Ceritasilat Novel Online

Neraka Gunung Bromo 1

Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.
NERAKA GUNUNG BROMO
Oleh : D. AFFANDY
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta Cetakan Pertama : 1993
Setting Oleh : Paul.S
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara Dilarang mengutip, mereproduksi dalam
bentuk apapun Tanpa ijin tertulis dari penerbit.
D. Affandy Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Neraka Gunung Bromo
Tukang Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
SATU Malam satu Asyuro adalah malam
paling kramat dalam tradisi masyarakat Jawa. Malam seperti itu merupakan
ajang bagi orang-orang tertentu dalam mencari keberuntungan. Ada pula tokohtokoh terhormat di kalangan masyarakat yang mencuci barang-barang pusaka
simpanannya. Malam satu Asyuro malam kramat yang mengandung banyak berkah.
Tidak heran jika kehadiran malam
Asyuro ditunggu oleh banyak orang.
Lain lagi halnya yang terjadi di
sebuah tempat yang bernama Lereng
Gunung Bromo. Seminggu sebelum malam satu Asyuro tiba. Banyak tokoh-tokoh
persilatan yang datang dari seluruh tanah Jawa telah berkumpul disitu.
Bahkan di antara sekian banyak
tokoh yang terdiri dari golongan hitam dan putih ada yang datang dari daerah
lain di seberang lautan. Semula kabar menggemparkan tentang akan lahirnya
seorang bayi di lereng Gunungg Bromo berasal dari seorang pertapa bernama Ki
Begawan Sudra yang sudah sejak
puluhan tahun mengasingkan diri di pantai laut selatan. Kabar tentang akan
hadirnya bayi aneh ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru
tanah Jawa. Kabar itu disampaikan dari mulut ke mulut, bahkan mereka yang
tinggal di luar tanah Jawa juga
mendengar kabar ini.
Tidak heran jika dua hari
menjelang datangnya malam satu Asyuro.
Lereng Gunung Bromo telah dipenuhi oleh orang-orang berkepandaian tinggi yang
menginginkan bayi ajaib tersebut.
Tidak jauh dari Gunung Bromo, bahkan terlihat satu pemandangan yang tampak aneh.
Beberapa tokoh persilatan yang tergabung dalam sebuah partai telah mengumpulkan
para perempuan hamil tua yang berdiam di sekitar lereng gunung tersebut. Tujuan
mereka sudah jelas.
Jika memang bayi ajaib itu kelak lahir disitu. Para tokoh persilatan berharap
salah satu dari perempuan yang sedang hamil tua ini melahirkan anak yang
dianggap memiliki keajaiban itu. Kalau hal ini sampai terjadi, maka tidak susahsusah mereka bersaing dengan tokoh-tokoh lain yang juga ada di
tempat itu. Tapi mungkinkah partai
Persilatan Dunia Akhirat yang dipimpin empat tokoh ini dapat memenuhi
ambisinya dengan cara mengumpulkan para perempuan yang sedang dalam
keadaan hamil tua ini" Menurut pertapa Ki Begawan Sudra tersebut. Bayi ajaib
yang akan lahir pada malam satu Asyuro itu memiliki ciri-ciri tertentu pada
keadaan pisiknya. Antara lain ada
sebuah tahi lalat besar pada
punggungnya, kulitnya putih bersih.
Rambutnya berwarna hitam kemerahmerahan. Menjelang malam satu Asyuro
tiba. Suasana di sekitar Gunung Bromo tampak gelap berselimut kabut tebal.
Padahal saat itu baru sekitar jam tiga sore. Kabut yang menyelimuti lereng
Gunung Bromo disertai dengan
berhembusnya angin kencang seperti badai topan. Tiba-tiba suara
halilintar menggelegar menyambar
puncak Gunung Bromo. Sehingga orang-orang yang berada di sekelilingnya
menengadahkan wajahnya ke langit.
"Waktunya sudah hampir tiba!"
teriak salah seorang di antara empat tokoh yang tergabung dalam partai
persilatan Dunia Akhirat.
"Apanya yang sudah tiba, Baja Geni!" mendengus kawannya yang terus mengawasi
para perempuan yang dalam keadaan hamil tua tersebut. "Kalian lihat sendiri.
Sejak tadi orang-orang bunting ini hanya pipis dan berak-berak melulu. Kurasa
sampai besok pagi pun bayi aneh itu tidak lahir!"
tegasnya sambil bersungut-sungut pada tiga kawannya. Walaupun dalam suasana
serba menegangkan seperti itu. Namun mendengar ucapan Balung Raja. Laki-laki
gemuk yang memiliki tingkah kocak ini. Mau tidak mau tiga tokoh partai
persilatan Dunia Akhirat tidak dapat menahan senyum.
Hanya laki-laki berbaju merah
dan paling tua saja yang cuma
tersenyum sebentar. Kemudian sikapnya berubah serius tidak ketulungan.
"Sudahlah. Hentikan tawa kalian yang jelek! Rasa-rasanya tanda-tanda kelahiran
bocah aneh itu sudah semakin dekat. Orang-orang hamil ini harus kita awasi
dengan ketat. Jika salah seorang di antara mereka mengerang kesakitan. Itu
tandanya mau melahirkan!"
"Pesanmu akan kami perhatikan Ki Rambe Edan!" sahut Baja Geni. Laki-laki
bertubuh jangkung dan berwajah tirus, angker seperti muka setan
playangan. "Hmm.... Lihat!" Balung Rtya tiba-tiba saja berseru keras. Jari telunjuknya
mengarah ke salah seorang perempuan setengah baya yang tampak mulai mengerangerang, tiga tombak di depan mereka. Dengan sigap tiga orang tokoh yang tergabung
dalam partai persilatan Dunia Akhirat segera
menyerbu ke arah perempuan itu.
Perempuan dalam keadaan hamil
tua ini terus mengerang-ngerang. Ki Rambe Edan dengan hati berdebar-debar segera
mendekatinya. Sementara itu, Braja Musti, Balung Raja dan Raja Geni tampak
berjaga-jaga dari segala
kemungkinan yang tidak diingini.
"Apakah kau hendak melahirkan, perempuan istri orang?" tanya Ki Rambe Edan
sambil berjongkok di sebelah
perempuan berkebaya warna kuning.
"Tidak! Perutku mulas. Sejak
tadi aku kentut-kentut melulu. Suami!
Mana suamiku?" rintih perempuan berkebaya kuning ini.
"Suamimu" Ha ha ha...! Suamimu telah berangkat ke neraka duluan!"
dengus Ki Rambe Edan. "Aku tidak membutuhkan suamimu, kau dengar" Yang kami
butuhkan adalah anakmu. Itu pun jika kau melahirkan seorang anak laki-laki
sesuai dengan ciri-ciri anak ajaib yang telah kami ketahui. Jika tidak, kau dan
anakmu tentu segera menyusul suamimu ke neraka!"
Pucat wajah perempuan berkebaya
kuning ini. Kemarahan telah melanda jiwanya. Ingin rasanya ia mencakar wajah
laki-laki bermuka jelek di
depannya. Tapi niatnya segera
diurungkan ketika menyadari bahwa
laki-laki bengis di depannya memiliki kesaktian yang sangat hebat dan tak
mungkin lagi terlawan olehnya. Belum lagi tiga orang kawannya yang memiliki
senjata sangat aneh bentuknya.
"Bangsat kalian semua! Anakku tidak akan kuberikan pada manusia-manusia iblis
macam kalian!" maki perempuan itu sambil meludahi muka Ki Rambe Edan.
Plak! Plak! "Aarkh...!" Perempuan malang ini menjerit kesakitan ketika tamparan Ki Rambe
Edan menghantam wajahnya. Darah langsung mengucur dari hidungnya. Ia terkulai
pingsan. Apa yang dialami oleh perempuan berkebaya warna kuning ini sempat
dilihat oleh sepuluh
perempuan hamil lainnya. Mereka jadi lumer nyalinya. Tidak sepatah kata pun
keluar dari bibir mereka. Ki Rambe Edan bangkit berdiri. Tatapan matanya
berkilat-kilat tajam menyapu pandang pada para perempuan yang dalam keadaan
tidak berdaya itu.
"Dengar kalian semua!" Lantang suara Ki Rambe Edan. "Siapa saja yang berani
bertindak bodoh atau
menyulitkan kami. Kalian akan
mengalami siksaan yang sangat pedih dari kami!"
"Betul. Kami akan mengorek perut kalian dan mengambil jabang bayi yang belum
waktunya melek di dunia ini!"
tidak kalah seramnya. Balung Raja
menimpali. *** Kita tinggalkan dulu kawanan
tokoh-tokoh yang sangat berambisi
untuk memiliki bayi ajaib yang berada di lereng sebelah timur Gunung Bromo ini.
Sementara itu di lereng sebelah barat Gunung Bromo juga sedang terjadi
ketegangan. Di tempat ini berkumpul tokoh-tokoh sakti kelas satu. Walau jumlah
mereka tidak sebanyak yang
berada di sebelah timur. Tapi tokoh-tokoh yang datang dari berbagai daerah ini
patut diperhitungkan. Mereka terus bersikap waspada dan menunggu segala
kemungkinan. Di antara mereka ada yang mengendap-endap mendekati sebuah rumah
berdinding kayu. Tapi ada juga yang duduk ongkang-ongkang ngejelepok ke tanah.
Satu dua di antara mereka pula yang terus menerus memandang ke atas Gunung Bromo
yang menjulang tinggi.
Di sebuah rumah yang telah
terkepung oleh beberapa orang tokoh ini. Seorang laki-laki muda tampak gelisah.
Sesekali ia melirik ke arah kamar di mana seorang perempuan
berusia muda dalam keadaan terbaring dan perut membuncit. Laki-laki itu berwajah
tampan. Ia memakai baju warna putih dengan ikat kepala warna putih pula. Di
bagian pinggangnya tersembul sebilah gagang golok berbentuk aneh.
Gagang golok inilah yang sejak tadi dipegangnya.
"Kakang!" rintih sebuah suara dari dalam kamar. Laki-laki berwajah tampan ini
memasuki kamar istrinya.
Sebuah pelita dengan nyalanya yang redup menerangi wajah seorang
perempuan berwajah cantik.
"Ada apa, Dewi?" tanya sang suami sambil membelai-belai kening Dewi Rini
istrinya. "Kurasa sudah hampir tiba
waktunya bagiku untuk melahirkan anak kita, Kakang Satria!" ujar perempuan itu
melalui ilmu menyusupkan suara.
Bagaimana pun sebagai seorang
pendekar. Nalurinya mengatakan bahwa saat itu ada bahaya besar yang
mengancam keselamatan mereka berdua.
"Tenanglah, jangan kau berpikir yang bukan-bukan." Satria Purba membujuk.
"Aku mendengar dan membaui
kehadiran mereka. Apakah Kakang tidak tahu mereka sekarang telah mengepung
tempat tinggal kita ini?"
Sang suami menggeleng-gelengkan
kepala. "Menurut penyelidikanku.
Sekarang ini tokoh-tokoh persilatan sedang berkumpul di sebelah timur lereng
Gunung Bromo ini. Bahkan
kulihat perempuan-perempuan hamil tua yang tinggal di desa Anabrang telah mereka
kumpulkan di suatu tempat.
Kalau pun ada yang menunggu di sebelah barat ini. Aku telah berjaga-jaga dari
segala kemungkinan! Aku takut paman Dewana tidak mendengar kabar
menggemparkan yang terjadi akhir-akhir ini."
"Jangan berpikir macam-macam.
Berdoalah selalu pada Tuhan agar kita selamat dari segala macam marabahaya!"
"Kakang! Aduh perutku, Kakang...
sakit sekali...!" rintih Dewi Rini pelan suaranya.
"Tenanglah tenang. Aku telah
mempersiapkan segala sesuatunya."
Satria Purba mengingatkan. Suami istri yang sangat dikenal dengan 'Sepasang
Pendekar Golok Terbang' ini memang sudah mendengar tentang ramalan Ki Begawan
Sudra satu purnama sebelum kelahiran anaknya. Tapi mereka tidak yakin ramalan
pertapa di pantai laut Selatan itu. Kalau pun kelak memang terbukti, jelas
mereka berharap bukan anak mereka yang terlahir sebagai anak ajaib.
"Konsentrasikan pikiranmu pada kelahiran anak kita!" kata Satria Purba sambil
mengelus-elus perut
istrinya yang membuncit.
* * * DUA Menjelang pukul duabelas malam
tepat satu Asyuro. Di lereng Gunung Bromo di sebelah timur terdengar suara
tangisan bayi. Bayi yang baru lahir ke dunia berasal dari rahim seorang
perempuan yang dikumpulkan oleh partai persilatan Dunia Akhirat. Tanpa
melihat keadaan bayi tersebut. Ki Rambe Edan segera menyambarnya. Mereka memang
sudah berencana untuk melarikan bayi yang baru lahir itu ke markas besar mereka
yang terletak di gunung Sumbing.
"Kita dapat rejeki besar! Bayi ajaib telah berada di tangan kita.
Mari kita tinggalkan tempat celaka ini!" Ki Rambe Edan berteriak memberi aba-aba
pada kawannya. Tapi pada saat itu dari arah lain terlihat
berserabutan orang-orang persilatan yang memang sudah menunggu kelahiran bayi
ajaib itu. "Serahkan anak itu padaku!"
bentak sebuah suara. Ketika Ki Rambe Edan
menoleh ke arah tersebut.
Terlihat oleh mereka seorang laki-laki tua bertampang angker. Laki-laki itu
menyeringai dan langsung menyerang Ki Rambe Edan yang sedang menggendong bayi.
Untuk menjaga keselamatan bayi.
Tentu saja tiga orang tokoh yang
tergabung dalam partai persilatan
Dunia Akhirat segera menghadang laki-laki bersenjata pedang dan berbaju merah
ini dengan serangan-serangan yang sangat ganas dan mematikan. Tapi pada saat itu
muncul lagi seorang
perempuan tua berambut panjang.
"Aku juga menginginkan bayi itu, Setan Merah!" teriak perempuan renta berambut
panjang sambil mengibaskan rambutnya yang menjadi senjata andalan itu ke
berbagai penjuru arah.
"Tidak kusangka, Rambut Besi
ambil bagian juga dalam perburuan ini.
Ha ha ha...!" Setan Merah tertawa mengekeh. "Mari kita robohkan orang-orang
partai Dunia Akhirat. Jika
mereka sudah pada mampus semuanya.
Kita hanya tinggal menentukan siapa di antara kita yang paling berhak
mendapatkan anak ajaib itu!"
"Setan sepertimu tidak mungkin becus memelihara bayi. Akulah yang paling pantas
mendapatkan anak itu!"
Nenek Rambut Besi tertawa bekakakan seperti kuntilanak.
"Tua peot banyak mulut! Robohkan dulu lawan, baru kau bicara...!"
teriak Setan Merah. Ketika itu ia
sudah menyerang Ki Rambe Edan yang dibantu dengan Balung Raja. Sedangkan Rambut
Baja berhadapan langsung dengan Braja Musti dan Baja Geni.
"Bukan kalian saja yang berhak atas bayi ajaib itu. Tapi, aku Gajah Munding,
juga ingin punya seorang
murid yang dapat diunggulkan kelak di kemudian hari." Dari satu arah tiba-tiba
saja menderu angin kencang yang disertai suara gdebak-gdebuk. Entah pihak mana
yang memulai. Tahu-tahu pertempuran yang sangat seru tiba-tiba saja terhenti.
Mereka serentak
memandang ke arah datangnya suara aneh yang disertai dengan hembusan angin
kencang itu. Dalam kegelapan lereng gunung, tampak menggelinding sebuah benda


Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar dengan kaki dan tangan terlipat. Dilihat sepintas lalu benda raksasa yang
menerjang ke arah mereka itu seperti trenggiling. Ketika benda bulat itu sampai
di tengah-tengah
kalangan pertempuran. Maka menderulah angin laksana topan prahara ke arah empat
penjuru angin. Angin kencang disertai hawa dingin membekukan itu menerjang
orang-orang yang sempat
terlibat pertempuran sebentar tadi.
Untung mereka adalah tokoh-tokoh
persilatan yang sudah sangat
berpengalaman. Sehingga masing-masing menyelamatkan diri. Bahkan tidak
jarang di antara mereka ada yang
melepaskan pukulan saktinya untuk
menahan gelombang serangan yang
dilakukan oleh sosok raksasa yang
berjalan dengan kedua tangan dan kaki terlipat ini.
Buum! Buum! Ledakan-ledakan dahsyat
terdengar dua kali berturut-turut.
Lereng Gunung Bromo seperti diguncang lindu. Batu-batu kecil berpelantingan ke
udara. Dalam suasana gelap yang hanya diterangi cahaya bulan purnama.
Tiba-tiba terdengar suara tawa
menggeledek. Di tengah-tengah kalangan pertempuran tampak berdiri seorang lakilaki bercawat putih, berambut panjang menjela. Laki-laki bertampang kocak ini
memiliki tubuh bukan main besarnya.
Perutnya berlipat-lipat,
lehernya yang panjang tampak membulat karena kelewat besar. Laki-laki ini
diperkirakan memiliki berat tiga ratus kati. Semua orang yang hadir di situ
sebentar dapat melihat ketika tokoh raksasa tertawa, perut serta dadanya yang
besar tampak bergoyang-goyang.
"Sialan! Dia benar-benar Gajah Munding! Kawannya si Gajah Krempeng sebentar lagi
pasti datang kemari.
Bangsat! Urusan benar-benar jadi
kapiran kalau kedua manusia gajah ini turut campur!" maki Ki Rambe Edan dalam
hati. Rupanya tokoh angkatan tua ini sedikit banyaknya sudah tahu
kehebatan manusia kembar dari lereng Merbabu tersebut.
Dugaan Ki Rambe Edan ternyata
tidak meleset. Tidak lama setelah tawa Gajah Munding sirep. Di tempat itu dari
arah utara terdengar suara tawa lain mirip suara perempuan. Kemudian tampak pula
sesosok tubuh berkelebat mendekat. Hanya dalam waktu sekedipan mata. Tahu-tahu
di samping Gajah
Munding telah berdiri seorang laki-laki berbadan kurus kering tidak
ketulungan. Sama seperti Gajah Munding,
ternyata laki-laki ini pun hanya
memakai cawat putih tanpa baju.
"Ah... saudara kembarku. Di sini sedang ada pesta gila rupanya" Kenapa kau tidak
bilang-bilang padaku?" desis Gajah Krempeng. Matanya yang cekung berputar-putar
liar menjilati orang-orang di sekelilingnya. "Ah... aduh...
mengapa orang bunting jelek pada
dikumpulkan di sini...?"
"Tenanglah, kurus-kurus begitu kau pasti dapat bagian! Sekarang kita ambil bayi
ajaib itu dari tangan
mereka. Aku yang menggebuk orang-orang jelek ini, Sedangkan kau yang ambil
bayi!" Nenek Rambut Besi, empat tokoh
yang tergabung dalam partai persilatan Dunia Akhirat dan Setan Merah tampak
saling pandang. Rupanya si Rambut Besi dan Setan Merah menarik diri dari
kalangan pertempuran yang siap
berkobar. Mereka memilih menunggu
kesempatan sampai salah seorang dari tokoh-tokoh itu mengalami kekalahan.
Baru mereka menyerang pihak-pihak yang menang untuk merampas bayi.
"Manusia-manusia keparat! Kami partai Dunia Akhirat tidak akan
membiarkan kalian memiliki bayi ini!"
teriak Balung Raja. Kemudian terdengar suitan panjang. Maka dua orang
kawannya langsung mengeroyok Gajah kembar ini dari berbagai penjuru arah.
Sementara itu Ki Rambe Edan bertindak sebagai penyelamat bayi dan bersiap siaga
membantu kawan-kawannya jika mereka dalam keadaan terdesak. Hanya dalam waktu
yang sangat singkat
pertempuran seru pun segera terjadi.
Sementara itu lereng Gunung
Bromo sebelah barat malam itu segera terkoyak
dengan terdengarnya suara
tangisan bayi. Suara tangisan bayi terdengar semakin lama bertambah
semakin jelas. Satria Purba yang baru pertama kalinya menimang anak tampak
tergopoh-gopoh mengurusi anaknya yang baru terlahir ke dunia ini. Tapi Golok
Terbang ini tampak kaget sekali ketika melihat rambut anaknya tampak berwarna
merah kehitam-hitaman. Selain itu pada bagian punggungnya terlihat sebuah topel
(Tahi lalat) sebesar ibu jari.
"Ya Gusti Allah! Ramalan Pertapa itu ternyata benar!" desis Satria Purba dengan
wajah berubah pucat. Dewi Rini yang dalam keadaan terbaring
lemah di tempat tidur tampak heran melihat suaminya diam mematung di
pinggir pemandian bayi yang telah
disediakan. "Kakang! Ada apa" Bagaimana anak kita" Laki-laki atau perempuan?"
pelan sekali suara Dewi Rini.
"Aa... anak kita laki-laki.
Dewi... ramalan Ki Begawan Sudra...
ternyata...!"
"Ternyata apa...?"
"Benar!" desis Satria Purba. Si Golok Terbang langsung terdiam.
Sementara tangis sang bayi belum juga terhenti. Satria Purba tiba-tiba saja
mendengar gemerisik semak-semak
terinjak oleh seseorang.
Sing! Sing! "Jadah!" terdengar suara makian seseorang. Rupanya jebakan yang
dipersiapkan oleh Satria Purba sejak sore hari untuk menjaga segala sesuatu yang
tidak diingini telah melesat ke arah sasaran. Kemudian dari arah lain terdengar
suara jerit kematian dan suara sosok-sosok tubuh berjatuhan.
"Jadah! Sepasang Golok Terbang telah menjebakku dengan permainan
usangnya!" maki seseorang. Setelah itu terdengar suara mendesing yang
disertai suara menderu-deru. Pertanda bahwa orang-orang yang berada di luar
pondok sedang berusaha menyelamatkan diri dari serangan perangkap yang
telah dipersiapkan oleh Satria Purba.
"Ha ha ha...! Segala macam
perangkap tikus kau pasang di sini!
Aku Kala Demit mana kena dikadali!"
Suara tawa yang dilanjutkan dengan ucapan menggeledek itu jelas-jelas mengandung
tenaga dalam tinggi. Pondok milik Sepasang Golok Terbang bergetar hebat. Satria
Purba jadi tercekat. Ia segera menyerahkan anak yang baru
terlahir itu ke dalam pelukan
istrinya. "Lindungi anak kita dari tangan manusia-manusia busuk yang berada di luar sana!"
pesan laki-laki berbaju hijau ini. Seraya dengan cepat
melompat ke samping pintu. Dewi Rini yang dalam keadaan lemah karena baru saja
selesai melahirkan ini tidak
mungkin dapat melakukan banyak
gerakan. Ia sendiri kemudian sambil mendekap anaknya segera mencabut golok yang
terletak di bawah bantal.
Pada saat itu tiba-tiba saja
terdengar suara berderak pada daun pintu. Sosok laki-laki berbadan kurus
berambut awut-awutan dan berbaju
tambal-tambalan sudah berdiri di depan pintu.
"Ha ha ha...! Kau bersembunyi di mana Satria Purba! Kulihat istrimu sudah
melahirkan! Cepat serahkan anak itu padaku!" Laki-laki kurus bernama Kala Demit
ini bermaksud menyerbu ke dalam kamar istri Satria Purba. Tapi tiba-tiba dari
samping kiri tampak berkelebat sinar putih menyilaukan menghantam perut dan bahu
Kala Demit. "Hanya manusia laknat saja yang berani bertindak macam-macam di
rumahku!" "Uts...! Gila...!" Kala Demit berseru kaget. Ia menarik tubuhnya ke samping.
Serangan golok yang membobol ke bagian perut laki-laki bertampang angker ini
luput. Tapi belum sempat ia melakukan serangan balasan. Golok di tangan Satria
Purba telah menderu
mengancam kesepuluh jalan darah
lawannya. Kala Demit menggeram marah.
Ia mengibaskan tangannya ke bagian wajah Satria Purba. Laki-laki muda ini
terpaksa tarik balik serangan untuk menyelamatkan muka. Tapi kemudian
golok di tangannya membelok dan
menyambar bahu Kala Demit.
Bret! "Akh! Keparat! Manusia dungu, tolol bego! Kau benar-benar minta
mati!" bentak Kala Demit. Laksana kilat ia melompat ke belakang. Tapi gerakannya
langsung terhalang dinding penyekat ruangan. Sambil menotok jalan darah pada
bagian yang terluka. Kala Demit menggembor marah. Tiba-tiba ia mencabut senjata
andalannya berupa kebutan yang dapat berubah menjadi kaku laksana baja. Senjata
maut yang jadi lambang kebesarannya selama
malang melintang di rimba persilatan ini segera dikibaskan menyongsong
tusukan golok yang terarah pada bagian lambungnya.
Angin sedingin es mengandung
racun ganas menderu laksana badai
topan prahara. Satria Purba tercekat dan terhuyung-huyung. Ia terpaksa
menarik pulang tusukan goloknya. Untuk melindungi diri salah satu dari
pasangan pendekar Golok Terbang ini lepaskan satu pukulan dahsyat 'Halimun
Senja'. Seleret sinar biru disertai hawa panas membakar langsung melabrak
kebutan milik Kala Demit.
Bum! Bumm! "Ugkh...!" Pukulan dahsyat yang dilepaskan Satria Purba ternyata
sebagian membalik dan menghantam diri sendiri ketika Kala Demit secara terus
menerus hantamkan kebutannya ke depan.
Laki-laki gagah berani ini
terpelanting roboh. Tubuhnya mencelat keluar setelah sebelumnya menghantam
dinding papan di belakangnya. Kala Demit tertawa panjang. Walaupun Satria Purba
menderita luka dalam yang cukup parah. Namun dengan cepat ia bangkit berdiri dan
langsung masuk ke dalam rumahnya melalui dinding yang bobol.
TIGA Braak! Braak! Pintu bagian belakang pondok
pada waktu bersamaan juga hancur
berkeping-keping. Dua orang laki-laki berbadan katai berambut di kuncir ke atas
tampak menyunggingkan senyum ke arah Kala Demit yang sedang tampak terkesima
karena melihat Satria Purba ternyata masih hidup bahkan sekarang menyerangnya
kembali dengan jurus-jurus golok Terbangnya yang sangat berbahaya.
"Hu huhu...! Ternyata nasib kami lebih bagus dari nasibmu, Kala Demit!
Silakan kau main-main dengan Golok Terbang! Sementara kami dengan bebas membawa
bayi ajaib itu!" dengus salah seorang dari manusia katai itu. Tubuh mereka tibatiba berkelebat ke dalam kamar di mana Dewi Rini berada. Kala Demit marah bukan
main. Ia bermaksud mengejar dua manusia cebol itu. Tapi tekanan serangan gencar
yang dilakukan Satria Purba, juga perlu
diperhitungkannya. Akhirnya ia hanya mampu memaki panjang pendek.
"Dua katai bangsat! Jika kau
bawa anak ajaib itu. Kau dan
kembaranmu akan kubuntungi kepala dan kaki!" Untuk yang kesekian kalinya Kala
Demit mengebutkan senjatanya.
Sementara itu, sebelum kedua
manusia katai sampai di kamar Dewi.
Dari arah barat tampak melesat cahaya putih seperti meteor. Cahaya putih
menyilaukan mata itu kemudian tampak berputar-putar di atas atap rumah
Sepasang Pendekar Golok Terbang.
Kemudian ketika sinar seperti bintang berhenti di tengah-tengah bubungan rumah.
Maka satu larik sinar kecil berwarna sama menembus ke dalam pondok dan langsung
menyinari sosok bayi yang tidak lagi menangis di samping Dewi.
Keanehan terjadi. Sinar yang hampir tidak dapat dilihat kasat mata itu tiba-tiba
menggerakkan bayi. Kejadian itu tidak sempat dilihat Dewi. Karena perempuan muda
yang baru melahirkan ini langsung menerjang sepasang
manusia Katai yang tiba-tiba saja
muncul di dalam kamarnya.
"Manusia-manusia iblis! Apa saja kerjamu di sini!" dengus Dewi Rini yang sama
sekali tidak kenal dengan dua laki-laki asing ini.
"Serahkan anakmu! Jika kau ingin selamat!" perintah salah seorang di antaranya.
"Makan senjataku!" teriak Dewi Rini. Secepat kilat tubuhnya telah melesat ke
depan. Golok di tangannya dua kali lebih cepat bergerak menebas ke bagian dada
kedua laki-laki katai ini.
Sekejap mereka sempat terkesiap.
Tapi dengan sangat mengagumkan mereka merundukkan kepala sambil hantamkan satu
jotosan ke dada Dewi.
Cras! Sebagian kuncir salah satu
manusia katai ini rontok tersambar ketajaman golok di tangan Dewi. Katai muka
kuning mengeluarkan seruan
tertahan. Untung hanya rambutnya yang terpotong, jika lehernya. Tentu katai muka
kuning sudah tergusur ke neraka.
Setelah Dewi Rini merasa gagal
hantamkan goloknya ia cepat bersurut langkah. Serangan katai muka merah luput.
Hal ini membuatnya marah bukan main. Denganberingas
ia menerjang lawannya dengan serangan menggeledek.
Dewi yang dalam keadaan lemah ini
mati-matian mempertahankan diri.
Sementara tanpa sepengetahuan
mereka yang terlibat pertempuran. Bayi yang baru berumur beberapa jam ini secara
aneh tampak merangkak menuruni ranjang. Setelah itu seperti menyadari adanya
bahaya yang menghadangnya. Ia terus menelusup ke tempat-tempat gelap di dalam
ruangan. Sesekali matanya berkedip-kedip. Seberkas sinar putih terus menerus
membimbingnya. Dengan cara merangkak seperti anak yang telah berumur delapan
bulan. Ia menyelinap di balik pintu. Kemudian merangkak terus sampai di pintu
belakang yang hancur berantakan. Sampai di depan pintu belakang. Ia celingak
celinguk. Selanjutnya merangkak lagi menuju
kegelapan malam lereng Gunung Bromo.
Disaat itulah cahaya putih
seperti meteor tampak berpedar-pedar.
Cahaya itu bergerak mengikuti ke mana bergeraknya bayi. Kilat tiba-tiba
menyambar. Cahaya putih memijar dan membentuk sosok tubuh seorang laki-laki.
Laki-laki berbaju serba putih yang seakan datang dari langit ini melesat ke
permukaan lereng dan
langsung menyambar si bayi. Bayi itu kemudian di dukungnya. Seraya tertawa-tawa
seperti orang linglung. Matanya meneliti bayi yang ada dalam
gendongannya. Dan setelah mengetahui keadaan si bayi. Gema suara tawanya semakin
memanjang. "Ha ha ha. Ilmu Penuntun Sukma telah membuatmu selamat calon
muridku!" kata laki-laki berambut, berjambang dan berjenggot serba putih ini
sambil berlari menuju ke jurusan utara.
Sementara itu di dalam pondok
pertarungan seru masih terus
berlanjut. Satria Purba ternyata telah mengalami luka-luka di
sekujur tubuhnya. Bahkan kemudian satu
tendangan telak menghantam remuk


Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dadanya. Sehingga membuat laki-laki ini jatuh tergelimpang dengan mulut
menyemburkan darah. Kala Demit yang dilanda kemarahan setan rupanya tidak mau
bertindak tanggung-tanggung. Ia mengebutkan senjatanya ke wajah Satria Purba.
Craas! "Akggh!" terdengar suara jeritan Satria Purba yang sedemikian
menggidikkan. Dewi yang sedang
bertarung menghadapi dua manusia katai sakti ini rupanya sempat mendengar suara
jeritan suaminya. Walaupun
tubuhnya yang dalam keadaan lemah dan terluka parah ini sudah tidak
memungkin untuk bergerak. Namun tanpa menghiraukan lawan-lawannya ia meluruk ke
depan. "Kakang!" jeritnya ketika melihat keadaan suaminya tewas secara menggenaskan.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh kedua manusia katai yang dikenal dengan
julukan 'Sepasang Iblis Pegat Nyawa'. Laksana kilat
mereka menyambitkan senjata rahasianya berupa gigi-gigi ulat berbisa ke arah
Dewi. Wuss! Dewi yang kurang kontrol dan
berada dalam belenggu kesedihan ini sudah tidak dapat menghindari serangan gelap
itu. Ia pun hanya mampu
menjerit. Tubuhnya ambruk jatuh di atas mayat suaminya.
"Kau satu aku satu! Sekarang aku inginkan bayi itu!" kata Kala Demit.
Ia kemudian memasuki kamar Dewi.
"Celaka! Bayi itu sudah tidak ada di sini!" teriak salah seorang manusia katai
tersebut tanpa menghiraukan ucapan dan kehadiran Kala Demit yang juga telah berada di dalam
ruangan yang sama.
"Bagaimana mungkin hal ini dapat terjadi, Adi?" desis katai muka merah pada
katai muka kuning yang juga tampak tercengang.
"Mana mungkin bayi dapat hilang begitu saja! Kalian pasti telah
bersekutu dengan orang lain untuk
menguasai bayi itu!" bentak Kala Demit. Rupanya ia merasa curiga.
"Demit jelek. Jangan kau berani membentak kami! Aku datang kemari
bersama adikku! Ketika kami bertarung dengan istri pendekar Golok Terbang bayi
itu masih berada di tempat
tidur," bantah katai muka kuning berang.
"Tolol semua!" rutuk Kala Demit.
Ia sendiri mulai memeriksa ke dalam ruangan-ruangan lain bahkan sampai ke bawah
kolong. Tapi bayi yang
diinginkannya tetap tidak dijumpai.
"Mungkin seseorang telah
melarikannya! Kita harus melakukan pengejaran, Kakang!" Katai muka kuning sudah
tidak sabar lagi.
"Kita periksa dulu sekitar
sini!" teriak muka merah.
Pada saat mereka saling
bersitegang seperti itulah tiba-tiba terdengar seruan kaget seseorang.
"Oh.... Gusti Allah...!
Rupanya aku benar-benar datang
terlambat...! Kedua ke-ponakanku!
Hmm... siapa orangnya yang telah
berani bertindak lancang dan gegabah ini...!" Suara seruan itu pertama datang
dari jarak yang cukup jauh.
Namun ketika kedua manusia katai dan Kala Demit mengintip ke pintu depan melalui
sebuah lubang. Maka di depan pintu telah berdiri seorang laki-laki bertubuh
tinggi tegap dan berambut serba merah.
"Malaikat Berambut Api...!"
desis mereka hampir serentak. Tampak jelas ketiga wajah manusia iblis ini
berubah pucat. "Bayi tidak kudapat. Daripada mati di tangannya, lebih baik aku
mencari selamat." membantin Kala Demit dalam hati. Tiba-tiba saja ia melesat
meninggalkan kamar Dewi diikuti oleh sepasang Iblis Pegat Nyawa. Gerakan
melarikan diri yang sangat luar biasa cepatnya ini sempat terlihat oleh
kakek berambut dan berpakaian serba merah ini. Namun ketika ia hendak melakukan
pengejaran. Gerakannya segera tertahan saat mendengar suara rintihan Dewi.
Dengan hati terharu biru, si kakek datang menghampiri dan langsung berjongkok di
samping keponakannya dan dalam keadaan tumpang tindih.
Malaikat Berambut Api di pulau Seribu Satu Malam yang terletak di tengah-tengah
laut pantai selatan ini segera menelentangkan Dewi.
Ia memeriksa keadaan
keponakannya ilu. Gelengan kepala
disertai desisan lemah keluar dari bibirnya yang tertutup kumis serba merah.
"Racun yang terdapat dalam
senjata rahasia gigi ular berbisa
telah memenuhi jantungnya. Celaka...
aku tidak mungkin dapat menyelamatkan jiwanya lagi." desis si kakek bersedih
hati. "Katakan Dewi! Aku telah
mengetahui orang-orang yang telah
mencelakai dirimu dan juga suamimu.
Penciumanku tidak dapat ditipu. Tapi ke mana anakmu?"
Mata Dewi yang terpejam dan
kehilangan cahayanya tampak meredup.
Wajahnya berwarna biru. Diambang ajal ia tetap berusaha tabah.
"Pp.... Paman.... Ramalan Ki
Begawan Sudra itu... ternyata memang terbukti. Hekh... ciri-ciri anakku sama
persis dengan apa yang
dikatakannya. Si... sinar put...
tih... hanya dia yang dapat bergerak seperti cahaya.... Carilah Siluman Kera
Putih. Dia yang telah membawa anakku.... paman...!" Kepala Dewi Rini terkulai.
Malaikat Berambut Merah yang jarang bicara dalam hidupnya tundukkan kepada
dalam-dalam. "Orang-orang berjiwa serakah
telah membunuh keponakanku. Ternyata sebagai seorang paman aku tidak dapat
menjadi pelindungnya. Gusti Allah...!
Pada arwah leluhurku dan leluhur
kakangku... maafkan adikmu ini. Satu kepercayaan telah kulalaikan. Aku
teledor, hingga membuat jiwa-jiwa yang tidak berdosa ini terenggut.
Anaknya... cucuku...! Tidak akan
kubiarkan lagi siapa pun yang
menyentuhnya. Lecet Baja kulit cucuku.
Siluman Kera Putih benar-benar akan kubuat mampus!" desis Malaikat Berambut Api
yang mempunyai nama asli Dewana ini dengan hati masgul. Mayat Sepasang pendekar
Golok Terbang ini didukung di bahu kiri dan kanan. Tidak lama kemudian tubuhnya
bergerak menuju pulau Seribu Satu Malam untuk
menguburkan mayat keponakannya.
Di tengah-tengah perjalanan,
tidak henti-hentinya Dewana menggerutu dan menyesali diri. Dalam keadaan
berlari cepat itu, ia tidak hentihentinya memaki dirinya sendiri.
"Manusia-manusia edan! Kalian semua akan celaka. Berani menyentuh keponakanku
berarti kematian. Jika telah membunuh seperti ini berarti tidak ada ampunan
dunia akhirat!"
Malaikat Berambut Api terus
berlari laksana terbang. Sama sekali ia tidak menghiraukan suasana
di sekelilingnya yang gelap gulita.
Sekarang sudah tersusun rapi dalam benaknya, setelah selesai mengubur kedua
keponakannya itu ia akan
mengejar Siluman Kera Putih yang
berdiam di Gunung Mahameru.
EMPAT Di lereng Gunung Bromo sebelah
timur pertempuran sengit terus
terjadi. Empat tokoh yang tergabung dalam partai Dunia Akhirat terus
berusaha merobohkan dua lawan tangguh.
Namun tampaknya Gajah Munding dan
adiknya Gajah Krempeng bukan lawan sembarangan. Terbukti setelah dua
puluh jurus berlalu. Empat tokoh
partai Dunia Akhirat mulai terdesak hebat. Padahal waktu itu Balung Raja, Ki
Rambe Edan, Braja Musti dan Baja Geni telah mengerahkan senjata andalah masingmasing. Hebatnya kedua manusia Gajah yang satu berbadan seperti
raksasa dan satunya lagi berbadan
kurus macam tengkorak hanya
mempergunakan tangan kosong dalam
menghadapi serangan gencar mereka ini.
"Rampas bayi itu, Saudara kurus!
Kita tidak punya banyak waktu untuk melayani manusia-manusia tolol ini!"
teriak Gajah Munding keras bukan main.
"Tenang saja! Aku segera
melakukannya," sahut Gajah Krempeng.
Tubuh kurusnya tiba-tiba melesat ke arah Ki Rambe Edan yang membawa bayi dengan
kecepatan laksana terbang.
"Bangsat! Jangan mimpi! Makan nih...!" Ki Rambe Edan hantamkan pedang di
tangannya ke arah kepala Gajah Krempeng. Laki-laki ini tanpa diduga-duga
bersalto ke udara. Dalam gelapnya malam Gajah Krempeng yang langsung menjejakkan
kakinya di bahu Ki Rambe Edan lakukan dua totokan
berturut-turut.
Totokan yang dilakukan Gajah
Krempeng langsung pada bagian pusat gerak dan suara. Hingga membuat tubuh lakilaki itu tidak dapat bergerak lagi. Kesempatan itu dipergunakan oleh Gajah Kurus
untuk merebut bayi dari tangan Ki Rambe Edan. Setelah
mendapatkan bayi, Gajah Krempeng
langsung berkelebat pergi. Dikejauhan sayup-sayup terdengar suara Gajah
Krempeng memanggil saudaranya si Gajah Munding.
"Tinggalkan pertempuran gila!
Aku sudah dapatkan bayi ajaib!"
Gajah Munding tertawa mengekeh.
Ia melepaskan dua tendangan dahsyat berturut-turut. Lawan menyadari betapa
berbahayanya serangan manusia raksasa yang bernama Gajah Munding itu.
Sehingga hampir bersamaan mereka
melompat mundur sejauh tiga langkah.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Gajah Munding. Tubuhnya yang sangat besar
itu langsung terlipat dan
menggelinding cepat bagaikan meteor.
"Kejar pencuri bayi!" teriak Balung Raja pada kawan-kawannya. Tapi dari arah
kiri mereka tiba-tiba
terdengar suara gelak tawa disertai caci maki seseorang.
"Hik Hik Hik! Orang-orang tolol!
Mengapa mencari susah dengan mengejar dua gajah setan! Pekerjaan itu hanya siasia. Mereka bukan melarikan bayi ajaib... paling-paling juga bayi
kudisan! Lihat kawan kalian yang telah jadi patung...!"
"Eeh...!" Braja Musti melengak kaget. Cepat ia palingkan muka ke arah lain. Di
sebelah kiri mereka terlihat Ki Rambe Edan berdiri tegak dengan posisi tangan
seperti menggendong
bayi. Sungguh menggelikan keadaan
tokoh tua ini. Tapi bila mereka ingat kehebatan dan kepandaian yang dimiliki
kakek tua ini. Maka mereka jadi
terkejut. Gajah Krempeng diluar
sepengetahuan mereka rupanya dapat menjatuhkan Ki Rambe Edan. Jika Gajah
Krempeng dapat menjatuhkan Ki Rambe Edan dengan cara sedemikian mudahnya.
Tentu Gajah Krempeng pastilah bukan manusia sembarangan.
"Bebaskan totokannya!" teriak Baja Geni memberi perintah pada
kawannya. Balung Raja segera
menghampiri Ki Rambe Edan. Sementara itu Baja Geni melompat ke depan Setan Merah
dan Rambut Besi yang masih tetap berdiri di situ sambil tersenyum-senyum
mencemooh. "Setan Merah! Rambut Besi! Apa yang kalian berkata tadi" Apakah bayi yang
dilarikan oleh Gajah Munding dan saudaranya bukan bayi ajaib seperti yang
dikatakan oleh pertapa laut
selatan?" "Hik hik hik!" Rambut Besi menyambuti dengan tawa.
"Hek! Ha ha ha...! Orang-orang goblok tolol! Kalau kau mau tahu, bayi yang
dibawa kabur oleh Gajah Munding hanya bayi biasa. Rambutnya tetap
hitam, bukan merah. Punggungnya dalam keadaan mulus tanpa tahi lalat...!"
"Kalian dusta!" bentak Baja Geni. Ia memang merasa penasaran
bahkan mulai ragu-ragu ketika dua
manusia di depannya memberi
peringatan. "Goblok tolol! Dusta dan tidak bohong sama-sama tidak ada untungnya bagi kami.
Saudara bukan, anak bukan!
Mau kalian kejar bayi kudisan itu aku tidak perduli! Bukankah begitu, Rambut
Besi?" dengus Setan Merah. Ia berpaling pada perempuan tua yang
sedang memonyongkan mulutnya.
"Bodoh amat! Daripada tarik urat dengan tokoh-tokoh dari partai celaka, lebih
baik kucari bayi aneh itu di tempat lain di sekitar Gunung Bromo ini!" Sekali
menjejakkan kakinya.
Perempuan renta berambut panjang
menjela ini sudah lenyap dari hadapan mereka.
"Hmm. Monyet kurus rambut besi boleh juga dipercaya! Aku pun tidak berlama-lama
di sini. Orang-orang
bunting itu hanya mengingatkan aku pada nenekku yang sedang hamil tua!"
Setan Merah. Laki-laki berbaju merah dan memiliki kepandaian tinggi ini
pencongkan mulutnya. Dari sela-sela bibirnya meluncur air ludah menderu ke arah
Baja Geni. "Terima oleh-olehku!"
"Kurang ajar!" Baja Geni hantamkan tangannya ke arah air ludah yang meluncur ke
bagian wajahnya.
Ludah yang melesat dari mulut Setan Merah tertahan dan memercik ke seluruh
penjuru arah. Tapi
ada juga di antaranya yang mengenai baju Baja
Geni. Hingga membuat laki-laki itu menyumpah serapah. Dikejauhan
terdengar suara Setan Merah sayupsayup di telinga Baja Geni.
"Seumur-umur kalian menunggu
para perempuan itu melahirkan. Kalian tidak mungkin mendapatkan apa-apa.
Tampaknya bayi ajaib telah terlahir di sebelah barat sana. Orang partai Dunia
Akhirat" Apakah kalian tetap mengharap bayi dari perempuan hamil yang kalian
kumpulkan" Tunggulah sampai dua
purnama mendatang. Mudah-mudahan
perempuan-perempuan itu melahirkan taik yang lebih besar...!"
"Bangsat rendah!" maki Ki Rambe Edan yang baru saja terbebas dari
totokan menggembor marah.
"Gajah Krempeng! Suatu saat nanti aku cincang tubuhmu yang cuma rongsokan itu!"
"Sudahlah! Para kurcaci itu
tidak ada di sini! Mereka membawa bayi biasa. Sekarang apa yang harus kita
lakukan terhadap perempuan itu?" tanya Brcna Musti seakan tidak sabar lagi.
"Ya... apa yang harus kita
lakukan" Sebentar lagi fajar segera terlihat. Kurasa malam satu Asyuro sudah
hampir berakhir. Dan kita tidak mendapatkan apa-apa."
"Hmm. Aku pun yakin tentang hal itu. Kalau perempuan-perempuan hamil ini tidak
ada gunanya. Untuk apa susah payah. Lebih baik kita bunuh mereka semua!" Ki
Rambe Edan dengan kejam memutuskan.
"Ya.... Aku setuju mayat-mayat mereka kita buang di jurang sebelah sana. Mungkin
dalam waktu yang singkat kita dapat menjadikan tempat ini
sebagai markas."
"Bagus! Aku setuju, Braja Musti.
Tapi kudengar-dengar di sebelah barat lereng gunung ini berdiam sepasang


Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Golok Terbang. Kita harus menyelidik apakah mereka masih tinggal di
daerah ini atau tidak. Jika memang tidak, kita dapat memulai segala
sesuatunya dari sini." Ki Rambe Edan menimpali.
Ketika itu Baja Geni segera
memberi isyarat pada dua orang
kawannya untuk membantai para
perempuan malang yang dalam keadaan hamil tua tersebut.
"Kalian dikumpulkan di sini
ternyata merupakan orang-orang yang tidak mempunyai guna sama sekali.
Malam ini adalah malam terakhir kalian dapat melihat dunia!" desis laki-laki
tertampang sadis ini.
Sreek! Baja Geni dan kawannya mencabut
senjata di pinggang masing-masing.
Para perempuan yang tidak berdaya ini ketakutan setengah mati.
"Ja... jangan bunuh kami...!
Kasihanilah selembar nyawa kami,
Tuan?" rintih para perempuan itu ketakutan. Tubuh mereka menggigil, terlebihlebih setelah melihat kilatan senjata di tangan orang-orang di
depannya. "Nyawa kalian memang cuma
selembar. Kalau kalian punya
berlembar-lembar pun kami tetap akan mencabutnya"!" Balung Raja mendengus sinis.
"Hiya...!" pedang di tangan laki-laki itu tiba-tiba saja menderu dahsyat. Jerit
serta lolong kematian pun menggema menyambut datangnya sang fajar. Darah
membasahi rumput-rumput berembun. Tubuh-tubuh malang ini
tersungkur mandi darah dengan lukaluka sungguh sangat mengerikan. Braja Musti,
Balung Raja dan Baja Geni
tergelak-gelak melihat orang-orang yang tidak berdosa itu meregang ajal.
Dari tempat yang agak jauh Ki Rambe Edan menyeringai puas melihat
pembunuhan yang dilakukan oleh kawan-kawannya. Semburat merah mulai
terlihat di langit sebelah timur.
Lereng Gunung Bromo berubah sunyi, seakan tidak pernah terjadi apa-apa di situ.
Mayat-mayat bergelimpangan
tampak mulai membeku.
*** Waktu terus bergulir tanpa
menunggu. Malam satu Asyuro beberapa minggu telah terlewatkan. Namun tidak
seorang pun yang dapat melupakan
peristiwa tragis yang terjadi di
Gunung Bromo. Bahkan tokoh-tokoh
persilatan yang merasa gagal mendapatkan bayi ajaib itu. Tetap
menunggu kabar dan mencari kesempatan ingin memiliki bayi itu. Hanya kabar yang
mereka tunggu tidak kunjung
datang. Tidak seorang pun di antara mereka yang tahu, di mana dan di
tangan siapa bayi ajaib itu berada.
Gunung Mahameru dalam ketinggian
dua ribu lima ratus kaki lebih. Hampir setiap saat selalu berselimut kabut
tebal. Hampir seluruh lerengnya
ditumbuhi dengan berbagai jenis pohon pinus membaur dengan pohon-pohon
lainnya. Tidak seorang dari kalangan manapun yang berani datang atau
menjarah tempat itu. Konon gunung Mahameru selain sangat angker, juga
didiami oleh dedemit dan makhluk
halus. Anehnya walaupun tidak
kelihatan ujudnya. Hampir setiap saat dari pagi sampai menjelang sore.
Sepanjang lereng melingkar selalu
terdengar suara jeritan-jeritan kera.
Masih di daerah sekitar lereng.
Di sebuah tempat yang membentuk
cekungan. Terlihat sebuah pondok jati yang agak terlindung dari pepohonan.
Di depan pondok terdapat sebongkah batu besar dan datar pada
permukaannya. Di atas batu itulah
seorang laki-laki berbaju putih,
bercambang, jenggot dan berambut serba putih duduk bersila sambil menimangnimang bayi di tangannya. Laki-laki ini tampak terus tertawa-tawa seperti orang
sinting. Karena agaknya ia
memang merupakan orang sinting.
Anehnya bila ia tertawa, bayi dalam pangkuannya yang sedang menangis itu
hentikan tangisnya seketika.
"Ah... ha ha ha...! Bayi bagus!
Tulang-tulangnya
juga bagus untuk
kujadikan manusia sakti. Aku
beruntung. Tapi... bayi ini mengapa rambutnya kemerah-merahan" Ada tahi lalat
besar di punggungnya. Mukanya memang ganteng, tapi...
kelihatannya... seperti orang tolol!
Kayak orang bego, Blo'on...! Eh...
bayi baru dua minggu bisa tertawa.
Senang, ya... apakah senang kau jadi orang blo'on" Eeh... dia tertawa lagi.
Waduh apa ini hangat-hangat...!" Laki-laki bertampang seperti monyet ini meraba
bagian depan celananya. Basah.
"Hah...!" Si Orang tua mendelik.
"Kau... kau kencingi aku! Kurang ajar, kau kencingi aku!" Seakan mengerti bayi
berambut kemerah-merahan itu
tiba-tiba menangis sekeras-kerasnya.
Semakin lama tangisnya semakin keras, hingga membuat si kakek jadi
kebingungan. "Cup... diam, ya... akh, rupanya kau tahu aku ngomel. Uuh... bukan kau yang
kencing. Ya.. ya... bukan kau yang kencing. Aku yang kencing. Tua bangka ini
yang kencing di celana. Ha ha ha Kakek bertampang seperti kera putih tergelakgelak. Aneh, bayi laki-laki itu tiba-tiba hentikan tangisnya dan ikut pula
tertawa. LIMA Kakek berbaju serba putih yang
tidak lain penguasa seluruh Siluman Kera Putih ini terus tertawa-tawa.
Perutnya terguncang-guncang. Air mata terus mengalir dari sudut-sudut
matanya akibat tawa yang tiada henti.
"Kau... ha ha ha...! Kau ini lucu, bocah mungil yang lucu. Aku suka bayi lucu
sepertimu. Tampangmu blo'on tapi aku yakin tersimpan kecerdikan di dalam
benakmu, nah... nah matamu
bilang begitu.,.!" Siluman Kera Putih hentikan tawa dan ucapannya. Ia
mendengar siluman siluman kera yang merupakan rakyatnya memberi isyarat-isyarat
khusus padanya. Ini merupakan satu pertanda ada orang lain di
sekitarnya. Tapi sungguh aneh,
makhluk-makhluk lelembut itu mengapa tidak menyerang pendatang yang belum
terlihat olehnya. Bahkan
Penghulu Siluman Kera-Kera Putih melihat
makhluk-makhluk dalam kegelapan itu seperti ketakutan.
Angin kencang laksana topan
tiba-tiba saja menderu hebat. Dari satu arah terdengar suara orang
menggumam. Jelas suara yang
didengarnya mengandung tenaga dalam yang sangat tinggi. Sehingga Siluman Kera
Putih terpaksa tertawa-tawa untuk menghilangkan pengaruh getaran suara gumaman
tersebut. "Penghulu Siluman Kera Putih!
Barata Surya penguasa alam kegelapan di gunung Mahameru. Kuharap kau mau
menyerahkan anak itu padaku sebagai orang yang berhak merawat dan
membesarkannya! Kalau tidak jangan salahkan aku jika seluruh siluman di sini
habis kubinasakan!"
"Eeh... siapakah orang itu"
Semestinya ia tidak dapat melihat
keberadaanku di sini, karena perisai gaib yang kumiliki!" desis Barata Surya
terheran-heran. Dengan cepat ia bangkit berdiri. Bayi dalam
gendongannya di dekapnya erat-erat.
Seakan ia tidak ingin berpisah dengan bayi lucu dalam gendongannya.
"Seluruh tokoh rimba persilatan di permukaan bumi ini mungkin tidak dapat
menembus alam gaib, Barata
Surya. Jauh-jauh aku datang dari pulau Seribu Satu Malam. Semata-mata demi
menyelamatkan keturunanku dari tangan-tangan orang yang tidak bertanggung
jawab!" Kalau saja tokoh lain yang
bicara seperti itu. Walaupun jumlah mereka mencapai belasan. Mungkin
Penghulu Siluman Kera Putih tidak akan gentar menghadapinya. Tapi jika memang
benarlah laki-laki yang bicara tadi tanpa mau menunjukkan diri. Berarti Sekarang
ia sedang berhadapan dengan Malaikat Berambut Api. Yaitu satu-satunya tokoh
sakti yang sangat
diseganinya di kolong jagad ini.
"Kisanak! Tunjukkanlah diri!
Segala sesuatunya masih dapat kita bicarakan...!"
Byaar! Byaar! Lereng gunung Mahameru seakan
diterangi oleh ribuan pelita yang
datang dari seluruh penjuru arah.
Suasana kemudian berubah menjadi
terang benderang. Di tengah-tengah cahaya terang berkilau itu, tampak sosok
tubuh berambut merah dan juga memakai pakaian warna merah belang kuning.
Wajahnya yang ditumbuhi
cambang berwarna merah tampak dingin berwibawa.
"Malaikat Berambut Api!" desis Barata Surya setelah melihat siapa laki-laki didepannya. "Berikan anak itu padaku, Barata Surya!" perintah Malaikat Berambut Api alias
Dewana. Suaranya terasa tajam menusuk.
"Eeh... mana bisa begitu! Aku ingin mengangkat bocah berambut merah ini menjadi
muridku! Seluruh apa yang kumiliki ingin kuturunkan kepadanya!
Apakah itu tidak hebat?"
"Apa?" Malaikat Berambut Api belalakkan mata. "Satu kegilaan besar jika semua
apa yang kau miliki kau turunkan pada cucuku. Kau manusia
segala sinting, segala gila, segala konyol dan keblinger! Dalam didikanmu cucuku
bisa jagi tolol!"
"Ah... he he he...! Betul! Ini anak hebat, apa yang dikatakan oleh pertapa Ki
Begawan Sudra memang ada padanya. Rambutnya merah seperti
rambutmu, Kisanak. Ada tompelnya dan tulang-tulangnya baik sekali. Tapi
lihatlah, tampangnya tolol tidak
ketulungan!"
Wuss! Sekali berkelebat Dewana telah
sampai di depan Barata Surya.
Tangannya berkelebat laksana kilat.
Tahu-tahu bayi berambut merah itu
telah berada di tangan Malaikat
Berambut Api. Namun keanehan terjadi. Bayi di
tangan Dewana ini langsung menangis.
Tubuhnya meronta-ronta seperti tidak suka berada dalam gendongan kakeknya.
"Cup... diam cucuku! Aku ini
kakekmu! Eeh... betul, tampangmu
seperti tampang orang tolol...!"
semakin bertambah keras saja tangis si bayi. Hingga membuat Penghulu Siluman
Kera Putih tertawa-tawa.
Malaikat Berambut Api jadi salah
tingkah. "Aku rasanya tidak dapat membuatnya diam. Ia sudah terlanjur akrab
dengan siluman jelek itu. Kalau dia menangis terus. Mana mungkin aku dapat
membawanya ke Pulau Seribu Satu Malam. Walah... dia kencing lagi...!"
Wajah Dewana berubah memerah.
"Apa kataku. Dia tidak mau ikut kakeknya." Tiba-tiba Barata Surya merebut bayi
itu. Ehh... begitu berada dalam gendongan Penghulu Siluman Kera Putih. Bayi itu
diam seketika. Bahkan ia mulai tersenyum-senyum kembali.
"Apa dosaku" Dia benar-benar
serasi dengan siluman muka kunyuk itu.
Kalau pun aku bersikeras dengannya, paling tidak segala kesaktian yang kumiliki
dapat mengalahkannya. Tapi bagaimana kalau anak itu menangis
terus! Bocah itu benar-benar memaksaku untuk menentukan pilihan...!" gerutu
Dewana sambil katupkan rahangnya
rapat-rapat. "Lihatlah sobat! Dia diam. Dia suka padaku. Eeh... bagaimana
pendapatmu jika kita sama-sama
membesarkannya di tempat ini?"
"Membesarkannya di tempat
kediaman siluman. Jangan-jangan kalau besar nanti dia menjadi setan
gentayangan. Kurasa lebih baik jika aku membesarkannya di kandang kuda!"
Wajah Penghulu Siluman Kera Putih
berubah memerah. Namun hanya sebentar saja. Untung yang bicara itu adalah tokoh
sangat sakti yang diseganinya, kalau tidak Barata Surya pasti sudah menampar
kakek tua di depannya itu pulang pergi.
"Ah, jangan begitu sobat. Seumur hidup aku belum punya murid. Kau pun begitu
juga. Jika kekuatan kita sama-sama kita gabungkan kelak ia akan
menjadi seorang pendekar tangguh tanpa tanding!"
"Kau membujukku?" dengus Malaikat Berambut Api.
"Mana berani aku mengatakan
begitu. Aku cuma mengajakmu untuk
memberikan yang terbaik padanya."
"Bagaimana kalau kita sama-sama membesarkannya di Pulau Seribu Satu Malam?"
"Walah! Jauh amat. Mana bisa aku mengawasi kera-kera siluman yang
berdiam di sini kalau aku harus pergi ke tempatmu!"
"Jika begitu urusi saja monyet-monyetmu itu. Biar aku yang urus
cucuku...!" ketus suara Malaikat Berambut Api.
"Jangan begitu sobat! Aku
sungguh-sungguh mengasihi anak ini, karena Anda merupakan orang yang
paling berhak. Maka aku bersedia
bekerja sama membesarkan anak ini."
Dalam suasana seperti itu. Malaikat Berambut Api merasa harus mengambil
kesimpulan terbaik.
"Kalau begitu aku bersedia
mengikuti kehendakmu. Sekarang aku ingin bertanya padamu, apakah anak itu sudah
punya nama?"
"Wah belum. Dua minggu
bersamanya aku merasa senang sekali.
Sehingga belum terpikirkan olehku
tentang namanya." Barata Surya menyahuti.
"Kedua orang tuanya telah
menjadi korban...!"
"Aku ikut merasa prihatin atas kejadian itu." Memotong Barata Surya.
"Dia terlahir pada malam satu Asyuro. Karena rambutnya yang kemerah-merah itu.
Maka aku memberinya nama Suro Blondo.... Bagaimana apakah kau setuju..."!"
Penghulu Siluman Kera Putih
tidak langsung menjawab. Melainkan memandang pada bayi dalam
gendongannya. Seraya bicara pada bayi itu seperti sedang bicara dengan orang
yang sudah dewasa.
"Kau setuju jika kakekmu memberi nama Suro Blondo?"
Bayi dalam gendongan Barata
Surya menggeliatkan tubuhnya sejenak kemudian tawa kecilnya terdengar.
"Ha ha ha! Dia setuju, sobat!
Dia setuju dengan pemberian nama itu."
kata Barata Surya. "Kalau dia setuju aku pun setuju."
"Baik! Tapi aku punya beberapa syarat yang harus kau penuhi." tegas Malaikat
Barambut Api.

Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah syarat-syaratnya?" tanya Penghulu Siluman Kera Putih sambil cengarcengir. "Pertama aku tidak suka kau
menurunkan sifat-sifat jelekmu
kepadanya. Kedua aku yang memberi
dasar-dasar ilmu tenaga dalam
kepadanya. Aku tidak mau melihatmu mengajarkan ilmu sesat padanya"!"
"Oho... jangan takut. Semua
ilmuku tidak ada yang menyesatkan. Aku menjamin Suro Blondo tidak tersesat!"
"Ingat! Janjimu kupegang sampai kapan pun. Sekali kau ingkar! Bukan kau saja
yang akan menanggung
akibatnya. Seluruh monyet-monyet
siluman yang ada di sini akan
menanggung akibat perbuatanmu!"
Ancaman Malaikat Berambut Api bukan main-main. Siluman Kera Putih sadar benar
siapa tokoh yang jarang muncul di rimba
persilatan ini. Setiap
kemarahannya dapat menimbulkan kobaran api di kepalanya. Dan ia sangat
disegani karena tinggi ilmu
kesaktiannya yang tidak dapat diukur.
"Aku terima perjanjian ini
sobat!" sahut Barata Surya serius."
Jika Anda suka. Anda boleh tinggal di dalam gubukku ini...!"
"Hmm, sekali-sekali tidak. Hanya sewaktu-waktu saja aku akan datang kemari.
Siang hari cucuku berada dalam pengawasan dan didikanku. Sedangkan pada malam
hari ia berada dalam
bimbinganmu sepenuhnya!"
"Aku setuju! Ya... aku setuju sekali...!" Penghulu Siluman Kera Putih tertawa
cengengesan. *** Hampir setiap malam bocah lucu
bertampang tolol itu selalu bermain-main dengan kera-kera berbulu putih yang
jumlahnya mencapai ratusan ekor.
Dalam usianya yang baru tujuh tahun.
Tubuhnya sudah tampak kekar berotot.
Walaupun tampangnya blo'on, namun
sesungguhnya ia mempunyai otak yang cerdas. Hanya dalam waktu-waktu
tertentu saja ia memang tampak
lamban dalam berpikir. Tapi tingkahnya yang konyol, kocak dan ketolol-tololan
membuat kera-kera yang selalu
menemaninya menjadi sangat suka
bermain-main dengannya. Malam itu
udara di lereng Gunung Mahameru terasa dingin mencucuk. Tapi sungguh aneh, bocah
bertelanjang dada ini malah
merasakan kegerahan yang bukan alang kepalang. Ia mengipas-ngipas daun jati di
tangannya. Daun jati itu bolong-bolong bekas dimakan ulat. Sehingga kipasankipasan yang dilakukannya
tidak membawa arti sama sekali. Tiba-tiba ia nyengir sendiri.
"Kakek Dewana tidak sama dengan kakek Barata Surya. Orang rambut merah itu
terlalu keras dalam membimbingku.
Ia datang seperti setan dan pergi
seperti angin. Tapi ia mengatakan
dirinya sebagai kakekku. Apa sih
artinya kakek" Dan guruku yang kayak monyet itu. Hampir tiap malam selalu
memasukkan aku ke dalam telaga yang ada asapnya. Kata kera-kera itu telaga di
bawah sana rasanya panasnya seperti lahar gunung. Tapi ketika aku
dimasukkan ke dalam telaga itu. Uuh...
air telaga itu dinginnya tidak
ketulungan...!"
Swiiiet! "Eeh... guru gila itu
memanggilku. Malam malam begini aku disuruh mandi lagi. Bagaimana ini"
Apakah aku harus menolak?" batin si bocah kekar lalu mengusap-usap dadanya yang
bidang. "Suro Blondo manusia tolol!
Cepat kau kemari. Saatnya bagimu untuk menikmati sarapan kesepuluh...!"
terdengar teriakan orang yang sangat dikenalnya.
"Sialan guru kampret! Malam ini aku tidak mau mandi di situ. Aku mau tidur!"
"Kurang ajar. Jangan buat
kakekmu jadi kecewa. Telaga mendidih itu adalah untuk memantapkan tenaga
dalammu...!"
"Guru sinting. Setiap malam aku harus mandi di dalam air mendidih yang sangat berbisa itu. Di dalamnya ular-ular merah
menggelitikku. Sedangkan kau sendiri enak-enakan ngorok di atas pohon telaga!"
Sebenarnya ular-ular merah
berbisa yang hidup di dalam telaga panas tersebut bukan menggelitik Suro Blondo,
melainkan menggigitnya.
Sehingga tanpa disadari oleh Suro
Blondo. Lama kelamaan tubuhnya menjadi kebal terhadap segala macam bisa yang
maha ganas sekali pun.
ENAM "Suro Blondo! Kau beraninya
membangkang pada aku saja. Pada
kakekmu Malaikat Berambut Api kau
tidak berkutik! Ayo kemari! Atau aku menyuruh anak-anak menyeretmu kemari?"
dengus Barata Surya, lalu usap-usap jenggotnya yang putih bagaikan kapas.
"Monyet-monyet yang punya ekor selalu dipanggilnya anak-anak. Gila barangkali
aku punya guru." Suro Blondo membatin di hati.
"Cepat Suro! Air telaga sudah menggelegak menunggumu. Jangan kau tunggu
kesabaranku sampai habis!"
Sambil uncang-uncang kaki di atas
pohon, si kakek mengulangi
perintahnya. Suro Blondo usap-usap perutnya
yang putih berkilat-kilat. Pemuda
tanggung bertampang tolol ini semakin jengkel saja mendengar perintah
gurunya. "Kesabaran jangan selalu
dihabiskan, Guru! Kalau Guru sudah tidak punya kesabaran. Ke mana Guru akan
mencari gantinya...!" kata Suro Blondo tenang.
"Sialan anak tolol! Kau
membantah terus kalau diperintah!"
"Guru bego. Kerjanya kasih
perintah melulu." rutuk Suro Blondo.
Tiba-tiba saja Penghulu Siluman Kera Putih tergelak-gelak. Kalau
bukan muridnya yang bicara begitu. Mungkin sudah sejak tadi digebuknya Suro
Blondo. Sejenak Barata Surya hentikan tawanya.
"Anak ini wataknya sama persis dengan sifatku diwaktu kecil. Kalau tidak
mengingat kakeknya manusia sakti Mandraguna. Sudah kucopot mata dan hidungnya."
gerutu Barata Surya.
Saat itu Suro Blondo membatin
pula: "Kunyuk berjanggut itu selalu memanjakan aku. Sialnya dia tidak mau samasama mandi di telaga panas."
"Hei... tunggu apalagi...! Cepat kerjakan...!" teriak Barata Surya jadi berang.
Pada saat itu tanpa diketahui oleh Penghulu Siluman Kera Putih ini.
Suro Blondo telah masuk ke dalam
telaga panas berbisa tersebut.
"Anak-anak seret manusia yang di atas pohon!" kata Barata Surya tanpa melihat
lebih dulu. Kalau pohon yang selalu dijadikan tempat beristrahat Suro Blondo
sudah kosong. Puluhan ekot kera siluman saling
pandang. Satu-satunya orang yang
berada di atas pohon hanya Barata
Surya sendiri. Dengan bingung puluhan ekor kera berpaling pada Suro Blondo yang
tampak meringis dan menunjuk-nunjuk ke arah pohon yang diduduki Barata Surya.
Secara beramai-ramai kera siluman itu tanpa menimbulkan suara langsung mendekati
penghulu mereka. Lalu....
Sreet! "Eeh... apa-apaan monyet-monyet tolol! Eeh... heii...!"
Byur...! Melihat gurunya basah
kuyup tercebur ke dalam telaga. Suro Blondo tergelak-gelak. Monyet-monyet
siluman ikut berjingkrak-jingkrak
kegirangan. "Kurang ajar! Murid tolol, kera-kera blo'on...! Menyingkir kalian
semua sebelum kena gebukanku!" bentak Barata Surya marah bukan kepalang.
"Nguk! Nguk!"
Monyet-monyet siluman pun
menjauhi tempat di sekitar telaga.
"Guru salah sebut. Ha ha ha...!
Mestinya kera-kera itu yang tolol.
Guru yang geblek dan aku... ha ha ha... blo'on... ha ha ha...!"
"Diam...!" bentak Barata Surya.
Seraya melompat dari dalam telaga.
Sementara itu air di dalam telaga
terus bergolak. Hawa panas mulai
menyengat. Sedangkan ular-ular berbisa yang berada di dalamnya mulai
menyerang Suro Blondo pula.
"Ih... aku nggak bisa diam.
Ular-ular sialan ini terus
menggelitikku... ihh... hiii...
geli...!" Suro Blondo terus meringis-ringis. Entah kegelian entah
kesakitan. Yang jelas disekujur
tubuhnya yang terendam air berwarna merah itu mulai tampak dipenuhi luka di
sana-sini. Luka-luka
itu menimbulkan rasa dingin yang teramat sangat. Sehingga membuat sekujur tubuh Suro
Blondo bergetar hebat.
"Sudah Guru! Dingin... dingin sekali. Aku mau naik ke daratan, Guru.
Sudah tidak tahan...!"
"Diam di situ, kalau perlu
sampai besok pagi!" bentak Barata Surya.
"Uhu... tega nian dikau...!"
Suro Blondo menggerutu.
Barata Surya terkekeh-kekeh.
"Kalau mau jadi manusia berguna, murid harus patuh perintah guru. Kau harus
ingat pula, jika tenaga dalammu sudah benar-benar
sangat sempurna dan
tubuhmu telah kebal sepenuhnya karena berendam di Telaga Bisa. Dua tahun
mendatang aku dan kakekmu akan
menurunkan jurus-jurus ilmu silat
tingkat paling tinggi kepadamu. Jika kau tidak punya tenaga dalam yang
tinggi, mana bisa aku dan kakekmu
menurunkan pukulan-pukulan dahsyat yang kami miliki!" jelas Penghulu Siluman
Kera Putih lebih lanjut.
Setelah memberi penjelasan pada
muridnya. Barata Surya segera melompat lagi ke atas pohon di mana tempat ia tadi
berada. Kemudian beliau rebahkan badan. Hanya dalam waktu beberapa
menit saja, suara dengkurannya pun terdengar dengan jelas di telinga sang murid.
"Sekujur tubuhku sudah berdarah.
Hawa dingin semakin menyerang. Telaga ini panas bukan main, tapi mengapa setelah
tubuhku digigiti ular-ular merah ini badanku jadi dingin sekali."
Suro Blondo menggerutu. Satu dua ekor ular merah ditangkapnya. Dengan geram
digigitnya kepala ular-ular yang
sangat berbisa itu.
"Huh... rasain pembalasanku!"
Suro Blondo cengengesan ketika melihat ular tanpa kepala tersebut
menggelepar-gelepar lalu mati.
"Guruku sudah tidur. Aku sudah mengantuk baiknya aku naik ah...!"
Dengan hati-hati Suro blondo merangkak naik ke daratan meninggalkan telaga bisa.
Namun di atas pohon kemudian terdengar satu bentakan keras
menggeledek. "He... mau ke mana kau..."
Jangan coba-coba ya...!"
"Dalam keadaan mendengkur
seperti itu. Tidak sangka guru
mengetahui apa yang akan kulakukan!
Dasar guru sinting...!" Suro Blondo menggerutu. Dengan terpaksa ia kembali masuk
ke dalam telaga bisa. Sedangkan sang guru yang sama-sama miringnya terus ngorok
berkerokokan. *** Sejak empat tokoh sesat yang
tergabung dalam partai Dunia Akhirat mendirikan markas di Gunung Bromo.
Maka sejak saat itu sepak terjang
mereka sudah sampai di daerah
Nongkjajar, Wendit bahkan Singosari.
Segala macam kejahatan mereka lakukan.
Membunuh dan melakukan perampokan
besar-besar sudah biasa mereka
lakukan. Mereka juga melakukan penculikan
di mana-mana. Tidak jarang orang
persilatan yang berusaha menghentikan sepak terjang mereka ini tewas secara siasia. Semakin lama partai yang
dipimpin oleh Balung Raja, Ki Rambe Edan, Braja Musti dan Baja Geni
semakin bertambah besar. Pengikutpengikutnya juga semakin bertambah banyak. Dalam waktu 17 tahun, mereka bahkan
telah berhasil membentuk sebuah kerajaan kecil yang memiliki mata-mata tersebar
di setiap daerah. Bahkan
sejak saat itu semua penduduk
dibebankan membayar upeti. Siapa yang membangkang pasti mereka bunuh.
Pendeknya tidak seorang pun yang
berani menentang kekuasaan mereka.
Siang itu udara terasa panas
membakar bumi. Daerah Nongkojajar yang padat penduduk memang senantiasa sarat
dengan berbagai kegiatan. Tampaknya mereka sudah terbiasa dengan keadaan seperti
itu. Tidak perduli pada musim panas atau pun musim hujan. Mereka senantiasa
bekerja keras demi untuk membayar upeti pada majikan di Gunung Bromo. Di sebuah
waning yang selalu sarat dengan pengunjung. Seorang gadis mengenakan pakaian
ringkas berwarna kuning gading tengah menikmati
hidangan yang dipesannya pada pemilik warung. Ia memakai ikat kepala warna biru.
Rambutnya yang panjang dan
menebarkan bau harum semerbak membuat orang-orang yang berada di dalam
warung itu selalu melirik dan mencuri pandang kepadanya. Gadis berwajah
cantik dengan tahi lalat di dagu ini bersikap acuh tak acuh. Sungguh pun ia
sadar sejak tadi berpasang-pasang mata terus mengawasinya sambil menelan
ludah. "Pak Tua! Saya minta tambah
makanannya!" Sama sekali ia tidak menoleh pada pemilik warung ketika ia
menyampaikan keinginannya itu. Ketika pemilik warung bermaksud menyediakan
pesanan si gadis. Saat itulah tiga orang laki-laki berpakaian hitam.
Berambut panjang awut-awutan,
bercambang bawuk lebat memasuki warung tersebut. Orang-orang di dalamnya yang
memang telah mengenal siapa adanya laki-laki bertampang
angker ini langsung meninggalkan warung. Hanya gadis berpakaian kuning gading yang tetap
berada disitu. Sama sekali ia tidak menghiraukan ketiga laki-laki yang membekal
golok besar ini.
"Bapak! Mana pesanan saya...?"


Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya si gadis. Suaranya terasa enak didengar. Pemilik warung tampak
ketakutan. Bukan pada si gadis
melainkan pada ketiga laki-laki yang sedang menghampiri gadis itu.
"Bocah manis. Rupanya kau sangat lapar sekali, ya..." Bagaimana jika kami
menemanimu makan di sini" Kami juga sama-sama lapar!" kata yang berbadan tinggi
tegap. "Aku tidak butuh siapa pun di sini!" ketus suaranya, Perlahan ia memandang pada
laki-laki di depannya.
Sebaliknya laki-laki di depannya
Kisah Pedang Di Sungai Es 24 Pusaka Tongkat Sakti Karya Tjoe Beng Siang Kucing Suruhan 9

Cari Blog Ini