Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti Bagian 2
yang dijatuhkan kepada ayahnya, yang membuat ayah
Legowo dibuang ke sebuah pulau akibat kesalahannya.
Dan dalam tempo beberapa saat kemudian, maka
tumbanglah pemerintahan Adipati Panji Gading, diganti
oleh Adipati Legowo. Kemudian, ia mempersulit ruang
gerak keluarga dan keturunan Panji Gading,
menjatuhkan hukuman mati dengan kesalahan yang
dicari-cari. Tujuannya hanya untuk memusnahkan
keturunan Panji Gading. Musibah itu, kini sedang
menimpa keluarga saya. Kedua anak lelaki saya dijatuhi hukuman mati karena
berkelahi dengan anak buah
Warok Sabuk Geni. Dan sekarang... Mahani yang akan
dijadikan korban nafsu binatang Legowo. Kami
mempertahankan Mahani, sebab dialah keturunan
terakhir dari keluarga Panji Gading saat ini...."
Lanangseta manggut-manggut dan menahan
kedongkolan mendengar kekejaman Legowo. Istri Pak
Lodang menyahut, "Kami ingin melarikan diri ke desa Tayub, di pesisir pantai
Selatan. Tetapi, kami takut
dibunuh anak buah Warok dalam perjalanan ke sana."
Pak Lodang menimpali, "Ya... kami punya paman di
desa Tayub, yang sudah bukan wilayah Kadipaten
Branjangan Wilis. Tapi untuk menuju ke sana, sangat
berbahaya. Padahal di sana kami akan hidup aman dan
tenang, meski kami sudah bukan keluarga Adipati lagi."
Semua tercenung, semua membisu. Sesekali mata
gadis manis itu masih mencuri pandang. Lanang tetap
diam saja. Kata Pak Lodang setelah saling membisu sesaat,
"Kalau nak Lanangseta tidak keberatan, tolong antarkan kami ke desa Tayub. Kami
sangat membutuhkan
tempat yang aman untuk kehidupan keturunan kami
selanjutnya...."
*** 4 LANANGSETA memilih waktu tengah malam untuk
keluar dari Desa Puger. Bahkan menjelang dini hari,
Lanangseta dan keluarga Lodang telah meninggalkan
perbatasan Desa Puger yang dijaga oleh beberapa orang
Kadipaten. Hanya saja, waktu itu para penjaga sedang
tertidur pulas, sehingga dengan selamat Lanangseta dan
keluarga Lodang berhasil keluar dari Desa Puger.
Namun apakah itu berarti mereka telah aman dari
keganasan dan kekasaran orang-orangnya Legowo"
Belum. Mereka memang menuju ke desa Tayub, di
pesisir pantai Selatan. Tapi jaraknya cukup jauh,
sedangkan perbatasan wilayah Kadipaten Branjangan
Wilis juga masih jauh. Mereka harus mencapai Gunung
Pekayon, lalu melewati gunung itu, barulah mereka
akan berada di luar batas Kadipaten Branjangan Wilis.
Dan untuk mencapai ke sana membutuhkan waktu
kurang lebih sehari semalam.
Lanangseta sebenarnya ingin mengetahui siapa Jaka
Bego itu" Mengapa sekarang jadi lengket kepadanya
dan selalu mengikutinya" Apa yang dicari oleh Jaka
Bego itu" Tetapi agaknya Lanangseta belum mempunyai
waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu. Dia masih
membiarkan Jaka Bego mengikutinya terus, seakan
mendampinginya ke mana saja. Dan tenaganya masih
bisa dimanfaatkan untuk disuruh ini-itu oleh
Lanangseta. Ia bagai ingin mengabdi kepada Pendekar
Pusar Bumi yang sudah menyandang gelar Malaikat
Pedang Sakti. Sepanjang tidak terlalu menjengkelkan
dan tidak membuat keributan, Lanang masih
membiarkannya. "Berhenti...!" seru suara dari balik semak belukar.
Lalu, dua orang bertampang bengis muncul dengan
satu loncatan yang mengagetkan Mahani. Gadis itu
segera memegangi ayahnya bagai minta perlindungan.
"Kalau tidak salah lihat, gadis itu memang benar
Mahani, Kakang Sumo Belang!" ujar lelaki yang
memegang rantai bermata kampak tajam.
"Benar, Gendono...! Aku hapal betul dengan wajah
cantik calon garwo selir Kanjeng Adipati itu," ujar Sumo Belang yang wajahnya
separoh hitam, separohnya lagi
coklat. Pak Lodang berbisik kepada Lanang, "Itu juga
termasuk orang andalan Legowo. Ia di bawah Warok
pangkatnya."
Lanangseta manggut-manggut dengan tenang. Sumo
Belang yang memegangi tombak bermata kampak ganda
itu mulai mendekat, diikuti orang yang bernama
Gendono bersenjata rantai yang ujungnya bermata
kampak juga. Mahani bergeser, merapat ke ayahnya, demikian
pula Mak Lodang dan Genduk. Hanya saja, Genduk
lebih merapat ke Jaka Bego, sehingga Jaka Bego
menjadi risi dibuatnya.
"Tempat lega kok mepet-mepet sih..."!" hardik Jaka Bego kepada Genduk. Perempuan
pendek sedikit gemuk
itu hanya cemberut dan bersungut-sungut, lalu
mencoba merenggangkan jarak dengan Jaka Bego.
"Mau ke mana kalian, hah..."! Mau kabur ke mana
Mahani"!" hardik Sumo Belang yang berdiri tegak dan bertolak pinggang dengan
tangan sebelah memegangi
tombak kampak ganda.
"Apa urusanmu menanyakan hal itu?" kata
Lanangseta dengan sikap biasa-biasa saja.
"Aku bertanya kepada Mahani, bukan kepada seekor
monyet!" bentak Sumo Belang. "Mau ke mana kau, Mahani"!"
"Mau lari ke desa Tayub!" celetuk Jaka Bego dengan lantang, seakan ia telah
bicara dengan berani dan
benar. Lanangseta mendekati Jaka Bego dengan geram.
Ia menginjak kaki Jaka Bego dan berkata gemas,
"Jangan bicara seenak mulutmu, Bego! Itu rahasia kita!"
"O, ya... maaf. Aku lupa." Kemudian Jaka Bego memandang berani kepada Sumo
Belang dan berkata,
"Eh, kami tidak pergi ke desa Tayub! Tidak ke sana!
Sebab itu rahasia yang tidak boleh diomongkan, tahu"!"
"Aduuuh... Jaka Bego kok ngomong begitu..."!"
Mahani berbisik penuh kecemasan. "Lanangseta,
bagaimana ini"!"
"Tenanglah, Mahani," kata Lanang kalem, sambil di mulutnya ia masih menggigitgigit sehelai ilalang.
Genduk ikut cemas. "Jaka Bego... bagaimana ini"!"
"Diamm...!" bentak Jaka Bego. Padahal yang
diharapkan Genduk adalah jawaban sekalem Lanang
terhadap Mahani tadi. Akhirnya Genduk hanya
cemberut dan bersungut-sungut lagi.
"Kami harus membawa Mahani, sebab dia adalah
calon istri Kanjeng Adipati Legowo. Dia tak boleh ke
mana-mana!" kata Gendono seraya mempermainkan
rantainya. "Tidak bisa!" jawab Jaka Bego dengan lantang dan berani. "Mahani harus
disembunyikan! Mahani tidak boleh kawin dengan si Legowo...!"
"Keparat kau!" geram Gendono.
"Iya. Memang keparat. Mau apa kalian, ha?" tantang Jaka Bego.
Lanang tenang, mendekati Jaka Bego dan berbisik,
"Kau berani...?"
Jaka Bego berpaling dan menatap dengan wajah
sedih. Ia menggeleng. "Tidak, ah...!"
"Kok suaramu sekeras kaleng rombeng"!"
"Aku cuma menantangkan buat kamu...."
"Aku tidak ingin berkelahi melawan mereka. Kamu
tahu, senjata mereka itu cukup berbahaya. Kepalamu
bisa dipenggal dengan kampak itu, tahu?"
Jaka Bego berwajah takut dan bergidik merinding.
"Hii... ngeri, ya?"
Tiba-tiba terdengar suara Sumo Belang. "Gendono...!
Seret gadis itu kembali ke kadipaten!"
Gendono maju. Pak Lodang dan istrinya cemas,
apalagi Mahani, ia semakin kuat memegangi ayahnya.
Jaka Bego segera bersembunyi di balik tubuh
Lanangseta yang kekar. Lanang bergerak kebingungan
karena pinggangnya bagai digelitik tangan Jaka Bego.
"Hei, hei... apa-apaan ini"! Bisa melorot celanaku, Bego!"
"Mereka mau merebut Mahani. Lihat...!"
"Aauww... jangaaan...!" Mahani meronta di tangan Gendono.
"Pancing dia supaya melepaskan Mahani, nanti aku
yang menghadapi Sumo Belang itu," bisik Lanangseta kepada Jaka Bego. Maka, tanpa
menunggu perintah
kedua kalinya Jaka Bego berlari menyerang Gendono
yang tengah berusaha menyeret Mahani dari tangan
ayah Mahani. Jaka Bego langsung menggigit tangan
Gendono yang memegangi lengan Mahani. Tentu saja
Gendono menjerit kesakitan, lalu mengibaskan tangan
yang digigit Jaka Bego. Kibasannya begitu kuat
sehingga Jaka Bego terpental ke belakang sampai
berjarak tiga langkah. Ia jatuh dengan pantat
membentur batang kayu kering.
"Kubunuh kau, Bocah edan...!" geram Gendono yang kemudian mengibaskan rantai
bermata kampak itu.
"Sreet...!" Rantai meluncur, ujungnya mengarah ke wajah Jaka Bego. Pemuda kurus
kerempeng itu ketakutan, lalu berguling ke kiri. Tepat pada waktu itu mata rantai mengenai
kayu kering. "Craaak...!"
Jaka Bego buru-buru bangkit dan berusaha
melarikan diri. Namun rantai di tangan Gendono itu
ternyata bisa terulur menjadi panjang. "Sreeett...!" Jaka Bego melompat ke kiri
bagai sedang menubruk seekor
katak. Wajahnya membentur tanah berumput. Namun
terasa pedas juga di kulit wajah itu. Tetapi baginya itu lebih baik daripada
harus disambar ujung kampak yang
tajam berkilat itu.
"Biar kuurus anak setan ini, kau geret saja Mahani!"
seru Sumo Belang yang kemudian mengejar Jaka Bego.
Sementara itu, Gendono segera kembali ke Mahani.
Namun langkahnya terhenti, karena sekarang Mahani
sudah berada di belakang Lanangseta. Pendekar Pusar
Bumi itu berdiri dengan tegap, kakinya terenggang
mantap, sekalipun ia masih menggigit-gigit sehelai
ilalang dan mengisap-isapnya.
"Kau orang asing di Kadipaten kami! Jangan turut
campur urusan ini!" gertak Gendono.
"Aku tidak turut campur," jawab Lanangseta tenang.
"Minggir kalau begitu...! Biar kuseret gadis bandel itu dan kuhadapkan ke
Kanjeng Adipati Legowo. Minggir!"
"Silahkan singkirkan aku...! Dan ambillah Mahani...!"
Gendono menggeram, kemudian segera menyerang
Lanangseta dengan sebuah pukulan ke depan.
Lanangseta tak menangkis, namun mengelak dengan
cara menggerakkan kepalanya ke samping kiri dan
badannya pun ikut meliuk. Pukulan Gendono mengenai
tempat kosong. Pada saat tangan Gendono molos ke
samping kanan Lanangseta, kaki Lanang yang kanan
bergerak cepat. Ujung kaki terangkat jarinya, dan
dengan mantap menendang ulu hati Gendono.
"Huhhgh...! Setan kau...! Hiaaaat...!"
Gendono mengibaskan tangannya bagai pedang yang
sedang membabat leher, dan dengan cepat kepala
Lanangseta meliuk ke bawah, lalu tegak lagi setelah
tangan itu melesat menuju tempat kosong. Lalu, pada
saat itu pula kaki Lanang menginjak kaki Gendono.
Dengan gerakan merendahkan badan, tangan Lanang
menghantam keras rusuk Gendono.
"Aaahh...!" Gendono mengaduh. Tubuhnya tak bisa bergerak mengelak karena kakinya
diinjak Lanangseta.
Tapi kini, sekali lagi Lanangseta memukul kuat dan
keras rusuk Gendono sambil melepaskan injakannya.
Dan begitu pukulannya menghantam rusuk Gendono,
tubuh itu melayang ke belakang dalam satu teriakan
kesakitan. Tubuh itu hilang keseimbangan, kemudian
jatuh bagai nangka rubuh dari atas pohon.
Lanang berjalan kalem ke arah yang bersifat
menjauhi Mahani sekeluarga. Sebab ia tahu Gendono
ingin melancarkan pukulan rantai bermata kampak itu.
Dugaannya memang tepat. Dalam keadaan belum
bangun dari tanah ia masih sempat memutarkan rantai
kampaknya yang dapat meluncur jauh itu. Lalu dengan
satu hentakan tertentu, rantai itu meluncur hendak
menghantam kaki Lanangseta. Dengan ringan tubuh
Lanangseta meloncat dan bersalto ke depan. Kakinya
jatuh di dekat Gendono. Kaki itu seketika menendang
muka Gendono dengan keras sekali, sehingga salah
satu giginya ada yang terlepas keluar.
"Wadoooww...!" teriak Gendono sambil menutup mulutnya yang berdarah. Ia
berguling sejenak dan
meraung kesakitan. Lanang membiarkan. Berdiri
dengan tegap dan bertolak pinggang tangan sebelah.
Mulutnya masih sibuk menggigit-gigit dan menghisaphisap sehelai ilalang.
Lanang menyempatkan melirik keadaan Jaka Bego.
Agaknya Sumo Belang merasa kewalahan menghadapi
Jaka Bego. Secara kebetulan setiap ia menebaskan
tombak bermata kampak ganda itu tubuh Jaka Bego
selalu dapat terhindar. Satu kali Jaka Bego berdiri
dengan wajah ketakutan, ingin bicara tapi lidahnya
kelu. Tangannya bergerak-gerak seakan mengatakan,
"Jangan... jangan bunuh saya...." Namun Sumo Belang sudah terlanjur marah. Ia
menusukkan tombaknya
dalam jarak hanya tiga langkah dari depan Jaka Bego.
Tetapi pada saat tombak bergerak cepat ke arah Jaka
Bego, tiba-tiba kakinya yang melangkah mundur itu
tersangkut akar semak dan ia terpelanting jatuh tepat
pada saat di mana ujung tombak seharusnya menancap
di dadanya. Akibatnya, tusukan tombak Sumo Belang
mengenai tempat kosong. Jaka Bego terguling di
rerumputan, kakinya tak sengaja menggaet kaki Sumo
Belang, sehingga di luar dugaan Sumo Belang sendiri
Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpelanting jatuh. Pada saat itu Jaka Bego semakin
ketakutan. Ia segera bangkit dan menolong Sumo
Belang seraya berkata, "Maaf... maaf. saya tidak sengaja kok. Sumpah! Tidak
sengaja...." Ia mengulurkan tangan hendak menolong Sumo Belang untuk bangkit.
Tentu saja hal itu menggemaskan hati Sumo Belang. Maka
kepala Jaka Bego pun segera dipegang. Rambutnya
yang acak-acakan ditarik sekuatnya ke arah lutut Sumo
Belang. Kepala Jaka Bego hendak dibenturkan dengan
lutut Sumo Belang, tetapi karena Jaka Bego meronta
dan berteriak kesakitan, akibatnya ia yang mencoba
berdiri itu jatuh tersentak ke bawah. Tak sengaja lutut Jaka Bego menghantam
mulut Sumo Belang dengan
keras. "Aaoww...! Uuf... uff...!" Sumo Belang membuang kepala Jaka Bego karena mulutnya
terasa pecah terkena dengkul anak itu. Jaka Bego terpental jauh dan berguling-guling sambil
berteriak ketakutan dan
kesakitan. Ia memegangi lututnya setelah mampu
berdiri. Ia meringis, merasakan sakit pada lututnya itu.
Sedangkan Sumo Belang masih af-uf, af-uf... menahan
sakit di bibirnya. Darah keluar dari bibir yang retak. Hal ini menambah
kemarahan yang meluap dari diri Sumo
Belang. Ia segera mengejar Jaka Bego.
Hampir saja Lanangseta terkena ujung rantai
Gendono karena ia tertawa geli melihat pertarungan
Jaka Bego dengan Sumo Belang. Untung gerakan reflek
dari kepala Lanangseta cukup sempurna, sehingga
mata kampak yang mengkilat itu mampu dihindari
dengan hanya merunduk. Dengan cepat tangan kiri
Lanangseta menyahut rantai itu. Gendono berusaha
mencabut kembali rantainya, namun kekuatannya
bagai tak memadai kekuatan Lanangseta dalam
menahan rantau. Lalu, dengan sekali hentak,
Lanangseta berhasil membuat tubuh Gendono
melayang ke arahnya tanpa keseimbangan. Tubuh itu
disambut dengan pukulan Lanang ke arah leher
Gendono. "Hekkghh...!" suara leher tersekat benda berat. Mata Gendono mendelik. Pegangan
rantainya terlepas dari
tangannya, dan sebelum ia jatuh ke tanah, kaki
Lanangseta menendangnya keras-keras dengan satu
teriakan, "Hiaaat...!"
"Aaaakhhh...!" Tubuh Gendono yang besar itu
melambung beberapa meter dari tanah. Pada waktu itu,
Sumo Belang sudah kehilangan kesabaran lagi. Ia
melemparkan tombaknya ke arah Jaka Bego yang lari
meninggalkan Sumo Belang. Kakinya terantuk batu,
dan Jaka Bego tersungkur jatuh. Tombak yang menuju
ke arah punggungnya melesat terus dan di luar dugaan
tombak berujung kampak ganda itu telah mengenai
perut Gendono! "Jubb...! Breet...!"
Gendono jatuh ke tanah dengan mata mendelik. Isi
perutnya berhamburan. Ia meregang dan kelojotan, lalu
tak sempat bernafas untuk selamanya.
Jaka Bego terbengong ngeri melihat tubuh Gendono
terkena lemparan tombak Sumo Belang. Ada lecet di
kening Jaka Bego karena ia jatuh tersungkur nyaris
mencium batu. Tetapi luka kecil itu tak dihiraukannya, karena Sumo Belang telah
berdiri di belakangnya
hendak menginjak tubuh Jaka Bego. Sumo Belang
benar-benar mengalami puncak kemarahan.
"Kau telah membunuh temanku, Bangsaaaat...!"
"Lho, bukan saya... saya kan tidak punya tombak...
saya tidak melemparkan apa-apa kok. Sumpah...!"
"Jaka... minggir...!" teriak Pak Lodang yang merasa ngeri melihat Jaka Bego
masih telentang sedangkan
kaki Sumo Belang sudah berada di dekatnya. Satu
langkah lagi Jaka Bego akan terinjak kaki itu. Tapi
memang dasar tolol, Jaka Bego tidak menyingkir,
melainkan bahkan meminta maaf, "Maaf... saya tidak sengaja membunuh temanmu.
Saya tadi tersandung
batu...! Sungguh kok, saya...!"
"Mampus kau!" teriak Sumo Belang sambil
menghentakkan kakinya menginjak perut Jaka Bego.
"Aaah...!" jerit Mak Lodang seraya menutup mukanya sendiri, tak tega melihat
Jaka Bego yang kurus diinjak oleh kaki Sumo Belang yang besar, kekar itu.
Pada saat kaki Sumo Belang menginjak perut Jaka
Bego, anak itu tersentak dengan kaki terangkat
seketika. Matanya mendelik, ia sukar bernafas. Tapi
kakinya yang tersentak naik secara otomatis itu telah
mengenai rusuk Sumo Belang. Akibatnya Sumo Belang
meringis kesakitan. Ia menghentakkan kakinya ke perut
Jaka Bego lagi. Namun, kali ini kaki Jaka Bego juga
terangkat dengan sendirinya, semacam sebuah per yang
bekerja untuk menahan rasa sakit.
Mata Jaka Bego mendelik lagi dengan nafas sukar
dihembuskan. Ia tak tahu kalau gerakan kakinya telah
menendang rusuk Sumo Belang lagi, bahkan lebih
keras sehingga Sumo Belang pun jatuh menahan sakit.
"Cepat lari...! Lari, Jaka...! Lariii...!" teriak Mahani di dekat ayahnya.
Mendengar jeritan Mahani, Jaka Bego seperti
memperoleh suatu kekuatan. Yang jelas ia merasa malu
kalau sampai kalah di depan Mahani, gadis yang cantik
manis itu. Jaka Bego segera bangkit dan berlari. Tapi
baru satu langkah ia berlari, kakinya telah menginjak
batu sebesar satu genggaman. Batu itu tersentak ke
belakang bersamaan dengan itu Jaka Bego tersungkur
kembali jatuh ke tanah.
"Bruuk...!"
"Wadow biyuung...!" teriak Jaka Bego. Hanya saja, ia tak menyadari kalau batu
yang diinjaknya itu juga
tersentak ke belakang dengan keras. Melesat cepat dan
masuk ke mulut Sumo Belang yang waktu itu sedang
ternganga untuk menahan sakit.
"Uhmm... uuhmm...!" Sumo Belang berusaha
mengeluarkan batu yang masuk ke mulutnya. Jaka
Bego terbelalak melihat keadaan musuhnya yang
menyedihkan. "Astagaaa...! Batu itu masuk ke mulutnya"!"
Takut Sumo Belang semakin marah kepadanya,
maka Jaka Bego segera menghampiri orang itu dan
berusaha mengeluarkan batu dari mulut Sumo Belong.
"Maaf, aku tidak sengaja. Aku terpeleset batu ini, dan batu ini mental masuk ke
mulut... Maafkan saya. Saya
kira waktu tadi mulutmu tidak sedang menganga...!"
Tangan Sumo Belang yang marah itu mengibas dan
mengenai pipi Jaka Bego. "Plook...!" Jaka Bego terpental ke belakang. Lalu ia
berteriak, "Saya mau membantu mengeluarkan batu itu! Kok malah dipukul...?"
"Biarkan, Jaka...! Biarkan dia mati menelan batu!"
teriak Genduk dengan tegang. Mendengar seruan itu,
Jaka Bego bahkan semakin berusaha membantu
musuhnya mengeluarkan batu. Ia memukul tengkuk
kepala Sumo Belang supaya batu itu dapat tersentak
keluar. Tapi rupanya batu itu cukup besar dan pas
seukuran mulut Sumo Belang.
"Batu bandel...!" geram Jaka Bego. Lalu ia memukul belakang kepala Sumo Belang.
Ia terpaksa memukul
sekuat tenaga dan berulang-ulang, supaya batu bisa
meloncat keluar dari mulut.
Tetapi di luar dugaan, pukulan yang sekeraskerasnya itu telah membuat otak belakang di kepala
Sumo Belang terganggu. Persendian antara kepala
dengan leher menjadi retak, dan hal itulah yang
membuat Sumo Belang mengejang, darah keluar dari
mulut dan hidung. Jaka Bego makin kaget. Ia mundur
beberapa langkah dengan mata mendelik. Tak lama
setelah itu, tubuh Sumo Belang mengejang dan tak
bergerak lagi. "Lho, kok malah mati..."!" Jaka Bego takut
bercampur rasa heran. Ia memandang Lanangseta yang
dari tadi sengaja diam saja tidak mau membantunya.
Senyum Jaka Bego tak ada, tapi senyum Lanangseta
terlihat samar. Sepertinya Lanangseta telah mengetahui apa sebenarnya yang
terjadi. Ia mendekati Jaka Bego,
menepuk pundak dan berkata, "Suatu pukulan yang
bagus...! Cukup mematikan."
"Ta... tap... tapi saya tidak bermaksud
membunuhnya...."
"O, ya..." Katakanlah kepada Genduk dan Mahani
begitu. Tapi jangan katakan kepadaku begitu. Aku tidak seperti mereka, Jaka
Bego." Kata-kata Lanangseta seakan mempunyai arti
tersendiri yang sukar dipahami orang awam. Pak
Lodang dan istrinya berkerut dahi mendengar ucapan
itu, namun mereka tak berani menanyakannya.
Sebaliknya, Jaka Bego yang tadi bagai orang ketakutan
dan heran itu kini mencemberutkan wajah. Kemudian
matanya menjadi sayu dalam kebeloonan. Ia seperti
orang yang tidak pernah menyesali tindakannya.
Bagi Lanang, ia memang tak dapat dibohongi bahwa
semua gerakan sudah diatur sedemikian rupa oleh Jaka
Bego. Jelas hentakan batu itu mempunyai suatu
kekuatan khusus sehingga bisa tepat masuk ke mulut
Sumo Belang. Juga pukulan di tengkuk kepala Sumo
Belang itu, bukan semata-mata pukulan yang berguna
untuk mengeluarkan batu dari mulut Sumo Belang,
melainkan pukulan yang mempunyai suatu tenaga
dalam, disalurkan secara tidak kentara. Tanpa begitu,
mustahil Sumo Belang yang kekar itu mampu
merenggang dan mati akibat pukulan tersebut. Namun
agaknya Jaka Bego tidak ingin Lanangseta berbicara
soal itu, karenanya Jaka Bego segera berkata kepada
Pak Lodang, "Kok bisa mati, ya?"
"Kebetulan Yang Maha Kuasa sedang melindungimu,
Nak." "Ya. Terima kasih Yang Maha Kuasa!" teriak Jaka sambil menengadah ke langit.
Kemudian ia berbalik
kepada Mahani, "Kak Mahani..." Kau tidak apa-apa?"
"Tidak. Aku tidak ada yang luka sedikit pun. Oh,
Lanang... terima kasih atas pertolonganmu...."
Jaka Bego terbengong. "Kok Lanang yang mendapat
ucapan terima kasih?" pikirnya.
Lanang menjawab kata-kata Mahani, "Ini baru
permulaan. Siapa tahu setelah ini ada yang lebih ganas lagi...."
"Tapi tenang saja kita," ujar Genduk. "Kan ada Jaka Bego yang hebat...."
"Huuuhh...!" Jaka Bego bersungut-sungut, merasa tak suka mendapat pujian dari
Genduk. Ia ingin Mahani
yang memujinya.
"Terima kasih, Jaka Bego," ucap Genduk sambil nyengir.
"Terserah...!" jawab Jaka Bego dengan berjalan menuju arah semula.
*** 5 MALAM menyelimuti bumi. Langkah-langkah kaki
mereka mulai loyo, terutama Jaka Bego. Pemuda kurus
kerempeng itu bahkan berkata kepada Lanangseta,
"Sebaiknya saya pulang saja. Saya tak sanggup
mengikuti perjalanan ini. Dari malam sampai malam
tak ada berhentinya."
"Silahkan...!" jawab Lanangseta dengan tetap berjalan menuntun Mahani. Mendengar
jawaban itu, Jaka Bego hanya menggerutu.
Yang lebih menjengkelkan Jaka Bego adalah keadaan
pahit yang ia alami. Pak Lodang menuntun istrinya
yang sudah limbung jalannya. Lanangseta menuntun
Mahani yang malu-malu berjalan sambil bergelayutan di
pundak Lanang. Sedangkan Jaka Bego sebentarsebentar jalan berpindah-pindah urutan. Jika Genduk
ke depan, Jaka Bego berganti jalan paling belakang.
Jika Genduk memperlambat langkah dan menjadi
paling belakang, Jaka Bego mempercepat langkah
sehingga ia berjalan paling depan. Begitu seterusnya,
sehingga gerutu dan sungut-sungut keduanya samasama silih berganti. Jelasnya, Jaka Bego tak mau jika
disuruh menuntun Genduk. Sedangkan Genduk, tak
punya pegangan. Hanya Jaka Bego yang masih belum
punya tuntunan. Karenanya ia berharap dapat dituntun
Jaka Bego. "Aku lemas sekali, Jaka...." ujar Genduk.
"Aku tidak menyuruhmu lemas. Salah sendiri
kenapa mau menjadi lemas." jawab Jaka Bego ketus.
"Uuhh... capeknya...." Genduk sengaja mengeluh.
"Kenapa nasibku tidak seperti Non Mahani itu, ya?"
"Jelas lain! Kamu kan bukan keturunan Panji
Gading. Menurutku kamu keturunan Gading Gajah...."
"Iiih... kamu begitu, ah!" Genduk ingin mencubit, tapi tiba-tiba dihindari oleh
Jaka Bego, sehingga tubuh yang lemas itu pun jatuh tersungkur.
"Ada apa itu?" seru Pak Lodang yang ada di paling depan. Jaka Bego hanya
menyahut, "Semangka jatuh, Pak."
"Hei," hardik Lanang kepada Jaka Bego. "Jangan usil, Bego! Kasihan Genduk kan?"
"Tapi saya tidak menyuruhnya jatuh kok.
Menyentuhnya pun tidak!" bantah Jaka Bego, kemudian jalan lebih cepat sehingga
ia ada di paling depan.
Lanangseta menyempatkan menolong Genduk. Tetapi
ketika hendak dituntun, Genduk merasa tak enak.
"Saya masih bisa jalan sendiri kok, Mas Lanang...."
Mahani masih bergelayutan di pundak Lanangseta.
Langkahnya sedikit diseret. Rasa lelah, kantuk dan
lapar, membuatnya tak dapat bicara apa-apa lagi. Rasa
malu kepada Lanangseta dibuangnya jauh-jauh. Yang
penting ia bisa tetap berjalan dengan tanpa terjatuhjatuh. "Masih bisa bertahan, Mahani?" tanya Lanangseta dengan lembut. Mahani
mengangguk. Lanangseta
merangkul, setengah memapah langkah Mahani. Dan
hal ini pula yang membuat Mahani tidak menolak
untuk meneruskan perjalanan di malam hari. Tak
semua orang tahu kalau tangan Lanangseta
merangkulnya, bahkan tak seorang pun tahu kalau hati
Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahani berdesir-desir dalam rangkulan pendekar
tampan itu. Sejak dari kedatangan Lanangseta, Mahani telah
mengalami keanehan dalam dirinya, yaitu suatu
perasaan senang dan gairah untuk hidup lebih lama.
Sejak pembicaraan demi pembicaraan, pandangan demi
pandangan, hati Mahani selalu mendesah-desah bagai
digelitik oleh tangan-tangan usil. Terutama bibir
Lanangseta yang begitu menarik baginya, seringkali
menghadirkan keluh kemesraan yang tak tahu apakah
akan terjangkau olehnya atau tidak. Yang jelas, ia
menjadi bersemangat mengadakan perjalanan jauh
seperti itu. Ia sangat setuju, sebab ada harapan di balik perjalanannya itu.
Lanangseta tahu bahwa Mahani memaksakan diri
untuk berjalan sedemikian jauhnya. Namun Lanangseta
tak tahu kalau Mahani menyembunyikan satu debaran
jantung dalam pelukan Lanangseta. Yang diketahui
Lanang hanya rasa lelah dan kantuk begitu berat
menyerang Mahani. Sebenarnya ia ingin menghentikan
perjalanan. Menundanya sampai esok. Tapi ia sangat
khawatir jika esok sebelum ia keluar dari perbatasan
Kadipaten Branjangan Wilis, anak buah Legowo telah
menyusulnya. Jadi, meski malam dan melelahkan, ia
harus memaksakan mereka untuk tetap berjalan.
"Kau tidak menyesal meninggalkan Desa Puger,
tempat kelahiranmu itu, Mahani?" kata Lanangseta, karena menurutnya dengan
mengajak ngobrol Mahani,
setidaknya dapat mengalihkan perhatian gadis itu
sehingga kelelahan dan kantuk sedikit berkurang.
"Tanah kelahiran yang penuh kepahitan, untuk apa
diberatkan" Aku ingin hidup tenang, seperti gadis-gadis lainnya." jawab Mahani
dengan suara mengambang
karena kantuk dan kelelahan.
"Tak sayang meninggalkan teman-temanmu?"
Mahani terasa menggelengkan kepala. "Aku tidak
punya teman. Selama ini aku hanya mengeram di
kamar, di dalam rumah dan jarang sekali diizinkan
ayah untuk keluar."
"Kenapa" Takut menjadi incaran orang-orang
Legowo?" "Kata ayah begitu."
"Dan kau... kau juga tidak punya teman pria yang
istimewa?" pancing Lanangseta mencarikan gairah lain.
Mahani tidak menjawab. Mungkin malu, mungkin
juga bimbang untuk menentukan jawabannya. Namun
sebaliknya, ia bahkan bertanya, "Apa kau sendiri
mempunyai teman wanita yang istimewa?"
Lanangseta tertawa pendek. "Menurutmu,
bagaimana?"
"Pasti kau sudah punya kekasih!" tebak Mahani dengan suatu debaran hati yang
menggelisahkan, dan
membuat ia punya kekuatan lain untuk melangkah.
"Dari mana kau bisa mengatakan begitu?" desak Lanang.
"Ketampananmu, dan... yah, kurasa hanya gadis
bodoh yang tidak tertarik kepadamu, Lanang."
Sekali lagi Lanangseta tertawa pelan. Ia berbisik,
"Apakah kau termasuk gadis bodoh?"
Mahani menjadi malu, ia terperangkap dalam
jebakannya sendiri. Ia ingin menyatakan bahwa dirinya
bukan gadis bodoh, tapi... rasa-rasanya ia lebih malu
lagi. Sebab dengan begitu ia berarti telah berterus
terang bahwa dirinya tertarik oleh Lanangseta. Oh, dia tak mau mendahului bicara
demikian. Ia hanya
menjawab, "Apa kau bisa menilaiku, termasuk gadis bodoh atau gadis yang pintar?"
Lanang menjawab lirih, "Kurasa... kau gadis yang
pintar, Mahani. Tapi sayang, kau tidak berani
mengemukakan kepintaranmu."
Mahani tahu maksudnya, Lanang hanya ingin
mengatakan, bahwa dirinya tak berani mengutarakan
perasaan tertariknya kepada Lanangseta. Mahani diam
saja. Ia tak tahu harus bicara apa lagi kepada pendekar tampan yang menggoda
hatinya itu. Tetapi Lanang tahu gerakan naluriah yang tersirat
dari isi hati Mahani. Tangannya menggenggam tangan
Lanang dan ia hanya mendesah dengan suatu
hempasan nafas yang penuh arti. Lanang sengaja
menggodanya. "Sayang tidak ada gadis seperti kamu yang mau tertarik kepadaku.
Yahh... maklumlah, aku
ini kan orang tak tentu arah. Tak punya rumah dan
harta berharga apa pun. Jadi, sangat wajar jika tak ada gadis semanis kamu yang
mau mengisi kehidupan ini."
"Jangan berkata begitu, Lanang. Aku tak suka."
"Memang nyatanya tak ada kok."
"Kalau ternyata ada gadis yang tertarik denganmu, bagaimana?"
"Yaah... aku bersyukur."
"Hanya bersyukur?" nada ucapan Mahani sedikit protes.
"Dalam segala perkara, dan setiap hal, kita wajib mengucapkan syukur. Berterima
kasih kepada Hyang
Widi, yang menciptakan kita serta seisi alam ini. Jadi, bersyukur adalah
tindakan yang paling baik bagiku,
jika memang ada gadis semanis kamu mau menemani
hidupku." "Kalau begitu aku salah duga." Tiba-tiba terdengar suara Mahani setelah bungkam
sementara waktu.
"Salah duga bagaimana?"
"Kukira kau tidak hanya akan bersyukur jika ada
gadis sepertiku yang mau menemani hidupmu."
Lanangseta tertawa pendek, tetapi ia semakin
mempererat pelukannya. Hati Mahani sedikit
memperoleh kelegaan ketika merasakan pelukan itu
semakin erat. Paling tidak untuk sementara ini ia masih bisa memiliki semangat
untuk tetap berjalan menyusuri
gelap, menembus semak hutan bersama Lanangseta.
Namun, betapa ingin hatinya terpeluk erat, Mahani
tetap berusaha menutupi keinginan itu. Ia tak ingin
mendapat penilaian sebagai gadis murahan, sebagai
gadis gampangan dan ia tak ingin Lanang mengatakan
bahwa dirinya tumbuh sebagai gadis kurang sopan.
Betapa berat dan sesaknya, Mahani harus bisa
menyimpan baik-baik perasaan hatinya. Tak wajar jika
ia menyatakan cinta lebih dulu sebelum Lanangseta
melontarkan isi hatinya.
Dan ketika itu, pagi mulai menyingsing. Mereka telah
sampai di kaki Gunung Pekayon, yang merupakan
perbatasan wilayah Kadipaten Branjangan Wilis. Desa
yang dituju mereka memang masih jauh. Masih harus
ditempuh dengan berjalan kaki kira-kira satu hari lagi.
Lanangseta memperkirakan mereka akan tiba di desa
Tayub menjelang matahari tenggelam nanti.
"Aku terlalu capek, Pak...." kata mak Lodang.
Kemudian Pak Lodang meminta kepada Lanang untuk
beristirahat beberapa saat mengingat keadaan istrinya
begitu memprihatinkan sekali.
"Iya, istirahat dululah...! Kita harus mempunyai
tenaga untuk sampai ke desa Tayub nanti," timpal Jaka Bego.
"Baiklah.... kita istirahat dulu, tapi cari tempat yang aman dan dapat dipakai
buat berlindung sewaktu-waktu." kata Lanangseta, dan nafas-nafas pun
terhempas lega. Di hutan itu ada pohon cukup besar,
akarnya pipih dan membentuk suatu segitiga, mirip
sebuah dinding ruangan. Di situlah mereka beristirahat, melepas lelah setelah
sehari semalam berjalan tiada
henti. "Pak Lodang...." kata Lanangseta. "Apakah ada jalan lain yang lebih dekat menuju
desa Tayub?"
Pak Lodang berpikir, matanya berkedip-kedip,
sesekali ia memandang Lanangseta, seperti ragu untuk
mengatakan sesuatu. Lanangseta merasa aneh. Lalu
mendesak dengan pertanyaan lagi, "Maksud saya, kalau ada yang lebih dekat,
ibaratnya kita bisa potong jalan, yah... sebaiknya kita memotong jalan sajalah.
Supaya lebih cepat."
Setelah diam sesaat, Pak Lodang berkata dengan
lirih, "Sebetulnya ada, tapi kita harus melalui Bukit Badai."
Lanangseta hampir saja ketahuan terkejutnya begitu
mendengar kata 'Bukit Badai'. Kegelisahan dan
kepedihan kembali lagi menyayat hati. Ingat Bukit
Badai, ingat Kirana. Dan setiap ingat Kirana, hati
Lanangseta tak dapat dibohongi lagi, pasti berdebardebar menyemburkan rasa perih.
"Kalau begitu, sebaiknya kita lewat Bukit Badai saja,"
usul Jaka Bego yang mendengar pembicaraan itu.
Pak Lodang menjawab, "Tapi daerah itu daerah
berbahaya. Selain ada penguasanya, dan merupakan
daerah tertutup bagi orang asing semacam kita, juga...
takutnya kalau kepergok orang-orang Tebing Neraka.
Mereka itu sangat ganas-ganas. Melebihi orangorangnya Legowo. Karena itu, hanya orang-orang Tebing
Neraka yang konon berani nekad sering memasuki
wilayah Bukit Badai."
"Ah, tapi siapa tahu orang-orang Tebing Neraka
sedang tidak ada di daerah itu." kata Jaka Bego.
"Iya, tapi kalau penguasa Bukit Badai marah,
bagaimana" Orang-orang Bukit Badai itu sangat
misterius, dan berilmu tinggi lho..." sahut Pak Lodang.
"Alaaah... setinggi-tingginya ilmu mereka, masih bisa ditaklukkan oleh...." Jaka
Bego melirik Lanang seraya menuding dengan jempol tangannya. Lalu ia meringis
konyol. Lanangseta diam saja. Pikirannya kacau. Jaka Bego
berkata kepadanya, "Lanang, kau sanggup
menaklukkan orang Bukit Badai kan?" Lanang tidak
menjawab. Semakin resah. Jaka Bego mendesak,
"Alaah... jangan takut, nanti kubantu. Kalau orang Bukit Badai marah, gempur
saja kepala mereka."
Pak Lodang menyahut, "Husy...! memangnya
gampang menggempur mereka" Apalagi di Bukit Badai
itu, katanya... ini menurut cerita yang pernah kudengar lho... katanya di sana
ada seorang perempuan cantik
yang sangat judes, galak dan berilmu tinggi. Kalau
perempuan itu sedang marah, semua tanaman
bergoyang, bumi bagai mau tenggelam, langit pecah dan
badai mengamuk tak karuan. Pokoknya kalau
perempuan Bukit Badai itu marah, kiamat terjadi
sementara waktu! Betul. Itu kata mereka yang pernah
menyaksikan sendiri...." Pak Lodang bicara sampai bibirnya monyong-monyong.
Bersemangat sekali.
"Hemm...." Jaka Bego mencibir. "Baru hanya seorang perempuan. Sehebat apa pun
kekuatan perempuan itu,
kalau menghadapi Lanang, dia tak akan bisa berbuat
apa-apa, Pak. Jangankan dengan Lanang, dengan saya
saja belum tentu perempuan Bukit Badai bisa unggul.
Mungkin akan lari terkencing-kencing kalau sudah
kukeluarkan jurus Kodok Nunggingku. Eh, Pak...." Jaka Bego mendekatkan wajah,
"Perempuan Bukit Badai itu akan lemas, lunglai, loyo dan tak bisa marah apa-apa
lagi kalau sudah kucium dari kening sampai ujung
kakinya, ia pasti akan kegirangan kalau kupeluk
dan...." "Plak...!"
Sebuah tamparan mendarat di pipi Jaka Bego.
Lanangseta merah mukanya, nafasnya terengah-engah.
Jaka Bego heran melihat kemarahan Lanangseta.
"Kenapa kau menamparku"! Salah apa aku
padamu?" Lanangseta mulai sadar, bahwa sesungguhnya
mereka tak tahu dari mana asalnya. Mereka tak tahu
bahwa Lanangseta adalah bagian dari Bukit Badai itu.
Mereka juga tak tahu kalau perempuan Bukit Badai
yang diceritakan itu masih membekas di hati Lanang
dan sedang menjadi ganjalan kegelisahannya.
"Maafkan aku...." ujar Lanangseta, menyesal. "Aku mengingatkan kamu, agar tidak
bicara sembarangan di
tempat seperti ini. Aku takut kalau omonganmu itu
didengar orang, dan sampai di telinga perempuan Bukit
Badai. Kau bisa dihancurkan olehnya, atau paling tidak itu pertanda kita cari
gara-gara dengannya. Jangan cari musuh, Bego!"
Matahari mulai merayap ke arah tengah. Lanangseta
memberi perintah agar mereka bergegas meneruskan
perjalanan kembali.
"Kita tak perlu memotong jalan. Tak perlu lewat
Bukit Badai. Ini untuk mengurangi resiko yang
berbahaya bagi keselamatan Mak Lodang serta Mahani,"
itulah alasan Lanang mengapa mereka diminta melalui
arah yang semula.
Tetapi baru saja mereka hendak bergerak, di
kejauhan terdengar deru kaki kuda terpacu. Suara
ringkik kuda menandakan mereka yang ada di
kejauhan itu sedang tergesa-gesa. Jaka Bego menjadi
tegang, demikian juga Pak Lodang dan istrinya, juga
Mahani dan Genduk. Bungkusan berisi pakaian dan
perbekalan ala kadarnya itu segera diangkat oleh
Genduk, ia bersiap untuk lari jika sewaktu-waktu ada
perintah bersembunyi.
Hanya Lanangseta yang kelihatan tenang sekali
memandang arah datangnya suara gemuruh kaki kuda.
Ia menggumam jelas di telinga Jaka Bego, "Mereka
mengejar kita...."
"Siapa" Orang-orang Kadipaten Branjangan Wilis
itu?" "Ya...."
"Kalau begitu aku bersembunyi dulu, ya?" Jaka Bego hendak bergerak, tetapi
Lanangseta segera menenteng
lengannya, membawa Jaka Bego ke suatu tempat yang
agak jauh dari Mahani dan keluarganya. Dengan pelan
dan tegas Lanang berkata, "Bego... aku tahu siapa kamu. Memang belum jelas dari
mana asal-usulmu dan
apa maksudmu mengikuti aku. Tapi aku tahu, kau
punya isi. Tak usah berlagak bego di depanku. Yang
jelas, kuminta kau untuk menghadapi mereka untuk
melindungi keluarga lemah itu. Kasihan Pak Lodang
dan anak istrinya, kan" Kau harus bergerak sebagai
dirimu sebenarnya."
Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku bingung dengan omonganmu."
"Terserah, kau mau bingung atau tidak, tapi hadapi mereka. Tunjukkan kepada
keluarga Lodang...
khususnya kepada Mahani. Siapa tahu jika Mahani
melihat kehebatanmu, dia jadi menyukaimu."
"Aaah... itu kan...." Jaka Bego berhenti
menyepelekan kata-kata Lanang, ia bahkan berbisik.
"Apa mungkin Mahani bisa mengagumiku...?"
"Kau bisa membuktikannya nanti, setelah kau
mampu mengalahkan mereka...."
"Lanang... itu mereka kelihatan"! Warok dan anak
buahnya. Ooh... bagaimana kita"!" Mahani berseru
dalam ketakutan. Lanang segera bergegas
meninggalkan Jaka Bego yang masih termangu-mangu
dalam kebingungan. Lanangseta segera menyuruh
mereka bersembunyi di bawah sebuah pohon besar, di
mana di situ ada batu gunung berlumut yang tingginya
melebihi tinggi tubuh Lanangseta. Besar sekali. Di
samping itu, ada rimbunan semak yang menutup batu
itu, sehingga mereka dapat melihat ke arah Jaka Bego,
namun dari sana orang akan sulit memandang yang
bersembunyi. Rombongan Warok Sabuk Geni terlihat semakin
jelas. Kuda-kuda mereka sebentar lagi melewati tempat
lenggang, di mana pohon dan semak jarang tumbuh.
Terlihat oleh Lanang, mereka terdiri dari delapan orang
penunggang kuda yang kekar-kekar. Kuda yang
ditunggangi Warok paling depan, warnanya putih dan
berbulu indah. "Hei, lihat...! Anak setan itu ada di sana!" seru Ki Warok kepada anak buahnya.
"Kejar dia! Dia pasti
bersama keluarga Mahani!"
Karena anak buah Warok Sabuk Geni mendatangi
Jaka Bego, maka Jaka Bego lari ketakutan ke arah
Lanangseta yang berada di balik persembunyian.
"Mereka hendak membunuhku...! Itu mereka ke
mari!" "Goblok! Bego...!" geram Lanangseta. "Mengapa kamu lari ke mari" Kalau begini
caranya mereka bisa tahu
bahwa kami bersembunyi di sini. Goblok!"
"O, iya! Aku lari ke tempat lain saja...!" Lalu, Jaka Bego yang memang bego itu
segera lari ke arah lain
sebelum orang-orang Kadipaten memergokinya di
tempat persembunyian. Jaka Bego dalam kebingungan,
berlari kian ke mari. Perasaannya sudah lari jauh,
padahal ia hanya memutar pohon yang satu ke pohon
yang lain. Tak urung anak buah Warok Sabuk Geni pun
memergoki dia, dan segera mengurung Jaka Bego
dengan barisan rapat berkuda. Jaka Bego
menampakkan wajah ngerinya, memandang kian ke
mari bagai anak mau menangis.
"Di mana Mahani, Setan dekil"!" bentak salah seorang.
"Mahani..." Mahani bersama bapaknya. Bukan
bersama aku. Sungguh. Boleh digeledah, saya tidak
membawa Mahani...." Jaka Bego mengangkat bajunya
dan berputar, maksudnya menunjukkan bahwa ia tidak
menyembunyikan Mahani di balik bajunya. Orang yang
tadi membentak kini turun dari kuda. Berjalan dengan
sangar mendekati Jaka Bego. Jaka Bego semakin ngeri,
mimiknya seperti anak mau menangis.
"Aku tahu Mahani bersama bapaknya, tapi di mana
mereka" Ayo, cepat katakan!" Orang itu menarik baju Jaka Bego.
"Mereka... mereka...."
"Cepat katakan kalau mau selamat"!"
"Mereka... mereka bersembunyi. Sumpah kok!
Bersembunyi!"
"Iya, bersembunyi! Tapi di mana mereka
bersembunyi"!" teriak orang itu dengan kasar dan
semakin mencengkeram baju Jaka Bego.
"Di... di sana...." jawab Jaka Bego.
"Di sana mana"! Bangsat...!"
"Di sana...!" Jaka Bego menunjuk arah lain.
Kebetulan angin berdesir dan menggoyangkan
dedaunan rimbun di suatu tempat. Mereka mengira
Mahani dan keluarganya bersembunyi di sana. maka
mereka pun segera bergerak ke arah yang berlawanan
dengan tempat persembunyian Mahani.
"Bagus... cerdik juga dia," gumam Lanangseta sambil tetap bersembunyi. Tapi di
luar dugaan, Jaka Bego
kegirangan, karena usahanya berhasil mengecohkan
musuh. Ia melonjak dan berseru, "Cihuuu...! Aku
berhasil menipu mereka...!"
Ia tidak sadar kalau ucapannya itu bisa didengar
oleh mereka, sehingga kuda mereka berhenti dan
berbalik menghadap ke arah Jaka Bego.
"Anak itu membohongi kita...!" seru salah seorang.
Lalu orang yang memegang rantai berujung bola
berduri itu menggeram, "Kurang ajar...! Kita dibuat mainan! Awas kau...!" Orang
itu memacu kudanya
hingga berlari ke arah Jaka Bego. Rantai berujung bola berduri itu diputarputar, siap menghancurkan kepala
Jaka Bego. Jaka Bego seperti orang gugup, tak tahu
harus lari ke mana. Ia diam di tempat dengan mata
memandang tegang, penuh ketakutan.
Tapi di luar dugaan, Jaka Bego berguling mendadak,
kakinya sengaja dihalangkan sehingga kaki kuda itu
tersangkut dan kuda itu tersungkur seketika dengan
ringkik yang membahana. Sudah tentu penunggang
kuda bersenjata bola berduri itu terjungkal ke depan
dan tubuhnya tengkurap seperti kura-kura. Kuda tak
bisa membedakan mana rumput dan mana tubuh
manusia, akhirnya badan kuda yang besar itu
menindihi tubuh orang itu. Kaki kuda meletik-letik
berusaha untuk bangun, dan orang itu semakin
cengap-cengap. Mulutnya berdarah karena badannya
tertindih kuda. Lalu ketika kuda berhasil berdiri dan
melarikan diri, tubuh penunggangnya masih diam tak
bergerak. Mungkin tulang punggungnya patah dan
pernapasannya mengalami penyumbatan.
Jaka Bego tertawa dan tepuk tangan sendiri
menyaksikan musuhnya tak bergerak dengan mata
mendelik dan mulut berdarah. Tetapi di luar dugaan,
beberapa orang penunggang kuda lainnya menyerbu
Jaka Bego dengan ganas dan secara bersamaan. Jaka
Bego merebah, hendak menjegal kaki kuda lagi, tapi
karena banyak kaki kuda yang menyerangnya, ia buruburu bangun kembali dan berlari.
"Wah, bisa-bisa mukaku diinjak-injak kuda...!"
Mereka mengejar Jaka Bego. Salah seorang
melemparkan tombak bermata tiga. Pada saat itu tubuh
Jaka Bego tersungkur karena tersandung akar pohon.
Tombak bermata tiga lolos, melayang di atas kepalanya.
Namun akibatnya ia segera terkurung oleh lawanlawannya. Jaka Bego bangkit, hendak melarikan diri,
tapi tak jadi. Ia terkurung. Dan dua orang penunggang
kuda bersenjata pedang dan clurit bergagang panjang
segera turun dari kudanya.
"Jangan...! Jangan bunuh saya. Membunuh itu
pekerjaan yang tidak baik, kalau tidak kepepet...!" kata
Jaka Bego seraya cengar-cengir mengambil hati
lawannya. Kedua orang itu tidak memberi komentar, tapi yang
di atas kuda masih sempat berseru, "Bunuh saja anak itu!"
"Jangan ngotot," kata Jaka Bego. "Tadi sudah kusarankan, membunuh itu tidak
baik. Betul!"
Terdengar suara Warok Sabuk Geni, "Jangan
lamban! Serang dia...!"
Jaka Bego berpaling memandang Warok Sabuk Geni
yang sejak tadi diam di atas punggung kuda, di
kejauhan. Pada waktu itu, dua orang bersenjata pedang
dan clurit panjang segera menyerang Jaka Bego.
"Jakaaa...! Awaaas...!" teriak Genduk dari tempat persembunyian. Hal itu membuat
orang-orang lainnya
berpaling memandang ke arah Genduk. Lanangseta jadi
gemas dan dongkol sekali kepada Genduk yang secara
tak langsung telah membuat musuh mengetahui tempat
persembunyian Mahani. Maka, mereka pun mulai
berdatangan ke tempat persembunyian yang
sebenarnya sudah aman itu. Pak Lodang menampar
mulut Genduk dengan keras. Mereka berdua ribut. Tapi
Lanangseta tak sempat melerai, karena empat orang
penunggang kuda sedang mendatangi persembunyian
Mahani. Lanang segera keluar dan melompat
menyambut kedatangan mereka berempat, sementara
yang dua sedang sibuk membunuh Jaka Bego. Agaknya
Jaka Bego licin bagai belut, lincah seperti anak kijang.
Lanangseta sendiri sibuk menghadapi keempat
lawannya. Dua orang turun dari kuda, dan dua lagi
masih berada di punggung kuda. Mereka menyerang
dengan tombak bermata tiga dan tombak bermata
pedang. Sedangkan yang turun dari kuda menyerang
dengan pedang serta sepasang trisula tajam.
Lanangseta sibuk menghindari sepasang trisula yang
secara bersamaan terarah ke wajahnya. Ia berhasil
menggelinding ke depan, tapi segera disambut oleh
pedang lawan. Untung Lanangseta dapat mengelak
dengan berguling ke kiri. Kakinya sempat menyepak
kaki lawan sehingga orang bersenjata pedang itu jatuh
terjengkang ke belakang. Kaki Lanangseta segera
menghentak perut orang itu dengan tumit. "Heaat...!"
"Uuuhk...!" Orang itu mengerang, tepat pada saat temannya mencoba menusuk tubuh
Lanang dengan tombak berujung tiga. Senjata yang menyerupai garpu
tanah itu berhasil dielakkan Lanang dengan meliukkan
dan ke kanan. Dengan tangkas senjata itu berhasil
ditangkap oleh tangan Lanang, lalu ditarik dengan satu hentakan, sehingga tubuh
di atas punggung kuda itu
pun jatuh. Kesempatan itu digunakan oleh Lanang untuk
melejit dengan bertumpukan tombak yang menancap di
tanah. Tubuh Lanangseta melambung tinggi,
bersamaan dengan itu ia pun segera mencabut pedang
Wisa Kobra. "Sreet...!"
Semua mata mendelik melihat pedang itu membawa
seperti gumpalan lahar panas., Merah, dan mengerikan.
Tombak berujung pedang dilemparkan. Dengan
kecepatan di luar batas pandangan mata, Lanangseta
mengibaskan pedangnya berulangkali. Tahu-tahu
tombak itu telah patah menjadi beberapa bagian.
Keempat lawannya semakin tercengang. Lanangseta
melambung dalam satu hentakan kaki, tubuhnya
melayang menuju ke salah satu penunggang kuda dan
seketika itu juga orang tersebut jatuh ke tanah dengan kepala terpenggal.
Padahal mereka tidak melihat
Lanang mengibaskan pedangnya. Tapi ternyata kepala
penunggang kuda itu telah terpisah dari leher.
"Gila! Kecepatan pedangnya luar biasa," gumam
salah seorang. Dan penunggang kuda lainnya segera
menyerang Lanang dengan menggunakan kudanya.
Kuda itu dipacu cepat untuk menabrak Lanang. Tapi
Lanang tidak bergerak sedikit pun, ia berdiri tegap,
sedikit merendahkan badan, dan pedang Wisa Kobra
berdiri di depan wajahnya. Pada saat kuda itu
menerjang, Lanangseta berkelebat ke samping. Cahaya
meraih membara itu pun bagai menyinari tubuh kuda.
Namun kuda itu meringkik histeris, dam roboh seketika
dengan perut terbelah mengerikan. Penunggang kuda
itu terpental jatuh di tempat Jaka Bego yang sedang
melompat kian ke mari menghindari tebasan senjata
lawannya. Tanpa sengaja, Jaka Bego melompat
menghindari tebasan senjata dan jatuh tepat menginjak
dada orang yang terlempar dari kuda.
"Uuuhk... eekh... ekh...!" Orang itu mengejang, darah merah tersembur dari
mulutnya. Jaka Bego terkejut
melihat orang yang tak sengaja diinjaknya itu meregang dan kejet-kejet. Kontan
ia melompat ke tempat lain,
membiarkan orang itu menggelepar-gelepar dan mati.
"Babi busuk kau...!" teriak temannya yang makin ganas.
Jaka Bego berlari mendekati Lanang. "Mereka
semakin marah padaku...!" Ia hendak berlindung di tubuh Lanang. Tapi gerakan
Lanang sudah semakin
cepat sehingga Lanang tak berhasil dipegang Jaka Bego.
Bahkan, Jaka Bego salah pegang, karena matanya
memandang musuh yang menyerangnya. Ia memegang
pantat kuda dengan kuat-kuat. Tentu saja kuda merasa
geli, dan segera menyepaknya. Jaka Bego menjerit
dengan tubuh melayang disepak kuda.
Ketika itu, Lanangseta menyongsong kedua musuh
yang mengejar Jaka Bego. Ia berguling ke tanah dan
berdiri lagi dengan salah satu lututnya. Tahu-tahu
kedua orang itu telah rubuh karena goresan pedang
yang begitu cepat.
Jaka Bego menggeliat bangun dari jatuhnya.
Kepalanya terasa pusing. Ia tak tahu kalau dirinya
sedang terancam: Seorang musuh sedang mengangkat
pedangnya dan hendak menusuk Jaka Bego dari
belakang. Tetapi Jaka Bego bergumam sendiri, "Masa cuma disepak kuda, begini...
kok bisa jatuh...." Ketika itulah Jaka Bego memperagakan kuda menyepak
dirinya. Dan di luar dugaan gerak kaki yang menirukan
kuda menyepak itu telah mengenai dada orang yang
ingin membunuhnya. Orang itu terpental bagai
menerima tendangan begitu kuat. Jaka Bego berpaling
kaget. "Oh, maaf, aku tidak tahu kalau kau di
belakangku...!" katanya. Orang itu mengerang kesakitan sambil memegangi dadanya.
"Maaf, ya aku tidak... Lho, kok jadi mati?"
Rupanya orang itu bukan mati karena tendangan
sepak kuda Jaka Bego, melainkan waktu ia terjengkang
ke belakang dan jatuh telentang, punggungnya terkena
senjata temannya yang tadi jatuh tertindih kuda.
Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Punggung orang itu tertancap bola berduri yang
agaknya selain tajam juga mengandung racun. Maka,
sudah tentu tubuh itu kejang-kejang dan mati tak
berkutik lagi. Sementara itu, tinggal satu orang anak
buah Warok Sabuk Geni yang masih nekad menghadapi
Lanangseta. Ia menyerang Lanangseta dengan senjata
clurit bergagang panjang. Waktu tubuh itu melayang di
atas Lanangseta, pedang Wisa Kobra masih berdiri
tegak. Lanangseta berguling ke depan, dan ternyata
gerakan itu membuat lawannya mengerang sebentar,
lalu roboh dengan bagian dada hingga perut terbelah
mengerikan. Kilasan pedang itu begitu cepat dan tak
sempat terlihat oleh mata siapa pun.
Lanangseta menyarungkan pedangnya setelah
dilihatnya tak ada anak buah Warok Sabuk Geni yang
masih hidup. Tetapi tiba-tiba ia mendengar suara tawa
yang menjijikkan, serak dan kasar. Suara itu datang
dari Warok Sabuk Geni, yang diam-diam sudah berhasil
menawan Mahani dan Pak Lodang. Ia mengacungkan
goloknya yang besar dan tajam ke leher Pak Lodang dan
berseru, "Berani mendekat, kubunuh orang ini!"
Lanangseta diam tercengang. Jaka Bego
kebingungan melihat keadaan yang di luar dugaan.
"Siapa kamu sebenarnya, Orang asing" Permainan
silatmu cukup boleh dibanggakan. Siapa kau, hah"!"
"Aku... Malaikat Pedang Sakti!" jawab Lanang dengan tegas.
"Ha, ha, haaa... pantas-pantas... Ilmu pedangmu
sangat mengagumkan. Tapi kau tak akan bisa
mengalahkan kekuatanku. Buang senjatamu, atau
kurobek leher orang tua ini!"
"Jangan, Lanang!" teriak Mahani.
"Plaak...!" Mahani menjerit karena ditampar Ki Warok.
"Buang jauh-jauh pedangmu itu, lekas!" bentak Warok Sabuk Geni.
"Buang...! Buang saja...!" bisik Jaka Bego kepada Lanang. Lanang hanya diam tak
menjawab dan tak
bergerak. "Kuhitung sampai tiga kali, kalau kau tidak
membuang senjatamu itu, kurobek leher orang ini.
Satu...!" "Lanang buang saja senjatamu, uuh... payah! Nanti Pak Lodang mati lho...." bujuk
Jaka Bego yang ketakutan. "Dua...!"
"Taaar...!"
Suara letusan kecil terdengar. Seorang bertubuh
pendek untuk ukuran seorang pendekar, berdiri di
kejauhan. Kulitnya hitam, dan ia memegang cambuk di
tangannya. "Paman Ludiro..."!" seru Lanangseta.
Pada waktu itu, Warok Sabuk Geni hendak
mengambil golok besarnya yang jatuh akibat tangannya
terkena cambukan Ludiro. Namun selagi ia
membungkuk, Cambuk Naga melesat lagi dengan cepat.
"Tarr... Tarrr...!"
"Aaahh...!" Warok Sabuk Geni terguling-guling, punggungnya terluka bagai robek
dua tempat dan saling bersilang.
Warok Sabuk Geni masih berusaha untuk bangkit,
Ludiro dan yang lainnya membiarkan. Warok Sabuk
Geni meringis dan segera berlari mendekati kudanya,
kemudian naik ke punggung kuda. Dengan sekali
hentak, kuda itu berlari ke arah tempat datangnya tadi.
Lanangseta bergumam, "Itu bisa menjadi penyakit
bagi rakyat Kadipaten. Harus dimusnahkan... sekali!"
Setelah berkata demikian, Lanangseta mencabut
pedangnya. Warna merah membara membuat Ludiro
terkejut. Lanangseta bagai bicara dengan pedangnya,
"Bunuh, Warok Sabuk Geni itu...!" Ia melepaskan pedang Wisa Kobra, tanpa suatu
lemparan sedikit pun.
Tapi pedang yang merah bagai bara api itu telah melesat dengan sendirinya.
Gerakannya cepat, seperti kilasan
cahaya merah. Pedang itu menembus punggung Warok
Sabuk Geni sampai tembus di perut, dan keluar lagi
melayang. Pedang itu bergerak cepat menuju arah
Lanangseta, lalu dalam waktu yang begitu singkat
pedang Wisa kobra telah berada dalam genggaman
Lanangseta. Pedang itu pun dimasukkan ke sarungnya
kembali. Sementara. Itu maka Jaka Bego masih
mendelik lebar, memandang Warok Sabuk Geni yang
rubuh di punggung kuda setelah terpekik sesaat karena
ditembus pedang Lanang. Kudanya berjalan terus, bagai
mengantarkan mayat Warok Sabuk Geni.
"Kita selamat, Mak... Kita selamat..."!" kata Mahani dengan tangis kegembiraan.
Mak Lodang pun memeluk
anaknya sambil menangis lega. Lalu Pak Lodang segera
memeluk keduanya dalam keharuan yang tertahan.
"Jaka... kita selamat...!" teriak Genduk sambil berlari menghampiri Jaka Bego
dengan tangan terentang
keduanya. Jaka Bego tak mau berpelukan dengan
Genduk. Ia segera berkelit ke samping dan Genduk
menabrak pohon dalam pelukannya.
"Peluk tuh pohon...!" gerutu Jaka Bego sambil berjalan mendekati Lanangseta.
Sementara itu Ludiro berkata kepada Lanangseta,
"Kau harus pulang ke Bukit Badai, Lanang. Harus!"
Jaka Bego terbengong kaget, lalu berseru sampai
didengar yang lainnya, "Jadi, kau orang Bukit Badai"!
Astaga...!"
Semua mata tertuju pada Lanangseta. Semua mata
terbelalak bagai tak mempercayai suara Jaka Bego.
Lanangseta terpaksa menghela nafas panjang-panjang.
"Paman, haruskah aku kembali ke sana"!"
"Ya. Harus! Jika kau tidak kembali ke Bukit Badai, maka dia akan mati."
Lanang mengerti yang dimaksud Ludiro, pasti
Kirana. "Kenapa sampai begitu" Bukankah dia sudah
mengkhianatiku dan telah menyerahkan...."
"Pasti kau telah difitnah oleh Prabima keparat itu!"
sahut Ludiro. "Tidak. Kau harus kembali ke Bukit
Badai. Ini saat-saat terakhir baginya antara hidup dan mati. Ia telah kehilangan
dirinya. Ia tinggal tulang
dibungkus kulit yang layu. Rama Sabdawana tak bisa
menyembuhkan karena penyakitnya itu sangat langka,
dan cuma kamu yang akan berhasil menyelamatkan
jiwanya. Cuma kamu, Lanang!"
Lanangseta termenung beberapa saat. Ia berjalan
dan memandang mayat-mayat yang bergelimpangan itu.
Ia sempat mendengar Jaka Bego bertanya kepada
Ludiro yang ikut-ikutan memanggil 'paman' kepada
Ludiro. "Dia itu siapa sebenarnya, Paman" Tumbal Bukit
Badai"!"
Ludiro tersenyum tipis. "Dia calon pengganti
penguasa Bukit Badai."
"Haahh..."!" Teriakan Jaka Bego begitu keras sehingga mengagetkan yang lain.
Kepada Pak Lodang terpaksa Lanang berkata, "Kita
meneruskan perjalanan melalui Bukit Badai. Paman
Ludiro yang akan menggantikan saya untuk mengawal
Pak Lodang sekeluarga. Sedangkan saya... ada urusan
penting yang harus saya kerjakan sekarang juga. Tak
boleh terlambat."
Pak Lodang manggut-manggut walau kurang jelas
persoalannya. Lanang menambahkan kata, "Paman
Ludiro dan Jaka Bego tetap akan mengawal Pak Lodang
sampai ke desa Tayub, dan saya sendiri akan menyusul
ke sana kalau urusan saya telah selesai...."
Sebenarnya Mahani tak ingin berpisah dengan
Lanang. Tapi untuk sementara ini ia bisa memahami
kesibukan Lanang yang kelihatan sangat penting.
SELESAI Scan by Clickers
Juru edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** 2 *** 3 *** 4 *** 5 SELESAI Ancaman Iblis Betina 2 Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Naga Langit 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama