Ceritasilat Novel Online

Kutukan Berdarah 3

Pendekar Gila 22 Kutukan Berdarah Bagian 3


kemarahan Sugali. Kini Pendekar Gila jadi sasaran serangannya. Dengan cepat Pendekar Gila bergerak
mengelakkan serangan yang dilancarkan Sugali. Direnggangkan kaki kirinya ke samping sambil mendoyongkan tubuh. Pedang Sugali pun meleset menderu
di samping kanan.
"Hea!"
Dengan cepat Pendekar Gila menarik kaki kanan, lalu diangkatnya ke atas. Sehingga tepat menghantam perut Sugali.
Degk! "Ukh...!" Sugali memekik tertahan. Tubuhnya terpental ke depan dan bergulingan
dengan mulut meringis. Perutnya yang terkena lutut Pendekar Gila dirasakan
mulas. Namun cepat-cepat Sugali bangkit berdiri. Matanya yang merah menatap tajam pada Pendekar
Gila penuh kebencian. Sementara Pendekar Gila justru
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Di pihak lain, Mei Lie yang dibantu Ki Lurah
Sanusi dan dua tangan kanannya serta warga desa telah mampu mendesak Lima Hantu Berkedok. Kelima
Hantu Berkedok kini hanya dapat bertahan dari gempuran-gempuran yang dilakukan Mei Lie dan Ki Lurah
Sanusi serta warga desa.
Kalau saja tak ada Mei Lie, Ki Lurah Sanusi
dan warganya mungkin tak akan sanggup mendesak
kelima manusia berkedok. Ilmu yang dimiliki Lima
Hantu Berkedok ternyata tak bisa dianggap remeh. Jelas jauh lebih tinggi jika dibanding Ki Lurah Sanusi
serta kedua orang tangan kanannya.
"Hea...!" dengan jurus-jurus 'Bidadari'-nya Mei Lie terus bergerak menggempur
Lima Hantu Berkedok
yang kian terjepit. Kelimanya terus berusaha bertahan dari gempuran si Bidadari
Pencabut Nyawa bersama
warga desa. Namun rupanya serangan Mei Lie dan Ki
Lurah Sanusi serta kedua tangan kanannya cukup
dahsyat. Sampai akhirnya....
"Hea...!"
Cras! "Akh...!" Kedok Biru menjerit keras, ketika pedang milik Ki Lurah Sanusi
membabat tangan kanannya, yang seketika buntung. Darah deras keluar dari
tangannya yang terpotong.
"Bunuh semuanya...!" seru Ki Lurah Sanusi
memerintah pada warga desa serta kedua tangan kanannya. "Hea!"
"Cincang mereka...!"
Seketika terdengar suara hiruk-pikuk, jeritan,
dan teriakan kemarahan memecah suasana malam.
Para warga Desa Suluh Pring yang telah marah tampaknya tak mampu lagi menahan kemarahan. Mereka
langsung menyerbu Lima Hantu Berkedok. Dengan
senjata berupa golok, parang, dan arit para warga
menggebrak lawan yang tampak mulai kendor dalam
melakukan serangan dan pertahanan.
Wrt wrt wrt..! Jrabs! "Akh...!" Kedok Kuning menjerit, ketika golok di tangan salah seorang penduduk
desa menghujam ke
perutnya. Sesaat tubuhnya menggelepar, kemudian
ambruk bersimbah darah.
Kini Lima Hantu Berkedok tinggal empat orang.
Dengan tewasnya Kedok Kuning jelas mengurangi kekuatan mereka. Namun untuk kabur mereka tak berani, karena warga Desa Suluh Pring telah mengepung.
"Mampus kalian!" dengus Ki Lurah Sanusi
sambil menusukkan pedangnya ke dada Kedok Merah.
Sementara dari belakang, penduduk desa pun menyerang dengan membabatkan golok serta arit mereka.
"Hea!"
Jrabs! "Akh...!" Kedok Merah menjerit ketika pedang Ki Lurah Sanusi menembus dadanya.
Darah menyembur
keluar, ketika pedang itu dicabut. Belum juga pedang
Ki Lurah Sanusi tercabut, dari samping kanan dan kiri Kedok Merah, golok dan
sabit warga desa berkelebat
membabat "Hih...!"
Bret! Wrt! Tubuh Kedok Merah menggelepar dengan perut
hampir putus terbabat golok dan arit warga desa. Sekejap kemudian tubuh terbalut pakaian merah itu telah tewas. Semakin bertambah ketakutan tiga orang berkedok itu. Apalagi Kedok Hitam kini sudah mulai lemah, karena banyak mengeluarkan darah. Sementara
serangan dari Mei Lie yang dibantu warga desa; semakin bertambah cepat dan garang. Sehingga ketiga Hantu Berkedok kian terjepit. Sampai akhirnya....
"Hea!"
Wrt! Pedang di tangan Mei Lie yang digerakkan dengan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Gunung'
membabat leher Kedok Ungu.
Cras! "Akh...!"
Kedok Ungu memekik ketika Pedang Bidadari
Mei Lie menyambar lehernya, hingga hampir putus.
Kini semakin bertambah ciut nyali Hantu Berkedok yang tinggal dua orang. Kedok Biru benar-benar
terdesak hebat, sedangkan Kedok Hitam kini menjadi
bulan-bulanan kemarahan warga. Mei Lie yang sudah
menunjukkan siapa dirinya, terus menyerang Kedok
Biru dengan jurus 'Tebasan Bidadari Batin'. Sebuah
jurus pamungkas yang sangat dahsyat
"Hea!"
Wrt! Cras! "Akh...!" Kedok Biru memekik, ketika pedang si Bidadari Pencabut Nyawa Iblis
membabat lehernya.
Namun keanehan terjadi Leher Kedok Biru tetap utuh.
Dan beberapa saat kemudian, ternyata tubuh Kedok
Biru hancur menjadi debu.
*** Sementara itu, Pendekar Gila masih terus meladeni serangan-serangan yang dilancarkan Sugali.
Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila berkelit.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, sambil sesekali
tangannya menepuk ke tubuh lawan.
"Hea...!"
"Yea...!"
Pertarungan Pendekar Gila melawan Sugali berlangsung seru. Sampai saat itu, dirinya masih mengandalkan tangan kosong. Hal itu menjadikan Sugali
tampak bertambah nafsu untuk menyerang dengan tebasan dan tusukan Pedang Dewa Naga-nya.
Dengan jurus 'Naga Merangkak Gunung', Sugali
terus bergerak begitu cepat laksana terbang sambil
membabatkan pedangnya memburu lawan. Pedang di
tangannya, diarahkan untuk membabat dada dan leher Pendekar Gila.
Namun dengan menggunakan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat', Sena terus bergerak mengelitkan setiap serangan lawan.
Tubuhnya yang meliuk-liuk laksana menari, ternyata mampu mengelakkan serangan
gencar pedang lawan yang sangat cepat dan mematikan. Padahal sepintas gerakan meliuk yang dilakukan
Pendekar Gila, kelihatan lamban dan lemah. Hal itu
membuat Sugali semakin bertambah nafsu, ingin segera mengakhiri pertarungan itu.
"Hea!"
"Uts! He he he...!" dengan tertawa terkekeh, Pendekar Gila berkelit dari tusukan
pedang lawan. Tubuhnya merunduk, kemudian dengan cepat tangannya
bergerak menepuk lurus ke dada lawan.
Wrt! "Heh"!" Sugali kaget mendapat serangan secepat itu. Dengan mata membelalak,
pemuda itu melompat ke samping. Namun dengan cepat pula, Pendekar
Gila memburu. Mei Lie dan warga desa yang sudah mengakhiri
pertarungan mereka melawan Lima Hantu Berkedok,
kini membuat lingkaran menyaksikan pertarungan
Pendekar Gila melawan Sugali.
"Hea!"
Sugali yang sudah dapat lepas dari kejaran
Pendekar Gila, langsung melancarkan serangan. Pedang Dewa Naga di tangan kanannya, menusuk dan
membabat dengan jurus 'Naga Hitam Mengibas Ekor'.
Sedangkan tangan kirinya, kini berada di pinggang sebelah kiri dengan jari-jari terbuka siap menyerang.
"Yea!"
Sugali menusukkan pedangnya ke dada lawan.
Namun dengan cepat Pendekar Gila mendoyongkan
tubuh ke samping. Namun rupanya tusukan itu hanya
sebagai pancingan semata. Ketika tubuh Pendekar Gila
miring ke kiri, dengan cepat kaki kanan Sugali bergerak menendang ke muka.
"Hea!"
Degk! "Ukh...!" Sena memekik tertahan. Tubuhnya
terhuyung-huyung tiga tindak ke belakang. Dari bibirnya keluar darah. "Cuih!"
Setelah meludah, membuang darah yang meleleh. Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Saktinya. Kemudian dengan cepat, melesat melakukan serangan. "Hea!"
Dengan Suling Naga Sakti di tangannya, Pendekar Gila mengembangkan jurus 'Gila Terbang Mencengkeram Mangsa'. Tubuhnya melayang ke atas. Kemudian dengan cepat menukik sambil memukulkan
Suling Naga Sakti ke kepala Sugali.
Wrt! Melihat Pendekar Gila memukulkan Suling Naga Sakti-nya, dengan cepat Sugali mengangkat Pedang
Dewa Naga untuk memapaki serangan lawan.
Wuttt! Trang! "Ukh!" Sugali memekik tertahan. Tangannya
tergetar hebat, dirasakan seperti dialiri hawa panas.
Pedang Dewa Naga yang tergenggam di tangannya, terpental jauh. Setelah berbenturan dengan Suling Naga
Sakti. Hal itu membuat Sugali terkejut dan ketakutan.
Wajahnya seketika berubah pucat-pasi. Sementara itu
di telinga terdengar suara gurunya, Ki Pramanu yang
telah dibunuhnya.
"Kini saatnya, Sugali! Terimalah kutukku yang pertama!"
Bersamaan dengan lenyapnya suara Ki Pramanu, Pendekar Gila tiba-tiba bergerak menyerang dengan pukulan 'Gila Melebur Gunung Karang'.
"Hea!"
Sugali yang tersentak kaget, dengan cepat merundukkan tubuhnya untuk mengelak. Namun ternyata pukulan yang dahsyat itu harus mengena bagian
mukanya. Tanpa ampun lagi....
Jret! "Akh...!"
Sugali menjerit setinggi langit. Wajahnya hancur berantakan. Darah menetes keluar dari wajahnya
yang hancur. Bagaikan kesetanan, Sugali melompat
menubruk tubuh Pendekar Gila melakukan serangan.
Namun dengan cepat, Pendekar Gila bergerak mengelak. Kemudian, tangan kanannya bergerak cepat dengan telapak tangan memukul ke punggung Sugali.
"Hea!"
Degk! "Akh...!" kembali Sugali menjerit Tubuhnya bergulingan ke tanah dengan cepat
bagaikan didorong suatu tenaga yang sangat kuat. Tubuh berpakaian merah
itu terus berguling hingga belasan tombak jauhnya.
Namun di luar dugaan, tiba-tiba ada sesosok bayangan
hitam berkelebat menyambar tubuh Sugali dan membawanya pergi. "Datuk Keparat! Tunggu...!" teriak Pendekar Gi-la sambil melesat untuk mengejar.
Namun sosok berjubah hitam yang ternyata Datuk Raja Karang, telah
melemparkan sesuatu ke tempat Pendekar Gila berdiri.
Slats! Glarrr...! Suara ledakan keras terdengar. Bersamaan
dengan itu, keluar asap mengepul yang menutupi pandangan Pendekar Gila. Dan ketika asap itu lenyap, Datuk Raja Karang telah tak ada di tempat itu. Tampaknya ketika mata Pendekar Gila terhalangi asap tebal
tokoh penolong Sugali telah melesat kabur dari tempat pertarungan.
"Licik!" maki Sena gusar.
"Kita harus mengejarnya, Kakang. Bukankah
datuk itu yang telah membunuh Mbakyu Bangil?" desak Mei Lie tak sabar.
"Aha, kau benar, Mei Lie. Dialah yang menjadi
sumber petaka di Lembah Lamur," sahut Sena. "Hhh, rupanya selama ini dia
bersembunyi."
"Kita cari dia, Kakang!" ajak Mei Lie.
"Ya," jawab Sena, "Ki Lurah, kurasa kami harus segera pergi dari desamu ini."
"O, mengapa tergesa-gesa, Tuan Pendekar" Sebenarnya kami ingin menjamu kalian barang dua atau
tiga hari," jawab Ki Lurah Sanusi.
"Ah, terima kasih! Gampang lain waktu, Ki,"
sahut Mei Lie. Ki Lurah Sanusi tak dapat memaksa keduanya.
Dirinya menyadari kalau mereka pendekar yang dibu

Pendekar Gila 22 Kutukan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuhkan banyak manusia.
"Kalau memang begitu, kami tak dapat memaksa. Kami atas warga Dewa Suluh Pring, hanya mampu
mengucapkan terima kasih pada kalian," ujar Ki Lurah Sanusi. "Aha, tak perlu kau
berkata begitu, Ki! Izinkan kami pergi!" ujar Pendekar Gila seraya tersenyum.
"Semoga kalian dalam lindungan Hyang Widi."
Pendekar Gila dan Mei Lie pun segera pergi dari
tempat itu untuk mengejar Datuk Raja Karang yang
selama ini juga tengah dicari-cari oleh mereka. (Untuk mengetahui siapa Datuk
Raja Karang, silakan ikuti
serial Pendekar Gila dalam episode: 'Titisan Dewi Kwan Im'). Pagi telah datang,
tak lama setelah Pendekar
Gila dan Mei Lie meninggalkan Desa Suluh Pring.
*** 7 Datuk Raja Karang yang membawa tubuh Sugali kini telah sampai di tepi Laut Selatan. Sugali yang berada di pundak kanan
lelaki berusia tujuh puluh tahun itu, terdengar merintih-rintih menahan sakit.
Wa- jahnya yang hancur, terus mengeluarkan darah bagaikan tak akan mengering. Kutukan sang Guru, Ki Pramanu benar-benar terbukti. Sugali tak mati terkena
hantaman pukulan jurus 'Gila Melebur Gunung Karang'. Hanya wajahnya yang hancur. Namun jelas luka
itu merupakan siksaan yang sangat perih sekali.
"Tenanglah, Anak Muda! Aku akan berusaha
menolongmu," ujar Datuk Raja Karang berusaha
menghibur Sugali yang terus merintih kesakitan.
"Datuk, aku tak berhasil," keluh Sugali.
"Tak perlu kau pikirkan itu! Kini yang harus
kau pikirkan, bagaimana membalas semuanya pada
Pendekar Gila," sahut Datuk Raja Karang terus berusaha membesarkan hati pemuda
itu. "Dia memang hebat Namun kelak kita akan bahu-membahu mengalahkannya." Lelaki tua berjubah hitam itu dengan ringan
melangkah di permukaan air. Aneh! Air laut yang diinjaknya seketika berubah membeku. Sehingga permukaan air bagaikan daratan.
"Kita akan mencari dia, jika kau telah sembuh
dari lukamu," kata Datuk Raja Karang.
"Mungkinkah kita mampu menghadapinya, Datuk?" tanya Sugali. Nadanya kurang yakin akan ke-mampuan dirinya, setelah kini
mengalami kekalahan
yang menyakitkan.
"Jangan berkata begitu, Tolol! Apakah kau akan
putus asa dan membiarkan arwah kedua orangtua mu
penasaran"!" bentak Datuk Raja Karang. "Dengan persekutuan kita, maka tak akan
ada pendekar yang
mampu mengalahkan kita."
"Benarkah itu, Datuk?" tanya Sugali masih belum percaya.
"Ya! Kau telah mewarisi ilmu Ki Pramanu. Sebenarnya ilmu gurumu bukan ilmu sembarangan.
Sayang kau tak dapat menggunakannya dengan baik.
Kalau saja kau dapat menggunakannya dengan baik,
kurasa Pendekar Gila tak akan mudah mengalahkanmu," sanjung Datuk Raja Karang, berusaha memulihkan semangat Sugali yang mulai
ciut setelah kekalahan ini. Sugali hanya diam. Rasa sakit akibat wajahnya
yang hancur dan terus mengeluarkan darah, semakin
terasa menyiksa. Dendamnya pada Pendekar Gila semakin membara. Dia harus dapat membalas semua
yang dialami olehnya. Juga dendam atas kematian kedua orangtuanya oleh Pendekar Gila.
Datuk Raja Karang telah sampai di tepian pulau karang, tempat persembunyiannya selama ini dari
kejaran Pendekar Gila semenjak kejadian di Lembah
Lamur. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun yang
merupakan tokoh sesat itu, nampak melangkah dengan ringan sambil memanggul tubuh Sugali. Datuk Raja Karang kemudian masuk ke sebuah goa yang ada di
pulau karang itu.
Goa karang itu cukup besar. Di dalamnya tak
tampak kegelapan sebagaimana layaknya goa, melainkan gemerlapan seperti mengandung emas dan mutiara. Di bagian tengah ruangan goa tampak ada sebuah
baru besar berbentuk datar dan panjang. Tampaknya
batu itu memang bisa digunakan untuk pembaringan.
Datuk Raja Karang meletakkan Sugali di atas batu datar itu. Setelah membaringkan tubuh Sugali, dan menotok beberapa urat nadi di tubuhnya. Datuk Raja Karang pun melangkah menuju sebuah ruangan lain dalam goa itu. Matanya memandangi satu persatu tabung
bambu yang tergantung di dinding goa. Sepertinya tengah mencari sesuatu obat, untuk menghilangkan rasa
sakit yang diderita Sugali.
"Hm, ini dia," gumam Datuk Raja Karang sambil mengambil tabung yang berisikan serbuk kunyit
ireng. Dibawanya tabung itu keluar. Kemudian Datuk
Raja Karang menuju batu datar tempat Sugali masih
terbaring dengan rintihan-rintihan kesakitannya.
"Datuk.. o, sakit sekali," rintih Sugali. Darah terus keluar dari luka wajahnya,
seakan-akan tak dapat
mengering. Sehingga tampak keadaan wajah Sugali
semakin bertambah mengerikan.
"Sabar, Anak Muda! Ini sebuah bukti, bahwa
Pendekar Gila benar-benar menghinamu," ujar Datuk Raja Karang berusaha
menumbuhkan dendam di hati
Sugali. "Tidak, Datuk! Ini sebuah kutukan guruku."
"Hua ha ha...!" Datuk Raja Karang tertawa terbahak-bahak. "Kutuk" Hm, kau kira
gurumu itu orang suci yang bisa mengutuk. Ini bukan kutuk, Sugali. Ini hinaan
dari Pendekar Gila. Bukankah dengan keadaan
seperti sekarang ini, kau dapat dikucilkan dari pergau-lan?" Sugali menarik
napas dalam-dalam. Seakan dirinya berusaha mencerna kata-kata Datuk Raja Karang. Dendamnya pada Pendekar Gila semakin menjadi-jadi. Hati Sugali membenarkan kata-kata lelaki tua yang telah menolongnya
itu. "Pendekar Gila, tunggulah pembalasanku! Kalau kau bisa menghancurkan mukaku, maka aku akan
menghancurkan tubuhmu!" dengus Sugali dalam hati.
Matanya yang tertutup darah, mengerjap-ngerjap.
"Bagaimana" Apa masih percaya kalau semua
yang kau alami merupakan kutukan?" tanya Datuk
Raja Karang dengan senyum kecut menghias bibirnya.
"Aku percaya dengan ucapanmu, Datuk. Akan
kubalas semua hinaan ini! Akan kuhancurkan dia...!"
teriak Sugali dengan keras penuh dendam. Tangan kanannya mengepalkan tinju ke atas, sepertinya bersumpah. "Hua ha ha...!" Datuk Raja Karang tertawa senang. "Bagus! Memang itulah yang
harus kita lakukan.
Kita harus menyingkirkan Pendekar Gila!"
"Tapi, Datuk..."
"Apa lagi?" tanya Datuk Raja Karang.
"Ilmuku belum seberapa."
"Itu masalah mudah. Setelah kau pulih, aku
akan mengajarkan padamu sebuah ilmu silat yang
maha sakti," ujar Datuk Raja Karang dengan disertai gelak tawa.
"Terima kasih, Datuk!"
"Kini, gunakan hawa murnimu! Aku akan mencoba mengobati luka di wajahmu," perintah Datuk Raja Karang. Sugali segera
menurut. Disalurkan hawa murni
ke mukanya, agar bisa menahan rasa sakit.
Melihat Sugali sudah menyalurkan hawa murni, Datuk Raja Karang pun segera menaburkan bubuk
kunyit ireng. "Aaaouw...! Aaakh...! Sakit.. sakit!"
Sugali meraung-raung kesakitan, ketika bubuk
kunyit itu menempel di lukanya.
"Tenang, Sugali! Hanya dengan kunyit ireng ini,
kau akan terbebas dari rasa sakit," ujar Datuk Raja Karang sambil terus
menaburkan bubuk kunyit ireng
ke luka di wajah Sugali. Hal itu membuat pemuda itu
semakin memekik keras. Rasa perih dan sakit, terasa
semakin hebat mendera di wajahnya. Dari wajahnya
yang ditaburi obat tampak mengepulkan asap.
"Akh...!"
Sugali menggelepar-gelepar bagaikan sekarat.
Dari wajahnya semakin bertambah banyak asap hitam
mengepul. Sedangkan darah yang mengalir, belum juga mau berhenti, terus keluar dari lukanya.
"Oh, apa aku salah mengambil obat?" tanya Datuk Raja Karang dalam hati bimbang
dan cemas, me- nyaksikan bagaimana keadaan Sugali saat itu. Bubuk
kunyit ireng yang seharusnya mampu menghentikan
aliran darah, ternyata tak berguna sama sekali bagi
luka yang dialami Sugali
Datuk Raja Karang memperhatikan tabung
bambu yang dipegangnya. Namun hatinya merasa yakin, kalau tabung itu memang berisikan bubuk kunyit
ireng. "Obat ini benar. Hai, kenapa kunyit ireng tak berguna?" gumam Datuk Raja
Karang nampak cemas,
karena Sugali semakin sekarat
Beberapa kali Datuk Raja Karang memandangi
bergantian ke tabung dan wajah Sugali. Wajahnya
menggambarkan kecemasan. Keningnya mengerut,
berlipat-lipat. Hatinya masih tak mengerti, mengapa
darah yang keluar dari luka di muka Sugali tetap mengalir. Padahal seharusnya mengering setelah ditaburi
serbuk kunyit ireng.
"Akh...! Tobat...!"
Sugali terus menjerit-jerit, merasakan sakit
yang hebat. Tubuhnya menggelepar-gelepar, bagaikan
seekor ayam yang disembelih. Jemari tangannya
menggenggam, sepertinya berusaha mencari pegangan
dan kekuatan. Kemudian diam membisu.
"Mati...?" tanya Datuk Raja Karang dengan kening mengerut. Dirabanya dada
Sugali. "Ah, masih hidup!" Datuk Raja Karang segera meninggalkan tempat itu,
untuk melakukan semadi. Dia melangkah menuju sebuah ruangan lain yang tertutup. Di tempat
itulah, Datuk Raja Karang melakukan semadi, meminta kekuatan pada arwah-arwah yang dipujanya.
Tangan Datuk Raja Karang bergerak ke kanan
dan ke kiri. Seketika itu, pintu batu bergeser membuka. Dan kini nampaklah sebuah ruangan yang cukup
luas. Ada sebuah perapian besar, yang di atasnya terdapat sebuah arca berbentuk manusia buaya.
Datuk Raja Karang melangkah mendekat. Pintu
kembali bergerak menutup. Sang Datuk kini duduk
bersila di dekat perapian, menghadap arca manusia
buaya berada. Mulut sang Datuk komat-kamit membaca mantera. Matanya terpejam, dengan kepala agak
tertunduk Wesss! Dari arca manusia buaya, keluar asap hitam
bergulung-gulung. Perlahan-lahan, dari asap keluar
sosok bayangan samar-samar. Lama-kelamaan, terlihat jelas sosok itu. Sosok wanita berkepala buaya.
"Hik hik hik..! Ada apa kau mengundangku, Raja Karang?" terdengar suara wanita. Ucapan itu keluar dari mulut manusia buaya.
"Ampun, Sri Ratu sembahan hamba! Hamba
memohon pertolongan darimu."
"Tentang apa?"
"Hamba mempunyai masalah."
"Dengan Pendekar Gila?"
"Itu yang pertama, Sri Ratu."
"Ada lagi...?"
"Benar, Sri Ratu."
"Katakan, apa."
"Hamba memiliki teman yang habis bertarung
dengan Pendekar Gila. Dia terluka di wajahnya. Tetapi anehnya, darah terus
mengalir. Apa yang sebenarnya
terjadi, Sri Ratu?" tanya Datuk Raja Karang meminta petunjuk
"Dia mendapat kutuk berdarah dari gurunya.
Dia memang tak akan mati ketika bertarung untuk
pertama kali melawan Pendekar Gila. Dia akan mati,
oleh kekasih Pendekar Gila," tutur Ratu Siluman
Buaya. "Ampun, Sri Ratu! Lalu bagaimana untuk
menghadapi Pendekar Gila dengan kekasihnya?" tanya
Datuk Raja Karang.
"Aku akan membantumu."
"Terima kasih, terima kasih, Sri Ratu."
"Ada lagi, Raja Karang?" tanya Ratu Siluman Buaya. "Bagaimana dengan pemuda
itu?" "Raganya akan kugunakan. Dengan begitu, tak
akan ada yang tahu kalau aku hadir ke dunia," ujar Ratu Siluman Buaya. "Kapan
kau akan mencari Pendekar Gila?"
"Jika Sri Ratu berkenan, secepatnya!"
"Aku telah siap. Beri penutup di mukanya. Agar
tak diketahui orang," perintah Ratu Siluman Buaya.
"Baik, Sri Ratu."
Setelah memberi perintah, Ratu Siluman Buaya
pun menghilang. Asap tebal kembali bergulung. Kemudian perlahan-lahan asap itu masuk ke arca manusia buaya yang ada di atas perapian.
Datuk Raja Karang kembali menyembah. Kemudian bangkit dari duduk bersilanya. Kakinya melangkah menuju pintu keluar. Tangannya digerakkan.
Kali ini gerakannya dari kiri ke kanan. Saat itu pula, pintu penutup terbuka.
Datuk Raja Karang segera keluar melangkah menuju tempat tubuh Sugali yang
nampak bergerak-gerak. Sepertinya Sugali telah sadar.
"Raja Karang, carikan kain penutup wajah!" perintah Sugali yang kini suaranya
telah berubah. Bukan suara lelaki, melainkan suara Ratu Siluman Buaya.
"Daulat, Sri Ratu," jawab Datuk Raja Karang.
Kemudian Datuk Raja Karang bergegas mencari
kain yang diminta Ratu Siluman Buaya yang sudah
merasuk ke tubuh Sugali. Tak lama kemudian, Datuk
Raja Karang telah kembali dengan membawa secarik
kain hitam yang cukup lebar dan mampu menutupi seluruh wajah.

Pendekar Gila 22 Kutukan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ikatkan ke kepala," perintah Sri Ratu Siluman Buaya. Tanpa membantah, Datuk
Raja Karang segera
mengikatkan ujung kain hitam itu ke kepala Sugali.
Seketika wajah menyeramkan yang terus mengalirkan
darah itu, tertutup kain hitam. Namun darah tetap saja mengalir, keluar dari luka-luka di wajahnya. Sebentar saja kain hitam itu
telah basah darah yang terus
mengalir. "Bagus! Dengan begini, kita akan bebas bergerak," ujar Ratu Siluman Buaya.
"Tetapi, darah masih keluar. Dan bau amis masih tercium, Sri Ratu,." sahut Datuk Raja Karang mengingatkan.
"Itu bukan masalah, Raja Karang. Aku akan
mengeluarkan ajian 'Raga Wangi', agar bau amis darah
akan hilang." Setelah berkata begitu, Ratu Siluman Buaya yang menyusup ke dalam
raga Sugali, nampak
bersidekap. Tak lama kemudian, bau wangi bunga
cendana, menyebar keluar dari segenap tubuhnya.
Dan benar juga, bau amis dan anyir darah hilang. Kini yang tercium hanyalah bau
wangi bunga cendana.
"Bagaimana, Raja Karang?"
"Sri Ratu benar-benar sakti. Bau anyir darah,
kini telah hilang. Yang tercium, kini bau wangi kembang. Tapi, mengapa mesti bunga cendana" Apakah
nanti tak akan membuat orang ketakutan di malam
hari, mencium bau seperti ini?" tanya Datuk Raja Karang. "Tak menjadi masalah.
Ayo kita berangkat!"
ajak Ratu Siluman Buaya.
"Baik, Sri Ratu."
Datuk Raja Karang pun segera mengiringi langkah Ratu Siluman Buaya yang telah menyusup ke raga
Sugali. Keduanya melangkah keluar meninggalkan goa
karang. Dengan entengnya, keduanya melangkah menapaki air lautan.
*** Kehadiran Datuk Raja Karang dengan lelaki
bercadar hitam yang basah oleh darah, seketika menjadi bahan pembicaraan setiap orang. Baik di kedai,
maupun di sawah. Juga di tempat-tempat orang berkumpul lainnya. Sepak-terjang mereka benar-benar
mengerikan. Mereka membuat keonaran di setiap tempat yang disinggahi.
Sore itu, Datuk Raja Karang dan lelaki berselubung kain hitam yang dari tubuhnya mengeluarkan
aroma wangi nampak melangkah melintasi Desa Alu
Lanang. Kehadiran kedua manusia berilmu tinggi itu,
telah membuat resah warga Desa Alu Lanang. Warga
desa segera berdatangan ke rumah kepala desanya,
melaporkan kedatangan dua tokoh sakti itu.
"Ki Lurah, dua orang yang menurut kabar adalah orang-orang jahat dan kejam telah sampai di desa
kita," lapor seorang warga berusia sekitar empat puluh tahun. Nafasnya
tersengal-sengal, setelah berlari-lari.
"Maksudmu, San?" tanya Ki Lurah Pare Gobang belum mengerti.
"Dua orang tokoh sakti, Ki Lurah. Yang satu berusia sekitar tujuh puluh tahun dengan jubah hitam,
dan seorang pemuda yang wajahnya tertutup kain hitam berlumuran darah," Kasan menjelaskan.
"Hm, mau apa mereka ke desa kita?" gumam KI Lurah Pare Gobang sambil mengeluselus jenggotnya
yang telah memutih. Kemudian diliriknya dua orang
tangan kanannya, "Depa dan kau Suka! Selidiki, mau apa mereka! Kalau bisa,
tangkap mereka!"
"Baik, Ki Lurah," sahut kedua lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan
tubuh tegap itu. Kemudian dengan diikuti beberapa warga yang melapor,
Depa dan Suka melangkah meninggalkan rumah Kepala Desa Alu Lanang itu. Namun belum juga mereka
melangkah jauh, tiba-tiba dihadang dua orang manusia yang disebutkan Kasan tadi.
"Tak perlu kalian mencari kami. Kami telah datang, untuk menemui lurah kalian!" sentak Datuk Raja Karang, yang membuat Depa
dan Suka serta warga de-sa tersentak kaget dengan mata membelalak
"Siapa kalian"! Dan mau apa datang ke desa
kami"!" bentak Depa berusaha menunjukkan keberaniannya sebagai seorang jawara di Desa Alu Lanang.
Matanya tajam, menatap penuh selidik pada lelaki tua
berjubah hitam dan pemuda dengan muka tertutup
kain hitam berbercak darah. Kumis Depa yang lebat,
bergerak turun naik Sedang matanya yang tajam terus
menatap kedua tamu desa itu.
"Pertanyaan yang bodoh! Kami datang tentunya
untuk memerintahkan pada lurahmu agar menyembah
dan takluk di bawah kekuasaan kami!" dengus Datuk Raja Karang.
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Orang
Tua! Jangan harap kami akan membiarkan kalian melakukan hal itu!" dengus Suka tak kalah garang.
"Hm, kau mencari penyakit, Orang Tolol! Sebaiknya katakan saja pada lurahmu, kalau kami memerintahkan padanya agar memberikan upeti!" perintah Datuk Raja Karang.
"Enak sekali mulutmu bicara, Orang Tua! Cuih!
Langkahi mayat kami, sebelum kau bertemu dengan Ki
Lurah!" tantang Depa.
"He he he...! Rupanya kalian mencari mati.
Baik, bersiaplah untuk mati!"
"Kami telah siap! Hea...!" Depa dengan dibantu Suka serta sepuluh warga desa,
serentak bergerak menyerang dengan senjata di tangan masing-masing.
"Hea!"
"Cuih! Kecoa-kecoa busuk macam kalian, berani menantang Datuk Raja Karang!" dengus Datuk Raja Karang sambil menggerakkan
tangan kanannya ke
arah orang-orang yang hendak menyerangnya. Seketika itu pula, kedua belas lawannya terpelanting berjatuhan bagaikan dibanting.
Bugk! "Aaakh...!"
"Aduh!"
Kedua belas lawannya menjerit dan meringisringis kesakitan. Namun Suka dan Depa cepat segera
bangun. Lalu dengan penuh amarah, kedua jawara desa itu langsung menyerang dengan goloknya.
"Hea!"
"Yea!"
Melihat kedua orang jawara itu hendak kembali
menyerang, Datuk Raja Karang tertawa terkekeh. Dimiringkan tubuhnya ke samping, kemudian dengan
cepat mencekal kedua tangan lawan yang memegang
golok. Trep! "Hea!" bagaikan mengangkat kapas, Datuk Raja Karang langsung mengangkat tubuh
kedua jawara de-sa. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, Datuk Raja Karang langsung membanting kedua jawara
itu dengan keras.
"Heaaa...!"
Brug! Breg! "Akh!" keduanya menjerit Tubuh kedua jawara desa itu seketika meregang sekarat
dengan darah muncrat dari mulut Sesaat kemudian, tubuh kedua
jawara itu diam, mati!
Melihat kedua jawara desa mati dalam sekali
gebrak saja, nyali para warga desa seketika menciut
Kesepuluh warga desa itu hendak lari, namun dengan
cepat lelaki muda yang wajahnya tertutup kain hitam
langsung mengirimkan sebuah pukulan jarak jauh.
"Hea!"
Zrttt! Jret! Jret! Jret!
"Akh...!" lolongan kematian kembali menggema, memecah kesunyian sore menjelang
malam. Kesepuluh
warga desa yang terkena hantaman itu, langsung ambruk dengan tubuh menghitam gosong.
Dengan sinis, Datuk Raja Karang memandangi
mayat-mayat warga desa yang bergeletakan di tanah
rerumputan. Kemudian dengan menendang tubuh salah seorang dari warga desa, Datuk Raja Karang kembali melangkah diikuti manusia yang wajahnya tertutup kain hitam. Langkah keduanya kini menuju rumah
Ki Lurah Pare Gobang.
Ki Lurah Pare Gobang yang menyaksikan bagaimana kedua manusia sesat itu membunuh kedua
tangan kanannya dan sepuluh warga desa, semakin
takut. Apalagi kini kedua orang sesat dan kejam itu
menuju rumahnya. Cepat-cepat Ki Lurah Pare Gobang
mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Dirinya tak ingin bertemu dengan kedua manusia jahat dan kejam
itu. "Celaka! Mereka bukan orang sembarangan,"
gumam Ki Lurah Pare Gobang sambil menyandarkan
tubuhnya di pintu yang telah dikunci. Keringat dingin keluar deras membasahi
keningnya. Ki Lurah Pare Gobang yang memang tak memiliki ilmu silat gemetaran.
Matanya memandang ke sekelilingnya dengan tegang.
Belum juga rasa takut hilang dari hati Ki Lurah Pare
Gobang, tiba-tiba....
"Ki Lurah, keluar kau! Jangan bersembunyi
macam tikus tanah yang ketakutan!" terdengar dari luar seruan seseorang lelaki
tua tapi tegas dan keras, yang membuat tubuh Ki Lurah Pare Gobang bertambah
menggigil ketakutan.
"Celakalah aku!" keluh Ki Lurah Pare Gobang hampir menangis. Matanya berkacakaca. Tubuhnya semakin gemetaran dilanda perasaan takut yang mendera jiwanya. "Ki Lurah, keluarlah! Atau ku dobrak pintu rumahmu!" kembali dari luar terdengar suara Datuk Raja Karang berseru, yang
semakin membuat Ki Lurah Pare
Gobang bertambah ketakutan. Keringat dingin semakin deras bercucuran membasahi tubuhnya.
*** 8 Dengan masih ketakutan, Ki Lurah Pare Gobang membuka kunci pintu rumahnya yang terbuat
dari palang kayu. Tangannya tampak gemetar tak
mampu menahan rasa takut, yang membuat pintu itu
turut bergetar. Keringat dingin semakin membasahi
sekujur tubuh Ki Lurah Pare Gobang. Lelaki berusia
sekitar enam puluh tahun itu merasa tak mampu berbuat apa-apa. Perlahan-lahan Ki Pare Gobang membuka daun pintu rumahnya. Mengintip keluar. Di halaman rumah Kepala Desa Alu Lanang, tampak berdiri
tubuh Sugali yang mengenakan pakaian merah dan
tertutup kain hitam di wajahnya. Di sampingnya Datuk
Raja Karang yang mengenakan jubah hitam.
"Ki Lurah, cepat keluar! Atau kami terpaksa
menghancurkanmu beserta rumah...!" ancam Datuk
Raja Karang. "Hua ha ha...! Lucu sekali. Pucuk dicinta, ulam
tiba. Lama sekali kucari kau. Akhirnya kau kutemukan sedang gembar-gembor di sini!"
Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara seorang pemuda, diikuti tawa yang keras dan bergema.
Suara tawa itu menyentakkan Datuk Raja Karang,
sampai-sampai tanpa sadar dari mulutnya terucap
nama gelar pemuda itu.
"Pendekar Gila!"
"Diakah pendekar itu, Raja Karang?" tanya Ra-tu Siluman Buaya yang telah merasuk
ke tubuh Suga- li. "Benar, Sri Ratu. Itu suaranya."
"Kebetulan," gumam Ratu Siluman Buaya.
"Hi hi hi...! Mei Lie, rupanya datuk bangkong ini ada di sini." Suara itu
kembali terdengar. Sekejap kemudian, muncul satu sosok lelaki muda berompi kulit
ular. Di samping seorang gadis cantik berpakaian hijau. Melihat kedatangan kedua sosok itu mata Datuk
Raja Karang terbelalak kaget
"Siapa gadis itu, Raja Karang?" tanya Ratu Siluman Buaya.
"Dia Titisan Dewi Kwan Im, yang bergelar Bidadari Pencabut Nyawa," tutur Datuk Raja Karang menjelaskan. "Kau takut pada
mereka, Raja Karang?"
"Tidak," sahut Datuk Raja Karang.
Pendekar Gila yang kini berdiri lima tombak di
hadapan Datuk Raja Karang dan Ratu Siluman Buaya,
masih cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Diambilnya Suling Naga Sakti dari ikat pinggangnya, kemudian dengan acuh
ditiupnya. Suara Suling Naga Sakti mengalun dengan
lembut, mendendangkan syair yang menceritakan tentang perjalanan hidup manusia. Hal itu menjadikan
Datuk Raja Karang dan Ratu Siluman Buaya tersentak. "Pendekar Gila, apa maksudmu menyindirku"!"
bentak Datuk Raja Karang keras. Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila yang seketika menghentikan
tiupan Suling Naga Saktinya. Pendekar Gila menoleh
ke wajah Mei Lie dengan mulut masih cengengesan.
Disimpannya Suling Naga Sakti di ikat pinggang, diganti dengan mengambil bulu burung. Kemudian dikorek telinganya dengan bulu burung itu. Seketika mulutnya cengar-cengir kegelian.
"Hi hi hi... aneh! Aneh sekali...! Kadang orang
menyadari kekeliruannya. Tetapi orang itu tak mau
mengakui kesalahannya. Hi hi hi... lucu!" gumam Pendekar Gila sambil terus
mengorek telinganya dengan
bulu burung. "Pendekar Gila, rupanya kau benar-benar harus kami singkirkan!" ancam Datuk Raja Karang.
"Aha, hebat! Hebat sekali ucapanmu, Datuk
Bangkong! Hi hi hi...! Mei Lie, kurasa kita tak akan
membiarkan dia melakukannya, bukan?" tanya Pendekar Gila dengan masih
cengengesan. "Bukan kita yang akan tersingkir, tetapi datuk


Pendekar Gila 22 Kutukan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keparat itu yang akan kusingkirkan!" dengus Mei Lie dengan ketus. Matanya
menatap penuh kebencian pa-da Datuk Raja Karang, kemudian berganti pada lelaki
bercadar hitam.
"Cuih! Meski kau bergelar Bidadari Pencabut
Nyawa, aku Datuk Raja Karang tak takut padamu!"
dengus Datuk Raja Karang setengah menggeram. Sementara lelaki yang wajahnya tertutup kain hitam,
nampak masih tenang.
"Hm, begitu...?" gumam Mei Lie dengan senyum sinis mengembang di bibirnya.
"Ingat Datuk Raja Karang, kau telah membunuh saudara-saudaraku di
Lembah Lamur. Bagaimanapun, aku mencarimu untuk
menagih hutang itu."
"Wuah, jangan sombong, Bidadari Pencabut
Nyawa! Meski nama julukanmu mampu menggetarkan
rimba persilatan, tetapi Datuk Raja Karang tak takut
padamu!" "Bagus kalau begitu," sahut Mei Lie. "Bersiaplah!" "He he he...! Mari kita mainmain! Hea...!"
"Yea...!"
Datuk Raja Karang melesat dengan tangan kanan siap memukul. Begitu pula dengan Mei Lie, tubuhnya melesat memapaki serangan yang dilancarkan
Datuk Raja Karang. Kedua tangan Mei Lie terentang
dengan tubuh agak miring. Kemudian kedua tangannya digerakkan turun naik, bagaikan kepakankepakan selendang.
"Hea!"
Mei Lie kini membuka jurus 'Selendang Bidadari Mengusir Kabut'. Dari kepakan kedua tangannya,
menderu angin kencang. Hal itu membuat Datuk Raja
Karang tersentak kaget. Dirinya tak menyangka, kalau
gadis Cina ini memiliki ilmu silat yang tinggi.
"Yea!"
Dengan menggunakan jurus 'Buana Graha' Datuk Raja Karang segera bergerak mengelakkan serangan yang dilakukan Mei Lie. Kemudian dengan cepat,
bergerak menyerang. Tangannya yang mengepal, bergerak memukul dari bawah ke atas. Susul-menyusul,
yang dilanjutkan dengan gerakan hantaman gencar telapak tangannya. Kaki-kakinya pun tak tinggal diam,
bergerak menyapu dan menendang ke kaki Mei Lie.
"Hea!"
"Yea!"
Dengan jurus-jurus andalan, mereka terus berkelebat untuk berusaha saling menjatuhkan lawan.
Gerakan keduanya sama-sama lincah dan cepat.
Memburu laksana seekor rajawali dan harimau, dari
mengelak laksana burung seriti dan trenggiling.
Sementara itu, Pendekar Gila yang masih mengorek telinga, matanya mengawasi sosok yang wajahnya tertutup kain hitam. Mulutnya masih cengengesan, dengan tangan kiri sesekali menggaruk-garuk kepala. "Hi hi hi...! Kenapa kau tutupi mukamu?" tanya Pendekar Gila. "Aha, tapi
bagaimanapun, kau tak bisa menyembunyikan siapa dirimu sebenarnya, Murid
Durhaka." "Hhh!" Hanya dengus kecil keluar dari wajah tertutup kain hitam, yang ternoda
darah. Sepertinya
sosok Sugali tak mau berkata-kata. Ada sesuatu yang
tersembunyi. Hal itu membuat Pendekar Gila mengerutkan kening. Kemudian dengan melakukan semadi
berdiri, dirinya berusaha melihat keanehan itu.
"Aha, kau rupanya Siluman Buaya," desah Sena. "Ah ah ah! Meski kau menutup wajah barumu, kau tak bisa menyembunyikan
batinmu, Siluman!"
Tersentak kaget Sugali yang memang dirasuki
Ratu Siluman Buaya mendengar seruan Pendekar Gila.
Ratu Siluman Buaya sama sekali tak menyangka, kalau Pendekar Gila akan dapat mengetahui siapa dia
sebenarnya. "Hi hi hi...! Untuk apa kau main sembunyisembunyian, Siluman?" tanya Pendekar Gila dengan tertawa cekikikan. Tangannya
menutupi mulut. Dige-leng-gelengkan kepala, sepertinya melihat hal lucu.
"Keluarlah dari sembunyimu di raga Sugali!"
"Hm, ternyata nama besarmu bukan nama kosong, Pendekar Gila! Karena kau telah tahu siapa aku, maka kini tak ada alasan
lain bagiku. Aku memang ingin membantu pemuda yang raganya kupakai, untuk
membalas dendam padamu. Bersiaplah, Pendekar Gila!
Hea...!" dengan melompat laksana seekor harimau, Ra-tu Siluman Buaya yang
menghuni raga Sugali menyerang Pendekar Gila. Tangan-tangannya bergerak mencengkeram dan mencakar ke tubuh Pendekar Gila
dengan jurus 'Cakar Buaya Merayap'. Gerakan kedua
tangannya bergerak susul-menyusul dari bawah ke
atas. "Hi hi hi..! Hea...!" dengan masih cengengesan, Pendekar Gila bergerak
cepat mengelak. Dengan menggunakan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' tubuh
Pendekar Gila bergerak meliuk-liuk laksana menari,
diselingi tepukan-tepukan tangannya yang membuat
Ratu Siluman Buaya tersentak kaget
Prak! "Heh"!"
Ratu Siluman Buaya segera menggeser kaki kirinya ke samping. Kemudian dengan memiringkan tubuh ke kiri, tangannya bergerak memapaki tepukan
tangan Pendekar Gila.
"Yea...!"
Plak! "Aaakh...!"
Dua tangan yang mengandung kekuatan tenaga
dalam itu saling beradu. Tubuh keduanya terdorong
mundur ke belakang. Pendekar Gila mundur dua tindak ke belakang. Wajahnya cengengesan. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala, sedangkan tangan
kirinya menepuk-nepuk pantatnya.
Sementara Ratu Siluman Buaya terhuyung lima
langkah ke belakang. Tubuhnya agak tergetar, seakan
tak mampu menahan getaran kekuatan yang keluar
dari telapak tangan Pendekar Gila.
"Kau memang hebat, Pendekar Gila. Tetapi aku
tak mungkin kalah olehmu!" dengus Ratu Siluman
Buaya geram. Hatinya marah karena ternyata serangannya dapat ditahan Pendekar Gila. Bahkan dadanya
terasa sakit akibat benturan keras tadi.
"Hua ha ha...! Kurasa, masalah menang dan
kalah dalam bertarung bukan kuasa seseorang, Siluman. Ah ah ah! Aku hanya heran, mengapa kau ikut
campur dalam urusan manusia," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan.
"Itu urusanku."
"Aha, baik! Kalau memang itu yang kau kehendaki." "Cuih! Kau kira kau akan menang, Pendekar Gila! Terimalah jurus 'Buaya
Mengibas Ekor'. Hea...!"
dengan tenaga dalam penuh, Ratu Siluman Buaya
kembali bergerak menyerang. Tangan dan kakinya bergerak memukul dan menyerampang. Namun dengan
cepat Pendekar Gila melompat menghindarkan serangan lawan. "Hea!"
Dengan menggunakan jurus 'Gila Terbang
Mencengkeram Mangsa' Pendekar Gila berkelebat menyerang. Tubuhnya mencelat ke udara laksana terbang. Kemudian dengan cepat menukik dengan tangan
membuat cengkeraman memburu lawan.
"Yea!"
Melihat Pendekar Gila menyerang dari atas, Ratu Siluman Buaya segera mencelat ke atas. Kemudian
dengan cepat ditangkisnya serangan yang dilancarkan
Pendekar Gila dengan kedua tangan yang digerakkan
dari pinggang, menyatu dan membelah ke atas.
"Hea!"
Trak! "Hea!" dengan cepat Pendekar Gila menarik ka-ki kanannya ke depan, diikuti
dengan tangan kanan
ditarik ke belakang. Kemudian dengan tubuh bergerak
memutar, kaki kirinya menendang lurus ke tubuh Sugali itu. "Yea!"
Plak! "Hih"!" dengan cepat Ratu Siluman Buaya yang menghuni raga Sugali bergerak
merunduk. Kemudian
tangan kanannya memukul ke selangkangan Pendekar
Gila. "Hea...!"
"Uts! Hih...!" Pendekar Gila segera melemparkan tubuh ke belakang, dan bersalto
di udara beberapa
kali. Kemudian dengan kembali bersalto, Sena kembali
menyerang dengan cengkeraman tangan dan tendangan kaki kanannya.
"Yea!"
"Hea!"
Pertarungan antara Pendekar Gila melawan Ratu Siluman Buaya yang menghuni raga Sugali semakin
berjalan seru. Keduanya sama-sama lincah dan gesit
dalam menyerang maupun mengelak. Tubuh keduanya
bergerak cepat, sehingga kini yang nampak hanya kelebatan bayangan merah dan kekuningan saling kejar
di udara. *** Sementara itu, Mei Lie yang menghadapi Datuk
Raja Karang pun masih terus bergerak menyerang
dengan jurus 'Tarian Bidadari Merayu Dewa'. Tubuhnya meliuk-liuk, disertai gerakan-gerakan tangannya
yang lemah gemulai. Namun dari gerakan-gerakan kedua tangannya itu, keluar angin besar menderu-deru,
menyentakkan Datuk Raja Karang.
"Hebat! Tak percuma kau menyandang gelar
Bidadari Pencabut Nyawa!" seru Datuk Raja Karang sambil bergerak mengelitkan
serangan Mei Lie. "Tapi untuk menghadapi Datuk Raja Karang, ilmumu belum
seberapa. Hea...!"
"Jangan banyak omong, Datuk Setan! Hea...!"
Keduanya kembali berkelebat cepat untuk menyerang. Tangan dan kaki keduanya turut bergerak,
saling pukul dan tendang. Sementara tangan dan kaki
yang lain bergerak menangkis serangan dan sapuan
kaki dan tangan lawan.
"Hea!"
"Yea!"
Trak! Setelah terjadi benturan tenaga, keduanya melentingkan tubuh ke belakang. Berjumpalitan di udara
beberapa kali, kemudian turun dengan enteng ke atas
tanah. Mata keduanya saling pandang, berusaha menjajaki sampai seberapa ilmu lawan.
"Bagaimana, Bidadari" Apa akan kita teruskan
dengan senjata?" tanya Datuk Raja Karang menantang.
"Terserah!" sahut Mei Lie dengan suara dingin.
"He he he...! Kali ini kau akan kukirim ke akherat! Bersiap-siaplah!"
Srrt Datuk Raja Karang mencabut senjatanya yang
berbentuk arit bermata dua sehingga membentuk hurup Y. Digerakkan senjata itu dengan cepat. Dari mata arit mengeluarkan gulungan
asap merah yang mengandung racun.
"Hm...," gumam Mei Lie dengan mata menatap
tajam, menyaksikan senjata lawan yang mengeluarkan
asap merah. Tangan kanannya bergerak meraba gagang Pedang Bidadari. Kemudian perlahan-lahan ditariknya pedang sakti itu.
Srt! Pedang Bidadari kini telah berada di tangannya.
Seketika sinar kuning kemerahan keluar dari pedang
itu. Sementara itu dari rumahnya, Ki Lurah Pare Gobang terbelalak menyaksikan sinar dari pedang Mei
Lie. "Ck ck ck..! Bukan senjata sembarangan," gumam Ki Lurah Pare Gobang sambil
menggeleng- gelengkan kepala. Matanya membuka lebar, memandang pedang di tangan Mei Lie. Hatinya berharap, semoga kedua pendekar muda itu mampu mengalahkan
lawan-lawannya yang terkenal kejam dan biadab.
Suasana di pekarangan rumah Ki Lurah Pare
Gobang yang semula sunyi, seketika berubah menjadi
riuh. Penduduk desa tampak berdatangan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Mereka segera mengepung halaman rumah kepala desa.
Seperti halnya Ki Lurah Pare Gobang yang
mengintip dengan harap-harap cemas, penduduk Desa
Alu Lanang pun mengharapkan hal yang serupa. Mereka berharap Pendekar Gila dan Mei Lie akan memenangkan pertarungan itu.
Mei Lie kini telah mengeluarkan pedang sakti,
yang sampai saat ini belum ada tandingannya setelah
Suling Naga Sakti. Matanya menatap tajam Datuk Raja
Karang, bagaikan sepasang mata Pencabut Nyawa.
Dan kini Mei Lie benar-benar telah menjadi Bidadari
Pencabut Nyawa, yang siap menyabut nyawa iblis macam apa pun. Hati Datuk Raja Karang tergetar, menyaksikan
Pedang Bidadari. Sepertinya sinar kuning kemerahan
yang keluar dari pedang itu, menyentakkan hati Datuk
Raja Karang. Matanya masih terbelalak.
"Hm, pedang itu bukan pedang sembarangan.
Sinarnya mampu menggetarkan sukmaku," gumam
Datuk Raja Karang dalam hati dengan mata menatap
tajam Mei Lie yang sedang memegang Pedang Bidadarinya di depan wajahnya.
"Bagaimana, Datuk Iblis?" tanya Mei Lie.
"Hm, jangan kira dengan pedang itu, kau akan
mampu mengalahkanku?" dengus Datuk Raja Karang
sambil terus menggerakkan arit bermata dua yang semakin bertambah banyak mengeluarkan asap merah.
Asap itu bergulung-gulung, semakin banyak. "Hea...!"
Melihat Datuk Raja Karang melesat menyerang,
Mei Lie pun tak mau diam. Dengan menggunakan ju

Pendekar Gila 22 Kutukan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rus 'Tebasan Bidadari Batin', Mei Lie melesat menyerang, memapaki serangan Datuk Raja Karang. Matanya terpejam. Gerakan pedangnya tampak teratur
dan berirama. "Hea!"
Tubuh keduanya melesat ke udara, saling
menggerakkan senjata masing-masing.
"Hea!"
"Yea!"
Wrt! Wrt! Keduanya serentak menggerakkan senjata mereka masing-masing, berusaha membabat tubuh lawan. Kedua senjata di tangan mereka bergerak cepat
Trang! Prak! Bret! "Akh...!" jeritan keras membumbung tinggi terdengar dari mulut Datuk Raja Karang
ketika Pedang Bidadari di tangan Mei Lie membabat tubuhnya. Semua orang yang melihat membelalakkan mata. Pedang
Bidadari di tangan Mei Lie benar-benar membabat
pinggang Datuk Raja Karang dari kanan sampai keluar
ke kiri. Namun tubuh Datuk Raja Karang tak terpenggal. Tubuh sang Datuk tetap utuh. Terluka pun tidak!
"Heh"!"
"Hah"!"
Semua warga Desa Alu Lanang keheranan. Mereka tak percaya dengan apa yang terjadi. Rasa tegang menyelimuti hati warga
desa, termasuk Ki Lurah Pare
Gobang. Mereka mengira kalau Datuk Raja Karang benar-benar sakti, sehingga dibabat pedang Mei Lie pun
tak mempan. Namun sesaat kemudian mereka kembali
tersentak kaget dan keheranan.
"Heh"!"
"Hah"!"
Tubuh Datuk Raja Karang yang semula utuh,
seketika hancur menjadi debu. Hal itu pula yang
membuat semua warga Desa Alu Lanang dan Ki Lurah
Pare Gobang membelalakkan mata, bercampur dengan
suka cita dan rasa kagum pada Mei Lie.
"Ck ck ck..! Benarkah apa yang kulihat?" gumam Ki Lurah Pare Gobang dengan mata
hampir ke- luar, menyaksikan kejadian yang dilihatnya. Hatinya
benar-benar tak percaya, melihat kenyataan yang ada.
Tubuh Datuk Raja Karang yang semula utuh, dalam
seperempat minum teh saja telah hancur menjadi debu. Mei Lie segera melangkah mendekat ke tempat
pertarungan Pendekar Gila melawan manusia dengan
wajah tertutup kain hitam.
"Kakang, apakah aku perlu maju?" tanya Mei
Lie. "Aha, kurasa tak perlu, Mei. Hanya aku pinjam
pedangmu. Karena hanya dengan pedangmu, siluman
ini dapat dibinasakan!" seru Pendekar Gila.
"Terimalah ini, Kakang!"
Mei Lie segera melemparkan Pedang Bidadari
pada Pendekar Gila yang dengan cepat melenting ke
atas, kemudian dengan cepat menyambar pedang itu.
Trep! "Aha, masihkah kau tetap bertahan, Siluman"
Hea...!" dengan menggunakan Pedang Bidadari, Pendekar Gila segera menggebrak
Ratu Siluman Buaya yang
bercokol di dalam raga Sugali.
"Heh"!"
Ratu Siluman Buaya tersentak, menyaksikan
pedang bersinar kuning kemerahan di tangan Pendekar Gila. Sepertinya ada sesuatu yang menyentakkannya. Wrt! Bret! "Akh...!" terdengar pekikan menyayat. Namun pekikan itu suara lelaki. Suara
Sugali sebenarnya.
Saat itu juga, tubuh Sugali lebur. Kini tinggal sesosok tubuh manusia buaya yang
menyeramkan. "Grrr! Kubunuh kau, Pendekar Gila!" dengus
Ratu Siluman Buaya yang telah keluar dari raga Sugali yang hancur menjadi debu.
Dengan penuh amarah,
Ratu Siluman Buaya menyerang.
Pendekar Gila tak mau tinggal diam, segera dilemparkan Pedang Bidadari kembali kepada Mei Lie.
Lalu dengan cepat tubuhnya bergerak mengelakkan
serangan-serangan Ratu Siluman Buaya yang dahsyat.
Tampaknya Ratu Siluman Buaya telah menggunakan
jurus-jurus andalannya. Jurus-jurus pamungkas
'Siluman Buaya'.
"Yea! Grrr...!"
"Aha, rupanya kau pun harus segera pulang ke
asalmu, Siluman!"
Usai berkata, Pendekar Gila segera mencabut
Suling Naga Sakti-nya. Kemudian setelah melompat,
segera ditiupnya suling itu. Suara suling mulanya
mengalun lembut dan mendayu, yang membuat Ratu
Siluman Buaya terkesima diam. Matanya menatap
sayu pada Pendekar Gila.
Namun alunan Suling Naga Sakti semakin lama
semakin keras, melengking. Dan kemudian, dari sepasang mata kepala naga keluar sinar merah. Lankan sinar merah itu, melesat memburu tubuh Ratu Siluman
Buaya. Status! Glarrr...! "Wua...!" Ratu Siluman Buaya menjerit. Tubuhnya terbungkus api yang menyalanyala. Kemudian sosok berbentuk manusia buaya itu hilang tanpa bekas.
"Hidup Pendekar Gila!"
"Hidup Bidadari Pencabut Nyawa...!"
Sorak-sorai warga Desa Alu Lanang terdengar,
menyambut kemenangan Pendekar Gila dan Mei Lie.
Mereka serentak mengerubungi kedua pendekar muda
itu. "Hi hi hi...!" Pendekar Gila tertawa cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. "Aha, sebentar lagi pagi, Mei! Tuan-tuan, izinkan kami meneruskan perjalanan."
"Apa tak sebaiknya singgah di rumahku dulu,
Tuan?" tanya Ki Lurah Pare Gobang.
"Hi hi hi..! Aha, terima kasih, Ki. Sebenarnya
aku senang sekali kalau dapat menuruti ajakanmu.
Namun kami harus segera meneruskan perjalanan,"
kata Pendekar Gila. "Ayo, Mei!"
"Baiklah kalau memang begitu. Terima kasih
atas pertolongan kalian."
"Ah, tak perlu kau pikirkan. Ini sudah menjadi
kewajiban setiap manusia," sambut Mei Lie.
Kedua pendekar sejoli itu menjura, kemudian
melangkah meninggalkan Desa Alu Lanang diikuti tatapan kagum Ki Lurah Pare Gobang dan warga desanya. "Benar-benar pendekar utama," gumam Ki Lurah Pare Gobang sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
Matanya memandang penuh kekaguman pada Pendekar Gila dan Mei Lie yang terus melangkah semakin
jauh menuju selatan. Sampai akhirnya keduanya
menghilang. "Semoga kalian senantiasa dalam lindungan Hyang Widi"
Ki Lurah Pare Gobang pun meninggalkan tempat itu, diikuti warganya.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Sumpit Nyai Loreng 1 Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Suling Emas 10

Cari Blog Ini