Ceritasilat Novel Online

Geger Di Bukit Seribu 1

Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama,
tempat dan ide, hanya kebetulan belaka
GEGER DI BUKIT SERIBU
Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69
Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D.Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Geger Di Bukit Seribu
1 Bukit Seribu berdiri gagah, seolah menantang
sang surya di pagi hari. Barisan bukit-bukit yang melingkar bagai belanga berwarna hijau, ditutupi dedaunan pohon-pohon lebat. Sementara di sana sini menganga jurang yang lebar, dan tebing-tebing runcing
yang memancing kematian bagi mereka yang cobacoba mendakinya.
Di dataran yang agak luas di atas bukit, Ki
Mangsapati duduk bersila di atas bale-bale. Beliau
adalah tokoh tua dunia persilatan yang telah lama
mengasingkan diri dari keramaian umum. Pada masa
mudanya terkenal dengan julukan Rajawali Bukit Seribu, yang banyak membuat geger dunia persilatan dengan aksinya membantai penjahat-penjahat tengik, maling-maling coro, dan kaum persilatan golongan hitam.
Dalam pada itu, keheningan yang tercipta, terusik oleh sesosok tubuh yang meloncat-loncat dengan
ringannya, mendekati si orangtua yang masih tetap
bersila. Wajahnya tampan, dan mengenakan jubah hitam pada seluruh pakaiannya. Si orangtua itu terkejut
sesaat, namun cepat tersenyum sambil anggukanggukkan kepala ketika si pemuda menjura hormat.
"Ampun guru, aku terlambat datang hari ini..."
kata si pemuda.
"Tidak apa, tidak apa...." sahut orangtua itu masih tersenyum. "Bagaimana
keadaan orangtua mu di desa" Baik" Mudah-mudahan begitu. Tapi kenapa
engkau mengenakan pakaian hitam-hitam seperti ini"
Apakah engkau sedang berkabung?"
Si pemuda seketika berubah murung. Lama dia
tertunduk ketika akhirnya berkata lirih:
"Benar apa yang engkau katakan, guru. Saat ini
aku sedang berkabung karena begitu aku tiba di rumah, keadaan desa telah hancur porak poranda.
Orangtua ku pun terbunuh dalam kekacauan itu...!"
Si orangtua kerutkan alis dengan wajah terkejut.
"Siapa pelaku kerusuhan itu"!"
"Menurut orang-orang yang masih hidup, mereka
dari Persekutuan Iblis Hitam...."
"Persekutuan Iblis Hitam..."!" gumam si orangtua sambil kertakkan rahang menahan
amarah. "Persekutuan orang-orang sesat yang dipimpin si Singalodra itu memang
sangat meresahkan dunia persilatan saat ini.
Mereka banyak membuat kekacauan di mana-mana,
dan membunuh banyak tokoh-tokoh persilatan golongan putih yang coba-coba menentangnya. Sudah saatnya engkau bertindak saat ini, mewakili ku untuk bergabung dengan tokoh-tokoh golongan putih gua membasmi mereka, Pranajaya!"
"Apa... apakah aku sanggup melawan mereka
dengan ilmu yang kupelajari selama ini padamu,
guru?" Si pemuda ragu-ragu bertanya. Hatinya bimbang karena mengetahui bahwa sesungguhnya musuh
berilmu sangat tinggi.
"Prana, engkau tak usah menjadi takut mendengar kehebatan lawan. Aku meski tak terlalu hebat, tapi nama Rajawali Bukit
Seribu bukanlah nama kosong
belaka. Dan saat ini seluruh ilmu yang kumiliki telah
aku turunkan padamu. Lagipula engkau harus ingat,
bahwa tugas untuk melenyapkan kebatilan tidak
hanya terletak pada pundakmu. Engkau harus bergabung dengan pendekar-pendekar aliran putih lainnya
untuk saling bahu-membahu menumpas mereka.
Engkau ingat apa yang pernah kukatakan beberapa
tahun yang lalu?"
"Aku ingat, guru. Engkau bersama-sama dengan
Malaikat Gunung Selatan dan si Cangkul Maut menumpas si Iblis Merah Darah yang sesat itu!"
"Nah, sepatutnya engkau begitu. Menggalang persatuan dengan sesama golongan. Karena bersamasama itu lebih kuat dibanding engkau menumpasnya
seorang diri. Menurut apa yang kudengar pula, si Singalodra itu berilmu tinggi dari ganas sekali. Aku pun
turut sedih mendengar berita bahwa si Malaikat Gunung Selatan dan si Cangkul Maut telah tewas di tangannya. Apalagi saat ini, ketika mendengar berita tentang kematian orangtua mu...." Orangtua itu perli-hatkan wajah berduka sambil
gelengkan kepala pelan
dan tarik nafas panjang sesaat.
"Guru...." panggil si pemuda dengan suara datar,
"Tahukah engkau kenapa si Singalodra membunuh
kedua sahabatmu itu?"
"Entahlah... tapi menurut berita yang
kudengar, Singalodra adalah anak si Iblis Merah Darah
yang hendak menuntut balas atas kematian orangtuanya, dan melanjut-kan cita-cita untuk menjagoi dunia
persilatan dengan menghalalkan segala cara...."
"Apakah menurut guru ilmu silatku da-pat diandalkan untuk mengalahkan si Singalodra?"
Si orangtua terdiam sejenak. Kembali dia menghela nafas panjang sebelum menjawab lirih:
"Kalau benar si Singalodra itu anak si Iblis Merah Darah dan mewarisi seluruh
ilmunya, ini adalah ancaman serius...."
"Kenapa, guru"!"
"Ilmunya sangat tinggi, Prana. Kami bertiga dulu
dengan susah payah baru berhasil mengalahkannya...." Demi mendengar jawaban itu si pemuda tersenyum tipis sambil mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Sebilah pedang dengan sarung dan gagangnya
yang hitam bagai arang. Ki Mangsapati terperanjat kaget ketika melihat benda di tangan si pemuda. Dia segera berdiri dan undur beberapa tindak ke belakang. Si pemuda sebaliknya dengan
tenang berdiri tegak sambil
memandang si orangtua dengan senyum sinis.
"Prana, apa-apaan engkau ini"! Dari mana engkau peroleh Pedang Iblis itu"!" bentak si orangtua heran bercampur was-was.
Sebaliknya mendengar bentakan itu si pemuda
tertawa terbahak-bahak.
"Ha... ha... ha... ha...! Bagus, engkau masih men-genali benda ini. Kau pikir
siapa yang berhak mewariskannya kalau bukan putranya sendiri?"
"Jadi... jadi... engkau anaknya si Iblis Merah Darah"!" tanya si orangtua kecut.
Wajahnya sedikit pucat. Dia tahu betul bagaimana kehebatan senjata di
tangan si pemuda. Bila dimainkan dengan jurus-jurus
ilmu pedangnya, benda itu akan bergerak bagai setan
menguber mangsa tanpa henti, sebelum lawan binasa
dengan darah kering tersedot ke dalamnya.
"Ki Mangsapati, tunjukkanlah kehebatan sebagai
tokoh kosen yang pernah menggetarkan dunia persilatan, bukan orangtua pikun yang bertahun-tahun kubodohi dengan mengaku sebagai anak desa biasa di
kaki bukit ini, dan tak pernah mau menetap di tempatmu yang bau apek. Jangan menampakkan wajah
pucat ketakutan seperti itu. Mana kegaranganmu sebagai Rajawali Bukit Seribu"!" ejek si pemuda sinis.
"Bocah keparat! Murid murtad celaka! Jadi benar
bahwa engkau ini Singalodra anak si Iblis Merah Darah yang beberapa tahun yang lewat memohon-mohon
padaku agar diangkat jadi murid"!"
"Bukan hanya engkau saja yang berhasil kubodohi, tapi juga si Malaikat Gunung Selatan dan si
Cangkul Maut. Kini kedua kembratmu itu telah kukirim ke neraka setelah aku berhasil menguasai ilmunya. Tapi untukmu kuberi kehormatan memenggal
kepalamu sendiri!" sahut si pemuda tak perduli dengan kemarahan orangtua itu.
Dia tertawa pelan sambil
memandang sinis penuh kebencian.
"Bertahun-tahun aku memendam dendam, kiranya hari ini akan terbalas kecurangan dengan kelicikan pula," lanjut si pemuda telah bersiap-siap mencabut pedang ketika dilihatnya
si orangtua mulai bersiap-siap dengan satu serangan. Agaknya Ki Mangsapati menyadari, bila si pemuda telah berhasil memegang pedang itu berarti betul dia telah menguasai ilmu Iblis Merah Darah. Sebab
untuk memegang pedang itu
diperlukan tenaga dalam yang kuat dan tinggi untuk
mengendalikannya. Maka dia pun tak bisa memandang
enteng pada si pemuda dengan mengeluarkan jurusjurus permulaan. Namun hal itu tentu saja diketahui
oleh si pemuda.
"Bagus orangtua, engkau keluarkanlah jurusjurusmu yang paling mematikan untuk menerima kematianmu di tanganku, kalau engkau tak mau memenggal kepalamu sendiri. Dengan begitu aku pun bisa mendapat kehormatan meladeninya!"
"Haaaaaaaaait...!"
Ki Mangsapati membuka kedua belah lengannya
lebar-lebar membentuk paruh bu-rung pada jarijarinya. Sebelah kakinya terangkat. Dengan satu loncatan tinggi, dia mencelat sambil mengeluarkan suara
bentakan bagai seekor rajawali yang sedang marah.
Jurus ini sangat ganas dan mematikan, yang dikenal si
pemuda dengan nama Rajawali Mencakar Bukit. Apalagi saat ini dikeluarkan dengan kemarahan serta kejengkelan yang dirasa si orangtua. Dengan gerakangerakan cepat yang sulit diikuti kasat mata, dia mencecar bagian-bagian mematikan dari tubuh si pemuda.
Seolah-olah ke mana pun gerakan si pemuda menghindar, kedua tangan yang membentuk paruh itu siap
menghantamnya. Tapi tak percuma si pemuda telah menguasai
seluruh ilmu orangtua itu kalau tak mampu menghindarinya. Apalagi saat ini dia betul-betul telah menguasai ilmu silat si Iblis
Merah Darah yang beberapa puluh tahun lalu menggemparkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya yang sadis pada musuhmusuhnya dan disegani oleh tokoh-tokoh golongan hitam maupun putih karena ketinggian ilmu silatnya.
Maka setelah menunggu beberapa belasan jurus untuk
memberi kesempatan pada orangtua itu melampiaskan
kemarahannya, dia pun mulai membalas. Pedangnya
berputar-putar bagai kitiran yang menyambarnyambar tubuh si orangtua dari segala penjuru. Terkejutlah si orang tua melihatnya. Jurus itu pernah dikenalnya dan telah pernah pula dihadapi ketika melawan
Iblis Merah Darah. Jangankan tergores kulit tubuh,
terkena sambaran anginnya pun terasa perih bagai diiris-iris dan seolah pedang itu menyedot aliran darah
lawan. Itulah keganasan dari jurus Pedang Iblis Neraka yang dimainkan si pemuda
saat ini. Merasa dicecar dari segala penjuru dan lawan
terlihat tak memberi kesempatan untuk bernafas, si
orangtua segera melentik ke belakang untuk membuka jurus baru. Namun si pemuda nampaknya tak memberi kesempatan orangtua itu untuk berbuat ma-cam-macam.
Ujung pedangnya segera menyambar dengan kecepatan tinggi seolah menarik-narik tubuhnya guna mengiris-iris kulit keriput si orangtua.
Ki Mangsapati terkejut bukan main. Baru saja dia
menjejakkan kaki, mata pedang itu telah menyambar
tenggorokannya. Agaknya hanya pengalaman dan kematangan ilmu silatnya saja yang menyelamatkan
nyawa orangtua itu. Sambil tundukkan kepala ke belakang, ujung pedang itu lewat beberapa mili di atas
wajahnya. Si orangtua langsung bersalto ke belakang
dengan menggunakan jurus Rajawali Mengamuk yang
merupakan puncak dari ilmu silatnya, guna menghantam pergelangan tangan si pemuda. Namun betapa kagetnya Ki Mangsapati ketika pedang di tangan si pemuda dengan cepat berputar ke kanan membentuk
lingkaran, membabat pinggangnya dengan mengeluarkan suara mendengung. Kemudian dengan kecepatan
yang sulit diikuti kasat mata, kembali pedang itu bergerak dari bawah ke atas.
"Cras...! Cras...!"
"Prok...! Prol...!"
Ki Mangsapati tak sempat lagi berteriak. Tubuhnya kutung menjadi empat bagian dengan kulit tubuh
yang pucat pasi bagai mayat. Tak setetes darah yang
terlihat. Seolah-olah pedang di tangan si pemuda yang
berwarna hitam, semakin legam setelah menghirup darah orangtua yang malang itu. Ada seringai sinis dan
rona kepuasan berbayang di wajah si pemuda yang sebetulnya tampan. Dengan satu gerakan ringan, ditendangnya keempat potongan tubuh orangtua itu ke jurang setelah menyarungkan kembali pedangnya.
Beberapa saat terdengar tawa panjang yang
menggema di seluruh tebing-tebing. Mengagetkan burung-burung yang hinggap dan sedang melintas!
2 Dukuh Kembang Asem adalah sebuah desa yang


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makmur dan ramai dikunjungi orang, sebab desa itu
merupakan persinggahan antara satu daerah dan daerah yang lain yang tak kalah ramainya. Selama ini
penduduk desa itu hidup dengan damai dan aman.
Namun di pagi ini, seluruh penghuni kampung dikejutkan dengan kedatangan serombongan orang-orang
berjubah hitam yang mereka kenal sebagai Persekutuan Iblis Hitam. Mereka merampok harta penduduk,
menculik anak-anak perawan yang cantik, bahkan
janda dan istri orang pun mereka jarah juga. Beberapa
orang di antaranya bahkan sangat brutal dengan
memperkosa perempuan-perempuan malang itu.
Banyak di antara penduduk itu yang tewas terbunuh karena coba-coba melawan untuk mempertahankan miliknya.
Seperti di sebuah rumah sebelah pinggir kampung itu. Seorang laki-laki setengah baya berusaha
mati-matian mempertahankan harta benda serta istri
dan seorang anak perempuannya yang cantik. Namun
dengan kesadisan yang tak berperikemanusiaan, empat orang berjubah hitam dengan mudah melemparkannya ke luar halaman. Laki-laki itu langsung tersungkur mencium tanah. Dari sela-sela bibir dan hidungnya keluar cairan kental berwarna merah. Dia berusaha bangkit, namun sekujur tubuhnya terasa sakit
luar biasa. Agaknya beberapa tulang rusuknya ada
yang patah, karena sebelum mereka melemparnya ke
luar, keempat orang itu telah menghajarnya habishabisan. "Bapaaaaaaak...!" teriak anak perempuannya cemas dan ketakutan. Namun dua di
antaranya langsung menarik tubuhnya ke kamar sambil mempreteli
seluruh pakaian-nya. Gadis itu meronta-ronta untuk
melepaskan diri, tapi apalah artinya tenaga seorang
perempuan lemah dibanding dengan dua orang lakilaki bertubuh besar dengan tenaga yang kuat. Meski
dia berteriak setinggi langit, tak nanti bisa melepaskan diri dari cengkeraman
kedua laki-laki kasar itu.
Belum lagi pemandangan yang dilihat laki-laki
tua itu lewat matanya yang sayu namun mengandung
kemarahan yang amat sangat, ketika melihat istrinya
pun mendapat perlakuan yang sama oleh kedua kawan
orang berjubah hitam itu. Dia hanya bisa memakimaki sambil berusaha mendekati mereka dengan merangkak-rangkak.
"Persekutuan Iblis Hitam keparat! Ku-bunuh kalian! Kubunuh kalian!!" teriaknya sengit dengan sekuat tenaga. Tapi belum lagi
dia jauh merangkak, tiba-tiba
keluarlah cairan kental berwarna merah dari mulutnya. Kali ini lebih banyak dari yang pertama, disertai dengan batuk keras yang
membuat nafasnya terasa
perih dan sesak.
Namun laki-laki itu seolah tak memperdulikan
keadaannya. Dia kembali berteriak-teriak seperti orang kesetanan.
"Bajingan laknat! Lepaskaaaan anakku! Lepaskaaaan istriku...!! Keparat! Kuhajar kalian...!!"
Dan teriakannya semakin keras ketika telinganya
mendengar jeritan kedua perempuan itu. Penuh dengan ketakutan, tak berdaya, dalam mempertahankan
kehormatan diri.
Tapi mana mau keempat orang itu per-duli dan
meninggalkan keasyikan mereka. Laki-laki itu merasa
putus asa dalam ketidak berdayaannya, dan tanpa sadar dia menangis kecil sambil bergumam pelan:
"Mudah-mudahan dewata melaknat perbuatan
kalian...!"
Entah doanya dikabulkan atau hanya karena kebetulan, dalam pada itu melesat-lah sosok bayangan
berwarna biru ke hadapannya. Laki-laki itu tertegun
sejenak. Seorang gadis cantik berpakaian biru dan
menyandang pedang di pundaknya mengangguk ramah. Lalu berujar pelan:
"Apakah yang terjadi di desa ini, Pak?"
"Oh... oh... siapakah engkau" Apakah engkau salah satu dari Persekutuan Iblis Hitam keparat itu" Kalau betul, lebih baik engkau cabut pedangmu, dan bunuhlah aku saat ini, daripada menanggung malu tak
mampu membela keluargaku sendiri...."
"Tenanglah, Pak. Saya bukan dari orang yang bapak maksudkan...." Belum lagi selesai bicara, telinga gadis itu yang tajam dan
menandakan dia berasal dari
dunia persilatan, segera mendengar teriakan dua perempuan dari dalam rumah. Meski terdengar pelan,
namun dia tahu apa yang sedang terjadi pada keduanya. Dengan satu loncatan ringan gadis itu melesat ke
dalam. Laki-laki itu tak tahu apa yang sedang terjadi di
dalam. Namun untuk beberapa saat dia melihat dua
orang berjubah hitam tadi, terlempar ke luar dalam
keadaan yang mengerikan. Nyawa mereka langsung
meregang dengan luka-luka sabetan pedang di perut
dan punggungnya. Sedang kedua orang lagi lebih mujur, hanya terluka-luka kecil dan cepat selamatkan diri dengan meloncat ke luar
lewat atap rumah. Namun tak
urung wajah keduanya terlihat pucat dan ketakutan
melihat sepak terjang si gadis berbaju biru. Apalagi ketika melihat kedua
kawannya telah tewas, sementara si
gadis itu telah berdiri gagah mendekati dengan ujung
pedangnya masih berlumur darah.
"Persekutuan Iblis Keparat!" makinya sinis. "Beruntung hari ini aku menemukan
kalian di sini, jadi
tak bersusah payah mencari kalian ke mana-mana!"
"Nona...." berkata seseorang di antaranya, "Kita tak bermusuhan dan tak punya
sangkut paut apa-apa.
Kenapa nona begitu telengas membunuh kedua kawan
kami?" Huh! Telengas katamu" Apa yang kalian lakukan
pada kedua perempuan itu" Dan apa yang kalian lakukan pada laki-laki itu" Lalu apa yang telah kalian
lakukan pada yang lain-lain" Apakah engkau kira sebanding dengan perbuatanku tadi" Kalian sepatutnya
menerima ganjaran setimpal atas kelakuan anjing kalian!" Meski hati kecut, namun dimaki-maki begitu, mau tak mau panas juga hati
mereka. Kawannya segera menyela dengan garang sambil hunuskan goloknya.
"Nona, Persekutuan Iblis Hitam tak bisa dihina
begitu. Hari ini biarlah aku mewakili ketua untuk memancung kepala dan mulutmu yang ceriwis itu!"
"Haiiiiit...!"
Selesai berkata begitu, dia bersalto dua kali ke
depan dan menyabet si gadis dengan jurus Ular Mematuk Mangsa. Gerakannya gesit dan kuat dibarengi tenaga dalam penuh. Sesungguhnya orang ini bukanlah
anggota sembarangan Persekutuan Iblis Hitam, yang
bisa dikalahkan dengan begitu mudah. Dalam dunia
persilatan mereka dikenal dengan sebutan Empat Iblis
Utara. Dan kalaupun kedua kawannya berhasil dijatuhkan gadis itu hingga tewas, bisa jadi karena kelengahan mereka yang sedang diamuk nafsu birahi, sehingga tak menyadari bahaya yang mengancam.
Tapi si gadis pun ternyata bukan orang sembarangan pula. Dari serangannya yang khas, akan mengingatkan, bahwa dia sebenarnya berasal dari Perguruan Walet Biru. Suatu perguruan yang pernah diobrak-abrik Persekutuan Iblis Hitam beberapa bulan
yang lalu. Ki Pandaran, ketua perguruan itu meski berilmu tinggi dan disegani dalam dunia persilatan, akhirnya harus menemui ajal di tangan Singalodra. Bisa
jadi hal ini yang membuat gadis itu dendam bukan
main pada gerombolan ini.
Dalam pada itu melihat kawannya telah mencelat
lebih dulu, dia pun segera mencabut goloknya dan ikut
menyerang gadis itu. Barulah si gadis dapat merasakan tekanan berat dari serangan mereka berdua. Jurus-jurus Ular Mematuk Mangsa yang dimainkan dengan senjata golok, seolah hendak mematuk-matuk seluruh permukaan kulitnya jadi beberapa bagian. Tapi
tak percuma si gadis berguru belasan tahun pada Ki
Pandaran yang pernah kesohor sebagai tokoh kosen
golongan putih puluhan tahun yang lalu, kalau dia
merasa jeri melihat serangan mereka. Sambil kertakkan rahang menahan amarah, dia putar pedangnya
sedemikian rupa ke sana sini bagai dua kepak sayap
burung walet. Inilah jurus yang dinamakan Walet Terbang Sore Hari. Seolah-olah lawan melihat dua buah
pedang yang berkelebat di tangan si gadis menyambarnyambar sekujur tubuhnya dengan cepat dari berbagai
arah. Sebentar saja terlihat bahwa si gadis sedang berada di atas angin, dan lawan dibuat tak sempat balas
menyerang. Tiba-tiba dalam satu kesempatan.
"Cras...!"
"Cras...!"
Kedua orang itu menjerit panjang ketika dengan
kecepatan yang sulit diikuti kasat mata, si gadis membabat kutung masing-masing sebelah lengan mereka
dengan jurus Pulang Ke Sarang. Suatu jurus yang banyak mengandalkan ilmu mengentengkan badan dengan loncatan-loncatan satu arah, namun tajam dan
pasti ke tujuan.
Si gadis tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia
kembali melentik ke arah mereka dengan jurus Walet
Tertidur. Suatu jurus pamungkas yang dilakukan dengan mata terpejam dan hanya mengandalkan pendengaran belaka. Pedang di tangannya bergerak pada bagian-bagian yang mematikan di tubuh lawan seolah
bermata, tapi ke mana pun lawan menghindar, pedang
itu akan terus mengejarnya lewat pendengaran si gadis
yang tajam. Rasanya kedua orang itu telah pasrah menerima
nasib di ujung pedang si gadis. Bahkan salah seorang
telah memejamkan mata. Namun beberapa senti sebelum pedang itu mengoyak-ngoyak tubuh mereka, tibatiba... "Trang...!"
Si gadis terkejut setengah mati hingga kelopak
matanya terbuka. Tangannya terasa kesemutan, tapi
masih untung pedang itu tak terlepas dari genggamannya. Padahal benturan yang dirasanya tadi sangat
keras. Belum lagi habis terkejutnya, telinganya yang
tajam segera merasakan sambaran angin dingin berbau racun mengarah ke tenggorokannya.
Buru-buru dia putar pedang menangkis.
"Traaaang...!"
Untuk kedua kali tangannya terasa kesemutan.
Tapi kali ini benturan itu lebih kuat dan berat. Hampir saja pedang di tangannya
terlepas dari genggaman.
Melihat lawan bergerak sangat cepat dan sepertinya
tak memberi kesempatan padanya, tubuh gadis itu tiba-tiba melentik ke udara sambil bersalto beberapa
putaran. Pedangnya berputar-putar ke sana sini membentuk perisai, menjaga serangan lawan dari berbagai
arah. Inilah yang disebut jurus Menguak Kerumunan
Badai Pasir, suatu jurus pertahanan yang sangat ampuh, sebab bila sekali serangan lawan tertangkis, maka selanjutnya akan diikuti dengan serangan balasan
yang mematikan.
Tapi lawan ternyata tak tertipu dengan pancingan
itu, dan tak ada serangan yang kembali menyusul beberapa saat kemudian. Si gadis segera menjejakkan
kaki dengan ringan setelah dirasanya tak ada lagi ancaman. Pertama kali yang terlihat olehnya adalah seorang laki-laki kurus jangkung dengan punggung agak
bungkuk. Rambutnya hitam kusut menjela-jela hingga
ke dada. Wajahnya berlipat-lipat bagai kulit kayu yang telah tua, dengan sorot
mata tajam dan bibir yang me-nyungging senyum sinis di bawah kumisnya yang
tumbuh jarang. Di tangannya terlihat sebatang tongkat
berkepala ular berwarna hijau muda. Tongkat itu kelihatan alot karena terbuat dari kayu besi. Si gadis
menduga-duga, pastilah tongkat itu yang tadi membentur pedangnya
"Segala bocah bau kencur mau jual lagak di hadapan Persekutuan Iblis Hitam!" oceh laki-laki itu yang dalam dunia persilatan
dikenal dengan julukan Iblis
Ular Hijau. Konon dia adalah kembratnya si Iblis Merah Darah ketika tokoh itu masih hidup, dan menghilang entah ke mana selama puluhan tahun. Baru hari
ini kembali terlihat kemunculannya. Si gadis pun tahu
kehebatan tokoh ini lewat cerita almarhum gurunya,
namun kini mengetahui bahwa tokoh kosen golongan
hitam itu ada di depannya. Benaknya hanya tahu
bahwa orang-orang Persekutuan Iblis Hitam harus dibasmi! Berpikir sampai di situ, dia mendengus sinis
sambil memandang enteng pada orang itu.
"Huh, segala setan, dari neraka kiranya hendak
coba-coba menakut-nakuti aku! Engkau boleh coba
pada tikus-tikus got tak berguna, tapi jangan padaku!"
3 Demi mendengar kata-kata si gadis, meledaklah
tawa Iblis Ular Hijau.
"Ha... ha... ha... ha...! Baru sekali ini kudengar seorang bocah pentil
memandang rendah pada si Iblis
Ular Hijau yang selama malang melintang di dunia
persilatan tak pernah dihina sedemikian rupa. Bagus
bocah! Aku senang dengan semangatmu. Engkau tentu
juga akan lebih bersemangat jika telah berada dalam
pelukanku. Ha... ha... ha...!"
Selesai tawanya, tiba-tiba wajahnya berubah sinis dan garang. Lalu memandang nyalang pada kedua
orang berjubah hitam yang telah kutung sebelah lengannya itu sambil berkata:
"Kalian urus yang lainnya, dan setelah itu bakar


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seluruh rumah-rumah di kampung ini. Urusan dengan
gadis cantik ini biar aku yang akan menyelesaikannya.
Katakan pada Singalodra, aku membawa gadis cantik
luar biasa untuknya!"
Kedua orang itu menjura hormat, dan cepat berkelebat menyambar kedua perempuan tadi, yang masih berada di situ sambil menangisi laki-laki malang
yang kelihatan terbujur kaku tak bergerak.
Dalam pada itu si gadis terkejut bukan main ketika lawan menyebutkan namanya. Diam-diam dia
mengeluh sendiri. Melulu menghadapi anak buah Persekutuan Iblis Hitam telah begitu berat, bagaimana
mungkin dia bisa kalahkan si Singalodra guna membalas sakit hati ini. Dia baru tersentak kaget ketika mendengar jerit kedua
perempuan yang sedang merontaronta dalam bopongan sebelah lengan kedua laki-laki
berjubah hitam itu.
"Iblis cabul keparat! Lepaskan mereka!" maki si gadis sambil melompat ke arah
mereka dengan pedang
terhunus. Tapi tentu saja dia tak melupakan si orangtua berwajah buruk, itulah sebabnya dia tak mau
menggunakan jurus sembarangan. Dengan jurus
Membagi Arah Angin, dia telah mempersiapkan diri
seandainya lawan membokong dari belakang. Tapi Iblis
Ular Hijau bukanlah tokoh picisan yang mau berbuat
begitu. Dengan satu teriakan nyaring, dia melesat
sambil menyodorkan tongkat di tangannya memapak
pedang di tangan si gadis dari arah depan. Serangan
lewat tongkat yang melesat ke sana sini sedemikian
rupa disebut Lecutan Ekor Naga. Sesuai dengan namanya, dia menusuk ujung tongkatnya yang runcing
ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan bagai
pecut mencari sasaran.
Mau tak mau terpaksa si gadis urungkan niat
untuk meneruskan serangannya pada kedua orang
berjubah hitam itu, yang dengan cepat kabur. Dia
membalik cepat dengan jurus kedua Membagi Arah
Angin untuk menghadapi gebukan tongkat lawan. Inilah keuntungan jurus itu. Dia tak berusaha memapak
senjata lawan, melainkan dengan ilmu mengentengkan
tubuh yang lumayan, badannya yang ramping seakan
mengapung di udara secara mendatar dengan kedua
tangan terentang bagai sayap seekor walet, untuk
menghindari serangan lawan. Lalu dengan kecepatan
tinggi menyabetkan mata pedang pada jantung lawan
secara tiba-tiba.
"Kampret...!" maki si Iblis Ular Hijau sambil mi-ringkan badan jungkir balik ke
kanan. Nyaris dadanya
tertusuk ujung pedang si gadis kalau dia tak cepat
mengelak. Tak urung terkejut nyalinya sesaat melihat
kecepatan gadis itu bergerak. Tapi bukanlah Iblis Ular Hijau kalau masih bisa
dipecundangi anak kemarin
sore, pikirnya. Sambil kertakkan rahang menahan geram, dia buka jurus Ganti Kulit Di Sarang Naga. Kehebatan jurus ini terletak dari berkelebatnya seluruh
anggota badan ke segala penjuru yang sama berbahayanya dengan permainan tongkat di tangannya. Sebentar saja terlihat si gadis mulai terdesak. Baru saja dia berusaha menghindari
kejaran tongkat itu, tangan
Iblis Ular Hijau telah menyusul, diikuti oleh sebelah
lengannya yang lain, dan kedua kaki yang siap menerjang. Meski si gadis telah mengeluarkan jurus Walet
Tertidur pada bagian yang tertinggi, tak nanti dia bisa melepaskan diri dari
serangan-serangan Iblis Ular Hijau itu.
* * * Kita tinggalkan sejenak pertarungan itu untuk
melihat ke suatu tempat yang tak Begitu jauh dari
kampung itu. Seorang pemuda berwajah tampan dengan pakaian ku-mal berwarna merah, sedang asyik
menyan-tap makanan sambil bersandar pada sebuah
batang pohon. Dengan rambut dikuncir pada bagian
belakang dan periuk besar di bagian belakang tubuhnya, sepintas dia terlihat seperti gembel yang kelaparan. Sebentar-sebentar tatap matanya jauh memandang ke depan dengan kosong. Seolah ada sesuatu
yang sedang dipikirkannya. Siapakah pemuda ini"
Siapa lagi kalau bukan pendekar kita, si Hina Kelana
alias Buang Sengketa, murid si Bangkotan Koreng Seribu yang kesohor itu.
Dalam pada itu tiba-tiba matanya melihat asap
hitam mengepul dari kejauhan. Firasatnya mengatakan, pasti ada sesuatu yang tak beres di sana. Cepat
dia berdiri dan melesat ke arah itu sambil mengerahkan ajian Sepi Angin yang membuat tubuhnya berkelebat dengan cepat dan sulit diikuti kasat mata. Sebentar saja terlihat sebuah
Perkampungan yang diamuk
kobaran api yang menyala-nyala. Beberapa rumah habis terbakar dan sisanya porak poranda. Jerit ketakutan dan teriakan cuma terdengar dari beberapa orang
penduduk yang masih tersisa. Pemandangan pertama
yang dilihatnya ketika mendekati tempat itu adalah,
pertarungan seru antara seseorang yang berwajah buruk dengan tongkat ular di tangannya dengan seorang
gadis cantik jelita berpakaian biru bersenjata sebilah pedang. Meski pertarungan
itu sulit diikuti mata orang biasa, tapi bagi si pemuda yang berilmu tinggi itu,
sebentar saja dia bisa melihat bahwa si buruk rupa itu
berada di atas angin.
Melihat pertarungan yang tak seimbang itu, tentu
saja si pemuda tak bisa mendiamkan begitu saja. Apalagi ketika dilihatnya si buruk rupa mulai mengeluarkan uap racun lewat mulut ular di tongkatnya. Sebentar saja terlihat si gadis terbatuk-batuk dengan tubuh limbung ketika uap racun
itu menyelimuti wajahnya.
"Ha... ha... ha...! Segala anak kemarin sore sudah merasa giginya bertaring
bagai harimau di hadapan
Persekutuan Iblis Hitam!"
Iblis Ular Hijau tertawa terbahak-bahak sambil
pandangi tubuh si gadis yang menggeletak tak berdaya
terkena uap beracun di tongkatnya. Baru saja dia hendak menyambar tubuh itu ketika mendengar suara tawa mengejek. "Ha... ha... ha...! Segala Persekutuan Iblis Hitam hanya berani melawan
perempuan tak berdaya. Dasar
iblis cabul, ternyata hanya berisi orang-orang sundal
dan bangsat rendah!"
Dimaki demikian rupa bukan main pa-nas dan
jengkelnya Iblis Ular Hijau. Yang dilihatnya hanya ada seorang pemuda dengan
pakaian gembel warna merah
dengan rambut dikuncir dan periuk besar di punggungnya, tertawa nyengir sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Amarahnya meluap seketika.
"He, Bocah sialan! Apakah engkau ingin digebuk
karena mencampuri urusan Iblis Ular Hijau" Pergilah
segera! Aku tak bernafsu untuk membunuh orang hari
ini." "Segala iblis bau busuk, untuk apa aku musti takut pada kau" Aku datang dan pergi sesukaku, dan
melakukan apa pun yang ku suka. Kalau aku tak mau
pergi dan berniat mencampuri urusanmu, engkau bisa
berbuat apa?"
Diejek terus-terusan seperti itu, semakin meluap
amarah orang buruk rupa itu.
Sambil kertakkan rahang, dia mengayunkan
tongkat hendak menggeprak batok kepala si pemuda
dari Negeri Bunian itu dengan pukulan Ular Hijau. Suatu pukulan yang mengandung racun yang mematikan
dan bengis sekali, sebab walau hanya mencium uapnya saja dalam beberapa saat lawan akan tewas dengan seluruh tubuh kejang membiru. Gerakan pukulan
itu lambat, namun seperti ular mematuk, dia akan
bergerak bagai kilat begitu mendekati lawan.
"Bocah kurang ajar! Biar bapak moyangmu sekali
pun tak akan berani berkata begitu di hadapanku. Kini
mampuslah engkau!" teriak Iblis Ular Hijau yakin bahwa dengan sekali pukul,
hancurlah batok ke-pala pemuda itu. Tapi tak percuma Buang Sengketa sebagai keturunan si Piton Utara, raja dari Negeri Bunian yang berujud seekor piton raksasa, kalau menghadapi uap racun yang dikeluarkan si buruk rupa itu saja menjadi
keder. Sebab seperti kita ketahui, pemuda itu kebal
terhadap racun apa pun. Dan lagi pula, meski serangan itu bengis dan sadis karena bermaksud menghabisi lawan seketika, tapi kekurangannya adalah tak memikirkan bahwa lawan bisa menghindar dan kemudian
mengirim serangan balasan. Seperti apa yang dilakukan si pemuda. Dengan menggunakan jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra, tubuh Buang Sengketa
berkelebat sedemikian cepat menghindari serangan lawan, dan dengan tiba-tiba tangannya terpentang hendak menggaplok wajah lawan dengan jurus Si Hina
Mengusir Lalat. Iblis Ular Hijau kaget bukan main, dan tidak menyangka gerakan
lawan bisa secepat itu. Lagi
pula tak terpengaruh dengan uap racun yang di keluarkannya. Malah kalau dia tak cepat-cepat berkelit, bisa-bisa wajahnya yang berlipat-lipat itu akan kena
tamparan si pemuda.
"Haram jadah!" makinya kesal dan penasaran.
"Hak... hak.. hak...!" Buang Sengketa tertawa ganda. "Itulah upah orang yang
suka memandang rendah. Engkau pikir nama Iblis Ular Hijau mampu menakut-nakutiku" Huh, segala manusia tak karuan cuma punya nama kosong!"
Meledaklah amarah Iblis Ular Hijau diejek demikian. Tapi saat ini dia betul-betul tak punya waktu ketika mendengar suitan
panjang. Sambil kertakkan rahang menahan geram, dia kirim serangan kilat lewat
ujung tongkat yang menyambar-nyambar bagai lembaran kipas baja ke tenggorokan si pemuda. Jurus yang
dinamakan Ular Hijau Berbulan Madu ini hanyalah
suatu jurus tipuan yang sangat berbahaya, sebab bila
lawan sedikit lengah, maka sambaran ujung tongkat
yang runcing akan mengiris-ngiris kulit tubuh, namun
begitu lawan kerepotan berkelit ke sana sini, dengan
tiba-tiba dari mulut ular di tongkat itu menyemburlah
uap beracun berwarna hijau.
Buang Sengketa memang kebal racun, namun
menghadapi sambaran ujung tongkat lawan yang bergerak sedemikian rupa, agak repot juga. Belum bagi
kabut tebal dari uap beracun yang menghalangi pandangan. Melihat lawan menggunakan jurus curang begitu, bangkitlah kemarahan pemuda dari Negeri Bunian itu. Selarik gelombang Sinar Ultra Violet dari Pukulan Empat Anasir
Kehidupan segera menyambar ke
berbagai arah menembus uap beracun itu.
"Blar...! Blaar...!"
Buang Sengketa segera mencelat ke atas sambil
bersalto beberapa kali ke belakang.
Namun ketika menjejakkan kaki ke tanah, ternyata lawan sudah tak ada lagi. Hanya lapat-lapat terdengar suara yang dikerahkan lewat tenaga dalam
yang tinggi ke telinganya.
"Bocah sialan! Aku belum merasa kalah denganmu. Kalau engkau masih penasaran denganku, engkau
boleh menyambangiku di Bukit Seribu. Siapa tahu di
sana aku akan sempat menggali liang kubur untukmu.
Hak... hak... hak...!"
Buang Sengketa kesal bukan main. Jengkel dan
marah melihat lawan kabur di depan hidungnya sendiri, dia menghantam sebuah pohon dengan pukulan
Empat Anasir Kehidupan.
"Blaaaar...!"
"Kraaaaaak...!"
Pohon besar itu tumbang dan jatuh berdebum.
Tokh belum redakan amarahnya. Namun tiba-tiba
pandangannya tertumbuk pada gadis berpakaian biru
yang masih tergeletak pingsan. Sepintas saja dia dapat melihat bahwa gadis itu
terkena racun si Iblis Ular Hijau. Pemuda itu segera memberi pertolongan
padanya. Barangkali hanya begitu yang bisa diberikannya. Sementara pada saat itu Dukuh Kembang Asem telah
musnah terbakar, dan nama Persekutuan Iblis Hitam
adalah biang keladi kekacauan yang mulai melekat di
benaknya. 4 Singalodra duduk di singgasananya yang terbuat
dari batu pualam hitam. Beberapa orang kepercayaannya sedang memberi laporan tentang hasil kerja mereka selama ini. Sementara di samping kanannya terlihat
seorang laki-laki dengan wajah terlipat-lipat bagai kulit kayu yang sudah tua.
Memegang sebuah tongkat berkepala ular. Siapa lagi kalau bukan Iblis Ular Hijau
adanya! "Sanggalangit telah kami musnakan, dan ketuanya yang bernama Cakrabuana tewas," kata salah seorang yang melapor. Singalodra
manggut-manggut
sambil tersenyum kecil.
"Sayang, sungguh sayang. Padahal kalau mereka
mau bergabung baik-baik dengan kita tak akan begitu
jadinya. Tapi orang keras kepala seperti itu memang
harus dilenyapkan!" sahut Singalodra. "Bagaimana dengan kalian, Setan Lembah
Neraka?" lanjutnya bertanya pada tiga orang laki-laki botak dengan wajah seram menakutkan. Di tangan mereka masing-masing
terdapat senjata gada berduri.
Salah seorang menyahut, "Si Gelang-gelang Terbang bersedia bergabung dengan kita, dan beberapa
hari lagi dia akan ke sini."
"Bagus! Bagus! Ternyata beliau masih menghormati nama besar ayahanda Iblis Merah Darah. Usahakan kalian terus membujuk para tokoh-tokoh golongan
hitam lain agar mau bergabung dengan kita. Persekutuan Iblis Hitam akan terus berdiri dan merajai dunia


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan, dan tak seorang pun boleh untuk menghalang-halanginya!" Wajah Singalodra terlihat semangat, dan hawa dendam mewarnai
cita-citanya untuk menjadi raja diraja dunia persilatan seperti cita-cita bapaknya dahulu. Beberapa saat kemudian Singalodra menyuruh
mereka untuk keluar dari ruangan, sementara dia
sendiri hendak beranjak ke kamarnya setelah seseorang membisikkan sesuatu ke telinganya. Wajahnya
kelihatan berseri dengan ketawa kecil menghiasi wajahnya yang tampan.
"Paman boleh bersenang-senang mencari perempuan-perempuan yang paman sukai," katanya pada Iblis Ular Hijau. Agaknya
orangtua itu telah mengerti apa yang hendak dikerjakan ketua Persekutuan Iblis
Hitam itu. Dia cuma mengangguk kecil dan kemudian berkata pelan. "Singalodra, barangkali kita akan sedikit mendapat hambatan...." Dia tak meneruskan kata-katanya, melainkan berpikir sesaat.
Singalodra jadi penasaran
dibuatnya. Dia segera kembali duduk dan memandang
orang itu dengan serius.
"Hambatan apa, Paman?"
"Ada beberapa tokoh-tokoh muda berilmu tinggi
yang bisa jadi ancaman buat kita nantinya. Seperti
yang paman ceritakan ketika kami membumihanguskan Dukuh Kembang Asem itu...."
"Paman...." Berkata Singalodra sambil tersenyum meremehkan, "Ilmu silat Iblis
Merah Darah tiada ter-tandingi. Paman sendiri mengakui hal itu. Kenapa segala anak kemarin sore harus kita khawatirkan?"
Iblis Ular Hijau terdiam untuk beberapa saat tak
menjawab. Sebenarnya dia ingin mengatakan sesuatu
tentang pemuda yang dihadapinya di Dukuh Kembang
Asem itu, yang membuatnya penasaran setengah mati.
Pasalnya dia teringat pada seorang tokoh legendaris
puluhan tahun lalu yang sangat menjagoi dunia persilatan. Tokoh yang seluruh tubuhnya penuh dengan
bercak-bercak koreng, yang tak seorang pernah mengalahkannya. Tidak untuk si Iblis Merah Darah yang
pernah berduel dengannya, dan hanya keberuntungan
bisa melarikan diri yang menyelamatkannya. Pada pertarungan itu pun dia ikut menempur tokoh kosen tersebut. Yang justru membuatnya khawatir adalah, jurus-jurus si pemuda sangat mirip dengan tokoh itu!
Tapi Singalodra telah berpaling ke kamarnya, dan
sebentar saja terdengar tawanya yang berkepanjangan
diikuti dengan teriak ketakutan dari seorang perempuan; yang diculiknya dari sebuah perguruan silat
yang ditaklukkannya beberapa hari yang lalu.
* * * Puji Lestari berjalan pelan-pelan. Sebentarsebentar matanya melirik pemuda yang berjalan tak
acuh di sampingnya. Hatinya tak henti bertanya-tanya.
Pemuda itu sangat tampan, tapi pakaiannya aneh betul. Dengan jubah lusuh dan dekil, lalu rambut dikuncir dan periuk besar di punggungnya, dia betul-betul
persis gembel. Tapi acuhnya itu yang membuatnya
gregetan. Seolah dia tak perduli dengan kehadirannya
di sini. Padahal gadis itu tak terlalu jelek. Cantik malah iya. Barangkali juga
dia seorang pemalu, pikirnya.
Teringat ke situ dia mencari-cari bahan omongan.
"Namamu aneh...?"
Pemuda itu hanya nyengir sebelum men-jawab.
"Nama itu penuh dengan riwayat yang berkepanjangan. Aku bagai orang terbuang yang lahir seperti tak
diharapkan, tapi justru kelahiranku membuat banyak
persengketaan. Itulah sebab aku dinamakan Buang
Sengketa."
"Barangkali kita tak jauh beda. Kedua orangtua
ku pun telah tiada. Ki Pandaran memungut ku sejak
kecil. Tapi orangtua itu telah tewas pada saat aku tak berada di tempat. Aku tak
sempat membalas budinya.
Barangkali hanya dengan jalan menumpas orangorang Persekutuan Iblis keparat itulah bisa membuat
batin ku sedikit tenang..."
"Jadi kenapa kita musti menuju ke Perguruan Kilat Buana dahulu" Bukankah lebih baik langsung menuju ke Bukit Seribu menumpas manusia-manusia
laknat itu?" tanya si pemuda yang tak lain Buang
Sengketa adanya, dengan wajah bingung.
"Beliau meninggalkan pesan agar aku bergabung
dengan perguruan itu, dan bersama-sama menumpas
gerombolan iblis itu."
"Jauh lagi perjalanan ke sana?"
Gadis itu tertawa renyah. "Kalau kita terus bersantai begini, mungkin tiga hari lagi baru tiba di sana."
"Kalau begitu tunggu apa lagi"!" kata si pemuda sambil mengeluarkan ajian Sepi
Angin dan melesat cepat. Si gadis terkejut setengah mati. Tiba-tiba saja si
pemuda telah lenyap dari sampingnya. Tahulah dia,
bahwa selain memiliki kepandaian yang hebat waktu
menolongnya memunahkan racun di tubuhnya akibat
bertarung dengan Iblis Ular Hijau, pemuda itu pun
ternyata hebat ilmu larinya. Belum lagi hatinya yang
bertanya-tanya sampai sejauh mana kehebatan ilmu
silat pemuda itu.
Berpikir begitu malu benar hatinya sebab ilmu
larinya tak ada seujung kuku dibanding si pemuda.
Padahal dia telah mengerahkan seluruh kebisaannya.
Buang Sengketa melihat gadis itu terengah-engah
dari kejauhan, segera perlambat larinya hingga kembali bersama-sama.
"Gila! Engkau berlari seperti angin saja," puji si gadis. "Barangkali engkau ini
anak jin!" lanjut si gadis bercanda.
Tawanya renyah diselingi nafasnya yang terengah-engah. Buang Sengketa justru tersenyum kecil penuh arti. Kalau saja si gadis tahu bahwa apa yang ditebaknya itu benar, entah apa jadinya, pikir Pendekar
Hina Kelana itu. Barangkali juga dia akan ketakutan
atau malah terkejut kegirangan!
"Kenapa Singalodra membunuh gurumu?" tanya
Buang Sengketa setelah reda senyumnya.
"Mereka mengajaknya untuk bergabung ke dalam
Persekutuan Iblis Hitam. Tapi Ki Pandaran tak mau.
Beliau lebih baik me-milih mati daripada harus bekerjasama dengan mereka."
Pendekar dari Negeri Bunian itu anggukanggukkan kepala. "Apakah banyak dari tokoh-tokoh golongan putih yang bergabung
dengan Persekutuan
Iblis Hitam?"
"Menurut guruku banyak juga. Rata-rata mereka
dibujuk dengan harta keduniaan, dan sebagian kecil
karena ditaklukkan. Mereka yang takut mati lebih baik
memilih bergabung...." Wajah gadis itu tiba-tiba mendengus sinis. "Mereka itu
pengecut dan lebih pantas mati!" lanjutnya.
Buang Sengketa menyadari bahwa gadis ini sedang diamuk dendam. Dia hanya men-diamkan saja,
dan tak banyak bicara lagi. Sampai akhirnya mereka
tiba di suatu desa, gadis itu perlambat larinya dan berjalan seperti biasa.
Buang Sengketa pun mengikutinya.
"Aku belum pernah ke sini sebelumnya. Tapi menurut almarhum guruku, Perguruan Kilat Buana di
desa ini," kata gadis itu sambil memandang ke sekeliling. "Desa ini aneh!"
Berkata Buang Sengketa setelah matanya memperhatikan orang-orang di sekitar itu.
"Mereka kelihatan takut akan kedatangan kita. Ada apa gerangan?"
Gadis itu pun merasakannya. Wajah-wajah penduduk yang menatap mereka seolah curiga. Kemudian
cepat-cepat menutup pintu rumah mereka. Atau yang
sedang duduk di depan rumah, buru-buru menghindar. Bahkan yang berselisih jalan dengan mereka, buru-buru kembali surut.
"Ada apa?" tanya gadis dalam hatinya. Dia bermaksud mendekati salah seorang.
Namun orang itu
buru-buru kabur seperti ketakutan.
"Aneh...!" desis si pemuda. "Coba kita tanya orang-orang di warung sana.
Barangkali kita akan
mendapat penjelasan." Gadis itu menyetujui. Namun ketika mereka baru saja
mendekati pintu, orang-orang
yang berada di sana buru-buru keluar dengan wajah
ketakutan. Begitu pun halnya dengan si pemilik warung. Dia buru-buru masuk ke dalam. Namun si gadis
yang sudah kepalang penasaran dan kesal karena tak
menemukan jawab atas sikap mereka, segera memburunya dan menangkap pergelangan laki-laki setengah
baya berperut buncit itu.
"Tunggu, Pak! Ada apa sebenarnya di desa ini"
Kenapa setiap orang yang kami jumpai seolah-olah ketakutan?" Laki-laki itu menampakkan wajah gelisah. Beberapa kali matanya melirik ke arah pintu, dan mereka
berdua secara bergantian. Tiada kata yang keluar selain dari hentakan tangannya yang ingin melepaskan
diri dari cengkeraman gadis itu. Tapi mana mau si gadis melepaskannya sebelum dia dapat penjelasan.
"Kedatangan kami ke sini bermaksud baik, Pak.
Bapak tak perlu takut!" kata si gadis berusaha ramah sambil tersenyum. "Coba
bapak jelaskan, ada apa sebenarnya di desa ini?"
Dia kembali menatap pintu depan dan kedua
orang itu bergantian. Kali ini tangannya tak berontak
lagi. Hanya wajahnya yang memelas menatap pada mereka. Kemudian katanya lirih: "Aduh, Nona.... lebih baik tinggalkan desa ini
secepatnya, Kalau tidak, kami bisa celaka! Tolonglah... cepat tinggalkan desa
ini secepatnya...."
"Ada apa, Pak" Apa yang terjadi dengan desa ini?"
tanya si pemuda ikut penasaran. Laki-laki itu sejenak
memperhatikan si pemuda. Hatinya hendak tertawa
lucu melihat dandanan si pemuda. Barangkali juga
bertanya-tanya, mengapa seorang gadis cantik jelita ini mau berjalan bersama
pemuda gembel yang aneh ini"
Tapi apa perlunya dia bertanya kalau hal itu berarti
mengundang kematiannya"
"Sa... saya tak bisa menjelaskannya. Lebih baik
kalian pergi secepatnya dari tempat ini...!"
Buang Sengketa garuk-garuk rambut di kepalanya yang tak gatal. Meski jengkel, tapi apakah harus dilampiaskan dengan
menghajar orang ini" Dia sudah
ketakutan begitu, pasti ada sesuatu yang membuatnya
demikian. Pemuda itu hanya angkat bahu ketika si gadis meliriknya. Tapi Puji Lestari bukanlah gadis yang
terlalu sabar menghadapi persoalan seperti ini. Kejengkelannya bisa memuncak menjadi amarah. Dengan
satu sentakan, ditariknya pemilik warung itu ke atas
dengan sebelah tangan. Laki-laki setengah baya berperut buncit itu seketika berwajah pucat. Kedua muda
mudi ini berilmu tinggi, pikirnya. Dia seolah berada dalam dua pilihan yang sama
tak enak. "Katakan! Ada apa sebenarnya di balik semua
ini" Atau tubuhmu akan kulempar ke seluruh ruangan
ini hingga porak poranda!" ancam si gadis sambil mulai memutar-mutar tubuh orang
itu. Makin ketakutanlah si pemilik warung. Dengan suara cemas, dia berteriak-teriak ketakutan.
5 "Baiklah! Baiklah! Tapi turunkan dulu, dan kalian berjanji akan melindungiku!"
Si gadis segera hentikan perbuatannya sambil
anggukkan kepala. Orang itu menarik nafas sesaat.
Kemudian katanya,
"Beberapa hari yang lewat orang-orang Persekutuan Iblis Hitam menyerbu ke sini. Mereka merampok
dan menculik semua perempuan-perempuan cantik di
desa ini. Tujuan mereka sebenarnya memancing pihak
Perguruan Kilat Buana yang bermarkas di ujung desa
itu untuk keluar membela para penduduk, di samping
tujuan-tujuan pribadi. Kilat Buana tadinya tak terpancing kalau tindakan mereka tak melampaui batas
seperti itu. Tapi.... Persekutuan Iblis Hitam terlalu
tangguh buat mereka. Seluruh murid-murid Kilat Buana dibunuh habis semuanya, dan... dan desa ini dikuasai oleh mereka. Kami... kami, dilarang berhubungan dengan orang-orang asing yang bukan termasuk
anggota Persekutuan Iblis Hitam. Bahkan untuk berbicara...." Belum lagi selesai ucapan laki-laki itu, tiba-tiba
dia menjerit kesakitan dan langsung roboh.
"Awas!" Buang Sengketa memperingatkan si gadis sambil berjumpalitan ketika
beberapa buah benda melesat ke arah mereka. Si gadis pun ternyata bukan
orang sembarangan. Tak percuma dia menjadi murid
Perguruan Walet Biru yang kesohor dengan ilmu pendengarannya yang baik kalau tak mampu merasakan
sesuatu yang berdesir ke arah mereka. Sambil melompat tinggi ke atas, dia mengikuti gerakan si pemuda
menerobos lewat atap warung dan turun dengan sempurna. Baru saja mereka menjejakkan kaki ke tanah,
kembali berdesir sesuatu ke arah mereka. Kali ini tera-sa lebih berat seolaholah radius satu tombak dari mereka berada dipenuhi oleh sesuatu yang tak terlihat
namun terasa hawa dingin yang menusuk pernafasan
mereka. Pemuda dari Negeri Bunian itu jadi jengkel dibuatnya. Begitu dilihatnya si gadis telah membabatkan
pedang ke sana ke mari, dia pun segera menjulurkan
sebelah lengannya. Selarik gelombang Ultra Violet segera menyebar ke segala penjuru dan menabrak segala
sesuatu yang menghalanginya. Pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang dikeluarkan Buang Sengketa ternyata
membawa hasil. Paling tidak badai serangan gelap itu
menjadi sirna untuk sementara. Barulah mereka dapat
melihat dengan jelas, siapa adanya si penyerang itu.
Seorang laki-laki tinggi kurus bermuka lonjong
dengan kulit hitam, tersenyum sinis pada mereka. Di
belakangnya beberapa orang berseragam jubah hitam


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampaknya mengurung rapat-rapat tempat itu. Seolah-olah tiada jalan keluar sedikit pun untuk mereka
bisa kabur. Melihat hal itu Buang Sengketa malah ketawa ganda. "Pucuk dicinta ulam tiba! Jauh-jauh dicari ternyata malah datang sendiri mencari mati. Hak... hak...
hak...!" kata si pemuda. Pikirnya, tentulah mereka ini orang-orang dari
Persekutuan Iblis Hitam, sebab menurut si gadis, gerombolan itu selalu
berseragam jubah hitam pada tiap anggotanya, seperti apa yang dilihatnya saat
ini. "Bocah, kematianmu telah di ujung mata, tertawalah sepuas hati sebelum kami mencabut selembar
nyawamu yang tak berguna!" balas si muka lonjong sinis. Dia segera mengeluarkan
sepasang trisula dari
pinggangnya. Agaknya orang ini tak suka berbasa basi
dan berdarah dingin, sebab tanpa penjelasan apa-apa
dia telah menyerang mereka berdua dengan jurusjurus yang mematikan.
Buang Sengketa tentu saja telah men-duga hal
itu, dan menyiapkan jurus tangkisan. Tapi tak terduga
sama sekali bahwa manusia bermuka lonjong itu langsung mengeluarkan ilmu silat kelas tinggi untuk
menghajarnya. Tentu saja si pemuda yang tak menyangka demikian jadi kelabakan sendiri. Pikirnya,
pastilah lawannya saat ini anggota biasa dari gerombolan itu, mengingat pakaiannya yang biasa saja dan
senjata di tangannya yang terlihat tidak luar biasa.
Akibatnya sungguh tak terduga buatnya. Dada si pemuda terkena goresan senjata lawan setelah dia berusaha menghindar dari satu pukulan yang dibarengi
dengan sapuan kaki.
Murid si Bangkotan Koreng Seribu itu terhuyunghuyung kesakitan, dan darah segar mulai menetes dari
dadanya. Melihat itu si muka lonjong tertawa keras.
"Bocah! Engkau telah terkena Racun Kelabang
Hitam yang mematikan. Sebentar lagi tubuhmu akan
membiru dan kejang-kejang, dan setelah itu engkau
boleh menemui bapak moyangmu. Ha... ha... ha...!"
Tapi tak percuma Buang Sengketa sebagai keturunan raja dari Negeri Bunian yang kebal terhadap racun apa pun. Yang membuatnya kesal hanya rasa penasaran dan jengkel akibat memandang rendah pada
lawan. Sambil kertakkan rahang menahan geram, hawa kesadisan menyatu dalam jiwanya melihat kepada
manusia telengas itu. Dengan satu teriakan nyaring,
dia melesat ke arah lawan dengan mempergunakan
Jurus Si Jadah Terbuang. Suatu jurus handal yang jarang dikeluarkan kalau tidak pada kejengkelan yang
memuncak. Tubuhnya berkelebat ke sana sini dengan
kecepatan yang sulit diikuti kasat mata.
Si muka lonjong yang dalam dunia persilatan dikenal sebagai si Kelabang Hitam, tokoh sesat yang paling ditakuti dalam dunia persilatan. Baik tokoh golongan hitam maupun putih. Senjata trisulanya kelihatan
biasa tapi sebetulnya mengandung racun mematikan
yang tak terlihat dan tak berbau. Lawan yang tak mengetahui hal itu pasti akan menganggapnya remeh, dan
di situlah keberuntungan si Kelabang Hitam. Seperti
yang terjadi pada Buang Sengketa tadi. Tapi dia tak bi-sa langsung bergirang,
sebab setelah beberapa saat
berlalu, tak terlihat tanda-tanda bahwa si pemuda terkena pengaruh racunnya. Malah serangannya semakin
hebat dan membuat si Kelabang Hitam jadi kerepotan
sendiri dibuatnya.
"Oh, jadi engkau yang bergelar si Kelabang Hitam
bermuka jelek itu?" ejek si pemuda sambil terkekeh mempermainkan lawan. "Racun
kelabangmu betul-betul obat yang paling mujarab. Sebentar saja tubuhku
yang tadi pegal-pegal kini terasa segar untuk menggebuk mukamu yang jelek itu!" Ucapan si pemuda terbukti ketika dalam satu kesempatan berhasil menghajar lawan. Kelabang Hitam merasakan punggungnya sakit
luar biasa terkena pukulan si pemuda. Untung saja
murid si Bangkotan Koreng Seribu itu tak mengerahkan pukulan yang mematikan, kalau tidak, niscaya
nama Kelabang Hitam akan sirna saat itu juga.
Tapi manusia satu ini kedot luar biasa. Dalam
satu kesempatan dia merangkapkan kedua telapak
tangan setelah tadi trisulanya terpental dengan tendangan susulan yang dilancarkan si pemuda. Meski dirasanya tenaga lawan sangat kuat, terbukti tangannya
masih kesemutan terkena hajaran si pemuda, tapi tak
nanti pemuda itu bisa melepaskan diri dari Pukulan
Arang Beracunnya, pikir si muka lonjong itu.
Segulungan uap hitam perlahan-lahan keluar dari telapak tangannya. Untuk se-saat Buang Sengketa
terperanjat kaget. Naluri silumannya segera mengingatkan akan bahaya yang mengancam keselamatannya. Apalagi ketika perlahan-lahan uap itu membentuk
suatu sinar hitam yang melesat cepat ke arahnya. Buru-buru pemuda itu berjumpalitan menghindari diri.
Terlihat olehnya batang pohon di samping warung
yang terkena pukulan itu tiba-tiba seluruh daundaunnya menjadi layu dan perlahan-lahan meranggas.
Pemuda itu bergidik sendiri membayangkan bila tubuhnya yang terkena pukulan itu.
Sementara itu si gadis sedang kerepotan menghadapi kerubutan beberapa orang berjubah hitam. Pedangnya berkelebat ke sana sini dengan kecepatan penuh. Namun tak seorang pun dari mereka yang terkena. Gadis ini jadi penasaran sendiri dibuatnya. Bahkan beberapa kali dia kena didesak dan kerepotan untuk menangkis serangan-serangan balasan. Hatinya
panas bukan main melihat keadaan itu, dan bertanyatanya, bila saja anak buahnya sudah begini hebat, bagaimana dengan Singalodra sendiri" Berpikir begitu
timbul rasa putus asa dalam dirinya.
Sebenarnya si gadis tidak mengetahui bahwa
yang dihadapinya saat ini adalah sebagian pasukan inti Persekutuan Iblis Hitam yang ditugaskan menjaga
desa ini dari kedatangan orang-orang asing yang dicurigai seperti mereka. Sebagai pasukan inti, tentu saja kepandaian mereka tak
sembarangan. Rata-rata ilmu
silat mereka seimbang dengan kepandaian si gadis.
Maka tak heran kalau sebentar saja si gadis sudah
terdesak hebat, bahkan beberapa kali senjata lawan
hampir melukai tubuhnya.
"Jangan!" teriak salah seorang di antara mereka ketika kawannya hendak membabat
kutung sebelah lengan gadis yang sudah terpojok tak berdaya ketika
sebelah kakinya kena dihantam lawan dan tubuhnya
jatuh berdebum ke tanah. "Gadis ini sangat cantik. Sebaiknya kita persembahkan
saja pada ketua!" lanjutnya. "Beliau pasti senang sekali dengan persembahan
kali ini. Sebaiknya ditotok saja agar gampang membawanya." Salah seorang segera bergerak hendak. menotok
gadis itu. Namun pada saat itu berkelebatlah selarik
gelombang sinar berwarna merah menghantam dua
orang di antara mereka, dan jerit kesakitan segera
mengiring kematiannya. Kawan-kawannya terkejut setengah mati melihat itu. Reflek mereka segera menoleh
ke arah datangnya pukulan itu, dan terlihat pemuda
berkuncir yang sedang bertempur dengan si Kelabang
Hitam sedang terkekeh-kekeh.
"Iblis-iblis keparat! Apa kalian pikir bisa berbuat seenaknya di hadapanku" Huh,
jangan coba-coba untuk berbuat kurang ajar pada gadis itu. Kalau tidak,
kalian rasakan sendiri akibatnya!" gertak si pemuda sambil kiblatkan tangan dan
kemudian selarik gelombang merah menyala melesat cepat ke arah si Kelabang
Hitam. Masih bagus si muka lonjong itu bisa menghindarinya dan melancarkan serangan balasan dengan
pukulan Arang Beracunnya.
"Blaaar...!"
Dua pukulan beradu menimbulkan suara hebat.
Si Kelabang Hitam terhuyung-huyung beberapa tindak.
Dari sela-sela bibirnya keluar darah merah kehitamhitaman. Dia cepat bersila di tanah melancarkan jalan
darah dan atur pernafasan. Sementara si pemuda
hanya bergetar tubuhnya, namun tak urung jalan darahnya terasa berdenyut kencang tak beraturan.
Dalam pada itu si gadis kembali mengamuk mengayunkan pedangnya ke sana sini dengan sebat. Seolah semangatnya kembali bangkit ketika mengetahui
bahwa pemuda aneh yang sejak tadi berjalan bersamanya ternyata berilmu tinggi. Tapi walaupun kedua
kawannya telah tewas, tetap saja dia tak mampu untuk mendesak orang-orang berjubah hitam itu. Kini
kembali mereka mendesaknya habis-habisan. Namun
pada saat itu, muncullah seseorang yang langsung
menghajar dua orang berjubah hitam itu hingga terhuyung-huyung sambil men-dekap dada. Si gadis segera melirik pada orang yang baru muncul itu. Seorang
pemuda yang berwajah tampan, berambut pen-dek
dengan ikat kepala warna hitam serta berpakaian serba putih. Di pinggangnya terselip sebilah golok yang
agak panjang. Sesaat dia melirik pada gadis itu, dan
kembali menempur orang-orang berjubah hitam setelah anggukkan kepala sambil tersenyum.
Sementara itu pertarungan antara Buang Sengketa dan si Kelabang Hitam telah mencapai persoalan
hidup atau mati. Si pemuda telah mencabut pusaka
Golok Buntung sambil mengeluarkan suara mendesis
laksana Ular Piton mengamuk. Dalam pada itu si Kelabang Hitam sangat terkejut melihat aksi si pemuda.
Apalagi ketika melihat senjata di tangannya yang mengeluarkan sinar merah menyala, dibarengi dengan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sum-sum
dan suara berisik bagai auman puluhan harimau terluka. Dia takjub untuk beberapa saat, namun kelengahannya harus dibayar mahal karena senjata di tangan si pemuda berkelebat dengan cepat ke pangkal lehernya. "Craaas...!"
Si Kelabang Hitam tak sempat berteriak saat kepalanya menggelinding ke tanah. Beberapa orang berjubah hitam yang melihat si Kelabang Hitam tewas,
ada yang coba-coba melarikan diri. Tapi kedua lawannya tentu saja tak bisa membiarkannya begitu saja.
Lebih-lebih si gadis yang merasa sangat penasaran tak
mampu melukai lawan sedikit pun.
"Jangan harap kalian bisa pergi dengan bernyawa!" teriak si gadis sambil ayunkan pedang. Tapi hal
itu sia-sia, sebab sambil melompat menghindarkan diri, orang itu lemparkan suatu bungkusan yang begitu
jatuh ke tanah, langsung menimbulkan asap tebal
yang menghalangi penglihatan. Begitu asap sirna,
orang-orang berjubah hitam itu tak terlihat lagi.
6 Singalodra segera berdiri dari kursi dengan mata
melotot garang pada mereka. Kedua alisnya terangkat
tinggi-tinggi, dengan gerakan yang sangat cepat, tibatiba tangannya telah menggenggam sebilah pedang
yang seluruh permukaannya berwarna hitam mengkilat. Pucatlah wajah orang-orang berjubah hitam di hadapannya yang sejak tadi menundukkan kepala dengan wajah ketakutan.
"Buat Persekutuan Iblis Hitam, tak ada cerita untuk melarikan diri dari pertempuran. Kalian telah melanggar hal itu dan membuat malu nama Persekutuan
Iblis Hitam. Kematian lebih pantas untuk kalian!" ucap Singalodra dingin.
"Aaaa... ampun, Tuanku Singalodra. Ka...
kami berlima bukan bermaksud lari dari pertempuran.
Ta... tapi, siapa yang akan memberitahukan hal ini kepada Tuanku kalau kami binasa semua...."
"Craaaaaas...!"
Kelima orang berjubah hitam itu segera melolong
setinggi langit ketika pedang di tangan Singalodra berkelebat dengan cepat dan
sulit diikuti kasat mata. Tubuh mereka segera ambruk dengan satu sabetan panjang pada bagian dada. Namun tak satu pun di antaranya yang mengeluarkan darah. Tubuh-tubuh mereka
pucat dan kering bagai mayat yang telah tergeletak
berhari-hari. Beberapa orang yang berada di situ bergidik bulu kuduknya menyaksikan hal itu. Dengan takut-takut beberapa orang yang membawa mayat-mayat
itu keluar. "Peringatan buat kalian yang lain untuk jujur
mengikuti segala perintahku!" kata Singalodra sambil putar pandangan ke seluruh
ruangan. "Kalau kataku harus pertahankan sesuatu, maka nyawa kalian taru-hannya
dan jangan kembali dengan nyawa melekat di
tubuh walau untuk alasan apa pun. Beda kalau kuperintahkan kalian untuk merampok atau menculik perempuan-perempuan cantik. Kalian wajib menyelamatkan selembar nyawa kalian bila musuh terlalu
tangguh untuk dihadapi. Ingat baik-baik hal itu!"
Setelah orang-orang yang berada di situ anggukanggukkan kepala, Singalodra segera menyuruh mereka untuk keluar. Kecuali si Iblis Ular Hijau yang selalu berada di sampingnya.
"Apakah mereka itu yang paman maksudkan
tempo hari?" tanya Singalodra pada si Iblis Ular Hijau dengan wajah serius.
"Apakah sekarang paman mera-gukan bahwa ilmu silat Iblis Merah Darah yang diwariskan ayahanda padaku adalah ilmu silat yang sulit
dicari tandingannya?"
Iblis Ular Hijau hela nafas panjang sebelum menjawab pelan. "Ilmu silat ayahandamu memang hebat
dan sulit dicari tandingannya. Si Rajawali Bukit Seribu beserta dua kembratnya
itu tak mungkin mampu mengalahkan ayahandamu kalau beliau tak terluka parah
akibat pertarungan dengan salah seorang tokoh kosen
yang sulit dicari tandingannya...."
"Siapa" Siapa tokoh yang paman maksudkan
itu"!" Singalodra nampak penasaran sekali. Pasalnya dia yakin sekali bahwa ilmu


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silat yang dimilikinya saat ini, tak ada yang menandingi.
"Tokoh itu berasal dari Barat dan malang melintang di tanah ini, dan banyak menaklukkan tokohtokoh sesat golongan hitam. Salah satu di antaranya
adalah kami berdua pada saat itu. Seluruh tubuhnya
penuh dengan bercak-bercak koreng, itulah sebabnya
dia mendapat julukan si Bangkotan Koreng Seribu.
Senjata andalannya adalah sebuah pecut yang apabila
dilecutkan akan menimbulkan awan gelap dan petir
yang menggelegar bagaikan badai alam yang dahsyat.
Hanya karena kekuatan ilmu tenaga dalam ayahandamu sajalah yang menyebabkan dia tidak langsung
tewas ketika pecut itu menghantam tubuhnya. Tapi dia
terluka parah dan tak seorang pun bisa menyembuhkannya. Barangkali pun kematiannya hanya tinggal
waktu saja. Itulah sebabnya dia masih sempat menulis
kitab ilmu silatnya yang kelak akan diwariskan padamu. Jadi sebenarnya tidak benar bahwa ayahandamu
mati di tangan Rajawali Bukit Seribu beserta dua kembratnya itu. Meski mereka bertiga punya ilmu yang tak
bisa dipandang enteng, namun untuk melawan Iblis
Merah Darah, mereka tak akan ungkulan. Dengan luka berat yang dideritanya, mereka bertiga hanya mempercepat kematiannya saja...."
"Tapi apa hubungan cerita paman itu dengan mereka"!" tanya Singalodra tak sabar.
"Ada," sahut Iblis Ular Hijau tenang. "Aku pernah bertempur dengan si pemuda
berkuncir yang dicerita-kan orang-orangmu yang telah engkau bunuh tadi.
Ada beberapa gerakan ilmu silatnya yang kukenal sangat mirip dengan ilmu silatnya tokoh itu. Kalau benar
dia muridnya, pastilah hal ini akan mengancam Persekutuan Iblis Hitam!"
"Paman, jangan coba-coba untuk melemahkan
semangatku. Ilmu silat Iblis Merah Darah tak ada tandingannya, dan aku sendiri telah membuktikan hal itu.
Sejauh ini tak ada seorang pun yang mampu menahan
ajian Kidung Neraka!" sahut Singalodra tersenyum sinis. "Singalodra, paman pun
mengakui hal itu, tapi tugas paman saat ini hanya sebagai penasehat. Kalau-kalau
hal itu memang benar, tapi syukur kalau hal itu
cuma omong kosong belaka. Namun walau bagaimana
pun kita patut waspada...."
"Aku tidak gentar, Paman!" potong Singalodra cepat. "Dan kuharap pun paman bukan
hanya mencari- cari alasan karena takut menghadapi pemuda itu setelah merasakan ilmu silatnya."
Iblis Ular Hijau segera terkekeh panjang. Lalu
berkata pelan namun terasa bahwa ia tersinggung
dengan ucapan ketua Persekutuan Iblis Hitam tadi.
"Iblis Ular Hijau selamanya tak pernah takut
menghadapi siapa pun asal orang itu bukan si Bangkotan Koreng Seribu!"
"Nah, sekarang paman bawa beberapa orang pilihan untuk meringkus mereka dan tunjukkan padaku
bahwa paman adalah tokoh golongan hitam yang tak
takut menghadapi siapa pun!"
"Maksudmu engkau ingin agar kami meringkus
mereka" Kenapa tak sekalian membunuhnya saja?"
"Begitu lebih baik. Tapi ingat, jangan ciderai gadis itu!" Singalodra tersenyum
penuh arti. "Paman ta-hu maksudku bukan?"
Iblis Ular Hijau kembali terkekeh panjang sebelum berlalu dari ruangan itu.
*** Sore telah berganti malam ketika ketiganya telah
beranjak dari desa itu. Mereka terpaksa menginap di
dalam sebuah hutan yang lumayan lebat. Tapi untung,
agaknya laki-laki itu telah terbiasa dengan kehidupan
demikian, sebab tak berapa lama kemudian dia berhasil menangkap dua ekor kelinci untuk santap malam
mereka. "Tidak terlalu gemuk, tapi lumayan untuk pengganjal perut!" katanya tersenyum sambil menyalakan api dari batu pemantiknya.
Sebentar kemudian setum-puk api unggun mulai menerangi wajah ketiganya.
Pemuda itu mulai memanggang hasil buruannya. Sementara dua orang kawannya sebentar-sebentar membantu membolak baliknya.
"Jadi engkau satu-satunya murid Kilat Buana
yang berhasil meloloskan diri?" tanya si gadis sambil mencicipi sekerat daging.
"Ya. Aku terpaksa kabur ketika kulihat semua
kawan-kawan yang lain dibantai mereka dengan sangat keji. Tapi tak jauh dari desa itu. Aku mencari-cari kesempatan untuk
menghancurkan mereka secara
perlahan-lahan, sambil menunggu pendekar-pendekar
golongan putih yang singgah ke sini dan bergabung
bersama-sama menghancurkan Persekutuan Iblis Hitam itu." "Memang keterlaluan mereka!" cetus pemuda
dengan rambut dikuncir. Dia hanya menolak ketika
daging kelinci itu sudah matang dan si gadis menyodorkan sekerat untuknya, sebab di tangannya sendiri
masih tersisa beberapa potong dendeng lumba-lumba
yang selalu tersedia cukup dalam periuk besar yang
selalu dibawa-bawanya. Barangkali mereka berdua belum terbiasa, hingga menolak saat ditawarkannya tadi.
Mungkin juga karena si pemuda berbaju putih itu merasa bahwa soal makanan tak terlalu merepotkannya.
Buktinya dia dengan gampang mendapatkan dua ekor
kelinci itu. "Barangkali kalian hanya tahu bahwa apa yang
mereka lakukan cuma sekedar me-rampok dan membuat onar di mana-mana...." Pemuda itu menghentikan ucapannya untuk beberapa
saat. "Tapi lebih dari itu,"
katanya melanjutkan, "Mereka adalah sekumpulan iblis cabul tukang memperkosa
anak bini orang, dan salah satu korban mereka adalah...." Pemuda itu tak meneruskan kata-katanya. Dia
menundukkan kepala
dengan wajah gundah. Dari cahaya api unggun yang
menjilat wajahnya, terlihat bahwa pemuda itu sangat
berduka. "Kenapa, Saudara Jaka Sumbawa?" tanya pemuda berkuncir itu heran.
"Tunanganku pun yang tinggal di desa itu turut
menjadi korban mereka. Aku tak tahu bagaimana nasibnya saat ini, tapi apa pun yang terjadi dengannya,
aku bersumpah akan membunuh Singalodra dengan
tanganku!" katanya dengan wajah beringas. Tangannya terkepal dengan kuat hingga
terlihat otot-otot di buku-buku jarinya menegang. Kemudian dia berpaling pada
pemuda berkuncir itu. Lalu katanya pelan. "Saudara Buang Sengketa, bila
perjalanan kita telah tiba di sa-na, aku minta agar Singalodra bagianku!"
"Kalau saja anak buahnya sedemikian hebat, tentulah Singalodra berilmu tinggi. Barangkali dia bukan
tandinganmu, Saudara Jaka Sumbawa. Biarlah aku
yang mewakili engkau untuk menempurnya...."
"Tidak!" sahut pemuda itu sengit. "Dia harus mati di tanganku agar dendamku
terbalas impas! Di depan
mataku mereka membunuh guru yang telah mengasuhku sejak kecil dan telah kuanggap sebagai orangtua ku sendiri, kemudian membunuh saudara-saudara
seperguruanku, dan terakhir di depan mataku sendiri
menculik tunanganku tanpa aku bisa berbuat apaapa!" Pemuda berkuncir yang tak lain adalah Buang Sengketa, putra raja dari
Negeri Bunian dan murid dari
si Bangkotan Koreng Seribu itu tundukkan kepala untuk beberapa saat. Dia dapat memahami apa yang dirasakan si pemuda, tapi kalau untuk berlaku nekad
seperti itu, sama halnya dia dengan mengantarkan
nyawa dengan per-cuma. Kalau saja melawan anak
buah Singalodra yang memporak porandakan perguruannya dan menculik tunangannya di depan mata
sendiri dia tak mampu untuk melawan, apalagi menghadapi Singalodra sendiri seperti tekadnya tadi. Buang Sengketa hela nafas
pendek. Seperti kita tahu, ternyata pemuda itu adalah
orang yang mereka temui di desa yang tak begitu jauh
dari Perguruan Kilat Buana, yang ikut membantu si
gadis ketika dikerubuti orang-orang Persekutuan Iblis
Hitam. Setelah tak menemui siapa-siapa lagi di sana,
mereka akhirnya bertekad untuk menyambangi Singalodra di tempat kediamannya di Bukit Seribu. Apalagi
setelah mereka mengetahui ternyata si pemuda berilmu cukup tinggi, semangat mereka tambah menyala
untuk menghadapi ketua Persekutuan Iblis Hitam itu
beserta anak buahnya.
Dalam pada itu malam semakin kelam. Jaka
Sumbawa telah tertidur lelap bersama anganangannya untuk membebaskan tunangannya dan
membunuh Singalodra di sarangnya sendiri. Sementara Buang Sengketa sendiri masih tidur-tidur ayam tak
jauh dari tempat pemuda itu. Matanya akhirnya terbuka lebar menengadah ke langit hitam di angkasa setelah sekian lama terpejam tak juga mau terlelap. Banyak hal yang dipikirkannya selama ini, dan hal itu
akan kembali melintas pada saat-saat sepi seperti saat ini. Kenangan ketika
bersama gurunya si Bangkotan
Koreng Seribu ketika mereka masih bersama-sama di
pantai karang Tanjung Api, kemudian ayahandanya
yang bertapa entah di mana dalam ujud seekor ular
raksasa. Semua hal itu membuat batinnya seakan teriris-iris mengingat hidupnya yang seorang diri tanpa
sanak saudara. Tiba-tiba reflek dia bergerak ketika merasakan
sesuatu yang mendekat secara perlahan ke arahnya.
Hela nafasnya lega ketika mengetahui siapa bayangan
itu. Ternyata si gadis yang berjalan mendekatinya dan
tersipu malu ketika pemuda itu mengetahuinya. Dia
menundukkan kepala sambil duduk di depan api unggun mengais-ngais beberapa potong kayu yang
ujungnya membara.
"Ada apa?" tanya si pemuda pelan. Si gadis itu masih tetap menunduk tak
menjawab. Buang Sengketa
segera bangkit mendekatinya dan duduk di sebelah
gadis itu sambil mengangsurkan kedua telapak tangannya di atas api unggun. Kemudian menggosokgosokkannya. 7 "Malam ini terasa dingin, ya?" lanjut si pemuda itu mencari-cari bahan omongan.
Gadis itu melirik se-kilas padanya sambil tersenyum. Murid si Bangkotan
Koreng Seribu itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan
untuk membalas senyumnya.
"Kenapa tidak tidur?"
"Karena tidak mengantuk," sahut si pemuda bercanda.
"Engkau tentu sangat lelah sekali, ya?" Gadis itu tak menggubris.
"Tidak! Aku telah terbiasa hidup seperti ini...."
"Engkau tidak merasa kesepian...?"
"Kadang-kadang."
"Saat ini aku merasa hidup sendiri tanpa sanak
saudara. Keluargaku dibantai dengan keji oleh orangorang Persekutuan Iblis Hitam, begitu pun dengan
guru serta saudara-saudara seperguruanku. Masih untung saat itu aku tak berada di tempat, kalau tidak,
entah apa yang terjadi denganku." Si gadis menghela nafas pendek untuk beberapa
saat sebelum melanjutkan ucapannya. "Menghadapi anak buah Singalodra saja aku
sudah merasa kerepotan, apalagi coba-coba
untuk membalas dendam dengan iblis keparat itu. Rasanya sampai kiamat pun aku tak akan mampu...."
"Engkau tak boleh berkata begitu. Di atas langit
masih ada langit, begitu pun dengan ilmu silat. Biar
Singalodra malang melintang tak terkalahkan selama
ini, belum tentu tak ada orang yang bisa mengalahkannya." "Oh, engkau mau membalaskan sakit hati ku padanya?" seru si gadis girang. Wajahnya penuh harap menatap si pemuda berkuncir
itu. Tanpa sadar jari-jarinya mencekal lengan si pemuda. Dia baru tersadar
ketika Buang Sengketa merasa rikuh dan serba salah.
"Oh... ng... maaf," katanya melanjutkan sambil membuang muka setelah tersipusipu tadi. "Tunangan mu pasti akan cemburu jika melihat hal ini."
"Aku tak punya tunangan siapa-siapa...."
"Orang seperti engkau pasti suka berbohong.
Pedang Ular Merah 7 Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis 4

Cari Blog Ini