Ceritasilat Novel Online

Geger Pantai Rangsang 1

Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang Bagian 1


1 GEGER di Pantai Rangsang diawali dengan ditemukannya sepotong kepala orang yang terpenggal.
Kepala itu ditancapkan pada sebatang bambu yang
tinggi dan besarnya seukuran dengan tongkat pramuka. Bambu berlumur darah itu tertancap dl pasir Pantai Rangsang, sedangkan kepala orang yang habis dipenggal tertancap di atas bambu tersebut.
Entah ke mana badan orang yang dipenggal kepalanya itu, yang jelas beberapa penduduk desa nelayan di sekitar Pantai Rangsang hanya bisa menonton
kekejian tersebut. Mereka sudah berusaha mencari
badan orang itu, tapi tetap tak ditemukan. Agaknya
badan si korban dilemparkan ke lautan lepas dan
mungkin sudah habis dimakan ikan-ikan ganas.
Orang yang mengerumuni tempat kepala ditancapkan itu tak ada yang berani menyentuh atau menyingkirkan. Mereka masih saling berkasak-kusuk
dengan tegang, sampai akhirnya muncul dua orang
pemuda berpakaian putih.
Dua pemuda itu sama-sama berwajah tampan,
rambutnya sama-sama sepundak tanpa ikat kepala,
badannya sama-sama tegap dan gagah, bajunya samasama buntung berwarna putih, juga celananya samasama putih sebatas betis, tubuhnya sama-sama tinggi,
pedangnya sama-sama terbuat dari kristal bening seperti beling mudah pecah, dan... mereka itulah yang
dikenal dengan nama Pendekar Kembar: Raka Pura
dan Soka Pura. Soka Pura, sebagai adik, merasa terkejut melihat potongan kepala yang ditancapkan pada sebatang
bambu itu. Agaknya Soka Pura lebih mengenali sang
korban daripada kakaknya. Suara Soka pun menyentak menunjukkan kekagetannya.
"Edan! Mengapa ia ada di sini"!" Raka Pura
yang sempat tegang menyaksikan potongan kepala itu
segera ajukan tanya kepada si Pendekar Kembar bungsu. "Apakah kau kenal dengan korban itu?" "Apakah kau tidak"!" Soka ganti
bertanya. "Pandanglah baik-balk wajah itu. Seharusnya kau yang lebih kenali si
korban, karena kau lebih dulu bertemu dengannya."
"Siapa..."!" gumam Raka Pura sambil pandangi kepala yang tertancap di bambu itu.
Bahkan ia melangkah lebih mendekat, dan diperhatikan oleh orangorang yang mengerumuni tempat itu.
Korban kesadisan tersebut berusia sekitar empat puluh tahun. Hidungnya agak bundar, matanya
yang terbelalak mengerikan itu tampak lebar, rambutnya pendek tegak seperti bulu landak. Korban tidak
punya jenggot tapi punya kumis sedikit tebal. Kumisnya juga kaku seperti kumis landak, seandainya landak berkumis. Karena wajah korban berlumur darah, maka
Raka Pura terpaksa memperhatikan sampai beberapa
saat lamanya. Setelah beberapa saat baru ia mengenali
si korban dengan tersentak kaget kembali.
"Astaga...! Bukankah dia adalah si Batara Jabrik?" "Tepat sekali!" jawab Soka Pura. "Dia adalah si Batara Jabrik. Menurut
pengakuannya, dia bekas
orang Tebing Bencana, anak buah Pangeran Laknat,
tapi sudah lama memisahkan diri dan bergabung dengan orang-orang Kedai iblis!"
"Ya, seingatku dia mengaku bergabung dengan
orang-orang Kedai iblis dan tetap menjalankan pekerjaannya sebagai pembunuh bayaran," tambah Raka
sambil mengenang masa pertemuannya dengan Batara
Jabrik saat Batara Jabrik ingin membunuh Raka akibat Raka diduga sebagai Wisnu Galang. Pada akhirnya
justru Batara Jabrik menaruh simpati kepada Raka
Pura dan ingin pelajari ilmunya Raka Pura, namun
Raka tak bersedia memberikan ilmunya, (Baca serial
Pendekar Kembar dalam episode: "Iblis Pemburu Wani-ta").
"Siapa yang melakukannya kekejaman seperti
ini"!" ujar Raka pelan, seperti hanya bicara pada adik kembarnya saja.
"Seingatku, Batara Jabrik pernah diburu oleh
Dewi Binal karena mencuri Permata Manik Jingga dari
Candi Apung. Ia bekerja sama dengan Bunga Dewi, tapi mungkin neneknya Bunga Dewi si Tupai Siluman
alias Nyai Gantari memburunya karena Batara Jabrik
di anggap mengkhianati Bunga Dewi," tutur Soka sambil mengenang persoalan
tersebut, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Tantangan Mesra").
"Jadi menurutmu Nyai Gantari yang lakukan
kekejaman seperti ini" Ah, kurasa Nyai Gantari tak
mungkin sekejam ini! Apalagi Bunga Dewi, juga tak
mungkin lakukan pembunuhan setega ini!"
Soka Pura merenung sambil pandangi kepala
Batara Jabrik yang sudah memutih dengan darah sudah mulai mengering itu. Raka Pura masih berdiri di
samping adiknya, lebih dekat dengan korban ketimbang orang-orang yang berkerumun sejak tadi.
"Siapa pelakunya"!" gumam Raka.
"Coba kau tanyakan sendiri kepada Batara Jabrik." "Konyol kau! Mana mungkin dia mau menjawab"!" "Paksa dengan ancaman,
mungkin dia mau menjawab!"
"Aaah...!" Raka mendesah tak mau menanggapi
kekonyolan adiknya yang cengar-cengir untuk hilangkan ketegangan itu.
"Jangan-jangan dia bunuh diri. Soka?"
"Eh, kalau kau tak mau konyol juga jangan
berkata begitu!" sergah Soka Pura. "Mana mungkin seseorang lakukan bunuh diri
dengan memenggal kepalanya dan menancapkannya pada sebatang bambu!"
Raka Pura ikut tersenyum, tak berani tertawa keras,
karena tak enak dilihat orang-orang di sekitarnya.
Pendekar Kembar bergegas temui sesepuh di
desa nelayan itu untuk meminta kesediaannya memakamkan kepala Batara Jabrik. Sambil melangkah, Raka Pura sempat ungkapkan kecurigaannya lagi.
"Jangan-jangan Dewi Binal sendiri yang membunuh Batara Jabrik, karena ingin dapatkan Permata
Manik Jingga yang dicuri Batara Jabrik itu"!"
"Tapi setahuku persoalan itu sudah selesai,
Raka. Dewi Binal dan kakeknya sudah berhasil merebut kembali tongkat pusaka Suryapati yang mempunyai Permata Manik Jingga itu dan sudah dikembalikan ke Candi Apung!"
"Hmmm... kalau begitu, kita perlu curigai keluarga Nyai Gantari dan...."
"Hei, aku ingat, dulu dia pernah ceritakan bahwa dia punya masalah dengan anak buah Pangeran
Laknat!" "O, ya. Benar, aku pun sekarang ingat, Batara
Jabrik punya persoalan dengan si Congor Setan. Menurutnya, persoalan itu menyangkut tentang dendam
si Congor Setan kepada Batara Jabrik yang telah
membunuh dua adiknya."
"Hmmm, kalau begitu kita cari saja si Congor
Setan! Apakah dia masih menjadi orang kepercayaan
Pangeran Laknat di Tebing Bencana?"
"Yang perlu kita tanyakan adalah: apakah kita
harus melibatkan diri dalam persoalan kematian Batara Jabrik ini?"
"Iya, ya...," gumam Soka Pura. "Batara Jabrik adalah pembunuh bayaran, Congor
Setan juga pembunuh bayaran, jika kita melibatkan diri mencari siapa
pembunuhnya, apakah berarti kita juga penyelidik
bayaran?" Setelah menemui sesepuh desa nelayan dan
meminta untuk memakamkan kepala Batara Jabrik,
kedua pemuda tampan kembar rupa itu segera bergegas pergi. Mereka bermaksud untuk temui Nyai Gantari di Tanah Keramat. Raka Pura yang ajukan usul untuk temui Nyai Gantari, karena rasa ingin tahunya
menimbulkan kegelisahan tersendiri sehingga ia menjadi sangat penasaran.
"Kita hanya sekadar ingin tahu saja, Soka. Tak
perlu mencampuri urusan mereka!" ujar Raka Pura
pada saat adik kembarnya menolak usul tersebut. Akhirnya sang adik kembar pun menuruti keinginan kakaknya. Mereka melangkah menelusuri Pantai Rangsang. Beberapa saat setelah jauh dari desa nelayan
tersebut, langkah mereka terhenti kembali. Jantung
mereka tersentak kaget dengan mata terbelalak.
"Gila! Apa-apaan ini"!" gumam Raka Pura menenga. Mereka melihat sebatang bambu ditancapkan
di pasir pantai. Di atas bambu itu ada kepala manusia
seperti tadi. Mereka segera dekati dan mencoba mengenali wajah kepala yang terpenggal seperti nasib Batara Jabrik itu.
Soka Pura lebih tegang, karena ia mengenali
wajah Kepala yang ditancapkan pada bambu itu. Raka
Pura tidak mengenali wajah tersebut, namun ia ikut
tegang karena menemukan pemandangan yang serupa
dengan yang baru saja ditinggalkan.
Kali ini korban yang terpenggal adalah seorang
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan rambut sepundak botak bagian tengahnya. Alis lelaki itu
tebal, mata lebar, kumis lebat, dan berkesan angker.
Secara tak sadar Soka Pura menyebut nama si korban.
"Jurik Tunggon..."!"
"Siapa Jurik Tunggon itu"!"
"Orang dari Suku Ampar yang pernah kuserang
saat ia ingin membunuh Nilawesti!" jawab Soka Pura, (Baca serial Pendekar Kembar
dalam episode: "Tantangan Mesra").
"Orang ini adalah musuh bebuyutannya Nilawesti!" tambah Soka, kemudian ia termangu sesaat.
Raka Pura memeriksa keadaan sekeliling dengan pandangan mata. Tapi suasana di sekitar tempat
itu sangat sepi. Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Satu-satunya tanda yang mencurigakan hanyalah
sebuah benda yang mengapung di lautan. Sang ombak
mempermainkan benda tersebut. Ketika Raka pertegas
penglihatannya dengan mengangkat tangannya untuk
menahan silau sinar matahari, maka ia pun dapat
memandang benda yang mengapung itu dengan sedikit
jelas. "Raga orang ini ada di sana, Soka!"
Soka ikut memandang ke perairan laut yang
berombak putih kebiruan.
"Rupanya si pembunuh lebih suka memajang
kepala korbannya dan membuang raga korban ke tempat lain."
Soka Pura kembali memandang ke arah kepala
Jurik Tunggon. Ia memperhatikan darah yang membekas pada sebatang bambu itu masih agak basah. Sedikit lembab. Tapi keadaan itu dapat disimpulkan bahwa
pemenggalan kepala Jurik Tunggon dilakukan dalam
waktu belum lama. Tak sampai satu hari. Mungkin tadi pagi, atau kemarin malam.
Raka Pura cenderung menelusuri jejak tapak
kaki yang ada di pasir pantai. Jejak tapak kaki itu menuju ke perairan pantai
dan menghilang di sana.
"Soka, jejak tapak kaki ini hanya dimiliki oleh
satu orang!" seru Raka dari tepi perairan pantai.
"Apa maksudmu"!" tanya Soka ketika Raka
mendekatinya lagi.
"Tampaknya hanya satu orang yang melewati
perairan pantai. Di sekitar sini tak ada jejak kaki lain, kecuali kaki kita
sendiri. Aku yakin pertarungan mereka tidak terjadi di sini. Jika terjadi dl
sini, maka jejak tapak kakinya pun akan tampak banyak. Setidaknya
bekas-bekas pertarungan itu tampak di sekitar sini!"
Setelah diam sebentar sambil pandangi sekeliling nya, Soka Pura pun berkata seperti orang mengumam. "Lalu apa maksud si pembunuh memajang kepala korbannya di pantai ini?"
Raka lebih dekati adiknya lagi.
"Apakah menurutmu... antara Batara Jabrik
dengan Jurik Tunggon punya masalah yang sama"!"
"Aku tak tahu. Yang jelas, Batara Jabrik bukan
orang Suku Ampar."
Tiba-tiba sekelebat bayangan melesat hampiri
mereka dari arah tempat mereka datang tadi. Kedatangan bayangan itu diawali dengan hembusan angin kecil yang berlawanan dengan arah angin sebenarnya.
Wees...! Jleeg...!
"Ooh..."!" Raka Pura terkejut sampai mundur
satu langkah. Soka Pura tetap di tempat walau matanya terkesip pandangi kemunculan seorang lelaki
tua berbaju hijau celana hitam. Pak Tua yang berjenggot pendek warna abu-abu dan mengenakan tudung
pandan itu tak lain adalah sesepuh desa nelayan yang
tadi ditemui Raka dan Soka.
Sang sesepuh segera memandang ke arah kepala Jurik Tunggon. Tudung pandannya diangkat ke atas
sedikit, sehingga ia dapat memandang lebih jelas dan
wajahnya pun dapat dipandang lebih jelas pula.
"Celaka! Ternyata dugaanku benar. Ada lagi
korban seperti tadi," gumam sang sesepuh.
"Apakah kau kenal dengan korban yang ini, Pak
Tua?" "Tidak. Sama seperti korban yang ada di sana, juga tak kukenal. Tapi...
bagaimana dengan kalian"
Apakah kalian kenal dengan korban yang ini?"
"Aku mengenalinya," jawab Soka Pura sebelum
kakaknya perdengarkan suara. "Orang ini adalah Suku Ampar yang bernama Jurik
Tunggon!" "Suku Ampar..."!" gumam Pak Tua bertudung
pandan. Soka Pura masih perhatikan orang itu, sementara orang itu sendiri lebih dekati bambu berkepala
manusia. Soka Pura sempat membatin dalam hatinya,
"Kurasa orang ini punya ilmu simpanan yang
cukup tinggi. Kemunculannya yang begitu cepat dan


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disertai hembusan angin pasti menggunakan ilmu peringan tubuh yang bukan rendahan. Hmmm... siapa
sebenarnya Pak Tua ini"!"
Setelah pandangi kepala Jurik Tunggon, lelaki
berusia sekitar tujuh puluh tahun itu perdengarkan
suara seperti bicara pada diri sendiri. Tapi Pendekar
Kembar mendengarnya dengan jelas.
"Ini sudah keterlaluan. Apa maksudnya menantangku dengan cara begini?"
Raka Pura buru-buru berujar dengan sopan.
"Maaf, Pak Tua... apakah kau tahu siapa pelakunya"!"
Pak Tua itu melangkah jauhi kepala Jurik
Tunggon. la tidak langsung menjawab, sepertinya sangat berat untuk mengatakan hal yang sebenarnya.
Pendekar Kembar mengikuti langkahnya yang memasuki hutan pantai. Di bawah pohon rindang, kakek
berkulit hitam akibat banyak terbakar sinar matahari
itu hentikan langkahnya. Raka dan Soka pun berhenti
di situ. Mereka ikut memandang ke arah pantai di mana kepala Jurik Tunggon masih kelihatan jelas dari
tempat mereka berada.
"Seandainya aku tahu siapa pelakunya, lantas
apa yang ingin kalian lakukan"!" tanya Pak Tua itu.
Pemuda kembar wajah dan penampilan itu sama-sama bungkam, saling pandang beberapa saat. Soka Pura tarik napas, setelah itu baru perdengarkan
suaranya yang bernada serius, bukan main-main seperti biasanya.
"Apa yang kau harapkan dari kami, Pak Tua"!"
"Tidak ada," jawab si Pak Tua dengan kalem.
"Tidak ada yang kuharapkan dari kalian, karena kalian bukan apa-apa ku!"
"Apakah kedua korban itu ada hubungannya
dengan pribadimu, Pak Tua?" tanya Raka.
"Jika dugaanku benar, kedua korban yang kepalanya dipajang di Pantai Rangsang ini memang ditujukan untukku! Seseorang telah menantang pertarungan denganku. Tandanya adalah dengan membuang
mayat siapa pun di daerah ku ini!"
"Apakah pantai ini wilayah kekuasaanmu, Pak
Tua"!" pancing Raka untuk mengetahui siapa sebenarnya sesepuh desa nelayan itu.
"Pantai Rangsang ini memang bukan daerah
kekuasaanku, melainkan daerah kekuasaan Ratu Sedap Malam. Tapi keberadaanku di desa nelayan tadi
membuat seseorang sengaja memancingku untuk keluar dari pengasingan."
Soka Pura dapat menyimpulkan, Pak Tua itu
sebenarnya seorang tokoh di dunia persilatan yang sudah mengasingkan diri. Desa nelayan adalah tempat
pengasingannya, menjauhi dunia persilatan. Tetapi
agaknya seseorang telah memaksa si Pak Tua agar keluar dari pengasingannya untuk lakukan sesuatu.
Mungkin menyelesaikan persoalan masa lalu.
"Apa salahnya jika aku hanya ingin tahu siapa
pelakunya, Pak Tua" Setidaknya aku dan adikku: Soka, bisa lebih berhati-hati lagi jika bertemu orang keji itu," pancing Raka
kembali dengan rasa ingin tahu makin menggelitik.
"Kalian ini sebenarnya siapa"!"
"Kami dari Gunung Merana, anak angkat Pawang Badai," jawab Raka. Ia sengaja sebutkan nama ayah angkat mereka untuk
memancing sejauh mana
Pak Tua itu mengetahui tentang rimba persilatan.
Ternyata Pak Tua itu justru terperanjat dan
menatap kedua pemuda kembar secara bergantian.
"Pawang Badai adalah sahabatku! Jika benar
kalian anak angkatnya, berarti kalian adalah Pendekar
Kembar yang bernama Raka Pura dan Soka Pura"!"
Senyum kedua pemuda itu mengembang sebagai jawaban membenarkan dugaan orang tersebut.
"Dari mana kau tahu nama lengkap kami, Pak
tua"!" Kini si kakek yang masih kenakan tudung agak membuka ke atas itu ganti
tersenyum ramah.
"Beberapa sahabatku yang sempat singgah di
Pantai Rangsang ini menceritakan tentang perkembangan baru di rimba persilatan, terutama munculnya sepasang anak kembar yang berjuluk Pendekar Kembar
dari Gunung Merana, anak angkat si Pawang Badai.
Tentu saja aku kenal betul dengan orangtua angkat
kalian, Nak!"
Pak Tua itu tampak senang dan manggutmanggut. "Kalau kalian tak percaya bahwa aku adalah
sahabat si Pawang Badai, katakan kepada ayah angkat
kalian bahwa kalian bertemu dengan si Lahar Jalanan.
Aku yakin beliau akan langsung ingat padaku dan menanyakan kabar ku pada kalian."
"Kami percaya. Ayah pasti akan banyak bercerita tentang dirimu, Paman Lahar Jalanan," ujar Raka yang segera memanggilnya
'paman' sebagai panggilan
kehormatan kepada sahabat ayah angkat mereka itu.
"Kurasa ayah kalian juga tahu dengan nama:
Iblis Tambak Getih."
"Siapa orang yang berjuluk Iblis Tambak Getih
itu, Paman?" desak Raka secara halus.
"Dia musuh lamaku yang gemar membuang
mayat sebagai tantangan bagi lawannya."
"Kalau begitu, Iblis Tambak Getih adalah orang
yang memenggal Batara Jabrik dan Jurik Tunggon itu
Paman?" "Hmmm..., akhirnya kalian mengetahuinya juga! gumam Lahar Jalanan seperti orang menggerutu.
Di dalam hatinya, Soka berkecamuk sendiri.
"Ketika tadi kutemui orang ini di desa nelayan,
ia tampak lugu dan polos, sebagaimana layaknya seorang nelayan yang tak mengenal dunia persilatan.
Bahkan ia tak menanyakan siapa diriku dan Raka. Tapi sekarang ia tampak berwibawa dan pancaran matanya menandakan orang berilmu tinggi. Hmmm.
sungguh pandai ia menempatkan diri. Di dunia nelayan, ia menjadi nelayan. Di dunia persilatan, ia menjadi tokoh berilmu tinggi.
Rasa-rasanya aku patut meniru sikap seperti itu."
Setelah mereka bertiga sama-sama diam dan
lemparkan pandangan ke pantai, Raka Pura segera
memecah kebisuan tersebut dengan suaranya yang kalem. "Paman Lahar Jalanan, jika aku boleh tahu,
apakah Paman akan melayani tantangan ini"!"
"Mestinya si Iblis Tambak Getih sudah perdalam ilmunya, sehingga ia berani menantangku. Jika
tantangan ini tidak kulayani, maka la akan bikin ulah
seperti ini, dan itu berarti mengorbankan orang tak
bersalah," ujar si Lahar Jalanan dengan kalem juga.
"Apakah mungkin kami berdua mencegah tindakan keji si iblis Tambak Getih itu, Paman?" tanya Raka. "Aku sangsi, apakah
dia mau melayani kalian.
Sebab, sepanjang hidupnya, Iblis Tambak Getih hanya
mempunyai dua musuh utama, yaitu aku dan seorang
lagi dari Bukit Gamping: si Tabib Kubur!"
"Hahh..."!" Soka Pura terkejut lebih kuat ke-timbang kakaknya.
Tentu saja Pendekar Kembar terkejut mendengar nama Tabib Kubur sebagai: salah satu musuh
utama si Iblis Tambak Getih. Pendekar Kembar sangat
kenal dengan Tabib Kubur, kakeknya Dewi Binal. Bahkan beberapa waktu yang lalu, Tabib Kubur menyelamatkan Soka dan Raka dari perkawinan adat yang semestinya harus dilakukan atau dibatalkan melalui pertumpahan darah, (Baca serial Pendekar Kembar dalam
episode:"Tantangan Mesra").
Kini kedua pemuda itu menjadi punya beban
untuk lindungi Tabib Kubur, sekalipun mungkin Tabib
Kubur bisa atasi sendiri dendam si Iblis Tambak Getih
itu. Namun sebagai balas jasa Pendekar Kembar, mereka harus bisa cegah si Iblis Tambak Getih agar tidak menyentuh Tabib Kubur,
yang sudah dianggap seperti
kakek sendiri oleh Raka dan Soka itu.
"Oh..."!" Lahar Jalanan terperanjat sendiri tanpa sebab tak pasti. Yang jelas ia segera tertegun dengan wajah sedikit tegang. Hal itu memancing perhatian
dan rasa ingin tahu bagi Raka Pura.
"Ada apa, Paman?"
"Hatiku Jadi tak enak. Jangan-jangan Tabib
Kubur sudah berhasil dibunuh oleh si Iblis Tambak
Getih itu"! Kini Raka Pura dan adiknya ikut-ikutan tegang. Mereka saling pandang dan sama-sama punya
niat untuk lekas-lekas pergi ke Bukit Gamping.
* * * 2 PADA mulanya Lahar Jalanan ingin merahasiakan tempat tinggal si Iblis Tambak Getih. Lahar Jalanan tak ingin kedua pemuda kembar itu terlibat dalam
urusan dendam pribadinya.
Tapi setelah Pendekar Kembar pamit mau ke
Bukit Gamping untuk membantu Tabib Kubur, Lahar
Jalanan berubah pikiran. Ia pun akhirnya ikut ke Bukit Gamping. Mereka menelusuri tepian hutan Pantai
Rangsang. Tiba-tiba Soka Pura berseru mengagetkan,
"Tunggu sebentar, Paman!"
Langkah mereka berhenti. Dua orang itu menatap Soka, sementara Soka menatap ke arah pantai.
Rupanya di pantai ada pemandangan yang menarik
perhatian Soka. Pandangan mata Raka dan Lahar Jalanan segera diarahkan ke pantai.
"Ada dua kepala lagi, Paman!" "Gila!" gumam Lahar Jalanan, kemudian mendahului
Pendekar Kembar melesat ke pasir pantai.
Lahar Jalanan memandang dengan mata tak
berkedip ke arah dua kepala yang tertancap di atas
dua batang bambu. Dua kepala yang terpenggal itu
adalah kepala gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Masing-masing korban berambut pendek dan
berwajah cantik.
Raka Pura merasa sedang dipermainkan oleh si
pemenggal kepala, karena kali ini Jantung Raka berdetak lebih kuat lagi. Bahkan tak bisa berucap kata karena tak tega melihat dua wajah cantik yang terpenggal secara sadis itu.
"Darahnya masih basah, Paman," ujar Soka Pura dengan dada bergemuruh. Kemarahannya mulai
terpancing begitu melihat kedua korban kali ini adalah gadis-gadis cantik yang
tampaknya berilmu sedang-sedang saja itu. Baik Raka maupun Soka tidak mengenal kedua korban tersebut, tapi kemarahan mereka
sama-sama terpancing, sehingga hasrat untuk beradu
muka dengan si pembunuh sadis membuat mereka
sangat penasaran.
"Kali ini kami tidak tahu siapa kedua gadis itu,
Paman." "Pengawalnya Ratu Sedap Malam," Jawab Lahar
Jalanan dengan datar. Agaknya Pak Tua itu juga menahan kegeraman dalam hatinya, karena menaruh rasa haru dan tak tega melihat korban masih mudamuda. Dua kepala gadis cantik yang dipajang berjejeran itu berlumur darah basah, sekalipun sudah tidak
segar lagi. Tapi mereka dapat memperkirakan pemenggalan itu terjadi dalam waktu kurang dari setengah hari. Sementara itu, tetesan darah di sekitar tempat tersebut tidak ada. Tetesan
darah hanya ada di sekitar
kedua batang bambu yang dipakai menancapkan kepala yang terpenggal itu.
Raka Pura perhatikan jejak telapak kaki yang
menuju ke perairan pantai. Ternyata badan kedua gadis ada di lautan, agak jauh dari pantai, namun kelihatan sedang terapung-apung
dipermainkan ombak.
Jejak kaki itu hanya milik satu orang yang sepertinya melangkah dari tempat ditancapkannya kepala itu menuju ke perairan laut, setelah sampai di sana ia tak kembali lagi ke
hutan pantai, karena tak ada jejak telapak kaki yang kembali ke arah semula.
"Paman, coba perhatikan Jejak telapak kaki ini.
Sepertinya si pelaku berjalan dari tempat kepala ini ke perairan sana, lalu
menghilang di sana tanpa kembali
lagi kemari. Aneh sekali, Paman," ujar Raka Pura.
Lahar Jalanan memperhatikan Jejak telapak
kaki tersebut. Untuk sesaat ia diam merenunginya.
Soka Pura pun ikut memikirkan jejak telapak kaki itu.
Sepintas dugaannya mengatakan, pelaku pemenggalan
kepala itu adalah orang yang mampu berjalan di atas
air, membuang raga korban dan lenyap di tengah samudera. Seolah-olah pelakunya adalah orang yang
mampu hidup di kedalaman laut.
"Bagi si iblis Tambak Getih, bukan hal yang sulit untuk melompat dari tepian perairan kembali ke hutan. Ia bisa melayang seperti terbang sejauh sepuluh
tombak lebih," ujar si Lahar Jalanan yang membuat Pendekar Kembar segera
perhatikan ke arahnya.
"Maksud Paman, Iblis Tambah Getih membuang raga ke lautan, kemudian kembali ke hutan
dengan cara melayang seperti terbang?" ujar Raka Pu-ra.
"Benar. Tapi... tapi mengapa kedua pengawal
Nyai Ratu yang dijadikan korban"!" Lahar Jalanan
menggumam seperti bicara sendiri.
"Seharusnya ia tidak lakukan terhadap orangnya Ratu Sedap Malam," tambah Lahar Jalanan dalam
gumamannya. "Mengapa seharusnya demikian, Paman?" desak Raka. "Iblis Tambak Getih pantang membunuh perempuan, kecuali hanya melukai atau mencederai. ia
punya ilmu yang akan hilang jika membunuh kaum
perempuan. Ilmu itu bernama ilmu 'Taring Betina',
yang membuat ia selalu dikasihani oleh kaum wanita."
"Mungkin... mungkin ilmu itu sudah punah,


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga ia tega lakukan kekejamannya terhadap kedua gadis malang ini, Paman," ujar Soka Pura.
"Hmmm, ya. Mungkin saja begitu," Lahar Jalanan pun manggut-manggut. "Sebaiknya hal ini kulaporkan dulu kepada Nyai Ratu, agar ia perintahkan
kepada para pengawalnya untuk berhati-hati jika bertemu iblis Tambak Getih!"
"Aku ikut mendampingimu, Paman!" sergah Soka Pura. Kemudian ia berkata kepada kakaknya.
"Sebaiknya kau lekas ke Bukit Gamping, Raka.
Siapa tahu Iblis Tambak Getih sedang menuju ke sana.
Kalau bisa kau temui Kakek Tabib sebelum Iblis Tambak Getih menemui beliau."
"Kurasa itu gagasan yang bagus. Aku akan ke
Bukit Gamping sekarang juga!" ujar Raka Pura merasa tak keberatan dengan usul
adiknya yang selaras dengan jalan pikirannya.
Raka Pura pun segera berkelebat ke Bukit
Gamping dengan gerakan secepat hembusan badai
yang paling cepat, karena ia menggunakan jurus 'Jalur
Badai'-nya. Sementara itu, Soka Pura mendampingi si
Lahar Jalanan untuk menghadap Ratu Sedap Malam,
memberitahukan tentang nasib kedua gadis itu. Raka
potong kompas menerabas hutan, sedangkan Soka dan
Lahar Jalanan menelusuri tepian hutan pantai. Karena
menurut Lahar Jalanan, letak pesanggrahan Ratu Sedap Malam yang mirip Istana kecil itu ada di hutan tepian pantai. Tapi sebelum mereka tiba di pesanggrahan
sang Ratu, mereka kembali temukan kepala tiga orang
gadis yang dipajang seperti yang sudah-sudah. Soka
Pura semakin gemetar menahan kemarahan melihat
tiga kepala gadis muda yang ditusukkan pada tiga batang bambu. Darah mereka masih tampak segar, pertanda peristiwa pemenggalan itu terjadi belum lama.
Mungkin juga pelakunya belum seberapa jauh dari
tempat tersebut.
"Jangan-jangan iblis Tambak Getih menuju ke
pesanggrahan sang Ratu, Paman!" ujar Soka dengan
napas mulai memburu karena menahan kemarahan.
"Jika begitu kita harus cepat-cepat sampai di
pesanggrahan sebelum iblis Tambak Getih membantai
habis orang-orangnya Nyai Ratu Sedap Malam!"
Soka Pura dan Lahar Jalanan cepat-cepat berkelebat ke arah pesanggrahan. Kecepatan gerakan Lahar Jalanan ternyata bisa mengimbangi kecepatan Jurus 'Jalur Badai'-nya Pendekar Kembar bungsu, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah sampai di
batas pesanggrahan yang diberi tanda bangunan gapura berbatu tinggi. Di depan gerbang yang menjadi simbol batas pesanggrahan atau istana kecil itu ada tiga
orang penjaga. Satu di antaranya seorang pemuda berusia sebaya dengan Soka Pura bersenjata tombak,
dua penjaga lainnya gadis cantik bersenjata pedang di
pinggang. Agaknya tingkatan ilmu kedua gadis itu lebih tinggi dari pemuda tersebut.
Rupanya mereka sudah kenali si Lahar Jalanan, sehingga sikap mereka menjadi ramah dan penuh
hormat. Tapi terhadap Soka Pura, pandangan mata
mereka tampak penuh curiga, membuat Soka tak enak
hati. "Siapa pemuda ini, Ki Lahar"!" tanya salah seorang gadis penjaga yang berpakaian
abu-abu. "Dia adalah satu dari Pendekar Kembar yang
bernama Soka Pura."
Kedua gadis itu memandang dengan terperangah, tapi si pemuda bersenjata tombak kerutkan dahi.
sepertinya tak percaya bahwa Soka Pura adalah salah
satu dari Pendekar Kembar. Kedua gadis itu sunggingkan senyum kikuk ketika membalas senyuman Soka,
tapi pemuda berompi coklat dengan celana hitam itu
tak membalas senyuman Soka sedikit pun. Justru
tombaknya sedikit diarahkan kepada Soka. Lahar Jalanan mengetahui hal itu, tapi ia bersikap pura-pura
tidak tahu. "Kami ingin menghadap Nyai Ratu. Ada berita
penting yang harus kami sampaikan," ujar Lahar Jalanan kepada kedua gadis
berambut pendek itu.
"Gusti Ratu sedang ada tamu, Ki Lahar. Sudi
kiranya menunggu beberapa saat," tutur si gadis berpakaian kuning kunyit itu.
Pemuda berompi coklat menyahut, "Kurasa
buat Ki Lahar Jalanan bisa saja langsung masuk dan
menunggu di regol dalam. Tapi untuk pemuda itu, harus tetap dl sini."
"Mengapa ia tak kau izinkan ikut denganku"!"
tanya si Lahar Jalanan kepada pemuda berompi coklat. "Kami belum tahu persis siapa dia. Bisa saja
dia mengaku-aku sebagai salah satu dari Pendekar
Kembar yang namanya sedang ramai dibicarakan
orang itu. Demi keamanan, sebaiknya pemuda itu tetap tinggal di sini, Ki Lahar!"
Soka Pura tersenyum kalem. Hatinya membatin. "Heh, heh, heh... belum tahu dia"!"
Lahar Jalanan menyapa pemuda itu lagi, "Siapa
namamu, Nak?"
"Prawira, Ki!"
"Hmmm, begin! maksudku, Prawira...," Lahar
Jalanan tetap kalem. "Kau boleh saja tidak percaya dengan pengakuannya, tapi kau
harus mencoba dulu
ilmunya. Jika orang mengaku-aku sebagai Pendekar
Kembar, maka ia tak akan dapat tumbangkan dirimu.
Tapi jika ia benar salah satu dari Pendekar Kembar
tentunya ia dapat tumbangkan dirimu dengan mudah."
Lahar Jalanan menatap Soka, "Bukankah begitu Soka?" "Itu terlalu muluk-muluk, Paman. Mungkin
memang aku tak bisa tumbangkan sobat kita itu. Tapi
jika hanya membuatnya sekarat, kurasa aku masih bisa. Itu pun untung-untungan," ujar Soka Pura merendah dengar sindiran.
"Kau dengar sendiri, Prawira"!" ujar Lahar Jalanan. Prawira semakin tajam
menatap Soka. Sikap
permusuhannya kian ditonjolkan. ia bicara dengan
menuding Soka seenaknya saja.
"Hei, kau pikir siapa aku sehingga akan mudah
kau buat sekarat, hah"! Coba rasakan jurus tombakku
ini! Hiaaah...!"
Prawira menyentakkan tombaknya ke depan.
Arahnya ke dada Soka. Tapi tusukan tombak itu dihindari Soka dengan memiringkan badan secara cepat.
Seet, wuut...! Tombak yang tak kenai sasaran itu segera di
sambarkan ke kanan, sedikit naik. Sasarannya ingin
merobek dagu Soka. Namun dengan cepat Soka Pura
sentakkan kepala ke belakang dengan sedikit lengkungkan tubuh. Wees...! Tombak itu lolos dari sasaran. Prawira lompat ke samping, agar berhadapan
dengan lawannya lagi. Tombak pun dihujamkan ke
leher Soka. Wuuut...! Soka Pura kembali miringkan
tubuhnya ke kiri, dan tangan kirinya segera menyambar tombak tersebut. Seet...!
Tangan itu sedikit melilit di batang tombak, dan
sikunya menghentak ke bawah. Krrakk...! Gerakan cepat yang nyaris tak terlihat itu mematahkan tombak
bergagang kayu jati besi yang seharusnya sulit dipatahkan. Prawira dan dua gadis temannya terbelalak melihat tombak itu patah. Kedua gadis itu lebih kaget lagi setelah melihat Soka
Pura memutar tubuh dan kakinya menjejak ke belakang. Beet...! Dada Prawira terkena jejakkan itu dengan telak. Buuhk...!
Wees...! Bruuuk...!
Prawira terpental sejauh lima tombak. Tubuhnya jatuh terbanting dengan dada memar membiru.
Pemuda itu tersengal-sengal nyaris tak bisa bernapas.
Sementara Soka Pura berdiri dengan tegak, kedua kakinya sedikit merenggang. Ia tampil dalam keadaan gagah dan tampak perkasa.
Kedua gadis itu segera membantu Prawira untuk bangkit. Pemuda tersebut terbatuk-batuk, lalu keluarkan darah kental dari mulutnya.
"Ki Lahar.... Prawira terluka! Kurasa ini lukanya cukup berbahaya, Ki Lahar!
Tolonglah dia!"
"Biarkan saja dia merasakan rasa tidak percayanya!" "Ta... tapi...," gadis berpakaian abu-abu tak jadi bicara, karena Lahar Jalanan
segera berkata kepada
Soka. "Apakah luka itu akan mematikan"!"
"Tidak, Paman!" tegas Soka. "Hanya akan membuat tulang dadanya sedikit retak,
namun tujuh hari
kemudian ia akan sehat kembali!"
"Perlu diobati?"
"Kurasa tidak perlu, Paman. Prawira sudah cukup sakti. Aku yakin dia bisa mengobati lukanya itu."
Prawira yang mendengar percakapan tersebut
merasa dongkol sekali, namun ia tak bisa lakukan
apa-apa, karena sekujur tubuhnya kini merasa seperti
dicambuki. Sakit semua.
"Sebaiknya minta tukar saja," kata Soka kepada gadis berpakaian kuning kunyit.
"Mintalah tukar teman jaga yang kokoh dan tidak selembek getuk macam
dia." Gadis berpakaian kuning kunyit itu hanya menarik napas. Ia serba salah
dalam bersikap, karena ia
pun sebenarnya kurang suka dengan sikap Prawira
yang selalu merasa sok jago itu.
"Apakah kami masih tak boleh masuk bersamasama?" tanya Lahar Jalanan kepada gadis berpakaian abu-abu.
"Hmm, eeh... sebaiknya memang Ki Lahar Jalanan masuk bersama Pendekar Kembar itu. Kurasa...
kurasa sebentar lagi tamu kami akan pulang dan Ki
Lahar bisa segera menghadap Gusti Ratu!"
"Baik. Terima kasih atas izinmu, Nona Manis,"
ujar Lahar Jalanan dengan tudungnya yang tadi sedikit diangkat, kini diturunkan lagi hingga menutupi sebagian wajahnya.
Sebelum melangkah, Soka Pura sempat ajukan
tanya kepada gadis berpakaian abu-abu.
"Maaf, kalau boleh kami ingin tahu, siapa tamu
yang menghadap Nyai Ratu kalian itu"!"
"Nyai Sangkal Putung!"
"Siapa...?"!" Lahar Jalanan tersentak kaget
mendengar jawaban gadis berpakaian abu-abu itu. Ia
segera dekati gadis yang masih pegangi lengan Prawira
itu. "Nyai Sangkal Putung datang bertamu kemari"!"
"Benar, Ki! Beliau datang bersama muridnya
yang bernama Mata Bidadari," tegas gadis itu.
Soka Pura merasa heran melihat Lahar Jalanan
sedikit tegang, bahkan beberapa kejap setelah tertegun, Lahar Jalanan segera melangkah memasuki gapura tersebut. "Cepat kita temui Nyai Ratu!" ujar Lahar Jalanan kepada Soka Pura. Tentu saja
Soka hanya ikutikutan bergegas dengan langkah cepat.
Namun di ambang gapura, langkah Pak Tua itu
terhenti lagi. Ia berpaling memandang gadis berpakaian abu-abu. "Panggil penjaga lainnya untuk perkuat penjagaan. Jangan biarkan Nyai Sangkal Putung atau muridnya tinggalkan tempat ini tanpa bersamaku!" "Apa maksudmu, Ki?"
"Lakukan apa yang kuperintahkan tadi demi
keselamatan kalian dan Nyai Ratu!"
Setelah berkata demikian, Lahar Jalanan teruskan langkah yang segera disusul oleh Soka Pura.
"Agaknya ada sesuatu yang menegangkan hati
Paman Lahar Jalanan. Siapa sebenarnya orang yang
bernama Nyai Sangkal Putung itu, Paman"!" tanya So-ka sambil mengiringi langkah
Pak Tua itu. "Sangkal Putung adalah adik dari Iblis Tambak
Getih!" "Oo..."!" Soka Pura sedikit terperanjat.
"Besar kemungkinan ia membantu kakaknya
dalam pemenggalan itu. Mungkin sekarang sasarannya
adalah Ratu Sedap Malam sendiri!"
"Apakah Nyai Ratu tidak bisa selamatkan diri
sendiri jika hal itu sampai terjadi, Paman?"
"Ratu Sedap Malam akan tumbang di tangan
Sangkal Putung, karena ilmu silatnya tidak lebih tinggi dari ilmu silat yang
dimiliki Sangkal Putung!" Jawab Lahar Jalanan dengan nada masih terkesan tegang.
"Bagaimana dengan muridnya; si Mata Bidadari
itu, Paman?"
"Kurasa kau bisa mengurusnya sendiri. Aku
akan mengurus si Sangkal Putung!" tegas Lahar Jalanan. "Tapi pertama kali kita
harus timbulkan kesan baik-baik
saja. Jangan tampakkan permusuhan agar
Sangkal Putung tidak curiga terhadap kehadiran kita,
Soka!" "Bagaimana jika ternyata Nyai Sangkal Putung sudah menyerang Ratu Sedap
Malam"!"
"Apa boleh buat! Kita membaur dalam pertarungan itu! Apakah kau sudah siap, Soka"!"
"Aku sudah slap, Paman!" tegas Soka Pura dengan menarik napas panjang dan
mengencangkan dada
serta kedua tangannya.
* * * 3 PANTAS jika penguasa Pantai Rangsang itu
bernama Ratu Sedap Malam. Soka Pura melihat banyak tanaman bunga Sedap Malam yang tumbuh di
sepanjang perjalanan dari gerbang utama sampai ke
pesanggrahan atau istana kecil itu. Bunga putih itu tidak menyebarkan harum
wangi pada siang hari. Tapi
pada malam hari, bunga itu akan menyebarkan aroma
wangi, yang jika angin bertiup ke arah laut, maka


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang kapal yang sedang berlayar melalui lautan
itu akan mencium aroma wanginya.
Rupanya sang Ratu adalah pecinta bunga Sedap Malam, sehingga nama bunga itu dipakai sebagai
ganti nama aslinya. Menurut si Lahar Jalanan, sang
Ratu mempunyai nama asli Wulandani. Ia putri seorang raja yang terbuang karena dianggap sebagai anak
haram hasil hubungan gelap antara ibunya dengan
seorang lelaki simpanan. Ia diasingkan ke pantai tersebut, sampai akhirnya ia berhasil membangun istana
kecil yang sering disebut sebagai pesanggrahan. Sementara sanak saudaranya sekarang sudah tiada. Kerajaan milik ayahnya sudah dikuasai oleh raja lain,
dan Wulandani tak berani merebut takhta kekuasaan
tersebut karena tak memiliki kekuatan cukup dibanding lawannya. Kekuasaan sang Ratu meliputi seluruh Pantai
Rangsang sebelah timur dan sebelah barat. Desa nelayan tempat si Lahar Jalanan tinggal bersama masyarakat nelayan itu termasuk daerah kekuasaan sang
Ratu untuk wilayah timur. Menurut penuturan si Lahar Jalanan, sang Ratu sering membantu penduduk
desa yang kekurangan sandang maupun pangan.
Hampir semua penduduk yang tinggal di sekitar wilayah Pantai Rangsang bersikap memihak kepada Ratu
Sedap Malam, menaruh hormat dan mengagungkan
sang Ratu. Bagi sang Ratu sendiri, nama Lahar Jalanan
bukanlah nama asing lagi. Sang Ratu yang juga termasuk tokoh di rimba persilatan itu mempunyai seorang
guru, dan gurunya itu adalah sahabat dengan si Lahar
Jalanan. Namun sang Ratu sangat paham dengan pengasingan diri si Lahar Jalanan, sehingga ia tak pernah bicara kepada tokoh
lainnya tentang di mana tempat
tinggal Lahar Jalanan sekarang. Sang Ratu sering berkunjung ke rumah Lahar Jalanan atau sesekali menyuruh pengawalnya menjemput Lahar Jalanan untuk
dibawa ke istana kecilnya hanya sekadar untuk dimintai pendapat dalam beberapa hal yang akan dilakukan
sang Ratu. Oleh sebab itu, kehadiran si Lahar Jalanan segera disambut oleh pengawal gerbang dalam. Biasanya
Jika sang Ratu sedang ada tamu, maka tamu lain dipersilakan menunggu di ruangan lain. Tapi kali ini karena Lahar Jalanan mendesak, maka sang pengawal
pun sampaikan desakan itu kepada Ratu Sedap Malam. Penyampaian tersebut dilakukan secara bisikbisik, karena Lahar Jalanan memang berpesan agar si
pengawal melakukannya demikian.
Kejap kemudian, si pengawal kembali kepada
Lahar Jalanan dan Soka Pura. Kemudian ia memandu
ke dua tamunya itu untuk masuk ke ruang paseban
alias ruang pertemuan yang biasa untuk menerima
tamu atau mengadakan rapat antara sang Ratu dengan bawahannya.
"Selamat datang, Paman Lahar Jalanan! Mengapa tak memberi kabar lebih dulu jika ingin datang
kemari" sapa Ratu Sedap Malam dengan senyum ramah. Lahar Jalanan bersikap kalem. Tudung kepalanya dilepas dan digantungkan di punggungnya. Ratu
Sedap Malam lemparkan pandangan kepada pemuda
tampan yang masih asing baginya. Pemuda tersebut
juga pandangi sang Ratu dengan senyum ramah dan
hati menggumam penuh pujian.
"Cantik juga rupanya. Kurasa ia masih berusia
sekitar tiga puluh lima tahun. Tapi kecantikannya belum pudar sedikit pun. Hmmm... mana suaminya"!"
Sambil luncurkan gumam hati yang nakal, Soka Pura pandangi perempuan bersanggul indah dengan wajah cantiknya yang berkulit putih itu. Rupanya
Ratu Sedap Malam bukan saja mempunyai kecantikan
yang menawan, namun juga mempunyai bentuk tubuh
yang sintal dan sekal. Cukup menarik perhatian kaum
pria. Ratu Sedap Malam kenakan jubah sutera warna jingga dengan pakaian dalam pinjung sutera dengan bintik-bintik emas. Selain perhiasannya lengkap
walau ini berlebihan, ia juga mengenakan mahkota kecil dari batu-batu berkilauan.
"Nyai Ratu, kedatanganku ini memang tak
sempat kuberitahukan sebelumnya, karena sifatnya
sangat mendadak," ujar Lahar Jalanan. "Ada sesuatu yang umat penting untuk kita
bicarakan, Nyai Ratu.
Tapi sebelumnya... perkenalkan, aku membawa seorang pemuda yang ternyata adalah murid sahabatku
sendiri. Pemuda ini bernama Soka Pura, dia adalah...."
Soka Pura buru-buru menyahut sebelum diperkenalkan sebagai Pendekar Kembar.
"Aku hanya seorang pengelana biasa, Nyai Ratu! Kebetulan aku...."
Soka Pura belum selesai bicara sudah disahut
seorang tamu tua yang sejak tadi sudah ada di depan
sang Ratu. "Tak perlu merendahkan diri dan sembunyikan
nama besarmu, Anak Muda. Soka Pura adalah nama
salah satu dari Pendekar Kembar. Aku tahu persis hal
itu." Soka Pura terpaksa nyengir tersipu. Sang Ratu sedikit terperangah dan
matanya tak berkedip pandangi Soka Pura. Sementara itu, ada juga sepasang mata
yang tak berkedip pandangi Soka dari arah samping
kanan. Sepasang mata itu milik seorang gadis berusia
sekitar dua puluh dua tahun, namun bertubuh tinggi,
sekal, padat, dan montok. Gadis itu mempunyai mata
yang indah dan bening. Jika memandang, pandangan
matanya menyejukkan hati, menghadirkan bungabunga indah dalam hati lawan jenisnya. Si gadis cantik berbaju buntung warna
merah tua dengan celana ketatnya yang merah tua juga itu tak lain adalah si Mata
Bidadari, murid Nyai Sangkal Putung yang ada di
samping kirinya.
Soka Pura semakin berdebar-debar ketika pandangan matanya beradu dengan tatapan pandang si
Mata Bidadari. Ia sempat rasakan hadirnya keindahan
yang menggelisahkan, namun rasa itu segera dikuasai
dan pandangannya segera dialihkan kepada Ratu Sedap Malam. Karena pada saat itu, sang Ratu pun segera menyapa Soka Pura dengan penyambutannya yang
ramah. "Selamat datang di pesanggrahan ku, Pendekar Kembar. Senang sekali
menerima kunjungan mu yang
sangat di luar dugaan ini."
"Terima kasih atas sambutan mu, Nyai Ratu.
Tapi perlu diketahui, bahwa kunjungan ku ini hanya
sekadar mendampingi Paman Lahar Jalanan. Jadi kurasa tak perlu ada sambutan yang berlebihan, Nyai Ratu." Nenek berusia tujuh puluh tahun kurang yang
berjubah biru tua kusam itu segera perdengarkan suaranya lagi, khususnya ditujukan kepada Ratu Sedap
Malam. "Rupanya nasibmu sedang beruntung, Sedap
Malam. Kedua tamumu yang datang kali ini siap dijadikan tumbal apa yang kubicarakan tadi."
"Jaga mulutmu, Sangkal Putung!" sergah si Lahar Jalanan. "Apa maksudmu berkata
demikian"!"
Nyai Sangkal Putung yang bertubuh kurus,
tinggi, dan bermata cekung itu sunggingkan senyum
sinis. Sambil pegangi tongkat berukir kepala singa
dengan diberi rambut-rambut palsu dari serat rami,
Nyai Sangkal Putung pindah posisi agar lebih dekat
dengan si Lahar Jalanan.
"Apakah kau tahu, ada bahaya sedang mengincar Pantai Rangsang"!"
"Tentu saja kau lebih tahu, karena kakakmu
yang menjadi pelakunya!" ketus Lahar Jalanan. Nyai Sangkal Putung menggeram
dengan mata cekungnya
menatap tajam sekali.
"Jangan sebut-sebut lagi mendiang kakakku.
Lahar Jalanan! Bisa kubunuh di sini kau!"
Soka Pura sedikit berkerut dahi mendengar
ucapan Nyai Sangkal Putung.
"Aku bicara apa adanya, Sangkal Putung! Kepala-kepala yang terpenggal dan ditancapkan di sepanjang Pantai Rangsang itu adalah pekerjaan kakakmu;
si iblis Tambak Getih!"
"Lahar Jalanan...!!" geram Nyai Sangkal Putung dengan tangan menggenggam
tongkatnya kuat-kuat.
Geram yang bernada ancaman itu tidak membuat Lahar Jalanan merasa gentar sedikit pun. Pak Tua itu justru tersenyum sinis dan memandang ke arah Ratu
Sedap Malam. "Mengapa kau tidak segera menugaskan orangorang untuk memakamkan mereka yang menjadi korban terpenggal itu, Nyai"!"
"Korban terpenggal bagaimana maksudmu,
Paman"!" Ratu Sedap Malam kerutkan dahi dan sedikit tegang. "Jadi kau belum tahu
kalau lima orangmu, gadis-gadis muda itu, kepalanya dipenggal dan dipajang
di sepanjang pantai bagian timur"!"
"Ooh..."! Benarkah itu?" Ratu Sedap Malam
semakin gusar. "Bahkan ada dua kepala dari pihak lain yang
ikut dipajang di dekat desa ku sana! Justru aku datang kemari bersama Soka Pura untuk memberitahukan padamu tentang hal itu!"
Ternyata bukan hanya Ratu Sedap Malam yang
menjadi tegang, melainkan si Mata Bidadari dan Nyai
Sangkal Putung juga menjadi tegang, sepertinya guru
dan murid itu baru tahu tentang adanya kepala-kepala
yang terpenggal di wilayah timur Pantai Rangsang itu.
Sang Ratu pun segera memanggil utusannya.
"Bintari...!" serunya kepada sang utusan yang cepat menghadap begitu mendengar
panggilannya. "Periksa daerah timur! Buktikan berita tentang
lima orang kita yang terpenggal kepalanya di sana!"
"Baik, Gusti Ratu!" Bintari pun bergegas pergi dengan langkah tegap, penuh
keberanian dan ketaatan
terhadap ratunya.
"Sedap Malam," ujar Nyai Sangkal Putung.
"Jangan mau terkecoh oleh kabar yang hanya akan bikin suasana di sini menjadi
semakin keruh! Apa yang
dikatakan si tua busuk Lahar Jalanan itu hanya
omong kosong belaka!"
"Nyai Sangkal Putung, seingatku Paman Lahar
Jalanan tak pernah dusta dalam ucapannya. Aku percaya dengan apa yang dikatakan beliau tadi!"
"Kau akan menyesal mempercayainya, Sedap
Malam! Bahaya yang ku maksud tadi bukan soal pemenggalan kepala! Mungkin si tua busuk itu punya cara sendiri untuk memperkeruh keadaan di Pantai
Rangsang ini!"
"Mengapa kau takut kalau kabar dariku ini
menjadi kenyataan, Sangkal Putung"!" potong si Lahar Jalanan. "Apakah kau takut
kalau kekejaman kakakmu: si Iblis Tambak Getih, diketahui oleh Nyai Ratu
ini"! Hmmm...! Sudah bukan rahasia lagi bagiku,
Sangkal Putung! Kakakmu selalu melemparkan mayat
di sekitar orang yang ditantangnya! Kali ini ia ingin
menantangku kembali dengan memajang kepalakepala orang tak bersalah itu di sekitar tempat tinggal-ku! Katakan kepadanya,
aku tidak akan mundur setapak pun jika harus bertarung kembali dengannya sekalipun usiaku sudah semakin tua begini!"
"Keparat kau, Lahar Jalanan!" geram Nyai
Sangkal Putung, kemudian ia menyodokkan ujung
tongkatnya dari samping kiri ke arah rahang si Lahar
Jalanan. Wuuut...! Taap...! Dengan gerakan tak kentara, tangan Lahar Jalanan menadah ke rahangnya dan
ujung tongkat pun berhasil ditangkap kuat-kuat.
Nyai Sangkal Putung kerahkan tenaga untuk
menekan tongkatnya, tapi Lahar Jalanan segera membuka genggamannya dan sentakkan tangannya dengan
tenaga dalam, sehingga tubuh Nyai Sangkal Putung
tersentak ke belakang. Wuuut...!
"Guru...!" pekik si Mata Bidadari yang segera menangkap tubuh gurunya hingga tak
jadi terpelanting
jatuh. "Biar kuhadapi dia, Guru!" tambah si gadis setelah sang Guru tegak
kembali. Ia segera maju ke depan gurunya, menghadap ke arah Lahar Jalanan.
Soka Pura tersenyum kalem. Ia mencolek pundak si Lahar Jalanan.
"Paman, agaknya sekarang giliranku! Mundurlah sedikit, Paman!" ujarnya dengan kalem sekali. Lahar Jalanan pun mundur dan
berikan tempat untuk
Soka Pura yang ingin berhadapan dengan si Mata Bidadari. "Hentikan! Hentikan semua ini!" seru sang Ratu sambil bergegas bangkit
dari tempat duduknya.
"Aku tak ingin tempat ini menjadi arena pertarungan!" tambahnya lagi dengan tegas, membuat Soka Pura menjadi hembuskan napas
dan menyisih, sementara si Mata Bidadari pun ikut kendorkan ketegangannya. "Paman Lahar Jalanan...," ujar sang Ratu. "Nyai Sangkal Putung datang
kemari untuk sampaikan kabar penting tentang bahaya yang akan melanda Pantai
Rangsang! Mengapa Paman bersikap bermusuhan kepada Nyai Sangkal Putung"!"
"Kakaknya punya dendam pribadi denganku.
Tapi aku tak suka jika ia menantangku dengan cara
memenggal kepala orang lain sebagai undangan ke
pertarungannya. Terlebih yang menjadi korban terpenggal adalah lima orangmu, Nyai Ratu. Aku sangat
tak suka dengan cara seperti itu!"
"Lahar Jalanan!" sentak Nyai Sangkal Putung.
"Ku ingatkan padamu sekali lagi, jangan sangkut
pautkan masalah ini dengan mendiang kakakku: si Iblis Tambak Getih! Dia memang musuh bebuyutan mu.
Tapi itu dulu, semasa ia masih hidup!"
Lahar Jalanan mulai sadar dengan ucapan itu.
"Apa maksudmu" Semasa dia masih hidup"!


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah sekarang dia...."
"Jangan berlagak tolol, Lahar Jalanan! Kakakku sudah terkubur satu tahun yang lalu!"
Lahar Jalanan terkejut, dahinya berkerut tajam
sekali. Pandangan matanya segera beralih kepada Soka
Pura. Ternyata pemuda itu berwajah heran. Lahar Jalanan melangkah dekati Soka dan bicara dengan pelan
sekali. "Menurutmu, apakah aku harus percayai kata-katanya?"
"Sebaiknya begitu, Paman. Dari tadi sebenarnya
ia tersinggung karena Paman sangkut pautkan nama
mendiang kakaknya itu."
"Paman," ujar Ratu Sedap Malam. "Apa yang dikatakan Nyai Sangkal Putung itu
memang benar. Iblis Tambak Getih sudah tewas sekitar satu tahun yang
lalu. Apakah Paman belum mendengar tewasnya Iblis
Tambak Getih itu"!"
Lahar Jalanan mulai salah tingkah dan sedikit
menggeragap karena merasa bersalah. Nyai Sangkal
Pulung segera berujar kembali kepada Lahar Jalanan.
"Kalau kau tak percaya, kau bisa kubawa ke makamnya dan bongkarlah makam itu! Maka kau akan menemukan kerangka kakakku bersama beberapa senjata pusakanya yang ikut dikuburkan juga!"
Soka Pura berbisik dari belakang Lahar Jalanan. "Paman, agaknya kita salah duga!" Dengan suara jelas didengar oleh siapa
saja, Lahar Jalanan berkata
dengan nada sesal.
"Barangkali kepikunan ku sudah terlalu berlebihan. Tapi jika bukan dia. lalu siapa yang lakukan
pemenggalan kepala sekejam itu"!"
Si Mata Bidadari berbisik kepada gurunya. Tak
jelas apa yang dibisikkan, tapi Soka Pura memperhatikan terus dengan penuh waspada. Kejap berikut, Nyai
Sangkal Putung bicara kepada Ratu Sedap Malam.
"Kalau begitu apa yang baru saja kusampaikan pada-mu sudah terjadi, Sedap Malam!
Sebaiknya bersiapsiaplah!" * * * 4 PEMBANTAIAN lima gadis cantik itu membuat
Ratu Sedap Malam merasa terpukul jiwanya. Lima gadis yang tewas dengan kepala dipenggal itu adalah
orang-orang andalannya yang selalu memperkuat benteng pertahanan Pantai Rangsang.
Pulangnya Bintari dan kawan-kawan yang
membawa lima potong kepala itu telah membuat Nyai
Sangkal Putung sendiri menjadi tercengang dan nyaris
tak bisa berkata apa pun. Ia sendiri tidak menyangka
sedikit pun bahwa apa yang dikatakan Lahar Jalanan
itu benar-benar terjadi. Sang Nyai pun ikut berduka
atas musibah yang menimpa Ratu Sedap Malam.
"Mengapa Nyai Sangkal Putung justru tampak
bersahabat sekali dengan Ratu Sedap Malam, Paman?"
tanya Soka membisik, ketika mereka memakamkan kelima gadis tersebut. Sebagian ada yang dimakamkan
bersama raganya, sebagian lagi raganya tak ditemukan. Mungkin sudah hanyut terbawa ombak ke tengah
lautan lepas sana.
"Setahuku...," ujar Lahar Jalanan, menjawab
pertanyaan Soka. ".... Iblis Tambak Getih dulu pernah bentrok dengan Sedap
Malam, karena perkara sepele.
Tapi Sedap Malam pernah berguru kepada Sangkal Putung, terutama dalam mempelajari ilmu pengobatan."
"O, Nyai Sangkal Putung ahli dalam pengobatan?"
"Termasuk ahli, karena ia pernah berguru dengan gurunya si Tabib Kubur, tapi
hanya sebentar."
Soka Pura menggumam dan manggut-manggut.
"Jika melihat keakrabannya sekarang, aku dapat simpulkan bahwa ketika Iblis
Tambak Getih bentrok dengan Sedap Malam, yang saat itu masih muda belia,
mungkin segera ditengahi oleh Sangkal Putung dan diaku sebagai muridnya, sehingga Iblis Tambak Getih
sungkan untuk lanjutkan persoalannya dengan Sedap
Malam. Barangkali hubungan itu masih berlanjut
hingga sekarang. Aku tak tahu persis kalau Sedap Malam berhubungan baik dengan Sangkal Putung."
"Lalu, kabar bahaya apa yang dibawa oleh Nyai
Sangkal Putung kepada sang Ratu, Paman" Sebab
agaknya Nyai Sangkal Putung sendiri kaget melihat lima gadis itu terpenggal sekejam itu."
"Benar. Agaknya ia memang tidak tahu menahu
tentang kelima gadis yang terpenggal itu. Tapi... entahlah, aku sendiri belum
tahu tentang kabar adanya bahaya yang dibawa oleh Sangkal Putung itu. Sebaiknya
kutanyakan saja setelah pemakaman nanti selesai."
Pemakaman itu selesai ketika senja makin pudar, sebentar lagi gelap petang akan datang. Ratu Sedap Malam yang sedang berduka mengharap para tamunya bermalam di pesanggrahannya, setidaknya
akan ada penghibur bagi hati sang Ratu cantik yang
duka itu. Soka Pura merasa tidak keberatan, mengingat jika ia harus menyusul kakaknya ke Bukit Gamping pun perjalanannya akan memakan waktu sampai
lewat tengah malam. Ia tak akan dapat tempat untuk
tidur senyaman di dalam istana kecilnya Ratu Sedap
Malam. Pada kesempatan itulah, Lahar Jalanan sempat
bicara dengan Nyai Sangkal Putung yang didengarkan
oleh Soka dan si Mata Bidadari. Percakapan itu mereka lakukan tanpa Ratu Sedap Malam. Mereka ada di
taman belakang pesanggrahan, ketika malam mulai
hembuskan udara dingin dan suara deburan ombak
menjadi irama khas dari Pantai Rangsang.
"Pemenggalan kepala itu hanya suatu awal dari
bencana yang akan melanda wilayah kekuasaan si Wulandani," ujar Nyai Sangkal Putung.
"Apa sebenarnya bencana atau bahaya yang
kau maksud itu, Sangkal Putung"!"
"Muridku baru pulang dari Pulau Kucil. Di sana
ia mendengar rencana makar dari si Raja Amuk Jagal.
Ia akan menyerang Pantai Rangsang untuk rebut wilayah ini. Karena ia ingin berjaya lagi di tanah Jawa, seperti pada waktu
sebelum kekuasaannya di Lembah
Gerhana direbut oleh Ratu Rias Rindu."
"Amuk Jagal..."!" gumam Lahar Jalanan dengan wajah sedikit tegang. Cahaya obor penerang taman
menampakkan pula wajah Soka Pura yang terkejut
mendengar nama Raja Amuk Jagal. Wajah yang terkejut itu diperhatikan oleh si Mata Bidadari secara diam-diam. Pendekar Kembar
pernah dengar tentang nama
Raja Amuk Jagal. Mereka mendapat penjelasan seperti
itu ketika terlibat dalam kasus perebutan pedang pusaka yang kini ada di tangan si Dewa Perintang. Penjelasan tersebut sama seperti yang dituturkan oleh Nyai
Sangkal Putung, tentang Raja Amuk Jagal yang melarikan diri ke Pulau Kucil karena wilayah kekuasaannya
direbut oleh Ratu Rias Rindu, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Pedang Bulan Madu").
Lahar Jalanan juga mengenal nama itu dan tahu persis tentang Raja Amuk Jagal. Wajahnya memancarkan sedikit ketegangan yang ditutupi dengan tarikan napas penenang hati itu. Mungkin juga di dalam
hati si Lahar Jalanan tersimpan kecemasan, karena
agaknya Lahar Jalanan tak suka jika Raja Amuk Jagal
berkuasa kembali ke tanah Jawa, terlebih dengan cara
merebut wilayah Pantai Rangsang.
"Apakah kabar ini tidak keliru, Sangkal Putung" Atau mungkin hanya suatu tipuan belaka?"
"Aku tak pernah mendidik muridku menjadi
seorang pembohong!" tegas Nyai Sangkal Putung. "Kuharap kau tidak menilai dengan
kepicikan mu, Sela Giri! Soka Pura sempat merasa sedikit aneh mendengar Nyai Sangkal Putung menyebut Lahar Jalanan
dengan nama Sela Giri. Tapi anak muda yang dari tadi
dilirik si Mata Bidadari itu segera tanggap bahwa Sela Giri pasti nama asli dari
si Lahar Jalanan.
"Jika benar begitu, maka Sedap Malam benarbenar dalam ancaman maut, sebab kekuatan Sedap
Malam tidak setanding dengan kekuatan si Raja Amuk
Jagal," ujar Lahar Jalanan.
"Itulah sebabnya aku datang kemari, bukan saja untuk mengabarkan datangnya ancaman maut tersebut, namun juga akan ikut memperkuat pertahanan
si Sedap Malam."
"Tunggu dulu!" sergah Ki Sela Giri. "Mengapa Raja Amuk Jagal mengincar tempat
ini" Bukankah ada
wilayah lain yang lebih luas dari wilayah Pantai Rangsang"!" "Amuk Jagal menilai tempat ini mudah dijangkau dari Pulau Kucil. Amuk
Jagal juga tahu, kekuatan
Sedap Malam mudah dilumpuhkan. Mungkin bagi
Amuk Jagal, melumpuhkan Wulandani lebih muda daripada melumpuhkan pihak lain. Barangkali saja setelah ia berhasil kuasai Pantai Rangsang, ia akan lebarkan sayap dengan menguasai daerah-daerah lain, terutama yang terdekat dari tempat ini."
"Termasuk akan kuasai Bukit Bangkai, tempat
tinggalmu itu?" potong Lahar Jalanan.
"Kurasa begitulah rencana dalam otak si jahanam Amuk Jagal itu!"
Pendekar Kembar bungsu berujar dalam hatinya, "Ooo... gadis ini tinggal bersama gurunya di Bukit Bangkai"! Hmmm...
kapan-kapan aku akan bertandang ke sana jika suasana hubungan tetap baik."
Sejak tadi Soka Pura memang hanya diam saja,
tak ikut dalam pembicaraan itu. Demikian pula yang
dilakukan oleh si Mata Bidadari. Dia tidak akan bicara jika tidak ditanya. Soka
Pura dan si Mata Bidadari sa-ma-sama bersikap sebagai pendengar yang baik, yang
selalu menyimak percakapan dua tokoh tua tersebut.
Menurut dugaanku...," sambung Nyai Sangkal
Putung."... pemenggal kepala yang dipajang di sepanjang Pantai Rangsang itu
adalah si Amuk Jagal sendiri.
Setidaknya ia mengutus orang kepercayaannya untuk
lakukan tindakan keji seperti itu."
"Lalu menurutmu, dengan maksud apa si
Amuk Jagal memenggali kepala manusia dan memajangnya di sepanjang Pantai Rangsang itu?"
"Aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi secara
mudah saja, terpajangnya kepala-kepala korban di sepanjang Pantai Rangsang akan membuat Sedap Malam
menjadi panik dan kacau. Dalam keadaan panik dan
kacau, siapa pun akan mudah ditumbangkan, lebihlebih si Wulandani yang ilmunya di bawah ilmu silat si Amuk Jagal. Pasti akan
sangat lebih mudah lagi untuk
dihancurkan."
"Berarti Amuk Jagal punya mata-mata di sini,
di dalam pesanggrahan ini!" ujar Ki Sela Girl setelah diam sesaat bersama
renungannya. "Kurasa memang begitu. Tapi aku tak berani
bicara kepada Sedap Malam, takut disangka memfitnah orang-orangnya."
"Kalau begitu, aku saja yang bicara padanya.
Mata-mata itu harus disingkirkan sebelum ia buka
mulut kepada Amuk Jagal tentang keberadaan kita di
pihak Sedap Malam," sambil Lahar Jalanan bangkit
berdiri dari duduknya, hendak bergegas temui sang
Ratu. "Kurasa bukan sekarang saatnya bicara dengannya, Sela Giri! Ia sedang dalam masa berkabung!"
"Tidak ada waktu lagi buat menunda hal semacam ini, Sangkal Putung! Aku akan bicara sekarang
juga!" "Jika begitu, aku akan membantumu meyakin-kan dia!" ujar Nyai Sangkal
Putung sambil bergegas mengikuti langkah Lahar Jalanan.
"Apakah aku perlu ikut, Guru?" si Mata Bidadari perdengarkan suaranya. Sang Guru hentikan
langkah sebentar dan menatapnya.
"Tetaplah di tempat. Aku akan kembali lagi setelah sampaikan pesan-pesan berikut ini!"
Nyai Sangkal Putung pun pergi temui Ratu Sedap Malam bersama si Lahar Jalanan. Si Mata Bidadari duduk di batu taman yang berseberangan dengan
tempat duduk Soka Pura. Pandangan matanya tertuju
pada langkah sang Guru, sementara pandangan mata
Soka tertuju ke arah gadis itu. Sikap duduknya yang
tegak dengan kaki sedikit merenggang membuat si Mata Bidadari kelihatan tegar dan tegas. Postur tubuhnya yang tinggi, padat
berisi, menimbulkan kesan sebagai
gadis pemberani yang tak punya rasa takut kepada
siapa pun. Soka Pura amat terkesan dengan si Mata
Bidadari. Bukan saja terkesan karena kecantikan dan
kesemokan tubuhnya, namun juga terkesan dengan
sikap pendiamnya yang mirip air: diam-diam menghanyutkan. Gadis berambut sepanjang punggung keriting
lembut yang diikat dengan ikat kepala warna kuning
itu tiba-tiba arahkan pandangan mata indahnya kepada Soka Pura. Deerr...! Jantung Soka Pura bergetar seketika itu juga. Hampir saja ia salah tingkah jika tidak segera kuasai diri
dengan nekat tetap memandang ma-ta pemikat itu.
"Mengapa pandangi ku terus?" tegur si Mata
Bidadari dengan nada sedikit ketus. Soka Pura tersenyum, lebih tepat dikatakan: cengar-cengir.
Agaknya sekalipun Nyai Sangkal Putung dengan Lahar Jalanan sudah kurangi sikap permusuhannya, namun Mata Bidadari masih bersikap ketus kepada Soka Pura. Anggapannya, Soka Pura adalah
orangnya Lahar Jalanan yang siap bersaing dengannya. Gadis itu memang kelihatan angkuh di depan
Soka Pura. Tapi pemuda itu tak kaget dengan sikap
angkuhnya. Ia sudah sering temukan gadis bersikap
angkuh, namun pada akhirnya tak kuasa lepas dari


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelukannya. "Terus terang saja, mengapa sejak tadi kau
mencuri pandang padaku"!" tegur si Mata Bidadari lagi dengan nada ketus belum
berkurang. "Apakah bukan sebaliknya; kau yang mencuri
pandang padaku sejak tadi?"
"Hmmm... terus terang saja, aku mencuri pandang padamu lantaran aku tak suka melihat sikapmu
yang berlagak jadi pembela di depan Ki Selo Giri, si
Lahar Jalanan itu," sambil si gadis alihkan pandangan ke arah lain.
Soka lebarkan senyum. "Begitu pun aku, jika
aku sering mencuri pandang kepadamu, terus terang...." Karena ucapan Soka terhenti dengan kesan ra-gu, maka si Mata Bidadari
mendesak dengan pertanyaan ketusnya.
"Terus terang apa"!"
"Terus terang... wajahmu memang terang terus!" jawab Soka Pura bernada konyol. Ia nyengir sendiri, sedangkan si gadis
mendengus kecil sambil buang
muka. Beer...! Untung mukanya tak benar-benar terbuang. Muka itu sekalipun ketus dan angkuh, namun
masih memancarkan kecantikan yang memikat. Daya
pikat tertinggi terletak pada sepasang matanya yang
tak terlalu lebar, namun juga tak begitu kecil. Bening dan memancarkan keteduhan
aneh yang jarang dimiliki oleh gadis lain.
"Sejak kapan kau pulang dari Pulau Kucil?" So-ka Pura memecah kebisuan dl antara
mereka. "Kau tidak perlu tahu!" jawab si Mata Bidadari.
"Tapi aku perlu tahu tentang orang yang bernama Raja Amuk Jagal itu. Aku belum pernah bertemu
dengannya."
"Hmmm...!" Mata Bidadari mencibir. "Kalau kau bertemu dengannya kau akan lari
terbirit-birit! Dia
orang yang paling kejam yang pernah kutemui, terlebih
setelah ia kuasai ilmu baru yang diperdalam selama di
Pulau Kucil!"
"O, jadi karena Raja Amuk Jagal merasa sudah
dapatkan ilmu baru, dan merasa kekuatannya lebih
besar dari sebelumnya, maka ia mulai lancarkan keganasannya ke tanah Jawa ini"!"
"Yah, kurasa memang begitu jalan pikirannya!"
"Kau pernah menjadi pengikutnya?"
"Jangan bicara seenak mulutmu!" hardik si Ma-ta Bidadari.
"Kau banyak mengetahui tentang dia, termasuk
rencana yang ingin merebut Pantai Rangsang. Jika kau
bukan bekas orangnya, tak mungkin kau mengetahui
rencana rahasia tersebut!"
Gadis itu tampak ngotot. "Aku ke Pulau Kucil
karena mengejar musuhku! Ternyata ia adalah orangnya Raja Amuk Jagal. Aku sempat tertangkap di sana,
Tolol!" "Oh, kau tertangkap"! Kasihan!" gumam Soka Pura sambil geleng-geleng
kepala bernada menyindir.
"Lalu kau dibebaskan setelah memenuhi syarat yang diminta Raja Amuk Jagal"!"
"Sekali lagi kau bicara seenaknya di depanku,
ku rontokkan semua gigimu!" ancam si Mata Bidadari dengan berang. Soka justru
senang dan tertawa tanpa
suara, senyumnya kian melebar.
"Aku berhasil meloloskan diri karena bantuan
teman yang dijadikan budak paksa! Bukan merengekrengek dan memenuhi syarat apa pun yang diminta di
manusia terkutuk itu!"
"Oooo...," Soka Pura sengaja menggumam agak
keras dan manggut-manggut. Tapi senyumnya masih
berkesan senyum mengejek dan membuat si Mata Bidadari simpan kedongkolan dalam hatinya.
"Bahkan aku tahu, Amuk Jagal mengirim orang
pilihannya untuk mempersiapkan segala sesuatunya
sebelum penyerangan itu tiba! Ku tahu hal itu dari temanku yang dijadikan budak paksaan itu!"
Wajah tampan Pendekar Kembar bungsu itu
segera berubah menjadi serius, walau tak sampai berkerut dahi dan menjadi tegang.
"Apakah kau tahu siapa orang utusannya itu"!"
"Mandrakala, yang dikenal dengan julukan si Dewa
Pancung!" Kali ini Soka baru berkerut dahi. "Dewa Pancung"!" "Ya. Apakah kau kenal" Agaknya kau memang sahabatnya!"
"Jangan bicara seenak mulutmu!" Soka berlagak menghardik. "Sekali lagi kau bicara seenak mulutmu di depanku... kulumat
habis bibirmu!"
"Hmm, dasar otak kotor!" kecam si Mata Bidadari sambil mendengus sinis. Soka nyengir sebentar,
lalu bicara dengan serius.
"Apakah kau sudah bicara dengan Nyai Sangkal
Putung tentang si Dewa Pancung itu?"
"Belum. Kurasa itu tak perlu. Yang perlu diketahui oleh Guru hanya rencana Raja Amuk Jagal ingin
merebut kekuasaan Ratu Sedap Malam di Pantai
Rangsang ini!"
"Bodoh!" gumam Soka pelan, tapi kedengaran
pula oleh Mata Bidadari. Gadis itu menjadi gusar.
"Siapa yang bodoh"! Kaukah yang bodoh"!"
"Kau...!" Jawab Soka Pura masih kalem tapi serius Mata Bidadari bangkit lag!
ingin melabrak Soka
karena tersinggung dikatakan bodoh. Tapi sebelum
Mata Bidadari bergerak, Soka Pura sudah lebih dulu
berkata dengan suaranya yang tegas.
"Mestinya kau ceritakan pula tentang Dewa
Pancung yang menjadi utusan Raja Amuk Jagal itu!"
"Apa perlunya" Diceritakan atau tidak, Nyai Ratu tetap akan diserang oleh Raja Amuk Jagal!"
"Tapi setidaknya Nyai Sangkal Putung bisa
mengambil kesimpulan bahwa pemenggalan kepala ini
pasti dilakukan oleh si Dewa Pancung itu!"
"Hmmm!" Mata Bidadari mencibir sinis. "Sok tahu! Belum tentu Dewa Pancung yang
melakukannya!" "Nama julukannya saja 'Dewa Pancung'. Berarti kerjanya memancung
orang alias memenggal kepala
orang!" Mata Bidadari diam, ia duduk lagi dengan sikap tegak, mirip gadis jagoan
tak takut mati. Agaknya ka-ta-kata Soka Pura itu direnungkan baik-baik. Hati pun
berkecamuk walau bibir terkatup rapat.
"Kupikir... benar juga apa kata si tampan konyol itu! Dewa Pancung... jelas kerjanya memancung
orang. Hmmm... kurasa tugas Dewa Pancung adalah
membuat suasana Pantai Rangsang ini menjadi tegang
lebih dulu. Dengan dipancungnya beberapa pengawal
Ratu Sedap Malam, dan dengan dipajangnya kepala
mereka, diharapkan dapat membuat sang Ratu menjadi panik atau gugup. Dalam keadaan sang Ratu gugup,
Raja Amuk Jagal akan datang menyerang dan membuat suasana semakin bertambah kacau! Hmmm... biar konyol, agaknya pemuda itu punya otak yang lumayan cerdasnya."
Soka Pura berani mendekat karena ia punya
alasan untuk bicara pelan kepada Mata Bidadari. Si
gadis hanya memandang dengan dahi berkerut, tak Jelas maksud pendekatan Soka itu. Ia tampak sedikit curiga dan bersiap lakukan gebrakan jika Soka ingin bertingkah macam-macam padanya.
"Apakah kau tahu di mana si Dewa Pancung
bersembunyi?"
"Kau sangka aku begundalnya"!" ketus Mata
Bidadari. Sikap itu masih diterima Soka dengan sabar.
Pendekar Kembar bungsu justru sunggingkan senyum
kecil. "Kalau begitu, aku akan mencari Dewa Pancung malam ini juga! Katakan
kepada gurumu atau Paman
Lahar Jalanan atau kepada Nyai Ratu, aku pergi mencari Dewa Pancung!"
Soka Pura bergegas tinggalkan taman, tapi Mata Bidadari cepat mencegat langkah pemuda itu.
"Malam-malam begini kau ingin pergi mencarinya"!" "Jika tertunda, maka akan muncul kepala-kepala korban lainnya yang
dipancung oleh utusan Raja Amuk Jagal itu!"
"Memang benar. Tapi tindakanmu ini tindakan
yang tolol!" kecam Mata Bidadari. "Kau tidak akan menemukan dia dalam keadaan
gelap begini! Kau hanya
akan...." "Jadi apa maumu"!" potong Soka Pura.
Mata Bidadari sempat salah tingkah sesaat ketika ditatap Soka yang sunggingkan senyum tipis. Senyuman itu bagaikan menembus relung hati Mata Bidadari dengan kelembutan yang mendesis menggelisahkan. "Kita bicarakan dulu kepada Guru dan yang
lainnya itu! Jangan bertindak bodoh, karena hal itu
akan merugikan dirimu sendiri!" ujar Mata Bidadari menutupi kegelisahannya.
"Kalau aku nekat pergi malam ini juga, apa tindakanmu"!"
Mata Bidadari agak jengkel, karena Soka dianggap pemuda yang suka ngotot dan tak mau terima saran orang. Padahal sikap ngotot itu sengaja dilakukan
Soka sebagai pancingan untuk mengetahui sejauh
mana perasaan Mata Bidadari terhadap dirinya. Ternyata gadis itu seperti merasa tak ingin diri Soka cela-ka dengan melakukan
tindakan sembrononya.
"Terserah kalau kau mau nekat pergi! Kalau
kau celaka, kau sendiri yang merasakannya! Tapi kalau kau bukan pemuda gila, kau akan turuti saran ku
untuk tidak mencari Dewa Pancung malam ini juga!"
Soka Pura ingin tertawa, namun hanya bisa dilakukan dalam hati. Soka takut membuat Mata Bidadari merasa semakin malu dan akhirnya akan berang
jika ucapannya itu ditertawakan. Namun Soka senang
sekali menggoda perasaan gadis itu dengan permainan
kata-katanya. "Aku tak betah tinggal di sini. Bagiku di sini
terlalu sepi. Yang kudengar hanya suara ombak dan
desiran angin pantai saja."
"Dasar tuli!" gerutu Mata Bidadari dengan ber-sungut-sungut. "Apakah kau tak
mendengar suaraku
ini"!" "Suaramu akan hilang sebentar lagi, ketika malam semakin larut dan rasa
kantukmu mulai tiba!"
"Kalau kau menantangku untuk melek semalaman, akan kulayani tantanganmu. Kau pikir aku gadis yang tak kuat menahan kantuk"!"
"Untuk apa melek semalaman jika tidak disertai
percakapan yang enak didengar dan indah dirasakan
dalam hati."
"Apa maumu sebenarnya, hah"!" hardik Mata
Bidadari dengan jengkel. "Kau memancingku untuk
ngobrol semalam suntuk" Kau merasa suka ngobrol
denganku"! Kau menyimpan maksud di balik obrolan
itu"! Jawab terus terang! Jawab!" sambil si gadis makin mendekat.
Soka Pura geragapan dicecar pertanyaan bertubi-tubi. Setiap ia ingin bicara, baru membuka mulut
sudah diburu oleh pertanyaan berikutnya. Akhirnya
Soka pun hembuskan napas dan tak mau menjawab
pertanyaan itu sepatah kata pun. Soka justru berbalik
ke tempat duduknya semula, dan duduk di situ dengan senyum geli menghiasi bibirnya.
Setelah mereka saling membisu sekitar lima helaan napas, Mata Bidadari melangkah dekati Soka Pura. Gadis itu memandang dengan pancaran mata yang
sepertinya menghadirkan sejuta ketenangan di batin
Soka. "Aku mulai sadar, malam ini kau butuh teman bicara!" "Mungkin benar juga
kesadaranmu itu."
"Baik. Aku akan menjadi lawan bicaramu! Apa
yang ingin kau bicarakan. Hmmm...?" sambil Mata Bidadari duduk di samping Soka
Pura. Tantangan itu justru membuat Soka menjadi
salah tingkah. Soka hanya berkata dalam hatinya.
"Ternyata ia lebih berani terus terang daripada
aku. Sialan!"
* * * 5 MATAHARI memancarkan cahaya fajar ke per Naga Dari Selatan 6 Rahasia Dewi Purbosari Karya Aryani W Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 11

Cari Blog Ini