Ceritasilat Novel Online

Neraka Gunung Dieng 1

Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama,
tempat dan ide, hanya kebetulan belaka
NERAKA GUNUNG DIENG Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D. Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Neraka Gunung Dieng
1 Sungguhpun telah berulangkali bocah-bocah
itu telah melakukan kesalahan. Namun tiada bosan
dan tanpa henti-hentinya Aki Kilik Rogo mengulang setiap kesalahan yang dibuat
oleh murid-muridnya, sehingga mereka benar-benar mampu menguasai setiap
pelajaran dasar ilmu silat yang diberikannya. Meskipun demikian dari seluruh
jumlah muridnya yang tak
kurang dari dua puluh orang itu, hanya beberapa
orang saja yang dapat menguasai dengan benar apa
yang telah diberikan oleh guru mereka. Sedangkan sebagian terbesar murid-murid itu, semuanya menguasai
jurus-jurus silat yang kacau. Bahkan sebagian di antaranya permainan silat yang
sering mereka pergunakan
dalam latihan, sangat jauh berbeda dengan apa yang
diajarkan oleh Aki Kilik Rogo pada para murid-muridnya. Sudah barang tentu, keanehan demi keanehan
yang terjadi hampir setiap hari itu membuat guru dari Pegunungan Kendeng ini
menjadi sangat heran sekali.
Dua puluh tahun dia telah mendirikan Perguruan Silat Tapak Suci, namun selama itu, murid-murid hasil didikannya tidak
dapat diandalkan untuk mengikuti pertandingan silat apapun. Sering Aki Kilik
Rogo merasa sangat kecewa sekali melihat kenyataan demi
kenyataan ini. Bagaimana tidak. Dua puluh tahun bukanlah satu masa yang singkat, setidak-tidaknya
seandainya dia memungut seorang orok. Sudah barang
tentu orok tersebut kini sudah dewasa, sudah mampu
melakukan sesuatu yang terbaik. Tetapi bagaimana
dengan murid-muridnya, mendapat didikan selama
dua puluh tahun, mereka itu tak jauh bedanya dengan
baru belajar dua bulan, masih sangat tolol dan belum
becus apa-apa. Hanya rambut-rambut di kepala mereka saja yang nampak berguguran hari demi hari, seolah mereka ini tak ubahnya sebagai ahli fikir kelas berat yang sedang mencari
kesimpulan tentang keberadaan telur dan ayam. Dan yang membuat Aki Kilik Rogo menjadi terheran-heran tak karuan adalah kepala
murid-muridnya kini telah menjadi botak secara keseluruhannya. Dia tak tahu karma apa sesungguhnya yang
sedang terjadi, mungkinkah ini suatu kutuk yang telah dijatuhkan oleh Empu Wesi
Laya dari Pegunungan Dieng itu" Hal itu rasanya tak mungkin terjadi, sebab
sungguhpun dia pribadi tak berhasil mencari Betari
Murti yaitu kakak seperguruan Aki Kilik Rogo yang telah berhasil mengelabuhi
Empu Wesi Laya dengan
membawa lari kitab Bendil Dieng. Namun dia cukup
yakin bahwa Empu Wesi Laya tak mungkin menjatuhkan kutuk terhadap dirinya. Dia cukup bijaksana untuk hal-hal seperti itu. Sungguhpun Aki Kilik Rogo dapat lega atas kesimpulannya
itu, namun sepanjang hari dia selalu dirundung kesedihan. Dalam hatinya sela-lu bertanya-tanya, akan
bagaimanakah nasib dan masa depan murid-muridnya itu. Haruskah dia bubarkan
perguruan Tapak Suci, kemudian bergabung kembali
dengan gurunya Empu Wesi Laya di Pegunungan Dieng" Tetapi kalau hal itu dia lakukan, sudah barang
tentu hal ini merupakan satu tindakan yang sangat tidak bijaksana. Sebab seperti
yang diketahui oleh Aki Kilik Rogo. Semua murid-muridnya itu merupakan
anak yatim piatu yang dulunya dia pungut dari jalanan di mana saja dia temui.
Yang pasti mereka itu dari
berbagai kalangan. Mungkin juga ada yang berasal dari masyarakat desa biasa, mungkin juga ada yang berasal dari perempuan pengelana, bayi pelacur atau
bahkan lebih dari sekedar itu.
Sementara itu, murid-murid Aki Kilik Rogo
yang sedang berlatih silat dan belajar menghimpun
hawa murni masih tetap nampak patuh dengan kewajibannya. Di atas batu-batu besar mengkilat dan berlumut hijau, mereka saling berloncatan. Bagai tak
kenal lelah, bahkan tanpa rasa putus asa. Sungguhpun hari demi hari pelajaran ilmu silat mereka
hanya berkisar dari itu ke itu juga. Dari tahun ke tahun. Sampai Aki Kilik Rogo
merasa, apakah dirinya
yang memang tolol ataukah memang murid-muridnya
yang goblok. Demikianlah dua puluh orang murid itu
terus berloncat-loncatan bagai seekor monyet kudisan, terkadang-kadang tubuh
mereka yang gemuk-gemuk
itu terbanting di atas batu nan licin, tak jarang murid-murid itu saling
terjatuh, karena bertabrakan sesamanya. Lebih cepat lagi mereka bangkit lalu tertawa
beramai-ramai. Hal seperti itulah yang selalu terjadi hampir setiap harinya.
Pusing kepala Aki Kilik Rogo
memikirkan keanehan tingkah murid-muridnya itu.
Herannya dalam jurus-jurus tertentu yang tidak dimengerti oleh Aki Kilik Rogo, mereka itu begitu mahir memainkannya. Bahkan boleh
dibilang teramat lihai.
Ah, jurus-jurus silat setan kesasar dari manakah yang telah merasuki jiwa para
murid-muridnya itu" Haruskah dia tetap pada pendiriannya untuk mengajari
orang-orang yang dalam pandangannya seperti kurang
sehat akal, ataukah dia sendiri harus minggat dari
Perguruan Tapak Suci" Aki Kilik Rogo merasa serba
salah. Dalam pada itu tiba-tiba Aki Kilik Rogo memberi tanda pada semua
muridnya. Begitu mengetahui sang guru memanggil mereka. Maka kedua puluh orang murid itu secara serentak menghampiri gurunya. Mereka
menjura tiga kali, kemudian memandang pada gurunya dengan sikap tiada
mengerti. Saat itulah Aki Kilik Rogo mengawali ucapannya. "Kalian para muridku!" kata Aki Kilik Rogo ber-wibawa. "Sudah hampir dua puluh
tahun kalian tinggal dan kujadikan murid di Pegunungan Kendeng ini.
Selama ini apa yang ku punyai, rasa-rasanya telah aku berikan pada kalian semua.
Dua puluh tahun bukanlah sebuah perjalanan yang singkat. Selama ini aku
tak pernah mengikut sertakan kalian dalam pertandingan silat. Karena mengingat kalian memang belum
memenuhi syarat untuk ikut dalam hal-hal seperti itu.
Sungguhpun begitu saat sekarang aku ingin mengetahui seberapa sesungguhnya yang kalian ketahui dari
semua yang kuajarkan. Empat atau enam orang maju
ke depan, cari pasangan masing-masing untuk bertarung...!" perintah Aki Kilik Rogo pada murid-muridnya.
Sesudah berkata begitu, enam orang muridnya
serentak maju ke depan. Kemudian masing-masing pasangan saling berhadapan.
"Nah, tunggu apa lagi! Coba kalian tunjukkan
padaku apakah kalian telah benar-benar dapat menguasai apa yang telah kuajarkan pada kalian?"
"Baik, Guru...!" Hampir bersamaan mereka
menjawab, kemudian tak lama setelahnya maka murid-murid Tapak Suci ini pun mulai memperagakan ilmu silatnya. Saat itu dua orang di antaranya nampak memasang kuda-kuda, dengan kaki agak ditekuk, tangan
kanan menyilang ke depan dada, sedangkan tangan kiri nampak terkepal kemudian didorong ke muka. Lawan mengimbanginya dengan satu kelitan, tubuh memutar setengah badan, kemudian kaki kiri kirimkan
satu tendangan. Aki Kilik Rogo tahu bahwa mereka itu
mempergunakan Kawah Beracun Penyebar Maut, yang
pernah diwariskan oleh Empu Wesi Laya pada dirinya.
Mulanya, laki-laki kurus berbadan pendek dengan
kumis putih yang hampir menutupi kedua bibirnya,
nampak tersenyum lebar manakala murid-muridnya
itu mempergunakan jurus maut tersebut pada tingkat
kesepuluhnya. Gerakan mereka begitu lincah, ringan
bahkan sekejap saja mereka sudah kelihatan mulai
saling serang dengan sengitnya. Karena kedua orang
itu sama-sama berkepala botak dan sama-sama berpakaian putih pula. Maka dalam gerakan-gerakan silat mereka yang begitu cepat.
Tubuh mereka nampak berkelebat-kelebat sehingga nampak bagai bayang-bayang
saja. Menyaksikan adu tanding itu, Aki Kilik Rogo
semakin lebar tawanya. Akan tetapi manakala jurus
permainan silat keenam murid itu berobah secara total. Aki Kilik Rogo nampak tertegun untuk sekejapan.
Alis matanya yang sudah putih mengkerut. Sama sekali dia tak mengerti dan tak pernah mengajarkan jurus-jurus yang saat itu sedang
dipermainkan oleh muridmuridnya. Jurus-jurus itu nampak lebih ganas dan lebih berbahaya daripada jurus silat Kawah Beracun Penyebar Maut. Pula setelah mempergunakan jurus-jurus tersebut, murid-muridnya nampak berubah menjadi liar
dan brutal. Pusing kepala Aki Kilik Rogo demi menyaksikan kejadian itu. Tibatiba dia membentak:
"Hei... jurus apa yang kalian pergunakan itu"
Berhenti...!" Aki Kilik Rogo berteriak-teriak memberi perintah. Namun keenam
muridnya bagai tak mendengar saja layaknya. Bukan lagi adu latihan yang mereka
lakukan, tetapi lebih pantas kalau disebut sebagai pertempuran yang menentukan
hidup matinya seseorang.
Sudah barang tentu Aki Kilik Rogo berang bukan main, apalagi perintahnya sudah
tak didengar lagi oleh murid-muridnya.
"Berhentilah murid-muridku, berhenti...!" perintahnya setengah memohon. Saat itu
keempat belas murid yang lain. Yang tak ikut ambil bagian dalam pertempuran hanya memandangi
kawan-kawannya yang
sedang bertarung itu sambil tergelak-gelak tak karuan.
Sudah barang tentu Aki Kilik Rogo yang baru saja menoleh dan ingin minta bantuan mereka melerai kawankawannya yang sedang bertempur, menjadi lebih terkejut lagi. Kejadian ganjil ini benar-benar di luar kebia-saan perguruan manapun
di kolong langit ini. Habis
kesabaran Aki Kilik Rogo melihat kejadian demi kejadian yang berlangsung. Sementara di luar sepengetahuan kakek pendek, tidak jauh dari tempat itu nampak seorang wanita berjubah hitam, dengan rambutnya yang sudah memutih. Sedang duduk bersila! Kedua bibirnya nampak berkemak kemik, seolah-olah sedang membacakan mantra. Sedangkan tangannya
yang menggenggam untai tasbih hitam terus menghitung. Seolah ingin memastikan sudah berapa banyak
mantra yang telah dibacanya.
Hong Wiluheng, si Jaheng jadi Koneng. Raja serigala di atas penguasa. Hasutlah hati murid-murid Aki Kilik Rogo itu, kuasai
jiwanya. Kemudian persatukan dengan roh jahatmu. Hei raja di raja Gunung Dieng,
semburkan keangkaramurkaan dimana-mana....
Demikianlah perempuan berjubah hitam itu terus mengulang-ulang mantranya. Hingga apa yang di
inginkannya nampak mulai terwujud. Murid-murid Aki
Kilik Rogo nampak semakin brutal dan beringas, mata
mereka memerah saga. Layaknya bagai serigala hutan
saja mereka saling terjang sesamanya. Menyaksikan
keadaan itu puas hati si Jubah Hitam. Tak lama kemudian setelah mengemasi semua peralatannya, orang
ini pun melangkah pergi. Dan di luar sepengetahuan si Jubah Hitam, kiranya ada
sepasang mata yang sejak
tadi mengintai apa yang dikerjakan oleh si Jubah Hitam juga ikut menyelinap pergi beberapa saat setelahnya. Kembali pada Aki Kilik
Rogo yang masih terlihat kerepotan melerai murid-muridnya. Sampai pada saat-saat
selanjutnya, kesabaran yang dia miliki habislah sudah. Dia melirik pada sisasisa murid lainnya yang saat itu tetap saja masih tertawa-tawa melihat tingkah
beberapa orang kawannya.
"Murid-murid tolol. Mengapa kalian malah pada
tertawa-tawa, cepat bantu. Lerai mereka jangan bertarung lagi...!"
Tiada sahutan atau gerakan mengikuti perintah, mereka tetap saja tergelak-gelak seperti sediakala.
"Oh, murid-muridku. Setan manakah yang telah merasuki jiwa kalian?" Aki Kilik Rogo itu pun akhirnya mengeluh sambil
tepuk-tepuk keningnya yang
sudah keriputan. Dalam keadaan kebingungan seperti
itu, tiba-tiba terdengar jeritan seseorang.
"Heiiiikh!"
Jeritan tinggi melengking itu sesungguhnya
sangat pelan saja. Akan tetapi karena diiringi dengan tenaga dalam yang kuat
maka akibatnya. Murid-murid
Aki Kilik Rogo yang sedang bertarung itu, nampak tergetar tubuhnya, kaki
menyurut satu tindak. Mereka
benar-benar terkesima dan saling pandang sesamanya.
Heran bercampur haru berbaur menjadi satu, Aki Kilik Rogo menyadari betapa
tololnya dirinya sendiri. Jeritan
suara tadi sudah jelas membebaskan bisikan jahat
yang mempengaruhi jiwa murid-muridnya. Mengapa
dia tak menyelidiki keanehan ini jauh-jauh sebelumnya" Mengingat akan kebodohannya, tiba-tiba timbul
rasa terima kasihnya pada orang yang telah membebaskan murid-muridnya dari pengaruh Ilmu Sirep Jiwo
yang telah dilancarkan si Jubah Hitam. Kemudian sepasang mata tuanya yang jeli itu pun menyapu pandangan pada keadaan di sekeliling tempat tinggalnya, lalu di antara pohon liar
yang tumbuh rapat di sekitar tempat itu. Dia melihat seseorang nampak sedang
berdiri di atas ranting pohon bercabang. Kedua tangan
nampak dilipat di depan dada, sementara sebuah golok yang hanya terlihat


Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gagangnya saja nampak terselip di pinggangnya. Di bagian pinggang yang membatasi
antara jubah merahnya dengan celana yang dikenakannya itu, nampak melilit sebuah cambuk butut yang
sangat menghebohkan itu. Masih berkisar di bagian
pinggang, terlihat pula sebuah periuk besar penuh je-laga yang tak pernah
lekang. Walau ke mana pun dia
pergi. Tentang kehadiran pemuda ini, sudah tak asing lagi bagi kita. Dialah si
Hina Kelana Pendekar Golok Buntung yang telah membuat heboh di mana-mana.
Aki Kilik Rogo kerjabkan matanya begitu melihat sosok samar yang berdiri di atas cabang pohon
yang hanya sebesar ibu jari tangan itu. Si pendek kurus nampak terkagum-kagum
dengan kemampuan
yang dimiliki oleh si pemuda berpakaian gembel itu.
Menurutnya, cabang pohon yang menjadi tumpuan si
pemuda sesungguhnya merupakan ranting yang paling
rapuh di antara sekian banyak pohon yang terdapat di sekitar tempat itu.
*** 2 Menurutnya jangankan dibebani dengan berat
badan manusia, sedangkan andai seekor kucingpun
bertengger di atas dahan tersebut. Sudah dapat dipastikan bahwa dahan itu akan
berderak patah. Tetapi ki-ni pemuda yang berada di atasnya, juga tidak bisa
dianggap tak memiliki bobot. Pendekar Hina Kelana atau dengan nama aslinya Buang
Sengketa. Setidak-tidaknya memiliki berat badan lebih dari lima puluh
kati. Tetapi dahan yang dipergunakannya sebagai tempat berpijak tidak juga patah. Maka sadarlah Aki Kilik Rogo, bahwa sesungguhnya
pemuda yang tadi baru sa-ja membebaskan murid-muridnya merupakan orang
yang berkepandaian tinggi. Diam-diam dia ingin tahu
lebih banyak lagi tentang pemuda itu. Setelah menjura hormat, maka Aki Kilik
Rogo berseru. "Orang muda yang berada di atas pohon. Aku
mohon kesediaanmu untuk datang ke gubukku...!" ka-ta Aki Kilik Rogo setengah
meminta. Dari ketinggian
lebih dari dua puluh meter, tubuh Buang Sengketa
nampak melayang turun. Kaki si pemuda mendarat di
atas tanah persis tiga meter di hadapan Aki Kilik Rogo.
Pemuda itu membungkuk hormat pada Aki Kilik Rogo,
si tua pendek yang sangat krempeng.
"Orang tua, maafkan aku karena telah merusak
suasana di tempatmu ini." kata pemuda ini sambil mengamati dengan seksama si
kakek pendek berkumis
sangat tebal itu.
"Ah, jangan berpura-pura hai orang muda! Dari
nampak ku engkau berkepandaian sangat tinggi. Namaku Aki Kilik Rogo, orang yang mendiami kaki Gunung Kendeng ini! Dan engkau siapakah orang muda?"
Buang Sengketa nampak tersenyum begitu ditanya tentang dirinya.
"Aku hanya seorang pengelana yang datang dari
sebuah tempat yang jauh di sebelah Barat sana, namaku Buang Sengketa...!" jawabnya polos.
"Buang Sengketa" Hemmm. Sebuah nama yang
sangat aneh dan tidak pernah kudengar sebelumnya."
gumam si kakek lalu memilin-milin kumisnya yang
sudah memutih. "Dan engkau hendak ke mana?"
Si pemuda kerjabkan matanya, lalu garukgaruk dadanya yang tak gatal.
"Aku mencari ayahku...!" tukasnya merasa kurang enak dengan apa yang ditanyakan
oleh Aki Kilik Rogo. "Ayahmu" Siapakah ayahmu..."!" tanya laki-laki tua itu lagi. Hal ini
membuat wajah si pemuda
memerah merasa kurang senang disinggung-singgung
tentang tujuannya.
"Maaf kakek Kilik Rogo! Aku tak dapat mengatakannya padamu!"
"Eee.... baiklah, apa yang engkau ketahui tentang rumah dan sekitar tempat ini Sengketa..."!" Pertanyaan yang begitu tibatiba dan tiada pernah diduga oleh si pemuda telah membuatnya jadi kelabakan.
"Apa yang kau maksudkan kek..."!"
"Engkau pasti mengetahui tentang sesuatu
yang tidak kuketahui di tempat ini"!" kata Aki Kilik Rogo setengah menuduh.
"Aku baru saja sampai di sekitar tempat tinggalmu ini, Aki.... Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan sesuatu yang tak pernah kuketahui!" ujar Pendekar Hina Kelana mengeluh.
Aki Kilik Rogo mengitarkan pandangannya pada
murid-murid yang berada di sekelilingnya, tak lama
kemudian dia sudah kembali pada pemuda itu.
"Engkau lihatlah orang muda! Muridku pada
botak sedemikian rupa, tanpa sekalipun aku tahu penyebabnya. Dua puluh tahun mereka itu belajar ilmu
silat dan kanuragan denganku, tidak kau lihatkah mereka tak ubahnya bagai murid yang baru dua bulan
belajar padaku. Aku tak pernah mendidiknya dengan
segala macam ilmu silat yang tak pernah ku mengerti, akan tetapi mereka malah
lebih mengetahui apa yang
tak pernah aku ajarkan kepadanya!" ucap Aki Kilik Ro-go dengan wajah tertunduk
sedih. Apa yang dikatakan
oleh kakek pendek itu, kiranya membuat Buang Sengketa menjadi tidak sampai hati melihat nasib yang dialami oleh murid-murid dari
Gunung Kendeng tersebut. Dia tak dapat membayangkan betapa kecewanya
seorang guru, andai sampai mengalami kejadian yang
sedemikian buruknya. Mengajar murid sama saja artinya dengan membuat murid yang tak mengerti menjadi pintar. Tetapi kalau selama dua puluh tahun seperti yang dialami oleh Aki Kilik Rogo bagaimana jadinya. "Aki Kilik Rogo!" ucap si pemuda setelah sebelumnya menarik napas pendek.
"Ketika aku sampai di sekitar tempat tinggalmu ini, aku melihat beberapa
orang yang tak kukenal berada tidak jauh dari tempat ini. Kalau tak salah
dugaanku mereka semuanya ada
tiga orang. Nampaknya mereka terdiri dari golongan
yang berbeda-beda...!"
"Tunggu...!" memotong Aki Kilik Rogo, sejurus lamanya laki-laki tua berbadan
pendek itu nampak
memandang pada si pemuda tanpa berkedip sedikit
pun. "Engkau bilang di sekitar tempat tinggalku ini telah berkeliaran beberapa
orang aneh, rasa-rasanya
tak seorang pun pernah masuk ke dalam tempat tinggalku. Atau mungkin engkau dapat terangkan bagaimana ciri-ciri orang yang kau lihat itu...?"
Pemuda berwajah sangat tampan itu membuang pandangannya jauh-jauh, sekelumit dia melihat
berkelebatnya sosok bayangan putih di antara deretan pohon-pohon yang berada tak
jauh di samping kiri mereka. Dia bermaksud untuk mengejar bayangan tersebut. Tetapi niatnya dia tangguhkan.
"Aki Kilik Rogo!" ucapnya memecah keheningan. "Ketika aku sampai di Gunung Kendeng ini, aku melihat seseorang berjubah
hitam, dia seorang perempuan tua. Di tangannya memegang tasbih besar berwarna hitam, sedang di tangan yang lainnya tergenggam sebuah tongkat berkepala serigala. Masih di ling-kungan ini di tempat yang
berbeda aku melihat seorang laki-laki pesolek, juga sedang mengawasi tempat latihan para muridmuridmu!" "Laki-laki pesolek, ah rasanya tak salah lagi.
Dialah si Waria dari Gunung Pati. Tetapi ada keperluan apa orang itu sampai
berkeliaran di tempat seperti ini.
Tetapi seorang yang berjubah hitam itu aku tak pernah mengenalnya sama sekali.
Coba katakan sekali lagi
yang engkau lihat di luar sepengetahuanku!" pinta Aki Kilik Rogo penuh
perhatian. "Seorang lainnya adalah seorang laki-laki gemuk. Di kepalanya mengenakan topi yang dihiasi dengan tanduk kerbau. Orang itu sangat jelek sekali. Kedua bibirnya tidak jauh
berbeda dengan bibir monyet, dia suka menyeringai dan tersenyum-senyum...!"
jelasnya. Aki Kilik Rogo nampak kerutkan keningnya begitu mendengar ciri-ciri
yang disebutkan oleh Pendekar Hi-na Kelana. Rasa-rasanya dia lupa-lupa ingat
dengan orang yang memiliki tanda-tanda seperti itu. Tiba-tiba
dia hampir terlonjak-lonjak begitu mengingat siapa
adanya orang yang baru saja disebut-sebut oleh pemuda itu. "Dulimang. Hah tak salah lagi, dialah orangnya!" kata Aki Kilik Rogo heran bercampur kaget.
"Engkau mengenalnya, Ki...?"
"Ya.... dia merupakan tokoh sesat dari Lereng
Bromo yang berjuluk Kebo Selaksa Wisa. Tetapi ada
keperluan apakah orang itu sampai kelayapan sejauh
ini?" gumam Aki Kilik Rogo nampak tertegun.
Sampai sejauh itu, tahulah Buang Sengketa kini. Mengapa murid-murid Aki Kilik Rogo mengalami
kelainan seperti itu. Hanya dua kemungkinan yang
dapat disimpulkan oleh pendekar dari Negeri Bunian
itu. Kesimpulan pertama, boleh jadi sudah sejak awal murid-murid Aki Kilik Rogo
memang sudah terkena
pengaruh kekuatan sihir yang dijalankan oleh si Jubah Hitam. Sehingga dia dengan
sangat leluasa dapat menguasai atau bahkan mempergunakan tenaga orangorang itu, untuk tujuan dan maksud-maksud yang belum jelas. Sedangkan yang kedua, mungkin saja ada
orang lain yang menaruh dendam pada Aki Kilik Rogo
yang sesungguhnya merupakan seorang tokoh sakti
yang memiliki banyak musuh.
"Aki, tahukah aki bahwa murid-muridmu itu telah berlaku tak wajar...?"
"Maksudmu?" tanya Aki Kilik Rogo benar-benar tak mengerti.
Buang Sengketa terdiam untuk sesaat lamanya,
kemudian dia meneliti wajah laki-laki pendek itu.
"Aku yakin ada pihak-pihak tertentu yang telah
dengan sengaja mengacaukan, atau bahkan ingin memusnahkan segala impian mu itu, Ki... Atau bahkan
ada sesuatu yang kini sedang merasuki jiwa mereka...!"
Aki Kilik Rogo terdiam sesaat, dia coba mengerti
apa yang dikatakan oleh Buang Sengketa. Agaknya apa
yang dikatakan oleh si pemuda bagi Aki Kilik Rogo
adalah merupakan sesuatu yang bersikap wajar, namun masih penuh dengan keragu-raguan.
"Bagaimana engkau bisa mengambil kesimpulan seperti itu, Buang Sengketa?" tanya Aki Kilik Rogo pada akhirnya.
Yang ditanya menyapu pandang pada muridmurid di sekitarnya.
"Aku melihat si Jubah Hitam nampak merapalkan sesuatu, ketika aki memberi perintah pada muridmurid aki. Sehingga akhirnya murid-murid aki malah
melakukan gerakan-gerakan silat yang sesungguhnya
tak pernah aki ketahui."
Aki Kilik Rogo angguk-anggukkan kepalanya.
"Benar juga kata-katamu, Sengketa! Tetapi
apakah yang mereka harapkan atas segala yang mereka lakukan" Aku tak memiliki sesuatu yang pantas diperebutkan."
"Itulah yang harus kita selidiki, Ki...!"
"Hemm.... Berarti murid-muridku itu jiwanya
sudah teracuni. Tiada guna aku mendidik mereka lagi.
Aku akan meninggalkan mereka dan menyelidiki
orang-orang yang mencurigakan itu!" putusnya bagai orang yang pupus harapan.
Kejut hati Pendekar Hina
Kelana demi mendengar keputusan Aki Kilik Rogo, baginya hal itu merupakan satu keputusan yang dia pikir tak pernah terjadi
sebelumnya. "Jangan engkau lakukan itu, Ki. Kasihan mereka, murid-muridmu itu membutuhkan perhatianmu!"
"Ah, percuma saja orang muda. Dua puluh tahun mereka dalam bimbingan ku. Tetapi hasilnya siasia, mereka benar-benar sangat mengecewakanku...."
tukas Aki Kilik Rogo kesal sekali.
"Itu bukan kesalahan mereka, Ki...!"
Sepasang mata Aki Kilik Rogo nampak melebar
begitu mendengar kata-kata Pendekar Hina Kelana.
Dia merasa bahwa si pemuda nampaknya berada di
pihak murid-muridnya.
"Kalau bukan kesalahan mereka, jadi kesalahanku"!"
"Tidak juga...!" Buang Sengketa gelengkan kepalanya. "Menurutku si Jubah Hitam
itulah yang bersalah, dialah yang telah menyesatkan murid-muridmu
itu, melalui satu kekuatan yang tak pernah terlihat
dan di luar sepengetahuan kita!"
"Engkau begitu yakin bahwa si Jubah Hitamlah
yang telah membuat murid-muridku menjadi tolol semua?" tukas Aki Kilik Rogo sudah semakin tak sabar saja nampaknya. Buang
Sengketa anggukkan kepalanya. Wajah Aki Kilik Rogo nampak semakin bertambah memerah karena menahan amarah. Dalam hati
dia memaki diri sendiri, mengapa dirinya begitu tolol dan tiada pernah
mengetahui apa yang terjadi dengan
murid-muridnya. Pantas saja semuanya menjadi siasia! "Kini aku mulai mengerti akan maksud ucapanmu itu. Lalu apakah yang harus aku lakukan...?"
tanya Aki Kilik Rogo bingung sendiri.
"Engkau tetaplah tinggal di sini, coba lakukan
penyelidikan di sekitar rumah tinggalmu. Biarkan aku yang akan menyelidiki siapa
sesungguhnya yang paling bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada muridmuridmu itu!" kata Buang Sengketa memberi keputusan. Bukan main gembiranya Aki
Kilik Rogo mendengar keputusan yang diambil oleh Pendekar Hina
Kelana. Kemudian Aki Kilik Rogo yang berbadan pendek itu tanpa terduga-duga, segera menghambur pada
si pemuda. Lalu bagai seorang bocah kecil dia memeluk Buang Sengketa.
"Aku si orang tua tiada guna mengucapkan banyak terima kasih padamu!" ucapnya dengan mata me-rembab merah.
"Sudahlah, Ki! Aku belum melakukan apa-apa,
kita lihat saja bagaimana nanti hasilnya!" sela si pemuda merasa serba tak enak.
"Hmm. Aku mempercayakan semua ini padamu, semoga apa yang menjadi kecuri-gaanmu semuanya benar adanya!"
"Terima kasih, Ki.... Aku pamit dulu...!"
"Pergilah semoga Sang Hyang Widi memberkati
mu...!" Setelah menjura hormat pada Aki Kilik Rogo, maka dengan sekali
menggenjotkan kakinya tubuhnya
pun lenyap dari pandangan Aki Kilik Rogo. Takjub bercampur kagum Aki Kilik Rogo
demi melihat betapa he

Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batnya Pendekar Hina Kelana dengan ilmu lari cepatnya. Diam-diam dia merasa begitu yakin, kalau apa
yang akan dilakukan oleh si pemuda akan mencapai
hasil seperti yang diharapkan.
*** 3 Matahari telah condong di ufuk Barat, ketika
Buang Sengketa tiba di pinggiran Hutan Kemusu. Sesaat dia menghela nafasnya dalam-dalam, namun kemudian dia tertegun begitu melihat sosok bayangan hitam berkelebat di antara
sela-sela pohon yang tumbuh
rapat, nun jauh di bawah lereng bukit. Sepasang mata pendekar ini nampak
menyipit begitu matanya yang tajam itu mengenali siapa adanya orang tersebut.
Tak salah lagi itulah dia si Jubah Hitam, yang pernah dia lihat di Gunung Kendeng
tempat kediaman Aki Kilik
Rogo. Mengapa pula manusia bertongkat serigala itu
berada di tempat yang sunyi seperti daerah Kemusu.
Diam-diam, Pendekar Hina Kelana semakin bertambah
curiga dengan kehadiran orang tersebut. Lalu timbul
pula keinginannya untuk menguntit si Jubah Hitam
sampai pada tujuan akhir perjalanannya.
Kemudian dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya, yaitu Ajian Sapu Angin. Maka sebentar saja
tubuhnya sudah melesat sedemikian cepatnya, bagai
anak panah-yang terlepas dari busurnya. Lalu hanya
dengan sekejapan mata saja, ratusan tombak telah ter-lampaui. Si pemuda
mengurangi kecepatan larinya,
sambil celingak celinguk memperhatikan keadaan di
sekitarnya. Tak terlihat adanya si Jubah Hitam, padahal menurut taksirannya. Sungguhpun si Jubah Hitam memiliki ilmu lari cepat yang luar biasa. Akan tetapi Ajian Sapu Angin
bukanlah ilmu lari cepat biasa.
Ilmu ini sangat langka, dan di dalam dunia persilatan hanya si Bangkotan Koreng
Seribu seoranglah yang
memiliki ilmu lari, tersebut yang kini telah diwarisi oleh muridnya, yaitu
Pendekar Hina Kelana. Sialan betul, ke mana minggatnya orang itu! Rutuk si
pemuda merasa kehilangan jejak. Ketika Buang Sengketa bermaksud meninggalkan tempat itu, tiba-tiba dia mendengar suara beradunya senjata tajam tidak begitu
jauh di sebelah Utara tempat dia berdiri. Ah, siapa la-gi" Batin si pemuda dalam
hati, tiada menyia-nyiakan kesempatan. Pemuda ini pun langsung mengempos
tubuhnya. Sehingga nampak begitu ringan, badan yang
kekar itu pun melentik ke udara. Lalu dengan mulus
sepasang kakinya mendarat di atas dahan yang sangat
tinggi. Dari tempat itu dia dapat dengan leluasa mengawasi keadaan sekitar
seratus tombak di depannya,
terlihatlah dua orang berpakaian biru sedang mengeroyok seorang gadis berbaju putih. Sekilas Buang
Sengketa teringat pada bayangan yang berkelebat di
tempat kediaman Aki Kilik Rogo beberapa hari yang la-lu. Mungkin gadis inilah
orangnya. Diam-diam dia mulai mengerahkan ilmu mendengar jarak jauhnya. Dari
percakapan dan perdebatan yang dia dengar, maka tahulah dia bahwa sesungguhnya dua orang berpakaian
biru bermaksud untuk meringkus si gadis.
Karena gadis itu dalam keadaan terdesak hebat, maka Buang Sengketa tidak mau menunggu lagi.
Sekali lagi dia mengenjot tubuhnya, maka lebih cepat lagi dia melayang bagai
terbang di atas pucuk-pucuk
pohon. Dalam sekedipan mata dia sudah hampir sampai di tempat pertempuran. Saat itu, dengan salah seorang yang berpakaian biru
nampak berusaha melancarkan totokan pada bagian-bagian yang mematikan,
sementara yang lainnya dengan senjata yang berupa
sebuah tongkat biru yang pada bagian pangkalnya terdapat ukiran kepala seekor ular Welang. Nampak dengan sebat sekali mencecar lawannya dari arah yang
berlawanan. Tongkat berkepala ular Welang itu berkelebat-kelebat menyambar ke segala arah, angin menderu mengeluarkan suara bercuitan. Bau amis menjijikkan mulai menebar ke mana-mana. Nampaklah sudah,
bahwa dalam jurus-jurus selanjutnya. Si gadis berpakaian putih sudah tak mampu lagi mengembangkan
jurus-jurus selanjutnya. Si gadis berpakaian putih sudah tak mampu lagi
mengembangkan jurus-jurus pedangnya. Bahkan sesaat setelah itu, ketika tongkat di
tangan si Jubah Biru hampir saja mematuk dadanya,
si gadis sudah tak punya pilihan lagi untuk menghindari berbenturnya senjata yang sangat berbisa itu. Tak pelak lagi, dengan nekad
dia memapaki terjangan
tongkat yang terus meluncur ke dada itu dengan kibasan pedang di tangannya.
"Traaak!"
Bunga api berpijar begitu senjata itu saling beradu, tubuh si gadis nampak tergetar dengan tangan
sakit luar biasa bagai kesemutan. Gadis berbaju putih nampak pucat wajahnya, dan
lebih terkejut lagi ketika menyadari bahwa senjata di tangannya nampak gempal
besar di beberapa bagian. Dua laki-laki berbaju bi-ru itu nampak mengekeh begitu
melihat keberhasilan
mereka. Dan si gadis masih belum hilang rasa kejutnya, ketika tubuh si Jubah Biru menubruk gadis baju
putih dan langsung menotok urat gerak tubuh si gadis.
Gadis itu mengeluh tanpa mampu menggerakkan tubuhnya yang mendadak menjadi kaku.
"Sekarang engkau bisa apakah Sri Pamuja.
Dengan kepandaian setahi kuku, engkau ingin cobacoba menghalangi rencana Sepasang Ular Welang"
Ha... ha... ha. Jangankan engkau, andai gurumu masih hidup sekalipun belum tentu dia sanggup menghadapi permainan tongkat kami." berkata salah seorang si Jubah Biru dengan
sesungging senyum menjijikkan.
"Kepalang tanggung Adik Sadaka, telanjangi saja sekalian, biar aku dapat melihat kebagusan tubuhnya yang putih mulus itu!" kata Sadaki dengan pandangan matanya yang blingsatan.
"Hem. Betul juga, sekalian kita kerjai saja..!"
sahut Sadaka, lalu tangan kanannya yang berkuku
panjang-panjang itu pun menjulur bagai kepala ular.
"Breet!"
"Auwwww...!"
Sepasang Ular Welang tertawa mengekeh! Apalagi setelah beberapa saat kemudian mereka melihat
kebagusan tubuh Sri Pamuja. Sadaka yang sudah
nampak blingsatan itu agaknya tidak ingin berhenti
sampai di situ saja, tangannya kembali bergerak. Namun pada saat itulah meluncur satu benda hitam sedemikian cepatnya, sampai-sampai kedua bersaudara
yang sudah hampir lupa daratan itu pun tak sempat
melihatnya. "Tuk!"
Sadaka melolong panjang begitu benda yang
berupa batu itu menghajar tangannya. Bersamaan
dengan jeritan Sadaka maka tubuh Buang Sengketa
telah melayang turun dan kini telah berdiri tepat di hadapannya.
Bukan main terkejutnya kedua orang itu begitu
melihat kehadiran seorang pemuda berpakaian gembel
yang belum pernah mereka lihat pada waktu-waktu
sebelumnya. Begitu pun Sadaki tetap membentak.
"Bocah gembel, berani sekali engkau mencampuri urusan Sepasang Ular Welang?" tukas Sadaki dengan mata melotot. Merah paras
Pendekar Hina Kelana begitu mendengar kata-kata yang sangat menyakitkan itu. Begitu pun Buang Sengketa tetap menyunggingkan senyum.
"Segala macam ular bulukan! Sudah barang
tentu akan kugebuk andai berani berbuat onar di depanku...!" kata Buang Sengketa mencemooh.
"Bangsat, engkau benar-benar tak memandang
muka pada kami...?" tukas Sadaki sambil mengusap-usap tangannya yang memar biru
dan sakit luar biasa.
"Ha... ha... ha...! Bertahun-tahun aku mengembara, selama itu aku paling benci pada setiap kebiadaban yang terjadi di kolong langit ini!"
"Bah, agaknya engkau benar-benar manusia
yang sudah bosan hidup...?"
"Mengapa harus basa basi, Kakang Sadaki, cincang saja gembel bau ini...!" kata Sadaka nampak sudah tidak sabar lagi.
"Sabar dulu, Adik.... Kita tanya dulu namanya.
Siapa tahu setelah dia mati nanti bapak emaknya
mencari-cari kuburnya, akhirnya kita-kita juga yang
bakal kerepotan!"
"Pertanyaan yang tiada guna, hanya akan menambah umurnya sedetik lebih lama lagi...!" Tanpa menghiraukan ucapan adik-nya,
Sadaki membentak:
"Bocah, sebutkanlah namamu. Kami tiada pernah membunuh tanpa terlebih dahulu mengetahui
namanya...!" seru laki-laki berewokan berkepala besar tersebut.
"Puh. Sombong sekali bicaramu, ular berewok,
sepertinya di kolong langit ini hanya kalian berdualah yang paling hebat! Ha...
ha... ha...! Namaku Buang
Sengketa. Manusia yang terbuang dan ketika masa kecilnya diramalkan oleh para peramal gila sebagai biang malapetaka di kemudian
hari (Untuk lebih jelasnya ba-ca Utusan Orang-orang Sesat). Tetapi dunia
persilatan lebih mengenalku sebagai si Hina Kelana...!" jelas si pemuda tanpa
maksud membanggakan diri. Tak dapat
dibayangkan betapa terkejutnya, Sepasang Ular Welang ini. Sedikit pun mereka tiada pernah menyangka
bahwa pendekar yang akhir-akhir ini menggemparkan
dunia persilatan sesungguhnya hanyalah seorang pemuda gembel berperiuk di pinggangnya, muka tampan
namun nampak kotor bagai setahun tak pernah mandi. Si gadis berbaju putih itu pun tak kalah terkejutnya, dia tiada menyangka
bahwa pemuda yang telah
menyelamatkan kehormatannya itu, tak lain Pendekar
Golok Buntung yang kehadirannya membuat gempar
di mana-mana. Tetapi diam-diam dia merasa bersyukur, sebab walau bagaimanapun juga dia punya kesempatan untuk melihat bagaimana sepak terjang
pendekar yang sangat tampan itu nantinya.
Kembali pada Sepasang Ular Welang yang
nampak sekali berusaha menutup-nutupi rasa gentar
yang mulai menyelimuti hati mereka. Salah seorang
yang bernama Sadaka menghardik:
"Akh, kiranya pendekar yang sangat kesohor itu
tak lebih hanyalah seorang gelandangan yang patut di-kasihani!"
"Aku jadi ingin melihat sendiri bagaimana hebatnya! Pusaka Golok Buntung yang membuat heboh
itu...!" timpal Sadaki mencemooh. Geram bercampur marah pendekar ini dibuatnya.
"Hemm!" Pendekar Hina Kelana menggeram,
otot-otot tubuhnya mulai nampak menegang dan bersembulan. "Orang-orang malang! Seandainya golok maut milikku itu sampai keluar
dari sarangnya. Aku
khawatir kalian tak pernah sempat melihatnya!" tukasnya dengan gigi
bergemeletukkan menahan amarah. "Ah, mulutmu keliwat takabur, pendekar gembel...!" makinya.
"Hueesss!"
Sadaki memukulkan tongkatnya yang berkepala ular Welang itu. Sontak berhamburlah jarum-jarum
beracun dari kepala ular tersebut. Manakala Sadaki
menekan salah satu alat yang berada dalam genggamannya. Karena Buang Sengketa menyadari betapa
berbahayanya senjata rahasia yang terlontar dari mulut kepala ular tersebut, maka dia tak mau ambil resiko. Dengan sedikit menggeser tubuhnya dan mengerahkan tenaga dalam melalui tangan kanannya, sesaat
kemudian tangan itu pun melambai. Sedikit pun Sadaki tiada mengira bahwa lambaian tangan kanan si
pemuda timbulkan gelombang angin yang membadai.
Pukulan tangan kanan tersebut langsung memapaki
datangnya senjata rahasia yang begitu cepat.
"Weeerrr!"
Jarum-jarum beracun tersebut berpentalan ke
segala arah, lalu runtuh berkeping-keping. Baik Sada-ka maupun Sadaki nampak
sangat terkejut sekali, selama malang melintang dalam dunia persilatan baru
kali inilah ada orang yang mampu luput dari serangan senjata rahasia yang mereka
miliki, hal ini saja telah membuka mata mereka, betapa pemuda berkuncir tersebut
memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Namun dasar orang tak tahu diri, mengetahui
serangannya luput, mereka bukannya mau mengalah.
Sebaliknya secara serentak kedua orang ini segera melakukan serangan-serangan
secara gencar. Buang
Sengketa yang sedikit banyaknya telah melihat bagaimana permainan silat kedua lawan ketika bertarung
melawan Sri Pamuja. Maka tanpa memberi kesempatan lagi nampak cepat-cepat putar langkah. Kemudian
dengan mempergunakan jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra, sesaat berikutnya telah memutar tangannya membentuk perisai pelindung untuk
mematahkan serangan-serangan tongkat berkepala
ular Welang yang sangat berbahaya itu. Dalam waktu
sekejap saja pertarungan nampak seru, dan telah berlangsung belasan jurus. Satu ketika, Sadaka dan Sadaki nampak menyurut dua tindak, satu tangan menyilang ke depan dada, sedangkan tangan yang memegang tongkat tampak terjulur ke depan. Dalam pada
itu, mulut keduanya telah berkomat kamit. Hingga sekejap kemudian asap tipis berwarna kebiru-biruan
nampak mulai menebar dari kepala tongkat yang berbentuk kepala ular Welang tersebut. Tubuh keduanya
sudah bermandikan peluh, tanda bahwa Sepasang
Ular Welang sedang bersiap-siap mengeluarkan pukulan maut yang diberi nama Ular Welang Mencatok Kodok. Orang-orang persilatan yang pernah mengetahui
betapa hebat pukulan beracun tersebut tak berani
membayangkan bagaimana akibatnya seandainya
sampai pukulan bersarang di tubuh seseorang. Belum
pernah seorang pun yang bisa luput dari pukulan
maut yang mengandung racun yang sangat ganas tersebut. Sedangkan Buang Sengketa sendiri begitu


Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengendus ban amis yang tak sedap itu hanya mengekeh saja, sebab seperti diketahui bahwa pendekar ini sesungguhnya sangat kebal
dengan segala macam racun. Namun karena demi mengimbangi pukulan tenaga sakti yang tentu saja dapat membuat tubuhnya
menjadi berantakan, maka dia pun tak ingin ayalayalan. Sesaat setelahnya Sepasang Ular Welang dengan diiringi satu jeritan melengking, cepat-cepat pukulkan tongkatnya ke depan.
Maka secara bersamaan
dua larik sinar berwarna biru langsung melesat melalui mulut tongkat kepala ular tersebut. Buang Sengke-ta tidak tinggal diam,
sekali dia mengempos tubuhnya.
Maka dengan sangat ringan sekali badan yang kekar
dan berotot itu pun sudah melentik ke udara. Anehnya, seperti bermata saja layaknya, pukulan yang dilepas oleh Sepasang Ular
Welang itu bagai bermata saja mengejar ke mana pun pemuda ini mengelak. Sadarlah
pemuda itu, bahwa selain pukulan maut itu mengandung racun yang jahat, tetapi juga berbau sihir.
4 Pendekar Hina Kelana kertakkan rahang. Selamanya dia paling benci dengan permainan apapun
yang berbau sihir. Maka tak pelak lagi, dia pun mulai menyalurkan seperempat
tenaga dalamnya ke arah bagian tangannya. Begitu segalanya dia rasakan cukup,
maka tak pelak lagi pukulan Empat Anasir Kehidupan
yang sudah tak asing lagi. Dia pergunakan untuk memapaki datangnya gelombang pukulan yang terus
mengejarnya itu. Karena pukulan beracun tersebut sifatnya mengejar, maka tanpa menoleh lagi dia pun kiblatkan tangannya ke
belakang. "Bet! Blaaaar!"
Kilatan sinar ultra violet yang datangnya lebih
cepat itu, membuat dua kekuatan tenaga sakti saling
bertabrakan tanpa dapat dielakkan lagi. Dan setahu
bagaimana, baik tubuh Sadaki dan Sadaka nampak
sama-sama terpental lima tombak, orang itu tergulingguling menabrak kotoran
kerbau yang berada di sekitar tempat itu. Sementara Buang Sengketa sendiri
hanya merasakan dadanya sedikit nyeri. Tetapi setelah mengatur jalan napas, maka
rasa sakit itu pun lenyap begitu saja. Pemuda keturunan seekor raja ular di
Negeri Bunian yang berjuluk si Raja Piton Utara itu pun nampak tergelak-gelak
begitu melihat lawan-lawannya, belepotan dengan kotoran kerbau.
"Ah, kalian jorok sekali! Kotoran kerbau kalian buat mandi!" ejek Pendekar Hina
Kelana tanpa kehilangan tawanya. Gusar bercampur malu, Sepasang
Ular Welang itu dibuatnya. Terlebih-lebih begitu melihat kenyataan bahwa pukulan
maut Ular Welang Mencatok Kodok, dapat dikandaskan oleh lawan yang masih begini muda, bahkan sampai-sampai mereka sendiri terjengkang beberapa tombak.
"Budak gembel! Engkau benar-benar akan menyesal telah begitu berani memper-mainkan kami...!"
tukas Sadaki dengan tongkat melintang di depan dada.
"Huh! Kutu busuk berewokan, mulutmu saja
yang besar. Tetapi sesungguhnya kalian merupakan
orang yang paling tolol di kolong langit ini, maka bersiap-siaplah untuk
mampus...!" teriak Buang Sengketa, lalu tangannya meluncur deras ke arah dada
Sadaki dan Sadaka. Pukulan kedua tangan yang mengandung
tenaga dalam tersebut mendatangkan angin bersiuran.
Sadaka tampak terkejut ketika merasakan adanya
sambaran angin pukulan tersebut. Tetapi dengan
menggeser kaki kanan dan sedikit miringkan tubuh,
maka sodokan kedua tangan si pemuda menjadi luput
dari sasarannya. Namun di luar dugaan kedua orang
ini, tiba-tiba kaki kiri Buang Sengketa membentuk sa-tu guntingan ke arah kaki
lawan-lawannya. Sesaat lamanya, Sadaka dan Sadaki nampak terperangah, namun menyadari akan datangnya bahaya yang mengancam bagian kakinya. Maka cepat-cepat keduanya terlonjak dan langsung melompat menghindari sapuan
kaki lawannya. "Wuuut!"
Sambaran kaki Buang Sengketa juga luput, di
luar kesadarannya, Sadaki yang masih berada di udara tatakkan tongkatnya.
"Seeer!" Senjata rahasia yang berupa jarum-jarum beracun itu pun kembali meluruk
ke arah Buang Sengketa, dan pada saat itu pun Sadaka menekan salah satu sisi bagian tongkatnya. Maka senjata
yang sama pun berlompatan dari mulut kepala ular
yang berada dalam genggamannya.
"Sialan...!" Buang Sengketa mengutuk. Tubuhnya melonjak kemudian secepatnya
melesat ke udara.
Begitu dia menukik kembali, tanpa sungkan-sungkan
dia pergunakan si Hina Kelana Merana yang maha
dahsyat itu. "Haiitt!" Satu raungan keras dan desis bagai amarah se ekor ular piton, cukup
sebagai tanda bahwa Buang Sengketa benar-benar dalam keadaan marah
besar. Dalam pada itu serangkum gelombang cahaya
merah membara yang dilepas sebagai pukulan ampuh
sang pemuda. Nampak berkelebat laksana meteor, begitu cepat pukulan si Hina Kelana Merana itu berkelebat, hingga timbulkan suara
menggemuruh menyakitkan gendang-gendang telinga. Cahaya merah
membara itu bukan saja meruntuhkan jarum-jarum
beracun milik lawannya, namun lebih dari sekedar itu terus saja meluncur deras
tiada terbendung ke arah
Sadaka yang berada tepat di bawahnya. Tidak terbayangkan, baru terkena sambaran anginnya saja Sadaka merasakan badannya bagai terpanggang di atas
bara api dan hal itu sudah membuat wajahnya pucat
bukan main. Dia menyadari akan bahaya itu, namun
begitu dia berusaha menghindar. Dia merasakan
adanya ribuan kati tenaga raksasa yang membuatnya
tak mampu bergeser dari belenggu maut.
"Wussss! Blaaarrrr!" Pukulan maut yang datangnya dari atas tersebut membuat tubuh Sadaka
melesak ke dalam tanah. Tubuh tersebut nampak berantakan hancur berkeping-keping. Sehingga membuat
Sadaki yang sejak tadi terperangah kini menjadi semakin ciut nyalinya.
Sungguhpun dia sangat marah bukan main, tetapi dia menyadari menghadapi Pendekar
Hina Kelana seorang diri hanyalah merupakan perjuangan yang sia-sia. Terkecuali bergabung dengan
kawan-kawan satu golongan, dia tak ingin mengambil
resiko yang sangat membahayakan keselamatannya.
Semasih Buang Sengketa dalam keadaan lengah, maka
Sadaki langsung melarikan diri. Saat itu Sri Pamuja
yang tubuhnya masih dalam keadaan tertotok, berteriak. "Pendekar! Orang itu melarikan diri...!"
Buang Sengketa balikkan wajahnya, benar seperti apa yang dikatakan oleh Sri Pamuja, Sadaki si
Sepasang Ular Welang itu sudah tak ada lagi di tempat itu.
"Suatu saat kelak aku pasti menemukannya...!"
berkata begitu Buang Sengketa melangkah mendekati
Sri Pamuja, namun dia undur dan palingkan muka begitu melihat pakaian si gadis yang terobek di bagian dadanya. Sehingga
menampakkan kulitnya yang putih
mulus. "Bagaimana ini, Pendekar Kelana. Tolong bebaskan aku...!" kata Sri Pamuja
memohon. "Akh, bagaimana aku bisa membebaskan mu,
benahi dulu pakaianmu!" tukas si pemuda.
"Bagaimana caranya, aku tak dapat menggerakkan tanganku!" rengek Sri Pamuja. Pendekar Hina Kelana mengeluh, lalu garukgaruk kepalanya yang tak gatal. "Kalau begitu aku mau pergi saja...!"
"Pendekar, kalau engkau pergi bagaimana kalau bangsat itu datang ke mari. Apakah engkau tidak
kasihan padaku...?" rintih gadis itu setengah memelas.
Si pemuda tercenung, agaknya apa yang dikatakan
oleh Sri Pamuja mengena di hatinya. Lalu dengan menutup matanya dengan tangan kiri, selangkah demi selangkah dia mendekati si gadis. Merasa begitu dekat,
maka dia pun bermaksud memulihkan jalan darah
yang telah membuat si gadis tak mampu menggerakkan anggota tubuhnya. Tetapi karena kedua matanya
tertutup, maka dia jadi salah pegang.
"Auuuwww...!" Sri Pamuja menjerit begitu tangan Buang Sengketa secara tak
sengaja nyasar ke bagian dadanya. Seketika wajah Buang Sengketa berubah merah. Cepat-cepat dia menggeser jemarinya, kemudian dengan cepat pula dia sudah membebaskan si
gadis dari pengaruh belenggu totokan. Setelah terbebas dari totokan Sadaki, maka
Sri Pamuja segera
memperbaiki pakaiannya.
"Aku merasa sangat berterima kasih padamu,
Pendekar...!" ucapnya setelah beberapa saat lamanya hanya terdiam.
"Nona tak perlu berterima kasih padaku, semua
yang terjadi itu sesungguhnya hanyalah merupakan
pertolongan Sang Hyang Widi...!"
"Eh, namaku Sri Pamuka dari Gunung Wilis...!"
"Dan aku si anak terbuang si Hina Kelana...!"
kata pemuda itu menyambung.
Buang Sengketa kerutkan alisnya begitu teringat sesuatu, lalu langsung bertanya; "Sepertinya aku pernah melihatmu di Gunung
Kendeng, tempat tinggal
Aki Kilik Rogo, apa yang engkau kerjakan di sana...?"
tanya Buang Sengketa menyelidik. Sesungguhnya Sri
Pamuja agak begitu terkejut begitu mengetahui ada
orang lain melihat kehadirannya di Gunung Kendeng.
Namun karena dia menyimpan maksud-maksud yang
baik, maka dia hanya tersenyum saja demi mendengar
teguran si pemuda.
"Rupanya anda pernah melihatku di sana?"
"Ya, secara kebetulan beberapa hari yang lalu."
Sejurus lamanya gadis itu nampak memperhatikan si pemuda yang saat itu hanya beberapa meter
saja jaraknya dari tempat dia berdiri. Sesaat mata mereka nampak saling beradu
pandang, lalu cepat-cepat
Sri Pamuja membuang pandangannya jauh-jauh. Lalu
kemudian dia pun mengakui.
"Kuakui, aku memang pernah berada di sana!
Tetapi aku tak mempunyai maksud-maksud yang tak
baik. Aku hanya ingin menguntit apa yang dikerjakan
oleh si Jubah Hitam dan si Tanduk Kerbau di tempat
tinggal Aki Kilik Rogo."
"Dan engkau telah mengetahui apa yang dikerjakan oleh mereka di tempat itu...?" tanya Buang Sengketa menyelidik.
Sri Pamuja anggukkan kepalanya.
"Ya, tetapi tidak semuanya...." jawab si gadis tanpa merasa ragu-ragu lagi.
"Lalu apa yang engkau ketahui itu...?"
"Mungkin banyak, tentang murid-murid Aki Kilik Rogo, yang tolol dan suatu saat menjadi buas bila sudah sampai masanya.
Tentang bencana yang akan
dilakukan oleh si Jubah Hitam, atau si Topi Kerbau...!"
Dalam pada itu, tiba-tiba Buang Sengketa menjadi curiga dan ragu-ragu pada si gadis. Dan keadaan seperti itu agaknya sempat
diketahui oleh gadis itu.
Maka tanpa sungkan-sungkan dia pun menegur.
"Anda tak perlu curiga padaku. Lama sekali
aku telah mencium segala rencana orang-orang itu. Tetapi aku selalu tak memiliki
keberanian untuk menghalangi usaha mereka. Orang-orang itu berilmu sangat tinggi, sedangkan aku
bukanlah apa-apanya...!" desah si gadis setengah mengeluh.
"Apakah orang itu bekerja sama, satu golongan
atau memiliki tujuan masing-masing?"
Nampak sekali perubahan air muka Sri Pamuja
begitu Buang Sengketa mengemukakan pertanyaan
seperti itu. Hal ini sudah barang tentu membuat si
pemuda menjadi bertambah heran.
"Mereka itu sesungguhnya dari golongan yang
berbeda, tetapi mempunyai tujuan yang hampir sama...!" "Maksudmu!" desaknya tak sabar lagi.
"Dari Aki Kilik Rogo, ada sesuatu yang mereka
inginkan...!"
Nampaknya Pendekar Hina Kelana merasa kurang puas dan mengerti akan makna ucapan Sri Pamuja. "Pamuja! Janganlah bicara muter-muter aku tak bisa mengerti apa yang kau
katakan itu!"
"Hm, baiklah, aku akan ceritakan padamu tentang Aki Kilik Rogo terlebih dahulu." ujar Sri Pamuja.
"Katakanlah...!" Buang Sengketa berkata serius.
Sesaat lamanya Sri Pamuja menarik napas
pendek, agaknya dia sedang berusaha untuk mengingat-ingat sesuatu. Lalu setelah helaan-helaan nafasnya mulai teratur kembali,
maka dia pun memulai.
"Tujuh puluh tahun yang lalu, di Gunung Dieng
hidup seorang tokoh yang sangat sakti. Orang itu
mempunyai nama Empu Wesi Laya, tokoh sakti itu hidup dengan dua orang muridnya. Murid perempuannya Betari Murti dan seorang lainnya bernama Kilik
Rogo. Konon setelah dewasa Betari Murti yang punya
sifat serakah dan ingin menguasai ilmu pukulan beracun telah melarikan diri dengan membawa Kitab Bendil Dieng...."
"Kitab" Kitab apa...?" tanya pendekar keturunan raja ular tersebut merasa
tertarik. "Bendil Dieng sesungguhnya sebuah kitab yang
isinya sangat erat hubungannya dengan alam di sekitar tempat itu. Sekali saja kitab itu tak pernah kembali pada tempatnya, maka
bencana itu pun akan terjadi di tempat tersebut. Itulah sebabnya demi
menghindari kutuk yang telah ditetapkan oleh Empu Wesi Laya,
maka Aki Kilik Rogo memohon pada gurunya sendiri
untuk mencari dan membawa kembali Kitab Bendil Dieng. Sayangnya, Aki Kilik Rogo tak pernah berhasil
membawa kembali kitab yang sangat disucikan itu. Sebab ternyata ilmu kepandaian yang dimiliki oleh Batari Murti jauh berada di atas
kepandaian yang dimiliki
oleh Aki Kilik Rogo."
"Ehhh.... Tetapi mengapa Aki Kilik Rogo, seperti yang sama-sama kita ketahui,
malah menetap di Gunung Kendeng...?" tanya Buang Sengketa tak habis mengerti.
Sri Pamuja terdiam untuk beberapa saat lamanya. Tetapi sesaat kemudian dia telah menyambung


Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali "Semua itu dia lakukan karena dia merasa ma-lu untuk kembali ke Gunung
Dieng menemui gurunya.
Di sana dia mendirikan perguruan, tetapi seperti yang anda lihat selama dua
puluh tahun dia mengajar muridnya dengan berbagai ilmu kanuragan, namun murid-muridnya malah memiliki kelainan yang sesungguhnya berasal dari manusia yang menghendaki kunci
Mustika Pembuka Pintu Goa Dieng...!"
"Apakah mereka yakin bahwa kunci itu berada
di tangan Aki Kilik Rogo?"
"Kemungkinannya begitu...!" jawab Sri Pamuja.
"Sesungguhnya apa sih yang terdapat di dalam
goa tersebut, sehingga orang-orang itu bermaksud untuk memasukinya?" tanya si pemuda.
*** 5 "Agaknya setelah membawa lari Kitab Bendil
Dieng, Batari Murti mulai merasakan kesulitan untuk
memecahkan rahasia besar yang terkandung dalam kitab tersebut. Dan lebih celakanya, bahwa kitab rahasia untuk mengetahui isi buku
yang dia curi tersebut tidak sempat dia bawa lari. Sudah barang tentu untuk
kembali ke Gunung Dieng dia tidak berani, sebelum
dia berhasil menguasai isi buku hasil ciptaan Empu
Wesi Laya yang sakti mandraguna. Satu-satunya cara
adalah dengan memanfaatkan tangan Aki Kilik Rogo
dan murid-muridnya." kata Sri Pamuja panjang lebar.
"Biadab! Kalau begitu orang yang mengenakan
Jubah Hitam itulah yang telah menyesatkan muridmurid Aki Kilik Rogo, sehingga mereka menjadi tolol semuanya?" tanya Buang
Sengketa berang sekali.
"Tidak, orang-orang itu sesungguhnya tidak tolol! Mereka adalah murid-murid yang telah dipengaruhi oleh aliran yang lain.
Sewaktu-waktu mereka dapat berubah menjadi binatang pembunuh yang sangat mengerikan...!"
"Tetapi mereka mengapa seperti orang yang kurang waras saja layaknya...?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, Sri Pamuja
tertawa getir. "Si Jubah Hitam memang dengan sengaja
membuat murid-murid Aki Kilik Rogo menjadi tolol sedemikian rupa dengan maksud, untuk memaksa Aki
Kilik Rogo menjumpai Empu Wesi Laya di Gunung Dieng. Dan sudah barang tentu orang tua sakti tersebut mampu mengobati penyakit
yang diderita oleh murid-murid Aki Kilik Rogo!"
"Apa hubungannya antara murid-murid itu
dengan kitab rahasia yang tersimpan di dalam gua?"
tanyanya semakin tak mengerti.
"Masa anda tidak tahu juga, Pendekar! Hubungannya jelas saja ada, bukankah sudah saya katakan
Kisah Sepasang Rajawali 4 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti 19

Cari Blog Ini