Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu Bagian 2
wanya pergi. "Maaf, bukan pedangku yang merobek perut
Ubaya, tapi pedangmu sendiri, Bandra!" seru Raka Pu-ra dengan sedikit tertawa,
seakan menertawakan dendam yang terpendam dalam hati Bandra.
"Sekarang kau berhadapan denganku, Raka
Pura!" ujar Kembang Setaman. "Rupanya kau sengaja ingin melihat murka ku di
hadapanmu!"
"Tidak. Siapa bilang aku ingin melihat murka
mu" Aku hanya tak ingin melihat kau membuntungi
pemuda tak berdaya itu!"
"Dia tawananku! Aku bebas memperlakukan dirinya dengan caraku sendiri!"
"Ya, memang dia tawanan mu. Tapi sebagai
manusia yang masih punya perasaan, aku berhak
mencegah tindakan kejimu itu, Kembang Setaman!"
"Hmmm...," Kembang Setaman manggutmanggut sambil pandangi wajah Raka Pura. Pandangan itu punya makna lain dan dapat dirasakan oleh
hati kecil Raka.
Perempuan bermata dingin itu sengaja mendekat dengan tangan kanan memegangi gagang pedang
yang siap dicabut. Raka Pura tetap diam di tempat,
berlagak memperhatikan pemuda yang terkulai lemas
di atas daun-daun kering.
"Raka Pura! Kau harus membayar mahal atas
kelancanganmu ini!"
"Dengan apa aku harus membayarnya"!" tanya Raka setengah menantang.
"Tentu saja dengan darah dan nyawamu!"
"Aku tak sanggup!"
"Hmmm...," Kembang Setaman menggumam lagi sambil manggut-manggut kecil. "Kalau begitu kau bisa membayarnya dengan cara
lain." "Jelaskan maksudmu!"
Kembang Setaman semakin mendekat. Jaraknya tinggal tiga langkah. Mereka saling beradu pandang sesaat, lalu Kembang
Setaman perdengarkan suaranya yang mirip sebuah bisikan.
"Kau kubebaskan dari hukuman atas kelancanganmu ini, apabila kau bersedia damai dengan ku, Raka." "Oh, itu tawaran yang
bagus sekali. Aku bersedia berdamai denganmu, Kembang Setaman!"
"Tapi bukan berarti tawananku itu bebas!"
"Tentu saja. Asal jangan kau buntungi."
"Kalau begitu, lebih baik jangan buang-buang
waktu, kita ke balik semak-semak sebelah sana saja!"
Dahi si Pendekar Kembar sulung mulai berkerut heran. "Apa maksudmu"! Mengapa harus ke balik semak-semak sana"!"
"Kita buat tanda perdamaian dengan segenggam kemesraan!"
"Edan!" sentak Raka sambil bergerak mundur.
Ia baru sadar, ternyata Kembang Setaman tertarik melihat ketampanan dan
kegagahannya, sehingga gairah
bercintanya mulai membakar hasrat. Kembang Setaman ingin menikmati cumbuan dari pemuda setampan
dan segagah Raka Pura. Senyumnya mulai tampak sebagai senyuman jalang pengharap kemesraan.
"Tak perlu berlagak kaget, Raka!" sambil perempuan itu mendekat dan Raka semakin
mundur. Gemetar dan tegang.
"Kau salah duga kalau begitu, Kembang Setaman!" "Jangan bertele-tele, Raka! Waktuku tak banyak. Selama ini aku dibuat
sibuk oleh urusanku, sehingga tak punya waktu untuk berkencan. Sekarang
kita pergunakan waktu yang singkat ini untuk saling memuaskan gairah masingmasing. Aku menyukai
pemuda bertubuh tinggi, kekar, dan berotot sepertimu, Raka! Aku bergairah sekali
jika melihat pemuda sepertimu, Raka."
"Hei, jangan mendekatiku lagi! Berhenti di tempat!" bentak Raka Pura menjadi
berang karena ia paling muak jika didekati perempuan seperti itu.
Tapi ancaman dan bentakan Raka itu hanya
membuat Kembang Setaman sunggingkan senyum jalang. Sekalipun ia hentikan langkah, tapi pandangan mata masih tetap mengikuti
gerakan Raka yang mundur terus hingga merapat dengan sebongkah batu sebesar kerbau. "Rupanya kau jinak-jinak merpati, Raka"!
Hmmm... itu tambah membuat gairah ku berkobarkobar dan... dan, oh... aku tak sabar lagi, Raka!" sambil Kembang Setaman
melepas jubahnya.
Jantung Raka menjadi berdetak-detak dengan
cepat. Keringat dinginnya mulai tersumbul dari pori-pori tubuhnya. Karena pada
saat itu, Kembang Setaman yang telah melepaskan jubahnya itu semakin
mendekat. Aroma wangi bunga dari tubuhnya mulai
tercium oleh Raka. Sementara itu, pundak dan se bagian dada serta punggung perempuan itu telah terbuka polos, tampak putih mulus
dengan kemontokan yang
menggiurkan. Raka Pura menjadi semakin gemetar. Ia terpojok oleh batu besar, sedangkan Kembang Setaman sudah ada di depannya dalam jarak tiga langkah. Jika
Raka ingin bergerak ke kiri, Kembang Setaman buruburu melangkah ke kanan, sehingga Raka merasa terhadang oleh perempuan itu.
"Jauhi aku! Jauhi aku, Setan! Pergi sana!" sentak Raka berkali-kali. Tapi
Kembang Setaman tampak
semakin kegirangan. Gairahnya bertambah besar melihat pemuda yang sesuai dengan seleranya itu kelihatan takut. Ia mulai paham,
bahwa Raka benar-benar
masih perjaka dan hal itu adalah keberuntungan besar baginya. Kembang Setaman
paling suka dengan pemuda yang masih hijau dalam bercinta. Karena biasanya jika
pemuda seperti itu sudah bisa ditundukkan, maka segala perintah cumbuannya akan
dikerjakan oleh si pemuda.
"Jangan takut, Raka! Kita akan sama-sama
menikmati keindahan yang membuatmu melayanglayang dalam curahan rasa nikmat," sambil Kembang Setaman maju selangkah lagi.
Pinjung penutup dadanya sengaja dikendurkan, sehingga kain itu sedikit merosot
ke bawah. Gumpalan bukit montoknya tampak separuh bagian.
"Peganglah ini...! Jangan takut, peganglah...!"
Kembang Setaman meraih tangan Raka, dan tangan
itu ditempelkan ke dada. Getaran pada tangan dan ka-ki semakin melemaskan tubuh
Raka, seakan tenaganya mulai hilang dan pikirannya mulai kacau. Raka tak bisa berpikir lagi,
karenanya ia tak punya gagasan untuk segera melompat ke atas atau berlari ke
samping. Sementara itu, Kembang Setaman mulai lebih
merapat lagi dengan pandangan mata menjadi sayu.
Bibirnya sesekali di jilati sendiri, atau kadang digigit penuh tantangan. Napas
Raka menjadi sesak, tak bisa bicara.
* * * 5 RUPANYA tatapan mata perempuan itu mengandung semacam kekuatan hipnotis yang melumpuhkan keberanian seorang lelaki. Kekuatan pandangan mata si Kembang Setaman itu juga dapat membuat seseorang menjadi tunduk. Dan yang ketiga, kekuatan pandangan mata itu membuat seseorang menjadi bergairah padanya. itulah yang dinamakan ilmu
'Candra Dewita', yang mempunyai tiga kekuatan bertahan. Tak heran jika Raka Pura menjadi gugup dan
tak berani berbuat kasar kepada Kembang Setaman.
Padahal seharusnya ia mampu mendorong tubuh
Kembang Setaman yang mendekatinya, tapi toh hal itu tidak ia lakukan.
Akhirnya Raka menjadi seperti orang bodoh
yang tidak tahu harus berbuat apa. ia hanya melakukan perbuatan jika mendengar kata perintah. Walau
hati kecilnya menentang dan ingin berontak, tapi kekuatan ilmu 'Candra Dewita'
telah melumpuhkan keberaniannya untuk berontak.
Debar-debar ketakutan di dalam hati Raka Pura mulai berubah menjadi debar-debar tuntutan birahinya. Getaran tubuh yang dirasakan bukan lagi getaran takut didekati seorang
perempuan, melainkan
berubah menjadi getaran hati yang penuh hasrat bercumbu. Maka akhirnya Raka Pura menurut ketika dituntun ke balik semak-semak. Langkahnya itu
adalah langkah yang disadari, namun tak bisa dihindari. Tentu saja Raka Pura penuh perasaan heran terhadap dirinya yang mau
dituntun ke balik semaksemak. "O, celaka! Celaka kalau begini! Mengapa aku tak tega untuk berbuat kasar
padanya?" keluh hati Raka. "Mengapa aku tak berani melemparkan perempuan ini"
Ooh... ada apa dengan diriku" Aku merasa senang dalam genggamannya. Aku juga
merasa senang menuruti perintahnya. Sial! Setiap aku ingin berontak selalu saja timbul rasa
tak tega"!"
Kembang Setaman sendiri tak menyangka kalau bakal bertemu dengan seorang lelaki muda yang
sesuai dengan seleranya. Ia tak ingin kehilangan lelaki itu sebelum gairahnya
terpenuhi. Lawan tinggal lawan, tapi urusan kemesraan harus terpenuhi dulu.
Setelah terpenuhi, tinggal mempertimbangkan kepuasannya
nanti. Jika ia merasa puas dengan kemesraan Raka,
maka ia mudah melupakan kelancangan Raka yang
ikut campur urusannya tadi. Tapi jika ia tidak puas dengan kemesraan Raka, maka
tak segan-segan ia
mencabut pedangnya untuk menghabisi nyawa pemuda tampan bertubuh kekar itu.
Tapi untuk sementara itu, kemarahannya tergeser total oleh gairahnya yang menggebu-gebu. Usapan tangannya ke dada bidang Raka telah semakin
membuatnya berdesir- desir dalam keindahan yang
sukar dibayangkan.
Tak segan-segan ia memeluk Raka, lalu menciumi wajah pemuda itu. Si pemuda hanya diam dan
menerima dengan pasrah tanpa perlawanan. Karenanya, Kembang Setaman pun menyuruh Raka untuk
memberi perlawanan ciumannya.
"Kecuplah aku... kecup bibirku, Raka," bisiknya dalam desah.
"Ak... ak... aku tak... tak bisa," jawab Raka dengan terbata-bata.
"Tempelkan bibirmu ke bibirku, lalu pagutlah.... Lekas, tempelkan bibirmu...."
Raka Pura pun akhirnya menempelkan bibirnya
ke bibir Kembang Setaman dengan pelan-pelan. Kembang Setaman memberi contoh pagutannya, Raka Pura
menirukan dengan pagutan pelan sekali. Satu tangannya masih ditempelkan ke dada Kembang Setaman,
bahkan gerakan tangan yang mengusap dada itu pun
masih dituntun oleh tangan Kembang Setaman. Sedangkan tangan yang satunya disuruh meremas-remas
punggung dan tengkuk Kembang Setaman.
Dalam keadaan masih sama-sama berdiri, Raka
Pura nyaris tak bisa menopang tubuhnya sendiri. Kedua lututnya terasa gemetar sekali dan makin lama
menjadi semakin lemas, bagai tak bertulang sedikit
pun. Tubuh Raka sengaja didesak oleh Kembang Setaman hingga pemuda itu berdiri bersandar pada sebatang pohon yang dikelilingi
semak ilalang. Kembang Setaman bukan saja menciumi wajah
dan bibir Raka, melainkan sampai ke bagian leher, lalu turun ke dada. Ia
memagut-magut dada Raka sebagai
contoh kemesraan yang nantinya harus ditirukan oleh Raka sendiri.
"Lakukan kecupan seperti ini nanti, ya?"
"Hhmmm, emmh...!" Raka hanya bisa anggukkan kepala kecil dalam gumam. Ia tak berani bersuara.
Padahal sebenarnya ia ingin mengarang kegelian keti-ka ciuman Kembang Setaman
merayap sampai ke perut Raka dengan menyingkapkan baju pemuda itu. Sedangkan tangan Kembang Setaman sejak tadi telah
berhasil meremas lembut sesuatu yang dirasakan begi-tu hangat dan mendebarkan
hatinya. "Nah, lakukanlah seperti tadi pada tubuhku
sampai bawah, Raka. Kau bisa, bukan?"
Dengan sangat terpaksa Raka anggukkan kepala. Kembang Setaman tersenyum jalang sambil melepaskan penutup dadanya.
Namun sebelum ia bergeser pindah tempat untuk dapat bersandar di pohon, tiba-tiba Raka melihat sekelebat sinar biru kecil
melesat dari pepohonan seberangnya. Sinar biru itu panjangnya satu tombak dan
menghantam ke tubuh Kembang Setaman tanpa suara
apa pun. Slaaap...!
Tubuh perempuan itu mengejang dan matanya
terbelalak seketika dengan suara tersentak berat.
"Heeeggh...!"
Raka menjadi panik dan nyaris tak bisa bicara
sesaat. Keadaan itu sangat tak diduga-duga, sehingga ia sempat mengalami shock
dalam sekejap. "Oooh...?" Raka Pura pun terkejut bukan kepa-lang, karena ia segera melihat
sesuatu yang telah
membuat Kembang Setaman ambruk ke dalam pelukannya dan membuatnya makin tersandar di pohon.
Punggung perempuan yang melusu itu telah
berasap. Asap tersebut mengepul tipis dari luka bakar yang berlubang sebesar
mulut botol. Luka bakar berlubang itu terjadi akibat sinar biru lurus yang
menghantam telak punggung tadi.
"Rak... Raka...," Kembang Setaman mencoba bicara walau sulit sekali. "Tol.
tolong aak... aku...."
Mulut perempuan itu mulai keluarkan darah. Ia
tak bisa bicara lagi. Tubuhnya semakin lemas dan dingin. Wajahnya kian pucat
seperti mayat. Akhirnya tubuh itu jatuh merosot karena pelukan Raka mengendur. Pemuda itu masih dicekam kebingungan dan rasa
heran yang menakutkan, sehingga ketika tubuh itu jatuh merosot, ia justru
menghindarinya.
Brruuuk...! Kembang Setaman pun akhirnya jatuh terkulai
di semak-semak ilalang dalam keadaan miring. Mulutnya ternganga bagai sedang berusaha bernapas. Namun kejap berikutnya, tarikan nafasnya terhenti dan mata perempuan itu terbeliak
memutih pertanda nyawanya telah lepas dari raga.
Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oooh..."! Apa yang terjadi sebenarnya"!" gumam Raka Pura dalam ketegangan.
Ia segera menyingkir dari tempat itu sambil
membenahi pakaiannya. Karena pada saat itu, ia mulai mendapatkan kesadarannya
yang tadi sempat hilang
karena pengaruh ilmu 'Candra Dewita' itu.
"Hampir saja! Ooh... hampir saja aku melayani
perempuan jalang itu! Kurang ajar!" geram Raka Pura sambil terengah-engah karena
ketegangannya. "Mengapa aku tadi diam saja diciuminya" Cuih, cuih...!"
Raka meludah dan merasa jijik.
Dalam keadaan gusar dan berang karena membayangkan apa yang dilakukan bersama Kembang Setaman tadi, matanya segera mencari si pemilik sinar biru tadi. Ia berkelebat ke
arah datangnya sinar tersebut. Wuuuz...! Ternyata tak ada orang sepotong pun.
"Siapa yang melepaskan pukulan bersinar biru
tadi"!" gumam hati Raka sambil masih mencoba menyusuri sekitar tempat itu.
"Sinarnya cukup lembut dan kecil. Tapi ternyata membuat lubang yang mema-tikan.
Pasti orang itu berilmu tinggi. Bukan adikku, bukan pula si Purbaweni! Hmmm...
sepi sekali tempat ini. Tak ada jejak sedikit pun yang bisa dijadikan tanda. O,
ya... lalu bagaimana nasib si pemuda berbaju merah itu"! Apakah ia sudah tak
bernyawa lagi" Atau dalam keadaan sekarat"! Hmmm... sebaiknya aku segera
menemukannya!"
Sambil masih meludah beberapa kali karena
ingat ciuman yang menurutnya menjijikkan itu, Raka
Pura bergegas ke tempat si pemuda berbaju merah tadi terkapar penuh luka. Namun
setibanya di sana, Raka
Pura menjadi bengong sendiri, karena pemuda berbaju merah itu tidak ada di
tempat. Sisa tetesan darah dari hidungnya masih ada di tempat ia tergeletak
tadi. Tapi tak terdapat tetesan darah di tempat lain.
"Ke mana dia"! Jika ia melarikan diri, pasti ada bekas tetesan darahnya di tanah
atau di daun-daun
semak. Hmmm... sepertinya tak ada tetesan darah itu di tempat lain"!" gumam hati
Raka Pura dengan sambil mencari jejak tetesan darah di sekitar tempat itu.
"Aneh! Apakah dia hilang ditelan bumi"! Tak
mungkin. itu hanya istilah saja! Mana ada orang ditelan bumi. Apa bumi itu
lapar?" celotehnya dalam hati.
"Apakah dia dimakan binatang buas"! Ah, itu juga tak mungkin. Tak ada tandatanda binatang buas berkeliaran sampai sini. Lalu, ke mana hilangnya pemuda itu"
Apakah orang-orangnya Kembang Setaman telah datang dan membawanya pergi" Nah, itu mungkin saja
terjadi Hmmm... tapi mengapa mereka tak mendengar
suara desah dan erangan si perempuan jalang itu di
semak-semak sana" Atau mungkin mereka mendengarnya dan mengetahui bahwa Kembang Setaman sedang bercumbu, maka mereka tak berani meminta izin
dulu, langsung saja membawa si tawanan malang itu?"
Wuuuut...! Raka Pura penasaran. Ia ingin melihat keadaan sekeliling tempat itu lebih jauh lagi. Maka ia pun segera sentakkan
napas dan tubuhnya melam-bung naik dengan cepat, mencapai dahan tertinggi dari
sebatang pohon. Dari sana ia bisa memandang lebih
jauh lagi. Akhirnya ia temukan sekelebat bayangan
yang melesat dengan kecepatan tinggi, nyaris tak bisa terlihat mata manusia
biasa. "Oh, bayangan siapa yang menjauh itu"
Hmmm... jangan-jangan orang itu yang membawa lari
pemuda malang tadi"! Sebaiknya kuikuti saja langkahnya! Siapa tahu dugaanku benar, bahwa ia adalah
orangnya Kembang Setaman!"
Wuuuuz, wuuuz...! Jurus 'Jalur Badai' dipergunakan, sehingga Pendekar Kembar sulung mampu
bergerak secepat hembusan badai yang paling cepat.
Namun agaknya ia masih tertinggal jauh oleh si
bayangan misterius itu.
"Gila! Ia mampu bergerak sangat cepat. Pasti
bukan orang berilmu rendah! Setidaknya lebih tinggi dari ilmunya si perempuan
jalang tadi!" ujar batin Ra-ka sambil masih terus melesat dari pohon ke pohon.
Anehnya, bayangan yang dikejarnya itu hilang
tak tinggalkan jejak ketika mencapai tanah datar ber-hutan bambu. Tanaman bambu
yang ada di situ tumbuh dengan lurus dan mempunyai jarak teratur, sepertinya sengaja ditanam oleh seseorang dengan jarak
renggang. Sebenarnya jika bayangan yang dikejar Raka
itu melintasi hutan bambu itu, maka gerakannya akan dapat terlihat lebih jelas
lagi. Tapi ternyata Ra-ka Pura justru tak melihat gerakan bayangan apa pun di
hutan bambu tersebut.
Pendekar Kembar sulung garuk-garuk kepala
sambil menapakkan kakinya di tanah keras tanpa
rumput itu. Ia memandang hingga tubuhnya me mutar
perlahan-lahan, namun pandangan matanya tetap tak
menemukan bayangan yang dikejarnya.
"Aneh sekali! Tadi kulihat ia berkelebat kemari!
Sepertinya tadi ia melayang dalam gerakan kaki menjejak pohon-pohon bambu ini.
Tapi mengapa lenyap begitu saja" Apakah ia bersembunyi di balik gerumbulan semak-semak di kejauhan
sana"! Hmmm... sebaiknya
kuperiksa saja gerumbulan semak itu, walau menurut
dugaanku tak mungkin ia mencapai tempat itu, karena tadi kulihat ia masih di
sekitar sini!"
Raka Pura semakin penasaran dengan bayangan yang sukar dikejarnya itu, karena dalam pandangannya tadi ia melihat sesuatu yang dipanggul oleh
bayangan tersebut. Tak jelas apakah yang di panggul adalah sesosok tubuh manusia
atau sekarung kacang
kedelai, yang jelas Raka ingin sekali mengetahui siapa bayangan yang gerakannya
seperti badai juga tadi.
Langkah Raka terhenti sesaat, karena tiba-tiba
ia melihat tetesan darah yang jatuh pada daun-daun
bambu kering yang berserakan di tanah. Tetesan darah itu masih segar dan Raka yakin darah itu pasti darah si pemuda malang
tersebut. "Benar juga dugaanku! Bayangan itu pasti
membawa kabur si pemuda malang yang terluka parah
itu. Pasti lewat sini. Terbukti darahnya menetes di sini!" Anehnya di tempat lain tak ada tetesan darah
seperti itu. Raka Pura memeriksa tempat sekitarnya
sejauh sepuluh langkah. Tapi tak ditemukan tetesan
darah segar seperti itu. Padahal jika pemuda yang terluka itu dibawa lari,
mestinya tetesan darahnya membentuk jalur petunjuk ke arah kepergiannya.
"Sial! Tak ada tetesan darah lainnya kecuali
yang tadi"!" gumam Raka Pura. Rasa penasaran membuatnya kembali ke tempat
ditemukannya tetesan darah segar itu. Sampai di tempat tersebut, Raka Pura terperanjat dengan pandangan
mata terkesip, karena
tetesan darah itu menjadi lebih banyak dari saat dilihatnya tadi.
"Gila! Kenapa bisa menjadi banyak begin!" Padahal tadi hanya terdiri dari beberapa tetes saja"!"
ujarnya dalam hati. "Sepertinya darah ini menetes dari langit?" tambahnya dalam
gumam membatin. Maka, ia pun dongakkan kepala, walau semula merasa tinda-kannya
itu termasuk konyol, karena menyangka langit berdarah.
Namun ketika ia memandang ke atas, hatinya
sempat terkejut melihat sesuatu yang ada di atas pohon bambu. Hampir saja Raka
tak percayai penglihatannya. Pohon bambu yang tumbuh meruncing dengan
ujungnya sedikit lengkung itu ternyata mampu menyangga sesosok tubuh yang terbaring melemas. Raka
Pura mengangkat tangannya untuk hindari sinar matahari. Pandangannya menjadi lebih jelas lagi, dan ia yakin yang ada di pucuk
pohon bambu itu adalah sesosok tubuh berpakaian merah.
"Edan! Siapa yang menaruh pemuda itu di pucuk pohon bambu selentur itu"!" gumam Pendekar Kembar sulung dengan suara pelan.
"Luar biasa sekali kejadian ini. Ternyata pemuda itu ada di atas sana
tanpa jatuh, bahkan miring sedikit pun tidak. Tampaknya ia pingsan, terkulai lemas, tapi mestinya pucuk pohon bambu ini tak akan
sanggup menyangga tubuhnya. Pemuda itu seperti berbaring di sana dengan gunakan
ilmu peringan tubuh, sehingga daun-daun
bambu di bagian pucuk sana tidak melengkung atau
rusak sedikit pun. Benar-benar mengagumkan!"
Tiba-tiba Raka Pura tersentak kaget, nyaris terlonjak. Karena dari arah belakangnya terdengar suara seseorang berkata memecah
kesunyian. "Lukanya memang terlalu parah!"
Raka Pura semakin terperangah tak bisa bicara
ketika memandang ke belakang dan menemukan seraut wajah yang bermata dingin, bagai membekukan
sekujur tubuhnya. Tanpa sadar Raka pun bergerak
mundur dua langkah, kemudian menelan napas beberapa kali untuk menenangkan dirinya.
* * * 6 TENTU saja Raka Pura sangat terkejut, karena
kehadiran orang itu tidak terdengar suara langkahnya.
Tahu-tahu muncul di belakang Raka dan bersuara. Hai yang membuat Pendekar Kembar
sulung semakin terkejut lagi adalah sosok tua si pendatang itu. Raka masih
mengenal wajah dan penampilan si kakek berjenggot dan berambut panjang warna putih rata.
Orang berjubah biru dengan tongkat kepala
ular kobra itu tak lain adalah si Dewa Perintang. Sekarang si Pendekar Kembar
sulung itu merasa yakin,
bahwa bayangan yang dikejarnya tadi adalah si Dewa
Perintang yang berjubah biru. Sebab tadi bayangan
yang dikejarnya juga berwarna biru kehitam-hitaman.
Warna hitam itu adalah akibat kecepatan geraknya
yang tak mampu dikejar oleh jurus 'Badai Jalang'-nya Pendekar Kembar.
Setelah memperoleh ketenangan kembali, Raka
Pura buru-buru sedikit bungkukkan badan sebagai
tanda menghormat. Dengan sikap itu, setidaknya Raka sudah menghargai orang yang
lebih tua darinya dan
mengakui ketinggian ilmu si Dewa Perintang.
Maka terdengarlah suara si Dewa Perintang
yang sedikit serak karena ketuaannya itu.
"Mana adik kembar mu itu"!"
Raka Pura sedikit kaget karena Dewa Perintang
ternyata mengetahui tentang Soka Pura. Pertanyaan
itu menimbulkan kecurigaan bagi Raka. Karena pertanyaan tersebut seperti mengandung makna kemarahan
yang terpendam terhadap Soka Pura, namun juga bisa
diartikan sebagai orang yang ingin tahu. Namun sekalipun tak jelas dengan maksud
pertanyaan tersebut,
Raka Pura tetap menjawabnya dengan kesopanan dan
kejujuran apa adanya.
"Adikku bersama Purbaweni. Mereka melalui jalur selatan untuk menuju ke Istana Bara, Eyang!"
"Mengapa harus lewat selatan"!"
"Karena... karena mereka takut jumpa dengan
Eyang Dewa Perintang," jawab Raka lagi dengan penuh kesopanan.
"Seharusnya itu tak perlu. Purbaweni bodoh.
Seharusnya selama ia bersama Pendekar Kembar, ia
tak perlu merasa takut oleh siapa pun."
Raka Pura sedikit curiga dan segera membatin,
"Dari mana dia tahu kalau aku dan Soka punya gelar Pendekar Kembar" Hmmm...
mungkin karena kesak-tiannya, atau mendengar dari orang lain tentang kehadiranku dan Soka di rimba persilatan ini."
Tokoh tua yang berkharisma kuat itu perdengarkan suara lagi.
"Kalau saja tadi kalian tak melarikan diri ikut-ikutan si Purbaweni, maka kalian
tak akan lakukan
tindakan yang sia-sia."
"Tindakan apa maksudnya, Eyang"!"
"Pergi ke istana Bara sama saja tindakan yang
sia-sia. Bahkan bisa berarti cari penyakit bagi si Purbaweni!"
"Hmmm, hmmm... tapi Purbaweni harus bebaskan kakaknya yang tertawan oleh... oleh pihak Istana Bara, Eyang!"
"Nalapraya, maksudmu?"
"Benar, Eyang...!"
"Hmmm...," si jubah biru itu hanya menggumam pendek, ia melangkah ke samping dan
meman- dang ke arah lain dengan tongkatnya diayunkan sebagai penopang tubuh kurusnya. Padahal tanpa tongkat
pun si Dewa Perintang masih sanggup berdiri tegak,
karena dalam usia setua itu belum tampak bungkuk
dan masih kelihatan gagah.
"Nalapraya sudah tidak ada di dalam istana Bara," tiba-tiba Dewa Perintang berkata dengan suara jelas. Raka Pura segera
kerutkan dahi mengikuti gerakan si kakek dengan pandangan mata.
"Nalapraya sudah berhasil lolos dan melarikan
diri," tambah Dewa Perintang. "Seandainya kalian tadi tidak melarikan diri, maka
kalian akan kuberitahukan hal itu. Penjara itu telah ku jebol tanpa setahu siapa
pun. Dengan jebolnya penjara itu, maka Nalapraya ku-biarkan melarikan diri
sebatas kemampuannya."
"Hmmm, ehhh... sekarang di mana si Nalapraya
itu, Eyang" Bagaimana nasibnya"!"
Dewa Perintang memandang ke atas. Tetesan
darah pemuda berbaju merah yang seperti tersangkut
di pucuk pohon bambu itu sudah tidak ada lagi. Tapi gerakan memandang ke atas
itu dapat dipahami oleh
Raka Pura. Si jubah biru ingin tunjukkan bahwa Nalapraya itulah pemuda berbaju
merah yang terluka parah. "Ja... jadi... pemuda itulah yang bernama Nalapraya, Eyang"!"
Dewa Perintang menatap Raka. Sorot matanya
yang berkesan dingin dan penuh wibawa itu tak berani ditatap oleh Raka Pura.
Pemuda itu segera memandang ke arah lain, sesekali memandang ke atas, seperti
salah tingkah dalam gerakan pandangan matanya.
"Banyak orang menyangka aku adalah tokoh
jahat yang selalu merintangi langkah mereka. Anggapan itu pasti ada pada diri Purbaweni," ujar Dewa Perintang membuat Raka berani
menatapnya, karena sorot pandangan mata tokoh tua itu tidak lagi ke arahnya. "Tapi sebenarnya maksud
perbintangan ku itu bukan untuk kejahatan! Aku hanya tidak mengingin-kan orang
yang punya tujuan baik melanjutkan langkahnya, karena kulihat ada malapetaka yang menghadangnya di seberang sana. Terbukti jika ia nekat teruskan langkah, maka ia
benar-benar menjadi santapan bagi si malapetaka itu. Jika orang itu bermaksud jahat, kupatahkan
langkahnya sebelum ia lakukan
tindakan yang akan menyesatkan jiwanya ke dalam
lembah dosa. Tapi tidak setiap kutemui seseorang lalu aku akan lakukan
Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pencegahan. Kadang aku hanya ingin memberitahukan apa yang ku tahu kepada orang
itu, tapi orang itu sudah lebih dulu melarikan diri ketakutan!"
Raka Pura mencoba tersenyum, karena sebenarnya ia merasa malu atas rasa pelariannya tadi yang
terpengaruh oleh rasa takutnya Purbaweni. Namun sebelum senyum malu itu lebih lebar, suara Dewa Perintang terdengar lagi, membuat
Raka Pura pusatkan
perhatian kepada si kakek beralis lebat warna putih itu.
"Katakan kepada Purbaweni, ia tak perlu ke Istana Bara, karena kakaknya sudah lolos dari sana!
Yang perlu ia lakukan adalah menjaga makam eyang
buyutnya: Sabandanu!"
"Kalau boleh saya tahu, Eyang... mengapa makam itu harus dijaga?" Raka berlagak bodoh.
"Kurasa kau sudah tahu bahwa di dalam makam itu ada pusaka yang bernama Pedang Bulan Madu!" "O, kalau begitu apa yang dikatakan Purbaweni memang benar," ujar Raka
seperti bicara pada dirinya sendiri. "Pedang Bulan Madu itu memang ada, dan
memang dikubur bersama jenazah sahabatku; Sabandanu." "Tap... tapi kata
Purbaweni, Eyang Dewa Perintang bermusuhan dengan Eyang Buyut Sabandanu"
Maka, hmmm... maaf, kami tadi sempat menyangka Eyang berpihak pada Ratu Rias Rindu," ujar Raka sambil nyengir maju.
"Permusuhan ku dengan Sabandanu tidak
mendarah daging. Permusuhan itu hanya sebatas perbedaan pendapat saja. Tapi hati kami tetap bersahabat. Karena itulah, seharusnya aku segera bertindak menyelamatkan Nalapraya,
karena anak itu hampir sa-ja tak kuat menerima siksaan dari Rias Rindu! Sekali
lagi ia menerima siksaan dari perempuan bejat itu,
maka mulutnya tak sanggup menjaga rahasia tentang
di mana letak makam eyang buyutnya itu. Rencanaku,
sebelum rahasia itu bocor, kubebaskan dia dengan caraku sendiri. Rias Rindu tak akan tahu kalau aku yang membebaskan Nalapraya.
Tapi rupanya aku terlambat
bertindak."
Raka Pura diam sambil manggut -manggut kecil. Tapi hatinya sempat berujar sendiri, "Benar juga kalau dipikir-pikir. Jika
memang Dewa Perintang memihak Ratu Rias Rindu, tentunya sang Ratu tak perlu
repot-repot menyiksa Nalapraya untuk mendapatkan
rahasia letak makam itu. Ia bisa menanyakannya kepada Dewa Perintang."
Dewa Perintang berujar lagi kepada Raka.
"Kuminta kau dan adikmu, sebagai Pendekar
Kembar yang mewarisi ilmunya Dewa Kencan alias si
Mangkuranda itu, ikut membantu Purbaweni dan Nalapraya untuk menyelamatkan Pedang Bulan Madu
agar jangan jatuh ke tangan tokoh aliran hitam,
seperti si Rias Rindu itu."
Raka Pura terperanjat mendengar nama mendiang kakek gurunya disebutkan oleh Dewa Perintang.
Ia tak menyangka bahwa si Dewa Perintang kenal dengan Eyang Mangkuranda yang sering disebut sebagai
si Dewa Kencan itu.
"Rupanya... Eyang Dewa Perintang mengenal
eyang guru kami."
"Dewa Kencan juga sahabatku. Dia juga kenal
dengan Sabandanu. Kami bertiga sering meminta saran kepada gurunya si Dewa Kencan, yaitu si kembar
Eyang Suralaya dan Eyang Surapati."
Raka Pura semakin kaget mendengar nama
Eyang Suralaya dan Eyang Surapati disebutkan. Karena kedua tokoh sakti yang juga lahir kembar itu telah mewariskan pusaka mereka
kepada Raka dan Soka,
yaitu berupa pedang kristal yang dinamakan Pedang
Tangan Malaikat itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Gua Mulut
Naga"). "Usahakan jangan sampai pedang itu dirampas
oleh orang-orang aliran hitam! Karena sekarang ini, sejak Rias Rindu ribut ingin
dapatkan Pedang Bulan Ma-du, ada beberapa tokoh yang juga ikut mengincar pedang tersebut."
"Apa kesaktian pedang itu sebenarnya,
Eyang"!" tanya Raka sambil menguji kebenaran penjelasan yang pernah didengarnya
dari Purbaweni.
Dewa Perintang melangkah lebih dekati Raka,
tapi pandangan matanya tertuju ke arah lain, seakan sedang menikmati pemandangan
alam sekitarnya.
"Pedang itu dapat untuk membakar benda apa
saja dengan melalui pantulan cahaya matahari. Juga, dapat untuk membelah baja
setebal apa pun. Tetapi
yang paling utama dan menjadi incaran bagi orangorang seperti Rias Rindu adalah kesaktian pedang tersebut yang dapat menjelma
sebagai seorang pangeran
pada malam hari."
"Ooh..."!" Raka terperangah kaget.
"Bila pada malam hari, terutama pada saat cahaya rembulan menyinari bumi, maka gagang pedang
yang terkena sinar rembulan dapat membuat pedang
itu berubah menjadi seorang pangeran tampan, gagah
perkasa sepertimu. Karena pedang itu adalah jelmaan dari Pangeran Maha Rayu,
tokoh sakti yang merupa-kan anak dewa, namun berhasil dikalahkan oleh Sabandanu pada saat mereka lakukan pertarungan tepat
bulan purnama tiba."
"Ajaib sekali!" gumam Raka terheran-heran.
"Sang pangeran akan berlutut kepada pemilik
pedang itu, dan bersedia menjadi budak cinta lawan
jenisnya. Bahkan ia juga bisa diperintahkan untuk
membunuh siapa saja dalam waktu dua-tiga kejap,
atau memindahkan sebuah istana dari pulau yang satu ke pulau yang lain dalam waktu dua-tiga kejap saja." "Luar biasa! Pantas Purbaweni tidak mau sebutkan keistimewaan yang satu ini"!" ujar. Raka Pura dalam hatinya.
"Jika Pangeran Maha Rayu dikuasai oleh tokoh
aliran sesat, maka ia pun akan lakukan tindakantindakan yang berbahaya, dan tak seorang pun dapat
kalahkan dia kecuali mendiang Sabandanu! Sampai
wafatnya, Sabandanu tak pernah beritahukan padaku
tentang rahasia mengalahkan Pangeran Maha Rayu
itu." Raka Pura tertegun penuh rasa kagum. Dewa Perintang memandang ke atas,
kepada Nalapraya yang
masih berada di pucuk pohon lurus itu. Tapi pada saat itu ia pun berkata kepada
Pendekar Kembar sulung.
"Sanggupkah kau membantu keluarga Nalapraya untuk pertahankan pedang itu agar tak jatuh di tangan manusia sesat"!"
"Hmmm, ehhh... sanggup, Eyang! Sanggup sekali!" jawab Raka Pura agak menggeragap karena ter-sadar dari renungan
panjangnya. "Jika sanggup, lekaslah pergi ke makam si Sabandanu, karena agaknya Rias Rindu sudah mengetahui letak makam tersebut."
"Oh..."! Dari mana dia mengetahuinya, Eyang"!"
"Semalam, Rias Rindu ku lihat dalam bayangan
indera keenam ku telah meminta bantuan seorang sahabatnya yang bernama Sangkala! Orang itu mempunyai jurus 'Totok Kejujuran', yang membuat seseorang tak bisa berbohong.
Sangkala telah menotok Nalapraya, sehingga Nalapraya mengatakan sejujurnya di
mana letak makam eyang buyutnya itu. Karenanya
kukatakan tadi, aku terlambat bertindak sebab, Rias Rindu rencanakan akan
menghabisi nyawa Nalapraya
siang ini. Tapi tadi pagi aku lebih dulu bertindak dan
Nalapraya berhasil lolos. Sayang sekali aku terlambat mendengar kabar tentang
tertawannya Nalapraya, sehingga Rias Rindu sudah lebih dulu menggunakan jurus 'Totok Kejujuran'-nya si Sangkala."
Sambil berkata demikian, pandangan mata Dewa Perintang masih tertuju ke atas. Tangan yang tidak memegangi tongkat
diulurkan naik Kemudian tangan
itu bergerak pelan-pelan turun ke bawah.
Bertepatan dengan gerakan tangannya itu, tubuh Nalapraya pun bergerak turun pelan-pelan dalam
keadaan mengambang dan masih tak sadar. Raka Pura
hanya terbengong melompong melihat kesaktian Dewa
Perintang yang mirip pemain sirkus atau pemain sulap itu.
"Sebenarnya aku akan bertindak sampai tuntas
dalam hal mempertahankan pedang tersebut. Tapi karena kulihat Pendekar Kembar sudah muncul, maka
kurasa cukup sampai di sini saja bantuanku kepada
cucu buyutnya si Sabandanu. Selebihnya, kau dan
adikmu-lah yang bertindak menjadi pembela keluarga
Nalapraya!"
"Hmmm, iya, baik...! Saya akan kerjakan amanat Eyang bersama adik saya!"
Sambil berkata demikian, Raka Pura tetap
memperhatikan gerakan tubuh Nalapraya yang tetap
mengambang di udara sampai setinggi setengah tombak dari permukaan tanah. Raka Pura menjadi bertambah heran, karena keadaan tubuh Nalapraya sekarang sudah tidak babak belur dan penuh luka membilur merah lagi.
Nalapraya bagai orang yang tak pernah tersiksa. Tak ada luka seujung jarum pun pada tubuhnya.
Tapi pakaian tetap tercabik-cabik. Hanya dari pakaiannya saja orang dapat mengerti bahwa Nalapraya
habis menderita banyak luka di tubuhnya. Namun
warna memar membiru, bahkan warna pucat pada wajahnya sudah lenyap sama sekali. Nalapraya seperti
orang sehat dan segar yang sedang tertidur dengan
nyenyak. Gerakan tubuhnya yang tadi sempat berhenti
dalam keadaan mengambang, kini bergerak turun lebih pelan lagi. Kemudian tubuh itu terbaring di atas tanah berlapiskan daun-daun
bambu yang sudah kering.
"Jangan bangunkan dia! Biarkan dia tertidur
untuk sesaat," ujar Dewa Perintang. "Nanti ia akan bangun sendiri dan jelaskan
persoalan yang sebenarnya." "Baik, Eyang...," jawab Raka Pura dengan sikap patuh
dan menghormat.
"Tapi kalau boleh saya ingin tahu, Eyang,"
sambung Raka. "Apakah perempuan yang bernama
Kembang Setaman itu adalah Ratu Rias Rindu sendiri"!"
"Bukan! Dia adalah orang andalan Rias Rindu,"
jawab Dewa Perintang. "Dia orang kepercayaan Rias Rindu khususnya dalam
menangani para tawanan. Kembang Setaman itu perempuan berbisa. Kelihatannya mesra, tapi haus darah dan nyawa. Ia tak
segan-segan membunuh teman kencannya sebagai
puncak dari segala kepuasannya. Oleh sebab itu sebelum ia merenggut nyawamu, aku
bertindak lebih dulu."
"Oooh..., terima kasih atas bantuan Eyang Dewa Perintang."
"Tugasku memang merintangi hal-hal seperti
itu. Kalau saja aku tak memperhatikan gerakanmu sejak di atas pohon, kau tetap akan terbius oleh pandangan mata si Kembang Setaman
yang mengandung madu dan racun bagi lawan jenisnya itu...."
Ucapan itu terhenti, perhatian Raka pun beralih ke belakang, karena ada suara orang berlari ke
arah mereka. Pendekar Kembar sulung mulai siaga,
menjaga kemungkinan datangnya serangan mendadak
dari pihak Ratu Rias Rindu.
Napas yang tertahan itu segera dihembuskan,
karena ternyata yang muncul adalah Soka Pura dan
Purbaweni. Keduanya berlari-lari menghampiri Raka
setelah suara Purbaweni terdengar berseru kepada So-ka.
"Itu dia...!"
Rupanya mereka berdua memutuskan untuk
segera menyusul Raka Pura dan tak jadi lewat jalur selatan. Bukan karena jalur
selatan macet, tapi karena kecemasan Purbaweni terhadap Raka mempengaruhi
jiwa si Pendekar Kembar bungsu.
Raka Pura sunggingkan senyum tipis melihat
adiknya dan Purbaweni mendekatinya. Ia segera berpaling ke kanan dan berkata kepada Dewa Perintang.
"Eyang, mereka...." Ucapan itu terhenti mendadak. Raka sangat terkejut.
"Eyang..."! Eyang Dewa Perintang..."!" Raka kebingungan mencari tokoh tua
berjubah biru itu. Ternyata si Dewa Perintang lenyap begitu saja, entah lari atau ditelan bumi, Raka
tak sempat mengetahuinya.
"Pantas si Purbaweni tetap berlari mendekatiku, rupanya ia tak melihat Dewa Perintang ada di dekat ku!" pikir Raka. "Andai
saja Dewa Perintang tidak pergi tanpa pamit, mungkin Purbaweni tidak berani
mendekatiku."
Purbaweni sendiri segera terperanjat dengan
mata membelalak lebar-lebar ketika memandang seorang pemuda terbaring di tanah berlapis daun bambu
kering. "Oooh..."! Nalapraya..."! Nalapraya kau ada di situ"!"
"Ssstt...!" Raka Pura menghadang langkah Purbaweni. "Dia kakakku! Dia yang ingin
kubebaskan da-ri...." "Iya, iya... aku tahu. Tapi jangan brisik dulu.
Dia sedang tidur. Kita tak boleh membangunkannya."
"Siapa yang melarang"!" "Dewa Perintang!"
"Hahhh..."!" Purbaweni kian lebarkan matanya.
Soka hanya memandang kakaknya dengan dahi berkerut, seakan menuntut penjelasan lebih lengkap lagi.
* * * 7 PADA mulanya Purbaweni tidak percaya dengan
penjelasan Raka mengenai Dewa Perintang. Bahkan
ketika Nalapraya telah bangun dan segera dikenalkan dengan Pendekar Kembar oleh
adiknya, Nalapraya
sendiri tidak percaya mendengar penjelasan Raka,
bahwa bukan Raka yang sembuhkan luka-lukanya Nalapraya, melainkan si Dewa Perintang.
"Kau jangan bikin heboh mereka berdua, Raka,"
bisik Soka Pura. "Katakan saja yang sebenarnya, bahwa kaulah yang sembuhkan si
Nalapraya itu."
"Tengkukmu burik!" gerutu Raka Pura agak
dongkol kepada adiknya yang ikut-ikutan tak mempercayai penjelasannya tadi. Kemudian Raka pun bicara
kepada mereka bertiga.
"Dewa Perintang bicara panjang lebar dengan
ku, terutama tentang Pedang Bulan Madu."
Mata si Pendekar Kembar sulung itu terarah
kepada Purbaweni. "Keteranganmu tentang pedang itu
Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kurang lengkap, Purbaweni. Kau lupa sebutkan bahwa
pedang itu bila terkena sinar rembulan dapat menjel-ma menjadi seorang pangeran
yang gagah, perkasa,
dan tampan. Karena pedang tersebut adalah jelmaan
dari Pangeran Maha Rayu, anak dewa
yang pernah dikalahkan oleh Eyang Buyut Sabandanu...."
"Oooh..."!" Purbaweni dan Nalapraya samasama terkejut. Mereka tak menyangka Raka dapat sebutkan hal itu, padahal Purbaweni sengaja rahasiakan keistimewaan tersebut agar
tidak membuat pihak lain tergiur untuk dapatkan Pedang Bulan Madu. Kedua
kakak-beradik, Purbaweni dan Nalapraya saling pandang dengan tegang.
"Eyang Dewa Perintang ada di pihak kita, Purbaweni!" ujar Raka lagi. "Ia mengutus aku dan Soka untuk selamatkan pedang itu
dari tangan orang-orang aliran sesat. Karena menurut dugaan Eyang Dewa
Perintang, Ratu Rias Rindu sudah mengetahui makam
Eyang Sabandanu."
"Itu tak mungkin!" sanggah Nalapraya dengan masih tegang.
"Ratu Rias Rindu meminta bantuan seseorang
yang bernama Sangkala. Sangkala mempunyai ilmu
'Totok Kejujuran', dan semalam kau telah ditotok oleh Sangkala yang membuatmu
tak sadar membeberkan
rahasia itu."
Nalapraya dipandang oleh adiknya. Pemuda itu
diam termenung mengingat-ingat sesuatu yang dialami tadi malam.
"Benarkah begitu, Nalapraya"!"
"Hmmm... ya, seingatku... seingatku memang
semalam aku diambil dari kamar tawanan. Tiba-tiba di lorong menuju ruang
penyiksaan, seseorang menotok
tengkuk ku dari belakang. Lalu... lalu aku tak sadar
lagi. Tahu-tahu aku sudah berada dalam kamar penjara lagi." "Celaka! Kalau begitu kita harus segera ke makam Eyang Buyut sekarang
juga!" Purbaweni menjadi semakin tegang.
Raka Pura menimpali, "Memang begitulah saran Eyang Dewa Perintang tadi; kita harus segera ke makam tersebut, sebab siapa
tahu Ratu Rias Rindu
sudah berada di sana dan sedang membongkar makam
untuk mengambil Pedang Bulan Madu."
"Celaka!" geram Nalapraya dengan pandangan mata menerawang penuh dendam terhadap
sang Ratu. Mereka berempat segera menuju ke makam Ki
Sabandanu. Menurut keterangan Nalapraya dan Purbaweni, jenazah Ki Sabandanu tidak dimakamkan dalam liang lahat, melainkan dimasukkan ke dalam sebuah gua. Gua itu terletak di sebuah tebing yang menjadi lereng terjal dari
Bukit Papanduan. Perjalanan untuk mencapai ke sana membutuhkan waktu sekitar setengah hari. Padahal waktu mereka bergegas berangkat, matahari sudah mulai condong ke barat.
"Kita akan bermalam dalam perjalanan dan hal
itu cukup berbahaya, karena kita akan memotong jalan melalui tengah hutan belantara. Hutan itu banyak rawa dan lumpur hidup,"
ujar Nalapraya yang benar-benar telah sehat tanpa kelemahan fisik sedikit pun.
"Bagaimana kalau kita bermalam di sebuah desa tepi hutan itu" Aku mempunyai sahabat yang tinggal di desa itu," ujar Purbaweni. Usul itu ternyata diterima oleh mereka.
Di tempat mereka bermalam, Purbaweni kelihatan semakin akrab dengan Soka Pura, sementara itu,
Raka Pura lebih asyik berbincang-bincang dengan Nalapraya tentang Ratu Rias Rindu.
Keakraban Raka dengan Nalapraya membuat
Soka merasa beruntung, karena keindahannya berdekatan dengan gadis cantik yang mirip bidadari itu tidak terusik oleh keisengan
sang kakak. Bahkan Soka
mengajak Purbaweni untuk duduk di luar rumah, menikmati terang bulan yang belum satu purnama penuh
namun sudah cukup menyebarkan pengaruh romantis. Mereka berdua ada di samping rumah, duduk di
sebuah tempat duduk yang terbuat dari sebatang kayu randu. "Aku sama sekali tak
menduga kalau Dewa Perintang ternyata memihak keluargaku," ujar Purbaweni.
"Ternyata dia bukan tokoh jahat seperti sangkaan ku semula."
"Dalamnya laut memang dapat diukur, Purbaweni. Tapi hati orang siapa yang tahu?" tutur Soka Pu-ra dengan nada lembut.
"Memang benar. Kadang ada orang yang kita
sangka jahat, ternyata berhati baik. Ada pula yang kita sangka baik, ternyata
berhati jahat. Sama sepertimu."
Soka Pura berpaling ke kiri, menatap si gadis
yang sunggingkan senyum malu-malu meong.
"Jadi kau menyangka aku punya hati jahat?"
"Bukankah semula kusangka kau orangnya Ratu Rias Rindu"! Untung saja kau bisa hindari senjata rahasiaku. Kalau tidak,
mungkin kau sudah mati
membusuk pada malam ini."
"Mengerikan sekali kalau dibayangkan."
"Kusangka kau orang jahat, tak tahunya berhati lembut seperti sutera."
"Begitukah penilaianmu?"
"Sepintas memang begitu. Tapi entah kalau aku
sudah menyelam lebih dalam lagi. Mungkin kutemukan musang di dalam hatimu."
Soka Pura tertawa kecil. Tangan si gadis di
genggamnya. Purbaweni tidak menghindar, ia diam saja walau remasan tangan itu terasa sedikit kencang. Ia hanya berkata, "Kurasa
tak perlu pakai tenaga dalam.
Jangan samakan meremas kepada lawanmu."
"Ooh..., sakit, ya?" Soka Pura tertawa geli, Purbaweni pun tertawa penuh
keriangan. "Kau cantik sekali kalau tertawa begitu, Purbaweni. Lebih cantik dari yang
paling cantik."
"Kau pintar merayu seorang gadis. Tapi aku tak mudah dirayu, Soka. Aku sudah
kebal rayuan pemuda. Pada umumnya mereka hanya manis di bibir tapi
pahit dalam kenyataan."
"Apakah kau sudah merasakan bibirku" Belum,
kan?" "Aku takut ada gadis lain yang murka padaku jika ku rasakan manis atau
pahitnya bibirmu," ucap Purbaweni lirih sekali.
"Tak ada gadis lain yang akan marah. Ibarat
ranjang, aku adalah ranjang tak bertuan."
"Berarti ranjang bekas yang sudah jadi barang
rongsok karena terlalu sering dipakai."
"Bukan begitu maksudnya!" Soka Pura bersungut-sungut, tangannya meremas lebih
keras. Purbaweni meringis malu.
"Rupanya kau senang menggodaku supaya aku
kesal, ya" Senyum mu menandakan kau suka menggoda hati seorang lelaki agar penasaran padamu, Purbaweni."
"Aku tersenyum bukan karena menggoda mu,
tapi... tapi remasan tanganmu terlalu kuat, Soka."
Gelak tawa mereka bagai napas pencuri menyusuri malam yang sepi. Sambil tertawa, Purbaweni
punya alasan untuk sandarkan kepala di pundak Soka. Dari kepala bersandar, lama-lama tangan mengelus lengan. Soka Pura kian
berdebar-debar. Ia merasakan sentuhan lembut yang begitu indah, tak seindah sentuhan perempuan lain.
Purbaweni sendiri agaknya menaruh rasa kepada Soka. Entah rasa kari ayam atau rasa rendang
daging, yang jelas rasa itu telah membuat Purbaweni berdebar-debar ketika tangan
Soka merangkulnya dari samping. Ia dipeluk oleh pemuda tampan itu. Pipi Soka
menempel di keningnya. Purbaweni semakin tenggelam
dalam keindahan yang sukar dibayangkan.
"Malam yang begini dinginnya, ternyata masih
bisa dikalahkan dengan kehangatan si konyol ini!" gumam hati Purbaweni dengan
senyum berseri-seri.
"Kau sudah pernah tunangan, Purbaweni?"
tanya Soka lirih. itu pun dengan nada ragu dan hatihati, karena takut
menyinggung perasaan si gadis cantik.
"Mengapa kau tanyakan hal itu?" Purbaweni ganti bertanya.
"Jika kau sudah tunangan, tentunya aku harus
lebih hati-hati bersikap begini padamu. Takut kalau tunangan mu melihatnya,
bisa-bisa aku dibunuhnya."
Purbaweni tertawa seperti angin berhembus di
sela cahaya rembulan.
"Aku belum pernah tunangan. Dulu aku langsung menikah dan...."
"Hahhh..."!" Soka tersentak kaget, segera reng-gangkan jarak dan memandang
dengan mata terbelalak. Purbaweni tertawa cekikikan.
"Aku hanya bercanda," ujarnya di sela tawa membuat Soka Pura hembuskan napas
lega. "Dulu aku pernah mau menikah, tapi gagal."
"Mengapa sampai gagal?"
"Kekasihku diambil orang! Sampai sekarang
aku sebenarnya tak mau berhubungan intim dengan
seorang lelaki mana pun. Tapi kepadamu, entahlah...
mengapa aku cepat menjadi akrab dan merasa seperti
sudah lama saling kenal. Mungkin kau memakai ilmu
pelet sehingga aku terpikat padamu."
Soka nyaris tertawa lepas. Untung ia bisa segera kendalikan suaranya.
"Anggap saja aku pakai ilmu pelet. Lalu bagaimana menurutmu jika benar begitu?"
"Ya, sudah! Sudah telanjur lengket mau diapakan lagi," jawab Purbaweni dengan suara renyah me-naburkan keindahan di hati
Soka. "Seandainya dulu...," Purbaweni ingin bicara la-gi. Tapi tiba-tiba ia hentikan
suaranya. Kepalanya yang merebah di dada Soka dengan rambut dielus lembut
itu tiba-tiba menjadi tegak. Pandangan matanya tertu-ju ke arah jalanan desa
yang diterangi oleh lampu mi-nyak. Cahaya rembulan ikut menerangi jalanan tersebut, sehingga mata Purbaweni menemukan sesuatu
yang sangat mengejutkan.
"Ada apa, Purbaweni"!" bisik Soka Pura ikut-ikutan tegang.
"Lihat perempuan yang lari ke arah barat itu"!"
"Hmmm... ya! Perempuan berjubah jingga itu
maksudmu"!"
"Benar! Dan perhatikan apa yang dibawa oleh
tangan kirinya itu!"
Soka Pura mengecilkan matanya untuk dapat
memandang dengan jelas. Sebab perempuan berjubah
jingga itu makin lama semakin menjauh, sehingga tak dapat di lihat dengan jelas.
"Aku tak bisa melihat apa yang dibawanya. Sepertinya sebuah... sebuah pedang"! Apa benar sebuah pedang"!".
"Ya! Dan itulah yang dinamakan Pedang Bulan
Madu!" "Apaaa...?" Soka Pura terperanjat sekali men-dengarnya.
"Cepat beri tahu Raka dan Nalapraya! Aku akan
mengejar perempuan itu!" ujar Purbaweni, lalu segera melesat tinggalkan tempat
tanpa pedulikan kebengon-gan Soka Pura.
Melihat Purbaweni melesat pergi dengan kecepatan tinggi, Soka Pura pun segera masuk ke dalam
rumah dan menemui Nalapraya yang sedang ngobrol
dengan Raka. "Pedang Bulan Madu sudah dicuri orang! Sekarang sedang dikejar oleh Purbaweni!"
"Celaka! Siapa yang mencurinya"!" tanya Nalapraya, tapi tak mendapat jawaban
dari Soka, sebab
Soka sendiri segera berlari keluar menyusul Purbawe-ni.
"Jangan-jangan kau salah lihat, Purbaweni!"
ujar Nalapraya kepada adiknya ketika mereka berempat telah bergabung kembali.
"Tidak! Aku tidak salah lihat! Gagangnya di
bungkus dengan kain merah kumal. Dan sarung pedangnya yang terbuat dari perunggu itu tampak
menghitam. Bentuk bunga wijayakusuma yang sedang
menguncup masih tampak jelas di ujung sarung pedang itu!"
Nalapraya akhirnya percaya dengan penglihatan adiknya. Karena ia ingat bahwa Purbaweni pernah ikut Eyang Buyut Sabandanu,
semasa tokoh sakti itu
masih hidup. Purbaweni juga sering melihat dan memegang-megang pusaka itu dengan rasa kagum. Tak
heran jika Purbaweni masih ingat dengan ciri-ciri pedang tersebut.
"Siapa perempuan yang membawa Pedang Bulan Madu itu" Apakah kau mengenalinya"!" tanya Ra-ka Pura sambil mereka tetap
berlari ke arah barat,
mengejar si pembawa pedang tersebut.
"Aku tak bisa melihat dengan jelas wajah orang
itu. Tapi dari jubah jingganya dan rambut kuning di-konde sebagian, aku yakin
dia adalah si Sampurgina!"
"Siapa"! Sampurgina"!" Raka dan Soka terkejut, nyaris terpekik bersama. Langkah
mereka sempat terhenti sejenak, karena dalam benak kedua Pendekar
Kembar itu sama-sama terbayang wajah cantik bertubuh tinggi, sekal, dan montok milik Sampurgina. Mereka pernah saling bertemu dengan Sampurgina dalam
peristiwa memburu kitab pusaka, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Korban Kitab Leluhur").
Mengingat perangai Sampurgina yang gemar
bercinta dan berselera tinggi dalam bercumbu, menurut Raka memang sangat memungkinkan jika Sampurgina mencuri Pedang Bulan Madu. Karena dengan
memiliki Pedang Bulan Madu, perempuan bekas matamatanya mendiang Nyai Keramat Malam itu dapat melampiaskan gairahnya sepanjang malam berhias rembulan. Raka juga ingat keterangan Dewa Perintang,
bahwa gagang Pedang Bulan Madu jika terkena sinar
rembulan dapat berubah menjadi sesosok pemuda
tampan yang gagah perkasa, yaitu Pangeran Maha
Rayu. "Tapi aku tak habis pikir, dari mana Sampurgina bisa memperoleh keterangan
tentang pedang itu
dan makam eyang buyut kalian!" ujar Raka kepada Purbaweni dan Nalapraya.
"Kudengar sejak kematian Nyai Keramat Malam, yang tak tahu dibunuh oleh siapa," kata Purbaweni. "Sampurgina bergabung
dengan Istana Bara. Ia menjadi salah satu dari pengawal Ratu Rias Rindu.
Menurut kabar yang kudengar dari seorang mata-mata
perguruanku yang menyusup ke Istana Bara, sang Ratu menerima kehadiran Sampurgina karena sebelumnya Ratu Rias Rindu punya hubungan baik dengan
Nyai Keramat Malam. Bahkan dalam rencana berikutnya, Ratu Rias Rindu akan kuasai Pulau Sambang
yang tidak punya penguasa lagi itu."
"Kalau begitu, Sampurgina mendengar tentang
rahasia makam eyang buyut kalian dari percakapan di dalam Istana Bara," ujar
Soka menarik kesimpulan.
Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurasa sang Ratu juga tidak menduga kalau gerakannya akan didahului oleh
Sampurgina!"
Kesimpulan Soka itu memang benar. Ratu Rias
Rindu tidak tahu kalau rencananya sudah didahului
oleh Sampurgina. Sementara itu, Sampurgina sendiri
tak peduli dengan murka sang Ratu. Ia berani berhadapan dengan Ratu Rias Rindu jika Pedang Bulan Madu sudah ada di tangannya. Tak satu pun orang di dalam Istana Bara mempunyai
praduga akan terjadi
pengkhianatan yang dilakukan oleh Sampurgina.
Pada saat Pendekar Kembar lakukan pengejaran terhadap Sampurgina, rombongan Ratu Rias Rindu
baru saja tiba di makam Ki Sabandanu. Mereka terkejut sekali melihat gua yang sebagai makam itu dalam keadaan terbuka. Padahal
semula gua itu ditutup dengan batu besar.
Rupanya Sampurgina telah hancurkan batu itu
dengan jurus andalannya. Rombongan dari Istana Bara kecele setibanya di makam tersebut. Seandainya
Soka dan Purbaweni tidak pacaran di luar rumah,
mungkin mereka juga akan kecele begitu tiba di makam Ki Sabandanu.
"Rupanya kebiasaan 'mojokmu' punya manfaat
sendiri dalam perkara ini," bisik Raka Pura kepada adiknya.
"Makanya, rajin-rajinlah 'mojok' biar jadi orang berguna!" balas Soka dalam
bisikan. Mereka sengaja menghibur diri karena pengejaran mereka agaknya
menemui kegagalan.
Sampurgina tak kelihatan batang hidungnya.
Batang tengkuknya saja tak kelihatan apalagi batang hidungnya. Tentu saja hal
itu membuat mereka menjadi kecewa dan memendam kedongkolan, terutama
Purbaweni dan Nalapraya sebagai pihak yang berkewajiban menjaga pusaka leluhurnya itu.
Mereka tidur dl atas pohon ketika kelelahan
sudah tak mampu disandang lagi. Raka Pura berada
tak jauh dengan Nalapraya. Mereka berdua membiarkan Purbaweni tidur bersebelahan dengan Soka, tangan mereka saling bergenggaman, seakan melaju dalam mimpi indah bersama-sama.
Esoknya mereka bergegas tinggalkan 'tempat
tidur' ketika matahari mulai bergerak ke pertengahan langit. Seandainya tak
terdengar suara ledakan menggelegar yang menggetarkan pohon tempat mereka tidur, mungkin mereka belum terbangun. Ledakan itulah yang memancing semangat mereka untuk segera
menyusuri jejak si pencuri pedang pusaka.
Sasaran pertama bagi mereka adalah suara ledakan yang didengarnya dua kali berturut-turut itu.
Mereka bergerak bersama ke arah selatan dengan hati bertanya-tanya, "Siapa yang
lakukan pertarungan di sebelah selatan itu?"
Rasa ingin tahu membuat mereka tiba di sebuah lembah perbukitan tandus. Mereka ada di atas
perbukitan yang tak seberapa tinggi itu. Dari sana mereka memandang ke bawah dan
melihat dua orang lakukan pertarungan dengan sengit.
Tetapi pada saat itu, Nalapraya dan Purbaweni
terkejut dengan sepasang mata mereka saling terbelalak. Raka dan Soka Pura juga
segera ikut terperanjat, karena salah satu dari orang yang lakukan pertarungan
itu dikenal oleh si Pendekar Kembar. Orang tersebut tak lain adalah Sampurgina.
"Tapi siapa gadis kecil yang melawan Sampurgina itu"! Agaknya biar kecil tapi ilmunya cukup alot"!"
bisik Raka Pura kepada adiknya. Bisikan itu didengar oleh Nalapraya yang segera
menjawab pertanyaan tersebut. "Gadis kecil berpakaian hijau itu adalah
Windamurni, adik kami!"
"Ooh...?" Raka dan Soka sama-sama terpekik kaget. Purbaweni sudah lebih dulu
berkelebat menu-runi lereng untuk membantu adiknya.
"Windamurni...! Minggirlah, biar ku babat habis pencuri itu!" teriak Purbaweni.
Rupanya gadis berusia sekitar dua puluh tahun
yang mempunyai wajah cantik mungil itu tak sengaja
memergoki Sampurgina menenteng pedang pusaka.
Windamurni tahu persis dengan ciri-ciri pedang pusa-ka milik mendiang eyang
buyutnya itu, karena walau
tak pernah melihat, namun ia sering mendengar cerita Purbaweni tentang pedang
pusaka itu, terlebih setelah kasus tertangkapnya Nalapraya oleh pihak Istana Bara. Windamurni bermaksud menghubungi seorang
kenalannya yang tinggal di desa. tempat Raka dan
rombongan ingin bermalam itu. Windamurni ingin
minta bantuan sahabatnya untuk membebaskan Nalapraya dari Istana Bara. Perjalanan itulah yang membuat Windamurni justru memergoki si pencuri Pedang
Bulan Madu. Ia pun berusaha merebutnya dari tangan
Sampurgina. Pada mulanya Sampurgina menyangka gadis
muda itu berilmu rendah, karenanya ia tak mau gunakan Pedang Bulan Madu. Tetapi ternyata dua kali pukulannya yang bersinar merah itu dapat ditahan oleh tenaga dalam lawannya,
hingga timbulkan
ledakan menggelegar tadi. Maka ia putuskan
untuk habisi nyawa lawannya dengan Pedang Bulan
Madu. Namun sebelum pedang itu dicabut, ia lebih
dulu mendengar seruan Purbaweni. Matanya memandang ke arah perbukitan, ia menjadi terkejut karena di sana selain ada Nalapraya
juga ada Pendekar Kembar.
"Celaka! Jika Pendekar Kembar turun tangan,
aku bisa terdesak dan pedang ini bisa jatuh ke tangannya!" pikir Sampurgina.
Ujarnya lagi dalam hati, "Mereka bisa mengepungku dan menyerang bersama-sama. Gila! Mana
mungkin aku dapat melawan lima orang yang tampaknya bukan orang-orang berilmu rendah itu"! Sebaiknya aku melarikan diri saja!"
Pedang tak jadi dicabut, Sampurgina berbalik
arah dan segera melesat tinggalkan mereka. Namun
gerakan itu sudah diduga oleh Raka Pura. Karenanya, sebelum Sampurgina bergerak
melarikan diri, Raka
Pura sudah lebih dulu berkelebat menggunakan jurus
'Jalur Badai'-nya. Wuuuz, wuuuz...! Soka Pura pun
ikut bergerak dengan jurus 'Jalur Badai'-nya ke sisi lain. Mereka menghadang di
beberapa sisi, sehingga
ketika Sampurgina ingin larikan diri, ia terpaksa hentikan langkah karena
kepergok Raka Pura.
"Tak perlu melarikan diri, Sampurgina! Kau
akan selamat jika pedang itu kau serahkan pada kami!" ujar Raka Pura.
"Persetan dengan diri kalian, Keparat!" Sampurgina akhirnya nekat mencabut
Pedang Bulan Madu. Ziling...! Suara desing pedang dilolos dari sarungnya begitu mengiris hati siapa pun yang men dengarnya. Walaupun sarung
pedang telah menghitam
dan kotor, tapi mata pedang itu masih bersih mengkilap dan mulai memantulkan
cahaya matahari.
Claap...! Buuulll...!
Raka Pura melompat ke samping dan berguling
di tanah ketika pantulan sinar matahari dari pedang itu mengarah ke dadanya.
Akibatnya, serumpun semak di belakang Raka terbakar oleh pantulan cahaya
matahari dari pedang itu.
"Raka...! Hati-hati!" teriak Nalapraya yang tak berani mendekat karena pedang
telah dicabut dari sa-rungnya. Purbaweni pun mundur bersama Windamurni, karena mereka tahu bahaya besar telah datang dari Pedang Bulan Madu itu.
Tetapi Raka Pura bagai orang tak lupa istilah
takut. Ia bangkit dan segera mencabut Pedang Tangan Malaikat. Sraaang...!
"Heeaat...!" Sampurgina melompat dengan pedang ditebaskan ke kanan kiri.
Pantulan cahayanya
membakar rumput dan pohon sekitarnya. Blub, blub,
buuulll...! Weess...! Pedang Bulan Madu menebas, nyaris
kenai leher Raka Pura jika si Pendekar Kembar sulung tidak segera berguling ke
tanah lagi. Melihat kakaknya dalam bahaya kesaktian Pedang Bulan Madu, Soka pun segera bertindak untuk
membantu kakaknya. Ia segera mencabut pedang kristalnya dengan tangan kiri. Sraaang...!
Tetapi pada saat itu, Raka Pura sedang tebaskan pedangnya dari atas ke bawah pada saat Sampurgina gagal menerjangnya dengan Pedang Bulan
Madu. Weess...! Claaap...!
"Aaaakh...!" Sampurgina terpekik keras. Nalapraya dan kedua adiknya itu
terperanjat melihat punggung Sampurgina nyaris terbelah dengan mengerikan
sekali. Padahal pedang Raka tak sampai menyentuh
punggung Sampurgina, masih kurang sekitar dua
langkah. Mereka tak tahu bahwa Pendekar Kembar
mempunyai jurus pedang yang dinamakan jurus
'Nenek Petir', di mana pedang kristal mereka mampu
merobek tubuh lawan dalam jarak tiga langkah, tanpa harus menyentuhnya.
"Aaagggrr...!" Sampurgina masih paksakan diri untuk bangkit. Rupanya ia kerahkan
tenaga penghabi-san untuk mengamuk di depan lawan-lawannya. Pedang Bulan Madu ditebaskan secara membabi buta
sambil ia melompat menerjang Raka.
Dengan gerakan lincah, Raka Pura bersalto ke
belakang beberapa kali menggunakan ujung pedangnya sebagai tumpuan ke tanah. Wuk, wuk, wuk...! Tapi kilatan cahaya matahari
yang memantul melalui Pedang Bulan Madu itu menyambar ke sana-sini, nyaris
kenai kaki Raka Pura.
Claaap, buul...! Claaap, buul..! Claap, buulll...!
Amukan Sampurgina bersama Pedang Bulan
Madu membuat suasana hutan di lembah itu menjadi
seperti neraka. Api berkobar di mana-mana, sementara Nalapraya dan kedua adiknya
mundur sampai ke lereng perbukitan. Tetapi Pendekar Kembar: Raka dan
Soka, masih tetap hadapi amukan Sampurgina.
Mereka bertarung bagai di dalam kobaran api
neraka. Semua tempat terkurung oleh kobaran api
yang sulit dipadamkan sebelum benda yang terbakar
menjadi arang. Sementara Soka dan Raka sangat berhati-hati dalam bertindak, karena mereka tak ingin
membuat Pedang Bulan Madu hancur oleh jurus pedang gabungan mereka yang dinamakan jurus 'Lidah
Dewa' itu. "Majulah kalau kalian benar-benar merasa bernyawa ganda!" teriak Sampurgina dengan liar. Pendekar Kembar sibuk hindari
setiap gerakan pedang yang memantulkan cahaya matahari.
Kejap berikut, Raka Pura memancing perhatian
Sampurgina dengan teriakan keras.
"Heeaaaat...!"
Sampurgina segera arahkan pedangnya kepada
Raka sambil berbalik arah. Mata pedang memantulkan
sinar, Raka sudah siap untuk menghindarinya.
Namun pada saat itu pula, Soka Pura segera
bertindak cepat. Ia berkelebat menebaskan pedangnya dalam jarak tiga langkah.
Wees...! Claap...! Angin tebasan itu memercikkan sinar ungu tipis, seperti yang
terjadi pada saat Raka berhasil lukai punggung Sampurgina. Sinar itu memotong pergelangan tangan Sampurgina dengan ketajaman melebihi sepuluh mata pedang!
Craaas...! "Aaaa...!" Sampurgina memekik keras-keras.
Pergelangan tangannya putus seketika itu pula, Pedang Bulan Madu pun jatuh ke tanah. Pluuuk.
Soka Pura segera berguling sambil menjejakkan
kakinya. Wuuut, ploook...! Jejakkan kaki itu kenai lutut Sampurgina. Perempuan
tersebut terpental dan jatuh terhempas dengan keras. Tangan kanan Soka segera menyambar Pedang Bulan Madu. Wuuut...!
Kejap berikutnya, Soka Pura sudah berdiri tegak dengan kedua tangan menggenggam pedang; pedangnya sendiri dan Pedang Bulan Madu.
"Aaakh... aaakh... aaakh...!" Sampurgina tersentak-sentak tak bisa bangun. Raka
Pura segera menghampirinya dengan tiga lompatan plik-plak. Dalam sekejap ia sudah berada di dekat adiknya, memandang ke arah Sampurgina yang ketika itu segera
menghembuskan napas terakhir.
Rupanya pada saat Sampurgina jatuh, ia tak
tahu ada tonggak kayu runcing bekas pohon kecil yang patah beberapa waktu yang
lalu. Jatuhnya tubuh
Sampurgina itu diterima dengan sukarela oleh tonggak kayu tersebut, sehingga
tonggak kayu pun menerobos
masuk tanpa permisi dari pinggang kiri tembus ke perut.
"Tak mungkin kita selamatkan dia lagi!" ujar Raka Pura.
"Aku tak sengaja membunuhnya! Tapi mungkin
memang begitulah takdirnya. Siapa yang tahu"!"
"Lekas keluar dari kurungan api ini!" sambil Raka Pura mendahului bergerak
dengan menggunakan
jurus 'Jalur Badai'-nya. Wuuus...! Pendekar Kembar
bungsu pun menyusul. Wuuuzz...!
Nalapraya dan kedua adiknya dalam kecemasan yang menegangkan. Mereka tak bisa melihat pertarungan Pendekar Kembar
melawan Sampurgina karena
kobaran api menutupi pandangan mata mereka. Namun ketika Pendekar Kembar muncul dari kobaran api
secara bersusulan, wajah tegang mereka menjadi mengendur. Nalapraya dan kedua adiknya yang cantikcantik itu semakin berseri-seri ketika melihat Pedang Bulan Madu berada di
tangan kanan Pendekar Kembar
bungsu. Mereka segera menyambut kehadiran Pendekar Kembar yang badannya basah kuyup oleh keringat
karena seperti baru saja keluar dari neraka.
Sekalipun tubuh Pendekar Kembar basah oleh
keringat, namun Purbaweni tidak peduli. Ia segera
memeluk Soka dan luapan kegembiraannya membuatnya tak sadar; ia mencium wajah Soka, bahkan ciuman itu sempat mampir sebentar ke bibir si Pendekar Kembar bungsu.
Cup, cup, cup...!
Windamurni terbengong, namun segera melirik
Raka Pura. Yang dilirik berlagak tidak merasa, dan segera bicara kepada
Nalapraya. Windamurni sempat
merasa kesal, namun rasa kesalnya terobati begitu
memandangi Pedang Bulan Madu sudah diserahkan
Soka Pura. ke tangan Purbaweni.
"Rasa-rasanya kami tak berani menyimpan pedang ini. Pasti akan menjadi incaran orang-orang sesat!" ujar Nalapraya.
"Bagaimana jika dikembalikan ke makam Eyang Buyut saja"!"
"Pasti akan diincar pencuri lagi!" ujar Windamurni yang bersuara bening itu.
Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei, lihat... siapa yang berdiri di atas perbukitan itu"!" seru Soka Pura yang
membuat mereka terperangah kaget.
Sosok tua berjubah biru yang tak lain adalah
Dewa Perintang ternyata sudah ada di puncak perbukitan agak jauh dari mereka.
Namun karena ia berdiri di atas batu tinggi, maka kehadirannya tampak jelas dari
tempat mereka. Tiba-tiba Purbaweni ajukan pendapat kepada
mereka. "Bagaimana jika Pedang Bulan Madu ini dititipkan kepada Dewa Perintang saja" Kurasa ia mampu
menyelamatkan pedang ini agar tidak dijamah oleh
orang-orang aliran sesat!"
"Kalau begitu, kita temui saja beliau. Apakah
beliau bersedia atau tidak," ujar Nalapraya.
Akhirnya sahabat mendiang Eyang Buyut Sabandanu itu menerima desakan mereka. Hal itu diputuskan setelah Dewa Perintang mempertimbangkan
bencana yang akan terjadi jika Pedang Bulan Madu tetap menjadi bahan rebutan.
Penghuni bumi dapat habis binasa hanya karena perebutan Pedang Bulan Madu, seperti yang terjadi beberapa puluh tahun yang la-lu, ketika Ki Sabandanu
masih hidup. "Kuharap tidak seorang pun dari kalian bicara
kepada siapa saja tentang di mana pedang ini sekarang berada," ujar Dewa
Perintang yang sudah tidak menakutkan lagi bagi Purbaweni.
"Kami tetap akan merahasiakannya, Eyang!"
jawab mereka saling bersahutan.
"Kusarankan, sekarang perbaiki makam eyang
buyutmu, Nalapraya! Aku akan hentikan perburuan si
Rias Rindu, karena tampaknya ia tetap akan penasaran sebelum mendapatkan pedang ini, atau sebelum
nyawanya menghadang Yang Maha Kuasa!"
Blaab...! Mereka tersentak kaget. Petapa sakti
itu tiba-tiba lenyap tanpa asap sedikit pun, tanpa bekas apa pun, selain hanya
ucapannya yang terngiang
di telinga mereka.
SELESAI Segera terbit!!!
PEMBURU MAHKOTA DARA
E-Book by Abu Keisel - Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
Split-pdf by Saiful Bahri - Situbondo Bidadari Pendekar Naga Sakti
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar
Serial Pendekar Kembar I
01. Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar
02. Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut
03. Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga
04. Pendekar Kembar 4 Setan Cabul
05. Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai
06. Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal
07. Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta
08. Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita
09. Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang
10. Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur
11. Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu
12. Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara
13. Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta
14. Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis
15. Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra
16. Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang
17. Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman
Anak Rajawali 12 Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Senja Jatuh Di Pajajaran 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama