Pendekar Hina Kelana 25 Iblis Pulau Hantu Bagian 2
ba-tiba saja bagai orang gila sambil berjalan-jalan dengan telanjang bulat.
Setelah diselidiki, tahulah mereka apa yang menimpanya. Dengan cepat bupati itu
mengerahkan pasukan untuk mencari
orang bernama Iblis Pulau Hantu.
"Sudahlah, Bu. Yang penting saat ini orang
itu harus diganjar sesuai dengan perbuatannya.
Aku bersumpah akan menggantung orang itu di
alun-alun!" katanya sambil membujuk perempuan setengah baya itu. "Kita tunggu saja utusan itu tiba membawa si keparat
itu!" Perempuan itu tak menyahut. Tangisnya semakin keras manakala mendengar seseorang bernyanyi-nyanyi dari arah kamar. Sebentar kemudian terdengar orang itu berteriak-teriak histeris, lalu disusul dengan suara
mengiba-iba. Laki-laki separuh baya itu kepalkan tinju
berkali-kali. Kemudian menghantam meja dengan
sekuat tenaga. Beberapa orang yang hadir di
ruangan itu tersentak kaget. Sepasang mata bupati itu menatap mereka satu persatu.
"Triman!" panggilnya pada seorang laki-laki bertubuh besar. Orang itu cepat
berdiri dan menjura hormat. "Saat ini juga kerahkan orang-orang berkepandaian
silat tinggi untuk membantu pasukan yang sedang menuju ke sana. Aku tak perduli siapapun dia! Yang penting orang yang menamakan diri sebagai Iblis Pulau Hantu itu harus
dapat ditangkap hidup-hidup!"
"Tapi Tuanku, bukankah kita sudah mengirim utusan pada Perguruan Kapak Kembar" Sebagai besan, tentu mereka tak mau tinggal diam
melihat keadaan ini. Apalagi cucu Ki Gajadruma
yaitu, Denmas Teja Pura tewas di tangan orang
itu...." "Aku tak perduli!" bentak bupati itu memo-tong pembicaraan orang bertubuh tinggi
besar itu. "Cari beberapa orang berilmu tinggi dan katakan, aku akan memberi hadiah
besar bagi siapa
saja yang bisa menangkap bajingan itu hiduphidup. Kalau tak bisa, bawa kepalanya ke hadapanku! Kau mengerti"!"
"Ya, iya! Hamba mengerti, Tuanku..,." sahut orang itu cepat.
"Nah, laksanakan cepat!"
Tanpa banyak membantah lagi orang itu segera mengajak kawan-kawannya berlalu dari
ruangan ini. Bupati itu memperhatikan mereka
dari balik pintu, dan kembali mondar mandir
sambil kepalkan tangan. Tangis istrinya masih
belum selesai. Dia duduk dengan lesu sambil
hempaskan pantat. Namun sesaat kemudian
kembali bangkit. Baru sekali ini terlihat dia begitu gelisah bercampur amarah
yang meluap. Selama
ini tak seorang pun yang berani berbuat macammacam padanya. Baru kali ini ada orang yang betul-betul kurang ajar padanya. Seolah-olah wajahnya dikentuti dan tak memandang sedikitpun
pada kedudukannya. Bagaimana mungkin dia bisa memaafkan orang yang telah menodai putri satu-satunya, dan bahkan membunuh menantunya" Bupati yang tak lain dari bapak gadis bernama Lastri itu, kembali kepal-kepalkan tinju.
Seakan-akan hendak melumatkan orang yang telah menodai anaknya itu tanpa sisa!
7 Orang tua itu tersentak kaget saat mendengar berita dari utusan itu. Lebih-lebih saat melihat mayat cucunya terbujur kaku
dengan kea- daan yang mengenaskan. Kumisnya yang panjang
memutih, terlihat bergerak turun naik menahan
amarah. Semua murid berkumpul di halaman depan ingin menyaksikan peristiwa itu. Seorang perempuan setengah baya yang mendengar kejadian
itu dan melihat mayat seseorang terbujur kaku,
segera menjerit panik sambil keluarkan tangis
berderai. "Anakku...! Anakku...! Kau tak boleh mati!
Engkau tak boleh mati! Tidaaaaaak...!"
Orang tua itu cepat mengelus rambutnya
dan berbisik pelan. "Sudahlah Wulandari. Biar ki-ta selesaikan urusan ini
nantinya. Sekarang ikhlaskan anakmu Teja Pura kembali kepada Yang
Maha Kuasa. Barangkali sudah ditakdirkan bahwa dia harus mati dengan cara seperti ini."
"Bapak...." Perempuan berumur sekitar tiga puluh delapan tahun itu memburu si
orang tua dan memeluknya erat-erat sambil menangis sesegukkan. "Tabahkanlah hatimu, Nak. Ini adalah cobaan kedua setelah suamimu tewas sepuluh tahun lalu. Bapak pasti akan membereskannya.
Kemanapun orang itu bersembunyi, aku bersumpah akan memburu!" kata orang tua itu pelan namun mengandung tekad yang kuat.
"Sekarang lebih baik kita urus dulu anakmu."
Perempuan setengah baya itu mengangguk.
Matanya kuyu menatap mayat anaknya dibawa
beberapa orang murid perguruan ke halaman belakang. Dengan langkah pelan dia mengikuti
orang tua itu ke ruang dalam. Beberapa orang
murid tertua mengikuti dari belakang.
Orang tua itu duduk bersila di atas sehelai
tikar. Matanya tajam menyapu pandang pada mereka yang hadir di ruangan ini. Suaranya terdengar berat. "Murid-muridku, seperti kita ketahui, hari
ini cucuku tewas dengan cara keji di tangan orang yang menamakan diri sebagai Iblis Pulau Hantu.
Hal ini tak bisa didiamkan begitu saja. Setahuku
Teja Pura tak pernah mempunyai musuh sebab
dia sendiri baru saja turun gunung. Untuk menyelesaikan masalah ini, aku akan turun tangan
sendiri...."
"Tapi, Guru..." sahut Wisnu Prada, murid tertua di perguruan itu. "Bukankah
masih ada hamba. Biarlah hamba yang mewakili guru untuk
mencari orang itu dan meminta pertanggung jawabannya."
"Tidak, Wisnu!" sahut orang tua berusia sekitar enam puluh tahun itu tegas.
"Persoalan ini tak semudah yang engkau pikirkan. Teja Pura
bukan anak kemarin sore. Ilmu silatnya pun tak
dibawahmu. Kalau sampai lawan dapat membunuhnya dengan mudah, itu berarti dia memiliki
ilmu tinggi. Aku tak mau diantara kalian ada yang menjadi korban secara siasia." "Guru..." panggil pemuda berusia dua puluh lima tahun itu kembali, "Bukankah
guru sendiri mengatakan bahwa tugas kita adalah mengamal-kan ilmu yang didapat
untuk menegakkan keadilan?" Orang tua itu tersenyum pahit. "Apa yang engkau katakan tak salah. Tapi
menegakkan kea-dilan tanpa dasar yang kuat adalah perjuangan
sia-sia belaka. Puluhan tahun nama Gajadruma
dikenal dalam dunia persilatan sebagai si Kapak
Kembar, bukanlah nama kosong. Selama itu tak
seorang pun yang memandang sebelah mata padaku. Tapi orang satu ini seolah meremehkanku.
Kalau dia tak punya andalan, tak mungkin dia
berani berbuat seperti itu. Dan bila kuserahkan
persoalan ini pada kalian, berarti kalian hanya
berjuang secara cuma-cuma. Lagipula biarlah
nyawa tuaku ini dipertaruhkan untuk menumpas
orang seperti Iblis Pulau Hantu. Memang belakangan ini namanya menjadi momok yang menakutkan banyak pihak, dan sebagai pendekar golongan putih, sudah tentu aku tak bisa berdiam
diri saja."
Ruangan itu sepi untuk beberapa saat. Tak
ada sahutan, seolah mereka yakin, alasan apa
pun yang dikemukakan agar mereka saja yang turun tangan pastilah akan ditolak orang tua itu.
"Nah, selesai pemakaman cucuku, kau Wisnu, pimpinlah perguruan ini sebaik-baiknya. Kupercayakan engkau menjabat sebagai ketua. Kalau kelak aku tewas, secara langsung engkau
menduduki jabatan ketua resmi atas ijinku saat
ini!" "Guru, hamba tak bisa menerima jabatan ini..." sahut pemuda itu. Orang tua
bernama Gajadruma itu pelototkan mata. Wisnu Prada jadi
salah tingkah. "Kalau engkau tak berani menerima keputusan ini apa yang bisa engkau lakukan untuk meneruskan perjuanganku?" tanya Ki Gajadruma
pelan tapi menusuk.
"Kalau engkau tugaskan hal lain, barangkali
hamba akan melakukannya sekuat tenaga dan
kemampuan. Tapi yang satu ini berat rasanya...."
"Wisnu, aku tak suka mendengar bantahanmu!" Pemuda itu tundukkan kepala dan tak tahu harus berbuat apa. Lama dia
berbuat begitu sampai kembali terdengar suara orang tua itu.
"Ini sudah keputusan dan engkau tak boleh
menolaknya!"
Selesai berkata begitu, si orang tua bangkit
meninggalkan ruangan menuju halaman belakang
untuk mengurus mayat cucunya. Beberapa orang
murid tertuanya yang hadir di ruangan itu segera
mengikuti. 8 Sementara itu di suatu tempat, di bawah sebuah lereng gunung, terhampar sebuah lembah
yang indah dan permai. Orang-orang persilatan
menyebutnya sebagai Lembah Patah Hati. Entah
kenapa disebut demikian, tapi menurut ceritacerita orang, lembah itu sering dijadikan tempat
bunuh diri dari atas lerengnya oleh orang-orang
yang merasa putus asa dalam hidupnya. Tak seorangpun yang mengetahui bahwa di lembah itu
tinggal seorang perempuan setengah baya berilmu
tinggi. Dia menyebut dirinya sebagai Siluman Betina Bertangan Biru. Tak seorangpun mengenal,
siapa tokoh ini sebenarnya, sebab tak seorangpun
yang pernah berhadapan dengannya. Perempuan
itu lebih suka menyendiri bersama belasan murid-muridnya. Melatih mereka dari hari ke hari,
sampai bertahun-tahun. Semua murid-muridnya
adalah mereka yang diselamatkannya dari kematian akibat bunuh diri. Dengan penuh kasih
sayang, dia merawat, memberi semangat, dan
mendidik mereka hingga mempunyai semangat
untuk hidup. Untuk itulah semua muridnya menganggap bahwa perempuan setengah baya itu sebagai ibu kandung mereka sendiri.
Saat ini perempuan setengah baya itu terlihat gelisah terus sejak tadi. Tiada nafsu makan,
dan tak bicara sepatah katapun sejak kemarin.
Tentu saja hal ini membuat murid-muridnya merasa heran sekali. Biasanya guru mereka ini selalu riang dan memperhatikan mereka berlatih.
Namun sudah dua hari ini kelihatan terus mengurung diri di kamarnya. Tak seorangpun yang
berani mengganggunya, sebab mereka tahu kebiasaan gurunya. Meski perempuan itu menyayangi mereka, tapi kalau melanggar peraturan
pastilah hukuman akan menimpa mereka. Dan
salah satu peraturan itu adalah larangan untuk
mengganggu saat perempuan itu sedang berada di
kamarnya. Maka ketika mereka dipanggil untuk berkumpul, tanpa diperintah dua kali, semuanya
bergerak cepat memenuhi ruang utama di pondok sederhana mereka.
Kelihatan perempuan setengah baya itu
menghela nafas panjang beberapa saat kemudian.
Lalu berkata pelan, "Anak-anakku, tahukah kalian kenapa hari ini ibu kumpulkan?"
tanyanya. "Apakah ada sesuatu yang sangat penting,
bu?" sahut seseorang dengan suara hati-hati.
"Itulah yang sebenarnya. Seperti kalian ketahui, ibu sering menyuruh kalian untuk turun
ke dunia ramai dan mendengar berita apa yang
sedang hangat akhir-akhir ini. Kemudian kalau
ada sesuatu yang bisa kalian lakukan, kerjakanlah! Seperti membantu si lemah, dan sebagainya.
Tapi hal ini adalah untuk anak-anak yang telah
mempunyai ilmu silat yang cukup. Sedang untuk
mereka yang belum, jelas ibu tak akan mengijinkannya. Dunia luar penuh dengan kekejian dan
kecurangan yang tiada terduga. Dan kalian sendiri pernah mengalaminya, bukan" Untuk itulah
ibu tak mau kalian kembali mengalami kekecewaan." Untuk sesaat perempuan setengah baya
yang disebut sebagai Siluman Betina Bertangan
Biru, menyapu pandang ke arah murid-muridnya
satu persatu. Ada keakraban yang tersirat. Seperti apa yang diciptakannya dalam panggilan kepada mereka dan cara murid-muridnya memanggil
ibu padanya. Hal itulah yang di inginkannya agar
murid-muridnya bebas mengeluarkan pendapat
tanpa rasa takut.
"Lalu apakah yang mengganjal perasaan ibu
dua hari belakangan ini?" tanya seorang perempuan cantik berusia sekitar tiga
puluh tahun. "Anak-anakku, sebenarnya ibu tak pernah
membedakan kalian satu sama lain. Apalagi kalian sudah mampu mengontrol diri sendiri se
Pendekar Hina Kelana 25 Iblis Pulau Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jalan dengan usia kalian. Tapi untuk Tanjung Sari kalian semua pun mengetahui.
Hanya dialah sa-tu-satunya yang sengaja ibu pungut dari sebuah
perkampungan yang saat itu dilanda kebakaran
hebat. Ibu mengasuh dia sejak bayi. Tapi bukan
berarti kasih sayang ibu padanya berbeda terhadap kalian. Dia paling muda di antara kalian dan
kelakuannya pun paling susah diatur. Sejak kita
membicarakan tentang teror yang dilakukan Iblis
Pulau Hantu beberapa hari yang lalu, sore harinya dia telah lenyap entah ke mana. Ibu yakin
bahwa dia ingin menunjukkan diri dan kemampuan untuk mencari tokoh sesat itu. Tapi ini adalah perbuatan yang sangat berbahaya sekali. Tokoh itu berilmu tinggi dan tak sembarangan orang
mampu mengalahkannya. Ibu khawatir terjadi
apa-apa dengannya...."
"Jadi apa yang harus kami lakukan saat ini,
bu?" tanya seorang laki-laki yang seusia dengan perempuan yang pertama tadi.
"Apakah ibu men-ginginkan kami mencarinya?"
"Begitulah kira-kira," sahut perempuan setengah baya itu. "Tapi tidak semua dari
kalian yang harus pergi mencarinya. Cukup lima orang
saja." "Bu, kami akan berangkat sekarang juga" ka-ta perempuan yang berusia
sekitar tiga puluh tahun itu. Seolah mengerti apa yang dimaksud guru
mereka, empat orang yang usianya sebaya, bergabung dengan perempuan itu. Tiga laki-laki, dan
seorang lagi perempuan.
"Seperti apa yang kalian laporkan pada ibu
saat ini banyak tokoh-tokoh persilatan yang mencari tokoh bernama Iblis Pulau Hantu itu sehubungan dengan teror yang dilakukannya. Kalian
bisa menggalang persatuan dengan mereka. Ingat!
Tak seorangpun yang boleh gegabah menghadapi
lawan itu."
"Kami akan selalu ingat pesan, ibu!" sahut mereka serentak, perempuan itu
mengangguk. Dia mengambil sebuah kotak kecil sepanjang satu
depa dari bawah sebuah meja. Ketika dibuka, terlihatlah sebuah keris berlekuk dua belas berwarna hitam kebiru-biruan. Dilihat sepintas pamor
keris itu bagai barang pusaka yang mengandung
kekuatan hebat. Semua murid-muridnya mengetahui, senjata yang diperlihatkan gurunya itu
adalah Ni Chandranila. Sebuah keris pusaka yang
sangat jarang sekali digunakannya kalau tidak
dalam keadaan terpaksa.
"Lestari, mendekatlah..." kata perempuan setengah baya itu kepada murid
perempuannya yang berusia tiga puluh tahun itu. "Kupercayakan padamu untuk membawa senjata
pusaka ini. Engkau tahu bukan, senjata ini sangat beracun
dan tak sembarangan senjata mampu mengalahkannya. Engkau simpanlah baik-baik, dan
pergunakan dalam keadaan terdesak."
"Ibu, aku tak berani menerima kepercayaan
begitu besar dengan membawa Ni Chandranila..."
sahut perempuan bernama Lestari itu.
"Lestari, engkau tahu bukan" Ibu paling tak
suka berkata dua kali. Terima senjata pusaka ini
baik-baik, dan berangkatlah kalian sekarang juga.
Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa melindungi
niat baik kalian."
Karena tak mampu lagi menolak, akhirnya
dengan tangan gemetar Lestari menerima senjata
pusaka itu dan menyelipkannya ke pinggang dengan takzim. Tak berapa lama kelimanya segera
mohon diri dari ruangan itu. Siluman Betina Bertangan Biru mengangguk sambil tersenyum kecil.
"Mudah-mudahan kalian kembali dengan selamat..." bisiknya lirih. Kelima muridnya itu dengan cepat berkelebat, dan
sebentar saja telah lenyap dari pandangan.
9 Burisrawa alias Iblis Pulau Hantu tertawa
puas sambil meninggalkan ruangan itu. Sekali lagi diliriknya gadis yang masih tergolek tak berdaya di atas tempat tidur, polos tanpa sehelai be-nangpun yang menyelimuti
tubuhnya. Dalam posisi tengkurap, air matanya terlihat menetes jatuh ke lantai. Ada pedih dan duka
yang menyesak di
dadanya, namun tiada mampu berbuat sesuatu.
Isaknya terdengar lirih dari kerongkongan yang
mengeluarkan suara parau dan serak. Hingga tak
mampu lagi keluarkan jerit makian. Bola matanya
sayu menyiratkan semangat hidupnya yang sirna.
"He... he... he... he...! Betul sekali dugaanku.
Engkau betul-betul hebat sekali! Tiada percuma
aku mendapatkan mu, dan tiada percuma pula
aku melepas pantangan membunuh. Hanya engkau satu-satunya korban yang tak kubunuh!" teriak Burisrawa terkekeh panjang.
Tiba-tiba dia hentikan suara sambil mengingat-ingat sesuatu.
"Ya, ya...!" lanjut nya seperti berkata pada di-ri sendiri, "Jadi dua dengan
gadis itu. Tapi, ah, dia sama sekali tiada sebanding dengan engkau.
Lagi pula dia sudah tak perawan lagi. Kalau engkau sungguh-sungguh asli. Kalau pada saat itu
guru tak memanggil. Tentu dia sudah kuhabisi!"
Gadis itu tak menyahuti sepatah pun. Tubuhnya terlihat diam tak bergerak bagai mayat.
Burisrawa tinggalkan kamar sambil kembali tertawa lebar "Nanti setelah urusanku selesai dengan
guru, kita akan bersenang-senang lagi!" katanya dari jauh.
Orang berwajah buruk itu memasuki satu
ruangan yang agak besar dan luas. Di dalamnya
terdapat barang-barang beraneka ragam. Namun
pada sisi kiri, setengah dari luas ruangan ini, kosong melompong. Seseorang
nampak sedang duduk bersila di atas sebuah permadani. Tubuhnya
kurus dan rambutnya pendek namun berdiri bagai landak. Sepasang matanya lebar, dan hidungnya rata memperlihatkan dua bolongan kecil. Kulit di tubuhnya bagai menyatu dengan tulangbelulang yang bertonjolan dan jelas terlihat memperlihatkan ruas demi ruas. Orang ini betul-betul mirip dengan tengkorak hidup.
Siapakah orang ini" Konon puluhan tahun lalu ada seorang tokoh
sakti yang tiada pernah menemukan tandingan.
Tindakannya kejam dan telengas. Namun sejak
dikalahkan oleh seseorang, dia langsung mengundurkan diri dari dunia persilatan dan tak berani menampakkan diri secara terang-terangan.
Orang itu menamakan diri sebagai Siluman Lembah Neraka! Sementara itu Burisrawa bersujud di depan
orang itu dengan takzim dan hormat sekali. Ketika bangkitpun wajahnya tak berani beradu pandang, melainkan tunduk dalam-dalam.
"Hmm, jadi engkau sedang bersama gadis itu
saat kupanggil, Burisrawa" Pantas engkau tak
langsung menghadap!"
"Ampun, guru! Aku sedang menikmati hal
yang tiada pernah kudapatkan selama hidupkusebelum engkau memungutku sebagai murid...."
"Diam engkau!!" bentak orang bagai jerangkong itu dengan wajah berang. Burisrawa
lang- sung tertunduk ketakutan. "Ingat sumpahmu,
Burisrawa! Engkau harus mendahulukan kepentingan gurumu diatas kepentinganmu sendiri.
Ada yang perlu engkau lakukan dan ada yang tidak boleh engkau lakukan!"
"Ma... maksud guru..,?"
Orang bergelar Siluman Lembah Neraka itu
tarik nafas panjang. Raut kesadisan masih terlukis di wajahnya yang tak pernah tersenyum. Kemudian katanya pelan namun menusuk telinga
Burisrawa. "Sepanjang petualanganku di dunia persilatan, aku adalah tokoh sesat
yang paling di-takuti oleh siapapun. Kubunuh musuh-musuhku,
dan tak pernah kuberi ampun orang-orang yang
menghinaku. Tapi akupun manusia yang masih
punya perasaan kasihan meski tersisa sedikit.
Tiada pernah aku membantai orang-orang yang
tak punya urusan denganku! Tak pernah aku
membantai perempuan-perempuan yang tak tahu
apa-apa! Tak pernah aku membantai bayi-bayi
yang tak mengerti apa hidup ini! Aku tak pernah
melakukan itu semua! Sebab orang seperti itu
sama dengan iblis keparat!" Suaranya merangkak meninggi. Sorot matanya semakin
garang menatap orang bertubuh pendek di depannya. "Tapi apa yang engkau lakukan
di luaran sana" Kela-kuanmu benar-benar seperti iblis! Engkau membantai orang seenak hatimu, seakan-akan engkau
merasa bahwa hanya engkaulah manusia yang
patut hidup, sedang mereka adalah binatang.
Engkau tak punya prinsip! Dan jangan kira aku
tak mengetahui niat busukmu untuk menyingkirkanku suatu saat..."
"Gu... guru. Itu tidak benar!" sahut Burisrawa cepat. "Mana mungkin aku berani
berkhianat padamu. Kalau engkau tak ada, tentulah nasibku
tak seperti ini, dan hidupkupun telah lama mati."
"Tidak, Burisrawa! Di hatimu penuh dengan
setan. Engkau dikuasainya, dan bukan menguasai setan. Itu yang aku tak suka. Engkau menjadi
budak, bukan tuan bagi dirimu sendiri!" sahut gurunya tegas. "Pertama kali
kuselamatkan engkau dari dalam telaga itu akibat perbuatan orangorang kampung, aku berpikir bahwa semangat
dendammu sangat berguna untuk meneruskan
perjuanganku. Tapi manakala kulihat bakatmu
hanya seorang budak dari nafsumu sendiri, engkau bukanlah lagi orang yang kuharapkan!"
"Ja... jadi apa yang harus kuperbuat,
guru...?" "Burisrawa, akibat perbuatanmu, kini telah
banyak orang berkumpul di pinggir Danau Wisa
Ireng ini. Bertahun-tahun aku bersembunyi di
tengah danau ini, karena kulihat tempatnya bagus untuk mengembangkan ilmu silat dan kesaktian untuk menaklukkan orang yang mengalahkanku dulu. Kubuat racun yang mematikan di
dalam air danau ini. Kupelihara ular-ular yang
sangat beracun, dan kubuat air danau selalu menyemburkan kabut, agar tak seorang pun mengetahui di mana persembunyianku. Tapi karena kecerobohanmu, maka semuanya jadi berantakan.
Engkau harus menebus hal itu...!"
"A... aku tak mengerti, guru...?" sahut Burisrawa kebingungan.
"Burisrawa, mereka datang ke sini mencarimu. Engkau harus menghadapi mereka dengan
jantan!" "Eh... ng, aku harus menghadapi mereka
semua, guru?"
"Betul! Tapi jangan pandang enteng, mereka
adalah orang-orang yang berilmu sakti dan bukan
mustahil tingkatan ilmunya di atasmu. Engkau
harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu
pada mereka. Aku tak mau ikut campur dalam
hal ini. Engkau yang merasakan senangnya, kini
engkaupun yang harus menanggung pahitnya."
"Apakah guru betul-betul tak mau membantuku lagi?"
"Tidak, Burisrawa! Urusan kita telah selesai.
Engkau sangat mengecewakanku. Pertama sekali
engkau berjanji hanya akan membunuh orangorang yang menghina dan mengganggumu, tapi
itu engkau langgar. Kedua, secara langsung ataupun tidak, engkau mengundang tokoh-tokoh persilatan kelas satu datang ke sini untuk menuntut
balas atas perbuatanmu yang berdasar pada kesenangan pribadi."
"A... apakah guru takut menghadapi mereka
semua...?"
Mendengar pertanyaan itu, sepasang mata
orang seperti jerangkong itu terkuak lebar seakan hendak keluar. Wajahnya
berubah tegang dan
hawa amarah menyelimutinya dengan segera. Burisrawa ciut nyalinya seketika itu juga. Tiba-tiba gurunya itu tertawa lebar.
"Ha... ha... ha... ha...! Kurang ajar sekali engkau mengejekku, Burisrawa.
Apalah artinya orang-orang itu bagi Siluman Lembah Neraka!
Sekali kuperintahkan ular-ular dalam danau ini
bergerak menyerang, mereka bisa berbuat apa"!
Tak seorang pun di dunia persilatan ini yang
mampu mengalahkanku selain dari orang tua super sakti yang bernama Bangkotan Koreng Seribu.
Tapi jangan sekali-kali engkau mempergunakan
ular-ular di danau ini untuk menyerang mereka.
Ular-ular itu bahkan akan menyerangmu sampai
tak bersisa lagi. Engkau tahu itu Burisrawa"!"
Orang bertubuh gempal dengan perut buncit
itu anggukkan kepala.
"Nah engkau temuilah mereka dan hadapi
dengan sekuat tenagamu. Kalau engkau bisa lolos, engkau boleh pergi dari sini dan jangan injak lagi Istana Pulau Hantu ini.
Tapi kalau engkau
kalah terhadap mereka, engkau membuatku malu, Burisrawa. Dan sebagai hukumannya, aku
akan perintahkan ular-ular di danau ini untuk
menyeret tubuh busukmu hingga ke dasarnya
yang paling dalam. Engkau boleh menemui malaikat maut yang akan mengganjarmu lebih kejam
lagi!" "Guru...!" Burisrawa terperanjat kaget mendengar kata-kata gurunya itu.
Pendekar Hina Kelana 25 Iblis Pulau Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apalagi yang engkau tunggu"!" bentak Siluman Lembah Neraka sambil pelototkan
mata. "Pergi dari sini dan bawa gadis itu, lalu kemba-likan pada mereka. Engkau pikir
aku butuh den- gan segala macam perempuan"! Huh, aku tak
pernah memikirkannya seumur hidupku!''
Dengan wajah lesu, Burisrawa bangkit dari
ruangan itu dan melangkah pelan keluar. Dendamnya mulai tumbuh terhadap gurunya sendiri.
Rasanya ingin saat ini dihantamnya orang bertubuh seperti jerangkong itu dengan sekuat tenaga,
kemudian mencabik-cabiknya seperti yang sering
dilakukannya terhadap korban-korbannya. Tapi
mengetahui bahwa gurunya itu mempunyai ilmu
dari kesaktian yang tak terukur, dia hanya bisa
memaki-maki dalam hati.
Dengan membawa gadis yang masih diam
tak memberikan reaksi, Burisrawa keluar dari pulau kecil di tengah danau itu. Dengan mengetrapkan ajian Berlari Di Atas Air, tubuhnya dengan enak melayang di atas permukaan air. Menembus kabut tebal yang menyelimuti tempat ini.
10 Seperti apa yang dikatakan Siluman Lembah
Neraka, di pinggir danau telah berkumpul puluhan orang yang berteriak garang memanggilmanggil ke tengah danau itu. Di antara mereka
terdapat tokoh-tokoh sakti kelas satu yang mempunyai urusan dengan orang yang menamakan
diri sebagai Iblis Pulau Hantu. Sebenarnya dalam
dunia persilatan, ada aturan yang mau tak mau
harus mereka ingat dan sadari. Setiap tokohtokoh sakti pasti mempunyai, ciri-ciri tertentu
yang bisa dilihat. Entah itu dari senjata atau gerakan ilmu silat mereka yang
umumnya dikenal
oleh orang-orang dunia persilatan. Dengan begitu, bila salah seorang anggota
keluarga itu turun gunung, mereka dengan mudah dikenali orang lain
dan sudah jadi aturan, tak sembarangan orang
berani mengusik mereka. Kalau ada yang berani
mengganggu, sama artinya mengusik guru besar
orang itu sendiri. Tapi yang diperbuat Iblis Pulau Hantu bukan lagi sekedar
mengusik, dia betul-betul telah mencoreng arang dan membangkitkan
amarah mereka. Banyak murid-murid, anak, cucu, serta orang-orang terdekat dari tokoh-tokoh
sakti itu yang dibunuhnya dengan cara yang teramat kejam. Maka tak pelak lagi, kedatangan
mereka ke sini adalah untuk meminta pertanggungjawaban orang bernama Iblis Pulau Hantu
itu. Kebanyakan dari orang-orang itu sebenarnya
tak mengetahui di mana sebenarnya sarang orang
yang mereka cari itu. Namun sejak kejadian yang
menimpa putri Bupati Tenggala serta suaminya
yang tewas, dari situlah mereka tahu bahwa
orang yang dicari itu bersembunyi di balik danau
Wisa Ireng yang selalu diliputi asap tebal itu. Namun setelah mengelahui bahwa
di dalam danau itu terdapat ribuan ular-ular berbisa, serta air
danau itu sendiri mempunyai racun yang hebat,
akhirnya mereka bingung sendiri bagaimana cara
menerobos tempat itu.
Ardisoma, yang memimpin tiga puluh prajurit pilihan atas perintah Bupati Tenggala, lebih pusing lagi. Lima orang
prajuritnya yang menganggap enteng air danau itu, terpaksa menjadi
pelajaran bagi yang lain untuk waspada sebab
mereka tewas dengan cara yang amat mengerikan
Diseret oleh ular-ular ke dasar danau dan tak ketahuan bagaimana nasibnya.
"Bagaimana ini, Kang Ardisoma?" tanya salah seorang utusan bupati yang lain,
terdiri dari orang-orang persilatan yang datang belakangan.
"Kita tak bisa menembus ke tengah danau begitu saja." "Entahlah. Aku pun
bingung. Kalau kita kembali dengan tangan hampa, Kanjeng Bupati
pasti akan lebih murka dan memberi hukuman
pada, kami!"
"Apakah Ki Gajadruma telah dihubungi?"
"Sudah. Tapi beliau pun bingung, bagaimana
cara menembus ke tengah danau. Seandainya ada
yang memiliki ilmu terbang pun tak mungkin, sebab asap yang menyelimutinya mengandung racun pula. Dia pasti tewas sebelum menemukan
tempat itu"
"Jadi apa yang akan kita lakukan di sini"
Menunggu orang itu keluar" Sampai kapan?"
"Jangan tanya padaku, sobat!" sahut Ardisoma bingung. "Kalau engkau tak suka,
engkau bisa saja pergi dari sini dan melupakannya. Tapi
kalau aku beda. Kalau kami tak bisa membawa
kepala bangsat itu, nyawa kami taruhannya!"
Orang itu terdiam sambil angguk-anggukkan
kepala. Dari jauh terlihat rombongan berjumlah
lima orang. Dua orang perempuan dan tiga orang
laki-laki. Di pinggang masing-masing mereka terselip sebatang keris. Melihat dari pakaian mereka yang berwarna biru semuanya
tentulah akan menarik perhatian orang-orang di situ. Tapi tidak.
Orang-orang di pinggir danau ini malah tak perdulikan mereka. Hati orang-orang itu penuh dengan amarah sekaligus kebingungan, karena tak
tahu, bagaimana mereka melampiaskan dendamnya pada orang bernama Iblis Pulau Hantu itu.
Jangankan melihat bentuknya, untuk tiba di tengah danau itu saja rasanya tak mungkin. Tak satupun jalan rahasia menuju ke tengahnya kecuali
menyebrangi lewat permukaan airnya. Dengan
sebatang rakit yang terbuat dari batang pohon,
atau perahu yang sengaja mereka bawa, bahayanya akan sama. Selain ular yang mampu merambat dengan cepat, asap putih yang menyelimuti permukaan danau itupun sangat beracun.
Walhasil mereka hanya bisa berteriak-teriak kesal. Tapi ada seorang pemuda yang menaruh
perhatian pada rombongan ini. Pemuda dengan
rambut dikuncir dan selalu membawa-bawa periuk yang tak lain dari Buang Sengketa itu, bangkit dari duduknya dan menghampiri mereka. Ada
yang menarik perhatiannya. Meski kedua perempuan dalam rombongan itu agak tua, namun
dandanannya sama betul dengan gadis yang telah
dilarikan orang bernama Iblis Pulau Hantu itu ke
tengah danau. Mereka memakai baju biru, rambutnya dikucir ke belakang, dan menyelipkan sebilah keris masing-masing di pinggang. Pemuda
murid si Bangkotan Koreng Seribu itu menduga
kelima orang ini pasti punya hubungan, atau paling tidak mereka berasal dari satu perguruan
yang sama. "Maaf, aku mengganggu perjalanan kalian,"
katanya sambil menjura hormat. "Apakah kalian berlima murid Siluman Betina
Bertangan Biru?"
Kelima orang itu mengernyitkan kening dan
saling pandang satu sama lain. Apa yang dikatakan pemuda berperiuk itu tak salah. Tapi dari
mana dia tahu" Selama ini mereka tak pernah
menggembar gemborkan ke dunia luar tentang
nama gurunya itu. Tiba-tiba saja seorang pemuda
tak dikenal, mengenali guru mereka. Sudah barang tentu hal ini menimbulkan kecurigaan mereka. Tapi sebagai orang-orang yang telah banyak
makan asam garam kehidupan tentu mereka tak
mau menunjukkan sikap itu lewat sorot matanya.
"Kisanak, maafkanlah. Kami tak tahu menahu soal orang yang barusan engkau sebut itu,"
sahut perempuan berusia tiga puluh tahun yang
tersenyum kecil pada pemuda itu.
Buang Sengketa palingkan wajah ke arah
danau sambil berkata masghul, "Ah, sungguh malang nasibmu Tanjung Sari...."
"Eh, kisanak! Apa yang barusan engkau sebut tadi"!" sahut perempuan itu yang tak lain dari Lestari dengan wajah kaget.
"Kenapa" Apakah nama itu sangat berarti
buat kalian?"
"Apakah engkau bertemu dengannya"!"
"Nisanak, maafkanlah. Aku sama sekali tak
mengenal orang itu," sahut Buang Sengketa dengan wajah polos. Sengaja dia
berkata begitu untuk membalas perlakuan mereka, sebab dia yakin
betul, antara Tanjung Sari dan kelima orang ini
pasti ada hubungan. Tapi entah dasar apa, mereka coba menyembunyikannya. Terbukti bahwa
perempuan ini sangat penasaran sekali untuk
mengetahuinya. "Kisanak, katakanlah secara jujur, apakah
engkau mengenalnya?"
"Apakah itu sangat perlu bagi kalian" Dia
murid Siluman Betina Bertangan Biru, sedang kalian sama sekali tak mengenal gurunya itu. Untuk
apa aku harus menerangkannya pada kalian?"
"Baiklah, aku tadi berbohong padamu. Sengaja kami sembunyikan nama guru kami itu sebab beliau tak suka namanya dikenal orang. Beliau mengutus kami berlima untuk mencari adik
seperguruan kami yang pergi secara diam-diam
itu. Beliau sangat khawatir terhadap keselamatannya. Nah, Kisanak, maafkanlah sikap kami tadi. Apakah engkau benar-benar pernah bertemu
dengannya?" tanya Lestari berharap.
"Ah, syukurlah akhirnya aku bertemu dengan kalian," sahut Buang Sengketa. Namun wajahnya yang tampan itu tiba-tiba berubah murung manakala dia mulai menceritakan peristiwa
yang dialaminya dengan Tanjung Sari yang akhirnya dilarikan Iblis Pulau Hantu ke tengah danau
itu." "Maafkanlah aku. Aku tak mampu melin-dunginya..." lanjutnya mengakhiri
cerita. "Jadi dia dilarikan iblis keparat itu"!" tanya Lestari meyakinkan
pendengarannya.
"Begitulah...."
"Keparat! Aku bersumpah akan membunuh
iblis itu!" kata Lestari geram. Wajahnya kelam membesi.
"Percuma, Nisanak," sahut Buang Sengketa lesu. Sudah dua hari ini aku berusaha
mencari jalan masuk ke tengah danau ini, namun sia-sia.
Tak ada satupun pintu rahasia yang menuju ke
tengah-tengah danau ini. Selain airnya mengandung racun, juga terdapat ribuan ular-ular di dalamnya. Asap tebal yang menyelimutinya pun
mengandung racun yang tak kalah ganasnya."
"Apakah tak ada jalan lain atau dengan cara
lain?" tanya Lestari. "Kalau iblis itu tak mau keluar, kita paksa dia untuk
keluar dari sarangnya?" "Percuma..." sahut Buang Sengketa alias Pendekar Hina Kelana masghul.
"Engkau lihat
orang-orang itu" Mereka sejak tadi berteriakteriak mengeluarkan tantangan, tapi orang bernama Iblis Pulau Hantu itu tak kunjung ke
luar..." lanjutnya. Tiba-tiba pandangan pemuda dari negeri Bunian itu tertumbuk
pada prajurit-prajurit yang membawa senjata panah di tangannya. "Api! Ya, api!" katanya girang.
"Kisanak, apa maksudmu?" tanya Lestari
bingung. "Prajurit-prajurit itu membawa senjata panah. Kalau ujungnya diberi api dan dipanahkan
ke tengah danau, mau tak mau pastilah orang itu
akan keluar."
"Ah, ide yang baik!" cetus Lestari. "Sebaik-nya cepat-cepat saja kita
memberitahu mereka."
Dengan bergegas mereka menemui Ardisoma
dan menerangkan rencananya. Kepala pasukan
prajurit dari kediaman Bupati Tenggala itu yang
sedang kebingungan, tiba-tiba saja berubah gembira. Dengan cepat diperintahkannya prajuritprajurit itu membungkus anak panah mereka
dengan kain dan membakarnya dengan api. Tapi
baru saja mereka bersiap-siap melepaskan anak
panah ke tengah danau, tiba-tiba melesat satu
bayangan dari balik kabut tebal itu. Semua yang
berada di situ segera bersiap menghadapi segala
kemungkinan. 11 "Ha... ha... ha... ha...! Sungguh bagus. Kalian datang tanpa diundang, dan
mencari mati dengan
jalan mudah. Kalau mencari Iblis Pulau Hantu,
akulah orangnya!" kata sesosok tubuh pendek dengan perut buncit. Sepasang
matanya seperti
hendak keluar, dan seluruh tubuhnya penuh
dengan luka-luka sayat yang membuat wajahnya
menjadi mengerikan sekali. Dalam kepitan tangan
kiri, terlihat sesosok gadis berbaju biru yang terkulai lemas tak berdaya.
Lestari segera berteriak nyaring ketika mengenali siapa gadis itu.
"Tanjung Sari...!"
Sepasang mata orang yang mengaku bernama Iblis Pulau Hantu itu berpaling pada rombongan yang berjumlah lima orang. Ketika salah seorang dari mereka berlari mendekati, dengan cepat
diayunkannya tubuh itu pada mereka.
Lestari bersalto dengan indah, dan saat dia
jejakkan kaki di tanah, tubuh Tanjung Sari telah
berada dalam bopongannya. Keempat saudara seperguruannya cepat mengerubung
Buang Sengketa pun tak urung mendekat.
"Serang...!" teriak Ardisoma memberi perintah bersamaan dengan orang itu
melempar gadis yang dikepitnya. Puluhan prajurit yang telah bersiap dengan panah api segera mematuhi perin
Pendekar Hina Kelana 25 Iblis Pulau Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahnya. Iblis Pulau Hantu atau Burisrawa putar
senjatanya yang berbentuk tombak sepanjang dua
depa dengan sisi ujungnya berbentuk clurit.
"Trak! Trak! Trak!"
Tubuh Burisrawa berkelebat cepat mengbantam puluhan anak panah berapi. Belasan batangdapat dipatahkannya, dan sisanya dihindari dengan gerakan manis. Beberapa orang-orang persilatan yang merupakan orang upahan Bupati
Tenggala tanpa membuang waktu lagi, menyerang
Burisrawa dengan senjata terhunus. Sementara
tokoh-tokoh persilatan kelas satu yang merasa
bahwa menyerang secara keroyokan akan merendahkan pamor mereka, menunggu situasi yang
tepat untuk lakukan serangan.
"Ciaaaaaaaaath.!"
"Yeaaaaaaaaaaa...!"!"
"Trang! Trang! Trak!"
"Aaaaaaaaaaakh!"
Sebentar saja di pinggiran danau itu terdengar suara hiruk pikuk dari pertempuran yang terjadi secara tak seimbang. Burisrawa dikurung belasan orang-orang persilatan yang memiliki ilmu
silat dan kesaktian yang lumayan. Sementara belasan prajurit pun ikut mengeroyoknya dengan
penuh nafsu. Kalau orang-orang biasa, tentu sebentar saja akan dapat diringkus, atau menemui
ajal dengan keadaan mengerikan. Tapi tak percuma Burisrawa menjadi murid seorang tokoh sesat nomor satu yang bergelar Siluman Lembah
Neraka kalau musti gentar menghadapi keroyokan itu. Senjata di tangannya berkelebat ke sana
sini. Meski pertarungan itu tak seimbang, namun
sekali Burisrawa bergerak tiga atau empat prajurit-prajurit itu tewas menemui ajal di ujung senjatanya. Sementara dari jarijari tangan kirinya, tak henti-henti berkelebat lima larik sinar berwarna
hitam yang menghantam orang-orang itu. Jerit
kematian mulai terdengar di antara pengeroyok
itu. Tapi bagai benteng ketaton, mereka terus menyerbu seolah tak mengenal takut. Burisrawa pun
semakin gencar mengumbar kematian lawan. Banyak di antara tokoh-tokoh persilatan yang diupah Bupati Tenggala tewas di tangannya. Orang
bertubuh pendek itu tak ubahnya bagai menepuk
lalat menghadapi orang-orang itu. Tentu saja hal
ini tak bisa didiamkan terus menerus, kalau tidak mereka akan tewas secara
percuma. Ki Gajadruma dari perguruan Kapak Kembar segera memerintahkan Ardisoma untuk menarik pasukannya
mundur. "Kenapa, Ki" Sebentar lagi tentu si jahanam
itu akan dapat diringkus?"
"Dia bukan tandingan prajurit-prajuritmu!"
sahut orang tua itu. "Kalau dibiarkan terus, prajurit-prajurit itu akan tewas
satu persatu. Biar
aku yang menghadapi, sebab secara langsung dia
punya sangkutan hutang nyawa padaku!" lanjut orang tua itu tegas. Ardisoma tak
bisa membantah. Dia segera memerintahkan pasukannya untuk mundur. Melihat itu, tertawalah Iblis Pulau
Hantu. "Ha... ha... ha... ha...! Kenapa"! Apakah kalian takut mati"! Majulah semua! Ayo, maju! Hadapi si Iblis Pulau Hantu. Atau kalian semua merasa gentar"!"
"Iblis keparat! Akulah lawanmu!" teriak Ki Gajadruma sambil berkelebat dengan
ringan ke arah orang itu. Tanpa basa basi lagi, orang tua itu langsung mengeluarkan
sepasang kapak musti-kanya dan menyerang lawan dengan ganas. Dia
tak mau bekerja tanggung-tanggung lagi. Mengetahui lawan berilmu tinggi, orang tua itu mainkan jurus pamungkasnya yang diberi
nama Sepasang Kapak Membuat Bencana. Melihat gerakan lawan
yang cepat dan mengandung tenaga dalam kuat,
Burisrawa mengetahui bahwa lawannya ini berilmu tak rendah. Dia mengimbanginya dengan
mainkan jurus Menampar Dingin Membakar Luka, yang merupakan jurus terdahsyatnya di tingkat kedua. Maka sebentar saja terlihat pertarungan dua tokoh sakti yang seru sekali. Gerakangerakan mereka sulit diikuti kasat mata. Hanya
tokoh-tokoh sakti yang berada di situ dapat dengan jelas mengikuti jalannya pertarungan itu. Sedang bagi yang lain mereka cuma melihat kelebatan-kelebatan yang memusingkan kepala saja.
Sementara itu melihat keadaan Tanjung Sari
yang menyedihkan, Lestari dan keempat saudara
seperguruannya kepalkan tinju sambil kertakkan
rahang menahan geram. Begitu juga dengan
Buang Sengketa. Apa yang mereka lihat pada gadis itu, cuma sesosok tubuh dengan mata yang
menatap kosong. Tanjung Sari seperti orang lupa
ingatan. Diam tak mau bicara. Bahkan dia seperti
tak mengenal mereka seorangpun
"Bangsat! Keparat itu pasti telah memperkosa adik Tanjung Sari berkali-kali dan membuatnya tertekan batin seperti ini. Dia harus kubunuh dengan kedua tanganku!" kata
Lestari dengan suara geram. Sepasang matanya menyipit melihat
ke arah pertarungan. Wajahnya kelam membesi,
dan raut kesadisan menyatu dalam jiwanya. Dia
segera bangkit dan mencabut keris pusaka Ni
Chandranila. Sinar berwarna hitam kebiru-biruan
segera terpancar dari keris itu. Keempat saudara
seperguruannyapun berbuat serupa. Tepat pada
saat itu, terdengar jerit kesakitan dari arena pertarungan. Ki Gajadruma
tersungkur dengan perut
robek terkena senjata lawan. Sepasang kapak
kembarnya mental entah ke mana. Agaknya orang
tua itu kalah segalanya dari lawan. Baik itu ilmu silat dan tenaga dalam.
Padahal selama ini tak
sembarangan orang mampu menjatuhkan tokoh
ini. Itu sudah cukup membuat tokoh-tokoh sakti
lain yang berada di situ terkejut untuk beberapa
saat. "Heaaaaaaaaaaa...!" Lestari berteriak nyaring sambil mencelat dan
menyerang lawan dengan
bertubi-tubi ketika dilihatnya orang-orang yang
berada di situ belum beraksi. Keempat saudara
seperguruannyapun bergerak susul menyusul.
Tadinya Burisrawa akan menganggap enteng lawan. Apalagi karena yang dilihatnya hanya seorang perempuan. Tapi dia kaget sendiri setelah
menyadari serangan lawan ganas luar biasa. Terlebih-lebih keris yang berada di tangan Lestari.
Pada jarak dua jengkal dari tubuhnya, seakan
mengiris-iris kulit. Tentu saja Burisrawa tak mau berlaku ayal-ayalan lagi.
Kalau Burisrawa akhirnya bertindak hatihati, itu sudah pantas. Meski nama Siluman Betina Bertangan Biru jarang dikenal orang, tapi il-mu silat dan kesaktiannya tak
bisa dipandang enteng. Lestari sendiri sebagai murid tertua, sudah hampir menguasai seluruh ilmu
silat dan kesaktian yang dimiliki gurunya, kalau tidak, mana
mungkin gurunya mempercayai untuk turun gunung mencari adik seperguruan mereka dengan
resiko berhadapan si Iblis Pula Hantu.
"Heaaaaaaaaa....!"
"Trang! Cras! Cras!"
"Aaaaaaakh!"
Lestari kaget setengah mati saat keris pusakanya beradu dengan senjata lawan. Telapak tangannya lecet dan berdenyut. Namun lebih terkejut
lagi perempuan itu saat mendengar teriakan dua
saudara seperguruannya. Pada kening dan jantung mereka terdapat lobang sebesar jempol kaki
dan mengucurkan darah. Kedua orang itu tewas
setelah menggelepar-gelepar bagai ayam dipotong.
Sudah barang tentu hal ini membuat Lestari semakin geram. Meski mengetahui bahwa tenaga
dalam lawan dua tingkat di atasnya, tapi mana
mau dia mundur begitu saja. Begitu pun dengan
dua orang saudara seperguruannya yang tersisa.
Sementara itu, melihat kesaktian lawan, beberapa tokoh yang tadinya cuma menunggu keadaan, kini tanpa malu-malu mulai ikut membantu mengeroyok Iblis Pulau Hantu. Tentu saja hal
ini agak merepotkan Burisrawa. Setelah mencelat
beberapa kali, dia mainkan jurus terhebatnya
yang diberi nama Siluman Menendang Bumi. Jurus ini lebih mengutamakan kecepatan bergerak
yang dibarengi tenaga dalam tinggi. Tentu saja hal ini tak bisa dipandang enteng
lawan-lawannya.
Tapi buat Lestari yang sedang kalap itu, mana dia mau perduli. Sambil kertakkan
rahang menahan geram, dia pun meladeni lawan dengan jurus pamungkasnya yaitu Merangkul Bintang Sembunyikan Malam. "Heaaaaaaaaaa...!"
"Trang!"
"Bret! Craaaas!"
Perempuan itu menjerit kecil manakala pinggangnya yang ramping disabet senjata lawan. Tubuhnya terhuyung-huyung sebelum terjerembab
jatuh. Agaknya inilah yang kurang diperhitungkannya. Selain tenaga dalam lawan yang tadi menindih saat senjata mereka beradu, senjata lawan
pun mengandung racun hebat yang tiada tercium.
Begitu terkena, tubuh perempuan itu mulai berubah hitam, dan tubuhnya letih bagai tak bertenaga. Tapi bukan berarti Burisrawa tak terima akibat. Dadanya robek sepanjang satu jengkal disabet keris lawan. Keris Ni Chandranila yang mengandung racun hebat itu mulai menunjukkan
reaksi. Tubuh Burisrawa terasa panas dingin. Tapi dia sempat lancarkan Pukulan Angin Hitam lewat kelima jari kirinya manakala beberapa pengeroyoknya mencelat serentak ke arahnya.
"Crat! Crat!"
"Tras! Pras! Crab!"
"Wuaaaaayyyaaaa...!"
Dua orang terhajar sinar berwarna hitam
pada kening dari jantungnya. Mereka langsung
ambruk dengan tubuh menggelepar-gelepar sebelum akhirnya menemui ajal. Pada saat terdesak
begitu pun, Burisrawa masih sempat ayunkan
senjata. Tiga orang kembali melolong se-tinggi
langit manakala senjatanya menemui korban. Tubuhnya dengan cepat mencelat beberapa kali ke
belakang. Sementara beberapa orang pengeroyok
yang tersisa mulai ragu, apakah mereka mampu
mengalahkan lawan" Burisrawa telah mengempos
tenaga dalam pada posisi bersiap menghadapi serangan lawan berikutnya. Mereka melihat dari
ubun-ubun orang bertubuh pendek itu keluar
asap putih yang bergulung, dan disusul dari bibirnya menetes darah kental berwarna kehitamhitaman. Sesungguhnya Burisrawa sedang mengeluarkan racun akibat goresan keris pusaka Ni
Chandranila tadi. Padahal gurunya selama ini telah meminumkan ramuan anti racun apapun ke
dalam tubuhnya. Tapi menghadapi keris pusaka
Ni Chandranila, agaknya itu tak berguna. Sedang
mereka yang melihat kejadian itu mulai heran
dan menyangka lawan terkena serangan gelap.
Maka dengan bersemangat, kembali para pengeroyoknya menyerang lawan.
Namun sebenarnya hal itu ternyata berakibat fatal buat mereka, sebab setelah Burisrawa
berhasil mengeluarkan racun yang mengendap di
tubuhnya, dia merasa lebih segar. Dengan berteriak nyaring, dia melesat memapaki serangan mereka. "Heaaaaaa...!"
"Crat! Crat!"
"Tras! Tras!"
"Aaaaaaaaaaaaakh...!"
Kembali dua orang terkena hantaman pukulan Angin Hitamnya. Dua orang lagi menyusul tewas dengan kepala terpenggal. Senjata di tangan
Burisrawa kembali melesat menghajar empat
orang lawan yang tersisa. Kali ini dua atau tiga
diantara mereka pasti tak akan mampu mengelak
dari serangannya. Apalagi saat dia kembali mengumbar pukulan Angin Hitam.
"Crat! Crat!"
"Blaaaaaaaaaar!"
Tak diduga-duga, selarik sinar berwarna merah menyala memapaki pukulan itu. Terdengar
ledakan hebat yang disusul terhuyunghuyungnya dua sosok tubuh. Apa gerangan yang
terjadi" 12 Buang Sengketa alias Pendekar Hina Kelana
yang melihat ke arah pertempuran, mulai merasakan, meski lawan dikeroyok begitu rupa namun
tak mungkin terkalahkan. Dan hal itu telah dibuktikan. Maka pada saat-saat kritis manakala
pukulan lawan mengancam sisa-sisa pengeroyok
itu, dengan cepat dia memapaki dengan pukulan
Si Hina Kelana Merana. Dan hasilnya sungguh
membuatnya terkejut. Buang Sengketa mengetahui pukulan lawan mengandung tenaga dalam
kuat, itulah sebabnya dia tak berani memapakinya dengan pukulan Empat Anasir Kehidupan.
Pendekar Hina Kelana 25 Iblis Pulau Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan menggunakan pukulan Si Hina Kelana
Merana, dia berharap dapat mengatasi pukulan
lawan. Tapi sungguh tak disangkanya bahwa lawan memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi.
Dadanya berdenyut merasakan sakit akibat benturan dua tenaga sakti itu.
Sementara itu Burisrawa pun bukannya tak
mengalami hal yang sama. Jantungnya berdebar
tak lebih kencang dan kini terasa lebih berdenyut-denyut sakit. Selama
pertarungannya menghadapi tokoh-tokoh sakti, belum pernah dia menghadapi lawan setangguh ini. Manakala dia melihat
siapa orang itu sebenarnya, sungguh membuatnya agak kaget. Dia mengetahui benar, siapa pemuda berkuncir yang memakai baju merah lusuh
dan membawa-bawa periuk besar itu. Dialah yang
mengejarnya ketika membawa kabur Tanjung Sari. "Heh, tenaga dalammu hebat juga, anak mu-da. Tapi menghadapi Iblis Pulau
Hantu, engkau harus mimpi dulu baru bisa mengalahkanku!" katanya merendahkan lawan
"Tak perduli siapa engkau, tapi tindakanmu
sungguh kejam dan terkutuk! Aku patut mengirimmu ke neraka!"
"Nyalimu sungguh besar anak muda. Biarlah
hitung-hitung aku menghormatimu sebagai lawan
yang cukup lumayan bagiku. Siapakah engkau
sebenarnya" Biar aku bisa mengingatmu sepanjang hidupku kelak."
"Iblis Pulau Hantu engkau tak akan bakal
hidup lagi setelah sepenanakan nasi nanti. Aku si Hina Kelana bersumpah akan
menebas batang le-hermu!" sahut Buang Sengketa.
"Hmmm, jadi engkau ini yang bergelar Pendekar Hina Kelana" Bagus! Bagus! Baru kali ini
aku mendapat lawan yang sepadan. Kalau tak salah, engkau murid si Bangkotan Koreng Seribu,
bukan" Sungguh kebetulan sekali. Kalau guruku
tak mampu mengalahkan gurumu, biarlah hari
ini kutebas dengan mempersembahkan kepalamu!" Burisrawa ketawa lebar. Buang Sengketa tak mengerti ke mana arah
pembicaraan lawan. Hatinya telah dipenuhi amarah yang meluap. Lebihlebih saat lawan mengecilkan keberadaannya.
Maka tanpa buang-buang waktu lagi, dia mencabut Pusaka Golok Buntung dan menyerang lawan
dengan sebat. Begitu golok di tangannya terayun,
maka terdengar suara menggaung bagai puluhan
harimau terluka. Warna merah menyala dari golok itu membuat Burisrawa terkejut beberapa
saat. Mengetahui lawan berilmu tinggi, Burisrawa tak segan-segan mainkan jurus
pamungkasnya yaitu, Siluman Menendang Bumi. Seranganserangannya terasa berat luar biasa. Buang
Sengketa terpaksa meladeninya sambil memainkan jurus tangkisan yang ampuh, yaitu Membendung Gelombang Menimba Samudera. Tubuhnya
berkelebat seperti bayang-bayang, sementara pusaka Golok Buntung berkali-kali menggaung
mencari sasaran.
"Tras!"
"Wuuut!"
"Crat! Crat!"
"Blaaaaaaaar!"
Burisrawa terkejut setengah mati manakala
dia coba memapaki ayunan senjata lawan yang
akan menyabet lehernya. Senjatanya kutung jadi
dua, dan pusaka Golok Buntung terus menderu
ke pangkal lehernya. Masih untung karena memiliki ilmu peringan tubuh yang sudah sangat sempurna, tubuh Burisrawa menunduk setinggi satu
depa dari tanah. Tangan kirinya hantamkan pukulan Angin Hitam. Buang Sengketa memapakinya dengan pukulan Si Hina Kelana Merana.
Tak dapat dielakkan lagi. Benturan dua pukulan
sakti yang dilakukan pada jarak dekat itu membuat tubuh keduanya terpental lima tombak. Dari
mulut Burisrawa terlihat darah segar menetes
yang lama kelamaan berubah menjadi kehitamhitaman. Sementara itu Buang Sengketa bukannya tak mengalami akibat yang sama. Namun karena di tangannya tergenggam pusaka Golok Buntung yang mampu memberikan tenaga yang hebat, keadaannya tak seperti yang dialami lawan.
Tapi tetap saja dadanya semakin berdenyut kencang. Keduanya coba memperbaiki diri sambil
mengerahkan hawa murni untuk melancarkan
aliran darah yang kacau balau karena benturan
tadi. Dan kesudahannya, kembali Burisrawa keluarkan suara melengking nyaring sambil lancarkan pukulan Angin Hitam ke arah lawan. Sepuluh
larik sinar sebesar jari-jari yang berwarna hitam, melesat dari kesepuluh
jarinya. Untuk beberapa
saat Buang Sengketa agak kerepotan juga. Di sinilah kelebihan lawan yang tadi diperhitungkannya. Begitu senjatanya dibabat kutung, jarijarinya yang melancarkan pukulan Angin Hitam
lebih berbahaya lagi. Berbeda seperti pukulanpukulan yang sejenis seperti yang dimiliki Buang
Sengketa. Pukulan lawan mampu mengurung posisi lawan dari jarak jauh sekalipun. Seandainya
dia coba memapaki dengan pukulan si Hina Kelana Merana yang dialiri tenaga dalam tinggi, paling-paling hanya bisa memapaki dua atau tiga larik sinar pukulan lawan. Sisanya akan menembus
tubuhnya bagai sate kalau tak sempat mengelak.
Kalau tadi lawan mengerahkannya dengan lima
jari, masih bisa dipapakinya, dan sisanya dihindari. Tapi saat ini posisi Buang Sengketa betulbetul sulit sekali.
"Yeaaaaaaaaat...!"
"Crat! Crat!"
"Pras!"
Dia keluarkan jerit tertahan manakala se larik sinar pukulan lawan menghantam betis kirinya. Amarahnya segera meluap. Wajahnya kelam membesi dan hawa kesadisan menyatu dalam
jiwanya. "Bangsat rendah! Kiranya engkau meminta
ku untuk cepat-cepat mencabut nyawamu. Rasakanlah ini!" kata si pemuda sambil keluarkan sebuah cambuk pusaka yang diperoleh
dari gu- runya si Bangkotan Koreng Seribu. Apalagi kalau
bukan Cambuk Gelap Sayuto" Sekali dia kibaskan, terdengar lecutan dahsyat.
"Cletaaaaaaaaaaar...!!!"
Saat itu juga suasana di sekeliling tempat ini
menjadi gelap gulita yang diiringi menggelegarnya bunyi petir dan gemuruh angin
topan. Burisrawa
terpaku barang beberapa detik dalam keadaan
bingung. Saat itu pula melesat sinar merah menyala yang bergulung-gulung ke arahnya. Tak dapat dihindari lagi.
"Craas!"
Burisrawa alias Iblis Pulau Hantu tak sempat keluarkan suara, manakala kepalanya menggelinding ke tanah. Buang Sengketa memandang
sinis pada tubuh tanpa kepala yang masih menggeletar-geletar sebelum akhirnya ambruk tak bergerak lagi. Namun bersamaan dengan itu, terdengar tawa panjang yang memekakkan telinga.
' Hak... hak... hak... hak...! Pucuk dicinta
ulam tiba. Tanpa diduga, siapa sangka engkau
akhirnya muncul juga. Aku tak bersusah payah
mencari-carimu. Hei, Bangkotan Koreng Seribu!
Apakah engkau masih ingat kepadaku" Siluman
Lembah Neraka kini akan menjajal kemampuanmu lagi. Kali ini akan kita tentukan pertarungan hidup mati!"
Buang Sengketa agak kaget mendengar suara itu. Lebih-lebih karena dialiri tenaga dalam
yang sangat tinggi. Meski telah mengeluarkan tenaga dalam pada tingkat tertinggi, namun tetap
saja gendang telinganya bergetar hebat dan menimbulkan sakit yang tak tertahankan. Lebihlebih saat lawan lipat gandakan kekuatan suara
tawanya yang panjang seperti tiada henti, Buang
Sengketa merasa tubuhnya bergetar hebat dan
mulai limbung. Kalau pemuda murid si Bangkotan Koreng
Seribu itu sampai demikian, lebih menderita lagi
mereka yang berada di sekitar tempat itu. Belasan prajurit-prajurit yang
tersisa, tewas seketika dengan keadaan yang mengerikan. Dari seluruh poripori mereka mengucur darah segar akibat pembuluh darah yang pecah. Ardisoma sendiri telah
menggelepar-gelepar bagai ayam disembelih. Beberapa tokoh sakti yang masih berada di situ,
berguling-gulingan menahan sakit. Dari mata, hidung, telinga mereka, keluar darah segar.
Buang Sengketa tak bisa mendiamkan begitu
saja. Dengan sisa tenaganya, dia segera mengerahkan lengkingan ilmu Pemenggal Roh untuk
menindih suara tawa lawan yang seperti tiada habis-habisnya. "Heiiigggkkh...!"
Tapi akibatnya sungguh hebat bagi mereka
yang berada di sekitar tempat ini. Teriakan kesakitan dan lolong kematian kian menjadi-jadi. Si pemuda cepat menyadari
kekeliruannya. Kalau
dia melawan tenaga dalam lawan yang dialirkan
lewat tawa, dengan lengkingan ilmu Pemenggal
Roh, sama artinya membunuh mereka yang berada di tempat ini semakin cepat. Menyadari hal itu, dia segera hentikan
pengerahan ilmu itu dan lecutkan cambuk yang masih berada di tangan kirinya ke arah datangnya suara tawa itu.
"Cletaaaaataaar...!"
Seperti tadi, kembali keadaan di sekeliling
tempat ini menjadi gelap gulita diiringi menggelegarnya bunyi petir dan gemuruh angin topan.
"Ha... ha... ha... ha... ha...! Sungguh hebat engkau pemuda. Kusangka engkau
adalah si Bangkotan Koreng Seribu. Tapi menilik dari cambuk yang engkau pegang itu, pastilah di antara
kalian ada pertalian. Tapi aku tak perduli. Yang
pasti engkau harus mampus!"
Selesai berkata begitu, tiba-tiba terasa sambaran angin dari arah belakang pemuda itu.
Buang Sengketa lecutkan cambuk. Pusaka Golok
Buntung di tangannya segera memburu sambil
keluarkan sinar merah menyala.
"Wuuuut! Wuut!"
Tapi serangannya hanya mengenai tempat
kosong. Pemuda itu kesal bukan main. Belum
pernah serangannya yang luput apabila Cambuk
Gelap Sayuto dan Pusaka Golok Buntung telah
keluar. Tapi lawan satu ini luar biasa. Gerakannyapun sulit diikuti mata. Angin serangannya
kuat sekali, nyaris pemuda itu terdorong.
"Wussss!"
Buang Sengketa kembali terkejut. Kali ini
bukan lagi serangkum angin yang menghantamnya, melainkan angin kuat yang berbentuk dinding baja yang menghantamnya ke mana saja dia
bergerak. Inilah salah satu kehebatan ajian Dinding Waja yang dimiliki Siluman Lembah Neraka.
Meski lawan mampu berkelit dan bergerak secepat kilat, namun dinding angin yang kuat itu,
seakan melebar ke segala arah dan menghantam
lawan bagai terkena hajaran godam.
Sudah barang tentu hal ini membuat Buang
Sengketa murka sekali. Pusaka Golok Buntungnya sama sekali tak berguna dan hanya menebas
tempat kosong belaka. Begitu pula Cambuk Gelap
Sayuto, tak mempengaruhi lawan sedikitpun.
Jangankan mempengaruhi lawan, dia sendiri tak
tahu, bagaimana bentuk lawannya saat ini saking
cepatnya orang itu bergerak. Kalau terus-menerus
begini, lama-lama pemuda itu bisa tewas dengan
tubuh hancur. Dengan cepat disimpannya kedua
senjata pusaka itu, dan mulailah Buang Sengketa
alias Pendekar Hina Kelana mengetrapkan jurusjurus Koreng Seribu. Wajahnya yang tadi garang,
perlahan-lahan berubah dalam keadaan pasrah
seperti tak mempunyai daya apapun. Tubuhnya
yang tadi reflek dalam menerima serangan lawan,
kini hanya tegak berdiri dalam sikap tak perduli
dan seakan-akan bukan sedang menghadapi lawan yang akan mencabut nyawa.
"Bocah, aku tak perduli engkau mau pasrah
mati atau tidak. Tapi jangan kira aku akan kasihan melihat sikapmu itu. Terimalah kematianmu
saat ini!" teriak suara tadi. Baru saja habis kata-katanya, tiba-tiba terdengar
angin kencang bergulung-gulung yang menghantam apa saja yang berada di dekatnya. Angin kencang itu jelas menuju
pada si pemuda yang masih dalam sikap pasrah.
Orang-orang yang melihat keadaan itu, sama tercekat. Si pemuda pasti akan tewas beberapa saat
lagi, pikir mereka. Tapi alangkah terkejutnya beberapa pasang mata yang melihat,
bahwa pemuda itu sama sekali tak terpengaruh dengan hantaman angin itu. Bahkan keanehan lain terjadi. Angin itu seakan sirna begitu menyentuh tubuhnya
Pendekar Hina Kelana 25 Iblis Pulau Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menyedot kencang pada di mana angin itu
berasal tadi. "Aaaaaaakh...!"' Terdengar jerit kecil tertahan yang disusul terhentinya pusaran
angin tadi. Dari jauh terdengar lapat-lapat suara.
"Pemuda, dari gurumu aku menerima kalah,
kini dari muridnya pun aku dapat dikalahkan juga. Tapi setidaknya aku masih punya kebanggaan
sebab tak seorangpun diantara kalian yang mampu membinasakanku. Ha... ha... ha...!"
Orang-orang yang melihat pertempuran itu
mendecah kagum. Betapa tidak" Jelas mereka lihat si pemuda mengerahkan ilmu aneh yang
mampu menyedot kekuatan tenaga dalam lawan.
Kalau yang dihadapinya bukan orang sakti, niscaya dia tak akan mampu melepaskan diri dari
pengaruh ilmu itu. Yang lebih aneh dan mengherankan lagi, tak seorang pun diantara mereka
yang mengetahui, siapa lawan pemuda itu dan
bagaimana bentuknya. Jangankan mereka, Pendekar Hina Kelana sendiri tak tahu, siapa lawannya tadi. Yang diketahuinya hanya satu, yaitu dia menamakan dirinya sebagai
Siluman Lembah Neraka!
Orang-orang baru tersentak manakala mereka menyadari bahwa si pemuda berkuncir yang
membawa-bawa periuk besar itu sudah tak ada
lagi di tempat. Lenyap seperti lawannya tadi tanpa diketahui. Beberapa orang
menggeleng sambil
mendecah kagum.
"Betul-betul luar biasa pemuda itu!"
"Tentu saja! Bukankah dia murid si Bangkotan Koreng Seribu"!" sahut seorang lagi. "Lagipula namanya telah menggetarkan
dunia persila- tan akhir-akhir ini. Siapa yang tak mengenal Pendekar Hina Kelana"!"
Mereka mengangguk-angguk dan mulai tinggalkan tempat itu satu persatu sambi mengurus
beberapa kawan-kawannya yang tewas. Tak berapa lama tempat itu kembali sepi seolah tak terjadi peristiwa apa-apa. Sementara
itu Buang Sengketa
telah melesat jauh sambil mengetrapkan ajian
Sepi Angin. Ada yang muncul dalam benaknya
untuk beberapa saat. Tapi akhirnya dia hanya bisa berkata lirih, "Kasihan engkau, Tanjung Sari..."
Dan kemudian melesat lebih jauh lagi dari tempat
itu. TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Lembah Naga 8 Kampung Setan Karya Khulung Lencana Pembunuh Naga 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama