Ceritasilat Novel Online

Genta Perebutan Kekuasaan 1

Pendekar Gagak Rimang 2 Genta Perebutan Kekuasaan Bagian 1


GENTA PEREBUTAN
KEKUASAAN oleh Fredy S. Cetakan Pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak Sebagian atau seluruh isi buku ini Tanpa
izin tertulis dari penerbit Fredy S.
Serial Pendekar Gagak Rimang
dalam episode 002 :
Genta Perebutan Kekuasaan
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Sepasang mata Pandu bersinar
waspada. Memperhatikan tiga sosok tubuh yang mengurungnya dengan tombak
terhunus. Wajah di balik caping itu nampak tenang saja meskipun tatapannya
sungguh waspada.
"Maafkan aku, Ki sanak... aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat di
sini," katanya. "Dan aku sungguh tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi,
karena tiba-tiba saja kalian telah mengurungku...."
"Dusta! Katakan siapa kau
sebenarnya!!"
"Namaku Pandu... aku datang dari Gunung Kidul."
"Jangan bohong, Anak muda!!"
"Aku tidak bohong, Ki sanak...."
"Mengapa kau memakai caping?"
"Sekedar untuk menutupi kepala dari sinar matahari!"
"Buka!"
Pandu yang tidak mau mencari
masalah, segera membuka capingnya. Dan ketiga orang yang mengurungnya itu
melihat seraut wajah yang tampan di balik caping itu.
"Katakan sekali lagi, siapa kau adanya, Anak muda"!" bentak salah seorang.
"Tadi sudah kukatakan dengan jelas... namaku Pandu, aku seorang
pengembara dan berasal dari Gunung Kidul...."
Ketiga prajurit itu saling
berpandangan. Seolah meminta pendapat satu sama lain.
Pandu yang melihat kebingungan dan rasa ketidak percayaan mereka segera berkata,
"Bila kalian masih ragu dengan siapa aku yang sebenarnya... aku
bersedia kalian bawa... tanpa melawan!!"
Mendengar kata-kata itu ketiganya kembali berpandangan. Dan kali ini saling
mengangguk tanda setuju. Lalu ketiganya dengan mendongakkan tombak di punggung
Pandu menggiring pemuda itu ke Keraton Utara.
Dia dihadapkan pada Mpu Daga yang langsung tersenyum begitu melihat pemuda itu.
Capingnya telah terbuka dan kini bertengger di punggungnya dengan tali yang
melilit di lehernya.
Tiga prajurit tadi menjaga di depan pintu.
"Hmm... siapakah kau anak muda?"
tanya Mpu Daga dengan sikap welas asih.
Pandu berkata dalam hati, sikap
laki-laki ini mengingatkan aku pada eyang...
"Maafkan saya, Mpu... nama saya Pandu pengembara dari Gunung Kidul. Dan
kebetulan saja lewat di sini. Namun tiba-tiba saja tiga orang prajurit dengan
senjata tombak di tangan
mengurung saya. Dan akhirnya, terjadilah
hal seperti ini, di mana kita
bertemu...."
Diam-diam Mpu Daga sendiri kagum
melihat sikap pemuda itu. Tutur katanya begitu halus. Dan tak ada kelihatan
sikap sombong. Dalam sekali lihat saja Mpu Daga sudah yakin kalau pemuda itu
berkata jujur. "Maafkan kelancangan prajurit prajurit tadi. Yang membuatmu menjadi tidak enak
hati, bukan?"
"Mpu... sebenarnya aku heran pula, mengapa sikap para prajurit demikian"
Ada apakah sebenarya, Mpu" Maukah Mpu menceritakannya padaku?"
Mpu Daga mendesah panjang. Lalu
perlahan-lahan dia pun menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi di Keraton
Utara ini. Dia pun menceritakan
kemungkinan apa yang akan dialami oleh Keraton Utara dan bagaimana dengan sikap
Keraton Selatan.
"Maafkan aku, Mpu... bila aku lancang bertanya," kata Pandu kemudian.
"Tidak apa-apa. Kau sebagai tamu kehormatan di Keraton Utara ini."
"Apakah Mpu sudah yakin kalau sesungguhnya yang mencuri pusaka tanah Keraton
Utara itu orang-orang Keraton Selatan?"
"Aku sendiri tidak yakin dalam hal ini, Pandu. Tetapi sebenarnya aku yakin,
Keraton Selatan tidak terlibat dalam hal ini. Aku sendiri menduga, si pencuri
adalah orang dalam. Orang Keraton Utara sendiri. Mungkin pula dia bekerja sama
dengan satu komplotan. Atau... yah, sesungguhnya pencuri itu menginginkan
singgasana prabu untuk didudukinya. Ini namanya pemberontakan. Dan bila ini
memang benar adanya, maka petaka besar akan melanda Keraton Utara. Musuh dalam
selimut telah mengembara di keraton. Ini ancaman yang mengerikan, karena kami
tidak tahu siapa musuh dalam selimut itu...."
"Maafkan aku, Mpu... apakah tidak ada tanda-tanda yang bisa membawa ke sana,
siapa kiranya musuh dalam selimut itu?" tanya Pandu lagi.
"Sampai sekarang belum ketahuan siapa yang mempunyai niat busuk untuk
menggulingkan tahta Keraton Utara.
Dengan cara mengadu domba dengan Keraton Selatan!"
"Mpu...." kata Pandu kemudian.
"Bila mpu tidak keberatan bolehkah kiranya aku ikut campur dalam masalah ini?"
Wajah Mpu Daga nampak bercahaya.
"Hahaha... sudah tentu, Pandu. Sudah tentu aku mengizinkan. Tetapi... apa yang
mendorongmu untuk melakukan semua ini?"
"Maafkan saya, Mpu... aku hanya seorang pengembara belaka yang singgah dari desa
ke desa. Tidak ada maksud lain kecuali ingin menolong sesama...."
Mpu Daga tersenyum. Sikapnya begitu welas asih.
"Pandu... sebelumnya atas nama Prabu, aku mengucapkan banyak terima kasih. Nah,
untuk itu... kau harus menyamar menjadi salah seorang prajurit.
Dan bila kau ada kesempatan, kau harus segera menyelidiki siapa musuh dalam
selimut yang hendak menggulingkan Keraton Utara...."
"Baiklah, Mpu... aku setuju saja."
"Kalau begitu... bila ada cara yang tepat nanti, kau akan kuperkenalkan pada
mereka tadi."
"Baiklah, Mpu... semoga saya tidak mengecewakan Mpu nantinya...."
"Aku yakin kau tidak akan
mengecewakan aku, Pandu. Tetapi...
bisakah kau menceritakan sedikit tentang siapa kau sebenarnya...."
"Kalau kau begitu memerlukan keterangan mengenai siapa aku, baiklah, Mpu... aku
pun paham karena suasanayang sedang genting ini...."
Lalu Pandu pun menceritakan sedikit tentang siapa dirinya.
"Jadi" Eyang Ringkih Ireng itu gurumu, Pandu"!" suara Mpu Daga terdengar cukup
terkejut. "Begitulah adanya, Mpu!"
"Hahaha... bagus, bagus! Kini aku yakin siapa kau adanya, Pandu! Aku tahu... di
dunia ini hanya seorang yang menguasai Ilmu Tangan Malaikat. Eyang
Ringkih Ireng. Apakah kau mendapatkan Ilmu Tangan Malaikat itu, Pandu?"
"Ya, Mpu. Ilmu langka itu pun aku miliki."
"Berikut golok Cindarbuana yang ada di bahumu itu, bukan?"
Pandu terkejut karena ada orang yang mengenai golok pemberian gurunya. Kalau
begitu, tentunya ini golok yang
terkenal. Tetapi mengapa gurunya tidak mengatakan apa-apa padanya.
"Benar, Mpu. Tapi...."
"Sudahlah, Pandu. Lebih baik kau menyingkir dulu dari sini. Nanti aku hubungi."
"Baik, Mpu."
"Cepatlah, Pandu. Sebelum terlambat!"
Karena saat ini Sri Jayarasa, sang prabu Keraton Utara tengah membaca surat
tantangan perang dari Prabu Keraton Selatan yang marah dan merasa terhina.
Setitik darah menjadi lambang
kematian di surat itu!
Sri Jayarasa menggeram marah. Dia meremas surat itu hingga lumat.Juga anak panah
yang dipakai untuk melontarkan surat itu, diinjak-injaknya hingga patah. Entah
dari mana dilontarkannya.
"Kita sambut tantangan perang mereka ini!" geram prabu muda berapi-api. Lalu
berkata pada Ki Sima Ireng yang ada di sana. "Ki Sima Ireng,
segera pimpin pasukan untuk menyerang ke sana!!"
Tak ada jalan lain bagi Ki Sima Ireng kecuali hanya mengangguk. Padahal saat ini
Ki Runding Alam dan Ki Manggala belum kembali dari Keraton Selatan. Ini saja
sudah menimbulkan kekuatiran pada diri Ki Sima Ireng. Dia sering bertanya-tanya
dalam hati. Apa yang telah terjadi dengan kedua sahabatnya itu" Apa yang
terjadi" Tetapi dia tak dapat membantah dan mengemukakan jalan pikirannya, karena Sri
Jayarasa sekali lagi memerintahkan untuk segera memimpin pasukan perang!
Memang tak bisa dibantah. Perintah adalah pernitah!
Dengan cepat Ki Sima Ireng
melaksanakan perintah itu. Dia segera menyusun barisan perang menjadi dua
kelompok. Kelompok satu, barisan berkuda dengan busur dan panah. Lalu kelompok
dua, barisan berjalan kaki yang akan membantu dari belakang. Masing-masing
kelompok berjumlah seratus orang.
Penyerangan dalam tahap awal.
Besok pagi setelah matahari
sepenggalah mereka akan segera
menyerang. Dan bukan main terkejutnya Mpu Daga ketika keesokan paginya ketika dia datang
melihat betapa banyaknya pasukan Keraton Utara di halaman keraton degan pakaian
dan keadaan siap berperang. Ada apa ini"
Apa yang telah terjadi"
Masih bertanya-tanya dalam hati,
dia segera masuk ke ruang prabu berada dan bertanya.
"Daulat, Tuanku Raja Yang Agung. Ada apakah gerangan ini" Mengapa sedemikian
banyaknya prajurit di halaman keraton dalam keadaan siap untuk berperang?"
Raja muda itu menatap Mpu Daga. Mpu Daga dapat melihat kilatan mata marah pada
sepasang mata itu.
"Kau sudah tahu, bukan" Ini tandanya perang, Mpu!" sahut raja muda itu dengan
suara cukup keras.
Mpu Daga mendesah panjang.
"Apa yang menyebabkan para prajurit sudah siap untuk berperang" Maaf, Tuanku...
bilamana lancang bertanya...."
"Mpu Daga..." Sri Jayarasa bangkit dari duduknya. Berjalan ke jendela.
"Perang tidak bisa dihindari lagi, darah akan tumpah lagi. Prabu Keraton Selatan
telah mengirim surat tantangan perang.
Tak ada jalan lain, aku bermaksud menyambut tantangan itu, .. Mpu...."
Mpu Daga mendesah dalam hati. Aku terlambat... desisnya pilu.
"Tuanku... apakah telah difikirkan dengan matang tentang hal itu...."
"Maksudmu apa, Mpu?"
"Apakah tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah ini selain jalan
berperang?"
"Tidak ada, Mpu. Matahari
sepenggalah, pasukan kita akan segera menyerang!" potong Sri Jayarasa cepat.
"Tuanku... perang hanya menimbulkan kesengsaraan dan kemiskinan. Tahanlah
pasukan dulu, Tuanku. Apakah Tuanku lupa, kalau Ki Runding Alam dan Ki Manggada
belum kembali dari Keraton Selatan" Apakah tidak sebaiknya kita tunggu
kedatangan mereka, Tuanku"
"Karena aku ingat hal itu, di mana Ki Runding Alam dan Ki Manggada belum
kembali, aku bermaksud mengirimkan pasukan ke sana!" Sri Jayarasa duduk kembali
di singgasananya. Memperhatikan Mpu Daga yang duduk bersila di bawah dan
menatapnya dengan penuh keprihatinan yang mendalam. "Aku menduga, Ki Runding
Alam dan Ki Manggada berada dalam tawanan mereka, Mpu."
Mpu Daga menggelengkan kepalanya.
"Hamba tidak percaya kalau Ki Runding Alam dan Ki Manggada berada dalam tawanan
mereka. Hamba mengenal keduanya sejak mereka kecil, Tuanku. Mereka adalah
manusia-manusia tangguh yang diciptakan Hyang Widi...."
"Tapi apakah selamanya manusia itu akan tangguh" Di dunia ini kesalahan,
kekalahan dan kesialan selalu ada, Mpu.
Ingat hal itu. Janganlah menganggap mereka sebagai dewa!"
"Hamba mengerti, Tuanku."
"Dan aku yakin, orang-orang Keraton Selatan yang menyusup ke keraton dan mencuri
Pusaka Patung Pualam. Ini tidak bisa dibiarkan, Mpu!"
Mpu Daga menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak ingin perang sampai terjadi.
Dia ingin kedua kerajaan itu hidup rukun dan damai, dalam kurun waktu sepanjang
masa. Dia terus berusaha agar Prabu Keraton Utara mau mengurungkan niatnya.
"Tuanku... apakah tuanku yakin kalau Keraton Selatan yang mencuri pusaka leluhur
Keraton Utara" Sepertinya tidak mungkin orang Keraton Selatan dapat menyusup ke
keraton yang dijaga begitu ketat...."
"Lalu bagiamana dugaanmu, Mpu?"
"Orang dalamlah yang berbuat semua ini, Tuanku...."
"Mpu... aku tak pernah berfikir sampai. ke sana. Tetapi yang pasti, aku tetap
akan mengirimkan pasukan ke Keraton Selatan! Raja sialan itu telah membuatku
malu dengan mengirimkan surat tantangan!! Aku pantang ditantang seperti itu! Dan
darah sebagai taruhannya!"
Lagi Mpu Daga mendesah masygul. Kini tak ada lagi usaha yang bisa dilakukannya
untuk menggagalkan keinginan raja muda yang marah ini. Yang sedikit-sedikit
lebih memakai kekuatan daripada akal sehat. Dan perang sepertinya tak bisa
dihindarkan lagi. Mpu Daga sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.
Lalu Mpu Daga pun perlahan-lahan mohon pamit mundur.
"Mpu!" panggil Raja ketika Mpu Daga sampai di ambang pintu.
Mpu Daga berbalik. "Daulat,
Tuanku...."
"Bantu Ki Sima Ireng dalam memimpin pasukan!"
"Saya akan membantunya, Tuanku...."
kata Mpu Daga, lalu melangkah ke luar dengan lesu. Pikirannya
dibayang-bayangi hal-hal yang
mengerikan. Mpu Daga telah merasakan kepedihan yang luar biasa akibat perang.
Dan dia tidak menginginkan hal itu terulang lagi.
Apalagi dua negara yang pernah
terlibat perang dan kini telah berdamai, harus mengangkat senjata kembali
mempertahankan harga diri dan
kehormatan. Ah, akan manusia sulit untuk membuat sesuatu itu menjadi lebih baik. Sulit,
padahal dia seorang yang mampu!!
Mpu Daga amat menyesali bila,perang benar-benar terjadi. Dan sepertinya memang
akan terjadi. Ah, Mpu Daga tidak bisa membayangkan kembali bagaimana pedihnya
akibat perang! Perang yang sebenarnya dilandasi nafsu belaka.
Beratus umat manusia akan mengalami hal yang mengerikan. Perang adalah satu
bentuk fenomena kehidupan yang berakibat amat menakutkan. Berbagai macam perang
memang terjadi dalam kehidupan ini.
Perang yang paling besar adalah
perang. melawan hawa nafsu sendiri.
Perang yang begitu hebat.
Dan raja muda itu telah kalah
melawan nafsunya sendiri. Dia hanya ingin membuktikan bahwa dirinya kuat dan
mampu memimpin suatu negara. Padahal semua ini hanyalah membuktikan bahwa
dirinya tidak mampu menggunakan akal sehatnya.
Mpu Daga sungguh-sungguh amat
menyesali kejadian itu.
Kejadian yang menurutnya tidak
dipikirkan lagi secara panjang. Tidak memikirkan akibat apa yang ditimbulkan


Pendekar Gagak Rimang 2 Genta Perebutan Kekuasaan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nanti. Terlalu mengerikan untuk
dibayangkan. Mpu Daga mendesah panjang.
Dia memang tidak bisa lagi untuk
berbuat sesuatu agar perang tidak terjadi. Karena kini sudah diambang pintu, dan
pintu itu telah terbuka.
"Hanya Dewatalah yang bisa
menghentikan semua ini," desahnya pilu.
Lalu dia pun melangkahkan kakinya ke halaman keraton.
Tak ada yang bisa diperbuatnya!
* * * 2 Di halaman keraton pasukan yang
telah siap dengan senjata peralatan perang, siap untuk diberangkatkan. Ki Sima
Ireng duduk di kuda putih yang tinggi dan kekar. Dia telah siap dengan pakaian
perangnya. Di pinggangnya terselip dua buah
besi yang ujungnya berbentuk cakar.
Itulah senjata Ki Sima Ireng alias Macan Seranggi. Dia amat lihai menggunakan
senjatanya itu.
Sebenarnya Ki Sima Ireng amat
menyesali juga keputusan yang telah diberikan oleh Raja Muda itu. Namun dia tak
bisa berbuat apa-apa kecuali
menuruti perintahnya.
Ki Sima Ireng melihat Mpu Daga ke luar dari pintu keraton dengan lesu.
Serentak Ki Sima Ireng melompat dari kudanya dan menghampiri Mpu Daga, dan
menyapa. "Mpu..!."
Mpu Daga berhenti melangkah.
Menatap Ki Sima Ireng yang kini telah berdiri di hadapannya. Matanya menyapu
pasukan yang telah siap untuk
diberangkatkan.
Matahari sudah sepenggalah. Angin berhembus dingin dan menusuk.
Mengherankan, karena matahari bersinar terang tetapi udara amat dinginnya.
Mpu Daga merasakan bulu kuduknya
bergidik. Dia merasakan hembusan angin yang mengundang maut. Angin kematian!
"Peperangan tidak bisa dihindari lagi, Mpu..." kata Ki Sima Ireng.
"Benar. Sima...." sahut Mpu Daga pelan. "Aku tak kuasa untuk menahan perintah
Yang Mulia Raja kita," kata Ki Sima Ireng pula.
Mpu Daga menghela nafas panjang.
"Aku pun gagal, Sima. Dan sebagai hamba-hamba yang setia, yang telah lama
mengabdi pada Keraton Utara kita harus menerima segala titahnya."
"Benar, Mpu."
"Berapa bagian pasukan ini?" tanya Mpu Daga kemudian.
"Kususun menjadi dua bagian, Mpu."
"Dengan formasi bagaimana?"
"Barisan berkuda dan barisan berjalan. Barisan berkuda akan menyerang pertama,
dan barisan berjalan akan menerobos."
"Hmm... rubah formasimu ini, Sima."
"Bagaimana, Mpu?"
"Barisan pertama atau barisan berjalan, menyerang pertama. Barisan berkuda
menerobos masuk ke dalam
pertahanan lawan. Ah, benarkah Keraton Selatan menjadi lawan kita, Sima?"
"Aku pun tidak tahu, Mpu. Dan setelah semua ini siap untuk dikerahkan, aku pun
jadi menduga kalau Keraton Selatan adalah lawan kita. Karena bila
kita diam, maka kita yang dihajar. Dalam hal ini hanya ada satu kalimat,
membunuh atau dibunuh!" sehut Ki Sima Ireng.
"Ya... memang tak ada jalan lain.
Nah, berangkatlah dengan usul yang kuberikan tadi."
Kali ini Ki Sima Ireng mengeluh.
"Aku bukan ahli strategi perang, Mpu.
Selama ini biasanya aku mengikuti perintah Ki Runding Alam. Hanya beliau yang
menurutku ahli strategi perang yang hebat. Tetapi sampai saat ini beliau belum
juga muncul. Ini memang
kesalahanku karena aku tak pernah bisa mengatur strategi perang.
Baiklah, Mpu... aku menuruti perintahmu...."
"Aku akan memimpin barisan berkuda, Sima" kata Mpu Daga kemudian.
Dan kata-katanya itu membuat Ki Sima Ireng terkejut. Dia menatap Mpu Daga lekatlekat. "Mpu akan terjun langsung"!"
"Ya."
"Tapi Mpu... Mpu lebih baik tinggal di sini. Pikiran Mpu sangat membantu bagi
kerajaan. Dan amat diperlukan."
"Raja memerintahkan aku untuk membantumu."
"Tapi, Mpu...."
"Bukankah tadi kita sudah
menyetujui, sebagai hamba-hamba yang setia, kita tak bisa menghindari segala
perintah raja. Bukan begitu, Sima?"
"Benar, Mpu."
"Dan perintah itu pun tak bisa kuhindari."
"Tapi, Mpu... bagaimana halnya dengan keraton?"
"Perintah raja hanya menyuruhku membantumu, Sima. Aku akan membantumu."
Ki Sima Ireng hanya bisa mendesah saja tanpa bisa untuk membantah lagi. Dia tahu
siapa Mpu Daga, seorang tua yang amat menghormati perintah raja. Yang tentunya
tak akan pernah ditelannya bulat-bulat sebelum dipikirkan.
"Baiklah, Mpu..." katanya akhirnya.
"Aku akan memimpin barisan berkuda.
Kau pimpin barisan berjalan. Kau masih ingat situasi jalan menuju Keraton
Selatan, bukan" Di Desa Pareden, kita kembali mengatur strategi penyerangan dan
pertahanan. Bagaimana, Sima" Nah, kau bergeraklah lebih dulu, Sima.
Usahakan semuanya berjalan lancar.
Jangan ada yang salah dalam perhitungan.
Sima, aku hendak kembali sebentar...."
"Hendak ke manakah, Mpu?"
"Ada seseorang yang harus kujumpai dan kuharapkan keterlibatannya dalam urusan
ini." "Siapakah dia, Mpu" Apakah.dia benar-benar ingin mengabdi terhadap Keraton
Utara?" "Kita lihat nanti, apakah dia benar-benar ingin mengabdi, atau hanya ingin
terlihat gagah saja... atau... dia adalah mata-mata Keraton Selatan yang
ditugaskan untuk menyelidiki keadaan di sini...."
"Apakah Mpu sudah memeriksanya lebih lanjut?"
Mpu Daga menganguk. Mata tuanya kelihatan lelah.
"Aku sudah memeriksanya, Sima.
Hanya kita ingin bukti apakah dia benar-benar ingin mengabdi atau tidak.
Nah, bergeraklah,
Sima... Doaku menyertaimu... ingat, jangan gegabah dalam bertindak. Fikirkan segala
sesuatunya. Mungkin aku akan lebih cepat menyusulmu...."
Ki Sima Ireng terharu mendengar
ucapan Mpu Daga. Seorang lelaki tua yang amat disegani dan dihormatinya. Seorang
lelaki tua yang perkasa, yang mampu membuat strategi perang dan sistim
pertahanan yang luar biasa bagusnya.
Sulit untuk ditembus musuh. Dan Ki Runding Alam orang yang juga ahli dalam
penyerangan, tidak ada di tempat. Namun tanpa strategi dari Mpu Daga, Ki Runding
Alam pun sulit untuk menyerang.
Dan kini Mpu Daga akan segera terjun langsung ke dalam pertempuran.
Itu sebabnya Ki Sima Ireng terharu.
"Baiklah, Mpu... kami akan
bergerak...."
Ki Sima Ireng segera memimpin
pasukannya. Sedangkan pasukan berkuda menunggu kedatangan Mpu Daga yang segera
pergi setelah pasukan Ki Sima Ireng bergerak.
Tepat tengah hari, Mpu Daga muncul bersama seorang lelaki muda yang gagah dan
tampan. Tubuhnya tegap. Dia memakai baju putih-putih dan berikat kepala biru.
Ikat kepala itu berlambai-lambai ditiup angin.
Si lelaki muda itu adalah Pandu,
yang menunggang kuda hitam. Di
punggungnya terdapat sebuah golok tipis yang indah dan panjang. Sarungnya
kelihatan terbuat dari batang kayu namun kelihatan pula berlapis timah kuning.
Mpu Daga memperkenalkan Pandu
kepada pasukan Keraton Utara. Lalu segera memimpin barisannya. Bergeraklah
mereka dengan beriring-iringan secara perlahan-lahan.
Pandu berada dalam barisan itu.
Dalam hatinya dia mendesah,
"Eyang... mungkin inilah pengalaman dan petualangan yang kau maksudkan itu.
Eyang... bimbinglah aku... berilah aku kekuatan hati untuk menyelidiki siapa
sesungguhnya musuh dalam selimut ini yang
mengkambing hitamkan Keraton
Selatan" Eyang, doakanlah semoga aku mampu untuk menyeledikinya... Dan tugas ini
cukup berat, Eyang...."
Iring-iring itu terus bergerak
dengan cepatnya. Pandu menjalankan kudanya di sisi Mpu Daga yang nampak seperti
tengah berpikir. Diam-diam
Pandu, kagum dengan Mpu Daga meskipun dia yakin laki-laki tua itu tengah banyak
pikiran. * * * 3 Di Keraton Selatan pun Sri Jaya
Wisnuwardana sudah mempersiapkan pula bala tentaranya. Dia tetap tidak bisa
menerima perlakuan yang telah dilakukan oleh orang-orang Keraton Utara dengan
mengirimkan fitnah yang keji, menuduh mereka telah mengambil Pusaka Patung
Pualam. Setelah mengirimkan surat tantangan sebagai balasan perbuatan dua orang Keraton
Utara yang telah mengacau di ruang pertemuan Keraton Selatan, sang prabu pun
segera menyiapkan bala
tentaranya. Nanti malam mereka akan menyerang ke Keraton Utara. Sang prabu ingin, pasukan
Keraton Utara bisa digiring ke luar perbatasan. Dia tidak ingin pertempuran
terjadi di Desa Pareden, desa perbatasan antara Keraton Utara dan Keraton
Selatan, karena selir kesayangannya, Sekar Perak sedang berlibur ke rumah
ibunya. Sang prabu pun amat cemas memikirkan nasib selir kesayangannya itu. Dia memang
tidak bisa lagi menolak
permintaan selir yang amat disayanginya itu untuk mengunjungi ibunya karena
sudah beberapa tahun tidak berjumpa dengannya.
Dan prabu pun bermaksud dan
menginginkan pertempuran itu terjadi di Bukit Sanggabuana.
Makanya dia menugaskan Kyai Rebo
Panunggul untuk bisa menggiring pasukan Keraton Utara ke bukit itu. Dan setelah
masuk perangkap, pasukan yang dipimpin oleh Tunggul Dewa akan datang menyerang.
Cuma Prabu Keraton Selatan tidak tahu, kalau selir kesayangannya itu sudah
diculik oleh Ki Runding Alam dan Ki Manggada yang datang mengacau ke
Singasari. "Kau harus membawa pasukan perang yang tangguh, Kyai!" kata sang prabu pada
bawahannya yang setia itu.
Kyai Rebo Panunggul mengangguk.
"Semua menjadi tanggung jawab hamba, Tuanku...."
"Bagus!"
"Hamba telah memiliki dan memilih seratus orang prajurit yang terdiri dari
panglima perang dan ahli-ahli bela diri yang akan membuat pasukan Keraton Utara
kocar kacir!" kata Kyai Rebo Panunggul hormat.
"Bagus! Aku suka mendengar semua kata-katamu itu, Kyai!" kata sang prabu.
Lalu menatap pada Tunggul Dewa yang duduk bersila di samping Kyai Rebo
Panunggul. "Tunggul Dewa... kau sendiri bagaimana dengan pasukanmu?"
"Seperti yang telah dilakukan oleh Kyai Rebo Panunggul, pasukan yang hamba
pimpin pun terdiri dari orang-orang yang tangguh pula!"
"Bagus! Kalau begitu, segala sesuatunya sudah siap, bukan?"
"Begitulah adanya, Tuanku," sahut Kyai Rebo Panunggul dan Tunggul Dewa secara
bersamaan. Keduanya menjura hormat dan melihat wajah sang prabu begitu puas
sekali. "Baiklah, malam ini kalian harus segera berangkat. Dan tunggu kedatangan mereka
di Desa Pareden. Kyai Rebo Panunggul, kau beserta pasukanmu harus bisa
menggiring pasukan Keraton Utara ke Bukit Sanggabuana."
"Hamba, Tuanku."
"Dan kau Tunggul Dewa, segera bawa pasukanmu ke Bukit Sanggabuana. Kalian harus
menunggu pasukan Kyai Rebo
Panunggul yang menggiring pasukan Keraton Utara ke sana. Setelah pasukan Kediri
muncul, segera kalian habisi mereka!"
"Baik, Tuanku."
"Kalian tidak boleh gagal dalam memimpin pasukan! Hanya perlu diingat, bila
kalian menjumpai Sekar Perak, cepat kalian selamatkan dia dan larikan ke
keraton. "Baik, Tuanku..." sahut Kyai Rebo Panunggul dan Tunggul Dewa secara bersamaan
lagi. "Sekarang kalian berangkatlah.
Tunjukkan kepada mereka, bahwa kekuatan kita besar. Sukar untuk dikalahkan. Dan
tunjukkan pula, bahwa Keraton Selatan bukan pengecut! Bukan pencuri seperti
tuduhan mereka! Kita pun tak pernah mau bila dihina! Tunjukkan semua itu dan
katakan!" suara prabu Keraton Selatan amat berapi-api, menandakan
kemarahannya telah berkobar karena
tuduhan yang diberikan oleh orang-orang Keraton Utara.
Keraton Selatan adalah tanah
mereka, tanah yang akan mereka
pertahankan dari segala macam bentuk hinaan dan tuduhan!
Kedua pemimpin pasukan itu segera berdiri. Lalu menjura dengan hormat.
"Mohon doa restu, Tuanku," kata Kyai Rebo Panunggul.
"Pergilah kalian."
Lalu keduanya pun amit mundur dan segera menjalankan perintah sesuai dengan
rencana Sri Jaya Wisnuwardana, raja mereka.
Setelah malam mulai turun, kedua
pasukan itu berpecah menjadi dua. Yang dipimpin oleh Kyai Rebo Panunggul segera
bergerak ke arah Desa Pareden. Sedangkan yang dipimpin oleh Tunggul Dewa segera
menuju ke Bukit Sanggabuana.
Pasukan itu gagah dan tegap.
Malam semakin surut.
Sementara itu, pasukan Keraton
Utara sudah beristirahat di Desa
Pareden. Kembali Mpu Daga, Ki Sima Ireng dan Pandu yang diperkenalkan Mpu Daga
sebagai pengembara dari Gunung Kidul yang datang untuk membantu mengatur
strategi. "Jadi... sebelum matahari besok pagi muncul, kita sudah kembali
bergerak. Sasaran sekarang adalah Desa Glagah Wangi. Kita harus bergerak cepat,
sebelum Keraton Selatan sudah menduduki desa itu. Atau sebelum mereka sampai di
Desa Pareden ini," kata Mpu Daga sambil menatap Ki Sima Ireng dan Pandu. "Secara
pasti, kita harus lebih cepat dari mereka!"
"Bagaimana bila mereka sudah bergerak lebih dulu, Mpu?" tanya Ki Sima Ireng.
"Yah... terpaksa kita menyambut mereka. Dan gagallah rencanaku untuk menghindari
pertempuran ini. Aku
bermaksud hendak menghadap Prabu Keraton Selatan untuk berunding kembali
menghindari pertempuran ini."
"Apakah mpu menginginkan hal itu?"
terdengar suara Pandu bertanya tiba-tiba sambil menatap laki-laki perkasa yang


Pendekar Gagak Rimang 2 Genta Perebutan Kekuasaan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk di hadapannya.
"Ya, apakah kau punya rencana, Anak muda?" tanya Mpu Daga sambil menatap Pandu
pula. "Hal itu ada dalam pikiran saya, Mpu. Tetapi sepertinya sulit di terima."
"Tentang apakah itu?"
Pandu mendesah sebelum bicara.
"Saya bermaksud, malam ini, untuk pergi menyelidiki keadaan di Keraton Selatan.
Saya ingin melihat dulu apakah mereka sudah mengirimkan. pasukannya atau belum.
Dan berapa besar kekuatan mereka. Jika kita lebih sedikit,
sebaiknya kita segera membuat pertahanan dan menunggu kedatangan mereka. Jika
kita lebih kuat, sebaiknya kita segera menyerang. Bagaimana, Mpu" Apakah mpu
setuju" Dan bagaimana pula dengan tanggapan anda, Ki Sima Ireng?"
Mpu Daga mendehem.
"Kalau memang itu keinginanmu, tak ada salahnya kau menjajaki ke sana. Dan kau
harus berhati-hati. Sekarang kita, orang-orang Keraton Utara, telah
dianggap sebagai musuh besar oleh orang-orang Keraton Selatan. Tetapi anak
muda... tidakkah kau ingat... seharusnya kau tidak terlibat dalam masalah yang
rumit ini, bukan?"
"Mengapa Mpu berkata demikian?"
"Tahukah kau... kau bukanlah orang Keraton Utara atau orang Keraton
Selatan. Namun kau sepertinya rela untuk membantu kami...."
Pemuda itu tersenyum.
"Mpu... sebagai manusia yang mempunyai jiwa kesatria yang tinggi, tolong
menolong kiranya hal yang biasa.
Dan itu wajib kita lakukan...."
"Tetapi kau telah terlibat,
Pandu...."
"Tidak mengapa, Mpu... Karena aku pun
sebenarnya penasaran, siapakah
sesungguhnya orang yang telah mencuri Pusaka Patung Pualam itu. Ini justru yang
membuatku semakin yakin untuk membantu Keraton Utara!"
"Terima kasih, Pandu. Dan kau harus berhati-hati dalam hal ini...."
"Sudah tentu saya akan
berhati-hati, Mpu. Kapan saya bisa melaksanakan rencana itu?"
"Kapan maumu?" tanya Mpu Daga. "Sebenarnya kami tak punya hak untuk memerintah
padamu...."
"Hehehe... Mpu lupa, bukankah aku telah menjadi salah seorang prajurit Keraton
Utara?" Mpu Daga tersenyum. Entah kenapa dia semakin suka dengan pemuda itu.
"Kau benar, Pandu. Jadi kapan kau hendak berangkat?"
"Sebaiknya malam ini, Mpu. Karena menurut perkiraan saya, lebih cepat lebih
baik. Sebelum kita terlambat mengetahuinya dan dengan mendadak pasukan Keraton
Selatan menyerang.
Bagaimana, Mpu" Setuju?"
"Hahaha... aku sudah tentu setuju saja. Bagus, dan kau harus
berhati-hati."
"Baik, Mpu...."
"Sebelumnya, sekali lagi kuucapkan banyak terima kasih atas bantuanmu ini, Anak
muda," kata Mpu Daga dengan suara yang tak bisa disembunyikan nada bangga dan
terima kasihnya. Dia menepuk-nepuk bahu pemuda itu yang dalam hati mendesis,
"Orang tua ini sepertimu,
Eyang...."
Ki Sima Ireng sendiri diam-diam
salut dan bangga terhadap pemuda yang mau membuang waktu dan tenaganya untuk
memulihkan hubungan antara Keraton Utara dan Keraton Selatan. Dan yang
membuatnya lebih bangga, pemuda itu menawarkan diri untuk masuk ke sarang musuh.
Ini merupakan satu pengorbanan yang amat luar biasa menurut Ki Sima Ireng.
Karena pemuda itu sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan Keraton Utara.
"Hati-hati, Anak muda," katanya dengan suara bangga. "Orang-orang seperti kaulah
yang sebenarnya
diharapkan oleh bangsa dan negara.
Pergilah... dan laporkanlah apa yang kau ketahui. Jangan kau paksakan kemauanmu
itu hingga menjadi pejuang yang hanya mengantarkan nyawa. Camkan itu
baik-baik, Anak muda...."
"Saya akan mengingatnya, Ki... Yang perlu kalian ketahui, hatiku merasa
enakmberada di antara kalian, meskipun pada saat ini kita semua tengah terlibat
dalam kesulitan yang panjang. Akibat sebuah fitnah yang dilemparkan oleh orang
yang mengkambing hitamkan Keraton Selatan!"
Hening. Kedua pentolan Keraton
Utara itu seperti merenungi kata-kata Pandu. Yah, memang ada musuh dalam selimut
di Keraton Utara ini. Tetapi siapa"
Pandu kemudian berkata lagi, "Kalau tak ada yang perlu dibicarakan lagi...
sebaiknya saya pergi sekarang...."
Keduanya melepas Pandu yang
bergerak tanpa berkuda. Hanya membawa sebilah golok tipis yang tergantung di
punggungnya. Dan sebuah caping yang kerap menutupi wajahnya.
Langkah cepat menembus kegelapan
malam. Semua prajurit amat bangga pada
pemuda itu yang mereka sendiri tidak tahu sebenarnya siapa dia. Hanya menurut
Mpu Daga, pemuda itu bergelar. Pendekar Gagak Rimang!
Mpu Daga yang mengantar kepergian Pandu dalam hati berkata, "Semoga kau berhasil
dalam tugas ini, Pandu. Padahal kau seharusnya tidak terlibat dalam masalah yang
amat pelik ini. Namun kau sepertinya begitu rela mengorbankan nyawa dan waktumu.
Bila terjadi apa-apa
pada dirimu, aku tentu amat menyesal, Pandu...."
Sedangkan dalam hati Ki Sima Ireng,
"Hmm... baru pertama kulihat ada seorang pendekar kelana yang kerjanya menolong
orang dari kesusahan. Dan menegakkan keadilan dan kebenaran. Dan aku yakin
sekali dengan kehebatan ilmu
kesaktianmu, Pandu. Karena menurut Mpu Daga... kaulah Pendekar Gagak Rimang yang
hadir kembali di rimba persilatan ini!!"
Kedua pentolan Keraton Utara itu
lalu masuk kembali ke perkemahan mereka.
Dan kembali pula melanjutkan
pembicaan mengenai strategi perang mereka.
Dan dari pembicaraan itu mereka pun membicarakan masalah Pandu atau Pendekar
Gagak Rimang. "Sebenarnya... aku tak pernah menyangka kita akan mendapat bantuan darinya,
Sima... Sungguh tak kusangka ada seorang pendekar muda yang budiman seperti
itu...." "Benar, Mpu... sesungguhnya, aku tidak mau kalau perang.ini akan
berlanjut. Dan musuh dalam selimut yang tak bisa kita ketahui siapa dia adanya,
pasti sedang tertawa menyaksikan semua hasil perbuatan dan rencananya."
"Benar, Sima... dan aku pun tak mau di antara kita saling tuding dan
menyalahkan. Yang pasti, perintah Gusti
Prabu amat kusesalkan untuk menanyakan ke Keraton Selatan. Dan inilah
akibatnya! Yah... mudah-mudahan.
Pendekar Gagak Rimang dapat menyelidiki dan membuat semuanya menjadi sedia kala
lagi...." kata Mpu Daga berharap.
"Mudah-mudahan, Mpu...." sahut Ki Sima Ireng tak kalah berharapnya.
* * * Sosok tubuh bercaping itu dengan
cepat berkelebat menerobos kepekatan malam. Nampak jelas kalau ilmu
meringankan tubuhnya sudah amat
sempurna. Larinya kini bagaikan terbang belaka.
Sosok yang tak lain Pandu itu terus menggunakan ilmu larinya yang amat hebat.
Baginya penyelidikan ini
merupakan satu kasus yang amat pelik sekali. Sejak kedatangannya di Keraton
Utara, di tempat tinggalnya sementara yang diberikan oleh Mpu Daga, secara diamdiam Pandu sering menyelinap ke dalam Keraton Utara.
Dia selalu membuka matanya dan
telinganya lebar-lebar. Namun dia tidak mendapatkan apa-apa yang mencurigakan.
Tidak menemukan jejak siapa pencuri Pusaka Patung Pualam itu. Pernah Pandu
sampai pada kesimpulan, kalau pencuri Pusaka Patung Pualam memang orang-orang
Keraton Selatan.
Tetapi dihapuskannya dengan cepat pikiran itu. Tak mungkin Keraton Selatan yang
telah menjalin kembali persaudaraan dan persahabatan dengan Keraton Utara
membuat onar lagi. Dan yang lebih hebat lagi, adalah mencuri Pusaka Patung
Pualam, lambang kejayaan Keraton Utara.
Lambang yang amat diakui, yang harus dipegang oleh
setiap Prabu yang menjabatnya. Dan bagi yang memiliki pusaka itu, maka mau tak mau semua orang harus
mengakuinya bahwa orang itu adalah Prabu Keraton Utara. Ini sudah tentu amat
membingungkan Prabu Keraton Utara. Di samping juga gusar karena pusaka yang
tersimpan rapi di kamarnya telah lenyap begitu saja.
Pandu mendesah panjang. Dia terus berlari menerobos kepekatan malam.
Sebuah hutan kecil pun dilaluinya.
Dan saat itulah pandangan mata Pandu yang tajam melihat sebuah api unggun kecil
di ujung sana. Terhalang sedikit oleh pepohonan besar.
"Hmm... siapa yang malam-malam begini berkumpul di hutan yang cukup menyeramkan
ini...." pikir Pandu dalam hati. Dan secara perlahan-lahan dia menyelinap ke
balik pepohonan itu.
Matanya cukup awas untuk melihat
lima orang laki-laki yang tengah
berkumpul di sana. Salah seorang dari mereka mengenakan kedok berwarna hitam.
"Hei, apa pula maksud orang berkedok itu" Mengapa dia harus menutupi
wajahnya?" desis Pandu dalam hati.
Dan nampak jelas kalau kelima orang itu sedang membicarakan satu masalah yang
kelihatannya amat penting sekali.
Dan terlihat pula, kalau si Kedok Hitam dijadikan sebagai orang yang terhormat,
karena dia nampak mendominir setiap pembicaraan. Sedangkan empat orang lainnya
lebih banyak mengangguk
anggukkan kepalanya.
"Hmm... nampaknya penting sekali yang mereka bicarakan itu," kata Pandu lagi.
"Aku benar-benar jadi penasaran.
Ah, biar kutunda dulu pengintaianku terhadap pasukan Keraton Selatan. Aku lebih
tertarik dengan orang-orang yang berkumpul ini. Terutama orang yang mengenakan
kedok hitam itu! Hmm, lebih baik kudengarkan saja pembicaraan mereka!"
Lalu dengan sekali melompat, Pandu menghentakkan tubuhnya ke sebuah pohon yang
cukup tinggi. Hanya sekali
melompat. Dan di sebuah cabang pohon yang cukup kecil! Mirip ranting tapi lebih
besar sedikit. Dari tempatnya mencuri dengar itu dia dapat mendengar apa yang tengah
dibicarakan orang-orang itu.
Nampak suara si Kedok Hitam
dijadikan pusat perhatian oleh keempat orang lainnya.
"Bila semua pasukan yang kita cari sudah beres, kita tinggal mengadakan
penyerbuan ke Keraton Utara," kata si Kedok Hitam dengan suara pelan namun
berwibawa. "Dan aku tak mau semua ini gagal. Telah kusebarkan fitnah kepada
Keraton Selatan. Berarti bila gagal, sia-sialah semua apa yang kuinginkan untuk
menggulingkan singgasana Prabu Keraton Utara."
"Ketua Kedok Hitam... kami akan membantu Ketua sampai kapanpun juga,"
kata suara laki-laki berbaju hitam dan bertubuh tegap. Wajahnya nampak cukup
menyeramkan. Di dadanya banyak terdapat bulu. Di pinggangnya tersampir sebuah
golok besar. Dia adalah Kawung Rongo atau yang bergelar si Golok Maut. Kawung
Rongo dikenal sebagai bajingan kelas wahid yang kerjanya hanya merusak dan
menganggu orang banyak. Dia juga
memiliki ilmu kanuragan yang cukup tinggi.
"Bagus! Dan kau bagaimana, Bujang Kroto?" tanya si Kedok Hitam pada laki-laki
kurus setengah baya. Rambutnya nampak memutih. Dan kala dia menyeringai mirip
mayat hidup. Sungguh mengerikan.
Yang dipanggil Bujang Kroto itu
manggut-manggut.
"Beres! Aku telah menghimpun sejumlah pasukan yang cukup besar!"
katanya tetap dengan menyeringai.
Menampakkan beberapa buah giginya yang
tanggal. "Pasukan yang kupimpin terdiri dari orang-orang golongan hitam semua.
Rata-rata mereka bekas perampok, dan penjahat. Dan masing-masing memiliki ilmu
yang cukup lumayan. Bila kau menyuruh aku untuk memanggil mereka sekarang dan
langsung menggempur Keraton Utara, saat ini juga mereka akan
berkumpul di sini!!"
Si Kedok Hitam" tertawa, nampak dia puas mendengar kata-kata si Bujang Kroto.
Pandu yang mencuri dengar dari atas pohon, mendengus dalam hati. "Hmm...
inilah si manusia bangsat atau musuh dalam selimut yang telah lama
dicari-cari!!"
Ingin Pandu langsung menggempur mereka. Namun dia menahannya, karena dia masih
ingin mendengarkan lagi kelanjutan apa yang dibicarakan oleh orang-orang itu.
Maka ditahannya rasa marahnya
begitu mengetahui mereka inilah
orang-orang yang punya rencana jahat untuk menggulingkan Keraton Utara. Dan
sebenarnya hatinya sudah tidak sabar untuk mengetahui siapa sebenarnya si Kedok
Hitam. Namun ditahannya karena dia masih ingin tahu apa rencana mereka
sesungguhnya, yang penting di mana markas pasukan yang siap menggulingkan
Keraton Utara itu berada.
Si Kedok Hitam masih mengumbar
tawanya. Nampaknya dia cukup puas dengan
kata-kata si Bujang Kroto.
Tiba-tiba dia menghentikan tawanya.
Dan menatap dua orang laki-laki yang sejak tadi hanya terdiam. Pandu cukup
terkejut melihat kedua laki-laki itu.
Diperhatikan secara seksama, ya... tak ada bedanya! Keduanya tak ada bedanya.
Sama! Mirip dan serupa!
Pandu mendengar si Kedok Hitam
memanggil kedua orang sama itu, "Hmm...
kalian sendiri bagaimana, Setan Kembar Bukit Iblis" Apakah kalian siap untuk
mengorban-an nyawa demi kepentingan kita bersama"
Salah seorang dari Setan Kembar
Bukit Iblis itu menyahut pelan, namun suaranya menusuk, "Kala ini mungkin kau
masih bisa mengatakan... kalau kita masih bersama dan bersatu. Namun apakah
mungkin, bila semuanya sudah berhasil kau dapati, kau masih mengatakan kita
bersatu?" "Hahaha... Renggota... mengapa kau berkata demikian" Apakah kau pikir aku akan
melupakan bantuan kalian bila semuanya sudah berhasil kita lakukan?"
si Kedok Hitam terbahak. Namun
sesungguhnya di balik kedoknya yang berwarna hitam itu, wajahnya geram bukan
main dengan kata-kata bernada tidak percaya itu.
"Hmm... kau bisa berkata begitu saat ini. Kedok Hitam. Tetapi hati kecilku masih
sangsi dengan apa yang akan terjadi kemudian...."
"Hahaha... lihat saja nanti...."
"Baiklah... bila kau memang
benar-benar seorang kesatria sejati dan pantang berbuat khianat, katakan pada
kami semua yang ada di sini, di mana kau sembunyikan benda itu?"
Mendengar pertanyaan itu wajah si Kedok Hitam pias. Untung terhalang kedoknya.
"Mengapa harus lama kau
menjawabnya, Kedok Hitam?" tanya Renggota dengan suara mengejek. "Kau tak mau
memberitahukan di mana benda itu kau sembunyikan?"
Si Kedok Hitam sebenarnya merasa
jengkel sekali. Tetapi dia tertawa.
"Hahaha... untuk apa benda itu aku sembunyikan sendiri. Baiklah... bila kalian
ingin tahu. Hmm... kalian bisa melihatnya di Danau Siluman, sebelah Tenggara
dari arah Keraton Utara. Di sanalah benda itu kubenamkan, setelah kubungkus
dengan kain tebal dan
kuikatkan ujungnya dengan tail. Lalu tali yang cukup panjang itu kuikatkan di
sebatang pohon kecil yang tak nampak!
Bagaimana, kau cukup puas, Renggota"


Pendekar Gagak Rimang 2 Genta Perebutan Kekuasaan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Renggota menganggukkan kepalanya.
"Maafkan aku, Kedok Hitam... bukan maksudku untuk mencurigai rasa kesetia
kawanmu. Tetapi aku perlu waspada bukan, karena kegentingan yang terjadi antara
Keraton Utara dan Keraton Selatan sudah amat genting sekali. Dan ini berarti,
kami semua telah siap untuk menghadapi resiko apa pun. Dengan segala akibatnya!
Bukankah begitu, Kedok Hitam?"
Si Kedok Hitam terbahak. "Tetapi jangan lupa," katanya di sela tawanya.
"Bila semua ini berhasil, maka kalian akan menjadi kaya raya, bukan?"
Mereka pun ikut tertawa.
Kemudian terlihat saudara kembar
Renggota yang bernama Ranggota mendehem.
"Kedok Hitam... kapan saat
penyerangan yang paling tepat dilakukan"
Aku sudah tidak sabar ingin menginjak Keraton Utara. Ingin menikmati kehidupan
mewah seperti layaknya seorang prabu.
Dilayani dayang. Dikelilingi
selir-selir yang cantik aduhai.
Hahaha... betapa nikmatnya kehidupan seperti itu. Kehidupan yang telah lama aku
cari dan kudambakan... hahaha... Aku sungguh tidak sabar lagi, aku sungguh tidak
sabar lagi, Kedok Hitam...."
Si Kedok Hitam pun terbahak.
"Tenanglah... tak lama lagi semua itu akan kita jalani dan kita dapatkan.
Dan aku punya rencana yang amat jitu akan kulakukan sendiri...."
"Hmm... apa itu, Ketua Kedok Hitam?"
tanya Bujang Kroto. Yang menunjukkan wajah tidak sabar untuk mengetahui
rencana apa yang ada di benak si Kedok Hitam. Begitu pula dengan yang lainnya,
yang nampak menunjukkan wajah berminat.
Begitu pula dengan Pandu yang masih mencuri dengar di atas pohon. Dia pun nampak
tidak sabar ingin mengetahui rencana apa yang ada di balik si Kedok Hitam.
Namun kemudian dia mendengus gusar ketika melihat si Kedok Hitam
berbisik-bisik. Dan terlihat
kepala-kepala yang mendengar itu
mengangguk-angguk.
"Sialan!" dengus Pandu. "Kenapa harus pakai berbisik-bisik segala" Apa
dipikirnya ada yang mencuri dengar?"
makinya tetapi sejurus kemudian dia terdiam, lalu terkikik pelan. "Hihihi...
bukannya aku yang lagi mengintip?"
Lalu kembali Pandu mengarahkan
pandangannya pada orang-orang yang masih nampak sibuk dengan satu pembicaraan.
Kemudian terdengar suara si Kedok Hitam, "Bagaimana?"
"Bagus! Rencanamu amat jitu
sekali!" kata si Bujang Kroto. "Dan bila kau bisa melakukannya dengan cepat,
maka kita tak perlu susah payah lagi untuk menggulingkan Keraton Utara."
"Sebaiknya kau. melakukannya dengan segera, Kedok Hitam," kata Ranggota.
"Selagi sebagian besar pasukan Keraton Utara meninggalkan keraton untuk
menggempur Keraton Selatan."
"Memang, aku akan melaksanakannya secepatnya. Tetapi tentunya bila
kudapa-kan satu kesempatan yang pas dan tepat! Bila saja ini berhasil, maka kita
akan bisa melakukannya dengan segera!
Tetapi kurasa aku akan berhasil, karena saat ini hanya Panglima Anglinglah yang
berada di sana. Dan para pentolan Keraton Utara lainnya sedang bergerak untuk
menggempur Keraton Selatan. Rencana yang jitu, bukan?"
Yang lainnya mengangguk.
Di tempatnya, Pandu mendengus dan menggerutu berulang kali. "Sialan! Apa yang
mereka sedang rencanakan itu, sih"
Brengsek! Apa sebaiknya aku turun saja dan bertanya, "Hei... kalian merencanakan
apa sih tadi" Tapi gila, bisa gagal pula aku untuk mengetahui siapa sebenarnya
musuh dalam selimut Keraton Utara yang mengenakan kedok hitam itu. Sialan, amat
sialan sekali! Aku biasa tidak tahu suara mereka. Pelan banget mereka ucapkan!"
Pendekar itu masih terus menggerutu panjang pendek karena kesal. Lalu kemudian
dilihatnya orang-orang bangkit lalu berpencaran berpisah.
Pandu bingung. Hmm... dia maunya
untuk segera saja mengikuti ke mana perginya si Kedok Hitam itu. Namun dia masih
ada tugas yang harus dilakukannya untuk kepentingan Keraton Utara.
Maka dia pun melompat turun dari tempat persembunyiannya di atas pohon ketika
dilihatnya orang-orang itu sudah tidak nampak lagi.
Sesampainya di tanah, Pandu
langsung menghentakkan kakinya sambil menggerutu,
"Hhh! Kenapa aku harus menyelidiki pasukan Keraton Selatan" Tapi...
hehehe... usul itu kan datangnya dari aku sendiri. Hmm... lebih baik segera saja
kuteruskan untuk mengetahui di mana adanya pasukan Keraton Selatan! Tapi sungguh
sayang, padahal aku bisa
langsung menangkap orang-orang itu dan mengetahui siapa adanya wajah di balik
kedok hitam itu. Benda apakah yang ada di danau Siluman sebelah Tenggara Keraton
Utara" Tapi tempatnya di mana itulah yang aku tidak tahu... Sial, sial!!"
Pemuda itu kembali meneruskan
larinya yang amat cepat. Dia masih menyesal hal itu. Padahal dia bisa langsung
menangkap si Kedok Hitam itu.
Tetapi dia pun tak mau kalah tugasnya kali ini untuk menyelidiki pasukan Keraton
Selatan pun gagal.
Maka kembali dia meneruskan
larinya. Dan dia pun tak ingin bila kembali terlambat ke pasukan Keraton Utara berada.
Dipercepat larinya menerobos kepekatan malam. Dan di luar desa Glagah
Wangi, Pandu memperlambat larinya karena matanya menangkap sesuatu di depannya.
Cepat dia. menyelinap di balik
rimbunnya pepohonan. Sepasang matanya mengintip hati-hati memperhatikan apa yang
ada di depannya.
"Hmmm... siapa pula mereka ini?"
desisnya dalam hati sambil terus
mempehatikan. Dan matanya semakin dipicingkan. Lekat menatap orang-orang di
hadapannya. Tak jauh dari hadapannya, di
depannya nampak beberapa buah api unggun kecil dengan beberapa orang prajurit
yang sedang menghangatkan badan sambil tertawa dan minum-minum.
Mereka adalah pasukan Keraton
Selatan yang dipimpin oleh Kyai Rebo Panunggul yang sengaja beristirahat di
hutan kecil di luar Desa Glagah Wangi sebelum melanjutkan perjalanan. Rencana di
benak Kyai Rebo Panunggul, mereka akan sampai di Desa Pareden pagi hari dan
beristirahat beberapa jam sambil
menunggu pasukan Kediri.
Pandu melihat hampir seratus orang jumlah pasukan yang dipimpin oleh Kyai Rebo
Panunggul yang kelihatan sedang minum arak. Pandu menduga, dialah pemimpin
pasukan ini karena pakaian orang itu lain dan nampaknya yang lain pun begitu
hormat padanya.
Tiba-tiba Pandu ingin membuat
mereka kaget. Dia bermaksud untuk
menyerang sendiri di tempat ini. Kembali dia mengenakan capingnya. Dan dengan
beberapa buah kerikil, dia dapat membuat orang-orang yang didekatnya terdiam
kaku. Lalu dia berguling ke arah depan dan bersembunyi di balik semak. Matanya
waspada. Memperhatikan sekitarnya.
Mendadak seorang prajurit berjalan ke arahnya. Pandu bermaksud berpindah tempat,
tapi orang itu terus saja berjalan. Dia hanya buang air. Ketika kembali itulah
Pandu menghantam lehernya hingga pingsan dan menyeretnya ke balik semak.
Dia menghitung jarak antara api
unggun di dekatnya ini dengan yang di sana. Agak jauh Dan di sana orang-orang
lebih asyik minum arak. Tiba-tiba dia bersalto dan muncul di hadpaan
orang-orang yang didekatnya.
Mereka terkejut dan bersiap dengan senjata. Tapi kaki dan tangan Pandu telah
bergerak cepat. Keempat orang itu dibuatnya pingsan. Namun salah seorang sempat
berteriak dan ini menimbulkan perhatian yang lain. Serentak mereka bangkit
meraih senjata dan mendatangi tempat jeritan tadi. Betapa terkejutnya ketika
melihat kawan-kawan mereka bergeletakan.
"Bangsat!" salah seorang membentak.
"Cecunguk mana yang berani berbuat onar terhadap pasukan Keraton Selatan ini"!"
Tapi dia tidak perlu menunggu lama, karena Pandu sudah muncul di hadapannya.
Capingnya sengaja ditutup dalam-dalam untuk menutupi wajahnya. Eyang Ringkih
Ireng telah melatihnya hampir lima tahun untuk melihat dalam gelap. Juga
terhadap serangan-serangan senjata dalam gelap.
Maka itu, Pandu tidak begitu kesulitan untuk melihat berapa jumlah orang yang
muncul di hadapannya ini dan segera mengepungnya sambil menghunus tombak dan
golok. "Siapa kau"!" bentak salah seorang.
"Aku adalah aku... dan kalian adalah kalian... bukankah begitu?"
"Bangsat! Kau abdi Keraton
Selatan?" "Itu urusanku...."
"Lalu kau mau apa membuat onar begini?"
"Aku ingin menghentikan tindakan gila-gilaan kalian yang bermaksud mengadakan
perang dengan Keraton Utara.
"Setan! Dia abdi Keraton Utara!"
seru yang lain marah.
"Kita ganyang habis!" sambut yang lain ramai.
"Saat ini Keraton Utara bukan saudaraku, dia adalah musuh besar kita, dia telah
berani menuduh yang
bukan-bukan terhadap raja kita! Kita tangkap orang ini!"
"Tahan!" seru Pandu sebelum orang-orang itu bergerak. "Aku datang
bukan ingin menumpahkan darah, tapi mencoba untuk berunding dengan kalian,
apakah kalian masih mau berpikir, tentang tak ada gunanya perang...."
"Tapi prabu kami telah orang-orang Keraton Utara hina!!"
"Apakah ini bukan salah paham saja"!"
"Tidak! Prabu Keraton Utara yang salah! Kami, sebagai abdi setia Keraton Selatan
pantang menyerah! Dan paling benci melihat raja kami dihina orang!
Sudah kawan-kawan, kita tangkap orang ini! Sikkaaaaatt!!"
Setelah dikomando demikian, yang
lain pun segera bergerak dengan senjata masing-masing. Serentak di tempat itu
Pandu kembali memperlihatkan
kelincahannya berkelit. Kali ini dia juga melancarkan pukulannya. Dia
benar-benar bergerak cepat. Hanya sekali gebrak saja, tiga orang sudah ambruk
tanpa nyawa. Pandu terkejut melihat hasil pukulannya, tapi perang memang minta
korban. Dan inilah jeleknya perang. Dia sangat menyiksa. Keributan itu pun
memancing prajurit yang lain yang segera bergerak ke sana, termasuk Kyai Rebo
Panunggul. Saat itu Pandu sudah merubuhkan semua lawan-lawannya.
Melihat keadaan yang bisa
membahayakan dirinya, dia segera
bersalto ke belakang. Tapi beberapa tombak yang dilempar mampu menahannya
sesaat, juga orang-orang yang menyerang, yang bergerak maju dengan cepat. Dengan
raut wajah seram dan penuh nafsu ingin membunuhnya.
Kali ini Pandu tidak mau bertindak murah hati lagi. Dia menghantam
orang-orang itu hingga jatuh berantakan.
Namun karena orang-orang itu terlalu banyak, Pandu segera melesat pergi setelah
menerobos kepungan itu dan menghantam beberapa orang pengurungnya hingga
kelojotan. Lalu dia berjumpalitan dua kali dan tubuhnya telah berada di luar para
pengurungnya. Lalu dihentakkannya kakinya untuk berlari. Dia masih belum mau
mencari ribut yang berkepanjangan.
Karena dia yakin, ini semua hanya salah paham belaka. Tadi pun dia berbuat
seperti itu terdorong rasa jengkel saja melihat jumlah pasukan Keraton Selatan
yang demikian banyaknya. Yang mana menurutnya hanya akan menambah korban jiwa
dari orang-orang yang tak berdosa.
Dan dia sendiri juga tidak mau mati konyol menghadapi sejumlah pasukan yang
demikian banyaknya. Belum lagi dengan adanya Kyai Rebo Panunggul yang geram
bukan main. Dia marah besar karena ada orang
yang mengobrak abrik pasukannya. Dan itu pun dia tidak tahu siapa orang itu.
Gagal menangkapnya. Jangankan menangkap, mengetahui siapa dia saja sulit
baginya, karena orang itu mengenakan caping yang menutupi juga wajahnya.
Dan yang lebih membuatnya semakin marah, setelah mengetahui penyerang itu hanya
satu orang! Hanya satu orang!
Sungguh suatu penghinaan sekali namanya baginya!
Malam ini juga dengan marah yang
berkobar-kobar, Kyai Rebo Panunggul memerintahkan pasukannya untuk
bergerak. "Sikat jika ada penghalang bagi barisan ini!" serunya dengan suara yang
mengandung kemarahan yang amat sangat sekali.
"Bunuh siapa saja!!"
Dan pasukan itu pun sigap segera
bergerak dengan rasa marah pula di hati masing-masing. Beberapa kawan mereka
yang mati akibat serangan tadi mereka tinggal. Sementara yang tertotok sudah
dibebaskan oleh Kyai Rebo Panunggul.
Dan pasukan itu pun bergerak.
Sementara itu Pandu terus menggunakan ilmu larinya untuk berlari, Malam ini
baginya seakan malam keberuntungan. Pertama dia mengetahui secara tidak sengaja
rencana busuk dari musuh dalam selimut Keraton Utara. Namun hanya yang
disayangkannya, dia tidak tahu siapa orang dibalik kedok berwarna hitam itu.
Namun yang lebih penting lagi, dia tahu di mana Pusaka Patung Pualam itu
disembunyikan. Kedua, dia dapat mengetahui jumlah pasukan Keraton Selatan yang siap untuk
menggempur Keraton Utara. Jumlah yang amat banyak sekali.
Dan dia harus melaporkan semua itu pada Mpu Daga. Terutama tentang
orang-orang yang punya rencana busuk menggulingkan Keraton Utara.
Mpu Daga cukup gembira mendengar cerita itu. Sama halnya dengan Ki Sima Ireng.
Namun keduanya cukup terkejut ketika Pandu bercerita tentang jumlah pasukan
Keraton Selatan yang amat banyak jumlahnya.
Tetapi Mpu Daga
segera memerintahkan pasukannya untuk bersiap menyambut kedatangan pasukan Keraton
Selatan. Memang benar dugaannya, sangat
sulit untuk menyelesaikan masalah ini secara damai. Karena bendara perang sudah
dikibarkan! Dan perang sebentar lagi akan
terjadi! Tak ada yang bisa menahannya kecuali Dewata. Mpu Daga pun merasa, bila dia harus
menerangkan apa yang didengar dan dilihat Pandu tadi mengenai orang-orang yang
punya rencana busuk pada Keraton Utara kepada pasukan Keraton Selatan, ini akan
sia-sia belaka!
Yah... perang pun tak bisa
dihindarkan lagi rupanya!
* * * 5 Malam semakin larut. Tengah malam telah lewat.
Desa Pareden nampak sunyi senyap.
Rembulan di atas sana renta, seakan enggan bersinar. Semua penghuni desa itu
telah tertidur lelap. Tak seorang pun yang tahu, kalau di desa itu telah
berkumpul pasukan Keraton Utara.
Karena bagi mereka, keadaan telah aman. Dan mereka tak pernah menduga kalau
perang akan terjadi lagi.
Tak ada yang perlu ditakutkan.
Namun tiba-tiba mereka tersentak
bangun dan terkejut bukan alang
kepalang, karena di ujung Desa Pareden terdengar teriakan yang amat keras.
Disusul dengan suara jeritan dan
pekikan. Lalu terdengar suara senjata beradu dan diiringi dengan jerit
kematian yang menyayat hati. Ada apa" Apa yang terjadi"
Pasukan Keraton Selatan yang
dipimpin oleh Kyai Rebo Panunggul, telah tiba di ujung Desa Pareden. Dia
memerintahkan untuk menyerang begitu melihat pasukan Keraton Utara.


Pendekar Gagak Rimang 2 Genta Perebutan Kekuasaan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu saja pasukan Keraton Utara
yang memang telah bersiaga, segera menyambut. Hingga terjadi peperangan yang
teramat dahsyat.
Semua mengamuk.
Darah pun bersembur ke tanah,
membasahi bumi yang telah basah oleh embun.
Ki Sima Ireng menggebrak kudanya
dengan keras. Dan dengan senjatanya yang berbentuk cakar macan, dia menghantam
ke kanan ke kiri. Kudanya menerobos. Setiap kali dia mengibaskan tangannya,
selalu ada yang menjerit kesakitan. Amat memilukan.
Dan ambruk seketika tanpa nyawa.
Atau mundur dengan salah satu bagian tubuh yang berdarah.
Beberapa orang pasukan terlatih
Keraton Selatan segera mengepungnya. Dan salah seorang mengibaskan tangannya ke
arah Ki Sima Ireng. Beberapa buah jarum berbisa bertengger ke pentolan Kediri
itu. Sambil membentak keras, Ki Sima
Ireng melompat dari kudanya dan bersalto beberapa kali di udara. Lalu dia pun
bergerak menyerang karena begitu dia hinggap di bumi beberapa senjata
lawannya segera mengarah padanya.
Mereka rapat mengepung Ki Sima
Ireng. Tetapi sebagai orang kepercayaan Prabu Keraton Utara itu bukanlah orang
sembarangan. Dia mengamuk dengan hebat dengan jurus macannya. Si Macan Seranggi bergerak
dengan dahsyatnya. Dan sebentar saja terdengar jeritan beruntun dan
darah segar yang memuncrat dari tubuh lawan-lawannya.
Melihat hal itu, Kyai Rebo Panunggul yang juga sedang bergerak secara membabi
buta, menjadi marah besar. Dia bersalto menghindari lawan-lawannya dan langsung
menyerang Ki Sima Ireng sekaligus untuk menghentikan serangan Ki Sima Ireng pada
para anak buahnya.
Dan kedua pentolan dari dua negara itu pun kini berhadapan.
"Hhh! Rupanya kau, Rebo
Panunggul!!" bentak Ki Sima Ireng yang mengenali Kyai Rebo Panunggul.
"Macan Seranggi, kini tibalah ajalmu!!" geram Kyai Rebo Panunggul yang langsung
menyerang. Ki Sima Ireng pun tak mau kalah, dia bergerak cepat memapaki serangan Kyai Rebo
Panunggul. Maka terjadilah
pertarungan yang amat dashyat pada keduanya.
Keduanya menguasai ilmu jurus macan yang hebat. Hanya bedanya Kyai Rebo
Panunggul tidak memakai senjata. Namun jurus Macan Setannya tak kalah hebatnya
dengan jurus Macan Seranggi Ki Sima Ireng. Cakar tangannya pun tak kalah kuatnya
dengan besi senjata Ki Sima Ireng.
Dan keduanya bertempur dengan
kekuatan yang teramat dashyat. Masing masing memperlihatkan ketangguhannya.
Pandu sendiri segera menggunakan
jurus bangaunya untuk menghantam para prajurit Keraton Selatan. Jurusnya ampuh.
Tak seorang pun prajurit Keraton
Selatan pun yang mampu menghalangi gerakannya. Yang mencoba menahannya, dihajar
habis-habisan. "Majulah kalian semua!"
bentaknya. "Dan mampuslah kalian semua!!"
Tunggang langganglah prajurit yang berani mendekatinya.
Sedangkan Mpu Daga hanya memukul
dengan setengah hati. Dia tidak tega bila sampai menurunkan tangan telengasnya
atau membunuh. Kalau bisa dia hanya ingin membuat orang-orang itu pingsan.
Orang-orang yang tak bersalah,
orang-orang yang hanya menjalankan perintah para penguasa mereka.
Orang-orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
Namun kadang, bila keadaan memaksa, Mpu Daga terpaksa membunuh pula. Karena bila
tidak, maka dialah yang akan dibunuh. Dan betapa sedihnya dia melihat mayat
hasil kerja tangannya. Mpu Daga merasa begitu amat berdosa.
Tetapi perang memang mengerikan.
Terlalu menakutkan untuk dibayangkan.
Tetapi mengapa masih banyaknya manusia yang menyenangi perang, hanya sekedar
menahan gengsi.
Sampai sang surya menampakkan
sinarnya diufuk Timur, pertempuran itu masih berlanjut. Sudah puluhan orang yang
tewas dengan tubuh luka parah. Dan puluhan pula yang terluka parah.
Semua bergeletakan. Ada yang
terinjak-injak. Ada pula yang saling tumpang tindih.
Pertempuran antara Ki Sima Ireng dan Kyai Rebo Panunggul pun belum berakhir.
Keduanya sama-sama tangguh. Namun lama kelamaan terlihat Ki Sima Ireng
terdesak, karena dua orang prajurit terlihat membantu Kyai Rebo Panunggul.
Ini sungguh menyulitkan bagi Ki Sima Ireng. Biarpun kedua prajurit itu tidak
begitu tangguh, namun senjata tombak yang dimainkan keduanya suatu saat mampu
menembus tubuhnya. Apalagi dibantu dengan serangan-serangan dari Kyai Rebo
Panunggul yang teramat dahsyat. Kakek itu bersorban putih itu bermaksud untuk
menyelesaikan pertarungannya.
Dia melihat matahari sudah mulai
bersinar, orang-orang ini harus segera digiring ke Bukit Sanggabuana seperti
perintah Raja Singasari.
Maka dengan tiba-tiba saja dia
membentak dengan keras. Tubuhnya
menyerbu ke depan dengan kecepatan luar biasa. Ki Sima Ireng yang sedang
menangkis serangan tombak kedua prajurit itu terkejut.
"Heit!!"
Dia membentak keras dan berhasil mengepos tubuhnya. Tetapi dua buah tombak itu
terus mencercanya. Dan lagi-lagi Kyai Rebo Panunggul menyerbu.
Kali ini dia sebisanya memapaki
serangan dari Kyai Rebo Panunggul. Namun dalam keadaan tidak siap begitu,
akibatnya sungguh luar biasa. Tubuh Ki Sima Ireng terpental beberapa tombak
terhantam pukulan tangan kanan Kyai Rebo Panunggul yang cukup keras.
Dan dari mulutnya terlontar darah merah yang segar.
Beberapa prajurit Keraton Selatan yang ada di dekatnya, segera
menggerakkan tombak mereka. Sulit bagi Ki Sima Ireng untuk membebaskan diri,
karena posisinya begitu terjepit. Tetapi sebelum tombak-tombak itu mengenai
sasarannya, tubuh orang-orang itu berterbangan tanpa nyawa.
Pandu telah bergerak dengan cepat menghantamkan pukulannya pada beberapa
prajurit Keraton Selatan. Dan menyambar tubuh Ki Sima Ireng.
"Ayo Ki! Kau istirahat dulu!" seru Pandu sambil bersalto, menghindari beberapa
tombak yang dilemparkan.
Melihat hal itu Kyai Rebo Panunggul segera mengejar. Namun tiba-tiba dia
bersalto ke belakang, karena sebuah serangan menghadangnya.
Mpu Daga telah maju menggebrak
dengan cepat. Kyai Rebo Panunggul membentak marah.
"Bangsat tua! Rupanya kau sudah ingin mampus!!"
"Panunggul... Panunggulll... kita sudah sama-sama tua... untuk apalah
bertempur...."
"Bangsat!!" Kyai Rebo Panunggul ganti kini menyerang Mpu Daga.
Serangannya dahsyat dan keji. Mpu Daga segera menyambutnya. Tenaga tuanya masih
mampu digunakan untuk menghalau serangan itu. Matahari terus naik, memancarkan
sinarnya menerangi seluruh Desa Pareden.
Hal itu kembali mengingatkan Kyai Rebo Panunggul untuk menyeret orang-orang ini
ke Bukit Sanggabuana. Apalagi dia melihat pasukannya sudah mulai terdesak hebat.
Banyak pasukannya yang sudah berguguran. Makanya dia mulai
memerintahkan pasukannya mundur.
Tiba-tiba kedua tangannya merangkum ke udara dan bergerak memutar,
menghantam wajah Mpu Daga. Mpu Daga sedikit terkejut melihat serangan aneh
begitu. Dia merunduk dan melancarkan jurus Elangnya ke arah kiri. Kyai Rebo
Panunggul bersalto ke belakang, tapi Mpu Daga memburunya dengan cepat. Kembali
Kyai Rebo Panunggul mengelak kesamping.
"Munduuuur!!" seru Kyai Rebo Panunggul sambil melemparkan senjata
rahasianya yang berbentuk bintang. Dan membuat Mpu Daga bersalto tiga kali.
Serentak pasukan Keraton Selatan
mundur. Pasukan Keraton Utara yang merasa menang, langsung mengejar.
Apalagi Ki Sima Ireng yang sudah masuk kembali ke medan laga, langsung memimpin
pasukannya untuk menyerang terus.
Mpu Daga dan Pandu sendiri mau tak mau mengikuti mereka. Yang tanpa sadar, kalau
mereka tengah digiring ke sarang buaya.
Keadaan di Desa Pareden langsung
Renjana Pendekar 7 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Kidung Senja Di Mataram 2

Cari Blog Ini