Ceritasilat Novel Online

Dewi Penyebar Maut 1

Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut Bagian 1


http://cerita-silat.mywapblog.com
Daftar Judul Cersil Bag 10541 Jodoh Rajawali - Wasiat Dewa Geledek542 Jodoh
Rajawali - Misteri Topeng Merah543 Jodoh Rajawali - Ratu Kembang Mayat544 Jodoh
Rajawali - Utusan Pulau Keramat545 Jodoh Rajawali - Gerombolan Bidadari Sadis546
Jodoh Rajawali - Sumur Perut Setan547 Jodoh Rajawali - Mempelai Liang Kubur548
Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar549 Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan550
Pendekar Mabuk - Darah Asmara Gila551 Pendekar Mabuk - Perawan Sesat552 Pendekar
Mabuk - Murka Sang Nyai553 Pendekar Mabuk - Pertarungan Di Bukit Jagal554 Kisah
Para Naga di Pusaran Badai - Naga-nagaKecil555 Kisah Para Naga di Pusaran Badai
-Pertempuran di Gunung Siong San556 Pendekar Mabuk - Utusan Siluman
TujuhNyawa557 Pendekar Mabuk - Istana Berdarah558 Pendekar Mabuk - Pusaka Tombak
Maut559 Pendekar Mabuk - Manusia Seribu Wajah560 Pendekar Mabuk - Tumbal Tanpa
Kepala561 Pendekar Mabuk - Cermin Pemburu Nyawa562 Pendekar Mabuk - Prahara
Pulau Mayat563 Pendekar Mabuk - Pedang Guntur Biru564 Pendekar Mabuk - Pawang
Jenazah565 Pendekar Mabuk - Mustika Serat Iblis566 Pendekar Mabuk - Minyak Darah
Malaikat567 Pendekar Mabuk - Manusia Penyebar Kutuk568 Pendekar Mabuk Pembantai Berdarah Dingin569 Pendekar Mabuk - Ladang Pertarungan570 Pendekar
Mabuk - Titisan Ilmu Setan571 Pendekar Mabuk - Lentera Kematian572 Pendekar
Mabuk - Malaikat Jubah Keramat573 Pendekar Mabuk - Naga Pamungkas574 Pendekar
Mabuk - Ratu Tanpa Tapak575 Pendekar Mabuk - Keris Setan Kobra576 Pendekar Mabuk
- Bandar Hantu Malam577 Pendekar Mabuk - Cambuk Getar Bumi578 Pendekar Mabuk Tandu Terbang579 Pendekar Mabuk - Pedang Kayu Petir580 Wiro Sableng - Empat
Berewok Dari GoaSanggreng581 Wiro Sableng - Maut Bernyanyi Di Pajajaran582 Wiro
Sableng - Dendam Orang-orang Sakti583 Wiro Sableng - Keris Tumbal Wilayuda584
Wiro Sableng - Neraka Lembah Tengkorak585 Wiro Sableng - Pendekar Terkutuk
PemetikBunga586 Wiro Sableng - Tiga Setan Darah dan CambukApi Angin587 Wiro
Sableng - Dewi Siluman Bukit Tunggul588 Wiro Sableng - Rahasia Lukisan
Telanjang589 Wiro Sableng - Banjir Darah di Tambun Tulang590 Wiro Sableng - Raja
Rencong Dari Utara591 Wiro Sableng - Pembalasan Nyoman Dwipa592 Wiro Sableng Kutukan Empu Bharata593 Wiro Sableng - Sepasang Iblis Betina594 Wiro Sableng Mawar Merah Menuntut Balas595 Wiro Sableng - Hancurnya Istana Darah596 Wiro
Sableng - 5 Iblis dari Nanking597 Wiro Sableng - Pendekar Pedang Akhirat598 Wiro
Sableng - Pendekar Dari Gunung Naga599 Wiro Sableng - Hidung Belang Berkipas
Sakti600 Wiro Sableng - Neraka Puncak Lawu
"Ayah...," suara pelan mengandung isak terdengar memecah kesunyian pagi. Suara
itu berasal dari sebuah mulut mungil berpakaian serba putih yang duduk bersimpuh
di depan sebuah gundukan tanah merah.
Wajah sosok tubuh ramping ini tidak terlihat karena kepalanya tertunduk
"Aku menyesal sekali, Ayah...," kembali suara mengandung isak itu terdengar.
Menilik suaranya yang begitu menyayat, dapat diperkirakan kalau sosok tubuh
ramping ini adalah seorang wanita.
"Kalau aku tidak datang terlambat, mungkin Ayah tidak meninggal. Aku menyesal
sekali. Tapi, tenanglah di dalam kuburmu. Akan kubalaskan sakit hatimu.
Akan kubunuh mereka yang telah secara curang mengeroyokmu. Dengar janjiku ini,
Ayah. Kalau tidak berhasil memenuhi janjiku ini, maka akan kuganti namaku, Ayah.
Akan kubuang nama Melati!"
Tegas dan mantap sekali ucapan terakhir yang keluar dari mulut sosok yang
berpakaian serba putih, dan ternyata bernama Melati itu. Apalagi kata-kata itu
ditutup dengan kepalan tangannya di depan dada, sambil mengangkat wajah! Tangan
yang terkepal itu begitu indah! Jari-jemarinya terlihat lentik, halus, dan
berkulit putih mulus. Punggung tangannya yang tidak tertutup baju bertangan
panjang itu pun putih, halus, dan mulus! Tetapi bila dibandingkan dengan wajah
yang kini nampak jelas itu, tangan itu tidak berarti apa-apa. Wajah sosok serba
putih itu begitu cantik
jelita, laksana Dewi! Kulit wajahnya putih, halus, dan mulus. Hidungnya mbangir,
dan bibirnya yang tipis dan mungil itu berwarna merah segar.
Hanya satu yang menyeramkan pada gadis berusia sekitar sembilan belas tahun itu.
Sepasang matanya yang tajam mencorong, dan bersinar kehijauan!
Persis seperti sorot mata kucing dalam gelap.
Setelah mengucapkan sumpahnya, Melati bangkit dari duduknya, kemudian melesat
dari situ. Cepat sekali gerakannya. Sehingga dalam sekejap mata saja, hanya
terlihat sebuah titik di kejauhan yang semakin lama semakin mengecil dan
akhirnya lenyap.
*** Seraut wajah cantik jelita berpakaian serba putih, dengan sikap tak acuh
melangkah memasuki sebuah kedai di Desa Waringin. Dihampirinya sebuah meja yang
masih kosong. Dan dengan malas dihenyakkan tubuhnya ke kursi. Tak dipedulikan
berpasang-pasang mata yang menatap liar ke arahnya.
Sang pemilik kedai, seorang setengah tua yang berwajah totol-totol hitam,
tergopoh-gopoh datang menghampirinya.
"Mau pesan apa, Nisanak?" tanya pemilik kedai ramah.
Wanita yang tidak lain dari Melati ini lalu memesan makanan yang disukainya.
Suaranya begitu merdu.
Sang pemilik kedai mengangguk-angguk mengerti, kemudian berlalu untuk menyiapkan
pesanan itu. Sebelum berlalu, mulutnya sempat berbisik pelahan pada Melati.
"Hati-hati, Nisanak. Di sini banyak orang jahat.
Kalau bisa, cepatlah pergi dari sini..."
Melati hanya tersenyum sinis. Sama sekali tidak digubris peringatan. pemilik
kedai itu. Tidak lama, pemilik kedai itu sudah kembali sambil membawa makanan pesanan
Melati. Setelah
mempersilakan, ia pun berlalu dari situ.
Baru beberapa langkah pemilik kedai itu
meninggalkan meja Melati, dua orang berwajah kasar yang sejak tadi menatap liar
pada Melati, bangkit dari kursinya. Tampaknya mereka melangkah mendekati meja
Melati. "Nisanak...," ucap salah seorang di antara mereka yang berkulit hitam dan
berwajah penuh bercak-bercak putih. Lagaknya membuat Melati merasa perutnya
mual. "Makan sendirian tidak enak. Lebih baik pindah ke meja kami, dan kita
makan bersama-sama."
"Benar, Nisanak," sambut seorang lagi, yang bermulut lebar.
"Lalat-lalat kotor menyebalkan!" ucap Melati tak acuh. Tanpa mempedullkan
mereka, gadis itu terus saja melanjutkan makannya. "Aku heran, kenapa di kedai
sebersih ini masih ada dua ekor lalat busuk yang menjemukan"!"
"Keparat!" teriak si muka hitam berang.
"Perempuan tak tahu diuntung! Berani benar kau menghina Sepasang Setan Hitam"!
Kau harus dihukum atas kekurangajaranmu itu! Kecuali kalau kau mau meminta maaf
dan mencium kami masing-masing sepuluh kali."
"Ya, betul," sambut si mulut lebar. Sudah terbayang di benaknya betapa nikmat
dicium gadis secantik wanita berpakaian serba putih ini.
Sepasang mata Melati mencorong mendengar ucapan yang kurang ajar itu. Tangannya
yang tengah menyuap nasi, terhenti di depan mulut.
"Lalat-lalat busuk bermulut kotor! Orang seperti kalian tidak pantas hidup lebih
lama lagi!" bentak gadis itu geram.
"Ha ha ha...!" si mulut lebar tertawa bergelak. "Kau dengar apa yang
dikatakannya, Kang" Lucu! Sungguh lucu! Kelinci hendak mengalahkan harimau!"
Si muka hitam yang berangasan tidak menyahuti gurauan rekannya. Sambil mendengus
seperti kerbau marah, kedua tangannya begitu kurang ajar hendak mencengkeram ke
arah dada Melati.
Wajah gadis itu langsung memerah melihat serangan yang kurang ajar ini. Seketika
itu juga tangannya cepat bergerak menyambut. Dan di lain saat, dua tangan yang
mungil dan indah itu sudah mencekal pergelangan kedua tangan si muka hitam yang
terarah ke dada. Pelahan sekali tangan gadis itu meremas, tetapi akibatnya hebat
bukan kepalang!
Terdengar suara gemeretak tulang patah dari pergelangan si muka hitam.
Kelihatannya tulang-tulang itu hancur diremas tangan mungil yang mengandung
tenaga dalam tinggi itu.
"Akh...!" si muka hitam berteriak kesakitan.
Keringat sebesar biji-biji jagung bermunculan di wajahnya karena menahan rasa
sakit pada kedua tangannya.
Si muka hitam kaget bukan main. Sekuat tenaga ditarik kedua tangannya yang
dipegangi Melati. Tapi betapa pun telah mengerahkan segenap tenaganya, tetap
saja dia tidak mampu membebaskan kedua tangannya dari cekalan tangan halus itu.
Belum lagi sempat berbuat sesuatu, tangan kiri gadis berpakaian serba putih itu
sudah bergerak menampar pelipis si muka hitam.
Prakkk...!"
"Akh...!"
Terdengar suara berderak keras ketika tangan halus gadis itu menghantam pelipis
si muka hitam. Orang pertama dari Sepasang Setan Hitam ini mengeluh tertahan, sebelum rubuh ke
tanah dengan napas putus.
Si mulut lebar meraung murka melihat temannya tewas. Tak dipikirkan lagi, bahwa
kematian rekannya yang begitu mudah menjadi suatu tanda betapa tingginya
kepandaian yang dimiliki gadis berpakaian serba putih itu. Dengan amarah meluapluap, dicabut senjatanya yang berupa sebuah kapak dari baja putih.
Seketika diayunkannya senjata itu ke kepala Melati.
Dan memang, hilang sudah gairahnya pada gadis itu.
Wuttt..! Angin keras berhembus sebelum serangan kapak itu tiba. Tetapi, Melati sama
sekali tidak gugup melihat serangan itu. Hanya dimiringkan kepalanya sedikit,
maka kapak itu lewat beberapa rambut di depan mukanya. Dan sebelum kapak itu
menghantam meja, tangan Melati sudah bergerak cepat menotok pergelangan tangan
si mulut lebar.
Si mulut lebar mengeluh tertahan. Pergelangan tangannya terasa lumpuh, sulit
digerakkan lagi. Dan sebelum ia berbuat sesuatu, kapak itu kini sudah berpindah
ke tangan Melati. Begitu tangan gadis yang kini telah menggenggam kapak itu
bergerak, si mulut lebar menjerit ngeri. Dadanya tertembus kapaknya sendiri.
Beberapa saat lamanya tubuh salah satu dari Sepasang Setan Hitam itu
menggelepar-gelepar sebelum akhirnya tidak bergerak-gerak untuk selama-lamanya.
Setelah menewaskan si mulut lebar, Melati
kembali duduk menghadapi mejanya. Sikapnya tak acuh, seolah-olah tidak pernah
terjadi apa-apa. Para pengunjung yang melihat keganasan gadis itu menjadi ngeri.
Beberapa di antara mereka secara diam-diam meninggalkan kedai itu setelah
membayar makanannya. Tentu saja Melati mengetahuinya. Tapi, gadis itu tidak
mempedulikan. Terus saja dilanjutkan makannya yang tertunda.
Tak lama kemudian, Melati menyelesaikan
makannya. Diletakkan pembayarannya di atas meja.
Dengan sikap tidak peduli, dilangkahkan kakinya berjalan ke luar kedai.
Sepeninggal Melati, maka terdengarlah suara-suara bergumam mirip kerumunan lebah
di dalam kedai itu. Semuanya sibuk membicarakan kejadian yang baru saja terjadi.
"Sayang sekali!" ucap salah seorang pengunjung menyayangkan. "Siapa sangka kalau
di balik wajah cantik seperti Dewi, tersembunyi hati yang kejam."
"Benar!" sambut yang lain. "Begitu mudah dan enaknya ia menyebar maut di sini!"
"Tindakannya seperti Malaikat Pencabut Nyawa saja!" orang pertama menyahuti
lagi. "Ah, tidak cocok dong!" sergah yang lain. "Mana ada malaikat wanita! Kalau
menurutku, julukan yang pantas baginya adalah Dewi Penyebar Maut!"
"Benar...!" sahut salah seorang.
"Akur...!"
Sejak peristiwa di kedai itu, tanpa sepengetahuan Melati sendiri, ia telah
dijuluki orang Dewi Penyebar Maut. Dalam waktu sebentar saja, julukan itu telah
menyebar ke seluruh pelosok desa. Bahkan sampai ke desa-desa sekitar. Dewi
Penyebar Maut, sebuah julukan bagi seorang gadis cantik yang berpakaian
serba putih, tapi berhati kejam.
*** "Perguruan Elang Sakti," gumam Melati sinis, membaca tulisan pada sebuah papan
besar dan tebal yang tergantung di depan pintu gerbang sebuah bangunan besar
yang dikelilingi tembok tinggi.
"Hup!"
Melati melompati tembok yang tingginya tidak kurang dari satu tombak itu. Tanpa
suara, kakinya mendarat seperti seekor kucing.
Tetapi belum juga gadis itu berbuat sesuatu, terdengar sebuah bentakan keras.
"Berhenti!"
Melati menoleh ke arah asal suara itu. Nampak di depannya berdiri seorang pemuda
gagah dengan kedua tangan bersedekap. Tatapan matanya penuh selidik. Tetapi,
sepasang mata yang semula tajam itu mendadak lunak begitu melihat wajah Melati.
"Eh! Nggg..., siapa Nini" Mengapa masuk secara gelap-gelapan?" tanya pemuda itu
gagap. "Siapa pun aku, tidak perlu kau tahu. Yang jelas, kedatanganku ke sini adalah
karena mempunyai keperluan yang sangat penting dengan gurumu!"
sahut Melati sambil tersenyum sinis.
"Ahhh.... Ada keperluan apakah, sehingga Nini ingin bertemu guruku?"
"Aku ingin mengirimnya ke akherat!" lantang dan tegas kata-kata Melati.
"Apa"!" Sepasang mata pemuda itu terbelalak. Kini sikapnya seketika berubah
kembali. "Jangan harap mampu melakukannya sebelum melangkahi
mayatku!" "Hi hi hi...! Berapa sih, susahnya melangkahi mayatmu"!" ejek Melati tajam,
setelah tawa mengikiknya selesai.
"Boleh kau coba!" tantang pemuda itu.
"Manusia dungu yang suka mencari penyakit sendiri! Jangan salahkan aku kalau kau
mati di tanganku!"
Setelah berkata demikian, tubuh Melati berkelebat ke arah sasaran. Pemuda itu
kaget sekali. Yang terlihat hanya sekelebat bayangan yang cepat meluruk ke
arahnya. Dengan sebisanya, pemuda itu bergerak menangkis. Tapi usahanya sia-sia.
Crokkk! "Aaakh...!"
Pemuda malang itu langsung rubuh sambil
berteriak keras menyayat. Darah segar seketika membasahi ubun-ubunnya yang
pecah! Tanpa mempedulikan keadaan pemuda itu lagi, Melati bergerak menghampiri pintu
gerbang. Tepat di depan pintu gerbang itu langkahnya terhenti seraya bertolak
pinggang. "Satria, Mega..., keluar! Kalian harus menerima kematian!" teriak Melati
lantang. Teriakan Melati yang disertai pengerahan tenaga dalam, langsung menggema ke
sekitar tempat itu.
Akibatnya sudah bisa diduga. Belasan murid Perguruan Elang Sakti bermunculan,
dan bersikap waspada.
"Iblis dari mana yang tersesat ke sini"!" tanya salah seorang murid kepala,
bernada kasar. Kemudian dengan amarah meluap-luap, dihampirinya Melati.
Untuk sesaat hatinya terperangah melihat kecantikan si pengacau yang luar biasa
itu. Tapi, sekejap kemudian perasaannya sudah bisa dikuasai.
Tetapi sebelum Melati menjawab, terdengar sebuah suara dari arah belakang para
murid itu. "Mundur, Kusna!"
Si murid kepala yang ternyata bernama Kusna, segera mengenali suara gurunya.
Maka buru-buru dia melangkah mundur. Seiring mundurnya Kusna, dari belakang
kerumunan murid itu menyeruak dua orang pria berusia tiga puluhan.
"Kaliankah yang bernama Satria dan Mega itu?"
tanya Melati sinis.
"Tidak salah! Aku Satria, dan ini temanku, Mega,"
jawab Satria yang kini bersama Mega menjadi Ketua Perguruan Elang Sakti (Untuk
mengetahui kisah tentang Satria dan Mega sebelumnya, silakan baca serial Dewa
Arak dalam episode "Pedang Bintang").
"Ada urusan apakah, sehingga Nini datang mencari kami" Bahkan dengan cara yang
sangat tidak sopan!"
Wajah Melati berubah beringas melihat orang yang dicarinya telah di depan mata.
"Hutang nyawa!" sahut gadis itu keras, bernada penuh kebencian.
Berkerut kening Satria mendengar jawaban yang tidak disangka-sangka itu.
"Hutang nyawa" Aku tidak mengerti maksudmu, Nini. Apakah kau tidak salah
alamat?" "Tidak!" bentak Melati lagi. "Bersiaplah kalian berdua untuk menerima kematian!"
"Tunggu dulu, Nini!" cegah Satria cepat. "Kalau boleh tahu, siapakah yang telah
kami bunuh?"
Semakin beringas wajah Melati. Kini sepasang matanya mencorong tajam bersinar
kehijauan. "Ayahku," jawab Melati, agak ditekan suaranya.


Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayahmu" Siapa nama ayahmu?" tanya Mega cepat.
"Ayahku berjuluk Raja Racun Pencabut Nyawa!
Jelas"! Atau masih mau mungkir?" Geraham Melati bergemeletuk, karena menahan
amarah (Bila ingin jelas tentang Raja Racun Pencabut Nyawa, silakan baca serial
Dewa Arak, dalam episode "Pedang Bintang").
"Tidak mungkin!" potong Satria cepat. "Raja Racun itu tidak mempunyai anak,
lagipula..."
"Terimalah kematianmu, manusia pengecut!"
potong gadis itu cepat sambil menyerang Satria dengan mendorongkan tangannya ke
depan. Wuuuttt...! Angin kuat berhembus menyambar ke arah Satria.
Ketua Perguruan Elang Sakti ini buru-buru melempar tubuh ke samping dan
bergulingan beberapa kali di tanah. Akibatnya serangan itu lewat terus ke
belakang dan kontan menghantam murid-murid Satria yang tidak sempat mengelak
lagi. Suara jerit kesakitan terdengar saling susul, ketika pukulan jarak jauh Melati
menghantam mereka. Tidak kurang dari lima orang terjengkang rubuh ke belakang
dengan dada pecah!
Satria dan Mega terkejut bukan main. Dalam segebrakan saja dapat diketahui kalau
gadis berpakaian serba putih ini memiliki tenaga dalam tinggi. Tanpa ragu-ragu
lagi, keduanya segera mencabut senjatanya dan menyerang secara berbareng.
"Hi hi hi...," Melati tertawa mengikik. "Keroyoklah aku, manusia-manusia
pengecut! Tapi, kali ini jangan harap akan semujur dulu!" berbareng dengan
selesainya Melati mengucapkan ancamannya, serangan dua batang pedang itu telah
menyambar kembali. Tetapi, gadis itu hanya tersenyum sinis.
Kemudian, tangannya yang telanjang segera memapak bacokan kedua pedang itu.
Satria dan Mega kaget sekali. Apa yang diperbuat gadis berpakaian serba putih
ini benar-benar membuat mereka terkejut. Menangkis serangan pedang dengan tangan
telanjang, membutuhkan tenaga dalam yang amat tinggi. Dan selama ini hanya
Bargolalah yang berani menangkis seperti itu (Baca; Serial Dewa Arak dalam
episode "Pedang Bintang").
Mungkinkah gadis yang mengaku putri Raja Racun Pencabut Nyawa itu mempunyai
tenaga dalam setingkat Bargola" Tapi....
Trakkk! Trakkk!
Satria dan Mega menyeringai. Tangan dua orang Ketua Perguruan Elang Sakti yang
menggenggam pedang, terasa lumpuh ketika tangan telanjang gadis itu menangkis
pedang mereka. Hampir saja pedang mereka terlepas dari genggaman. Kini, terbukti
bahwa tenaga dalam yang dimiliki gadis itu benar-benar setingkat dengan Bargola.
"Hi hi hi...," kembali Melati tertawa mengikik.
Hati gadis itu kelihatan gembira melihat kedua lawannya kaget. Sengaja dia tidak
terburu-buru membinasakan, karena ingin melihat mereka ketakutan sebelum maut
menjemput. "Kini, terimalah kematian kalian!"
Setelah berkata demikian, tubuh Melati melesat cepat menerjang kedua pemimpin
Perguruan Elang Sakti itu. Jari-jari kedua tangannya berkelebat cepat, membentuk
cakar naga. Angin tajam berciutan mengiringi tibanya serangan itu.
Satria dan Mega kebingungan. Gerakan lawan yang terlalu cepat membuat mereka
tidak dapat menduga, ke arah mana dan dengan cara bagaimana
gadis itu menyerang. Dengan cara untung-untungan mereka memutar pedang bagai
baling-baling untuk membuat pertahanan.
Tapi, mendadak putaran pedang itu lenyap. Sedangkan pedang-pedang itu sendiri
sudah berpentalan jatuh ke lantai, sehingga menimbulkan suara berkerontangan. Satria
dan Mega tidak tahu bagaimana hal itu terjadi. Yang jelas, tiba-tiba sekujur
tangan mereka terasa lumpuh. Tetapi diyakini, pasti tangan gadis berpakaian
serba putih itu telah menotok pergelangan tangan mereka. Dan belum lagi dapat
berbuat sesuatu, tangan Melati telah menyambar pelipis dan ubun-ubun mereka,
yang merupakan dua bagian tubuh yang mematikan.
Crokkk! Plakkk!
Terdengar suara berderak dua kali berturut-turut Dan seiring lenyapnya suara
itu, tubuh Satria dan Mega rubuh ke tanah, tanpa bersuara lagi. Mati.
Tentu saja kematian kedua pemimpin Perguruan Elang Sakti itu membuat para
muridnya menjadi terkejut bercampur marah. Dengan serentak mereka yang kini
berjumlah tiga belas orang, mencabut senjata masing-masing.
Srattt! Srattt! Srattt!
Melati hanya tersenyum sinis.
"Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian.
Kuperingatkan, jangan ikut campur dalam masalah ini, kalau tidak ingin bernasib
seperti guru kalian,"
ancam gadis itu.
"Perempuan keparat! lblis berwajah manusia! Kau kira kami takut mati"
Serbuuu...!" teriak salah seorang dari mereka.
Tiga belas orang murid itu pun serentak menerjang Melati. Belasan senjata tajam
yang terdiri dari pedang
dan golok berkelebat menyambar sekujur tubuh gadis itu. Tapi Melati melayani
hanya dengan senyum sinis.
Dan seketika kedua tangannya yang lembut dan halus itu memapak semua serangan
lawannya, sekaligus memberikan serangan-serangan balasan.
Akibatnya sudah bisa diduga. Ke mana tangan atau kaki Melati bergerak, berarti
di situ ada korban.
Dan dalam waktu yang singkat, tidak ada seorang pun murid Perguruan Elang Sakti
yang masih berdiri.
Semua telah terkapar tanpa nyawa.
Melati memandangi hamparan mayat-mayat di sekelilingnya beberapa saat. Pandang
matanya berhenti agak lama pada tubuh Satria dan Mega.
Kepalanya pun kemudian menengadah.
"Ayah...," desis gadis itu pelan tapi tajam. "Lihat-lah! Telah kubalaskan
dendammu. Telah kubunuh dua dari empat orang yang telah secara pengecut
mengeroyokmu! Kini tinggal dua orang lagi, Ayah. Dan setelah itu tenanglah kau
di alam sana!"
Belum habis gema suaranya, Melati sudah melesat dari situ. Tujuannya jelas,
mencari pembunuh Raja Racun Pencabut Nyawa. Masih tinggal dua orang lagi yang
dicarinya. Ningrum, dan Ular Hitam.
Tanpa sepengetahuan Melati, ada sepasang mata yang mengintai semua perbuatannya.
Dan begitu dilihatnya gadis itu telah pergi, baru si pemilik sepasang mata itu
berani keluar. Ditatapnya belasan sosok tubuh yang terkapar bergelimpangan
disertai perasaan ngeri.
"Sungguh ganas dan kejam sekali, Dewi Penyebar Maut itu...," desahnya bergidik.
Memang, dia juga sudah melihat peristiwa di kedai beberapa hari yang lalu,
sewaktu Melati menewaskan Sepasang Setan Hitam. Oleh karena itu, begitu melihat,
langsung dikenalinya. "Tolooong...! Tolooong...! Ada pembunuhan!" teriaknya sambil berlari ke luar.
Dalam waktu sebentar saja, halaman depan Perguruan Elang Sakti dipenuhi penduduk
yang berkumpul karena mendengar teriakan itu! Dan julukan Dewi Penyebar Maut
pun, kembali digumamkan orang dengan perasaan ngeri.
2 Suara irama napas teratur, tetap, dan berulang-ulang terdengar memecah
keheningan pagi dalam sebuah hutan di luar Desa Kemukus. Suara itu ternyata
berasal dari hidung dan mulut seorang gadis yang tengah bersemadi.
Gadis itu berwajah cantik manis, dan berpakaian serba hijau. Di pipi kirinya
bertengger sebuah tahi lalat, yang membuat wajahnya yang memang cantik itu kian
bertambah menarik. Gadis itu adalah Ningrum, putri Raja Pisau Terbang. Sudah
beberapa hari ini, gadis itu berada di hutan. Dia memang dalam perjalanan
mengikuti jejak Arya Buana, si Dewa Arak yang telah membuat hatinya terguncang
pada pandangan pertama.
Selama beberapa hari di dalam hutan ini, Ningrum berlatih keras. Gadis ini
merasa kecewa menyadari betapa kepandaiannya masih terlalu rendah.
Sehingga sewaktu menghadapi Raja Racun Pencabut Nyawa, ia terdesak. Padahal,
waktu itu ia dibantu dua orang murid kepala Perguruan Tangan Sakti! Hal ini
membuatnya penasaran sekali. Maka, dalam perjalanannya menyusuri jejak pemuda
berambut putih keperakan, ia selalu menyempatkan diri untuk berlatih. Tapi bila
situasinya tidak memungkinkan, dia hanya bersemadi dan latihan pemapasan saja.
Dan bila situasinya memungkinkan, ia pun melatih pula jurus-jurus pisau terbang
dan tangan kosong.
Pelahan-lahan sang mentari mulai meninggi.
Sinarnya yang hangat pun mulai menerpa sekujur tubuh dan wajah Ningrum. Tapi,
sedikit pun gadis itu tidak terganggu, dan tetap tenggelam dalam semadinya.
Napasnya keluar masuk dengan irama tetap.
Putri Raja Pisau Terbang ini baru menghentikan semadi, ketika pendengarannya
yang tajam menangkap suara-suara langkah kaki menuju ke arahnya.
Baru saja Ningrum membuka mata, di depannya, telah berdiri beberapa sosok tubuh
berwajah kasar sambil menatap liar. Bergegas gadis yang bertahi lalat di pipi
kiri ini bangkit dari bersilanya. Melihat dari gelagatnya, Ningrum tahu bahwa
saat ini tengah berhadapan dengan orang-orang yang tidak berniat baik.
"Ha ha ha...! Sungguh tidak disangka di dalam hutan ini aku dapat bertemu
seorang bidadari! Ha ha ha...! Mimpi apa aku semalam"!" seru orang paling depan
yang bertubuh tinggi besar, berwajah kasar. Di lehernya tergantung seuntai
kalung bermatakan tengkorak kepala bayi. Tampaknya dia gembira sekali.
Ucapan si tinggi besar ini segera disambut gelak tawa tujuh sosok tubuh yang
berada di belakangnya.
"Bagaimana" Cocokkah bila kujadikan permaisuriku?" tanya si tinggi besar yang
rupanya pemimpin gerombolan itu sambil menoleh ke belakang.
"Ha ha ha...! Kakang memang pintar memilih.
Wanita ini memang pantas menjadi permaisuri Kakang. Dan kelihatannya dia
menguasai sedikit ilmu silat. Dunia persilatan akan memuji Kakang, karena pandai
memilih istri," sahut salah seorang dari mereka.
Ningrum tak kuat lagi menahan kemarahannya mendengar pembicaraan mereka.
"Manusia-manusia bermulut kotor! Pergilah kalian sebelum hilang kesabaranku!"
"Ha ha ha...!" kembali laki laki tinggi besar yang berjuluk Raksasa Kulit Baja
itu tertawa bergelak.
"Kalian lihat! Bukan hanya wajahnya saja, sikapnya pun memenuhi persyaratan
untuk menjadi permaisuriku. Ha ha ha...!"
Untuk yang kesekian kalinya tujuh orang yang berada di belakang Raksasa Kulit
Baja itu tertawa bergelak. Kali ini amarah Ningrum pun meledak.
"Tutup mulutmu yang bau itu, raksasa busuk!"
bentak gadis itu keras.
Kontan berubah merah wajah si tinggi besar mendengar makian pedas itu. Tawanya
pun seketika terhenti.
"Rupanya kau tidak senang diperlakukan baik-baik, Cah Ayu! Kau lebih suka
diperlakukan secara kasar dulu, baru mau tunduk, heh"! Akan kuturuti bila itu
yang diinginkan!"
Setelah berkata demikian, Raksasa Kulit Baja menggerakkan ujung telunjuk, pada
salah seorang yang berdiri di belakangnya.
Sambil tertawa-tawa, si muka kuning, yang diberi isyarat Raksasa Kulit Baja ini
melangkah maju.
Sepasang matanya liar menatap Ningrum. Sekejap kemudian, dia telah bergerak
menyerang gadis itu.
Tangannya menangkap lengan kanan gadis yang bertahi lalat di pipi kirinya ini.
Dikiranya, gadis ini pasti tak akan dapat mengelakkan sergapannya.
Tetapi, si muka kuning tertipu. Dengan sebuah gerakan sederhana, Ningrum telah
membuat tangkapan itu hanya mengenai tempat kosong.
Sebaliknya adalah ujung kaki putri Raja Pisau Terbang ini telah mendarat di
perut si muka kuning.
Bukkk..! "Hugh!"
Si muka kuning mengeluh tertahan. Sodokan ujung kaki Ningrum memang keras
sekali. Tak pelak lagi, tubuh si muka kuning terbungkuk-bungkuk seraya memegangi
perutnya yang tiba-tiba terasa mulas bukan main. Dan selagi si muka kuning sibuk
merasakan sakit pada perutnya, kaki Ningrum kembali bergerak menendang bahunya.
Tentu saja gadis itu tidak mengerahkan seluruh tenaganya.
Sebab kalau hal itu dilakukan, si muka kuning ini pasti tewas.
Desss! Tubuh si muka kuning terpental ke belakang dan keras sekali mencium tanah. Lakilaki itu terguling-guling sesaat, untuk kemudian tidak bergerak lagi.
Pingsan. Tentu saja hal ini membuat Raksasa Kulit Baja dan anak buahnya yang lain
terperanjat kaget. Dengan mata terbelalak, mereka menatap Ningrum. Sungguh sulit
dipercaya dengan apa yang terjadi di depan mereka ini. Benarkah gadis yang
mereka sangka seekor domba ternyata adalah singa betina"
Raksasa Kulit Baja tentu saja merasa penasaran sekali. Dengan gerak kepalanya,
diperintahkan sisa anak buahnya untuk menyerang berbareng. Maka keenam orang
anak buahnya melangkah maju mengepung Ningrum. Sadar kalau gadis itu bukanlah
lawan empuk, mereka pun tidak mau bersikap main-main lagi.
"Mengapa tanggung-tanggung, raksasa busuk"
Majulah! Biar urusan ini cepat selesai!' ejek Ningrum
sambil tersenyum sinis.
Mendengar ejekan itu, Raksasa Kulit Baja meraung murka.
"Kau terlalu sombong, perempuan keparat! Kalau nanti sudah tertangkap, kau akan
kutelanjangi dan kuperkosa sampai aku puas. Tidak sampai di situ saja, tubuhmu
akan kuberikan pada mereka, agar dapat dinikmati sampai kau mati kelelahan!"
Ningrum bergidik mendengarnya, dan wajahnya langsung memerah. Ucapan Raksasa
Kulit Baja itu benar-benar membuat kemarahannya berkobar.
Orang seperti dia memang tidak patut untuk dibiarkan hidup. Tetapi putri Raja
Pisau Terbang itu tidak bisa berlama-lama termenung. Serangan-serangan anak buah
Raksasa Kulit Baja itu telah menyambar cepat ke arahnya
Ningrum tersenyum mengejek. Dari gerakan dan serangan mereka, sudah dapat
dinilai kekuatan lawannya. Jangankan hanya tujuh orang, biar ditambah dua kali
lipat lagi pun masih sanggup menghadapinya. Maka, sikapnya pun tenang menghadapi
hujan serangan itu.
Ningrum yang tidak sudi bersentuhan tangan dengan mereka, tidak menangkis
serangan-serangan itu. Dengan ilmu meringankan tubuh yang jauh di atas lawanlawannya, dihindari setiap serangan yang datang. Serta-merta, dibalas seranganserangan yang datang dengan sepasang kakinya yang berkelebatan ke sana kemari.
Terdengar suara berdebuk berulang ulang, disusul berpentalannya tubuh para
pengeroyoknya. Hanya beberapa gebrakan saja, semua lawan telah bergeletakan di
tanah dalam keadaan pingsan. Beberapa di antaranya mengalami patah kaki, maupun
patah tangan. Bahkan ada pula
yang benjol-benjol kepalanya.
"Kini giliranmu, raksasa busuk!" tantang Ningrum sambil berkacak-pinggang.
Raksasa Kulit Baja menggeram. Wanita ini sungguh keterlaluan! Berkali-kali
menghinanya. Maka dengan wajah merah, dilangkahkan kakinya menghampiri Ningrum.
"Hiyaaa...!" manusia bertubuh raksasa itu membuka serangan dengan sebuah
cengkeraman ke arah bahu Ningrum. Bagaimanapun juga Raksasa Kulit Baja ini
merasa sayang untuk memukul mati gadis yang telah membangkitkan gairahnya ini.
Wut...! Sambaran angin keras mengawali tibanya
cengkeraman itu. Dari angin serangan ini, Ningrum dapat mengetahui kalau
lawannya ini memiliki tenaga dalam tinggi.
Tetapi, walaupun serangan itu mengandung tenaga dalam tinggi, tapi gerakannya
kelihatan terlalu lambat. Mudah saja bagi putri Raja Pisau Terbang ini untuk
mengelakkannya. Bahkan menyusuli dengan totokan ujung kakinya pada punggung
Raksasa Kulit Baja.
Tukkk...! "Aih...!"
Ningrum menjerit kaget, ketika ujung kakinya membentur kulit daging yang keras,
sehingga tendangannya membalik. Dirasakan, jari-jari kakinya terasa nyeri bukan
main. Dan ini membuatnya kaget tak terkirakan, juga penasaran. Maka dikirimkan
serangan bertubi-tubi pada bagian tubuh Raksasa Kulit Baja yang lainnya. Namun
tetap saja hasilnya sama saja. Ningrum menjadi bingung. Laki-laki tinggi besar
itu ternyata memiliki ilmu kebal! Bahkan pisau
terbang gadis itu pun tidak mampu melukai kulit lawannya ini.
"Ha ha ha...! Silakan kau pilih kulitku yang paling empuk, Manis," ejek Raksasa
Kulit Baja menantang.
Ningrum sadar, bahwa tidak ada gunanya lagi melawan Raksasa Kulit Baja yang
ternyata memiliki ilmu kebal ini. Maka gadis ini memutuskan untuk melarikan diri
saja. Dan memang, adalah suatu perbuatan bodoh untuk melawan terus. Karena sudah


Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat dipastikan, lama-kelamaan gadis itu akan kehabisan tenaga. Dan apabila hal
itu terjadi, bahaya yang mengerikan akan diterima dari si tinggi besar ini.
Setelah berpikir demikian, Ningrum segera melesat kabur. Tentu saja Raksasa
Kulit Baja menjadi terkejut bukan main. Sungguh di luar dugaan kalau lawannya
ini melarikan diri. Buru-buru manusia bertubuh bagai raksasa itu berlari
mengejar. Tapi karena ilmu meringankan tubuhnya masih berada jauh di bawah putri
Raja Pisau Terbang itu, jarak antara mereka semakin bertambah jauh saja. Sampai
akhirnya tubuh gadis itu lenyap di kejauhan.
Raksasa Kulit Baja memaki-maki dan menyumpah serapah. Dipandangi arah tubuh
Ningrum menghilang, kemudian bergerak mengikutinya. Tak dipedulikan lagi anak buahnya
yang tergeletak di dalam hutan dalam keadaan pingsan.
"Akan kucari ke mana pun kau pergi, perempuan keparat!" teriaknya keras.
"Sekalian akan kucari pembunuh saudara angkatku, si Harimau Mata Satu.
Ya, akan kucari si Dewa Arak alias Arya Buana...."
(Harimau Mata Satu terbunuh oleh Arya Buana dalam serial Dewa Arak, episode
"Pedang Bintang").
*** Ningrum mengerahkan segenap kemampuannya.
Hatinya benar-benar ngeri membayangkan kalau sampai bisa ditangkap Raksasa Kulit
Baja itu. Ancaman si tinggi besar itu tidak main-main dan benar-benar membuat bulu
tengkuknya meremang.
Legalah hati Ningrum ketika tidak melihat lagi bayangan tubuh Raksasa Kulit Baja
yang mengejarnya. "Hhh...!" desah Ningrum pelan.
Gadis itu menghentikan larinya, dan untuk beberapa saat hanya berdiri termenung.
Otaknya berpikir keras, apakah terus melanjutkan perjalanan atau kembali ke
tempat ayahnya. Jika kembali ke tempat ayahnya, dia bisa kembali berlatih.
Disadari kalau dengan tingkat kepandaian sekarang ini, akan banyak mengalami
kekecewaan-kekecewaan dalam petualangannya.
Setelah lama mempertimbangkan, Ningrum
memutuskan untuk kembali pulang ke tempat kediaman ayahnya. Tekadnya, harus
berlatih keras, dan tidak malas-malasan seperti dulu. Setelah keputusannya
bulat, gadis berpakaian serba hijau ini pun melesat dengan tujuan pasti. Tempat
kediaman ayahnya.
Beberapa hari kemudian, sampailah gadis ini di mulut sebuah hutan yang menjadi
tempat menyepi ayahnya. Dan baru saja hendak melangkah masuk, sebuah seruan
keras membuatnya terpaksa
mengurungkan langkah.
"Nisanak yang di depan! Tunggu sebentar!"
Ningrum menoleh ke belakang. Tampak di kejauhan, sesosok bayangan putih melesat
cepat menuju ke arahnya. Dalam waktu sekejap saja sosok bayangan itu telah
berada di depannya.
Ningrum memperhatikan sosok tubuh di
hadapannya ini dengan pandangan mata kagum.
Betapa tidak" Sosok tubuh di hadapannya ini ternyata adalah seorang wanita
cantik jelita. Walaupun Ningrum menyadari kalau dirinya terhitung cantik, tapi
secara jujur diakui kalau wanita di hadapannya ini memiliki kecantikan yang
mengunggulinya.
"Ada apa, Kak?" tanya Ningrum ramah.
"Ah, tidak. Aku hanya ingin bertanya. Apakah betul di sini tempat tinggal Raja
Pisau Terbang?" tanya wanita yang tidak lain adalah Melati.
Ningrum mengerutkan alisnya yang indah. Dari mana wanita di hadapannya ini
mengetahui kalau ayahnya tinggal di sini"
"Kalau boleh tahu, Kakak ini sebenarnya siapa?"
"Panggil saja aku Melati," jawab gadis berpakaian serba putih ini pelan. Dari
raut wajah dan nada suaranya, nampak kalau gadis itu tidak suka mendapat
pertanyaan itu.
"Hm... Begini, Kak. Ada urusan apa sehingga Kakak menanyakan tempat tinggal Raja
PisauTerbang?" tanya Ningrum lagi, bernada tidak enak. Tentu saja dia pun
mengetahui kalau wanita di hadapannya ini tidak senang mendapat pertanyaan
seperti itu. Perasaan simpatinya pun pupus seketika.
"Apa urusannya hal itu denganmu"!" sambut Melati ketus.
"Apa urusannya"!" pekik Ningrum keras. Meluap sudah kemarahan yang sejak tadi
ditahan-tahannya.
"Perlu kau ketahui, wanita liar! Aku adalah putri dari orang yang kau cari itu!"
Terbelalak sepasang mata Melati yang berjuluk Dewi Penyebar Maut itu.
"Apa"! Kau putri Raja Pisau Terbang" Kau..., kau
yang bernama Ningrum itu" Ah...! Mengapa aku begitu bodoh"! Gadis cantik bertahi
lalat di pipi kiri, dan berpakaian serba hijau! Tololnya aku...! Sungguh aku
tidak tahu kalau musuhku berada di depan mata!"
Kini ganti sepasang mata Ningrum yang terbelalak.
"Apa katamu"! Siapa dan apa maksudmu sebenarnya?" tanya Ningrum tak mengerti.
"Ingatkah kau pada Raja Racun Pencabut Nyawa yang telah kau bunuh secara
curang"!" tanya Melati dengan kasar sambil mencorongkan matanya.
Tak terasa Ningrum mengangguk.
"Nah! Perlu kau ketahui, Ningrum. Raja Racun Pencabut Nyawa itu adalah ayahku.
Sengaja aku datang ke sini untuk mencabut nyawamu! Bersiaplah, Ningrum. Agar kau
tidak mati secara percuma!"
"Ayahnya iblis, anaknya pun pasti kuntilanak! Jadi, sudah kewajibanku untuk
melenyapkan bibit penyakit yang ada di dunia!" balas Ningrum tak kalah gertak.
"Terimalah kematianmu, Ningrum!"
Dibarengi ucapannya, Melati menerjang putri Raja Pisau Terbang dengan jari-jari
tangan berbentuk cakar naga ke arah ulu hati.
Suara bercicitan terdengar mengawali serangan Melati. Dari bunyi angin itu,
Ningrum sudah dapat mengetahui betapa tingginya tenaga dalam yang mengarah
dadanya itu. Buru-buru gadis bertahi lalat ini melangkahkan kaki kanannya ke kiri belakang,
sehingga serangan itu lewat di depan dadanya. Dengan cepat Ningrum mengirimkan
serangan balasan ke arah pelipis Dewi Penyebar Maut itu.
Gadis berpakaian serba putih itu memiringkan kepalanya, sambil tangan kirinya
menangkis serangan itu. Plakkk...! "Aih...!"
Ningrum menjerit. Dirasakan jari-jari tangannya yang beradu dengan jari-jari
tangan lawan sakit bukan main. Bahkan sekujur tangannya terasa lumpuh.
Suatu bukti kalau tenaga dalam Dewi Penyebar Maut jauh lebih kuat darinya.
Tetapi bukan Ningrum namanya kalau baru beradu tangan sekali, sudah kapok. Malah
sebaliknya, rasa penasaran segera timbul. Mana mungkin gadis itu lebih lihai
darinya. Gurunya saja belum jelas.
Mungkinkah guru gadis itu lebih lihai dari ayahnya"
Karena belum dibuktikan, jadi tidak ada alasan baginya untuk tidak melawan gadis
itu. Dan kini Ningrum menyerang dahsyat. Dikeluarkan seluruh kemampuan yang
dimilikinya. Tetapi, lagi-lagi untuk yang kesekian kalinya, Ningrum harus menerima kenyataan
pahit. Setiap serangannya selalu mudah dapat dielakkan Dewi Penyebar Maut.
Sebaliknya, setiap serangan balasan yang dilakukan gadis itu, memaksanya
pontang-panting untuk menyelamatkan diri.
Setelah beberapa jurus bertarung, sadarlah Ningrum kalau gadis yang bernama
Melati itu memiliki kemampuan beberapa tingkat di atasnya.
Baik dalam tenaga, maupun kecepatan gerak. Dan dalam waktu sebentar saja Ningrum
sudah terdesak hebat, sehingga hanya mampu bertahan tanpa berani balas
menyerang. Ningrum sadar. Kalau keadaan ini terus
berlangsung, sudah pasti akhirnya ia akan rubuh di tangan putri Raja Racun
Pencabut Nyawa ini. Maka taktik harus dirubah, kalau ingin selamat.
"Cabut senjatamu, gadis jahat! Kalau kau tidak mau mati sia-sia di tanganku!"
dengus Ningrum.
Belum habis ucapannya, tubuh Ningrum sudah melenting ke belakang. Dan ketika
hinggap di tanah dengan manis, pada kedua tangannya telah tergenggam sebuah
pisau putih berkilat.
"Menghadapi pengecut-pengecut seperti kau dan dua orang temanmu yang telah
kukirim ke akherat, tidak perlu mengeluarkan senjata!" dengus Dewi Penyebar Maut
tak kalah garangnya.
Putri Raja Pisau Terbang ini kaget mendengar ucapan gadis berpakaian serba putih
itu. Sudah bisa ditebak, siapa yang dimaksud dua orang temannya itu. Pasti
Satria dan Mega! Jadi, iblis wanita ini telah membunuhnya!
Menilik kepandaiannya, memang merupakan
suatu hal yang mudah bagi gadis itu untuk membunuh kedua murid kepala Perguruan
Tangan Sakti. "Kuntilanak sombong! Kau harus mati di tanganku untuk menebus nyawa kedua orang
temanku yang telah kau bunuh itu! Haaat...!"
Sambil berteriak nyaring, Ningrum melompat menerjang Melati. Dua buah pisau
putih berkilat di tangannya, mengeluarkan suara berdesing ketika berkelebat
cepat mencari sasaran-sasaran di tubuh gadis berpakaian serba putih itu.
Melati tahu betapa berbahayanya sepasang pisau terbang itu. Juga, betapa kuatnya
tenaga yang terkandung dalam setiap sabetan, atau tusukan pisau itu. Maka gadis
itu tidak berani bertindak ceroboh.
Apalagi untuk memapak kedua pisau itu dengan tangan telanjang. Sekarang ini
Ningrum tidak bisa disamakan dengan Satria dan Mega!
Beberapa saat lamanya, Dewi Penyebar Maut hanya menghindar terus. Gadis ini
tidak ingin bertindak gegabah. Diperhatikan baik-baik setiap serangan Ningrum.
Memang, dengan tingkat ilmu meringankan tubuh yang berada cukup jauh di atas
Ningrum tidak sukar baginya untuk mengelakkan setiap serangan.
Ningrum menggertakkan giginya dengan perasaan geram. Hatinya dongkol bukan
kepalang, melihat lawannya itu hanya mengelak tanpa balas
menyerang. Jelas dia merasa diremehkan. Hal ini membuat amarahnya kian meluap.
Dan sebagai akibatnya, serangan kedua pisau terbangnya pun semakin bertubi-tubi.
Melati yang merasa sudah cukup mengetahui perkembangan gerak dan ciri khas pada
setiap serangan lawan, kini mulai balas menyerang.
Pelahan namun pasti, putri Raja Pisau Terbang itu mulai terdesak. Seranganserangan pisau terbangnya mulai mengendor. Sampai akhirnya sepasang pisau
berwarna putih berkilat itu hanya dipakai untuk mempertahankan diri dari setiap
serangan Melati.
Tak terasa Ningrum mengeluh dalam hati. Diakui kalau kepandaian Melati memang
berada jauh di atasnya. Dan rasa-rasanya, kepandaian gadis ini tak kalah dengan
kepandaian Raja Racun Pencabut Nyawa!
"Akh...!"
Ningrum memekik ketika sebuah totokan ujung kaki Dewi Penyebar Maut menyerang
pergelangan tangan kirinya. Kontan sekujur tangannya terasa lumpuh. Dan tanpa
dapat ditahan lagi, pisau terbangnya pun terlepas dari pegangan.
Belum lagi gadis itu berbuat sesuatu, serangan
susulan dari Melati telah menyusul tiba. Tangan kanan menyampok pelipis,
sedangkan tangan kiri dari arah bawah, mengancam dagu.
Ningrum kaget bukan main. Serangan itu datang begitu cepat. Sudah bisa
diperkirakan kalau akhirnya ia akan tewas di tangan putri Raja Racun Pencabut
Nyawa ini. Mendadak saja, ada sesuatu yang menarik
tubuhnya ke belakang. Dan untunglah, kedua serangan maut itu hanya mengenai
tempat kosong. Buru-buru Ningrum menoleh ke belakang, melihat sosok yang telah menolongnya.
Tampak di belakangnya telah berdiri sosok tubuh tua dari seorang kakek berusia
enam puluh tahun.
Sepasang matanya tampak tajam berkilat. Raut mukanya menampakkan kesabaran.
Ningrum kenal betul siapa pemilik wajah ini.
"Ayah...," desah gadis itu dengan suara lemah.
Kakek penolong yang ternyata adalah Raja Pisau Terbang itu hanya tersenyum
getir. Ditarik tubuh putrinya ke belakang, kemudian dilangkahkan kakinya
beberapa tindak.
"Ada urusan apa dengan anakku, sehingga sedemikian tega hendak menurunkan tangan
maut padanya, Nisanak?" tanya Raja Pisau Terbang, bernada sabar. Tidak tampak
ada nada kemarahan, baik pada suara maupun wajahnya.
"Dia adalah putri Raja Racun, Ayah!" selak Ningrum cepat.
"Ahhh...! Benarkah demikian?" tanya Raja Pisau Terbang memastikan.
"Benar!" jawab Melati ketus.
Melati mengangkat dagunya, seperti menantang.
Memang, begitu geram hatinya melihat pada saat
terakhir Ningrum berhasil lolos dari maut. Dan gadis ini tahu betul orang yang
telah menyelamatkan gadis itu.
Raja Pisau Terbang! Ini diketahui karena Ningrum memanggil orang itu dengan
sebutan ayah. "Dan aku datang untuk membalaskan kematian ayahku pada anakmu itu!" tegas
Melati. Raja Pisau Terbang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Walaupun berkali-kali Melati bersikap kasar padanya, tetap saja ia
tidak menampakkan kemarahan.
"Putri Raja Racun Pencabut Nyawa" Aneh! Tidak salahkah pendengaranku, Nisanak.
Sepanjang pengetahuanku, almarhum Raja Racun tidak mempunyai anak seorang pun.
Yang justru kudengar adalah keponakannya, yang bernama Arya Buana alias si Dewa
Arak!" bantah Raja Pisau Terbang, seperti tidak mengerti.
"Aku tidak butuh keterangan darimu, Orang Tua!
Yang kuinginkan adalah melenyapkan anakmu untuk membalas kematian ayahku!
Menyingkirlah dari situ!
Aku tidak mau membunuh orang yang tidak punya urusan apa-apa denganku!" tandas
Melati tegas. "Bagus! Aku hargai pendirianmu. Berarti, kau bukanlah seorang gadis jahat.
Marilah kita berbincang-bincang. Aku yakin ada kesalahpahaman dalam hal ini..."
"Jaga seranganku, Orang Tua!" teriak Melati tiba-tiba sambil menyerang bagian
dada kakek itu dengan jari-jari tangan berbentuk cakar naga. Jari-jari tangan
yang membentuk cakar itu nampak berwarna merah.
Raja Pisau Terbang hanya tersenyum. Ia tahu kalau serangan cakar itu tidak akan
mencapai sasaran. Jarak antara dirinya dengan gadis itu sekitar
satu setengah tombak. Jadi, mustahil dapat dijangkau tangan manusia.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya kakek ini ketika melihat cengkeraman itu terus
menjulur menyambar dadanya. Gadis ini ternyata memiliki ilmu yang dapat
memanjangkan tangan! Dan Raja Pisau Terbang ini tahu, siapa pemilik ilmu itu. Ki
Gering Langit! "Jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku'...!" teriak kakek itu dengan hati kaget bukan
kepalang. Jelaslah kalau ilmu yang digunakan gadis itu adalah ilmu
'Cakar Naga Merah'!
Buru-buru kakek ini menangkis serangan maut itu dengan pengerahan seluruh tenaga
dalam. Prattt...! Tubuh Raja Pisau Terbang terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara tubuh
Melati hanya terhuyung satu langkah. Tangannya yang tadinya mulur, langsung
memendek lagi seperti sediakala.
Seketika pucat wajah Raja Pisau Terbang! Dari adu tenaga itu tadi sudah dapat
diketahui kalau tenaga dalam yang dimiliki gadis berpakaian serba putih itu,
masih lebih tinggi darinya. Suatu hal yang nampaknya amat mustahil!
"Tahan...!" teriak Raja Pisau Terbang untuk mencegah gadis itu menyerangnya
lebih lanjut. "Ada hubungan apa kau dengan Ki Gering Langit?"
Seketika Melati pun menghentikan gerakannya.
Sikap kakek itu membuat gadis itu jadi
menghormatinya, sehingga tanpa sadar dihentikan gerakannya.
"Aku tidak mengenalnya!" tandas gadis itu, setelah mengerutkan alisnya sesaat.
"Tidak mungkin! Bukankah jurus itu adalah 'Naga
Merah Mengulur Kuku'" Salah satu jurus dari ilmu
'Cakar Naga Merah'?" desak kakek berwajah sabar ini penasaran.
Melati menganggukkan kepalanya.
"Memang betul apa yang kau katakan itu, Orang Tua. Tapi, aku sama sekali tidak
kenal terhadap orang yang kau sebutkan tadi!"
"Aneh! Lalu dari mana kau mendapatkan ilmu itu"
Apakah kau menemukan kitab-kitab
peninggalannya?"
"Kau ini aneh, Orang Tua. Tentu saja ilmu itu kupelajari dari guruku. Beliaulah
yang telah mengajarkan aku...."
"Siapa nama gurumu?" selak Raja Pisau Terbang cepat.


Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis berpakaian serba putih itu menggelengkan kepalanya.
"Ia melarangku untuk menyebutkan namanya. Jadi, terpaksa tidak dapat
kuberitahukan padamu."
Alis Raja Pisau Terbang nampak berkerut. Ia bingung memikirkan masalah ini. Tapi
yang sudah jelas, gadis itu sama sekali tidak mengenal Ki Gering Langit!
"Jaga seranganku, Nisanak!" tiba-tiba Raja Pisau Terbang menyambitkan beberapa
buah pisau terbangnya ke arah Melati.
Karuan saja serangan tiba-tiba itu membuat Melati terkejut bukan main. Apalagi
yang melepaskan adalah seorang ahli pisau, sehingga berjuluk Raja Pisau Terbang.
Sudah dapat diperkirakan kedahsyatan serangan pisau-pisau itu.
Dewi Penyebar Maut melempar tubuhnya ke
belakang, kemudian bergulingan beberapa kali di tanah. Maka semua serangan itu
hanya mengenai tempat kosong. Dan cepat-cepat gadis itu bangkit berdiri, tapi menjadi
terlongong. Kakek itu dan Ningrum telah lenyap dari tempatnya semula.
Melati menggertakkan giginya menahan rasa geram. Secara untung-untungan dia
mengejar masuk ke dalam hutan itu. Cukup lama juga gadis itu berada di dalam
hutan. Dan sewaktu kembali ke luar, wajah gadis itu merah padam.
"Kali ini kau boleh mujur, Ningrum! Tapi, kelak apabila kita berjumpa lagi,
jangan harap akan semujur ini!" Dewi Penyebar Maut itu berteriak sambil
mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga suaranya bergema ke seluruh pelosok hutan.
Puas dengan ancamannya, Melati melesat
meninggalkan tempat itu. Dari mulutnya yang mungil itu terdengar suara desahan.
"Dewa Arak, kau pun harus bertanggung jawab atas kematian ayahku.
Meskipun bukan kau yang membunuhnya, tapi jika tidak kau biarkan, Ayah tidak
mungkin mati. Ya, kau harus mendapat hukuman pula. Apalagi kau tidak berniat
membalas dendam atas kematiannya.
Padahal, ia pamanmu sendiri..."
3 Seorang pemuda yang berwajah tampan, berahang kokoh, berambut putih keperakperakan, dan berpakaian berwarna ungu tengah melangkah memasuki pintu gerbang
Desa Canting. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun. Di punggungnya tergantung sebuah
guci arak yang terbuat dari perak. Dengan langkah yang tidak tergesa-gesa,
pemuda itu mengayun kakinya memasuki desa yang kelihatan sepi. Sepasang matanya
bergerak liar memperhatikan setiap bangunan yang ditemukan.
Langkah pemuda yang tak lain adalah Dewa Arak atau Arya Buana ini baru terhenti
ketika sepasang matanya tertumbuk pada sebuah papan tebal, dan lebar. Di situ
tertulis huruf-huruf yang berbunyi
'Perguruan Mawar Merah'. Papan tebal itu bergantung pada pintu gerbang sebuah
bangunan yang dikelilingi tembok cukup tinggi.
Arya mengerutkan alisnya yang tebal. Ada perasaan curiga yang timbul di hati
ketika melihat keadaan papan nama perguruan yang begitu kumuh, dan tak terurus.
Bahkan huruf-huruf yang membentuk nama Perguruan Mawar Merah itu pun sudah
banyak yang terkelupas.
"Kalau tidak salah, inilah yang dimaksud Paman Lindu itu," gumam Arya pelan.
Sebelum tewas, Raja Racun Pencabut Nyawa memang sempat memberitahu Ular Hitam
tentang keberadaan ibu kandung Arya Buana (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak
dalam episode "Pedang Bintang"). Dan berdasarkan pesan itulah, pemuda berpakaian
ungu ini memasuki Desa Canting dan mencari Perguruan Mawar Merah.
Beberapa saat lamanya Dewa Arak termenung di depan pintu gerbang perguruan itu.
Sedikit pun tidak ada suara yang terdengar dari dalam. Sepi sekali. Dari celah
pintu gerbang yang tidak tertutup rapat itu, pemuda berambut putih keperakan ini
mengintai ke dalam. Tetap sepi. Perasaan curiga dan penasaran memaksa Arya
melangkahkan kakinya memasuki pintu gerbang itu.
Tapi, baru beberapa langkah kakinya melewati ambang pintu, terdengar sebuah
teguran halus. "Apa yang kau cari, Anak Muda?"
Arya menoleh ke arah asal suara itu. Tampak seorang wanita berusia sekitar lima
puluh tahun, berjalan menghampirinya. Tubuhnya kecil dan kurus, sehingga
membuatnya terlihat lebih tua.
"Betulkah ini Perguruan Mawah Merah, Nyi?" tanya Arya Buana sopan.
"Betul," wanita itu menganggukkan kepalanya.
"Kau siapa, Anak Muda?"
"Aku Arya Buana, Nyi. Orang-orang biasa memanggil Arya. Lalu, kalau boleh tahu,
siapa namamu, Nyi?"
"Aku" Panggil saja Nyi Parti," jawab nenek itu memperkenalkan diri. "Ada urusan
apa kau ke sini, Nak Arya?"
Pemuda berambut putih keperakan ini termenung sejenak.
"Betulkah ini Perguruan Mawar Merah, Nyi?" tanya Arya ingin memastikan.
"Betul," Nyi Parti menganggukkan kepalanya, tapi hatinya heran. Memang
pertanyaan itu sudah dijawabnya tadi.
Arya memperhatikan sekelilingnya sekilas. Keragu-raguan nampak terbayang pada
wajahnya. "Mengapa begitu sepi, Nyi?"
Wanita yang bernama Nyi Parti itu menghela napas.
"Sudah bertahun-tahun perguruan ini bubar, Anak Muda. Yahhh..., sejak pemimpin
kami diculik orang."
"Diculik"!" Sepasang mata Arya terbelalak.
Perasaan tidak enak seketika menjalari hatinya.
Pemimpin Perguruan Mawar Merah diculik! Bukankah menurut penururan Raja Racun
Pencabut Nyawa sebelum meninggal, Ketua Perguruan Mawar Merah adalah ibunya"
Jadi ibunya.... Tidak berani pemuda berpakaian ungu ini melanjutkan dugaannya.
"Ya, diculik. Oleh seorang datuk sesat...."
"Bukankah Ketua Perguruan Mawar Merah adalah Nyi Sani?" tanya Arya memastikan.
"Memang. Padahal Nyi Sani memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi tidak
berdaya juga menghadapi lawannya..."
Lemaslah tubuh Arya. Benar. Ibunya telah diculik orang yang disebut datuk kaum
sesat oleh Nyi Parti.
Datuk kaum sesat" Arya terlonjak bagai disengat kalajengking. Datuk kaum sesat
hanya ada dua. Ular Hitam dan Bargola. Tidak mungkin kalau Ular Hitam yang
melakukannya. Jadi, tinggal satu tertuduh lagi.
Bargola! "Tadi, Nyi Parti katakan I..., eh! Nyi Sani diculik datuk kaum sesat. Bagaimana
ciri-cirinya, Nyi?" tanya Arya.
Beberapa saat lamanya, kening Nyi Parti berkerut.
Tampaknya tengah berpikir keras.
"Penculik itu bertubuh tinggi besar. Dan berkulit hitam legam. Di telinga
kirinya terdapat sebuah anting, anting yang berukuran sebesar gelang dan
berwarna putih."
"Bargola...," desis Arya Buana pelan.
Tiba-tiba Nyi Parti terlonjak.
"Ya. Nama itu pula yang diucapkan Den Lindu.
Beberapa waktu yang lalu, Den Lindu bersama temannya yang selalu berselubung
putih itu juga mencari-cari ke mana Bargola membawa Nyi Sani."
"Ketemu?" Arya tiba-tiba merasa bodoh mengajukan pertanyaan itu.
"Tidak!"
"Sudah lamakah kejadian itu, Nyi?" tanya Arya lagi.
Kembali Nyi Parti mengerutkan keningnya.
Rupanya begitulah yang dilakukan kalau sedang mengingat-ingat.
"Kalau tidak salah..., sudah empat belas tahun!"
"Empat belas tahun!" pemuda berambut putih keperakan ini terpekik kaget. Apakah
dalam waktu yang selama itu ibunya masih hidup" Perasaan ragu-ragu yang hebat
melanda hari Arya Buana. Tetapi hidup atau mati, harus ditemuinya. Paling tidak,
jika ibunya sudah meninggal, harus ditemukan
kuburannya! Setelah mengambil keputusan begitu, Arya segera melesat meninggalkan tempat itu,
setelah terlebih dulu berpamit pada Nyi Parti.
Nyi Parti memandangi kepergian pemuda
berambut putih keperakan itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sampai
bayangan tubuh pemuda itu lenyap ditelan jalan, dia masih terpaku di situ.
*** Arya bergerak cepat meninggalkan Perguruan Mawar Merah dengan perasaan resah. Ke
mana harus mencari Bargola" Mencari seseorang di dunia yang luas ini laksana
mencari sebuah jarum di tumpukan jerami! Apalagi, tokoh ini sudah terlalu lama
tidak terdengar beritanya. Jelas kalau datuk itu telah mengasingkan diri.
Hanya ada satu patokan yang bisa dijadikan pegangan Dewa Arak ini. Bargola
adalah datuk yang merajai daerah Timur. Jadi, kemungkinan besar tetap berada di
wilayah kekqasaannya. Tapi wilayah Timur sangat luas. Apalagi, jangan-jangan dia
telah menyepi. Perasaan putus asa mulai merayapi hari Arya Buana. Ke mana ia
harus mencari datuk itu"
Plakkk! Arya menepak kepalanya sendiri. Betapa bodohnya ia! Mengapa bingung-bingung"
Bukankah di antara dua datuk, hanya Bargola yang mempunyai
perguruan" Mengapa harus pusing-pusing" Ya, datangi saja perguruan itu!
Wajah pemuda berambut putih keperakan ini pun kembali cerah. Dengan langkah
penuh semangat, kembali dilanjutkan pencariannya.
Beberapa hari kemudian, pemuda ini sudah sampai pada sebuah desa yang termasuk
dalam wilayah Timur. Rasa lelah yang menyerang kedua kaki, membuatnya memutuskan
untuk beristirahat.
Pandangan mata Arya liar mengawasi sekelilingnya.
Dan senyumnya pun melebar ketika menemukan apa yang dicari.
Dengan langkah lebar, dihampirinya sebuah pohon
yang cukup besar. Dan...
"Hup!"
Sekali mengenjotkan kaki, tubuh Dewa Arak ini melayang ke atas dan hinggap
ringan pada sebuah cabang besar. Diambilnya guci yang bertengger di punggung,
kemudian digantungkan pada sebuah ranting. Baru setelah itu dibaringkan
tubuhnya. Tanpa sengaja pandangan mata Arya menerawang jauh ke arah rumah-rumah penduduk
yang berada di depannya. Dan seketika matanya yang sudah merem-melek itu
membelalak lebar.
Dari ketinggian di atas cabang pohon itu, pemuda ini melihat asap tebal dan
hitam yang membumbung tinggi. Sekali lihat saja Arya tahu kalau asap itu berasal
Makam Bunga Mawar 2 Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Sumpah Palapa 6

Cari Blog Ini