir dengan kedua tangan saling meremas. Dari gerak-gerik laki-laki ini
jelas memberi isyarat bahwa dia sedang menunggu sesuatu atau setidaknya menanti
kedatangan orang.
"Bayumanik dan Sawitri tidak ada kabar beritanya. Lalu dua utusan yang menyusul
juga tak menemukannya. Ada apa gerangan" Dan ke mana dia menghilang" Saat ini
adalah hari perjanjian. Tapi mengapa dia belum juga muncul"!" gumamnya seraya
mengerling ke arah mulut goa.
"Akan kutunggu hingga matahari tenggelam. Kalau dia tidak muncul hari ini pasti
telah terjadi sesuatu! Hem...."
Laki-laki ini goyangkan kepala. Lalu melangkah menuju bagian samping dinding
goa. Dia telah memutuskan untuk menunggu seraya bersemadi.
Laki-laki ini duduk bersila menghadap mulut goa. Perlahan sepasang matanya
memejam. Namun baru saja kelopak matanya mengatup, tiba-tiba saja dia membuka kembali.
"Hem.... Ada orang menuju kemari. Mudah-mudahan bukan orang lain!" desisnya
sambil pentangkan mata mengawasi keluar goa.
Laki-laki ini tidak menunggu lama untuk buktikan ucapannya. Karena di lain kejap
satu bayangan hitam berkelebat di depan mulut goa.
Tahu-tahu satu sosok tubuh telah tegak di dalam goa!
Rasa tegang dan cemas yang sejenak tadi terbayang di wajah laki-laki di dalam
goa mengendor. Sejarak enam langkah dari tempatnya, seorang laki-iaki berusia
lanjut tampak tegak dengan sedikit dongakkan kepala.
Laki-laki ini mengenakan jubah panjang berwarna hitam sampai kedua mata kakinya.
Laki-laki setengah baya beranjak
bangkit. Memperhatikan pada orang yang baru datang dan tidak lain adalah Datuk
Kematian lalu berkata.
"Syukur kau datang, Ageng Barada. Aku sudah Cemas dan khawatir kau mendapat
halangan!"
"Panembahan Suro Agung!" kepala Datuk Kematian bergerak menghadap laki-laki di
hadapannya. "Aku selalu menepati janji!"
"Benar! Tapi sebenarnya aku telah merubah hari perjanjian kita...!"
Dahi Dewa Kematian berkerut. "Apa
maksudmu..."!"
"Apa sebelum ini kau tidak kedatangan orang"!"
Sepasang mata Datuk Kematian menyipit.
"Selama aku menyendiri dan menunggu hari perjanjian, tidak seorang pun
menemuiku!"
"Hem.... Rupanya ada yang tidak beres!"
"Aku tidak mengerti dengan ucapanmu!"
Laki-laki yang dipanggil dengan
Panembahan Suro Agung arahkan pandangan ke jurusan lain lalu berucap.
"Setengah purnama yang lalu aku mengutus dua orang untuk menemuimu! Aku
bermaksud mengajukan hari pertemuan kita. Namun kedua orang utusan itu tidak ada
kabar beritanya.
Malah orang yang kusuruh menyusul ke tempatmu mengatakan kau tidak ada di
tempat!" Datuk Kematian tertawa perlahan. "Aku sengaja pergi dari tempatku sebelum hari
yang ditentukan. Tapi kepergianku tiga hari yang lalu. Jadi kalau benar dua
utusanmu berangkat
setengah bulan yang lalu, pasti dia masih sempat menemuiku! Nyatanya tidak
seorang pun yang muncul di tempatku!"
"Hem.... Itulah yang membuatku gusar, Ageng Barada! Jangan-jangan
utusan itu berkhianat!"
Datuk Kematian geiengkan kepala. "Itu tidak mungkin, Panembahan Suro!"
"Bagaimana kau bisa berkata begitu"!"
"Kalau mereka berkhianat, mungkin tempat ini telah dikepung musuh kita. Padahal
aku tidak melihat adanya orang di luar sana!"
"Lalu ke mana mereka"!"
"Tiga hari aku berkeliaran di luar. Tapi itu sudah cukup bagiku menarik
kesimpulan kalau saat ini suasana benar-benar kacau!
Bukan tidak mungkin kedua orang itu tersandung halangan Tapi kau tidak usah
cemas, dengan tidak adanya
orang yang mengetahui pertemuan ini, berarti kedua orang itu masih dapat menyimpan
rahasia!" Panembahan Suro Agung anggukkan kepala.
"Tapi aku masih belum tenang, Ageng Barada!
Mungkin saja mereka bisa menyimpan rahasia pertemuan ini, tapi tidak mustahil
dia membuka rahasia yang lain!"
"Hem,... Itukah sebabnya kau menyamar dengan mengenakan pakaian dekil"!" tanya
Datuk Kematian seraya perhatikan pakaian yang dikenakan Panembahan Suro Agung.
"Seperti ucapanmu, keadaan saat ini benar-benar kacau. Untuk menghindari hal-hal
yang tidak kuingin-an, terpaksa aku harus menyamar begini rupa!"
"Hem.... Sekarang katakan apa
rencanamu!"
"Ageng Barada. Saat inilah waktu yang kita tunggu-tunggu! Enam hari di muka kita
bergerak!"
"Secepat itu" Apakah semuanya sudah siap"!"
"Sebenarnya waktu yang kita tentukan semula bukan enam hari di muka. Tapi dengan
tidak munculnya kedua utusan yang menemuimu, aku khawatir rencana ini bocor.
Jadi harinya kita rubah. Ini untuk menjaga hal di luar dugaan kita! Mengenai
persiapan, semuanya beres. Dan kau yang nanti memimpin orang-orang kalangan
persilatan!"
"Soal pembagian kalau kita berhasil"!"
"Tetap seperti semula. Kau akan mendapat jabatan tinggi! Lebih dari itu kau
nanti berhak mengurus tokoh-tokoh rimba
persilatan!"
Datuk Kematian tersenyum. Diam-diam
dalam hati laki-laki ini berkata. "Jangan kira aku tidak mengetahui niat
busukmu, Panembahan Geblek! Kau hanya membutuhkan tenagaku saat genting begini.
Begitu kekuasaan telah kau genggam, kau akan singkirkan diriku, Hem.... Jangan
kira aku dapat kau langkahi!"
Kalau Datuk Kematian diam-diam membatin begitu, ternyata Panembahan Suro Agung
juga berkata sendiri dalam hati. "Ageng Barada!
Saat ini bisa saja kau mabuk kepayang dengan angan-anganmu! Tapi begitu
kekuasaan berada di tanganku, kau akan mendapat imbalan setimpal. Kematian!"
"Apa ada hal-hal yang belum jelas"!"
tanya Panembahan Suro Agung setelah keduanya sama-sama terdiam dengan pikiran
masing- masing. Datuk Kematian gelengkan kepala. "Kurasa semuanya cukup jelas. Dan hal itu nanti
bisa kita bicarakan lagi, karena aku akan datang sebelum enam hari di muka!"
"Baiklah! Aku harus segera pergi...."
Panembahan Suro Agung menatap sejurus pada Ageng Barada alias Datuk Kematian.
Kejap lain laki-laki setengah baya ini telah melangkah ke arah mulut goa.
Belum sampai Panembahan Suro Agung
berkelebat keluar goa, mendadak terdengar suara desiran dahsyat. Laksana kilat
Panembahan Suro Agung balikkan tubuh. Laki-laki ini terkesiap. Memandang ke
depan, satu gelombang angin luar biasa kencang telah menggebrak kearahnya!
Sementara di depan sana Datuk
Kematian tampak tegak dengan
perdengarkan suara tawa mengekeh panjang.
"Jahanam! Apa yang kau lakukan"!" seru Panembahan Suro Agung dengan suara keras.
Sepasang mata laki-laki ini mendelik angker.
Rahangnya mengembung besar. Pelipis kanan kirinya bergerak-gerak.
Datuk Kematian tidak menjawab.
Sebaliknya dia perkeras tawanya. Di lain pihak, Panembahan Suro Agung segera
berkelebat menghindar.
Brakkkk! Goa itu bergetar. Dinding di samping mulut goa berderak ambrol akibat pukulan
yang dilancarkan Datuk Kematian berhasil dihindari Panembahan Suro Agung.
Panembahan Suro Agung angkat kedua
tangannya. "Ageng Barada! Kenapa kau menginginkan kematianku, hah"!"
"Dengar Panembahan Suro Agung! Ageng Barada telah tiada! Saat ini kau sedang
berhadapan dengan calon penguasa tunggal rimba persilatan dan kerajaan! Aku
adalah Datuk Kematian!"
"Jahanam pengkhianat! Jangan-jangan kau telah berbuat keji pada kedua utusanku!"
Datuk Kematian tertawa bergelak lebih keras. "Lucu! Kau menyebutku pengkhianat!
Padahal bukankah kau yang merencanakan pengkhianatan ini, hah"! Kau inginkan
kekuasan dan menarik beberapa orang untuk membantumu mencapai tujuan! Orang
macam kau pantas menerima nasib seperti utusanmu!"
"Keparat! Tidak kusangka kalau kau berani menggunting lipatanku!"
"Aku bukan orang bodoh seperti yang selama ini kau duga, Suro Agung! Aku tahu
niat busukmu! Aku tahu siapa kau sebenarnya dan apa rencanamu setelah tujuanmu
tercapai!"
Mendengar ucapan Datuk Kematian, sesaat Panembahan Suro Agung terdiam. Tapi
kejap lain laki-laki ini tertawa terbahak. "Bagus kalau kau telah tahu
rencanaku. Dan itu berarti kau harus mampus sebelum waktunya!"
Habis berkata begitu, Panembahan Suro Agung dorong kedua tangannya yang sedari
tadi sudah terangkat.
Datuk Kematian menyeringai. Laki-laki berjubah hitam panjang ini tidak tinggai
diam. Kedua tangannya serentak diangkat lalu dihantamkan memangkas.
Dua gelombang dahsyat bentrok. Untuk kedua kalinya goa itu bergetar. Langitlangitnya bertabur.
Baik Datuk Kematian maupun Panembahan
Suro Agung sama tersurut satu langkah ke belakang. Paras keduanya berubah.
Mungkin karena tahu siapa yang dihadapi, juga karena ingin segera selesaikan
urusan, begitu dapat kuasai diri Panembahan Suro Agung selinapkan tangan
kanannya ke balik pakaiannya. Saat tangannya ditarik keluar, tampak sebuah
pedang bersarung berwarna kuning keemasan.
Melihat Panembahan Suro Agung keluarkan pedang, bukan membuat Datuk Kematian
terkejut. Sebaliknya laki-laki ini tertawa seraya kacak pinggang.
"Kau boleh memiliki pedang mustika beberapa biji, Suro Agung! Tapi sebelum kau
sempat menggunakannya, aku akan terlebih dahulu memutus selembar nyawamu!"
"Kita lihat, apakah ucapanmu benar!"
sentak Panembahan Suro Agung. Laki-laki ini sebenarnya tahu sampai di mana
kekuatan sang Datuk karena selama ini keduanya saling bersahabat. Selain itu
sebenarnya Panembahan Suro Agung bukanlah orang sembarangan. Hanya karena selama
ini dia selalu tidak
menunjukkan kepandaiannya, orang menduga dia hanya orang terpelajar yang
mengabdi pada salah seorang keturunan Raja Singasari yang sedang berperang.
Namun sebagai sahabat, Datuk Kematian tahu siapa adanya Panembahan Suro Agung.
Kalau dahulu Datuk Kematian masih harus berhitung untuk menghadapi sang
Panembahan, tidak halnya dengan saat ini.
"Kau salah omong, Suro Agung! Kau tidak akan dapat melihat! Karena kau akan
mampus terlebih dahulu!"
Panembahan Suro Agung menggereng marah.
Gagang pedang ditarik. Tampaklah sebuah pedang berwarna putih keperakan
pancarkan cahaya berkilat-kilat.
Panembahan Suro Agung angkat pedangnya.
Di seberang sana Datuk Kematian angkat kedua tangannya sejajar dada. Lalu
secepat kilat ditarik ke belakang mengusap dadanya di mana tersimpan kitab hitam
yang baru selesai diciptakan dan telah merenggut beberapa korban.
Bersamaan dengan merangseknya sosok Panembahan Suro Agung yang hendak babatkan
pedangnya, terdengar suara deruan pelan.
Panembahan Suro Agung tidak melihat adanya gelombang satu sinar. Namun laki-laki
ini terkesiap. Sosoknya laksana dihantam gelombang luar biasa dahsyat hingga
bukan saja sosoknya mental balik, tapi genggaman pada pedangnya bergetar keras.
Kejap lain pedang di tangan Panembahan Suro Agung terlepas, sementara sosoknya
membentur dinding ruangan goa sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan darah
mengucur dari lobang hidung dan mulutnya!
Datuk Kematian tertawa mengekeh.
"Ternyata ucapanku yang jadi kenyataan, Suro Agung!"
Panembahan Suro Agung seakan tidak
percaya dengan apa yang dialaminya. Bahkan dia seakan juga belum mempercayai apa
yang didengarnya dari mulut Datuk Kematian, hingga laki-laki ini segera kerahkan
segenap tenaga dalamnya lalu bergerak bangkit.
Tahu apa yang pasti dialami Panembahan Suro Agung, Datuk Kematian hanya
memandang tanpa membuat gerakan apa-apa. Sementara di
depan sana, sang Panembahan tampak terhuyung.
Untung di belakangnya dinding goa. Jika tidak niscaya tubuhnya pasti akan roboh.
Dengan pegangi dadanya, Panembahan Suro Agung sandarkan punggungnya pada dinding
goa. Lalu menatap pada Datuk Kematian. Dengan bersusah payah, laki-laki ini angkat


Joko Sableng 12 Warisan Laknat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan kirinya menunjuk.
"Kau...." Ternyata hanya itu suara yang bisa terdengar dari mulut Panembahan
Suro Agung. Saat bersamaan, tangan kirinya laksana disentak dan luruh ke bawah.
Kejap lain sosoknya ikut melorot jatuh dengan sekujur tubuh berubah menjadi
kehitaman! Rupanya Panembahan Suro Agung tidak mau begitu saja putus asa. Dia kembali
hendak kerahkan tenaga dalam. Namun sia-sia. Dia mengerang. Tapi erang-annya
mendadak terputus!
Bersamaan dengan itu terdengar suara tawa bergelak.
* * * Sejak peristiwa hilangnya Panembahan Suro Agung tanpa ada seorang pun yang
mengetahuinya, suasana disekitar
daerah Singasari makin tidak karuan. Bukan saja peperangan makin berkobar tapi beberapa
tokoh dunia persilatan satu persatu hilang atau kalau ditemukan sudah tidak
bernapas lagi dengan sekujur tubuh berubah laksana dipanggang bara api hingga
tak dapat dikenali lagi.
Di lain pihak, Ageng Barada alias Datuk Kematian terus menebar kematian di manamana. Kalau pada awalnya laki-laki ini juga menginginkan kekuasaan di kerajaan,
bersama berlalunya waktu dia rupanya merubah niat.
Menjadikan dirinya sebagai penguasa tunggal rimba persilatan nyatanya lebih
menarik hatinya, karena dia berpikir dengan berhasil menjadi penguasa dunia
persilatan mau tidak mau pihak kerajaan pun nanti pasti akan tunduk padanya!
Setidaknya dia akan bisa mengatur jalannya kerajaan walau berada di belakang.
Karena Datuk Kematian memiliki kitab hitam yang luar biasa hebat, dalam waktu
singkat apa yang menjadi keinginannya tercapai. Dia menjadi seorang tokoh yang
bukan saja berpengaruh di dalam lingkungan para keturunan Raja-raja Singasari
yang masih berebut kekuasaan, dia juga muncul sebagai tokoh rimba persilatan
yang ditakuti. Namun sebagai manusia biasa, Datuk
Kematian punya kelemahan. Yang paling tidak bisa dia hilangkan adalah
kesukaannya pada perempuan. Karena dia tokoh yang ditakuti, perempuan apa pun
yang dikehendaki dapat direngkuhnya. Bahkan dia tidak segan-segan merampas istri
orang dan memperkosanya.
Hingga pada satu saat dia benar-benar bertemu dengan seorang perempuan muda yang
selain sulit ditaklukkan juga punya ambisi.
Sebenarnya bisa
saja Datuk Kematian
berbuat kasar pada perempuan ini yang dikenal dengan nama Ken Rakasiwi. Namun
menghadapi Ken Rakasiwi, Datuk Kematian tidak bisa berbuat banyak, karena sang
Datuk benar-benar menyintai Ken Rakasiwi. Di lain pihak, meski Ken Rakasiwi
tidak punya hati pada Datuk
Kematian namun karena dia berambisi menjadi permaisuri salah seorang keturunan
Raja-raja Singasari, dia seolah memberi harapan pada sang Datuk. Namun secara
diam-diam dia juga menjalin hubungan dengan salah seorang keturunan Raja
Singasari. Ken Rakasiwi tahu kehebatan Datuk
Kematian. Dan sebagai perempuan muda yang ambisi, dia tidak menyia-nyiakan sang
Datuk. Dia berencana mengambil kehebatan Datuk Kematian.
Mungkin karena begitu cintanya pada Ken Rakasiwi, Datuk Kematian tidak
sembunyikan pada perempuan yang berwajah cantik dan
bertubuh bahenol ini apa yang menjadikannya sebagai tokoh luar biasa.
Sejak saat itulah Ken Rakasiwi mengatur siasat bagaimana dapat merebut kitab
hitam yang ada di tangan Datuk Kematian. Hingga pada suatu hari Ken Rakasiwi
mengajak sang Datuk ke satu tempat yang hanya mereka berdua yang tahu. Ken
Rakasiwi telah atur siasat dengan matang.
Karena Ken Rakasiwi tahu kelemahan sang Datuk, perempuan ini memanfaatkannya.
Mereka berdua bercumbu. Saat sang Datuk berada pada puncak gelora, Ken Rakasiwi
hujamkan sebuah pedang kecil tepat pada punggungnya yang langsung tembus pada
ulu hatinya. Datuk Kematian terperanjat. Meski dia adalah seorang tokoh rimba persilatan yang
sukar dicari tandingannya, namun karena yang menancap di punggungnya bukan
pedang biasa tapi sudah dibubuhi racun. maka laki-laki ini tidak dapat berbuat
banyak. Namun Ken Rakasiwi akhirnya harus pulang
dengan kecewa, karena meski sudah terluka parah, Datuk Kematian masih sempat
menyambar jubah hitam panjang nya di mana dia simpan kitab hitam sebelum dia
berlari masuk ke sebuah jurang.
Pada tahun-tahun
berikutnya akhirnya
ambisi Ken Rakasiwi tercapai. Dia
dipersunting oleh salah seorang keturunan Raja Singasari yang pada akhirnya
menjadi penguasa. Ken Rakasiwi pun menjadi seorang permaisuri. Meski demikian
Ken Rakasiwi tidak mengendurkan pencariannya pada Datuk Kematian. Secara diamdiam perempuan yang telah menjadi seorang permaisuri ini melakukan pencarian di
mana Datuk Kematian menghilang ceburkan diri. Namun sejauh ini segala usahanya
tidak berhasil. Selain dia hanya mengerti sedikit ilmu silat, dia juga tidak
berani memberitahukan urusannya pada orang lain. Hingga hanya dialah satusatunya orang yang mengetahui di mana sebenarnya menghilangnya Datuk Kematian.
5 Matahari baru saja merambat dari samping gunung. Di bawah sebuah pohon besar
seorang pemuda tampak menggeliat bangun. Usap wajahnya dengan kedua telapak
tangan lalu memandang berkeliling sambil tersenyum sendiri. Saat lain dia
menghirup udara dalam-dalam. Bersamaan dengan itu tangan kanannya bergerak
terangkat lagi. Bukan mengusap wajahnya kembali namun memasukkan jari
kelingkingnya ke lobang telinga kanannya!
Kali ini senyumnya berubah menjadi ringisan karena kegelian.
"Ke mana lagi aku harus bertanya" Sudah beberapa purnama kulalui, namun tidak
satu pun orang yang tahu perihal yang kutanyakan!
Di lain pihak Orang Tua yang sebutkan diri sebagai penjaga kitab tidak jelas
mengatakan di mana aku harus mendapatkan barang yang dikatakannya! Dia hanya
mengatakan bahwa sebelum Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra dibuat, telah muncul
terlebih dahulu sebuah kitab lain. Sialnya tanpa adanya
pemberitahuan yang jelas aku diberi tugas untuk mencari dan sekaligus
memusnahkannya!
Hm.... Apakah ilmu yang kuperoleh dari Kitab Sundrik Cakra nantinya dapat
memusnahkan kitab itu"! Mungkin di sana nanti dapat kulihat bagaimana dahsyatnya
ilmu dari Kitab Sundrik Cakra...! Lalu apa sebaiknya aku menemui Eyang Guru
Pendeta Sinting dahulu untuk memberitahukan urusan ini" Ah....
Memang itu satu-satunya jalan. Siapa tahu dia mengetahui apa yang kini harus
kulakukan!"
gumam si pemuda yang bukan lain adalah Joko Sableng.
Seperti diketahui, sewaktu membuka Kitab Sundrik Cakra, Orang Tua yang dahulu
muncul sewaktu murid Pendeta Sinting membuka Kitab Serat Biru menampakkan diri
lagi. Orang Tua ini lalu menceritakan bahwa sebenarnya selain Kitab Serat Biru
dan Sundrik Cakra masih ada lagi sebuah kitab yang kini menjadi tugas Joko untuk
mencari dan memusnahkannya. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng
dalam episode: "Misteri Tengkorak Berdarah").
Karena si Orang Tua tidak dapat
menjelaskan di mana kitab satunya itu berada, terpaksa Joko mencari tahu dengan
bertanya ke sana kemari. Namun sampai saat ini tidak satu pun orang yang
mengetahuinya, malah sebagian besar dari yang ditanya mengatakan baru pertama
kali ini mendengar.
Setelah memutuskan hendak menemui eyang gurunya Pendeta Sinting yang bertempat
tinggai di Jurang Tlatah Perak, akhirnya Joko Sableng beranjak berdiri. Lalu
melangkah hendak tinggalkan tempat itu.
Namun baru melangkah lima belas tindak, murid Pendeta Sinting hentikan langkah.
Sepasang alis matanya terangkat dengan mata sedikit membeliak. Laksana dipantek,
kepalanya lurus menghadap ke arah timur.
Dari tempatnya berdiri, Joko melihat kain putih panjang menggelantung di bawah
sebuah pohon yang tidak begitu besar. Kain itu melambai-lambai ditiup angin.
Bersamaan itu terdengar deruan keras!
Murid Pendeta Sinting angkat kepalanya ke atas. Dia terbeliak makin besar. Di
atas pohon tampak menggelantung dua sosok tubuh.
Dua sosok tubuh ini saling tindih. Orang yang sebelah atas lingkarkan sepasang
kakinya pada pinggang orang di bawahnya. Kedua tangannya lurus ke atas
berpegangan pada sebuah dahan.
Sedangkan orang yang di sebelah bawah hanya memegangi kedua kaki orang yang
melingkari pinggangnya. Orang sebelah bawah ini laksana menggendong orang yang
berpegangan pada dahan pohon.
Karena kedua orang yang saling
menggantung ini membelakangi, murid Pendeta
Sinting hanya bisa melihat bagian belakang tubuh masing-masing orang. Orang yang
sebelah atas mengenakan pakaian putih panjang. Begitu panjangnya pakaian yang
dikenakan orang, hingga pakaian bagian belakangnya menjulur ke bawah dan
melambai-lambai ditiup angin. Orang ini memiliki rambut putih jarang sampai yang
kelihatan jelas hanya batok kepalanya!
Sementara orang yang menggendong di sebelah bawah mengenakan pakaian warna biru.
Rambutnya juga sudah memutih. Perawakannya tinggi kurus.
"Pakaian yang dikenakan serta
sikapnya...," gumam Joko seraya memandang tak berkesip. "Sayang mereka
membelakangi. Tapi kalau melihat keadaan dan pakaiannya, aku hampir bisa
memastikan siapa mereka adanya...."
Murid Pendeta Sinting hendak berkelebat ke depan untuk dapat memastikan
dugaannya. Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba orang di sebelah atas gerakkan
bahunya. Kain panjang bagian belakangnya berkelebat angker keluarkan suara
menderu keras. Kejap lain dua sosok tubuh itu melayang turun seraya hadapkan
wajah pada Joko Sableng.
Kini Joko dapat melihat jelas wajah kedua orang yang masih bergendongan itu.
Orang yang digendong ternyata adalah seorang laki-laki berusia amat lanjut.
Paras mukanya hampir tidak ditutup daging sama sekali.
Demikian juga anggota tubuh lainnya. Sepasang matanya terpejam rapat, namun
bibirnya kelihatan bergerak-gerak ucapkan sesuatu yang tidak dapat ditangkap
dengan jelas. Sementara orang yang menggendong adalah seorang lakilaki setengah baya berwajah cekung.
"Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!" Orang yang menggendong buka mulut.
Sementara orang tua yang digendong tetap komat-kamit tanpa membuka matanya.
"Raja Tua Segala Dewa! Gulurawa!" seru Joko lalu bungkukkan tubuh menjura
hormat. "Selamat bertemu lagi, Anak Muda...,"
kata laki-laki yang menggendong. Orang ini hendak lanjutkan ucapannya, namun
orang tua yang digendong gerakkan tangan kanannya mengetuk punggungnya membuat
orang yang menggendong urungkan niat.
Orang tua yang digendong buka kelopak matanya yang sedari tadi terpejam rapat.
Mulutnya yang komat-kamit berhenti. Sejurus orang tua ini menatap tak berkesip
pada murid Pendeta Sinting sebelum akhirnya berkata.
"Rupanya Yang Maha Tinggi masih menentukan kita untuk bersua lagi, Anak Muda.
Mau mengatakan hendak ke mana?"
"Aku bersyukur bisa bertemu lagi denganmu, Raja Tua Segala Dewa. Aku dalam
perjalanan ke tempat Eyang Guruku Pendeta Sinting...."
Orang tua yang dipanggil dengan Raja Tua Segala Dewa dongakkan sedikit
kepalanya. "Kalau seorang murid hendak menghadap gurunya hanya ada dua urusan yang pasti
akan dikemukakan. Pertama dia bertemu dengan seorang gadis cantik dan minta sang
guru untuk melamarnya. Kedua, memiliki urusan pelik yang tidak dapat diatasi.
Aku berharap yang pertamalah urusanmu hingga kau hendak menemui Eyang
Gurumu...."
Orang yang menggendong yang dipanggil
oleh Joko dengan Gulurawa tersenyum.
Sedangkan murid Pendeta Sinting gelengkan kepala lalu berucap.
"Menyesal, Raja Tua Segala Dewa. Justru urusan kedualah yang kini kuhadapi!"
"Hem.... Terpaksa aku urungkan niat untuk ucapkan selamat padamu, Pendekar
131...." Raja Tua Segala Dewa tersenyum lalu lanjutkan ucapannya. "Setiap
manusia memang tidak akan lepas dari kesulitan, Anak Muda.
Apalagi kau sebagai orang persilatan!"
"Tapi urusan yang kuhadapi saat ini rasanya begitu sulit!"
"Kau bisa berkata begitu karena kau belum menemukan jalan keluarnya. Jika jalan
itu nanti kau temukan, kurasa tidak ada yang tidak bisa diselesaikan."
Untuk kedua kalinya Pendekar 131
gelengkan kepala. "Aku sudah mencari jalan keluar itu. Namun rasanya di manamana aku menemui jalan buntu!"
"Kau keliru, Anak Muda. Bukan jalan buntu, hanya kau belum menemukan jalan yang
benar!" "Sepertinya jalan
itu tak mungkin
kudapatkan. Segalanya serba gelap!"
Raja Tua Segala Dewa tersenyum sambil gelengkan kepalanya perlahan. "Tidak baik
patah arang berputus asa, Anak Muda.
Percayalah jalan itu ada!"
"Tapi di mana" Aku telah beberapa purnama mencari tahu. Hasilnya hanya sia-sia!
Hingga aku berpikir mungkin apa yang sedang kucari tidak ada dan orang yang
memberi tahu padaku hanya mengarang cerita. Tapi apa mungkin"!"
"Mau kau ceritakan apa urusanmu...?"
Murid Pendeta Sinting tidak berpikir panjang lagi. Dia lalu menceritakan
pertemuannya dengan Orang Tua sewaktu membuka kitab bersampul kuning Sundrik
Cakra. Dia tak segan menceritakan urusan itu pada Raja Tua Segala Dewa karena
selain dia telah tahu siapa adanya orang tua itu, juga karena dia mengharap
bantuannya. (Mengenai siapa
Gulurawa dan Raja Tua Segala Dewa silakan baca serial Joko Sableng dalam episode
: "Gerbang Istana Hantu").
"Harap kau suka memberi sedikit penerangan agar aku bisa segera selesaikan
urusan ini!" kata Joko setelah menuturkan ceritanya.
"Kalau yang berkata begitu adalah Orang Tua yang menyebut diri sebagai penjaga
kitab, aku menduga apa yang dikatakannya adalah benar. Selain itu aku juga
pernah mendengar perihal itu...."
Paras wajah Pendekar 131 seketika
berubah. Dia segera melangkah mendekat lalu berkata. "Raja Tua Segala Dewa.
Harap sudi beri tahu di mana kitab hitam itu!"
Sesaat Raja Tua Segala Dewa tidak segera menjawab ucapan Joko. Sebaliknya dia
memandang sejurus pada murid Pendeta Sinting.
Lalu arahkan pandangannya ke arah jurusan lain seraya berkata pelan.
"Kau jangan girang dahulu, Pendekar 131.
Aku hanya pernah mendengar saja. Soal di mana beradanya Kitab Hitam itu sama
sekali aku tidak mengetahuinya!"
Kembali paras Joko berubah murung. Malah kali ini terdengar dia mengeluh.
"Ah.... Lagi-lagi aku harus menemui kegelapan..."
"Masalahnya sekarang bukan kau menemui kegelapan atau tidak, Anak Muda. Tapi ada
pepatah yang mengatakan barang hitam akan lebih banyak diketahui oleh orang
golongan hitam pula!"
"Maksudmu..."!"
"Menilik nama kitab ini, jelas kitab itu diciptakan oleh seorang beraliran
hitam. Jadi yang tahu jelas perihal kitab itu pasti seorang tokoh beraliran
hitam pula!"
"Lalu siapa kira-kira tokoh hitam yang harus kutemui dan kira-kira mengetahui
perihal kitab itu?"
"Aku pernah mendengar nama seorang tokoh hitam luar biasa jahat dan punya
kepandaian sangat tinggi. Dia hidup pada beberapa ratus tahun silam...."
"Raja Tua...!" potong Joko. "Bagaimana aku harus menemui orang yang hidup pada
ratusan tahun yang lalu. Apa mungkin dia masih punya nyawa"!"
"Kau tidak boleh mencampuri urusan nyawa orang, Anak Muda. Urusan satu itu
mutlak urusan Yang Maha Kuasa. Tuhan yang kuasa untuk memanjangkan usia
makhluknya seberapa Dia mau! Dan semua itu pasti ada tujuannya.
Yang Maha Kuasa tidak mungkin berbuat tanpa ada tujuan.... Setidaknya di


Joko Sableng 12 Warisan Laknat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalamnya tersimpan hikmah meski kelihatannya sepele...."
Mendengar ucapan Raja Tua Segala Dewa, murid Pendeta Sinting terdiam. Raja Tua
Segala Dewa lanjutkan ucapannya. "Tokoh hitam itu memang tidak lagi kedengaran
kabar beritanya. Namun tidak ada salahnya kalau kau
coba menemuinya. Siapa tahu apa yang diduga orang selama ini meleset dan dia
masih hidup."
"Di mana aku harus menemuinya" Dan siapa nama tokoh itu?"
"Kalangan rimba persilatan mengenalinya dengan gelar Iblis Rangkap Jiwa. Hanya
tempatnya yang sulit ditemukan di mana...."
Pendekar 131 kerutkan dahi. "Mendengar namanya, apakah dia benar-benar memiliki
jiwa rangkap?"
"Gelaran orang biasanya memang mengisyaratkan tindak tanduk dan keadaannya.
Iblis Rangkap Jiwa memang bukan hanya sakti, namun juga kebal terhadap segala
pukulan! Itulah makanya dia bergelar Iblis Rangkap Jiwa. Dia seolah-olah memiliki nyawa
rangkap...."
"Sebagai orang golongan hitam, pasti dia tidak akan begitu saja mau mengatakan
di mana Kitab Hitam itu. Bahkan tidak tertutup kemungkinan aku harus mengadu
jiwa dengannya.
Apakah mungkin aku dapat menghadapinya?"
Raja Tua Segala Dewa tersenyum. "Dia memang berilmu sangat tinggi serta tidak
mempan segala pukulan. Namun bukan berarti dia tidak dapat dikalahkan! Asal kita
mengetahui kelemahannya!"
"Hem.... Lantas apakah kau tahu kelemahannya?"
tanya Joko dengan menatap
tajam. Murid Pendeta Sinting ini seolah tidak sabar.
Untuk beberapa lama Raja Tua Segala Dewa terdiam. Setelah menarik napas panjang
dia berkata. "Tadi sudah kukatakan, barang hitam akan
lebih banyak diketahui oleh orang golongan hitam pula...."
"Jadi aku harus menemui orang beraliran hitam lain lagi yang mengetahui
kelemahan Iblis Rangkap Jiwa itu" Lalu yang ini siapa lagi orangnya"!"
"Untuk menaiki tangga memang harus dimulai dari bawah, Anak Muda. Maka yang baru
saja kau ucapkan adalah benar!"
"Lalu siapa orangnya yang mengetahui kelemahan iblis itu?"
"Carilah seorang tokoh berjuluk Cucu Dewa. Hanya tokoh satu ini lain. Meski dia
beraliran hitam, tapi tak jarang dia berpihak pada orang golongan putih.
Pikirannya sulit ditebak. Hanya seperti halnya Iblis Rangkap Jiwa, tempatnya tak
bisa ditentukan di mana...."
Sekian kalinya murid Pendeta Sinting mengeluh. Bukan karena apa yang akan
dihadapi adalah urusan besar, namun dia khawatir ada orang yang mendahului.
Karena Orang Tua yang menemuinya itu mengisyaratkan demikian.
Setelah terdiam untuk beberapa lama, Joko berkata.
"Aku baru pertama kali dengar manusia berjuluk Cucu Dewa. Agar memudahkan untuk
mencari, harap kau jelaskan bagaimana orang itu!"
"Sayang, Anak Muda. Seperti halnya dirimu. Aku hanya pernah dengar namanya dan
belum pernah ber-jumpa. Harap kau tidak berputus asa untuk mencarinya. Karena
hanya dengan diketemukannya orang itu, jalan yang kau lalui bisa berubah
terang...."
Habis berkata begitu, Raja Tua Segala
Dewa gerakkan tangan kanan mengetuk punggung Gulurawa. Seakan tahu isyarat yang
diberi tahu orang, tanpa berkata apa-apa lagi Gulurawa anggukkan kepala lalu
berkelebat. "Kelak kalau kita jumpa lagi, kuharap hal pertama yang kau hadapi, Anak Muda.
Untuk soal itu aku tentu akan banyak
mengetahuinya...."
Suara Raja Tua Segala Dewa masih
terdengar. Namun sosoknya yang digendong sudah tidak kelihatan lagi!
"Cucu Dewa.... Hem.... Mencari orang yang tidak tentu tempat dan bagaimana ciriciri rupanya. Apakah mungkin bisa kutemukan"
Tapi hal ini harus kulakukan! Ah.... Apa tidak sebaiknya aku mencari Dewa Orok
dahulu" Bukankah menurut Orang Tua itu, rahasia beradanya Kitab Hitam ada pada mahkota
bersusun tiga yang dikatakan milik nenek moyangnya" Tapi harus ke mana kucari
orang itu" Aduh.... Kedua-duanya sulit! Baru kali ini aku harus menemui urusan
yang begini rumit."
Murid Pendeta Sinting melangkah seraya terus bergumam sendiri dan tidak jarang
geleng-geleng kepala sambil hembuskan napas panjang.
6 Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng hentikan kelebatannya. Kepalanya
menghadap lurus ke samping kanan. Telinganya
ditajamkan. "Sudah beberapa hari tubuhku tidak tersentuh air. Di arah sana kudengar suara
air mengucur...." Joko melangkah ke arah mana telinganya menangkap suara air.
Namun begitu suara pancuran air agak jelas sekonyong-konyong murid Pendeta
Sinting ini hentikan langkahnya. Kali ini bukan hanya suara pancuran air yang
tertangkap pendengarannya.
Namun juga suara orang menyanyi. Kalau suara itu suara nyanyian seorang lakilaki, tentu Joko tidak terkejut. Tapi yang didengar kali ini adalah suara
nyanyian seorang perempuan!
Dan datangnya berasal dari arah pancuran air!
"Hem.... Mungkin aku akan melihat pemandangan mengasyikkan! Siapa tahu perempuan
itu sedang mandi, tidak berpakaian dan orangnya berwajah cantik serta
bertubuh...." Joko tidak lanjutkan gumamannya. Dia segera melangkah dengan
berjingkat-jingkat. Ternyata pancuran air itu berada di sebuah dataran yang agak
landai. Sambil berpaling kiri kanan murid
Pendeta Sinting sibakkan sebagian semak yang menghalangi pandangannya. Sepasang
matanya lurus memandang ke bawah di mana pancuran air berada. Begitu semak
belukar tersibak, murid Pendeta Sinting ini hampir saja keluarkan seruan
tertahan. Joko cepat tekap mulutnya rapat-rapat meski bersamaan dengan itu sepasang
matanya membelalak besar tak berkesip.
"Benar-benar nasib mujur! Seorang perempuan muda dan tentu berwajah cantik...,"
ucap Joko dalam hati lalu sibakkan semak lebih lebar. Sepasang matanya makin
membelalak dengan dada mulai berdebar.
Di bawah sana, di samping sebuah
pancuran berair jernih tampak seorang gadis tegak seraya bersenandung lantunkan
nyanyian. Bersamaan dengan itu tangan kanan kirinya bergerak terangkat membuka rambutnya
yang dikuncir. Sesaat kemudian rambut si gadis luruh bergerai. Rambut itu
panjangnya sebatas pinggang.
"Walauaku belum bisa melihat raut wajahnya. Aku dapat menduga jika gadis itu
berwajah...."
Murid Pendeta Sinting putuskan
gumamannya. Sepasang matanya makin membesar.
Dadanya berdegup lebih keras. Si gadis di samping air pancuran perlahan-lahan
mulai membuka pakaiannya yang berupa jubah berwarna merah menyala.
Masih sambil terus bersenandung, si gadis letak-kan jubah merahnya tidak jauh
dari tempatnya berdiri. Kini tampak pakaian ringkas berwarna putih tipis
membungkus tubuhnya. Kejap lain kedua tangannya bergerak.
Dari tempatnya mengintai Joko sorongkan kepalanya ke depan. Mulutnya sedikit
terbuka menganga. Di bawah sana si gadis telah buka seluruh pakaian yang melekat
di tubuhnya. "Busyet! Benar-benar aduhai.... Putih mulus dan padat, sayang masih
membelakangi...."
Masih tidak sadar kalau dirinya diintip orang, si gadis tenang-tenang
saja bersenanduhg dan kini membasahi tubuh dengan jongkok di bawah pancuran.
"Hem.... Tak lama lagi pasti akan menghadap ke depan! Dan aku tak akan siasiakan pemandangan luar biasa ini!"
Apa yang dipikir murid Pendeta Sinting nyatanya tidak meleset. Si gadis
perlahan-lahan putar tubuhnya. Pendekar 131 menarik napas dalam. Pijakan
sepasang kakinya goyah.
Saat si gadis benar-benar telah putar tubuh, mungkin tak kuasa lagi menahan
pemandangan yang membuat dadanya berdebar, murid Pendeta Sinting tanpa sadar
keluarkan seruan tertahan!
"Busyet!" gumam Joko masih tidak sadar.
Dia cepat tekap mulutnya setelah menyadari apa yang baru saja dilakukannya.
Namun terlambat, Seruan sempat didengar oleh si gadis. Laksana kilat si gadis
sambar pakaiannya lalu mengenakan jubah merahnya. Kejap lain dia lakukan gerakan
mendorong ke arah mana Joko mengintai!
Satu gelombang luar biasa keras
menyambar ke atas.
"Celaka! Nasibku jelek! Belum sempat melihat pemandangan lebih bagus sudah
ketahuan!" desis Joko lalu cepat bergerak hindarkan diri.
Meski murid Pendeta Sinting berhasil menghindari pukulan si gadis namun nyatanya
dia harus bernasib sial. Karena serangan si gadis menghantam tanah di bawahnya,
membuat tanah itu langsung berantakan. Pijakan kedua kaki Pendekar 131 goyah.
Dia cepat gerakkan kedua tangannya menggapai semak belukar. Tapi gerakannya
terlambat. Sebelum kedua tangannya berhasil menggapai semak belukar untuk
imbangi tubuh, tanah di mana dia berpijak ikut berantakan. Hingga tak ampun lagi
sosoknya melorot.
Murid Pendeta Sinting tidak hilang akal.
Tahu bahwa dirinya akan terperosok jatuh ke bawah, dia cepat hantamkan kedua
tangannya ke lamping tanah. Dengan begitu dia berpikir tubuhnya akan tertahan
meski harus bergelantungan.
Namun di bawah sana si gadis berjubah merah rupanya tidak tinggai diam, gadis
ini rupanya tahu apa yang terpikir dalam benak Joko. Bersamaan dengan
bergeraknya kedua tangan Joko menghantam tanah bagian lamping, si gadis kembali
dorong kedua tangannya ke atas.
Tanah di mana Joko hendak coba
menggelantung dengan hantamkan kedua tangannya serta-merta buyar berantakan.
Saat bersamaan sosok murid Pendeta Sinting meluncur ke bawah!
Pendekar 131 mengaduh lalu bergerak bangkit. Namun satu kaki putih mulus telah
menekan dadanya membuat dia tidak mampu bergerak lebih jauh. Dia hanya bisa
kernyitkan dahi sambil memandang ke atas!
Bukan pada wajah si orang yang menekankan kaki ke dadanya, melainkan ke arah
selonjoran kaki yang menekan dadanya!
"Busyet! Benar-benar mulus...!" desisnya dalam hati.
Orang yang menekankan kaki di dada sang Pendekar kernyitkan kening seraya
sipitkan sepasang matanya. Namun cuma sekejap. Di lain saat sepasang mata yang
tidak lain milik gadis berjubah merah menyala mendelik angker.
Saat berikutnya kedua tangan si gadis cepat bergerak kelebatkan jubahnya untuk
menutupi pahanya yang terbuka!
"Pemuda gila! Kau cari petaka berani mengintip orang mandi!"
Seraya berteriak, kaki si gadis menekan lebih keras, membuat Joko megap-megap
sulit bernapas.
"Tunggu! Jangan... salah duga
dahulu...," ucap Joko dengan suara tersendat.
Si gadis menyeringai. Sepasang matanya menatap lekat-lekat pada pemuda di
bawahnya. Sejenak sepasang mata itu membesar lalu menyipit. Kedua alis matanya yang hitam
bergerak naik. Dahinya mengernyit.
Di lain pihak murid Pendeta Sinting belalakkan sepasang matanya. Ternyata gadis
berjubah merah itu memiliki wajah cantik jelita. Hidungnya mancung. Sepasang
matanya bulat tajam dengan kulit putih kekuningan.
Hanya murid Pendeta Sinting sedikit heran.
Meski tidak berkata-kata, mulut gadis ini kelihatan bergerak-gerak laksana
mengunyah sesuatu!
Si gadis renggangkan sedikit kakinya yang menekan dada Pendekar 131 membuat Joko
bernapas lega. Tapi kelegaan murid Pendeta Sinting ini tidak lama, karena saat
lain si gadis tekankan lagi kakinya malah kali ini lebih keras seraya membentak.
"Setan! Siapa kau"!"
Joko tidak segera menjawab pertanyaan si gadis. Sebaliknya dia hanya gapaigapaikan tangannya menunjuk nunjuk pada kaki si gadis.
Seakan sadar akan isyarat orang, si gadis kembali renggangkan tekanan kakinya.
Lalu kembali membentak.
"Kau dengar pertanyaanku, Setan! Lekas jawab atau kubuat jebol dadamu!"
"Baik,Akan kujawab pertanyaanmu..," kata Joko seraya menghela napas panjang.
"Lekas buka mulut jawab!" hardik si gadis begitu mendapati Joko tidak segera
buka mulut menjawab.
"Galak benar!" gumam Joko dalam hati lalu buka mulut. "Sabar. Semua apa yang
nanti kau tanyakan pasti kujawab dengan senang hati. Tapi beri aku kesempatan
untuk bernapas dahulu. Tekanan kakimu membuat dadaku sesak.... Dan akan lebih
baik jika kau angkat kakimu dari dadaku ini...."
"Pemuda Setan macam kau terlalu enak jika tidak diberi pelajaran! Lekas jawab!"
bentak si gadis tanpa angkat kaki kanannya dari dada Joko meski kaki itu
sekarang tidak menekan. Anehnya hal itu tidak membuat Joko menjadi lega.
Sebaliknya membuat murid Pendeta Sinting terkesiap kaget. Betapa tidak, ternyata
Joko kini tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya! Sekujur tubuhnya tegang kaku
tak bisa digerakkan!
"Siapa gadis ini"! Dia melakukan totokan tanpa aku menyadari kapan dia
melakukannya! Benar-benar sial nasibku! Belum sampai benar-benar melihat barang indah sudah
harus menerima hal seperti ini!"
Si gadis angkat kaki kanannya ditarik pulang. Lalu mendongak arahkan
pandangannya ke jurusan lain sambil berucap. "Kau tidak mau jawab pertanyaanku
Baiklah, tidak ada untungnya bagiku mengetahui nama pemuda setan sepertimu.
Selamat tinggal!"
Si gadis berjubah merah rapikan
rambutnya yang hitam panjang dan dikuncir.
Lalu tenang-tenang saja dia melangkah menjauh
tinggalkan tempat itu.
"Celaka! Aku bisa mati kaku di sini.
Tempat begini sepi tak mungkin ada orang lewat yang bisa menolongku membebaskan
dari totokan ini! Lagi pula totokan itu totokan gila. Aku akan berusaha
membuyarkan totokan ini!" gumam Joko seraya pandangi langkah-langkah si gadis.
Murid Pendeta Sinting diam-diam kerahkan tenaga dalamnya untuk bebaskan diri
dari totokan yang dilakukan si gadis. Mendadak Pendekar 131 terlengak. Meski dia
baru saja kerahkan tenaga dalam, dari tangan kanannya terasa mengalir hawa
hangat. Lalu anggota tubuhnya membuat gerakan-gerakan halus. Kejap lain dia
telah dapat buyarkan totokan si gadis.
"Hem.... Ada hawa yang mengalir dari tangan kanan, jangan-jangan ini masih ada
kaitannya dengan ilmu yang kudapat dari Kitab Sundrik Cakra...."
Joko pandangi punggung si gadis, "Akan kukerjai dia...."
Murid Pendeta Sinting buka mulut.
"Hai! Tunggu...!" Joko berteriak tanpa menggerak-kan tubuhnya. Dia berpura-pura
masih dalam keadaan tertotok.
Si gadis hentikan langkah tanpa
berpaling. Lalu terdengar suaranya.
"Aku butuh jawaban! Sekali lagi kau buka mulut selain jawab pertanyaanku tadi,
jangan harap aku akan berhenti melangkah!"
Mendengar ancaman orang, Joko cepat buka mulut menjawab.
"Aku Joko! Joko Sableng!"
Si gadis berjubah merah balikkan tubuh.
Sepasang matanya memandang, bukan pada murid Pendeta Sinting namun ke arah
jurusan lain. Lalu berucap. "Pemuda Setan! Mengapa kau berada di sini" Kau mengikuti perjalananku" Siapa
orang yang menyuruhmu untuk menguntitku" Lekas jawab!"
"Gawat! Urusannya mengapa jadi begini"
Benar-benar sial aku hari ini!"
Karena Joko tidak segera menjawab, gadis berjubah merah menyala putar diri.
Namun sebelum kakinya melangkah, murid Pendeta Sinting telah berteriak.
"Tunggu! Aku... aku tidak mengikuti perjalananmu! Aku hanya kebetulan lewat
sini! Semula aku ingin mandi. Tapi secara tidak sengaja aku memergokimu sedang...."
Joko tidak lanjutkan ucapannya.


Joko Sableng 12 Warisan Laknat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Teruskan keteranganmu!" sentak si gadis.
"Walah.... Bagaimana ini" Apa aku harus menceritakan apa yang dia sendiri
lakukan?" Mungkin khawatir si gadis berjubah merah pergi
kalau tidak dituruti kemauannya,
akhirnya Joko angkat bicara.
"Aku melihatmu sedang meiepas rambut, lalu melepas jubah...." Kembali Joko
hentikan ucapannya, berharap sang gadis akan menghentikan ucapannya. Namun
dugaan Jcko salah. Si gadis buka mulut.
"Teruskan!"
"Apa hendak dikata...," gumam Joko lalu lanjutkan keterangannya. "Kau kulihat
membuka pakaian bagian dalam yang kau kenakan.
Setelah itu aku tidak melihatmu lagi. Aku berpaling...."
Gadis berjubah merah luruskan kepala menghadap murid Pendeta Sinting.
"Pemuda Setan sepertimu, mana mungkin melakukan hal demikian"! Matamu melotot
melihatku. Betul"!"
"Sumpah! Aku menoleh pada arah lain!"
sambut Joko. Di depan sana si gadis perdengarkan suara tawa pendek. "Sumpah pemuda setan
macammu mana bisa dipercaya! Kau memelototi tubuhku! Jawab dengan jujur
atau...." Si gadis hendak putar diri. Buru-buru murid Pendeta Sinting bicara.
"Maaf. Memang benar. Tapi aku tidak melotot. Mataku menyipit! Jadi aku hanya
samar-samar melihatmu!"
"Bagus! Kau harus menerima bayaran atas kekurangajaranmu!"
"Tunggu! Aku tidak bermaksud berlaku kurang ajar! Sebenarnya kau yang salah.
Mandi di tempat terbuka. Siapa pun orangnya pasti tidak akan menyia-nyiakan.
Untung aku sipitkan mata, kalau orang lain tentu sudah melotot!"
"Hem.... Kau pandai mengkambing hitamkan orang! Pintar bersilat lidah!"
Habis berkata begitu, si gadis lakukan gerakan. Tiba-tiba sosoknya melesat ke
depan. Kejap lain kakinya bergerak lakukan tendangan. Meski murid Pendeta Sinting sudah
bisa bebaskan diri dari totokan, namun dia tidak berusaha mengelak dari
tendangan orang.
Malah dia pejamkan sepasang mata seraya buka mulut bersiap perdengarkan seruan!
Namun yang terdengar selanjutnya
bukannya suara tubuh yang kena tendangan
melainkan suara tawa merdu, membuat Joko buka kelopak matanya dan katupkan
mulutnya. Di sampingnya gadis berjubah merah
tertawa panjang, kaki kirinya tetap mengapung di atas udara seolah siap
lancarkan tendangan. Sepasang matanya mendelik.
Anehnya, di mata murid Pendeta Sinting sikap si gadis kelihatan makin membuat
wajahnya tampak cantik.
Mungkin menduga si gadis tak tega
lakukan tendangan, Joko sunggingkan senyum.
Lalu berkata. "Kuharap kita hapus kesalahpahaman ini!
Kita bisa menjadi...."
Ucapan Joko hanya sampai di situ.
Laksana dipenggal setan, ucapannya terputus tatkala mendadak kaki kiri si gadis
yang mengapung di udara bergerak.
Bukkkkk! Sosok murid Pendeta Sinting mencelat mental sampai dua tombak lalu jatuh
bergulingan dan berhenti di bawah pancuran air! Hingga tanpa ampun lagi sekujur
tubuhnya basah kuyup.
Joko pura-pura kerahkan tenaga dalamnya, saat lain dia gerak-gerakkan anggota
tubuhnya. Lalu, memandang sekilas pada gadis berjubah merah. Melihat si gadis
bisa lancarkan totokan tanpa diketahui, Joko merasa yakin si gadis bukanlah
orang sembarangan.
Dengan berpura-pura terhuyung huyung, murid Pendeta Sinting bergerak bangkit.
Seraya pegangi lambungnya yang baru saja terkena tendangan dia melangkah
mendekati si gadis.
"Kalau merasa bayarannya belum lunas, aku siap menerima tambahan...," kata Joko
sambil hentikan langkah tiga tombak di hadapan gadis berjubah merah.
"Dasar, Pemuda Setan! Kau pantas jadi muridnya orang sinting!"
"Hem.... Selain berkepandaian tinggi, cantik, juga sepertinya dia pandai menduga
orang! Jangan-jangan dia tahu kalau aku muridnya Pendeta Sinting.... Tapi ah....
Itu mungkin hanya kebetulan. Namun tidak ada salahnya jika aku mengajukan
pertanyaan pada gadis ini perihal urusanku...."
Joko buka mulut hendak ajukan
pertanyaan. Namun sebelum suaranya terdengar, gadis berjubah merah telah
balikkan tubuh lalu melangkah tanpa ucapkan sepatah kata.
"Tunggu! Sebenarnya kau hendak kemana?"
tanya Joko sambil melangkah satu tindak mendekat.
"Apa pedulimu dengan kepergianku"!
Jangan-jangan kau memang disuruh orang untuk mengikuti perjalananku!"
"Jangan terus menduga yang bukan-bukan!
Aku bukan suruhan orang! Aku bertanya siapa tahu kita searah. Bukankah kita bisa
jalan bersama?"
"Aku tidak butuh teman! Apalagi teman pemuda setan sepertimu!"
Joko hanya bisa angkat bahu sambil
gelengkan kepala. Lalu berkata.
"Hem.... Kalau kau tidak mau ditemani, bagaimana kalau kau sebutkan siapa
dirimu?" Masih tidak berpaling, si gadis
menjawab. "Sebenarnya
aku enggan memberitahukan
padamu. Tapi... baiklah. Dengar baik-baik.
Namaku Putri Sableng...!"
Murid Pendeta Sinting surutkan langkah saking tidak menduga. Keningnya berkerut
dengan sepasang mata tak berkesip perhatikan bagian belakang tubuh si gadis.
Joko tidak tahu kalau sehabis menjawab, gadis berjubah merah yang
sebutkan diri Putri Sableng
menahan tawa! "Hampir tak kupercaya. Dia bercanda atau...."
"Ada lagi yang hendak kau tanyakan"!"
tanya Putri Sableng tetap membelakangi.
"Benar. Kalau kau tahu, pernahkah kau mendengar seseorang yang berjuluk Cucu
Dewa?" Laksana disentak tangan setan, Putri Sableng cepat putar tubuh menghadap murid
Pendeta Sinting. Sepasang matanya menatap tajam pada Joko yang masih basah kuyup
dari rambut sampai kaki.
"Apa hubunganmu dengan orang yang baru kau sebut"!"
"Ah. Rupanya kau kenal dengan orang itu!
Aku tidak heran, kau berilmu tinggi pasti mengenalnya...," ucap Joko dengan
paras cerah. Tapi murid Pendeta Sinting harus segera menerima rasa kecewa.
* * * 7 Di depannya Putri Sableng gelengkan
kepala. "Kau keliru. Jangankan kenal. Dengar namanya pun baru kali ini!"
Murid Pendeta Sinting sisir rambutnya yang basah dengan jari-jari tangannya.
Lalu mempererat ikatan kepalanya sambil menghela napas dalam. Setelah agak lama
terdiam Joko angkat bicara lagi.
"Kau tidak berdusta" Nada ucapanmu sekilas tadi seperti memberi isyarat bahwa
kau kenal dengan Cucu Dewa...."
"Aku bukan Pemuda Setan sepertimu yang suka bicara dusta!" kata Putri Sableng
lalu tertawa membuat murid Pendeta Sinting sedikit dongkol. "Sudah..." Tidak ada
yang perlu kau ucapkan lagi"!"
Saking dongkolnya meski sudah menduga tidak akan tahu, Joko ajukan juga
pertanyaan. "Apakah kau juga pertama ini dengar seseorang yang bergelar Iblis Rangkap
Jiwa"!"
"Kau salah lagi. Yang baru kau sebut justru aku pernah mendengarnya dan tahu di
mana tempat tinggalnya!"
Jawaban Putri Sableng membuat untuk kedua kalinya Joko tersurut. Wajahnya
berubah seketika. Tanpa sadar dia melompat ke depan lalu berkata.
"Harap kau katakan di mana aku dapat menemuinya!"
"Hem.... Itu soal mudah asal kau bisa menjawab pertanyaanku!"
"Baik. Katakan apa yang hendak kau tanyakan!"
"Apa perlumu menemui Iblis Rangkap Jiwa"!"
Untuk beberapa Sama murid Pendeta
Sinting tidak segera menjawab pertanyaan si gadis. Hatinya dibuncah kebimbangan.
Dia baru saja mengenal orang serta belum mengetahui
benar siapa adanya si gadis. Di lain pihak dia membutuhkan keterangan.
"Masih ingin menemui Iblis Rangkap Jiwa apa tidak"!" tanya Putri Sableng.
"Aku.... Aku mendapat pesan dari seseorang untuk menyampaikan padanya!"
"Pesannya..."!" Putri Sableng mengejar.
"Aku tidak bisa mengatakannya
padamu...."
"Hem.... Begitu" Berarti aku juga tidak dapat memberi keterangan padamu!"
"Sialan betul! Bagaimana sekarang" Apa aku harus menerangkan padanya...?"
Setelah menimbang-nimbang pada akhirnya murid Pendeta Sinting memutuskan
mengatakan apa tujuannya menemui Iblis Rangkap Jiwa meski dia berusaha tidak
menerangkan dengan secara gamblang.
"Orang itu mengetahui tempat penyimpanan benda pusaka yang dipesankan orang
padaku...."
"Benda pusaka. Hem.... Berupa apa benda pusaka itu" Peta harta karun" Pedang
atau kitab"!"
Pendekar 131 tidak menduga kalau Putri Sableng akan terus mengejar dengan
pertanyaan begitu rupa hingga untuk beberapa lama dia terdiam.
"Hem.... Sebuah kitab. Namun aku kurang yakin
akan hal itu. Karena orang yeng
berpesan padaku adalah seorang saudagar kaya.
Justru aku punya keyakinan benda pusaka itu berupa peta harta karun!"
"Hem.... Begitu" Satu lagi pertanyaanku.
Siapa orang yang menyuruhmu" Bukankah kau tadi mengatakan atas suruhan orang"!"
"Waduh. Pertanyaanmu terlalu banyak!
Jangan-jangan kau tidak tahu akan orang yang kucari dan hanya berniat mengorek
keteranganku!" kata Joko dengan nada agak tinggi karena makin jengkel dengan
pertanyaan si gadis.
Putri Sableng tertawa panjang, membuat murid Pendeta Sinting tambah geram. Namun
dia tidak bisa berbuat banyak karena saat itu dia benar-benar membutuhkan
keterangan orang.
"Aku tidak akan menarik ucapanku. Aku tetap akan memberitahukan di mana orang
yang kau cari! Tapi jawab dulu pertanyaan terakhirku tadi!"
"Terus terang aku sendiri tidak tahu siapa nama orang yang menyuruhku! Aku hanya
tahu rupanya. Dia tidak sebutkan siapa dirinya!" kata Joko berterus terang.
Mendengar jawaban Pendekar 131, Putri Sableng makin perkeras suara tawanya. Puas
tertawa dia berkata.
"Rupanya kau laki-laki bodoh. Menurut saja perintah orang meski tidak mengenal
siapa orang itu! Meski aku tidak yakin benar dengan jawabanmu namun karena aku
telah berjanji, aku akan tetap mengatakan padamu!"
Putri Sableng hentikan ucapannya. Lalu meneruskan.
"Buka telinga baik-baik karena aku tidak akan mengulangi apa yang kuucapkan!"
Tanpa buka mulut, Joko pasang telinga baik-baik. Sepasang matanya menatap tajam
ke dalam bola mata gadis di hadapannya. Yang dipandang menahan tawa sebelum
akhirnya buka mulut berkata.
"Menurut apa yang kudengar, Iblis
Rangkap Jiwa bertempat tinggai tidak jauh dari sini. Kau cukup berjalan kirakira seribu langkah. Di sana kau akan menemukan gundukan tanah!" sambil berkata
tangan Putri Sableng menunjuk ke satu arah.
Murid Pendeta Sinting tidak mengikuti tangan si gadis yang menunjuk arah.
Sebaliknya dia kerutkan dahi dengan pelipis bergerak-gerak jelas menahan hawa
marah. "Kesabaran ada batasnya. Jangan terus bercanda!"
"Hem.... Kau mengancam"!" tanya Putri Sableng dengan mimik berubah.
Tidak mengancam. Namun harap kau
bersungguh-sungguh. Aku telah mengatakan padamu apa adanya!"
"Apa kau kira aku tidak mengatakan apa adanya, hah"!"
"Tapi jawabanmu tadi...."
"Memang itulah kenyataannya! Orang yang kau cari sudah lama mati!"
"Sialan! Kenapa kau tidak mengatakannya sedari tadi" Hem.... Aku kini makin
yakin kau hanya mengorek keteranganku! Karena menurut sebagian orang Iblis
Rangkap Jiwa masih hidup!"
"Terserah. Yang kuketahui orang yang kau cari telah lama mati! Kalau menurut
sebagian orang masih hidup, itu hak orang yang mengatakannya!"
"Busyet! Jangan-jangan kau hanya mengarang cerita"
Putri Sableng tidak angkat bicara lagi.
Sebaliknya gadis berjubah merah ini balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan
tempat itu. "Jangan harap kau bisa lari sebelum
mengatakan siapa dirimu sebenarnya! Kau telah mengarang cerita dusta padaku!"
seru Joko lalu ikut berkelebat mengejar, Namun terlambat. Sosok Putri Sableng
telah lenyap laksana ditelan bumi. Anehnya meski sosoknya telah tidak kelihatan,
namun murid Pendeta Sinting masih mendengar suaranya.
"Pemuda Setan! Aku telah mendapat keterangan Itulah sebenarnya yang kucari-cari
selama ini! Hik.... Hik.... Hik...!"
"Sialan betul! Ini pelajaran bagiku. Aku tidak akan ulangi lagi tindakan konyol
ini. Dan aku harus cepat cari keterangan! Karena sekarang bukan hanya aku saja yang
Pendekar Gelandangan 2 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Pedang Angin Berbisik 29

Cari Blog Ini