Ceritasilat Novel Online

Empat Bidadari Lembah Neraka 2

Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka Bagian 2


Lembah Neraka. Namun, tiba-tiba muncul di hatinya
perasaan bimbang.
Setelah menoleh ke sana kemari, kakek itu
membuka surat dari kulit binatang yang direbutnya
dari murid Ki Hajar Barada.
Dungkut Marta, kini saatnya bagimu mengamankan Kitab Candra Catur Pamukti. Hampir
setengah abad aku membiarkan kitab itu tersimpan
di bawah bangunan suci. Kalau sampai kitab kuno
itu jatuh ke tangan orang-orang durjana akan
hancurlah dunia persilatan.
Kudengar Empat Bidadari Lembah Neraka
telah memulai perburuan mereka. Dungkut Marta,
ketahuilah, Langgengpura juga menjadi calon
musuhmu. Hati-hatilah terhadapnya. Dia bukan
Langgengpura yang dulu. Tindakan yang dilakukannya di wilayah barat telah banyak
meresahkan tokoh persilatan. Beberapa pemuda
tanggung telah diculiknya. Aku sendiri tak
mengetahui untuk apa para perjaka itu. Sayang, aku
tak pernah bertemu dengannya.
Dungkut, tugasmu mendatangi bangunan suci.
Selamatkan kitab warisan itu. Aku berharap kitab itu
suatu saat akan sampai di tangan seorang pendekar
sejati yang benar-benar pembela kebenaran.
Dengan usia yang sudah mencapai satu abad
ini, jelas aku tak mungkin lagi mempelajari isinya.
Apalagi mencari kemuliaan dan kesaktian seperti
yang disebutkan di dalamnya. Biarkan mereka yang
muda mendapatkan isi kitab itu, Dungkut....
Sampai di situ Ki Langgengpura berhenti
membaca. Surat itu ternyata terdiri dari dua lembar.
Dibukanya lembar yang kedua, lalu dilanjutkan
membaca. Sekarang ikutilah petunjukku ini! Berjalanlah
ke arah barat daya dari tempat kediamanmu. Jika
kau berangkat bersama sang surya, maka bersama
sang surya kau sampai di tempat yang
kumaksudkan. Kau akan melihat sebuah tempurung
raksasa yang tertelungkup. Tempurung itu terbuat
dari batu-batu besar. Berjalanlah ke timur! Jika
bertemu dengan bangunan setinggi delapan tombak
yang terbuat dari batu, kau tak boleh singgah di
sana. Kitab itu kusimpan di bawah bangunan lain
yang terletak tak jauh dari bangunan ini. Berjalanlah
ke utara. Inilah bangunan suci itu, Dungkut. Di
bawahnya akan kau temukan lorong yang
menghubungkan dengan ruangan besar di bawah
tanah. Di tanganmu kitab itu berada!
Tersentak Ki Langgengpura membaca kalimat
yang terakhir. Dia tidak mengerti apa yang
dimaksud Ki Hajar Barada dengan kalimat terakhir
itu. Sudah dua kali dibacanya surat itu, tapi tak
juga dapat ditemukan maksudnya.
Perlahan-lahan digulungnya kembali surat
itu, lalu disimpan di balik pakaiannya. Dengan hati
mantap kakek berjubah kuning itu membalikkan
tubuh dan melesat pergi. Dia tak jadi kembali ke
tempat kediaman Nyai Cangkring Abang. Ki
Langgengpura hendak mencari sendiri kitab itu
dengan mengikuti petunjuk dalam surat Ki Hajar
Barada. Namun, belum jauh Ki Langgengpura
meninggalkan tempat itu....
"Berhenti...!"
Seruan melengking nyaring terdengar dari
arah belakang. Ki Langgengpura segera menghentikan larinya, dan bergegas membalikkan
tubuh. Dilihatnya empat sosok wanita muda
berwajah cantik yang sudah sangat dikenalnya.
Empat sosok wanita yang tak lain Empat
Bidadari Lembah Neraka itu keluar dari balik batubatu cadas tak jauh dari tempat Ki Langgengpura
tadi membaca surat. Rupanya, keempat dara cantik
berpakaian merah ini mengintai apa yang dilakukan
Ki Langgengpura.
"Surat apa yang kau baca tadi, Ki Langgeng?"
tanya Isyana dengan bibir tersenyum sinis.
Dara cantik berpakaian merah dan mengenakan ikat pinggang hijau itu melangkah
mendekati Ki Langgengpura.
"Ini bukan urusan kalian! Juga bukan urusan
Nyai Cangkring Abang!"
"Hm. Baik, kalau begitu. Lalu, bagaimana
urusanmu dengan Ki Dungkut Marta..." Kami
diperintahkan untuk menyelidikinya."
"Sudah kukatakan, aku yang akan membereskan sahabatku itu!"
"Lalu?" desak Laksmi yang juga sudah
melangkah mendekati Isyana.
"Terpaksa kubunuh dia! Aku belum mendapat
keterangan di mana Kitab Candra Catur Pamukti
berada," jawab Ki Langgengpura berusaha meyakinkan. Namun, Isyana dapat membaca sinar mata
kakek itu. Ada kedustaan yang tak dapat
disembunyikan di sana. Dara cantik ini terus
menatap wajah Ki Langgengpura. Namun sebagai
tokoh tua yang sudah berpengalaman, Ki
Langgengpura mengetahui kecurigaan dara berpakaian merah itu.
"Sudahlah. Aku tak banyak waktu bercakapcakap dengan kalian...." Ki Langgengpura
segera melesat pergi meninggalkan Empat Bidadari Lembah
Neraka. Laksmi dan Isyana yang telah menaruh
kecurigaan terhadap Ki Langgengpura langsung
melesat mengejarnya.
"Langgeng! Ada yang belum kau katakan
tentang surat itu," teriak Laksmi yang telah sampai
di depan Ki Langgengpura. Dara cantik itu berdiri
dengan kaki terpentang menghadang jalan Ki
Langgengpura. Dengan mata agak menyipit, Ki Langgengpura
memandang wajah Laksmi. Sementara Kinanti dan
Ratri juga telah berlari mendekati Ki Langgengpura.
Isyana yang berdiri di samping Laksmi memberi
isyarat dengan kepala agar kedua kawannya
waspada. "Huh! Ternyata keliru Nyai Cangkring Abang
memelihara empat bidadari cantik seperti kalian.
Sekian lama bekerja hanya sia-sia belaka. Puluhan
korban telah jatuh, tapi tak membawa hasil apa
pun...," ujar Ki Langgengpura dengan nada
meremehkan. Bibirnya menyunggingkan senyum
sinis. "Perlukah kami buktikan bahwa kaulah yang
mesti pergi dari Nyai Cangkring Abang" Justru Nyai
Cangkring Abang kuanggap gegabah menerimamu
untuk bergabung, Langgeng. Orang berhati busuk
sepertimu harus mampus! Seraaang...!" Laksmi yang
sudah tak sabar segera memberi perintah.
Ki Langgengpura secepat kilat memutar
tubuhnya dalam jurus 'Ilmu Pedang Seribu'.
Tampaknya kakek ini pun sudah tak sabar ingin
segera menghabisi Empat Bidadari Lembah Neraka.
Itu bisa dimaklumi. Ki Langgengpura ingin buruburu menuju tempat penyimpanan
Kitab Candra Catur Pamukti. Trang! Trang! Benturan-benturan pedang terdengar susulmenyusul. Empat Bidadari Lembah Neraka
telah mengeluarkan ilmu andalan untuk mengimbangi
kecepatan gerak lawan. Dalam sekejap pertarungan
seru dan menegangkan pun terjadi. Masing-masing
mengandalkan ilmu meringankan tubuh untuk
bergerak. Sosok-sosok merah berkelebatan mengepung Ki Langgengpura yang terus berputar.
Tiba-tiba, tanpa terlihat dengan jelas, sesosok
tubuh berpakaian merah terlempar dari kancah
pertarungan. Ternyata sosok tubuh Kinanti. Lengan
kirinya mengeluarkan darah. Gadis itu telah
tersambar pedang Ki Langgengpura.
Melihat kawannya terjatuh, Isyana, Laksmi,
dan Ratri semakin geram. Bentakan-bentakan
nyaring semakin sering terdengar mengiringi
serangan mereka. Namun, kakek berjenggot putih
itu memang bukan tokoh sembarangan. Sekian lama
pertarungan berlangsung, Ki Langgengpura masih
sanggup mengelak dan menangkis setiap serangan
lawan. Mendadak, bagai diberi perintah, ketiga gadis
berpakaian merah itu berhenti menyerang. Mereka
berkumpul menjadi satu berhadapan dengan Ki
Langgengpura. Kinanti meskipun terluka mampu
melesat menyatu dengan ketiga kawannya.
*** '"Bidadari Membelah Langit'! Hiaaah...!"
Serentak keempat dara berpakaian merah itu
berteriak nyaring. Seketika itu pula Empat Bidadari
Lembah Neraka berlompatan menerjang ke arah Ki
Langgengpura. Melihat gerakan lawan yang sangat cepat, Ki
Langgengpura sempat tercengang. Tahu-tahu keempat lawannya telah berada di sekitar tubuhnya.
Mereka mengepung dengan sambaran dan tusukan.
pedang. Bunyi angin menderu berkesiutan di telinga.
Ki Langgengpura melenting ke udara.
Sungguh tak disangka, keempat dara
berpakaian merah seolah mengetahui apa yang
hendak dilakukan lawan. Keempatnya melesat
menyusul ke udara. Pertarungan pun terjadi di atas.
Tak lama kemudian, keunggulan Empat
Bidadari Lembah Neraka terlihat. Ketika mereka
memburu tubuh lawan yang meluncur ke tanah,
serangan-serangannya terus berdatangan. Mereka
tak ingin memberi kesempatan kepada lawan untuk
menginjakkan kaki di tanah.
"Hahhh"!"
Pekikan pendek dikeluarkan Ki Langgengpura. Keempat dara berambut panjang
secara bergantian melancarkan serangan. Satu
menyerang yang lain bersiap untuk menyusul.
Ketika kawannya mundur dari hadapan lawan, yang
lain telah menyambar datang.
Menghadapi serangan gencar yang tak habishabisnya bagai ombak samudera, Ki
Langgengpura semakin kewalahan. Hingga, satu ketika serangan
Empat Bidadari Lembah Neraka yang dilakukan
secara bersamaan benar-benar membuatnya tak
bisa bergerak. "Aaakh...!"
Ki Langgengpura menjerit tertahan ketika
dadanya berhasil disambar pedang. Tubuhnya
tergetar mundur. Saat itulah Empat Bidadari
Lembah Neraka dengan bengis saling menusukkan
pedang ke tubuh lawan.
Jrabs! Satu tusukan menghujam di perut kakek itu.
Tubuhnya terhuyung ke belakang.
Wuttt!

Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Trang! Tusukan lain yang meluncur deras ke arah
pinggangnya mampu ditangkis Ki Langgengpura
dengan babatan pedang. Namun, sebuah tendangan
keras dari Laksmi mendarat telak di tengkuknya.
Ketika tubuh tua berpakaian kuning itu
tersungkur ke depan, tusukan pedang Isyana
langsung menyambutnya.
Jrabs! Pekikan melolong pun berkumandang. Ketika
Isyana mencabut pedang dari dada Ki Langgengpura, darah segar muncrat bersamaan
dengan tergulingnya tubuh kakek itu.
"Ha ha ha ha...! Mana ilmu kebalmu,
Langgeng"!" teriak Laksmi dengan tertawa gembira.
Dipandanginya tubuh Ki Langgengpura yang
tergeletak berlumuran darah. "Tak ada ilmu kebal
bagi pedang-pedang Bidadari Lembah Neraka...!"
Ki Langgengpura yang sekarat tak mampu
menjawab ejekan dara cantik itu. Hanya geraman
lirih keluar dari mulutnya. Tubuhnya menggeliatgeliat menahan rasa sakit yang
sangat. Sambil menyarungkan kembali pedangnya,
Isyana melangkah mendekati Ki Langgengpura. Ia
yakin lawannya sudah tak berdaya. Pengalamanpengalaman yang lalu menunjukkan
setiap lawan yang terbabat pedangnya tanpa ampun lagi pasti
menemui ajalnya.
Gadis cantik yang mengenakan ikat pinggang
hijau itu hendak mengambil surat yang tersimpan di
balik pakaian Ki Langgengpura.
"Isyana, tunggu...!"
Ratri berteriak memperingatkan.
"Jangan terlalu gegabah menganggap lawan tak berdaya!"
Ratri, Kinanti, maupun Laksmi masih
menggenggam pedang. Ratri mendekati ke arah
Isyana yang telah berdiri dua tombak dari Ki
Langgengpura. Namun tiba-tiba....
Siiing! Siiing! Siiing!
Ki Langgengpura yang diduga telah sekarat
ternyata masih mampu melemparkan senjata
rahasia yang diambil dari balik pakaiannya.
"Awaaas!"
Trang! Trang! Trang!
Kinanti yang paling dulu bergerak dapat
membabat tiga batang pisau kecil yang meluncur
menuju Isyana. Sementara Ratri dan Laksmi hanya
mampu mengelakkan pisau-pisau yang mengarah
kepada mereka. Keduanya bergulingan ditanah dan
bergegas melompat bangkit. Kinanti yang sudah
telanjur melompat meneruskan serangannya dengan
babatan pedang ke tubuh Ki Langgengpura.
Pedang di tangan Kinanti menghujam dada
kakek itu. Tanpa mengeluarkan pekikan, Ki
Langgengpura langsung tak bergerak lagi. Rupanya,
nyawanya melayang saat itu juga. Kinanti segera
menggeledah pakaian Ki Langgengpura. Segulungan
kulit berwarna coklat yang terpercik darah diambil
Kinanti. "Ayo, cepat tinggalkan tempat ini...!" ajak
Laksmi. Tubuhnya melesat menuju lembah Neraka
untuk menemui Nyai Cangkring Abang.
Ketiga kawannya segera menyusul. Mereka
berlari cepat menuruni lembah terjal berbatu-batu
cadas itu. *** Tanpa sepengetahuan Empat Bidadari Lembah Neraka, Ki Langgengpura yang dikira sudah
menjadi mayat menggeliat dan perlahan bangkit
berdiri. Kakek berjubah kuning yang telah
berlumuran darah itu terkekeh memandangi Empat
Bidadari Lembah Neraka yang terus melesat menuju
lembah. Dengan langkah tertatih-tatih,
Ki Langgengpura berjalan ke arah barat meninggalkan
tempat pertempuran.
*** 9 Kakek berjubah putih itu terbaring di atas
bale-bale bambu. Di samping bale-bale bambu
duduk seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular.
Di belakangnya empat orang lelaki berusia empat
puluhan yang mengenakan pakaian hijau duduk
bersila. Mereka tengah mendengarkan pembicaraan
Pendekar Gila dengan kakek itu.
"Aku sungguh tak menduga kau akan datang
ke tempat kediamanku ini, Sena...," ujar kakek yang
ternyata Ki Hajar Barada. "Memang, sudah lama aku
mendengar julukanmu disebut-sebut para tokoh
persilatan yang berkunjung ke sini. Tapi, tak pernah
kumimpikan kau akan datang. Tempatku ini terlalu
jauh dan sulit ditempuh. Terima kasih atas semua
yang kau sampaikan kepadaku."
Kakek itu menggeliat, lalu memiringkan
tubuhnya menghadap Pendekar Gila. Ditatapnya
wajah tampan yang selalu tersenyum-senyum
sendirian itu. Meski baru kali ini berjumpa, Ki Hajar
Barada telah memaklumi sikap yang dimiliki Sena.
"Saya sendiri tidak mengira Ki Hajar ternyata
guru Ki Dungkut Marta. Ki Ageng Mantingan hanya
menceritakan kalau Ki Dungkut Marta memiliki
perguruan di Lembah Gunung Pring," ujar Sena
melihat Ki Hajar Barada terdiam untuk memberi
kesempatan kepadanya berbicara. "Aku tak bisa
berlama-lama berada di sini, Ki. Kalau benar surat
itu telah sampai di tangan Empat Bidadari Lembah
Neraka lewat Ki Langgengpura, sebaiknya secepat
mungkin aku menuju ke sana...."
Ki Hajar Barada mengangguk-anggukkan
kepala menyetujui ucapan Sena.
"Ya.... Kini semuanya kuserahkan kepadamu,
Sena. Rupanya sudah kehendak Hyang Widhi, aku
pasrahkan tugas itu kepadamu. Seperti yang
kusebutkan dalam suratku itu, aku berharap suatu
saat Kitab Candra Catur Pamukti akan sampai
kepada seorang pendekar sepertimu. Dalam usiaku
yang sudah mencapai satu abad tubuhku tak
mungkin mempertahankan kitab kuno itu. Hatiku
selalu dilanda kecemasan. Aku khawatir kitab itu
jatuh ke tangan orang-orang durjana. Aku tak tahu
apa yang akan terjadi dengan dunia persilatan jika
mereka dapat menguasai kitab itu. Itulah sebabnya
aku selalu berpesan kepada Dungkut Marta yang
banyak mengetahui tentang Kitab Candra Catur
Pamukti. Kupesan kepadanya agar selalu mengatakan kepada siapa saja bahwa kitab itu
sudah lenyap dari muka bumi ini. Dungkut memang
murid yang patuh. Dia selalu berbohong kepada
siapa pun yang menanyakan kitab itu. Orang-orang
hanya tahu kitab itu berisi petunjuk untuk sampai
pada tempat penyimpanan harta karun sebuah
kerajaan. Asal kau tahu saja, Sena. Kitab itu
sebenarnya berisi petunjuk tempat penyimpanan
senjata pusaka yang sangat ampuh...."
Kakek itu menghentikan ucapannya. Sena
Manggala mengangguk-angguk mengerti. Sejak
puluhan tahun lalu para tokoh persilatan memang
memperebutkan Kitab Candra Catur Pamukti.
Ternyata nama kitab itu pun hanya samaran agar
orang mengartikan sebagai suatu petunjuk untuk
mendapat kemuliaan. Candra berarti bulan. Catur
artinya empat. Sedangkan Pamukti mengandung arti
kemuliaan. Orang akan segera mengartikan sebagai
harta benda peninggalan kerajaan yang akan
membuat orang hidup berbahagia di dunia.
"Sena, Berangkatlah. Kuserahkan kepadamu
untuk menyelamatkan kitab itu. Berjalanlah sesuai
dengan petunjuk yang kukatakan tadi. Kuharap kau
dapat mendahului Langgengpura atau Empat
Bidadari Lembah Neraka." Ki Hajar Barada menepuk
bahu Pendekar Gila yang duduk bersila di samping
kanannya. Sena bangkit berdiri. Lalu, memberi hormat
kepada kakek berjubah putih. "Kumohon doa
restumu, Ki...," ujarnya sebelum melangkah mundur
dari hadapan Ki Hajar Barada.
Keempat murid Ki Hajar Barada menyertai
Sena sampai pagar halaman rumah yang terletak di
lereng Gunung Sumbing itu.
Keempat lelaki berpakaian hijau itu kelihatan
kagum sekali, melihat gerakan Sena yang berlari
begitu cepat. Dalam sekejap tubuh pemuda
berpakaian rompi kulit ular itu telah berada jauh.
Pendekar Gila memang tak ingin membuangbuang waktu. Segera dikerahkannya ilmu
lari 'Sapta Bayu' yang membuat dirinya melesat bagai angin!
*** Di dalam gua tempat kediamannya Nyai
Cangkring Abang tengah menerima kedatangan
empat anak buahnya, Empat Bidadari Lembah
Neraka. Nenek berpakaian longgar berwarna merah
itu menggulung lembaran surat yang baru saja
dibacanya. "Hi hi hi hi.... Kalian tak perlu mengikuti
petunjuk dalam surat ini. Aku sudah tahu
bangunan suci mana yang dimaksud Barada. Inilah
yang kutunggu-tunggu hampir setengah abad
lamanya. Baru kali ini ku tahu kalau kitab itu
tersimpan di sana. Sekarang, berangkatlah kalian
sesuai dengan petunjukku!" Nyai Cangkring Abang
kemudian menjelaskan petunjuk baru yang berbeda
dengan petunjuk dalam surat.
Rupanya, nenek itu sangat mengenal wilayah
selatan yang dijadikan tempat pembangunan
bangunan-bangunan suci berupa candi. Lebih dari
itu, ia ternyata mengetahui siapa Ki Hajar Barada
sesungguhnya. Meskipun tadinya Nyai Cangkring
Abang tidak menduga Ki Hajar Baradalah tokoh
yang menyimpan Kitab Candra Catur Pamukti.
Pada zamannya Nyai Cangkring Abang
memang seangkatan dengan Ki Hajar Barada. Hanya
Nyai Cangkring Abang termasuk tokoh golongan
hitam sedangkan Ki Hajar Barada sebaliknya. Dalam
usianya yang telah mencapai satu abad Nyai
Cangkring Abang ternyata masih kuat. Itu terjadi
karena ia memiliki ilmu yang mampu merubah
bentuk tubuhnya menjadi muda kembali. Ilmu
itulah yang digunakannya untuk menikmati
kehidupan bersama para perjaka peliharaannya.
Setiap kali hendak bercengkerama bersama
para pemuda di dalam gua ia selalu merubah
tubuhnya. Dengan menggunakan darah dari
pemuda-pemuda yang dibunuhnya, setelah bosan
dikerjai, nenek itu menjelmakan diri menjadi
seorang wanita muda berwajah cantik jelita.
"Sudah. Tunggu apa lagi"!" ujar Nyai
Cangkring Abang kepada anak buahnya. "Aku akan
mengawasi kalian dari sini. Jangan khawatir jika
ada yang berbuat usil terhadap kalian. Aku akan
segera datang membantu."
"Baik. Kami mohon diri, Nyai!" ujar Isyana.
Gadis tertua di antara keempat dara cantik. Gadis
berpakaian merah dengan ikat pinggang hijau itu
segera bangkit dari duduknya dan melangkah
meninggalkan ruangan. Ketiga kawannya bergegas
mengikuti. Keempat gadis cantik itu tidak melewati pintu
depan yang biasa dilewati Ki Langgengpura. Berarti
mereka tidak harus menuruni tebing tinggi dan licin
dengan menggunakan tali. Mereka berjalan lewat
belakang. Ternyata di sana terdapat sebuah pintu
yang langsung tembus dengan dataran di atas
lembah. Empat Bidadari Lembah Neraka segera
melesat ke arah barat. Suasana gelap menjelang
malam membuat tubuh-tubuh berpakaian merah itu
lenyap dari pandangan.
*** Ketika sampai di tempat mereka bertempur
melawan Ki Langgengpura siang tadi, Empat


Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bidadari Lembah Neraka menghentikan lari mereka.
Keempatnya tercengang melihat mayat Ki Langgengpura tidak berada di sana.
"Ke mana tua bangka itu?" tanya Isyana
sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat
itu. Memang malam sudah mulai turun. Tapi, mata
mereka yang tajam dan terlatih dapat melihat jelas.
Laksmi melangkah mendekati tempat tadi
siang mayat Ki Langgengpura tergeletak. Yang
didapatinya hanya bercak-bercak darah di tanah.
Kakinya pelahan mengikuti bekas-bekas darah.
Ketiga kawannya mengikuti apa yang dilakukan
Laksmi. Mereka berjalan menuruti bercak darah
yang ditinggalkan Ki Langgengpura.
"Tampaknya dia belum mampus, Isyana...,"
ujar Kinanti setengah bergumam.
"Hhh.... Ilmu apa yang dimiliki Ki Langgeng?"
sahut Isyana dengan wajah memperlihatkan
kegelisahan. "Aku yakin ini pasti jejak tua bangka
itu." Rasa curiga yang bercampur menyelimuti hati
keempat dara cantik itu. Itu memang beralasan. Ki
Langgengpura tokoh tua yang tak bisa dianggap
remeh. Mereka tidak tahu kalau Ki Langgengpura
memiliki ilmu yang mampu menahan rasa sakit.
Dengan begitu, tusukan dan babatan pedang
mereka tadi sebenarnya tidak dirasakan oleh Ki
Langgengpura. Namun karena merasa terdesak dan
tak mungkin bertahan dari gempuran Empat
Bidadari Lembah Neraka, Ki Langgengpura segera
mencari akal untuk menipu mereka.
Kakek itu memutuskan untuk mengalah.
Apalagi ketika menyadari ia tidak dapat memahami
petunjuk yang ada di dalam surat Ki Hajar Barada.
Sementara dia tahu benar Nyai Cangkring Abang
telah mengetahui banyak tentang Ki Hajar Barada.
Kesempatan itu segera dimanfaatkannya. Dan,
ternyata berhasil.
Keempat gadis berpakaian merah terus
melangkah mengikuti jejak yang ditinggalkan Ki
Langgengpura. Mereka berharap dapat menemukan
kakek itu. Namun sudah hampir tiga puluh tombak
jauhnya mereka berjalan, tetesan darah masih juga
terlihat. Sampai pada sebongkah batu cadas sebesar
kerbau mereka mendapati tetesan darah di atasnya.
Empat Bidadari Lembah Neraka kembali
menemui keanehan. Tetesan darah berhenti di atas
batu cadas yang berpermukaan rata itu.
"Hhh.... Aneh!" gumam Laksmi seraya
menggeleng-gelengkan kepala. Dia tak habis pikir
melihat kejadian ini. Apa yang telah terjadi pada diri
kakek itu sungguh tak masuk akal mereka. "Kita
kehilangan jejak di sini...," lanjutnya dengan
memandangi ketiga kawannya.
"Langgeng...! Langgeng Keparat, tunjukkan
dirimu! Hadapi Empat Bidadari Lembah Neraka
kalau kau memang lelaki sejati!"
Saking kesalnya Isyana berteriak-teriak
memanggil Ki Langgengpura. Namun tak ada
sahutan. Yang terdengar hanya gema suaranya.
Tiba-tiba.... "Hi hi hi hi...! Untuk apa kalian mencari-cari
Langgeng" Sampai kapan pun kalian tak akan
menemukannya. Dia memiliki ilmu lari secepat
angin yang mampu menerbangkan tubuhnya."
"Heh"!" Isyana terkejut mendengar suara yang
sangat dikenalnya itu. Siapa lagi kalau bukan suara
Nyai Cangkring Abang.
Laksmi, Kinanti, maupun Ratri menoleh ke
arah asal suara. Tetapi mereka tak melihat sosok
Nyai Cangkring Abang.
"Teruskan saja langkah kalian. Jangan
khawatir. Kalau dia menghalangi jalan kalian, aku
yang akan menghadapinya!" lanjut Nyai Cangkring
Abang yang rupanya melihat keempat anak buahnya
dari dalam gua.
Mendengar perintah Nyai Cangkring Abang,
Isyana segera memberi isyarat kepada ketiga
kawannya agar melanjutkan perjalanan. Keempat
dara cantik berpakaian merah itu pun melesat ke
arah barat. 10 Seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular
melompat-lompat dari satu batu ke batu lain yang
bersembulan di sungai besar dan berair deras.
Begitu riangnya pemuda tampan yang tak lain
Pendekar Gila menyeberangi sungai berair coklat itu.
Sebentar saja dia telah sampai di seberang.
Baru melangkah dua tindak Sena berhenti
karena matanya melihat sesuatu di atas pasir.
Langkahnya segera terayun mendekati. Terdapat
bercak-bercak darah yang belum lama mengering.
Sena meneliti ke sekitar tempat itu. Tidak
ditemukannya tetes darah lain. Ia merasa heran,
kenapa hanya di tempat ini ada tetesan darah. Sena
segera melesat ke arah barat. Baru beberapa tombak
dia kembali berhenti. Di depannya ditemui lagi
bercak-bercak darah.
Kakinya melangkah mengikuti arah yang
mungkin ditempuh pemilik darah. Setelah berjalan
sekitar dua puluh tombak, Sena kembali menemukan tetesan darah hanya pada satu tempat.
Pendekar Gila segera berpikir orang itu memiliki
ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.
Buktinya, dia mampu melesat sampai belasan
tombak. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu
tercenung. Kemudian, dia menajamkan telinganya
berusaha mendengar sesuatu. Namun, tak ada
suara yang mencurigakan. Hanya kicau burung,
desau angin, dan gemercik air sungai yang terantuk
batu-batu. Meski begitu, naluri kependekarannya
merasa ada sesuatu yang mencurigakan. Orang yang
meninggalkan bercak darah itu bergerak ke arah
yang sama dengan tujuannya.
Tubuh Sena melesat ke arah barat dengan
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Ia ingin orang yang dicurigai tidak bisa menangkap
suara gerakannya.
Matahari yang baru saja terbit belum mampu
mengusir seluruh kabut yang menyelimuti hutan.
Sena terus berlari sesuai petunjuk Ki Hajar Barada.
Sampailah dia di suatu tempat yang merupakan
lembah sangat luas. Di sebelah selatan terdapat
pegunungan yang memanjang bagai memagari
lembah hijau yang subur itu. Di tengah-tengah
lembah tampak sebuah bukit tidak seberapa tinggi.
Di atas bukit itulah berdiri sebuah bangunan candi.
Inilah bangunan dari batu yang oleh Ki Hajar
Barada disebut tempurung raksasa. Bangunan itu
memang mirip tempurung dalam keadaan tertelungkup. Di sini Sena tak lagi menemukan bercakbercak darah. Dia segera melesat ke arah
timur mengikuti petunjuk Ki Hajar Barada. Begitu melihat
bangunan lain setinggi delapan tombak, Sena tidak
berhenti tapi langsung berlari ke utara.
Setelah menyeberangi sebuah sungai yang
tidak seberapa lebar, Sena baru menemukan
bangunan yang digunakan untuk tempat menyimpan Kitab Candra Catur Pamukti. Jarak
Sena dengan bangunan candi setinggi lima belas
tombak itu masih terlalu jauh. Namun, langkahnya
terhenti karena di atas rumput dia kembali
menemukan bercak-bercak darah.
Karena menaruh curiga Sena melenting ke
atas dan hinggap di atas sebatang pohon besar. Dari
atas pohon itu dia berharap dapat melihat apa yang
terjadi di sekitar bangunan candi. Matanya yang
tajam memandang ke sekitar tempat itu. Tapi, tak
ada tanda-tanda yang mencurigakan.
Tak lama kemudian, empat sosok bayangan
merah melesat menuju pintu candi. Sosok-sosok
bayangan itu adalah Empat Bidadari Lembah
Neraka. "Itukah Empat Bidadari Lembah Neraka?"
tanya Sena dalam hati sambil terus mengawasi
mereka. Keempat dara cantik berpakaian merah itu
memasuki pintu candi melalui anak-anak tangga.
Saat mereka lenyap dari pandangan, melesatlah
sesosok bayangan mendekati pintu candi. Seorang
kakek yang mengenakan jubah kuning berlumuran
darah. Dialah Ki Langgengpura.
"Ini rupanya orang yang meninggalkan
tetesan darah itu...." Sena mengucek-ucek matanya,
seolah ingin meyakinkan pandangannya.
Ki Langgengpura duduk di lantai batu candi.
Rupanya, dia menunggu Empat Bidadari Lembah
Neraka keluar. Matanya memandangi ke sekitar
tempat itu, seperti khawatir kalau-kalau ada pihak
lain yang tengah mengintai.
*** Empat Bidadari Lembah Neraka telah sampai
di dekat pintu yang menuju ruang bawah tanah.
Mereka melangkah masuk, lalu menuruni anakanak tangga yang berjumlah sepuluh. Di anak
tangga kesepuluh mereka menemukan lorong gelap
yang di kanan kirinya berdinding batu. Air
bertetesan dari atas memperdengarkan suara
gemercik yang bergema. Hawa dingin dan pengap
membuat napas terasa sesak.
Keempat dara cantik berpakaian merah itu
menajamkan pandangannya untuk melihat di
tempat gelap. Tidak satu pun di sudut ruangan yang
lepas dari pengawasan mereka. Semakin ke dalam
semakin terasa ketegangan hati keempat dara itu.
Dan, semakin tinggi pula kewaspadaan mereka
untuk menjaga hal-hal yang tak terduga.
Isyana yang berjalan paling depan mendadak
menghentikan langkah. Gadis itu menoleh ke
belakang menatap ketiga kawannya.
"Buntu...," bisik Isyana, lirih.
Dua tombak di depan mereka sebuah dinding
batu hitam menghadang. Isyana menggelenggelengkan kepala merasa putus asa.
"Hhh.... Kita kembali ke atas!" usul Kinanti.
Lalu, membalikkan tubuh dan melangkah pergi.
"Tunggu! Kita lihat dulu barangkali ada pintu
rahasia di sini...." Laksmi melangkah mendekati
dinding batu penghalang. Namun....
Srrrak! "Akh!"
Laksmi menjerit pendek ketika tiba-tiba
tubuhnya terjeblos. Batu lantai yang diinjaknya
anjlok ke bawah. Untung dengan cepat gadis itu
meraih bibir lobang, sehingga tubuhnya menggantung dengan kedua tangan berpegangan
lantai. Serta-merta ketiga kawannya memegang
kedua tangan Laksmi. Mereka tersentak kaget ketika
melongokkan kepala ke dalam lobang. Terdapat
lobang besar yang sangat dalam, bahkan tak terlihat
dasarnya. "Gila. Sumur tanpa dasar!" seru Laksmi
setelah berhasil naik dengan dibantu ketiga
kawannya. "Mampuslah aku kalau terperosok ke
sana." Mereka kemudian dengan hati-hati memeriksa dinding batu penghalang lorong. Mereka
yakin akan menemukan pintu lain di tempat itu.
Perlahan-lahan Isyana dan Kinanti meraba batubatu bersegi empat yang tertata
rapi pada dinding.
"Jangan-jangan di sumur tanpa dasar itu
Kitab Candra Catur Pamukti tersimpan...." Laksmi
memandangi lobang yang tadi menjebloskannya.
"Tidak mungkin. Itu hanya penghalang bagi
siapa saja yang berusaha mengambilnya. Mungkin


Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah ada orang lain terperosok ke sana. Untung
saja kau sempat meraih lantai, Laksmi."
"Hei, lihat!" Kinanti berseru mendapati
sebuah batu yang disentuhnya bergerak ke dalam.
"Dorong terus!" perintah Isyana. Maka, didoronglah
batu persegi itu ke dalam.
Srrrak! Blukkk!
Laksmi dan Ratri berlompatan menghindar
ketika sekonyong-konyong sebuah batu besar
meluncur dari atas dan tepat jatuh pada lobang.
Lobang yang menjebloskan Laksmi kini tertutup
batu besar. Anehnya, batu itu begitu pas menempati
lobang sehingga kembali rata seperti semula.
Krrrek! Bersamaan dengan tertutupnya lobang itu,
dinding batu yang menghalangi lorong perlahan
terbuka. Empat Bidadari Lembah Neraka terbelalak
menyaksikan kejadian ini. Terbukalah dinding batu
setebal satu tombak itu.
Keempat dara berpakaian merah semakin
terperangah melihat pemandangan di depan mereka.
Di balik dinding yang terbuka ternyata terdapat
sebuah ruangan luas. Di sini keadaan sudah tidak
lagi gelap gulita.
Isyana memberi isyarat kepada ketiga
kawannya untuk masuk. Mereka segera melangkah
ke dalam. Entah dari mana asalnya sumber cahaya,
ruangan itu terang-benderang. Seolah semua batu
yang menjadi dinding ruangan dapat memancarkan
cahaya. Apa saja yang terdapat di dalam ruangan
tampak jelas. Sebuah meja batu selebar satu tombak
terletak di tengah ruangan. Berdiri di atas lantai
bagai sebuah altar persembahan. Pada dindingdinding batu ada bagian-bagian yang
menjorok ke dalam, seperti sebuah tempat untuk meletakkan
sesuatu. Namun, tak ada benda apa pun di
dalamnya. "Di mana kira-kira kitab itu disimpan?" tanya
Kinanti setelah beberapa lama memeriksa ruangan
tapi tak menemukan yang dicari.
"Coba kau ingat kalimat terakhir dalam surat
Ki Hajar Barada. Di tanganmu kitab itu berada...,
begitu bunyinya. Apa maksud kalimat itu,..?" ujar
Isyana dengan kening berkerut.
Keempat gadis cantik berambut panjang itu
tampak kebingungan. Mereka tak dapat memahami
maksud kata-kata terakhir dalam surat uang
ditujukan kepada Ki Dungkut Marta.
"Mungkin memang Ki Dungkut Marta sendiri
yang harus mengambil kitab itu.'" tukas Ratri yang
sejak tadi hanya membisu.
"Jangan terlalu polos mengartikan maksud
surat itu, Ratri. Kata-kata itu hanya kiasan yang
artinya jauh berbeda dengan bunyinya..,." Tiba-tiba,
terdengar suara tawa mengikik. "Hi hi hi hi...! Aku
lupa menerangkan kepada kalian kemarin," suara
itu milik Nyai Cangkring Abang yang entah dari
mana mengucapkannya. "Duduklah kau Isyana atau
Laksmi, atau siapa saja, di atas batu altar itu.
Pusatkan batin dan pikiran kalian kepada seorang
tokoh tua pemimpin Perguruan Bambu Wulung.
Laksanakan segera sebelum Langgengpura datang!
Si keparat itu tengah menunggu kalian di luar
Candi. Cepat!"
Isyana segera melangkah mendekati meja
batu berwarna hijau yang terdapat di tengah
ruangan. Gadis itu lalu duduk bersila dengan
memejamkan mata. Suasana hening menyelimuti
ruangan bawah tanah. Laksmi, Ratri, dan Kinanti
terdiam dengan perasaan tegang,
Beberapa saat kemudian, tubuh Isyana
tergetar. Keringat mengucur di kening dan lehernya
yang putih. Laksmi, Ratri, maupun Kinanti tak
mengerti apa yang tengah terjadi pada diri Isyana.
"Akh...!"'
*** Di tempat kediamannya, Ki Hajar Barada
yang terbaring di atas bale-bale bambu menyatukan
kedua telapak tangannya di depan dada. Tubuhnya
gemetaran hebat dengan keringat bersembulan di
kening dan leher. Keempat muridnya yang
menunggui terlihat kebingungan, tak mengerti.
Mulut kakek berusia seratus tahun itu
berkomat-kamit merapal mantra yang tak jelas
kedengaran. Lalu, meluncurlah kata-kata yang
didengar jelas oleh murid-muridnya.
"Jangan! Jangan kau datang ke sana. Jangan,
Dungkut!" dengan suara gemetar dan parau Ki Hajar
Barada mengucapkan kata-kata larangan itu.
"Jangan, Dungkut! Tenangkanlah dirimu.
Dunia akan kacau kalau Srintil sampai mendapatkan kitab itu!"
Keringat sebesar biji-biji jagung terus
bersembulan di kening Ki Hajar Barada yang tengah
berhubungan dengan arwah muridnya, Ki Dungkut
Marta. Ucapan larangan itu terus keluar dari
mulutnya. Semakin keras dan semakin jelas!
*** Di tempat lain, Nyai Cangkring Abang
ternyata tengah melakukan hal yang sama dengan
Ki Hajar Barada. Apa yang dilakukannya dari jarak
jauh itu ternyata suatu tandingan untuk melawan Ki
Hajar Barada. Di dalam ruangan pribadinya yang gelap
nenek itu berteriak-teriak memberi perintah kepada
Isyana. Ucapannya berkumandang di telinga Isyana
yang tengah melakukan semadi, duduk di atas batu
altar di dalam ruangan bawah candi.
Isyana yang bagaikan patung tak mampu lagi
menahan suara-suara yang terus memasuki
telinganya dan mempengaruhi pikirannya. Tubuh
gadis berpakaian merah itu bergetar hebat.
Rintihan-rintihannya terdengar parau dan semakin
keras. Glaaar...! Suara menggelegar terdengar bersamaan
dengan runtuhnya dinding batu di belakang Isyana.
Laksmi, Ratri, dari Kinanti terkejut bukan main.
Sesosok kakek berjubah ungu muncul dari
reruntuhan batu-batu dinding. Di tangan lelaki
berambut putih yang tak lain Ki Dungkut Marta itu
tergenggam sehelai kulit berwarna putih.
Ki Dungkut Marta berjalan mendekati Isyana
yang kini terkulai lemas di atas batu. Dilemparkannya lembaran kulit yang tak lain Kitab
Candra Catur Pamukti. Wajah Ki Dungkut Marta
yang pucat pasi tidak memperlihatkan senyum
sedikit pun. Kakek itu seperti sedang menderita
suatu kekalahan. Setelah melemparkan kitab, sosok
Ki Dungkut Marta mendadak lenyap dari pandangan. Laksmi, Ratri, dan Kinanti terbengongbengong melihat kejadian di luar akal sehat
itu. Suatu peristiwa gaib yang sangat aneh. Sampai
keadaan di ruangan itu kembali sunyi bam mereka
tersadar. Ketiganya bergegas mendekati Isyana yang
terkulai tak sadarkan diri.
"Isyana...! Isyana... Bangunlah!" bisik Laksmi
dan Kinanti di telinga Isyana. Ratri memijit-mijit
tumit Isyana dengan keras.
Isyana menggeliat disertai rintihan lirih dari
mulutnya. "Di mana kita..." Apa yang terjadi... Laksmi,
Ratri, Kinanti?"
Bagai orang baru bangun dari mimpi panjang,
gadis itu bertanya-tanya dengan wajah memperlihatkan rasa heran.
"Kita berhasil, Isyana. Lihat..., kitab itu
sekarang ada di tangan kita. Ayo, kita segera
keluar...!"
"Pulihkan dulu tenagamu, Isyana. Kita akan
menghadapi Langgengpura," ujar Laksmi menyela
ucapan Kinanti.
Isyana segera duduk bersila. Kedua telapak
tangannya disatukan di depan dada. Mata gadis itu
terpejam. Beberapa kali gadis cantik itu menarik
napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya
perlahan untuk memulihkan tenaga dalam yang
banyak terkuras tadi.
Setelah Isyana menyelesaikan semadinya,
Empat Bidadari Lembah Neraka melangkah keluar
melalui jalan yang tadi mereka lewati.
*** 11 "Pendekar Gila...."
Sena tersentak kaget mendengar bisikan di
telinganya. Ia tak tahu dari mana suara itu berasal.
Yang jelas, terasa begitu dekat. Namun, sesaat
kemudian dia teringat suara itu milik Ki Hajar
Barada. Sena tersenyum. Dengan mata tetap tertuju
ke pintu candi, Sena menyahuti bisikan itu dengan
mengerahkan ilmu pengirim suara jarak jauh.
"Aku telah sampai di bangunan suci, Ki...."
"Pendekar Gila, Kitab Candra Catur Pamukti
telah jatuh ke tangan anak buah Nyai Srintil. Kau
datang terlambat. Mereka telah mendahuluimu. Kini
kitab itu berada di tangan mereka...," jelas Ki Hajar
Barada. "Ah. Siapa Nyai Srintil, Ki...?" Sena belum
mengenal nama tokoh itu.
"Nyai Srintil adalah tokoh tua seangkatan
denganku. Ia mempunyai julukan Nyai Cangkring
Abang..." "Apa hubungannya dengan Empat Bidadari
Lembah Neraka...?" tanya Sena.
"Aku tidak tahu pasti, Sena. Tapi, di mana
mereka?" Ki Hajar Barada balik bertanya.
"Aku melihat empat dara berpakaian merah
memasuki candi. Mungkin mereka yang berjuluk
Empat Bidadari Lembah Neraka. Yang ku tahu, ciriciri mereka mengenakan pakaian
merah." "Hhh.... benar, Sena. Mereka berarti anak
buah Srintil! Jelas, mereka anak buah Srintil. Baru
ku tahu kini Empat Bidadari Lembah Neraka
ternyata anak buah perempuan laknat itu. Sena,
berhati-hatilah terhadap mereka. Empat Bidadari
Lembah Neraka hanya boneka-boneka yang
dikendalikan ilmu iblis Nyai Cangkring Abang.
Musuhmu yang utama bukan mereka, tapi Nyai
Cangkring Abang. Usahakan jangan sampai mereka
terbunuh, Sena. Lenyapkan saja pengaruh iblis Nyai
Cangkring Abang!"
"Heh"!" Sena tercengang melihat keempat
gadis berpakaian merah telah melompat keluar dari
bangunan candi. "Ki Hajar, mereka kini berhadapan
dengan tokoh tua yang tubuhnya berlumuran
darah..." "Itu pasti Langgengpura. Sena, kuserahkan
kepadamu untuk menyelamatkan kitab itu...!"
Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Ki
Hajar Barada. Ketika Sena mencoba menghubungi
lagi, tidak ada sahutan dari kakek ahli waris Kitab
Candra Catur Pamukti itu, Sena tak tahu apa yang
terjadi dengan Ki Hajar Barada. Perhatiannya segera
tertuju ke tempat pertarungan Empat Bidadari
Lembah Neraka melawan Ki Langgengpura
Pertarungan seru berlangsung di depan pintu
candi. Meskipun luka-luka parah telah diderita Ki
Langgengpura, kakek itu masih kelihatan tegar.
Tubuhnya yang berlumur darah melesat dan
melenting seraya memutar pedang. Di tengah
gempuran dahsyat keempat lawannya, dia tetap
mampu mengatasi.
"Heaaa...!"
Lengking penuh kemarahan dikeluarkan
Laksmi yang mencelat ke atas memburu Ki
Langgengpura. Trang! Trang! Suara pedang beradu terdengar beberapa kali.
Bayangan kuning berkelebat di tengah kepungan


Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bayangan kemerahan yang bergerak sangat cepat.
Suara-suara benturan pedang beruntun dan cepat
sekali. Rupanya, mereka telah mengerahkan ilmu
andalan. Meskipun keempat dara cantik itu tahu lawan
memiliki ilmu kebal, mereka tidak putus asa.
Keempatnya terus melakukan serangan bertubi-tubi.
Sambil menunggu datangnya bantuan yang
dijanjikan Nyai Cangkring Abang, Empat Bidadari
Lembah Neraka terus menyerang bagai tak ingin
memberi kesempatan pada lawan untuk balas
menyerang. *** "Heeeaaa...!"
Werrrsss...! Tiba-tiba, kakek yang tubuhnya telah penuh
luka-luka mengeluarkan bentakan keras menggelegar. Dari tubuhnya yang berputar kencang
bagai gasing berhembus angin keras laksana badai.
Angin itu menghempaskan tubuh keempat dara
cantik berpakaian merah. Seketika tubuh-tubuh
Empat Bidadari Lembah Neraka berpentalan lalu
jatuh bergulingan di tanah.
Keempat dara cantik itu meringis-ringis
menahan rasa nyeri di tubuhnya. Mereka tak tahu
ilmu apa yang digunakan Ki Langgengpura. Yang
jelas, akibat bentakan menggelegar yang diiringi
deruan angin itu menimbulkan rasa nyeri di sekujur
tubuh mereka. Keempat dara berpakaian merah tak
mampu bangkit kembali. Tulang-belulang mereka
seperti dilolosi. Untuk mengangkat pedang saja tak
mampu. Tenaga dalam yang sangat tinggi telah
disalurkan lewat bentakan keras kakek berjubah
kuning. Pendekar Gila yang menyaksikan pertarungan
dari jarak jauh saja merasakan getaran tadi. Sena
menggeleng-geleng penuh takjub melihat kejadian
itu. Terkesima juga pemuda berpakaian rompi ini
menyaksikan dahsyatnya ilmu yang dimiliki Ki
Langgengpura. Kini ia baru maklum, mengapa Ki
Dungkut Marta yang konon hampir tak tertandingi
dapat dikalahkan.
"He he he he...!"
Sambil melangkah tersaruk-saruk,
Ki Langgengpura terkekeh melihat keempat lawannya
tergeletak tidak berdaya. Didekatinya Isyana yang
masih menggenggam Kitab Candra Catur Pamukti,
lalu diambilnya kitab itu.
"He he he.... sungguh lancang kalian
mengambil barang yang bukan miliknya. Akulah
sekarang pewaris tunggal kitab ini...!"
Ki Langgengpura melangkah meninggalkan
Empat Bidadari Lembah Neraka. Keempat gadis
cantik itu hanya mampu memandang dengan hati
penuh kejengkelan. Namun apa daya, tubuh mereka
lemas akibat pengaruh ilmu tenaga dalam lawan.
Hanya satu harapan mereka, menanti kedatangan
Nyai Cangkring Abang.
Dengan wajah menyiratkan kepuasan, Ki
Langgengpura terus melangkah meninggalkan
pelataran candi. Ia kini yang berhak atas kitab kuno
itu. Ki Ragil telah binasa dibantai Empat Bidadari
Lembah Neraka. Begitu pula Ki Aji Darmagati,
pemimpin Perguruan Tapak Bumi. Dan, terakhir Ki
Dungkut Marta yang sahabatnya dan orang
kepercayaan Ki Hajar Barada. Siasat yang
diterapkannya dengan menggabungkan diri kepada
Nyai Cangkring Abang dan memperalat Empat
Bidadari Lembah Neraka ternyata berhasil.
*** Sampai sejauh itu Pendekar Gila belum
melakukan tindakan apa pun. Dia masih ingin
mengamati apa yang terjadi selanjutnya. Begitu Ki
Langgengpura lenyap dari pandangan, sesosok
bayangan merah berkelebat menuju pelataran candi.
"Inikah Srintil itu...?" gumam Sena. Matanya
terus tertuju kepada sosok bayangan merah yang
ternyata seorang nenek.
Perempuan tua yang tak lain Nyai Cangkring
Abang atau Srintil menggerakkan telapak tangan
kanannya seperti menaburkan sesuatu. Tangan
kirinya menggenggam sebatang kayu sebesar lengan.
Warnanya hitam mengkilap. Batang kayu sepanjang
tombak itu dipenuhi duri-duri besar dan runcing.
Inilah senjata ampuh andalannya.
"Hi hi hi hi...! Bangunlah, Anak-anakku. Dia
memang bukan lawan kalian," ujar Nyai Cangkring
Abang sambil mengikik nyaring.
Keempat dara cantik berpakaian merah
langsung bangkit berdiri. Tubuh-tubuh sintal dan
ramping itu kembali segar seperti semula. Suatu
kekuatan yang mengandung hawa murni telah
disalurkan melalui telapak tangan kanan Nyai
Cangkring Abang.
Keheranan Pendekar Gila semakin menjadi
menyaksikan kehebatan nenek berpakaian merah.
Bagi Sena, untuk memberikan pertolongan seperti
itu harus mengerahkan hampir seluruh tenaga
dalamnya. Itu pun dilakukan dengan meletakkan
kedua telapak tangan pada tubuh orang yang
ditolongnya. "Ah ah ah.... Ternyata di dunia ini banyak
tokoh-tokoh golongan hitam yang berilmu sangat
tinggi...." Sena menggeleng-gelengkan kepala.
Ketika dilihatnya Nyai Cangkring Abang dan
Empat Bidadari Lembah Neraka mengejar Ki
Langgengpura, Sena segera melompat dari atas
pohon. Seluruh kemampuan lari cepatnya dikerahkan agar tidak menimbulkan suara.
Pendekar Gila mengambil jalan lain untuk dapat
menyusul mereka. Dalam waktu singkat Sena
berhasil menemukan Ki Langgengpura.
Dari kejauhan Sena terus menguntit kakek
itu. Ki Langgengpura ternyata memiliki ilmu
peringan tubuh yang sudah mencapai tingkat
sempurna. Tubuhnya mampu melesat sampai
puluhan tombak. Itu sebabnya percik-percik darah
yang ditemui Sena tidak tercecer seperti layaknya
orang berlari. *** "Hi hi hi hi...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa melengking nyaring.
Ki Langgengpura menghentikan larinya. Sena
segera menyelinap di balik sebatang pohon besar.
Sena belum melihat siapa pemilik suara tawa. Tapi,
dia dapat menduga orang itu pasti Nyai Cangkring
Abang. "Mau lari ke mana, Langgeng" Sampai ke
ujung dunia sekalipun aku akan mengejarmu!"
"Bedebah! Tunjukkan wujudmu, Nenek Peyot!
Kalau kau memang betina sejati, hadapi aku
sekarang!"
"Hi hi hi hi.... Lupakah kau pada
kekalahanmu dulu denganku" Jangan harap akan
menang menghadapi Nyai Srintil, Langgeng! Barada
saja tak mampu menandingiku sekarang. Asal kau
tahu saja, dia telah mampus beberapa saat yang
lalu. Barada tak mampu menahan kedahsyatan
ilmuku dalam pertarungan jarak jauh mempertahankan kitab itu...."
Ki Langgengpura tampak terkejut mendengar
kabar kematian guru sahabatnya. Dia tak
menyangka Ki Hajar Barada akan tewas di tangan
Nyai Cangkring Abang. Yang dia tahu, belum pernah
nenek ini mampu mengalahkan kehebatan Ki Hajar
Barada. Keterkejutan itu juga melanda hati Pendekar
Gila yang mengawasi dari kejauhan. Pantas, setelah
memberikan pesan terakhir Ki Hajar Barada tak
dapat dihubungi lagi.
Namun, sebagai tokoh tua yang sudah
kenyang makan asam garam kehidupan rimba
persilatan, Ki Langgengpura segera menutupi rasa
kagetnya dengan tawa mengejek.
"Hua ha ha ha...! Percuma kau binasakan Ki
Hajar Barada, Nyai Srintil. Kitab itu sekarang berada
di tanganku. Asal kau tahu saja, Srintil.
Kekalahanku beberapa bulan lalu hanya tipu
muslihat untuk mengelabuhimu, agar kau dapat
memperoleh kitab ini dengan memperalat anak
buahmu!" Ki Langgengpura membuka kedok dirinya.
"Bedebah! Keparat busuk kau, Langgeng!"
geram Nyai Cangkring Abang.
Makian itu disusul dengan teriakan melengking yang memekakkan telinga. Sesosok
bayangan merah berkelebat cepat di depan Ki
Langgengpura. Meskipun tersentak kaget, Ki Langgengpura
masih sempat melompat ke belakang menghindari
serangan cepat itu. Kini, Nyai Cangkring Abang
berdiri tiga tombak di hadapan Ki Langgengpura.
Diangkatnya tinggi-tinggi tongkat hitam berduri, lalu
diputarnya. Suara menderu mengiringi putaran
tongkat Seiring dengan itu berhembus angin
kencang yang mengandung hawa panas menyengat
"Keluarkan setinggi apa pun kemampuanmu,
Pengkhianat!" bentak Nyai Cangkring Abang
menantang Ki Langgengpura.
Tongkat hitam mengkilat itu diputar semakin
cepat. Deru angin pun berubah menjadi suara
berkesiutan tajam.
Melihat lawan mengerahkan ilmu andalannya,
Ki Langgengpura tidak tinggal diam. Tubuh kakek
yang berlumuran darah itu menggigil. Kedua
tangannya menggenggam pedang dan diangkat tinggi
sampai melewati kepala. Kemudian, tubuhnya
berputar kencang laksana sebuah gasing.
Bersamaan dengan bergeraknya tubuh Nyai
Cangkring Abang, Ki Langgengpura melesat
memapak. Kakek ini rupanya merasa yakin akan
kemampuannya. Sehingga, dia nekat untuk saling
mengadu kekuatan dengan lawan. Bunyi berkesiutan bercampur deru angin dari tongkat Nyai
Cangkring Abang dan pedang Ki Langgengpura
terdengar aneh dan menggiriskan.
Trrrak! Trrraaak!
Tubuh kedua orang itu saling belit dalam
gerakan yang sangat cepat. Suara benturan pedang
dan tongkat berduri berkali-kali terdengar.
Beberapa jurus tingkat tinggi telah mereka
keluarkan. Namun, belum ada tanda-tanda siapa
yang akan memenangkan pertarungan sengit itu.
Tiba-tiba, pekikan menyayat terdengar bersamaan dengan terlontarnya tubuh Nyai
Cangkring Abang. Nenek berpakaian merah itu
bergulingan beberapa tombak jauhnya. Namun,
dengan penuh kegeraman dia segera melompat
bangkit. "He he he he...! Itu baru jurus awal dari
Pedang Seribu, Nyai Srintil," ejek Pendekar Pedang
Seribu dengan terkekeh. Ejekan itu dilanjutkan
dengan memasukkan pedang ke dalam warangka
yang tersampir di pundak. Kakinya kemudian
melangkah ke samping seraya memandangi Nyai
Cangkring Abang dengan menyipitkan sebelah
matanya. "Cuih! Jangan besar kepala dulu, Langgeng!
Aku tahu seberapa tinggi ilmu yang kau miliki....


Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jaga seranganku!"
Tak mampu menahan kesabarannya, Nyai
Cangkring Abang melesat sambil mengibaskan
tongkat berduri di tangannya.
Wuuut! *** Kedua sosok berpakaian merah dan kuning
itu berkelebat membangun serangan kembali.
Sena masih memperhatikan dari jauh
pertarungan kedua tokoh tua itu. Ia tak ingin
bertindak gegabah mencampuri urusan mereka.
Meski begitu, Sena tetap akan melaksanakan
amanat Ki Hajar Barada. Sekarang lebih baik
menunggu siapa yang akan keluar sebagai
pemenang. Baru kemudian menentukan sikap
untuk meminta kembali kitab itu.
Sena membelalakkan mata melihat Nyai
Cangkring Abang melesat jauh dari tempat
pertarungan. Sena menduga nenek itu tak mampu
menghadapi Ki Langgengpura. Namun ternyata
dugaan itu meleset.
Nenek berambut panjang itu buru-buru
duduk bersila di atas rerumputan. Tongkat
hitamnya digenggam dengan kedua belah tangan
dan diletakkan persis di depan wajah. Sesaat
kemudian, tongkat itu berubah kemerahan dan
memancarkan cahaya yang terus membungkus
tubuh Nyai Cangkring Abang.
Ki Langgengpura yang menyaksikan lawannya
mengerahkan ilmu aneh segera menghentikan
langkah. Tiba-tiba, dirasakan ada hawa panas
menyengat lebih keras dari yang pertama. Segera
dikerahkannya seluruh kekuatan tenaga dalam
untuk menahan pengaruh hawa panas itu.
Tubuhnya menggigil.
"He he he he...! Kerahkan seluruh Ilmu Pati
Rasa dan kekebalan tubuhmu, Langgeng. Hayo...,
hadapi ilmu 'Tongkat Api Neraka'-ku ini...!" Kini,
ganti Nyai Cangkring Abang yang mengejek
lawannya. Tubuh nenek itu kemudian bangkit berdiri
dan melesat ke arah lawan. Gerakannya begitu cepat
hingga tak terlihat mata Ki Langgengpura. Karena,
kakek berjubah kurung berlumuran darah itu
sebentar-sebentar
memejamkan mata dalam usahanya menahan serangan hawa panas.
Srrraaats! Glaaar...!
Pekikan menyayat mengiringi terlemparnya
tubuh Ki Langgengpura. Lelaki berpakaian kuning
itu melayang beberapa tombak dan baru berhenti
ketika menabrak sebatang pohon besar. Tubuhnya
telah hangus kehitaman ketika terbanting di bawah
pohon. Saat itu juga nyawanya melayang ke alam
baka! *** "Nyai...! Bagaimana kitab itu?" Isyana terkejut
melihat tubuh Ki Langgengpura yang hangus. Gadis
itu rupanya mengkhawatirkan kitab Candra Catur
Pamukti yang masih tersimpan di balik pakaian Ki
Langgengpura. Kekhawatiran itu juga melanda Laksmi, Ratri,
dan Kinanti yang telah tiba di tempat itu. Mereka
terlambat sampai karena tentu saja kemampuan lari
cepat Empat Bidadari Lembah Neraka masih di
bawah Nyai Cangkring Abang.
"He he he.... Jangan khawatir. Kitab itu tak
akan hancur oleh ilmu apa pun...," ujar Nyai
Cangkring Abang seraya melangkah menghampiri
mayat Ki Langgengpura. Nenek berpakaian merah
itu membuka pakaian Ki Langgengpura yang sudah
hangus. Ternyata ucapannya benar. Kitab yang hanya
terdiri dari sehelai kulit berwarna putih itu masih
utuh. Diambilnya kitab itu lalu disimpan di balik
pakaiannya. "Hi hi hi hi...! Kini tercapai sudah cita-citaku
untuk memperoleh kitab ini." Nyai Cangkring Abang
tertawa gembira. "Aku akan mempelajari isinya
untuk mendapatkan senjata ampuh yang tak ada
bandingannya di dunia ini. Kepada kalian berempat,
selesai sudah tugas kalian!"
Nenek itu lalu memberi isyarat kepada Empat
Bidadari Lembah Neraka agar mengikutinya.
Tubuhnya melesat pergi, disusul keempat dara
cantik berpakaian merah.
*** 12 "Nyai Srintil..., berhenti!"
Nyai Cangkring Abang dan Empat Bidadari
Lembah Neraka tersentak
kaget mendengar seseorang memanggilnya. Mereka segera menghentikan larinya dan bergegas menoleh ke
belakang. Seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular
telah berdiri sekitar sepuluh tombak di belakang
mereka. Pemuda itu tertawa cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepalanya. Sikap konyol dan
lucunya membuat Nyai Cangkring Abang mengerutkan kening. Begitu pula keempat dara
cantik berpakaian merah.
"Apa urusanmu menghentikan langkahku,
Anak Muda?" tanya Nyai Cangkring Abang yang
memiliki nama asli Srintil.
"Aha. Aku ingin meminta Kitab Candra Catur
Pamukti itu kalau kau memperbolehkan, Nyai...,"
jawab pemuda berambut ikal yang tak lain Sena
Manggala. Mendengar permintaan konyol itu, Empat
Bidadari Lembah Neraka saling berpandangan.
Sementara Nyai Cangkring Abang terdiam. Senyum
sinisnya tampak tersungging di bibirnya yang
kecoklatan. "Siapa kau sebenarnya, Bocah Edan?" tanya
Laksmi. Gadis ini memang paling tidak sabaran. Ia
cepat naik pitam jika melihat sesuatu yang tak
disukai. "Dari mana kau kenal nama Nyai Srintil..."!"
lanjutnya dengan mata tajam menatap Sena yang
terus cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi hi.... Siapa yang tak kenal dengan
nama Nyai Srintil?" jawab Sena sambil menggelenggelengkan kepala.
"Jawab pertanyaanku. Jangan main-main!"
bentak Laksmi. Kakinya melangkah maju setindak.
"Ba... ba... baik, Nona. Ah ah aha.... Begitu
saja marah...." Sena pura-pura gugup. "Aku diutus
Ki Hajar Barada untuk mengambil Kitab Candra
Catur Pamukti. Maka, kuminta agar kalian
menyerahkannya kepadaku. Itu kalau kalian
memperbolehkannya..."
"Heh. Kalau tidak?" desak Laksmi.
"Aku tetap memintanya...," sahut Sena cepat.
"Bocah edan. Langkahi dulu mayat Empat
Bidadari Lembah Neraka! Mampus kau!" Laksmi
melompat ke arah Sena.
"Hi hi hi...!"
Sena tertawa mengejek sambil menggerakkan
kaki ke samping kanan. Begitu serangan tangan
kosong Laksmi sampai di depan wajahnya, tubuh
Sena meliuk gemulai mengelakkan serangan itu.
Serangan Laksmi pun hanya mengenai
tempat kosong. Namun, dengan cepat kaki kiri gadis
cantik itu menendang ke dada Sena.
Wuuut! "Haits! Hampir, Nona...." Sena kembali
meliukkan tubuhnya ke belakang.
Mendengar ejekan itu, Laksmi bertambah
marah. Wajahnya memerah dengan mata berkilat.
Kinanti, Isyana, dan Ratri terheran-heran menyaksikan pertarungan itu. Pemuda berpakaian
rompi kulit ular dapat dengan mudah mengelakkan
setiap serangan Laksmi.
"Boleh juga pemuda ini!" ujar Isyana
menggeleng-gelengkan kepala. "Lihat, tak satu pun
serangan Laksmi yang mengenai sasaran!"
Rupanya, Laksmi telah telanjur menganggap
remeh lawan. Itu karena penampilan dan sikap Sena
yang mirip orang gila. Sehingga gadis itu tidak
mengeluarkan pedangnya. Laksmi ternyata tak
mampu mengimbangi ilmu Pendekar Gila.
Melihat Laksmi semakin kewalahan, Isyana
segera memberi isyarat kepada Kinanti dan Ratri
agar membantunya. Ketiga gadis itu pun merangsek
maju mengepung Sena Manggala.
Kini terjadilah pertarungan sengit antara
Empat Bidadari Lembah Neraka melawan Pendekar
Gila. Keempat dara cantik itu tetap tidak
menggunakan senjata mereka. Ini membuat Sena
tidak menemukan kesulitan dalam menghadapi
mereka. Tendangan dan pukulan Empat Bidadari
Lembah Neraka terus mencecar tubuh Sena.
Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu dengan
mudah mengelakkan dengan lentingan dan lompatan. Gerakan kedua tangannya yang seperti
tak bertenaga sesekali memukul ke arah dada atau
perut lawan. Sampai beberapa jurus pertarungan itu
Sena belum juga mendaratkan pukulannya.
Rupanya, Pendekar Gila masih teringat pesan
Ki Hajar Barada bahwa empat dara cantik ini hanya
boneka-boneka yang dikendalikan Nyai Cangkring
Abang. Inilah yang membuat Sena tak ingin
membunuh Empat Bidadari Lembah Neraka.
Meskipun dia tahu benar bagaimana sepak terjang
empat dara cantik ini.
Laksmi yang sudah tak sabar ingin segera
menjatuhkan lawan mencabut pedang yang
tersampir di pundak. Gerakan itu diikuti ketiga
kawannya. Makin beringas sekarang keempat dara
berpakaian merah itu. Dengan gerakan yang hampir
sama mereka memutar dan mengibaskan pedangnya. Siut! Siut! Siut!
Empat Bidadari Lembah Neraka berlompatan
menerjang Pendekar Gila dengan babatan dan
tusukan yang dilancarkan dengan menggunakan
tenaga dalam. Suara berkesiutan dari pedangpedang yang berputar menandakan
mereka telah mengerahkan tenaga dalam tinggi.
Melihat perubahan sikap dan raut wajah
keempat dara cantik itu, Sena pun tak ingin
bertindak gegabah. Sekali saja terlena pedangpedang Empat Bidadari Lembah Neraka
akan memutus nyawanya.
Ketika serangan gencar itu mengurung
dirinya. Pendekar Gila melentingkan tubuh ke atas.
"Hiaaa...!"
Namun, di luar dugaan Sena, Empat Bidadari
Lembah Neraka ternyata telah bergerak lebih dulu.
Mereka memburu tubuh Sena yang melayang di
udara. Dalam sekejap saja Pendekar Gila tampak
kewalahan menghadapi serangan gencar mereka.
Begitu kompak dan serentaknya keempat dara
cantik berpakaian merah melancarkan serangan.
Babatan dan tusukan pedang mereka terus
berdatangan. Secepat kilat pemuda berompi kulit
ular itu meluncur turun dan menjejakkan kaki
dengan ringan di tanah.
Hampir bersamaan Empat Bidadari Lembah
Neraka meluncur turun. Belum sampai kaki mereka
di tanah, keempatnya segera melancarkan serangan
susulan yang tak kalah dahsyatnya ketika masih
berada di udara. Sena secepat kilat melempar
tubuhnya ke belakang, lalu bergulingan di tanah.
Melihat lawan mereka bergulingan, Empat Bidadari
Lembah Neraka memburu dengan babatan dan
tusukan.

Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gulingan Sena bergerak cepat menghindari
serangan lawan-lawannya. Ketika terpaut dua
tombak dengan mereka, dengan bertumpu pada
kedua telapak tangan, Sena melenting ke atas dan
bersalto beberapa kali. Begitu mendarat di tanah dia
telah menyatukan kedua telapak tangannya di
depan dada. "Heaaat...!"
Wuuus! Dengan diiringi bentakan keras Sena
menghentakkan kedua telapak tangannya ke arah
Empat Bidadari Lembah Neraka. Seketika itu
melesat serangkum angkin kencang yang telak
menghantam keempat dara cantik berpakaian
merah. Empat Bidadari Lembah Neraka terlempar ke
belakang beberapa tombak jauhnya. Mereka
terhantam pukulan 'Inti Bayu' Pendekar Gila. Sena
mengejar tubuh keempat lawannya yang masih
melayang di udara. Kemudian dengan gerakan yang
sulit diikuti mata, karena sangat cepatnya,
tangannya berkelebat melakukan totokan pada
tubuh keempat dara cantik itu.
Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!
Tubuh Empat Bidadari Lembah Neraka
berjatuhan ke tanah dengan tubuh lunglai. Jalan
darah mereka telah terbelenggu. Hanya keluhan
pendek terdengar dari mulut mereka.
Pendekar Gila segera membalikkan tubuh
menghadapi Nyai Cangkring Abang yang terkesima
melihat perbuatannya.
"Aha. Bolehkah aku minta kitab itu, Nyai
Srintil...?" tanya Sena sambil cengengesan.
"Anak Muda, apa hubunganmu dengan Singo
Edan dari Gua Setan?" Tiba-tiba Nyai Cangkring
Abang melontarkan pertanyaan yang sungguh di
luar dugaan Sena.
"He he he...!" Sena tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kau di sini, sedang
Singo Edan jauh di sana. Rupanya kau mengenalnya
juga, Nyai Srintil."
"Heh. Percuma aku malang-melintang di
rimba persilatan kalau tidak mengenalnya. Jawab
pertanyaanku, Anak Muda!"
"Baik. Aku murid Singo Edan!" jawab Sena
tegas, membuat Nyai Cangkring Abang membelalakkan mata kaget.
Pantas tingkah lakunya mirip orang gila. Jadi,
diakah rupanya yang disebut-sebut kalangan
persilatan sebagai Pendekar Gila" gumam Nyai
Cangkring Abang dalam hati.
"Lalu, dari mana kau kenal nama mudaku?"
"Ki Hajar Barada," sahut Sena. "Dia mengutus
aku untuk mengambil Kitab Candra Catur Pamukti."
"Jangan bermimpi kau dapat mengambil kitab
ini, Pendekar Gila. Sekali berada di tanganku, siapa
pun takkan mampu merebutnya lagi!"
"Aha. Kalau begitu terpaksa aku berbuat
lancang melawan orang tua sepertimu, Nyai Srintil.
Aku, seperti juga Ki Hajar Barada, tak rela kalau
kitab itu jatuh ke tangan orang sepertimu...."
"Sejak semula kau telah kuanggap lancang,
Bocah Edan! Kita sama-sama tidak berhak atas
kitab ini. Tapi, kini telah berada di tanganku. Maka,
hadapi Nyai Cangkring Abang kalau kau berhasrat
ingin memilikinya."
Nyai Cangkring Abang menggeser langkahnya
ke kanan. Matanya terus menatap tajam wajah
Pendekar Gila. "Ah ah ah. Aku hanya ingin meminta kitab itu
dari tanganmu, Nyai. Maafkan jika aku terpaksa
menggunakan kekerasan."
"Kurang ajar! Heaaa...!"
*** 13 Nyai Cangkring Abang melesat melancarkan
serangan dengan memutar senjata andalannya yang
berupa tongkat hitam berduri. Begitu cepat
gerakannya, dalam sekejap telah berada di dekat
tubuh Pendekar Gila.
Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu
melentingkan tubuh menghindarkan serangan maut
lawan. Begitu mendarat di tanah nenek berpakaian
merah telah kembali merangsek maju. Karena tadi
Sena telah cukup lama menyaksikan pertarungan
nenek itu melawan Ki Langgengpura, maka jurusjurus yang dikeluarkan Nyai Srintil
dapat dibacanya.
Setelah berhasil mengelakkan serangan
susulan, Sena mengirimkan serangan balasan
dengan jurus 'Si Gila Melempar Batu'. Dia melompat
untuk mengambil jarak dengan lawan. Kemudian,
dengan gerakan mirip seekor monyet melemparkan
batu, Sena melancarkan serangan.
Serangan dengan jurus aneh itu berhasil
mendorong tubuh Nyai Cangkring Abang beberapa
langkah. Padahal, serangan Pendekar Gila tidak
menampakkan benda yang dilemparkannya.
Ketika berhasil mematahkan tenaga dorongan, Nyai Cangkring Abang langsung duduk
bersila. Kedua tangan menggenggam erat-erat
tongkatnya. Beberapa saat kemudian, tongkat hitam
berduri itu berubah kemerahan dan memancarkan
cahaya yang lalu membungkus sekujur tubuhnya.
Sena hanya tersenyum. Ia tahu apa yang
akan dilakukan Nyai Cangkring Abang. Sena telah
menyaksikan ilmu itu ketika digunakan untuk
membinasakan Ki Langgengpura. Namun, Sena tak
kehabisan akal untuk menghadapi ilmu yang
mampu mengeluarkan hawa panas itu.
Sebelum Nyai Cangkring Abang sempat
melancarkan serangan ilmu 'Tongkat Api Neraka'nya, Pendekar Gila telah
mengerahkan ajian 'Inti
Salju' yang mampu menciptakan hawa dingin bagai
salju. Maka, yang dilakukan Nyai Cangkring Abang
sia-sia belaka. Hawa panas yang mampu menghanguskan tubuh lawan berubah dingin. Hawa
di sekitar tempat pertarungan terasa dingin. Sedikit
demi sedikit hawa dingin menyusup ke dalam tubuh
Nyai Cangkring Abang. Nenek itu menggigil
kedinginan. Nyai Cangkring Abang terus memperkuat
tenaga dalamnya. Pada tingkat tertentu ilmu
'Tongkat Api Neraka' akan mampu menjelmakan
dirinya menjadi kobaran api yang sangat dahsyat.
Hal itu terbukti beberapa saat kemudian. Terdengar
letusan dari tongkat Nyai Cangkring Abang. Tubuh
nenek berpakaian merah itu menyala-nyala bagai
terbakar. Pendekar Gila sempat tertegun melihat
kobaran api melesat ke arahnya. Tapi, secepat kilat
tubuhnya melenting ke atas.
"Heaaa...!"
Werrrss! Kobaran api yang membungkus tubuh Nyai
Cangkring Abang berputar cepat memburu Pendekar
Gila. Rupanya, ajian 'Inti Salju' yang dikerahkan
Sena tak mampu mengatasi kobaran api. Dalam
keadaan kalut Pendekar Gila teringat kata-kata Ki
Hajar Barada, bahwa Nyai Srintil banyak memiliki
ilmu setan. Sena-segera mencari kesempatan untuk
mengambil jarak dengan lawan. Ketika kobaran api
kembali meluncur ke arahnya, Sena melenting ke
atas dan melesat menjauhkan diri. Buru-buru kedua
telapak tangannya disatukan untuk menghimpun
tenaga dalam. Sena bermaksud mengeluarkan ilmu
'Tamparan Sukma'. Sebuah ilmu yang mampu
membinasakan kekuatan ilmu setan.
Namun, Pendekar Gila tercengang. Sena
kebingungan bagaimana harus melakukan pukulan
terhadap tubuh lawan yang diselubungi kobaran api.
Sena kembali mengerahkan 'Inti Salju' untuk
melindungi diri dari sengatan panas. Lalu, tubuhnya
melesat memapaki luncuran api di tubuh Nyai
Cangkring Abang.
Werrrsss...! Jrrratsss...! Suara seperti besi panas dimasukkan ke
dalam air terdengar ketika hawa sedingin salju
menabrak kobaran api. Sena terlontar ke belakang
empat tombak lalu bergulingan di tanah. Dengan
sempoyongan pemuda berpakaian rompi kulit ular
itu bangkit berdiri.
Api yang membungkus tubuh Nyai Cangkring
Abang terlihat padam. Nenek itu pun terlempar jauh
ke belakang. Sedikit saja tidak nampak tubuhnya
baru saja terbakar kobaran api. Pakaian yang
dikenakannya masih utuh.
"Ilmu setan...,"
gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tak percaya dengan
apa yang barusan dilihatnya.
Tanpa mengucapkan kata-kata, Nyai Cangkring Abang melesat kembali melakukan
serangan. Tongkat hitam berduri di tangan
kanannya berputar mengancam Pendekar Gila.
Bagi Sena inilah kesempatan yang paling baik
untuk melancarkan pukulan 'Tamparan Sukma'.
Pemuda itu memapaki serangan Nyai Cangkring
Abang. Terjadilah saling pukul dan tendang dalam
jarak dekat Blukkk! Pendekar Gila terpekik ketika tubuhnya
terkena pukulan tongkat berduri Nyai Cangkring
Abang. Dia kembali terlontar beberapa tombak ke
samping kiri. Pukulan itu mengandung kekuatan
sangat besar hingga tak mampu menahannya.
Namun, Sena segera melompat bangkit
Dengan wajah bengis dan menyeramkan Nyai
Cangkring Abang menatap Sena. Dilemparkan
tongkatnya ke arah Sena yang terhuyung-huyung.
Tongkat itu meluncur bagai anak panah lepas dari
busurnya. Sena tahu luncuran tongkat pasti mengandung tenaga dalam tinggi. Karena itu, ia tak
berani memapaki dengan tangan. Tubuhnya
dilempar hingga kembali bergulingan.
Glaaar...! Sebatang pohon besar yang terhantam
tongkat hitam tumbang. Ledakan keras memekakkan telinga terdengar dari belakang Sena.
Pendekar Gila cepat bangkit berdiri, lalu
melompat ke arah Nyai Cangkring Abang yang
tengah melesat ke arahnya! Terjadilah perkelahian
tangan kosong. Meskipun usianya sudah lanjut ternyata Nyai
Srintil masih mampu menunjukkan ketangguhannya. Gerakan-gerakannya tak kalah
cepat dengan Empat Bidadari Lembah Neraka yang
masih muda. Sena berusaha keras mengimbangi
pukulan dan tendangan Nyai Cangkring Abang.
Namun, dalam satu kesempatan Pendekar Gila
berhasil melancarkan pukulan dengan ilmu
'Tamparan Sukma'.


Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aaakh...!"
Nyai Cangkring Abang menjerit keras
memecah kesunyian di sekitar tempat itu. Tubuhnya
terlontar hampir lima belas tombak. Dan, baru
terhenti ketika menghantam sebatang pohon besar
hingga bergetar hebat. Tubuh nenek berpakaian
merah itu terbanting di bawah pohon. Seketika
tubuhnya tak bergerak. Ilmu 'Tamparan Sukma'
milik Pendekar Gila tak mampu ditahannya.
Sebentar kemudian, tubuhnya berubah kehitaman
bagai terbakar.
Tamatlah riwayat Nyai Cangkring Abang.
Sena menarik napas dalam-dalam seraya
memejamkan mata. Lalu, kakinya melangkah
menghampiri Empat Bidadari Lembah Neraka yang
terkulai lemas karena terkena totokan tadi.
Keempat dara cantik berpakaian merah itu
termangu-mangu dengan mata membelalak melihat
kedatangan Sena.
"Tu... Tuan siapa?" pertanyaan aneh itu
terlontar begitu saja dari mulut Laksmi yang
menatap Sena penuh keheranan.
Keempat dara cantik itu baru saja terbebas
dari pengaruh iblis Nyai Cangkring Abang. Begitu
nenek itu binasa, lenyaplah pengaruh yang
merasuki jiwa keempat gadis cantik ini.
"Tak perlu kalian tahu siapa namaku," sahut
Sena dengan tersenyum haru melihat keempat gadis
itu terbebas dari kekuatan jahat. Mereka mungkin
baru berusia tujuh atau delapan belas tahun.
Dilihat dari bentuk tubuh dan wajah cantik
mereka, keempat gadis ini tentu putri-putri orang
terpandang. Jiwa mereka terlalu polos untuk
mengarungi kehidupan rimba persilatan yang keras
dan penuh kekejaman.
"Yang penting, sekarang kalian sudah kembali
menjadi diri kalian sendiri," ujar Sena lagi.
"Maksudku, kalian telah terbebas dari pengaruh
nenek jahat itu...."
Keempat gadis itu baru tersadar. Wajah-wajah
cantik ini mendadak berubah. Mata mereka
menerawang ke atas dengan tatapan kosong, seperti
tengah berusaha mengumpulkan ingatan mereka
tentang masa lampau.
Empat gadis cantik ini memang telah diculik
Nyai Cangkring Abang. Mereka lalu diberikan ilmu
yang mampu mempengaruhi jiwanya. Sehingga,
akhirnya dapat dikendalikan secara batin oleh Nyai
Cangkring Abang.
"Ayo, kuantarkan kalian pulang...!" ajak Sena.
Dengan wajah sedih keempat gadis cantik itu
mengikuti langkah Sena. Namun beberapa langkah
mereka berjalan, Sena tiba-tiba menghentikan
langkah. "Tunggu sebentar!" ujar Sena. Kemudian, ia
melesat menuju tempat tergeletaknya mayat Nyai
Cangkring Abang.
Pendekar Gila menggeledah pakaian nenek
itu. Ternyata, Sena mengambil lembaran Kitab
Candra Catur Pamukti dari balik pakaian Nyai
Cangkring Abang.
"Ah ah aha.... Bodoh sekali aku ini!"
Sena memukul keningnya sendiri dengan
telapak tangan. Segera disimpannya lembaran kulit
berwarna putih ke balik rompinya. Ketika dia
hendak melesat kembali ke tempat empat gadis
cantik tadi, tiba-tiba hatinya tercekat kaget.
Pemuda berompi kulit ular itu bergegas
menghampiri empat gadis yang tadi ditinggalkan.
Sampai di sana Sena kembali membelalakkan mata.
Dilihatnya keempat gadis berpakaian merah itu
tergeletak berlumuran darah. Beberapa batang pisau
kecil menghujam dada dan punggung mereka.
Sena menelengkan telinganya sambil mengerutkan kening. Dia berusaha mendengar
suara yang mencurigakan. Tiba-tiba....
Siiing! Siiing! Siiing!
Belasan benda keperakan meluncur deras
tertuju ke tubuh Sena. Pendekar Gila langsung
menghentakkan kedua belah telapak tangannya.
Seketika, melesatlah serangkum angin kencang
memapaki benda-benda keperakan yang tak lain
pisau terbang. Prrrak! Prrrrak!
Pukulan jarak jauh Sena menghantam pisaupisau terbang hingga berjatuhan ke
tanah. Sebagian
lagi berbalik ke tempat pisau-pisau itu meluncur
datang. Jrrrebs! Jrebs!
"Akh...!"
Dari balik pepohonan dan semak terdengar
pekik kesakitan. Pisau-pisau yang terpental balik
tadi menghujam pemiliknya sendiri.
Sesaat kemudian, beberapa sosok bayangan
melesat menuju tempat Sena berada. Sosok-sosok
bayangan hijau itu ternyata empat orang murid
andalan Ki Hajar Barada.
"Banyak orang yang menginginkan kitab itu,
Pendekar Gila!" ujar lelaki bertubuh tinggi besar
yang mengenakan ikat kepala lurik. "Bertahuntahun kami berguru kepada Ki Hajar
Barada agar mengetahui di mana kitab itu berada. Ketika kini
kami mengetahui ternyata kau yang mendapatkannya...."
"Ah ah ah.... Apa maksudmu, Kawan?" tanya
Sena sambil tertawa.
"Serahkan kitab itu kepada kami! Kami,
murid-murid Ki Hajar Barada, yang berhak atas
kitab itu!"
"Kalian memang murid Ki Hajar. Tapi, aku
bersalah kalau menyerahkan kitab ini kepada
kalian. Ki Hajar memintaku untuk menyelamatkan
kitab ini...."
"Serang!" Lelaki bertubuh tinggi memberi
perintah kepada ketiga kawannya untuk menggempur Pendekar Gila.
Keempat lelaki berpakaian hijau itu langsung
merangsek maju menerjang Pendekar Gila. Dengan
menghunus pedang mereka terus mencecar Sena.
Melihat serangan yang sangat berbahaya dari
empat murid Ki Hajar Barada ini, Sena tak ingin
bertindak sembrono. Keempat murid utama ini
memiliki ilmu yang tak bisa dianggap remeh.
Setelah pertarungan berjalan beberapa jurus,
Pendekar Gila segera dapat membaca permainan
pedang mereka. Jurus-jurus yang mereka lancarkan
mempunyai kemiripan dengan ilmu Pedang Ki
Langgengpura. Sena menaruh kecurigaan. Janganjangan keempat murid utama Ki
Barada ini anak
buah Ki Langgengpura.
Babatan pedang lelaki tinggi besar hampir
saja menyambar bagian atas tubuh Sena. Untung
dengan cepat dia segera menarik tubuhnya ke
belakang. Bersamaan dengan itu, kaki Sena
menendang ke arah perut lawan.
Bluk! Satu orang lawannya terhuyung-huyung
terkena tendangan keras Pendekar Gila. Dengan
cepat Sena melenting ke atas, kemudian melancarkan tendangan dengan kedua kaki.
Tendangan lurus itu tepat mengenai kepala dan
punggung dua orang lawannya. Pekikan kesakitan
pun terdengar dari mulut kedua lelaki berpakaian
hijau. Tubuh mereka tersungkur jatuh.
Satu orang lagi yang melompat sambil
membawa pedang ke kepala Sena dapat ditangkis
dengan tangan seraya meliukkan tubuh. Pukulan
susulan yang dilakukan Sena mendarat di pinggang,
membuat lelaki berkumis tebal jatuh.
Keempat lelaki berpakaian hijau itu saling
berlompatan bangkit berdiri. Mereka dengan
beringas kembali melakukan serangan lagi. Babatan
dan tusukan pedang mereka semakin gencar,
mengarah pada bagian-bagian sangat berbahaya di
tubuh Sena. Satu tusukan meluncur ke arah leher.
Namun, dengan cepat Sena menarik tubuhnya ke
belakang. Lalu, melancarkan pukulan dengan kedua
telapak tangan.
Plakkk! Blukkk!
Dua orang lawannya terlempar ketika
mendapat pukulan telak pada dada dan perut
mereka. Keduanya muntah darah dan tak bangkit
lagi. Melihat kedua kawannya terluka, dua orang.
lainnya jadi bertambah geram. Serentak mereka
merangsek ke arah Sena. Satu menyerang dari
sebelah kanan, yang lain dari kiri. Keduanya
mengarahkan pedang ke kepala dan pinggang
Pendekar Gila. Sena bergegas melesat ke atas.
Kemudian, secepat kilat tangannya meraih kepala
kedua lawannya dan dibenturkan dengan keras.
Prakkk! Kedua lelaki berpakaian hijau itu tewas
seketika dengan kepala remuk.
"Keserakahan dan nafsu angkara murka telah
membutakan mata hati mereka...," gumam Sena
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu
kemudian melangkah pergi. Satu pengalaman lagi
telah dialami Sena Manggala. Sungguh tak diduga
sebelumnya ia akan sampai ke tempat ini dan
mendapatkan sebuah kitab kuno yang banyak
diperebutkan orang.
Sena terus melangkah ke arah barat
melanjutkan pengembaraannya. Entah apa lagi yang
akan ditemuinya selama dalam perjalanan ini....
SELESAI https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Jodoh Rajawali 14 Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H Kedele Maut 8

Cari Blog Ini