Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut Bagian 3
Datuk sesat ini memang kalah segala-galanya dibanding Dewa Arak. Baik tenaga
dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun kalah dalam mutu ilmunya.
Hanya berkat pengalaman bertarung saja yang membuat Arya agak mengalami sedikit
kesulitan untuk mendesak laki-laki kasar itu.
Keadaan sekitar arena pertempuran. itu sudah kacau-balau. Dinding ruangan itu
tak henti-hentinya bergetar setiap kali Dewa Arak atau Bargola melepaskan
pukulan. Dan setiap kali kedua tangan atau kaki mereka beradu, lantai dan
dinding ruangan bergetar lebih kuat lagi.
Pada jurus ke delapan puluh satu, Bargola menggerakkan kaki kanannya menyapu
kaki Arya. Wut...! "Hup...!" Dewa Arak melompat ke belakang dengan langkah sempoyongan.
Bargola memang sudah menunggu saat ini. Begitu dilihatnya Arya melompat ke
belakang, segera disusulnya tubuh Arya dengan kedua tangan yang berisi tenaga
dalam penuh. Seketika didorongkan ke arah dada pemuda berambut putih keperakperakan itu. Wut..! Angin berhawa panas luar biasa kerasnya, menderu hebat. Dalam perkiraan Datuk
Timur ini, Dewa Arak tidak akan sanggup mengelak lagi. Jalan satu-satunya hanya
menangkis, karena serangannya itu begitu tiba-tiba. Dan melihat posisi lawan
yang kurang menguntungkan, ia banyak menerima keuntungan dalam adu tenaga ini.
Tetapi, Bargola lupa pada satu hal. Ilmu yang dimiliki Arya adalah ilmu
'Belalang Sakti'. Dan belalang adalah binatang yang dapat terbang.
Sehingga walaupun sebagai manusia Arya tidak mungkin dapat terbang, tapi
keistimewaan binatang itu dimiliki juga. Dewa Arak memang memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tidak dimiliki manusia biasa!
Dalam posisi yang seburuk apa pun, ia dapat melompat atau melenting sempurna.
Baru datuk ini terperanjat kaget ketika tiba-tiba Dewa Arak melompat melewati
atas kepalanya.
Bukan itu saja yang diperbuat pemuda berambut putih keperakan itu. Sambil
melompat, diayunkan guci araknya ke kepala Datuk Timur itu.
Wuuuttt! Bargola terperanjat kaget bukan main. Serangan guci itu berbarengan dengan
serangan kedua tangannya yang hanya menghantam tempat kosong.
Itu jelas, karena Dewa Arak telah melompat dari situ.
Sebisa-bisanya dirundukkan kepalanya.
Bukkk...! Bargola menyeringai. Tubuhnya terhuyung-huyung jauh ke depan. Kepalanya memang
dapat diselamatkan dari ancaman maut guci Dewa Arak, tapi tak urung guci itu berhasil
juga menghantam bahunya. Terdengar suara berderak keras, ketika guci itu
menghantam sasaran. Suatu bukti kalau tulang-tulang bahu itu patah.
Datuk Timur ini berusaha memperbaiki posisi, dan secepat itu pula membalikkan
tubuhnya. Tapi, sayangnya terlambat. Arya yang melihat tubuh datuk sesat itu
terhuyung-huyung jauh ke depan, segera
melesat mengejar.
Dewa Arak kembali mengayunkan gucinya ke arah.
kepala Bargola, tepat saat tubuh datuk itu berbalik.
Kali ini serangan susulan Arya tidak dapat dielakkan lagi. Dan....
Wut...! Prakkk...! "Akh...!"
Telak dan keras sekali guci perak itu menghantam kepala Bargola. Terdengar suara
berderak keras ketika kepala datuk itu pecah, terhantam guci yang mengandung
tenaga dalam tinggi.
Darah seketika muncrat dari kepala yang pecah.
Sesaat lamanya tubuh Bargola bergoyang-goyang, baru kemudian ambruk dan tidak
bergerak lagi untuk selama-lamanya.
6 Arya memandangi sosok tubuh tinggi besar berkulit hitam legam yang kini terkapar
di depannya. Sebentar kemudian pandangannya dialihkan pada sesosok tubuh wanita
setengah baya yang masih bersembunyi di balik lemari.
Dada Arya berdebar keras menatap wanita
berpakaian serba kuning itu. Wajah ibunya yang telah sekian belas tahun
dirindukan. Wanita berpakaian serba kuning yang bernama Nyi Sani, memperhatikan pemuda
berambut putih keperakan itu tanpa berkedip. Wajah Arya memang mirip wajah
suaminya, sehingga tidak aneh kalau Nyi Sani merasa mengenali.
"I... Ibu...," Arya memanggil dengan suara serak.
"Si... siapa kau?" tanya Nyi Sani tersentak. Nada suaranya terdengar menggigil.
"A... aku... aku Arya, Bu. Arya Buana...," jawab pemuda berpakaian ungu itu.
"Arya... Arya Buana...?" ulang Ketua Perguruan Mawar Merah itu. Nada suaranya
terdengar ragu-ragu.
"B... benar, Bu. Ayahku bernama Tribuana, dan berjuluk Pendekar Ruyung Maut..."
"Tidak mungkin!" sentak Nyi Sani. "Wajahmu memang mirip suamiku. Juga, warna
pakaianmu memang warna kesenangan anakku. Tapi.., kau bukan Arya Buana! Kau
bukan anakku!"
"Ibu...," lirih suara pemuda berambut putih
keperakan itu. "Aku benar-benar Arya Buana anakmu..."
"Bukan! Kau bohong! Anakku tidak memiliki rambut mengerikan seperti itu! Juga
tidak pemabukan! Arya adalah anak yang baik!" Nyi Sani masih mencoba menyangkal.
"Percayalah, Bu. Aku memang benar Arya Buana, anakmu. Rambutku menjadi seperti
ini karena pengaruh ilmu yang kupelajari. Begitu pula arak yang selalu
menemaniku."
Nyi Sani hanya terdiam saja. Ia sebenarnya sudah menduga keras kalau pemuda yang
berdiri di hadapannya ini adalah anaknya. Nalurinya sebagai seorang ibu
menyatakan demikian. Tapi melihat keadaan aneh pada pemuda itu membuatnya ragu,
walaupun bukti-bukti telah cukup meyakinkan.
Melihat wanita yang diduga ibunya itu diam saja, Arya buru-buru melanjutkan
ucapannya. "Aku mencari Ibu atas perintah Ayah, dan petunjuk Paman Lindu..."
Kini wanita berpakaian serba kuning ini tidak ragu-ragu lagi. Mulutnya yang
gemetar nampak komat-kamit seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi tidak ada
suara yang ke luar. Beberapa saat lamanya, baru keluarlah kata-kata yang sejak
tadi hendak diucapkannya.
"Arya..., Arya anakku..."
"Ibu...!" seru Arya. Tubuhnya pun meluruk ke arah ibunya. Dijatuhkan tubuhnya
bersimpuh di hadapan ibunya dan dipeluknya kedua kaki itu erat-erat.
"Bu.... betapa rindunya aku pada Ibu...."
Nyi Sani mengusap-usap rambut anaknya yang putih keperak-perakan itu penuh kasih
sayang. "Aku pun merindukanmu, Arya...," ucap Nyi Sani
lirih menahan keharuan yang menyeruak ke dalam rongga dadanya. "Bagaimana
keadaan ayahmu"
Apakah baik-baik saja?"
Tangan pemuda yang memeluk kedua kaki wanita itu menegang seketika. Didongakkan
kepalanya dan ditatapnya wajah ibunya dengan pandangan sedih.
"Ada apa, Arya" Katakan, apa yang terjadi terhadap ayahmu?" desak wanita
berpakaian kuning itu dengan perasaan tidak enak.
Dari sikap yang diperlihatkan anaknya, wanita itu merasa ada sesuatu yang tidak
menyenangkan. Hatinya kini dalam perasaan yang tidak menentu.
Pelahan-lahan Arya bangkit dari beriututnya.
Sambil menundukkan kepala, karena tak ingin melihat kekecewaan dan kesedihan
yang akan dialami ibunya, pemuda itu menatap tanah di ujung kaki ibunya.
"Ayah sudah tiada, Bu..."
"Apa katamu, Arya?" walau sudah dapat menduga, tak urung berita yang didengar
dari mulut anaknya ini membuatnya kaget bukan kepalang. Tanpa sadar dicengkeram
kedua bahu Arya dan diguncang-guncangnya.
"Ayahmu tewas" Siapa yang membunuhnya, Arya?"
Pemuda berambut putih keperak-perakan ini lalu menceritakan semuanya. Mulai dari
perpisahan dengan ayahnya, sampai menerima pesan dari pamannya tempat di mana
ibunya berada. "Walau Paman telah mengetahui bahwa Ibu telah tidak berada lagi di Perguruan
Mawar Merah, Paman tetap memberitahu tempat itu. Mungkin maksud Paman agar aku
dapat melacak jejak Ibu," ucap Arya Buana menutup ceritanya.
Nyi Sani tercenung setelah putranya itu mengakhiri
cerita. Raut wajahnya nampak memancarkan kesedihan yang hebat. Baru saja ia
merasa gembira dapat bertemu putranya kembali, kini harus mendengar berita
mengenai kematian suami dari kakak kandungnya.
"Sungguh tidak kusangka, kalau umur ayah dan pamanmu begitu singkat, Arya,"
keluh Nyi Sani.
Mendengar keluhan ibunya, Arya tersadar. Tidak sepantasnya kalau mereka
tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut. Yang mati tidak akan hidup
kembali, sekalipun mereka menangis hingga mengeluarkan air mata darah.
"Sudahlah, Bu. Tidak ada gunanya kita menangisi kepergian mereka. Ini akan
merugikan diri kita sendiri Yang sudah tiada, toh tidak akan kembali lagi."
Mendengar ucapan putranya, Nyi Sani tersadar.
Disusut air matanya, kemudian sambil tersenyum ditakapnya wajah Arya. Senyumnya
terlihat getir.
"Nah! Begitu dong, Bu," puji pemuda berpakaian ungu ini. "Sekarang, aku ingin
mendengar pengalaman Ibu sejak Paman Lindu membawa Ibu meninggalkan aku dan
Ayah." Istri Pendekar Ruyung Maut itu menghela napas sebelum memulai bicara.
"Ceritanya panjang, Arya. Panjang dan sama sekali tidak menarik."
"Tak apa, Bu. Aku ingin mendengarnya," sahut pemuda berambut putih keperakan ini
mendesak. "Baiklah, kalau itu maumu." Nyi Sani terpaksa mengalah. Pandang matanya
menerawang ke atas.
"Lebih dari lima belas tahun lalu, karena tidak punya pilihan lain lagi, aku
terpaksa pergi mengikuti kakak kandungku, yaitu pamanmu Arya. Ia
membawaku ke sebuah tempat yang jauh. Di sana,
kami tinggal berdua. Tapi itu hanya berlangsung beberapa bulan saja, karena
pamanmu kembali pergi dan lama tidak pernah kembali. Untuk mengisi waktu luang
yang membuatku bosan, aku mendirikan perguruan silat. Perguruan itu kuberi nama
Perguruan Mawar Merah."
Sampai di sini, wanita setengah baya ini menghentikan ceritanya. Arya yang
memang tidak berniat memotong cerita itu, tetap diam
mendengarkan. Sesaat lamanya suasana menjadi hening.
"Lebih dari setengah tahun suasana tenang-tenang saja. Sampai suatu hari muncul
seorang kakek tinggi besar berkulit hitam legam...
"Bargola...," desis Arya
"Benar. Sialnya kakek itu tertarik padaku. Wajahku, katanya, mengingatkan pada
istrinya. Ia pun lalu meminta agar aku bersedia menjadi istrinya."
"Dan Ibu mau?" selak Arya.
"Tidak! Dengan tegas permintaannya kutolak!"
tandas wanita berpakaian kuning ini. "Tapi ternyata, itu tidak membuatnya putus
asa. Tahu kalau lewat cara baik-baik gagal, dia lalu menggunakan cara kasar.
Maka dengan paksa aku dibawanya kabur.
Karena kepandaiannya jauh berada di atasku, aku jadi tidak berdaya sehingga
dibawa ke sini. Setiap hari dia membujukku agar aku bersedia menjadi istrinya.
Tapi aku tetap mengulur waktu, sampai akhirnya kesabarannya habis. Untung engkau
datang, Arya," ucap Nyi Sani menutup ceritanya.
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini pemuda itu mengerti, mengapa Bargola
tidak terdengar kabar beritanya lagi. Rupanya datuk itu disibuki oleh urusan
asmara! Hatinya telah terpincuk
pada seorang wanita. Terpikir begitu, tak terasa jantung dalam dada pemuda
berambut putih keperak-perakan ini berdebar keras.
Terbayang kembali di benaknya wajah seorang gadis berpakaian serba putih yang
telah membuat pikirannya tak karuan. Wajah seorang wanita yang telah mencuri
sekeping hatinya. Tak terasa wajah pemuda ini berubah mendung.
"Ada apa, Arya?" tanya ibunya yang tentu saja melihat perubahan wajah putranya.
Karena memang sejak tadi ibunya memperhatikan wajah pemuda itu.
Dari sepasang mata pemuda di hadapannya yang tengah memandang kosong pada satu
titik, Nyi Sani tahu kalau putranya ini tengah melamun. Hanya saja ia tidak
tahu, apa yang dilamunkan Arya Buana.
Dewa Arak tersentak. Teguran itu mengingatkan kalau dirinya tidak sendirian di
tempat ini. "Ah...! Tid..., tidak ada apa-apa, Bu," jawab Arya gagap.
"Ibu tahu ada sesuatu yang sedang memberatkan pikiranmu. Katakanlah, barangkali
Ibu bisa membantumu. Atau..., Ibu tidak boleh
mengetahuinya" Rahasia pribadimu barangkali?"
tanya Nyi Sani sambil tersenyum maklum.
Seketika wajah Arya menyemburat merah.
"Sama sekali bukan, Bu."
"Lalu, kenapa kau tampaknya berat untuk mengatakannya?"
Dewa Arak menghembuskan napasnya. Sepertinya dangan menghembuskan napas, dia
berharap dapat membuang beban yang bersarang di dadanya.
"Ini menyangkut Paman Lindu, Bu."
"Paman Lindu"! Memangnya ada apa dengan pamanmu"!"
"Bu, apakah Paman Lindu mempunyai anak?"
"Anak" Pamanmu" Tidak, Arya. Pamanmu tidak mempunyai anak. Bagaimana mungkin
mempunyai anak kalau beristri pun tidak. Dari mana kau mendapat berita seperti
itu, Arya?" tanya Nyi Sani penasaran.
"Itulah masalahnya, Bu," keluh Arya.
"Katakan Arya, dari mana kau mendapat fitnah seperti itu?" desak ibunya lagi.
Pemuda berambut putih keperakan ini ragu. Tapi ketika melihat pandangan mata
ibunya, ia tidak dapat menghindar lagi.
"Dari orang yang bersangkutan, Bu," ujar Arya lemah.
"Dari orang yang bersangkutan" Apa maksudmu, Arya" Ibu tidak mengerti!
Katakanlah yang jelas!
Aneh, mengapa kau kelihatannya takut betul untuk mengatakannya," desak Nyi Sani
sambil mengerutkan dahinya.
Merah wajah pemuda itu. Teguran ibunya telak betul mengenai sasaran. Segera
dikuatkan hatinya untuk mengucapkan sesuatu.
"Dari anak Paman Lindu sendiri, Bu."
"Anak Paman Lindu" Baiklah. Rupanya kau perlu tahu juga, Arya. Tapi janganlah
berprasangka buruk pada pamanmu, karena mungkin saja kau menduga dia mempunyai
istri gelap. Kau tahu, pamanmu itu mandul. Itu karena kesukaannya bermain racun
yang akhirnya mencelakakan dirinya sendiri. Bahkan bukan hanya mandul saja.
Pamanmu itu sama sekali tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Jadi,
bagaimana mungkin mempunyai seorang anak" O
ya..., orang yang mengaku-aku anak pamanmu itu laki-laki?" jelas Nyi Sani yang
diakhiri dengan
pertanyaan. Arya menggelengkan kepalanya.
"Wanita?"
Kali ini Arya menganggukkan kepalanya.
"Berapa kira-kira usianya?" tanya Nyi Sani lagi.
Dan memang, sedikit banyak istri Pendekar Ruyung Maut ini sudah bisa menduga,
kalau putranya ini mempunyai perasaan lain terhadap wanita yang mengaku anak
kakak kandungnya. Sebenarnya tanpa diberitahu pun bekas Ketua Perguruan Mawar
Merah ini sudah dapat memperkirakan usia wanita itu. Tapi dia ingin memastikan
kebenaran dugaannya lebih dahulu.
"Kira-kira..., sembilan belas atau delapan belas, Bu...," jelas Arya, yang
wajahnya kian memerah.
Bahkan dahinya pun berkerut.
Nyi Sani menahan senyum yang hampir saja tercipta dari mulutnya. Tepat
dugaannya! Putranya ini pasti sudah terpincuk pada gadis itu.
"Cantik?" goda Nyi Sani.
Semakin merah wajah Arya.
"Begitulah kira-kira, Bu."
"Siapa namanya?" tanya wanita itu dengan senyum dikulum.
"Entahlah, Bu," jawab Arya sambil menggeleng kan kepalanya.
"Lho, aneh"! Kau tidak tahu namanya?" sepasang mata Nyi Sani terbelalak.
"Bagaimana mungkin ia akan memperkenalkan namanya, Bu. Begitu bertemu, dia
marah-marah. Bahkan hendak membunuhku."
Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heh"! Ini lebih gila lagi! Apakah tidak kau katakan kalau kau adalah keponakan
orang yang dianggap ayahnya?"
"Dia sudah tahu, Bu. Justru karena itulah ia hendak membunuhku. Katanya, aku
keponakan yang sama sekali tidak berguna. Pamannya dibunuh orang, sama sekali
tidak berniat membalaskan kematiannya.
Begitu katanya."
Bekas Ketua Perguruan Mawar Merah ini
tercenung. Bisa diterima alasan gadis itu menyerang Arya. Tapi, Arya pun sama
sekali tidak bersalah.
Lindu, kakaknya memang terlalu banyak membuat kesalahan. Adalah wajar kalau
akhirnya tewas di tangan orang yang dendam padanya.
Sesaat lamanya suasana menjadi hening. Arya telah selesai dengan ceritanya.
Sementara ibunya sibuk dengan pikirannya sendiri. Wanita ini tengah mencoba
memeras seluruh ingatannya terhadap setiap perkataan yang diucapkan kakaknya
dulu. Tapi, tetap saja dia tidak mampu mengingatnya.
"Bu, apa tidak sebaiknya kalau kita keluar dari tempat ini dulu...?" usul Arya
memenggal lamunan ibunya.
Nyi Sani tersentak sadar dari lamunannya.
"Kau benar, Arya. Memang sebaiknya kalau kita keluar dari tempat terkutuk ini.
Aku sudah bosan tinggal di sini, dan ingin melihat dunia luar yang bebas lepas!"
Di lain saat ibu dan anak ini sudah beranjak dari ruangan itu. Masing-masing
melangkahkan kakinya dengan benak yang dipenuhi pikiran sendiri-sendiri.
Sementara itu, Sentaka masih tergeletak pingsan.
7 "Haaat...! Hiyaaa...!"
Wut! Brakkk...! Teriakan-teriakan melengking tinggi, diselingi angin menderu-deru keras,
terdengar dari dalam sebuah hutan. Itu pun masih ditingkahi suara bergemuruh,
Semua itu ternyata berasal dari tindakan seraut wajah cantik. Usianya sekitar
sembilan belas tahun, dan berpakaian serba putih. Rambutnya panjang terurai,
hampir mencapai pinggang. Siapa lagi kalau bukan Melati.
Gadis ini rupanya sedang marah. Di dalam hutan ini, kekesalan hatinya
dilampiaskan pada pepohonan dan semak-semak belukar.
"Mampus kau, pemuda sombong!" teriak gadis itu keras. Tangan kanannya dengan
jurus 'Naga Merah Membuang Mustika' didorongkan ke depan.
Wuuusss...! Angin keras berhembus keluar dari tangan yang mendorong itu. Desiran angin itu
terus melesat ke depan dan menghantam sebatang pohon sebesar dua pelukan tangan
orang dewasa. Brakkk...! Pohon itu hancur berkeping-keping menimbulkan suara bergemuruh dahsyat!
"Hhh...!" Melati menghela napas. Lega sudah dadanya sekarang.
Kegagalannya mengalahkan Arya Buana alias Dewa Arak, dan melihat sikap pemuda
itu membuatnya mendongkol bukan kepalang. Rasa kemangkelan hatinya itu pun
dilampiaskan dengan mengamuk di dalam hutan ini. Kini kedongkolannya telah
sirna. Yang tinggal sekarang hanyalah akibat dari pelampiasan kedongkolannya.
Dipandangi keadaan sekelilingnya. Pohon-pohon bertumbangan, semak-semak yang
centang perenang, dan tanah yang terbongkar di sana sini.
"Semua ini gara-gara Dewa Arak!" sangkal gadis itu membela diri, dalam hati.
Dengan punggung tangan, disusuti peluh yang membasahi dahi dan lehernya yang
mulus. Kemudian dihampirinya sebatang pohon, lalu direbahkan tubuhnya di situ
untuk beristirahat.
Setelah cukup lama berbaring seperti itu, Melati beranjak bangkit. Kemudian
sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melesat dari situ. Dalam sekejap saja
tubuhnya sudah lenyap bagai ditelan bumi.
*** Tubuh Melati berkelebatan cepat. Kini tinggal satu lagi tujuannya. Menuju tempat
Ular Hitam! Dari berita yang didapat, dia tahu kalau tanpa bantuan Datuk Barat
itu, ayahnya tidak akan bisa dikalahkan lawan-lawannya. Jadi, bila dihitunghitung, kakek itulah yang menjadi penyebab utama ayahnya tewas.
Kalau saja gadis berpakaian serba putih ini mencari tempat tinggal Ular Hitam
sepuluh tahun yang lalu, sampai kapan pun tidak akan bisa menemukan. Untungnya,
ia mencarinya sekarang.
Sejak kemunculan Arya Buana alias Dewa Arak, tempat tinggal Ular Hitam sudah
bukan merupakan
rahasia lagi. Maka, mudah saja bagi gadis yang berjuluk Dewi Penyebar Maut ini mendapat
petunjuk tempat tinggal Ular Hitam.
Beberapa hari kemudian, ia pun sudah melewati Desa Jati Alas. Desa yang paling
dekat dengan tempat tinggal Ular Hitam.
Sesampai di luar Desa Jati Alas, menurut petunjuk yang diterima, dia hanya
tinggal melalui sebuah hutan. Dan setelah itu akan sampai di tempat kediaman
Ular Hitam. Petunjuk yang diterimanya itu benar. Beberapa lama kemudian setelah ia keluar
dari mulut Desa Jati Alas, dijumpai sebuah hutan. Bergegas dipercepat
langkahnya. Sesaat kemudian Melati telah tiba di mulut hutan itu. Tapi baru saja hendak
melangkahkan kakinya memasuki mulut hutan, dari depan terlihat sesosok bayangan
hitam melesat cepat menuju mulut hutan.
Seketika Melati menahan langkahnya. Gerakan sosok bayangan hitam itu cepat bukan
main. Sampai-sampai tercekat hati gadis ini melihatnya.
Kecurigaannya pun mendadak timbul. Sosok bayangan hitam ini ternyata datang dari
arah tempat tinggal Ular Hitam. Bukan tidak mungkin kalau justru sosok bayangan
hitam itu adalah orang yang dicari-carinya.
Berpikiran demikian, Melati bergegas menghadang jalan sosok bayangan hitam itu.
"Kisanak yang di depan, pelahan dulu!" seru Melati keras dan tegas. Berbareng
dengan itu kedua tangannya didorongkan ke depan, mengirimkan sebuah serangan
jarak jauh. Melati yang berjuluk Dewi Penyebar Maut memang berwatak telengas.
Langsung saja mengerahkan seluruh tenaga dalam serangannya itu.
Wuuuttt...! Angin menderu keras keluar dari sepasang tangan yang mendorong itu.
Seketika terdengar seruan kaget dari sosok bayangan hitam di depan. Sama sekali
tidak diduga, kalau di depannya disambut sebuah pukulan jarak jauh yang amat
dahsyat. Tahu betapa berbahayanya serangan itu, sosok bayangan hitam itu menghentikan
larinya. Berbareng dengan itu, kedua tangannya didorongkan pula ke depan
disertai pengerahan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.
Wuuuttt...! Blarrr...! Dua pukulan jarak jauh yang sama-sama dahsyat itu beradu di tengah jalan. Udara
sampai bergetar hebat akibat pertemuan dua buah tenaga dahsyat itu.
Akibatnya bagi kedua orang itu hebat sekali! Baik Melati maupun sosok bayangan
hitam itu sama-sama terjengkang keras ke belakang, kemudian berguling-guling di
tanah. Tapi dengan sigap keduanya bergegas bangkit berdiri. Sikap mereka sama-sama
waspada. Baik Melati maupun sosok bayangan hitam, sama-sama menyadari kalau
mereka satu sama lain adalah lawan yang amat tangguh.
Dewi Penyebar Maut merasa penasaran bukan main melihat sosok bayangan hitam itu
mampu membuatnya bergulingan. Dengan rasa penasaran yang meluap-luap,
diperhatikan sosok tubuh di hadapannya yang berjarak sekitar sepuluh tombak.
Gadis berpakaian serba putih ini mengerutkan
alisnya. Di depannya berdiri seorang kakek bertubuh tinggi kurus, berkulit hitam
legam, dan sorot mata mencorong kehijauan.
"Ular Hitam!" jerit Melati keras. "Kau..., kau Ular Hitam, bukan"!"
Kakek yang ternyata memang Ular Hitam itu hanya tersenyum.
"Siapa kau, Nisanak" Dan mengapa tiba-tiba menyerangku tanpa sebab" Dari mana
kau tahu julukanku?" berondong kakek itu.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku! Kedatanganku untuk mencabut nyawamu! Bersiaplah
kau, Ular Hitam!"
"Eit...! Tunggu dulu, Nisanak! Katakan, mengapa kau ingin membunuhku?" Ular
Hitam menggoyang-goyangkan kedua tangannya di depan dada
mencegah gadis itu yang sudah bersiap menyerangnya.
"Karena kau telah membunuh ayahku!" jerit Melati penuh kemarahan.
"Fitnah!" teriak Ular Hitam tak kalah keras. "Siapa nama ayahmu"!"
"Raja Racun Pencabut Nyawa!"
Wajah Ular Hitam berubah. Rasa keterkejutan yang amat sangat terpancar di
wajahnya.Jadi, gadis ini putri orang yang sangat memusuhinya itu"
"Bagaimana, ular kepala dua" Masih ingin menyangkal lagi"!" ejek Melati tajam.
Ular Hitam menghela napas panjang.
"Tak bisa kupungkiri hal itu. Ayahmu memang mati di tanganku."
"Heh"! Mengaku juga" Kau ini memang jantan, atau ingin dianggap jantan, manusia
pengecut!"
Merah wajah Ular Hitam.
"Jaga mulutmu, 'Nisanak! Aku bukan orang semacam itu!"
"Bukan orang semacam itu"! Hm..,! Lalu bukan pengecutkah namanya kalau bertarung
dengan orang lain secara keroyokan?"
Ular Hitam terdiam. Kembali tidak bisa disangkal perkataan gadis itu.
"Kini terimalah kematianmu, ular pengecut!"
Setelah berkata demikian, Melati melompat menerjang Datuk Barat itu. Kedua
tangannya berputar di samping kiri tubuhnya, kemudian berbareng terayun ke arah
kepala kakek itu.
Wuuuttt...! Angin menderu keras mengawali tibanya serangan Melati.
Ular Hitam merendahkan tubuh sehingga serangan itu lewat beberapa rambut di atas
kepalanya. Tapi tak urung rambutnya berkibaran keras juga. Suatu tanda kalau
serangan kedua cakar itu mengandung tenaga dalam tinggi.
Ular Hitam mulanya merasa tak sampai hati menurunkan tangan besi pada gadis yang
masih muda belia ini. Tapi, melihat betapa telengasnya gadis berpakaian serba
putih ini, membuat kakek ini memutuskan untuk tidak bertindak sungkan-sungkan.
Bersikap lunak hanya akan mencelakakan diri sendiri. Itulah sebabnya, sambil
merendahkan tubuh, kedua tangan Ular Hitam dengan telapak terbuka, melakukan
sodokan bertubi-tubi pada dada dan perut lawannya yang telengas ini.
Hebat dan berbahaya sekali serangan Ular Hitam ini. Apalagi serangan itu
dilakukan dengan kecepatan gerak luar biasa, yang menjadi ciri khas ilmu 'Ular
Terbang'. Akibatnya, serangan sodokan bertubi-tubi
itu menjadi amat berbahaya!
Tapi apa yang dilakukan Dewi Penyebar Maut, tidak kalah hebatnya! Dengan sebuah
gerakan yang tidak masuk akal, karena posisi kakinya begitu sulit untuk
mengenjotkan tubuh. Digerakkan tubuhnya secara aneh. Akibatnya seluruh tubuhnya
dari mulai dada ke bawah terangkat ke atas. Dan dengan posisi seperti itu, kedua
tangannya menyampok bagian belakang kepala Ular Hitam dari atas ke bawah.
Wuuuttt. ! Ular Hitam terkejut bukan main melihat hal ini.
Dikenali betul gerakan yang dilakukan gadis berpakaian serba putih ini. Itu
adalah jurus 'Naga Merah Mengangkat Ekor', salah satu jurus dari ilmu
'Cakar Naga Merah'! Siapa lagi pemilik ilmu itu kalau bukan kakak kandungnya, Ki
Gering Langit. Tetapi datuk ini tidak dapat berpikir lebih lama lagi.
Serangan maut yang mengancam belakang
kepalanya telah menyambar tiba. Maka cepat-cepat dielakkan serangan itu kalau
tidak ingin mati konyol.
Karena, untuk menangkis sudah tidak memungkinkan lagi. Cepat-cepat Ular Hitam
melompat ke depan, dari langsung bergulingan di tanah. Dan selamatlah dia dari
serangan maut itu.
Tetapi Dewi Penyebar Maut yang hatinya tengah dilanda dendam membara, tentu saja
tidak berhenti sampai di situ. Setelah kelihatan lawannya berhasil lolos, segera
disusulinya dengan serangan-serangan dahsyat!
Tentu saja Ular Hitam pun tak tinggal diam, dan segera menyambutnya. Di lain
saat kedua tokoh yang sama-sama sakti itu sudah terlibat dalam pertarungan
sengit. Dua puluh jurus telah berlalu, namun belum ada
tanda-tanda yang terdesak. Sementara itu Ular Hitam kini semakin yakin kalau
ilmu yang digunakan lawannya adalah 'Cakar Naga Merah'! Maka pada suatu
kesempatan, kakek itu cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, dan bersalto
beberapa kali di udara. Manis sekali kakinya hinggap beberapa tombak dari tempat
semula. "Tahan...!" teriak Ular Hitam keras mencegah Dewi Penyebar Maut yang sudah
bergerak mengejarnya.
Gadis berpakaian serba putih ini memang seorang yang tidak suka menyerang lawan
yang belum siap.
Maka begitu mendengar teriakan itu, gerakannya seketika terhenti. Dengan napas
agak memburu, ditatapnya wajah orang yang dibencinya ini tajam-tajam.
"Apa hubunganmu dengan Ki Gering Langit?" tanya Ular Hitam cepat sebelum Melati
sempat membuka mulut.
Berkilat sepasang mata putri Raja Racun Pencabut Nyawa ini mendengar pertanyaan
itu. Gadis ini marah bukan main. Sudah tiga orang bertanya serupa, dan hal ini
membuatnya terasa muak. Karena memang, ia sama sekali tidak mengenal tokoh itu.
"Aku sama sekali tidak mengenalnya!" jawab gadis itu ketus. "Jangan coba-coba
mengalihkan persoalan, Ular Hitam!"
Merah wajah Ular Hitam. Kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu memang pedas
bukan main. "Aneh...! Lalu dari mana kau mendapatkan ilmu
'Cakar Naga Merah' itu?" tanya Ular Hitam lagi dengan perasaan bingung.
"Aku datang ke sini bukan untuk berbincang-bincang denganmu, Ular Hitam.
Bersiaplah! Aku tidak segan-segan lagi membunuhmu sekarang, sekalipun
kau belum siap!"
Setelah berkata demikian, Melati kembali menyerang Ular Hitam. Tidak ada pilihan
lain lagi bagi kakek ini kecuali meladeni serangan gadis yang telah kalap oleh
pengaruh dendam itu. Sebentar saja mereka sudah kembali bertarung sengit.
Keduanya sama-sama mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Hebat sekali akibat pertarungan dua orang sakti itu. Suara menderu hebat
diseling suara bercicitan dari udara yang terobek akibat gerakan 'Cakar Naga
Merah' milik Melati, mewarnai pertarungan itu. Pohon-pohon bertumbangan terlanda
angin pukulan yang tidak mengenai sasaran. Batu-batu besar dan kecil berpentalan
tak tentu arah seperti dilanda angin topan.
Tak terasa delapan puluh jurus telah berlalu. Tapi, masih belum nampak tandatanda siapa, yang akan terdesak. Pertarungan masih berjalan berimbang.
Sebenarnya bila dibandingkan, Melati masih sedikit lebih unggul dalam hal tenaga
dalam dan mutu ilmu silat. Dalam hal kecepatan gerak, keduanya berimbang. Hanya
saja, Ular Hitam menang pengalaman. Itulah sebabnya sampai sekian lamanya,
pertarungan masih berlangsung seimbang.
Hal ini membuat Melati yang mempunyai watak pemberang, jadi tidak sabar. Dengan
serangan bertubi-tubi berusaha dipojokkannya Ular Hitam.
Gadis ini memang berniat mengadu keras lawan keras.
Dan begitu kelihatan lawannya telah tersudut, gadis berpakaian serba putih ini
segera meluruk menerjang, sambil mendorongkan kedua tangannya ke depan.
Ular Hitam terperanjat kaget. Posisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk
mengelakkan serangan itu.
Sungguh tidak diduga kalau gadis itu memaksanya untuk mengadu tenaga dalam
secara langsung.
Berarti dia mengajak mengadu nyawa!
Sebagai seorang yang telah kenyang pengalaman, Datuk Barat ini tahu betul kalau
adu tenaga dalam semacam ini amat berbahaya. Bagi lawan yang kalah kuat,
kemungkinan besar akan tewas. Tapi walaupun demikian, bukan berarti kalau yang
lebih kuat tenaganya tidak menderita apa-apa. Apalagi jika tenaga dalam antara
keduanya tidak berbeda jauh.
Paling tidak, dia akan teriuka parah!
Karena tidak ada pilihan lain lagi, Ular Hitam mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Kemudian sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring, kakek itu
melompat dengan kedua tangan
didorongkan ke depan. Rupanya Ular Hitam benar-benar nekad menyambut serangan
Melati. 8 "Tahan...!"
Terdengar suatu teriakan nyaring bernada mencegah. Dan belum habis gema suara
itu, sesosok bayangan ungu berkelebat ke arena pertarungan.
"Hiyaaa...!"
Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hup!"
Dengan kecepatan gerak menakjubkan, sosok bayangan itu telah memotong lompatan
Ular Hitam. Dan sebelum Datuk Barat ini sadar, sosok bayangan ungu itu mendorongkan tangan
ke bahu sehingga tubuhnya terlempar ke samping.
Pada saat tangan orang itu mendorong tubuh Ular Hitam, sosok bayangan ungu itu
membarengi dengan egosan tubuhnya, untuk mengelakkan serangan Melati. Tapi
terlambat! Kedua tangan gadis itu lebih dulu tiba.
Bukkk...! Kedua tangan Melati begitu telak menghantam tubuh sosok bayangan ungu itu.
Untungnya, karena si bayangan ungu itu sempat mengegoskan tubuh, serangan itu
menyimpang dari sasaran semula. Tidak mengenai dada, tapi mengenai bahunya.
Meskipun demikian, akibat yang diderita si bayangan ungu itu cukup dahsyat juga.
Tubuhnya terlempar beberapa tombak, kemudian jatuh berdebuk di tanah, lalu
terguling-guling.
Gulingan itu baru berhenti ketika tubuh itu akhirnya membentur sebatang pohon.
"Arya...!" jerit Ular Hitam keras. Wajah kakek ini
pucat pasi ketika mengenali sosok bayangan ungu yang terguling-guling di tanah
itu. Pakaian, rambut, dan terutama sekali guci arak yang terlempar dari
punggungnya, membuat Ular Hitam segera mengenali pemuda itu.
"Arya...!" teriak kakek itu lagi. Dengan lari laksana terbang, dihampirinya
sosok bayangan ungu yang tak lain adalah Arya Buana. Pemuda itu kini tergolek
seperti tidak bergerak lagi. Cairan kental berwarna merah mengucur keluar dari
mulut dan hidungnya.
"Arya..."!" sentak Melati. Gadis itu terpaku kaku di tempatnya. Bibirnya yang
telah menggumamkan nama pemuda itu nampak menggigil keras.
Ditatapnya tubuh pemuda itu yang diam tidak bergerak lagi. Kemudian dengan
pandangan mata jijik ditatap kedua tangannya yang tadi menghantam tubuh pemuda
itu. Beberapa saat lamanya Melati terpaku. Kemudian sambil mengeluarkan isak tertahan
dari kerongkongannya dia berlari meninggalkan tempat itu. Tidak dihiraukan air
bening yang menggulir membasahi pipinya.
Seorang wanita selengah baya berpakaian serba kuning, yang tiba di situ hampir
berbarengan dengan kedatangan Arya Buana, sempat melihat air mata yang
bercucuran dari sepasang mata gadis itu. Tapi, segera hal itu terlupakan ketika
melihat sosok tubuh Dewa Arak yang terkapar tidak bergerak.
Wanita itu adalah Nyi Sani. Arya Buana memang sengaja mengajak ibunya ke tempat
tinggal Kakek Ular Hitam, untuk diperkenalkan. Dia juga meminta agar ibunya bisa
tinggal di situ Tapi siapa sangka di tengah perjalanan, pemuda itu melihat Ular
Hitam tengah bertarung melawan gadis yang telah mencuri
sekeping hatinya. Pada saat pertarungan itu dalam keadaan kritis, ia pun segera
melesat mendahului ibunya untuk mencegah terjadinya korban nyawa.
Usaha pemuda ini memang berhasil, tapi membawa akibat yang tidak ringan. Dia
kini tergolek tanpa.
mampu berbuat apa-apa lagi.
Nyi Sani ikut jongkok di sebelah Ular Hitam yang telah jongkok lebih dulu. Kakek
itu tengah memeriksa detak jantung dan denyut nadi Arya.
"Bagaimana, Kek?" tanya Nyi Sani. Tanpa dijelaskan pun ia sudah bisa menduga,
siapa kakek ini. Arya telah bercerita banyak mengenai pem-bimbingnya.
"Bersyukurlah kepada Gusti Allah, Nyi!" hanya itu yang diucapkan Ular Hitam.
"Jadi...?" sebuah senyuman tersungging di wajah wanita tua yang sejak tadi cemas
itu. "Arya masih hidup..." lanjut kakek berkulit hitam itu.
"Ahhh...!" Nyi Sani mendesah lega
*** Sepekan lebih Arya Buana alias si Dewa Arak terkapar di pembaringan. Untungnya
di saat-saat terakhir, masih sempat diegoskan tubuhnya, sehingga pukulan Melati
hanya bersarang di bahu.
Tapi walaupun demikian, karena dashyatnya tenaga yang terkandung dalam serangan
itu, tak urung luka dalamnya cukup parah. Padahal Arya telah mengerahkan tenaga
dalam untuk melindungi tubuhnya.
Pada hari ke delapan, Arya baru dijinkan Kakek Ular Hitam meninggalkan
pembaringan. Pemuda
berambut putih keperakan ini merasa sekujur tubuhnya terasa lemas sekali. Pemuda
yang berjuluk Dewa Arak ini segera mengambil tempat untuk duduk bersila, sesaat
kemudian sudah tenggelam dalam semadinya.
Selama tiga hari setelah diijinkan meninggalkan pembaringan, Arya berusaha
memulihkan tenaga dalam dengan semadi, dan melatih ilmu andalan.
Baru pada hari yang keempat, pemuda itu meminta ijin Ular Hitam dan ibunya untuk
melanjutkan perjalanan, karena masih banyak tugas yang belum diselesaikan.
Terutama tugas dari gurunya, Ki Gering Langit.
"Arya...," ujar Ular Hitam sebelum Arya berangkat meninggalkan dirinya dan
ibunya. Nyi Sani memang telah memutuskan untuk tinggal di kediaman Ular Hitam.
"Ya, Kek...."
"Sebelum kau pergi, aku akan memberitahukan sesuatu hal kepadamu. Hm, mengenai
gadis yang berpakaian serba putih itu."
"Maksud, Kakek?" tanya Arya tidak mengerti.
"Selama di sini, aku dan ibumu terus memikirkan gadis itu. Dan, syukurlah!
Akhirnya kami berhasil mengetahui keberadaan gadis itu. Ibumu mengetahui asalusulnya, sedangkan aku mengetahui siapa gurunya."
Pemuda berambut putih keperakan ini merasa jantung dalam dadanya berdetak
kencang. Entah kenapa, ia sendiri tidak mengerti. Setiap kali ada pembicaraan
mengenai gadis berpakaian serba putih itu, jantungnya selalu berdetak lebih
cepat dari biasa.
"Benar, Arya," sambung Nyi Sani. "Berhari-hari di sini Ibu memeras ingatan
tentang semua perkataanyang diucapkan almarhum pamanmu. Beruntung sebelum gadis itu pergi, Ibu sempat
melihatnya. Dan hal itu yang sangat membantu, sehingga Ibu berhasil
mengingatnya."
"Jadi..., benarkah gadis itu putri dari Paman, Bu?"
tanya Arya dengan suara gemetar.
Nyi Sani tersenyum. Bisa dimaklumi ketegangan yang melanda hari putranya itu.
"Sebenarnya bukan."
"Jadi...?"
"Ia adalah seorang anak yang diselamatkan pamanmu ketika masih bayi. Orang
tuanya telah tewas dalam keadaan menyedihkan. Mungkin dibunuh orang jahat. Sejak
masih bayi pamanmu merawatnya penuh kasih sayang, sampai ia berumur lima tahun.
Anak itu diberi nama Melati. Karena kesukaannya pada pakaian serba putih yang
terdapat sulaman bunga melati pada dada kiri. Pada suatu hari, ketika pamanmu
pergi entah untuk urusan apa, anak itu ditinggalkan. Dan ketika ia kembali, anak
itu telah lenyap. Tak ada yang tahu, ke mana perginya anak itu. Pamanmu mencaricari, bahkan sampai meminta bantuan Ibu. Tapi, tetap saja Melati tidak berhasil
ditemukan. Ia lenyap begitu saja seperti ditelan bumi," urai Nyi Sani menutup
ceritanya. "Kenapa Paman tidak menitipkannya pada Ibu?"
tanya Arya heran.
Nyi Sani menghela napas panjang. Sejenak ditatap anaknya dalam-dalam.
"Aku sendiri juga tidak mengerti, Arya. Pamanmu tidak pernah menjawab setiap
kali Ibu menanya-kannya."
Pemuda berbaju ungu ini terdiam beberapa saat.
Pandangan matanya tertuju pada satu titik. Jelas ada
sesuatu yang tengah dipikirkannya.
"Kakek menemukan suatu hal yang mengejutkan, Arya," selak Ular Hitam memenggal
lamunan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Apa, Kek?" tanya pemuda itu ingin tahu.
"Kau sudah pernah bertarung melawan gadis itu kan?" Ular Hitam malah balik
bertanya. "Sudah, Kek," Arya menganggukkan kepalanya.
"Apa kau menjumpai sesuatu yang mengejut-kanmu?" desak kakek itu lagi.
"Ada, Kek," sahut Arya membenarkan. "Jurus
'Cakar Naga Merah'!"
"Tepat!"
"Apa tidak mungkin kalau Melati adalah murid Guru, Kek?" tebak Dewa Arak.
"Bukan, Arya. Gadis itu sama sekali tidak mengenal Kakang Gering Langit!"
"Jadi...?" desak Arya.
"Heh"!" Sepasang alis Ular Hitam berkerut. "Kau tidak dapat menduganya, Arya?"
Pemuda berambut putih keperakan ini
mengerutkan alisnya sejenak. Dicobanya untuk berpikir, tapi tetap saja tidak
dapat menduga apa-apa. Pikirannya benar-benar seperti buntu!
"Hhh...!" Ular Hitam menghela napas. "Rupanya ada sesuatu yang memberati
pikiranmu, Arya.
Sehingga otakmu yang biasanya cerdas, kini tidak mampu menduga hal yang
sebenarnya sangat mudah!"
Wajah Arya memerah. Memang secara jujur diakui, kalau benaknya diganggu bayangan
Melati. Sikap gadis itu yang selalu memusuhi, membuatnya hampir gila. Otaknya
buntu, tidak bisa diajak berpikir.
Melihat keadaan Arya, Ular Hitam tidak tega untuk
mendesak lebih lama.
"Gadis yang bernama Melati itu adalah murid orang yang hendak kau cari atas
perintah gurumu!"
jelas Ular Hitam.
"Ahhh...!" Dewa Arak tersentak.
Arya jadi merasa begitu bodoh. Dalam Kitab Belalang Sakti, Ki Gering Langit
telah memberi tugas untuk mencari dua orang yang sebenarnya pelayan di rumah
kakek itu. Mereka telah kabur membawa lari kitab-kitab milik Ki Gering Langit.
Waktu itu puluhan tahun yang lalu, rumah Ki Gering Langit adalah rumah yang
selama ini ditempati Pendekar Ruyung Maut.
"Jadi...?"
"Ya!" selak Ular Hitam. "Melati adalah satu-satunya kunci yang dapat menunjukkan
kepadamu di mana dua orang pengkhianat itu!"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Satu yang perlu kau perhatikan, Arya," sambung kakek itu lagi. "Kau harus
berhati-hati! Aku tidak bisa membayangkan sampai di mana kepandaian
pengkhianat-pengkhianat itu. Bayangkan! Muridnya saja sampai selihai itu!
Hhh...! Kau harus sering-sering bersemadi untuk lebih memantapkan tenaga
dalammu, Arya. Aku khawatir, pengkhianat-pengkhianat itu kini telah memiliki
tingkat tenaga dalam yang sukar diukur tingginya!"
"Akan kuingat baik-baik nasihat Kakek. O ya, Kek.
Aku ada suatu masalah yang ingin kutanyakan pada Kakek." Kemudian Arya
menceritakan tentang Raksasa Kulit Baja yang memiliki kekebalan tubuh yang luar
biasa. Setelah mendengar penuturan pemuda berambut putih keperakan ini Ular Hitam
mengangguk-angguk kan kepalanya.
"Setiap ilmu memiliki kelemahan, Arya. Apalagi ilmu yang didapat dengan cara
tidak wajar. Mengenai ilmu kekebalan tubuh yang kau ceritakan itu, banyak sekali
yang kuketahui penangkalnya. Mungkin salah satunya ada yang benar."
Lalu Ular Hitam memberitahu macam-macam cara menaklukkan ilmu kekebalan tubuh.
Arya mendengarkan dan mencatat di otaknya semua petunjuk yang diberikan Ular
Hitam. Setelah semua petunjuk kakek bertubuh tinggi kurus itu dihapalnya, Arya pun
pamit pada ibu dan kakeknya. Mereka melepas kepergian pemuda berambut putih
keperakan itu dengan pandang mata berkaca-kaca.
*** Arya kini melakukan perjalanan mencari berita tentang Melati yang berjuluk Dewi
Penyebar Maut. Karena ciri-ciri gadis itu yang memang menyolok, pemuda berambut putih keperakan
ini sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk melakukan pengejaran. Hampir di
setiap tempat berita mengenai Melati selalu didapat. Dan berita yang didapatnya
membuat Arya mengerutkan dahinya.
Betapa tidak" Hampir di setiap desa dan tempat yang dikunjunginya, Melati selalu
menyebar maut! Tidak ada orang yang masih hidup apabila telah berurusan dengannya. Satu hal
yang melegakan Arya, Melati menimbulkan korban karena ia diusik. Tak pernah
gadis itu yang memulai lebih dulu.
Arya mempercepat langkahnya. Dari desa yang baru saja ditanyainya, didapat
keterangan bahwa orang yang tengah dicarinya belum lama melalui desa
itu. Dan sudah pasti telah menimbulkan korban nyawa! Perkara biasa. Bergajulbergajul itu pasti hendak berbuat kurang ajar padanya.
Setelah melewati perbatasan desa, dan mendekati mulut sebuah hutan, pendengaran
Arya yang tajam menangkap adanya suara-suara pertarungan di depan. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, tubuh pemuda ini berkelebat cepat ke arah asal suara
pertempuran. Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, dalam
waktu sebentar saja Arya sudah melihat orang yang bertarung. Dan mendadak pemuda
berambut putih keperakan ini tersentak begitu mengenali kedua orang yang sedang
bertarung itu. Tidak jauh darinya, sekitar sepuluh tombak di depan, nampak seorang gadis cantik
berpakaian serba putih dan bersenjatakan pedang, tengah bertarung melawan
seseorang bertubuh tinggi besar, dan berwajah kasar. Di lehernya tergantung
kaking yang bermatakan tengkorak kepala bayi. Siapa lagi kalau bukan Melati yang
tengah bertarung melawan Raksasa Kulit Baja.
Pandangan mata Dewa Arak yang tajam segera saja dapat mengetahui kalau Melati
terlihat kelelahan. Peluhnya yang membanjiri tubuh dan gerakannya yang sudah
tidak gesit lagi, menjadi bukti dugaan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Ha ha ha...!" terdengar tawa terbahak-bahak dari mulut Raksasa Kulit Baja itu.
Pemuda ini tahu kalau Melati, seperti dirinya juga dulu, kebingungan dan habis
daya melawan kehebatan ilmu lawannya. Dan Dewa Arak yang telah mendapat petunjuk
cara menghadapi Raksasa Kulit
Baja, segera melompat ke arena pertempuran.
"Mundur, Melati!" perintah Dewa Arak.
Terdengar seruan kaget dari mulut gadis itu. Dan memang sebenarnya Melati
mengalami kekagetan yang bertumpuk-tumpuk. Dari mana Arya Buana mengetahui
namanya" Tapi dalam kekagetan yang melanda hatinya itu, menyeruak rasa gembira
yang tak terperikan. Arya Buana ternyata masih hidup!
Pemuda yang telah membuat gejolak perasaannya tak menentu itu ternyata tidak
mati akibat pukulannya! Oh, mengapa dia tidak pernah merasa segembira seperti
sekarang" Inikah yang dinamakan cinta" Mengapa pemuda itu ada di sini" Apakah
Arya juga memperhatikan dirinya"
Tanpa sadar gadis itu melompat mundur. Arya yang melihat hal ini menjadi
tersentak sekaligus gembira. Berarti benarlah dugaan ibunya. Gadis ini adalah
Melati kecil yang dulu ditemukan pamannya sewaktu masih bayi!
"Grrroah...!" Raksasa Kulit Baja meraung murka begitu melihat siapa yang masuk
ke arena pertempuran, dan kini berdiri di hadapannya sambil menuangkan arak ke
dalam mulut. Gluk... gluk... gluk...!
"Sungguh besar nyalimu, Dewa Arak! Kali ini jangan harap dapat lolos dari
tanganku!"
Setelah berkata demikian, manusia raksasa itu melolos rantai berujung arit yang
melilit pinggangnya.
Sambil menggeram marah, diputar-putar, dan dilemparkannya ke arah Arya.
Singgg...! Suara mendesing nyaring terdengar ketika rantai berujung arit itu meluncur cepat
ke arah kepala Dewa Arak. Sedangkan pemuda itu seperti biasa tengah
sempoyongan sehabis menenggak araknya, seolah-olah tidak menyadari adanya bahaya
mengancam. Tapi begitu serangan rantai itu menyambar dekat, Dewa Arak cepat menggerakkan
tangan memapak, setelah lebih dulu menyimpan kembali gucinya di punggung.
Pralll...! Rantai yang terbuat dari baja itu putus berantakan ketika mengenai tangan kanan
Dewa Arak. Berbareng dengan itu, tangan kiri pemuda itu menangkap ujung rantai
yang tersisa. Kreppp! "Hup!"
Hanya sekali sentak, tubuh Raksasa Kulit Baja terbetot dan melayang ke arah Dewa
Arak. Hal ini memang disengaja. Pemuda itu ingin mencoba salah satu cara yang
diberikan Ular Hitam. Menurut Ular Hitam, kalau Raksasa Kulit Baja memperoleh
kekebalan dengan cara melumuri ramuan-ramuan ke tubuhnya, pasti ada bagian tubuh
yang tidak terkena ramuan itu. Karena tidak mungkin seluruh tubuhnya terlumuri
ramuan. Dan bagian yarig tidak terkena ramuan itu adalah kelemahan dari Raksasa
Kulit Baja. Arya tahu, di antara seluruh tubuh tinggi besar ini hanya satu
anggota tubuh yang belum pernah diserangnya. Telapak kaki! Kini pemuda berambut
Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih keperakan itu akan mencobanya.
Wuuuttt...! Begitu tubuh Raksasa Kulit Baja itu telah menyambar dekat, Dewa Arak mencuatkan
kakinya. Maka dengan ujung kaki, disodoknya telapak kaki manuka bertubuh raksasa itu.
Tukkk...! Tubuh Raksasa Kulit Baja terpental ke atas.
Pegangannya pada rantai langsung terlepas. Sesaat lamanya tubuh itu melayanglayang di udara, kemudian jatuh ke tanah sehingga menimbulkan suara berdebuk
keras. Dengan hati berdebar tegang, Arya menunggu hasil percobaannya itu. Tapi betapa
kecewa hatinya ketika lawannya bangkit kembali tanpa kurang suatu apa.
Berarti manusia raksasa ini tidak mempergunakan ramu-ramuan untuk mendapatkan
kekebalan. Srattt...! Arya mencabut sesuatu dari balik punggungnya Cara kedua yang diajarkan Ular
Hitam untuk menaklukkan kekebalan tubuh Raksasa Kulit Baja.
"Ha ha ha...!" manusia raksasa itu tertawa bergelak ketika melihat senjata yang
tergenggam di tangan Dewa Arak. Bambu kuning! Panjangnya sama dengan panjang
sebatang pedang.
"Rupanya kau ini sudah jadi gila karena bingung, Dewa Arak! Jangankan bambu,
baja pun tidak akan membuat kulitku lecet!"
Tapi Arya tidak mempedulikan ejekan itu. Sambil mengeluarkan pekik melengking,
Dewa Arak melompat menyerang lawannya.
Raksasa Kulit Baja yang mempunyai gerakan lambat, tidak mungkin menghindari
serangan Dewa Arak yang sangat cepat itu" Bertubi-tubi bambu kuning di tangan
Arya mengenai sasarannya. Ditusuk, disabet, disontek, sampai akhirnya bambu itu
hancur! "Ha ha ha...!" kembali Raksasa Kulit Baja tertawa bergelak.
"Masih ada lagi senjatamu, Dewa Arak" Keluarkan!
Puaskan hatimu, sebelum kau tewas di tanganku!"
Arya membuang sisa bambu yang masih
digengamnya. Sesaat kemudian matanya liar
mengawasi sekelilingnya. Dan seketika matanya berseri ketika melihat sebuah
pohon yang memang dicarinya. Pohon kelor!
Cepat laksana kilat, tubuh Arya melesat ke atas.
Dan di lain saat tubuhnya sudah melayang turun. Kini di tangannya tergenggam
sebatang ranting pohon itu yang berdaun lebat.
Secepat kedua kakinya hinggap di tanah, secepat itu pula tubuh Dewa Arak
melayang ke arah Raksasa Kulit Baja. Daun kelor yang tergenggam di tangannya
disabetkan ke tubuh manusia raksasa itu.
Prattt! "Akh...!"
Dengan telak sabetan itu mengenai badan
Raksasa Kulit Baja. Mendadak saja terdengar jerit kesakitan dari mulut manusia
raksasa yang kebal ini.
Jerit yang lebih menyerupai raungan binatang buas terluka.
Dewi Penyebar Maut tersentak kaget melihat hal ini. Hampir tidak dipercaya akan
apa yang dilihatnya barusan. Raksasa Kulit Baja yang memiliki kekebalan luar
biasa itu meraung-raung hanya dengan sabetan daun kelor!
Dan sebaliknya, begitu Arya melihat usahanya berhasil, ia pun cepat menghujani
sekujur tubuh lawan dengan sabetan-sabetan daun kelor yang digenggamnya.
Prattt! Prattt!
"Akh...! Aduh! Ahhh...!"
Jerit kesakitan terdengar susul-menyusul. Tubuh Raksasa Kulit Baja ini
menggeliat-geliat, bahkan terguling-guling. Tapi, Dewa Arak tidak memberi
kesempatan. Tubuh yang bergulingan di tanah itu terus dihujaninya dengan daun
kelor. Baru setelah ranting yang digenggamnya hancur, Arya menghentikan sabetan.
Dibuangnya ranting itu, lalu ditatapnya sejenak tubuh tinggi besar yang masih
berguling-guling. Kemudian sambil mengumpulkan seluruh tenaga, didorongkan kedua
tangannya dengan jari-jari terbuka ke depan. Dewa Arak menggunakan jurus
'Pukulan Belalang' dalam lambaran 'Tenaga Dalam Inti Matahari'!
Wuuuttt...! Angin yang berhawa panas menderu keras ke arah tubuh Raksasa Kulit Baja yang
masih berguling kesakitan.
Bresss...! Tubuh Raksasa Kulit Baja terpental keras ke belakang ketika pukulan jarak jauh
Dewa Arak telak menghantam tubuhnya.
Suara jerit menyayat keluar dari mulut si tinggi besar ini. Tubuhnya bergulingan
jauh. Dari mulut, hidung, mata, dan telinga mengalir darah segar. Dan begitu
gulingan itu terhenti, berhenti pulalah riwayat tokoh menggiriskan ini. Sekujur
tubuhnya nampak menghitam hangus!
Sambil mengumpulkan seluruh tenaganya, Dewa Arak mendorongkan kedua tangannya ke
arah Raksasa Kulit Baja yang masih berguling kesakitan!
Arya Buana tercenung memandang sosok tubuh yang kini tergolek di hadapannya.
Dalam hati, dikagumi juga kehebatan ilmu yang dimiliki orang bertubuh seperti
raksasa itu. Cukup lama juga pemuda itu tercenung, dan baru sadar ketika mendengar suara
gerakan halus di belakangnya. Dalam sekelebatan, benaknya teringat pada Melati.
Buru-buru ditolehkan kepalanya ke belakang.
Dapat dibayangkan betapa terperanjatnya hati pemuda berambut putih keperakan ini
ketika tidak melihat siapa-siapa di situ. Dengan perasaan cemas, diedarkan
pandangannya berkeliling. Tapi, tetap saja tidak dijumpai sosok tubuh yang
dirindukan dan yang selalu mengganggu ingatannya.
"Melati...!" teriak Arya kalap. Teriakannya yang disertai pengerahan tenaga
dalam itu bergaung, menggema ke sekitarnya.
Sesaat pemuda berbaju ungu ini menunggu
sambutan. Tapi sampai lelah menunggu, tak juga ada tanda-tanda akan adanya
sahutan. Hanya gema suaranya sendiri yang menyambut panggilannya.
"Melati...!" teriak Dewa Arak lagi. Dan memang, suaranya terdengar bernada putus
asa. Dia seperti, kehilangan sesuatu yang amat dicintainya. Tanpa pikir lagi,
Dewa Arak bergerak mengejar ke dalam hutan. Tujuannya jelas, mencari Melati!
Selain untuk ketenangan hatinya, juga untuk memenuhi tugas gurunya. Seperti
diketahui, gadis ini adalah satu-satunya kunci untuk mencari pencuri kitab-kitab
milik Ki Gering Langit.
Tanpa sepengetahuan Arya, dari balik pohon, seraut wajah cantik berpakaian serba
putih menatap kepergiannya dengan mata merembang berkaca-kaca. Gadis itu merasa
malu menemui Arya, karena sejak pertama kali selalu bentrok dengannya. Tapi
gadis itu juga merasa sedih tidak bisa bersama-sama dengan Arya, pemuda yang
diam-diam dicintainya. Dia hanya bisa menatap tubuh Arya Buana hingga lenyap di
kejauhan.... Nah, apakah kelak Melati mau menjumpai Dewa Arak lagi" Berhasilkah Arya mencari
Melati" Dan memenuhi tugas dari gurunya untuk mengambil kitabkitab yang dicuri oleh pelayan Ki Gering Langit" Bagi para pembaca yang ingin
mengetahui kisah selanjutnya, silakan ikuti serial Dewa Arak dalam episode
"Cinta Sang Pendekar".
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujifenkikagawa)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Badai Awan Angin 18 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Jejak Di Balik Kabut 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama