Ceritasilat Novel Online

Istana Berdarah 2

Pendekar Gila 16 Istana Berdarah Bagian 2


tertawa-tawa sambil berjingkrakan.
"Ha ha ha...! Mandilah, biar badan kalian tak bau!"
seru Sena. Kemudian dengan cepat Sena melesat meninggalkan tepian sungai,
kembali masuk ke Desa Kembang Puan.
*** Secara diam-diam, Sena berusaha menyelidiki apa yang hendak dilakukan orangorang yang berkumpul di kedai. Tubuhnya segera melompat ke atas sebatang pohon
di samping kedai itu. Kemudian dengan cepat dikerahkan ilmu 'Penyadap Suara'nya
agar dengan jelas dapat mendengar pembicaraan orang-orang di kedai.
"Bagaimana kalau kita melakukannya sekarang saja, Rama?" terdengar suara si
Payung Sakti berkata. Si Payung Sakti ternyata istri Rama Mangunda.
Pendekar Gila berkerut keningnya, mendengar nama Rama disebut-sebut si Payung
Sakti. "Hm, tentunya Rama itulah yang dimaksud lelaki bermuka codetan," gumam Sena
sambil terus memasang pendengarannya untuk dapat mengikuti
pembicaraan orang-orang di dalam kedai.
"Kurasa kita harus sabar, tunggu perkembangan selanjutnya. Kita juga harus
menunggu kabar dari Nyi Mas Lindri, bagaimana perkembangan di istana," kini
terdengar suara lelaki tua yang dipanggil Rama.
"Aha, ternyata lelaki tua berpakaian resi itulah yang bernama Rama," gumam Sena
dalah hati, "Hm, siapakah Nyi Mas Lindri itu" Kudengar dia berada di dalam
istana. Ah, celaka dua belas! Rupanya benar dugaanku, istana dalam kekuasaan
para pemberontak. Tinggal menunggu saatnya, pemberontakan akan terjadi."
"Hampir separo lebih prajurit kerajaan telah memihak pada kita. Kita tinggal
bergerak saja, maka kekuasaan Aji Wardana dungu itu akan hancur. Ha ha ha...!"
Rama Mangunda terdengar tertawa senang.
Sepertinya dia merasa apa yang dicita-citakan akan terlaksana.
Pendekar Gila semakin mengerutkan keningnya mendengar penuturan Rama Mangunda.
Hatinya kian yakin, kalau kehancuran kekuasaan Baginda Aji Wardana kini berada
di ambang pintu.
"Aku harus menolong Baginda," bisik Sena lirih.
"Anakku memang hebat, dia mampu menarik hati Aji Wardana, sampai-sampai raja
tolol itu tidak tahu, siapa sesungguhnya Nyi Mas Lindri," kembali terdengar
suara Rama Mangunda berkata bangga, merasa anaknya telah mampu menyusup ke
Istana Telaga Mas bersama beberapa pengawalnya. Bahkan, mereka telah mampu
mengajak para prajurit-prajurit Istana Telaga Mas, untuk ikut bersama mereka.
Mereka kini siap untuk merebut kekuasaan Baginda Aji Wardana.
Saat itu, dari arah timur nampak seorang wanita cantik berpakaian merah jambu
melesat di atas kudanya yang putih polos.
"Tentunya wanita ini yang bernama Nyi Mas Lindri.
Kelihatannya wanita cantik ini hendak menuju ke kedai," gumam Sena dalam hati
sambil terus memperhatikan kuda putih yang ditunggangi wanita itu. Langkah kuda
semakin perlahan ketika mendekati kedai.
"Hop!" Nyi Mas Lindri menghentikan lari kudanya, ketika matanya melihat
seseorang berpakaian rompi kulit ular bertengger di atas pohon akasia. "Bocah
edan! Rupanya kau dari tadi memata-matai kami!"
Orang-orang yang ada di kedai berhamburan
keluar ketika mendengar suara bentakan Nyi Mas Lindri. Mereka semakin bertambah
marah, setelah melihat Pendekar Gila ternyata masih hidup. Bahkan kini tertawa
terbahak-bahak di atas cabang pohon akasia.
"Bocah setan! Kubunuh kau!" dengus si Payung Sakti sambil membuka payungnya yang
terbuat dari kulit, kemudian melesat bermaksud menyerang Pendekar Gila.
Brat! "Hea!"
Payung itu diputar dengan cepat, menimbulkan angin yang keras, menderu ke arah
Pendekar Gila. "Hi hi hi...! Genit sekali kau, Nyi! Sudah tua masih main payung. Bukankah tak
ada hujan?" ejek Sena sambil melompat, mengelak dari hantaman Payung Sakti itu.
Brak! Krak! Cabang pohon itu, hancur berantakan diterjang angin dahsyat dari payung. Kalau
saja Sena masih
berada di situ, mungkin tubuhnya ikut hancur terhantam payung di tangan si
Payung Sakti. "Aha, payungmu seperti kapak saja, Nyi! Ah, kurasa kau juga termasuk penebang
kayu yang hebat," ejek Sena cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Hal itu membuat si Payung Sakti bertambah marah.
"Bocah edan! Kubunuh kau! Heaaa...!"
Wrrrt! Payungnya kembali dibuka lalu diputar, menimbulkan angin yang menderu keras
menerpa ke sekelilingnya. Tapi Pendekar Gila malah tertawa terbahak-bahak. Tingkah lakunya
masih konyol. Bahkan dalam keadaan kosong diserang begitu, mulutnya sempat mengejek.
"Hi hi hi...! Kau mau main tari payung, Nyi?" Sena langsung membuang tubuh ke
samping, mengelakkan serangan payung lawan yang menderu keras.
Kemudian dengan cepat, tubuhnya bersalto di udara.
Menyaksikan lawan dapat mengelakkan serangannya, si Payung Sakti semakin
beringas. Semakin kencang perempuan tua itu memutar payungnya, berusaha
mengeluarkan angin lebih besar agar mampu menghantam Sena.
Wrrr! Angin membadai keluar dari putaran payung di tangan si Payung Sakti. Daun-daun
kering beterbang-an. Pohon-pohon kecil bertumbangan, terhempas dah-yatnya angin
dari Payung Sakti.
"Ha ha ha, kau perusak lingkungan, Nyi! Payung bubutmu itu bagaikan hama saja,"
ejek Sena sambil berkelit cepat, ketika si Payung Sakti menyerang tubuhnya.
Seketika itu pula, kakinya menendang ke punggung si Payung Sakti yang masih
melesat maju. Perempuan tua itu tak mampu lagi mengelakkan tendangan. Tanpa ampun lagi....
Degkh! "Ukh!"
Tubuh si Payung Sakti terhuyung-huyung ke depan, malah hampir tersungkur mencium
tanah. Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrak lan menggarukgaruk kepala. Melihat hal itu, Nyi Mas Lindri yang sudah jengkel ejak pertama kali melihat
Pendekar Gila di istana, segera memerintahkan anak buahnya untuk
menyerang. "Serang dan tangkap hidup atau mati...!"
Serentak semua orang yang ada di situ bergerak maju, berusaha menangkap Pendekar
Gila. Pendekar Gila tersentak kaget, tapi dengan cepat segera melesat
meninggalkan tempat itu. Hal itu membuat Nyi Mas Lindri dan anak buahnya semakin
geram, mereka langsung mengejarnya.
"Tangkap jangan sampai kabur!" perintah wanita cantik itu kepada anak buahnya
agar mengejar Pendekar Gila. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah menghilang.
Nyi Mas Lindri semakin marah karena gagal
menangkap Pendekar Gila. Matanya yang indah, mengawasi ke sekelilingnya,
berusaha mencari Pendekar Gila. Namun tak juga menemukan pemuda berambut
gondrong dengan pakaian rompi dari kulit ular itu.
"Dia Pendekar Gila, Rama," sahut Nyi Mas Lindri.
"Apa"!"
Mata Rama Mangunda terbelalak kaget, ketika tahu siapa sebenarnya pemuda itu.
Dia sering mendengar nama itu, tetapi tak pernah menyangka kalau
Pendekar Gila ternyata masih sangat muda.
"Sudah kuduga, kalau pemuda itu si Pendekar Gila.
Tapi aku masih ragu," gumam Rama Mangunda sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Tapi, benarkah dia Pendekar Gila, Anakku"!"
"Benar, Rama. Dialah Pendekar Gila," tutur Nyi Mas Lindri.
"Pendekar Gila dari Goa Setan?" menegaskan Rama Mangunda.
"Ya."
"Hm, pantas. Pantas kalau begitu," gumam Rama Mangunda sambil menggaruk-garuk
kepala. Tangan kanannya mengelus-elus jenggotnya yang putih.
"Bagaimana, Ki" Apakah dengan adanya Pendekar Gila kita akan menghentikan
semuanya...?" tanya si Payung Sakti. Didengar dari nada suaranya, wanita tua itu
merasa gentar mendengar nama Pendekar Gila. Dia pun telah sering mendengar sepak
terjang pemuda itu. Namun baru kali ini melihat orangnya.
"Tidak! Kita harus meneruskan rencana untuk mencapai cita-cita. Kita harus bisa
mempengaruhi semua prajurit, agar dapat berpihak pada kita. Dan yang penting,
kau harus bisa mempengaruhi
senapati, Anakku," tutur Rama Mangunda.
"Baik, Rama. Aku akan tetap menjalankan tugasku dengan baik," sahut Nyi Mas
Lindri, "Aku harus segera ke istana, untuk memberitahukan bahwa Pendekar Gila
masih ada di wilayah ini. Kalian bersiap-siaplah!
Lusa malam, kita akan melaksanakan semuanya."
"Siap!" sahut anak buahnya serempak.
Setelah menjura hormat kepada ayah dan ibunya Nyi Mas Lindri segera melompat ke
punggung kuda lalu menggebahnya. Kuda putih polos itu pun seketika berlari
kencang meninggalkan Desa
Kembang Puan, untuk kembali ke Istana Telaga Mas.
Dia harus mendahului Pendekar Gila, agar raja tak manaruh curiga padanya.
*** 6 Meski telah diancam akan dijebloskan ke penjara bawah tanah oleh Baginda Aji
Wardana, jika kedapatan masih berada di sekitar Istana Telaga Mas, Pendekar Gila
tetap nekat. Hal itu karena dirinya tak suka melihat kejahatan yang bakal
menimpa keluarga istana. Hati Pendekar Gila tak tenang kalau belum memberi tahu
pada Baginda Aji Wardana, mengenai rencana pemberontakan Rama Mangunda dan para
pengikutnya. Dengan masih cengengesan dan bertingkah laku konyol, Pendekar Gila mendekat ke
pintu gerbang Istana Telaga Mas.
"He he he...! Selamat pagi!" sapa Sena masih cengengesan.
Senapati Awong Purbo tersentak ketika melihat siapa yang menyapanya. Matanya
terbelalak, dan jengkel dan kagum akan keberanian Pendekar Gila.
Meski telah diancam, pemuda gila itu nekat datang.
"Bocah edan! Mau apa lagi kau datang ke istana"!"
bentak Senapati Awong Purbo dengan kepala menggeleng-geleng, melihat Pendekar
Gila datang lagi ke istana. Padahal Baginda Aji Wardana telah meng-ancamnya.
"Aha, aku ingin bertemu dengan baginda," sahut Sena.
"Bukankah kau sudah diancam akan dihukum jika berani datang kemari"!" dengus
Senapati Awong Purbo semakin jengkel, soalnya saat itu istana tengah dalam
suasana duka cita atas kematian putra
mahkota. Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, mendengar bentakan
Senapati Awong Purbo. Sepertinya pemuda itu tak takut sama sekali akan ancaman
yang bakal membuatnya masuk ke penjara bawah tanah. Niatnya telah bulat. Dia
harus memberitahukan pada Baginda Aji Wardana, kalau akan terjadi pemberontakan
di istana. "Aha, apa pun yang akan kuterima, aku telah siap.
Aku hanya ingin memberitahukan pada baginda tentang sesuatu yang sangat
berbahaya," tutur Sena dengan cengengesan.
"Katakan padaku, kemudian cepat pergi!" perintah Senapati Awong Purbo tegas.
"Aku tak ingin melihatmu masuk ke penjara bawah tanah."
"Ha ha ha, sudah kukatakan. Aku tak takut dihukum, asalkan aku telah berjasa
pada kerajaan, menyelamatkan baginda dan rakyat kerajaan yang tak berdosa."
"Jadi kau memaksa ingin bertemu baginda, Bocah Edan"!"
"Ya," jawab Sena tegas.
"Hm, mencari penyakit!" dengus Senapati Awong Purbo. "Prajurit, jaga dia!"
"Hi hi hi, aku tak akan lari, Senapati!" seru Sena sambil cengengesan dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Senapati Awong Purbo, meninggalkan Pendekar Gila
untuk melaporkan pada baginda.
Tak lama kemudian, Senapati Awong Purbo telah kembali dengan muka kelihatan
suram. Nampaknya lelaki bertubuh besar itu mendapatkan amarah dari Baginda Aji
Wardana. "Tangkap dia!" perintah Senapati Awong Purbo pada prajurit-prajurit yang
langsung bergerak
menangkap Sena.
"Aha, beginikah caranya orang-orang kerajaan memperlakukan seorang tamu...?"
sindir Sena dengan mulut masih cengengesan, tanpa rasa takut sedikit pun. Bahkan
ketika diseret para prajurit menghadap baginda, tingkahnya tetap konyol seperti
orang gila. "Jangan bawanyak omong! Nanti bicara saja dengan baginda!" bentak Senapati Awong
Purbo terus mengiringi kedua prajurit yang membawa Pendekar Gila masuk ke
istana. Setelah berada di hadapan Baginda Aji Wardana, Senapati Awong Purbo menyembah.
Kemudian menyurut mundur beberapa langkah, lalu duduk bersila.
"Ampun Baginda Yang Mulia, pemuda inilah yang hamba maksud."
Baginda Aji Wardana sesaat terdiam. Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila
yang masih cengengesan, tanpa menunjukkan rasa takut sedikit pun.
"Anak muda, masihkah kau ingat apa yang kukatakan beberapa hari lalu?" tanya
Baginda Aji Wardana seraya menggerakkan tangan kanan
memerintah prajurit melepaskan pegangan pada Pendekar Gila.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan, kemudian menyembah
sebagaimana layaknya menghadap seorang raja. Lalu dengan tindak-tanduk sopan.
Sena duduk dengan rapi.
Baginda Aji Wardana berkerut keningnya melihat sikap pemuda di hadapannya.
"Ampun, Baginda! Apa yang Baginda sabdakan, hamba masih ingat," jawab Sena
sambil menyembah.
"Lalu, mengapa kau datang lagi?"
"Ampun, Baginda! Kedatangan hamba, semata-mata hendak memberitahukan pada
Baginda, kalau pemberontakan akan segera terjadi. Dan kalau hamba diperkenankan
memberitahukan siapa dalang dari semuanya, hamba bersedia menunjukkan."
Baginda Aji Wardana semakin mengerutkan kening mendengar penuturan Pendekar
Gila. Sepertinya dia tengah menimbang apa yang dikatakan pemuda gila itu.
"Anak muda, jangan kau berkata sembarangan!
Atau mungkin justru kaulah yang hendak membuat keonaran!" bentak Baginda Aji
Wardana gusar. "Ampun, Baginda Yang Mulia! Kalau memang hamba pembuat keonaran, manalah sudi
hamba menghadap Baginda?" kilah Sena masih menujukkan sikapnya yang sopan
seperti orang sehat dan waras.
Hal itu membuat Baginda Aji Wardana semakin heran menyaksikan tindak-tanduk
pemuda itu yang telah dianggap gila.
"Hm, kalau benar apa katamu, katakan siapa dalang pemberontakan yang akan
terjadi?" tanya Baginda Aji Wardana tertarik ingin tahu.
"Nyi Mas Lindri, Baginda," jawab Sena.
"Apa"!" bentak Baginda Aji Wardana dengan mata terbelalak, karena merasa ucapan
Sena hanyalah mengada-ada. "Prajurit, tangkap dan masukkan ke penjara! Jelas,
dialah yang telah membunuh anakku!"
"Tapi, Baginda...," Sena berusaha membela diri, tetapi kedua pranjurit telah
menangkap dan menyeret tubuhnya meninggalkan ruangan itu. "Baginda, berhatihatilah, karena pemberontakan akan terjadi!"
"Phuih! Rupanya kaulah dalang dari semua kejadian ini, Bocah Edan! Pantas
tingkah lakumu pura-pura gila!" dengus Baginda Aji Wardana marah.
"Seret dia dan jebloskan ke penjara bawah tanah!"
Kedua prajurit terus menyeret tubuh Sena dari hadapan baginda. Kemudian
membawanya menuju penjara bawah tanah, tempat bagi orang-orang yang hendak
berkhianat pada kerajaan.
"Ini tempatmu, Bocah Edan!" bentak salah seorang prajurit sambil mendorong masuk
tubuh Sena. Kemudian mengunci pintu yang terbuat dari besi.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak sambil menggeleng-geleng kepala.
Tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun. "Prajurit pengkhianat! Kalian
pantas dijuluki Tikus-tikus Busuk! Hua ha ha...!"
Kedua prajurit seketika marah, mendengar ejekan Pendekar Gila. Namun, belum
sempat mereka berbuat sesuatu, tiba-tiba muncul sesosok wanita berpakaian merah
jambu. "Percuma kalian mengurusi bocah edan itu," ujar wanita cantik yang tak lain Nyi
Mas Lindri. "O, Gusti Ayu! Apakah pertemuan sudah selesai?"
tanya kedua prajurit hampir bersamaan.


Pendekar Gila 16 Istana Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gara-gara bocah edan itu, semuanya berantakan.
Tapi bersiaplah! Lusa malam, kita akan segera mulai.
Beri tahu yang lain!" ujar wanita itu setengah berbisik, dengan mata melirik
pada Pendekar Gila yang hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sendika, Gusti Ayu," sahut kedua prajurit hampir bersamaan.
"Pergilah!"
"Daulat, Gusti Ayu."
Keduanya segera menyembah, kemudian beranjak meninggalkan ruangan bawah tanah
tempat menyekap Sena. Sepeninggal kedua prajurit, Nyi Mas Lindri mendekat ke pintu
penjara tempat Sena
berada. Bibir Nyi Mas Lindri mengurai senyuman menggoda.
"Anak bagus, kalau kau mau jadi kekasihku, kau akan enak. Maukah kau
mendampingiku, jika kelak aku duduk sebagai ratu...?" tanya Nyi Mas Lindri
dengan bibir masih mengurai senyum.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, mendengar ucapan Nyi Mas Lindri. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat wanita cantik itu semakin merekahkan
senyum, menyangka kalau Pendekar Gila itu bersedia menerima tawarannya.
"Ha ha ha, kau memang cantik, Nyi! Sayang, kau akan menjadi ratu maksiat. Hi hi
hi...!" Terbelalak mata Nyi Mas Lindri, mendengar ejekan Pendekar Gila. Napasnya
memburu, dilanda
kemarahan. Seketika wajah wanita berpakaian merah jambu itu memerah. Gigigiginya saling beradu, menahan geram yang meluap-luap.
"Pemuda dungu! Dikasih hati, malah minta rempela! Huh, tunggu saja saatnya
nanti! Kalau semua rencana berjalan lancar, kau akan mendapatkan ini...!" Nyi
Mas Lindri menggorokkan tangannya ke lehernya.
"Hua ha ha...! Kau mau pesta kambing guling, Nyi?"
ejek Sena sambil tertawa cekikikan dengan kepala tergeleng-geleng.
Mata wanita cantik itu semakin melotot garang.
Namun melihat mata Nyi Mas Lindri yang melotot, Sena semakin mengeraskan suara
tawanya. "Bocah edan! Tunggu saja saatnya nanti!" bentak Nyi Mas Lindri geram.
"Ha ha ha...! Nyi Ayu, tunggu saja saatnya nanti!
Tubuhmu yang elok, akan dijadikan santapan warga kerajaan!" balas Sena sambil
tertawa berbahakbahak. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya, sedangkan tubuhnya berjingkrakan
seperti monyet.
Nyi Mas Lindri menggeram sengit. Ingin rasanya menghajar mulut pemuda tampan
itu. Namun niatnya diurungkan. Dia takut kalau membuka pintu itu, Sena akan
keluar. Dan dapat membuat repot. Apalagi telah diketahui Pendekar Gila berilmu
tinggi. Sulit baginya meladeni ilmunya. Meski selama ini keduanya belum pernah
saling bentrok.
"Hua ha ha...! Kalau marah, makin cantik saja kau, Nyi?" ejek Sena. "Sayang
sekali, kau terlalu angkuh dan serakah!"
"Tutup mulutmu, Pendekar Gila! Kau benar-benar cari penyakit! Kalau saja kau
jadi kekasihku, aku yakin kau akan hidup bahagia!" ujar Nyi Mas Lindri masih
berusaha merayu Pendekar Gila.
"Aha, menyenangkan sekali tawaranmu, Nyi! Siapa yang tak tergiur mendengar
tawaran dari wanita secantik kau" Sayang, kau melangkah di jalan yang kurang
menyenangkan. Terlalu besar hasratmu, membuat gelap mata dan melawan arus yang
telah digariskan Hyang Widhi," tukas Sena dengan cengengesan.
"Huh, dasar bocah edan! Tak tahu barang enak...!"
dengus Nyi Mas Lindri seraya melangkah meninggalkan Sena yang masih tertawa dan
menggeleng-gelengkan kepala.
*** Malam datang membawa kegelapan yang kian
mencekam. Angin malam yang bagaikan enggan bertiup, membuat suasana malam itu
terasa panas. Sesosok bayangan tampak berjalan, mengendapendap menuju bangunan di samping kiri istana.
Bayangan itu ternyata sesosok tubuh berpakaian merah jambu. Langkahnya tampak
tenang, bagaikan tak merasa takut sedikit pun. Para prajurit yang tengah jaga
malam seperti tak mempedulikan kejadian yang bakal terjadi.
Sosok berpakaian merah jambu yang tak lain Nyi Mas Lindri terus melangkah,
mengendap-endap menuju kamar anak-anak Baginda Aji Wardana yang tinggal dua
orang lagi. Jika dua anak baginda Aji Wardana semuanya telah binasa, maka jalan
untuk mendapatkan tahta kerajaan telah berada di ambang pintu.
Nyi Mas Lindri terus mengendap-endap, semakin mendekat ke sebuah jendela kamar
anak kedua Baginda Aji Wardana yang bernama Kindra Wasa.
Setelah membuka jendela dengan pelan, wanita itu segera melompat masuk. Namun,
tiba-tiba sesosok bayangan bergerak cepat dan menyergap tubuhnya.
"Siapa kau"! Mau apa kau masuk ke kamar Raden Kindra Wasa?"
Nyi Mas Lindri bukan takut, malah tersenyum manis ketika tahu orang yang
menangkapnya. Dengan manja, wanita itu malah merapatkan
tubuhnya ke tubuh Senapati Awong Purbo.
"Kakangmas Senapati, tentunya kau kedinginan malam ini, bukan" Ikutlah denganku,
aku bersedia jadi istrimu, Kakang," bisik Nyi Mas Lindri merayu sambil tangannya
mengusap-usap dada Senapati Awong Purbo dengan lembut. Didongakkan
kepalanya, dengan mata perlahan-lahan memejam.
Senapati Awong Purbo kelabakan mendapat
rayuan Nyi Mas Lindri. Darah kejantanannya menggelegak, seakan mendidih dibakar
gejolak nafsu birahi. Apalagi tangan lembut wanita cantik dan mempesona itu, kini merayap
perlahan di dadanya, menambah deburan jantungnya semakin kencang.
"Berjanjilah, Kakang! Berjanjilah, Kakang mau memihak padaku! Kalau Kakang mau,
aku bersedia jadi istrimu, jika semua rencana ini telah selesai."
Setelah berkata begitu, Nyi Mas Lindri mengajak Senapati Awong Purbo pergi dari
tempat itu, menuju bangunan keputren yang terletak di sebelah kiri istana,
tempat kamarnya berada.
Senapati Awong Purbo bagai kerbau dicocok
hidung, mengikuti langkah Nyi Mas Lindri. Pikirannya kini sudah tak terkendali
lagi. Bagaimanapun dirinya tak dapat menolak tawaran wanita cantik selir sang
Raja ini. Baginya ini satu kesempatan untuk dapat menikmati tubuh Nyi Mas Lindri
yang montok dan bahenol itu.
Keduanya masuk ke sebuah kamar yang ada di keputren. Nyi Mas Lindri segera
mengunci pintu kamar, agar tak diketahui yang lainnya.
Dengan langkah melenggok bak macan lapar, istri selir raja itu melangkah ke
tempat tidur. Matanya yang bening dengan nakal menatap wajah Senapati Awong
Purbo. Lelaki gagah itu tak berkedip memandang lenggak-lenggok tubuh Nyi Mas
Lindri. Nyi Mas Lindri semakin menjadi-jadi setelah merasa Senapati Awong Purbo kini
berada dalam perangkapnya. Satu persatu pakaiannya dibuka. Hal itu membuat mata
lelaki itu semakin terbelalak lebar.
Senapati Awong Purbo tak berkedip menatap tubuh yang mulus dan indah itu.
"Ayolah, Kakang!" ajak Nyi Mas Lindri sambil merebahkan tubuhnya yang sudah
telanjang, ke atas pembaringan. Mulutnya mendesah-desah. Matanya
mengerjap-ngerjap, semakin mengundang birahi Senapati Awong Purbo.
Sekuat apa pun iman Senapati Awong Purbo,
digoda begitu rupa, akhirnya jatuh juga. Matanya tak berkedip, seakan takut
kalau-kalau pemandangan menarik di depannya hilang. Kemudian kakinya melangkah
mendekat ke ranjang tempat di mana tubuh Nyi Mas Lindri terbaring dengan keadaan
telentang dan sangat menantang itu.
"Gusti Asyu, mengapa kau lakukan ini?" desah Senapati Awong Purbo berusaha
menyadarkan selir rajanya.
Wanita itu tersenyum, mengulurkan kedua tangannya untuk memeluk leher Senapati
Awong Purbo. Melihat hal itu, senapati muda itu merundukkan kepala. Sehingga tangan Nyi Mas
Lindri kini memeluk dan mulai membawa turun leher lelaki bertubuh gagah itu.
"Kau mau membantuku, Kakang Senapati?" tanya Nyi Mas Lindri.
"Apa rencanamu, Gusti Ayu?"
"Berjanjilah dulu, Kakang! Jika kau telah berjanji, maka kelak aku bersedia jadi
istrimu," bisik Nyi Mas Lindri sambil merapatkan tubuhnya. Ditekannya leher
Senapati Awong Purbo, yang semakin bertambah dekat dengan wajahnya.
"Baiklah, aku berjanji. Tapi aku harus jadi suami-mu, jika semua yang kau citacitakan terlaksana,"
jawab Senapati Awong Purbo.
"Terima kasih, Kakang! Aku akan menjadi ratu, dan kelak kau menjadi raja di
kerajaan ini. Bagaimana...?"
Senapati Awong Purbo tersentak kaget mendengar penuturan Nyi Mas Lindri. Hampir
saja lelaki itu terlonjak kalau saja tangan wanita itu tak menekan
lehernya semakin mendekat ke wajahnya.
"Bagaimana, Kakang?"
"Kau tak main-main, Gusti Ayu?"
"Tidak," sahut Nyi Mas Lindri dengan senyum semakin menawan, yang membuat hati
Senapati Awong Purbo bertambah gemas ingin segera melumat bibirnya.
"Apa telah kau pikirkan masak-masak?"
"Sudah. Lusa, semuanya akan beres," sahut Nyi Mas Lindri sambil mendekap tubuh
Senapati Awong Purbo yang seketika lekat dengan tubuh halus mulus itu.
"Bagaimana dengan Pendekar Gila itu?" tanya Senapati Awong Purbo. "Dia sangat
berbahaya."
"Itu urusan gampang, Kakang. Jika semuanya sudah beres, kita singkirkan dia.
Kita akan menjadi raja dan ratu, bukan?" Nyi Mas Lindri terus menciumi wajah
Senapati Awong Purbo yang membuat lelaki bertubuh kekar itu bertambah nafsu.
"Baiklah, aku berpihak padamu," jawab Senapati Awong Purbo membalas ciuman Nyi
Mas Lindri. Kemudian tak begitu lama, keduanya telah membisu.
Hanya rintihan dan lenguhan kenikmatan yang terdengar dari mulut Nyi Mas Lindri.
Keduanya terus berpacu, berusaha menumpahkan nafsu yang telah menggelegak.
Beberapa saat lamanya mereka bergelut, sampai akhirnya kedua tubuh tergeletak
kelelahan. Di luar, ketika hawa malam semakin tak nyaman, sesosok bayangan berkelebat
menuju bangunan sebelah kiri istana. Sosok bayangan itu terus melangkah menuju
kamar anak Baginda Aji Wardana.
Setelah mengawasi sekitarnya, sosok itu perlahan-lahan membuka jendela kamar
yang ditempati putra
Baginda Aji Wardana.
"Tentunya bocah ini masih tidur," gumam sosok yang dari suaranya ternyata
seorang lelaki. Dengan cepat, lelaki itu bergerak menusukkan sebuah benda tajam
berkilat ke tubuh yang masih terlelap di tempat tidurnya.
Crab! "Aaakh...!"
Pekikan tertahan terdengar dari mulut orang terbaring di tempat tidur. Sesaat
tubuhnya mengejang, kemudian diam tanpa nyawa. Darah membasahi tempat tidur.
Sosok pembunuh itu langsung melesat cepat meninggalkan kamar, lalu menghilang di
kegelapan malam.
Istana Telaga Mas geger oleh teriakan para prajurit jaga yang berlarian menuju
kamar putra raja, setelah mendengar teriakan.
*** 7 Pendekar Gila disekap dalam penjara bawah tanah nampak tengah duduk bersila,
mengheningkan cipta guna memusatkan hati dan pikiran. Kedua telapak tangannya
saling menyatu diletakkan di depan dada.
Matanya memejam rapat, memusatkan batinnya.
Saat itu, tampaknya Pendekar Gila tengah
mengerahkan telepati untuk menghubungi gurunya.
Dia ingin meminta petunjuk sang Guru, bagaimana untuk dapat menebus dinding
bawah tanah. Telah beberapa ilmu yang dimiliki dikerahkan, tapi tak mampu
menghancurkan dinding penjara itu.
"Ada apa kau memanggilku, Sena?" terdengar gema suara Singo Edan bertanya.
"Guru, kau menerima panggilanku?"
"Ya, ada apa?"
"Aku mengalami kesulitan, Guru."
"Jangan suka mengeluh, Sena! Bagi seorang pendekar, pantang untuk mengeluh.
Nyawa seorang pendekar, merupakan taruhan bakti bagi kebenaran dari keadilan!"
seru Singo Edan.
"Ampun, Guru! Bukan aku mengeluh, tapi aku kini benar-benar dalam kesulitan,"
ujar Sena berusaha meyakinkan gurunya, kalau dirinya tengah dalam keadaan sulit.
"Katakan, apa yang membuatmu begitu"!"
"Kini aku dihadapkan pada sebuah masalah. Aku harus menolong keluarga Baginda
Aji Wardana, yang dalam ancaman pemberontakan. Tapi kini aku dalam tahanan bawah
tanah," tutur Sena.
"Gunakan pukulan 'Gila Melebur Gunung Karangmu'."
"Sudah, tak bisa."
"Ajianmu 'Inti Api'?"
"Sudah, Guru. Tetap tak bisa?" sahut Sena.
"Inti Bayu'?"
"Semua ajian telah kukerahkan. Tetapi dinding ini terlalu kuat untuk
diruntuhkan," sahut Sena.
"Hm," hanya suara gumam lirih yang terdengar.
Sepertinya Singo Edan maupun Pendekar Gila tengah berpikir mencari jalan yang
baik guna mengeluarkan Sena dari tahanan bawah tanah.
"Apakah kau tak bermaksud menjebol pintu besinya?" tanya Singo Edan.
"Percuma, Guru. Semua prajurit akan mendengar,"
jawab Sena. Suasana kembali hening. Singo Edan seakan
tengah berpikir-pikir mencari jalan keluar guna membebaskan muridnya. Sedangkan
Pendekar Gila masih melakukan semadi, menyatukan batinnya dengan sang Guru.
"Apa kau sudah coba memanggil Naga Sakti?"
tanya suara Singo Edan.
"Belum, Guru. Tapi..., aha, aku ada akal! Aku akan memanggil Bocah Sakti itu,"
ujar Sena sambil tertawa cengengesan.
"Bocah gila! Dalam kesulitan masih tertawa-tawa!"
maki Singo Edan, "Siapa yang kau maksud Bocah Sakti itu?"
"Anak angkat dan murid Paman Naga Brahma,"
jawab Sena. "Naga Brahma...?" terdengar suara Singo Edan bertanya setengah bergumam, "Hm,
adik seperguruan Naga Sakti?"
"Benar, Guru."
"Kapan kau bertemu?"
"Sudan agak lama, Guru. Sejak kejadian di Lembah Akherat," jawab Sena menuturkan
(Untuk mengetahui kisah Bocah Sakti, ikuti serial Pendekar Gila dalam episode
"Perjalanan ke Akherat").
"Hm, cobalah! Mumpung masih malam," seru Singo Edan.
"Terima kasih, Guru!"
Pendekar Gila segera memusatkan batinnya untuk memanggil adik seperguruannya,
Supit Songong, yang ada di Pulau Karang Api di Danau Sambak Neraka.
Srt! Pendekar Gila mencabut Suling Naga Saktinya.
Kemudian dihujamkan ujung suling itu ke tanah.
Crab! Setelah menghujamkan suling itu sampai berdiri di tanah, Sena pun segera kembali
duduk bersila. Matanya kini menatap lekat ke kepala Naga Sakti.
"Supit.., Supit.., datanglah!" bisik Sena, "Aku butuh bantuanmu!"
Saat itu nun jauh di sebelah barat Gunung Kapur, terlihat air Danau Sambak
Neraka bergejolak hebat.
Dua Naga Api yang menghuni danau itu, muncul dari dalam air dengan suaranya yang
menggelegar. Gerrr! Supit Songong dan Naga Brahma yang sedang
melakukan semadi tersentak bangun, ketika tiba-tiba di hadapan mereka muncul
seorang Naga Sakti. Naga yang berwarna emas dengan mahkota di kepalanya juga
berwarna emas. "Kakang Naga Sakti, ada apa kau datang?" tanya Naga Brahma kaget
"Aku memerlukan anak angkatmu, untuk membongkar penjara bawah tanah tempat Pendekar Gila disekap," jawab Naga Sakti.
"Ah, bagaimana mungkin Pendekar Gila bisa berada di penjara bawah tanah, Kakang"
Bukankah dia memiliki beribu macam akal dan kepandaian?"


Pendekar Gila 16 Istana Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya Naga Brahma sepertinya tak yakin dengan apa yang disampaikan Naga Sakti.
"Memang Pendekar Gila bisa saja menghancurkan penjara bawah tanah itu. Tetapi
dia tak ingin kebebasannya mengundang perhatian orang banyak,"
ujar Naga Sakti.
"Lalu apa yang harus kami perbuat, Kakang?"
"Buatlah terowongan di malam ini, dari sini sampai Istana Telaga Mas yang ada di
sebelah timur Gunung Kapur."
"Akan kulakukan, Kakang."
"Cepatlah, jangan sampai terlambat!" ujar Naga Sakti.
"Baik, Kakang."
Setelah Naga Sakti raib, menghilang dari
pandangan mata Naga Sakti, ular naga besar itu dengan dibantu Supit Songong,
segera melakukan perintah Naga Sakti. Membuat lubang yang akan tembus sampai
penjara bawah tanah di Istana Telaga Mas.
Suling Naga Sakti yang ditancapkan di tanah oleh Pendekar Gila kini nampak
bergetar. Hal itu menandakan kalau sukma Naga Sakti telah kembali menyatu dalam
suling mas itu. Dengan cepat Sena mencabut Suling Naga Saktinya. Kemudian
menyelipkan ke pinggang, ketika nampak dua orang prajurit datang memeriksa
tempat itu. "Masih ada, Kakang," terdengar suara seorang prajurit berkata pada kawannya.
"Beres. Bocah itu sangat berbahaya," sahut yang lain.
"Ayo kita pergi!" ajak prajurit pertama. Sepertinya mereka takut kalau-kalau
Pendekar Gila keluar dan menyerang mereka. Kedua prajurit jaga itu pun kembali
meninggalkan penjara bawah tanah.
Sementara itu, Naga Brahma dan Supit Songong masih terus membuat lorong panjang,
yang meng-hubungkan penjara bawah tanah di Istana Telaga Mas dengan Pulau Karang
Api. "Ayo Supit! Kita harus menyelesaikan pekerjaan malam ini juga," ujar Naga Brahma
memberi semangat pada anak angkatnya, sekaligus muridnya.
"Baik, Rama."
Bocah kecil berusia sekitar sepuluh tahun yang sekujur tubuhnya ditumbuhi sisik
itu terus menggali lubang, dibantu Naga Brahma. Supit Songong tak ubahnya
seperti seekor tikus yang menggali lubang.
Begitu cepat hingga dalam sebentar saja, lorong itu telah sampai di pertengahan
jalan. Supit Songong yang merasa sudah sampai, segera merangkak naik untuk melihat
sudah sampai di mana dia menggali lubang. Kini kepala bocah bersisik itu muncul
di permukaan tanah, menimbulkan sebuah lubang di kaki Gunung Kapur.
"Ah, belum sampai," gumamnya seraya turun lagi.
"Bagaimana, Supit?"
"Belum, Rama. Kita baru sampai di Gunung Kapur," jawab bocah kecil itu.
"Berarti tinggal sedikit lagi. Ayo, kita harus cepat!"
ajak Naga Brahma sambil terus bekerja membuat lubang besar dan panjang itu.
Dos! Tanah yang menjadi dinding panjang bawah tanah,
seketika jebol. Hal itu membuat Pendekar Gila tersentak kaget. Namun ketika tahu
siapa yang datang, dengan senang disambutnya mereka.
"Aha, Paman rupanya yang datang. Terimalah sembahku, Paman."
"Ah, sudahlah, jangan buang-buang waktu! Kau harus segera keluar dari sini,"
sahut Naga Brahma.
"Ikutiah aku!"
"Baik, Paman."
"Supit, tutup lagi terowongan ini dengan rapi, agar tak diketahui orang lain,"
perintah Naga Brahma pada anak angkatnya, si bocah bersisik dan berlidah ular.
"Baik, Rama."
Supit Songong segera bekerja dengan giat,
menutupi kembali lubang yang telah dibuatnya.
Dalam sekejap saja, dinding penjara bawah tanah itu kembali seperti semula
bagaikan tak pernah terjadi apa-apa.
*** Pendekar Gila dan Naga Brahma serta Supit
Songong akhirnya sampai di Pulau Karang Api, tempat bersemayam Naga Brahma dan
Supit Songong. "Wuah, segar sekali! Tiga hari aku terkurung di bawah tanah," gumam Sena sambil
merentangkan kedua tangan menghirup udara terbuka yang terasa sangat segar.
Mulutnya kembali cengengesan, dengan tangan tak luput menggaruk-garuk kepala.
"Apa yang sebenarnya terjadi di Istana Telaga Mas, Sena?" tanya Naga Brahma
ingin tahu. "Rumit, Paman," jawab Sena seenaknya sambil cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala. "Apanya yang rumit?"
"Mungkin lusa, Istana Telaga Mas akan berdarah,"
desah Sena. "Pertumpahan darah tak akan bisa dihindarkan. Kasihan Baginda Aji
Wardana." Naga Brahma dan Supit Songong terdiam, mendengar penuturan Pendekar Gila.
Sedangkan Pendekar Gila, cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian terdengar
suara lenguhannya.
"Ah, kasihan raja tua itu. Dia tak sadar, kalau musuh telah menyusup ke dalam
istana," kembali Sena bergumam.
"Bisakah kau menjelaskan, apa yang sebenarnya tengah berkemelut di Istana Telaga
Mas, Sena?" pinta Naga Brahma.
"Aha, dengan senang hati," jawab Sena.
Pendekar Gila kemudian menuturkan apa yang telah terjadi di Istana Telaga Mas.
Tentang selir raja yang berambisi merebut kekuasaan suaminya. Nyi Mas Lindri
berhasrat dan begitu bersemangat untuk menjadi ratu. Hal itu karena wanita
cantik itu seorang wanita cabul. Bila dirinya menjadi ratu, sudah dapat
dipastikan, tak akan ada pemuda tampan yang berkeliaran. Para pemuda akan
menjadi pemuas nafsunya.
Nyi Mas Lindri dengan ayahnya, kini menghimpun kekuatan untuk menyerbu ke
istana. Bahkan diduga pelaku pembunuhan terhadap dua orang anak
Baginda Aji Wardana, tak lain orang-orang dalam istana sendiri.
"Nah, begitulah kisahnya. Kini Istana Telaga Mas dalam bahaya, tinggal menunggu
saatnya, istana itu akan berdarah. Pertumpahan darah akan terjadi di Sana,"
tutur Sena mengakhiri ceritanya.
"Walah..., pertanda bahaya...!" gumam Naga
Brahma turut merasa sedih mendengar apa yang bakal terjadi di Istana Telaga Mas.
"Begitulah, Paman. Aku sendiri sedang bingung, harus bagaimana menolong Baginda
Aji Wardana. Di pihak lain, tentunya aku harus menghadapi para pemberontak, yang
nampaknya berjumlah besar,"
tukas Sena seperti ingin meminta pendapat Naga Brama
"Selamatkan saja Baginda Aji Wardana! Mengenai pemberontak, biar Supit yang
menghadapinya. Setelah menyelamatkan baginda, barulah kau membantu Supit. Bagaimana dengan cara
itu, apa kau setuju dengan cara yang kukatakan?" tanya Naga Brahma.
"Hm, betul juga. Baiklah kalau begitu, Paman.
Memang jalan satu-satunya harus menyelamatkan Baginda Aji Wardana dan sisa
kelurganya yang hidup, jika pemberontakan itu meletus," gumam Sena.
"Bagaimana Supit, apakah kau siap?" tanya Naga Brahma.
"Saya siap, Rama," jawab Supit Songong yang sedari tadi diam.
"Bagus kalau memang begitu. Bantulah kakakmu, Supit!"
"Baik, Rama. Bahkan jika Rama mengizinkan, ingin sekali aku ikut terus dengan
Kakang Sena," kata bocah bersisik ular itu dengan senyum mengembang di bibirnya.
Matanya memandang Pendekar Gila yang cengengesan sambil garuk-garuk kepala.
"Aha, kalau aku tak keberatan, Supit. Tetapi, kau tentunya harus menyelesaikan
dulu semua ilmu yang Paman turunkan! Bukan begitu, Paman?"
"Ya, benar. Kau harus menyelesaikan semua ilmu yang Rama berikan, Supit."
"Baik, Paman."
"Kembali pada masalah yang tadi kau ceritakan, hanya menyelematkan Baginda Aji
Wardana, jalan terbaik. Ajaklah Baginda Aji Wardana ke lorong itu.
Lewat lorong itu, tak ada yang mengetahui. Para pemberontak pun tak mungkin
dapat mengejar,"
saran Naga Brahma.
"Wah, betul pendapatmu, Paman. Ah, ternyata aku semakin tolol saja," gumam
Pendekar Gila sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Ah, kau terlalu merendah, Pendekar Gila. Mana mungkin Dewata memilihmu sebagai
penegak kebenaran dan keadilan, jika kau tolol?" tanya Naga Brahma. "Hyang Widhi telah
menggariskan, dirimu sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Kurasa, Hyang Widhi
tak seenaknya menurunkan seseorang untuk menjadi pendekar. Hyang Widhi telah
memilih janin bayi yang akan keluar dari rahim manusia."
"Aha, sungguh berharga sekali apa yang kau tuturkan, Paman. Ah, aku semakin
bertambah kerdil dan bodoh di hadapanmu," gumam Sena dengan mulut cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Jangan berkecil hati begitu, Sena! Jiwamu agung.
Bayangkan abdimu adalah Kakang Naga Sakti, yang jika murka tak dapat seorang
manusia atau dewa pun mampu menanggulanginya. Tapi di tanganmu,
Kakang Naga Sakti begitu patuh dan setia. Bukankah itu pertanda
kebesaranmu..."!" ujar Naga Brahma berusaha meyakinkan Pendekar Gila.
"Benar, Kakang. Sungguh kau sangat beruntung, menjadi tuan dari Paman Naga
Sakti," sambung Supit Songong.
Pendekar Gila mengerutkan kening, mendengar
penuturan Naga Brahma. Naga Sakti yang menjelma suling dan menjadi senjatanya
memang sangat sakti.
Tapi menurutnya, bukan karena dirinya yang sakti.
Dibandingkan dengan Hyang Widhi, ilmunya belum seberapa. Itu pula yang
menjadikan Pendekar Gila senantiasa sadar, bahwa apa yang semuanya terjadi tak
luput dari pengamatan mata Hyang Widhi yang maha mengetahui.
Keakraban telah terjalin antara mereka berdua.
Meski Pendekar Gila manusia, sedangkan Naga Brahma seekor ular naga. Hal itu
karena antara mereka ada hubungan kuat saling menghargai satu sama lain. Sifat
saling hormat dan mencintai antar sesama makhluk ciptaan Hyang Widhi, membuat
mereka bisa melakukan hubungan baik.
Setelah bertukar pikiran sampai larut, Sena akhirnya meminta diri untuk tidur di
dalam goa. Waktu itu Supit Songong telah tidur. Namun, cara tidur bocah bersisik itu aneh.
Bukan merebah, melainkan berdiri dengan salah satu kakinya diangkat, bertengger
di kaki yang lainnya.
"Hai, sedang apa pula Adik Supit, Paman?" tanya Sena ketika melihat cara tidur
Supit Songong. "Itulah cara tapa yang Paman ajarkan padanya. Dia bisa tidur sambil berdiri,
dengan salah satu kakinya terangkat."
"Aha, lucu sekali! Untuk apa hal itu dilakukan, Paman?" tanya Sena semakin ingin
tahu, apa gunanya cara tidur sambil berdiri itu.
"Dengan membiasakan tidur berdiri seperti itu, batinnya akan senantiasa mampu
mengendalikan hawa nafsu. Selain itu dapat membedakan gerak benda sekecil apa
pun dengan mata terpejam. Dia tahu, kau kini sedang berada di hadapannya, meski
pun tertidur," tutur Naga Brahma menjelaskan.
Pendekar Gila semakin terkagum-kagum mendengar penuturan Naga Brahma. Dia baru melihat, cara tidur yang aneh. Dengan
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, kakinya melangkah mendekat ke Supit
Songong. Kemudian berusaha ikut melakukan hal seperti yang dilakukan Supit
Songong. "Aha, enak juga, Paman!" ujar Sena dengan kekonyolannya.
Naga Brahma tertawa terbahak-bahak menimbulkan suaranya yang menggelegar.
Malam pun semakin jauh, membawa mereka ke
dalam kegelapan bersama hawa dingin yang
perlahan-lahan menyelimuti tubuh. Namun, karena telah terbiasa dalam keadaan
begitu, mereka pun tak merasakan. Mereka segera tertidur nyenyak.
Sementara itu, jauh di Istana Telaga Mas, malam itu kembali di istana gempar
karena terbunuhnya anak bungsu Baginda Aji Wardana. Semua peristiwa itu sama.
Korban ditusuk sebilah senjata yang menghujam dada, dalam keadaan tidur pulas.
Hal itu membuat Baginda Aji Wardana bertambah marah dan putus asa. Bagaimanapun,
kini ketiga anaknya telah tiada. Semua tewas terbunuh. Namun, sampai sejauh itu,
belum juga diketemukan siapa pelaku dari semua peristiwa itu.
"Geledah istana! Siapa pun pelakunya, harus dihukum mati!" seru Baginda Aji
Wardana pada para prajurit. "Paman Path Arya Denta, kau kutugaskan membersihkan
istana ini dari para pemberontak.
Rupanya apa yang dikatakan pemuda gila itu benar adanya. Di sini telah kemasukan
para pemberontak."
"Daulat, Baginda. Segala titah yang Baginda sabdakan, akan hamba lakukan," jawab
patih Arda Denta. "Prajurit, ikut aku!"
Malam itu juga, Patih Arya Denta beserta para prajurit melaksanakan apa yang
dititahkan Baginda Aji Wardana. Mereka langsung melakukan peng-geledahan
terhadap semua yang ada di Istana Telaga Mas dan sekitarnya. Namun mereka tak
juga dapat menemukan tanda-tanda adanya pemberontakan yang menyusup di istana.
"Penjagaan harus dilipatgandakan!" perintah Patih Arda Denta menegaskan. "Jelas
pemberontak telah menyusup ke dalam istana. Siapa pun yang dicurigai, harus
ditangkap untuk ketertiban dan keamanan!"
Kini Istana Telaga Mas benar-benar berdarah, meski belum banjir. Tiga nyawa
putra Baginda Aji Wardana, menjadi korban. Namun sejauh itu, belum juga didapat
tanda-tanda akan terjadi pemberontakan.
*** 8 Istana Telaga Mas kini benar-benar dilanda ketegangan. Ancaman pemberontak
bagaikan mencekam jiwa para penghuni istana yang setia pada sang Baginda Aji
Wardana. Siang itu Baginda Aji Wardana, dan para sesepuh kerajaan serta Patih
Arya Denta mengadakan pertemuan. Mereka membahas masalah pembunuhan yang telah
merenggut ketiga putra Baginda Aji Wardana. Baginda semakin cemas terhadap
keselamatan dirinya dan sang Permaisuri.
Karena bagaimanapun, pembunuh biadab yang diduga orang dalam istana itu tentu
ingin menyingkir-kan raja dan permaisuri.
Suasana ruang pertemuan yang dinamakan ruang Inggil Kepanggihan nampak hening.
Tak ada seorang pun yang berani membuka mulut, seperti tercekam perasaan mereka
sendiri, setelah kejadian pembunuhan demi pembunuhan melanda putra-putra Baginda
Aji Wardana. Apalagi kini baginda nampak bermu-am durja. Kilatan matanya,
menggambarkan kemarahan yang terpendam.
Lama suasana ruang Inggil Kepanggilan hening.
Hanya desah napas yang terdengar.
"Istana kini sudah tak aman lagi," kata Baginda Aji Wardana setengah mengeluh.
"Sampai saat ini, belum juga diketemukan tanda-tanda dan jejak si pembunuh
biadab itu!"
Semua yang hadir pada persidangan itu tak ada yang menyahut. Mereka diam
membisu, tak ada yang hendak membuka suara. Baik para sesepuh maupun
para pembesar istana, seperti Patih Arya Denta, Senapati Awong Purbo, dan para
hulubalang. Mereka yang sebenarnya tahu, pelaku dari pembunuhan-pembunuhan keji
itu, membungkam mulut.
"Mungkin benar apa kata Pendekar Gila, kalau Nyi Mas Lindri terlibat di
dalamnya," tutur Baginda Aji Wardana kemudian, setelah lama tak ada yang
menyahut. Kembali baginda memandangkan matanya ke
seluruh dewan sidang yang hadir. Tetapi semuanya kembali hanya diam, malah
menundukkan kepala, ketika baginda menatap pada mereka.
"Kenapa diam" Kalian sudah seperti kerbau dicocok hidungnya" Kalian sebagai
prajurit, tak ubahnya seperti kerbau-kerbau dungu!" dengus Baginda Aji Wardana
antara marah dan panik.
Para prajurit tetap diam dan hanya tertunduk mendengar kemarahan sang Baginda.
"Bawa pemuda gila itu ke tempat sidang!" perintah Baginda Aji Wardana pada
prajurit pengawal.
"Daulat, Baginda," kedua prajurit pengawal menyembah, kemudian melangkah
meninggalkan ruang sidang.
Wajah Baginda Aji Wardana kini benar-benar diliputi ketakutan dan rasa cemas.
Dia bagaikan menerima siksaan batin yang sangat kuat. Namun, Baginda Aji Wardana
sadar, kalau sampai dia jatuh sakit, tentunya para pemberontak akan dengan mudah
merebut singgasana kerajaan. Pemberontak mungkin akan mengumumkan pada rakyat,
bahwa raja mereka dalam keadaan tak berdaya dan anak-anaknya terbunuh.
Baginda Aji Wardana tak ingin kejadian itu berlangsung di kerajaannya. Hatinya
tak ingin Istana


Pendekar Gila 16 Istana Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Telaga Mas dikuasai orang-orang yang tak ber-tanggung jawab. Orang-orang yang
akan menyalah-gunakan tanggung jawab dan wewenang.
Sebenarnya Baginda Aji Wardana juga mau turun tahta. Namun karena dipandangnya
belum ada yang pantas untuk menggantikan dirinya, maka tetap dipegangnya tampak
pimpinan kerajaan.
Dua orang prajurit yang diperintah untuk mengambil Pendekar Gila dari tahanan
bawah tanah, telah kembali dengan wajah nampak tegang. Hal itu membuat Baginda
Aji Wardana mengerutkan kening.
"Mana bocah itu?" tanya Baginda Aji Wardana.
"Pendekar itu menghilang, Gusti."
"Apa"! Apakah kau tak berdusta, Prajurit" Mana mungkin di penjara bawah tanah
dapat lepas!" bentak Baginda Aji Wardana semakin marah, "Apakah telah kalian
periksa, mungkin pemuda itu merusak sesuatu?"
"Ampun, Baginda! Tak ada kerusakan sekecil apa pun. Anak muda itu benar-benar
menghilang," jawab kedua prajurit itu setelah menyembah lagi.
Terbelalak semua mata yang ada di tempat sidang mendengar laporan kedua
prajurit. Baginda Aji Wardana semakin tegang, Pikirannya kini ber-kecamuk dengan
rasa takut yang mendera jiwanya.
"Mungkinkah pendekar itu juga pemberontak?"
tanya Baginda Aji Wardana dalam hati bimbang.
"Ampun, Baginda Yang Mulia! Hamba rasa, pelaku pembunuhan itu Pendekar Gila."
Senapati Awong Purbo, berusaha mengambil kesempatan baik itu untuk mengecohkan
pikiran Baginda Raja Aji Wardana yang semakin kacau dan bimbang.
"Hm, kalau memang benar dia bisa menghilang, kurasa benar apa katamu, Senapati.
Cari pendekar itu, tangkap hidup atau mati!" perintah Baginda Aji Wardana.
"Daulat, Baginda Yang Mulia. Hamba pamit mundur," pinta Senapati Awong Purbo
sambil menyembah. Kemudian segera meninggalkan
ruangan sidang. Sang Baginda yang duduk di atas singgasananya tampak hanya
mengangguk. Sedangkan para sesepuh duduk diam di samping kanan dan kirinya.
Patih Arya Denta duduk di sisi para sesepuh istana. Sedangkan para hulubalang
dan petinggi istana, duduk bersila di bawah.
"Paman Patih, Bagaimana menurut pendapatmu?"
tanya Baginda Aji Wardana menatap wajah patihnya.
"Ampun, Baginda! Hamba rasa Baginda harus berhati-hati. Jelas sekali, kalau para
pemberontak telah menyusup dalam istana. Bahkan mungkin, para prajurit sebagian
besar telah ditutup mulutnya agar tak memberitahukan pada kita," tutur Patih
Arya Denta. Baginda Aji Wardana mengangguk-anggukkan
kepala, menyetujui ucapan patihnya.
"Ki Gede Mundu, bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Baginda Aji Wardana kepada
penasihat-nya. "Ampun, Baginda! Menurut hamba, apa yang dikatakan Paman Path benar adanya.
Baginda harus hati-hati, jangan terlalu sering mengadakan pertemuan seperti ini!
Karena mata-mata musuh, mungkin akan mendengar dan melaporkan pada pimpinan
pemberontak."
"Baiklah, sidang kububarkan," Baginda Aji Wardana pun menutup pertemuan itu,
setelah merasa ucapan Patih Aya Denta dan Ki Gede Mundu dianggapnya benar.
Mereka pun segera meninggalkan ruang sidang untuk kembali bekerja pada tempatnya masing-masing.
*** Malam merangkak dengan suasana agak gelap.
Bulan sabit tampak berada di langit sebelah barat.
Angin malam bertiup semilir basah, membawa rasa dingin. Para prajurit tampak
masih berjaga-jaga di sekitar Istana Telaga Mas. Mereka kini dilipatgandakan
jumlahnya, agar sewaktu-waktu terjadi pemberontakan mereka telah siap.
Di kejauhan lolongan anjing hutan terdengar menyayat, terasa kian mencekam.
Angin terus menghembuskan hawa dingin yang menusuk tulang sum-sum. Juga membawa
rasa kantuk. Para penjaga masih berusaha menahan rasa
kantuk yang menyerang mata, ketika tiba-tiba terdengar suara pekikan dari luar
benteng istana.
"Serbuuu...!"
"Seraaang...!"
"Singkirkan raja tua tak berarti ituuu...!"
Para prajurit segera bersiap. Mereka langsung menabuh kentongan untuk
membangunkan prajurit lain. Namun para prajurit yang bermunculan dari belakang
istana tiba-tiba menyerang dan membunuh prajurit jaga. Hal itu mengakibatkan
suasana makin kacau. Banyak prajurit istana yang masih setia pada Baginda Aji
Wardana tersentak kaget, melihat teman-teman mereka banyak yang memihak kepada
pemberontak. "Bedebah! Rupanya kalian pemberontak yang telah menyusup ke istana!" dengus para
prajurit yang setia pada Baginda Aji Wardana. Kemudian dengan gagah
berani tanpa merasa takut sedikit pun, prajurit pengikut Baginda Aji Wardana
menghadang serangan dari luar dan dalam.
"Hea!"
"Tumpas pemberontak...!" teriak Patih Arya Denta yang baru bangun dari tidur,
karena kaget mendengar teriakan para prajuritnya.
"Patih keparat! Aku lawanmu!" tiba-tiba Senapati Awong Purbo menghadang. Hal itu
membuat Patih Arya Denta membelalakkan mata.
"Keparat! Rupanya kau pun biang pemberontak, Senapati! Kubunuh kau! Heaaa...!"
"Hea!"
Dengan senjata berupa keris di tangan mereka, kini patih dan senapati saling
serang. Pertarungan antara pemberontak dengan pihak kerajaan pun semakin seru.
"Hea!"
Trang!' Pekikan-pekikan keras yang ditingkahi dentang senjata berbenturan kian memecah
suasana malam. Crab! "Wua!"
Pekikan-pekikan pun tak luput mulai terdengar dari prajurit yang gugur. Suasana
di alun-alun Istana Telaga Mas yang semula sepi kini hiruk-pikuk dari suarasuara jeritan prajurit dan beradunya senjata.
Pertarungan antara Patih Arya Denta melawan Senapati Awong Purbo berjalan dengan
seru. Dengan senjata berupa keris, mereka terus berkelebat saling serang.
"Hea!"
"Yea!"
Trang! "Mampuslah, Senapati Keparat!" dengus Patih Arya Denta seraya terus mendesak
Senapati Awong Purbo dengan sabetan dan tusukan kerisnya. Senapati muda itu
tampak kewalahan dan hanya bisa
mengelak. "Celaka! Matilah aku...!" Pekik Senapati Awong Purbo dalam hati, agak ciut
nyalinya menyaksikan serangan-serangan gencar yang dilakukan Patih Arya Denta.
"Tamatlah riwayatmu, Pengkhianat! Heaaa...!"
Patih Arya Denta beringas melakukan serangan.
Keris di tangannya berkelebat cepat, menusuk ke dada lawan yang telah terdesak
hebat "Mati aku...!" keluh Senapati Awong Purbo dengan mata terbelalak, ketika keris
di tangan Patih Arya Denta semakin cepat menusuk ke dadanya. Tak ada kesempatan
lagi baginya untuk dapat mengelakkan serangan lawan yang sangat cepat dan
mematikan itu. Sesaat lagi, nyawa senapati pengkhianat itu hampir mati di tangan
Patih Arya Denta. Namun, tiba-tiba....
Trang! "Ukh!" Patih Arya Denta terpekik sambil melompat mundur, ketika senjatanya
beradu dengan senjata berupa dua bilah pedang kembar di tangan orang asing
berhidung betet "Siapa kau"! Kenapa kau ikut campur dalam pemberontakan ini,
Orang Asing!"
bentak Patih Arya Denta.
"He he he...! Siapa aku sebenarnya, tak jadi masalah. Yang pasti, kau dan rajamu
harus disingkirkan!" jawab lelaki berhidung betet yang bernama Takakira dengan
mencibirkan bibirnya.
"Keparat, kubunuh kau!" dengus Patih Arya Denta sengit sambil bergerak hendak
menyerang. Namun
mendadak terdengar teriakan seorang pemuda didahului gelak tawa membahana.
"Hua ha ha...! Paman Patih, biarkan mereka!
Adikku yang menghadapi! Kau bantulah baginda menyelamatkan diri!" seru Sena.
Patih Arya Denta dan prajurit yang masih setia pada Baginda Aji Wardana, juga
para pemberontak tersentak kaget, mendengar seruan Pendekar Gila.
Apalagi Rama Mangunda serta si Payung Sakti dan Takakira yang telah tahu siapa
pemuda itu. Mereka kaget melihat kehadiran Pendekar Gila yang secara tiba-tiba.
"Bukankah dia berada dalam penjara?" tanya Rama Mangunda seperti bertanya pada
diri sendiri. "Hi hi hi...! Lucu sekali kalian! Tikus-tikus Busuk!
Rupanya kalian mencari mati! Hua ha ha...! Supit, hadapi mereka!" seru Sena sambil terus
tertawa terbahak-bahak dengart tangan menggaruk-garuk kepala.
"Baik, Kakang," jawab bocah bersisik ular yang tak lain Supit Songong. Semua
orang yang ada di alun-alun istana terbelalak melihat keanehan bocah kecil
berusia sekitar sepuluh tahun itu.
"Hadang mereka, jangan sampai mengejar kami, Supit," seru Sena lagi.
"Baik, Kakang. Pergilah bersama Paman Patih! Biar kulabrak orang-orang itu,"
jawab Supit Songon sambil menyeringai geram menunjukkan lidahnya yang merah dan
bercabang. Matanya yang merah membara, menatap tajam para pemberontak di bawah
pimpinan Rama Mangunda.
"Ayo Paman Patih, kita tak punya waktu!" ajak Sena. Dengan cepat Pendekar Gila
melesat ke istana diikuti Patih Arya Denta.
Takakira dan Senapati Awong Purbo hendak
mengejar, tetapi bocah ular Supit Songong telah menghadangnya. Hal itu membuat
keduanya tersentak dan mengurungkan niat mengejar Pendekar Gila dan Patih Arya
Denta. "Grrr! Hoarrr...!"
Supit Songong mengeluarkan suaranya yang
menggelegar, dan memekakkan telinga. Hal itu semakin membuat Senapati Awong
Purbo dan Takakira tersentak. Mereka belum sempat melakukan serangan, bocah ular itu telah
menyerangnya dengan cengkeraman tangan yang berkuku panjang dan tajam.
"Grrr! Hoarrr!"
"Awaaas...!"
Wrt Tangan kecil berkuku runcing berkelebat ke muka kedua lawannya. Mereka tersentak
kaget. Cepat-cepat keduanya mengelit ke samping. Kemudian melepaskan pukulan ke
tubuh Supit Songong. Namun dengan cepat, bocah sakti itu melentingkan tubuh ke
atas. Dan dengan cepat pula, menukik menyerang dengan cengkeraman mautnya.
"Grrr! Hoarrr...!"
Kedua lawannya dibuat kalang kabut menghadang serangan-serangan bocah bersisik
ular itu. Bocah yang matanya membara seperti api itu terus bergerak cepat
menyerang kedua lawannya.
*** Sementara itu, Pendekar Gila dan Patih Arya Denta telah masuk istana. Keduanya
terus menerobos masuk ke kamar baginda. Firasat mereka mengatakan kalau Baginda Aji Wardana kini dalam ancaman Nyi Mas Lindri, terbukti wanita
cantik berhati iblis itu tak tampak di luar.
Brakkk! Pendekar Gila mendobrak pintu kamar. Saat itu pula Nyi Mas Lindri yang sedang
menyerang Baginda Aji Wardana dan istrinya tersentak kaget. Matanya terbelalak,
ketika melihat kehadiran Pendekar Gila.
Bukan hanya Nyi Mas Lindri yang kaget atas kehadiran Pendekar Gila. Baginda dan
permaisuri pun kaget.
"Pendekar Gila...!" desis mereka barbarengan.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian
dengan cengengesan dan menggeleng-gelengkan kepala melangkah mendekati Nyi Mas Lindri.
"Pemberontak busuk! Ha ha ha, wajahmu cantik sekali, Nyi! Sayang, hatimu iblis!
Kau harus ditangkap!
Hi hi hi!"
Sena bergerak hendak menangkap Nyi Mas Lindri, tetapi dengan cepat wanita cantik
itu mengelak. Kemudian dengan menabrak jendela kamar serta melompati Baginda Aji Wardana, Nyi
Mas Lindri melesat keluar.
"Aha, mau lari ke mana kau, Iblis Betina! Hua ha ha...! Maaf, Baginda!"
Pendekar Gila melesat mengejar Nyi Mas Lindri.
Seperti tak ingin kehilangan buruannya yang cantik tetapi berhati iblis.
Nyi Mas Lindri ternyata berlari ke alun-alun, bergabung dengan para pemberontak
yang dipimpin ayahnya. Hal itu membuat Pendekar Gila semakin tertawa terbahakbahak, karena memang itulah yang diharapkan. Dengan begitu, dia dapat leluasa
meng- gempur para pemberontak.
"Paman Patih, selamatkan baginda! Biar aku dan Supit Songong yang menghadang
mereka!" seru Sena, lalu melesat menuju alun-alun istana. Para prajurit yang
masih setia dengan Baginda Aji Wardana serta para sesepuh istana menghadapi para
pemberontak yang dipimpin Rama Mangunda.
Pendekar Gila terus melesat dengan cepat,
menuju alun-alun yang terletak di depan Istana Telaga Mas. Sementara Patih Arya
Denta menyelamatkan baginda dan permaisurinya meninggalkan istana.
"Hua ha ha...! Prajurit yang setia, serang terus!
Tikus-tikus busuk itu memang harus dibasmi. Hi hi hi..!" dengan tingkah lakunya
yang konyol, Pendekar Gila berjingkrakan sambil menggaruk-garuk kepala.
Dia segera membantu para prajurit dan sesepuh istana yang masih terus berusaha
menghadang serangan lawan.
Dengan kehadiran Pendekar Gila dan bocah sakti membuat semangat para prajurit
istana yang masih setia pada Baginda Aji Wardana kembali pulih.
Mereka dengan gagah berani, terus berusaha menghadapi lawan.
"Tumpas pemberontak...!"seru Ki Gede Mundu.
"Aha, benar katamu, Ki. Tikus-tikus itu memang harus ditumpas dari muka bumi! Hi
hi hi...!" dengan cengengesan, Pendekar Gila bergerak menghadang si Payung Sakti
yang sedang mengamuk. Sedangkan Ki Gede Mundu dan keempat sesepuh istana lainnya
menghadapi Nyi Mas Lindri dan Rama Mangunda.
Sementara, Supit Songon semakin mendesak kedua lawannya.
"Seraaang...!" perintah Ki Gede Mundu.
Prajurit istana yang semula ciut nyalinya, kini makin bersemangat. Apalagi kini
telah hadir dua orang sakti yang patut diandalkan. Seorang pemuda gila dan
seorang bocah ular yang sakti. Dalam beberapa gebrakan saja mereka mampu
mendesak lawan.
"He he he! Supit, bereskan kedua tikus itu! Hua ha ha...!" seru Sena pada Supit
Songong. Sedangkan dia kini bergerak menggempur si Payung Sakti. Tubuhnya
meliuk-liuk, bagaikan menari-nari. Sesekali tangannya menepuk ke tubuh lawan.
"Pendekar Gila! Kini akhir hidupmu! Heaaa...!"
Si Payung Sakti memutar payungnya dengan cepat, menimbulkan angin yang menderu
ke tubuh lawan.
Dengan cepat Pendekar Gila melompat ke atas. Lalu menukik sambil menghantamkan
pukulan tenaga dalamnya dengan jurus 'Gila Terbang Mencengkeram'
"Hih!"
"Akh!" si Payung Sakti tersentak kaget, mendapatkan serangan yang cepat dan
tiba-tiba itu. Tubuhnya bergerak mengelak, tetapi payungnya terhantam pukulan dahsyat Pendekar
Gila. Jlegar! "Hi hi hi...! Payung bututmu kini seperti tubuhmu, Nyi!" ejek Sena sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepalanya.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila!
Terimalah ajian 'Garang Gati'ku. Heaaa...!"
"Aha, mengapa gergaji kau bawa, Nyi" Hi hi hi...!"
Wrt! Angin menderu kencang dari tangan si Payung Sakti. Pendekar Gila tetap diam,
kedua tangannya disatukan. Kemudian dengan cepat dihempaskan kedua telapak
tangannya ke arah muka.
"Ini untukmu, Nyi! 'Inti Bayu', heaaa...!"
Wesss! Segumpal angin kencang menderu keras ke tubuh lawan.


Pendekar Gila 16 Istana Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Srt! Jret! "Akh...!" si Payung Sakti terpekik, ketika tubuhnya tersapu angin topan yang
keluar dari tangan Pendekar Gila. Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala dengan tubuh berjingkrak-jingkrak, menyaksikan tubuh si
Payung Sakti terlempar sapuan angin pukulannya.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Nyi! Kenapa kau main burung-burungan"!" ejek
Sena terpingkal-pingkal, dengan telunjuk menuding tubuh si Payung Sakti yang
terus melayang ke belakang. Tubuh perempuan tua itu baru berhenti, setelah
menerjang pepohonan di luar istana.
Brakkk! "Akh...!"
Lolongan kematian terdengar memecah malam, ketika kepala si Payung Sakti pecah
membentur batang pohon besar.
"Pendekar Gila, aku lawanmu! Heaaa...!" Nyi Lindri melihat ibunya mati, semakin
marah. Tangannya kini menyerang Sena dengan pukulan 'Gelap
Ngampar'nya. Perempuan cantik berpakaian merah jambu itu penuh nafsu menyerang
Pendekar Gila. Wrt! "Uts! Hi hi hi...!"
"Gelap gulitamu masih mentah, Nyi!" ejek Sena sambil meliukkan tubuhnya
mengelakkan hantaman ajian 'Gelap Ngampar'.
Kekuatan ajian 'Gelap Ngampar' Nyi Mas Lindri
mampu membuat suasana malam bertambah gelap Mendung di langit tiba-tiba menebal.
Awan berarak-arak menutupi langit di atas Istana Telaga Mas.
"Kubunuh kau, Pendekar Gila! 'Gelap Ngampar', yeaaa...!"
Wrrr! Pendekar Gila yang diserang dengan ajian sakti
'Gelap Ngampar' malah tertawa terbahak-bahak.
Sepertinya sedikit pun tak terpengaruh pukulan-pukulan yang mendatangkan
kegelapan. Malah dengan berjingkrak-jingkraan, Pendekar Gila balas menyerang
dengan jurus-jurus gilanya yang aneh dan mengandung kekuatan dahsyat.
Pertarungan keduanya semakin seru. Sementara, para prajurit dan pemberontak yang
tengah bertempur merasa keder melihat suasana yang tiba-tiba berubah gelap
gulita. Hanya Supit Songong yang masih terus menggempur kedua lawannya.
"Grrr! Hoarrr...!"
Wrt! Cakar-cakar tangan bocah bersisik ular itu melesat begitu cepat ke tubuh lawan.
Dan.... Crab, crab! "Wuaaa...!"
Senapati Awong Purbo dan Takakira yang tak dapat mengelakkan cengkeraman kukukuku tajam Supit Songong, terpekik keras. Tubuh mereka menggelepar-gelepar
dengan leher terkoyak
berantakan terkena kuku-kuku tajam Supit Songong.
Kemudian ambruk dengan nyawa melayang.
Melihat kedua lawannya binasa, Supit Songo kini beralih menyerang Rama Mangunda.
Pimpinan pemberontakan itu masih bertarung melawan kelima
sesepuh istana yang nampak kewalahan dengan serangan-serangan lelaki tua itu.
Apalagi dengan ajian
'Gelap Ngampar' yang dilancarkan Nyi Mas Lindri, membuat kelima sesepuh istana
itu bertambah kalang kabut.
"Grrr! Oarrr...! Aku lawanmu, Pemberontak!" maki Supit Songong seraya bergerak
menyerang Rama Mangunda yang tersentak kaget, melihat bocah ular itu tiba-tiba
menyerang dirinya dengan cakaran-cakaran mautnya.
"Uts! Celaka...!" pekik Rama Mangunda kaget.
Cepat-cepat tubuhnya dilempar, berusaha menghindar. Namun, Supit Songong kembali
memburunya. Hal itu membuat Rama Mangunda kian tersentak kaget, dan terus berusaha mengelak
sambil melancarkan serangan-serangan balasan.
"Heaaa...!"
"Grrr! Goarrr!"
Supit Songong mengelit, kemudian dengan cepat kembali menyerang.
Di tempat lain, Nyi Mas Lindri semakin ciut nyalinya, melihat banyak korban di
pihaknya. Apalagi Pendekar Gila kini bagaikan tak mempan terhadap seranganserangan yang dilancarkannya.
"Celaka! Rama sepertinya juga terdesak. Ah, tak ada pilihan lain, aku harus
kabur dari tempat ini,"
desis Nyi Mas Lindri dalam hati.
"Pendekar Gila, tunggulah pembalasanku!
Heaaa...!" tangan Nyi Mas Lindri mengambil sesuatu dari balik bajunya. Kemudian
dengan cepat melemparkannya ke depan Pendekar Gila, yang tersentak kaget.
Jlegar! Jlegarrr...!
Dua kali ledakan dahsyat menggelegar,
menyentakkan Pendekar Gila yang langsung
melompat ke belakang. Asap tebal mengepul
menutupi pandangannya.
"Aha, rupanya kau mau main-main petasan, Nyi!"
ujar Sena. Kemudian dengan ajian 'Inti Bayu'nya, disapunya asap tebal itu sampai
hilang. Seketika matanya terbelalak, melihat Nyi Mas Lindri telah menghilang
dari pandangannya.
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggeleng-geleng kepala. Tangannya
menggaruk-garuk kepala.
"Hua ha ha, licik sekali kau, Nyi! Hm, ke mana pun kau pergi, akan kukejar. Tapi
biarlah, aku harus membantu para prajurit menyelamatkan pemberontak itu," kata
Sena sambil melangkah ke tempat para prajurit yang tengah bertempur,
Dengan masuknya Pendekar Gila membantu para prajurit yang masih setia pada
Baginda Aji Wardana, para pemberontak yang sudah ciut nyalinya karena pimpinanpimpinan mereka kabur dan mati dan dapat didesak.
Sementara itu pula Supit Songong yang meng-gunakan jurus 'Cakar Naga Sakti'nya
terus memburu Rama Mangunda. Tangannya bergerak cepat, men-cakar ke muka dan
dada lelaki tua itu.
"Grrr! Heaaa...!"
Wrt! "Uts! Anak setan!" maki Rama Mangunda sambil bergerak mengelak. Kemudian dengan
cepat membalas serangan dengan jurus 'Sapu Buana'.
Tangannya menghentak keras, mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat. Namun Supit
Songong bagaikan tak takut. Dengan cepat tubuhnya yang kecil melompat dan terbang, lalu
menukik melakukan
serangan balasan.
"Grrr! Kau harus mati, Orang Tua! Heaaa...!"
Supit Songong melesat cepat ke belakang tubuh Rama Mangunda. Kemudian dengan
cepat kedua kakinya hinggap di pundak lelaki tua itu. Lalu secepat kilat,
sebelum lawannya sempat berbuat sesuatu kedua tangan Supit Songong mencengkeram
leher Rama Mangunda. Digigit leher itu dengan giginya yang tajam bertaring.
Crab! "Aaakh...!"
Rama Mangunda terpekik, dia berusaha menyingkirkan Supit Songong dari pundaknya.
Namun, bocah itu bagaikan tak peduli, terus mencengkeram dan menggigit leher
Rama Mangunda. Hal itu membua orang tua itu kelojotan dengan mata melotot. Lalu
tubuhnya menggelepar-gelepar bagaikan ayam disembelih, sebelum akhirnya ambruk
dan mati. Melihat para pimpinannya mati, prajurit pemberontak pun segera menyerah. Mereka
segera dilucuti senjatanya, lalu diperintahkan berkumpul di alun-alun istana.
*** Dengan menyerahnya para pemberontak,
Pendekar Gila segera menyusul Baginda Aji Wardana dan Patih Arya Denta yang
mengungsi di Hutan Kalaspitung. Hari itu pula, baginda dan patih kembali ke
istana, untuk kembali memegang tampuk
pimpinan sebagai Raja Istana Telaga Mas.
Pagi yang cerah, ketika mentari bersinar terang di ufuk timur, di alun-alun
istana rakyat berbondong-bondong. Mereka datang setelah mendengar kabar
tentang pemberontakan yang dapat digagalkan.
"Hukum gantung saja para pemberontak itu!"
"Penggal saja kepala mereka...!"
"Jangan dikasih ampun...!"
Teriakan-teriakan rakyat Kerajaan Telaga Mas yang marah, memecah pagi. Baginda
Aji Wardana yang duduk di singgasananya, menitikkan air mata. Sedih, bahagia,
serta bermacam perasaan beraduk jadi satu di dadanya. Begitu pula dengan
permaisuri tampak bersedih.
"Hidup Baginda Aji Wardana...!"
"Hidup Telaga Mas...!"
"Gantung para pemberontak...!"
Rakyat terus berteriak karena marah yang meluap-luap. Bahkan ada beberapa warga
yang berusaha memukul prajurit-prajurit pemberontak. Beruntung sesepuh kerajaan
dan Patih Arya Denta segera melerainya.
"Mana Nyi Mas Lindri! Gantung saja dia...!"
"Ya, gantung saja!"
"Gantung iblis jahanam ituuu...!"
Baginda Aji Wardana masih mengurai air mata.
Berdiri di samping kiri dan kanannya, Pendekar Gila dan Patih Arya Denta. Di
samping Pendekar Gila yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, berdiri
bocah kecil yang tubuhnya dipenuhi sisi ular.
"Tenang..., tenanglah, Rakyatku," kata Baginda Aji Wardana setelah lama terdiam.
Rakyat kerajaan pun seketika menurut, tenang dan diam. "Kita harus bersyukur,
karena Hyang Widhi masih mempercaya-kan tampuk kerajaan ini padaku...!"
"Hidup Baginda Aji Wardana...!"
"Hidup Telaga Mas,..!"
Teriak rakyat penuh bersemangat, memecahkan
Kesunyian yang sekejap terjadi.
"Rakyatku yang kucintai, kita harus berterima kaah pula atas pertolongan Hyang
Widhi yang mengutus dua orang pendekar guna menumpas keangkara-murkaan yang
melanda kerajaan ini. Dialah Sena Menggala dan Supit Songong. Jika kalian
rakyatku tak keberatan, aku bermaksud mengangkat Sena sebagai Senapati di Istana
Telaga Mas ini," ujar Baginda Aji Wardana.
"Setujuuu...!" sahut rakyat penuh semangat. "Hidup senapati baru...!"
"Bagaimana, Sena" Rakyat Telaga Mas, meng-harapkan kau bersedia jadi senapati di
Istana Telaga ini," kata Baginda Aji Wardana seraya menoleh pada Pendekar Gila
yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ampun, Baginda! Sungguh suatu kehormatan yang sangat tinggi bagi hamba,
mendapat kepercayaan menjadi senapati. Namun, hamba rasa masih banyak yang lainnya.
Apalah artinya hamba yang bodoh dan liar ini. Seorang pengembara yang tak pernah
punya arah tujuan. Sekali lagi, hamba mohon ampun, dengan menyesal hamba
menolak. Biarkanlah hamba mengabdi pada kehidupan ini. Lagi pula, hamba masih harus
menyelesaikan tugas hamba, menangkap Nyi Lindri," ujar Sena dengan rendah hati.
"Ya, kalau memang begitu, kami tak bisa memaksamu, Sena. Yang kuharapkan,
bantuanmu, menangkap Nyi Mas Lindri hidup atau mati. Rasanya belum tenang
kerajaan ini, jika wanita iblis itu masih berkeliaran," tutur Baginda Aji
Wardana. "Akan hamba usahakan, Baginda. Sekarang juga, hamba mohon pamit!" pinta Sena.
"Doaku dan seluruh rakyat Istana Telaga Mas, menyertaimu, Sena. Bagaimana dengan
Anak Supit?"
tanya Baginda Aji Wardana.
"Adi Supit, akan kembali ke Pulau Karang Api lewat lorong di penjara bawah
tanah," tutur Sena yang membuat baginda tersentak kaget. "Ampun, Baginda!
Sebenarnya dulu bukanlah hamba menghilang. Tetapi Paman Naga Brahma dan Adi
Supit-lah yang telah menolong hamba, membuat terowongan yang meng-hubungkan
kerajaan ini dengan Danau Sambak Neraka."
"O, begitu...?" ujar Baginda Aji Wardana. "Bolehkah aku melihatnya?"
"Dengan senang hati, Baginda," jawab Supit.
Mereka pun mengantar Supit Songong ke penjara bawah tanah. Kemudian dengan
disaksikan baginda serta yang lainnya, Supit Songong masuk ke penjara bawah
tanah. Di situ, Supit Songong membuka terowongan yang tertutup. Lalu masuk ke
lubang besar itu. Baginda Aji Wardana melongong bengong melihatnya.
"Wahai rakyatku sekalian! Sejak saat ini, Ki Naga Brahma dan Anakmas Supit
Songong, menjadi
saudara kita!" sabda Baginda Aji Wardana,
"Terowongan ini, sebagai lambang persaudaraan kita."
"Hidup Baginda Aji Wardana...!"
"Hidup Ki Naga Brahma...!"
Sejak saat itu, antara Baginda Aji Wardana dan Naga Brahma serta Supit Songong
resmi terjalin hubungan persaudaraan. Terowongan bawah tanah yang ada di
kerajaan, tetap dipelihara. Bahkan Baginda Aji Wardana memerintah tenaga-tenaga
ahli untuk memperbaiki penjara bawah tanah itu sebagai
tempat yang indah. Tempat yang akan digunakannya untuk mengadakan pertemuan
dengan Naga Brahma atau pendekar golongan putih yang lain.
Nah, bagaimana dengan Nyi Mas Lindri"
Mampukah Pendekar Gila menangkap wanita cantik berhati iblis itu" Untuk lebih
jelasnya, ikuti lanjutan kisah "Istana Berdarah" ini dalam judul:
"Pengkhianatan Joko Galing".
SELESAI Created ebook by
Sean & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Seruling Perak Sepasang Walet 13 Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 16

Cari Blog Ini