Ceritasilat Novel Online

Kembalinya Si Tangan Setan 1

Pendekar Hina Kelana 8 Kembalinya Si Tangan Setan Bagian 1


KEMBALINYA SI TANGAN SETAN
Oleh D. Affandi
Cetakan Pertama
Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit
D. Affandi Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 008 :
Kembalinya Si Tangan Setan
ABU KEISEL http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Walaupun luka dalamnya semakin
parah akibat pukulan beracun, namun dalam perjalanan panjang dan
melelahkan itu dia tak pernah
mengeluh. Paras laki-laki itu sudah nampak semakin membiru. Empat puluh hari
berjalan berkuda mereka tempuh.
Namun Lembah Tapis Angin masih belum kelihatan juga. Hal ini semakin
membuat resah hati perempuan yang
menyertai laki-laki itu. Hampir setiap saat dia mengerling pada laki-laki yang
berada di sampingnya, semakin lama keadaan laki-laki itu bertambah menyedihkan.
Padahal mereka sudah
nemperlambat kecepatan kuda-kuda
mereka. Satu waktu, laki-laki yang bernama Kunta itu tampak menggigil tubuhnya,
andai saja perempuan yang berada dii sampingnya tidak cepat-cepat menangkap
Kunta, sudah dapat dipastikan Kunta akan terjatuh dari kuda tunggangannya.
Akibat yang lebih tak terbayangkan lagi andai tubuh
Kunta sampai terperosok ke dalam
jurang yang berbatuan tajam di sisi kanan jalan itu.
Kini laki-laki bertubuh kekar
yang berasal dari Bukit Kembar itu mulai merintih-rintih di dalam
pangkuan Winda Murti, kekasihnya.
Beberapa saat lamanya, si gadis nampak mengurut-urut dada si pemuda. Dia nampak
menggeliat dan merintih-rintih.
Sekejap matanya yang sayu itu nampak memandang pada si gadis. Tapi tiada sepatah
katapun yang terucap! Tatapan matanya layu, seluruh permukaan
tubuhnya selain bertambah membiru juga mulai nampak membengkak. Perih hati si
gadis demi melihat keadaan yang sangat niengenaskan ini. Serta merta dia
menitikkan air mata, lalu dalam
kesedihannya itu dia berucap:
"Kakang, bertahanlah! Lembah
Tapis Angin tidak begitu jauh lagi dari tempat ini...!" katanya
tersendat. Pemuda yang bernama Kunta itu nampak diam tiada bergeming. Hal ini
semakin menambah kecemasan si
gadis. "Kakang! Engkau dengarkah apa yang kukatakan ini...!" ulang gadis itu. *
"Ak... aku dengar... tapi
mungkihkah aku dapat bertahan sampai ke sana,. Aku sudah tiada daya lagi untuk
mengendalikan kuda...!" jawab pemuda itu dengan suara tertahan.
"Bersemangatlah untuk tetap hidup kakang..." Tabib Setan Gila pasti mau dan
dapat menyembuhkanmu,..!"
Mendengar kata-kata si gadis, Kunta nampak gelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Aku tak pernah yakin, Tabib gila dari Lembah Tapis Angin itu mau
mengobati tubuhku yang terkena pukulan keji, manusia terkutuk itu...!" ujar si
pemuda nampak putus asa sekali.
"Tidak cintakah engkau padaku"
Mengapa engkau tidak pernah
berkeinginan untuk hidup lebih
lama...?" tukas si gadis memprotes.
Kunta nampak tersenyum, meskipun hanya untuk berbuat seperti itupun dia harus
bersusah payah. Tiada sinar kehidupan lagi yang terpancar dari matanya yang kuyu
itu. Lalu dengan hati gundah dia kembali berucap:
"Hidup dan mati itu sudah ada ketentuannya, untuk apa harus bersusah payah
memaksakan diri. Kalau pada
akhirnya sang maut itu sendiri tak mungkin kita hindari...!"
"Itu benar, tetapi kita harus berikhtiar...!" kata si gadis membantah.
Mendengar kata-kata si gadis,
akhirnya dia berkata:
"Winda! Aku sudah tidak punya tenaga lagi, bagaimana mungkin aku bisa memegang
kendali kuda. Sedangkan untuk membawa diriku sendiri saja aku sudah hampir tak
sanggup...." Kunta mengeluh setengah merintih. Winda
Murti nampak tercengang untuk beberapa saat lamanya, tetapi kemudian dia
sudah mendapat akal. Cepat-cepat dia berkata!
"Kakang. Kudamu merupakan kuda yang tangguh dan kokoh, dia pasti
sanggup menanggung beban dua orang sekaligus." Kunta yang sudah nampak kepayahan
itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Begitu mengetahui Kunta menyetujui
usulnya, cepat-cepat dia menaikkan tubuh sang kekasih di kuda yang berbulu
coklat tua itu.
Kunta nampak mengerang keras begitu merasakan sakit yang sangat luar
biasa. Tak lama setelah itu, Winda
Murti pun akhirnya segera memacu
kudanya dengan sangat cepat sekali.
Sementara itu, pada saat yang
sama di tempat kediaman Tabib Setan Gila: Nampak kesibukan yang sangat luar
biasa sekali. Di ruangan depan nampak bergeletakan mereka-mereka yang sangat
membutuhkan pertolongan. Orang-orang ini nampak merintih-rintih,
wajah mereka hampir keseluruhannya nampak biru. Pada saat itu di ruangan dalam,
Tabib Setan Gila kelihatan
sedang mengobati tiga orang
laki-laki lainnya. Pada saat-saat seperti itulah tiba-tiba terdengar bentakan mengancam, melalui ilmu
menyusupkan suara.
"Tabib gila. Hari ini engkau
kembali ingin menolong musuh-musuhku"
Ingatlah andai engkau tetap bersikeras menyelamatkan mereka. Aku tak bisa
menjamin lagi keselamatanmu...." ancam suara itu. Mendapat ancaman yang sama
dari orang yang memiliki ilmu tenaga dalam yang sangat sempurna pula. Sudah
barang tentu laki-laki berwajah
keriput dengan sebuah tongkat
tengkorak yang tak pernah lepas-lepas dari sisinya. Kini nampak semakin
ketakutan. Sebab siapapun suara ini,
tak lain dan tak bukan dia pula yang merupakan biang kerok penyebar pukulan
beracun itu. "Mereka ini membutuhkan
pertolongan, siapapun adanya mereka itu, sebagai seorang Tabib aku
berkewajiban menolongnya!" menyahuti Tabib Setan Gila setelah beberapa saat
lamanya terdiam.
"Engkau hendak membangkang
perintah. Sungguh berani engkau pada si Tangan Setan" Agaknya engkau benar-benar
ingin merasakan betapa hebatnya pukulan beracunku...!" kata
orang pengirim suara itu nampak marah
sekali. "Ah" Engkau telah salah duga. Aku tak bermaksud membantahmu...
percayalah...!"
"Kalau begitu, engkau hentikanlah segala usahamu dalam menyembuhkan
mereka. Atau beri racun kematian pada setiap mereka yang coba-coba berobat
kepadamu. Hanya dengan jalan itu,
mudah-mudahan aku mengampunimu...!"
kata suara itu sambil
mengekeh. Pucatlah wajah Tabib Setan Gila,
begitu mendengar keputusan orang yang mengaku sebagai si Tangan Setan.
"Ta... tapi... mereka membutuhkan pertolongan...!"
"Engkau sayangkah nyawamu atau lebih sayang pada nyawa mereka?"
"Mengenai hidupku sendiri, itu tak begitu aku takutkan. Tapi kalau hal itu
memang sudah menjadi
kehendakmu, di masa yang akan datang aku tak berani bertanggung jawab atas
segala apa yang kau perintahkan
ini...!" jawab Tabib Seta Gila.
Pengirim suara itu tergelak-gelak!
"Mengapa harus takut. Aku yang bertanggung jawab atas semua perintah.
Dan sekarang ikuti kemauanku...!"
"Apa maksudmu?" tanya Tabib Setan Gila tak mengerti.
"Di belakang pondokmu, ada
kuletakkan sebungkus racun yang sangat mematikan kau pergunakanlah untuk
mengobati orang-orang yang sudah
sekarat itu!"
Tabib tua ini nampak sangat
terkejut sekali begitu mendengar
perintah.yang diberikan oleh si
pengirim suara. Rasa ke-manusiaannya memberontak, tetapi dia tidak berani
melakukannya. Tiba-tiba dia mendapat akal.
"Baiklah, aku akan melakukan
perintahmu. Tetapi aku tak dapat
melakukannya pada siang begini. "ucap Tabib Setan Gila.
"Jadi kapan engkau
melakukannya...?" tanya si pengirim suara.
"Nanti malam...!" jawab si Tabib tua me-nyanggupi.
"Baik. Engkau telah menyanggupi perintahku. Besok aku ingin melihat hasilnya."
Tabib Setan Gila merasa lega hatinya, apa-pun yang bakal
terjadi dia sudah berniat untuk
melarikan diri dari rumahnya.
Sedangkan untuk merawat lebih dari lima orang yang sedang berobat
kepadanya. Mau tak mau di siang itu dia harus bekerja keras. Meskipun dia sadar
orang-orang yang telah terkena pukulan beracun itu mungkin dapat
disembuhkan seperti sediakala, tetapi setidak-tidaknya untuk beberapa bulan
mereka masih dapat bertahan hidup.
Pukulan beracun merupakan pukulan maut milik si Tangan Setan yang hampir
setahun belakangan sangat
menggemparkan kalangan persilatan, telah membuat kalangan persilatan
menjadi sangat penasaran sekali.
Korban hampir setiap hari berjatuhan.
Selama setahun mungkin sudah dari dua ratus orang yang tewas secara
menyedihkan. Tubuhnya dalam keadaan membiru dan tak pernah terobati. Satusatunya Tabib yang benar-benar tahu siapa sesungguhnya si Tangan Setan adalah
Tabib Setan Gila dari Lembah Tapis Angin itu. Tetapi belakangan dia selalu
mendapat ancaman dari si tangan Setan. Bahkan barusan dia mulai
mendapat tekanan yang lebih berat
lagi. Menaburkan bubuk beracun dari setiap ramuan yang telah dibuatnya, ini
sungguh sangat bertentangan dengan hatinya yang jujur dan penuh cinta kasih
sesama. Kalau si Tangan Setan sudah mengancamnya dengan cara seperti itu, tak
banyak yang dapat
dilakukannya kecuali melarikan diri.
Demikianlah menunggu malam tiba,
tanpa sepengetahuan orang-orang yang sedang terbaring di ruang pendopo. Di dalam
kamarnya Tabib Setan Gila nampak sibuk menyiapkan segala untuk
keperluan perjalanan nanti.
Seiring dengan perjalanan sang
waktu, akhirnya malam yang ditunggu-tunggu pun tiba. Di langit sana, bulan sabit
hanya kelihatan bayang-bayang
saja. Cuaca memang nampak mendung di malam itu. Di dalam kamarnya Tabib Setan
Gila nampak gelisah sekali.
Sementara di ruangan pendopo orang-orang yang menanti saat-saat
pengobatan terus mengerang dan
merintih tanpa henti-hentinya. Hanya beberapa orang saja di antara mereka yang
masih mampu menunggu dalam
keadaan duduk. Sedangkan belasan orang lainnya, tanpa tertahankan nampak
rebah dalam posisi centang perenang.
Demikianlah, ketika malam semakin
larut. Ketika rasa sakit akibat racun Raja Kobra sudah tiada tertahankan lagi.
Maka di saat itulah Tabib Setan Gila nampak menyelinap melalui pintu belakang.
Setelah menutupkan pintu kembali, lalu dalam waktu sekejap saja dia sudah nampak
berlari-lari menjauhi pondok. Sebentar saja, tubuh laki-laki tua itu telah
lenyap ditelan kegelapan malam. Dalam pada itu, orang-orang yang berada di
ruangan pendopo.
Nampaknya sudah tidak sabar lagi
menunggu saat-saat pengobatan dimulai, bahkan beberapa orang di antara mereka
mulai memanggil-manggil nama Tabib Setan Gila.
"Uwa Tabib... cepatlah obati
kami! Kami sudah tak tahan, sakit
sekali, Uwa Tabib... Suakiit...!"
rintih salah seorang di antara mereka.
"Tabib... matilah aku, Tabib...
lebih baik engkau cabut saja nyawaku, engkau keterlaluan sekali. Sudah dua hari
kami menunggu, mengapa engkau harus menunggu sampai larut malam...!"
menyela yang lainnya.
"Ini sudah tengah malam, Panjul!
Goblok banget sih elu...!"
"Ah, kalau sudah sakit begini, ngomong ngacopun tidak apa-apa...!"
Dalam pada itu, tiba-tiba
terdengar suara tawa mengekeh! Sesaat itu terdengar pula suara bentakan yang
menggeledak. "Hei... orang-orang sekarat!
Lebih baik kalian mati saja, kiranya Tabib gila itu tak mau menurut
perintah. Dia sudah kabur dari
sarangnya.... Tunggu apa kalian di situ?" Menciutlah semua orang yang hadir di
situ begitu mendengar suara bentakan yang terdengar begitu
mengancam. Lalu secara bersamaan
mereka menoleh ke arah datangnya
suara. Namun tak seorangpun terlihat di situ, hanya kegelapan malam dan
kabut tebal belaka adanya. Akhirnya mereka saling pandang sesamanya. Hati mereka
diliputi rasa was-was. Beberapa saat kemudian kembali terdengar suara tadi.
"Sayang sekali, kawanku dalam turun tangan hanya setengah-setengah.
Hal ini hanya memperpanjang
penderitaan kalian saja. Untuk itu aku akan membebaskan kalian dari
penderitaan yang menyakitkan ini...!"
Meskipun mereka dalam keadaan terluka dalam cukup menghawatirkan, namun
mendapat ancaman seperti itu, mereka yang terdiri dari berbagai golongan dan
berasal dari berbagai daerah pula, secara serentak bangkit. Walaupun tak
jarang di antaranya terjatuh
kembali. "Manusia setan dari manakah
engkau ini, ada suara tak ada rupa.
Kalau engkau benar-benar seorang
ksatria, tunjukkanlah tampangmu. Biar kami tak segan-segan mencincangmu...!"
teriak orang-orang itu nampak sangat marah sekali.
"Ha... ha... ha...! Nyawa sudah di atas tenggorokan, masih juga kalian berani
jual lagak!"
* * * 2

Pendekar Hina Kelana 8 Kembalinya Si Tangan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu salah seorang di
antara mereka yang baru saja memeriksa kamar Tabib Setan
Gila, dengan tergopoh-gopoh segera memberi laporan.
"Celaka! Tabib Setan Gila benar-benar tidak ada di dalam kamarnya...!"
ucapnya dengan wajah semakin memucat.
"Sudah kubilang, sebaiknya kalian memang mati saja...!" menyahuti si suara tadi.
Maka semakin bertambah gusarlah para pesakitan itu dibuatnya.
"Manusia setan! Siapakah engkau ini, datang-datang mau ingin bunuh saja. Apa
kesalahan kami...?" teriak salah seorang di antara mereka yang bertelanjang dada
ma-rah sekali. Si suara tertawa rawan.
"Kalau aku inginkan nyawa
seseorang, mengapa harus pakai
perhitungan salah benar. Kalau aku mau aku punya kekuatan untuk mencabuti nyawa
siapa saja, kalian bisa apa...?"
"Jahanam betul! Kau kira kami ini sebangsanya
pohon singkong, pakai
cabut seenaknya saja...!" Bersamaan dengan ucapannya itu, serentak yang lainlainnya segera mencabut senjata masing-masing.
"Hahaha... hahaha...! Mampu
berbuat apakah kalian dengan senjata-senjata yang tiada guna itu" Lebih baik
kalian gorok leher kalian sendiri demi mengakhiri penderitaan kalian."
kata si suara mencemooh.
"Ya... kami memang akan membunuh diri, tetapi itu baru kami lakukan setelah
menggorok lehermu terlebih
dulu...!" Belum lagi laki-laki bertelanjang baju itu usai dengan
kata-katanya, tiba-tiba satu rangkaian gelombang pukulan yang mengandung hawa
maut menjijikkan nampak melesat dari sebuah kerimbunan pohon. Pukulan yang
mengandung racun ganas itu terus
melesat sedemikian cepatnya ke arah orang-orang yang berada di ruangan pendopo.
Tanpa ampun lagi pukulan-pukulan berhawa maut itupun langsung melabrak orangorang di situ. Brak Blaam! Pekik kematian menggema di malam
yang sepi itu, tubuh mereka
berpelantingan ke segala arah, lantai
pendopo bobol berkeping-keping. Hanya beberapa orang saja di antara mereka yang
dapat menyelamatkan diri,
sedangkan mereka yang terkena
gelombang pukulan yang mematikan itu nampak tewas seketika itu juga. Tak
terbayangkan betapa murkanya sisa-sisa orang-orang pesakitan itu begitu
mengetahui kawan-kawannya yang lain tewas secara menyedihkan. Lalu ketika mereka
memeriksa keadaan mayat-mayat di sekitarnya, berubahlah paras mereka ini. Kalau
tadinya sisa-sisa pesakitan itu sudah bermaksud menyerang si
pembunuh keji yang kini masih tetap ngumpet di kegelapan malam. Maka kini mereka
mulai berfikir-fikir bagaimana caranya untuk dapat menyelamatkan
diri. "Kawan-kawan. Kiranya bangsat pembunuh itu tak lain si Tangan Setan adanya. Kita
tak mungkin dapat
mengalahkannya dalam keadaan begini.
Sedangkan dalam keadaan sehat saja kita tak mungkin mengalahkannya...!"
kata salah seorang di antara mereka saling berbisik.
"Ha... ha... ha... tikus-tikus malang. Terlanjur kalian mengetahui siapa adanya
aku ini. Untuk itu, aku
telah memilihkan jalan yang paling baik buat kalian berempat. Mampuslah
kalian...!" Bersamaan dengan ucapannya itu, maka manusia yang berjuluk si Tangan
Setan itu kembali kirimkan pukulan beruntun. Laksana kilat, pukulan yang
dilancarkan oleh si Tangan Setan menderu sedemikian cepatnya. Di lain pihak
meskipun sisa-sisa
orang pesakitan ini berusaha segenap
kemampuan untuk menghin-dari datangnya pukulan maut tersebut, tetapi pukulan
yang dilepas oleh si Tangan Setan
bukanlah sambarangan pukulan beracun.
Pukulan beracun raja Kobra yang
diyakininya selama ini, jangankan
sisa-saia pesakitan itu yang hanya memiliki tingkat kepandaian di bawah korbankorban terdahulunya. Sedangkan lebih dari sepuluh orang tokob sakti yang pernah
terlibat pertarungan
dengan dirinya saja tak satupun yang selamat dari jangkauan tangan mautnya.
Kini pukulan beracun yang
dilancarkan oleh si Tangan Setan terus melesat ke segala arah. Tanpa ampun lagi.
"Bummm!"
"Arrgghhk!" Empat orang sisa-sisa pesakitan itu terlolong-lolong. Tubuh mereka
berpelantingan ke berbagai
arah. Tubuh seketika itu juga membiru, sementara kedua tangan mereka menekan
pada bagian leher. Hanya beberapa saat saja tubuh orang-orang itu nampak
berkelojotan setelah itu terdiam untuk selama-lamanya. Dari kegelapan malam si
Tangan Setan memandang sesaat pada mayat-mayat yang berserakan itu.
Sepasang bibirnya menyunggingkan
senyum menggidikkan, tetapi beberapa saat kemudian bagai disapu angin
kencang, tubuhnya melesat sedemikian cepatnya. Seiring dengan derai
tawanya, yang kian menjauh. Seperti tak pernah terjadi suatu apapun pondok Tapis
Angin kembali sunyi sepi.
* * * Sambil terus mengayunkan langkah,
pemuda ini nampak berkata-kata seorang diri. Tiada kegembiraan yang terpancar
dari sepasang matanya yang setajam mata elang itu, tiada pula terlihat keceriaan
di wajahnya yang sangat
tampan. Wajahnya yang selalu membuat gadis jatuh cinta pagi ini nampak
murung sekali. Hatinya begitu sedih, seingatnya sudah beberapa tahun dia
meninggalkan gurunya Si Bangkotan Koreng Seribu. Sesungguhnya dia sudah begitu
rindu pada kakek tua yang
berusia hampir dua abad itu. Terkadang timbul keraguan dalam hatinya,
mungkinkah manusia aneh itu masih
hidup hingga saat ini, siapa pula yang merawatnya andai dia sakit. Sedangkan
sejauh itu dia tak mungkin kembali ke Tanjung Api untuk menjenguk orang yang
sejak bayi merah telah merawatnya, bahkan telah menjadikannya seorang pendekar
tiada tanding pembela
kebenaran. Si Bangkotan Koreng Seribu pasti tak menghendaki kehadirannya, selama
usahanya untuk mencari ayah kandungnya, yaitu si Raja Piton Utara yang kini
sedang melakukan tapa di tengah-tengah samudra luas. Teringat akan ayah
kandungnya, maka yang ada dalam fikirannya adalah gambaran
tentang sosok ular raksasa yang
mengerikan. Ganas dan buas! Lalu
pemuda penyandang periuk besar tak lain Pendekar
Hina Kelana nampak
bergumam seorang diri.
"Oh, nasib! Dilahirkan membawa mati emak. Diramalkan bakal
menimbulkan malalapetaka. Dibuang dan dipersoalkan. Hingga namaku Buang
Sengketa. Hidup sengsara siapa sangka.
Ayah seorang raja dari segala raja ular, tetapi yang mana satu di antara mereka.
Begitu sulit untuk menemukan ayah, pula mengapa harus menghukum diri sedemikian
rupa...!" Mendadak si pemuda hentikan kata-katanya ketika dia mendengar suarasuara bentakan jauh di belakangnya. Begitu dia
menoleh ke belakang dia melibat satu titik putih. nampak ber-gerak begitu
cepatnya, sementara beberapa titik ini nampak mengejar di belakangnya.
Pendekar Hina Kelana kerutkan
wajah, dia tak tahu apa yang sedang terjadi dengan mereka. Kejar-kejaran pun
terus berlangsung, semakin lama semakin mendekat ke arah tempat di mana Buang
Sengketa berada. Cepat-cepat pemuda dari Negeri Bunian itu menyelinap di balik
sebatang pohon yang rimbun. Setelah orang-orang itu mendekat, tahulah pendekar
ini bahwa titik putih yang dikejar-kejar oleh titik biru tak lain adalah seorang
wanita yang sudah terluka parah. Dari wajah empat orang laki-laki yang
berpakaian biru-biru terlihat dengan
jelas bahwa orang-orang itu bernafsu sekali untuk membunuh gadis berpakaian
putih. Dalam waktu sekejap saja gadis
yang sudah nampak terluka itu tersusul oleh pengejarnya. Gadis itu berbalik
langkah, serentak para pengejarnya mengurung pula. Karena jarak antara mereka
dengan tempat persembunyian Buang Sengketa tidak begitu jauh. Maka dengan jelas
dia dapat mendengar
segala apa yang mereka katakan.
"Perempuan sinting! Setelah
membawa lari muridku, kini hendak lari ke manakah engkau...!" bentak laki-laki
setengah baya yang bernama Wimba nampak marah sekali. Gadis yang tak lain Winda
Murti itu nampak tersenyum sedih begitu mendengar tuduhan guru kekasihnya yang
telah tewas dalam
perjalanan menuju Lembah Tapis Angin.
Tetapi kini maksud baiknya malah
diartikan lain oleh laki-laki dari Trengganu ini. Diam-diam gadis ini mengeluh,
dia menganggap Wimba yang sudah cukup umur itu tak pernah
berpandangan luas dalam menyelesaikan suatu persoalan. Kalaupun gurunya
Nilasari dulunya merupakan musuh
bebuyutan Wimba, tetapi bukankah
gurunya yang pernah berhutang darah pada laki-laki dari Terengganu itu, kini
telah menebus segala dosa-dosanya" Apakah setiap murid seorang sesat, lalu
muridnya harus mendapat julukan pewaris kesesatan pula" Hal ini tidak adil,
sebab seingat gadis itu, selama ini dia tak pernah
mengikuti jejak dan cara hidup gurunya bahkan Nilasari yang menjadi gurunya
sebelum tewas di tangan Wimba sering memberi petunjuk padanya agar dia
jangan sampai mengikuti jejaknya.
Padahal Wimba sendiripun tahu kalau antara Kunta dan dirinya sudah lama saling
mencinta. "Paman guru. Tak pernah aku
berniat melarikan kakang Kunta, kami sudah sama-sama sepakat untuk menuju Lembah
Tapis Angin untuk menemui Setan Gila. Tetapi, luka dalam akibat
pukulan beracun si Tangan Setan
nampaknya sangat parah sekali,
sehingga seperti paman ketahui, kakang Kunta tewas dalam perjalanan...!"
ujar Winda Murti nampak sangat berduka sekali.
"Dia hohong guru, kami bertiga merasa sangat yakin. Ketika guru
pergi, bocah ini-ah yang telah
menyelinap ke dalam kamar Adi Kunta, kemudian memukulnya dengan pukulan yang
keji...!" ucap salah seorang murid Wimba. Dituduh seperti itu Winda Murti nampak
sangat marah sekali!
"Kakang Anom Kendor, engkau
jangan coba-coba memfitnahku.
Bagaimana mungkin aku tega melakukan pukulan keji itu sedangkan sama-sama saling
mencinta...?" bantah Winda Murti setengah menjerit. Mendengar ucapan si gadis.
Wimba nampak tergelak-gelak.
"Engkau masih mau mengelak juga murid manusia sesat. Padahal muridku yang
lainnya sempat mengetahui bahwa engkau di dalam kamar Kunta, saat dia menjeritjerit karena pukulan beracun itu. Apakah engkau juga masih mau
mengelak bahwa sesungguhnya engkaulah si Tangan Setan itu...!" bentak laki-laki
setengah baya itu penuh
kebencian. "Paman. Sungguh aku tak pernah melakukannya!"
"Kalau bukan engkau siapa
lagi..,?" tanya Wimba tak sabar.
"Aku tak tahu, tetapi aku sempat melihat berkelebatnya seseorang dari balik
sebuah pintu...!" Laki-laki dari
Trengganu itu kerutkan kening,
dipandanginya wajah si gadis lekat-lekat. Kembali dia menyela.
"Mustahil engkau tidak dapat
mengenalinya, jangan coba-coba
mempersulit keadaanmu sendiri...!"
"Aku tak dapat melihat wajahnya.
Orang itu menutupi seluruh mukanya dengan selubung kain hitam...!" kata gadis
itu, kini mulai menangis sedih.
Untuk beberapa saat lamanya keempat orang itu saling pandang sesamanya.
Lalu Anom Kendor sebagai murid tertua nampak melangkah beberapa tindak,
beberapa kali dia membungkuk hormat pada laki-laki setengah umur itu.
"Guru dia hanya berbohong. Murid seorang sesat mana ada yang jujur, sudah
terang-terangan dia yang
membunuh adik Kunta. Tetapi dia masih juga mengelak...!"
"Hmm. Kalau kalian tidak percaya pada apa yang kukatakan ini, supaya kalian puas
berbuatlah apa saja yang kalian ingini, tetapi ingat meskipun ilmu kepandaian
kalian sebanyak buih di lautan. Jangan kalian kira aku akan berpangku tangan
begitu saja. Aku tak akan tinggal diam, majulah kalian
beramai-ramai...!" tukas Winda Murti marah sekali.
"Bocah sinting. Gurumu sendiri menghadapi aku seorang saja tak pernah unggul,
jangankan kini engkau hanya muridnya...!" kata Wimba mencemooh.
"Guru. Membasmi bibit penyakit tak usah kepalang tanggung, kita
cincang saja murid manusia sesat
ini...!" Menyela Anom Kendor sudah tidak sabaran lagi.
"He., he., ho., ho...! Betui, tunggu apa lagi. Masakan aku yang
sudah bangkotan ini yang harus
mengeprak bocah itu...?" Bukan main gembiranya murid-murid Wimba begitu mendapat
perintah dari gurunya, secara langsung. Orang-orang inipun segera mencabut
senjata mereka masing-masing.
Walaupun Winda Murti tubuhnya sudah banyak yang terluka, tetapi dia tidak
tinggal diam begitu saja. Kini dengan sebuah kipas di tangannya, gadis ini mulai
membuka jurus-jurus simpanannya.
Dalam waktu sekejap ketiga orang murid dari Wimba telah menyerang si gadis
dengan senjata terhunus. Meskipun
Winda Murti hanyalah seorang gadis dan ilmu kepandaian silatnya dua tingkat di
bawah murid-murid dari Trengganu,
tetapi dia nampak begitu gigih dalam melakukan perlawanan. Hingga
pertarungan tak seimbang itupun
akhirnya berlangsung cukup seru.
Sementara itu, Pendekar Hina
Kelana yang sejak tadi mendengar
pertengkaran mulut antara si gadis dan Wimba, nampaknya dia sudah mengerti duduk
persoalannya. * * * 3 Semua itu terjadi hanya karena
perselisihan paham semata. Tetapi dia agak heran juga dengan adanya disebutsebut si Tangan Setan. Selama hampir dua hari dia melakukan perjalanan ke
Tenggara, hampir sepanjang perjalanan dia mendengar orang-orang bercerita
tentang kehadiran manusia iblis, yang membuat resah hati orang banyak. Kalau
kini dia mendengar hal yang sama pula dari orang-orang yang berkepandaian silat
tinggi sudah barang tentu dia ingin mengetahuinya lebih banyak lagi dari orangorang yang sedang bertempur
itu. Secara diam-diam dia mulai
mencari celah terbaik untuk
menghentikan pertarungan yang sangat tidak seimbang itu. Pada saat itu
Winda Murti sudah nampak sangat
terdesak sekali, berulang kali senjata di tangan lawan-lawannya nyaris
melukai bagian leher dan perutnya.
Namun dengan mengerahkan segenap
kemampuannya sejauh itu dia masih
dapat menghindari serangan-serangan yang dilancarkan lawan-lawannya. Satu saat,


Pendekar Hina Kelana 8 Kembalinya Si Tangan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murid-murid dari Terengganu ini nampak menyerang secara berbarengan.
Senjata mereka yang berupa pedang
bermata dua itu, langsung menderu dan timbulkan suara bercuitan. Satu
rangkaian serangan yang sangat
berbahaya datang pula dari Anom
Kendor. Menghadapi serangan yang
sedemikian gencar dari empat arah
sekaligus, Winda Murti langsung
kiblatkan kipasnya ke segala arah.
Maka bentrokan senjatapun tak dapat dihindari lagi.
"Traang! Praak!"
Winda Murti dalam keterkejutannya
lompat mengempos tubuhnyaj hingga
melesat ke udara. Sementara kipas di
.tangannya nampak hancur berkepingkeping. Paras si gadis yang sudah
dipenuhi dengan luka itu nampak
semakin memucat. Dan baru saja dia menginjakkan kakinya di atas permukaan tanah,
keenrpat murid-murid Winda itu sudah mencecar kembali dengan
serangan-serangan yang lebih gencar.
Bagai harimau betina sedang
terluka, gadis murid seorang wanita sesat namun dalam sejarah hidupnya belum
pernah melakukah kejahatan ini nampak mengamuk tanpa mengenal takut sama sekali.
Di lain pihak, Wimba yang sejak tadi nampak memperhatikan
jalannya pertarungan agaknya sudah tak sabar lagi melihat pekerjaan muridmuridnya yang dalam penilaiannya sangat lamban sekali. Maka sambil
melompat ke tengah-tengah pertarungan, diapun berseru lantang.
"Mundur semua, anak-anak tak
becus apa-apa. Dasar murid-murid
guoblok. Mencincang tikus sesat yang sudah terluka saja kalian tak bisa apaapa...!" bentaknya dengan marah sekali.
"Murid-muridmu memang tolol,
manusia sempit pandangan. Sekarang engkau yang sudah bangkotan dan sangat picik
dalam menilai seseorang majulah.
Aku tak pernah takut menghadapi
kematian...!" menyela gadis itu dengan sesungging senyum yang sangat di
paksakan. "Bagus! Memang engkau pantasnya cepat-cepat menyusul gurumu ke liang kubur saat
ini juga...!"
"Tua dungu. Jangan banyak bicara, cepat-cepatlah laksanakan
keinginanmu...!"
"Ha... ha... ha...! Dengan
pukulan Prahara Samudra, aku jadi ingin menyaksikan betapa tubuhmu yang bagus
itu akan hancur berkeping-keping...!" kata Wimba. Lalu bersamaan dengan
ucapannya itu. Laki-laki setengah baya itu rangakapkan kedua
tangannya di depan dada. Wimba cepat-cepat mengerahkan sebagian tenaga
saktinya,ke bagian tangannya. Beberapa saat lamanya tubuh laki-laki itu
nampak bergetar hebat. Kemudian dari kedua tangannya yang melekat erat itu,
mengepul pula kabut tipis berwarna putih. Sadarlah Winda Murti kalau Wimba
benar-benar menghendaki nyawanya.
Gadis itu sadar bahwa dia tak mungkin menghindar dari tangan maut, meskipun
begitu sedapatnya dia berusaha
menghindari pukulan yang akan
dilancarkan oleh laki-laki dari
Trengganu. Atau kalau sudah tidak
mungkin lagi dia akan mengadu jiwa dengan guru dari almarhum Kunta.
Beberapa saat kemudian Wimba sudah nampak bersiap-siap melancarkan
pukulan mautnya. Lalu dengan diawali dengan satu bentakan yang menggelegar,
tubuhnya nampak berkelebat sedemikian cepatnya.
Haitt! Satu sapuan gelombang pukulan
yang teramat dingin menderu mengarah pada Winda Murti. Gadis itu nampak
terperangah, sedikitpun dia tiada
menyangka kalau pukulan yang
dilancarkan oleh Wimba, sampai
sedahsyat itu. Memapaki datangnya
pukulan baginya sangat tidak mungkin lagi. Dia menyadari kalau dia tak
mungkin dapat unggul dalam adu tenaga dalam. Jalan satu-satunya sangat
memungkinkan adalah mengelak atau
menghindar. Maka!
"Wuaaa! Tubuh si gadis melentik dan
membubung empat meter di atas tanah, namun seperti bermata saja pukulan yang
dilepas oleh Wimba nampak
mengejarnya ke manapun dia berusaha
menghindar. Si gadis terluka itu
nampak kalang kabut menghindari
sergapan Prahara Samudra yang berhawa sangat dingin itu. Tertawalah murid-murid
Wimba demi menyaksikan dengan yang sangat mendebarkan itu.
Sementara itu di tempat
persembunyiannya, Pendekar Hina Kelana sudah nampak tak tega lagi melihat
keadaan si gadis. Lalu tanpa banyak fikir lagi, pemuda itupun secara lebih cepat
lagi segera gerakkan tangan
kananya. Selarik sinar Ultra Violet nampak bergulung-gulung dan timbulkan angin
ribut. Dengan cepat bagaikan kilat. Pukulan Empat Anasir Kehidupan yang dilepas
oleh si pemuda menderu mamapasi, gelombang pukulan Prahara Samudra yang berhawa
sangat dingin itu. Lalu beradunya dua kekuatan sakti itupun sudah tak dapat di
hindari lagi. "Blamm!"
Pukulan Empat Anasir Kehidupan
terus menderu dan nampak menggulung sinar putih Prahara Samudra milik
Wimba. Dua pukulan ini terus membalik dan menyerang laki-laki dari Trengganu itu
dengan sangat hebat sekali.
Menyadari bahaya yang sedang mengancam
jiwanya, Wimba nampak mengelak
tunggang langgang.
Braak! Empat Anasir Kehidupan dan
Prahara Samudra menghantam pohon besar yang terdapat di belakang laki-laki dari
Terengganu. Wimba nampak mencaci maki habis-habisan, wajahnya nampak pucat pasi.
Begitupun dengan empat orang muridnya yang nampak berdiri tidak begitu jauh
darinya. Mereka
benar-benar merasa sangat heran
bagaimana mungkin pukulan yang dilepas oleh gurunya yang terkenal sangat
ampuh dan belum ada tandingannya di bagian Tenggara, bisa berbalik seperti itu.
Diam-diam mereka sangat penasaran sekali. Dalam pada itu, Wimba yang merasa ada
orang lain turut campur dalam perpoalan pribadinya, nampak tidak senang. Secara
perlahan dia menoleh. Dia merasa sangat terkejut begitu tiba-tiba di hadapannya telah berdiri
seorang pemuda berwajah
tampan, namun berpakaian kumal.
Begitupun halnya yang terjadi dengan Winda Murti.
"Bocah gembel berperiuk! Siapakah engkau ini, lancang sekali perbuatanmu telah
begitu berani mencampuri urusan
orang lain...!" hardik Wimba dengan pandangan melotot. Dibentak seperti itu,
putra raja ular inipun tersenyum rawan.
"Bukannya aku suka usil dengan
urusan orang lain. Tetapi pantang
bagiku melihat ketidakadilan di depan hidungku...!" menyela pendekar ini dengan
sikap kurang senang.
"Gembel sombong. Dengan
kepandaian yang hanya setahi kuku itu, kau kira bisa jual lagak di
depanku...!"
Kesal sakali Buang Sengketa
mendengar kata-kata Wimba yang
memuakkan itu. Lalu pemuda itupun
berkata tegas. "Orang tua keriputan. Bicaramu membuat mual perutku, sebagai orang persilatan
yang mengaku banyak memakan asam garam pengalaman. Ternyata otakmu tidak lebih
dari otak udang. Sudah ketabuan gadis itu tidak bersalah, mengapa engkau malah
hendak membunuhnya...?"
Di hina sedemikian rupa oleh
seorang pemuda berpakaian gembel,
sudah barang tentu Anom Kendor dan murid yang lainnya 'ak mau terima dan sangat
marah sekali. Bagaimana tidak,
Wimba adalah seorang guru yang paling mereka hormati selama ini. Kalau kini ada
seorang pemuda gembel telah begitu berani menghina orang yang begitu
mereka hormati, masakan sebagai murid mereka hanya berpangku tangan. Beberapa
saat kemudian Anom Kendor
sebagai murid tertua langsung menyela.
"Sial betul engkau ini bocah.
Engkau tak tahu persoalan yang
sebenarnya, tapi sebelum engkau
mampus, ada baiknya kalau kau tahu bahwa gadis yang kau selamatkan itu telah
membunuh adik seperguruan
kami;..!" bentak Anom Kendor sangat gusarnya.
"Ha... ha... ha...! Manusia kurus cacingan, engkau ini malah lebih tolol lagi
dari gurumu. Mana ada di dunia ini seorang manusia telah begitu tega membunuh
kekasihnya...!" Tanpa berkata-kata lagi, Anom Kendor dengan pedang terhunus
bermaksud menyerang si pemuda. Masih untung Wimba yang
agaknya mengetahui bagaimana hebatnya pemuda itu segera mencegah muridnya.
Kalau tidak, sudah barang tentu berakibat sangat fatal.
"Anom Kendor, tahan
keinginanmu...!" Bentak laki-laki itu.
Anom Kendor yang berbadan kurus macam jerangkong hidup itu nampak
mengurungkan niatnya. Walau
sesungguhnya hatinya jengkel sekali.
"Bocah, di antara kita tidak
punya persoalan
apapun. Aku mau
mengampuni jiwamu asal saja cepatcepat engkau tinggalkan tempat
ini...!" "He... he... he! Aku memang mau pergi, tetapi harus bersama dengan gadis itu.
Sebab aku tahu, kalau gadis itu kutinggalkan di tempat ini kalian sudah pasti
akan membunuhnya...!" kata Pendekar Hina Kelana seperti pada
dirinya sendiri.
"Orang ini benar-benar cari
mampus. Dia sengaja cari gara-gara dengan kita!" Anom Kendor nampak sangat tidak
senang sekali dengan apa yang baru saja dikatakan oleh si
pemuda. "Bocah, jadi engkau benar-benar tak mau memenuhi keinginan kami. He...
he... he... jangan kira engkau dapat begitu saja membawa gadis yang telah banyak
bikin kesulitan pada kami. Dia telah membunuh muridku, untuk itu dia harus
membayar hutang nyawa...."
"Dia bohong! Aku tidak pernah membunuh kakang Kunta...!" Winda Murti yang sedari
tadi hanya diam saja kini mulai menyela. Sesaat lamanya Pendekar Hina Kelana
memandang pada gadis itu, kemudian perhatiannya kembali tertuju pada Wimba.
"Orang tua, tanpa gadis itu turut bersamaku. Aku tak bisa memenuhi
keinginanmu itu...!"
"Bangsat! Kiranya engkau
bermaksud cabul dengan gadis itu.
Kalau begitu akan kubunuh engkau
terlebih dulu, setelah itu aku dengan leluasa membunuh murid manusia sesat
Nilasari...!"
"Guru. Jangan-jangan budak inilah manusianya yang berjuluk si Tangan Setan
itu...!" "Iya guru. Mungkin inilah
bangsatnya si Tangan Setan itu."
menimpali murid-murid yang lainnya.
Bukan main terkejutnya hati pemuda dari Negeri Bunian ini begitu mendengar
tuduhan yang tidak beralasan sama sekali. Tanpa sadar, wajahnya kelihatan
berubah memerah menahan
kemarahan yang bagai mengguncangkan syarat otaknya. Geraham berkerokotan, kedua
bibirnya nampak terkatup rapat.
Hanya sesaat saja tubuhnya nampak
menggigil dan menegang. Lalu diapun berseru lantang.
"Setan-setan menjijikkan, kalian benar-benar sangat keterlaluan sekali.
Selamanya aku si Hina Kelana tidak pernah turun tangan secara
sembarangan. Tetapi hari ini sikap kalian yang sangat keterlaluan benar-benar
telah menghabiskan
kesabaranku...!" teriak Buang Sengket kalap.
"He... he... he., engkau bisa berbuat apa bocah?" ejek Wimba. Seraya segera
memberi isyarat pada keempat orang muridnya. Secara serentak,
keempat orang itu segera mengurung Pendekar Hina Kelana. Semakin
bertambah marahlah pendekar ini
dibuatnya. Kemudian seiring dengan datangnya serangan murid-murid Wimba yang
datangnya secara mendadak itu.
Pendekar Hina Kelana
secepatnya mengerahkan ilmu Pemenggal Roh. Satu lengkingan mengglegar terdengar.
"Haaiikkhgg!" Bumi serasa dilanda gempa yang sangat hebat, daun-daun hijau pun
luruh berjatuhan ke bumi.
Beberapa orang penyerangnya nampak berpentalan ke berbagai arah. Dari
telinga mereka mengalirkan darah
kental. Seandainya saja pendekar ini punya niat untuk membunuh orang-orang ini
sudah barang tentu hanya menambah sedikit tenaga sakti dalam lengkingan Ilmu
Pemenggal Roh tadi, pastilah
lawan-lawannya saat ini sudah terkapar dengan jiwa melayang. Tetapi walaupun
pendekar ini tidak punya keinginan menghabisi lawan-lawannya. Tetap saja
lengkingan Ilmu Pemenggal Roh
berakibat tidak lebih baik dari sebuah kematian. Sebab dengan rusaknya
gendang-gendang telinga mereka. Sudah barang tentu mereka ini akan menjadi orang
tuli seumur hidup.
Wajah Wimba nampak pucat sekali
begitu melihat apa yang tak pernah disangka-sangkanya itu terjadi begitu cepat.
Sampai-sampai dia sendiri
hampir dibuat tak percaya. Pemuda ini memiliki kemampuan di luar dugaannya.
Masih begitu muda, tetapi bukan saja sudah memiliki tenaga dalam beberapa
tingkat di atasnya, tetapi juga
memiliki ilmu lain yang sangat langka, bahkan tak pernah ada di bagian
Tenggara. Siapakah pemuda berpakaian gembel ini, dari manakah asal usulnya"
Ucapnya dalam hati. Sementara itu
Pendekar Hina Kelana kini secara
perlahan telah membuka matanya
kembali. Dengan nanar, dipandanginya guru dan murid itu satu demi satu.
Satu seringai maut menyungging
dibibirnya. Tetapi agaknya Wimba, kini setelah mengetahui kehebatan si pemuda,
tiba-tiba saja telah berubah pendirian. Lalu dengan sangat berhati-hati dia
bertanya: "Orang muda, sesungguhnya siapkah engkau ini, dari mana asal usulmu dan siapa
pula gurumu...?"
"Bukankah engkau tadi mau
membunuhku" Mengapa perlu tahu asal usul segala...?" Si pemuda balik bertanya.
"Mengingat di antara kita tak pernah ada permusuhan, maka aku
menyudahi persoalan sampai di sini saja...!" ujar Wimba pelan. Buang Sengketa
nampak tercengang beberapa saat lamanya, tetapi kemudian dia


Pendekar Hina Kelana 8 Kembalinya Si Tangan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera bertanya.
"Apakah engkau juga akan
membiarkan gadis itu pergi bersamaku, orang tua...?"
"Benar. Asalkan engkau mau
mengatakan padaku tentang siapa adanya engkau ini yang sebenarnya...!"
Mendengar keputusan gurunya,
agak-ya Anom Kendor kurang begitu
senang. Maka diapun menyela: "Guru.
Mengapa guru malah membebaskan gadis setan itu dengan pemuda ini...?" tanya
laki-laki kurus cacingan itu sangat penasaran sekali.
"Diam. Ini keputusanku...."
bantah Wimba tegas. Anom Kendor
menjadi ciut nyalinya, untuk itu
begitu gurunya membentak dia langsung tutup mulut.
"Baiklah orang tua, aku merasa patut berterima kasih atas kebaikanmu.
Lebih dari itu, sesungguhnya tentang asal usulku sendiri, rasanya tidak ada yang
menarik untuk kuceritakan...."
"Apapun alasanmu, aku mau tahu siapakah sesungguhnya dirimu. Pukulan Empat
Anasir Kehidupan, dulu hanya merupakan cerita ratusan tahun yang kudengar dari
mulut ke mulut. Tetapi siapa sangka hari ini cerita yang
telah melegenda itu, aku melihatnya sendiri...!" kata Wimba begitu tiba-tiba.
Dan tentu saja hal itu membuat Pendekar Hina Kelana terkejut bukan main. Sama
sekali dia tak pernah
menyangka kalau laki-laki dari
Terengganu itu bisa mengetahui pukulan
yang baru saja dia lepaskan tadi. Maka diapun langsung menjura hormat!
"Sungguh jeli sekali matamu,
maafkan atas kekurang ajaran sikapku tadi. Sungguh aku tak punya maksud untuk
pamer segala pukulan picisan di depanmu...!" ucap Pendekar Hina Kelana penuh
penyesalan. Melihat tingkah si pemuda yang tiba-tiba saja berubah sopan, tahulah
laki-laki ini bahwa sesungguhnya pemuda yang rendah hati itu merupakan seorang
pendekar yang sangat tangguh.
"Engkau terlalu berlebihan. Siapa bilang Ilmu Pemenggal Roh merupakan ilmu
picisan. Bukankah engkau ini
muridnya si Bangkotan Koreng Seribu yang namanya saja selama ratusan tahun masih
tetap melegenda hingga sampai saat ini!" kejut dihati pendekar ini bukan alang
kepalang, sebegitu
hebatkah kebesaran gurunya hingga
namanya tetap dikenang dan diingat di seantoro penjuru mata angin. Begitupun
tiada sedikit rasa bangga di hati si pemuda, sebaliknya dia malah berkata:
"Orang tua, engkau mengetahui begitu banyak tentang si Bangkotan Koreng Seribu.
Apakah dia masih punya hubungan darah denganmu...?"
"Oho... tidak. Tetapi Eyang guru kami dulunya merupakan sahabat karib dari kakek
sakti mendraguna itu...
Bahkan sebelum beliau meninggal empat puluh tahun yang lalu dia bercerita banyak
tentang Kakek Bangkotan Koreng Seribu, si manusia pembela kebenaran tersebut,"
kata Wimba, seperti mencoba mengingat-ingat kejadian puluhan tahun yang telah
silam. Legalah hati
pendekar Hina Kelana begitu mendengar pengakuan laki-laki dari Trengganu itu.
Kini dia merasa tak ragu lagi untuk mencoba cari tahu tentang
kehadiran si Tangan Setan.
"Kalau begitu aku pantas
memanggilmu paman, sebab ternyata kita masih merupakan orang-orang
sendiri...!" desah pemuda ini, lalu membungkuk hormat tiga kali.
"Jadi benarkah engkau ini
muridnya kakek sakti itu...?" tanya Wimba nampak kegirangan.
"Benar orang tua... eh... paman Wimba. Namaku Buang Sengketa, Kakek Bangkotan
Koreng Seribu memang guruku sekaligus merupakan orang tua
angkatku...!"
Mendengar jawaban si pemuda,
tiba-tiba Wimba menoleh pada murid-muridnya, lalu pada Winda Murti pula.
"Kalian semua cepatlah beri
hormat pada Buang Sengketa, selain itu kalian juga harus minta maaf
padanya...!" perintah Wimba pada murid-muridnya. Tanpa menunggu
diperintah dua kali, keempat orang inipun langsung membungkukkan
badannya, begitupun halnya dengan
Winda Murti. Lalu, murid Wimba secara serentak berucap.
"Maafkan kami pendekar! Kami
memang benar-benar tolol tak tahu
diri...!" kata mereka hampir
bersamaan. Mendapat perlakuan seperti itu, pemuda ini jadi salah tingkah.
Kemudian dengan terburu-buru dia
berkata. "Ah, sudahlah. Semua itu hanya kesalahpahaman belaka, lupakanlah."
Dalam pada itu Wimba sudah menyela kembali!
"Pendekar... beruntung sekali kami dapat bertemu dengan murid tokoh sakti
seperti gurumu itu. Oh, ya
bagaimana keadaan gurumu, apakah
beliau masih hidup hingga sampai saat ini... ee... maksudku apakah beliau
dalam keadaan sehat-sehat saja...?"
Pendekar Hina Kelana nampak tersenyum-senyum, lalu dengan ramah pula dia
menjawab. "Guruku dalam keadaan sehat-sehat saja hingga sampai saat ini!" jawab si pemuda.
"Syukurlah, kami tentu sangat
.senang mendengarnya, lebih dari itu kami sudah merasa sangat beruntung bertemu
dengan muridnya...!"
"Paman Wimba, aku ingin
mengajukan beberapa pertanyaan. Semoga anda tidak keberatan untuk
menjawabnya!" kata si pemuda mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Oho, katakan saja, seandainya aku tahu sudah pasti dengan sangat senang hati
aku akan menjawabnya...!"
jawab Wimba, seraya tersenyum-senyum.
"Begini paman.Wimba... dalam
perjalanan menuju ke Tenggara ini, aku sering mendengar orang-orang pada
membicarakan adanya si Tangan Setan.
Bahkan barusan paman ada menyinggung-nyinggung adanya manusia penyebar maut
tersebut. Dapatkah paman ceritakan siapakah adanya orang ini, dan apa alasannya
sehingga orang itu sampai menyebar onar di mana-mana...?"
Mendapat pertanyaan seperti itu,
untuk beberap saat
lamanya dia terdiam. Sepasang matanya yang nampak cekung dan penuh gurat-gurat umur
nampak semakin menyipit. Namun pada akhirnya diapun berkata:
"Hemm. Sesungguhnya aku sendiri secara pasti tidak tahu, siapa adanya orang itu.
Setahun belakangan dia
melakukan pembunuhan secara membabi buta. Pukulan beracun yang dia miliki, tak
seorangpun yang dapat menahannya.
Atau bahkan mungkin sudah ratusan
orang telah menjadi korbannya, tak seorangpun tokoh kelas satu yang mampu
menghentikan segala sepak terjang
manusia setan itu...!" kata Wimba begitu lirihnya. Lalu tanpa diminta diapun
menyambung kembali.
"Setiap orang kini saling curiga mencurigai, seperti yang tadi engkau lihat dan
tanpa kehadiranmu mungking gadis itu telah tewas tanpa kesalahan yang pasti.
Oh... betapa bodohnya aku ini,. kematian Kunta dan beberapa
orang muridku yang lain membuat aku hampir gelap mata...!" desah laki-laki dari
Trengganu itu sangat sedih, lalu tanpa disadarinya air matanya menetes.
"Paman Wimba... sudahlah, aku
bisa memahami perasaanmu. Percayalah padaku, cepat atau lambat aku akan
meringkus manusia keji itu!"
"Benarkah engkau akan mencari orang itu...?" tanya Wimba hampir berteriak
kegirangan. Pendekar Hina Kelana mengangguk mantap.
"Sebatas yang aku mampu
Paman...!"
"Seperti Kakek Bangkotan Koreng Seribu, nampaknya sebagai seorang
murid engkau benar-benar telah
mewarisi segala apa yang pernah
dimilikinya. Sungguh mulia sekali
hatimu, nak,..!" kata Wimba terharu.
Pemuda dari Negeri Bunian itu nampak tersenyum-senyum.
"Ada satu yang tak pernah tak ingin kumiliki darinya, Paman...."
ucapnya masih tetap dengan senyumnya.
"Apa itu?"
"Aku tak pernah ingin mewarisi korengnya yang tak pernah kunjung
sembuh itu." kata Buang Sengketa geli sendiri. Dan untuk pertama kalinya, pemuda
ini melihat Wimba tertawa
tergelak-gelak.
"Engkau ini ada-ada saja orang muda. Tak baik menceritakan kekurangan guru
sendiri." "Ha... ha... ha! Sesungguhnya aku cuma ingin mengingatkan bahwa tak ada menusia
di atas dunia ini yang
sempurna...!"
"Engkau benar, tetapi sepenuhnya aku tetap percaya akan kemampuanmu. Oh ya,
apakah engkau tidak berniat
berkunjung kepondok kami?" tanya Wimba setelah beberapa saat lamanya nampak
terdiam. "Rasa-rasanya untuk sekarang ini tidak, Paman. Tetapi apabila urusah ini telah
selesai, tentu aku akan
datang ke sana."
"Hmm. Benar juga! Sebagai orang tua aku hanya mendoakan, semoga apa yang menjadi
tanggung jawabmu dapat engkau selesaikan dengan baik...!"
"Terima kasih paman!" Kata Pendekar Hina Kelana.lalu diapun
menjura beberapa kali. Tak lama
setelah itu, maka dengan disertai Winda Murti. Meka pemuda itupun
kembali melanjutkan perjalanan.
* * * Desau angin di senja yang resik,
nampak mengibarkan anak-anak rambutnya yang dibiarkan tergerai sebatas bahu.
Gadis manis berkulit kuning langsat itu memang tampak cantik mempesona.
Apalagi kini dia menanggalkan topeng penyamarannya sebagai seorang laki-laki
yang sangat keji. Kini gadis yang bernama Hning Ksaban itu nampak terus
melangkah dengan tenangnya
meninggalkah Lembah Tapis Angin.
Berjalan seorang diri, nampaknya gadis berwajah cantik mempesona itu tidak
mengenal rasa takut sedikitpun, kalau-kalau ada orang yang bermaksud jahat
terhadap dirinya. Padahal di senja itu dia nampak sedang menelusuri pinggiran
hutan. Di Lembah Tapis Angin atau di wilayah Trengganu dan bahkan di daerah
bagian Tenggara lainnya. Tak seorang pun yang mengenal siapa gadis montok ini,
jangankan lagi tentang asal usulnya. Tetapi apabila orang mau mengingat kejadian
sembilan belas tahun yang lalu. Sudah barang pasti mereka akan dibuat terbelalak tak
percaya. Masih lekat dalam ingatan gadis itu, ketika dia masih borumur tiga
tahun. Betapa pedih hatinya bila
teringat malapetaka yang telah menimpa keluarganya.
Dia sadar, semua itu terjadi
akibat fitnah dari segelintir golongan yang tidak menyukai ayahnya terpilih
menjadi Adipati Trengganu. Sebab
menurut kebiasaan di daerah itu,
menjadi satu pantangan bagi seorang pendatang menjabat satu kedudukan
penting dalam wilayah kekuasaan Istana Giling Wesi. Apapun keputusan sang raja,
namun tanpa sepengetahuannya.
Sewaktu-waktu pemberontak dapat
meletus sebagai akibat rasa ketidak senangan mereka terhadap Adipati yang baru.
Dan Panji Paksi yang
sesungguhnya.seorang pendekar
persilatan berhati luhur. Sebagai
seorang pendekar di daerah Trengganu dia telah menunjukkan sifat-sifat yang
arif. Agaknya sang raja menaruh
simpati padanya. Maka tak salah kalau dalam pemilihan Adipati yang baru dia
terpilih menjadi Adipati di daerah Trengganu. Kiranya nama baik yang
terangkat tidak selamanya menjanjikan kebahagiaan. Giris Rawa, sebagai
Adipati lama merasa kurang puas dengan keputusan sang raja. Kemudian mengutus
orang-orang ke-percayaannya untuk
menghasut penduduk setempat. Maka
malam yang naas itupun tak dapat
terelakkan lagi. Bersama Giris Rawa, rakyat memberontak, kemudian secara
beramai-ramai mereka mengepung tempat kediaman Panji Paksi. Sedapatnya
Adipati yang baru itu bertahan mati-matian. Tetapi apa daya. Giris Rawa dan para
pembantunya adalah tokoh
persilatan juga, ditambah
dengan bantuan rakyat yang jumlahnya mencapai ratusan. Sudah barang tentu pada
akhirnya Panji Paksi tewas di tangan rakyat. Lebih dari itu yang membuat dendam
si gadis terus berkobar-kobar bahkan bersumpah untuk membumi
hanguskan Trengganu adalah karena
kebiadaban Giris Rawa yang telah
memperkosa ibu kandungnya di depan batang hidungnya. Masih segar dalam ingatan
gadis itu, bagaimana ibunya merintih-rintih, bahkah menjerit-jerit ampun. Tetapi
pada saat itu Giris Rawa dan orang-orangnya tiada pernah
perduli. Bahkan secara bergantian
mereka terus melampiaskan nafsu
binatangnya. Hingga ibunya tewas
seketika itu juga.
* * * 5 Kejadian yang sangat menyakitkan
itu berlangsung begitu cepat. Giris Rawa dan para ponduduk setempat
membakar habis rumah kediaman Panji Paksi. Masih untung pada saat yang kritis
itu seorang kakek tua telah menyelamatkan jiwanya. Hingga sampai belasan tahun
telah merawat dan
mendidiknya dengan berbagai ilmu sakti yang yang tiada tanding. Dan kini
Hning Ksaban telah kembali! Menjadi seorang gadis tangguh yang selama
hampir setahun telah membuat gempar seantoro penjuru mata angin. Siapa lagi
gadis berwajah cantik namun
dingin ini" Dialah si Tangan Setan.
Yang membuat menggigit setiap orang, dialah pembunuh misterius itu. Kini gadis
itu terus melangkahkan kakinya menelusuri pinggiran hutan itu dengan pasti.
Satu saat dia menghentikan
langkahnya, begitu pendengarannya yang tajam itu sempat mendengar
bergemerisiknya daun-daun di
sekitarnya. "Tikus-tikus hutan. Cepat
tunjukkan tampang kalian! Kalau tidak aku akan hancurkan tempat
persembunyianmu...!" bentak gadis cantik itu ketus sekali. Selesai
dengan ucapannya itu, maka secara
serentak bermunculan empat orang laki-laki berbadan gemuk tinggi dengan
tampak bengis menyeramkan.
Orang-orang ini langsung
terbahak-bahak begitu melihat
kehadiran gadis cantik itu di hadapan mereka.
"He... He... He...! Beruntung sekali, hari ini Empat Begal dapat mangsa yang
sangat cuantik. Gleek...!"
Salah seorang di antara mereka yang berkaki tunggal nampak nyerocos air liurnya
demi menyaksikan kecantikan gadis yang berdiri di hadapannya.
"Nampaknya dia akan lebih
menyenangkan, daripada hanya sekarung harta, ya kakang...!" menimpali yang
lainnya pula. Tanpa memperdulikan
ucapan Begal lainnya. Si Kaki Tunggal nampak semakin mendekat pada si gadis.


Pendekar Hina Kelana 8 Kembalinya Si Tangan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aha... aku yakin bidadari cantik ini tentu sangat hebat di tempat
tidur...!" kata si kaki tunggal seperti pada dirinya sendiri.
"Melihat bentuk pinggulnya dia masih perawan, kakang...!" Lagi-lagi yang
bertangan tunggal satunya ikut menyela.
Melihat penampilan keempat lakilaki bertampang bengis itu, dan
menilik caranya berbicara. Tahulah si gadis bahwa cecunguk yang menghadang
perjalanannya itu tak lebih hanyalah merupakan perampok hutan atau
sejenisnya. Si gadis yang berjuluk si Tangan Setan itu nampak marah sekali.
Bukit Pemakan Manusia 8 Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum 21

Cari Blog Ini