Ceritasilat Novel Online

Pembalasan Dewa Pedang 1

Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang Bagian 1


PEMBALASAN DEWA PEDANG Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Pembalasan Dewa Pedang
128 hal; 12 x 18 cm
1 Pagi tampak begitu cerah. Cahaya merah tembaga membias di langit yang biru dan tak bernoda sedikit pun. Di sebelah selatan
tampak Gunung Slamet
berdiri dengan gagahnya, menjulang tinggi mencakar
langit. Puncaknya bahkan bagaikan menyentuh kaki
langit sebelah selatan. Sedangkan kakinya, terhampar dari timur sampai ke barat
wilayah Jawa Tengah.
Kali Pemali nampak meliuk-liuk seperti ular
raksasa, membujur dari selatan ke utara, melewati Ko-ta Brebes, Jatibarang, dan
bermuara di pantai laut
utara Jawa. Dari arah timur, nampak sesosok lelaki tua berjubah putih tengah menggebah kuda tunggangannya.
Di punggung lelaki tua itu tersampir sebilah pedang.
Rambutnya yang telah memutih digelung ke atas kepala. Jubah putihnya tampak berkibar-kibar, karena ku-da besar berwarna coklat
belang putih itu lari begitu kencang.
"Hiya, hiyaaa...!"
Teriakan-teriakan dari mulut lelaki tua itu memecah suasana pagi. Kuda pun tampak semakin
mempercepat larinya. Seperti ada perasaan tidak sabar untuk sampai tempat yang
dituju. Dilihat dari pedang yang tersandang di pundaknya, orang tua itu tak lain adalah Ki Badawi atau yang lebih terkenal dengan
julukan Dewa Pedang. Pedangnya yang berwarna merah darah tersarang dalam
warangka dengan ukiran berbentuk api membara.
"Pendekar Gila, ke mana pun kau pergi, aku
akan mencarimu! Tunggulah saatnya nanti...!" geram Ki Badawi yang tampak murka.
Orang tua itu tampaknya tengah memendam kemarahan atas kejadian yang
menimpa muridnya (Untuk jelasnya, silakan baca seri-al Pendekar Gila dalam
episode "Perjalanan ke Akherat"). Ki Badawi atau Dewa Pedang hendak menjumpai
sahabatnya yang bernama Ki Asem Gede atau Malaikat Tanpa Bayangan di Desa Ajibarang. Sudah lama sekali mereka berpisah. Kini
Dewa Pedang hendak menemui sahabatnya untuk meminta bantuan dalam
menghadapi Pendekar Gila.
Di Desa Ajibarang, Ki Asem Gede memiliki sebuah perguruan yang terkenal dengan nama Perguruan Tapis Putih. Perguruan itu termasuk golongan
putih yang sepak terjangnya bertujuan menegakkan
kebenaran dan keadilan.
Meski Ki Jalna Kumilang telah berusaha menyadarkan bahwa Pendekar Gila bukan orang sesat, Ki Badawi yang keras kepala
tetap saja menganggap kalau Pendekar Gila orang jahat, karena telah membunuh muridnya yang dianggap beraliran putih seperti
dirinya. Maka kedatangan Ki Badawi ke Desa Ajibarang juga untuk membujuk Ki Asem
Gede agar memusuhi
Pendekar Gila. Pagi telah berlalu, mentari pun telah tinggi ketika Ki Badawi sampai di Desa Ajibarang. Desa itu begitu ramai, dengan pasar
buah yang cukup besar dan
ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah. Desa
Ajibarang memang menjadi pusat pasar buah. Di
samping desa itu penghasil buah, di sana pun bermacam jenis buah-buahan murah harganya. Kebanyakan
yang datang ke Desa Ajibarang adalah para tengkulak yang akan menjual buahnya
kembali di pasar desanya
masing-masing. Ki Badawi menjalankan kudanya perlahan, karena kini telah memasuki kawasan yang ramai dikunjungi orang. Setelah keluar dari keramaian pasar, lelaki tua itu kembali menggebah kudanya.
"Hiya, hiyaaa...!"
Kuda besar dan kekar itu kembali berlari kencang membawa tubuh tuannya yang tengah menyimpan bara dendam. Dendam pada Pendekar Gila, yang
dianggapnya telah menghancurkan anak angkatnya.
Ki Badawi memperlambat lari kudanya, ketika
matanya melihat bangunan besar yang dikelilingi tembok tinggi. Di pintu gerbang,
nampak empat lelaki mu-da bertubuh kekar tengah berjaga lengkap dengan
senjatanya. Dua orang dengan senjata pedang, yang dua
lagi memegang tombak. Yang bersenjata pedang mengenakan pakaian kuning muda. Dua orang lain yang
bersenjata tombak terbalut pakaian hijau lumut.
Keempatnya berambut panjang dan diikat membentuk
ekor kuda. "Sampurasun...!" sapa Ki Badawi setelah turun dari kudanya.
"Rampes...!" sahut keempatnya bersamaan.
"Siapakah Kisanak" Serta hendak bertujuan apa?"
tanya salah seorang penjaga yang berwajah bersih tan-pa kumis dan bersenjata
pedang. "Aku Ki Badawi atau Dewa Pedang. Maksud
dan tujuanku kemari ingin bertemu sahabatku Ki
Asem Gede," jawab Ki Badawi dengan suara tenang penuh wibawa, namun tidak
membuang sikap hor-matnya. Meski tahu keempat lelaki muda di hadapannya merupakan murid-murid Ki Asem Gede, dia menyadari kalau dirinya tamu yang harus menghormati
tuan rumah. "Kalau begitu, tunggulah sebentar! Saya akan
melapor kepada guru," ujar penjaga berpakaian kuning itu.
Lelaki bersenjatakan pedang itu segera berjalan
meninggalkan ketiga rekannya untuk memberitahukan
kehadiran Ki Badawi pada ketua sekaligus gurunya.
Tidak begitu lama kemudian, pemuda itu kembali muncul. "Ki Badawi, silakan. Guru telah mengizinkan."
"Terima kasih," sahut Ki Badawi.
Lelaki muda berwajah bersih tanpa kumis itu
mengantarkan Ki Badawi masuk ke lingkungan Perguruan Tapis Putih. Ki Badawi diantar menuju sebuah
bangunan besar di antara tiga bangunan lainnya yang terdapat dalam lingkungan
perguruan. Keduanya kini
masuk ke bangunan utama. Di sana Ki Asem Gede
tengah menunggu, duduk di kursi di dalam sebuah
ruangan besar. Di belakangnya, berdiri murid-murid
Perguruan Tapis Putih, lengkap dengan senjata.
Ketika Ki Badawi masuk, seketika murid-murid
Perguruan Tapis Putih bergerak maju, menyerang dengan senjata mereka masing-masing.
"Heaaa...!"
Wut, wut! Ki Badawi tersentak kaget, mendapat serangan
secara tiba-tiba oleh murid-murid Perguruan Tapis Putih. Namun, dengan cepat
tubuh lelaki tua itu berkelit, lalu balas menyerang. Tetapi jurus-jurus yang
digunakan hanya jurus ringan. Ki Badawi nampaknya mengerti, itulah sambutan dari sahabatnya.
"Terima kasih atas sambutan mu, Asem Gede!
Yeaaa...!"
Orang tua berjubah putih itu dengan cepat melompat ke atas, bergerak mengelakkan serangan lawan-lawannya dengan jurus 'Dewa Pedang Terbang
Menyapu Awan'. Tangannya bergerak mengebut ke sana kemari, sedangkan kakinya menendang dan meluruk ke muka lawan.
"Yeaaa!"
Murid-murid Perguruan Tapis Putih kembali
bergerak menyerang dengan jurus 'Rangkaian Tapis
Menjerat Singa'. Mereka bergerak membuat lingkaran.
Kemudian dengan berjalan mengitari tubuh Ki Badawi, murid-murid Perguruan Tapis
Putih melakukan serangan. "Yeaaa...!"
Wut! Wut! Pedang dan tombak di tangan murid-murid
Perguruan Tapis Putih yang mengenakan pakaian kuning muda dan hijau lumut bergerak menusuk dan
membabat tubuh Ki Badawi. Dewa Pedang mau tak
mau harus berkelit mengelakkannya, kalau tidak ingin tubuhnya hancur dengan usus
berantakan. "Heit! Heaaa...!"
Ki Badawi melompat dengan cepat, mengelakkan serangan lawan-lawannya. Namun kelihatannya
jurus ciptaan Ki Asem Gede bukan jurus sembarangan. Hal itu dirasakan Ki Badawi. Gerakan muridmurid Perguruan Tapis Putih sangat cepat dan lihai.
Ke arah mana Ki Badawi mengelak, mereka cepat
memburu dengan sabetan dan tusukan senjata.
"Hebat! Hebat sekali jurus ciptaanmu, Asem
Gede!" seru Ki Badawi sambil menoleh pada lelaki berusia sekitar enam puluh lima
tahun yang duduk di
kursi dan tersenyum-senyum menyaksikan bagaimana
murid-muridnya menjamu tamunya.
"Kurasa belum seberapa, Dewa Pedang! Kau belum menunjukkan jurus-jurus pedangmu! Itu sebabnya kau agak kewalahan!" seru lelaki tua bermuka bulat dengan hidung mancung dan
besar itu. Alis matanya tebal. Kumis melintang lebat di atas mulutnya sudah putih. Rambutnya
terurai lurus, dengan ikat
kepala berwarna hijau lumut. Pakaiannya yang berbentuk jubah warna hijau lumut terbuka di bagian da-da, hingga memperlihatkan
pakaian dalamnya yang
kuning. "Ah, aku sudah terlalu tua, Asem Gede! Meski ku kerahkan seluruh ilmuku,
rasanya belum tentu aku mampu menandingi jurus barumu!" sahut Ki Badawi sambil
terus bergerak mengelakkan serangan-serangan murid-murid Ki Asem Gede.
"Kurasa, nama besarmu bukan omong kosong,
Dewa Pedang! Cobalah, keluarkan jurus pedangmu!"
seru Ki Asem Gede berusaha memancing sahabatnya
agar mengeluarkan jurus-jurus pedangnya.
"Tidak mungkin, Asem Gede! Kau tahu sendiri,
jika Pedang Darah telah keluar dari warangkanya, berarti harus mendapat korban!
Aku datang ke tempatmu bukan untuk bertarung, tapi sebagai sahabat! Mana mungkin aku berbuat keji?"
Ki Asem Gede tertawa terbahak-bahak, sampaisampai tubuhnya yang tinggi besar turut berguncangguncang. "Kau memang benar, Dewa Pedang! Tapi untuk
menjamumu, kurasa muridku telah siap! Satu orang
mungkin rela berkorban untuk menjamumu!" sahut Ki Asem Gede.
Sebenarnya Ki Asem Gede berusaha melihat
perkembangan ilmu sahabatnya. Itu pula yang menjadikan Malaikat Tanpa Bayangan rela mengorbankan
muridnya. Di samping itu, murid-murid Perguruan Tapis Putih memang ingin tahu ilmu setiap tamunya
Ki Asem Gede mengedip ke salah seorang muridnya memberi isyarat, yang dibalas sang Murid dengan anggukan kepala kecil
pertanda perintah gurunya disetujuinya.
"Baiklah kalau itu yang kau kehendaki! Maaf,
bukannya aku hendak pamer kebolehan!" kata Dewa Pedang akhirnya meluluskan
permintaan tuan rumah.
Sring! Pedang Darah yang mengeluarkan sinar merah
darah kini ditarik dari warangkanya, menjadikan murid-murid Perguruan Tapis Putih tersentak membelalakkan mata. Mereka yang semula menyerang, seketika menyurut mundur. Ngeri
menyaksikan bagaimana pedang itu laksana mengeluarkan sinar gaib yang kuat
"Mengapa kalian mundur"! Serang dia...!" seru Ki Asem Gede pada murid-muridnya
untuk melakukan serangan lagi.
Mendengar perintah gurunya, seketika muridmurid Perguruan Tapis Putih yang sebenarnya takut
menyaksikan kekuatan gaib yang keluar dari Pedang
Darah kembali serentak maju.
"Heaaa...!"
Ki Badawi yang telah memegang Pedang Darah,
nampak merah wajahnya. Rupanya lelaki tua itu pun
telah terbawa oleh kekuatan pedang di tangannya. Dengan jurus 'Pedang Dewa
Mencabut Nyawa' Ki Badawi
bergerak memutar pedangnya, dari arah kanan ke kiri, membentuk setengah
lingkaran. "Heaaa!"
Whuttt...! Cras! "Wuaaa...!"
Seorang murid Perguruan Tapis Putih terjungkal. Dadanya tergores oleh Pedang Darah di tangan Ki Badawi. Sebuah gerakan yang
begitu cepat, sehingga
pantas kalau dia dijuluki Dewa Pedang.
Malaikat Tanpa Bayangan yang duduk di kursi
tersentak kaget, menyaksikan kecepatan ilmu pedang
itu. Matanya membelalak lebar. Tidak disangka kalau ilmu pedang sahabatnya
ternyata semakin hebat.
Ki Badawi atau Dewa Pedang berdiri mematung. Tubuhnya kembali bergetar hebat. Wajahnya
menyala merah, terbawa oleh kekuatan gaib pedangnya. Sesaat dia terdiam, kemudian dengan desahan
napas panjang Pedang Darah dimasukkan ke warangkanya. Srak! *** Plok! Plok...! "Hebat, hebat..!" seru Malaikat Tanpa Bayangan sambil bertepuk tangan. "Rupanya
selama ini kau semakin bertambah maju saja, Dewa Pedang."
"Ah, tak seberapa, Asem Gede. Tentunya kaulah yang bertambah maju dengan ilmumu," tukas Ki Badawi merendah.
"Silakan duduk, Dewa Pedang! Ada apa sebenarnya" Tiba-tiba saja kau datang kemari," tanya Ki Asem Gede atau Malaikat
Tanpa Bayangan sambil


Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggerakkan kepala, memerintahkan pada muridmuridnya mengurus tubuh murid yang terluka oleh
Dewa Pedang. Murid-murid Perguruan Tapis Putih menurut,
mereka segera menjura hormat dan membawa temannya meninggalkan ruang tamu itu. Sedangkan Ki Badawi kini melangkah ke meja di depan Malaikat Tanpa Bayangan. Ditariknya sebuah
kursi lalu duduk. Di situ ada banyak kursi yang mengelilingi meja bulat.
Tentunya meja itu digunakan untuk rapat perguruan atau
rapat para pendekar yang diundang Ki Asem Gede.
Plok, plok, plok!
Malaikat Tanpa Bayangan bertepuk tangan tiga
kali. Dan tak lama kemudian, dari belakang muncul
tujuh wanita muda dan cantik dengan pakaian aneka
warna. Mereka membawa suguhan. Ketujuh wanita
cantik yang rambutnya disanggul itu menaruh makanan dan minuman di atas meja, kemudian berlalu meninggalkan tempat itu.
"Ah, rupanya kedatanganku ke sini hanya untuk merepotkan mu, Asem Gede..."
"O, sama sekali tidak. Bagi seorang sahabat
baik yang telah lama tidak berjumpa, apa salahnya
aku menghormatimu?"
Keduanya tertawa tergelak-gelak.
"Silakan, Dewa Pedang!"
"Terima kasih."
Plok, plok! Malaikat Tanpa Bayangan kembali bertepuk tangan. Seketika dari belakang muncul sepuluh orang
penabuh gamelan. Kesepuluh lelaki itu berpakaian
adat Jawa Tengah warna coklat muda dengan blangkon serta memakai kain batik. Setelah Ki Asem Gede
mengangguk, kesepuluh lelaki berusia sekitar empat
puluh tahun itu segera mengambil tempat duduk, lima tombak dari Ki Asem Gede dan
Ki Badawi duduk.
Bunyi gamelan pun mengalun, mengiramakan
gending Jawa yang terasa merdu, menjadikan suasana
di ruangan itu terasa semarak.
Plok, plok...! Ki Badawi kembali bertepuk tangan. Seketika
dari belakang muncul tiga orang wanita muda dan
cantik berambut disanggul besar. Kebaya yang dikenakan wanita-wanita cantik itu
berwarna merah jambu.
Seirama dengan alunan gending, ketiga wanita
cantik itu mendendangkan lagu Jawa Karawitan.
Kepala Ki Asem Gede dan Ki Badawi yang sedang menyantap makanan terangguk-angguk, menikmati alunan merdu ketiga pesinden yang sedang menyanyikan karawitan.
"Bagaimana, Badawi" Kau suka...?" tanya Ki Asem Gede.
Ki Badawi tersenyum, mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Puluhan tahun aku mengasingkan diri, Asem
Gede. Saat ini aku benar-benar merasakan seperti berada di surga," gumam Ki
Badawi dengan kepala masih manggut-manggut, menikmati alunan gamelan dan
suara merdu ketiga pesinden yang bergantian mendendangkan lagu-lagu karawitan.
Ki Asem Gede tertawa tergelak-gelak mendengar
ucapan sahabatnya. Dia merasa senang, karena telah
dapat menghibur hati sahabat lamanya yang telah lama berpisah. "Hampir tiga puluh tahun kita tak bertemu,
Dewa Pedang. Rasanya kita seperti kembali muda," tutur Ki Asem Gede.
"Ya! Tiga puluh tahun kita berpisah, setelah da-ri dulu kita bersama-sama.
Beruntung kau masih
mengenaliku," sahut Ki Badawi.
"Ah, bagaimana mungkin aku melupakanmu"
Seorang sahabat yang berilmu tinggi, dengan jurus pedangnya yang tak
terkalahkan!" puji Ki Asem Gede.
"Tapi sekarang tidak juga, Asem Gede," kata Ki Badawi yang menjadikan Ki Asem
Gede terhenyak. Ma-ta lelaki tua itu membeliak, menatap tajam wajah Ki Badawi.
Keningnya berkerut, sepertinya tak percaya
pada ucapan sahabatnya itu.
"Ah, rupanya kau bergurau, Badawi," gumam Malaikat Tanpa Bayangan.
"Tidak! Aku sungguh-sungguh. Kini di rimba
persilatan banyak sekali bermunculan pendekarpendekar muda yang berilmu lebih tinggi dibandingkan kita." Semakin membelalak
mata Ki Asem Gede mendengar penjelasan Ki Badawi. Diakuinya memang selama tiga puluh tahun belakangan ini, dia tidak lagi terjun ke rimba persilatan.
Hal itu pula yang menjadikannya tidak tahu perkembangan dunia persilatan
saat ini. "Hm...," Ki Asem Gede menggumam tak jelas.
Kepalanya manggut-manggut "Lalu, apakah kedatanganmu kemari ada sangkut pautnya
dengan per- kembangan dunia persilatan?"
"Ya!"
"Hm.... Ada apa rupanya, Badawi?"
"Kini di rimba persilatan muncul seorang pemuda bertingkah laku seperti orang gila yang berilmu tinggi. Sepak terjangnya
sangat mengiriskan. Beberapa hari yang lalu muridku telah tewas di tangannya,"
tutur Ki Badawi.
"Pendekar Gila maksudmu, Badawi?" tanya Ki Asem Gede menegaskan.
"Ya! Dari mana kau tahu?"
"Namanya memang sering kudengar. Tapi
orangnya dan sepak terjangnya di rimba persilatan belum pernah kulihat Hm...
Bukankah menurut kabar
dia berada di pihak kita?" tanya Ki Asem Gede masih belum percaya.
"Itu hanya kedoknya belaka! Sesungguhnya, dia
dan pendekar-pendekar muda lainnya bermaksud menyingkirkan orang-orang tua seperti kita!"
Ki Asem Gede semakin terhenyak kaget. Namun
begitu, orang tua bertubuh kekar dan tegar itu belum yakin dengan apa yang
dikatakan sahabatnya.
"Hm.... Apakah kau tidak salah dengar, Badawi?" "Tidak! Sudah kukatakan, dia telah membunuh muridku. Bukankah secara tidak
langsung dia menantangku?"
"Mungkin muridmu yang salah, Badawi."
"Tidak mungkin! Aku tahu persis, siapa Sumantri. Sejak kecil, dia kutemukan dan ku didik. Adakah didikan guru yang lurus menjadikan muridnya sesat?" tanya Dewa Pedang.
Malaikat Tanpa Bayangan menghela napas panjang. Sulit rasanya dia menafsirkan siapa yang benar.
Dia sering mendengar nama Pendekar Gila. Seorang
pendekar muda yang berpihak pada golongan putih.
Bahkan dialah yang kini menjadi tokoh penegak keadilan.
Mungkinkah Pendekar Gila berbuat tak adil"
Tanya Malaikat Tanpa Bayangan dalam hati.
*** 2 Gending Jawa yang diiringi gamelan masih
mengalun dengan lembut, melantunkan tembangtembang yang menambah suasana tenteram dan tenang. Namun, tidak begitu yang dirasakan Malaikat
Tanpa Bayangan. Hati lelaki tua berjubah hijau itu
masih bergulat antara percaya dan tidak terhadap kabar yang dituturkan Dewa
Pedang. Malaikat Tanpa Bayangan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan perasaannya.
Mungkinkah itu terjadi" Seorang pendekar berbuat
menyimpang dari tuntutan batinnya" Pikir Ki Asem
Gede dalam hati.
"Dewa Pedang, kau memang sahabatku. Namun
dalam hal ini, aku tak bisa memastikan kebenaran ka-ta-katamu. Apakah waktu
pembunuhan muridmu kau
tahu?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan.
"Tentu saja aku tahu."
"Kau tahu juga masalahnya?"
"Ya."
"Kalau boleh aku tahu, apa masalahnya hingga
Pendekar Gila membunuh muridmu?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan ingin tahu duduk
persoalannya. Dewa Pedang menghentikan makannya. Dituangnya arak, kemudian diminumnya. Setelah menyeka
mulut dengan tangan, Dewa Pedang menceritakan semua kejadian yang dia karang sendiri.
"Pendekar Gila merasa bahwa dirinya salah satu pendekar yang tak ada tandingannya di rimba persilatan. Dia datang ke rumah muridku, kemudian
membuat keonaran serta menantang muridku dan teman-temannya. Malah yang kurang ajar, dia menantangku!" "Mengapa Pendekar Gila berbuat begitu?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan tak
mengerti. "Masalahnya begini. Ketika itu muridku menyebarkan sayembara yang isinya mengatakan barang siapa yang bisa menangkap dan membinasakan bocah setan, akan diberi hadiah sebagian dari hartanya. Bocah setan itu telah banyak
memakan korban," tutur Dewa Pedang.
"Bocah setan?" kening Malaikat Tanpa Bayangan kembali berkerut, mendengar Dewa
Pedang me- nyebut bocah setan.
"Ya!"
"Siapakah bocah setan itu?"
"Seorang bocah berusia sekitar sepuluh tahun
dengan tubuh bersisik ular yang menghuni Pulau Karang Apa di Danau Sambak Neraka," jawab Dewa Pedang (Mengenai bocah ular
penghuni Pulau Karang Neraka, silakan simak serial Pendekar Gila dalam episode
"Perjalanan ke Akherat").
"Hm...," Ki Asem Gede kembali bergumam tak jelas dengan kepala menganggukangguk. Entah apa
arti anggukan itu.
Plok, plok...! Ki Asem Gede kembali bertepuk tangan. Seketika itu, rombongan karawitan menghentikan tabuhannya. Lalu mereka menjura hormat, kemudian meninggalkan ruang besar itu.
"Baiklah, Dewa Pedang. Aku menerima alasanmu. Sekarang, katakanlah maksud kedatanganmu kemari!" pinta Ki Asem Gede.
Sesaat Ki Badawi diam sambil menghela napas
perlahan. "Kedatanganku ke tempatmu, semata-mata ingin mengajak mu kembali ke dunia persilatan. Kita sebagai orang tua, tidak bisa
hanya diam menerima nasib. Sepertinya kita menunggu ajal, membiarkan yang muda bertindak sewenangwenang. Bahkan kalau bisa,
bagaimana jika kita mendahului mereka?" tanya Ki Badawi. "Maksudmu!" Ki Asem
Gede mengerutkan kening, belum jelas maksud Dewa Pedang yang sesungguhnya. "Aku mengajak mu untuk menumpas pendekar-pendekar muda yang berusaha menyingkirkan tokoh tua seperti kita. Kedua, aku bermaksud mengundang golongan tua dan mengajak mereka turut serta.
Bagaimana kalau tempatmu yang digunakan untuk
pertemuan?"
Malaikat Tanpa Bayangan sejenak terdiam. Ditariknya napas dalam-dalam. Sepertinya dia tengah
menimbang permintaan sahabatnya. Dirinya juga merasa belum yakin kalau para pendekar muda khususnya Pendekar Gila bertujuan menyingkirkan para tokoh tua. Untuk apa para pendekar muda bermaksud
menyingkirkan para tokoh tua" Tanya Ki Asem Gede
dalam hati, seakan belum yakin. Bukankah tanpa mereka singkirkan para tokoh tua akan hilang dengan
sendirinya"
"Bagaimana, Asem Gede?" desak Ki Badawi.
"Kalau memang kau bermaksud memakai tempat perguruanku, baiklah. Kapan kau akan mengundang mereka?" tanya Ki Asem Gede.
"Secepatnya. Dan kuharap lagi, muridmuridmu dapat membantuku menyebarkan undangan
kepada para tokoh tua," pinta Ki Badawi.
"Hm, baiklah. Namun sekali lagi aku berharap,
pikirkanlah masak-masak! Jangan sampai di kemudian hari kau akan menyesal, Dewa Pedang!"
"Maksudmu...?" tanya Ki Badawi dengan kening berkerut.
Ki Asem Gede menghela napas panjang. Matanya memandang lepas ke arah pintu depan.
Plok, plok...! Ki Asem Gede kembali bertepuk tangan. Tidak
lama kemudian, dari belakang muncul tujuh gadis
cantik yang tadi membawa makanan. Ketujuh wanita
cantik berpakaian kebaya warna-warni itu menjura.
Kemudian mengambil sisa makanan. Lalu ketujuh wanita berwajah elok itu kembali berlalu pergi.
"Aku tidak ingin terjadi salah paham, yang bisa memecah belah golongan putih."
"Kau belum yakin padaku, Asem Gede?"
"Bukan begitu, Dewa Pedang. Aku percaya padamu, karena kau sahabatku. Aku tahu siapa dirimu.
Namun tak ada salahnya, sebagai sahabat aku memberi saran, bukan?"
"Ya..., ya," jawab Ki Badawi sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Nah, apakah kau telah memikirkannya masakmasak" Tentunya, jika benar mereka hendak menyingkirkan para tokoh tua macam kita, jelas mereka akan
berhadapan dengan guru-guru mereka sendiri. Apakah
itu mungkin, Badawi?"
"Mungkin saja, Asem Gede."
Malaikat Tanpa Bayangan tersenyum kecut
mendengar jawaban temannya yang keras kepala.
"Tadi kau mengatakan, jika seorang guru baik,
tak mungkin menghasilkan murid yang jahat"
"Ya!"
"Nah, apakah mungkin pendekar muda itu juga
begitu" Bermaksud membinasakan guru mereka?"
tanya Ki Asem Gede.
Ki Badawi terdiam. Nafasnya tersengal di dada.


Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jelas ucapan Malaikat Tanpa Bayangan merupakan
sindiran baginya. Di samping itu, ucapan Ki Asem Ge-de bernada tidak setuju apa
yang telah direncanakannya. "Maaf, Badawi! Bukannya aku bermaksud
menghalangi rencanamu. Tapi, mungkin usahamu
memanggil tokoh tua akan sia-sia. Mereka mungkin
juga berpikiran sepertiku," tandas Ki Asem Gede.
"Jadi kau tak bersedia membantuku?" tanya Ki Badawi. "Dengan amat menyesal,
Badawi. Jika kau ingin meneruskan tujuanmu, lakukanlah! Aku tak dapat
menghalangi niatmu, tapi tak dapat membantumu,"
tegas Ki Asem Gede.
"Baiklah, Asem Gede. Rupanya persahabatan
kita selama puluhan tahun tak ada artinya. Permisi...!"
Dengan perasaan gusar, Dewa Pedang yang tidak berhasil membujuk sahabatnya, meninggalkan Ki
Asem Gede yang masih duduk di bangkunya dengan
bibir tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Dasar orang keras kepala! Sudah tua, masih
belum juga mau mengubah sifatnya," gumam Ki Asem Gede lirih. "Orang tua aneh!
Selalu merasa benar sendiri. Apakah mungkin, Pendekar Gila yang termasyhur dengan keadilan dan
kebaikannya melakukan hal yang
tercela?" Tengah Ki Asem Gede merenung memikirkan
watak Dewa Pedang yang keras kepala, tiba-tiba dia
dikejutkan oleh kehadiran seorang muridnya yang dalam keadaan luka parah. Penjaga pintu gerbang itu
ambruk di depan pintu dengan tubuh berlumur darah.
"Pranolo, kenapa kau"!"
Ki Asem Gede segera bangun dari kursinya,
berlari mendekati muridnya yang dalam keadaan sekarat. Diangkatnya kepala sang Murid, kemudian ditaruhnya di atas pangkuan.
"Orang tua itu..., mengamuk.... Akh!"
Pranolo terkulai lemas, nyawanya seketika melayang meninggalkan raga.
"Keparat! Dewa Pedang keparat! Air susu kau
balas air tuba! Tak akan kubiarkan kau hidup!"
Dengan penuh amarah, Ki Asem Gede segera
melesat keluar untuk mengejar Ki Badawi. Di tangannya tergenggam senjatanya yang berbentuk rantai panjang dengan ujung runcing
seperti anak panah. Senja-ta itu bernama Jerat Malaikat Pencabut Nyawa.
Malaikat Tanpa Bayangan semakin gusar, ketika sampai di pintu gerbang tak menemukan Dewa Pedang. Yang ada hanya tiga sosok tubuh muridnya yang tergeletak mati dengan dada
menganga tergores pedang. "Bedebah! Rupanya kau mencari permusuhan denganku,
Dewa Pedang!" maki Ki Asem Gede. "Sudah kuduga sebelumnya, kau memang bermaksud
jahat!" Ki Asem Gede menyapukan pandangannya ke
sekeliling tempat perguruannya. Tiba-tiba matanya ter-tumbuk pada sebatang pohon
ara besar yang tumbuh
di samping kanan pintu gerbang perguruan. Di pohon
ara itu, terdapat tulisan yang dibuat dengan goresan pedang. Ki Asem Gede
mendengus marah. Kemudian
kakinya melangkah mendekati pohon ara untuk membaca maksud tulisan itu. Matanya semakin terbelalak marah, manakala membaca
tulisan yang tergores di
pohon ara. Malaikat Tanpa Bayangan!
Sejak saat ini, antara kita bukan lagi sahabat.
Kelak jika urusanku dengan Pendekar Gila selesai, ku tantang kau di Bukit
Siluman! Dewa Pedang. "Bedebah! Kau kira aku takut, Dewa Pedang!
Malaikat Tanpa Bayangan tak akan takut menghadapimu!" geram Ki Asem Gede, sampai gigi-giginya bergemerutuk saling beradu. Ingin
rasanya dia mencabut nyawa Dewa Pedang saat itu juga dengan senjatanya.
Namun Dewa Pedang telah berlalu.
"Aku akan mencarimu, Dewa Pedang!"
Malaikat Tanpa Bayangan kembali melangkah
masuk ke rumahnya. Dadanya masih dipenuhi amarah
atas tindakan Dewa Pedang yang dianggap telah
menghina dirinya. Meski keduanya telah bersahabat
sejak muda, tantangan Dewa Pedang merupakan
penghinaan yang keterlaluan dan harus dibalas. Terlebih dengan pembantaian
keempat orang muridnya.
*** Desa Piring Ceper yang berada di kaki Gunung
Dandaka nampak tenang. Desa yang kebanyakan penduduknya bertani itu, merupakan desa yang aman dan
tenteram. Penduduknya ramah tamah, sehingga banyak orang berdatangan ke desa yang juga merupakan
pusat niaga di wilayah Kadipaten Sempalan Bumi.
Siang itu langit tampak mendung. Awan gelap
berarak menutupi langit di atas sekitar Desa Piring Ceper. Sebuah kedai yang
terletak di sebelah timur de-sa itu, siang ini banyak disinggahi orang-orang
yang kebetulan berkunjung ke desa itu.
Seorang pemuda tampan berambut gondrong
dengan pakaian rompi kulit ular nampak tengah duduk lesehan. Kepalanya bersandar pada dinding kedai yang terbuat dari batu bata.
Mata pemuda yang tidak lain Pendekar Gila itu menerawang ke atas. Mulutnya
terkadang cengengesan, tersenyum-senyum seorang
diri. Dari luar, lima orang berpakaian kembar masuk. Dua orang di antara mereka adalah wanita muda.
Keduanya berwajah cantik dengan rambut dibiarkan
terurai seperti rambut tiga lelaki kawannya. Pakaiannya panjang sampai lutut dan
berwarna merah jambu.
Kelima orang muda yang berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu sejenak
mengedarkan pandangannya
pada orang-orang di dalam kedai. Dan tiba-tiba pandangan mata mereka terhenti ketika menatap seorang
pemuda yang tengah tersenyum-senyum sendiri dengan kepala tersandar di dinding kedai.
"Hati-hati dengan pemuda gila itu," bisik lelaki bermata lebar dengan hidung
pesek kepada teman-temannya.
"Kenapa?" tanya lelaki berkumis tipis dan berhidung agak mancung.
"Nampaknya dialah yang dimaksudkan oleh ketua," sahut lelaki muda yang berwajah bersih tanpa kumis maupun jenggot
Keempat temannya mengangguk-anggukkan
kepala mengerti. Mata mereka masih menatap Pendekar Gila yang masih cengengesan dengan wajah terdongak menatap atap kedai.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa, telunjuknya menud-ing ke atas. Seperti ada sesuatu
di atas. Hal itu membuat kelima orang muda yang tadi memperhatikannya,
kini mengikuti telunjuk Sena memandang ke atas.
Namun mereka tidak menemukan apa-apa.
"Tak ada apa-apa," kata lelaki muda yang paling tampan di antara ketiga lelaki
itu. Hidungnya mancung, dengan alis mata tipis. Kumis tipis menghias di atas
bibirnya. "Kurang ajar! Dia mempermainkan kita!" dengus wanita cantik yang bermata lebar
dengan alis mata lebat Kelimanya serentak menoleh ke arah Pendekar
Gila yang baru saja duduk di tempat itu, tapi kini telah hilang entah ke mana.
Hal itu membuat kelima orang
muda itu membelalakkan mata. Kelima pasang mata
mengitari ruangan kedai itu. Tapi mereka tidak juga menemukan pemuda bertingkah
laku seperti orang gi-la.
"Hilang! Ke mana dia?" tanya wanita cantik yang bermata lentik bertubuh ramping.
"Entahlah. Mungkin benar apa yang dikatakan
ketua, kalau pemuda tadi orangnya," tukas lelaki berhidung pesek dan bertubuh
kekar. Kelima orang muda berpakaian merah itu tiada
lain Lima Darah Bukit Perawan. Mereka berlima merupakan satu keturunan, kakak beradik. Yang tertua, lelaki berhidung pesek
dengan mata lebar dan bertubuh tinggi tegap. Dia bernama Getih Ireng.
Yang kedua, lelaki bertubuh gemuk dan pendek
berkumis tipis dengan hidung agak mancung. Dia adik Getih Ireng, bernama Getih
Ungu. Yang ketiga juga lelaki. Wajahnya tampan, tubuhnya tidak terlalu tinggi Juga tidak terlalu gemuk ataupun kurus. Dia bernama
Getih Biru. Yang keempat seorang gadis cantik; bermata
lebar dengan alis mata lebat. Mulutnya kelihatan sinis.
Dia bernama Getih Merah. Sedangkan yang terakhir,
juga seorang gadis. Dialah yang paling cantik dari
keempat saudaranya. Hidungnya mancung, alis matanya lentik. Mulutnya mungil. Dia bernama Getih Putih.
Kelimanya masih berusaha mencari Pendekar
Gila yang tiba-tiba menghilang entah ke mana. Bagaikan angin begitu cepat
Pendekar Gila menghilang. Sehingga Lima Darah Bukit Perawan tak tahu ke arah
mana pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu.
"Hua ha ha... !Indah sekali siang ini," tiba-tiba di luar terdengar suara Sena
berceloteh sendiri. "Ah, sayang! Mendung menutupi langit. Seharusnya siang
ini indah sekali...."
Tersentak Lima Darah Bukit Perawan mendengar suara Pendekar Gila.
"Hm, dia ada di luar. Benar juga, rupanya dialah yang dimaksud oleh ketua," tukas Getih Ireng.
"Ya. Tentunya dialah Pendekar Gila," sahut Getih Merah.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Getih Ungu.
"Entahlah,"
"Bukankah lata harus menjauhi pemuda itu?"
tanya Getih Putih.
"Ya," jawab Getih Biru.
"Ayo, kita pergi!" ajak Getih Ireng.
Kelima kakak beradik itu baru saja hendak
angkat kaki, ketika tiba-tiba Pendekar Gila telah
menghadangnya. "Hi hi hi...! Hendak ke mana kalian" Mengapa
kalian harus terburu-buru...?" tanya Sena. Tingkah lakunya masih seperti orang
gila. Matanya memandang
ke atas langit, sedangkan tangan kanannya menggaruk-garuk kepala.
Lima Darah Bukit Perawan menarik napas dalam-dalam. Mata mereka memandang lekat ke wajah
Pendekar Gila. "Berilah kami jalan!" pinta Getih Ireng.
"Aha, silakan!"
Kelima orang muda berpakaian merah itu segera melangkah meninggalkan Pendekar Gila yang masih
tertawa-tawa seperti orang gila sambil menggarukgaruk kepala. "Hm..., apa yang mereka bawa" Mereka seperti
membawa sesuatu yang mencurigakan." Pikir Sena setelah kepergian Lima Darah
Bukit Perawan. "Kurasa ada sesuatu yang membuat mereka begitu tergesa-gesa. Aha,
sebaiknya kutanyakan saja pada pemilik kedai"
Pendekar Gila yang juga menaruh curiga pada
pemilik kedai, kembali melangkah masuk.
"Ada apa, Kisanak?" tanya pemilik kedai yang tubuhnya gemuk dan kepalanya
terikat kain segitiga.
"Aha, pertama kuucapkan terima kasih atas pelayanan mu. Sedangkan yang kedua, aku ingin bertanya," ujar Sena dengan masih bertingkah laku seperti orang tolol.
"Hm, tentang apakah?"
"Aha, bukankah kau tadi melihat lima orang
berpakaian merah itu?" Sena balik bertanya.
"Ya, benar."
"Siapakah mereka" Tampaknya mereka mempunyai kepentingan denganmu."
"Mereka Lima Darah Bukit Perawan, yang tergabung dalam Serikat Serigala Merah."
"Hm..., terima kasih. Kau telah memberitahukan tentang mereka padaku. Bolehkah aku kembali
bertanya?"
"Silakan!"
"Ada urusan apa mereka padamu?"
"Tak ada," tegas pemilik kedai dengan nada tak senang mendengar pertanyaan Sena.
"Aha, kau begitu sewot, Ki! Tapi, tak apalah. Terima kasih!" ujar Sena, kemudian
dengan cepat melesat meninggalkan kedai itu.
Pemilik kedai dan orang-orang yang ada di kedai melongo menyaksikan gerakan yang dilakukan
Pendekar Gila. Begitu cepat hingga dalam sekejap mata tubuhnya telah lenyap dari
pandangan mata mereka.
*** 3 Lima orang muda berpakaian merah dadu tengah melangkah terburu-buru melintasi Hutan Sawar.
Sesekali mereka menoleh ke belakang. Wajah mereka
menggambarkan ketakutan dan cemas, kalau-kalau
Pendekar Gila terus mengejar.
"Celaka, kalau dia tahu apa yang kita bawa,"
ujar Getih Ireng. "Tentunya dia akan menghalangi niat kita. Bahkan mungkin akan
merebut benda yang kita
bawa ini" "Mari, kita percepat langkah kita!" ajak Getih Biru. Mereka baru saja
mempercepat langkah, ketika tiba-tiba dari arah yang berlawanan muncul prajuritprajurit Kadipaten Sempalan Bumi.
"Itu mereka! Tangkap...!" perintah pimpinan prajurit kadipaten yang berbadan
tegap dan berwajah garang. Telunjuknya menunjuk ke arah Lima Darah
Bukit Perawan yang seketika tersentak kaget.
Serentak para prajurit Kadipaten Sempalan
Bumi bergerak maju. Dengan senjata lengkap di tangan, dua puluh orang prajurit menyerbu Lima Darah
Bukit Perawan yang tampak kebingungan.
"Celaka! Keluar dari mulut singa kini kita dihadang mulut buaya!" umpat Getih
Ungu kesal. "Tak ada jalan lain, kita harus melawan mereka!" sambut Getih Merah.
Cring! "Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Lima Darah Bukit Perawan segera mencabut
pedang, kemudian tanpa rasa takut kelimanya bergerak maju menghadang para prajurit kadipaten.
"Yeaaa...!"
Pertarungan pun tak terelakkan lagi. Lima Darah Bukit Perawan dengan tanpa rasa takut segera
menerjang. Pedang di tangan mereka bergerak dengan
cepat, menggunakan jurus 'Lima Darah Sudut Bintang'. Mereka menyerang dengan cepat dari lima penjuru, membentuk bintang bersegi lima.
"Heaaa!"


Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wuttt! Wuttt..!
Cras! Cras! "Aaakh...!"
Pekikan kematian susul-menyusul terdengar
dari para prajurit yang terkena sabetan pedang Lima Darah Bukit Perawan. Kelima
tokoh muda itu bergerak cepat melakukan serangan. Pedang di tangan mereka
laksana kilat, membabat dan menusuk ke tubuh para
prajurit Kadipaten Sempalan Bumi.
Lima orang prajurit kadipaten roboh dengan
dada terbelah lebar. Darah bersimbah, membasahi rerumputan. Melihat anak buahnya banyak yang tewas,
pimpinan prajurit Kadipaten Sempalan Bumi melompat
turun menyerang Lima Darah Bukit Perawan.
"Kurang ajar! Kalian harus ditangkap! Heaaa...!"
Lelaki bertubuh tegap dan bermata tajam itu
bergerak cepat menyerang lawan. Di tangan lelaki yang bertelanjang dada itu
telah tergenggam keris berkeluk lima. Keris yang berjuluk Ki Gendra itu
mengeluarkan cahaya kuning. Tangan lelaki berambut digelung itu
bergerak dengan cepat dalam jurus andalannya yang
bernama 'Pancalan Malaikat'.
"Heaaa...!"
Wuttt! Keris di tangan pimpinan prajurit Kadipaten
Sempalan Bumi bagaikan hidup, bergerak semakin cepat, menusuk dan menyabet ke arah lawan-lawannya.
Seketika itu, lima Darah Bukit Perawan tersentak. Mereka langsung berlompatan
mundur, berusaha mengelakkan sabetan keris sakti di tangan pimpinan prajurit Kadipaten Sempalan Bumi
"Celaka! Dia bukan orang sembarangan!" seru Getih Ireng setelah berhasil lolos
dari sabetan keris yang mengeluarkan sinar kuning di tangan pimpinan
prajurit Keris itu seperti mengandung kekuatan gaib yang mampu membuat getaran
hebat di dada Lima Darah Bukit Perawan.
"Tentunya keris itulah yang menjadi kekuatannya," tukas Getih Biru.
"Ya! Dengan memegang keris itu, siapa pun
akan menjadi sakti. Nampaknya keris itu mengandung
tuah yang dahsyat. Dari hawa panas yang keluar, kita me-rasakan betapa hebat
getaran tadi," sambung Getih
Ungu. "Lalu apa yang harus kita perbuat?" tanya Getih Merah.
"Terpaksa, kita harus menghadapinya," jawab Getih Ireng.
Belum juga mereka memulai penyerangan lagi,
tiba-tiba pimpinan prajurit kembali berseru memerintah anak buahnya.
"Kurung mereka...!"
Lima Darah Bukit Perawan menyangka kalau
perintah itu ditujukan pada kelima belas prajurit yang masih hidup. Mereka
segera bersatu dan menyiapkan
jurus 'Darah Mengalir Menyapu Debu'. Tapi...
Srrrt! Srrrt..!
Tiba-tiba rangkaian tali-temali yang membentuk jaring seketika meluncur dari atas. Kelima orang berpakaian merah itu tak
sempat mengelak. Tali-temali itu mengurung Lima Darah Bukit Perawan.
"Celaka! Kita terjebak!" seru Getih Ireng, ketika tiba-tiba tubuhnya dan keempat
adiknya terkurung
jaring. Susah payah Lima Darah Bukit Perawan berusaha membebaskan diri dari jerat jaring itu. Namun
jaring yang ditaburkan para prajurit Kadipaten Sempalan Bumi dari tempat
tersembunyi itu begitu kuat
"Ha ha ha....! Mau lari ke mana, Tikus-tikus
Busuk"! Kalian telah berbuat keji, meracuni warga Kadipaten Sempalan Bumi dengan
madat Kalian harus
dihukum!" seru pimpinan prajurit Kadipaten Sempalan Bumi. "Celaka, Kakang! Apa
yang harus kita lakukan?" tanya Getih Putih.
"Entahlah. Kalau kita tak dapat lolos dari kurungan ini, tiang gantungan telah menanti kita," sahut Getih Ireng sambil terus
berusaha merusak tali-temali
jaring yang sangat kuat. Entah dibuat dengan bahan
apa tali itu. "Tikus busuk! Serahkan adikmu yang cantik itu
padaku, maka kalian akan bebas!" kata pimpinan prajurit kadipaten. Lelaki
berbadan kekar dan bermata be-lo itu bernama Ki Palu Geni. Mulutnya yang terhias
kumis tebal tampak tersenyum mengejek.
"Cuh! Tak sudi aku menjadi istrimu! Kau tak
lebihnya seperti penjilat! Memalukan...!" dengus Getih Putih berang sambil
menyemburkan ludah.
"Setan!" maki Ki Palu Geni dengan mata melotot marah. Wajahnya yang garang,
semakin bertambah garang. Wajahnya memerah mendengar hinaan yang dilontarkan Getih Putih.
"Prajurit..! Bawa mereka...!" serunya kemudian.
Para prajurit Kadipaten Sempalan Bumi bergerak hendak meringkus Lima Darah Bukit Perawan.
Namun baru saja lima orang prajurit melangkah maju, tiba-tiba....
Swing, swing...!
Crab! Crab! "Wuaaa...!
"Aaa...!"
Seketika terdengar pekikan kematian yang menyayat hati, disusul dengan robohnya tubuh lima prajurit Kadipaten Sempalan
Bumi. Tampak beberapa
senjata rahasia berbentuk bintang dan berwarna putih keperakan menancap di
leher, dada, dan wajah lima
prajurit itu. "Kurang ajar! Siapa yang telah berani mencampuri urusan kadipaten"!" sentak Ki Palu Geni murka.
Dilihatnya kelima anak buahnya telah tewas. Tubuh
mereka terkapar berlumur darah di atas rerumputan.
Mata Ki Palu Geni mengawasi sekelilingnya, tapi tidak juga menemukan adanya seseorang yang telah
membunuh kelima prajuritnya.
"Cari orang keparat itu!" perintahnya pada para prajurit Belum sempat para
prajurit Kadipaten Sempalan Bumi bergerak maju, tiba-tiba sesosok bayangan
putih berkelebat cepat menuju jaring. Di tangan sosok bayangan putih itu,
tergenggam sebilah pedang berwarna merah darah. Tampak pedang itu dengan cepat
membabat tali-temali yang mengurung tubuh Lima Darah Bukit Perawan.
Bret, bret, bret!
Seketika itu juga, Lima Darah Bukit Perawan
terbebas dari kurungan tali-temali yang menjerat mereka. Hal itu semakin membuat
Ki Palu Geni bertambah marah. "Kurang ajar! Bunuh mereka semua!"
Prajurit Kadipaten Sempalan Bumi segera bergerak maju melakukan serangan. Namun lawan kini
bertambah kuat dengan hadirnya seorang lelaki tua
berjubah putih yang bersenjatakan pedang berwarna
merah darah. Serangan-serangan para prajurit Kadipaten
Sempalan Bumi dengan mudah dapat dipatahkan. Kini
keenam orang itu justru mendesak para prajurit yang jumlahnya empat puluh orang
itu. "Heaaa...!"
Lelaki tua berjubah putih yang ternyata Dewa
Pedang, bergerak cepat melakukan serangan dengan
jurus 'Pedang Dewa Mencabut Nyawa'. Dengan jurus
itu, Dewa Pedang benar-benar tak memberi kesempatan bagi lawan-lawannya untuk melakukan serangan
balasan. Bet! Cras! "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan kematian seketika terdengar dari
mulut para prajurit Kadipaten Sempalan Bumi yang
terbabat pedang di tangan. Darah segar muncrat
membasahi rerumputan. Tubuh-tubuh para prajurit
terkapar berlumuran darah.
Lima Darah Bukit Perawan yang merasa dibela
oleh seorang berilmu tinggi, semakin bertambah semangat. Kelimanya dengan tangan menggenggam pedang terus menggebrak lawan-lawannya. Dalam sekejap saja, prajurit-prajurit Kadipaten Sempalan Bumi dibuat kocar-kacir.
"Mundur...!" seru Ki Palu Geni, melihat banyak anak buahnya yang mati oleh
serangan Lima Darah
Bukit Perawan. Terlebih dengan hadirnya lelaki tua
berjubah putih yang membantu Lima Darah Bukit Perawan. Semua prajurit yang masih hidup, seketika lari tunggang-langgang
meninggalkan tempat itu, meninggalkan teman-temannya yang terkapar tak bernyawa.
"Terima kasih atas bantuanmu, Ki. Kalau boleh
kami tahu, siapa Kisanak sebenarnya?" tanya Getih Ireng setelah menjura hormat
sebagai ungkapan rasa
terima kasih atas pertolongan lelaki tua berjubah putih.
"Hm...," Dewa Pedang hanya bergumam sambil memasukkan Pedang Darah ke
warangkanya. Sedikit
pun tak tampak senyum apalagi tawa di mulutnya. Sikapnya tampak tak acuh sekali.
"Ki, kau telah menolong kami. Sepantasnyalah
kami mengucapkan terima kasih. Dan kalau diperkenankan, kami ingin mengajak mu untuk bergabung
dengan kami," ujar Getih Ireng menawarkan balas bu-di.
"Hm..., apa yang menjadi pekerjaan kalian?"
tanya Dewa Pedang tertarik ingin tahu.
"Nanti kau akan tahu jika bersedia ikut kami,"
jawab Getih Ireng.
"Hm...," Dewa Pedang kembali bergumam tak jelas. "Baiklah, aku akan ikut
kalian." "Mari, Ki!"
Mereka segera meninggalkan Hutan Sawar.
*** Lembah Cadas Setan nampak membentang
luas di sebelah selatan Desa Kendal. Di lembah itu, te-patnya di bagian barat
terbentang hutan lebat. Hutan Damar Kanginan yang ditumbuhi pohon damar,
merupakan kubu dari Serikat Serigala Merah. Ke hutan itulah Dewa Pedang dibawa
oleh Lima Darah Bukit Perawan. Di tengah Hutan Damar Kanginan, nampak
berdiri sebuah bangunan yang berbilik bambu. Atapnya sirap terbuat dari daun bambu.
Di dalam rumah bilik itu, nampak lima lelaki
berusia empat puluhan tengah duduk-duduk sambil
ngobrol. Kelima lelaki berwajah garang itu sama-sama berambut panjang terurai
lepas. Kumis tebal dan melintang menghiasi bibir mereka.
"Kenapa mereka belum juga datang?" tanya lelaki bermuka bulat yang duduk paling
kanan. Dia bernama Kanjani, orang yang memimpin Serikat Serigala
Merah di sebelah timur Kadipaten Sempalan Bumi.
"Mungkinkah mereka mendapat halangan?"
gumam Sembilang.
"Entahlah. Memang tugas mereka kurasa berat," sambut Karadipa.
Kelimanya sesaat terdiam dengan pikiran masing-masing. Dada mereka yang bidang, kelihatan turun
naik mengatur napas. Saat itu, dari luar terdengar suara isyarat dari para
penjaga di luar kalau lima orang yang mereka tunggu telah datang. Namun suara
isyarat itu juga memberitahukan, kalau ada orang asing
yang datang bersama Lima Darah Bukit Perawan.
"Kuk, kuk! Pakukuk...!"
Isyarat itu terdengar mirip suara burung yang
ada di dalam hutan. Hal itu dimaksudkan, jika orang lain yang mendengar, akan
mengira kalau itu suara-suara burung biasa.
"Hm..., mereka telah datang," gumam lelaki berbaju biru tua yang hidungnya
mancung seperti be-tet. Dia bernama Prabakuta yang menjadi pimpinan
Serikat Serigala Merah di sebelah utara Kadipaten
Sempalan Bumi. "Ya! Tapi siapa yang bersama mereka?" tanya lelaki berbaju coklat tua dengan
mata lebar dan jenggot menghias wajahnya. Dialah Gempal Sudra, Ketua
Serikat Serigala Merah di wilayah barat Kadipaten
Sempalan Bumi. Belum juga kelima pimpinan Serikat Serigala
Merah tahu siapa orang yang bersama Lima Darah
Bukit Perawan, dari luar masuk anak buahnya.
"Mereka telah datang, Ketua. Mereka bersama
seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun.
Di punggung lelaki tua itu, tersandang sebilah pedang." "Hm, biarkan mereka masuk!" ujar Gajah Bedeg, seorang lelaki berbadan
gemuk besar. Wajahnya
menunjukkan kekerasan. Matanya tajam, dan rambutnya terurai lurus.
"Baik, Ketua," lelaki muda bertubuh tegap dengan pakaian rompi merah itu segera
melesat keluar,
meninggalkan ruangan itu.
Tidak begitu lama kemudian, terdengar langkah
kaki mendekat ke rumah gubuk itu.
"Masuk!" perintah Gajah Bedeg.
Pintu yang terbuat dari bilik bambu terbuka.
Masuklah Lima Darah Bukit Perawan yang diikuti Dewa Pedang "Kami datang, Ketua," ujar Getih Ireng sambil menjura hormat, diikuti keempat
saudaranya. Sedangkan Dewa Pedang hanya diam. Matanya yang tajam,
menatap ke wajah lima pimpinan Serikat Serigala Merah. Kening kelima pimpinan itu berkerut menyaksikan sikap lelaki tua berjubah putih di depan mereka.
"Siapa sebenarnya Kisanak ini?" tanya Gajah Bedeg. Matanya yang tajam membalas
tatapan tajam Dewa Pedang. "Ampun, Ketua! Dia telah menolong kami dari
penangkapan pihak kadipaten," sahut Getih.
"Hm,..," gumam Gajah Bedeg. "Orang tua, kalau boleh kami tahu, siapakah
sebenarnya dirimu?"
"Aku Dewa Pedang!" sahut Ki Badawi tegas. Su-aranya menunjukkan keangkuhan.
Kelima pimpinan Serikat Serigala Merah tersentak mendengar julukan lelaki tua di hadapan mereka.
Serentak mereka bangkit dari duduknya, kemudian dengan hormat kelimanya langsung menjura.
Mereka telah tahu dan sering mendengar nama
besar Dewa Pedang. Itu sebabnya, mereka begitu menaruh hormat pada orang tua itu. Di samping itu, mereka mengharapkan Dewa Pedang
sudi menjadi pimpinan dalam Serikat Serigala Merah. Jika orang tua itu mau, serikat itu merupakan
sebuah perkumpulan
yang kuat. Sulit bagi pendekar aliran lurus mengobrak-abrik mereka.
"Terimalah hormat kami!" ujar mereka serempak. "Sungguh kami yang buta! Tak tahu


Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang berhadapan dengan Dewa Pedang," sambut Gajah Bedeg.
"Sudahlah! Tak usah kalian bersikap begitu!
Aku datang ke tempat kalian, semata-mata atas ajakan lima anak muda ini," ujar
Dewa Pedang, dingin.
"Sungguh sebuah kehormatan bagi kami, kalau
Dewa Pedang yang namanya sangat termasyhur berkenan datang ke tempat kami," kata Gajah Bedeg.
"Terima kasih!" sahut Dewa Pedang. "Katakanlah, apa yang kalian lakukan?"
Gajah Bedeg dan keempat pimpinan Serikat Serigala Merah saling pandang. Wajah mereka menggambarkan kecemasan, takut kalau-kalau Dewa Pedang
yang mereka kenal sebagai penegak kebenaran dan
keadilan akan menghalangi kegiatan mereka.
"Heh, kenapa kalian diam"!" bentak Dewa Pedang tak sabar.
"Oh! Maaf, Dewa Pedang! Mungkin kau telah tahu, apa yang kami lakukan," sahut Gajah Bedeg.
"Hm..., tidak!"
"Apakah Lima Darah Bukit Perawan belum
menceritakannya?"
"Belum!" sahut Dewa Pedang.
Gajah Bedeg kembali menatap wajah empat
orang rekannya. Kemudian setelah mengangguk, Gajah
Bedeg pun menceritakan apa yang dilakukan gerombolannya. "Kami bergerak di bidang penjualan serbuk surga, Ki. Kalau memang kau
sudi, dengan penuh
hormat dan harap, kami bermaksud mengangkatmu
sebagai pimpinan kami," ungkap Gajah Bedeg.
Dewa Pedang sesaat terdiam. Nampaknya dia
berpikir keras setelah tahu apa yang dikerjakan Serikat Serigala Merah.
"Hm..., kurasa tak ada buruknya kalau aku terima. Dengan begitu, bukankah aku akan semakin
kuat" Aku akan dapat membinasakan Pendekar Gila! "
Pikir Dewa Pedang dalam hati. "Lagi pula, kalau Malaikat Tanpa Bayangan
mencariku, aku bisa mengandalkan Lima Darah Bukit Perawan dan kelima orang ini. "
"Bagaimana, Ki?" tanya Gajah Bedeg.
"Baiklah, aku terima," jawab Dewa Pedang.
"Terima kasih! Semoga dengan pengangkatan
Dewa Pedang menjadi pimpinan Serikat Serigala Merah, gerakan kita akan semakin kuat!" Gajah Bedeg berusaha menyanjung ketuanya
yang baru. "Selama Dewa Pedang masih bersama kalian,
tak akan ada pendekar yang mampu menghadapi kalian! Serikat Serigala Merah, akan menjadi serikat yang paling besar di tanah
Jawa Dwipa ini," ujar Dewa Pedang angkuh.
Semua tertawa senang.
"Untuk memeriahkan pengangkatan ini, bagaimana kalau kita rayakan dengan makan dan minum
arak?" usul Gajah Bedeg.
"Bagus! Dan mulai saat ini, tugas yang perlu
kalian utamakan adalah mengundang para tokoh hitam rimba persilatan untuk bergabung. Kemudian, cari dan bunuh Pendekar
Gila...!" seru Dewa Pedang lan-tang. Semua mata membelalak mendengar perintah
Dewa Pedang. Suatu perintah yang berat. Membunuh
Pendekar Gila bukanlah hal yang mudah. Namun Pendekar Gila memang tokoh yang harus mereka singkirkan. Dialah penghalang utama bagi sepak terjang mereka. Sore itu pula, pesta pengangkatan Dewa Pedang dilaksanakan. Mereka
berpesta-pora, dengan makan
sekenyangnya dan minum tuak sepuasnya.
*** 4 Keterlibatan Dewa Pedang dalam Serikat Serigala Merah memang sangat berarti. Dalam beberapa
hari kemudian, Serikat Serigala Merah semakin kuat.
Kini sepak terjang mereka tidak hanya di lingkungan Kadipaten Sempalan Bumi.
Mereka bergerak lebih le-luasa dan bertambah maju. Penyusupan mereka telah
mencapai kadipaten-kadipaten yang termasuk dalam
kekuasaan Kerajaan Sunda Layung.
Gerakan Serikat Serigala Merah semakin bertambah berani. Apalagi mereka melibatkan beberapa
tokoh yang dianggap akan banyak berperan. Termasuk
pejabat-pejabat kerajaan dan kadipaten.
Kerajaan Sunda Layung kini bagaikan kerajaan
mati. Banyak kaum mudanya yang kecanduan madat.
Kejahatan-kejahatan pun semakin merajalela. Mereka
melakukan tindakan kejahatan semata-mata untuk
mendapatkan uang guna membeli madat. Penyiksaan,
perampokan, pencurian, dan bentuk kejahatan lain bagaikan cendawan di musim
hujan. Tumbuh dan berkembang pesat Desa Pring Kuning yang masih termasuk wilayah Kerajaan Sunda Layung siang itu terasa sangat panas. Matahari tak segansegan memancarkan sinar-nya yang bagaikan hendak memanggang semua yang
ada di bumi. Sepertinya, matahari murka menyaksikan kejahatan yang berkembang
dan semakin merajalela.
Pasar Kliwon yang ada di Desa Pring Kuning
siang itu masih ramai dikunjungi orang, karena pasar itu merupakan pasar yang
cukup ramai. Apalagi berlangsung dari pagi sampai malam.
Siang itu, nampak tiga anak muda berambut
gondrong dengan wajah pucat dan mata sayu melangkah gontai menuju Pasar Kliwon. Pakaian mereka kusut. Ketiga pemuda itu tampaknya bukan pemuda biasa. Ketiganya para pecandu madat yang kuat dan juga sebagai pemeras di Pasar Kliwon.
Tiga anak muda itu melangkah gontai, masuk
ke lingkungan Pasar Kliwon. Mereka kemudian berpencar di dalam pasar, meminta uang pada para pedagang sebagai uang jago.
"Dua hari kau tidak bayar pajak pada kami!"
bentak pemuda berwajah pucat yang berpakaian ungu.
Matanya yang sayu, dipaksakan untuk melotot. "Kini kuminta kau harus membayar!"
"Ampun, Den Karso! Bagaimana saya harus bayar! Aden tahu sendiri, dagangan saya kecil" Hanya
cukup untuk menutup utang pada Juragan Darma,"
ratap lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun memelas. Pedagang sirih itu
tampak ketakutan.
"Tak peduli! Sekarang beri aku tiga bendong!"
bentak pemuda yang bernama Karso itu, sambil tangannya menggebrak meja tempat dagangan orang tua
itu. Brak! "Ayo! Beri aku tiga bendong! Cepat...!" Semakin menggigil ketakutan lelaki tua
berbadan kurus itu. Tubuhnya gemetar dan menggeragap. Tak ada yang bisa
diperbuat kecuali ketakutan yang di rasakannya.
"Ayo! Apakah kau ingin mampus, heh"!" bentak Karso semakin garang.
Srrt! Pemuda itu menarik goloknya, yang membuat
lelaki tua penjual sirih kian ketakutan. Tubuhnya semakin menggigil dengan mata
membelalak tegang.
"Ayo! Berikan uangmu! Atau kau ingin kepalamu lepas dari tubuh, heh"!" ancam Karso.
"Jangan, Den! Ampun..., sungguh saya tak
punya uang sebanyak itu!" ratap lelaki tua itu mengiba. Bahkan membungkukbungkuk, berusaha meminta betas kasihan.
"Hm, ada berapa uangmu?"
"Ampun, Den! Ba... baru du... dua ketip, Den,"
jawab lelaki tua itu dengan suara menggeragap.
"Serahkan uangmu! Cepaaat..!" sentak Karso garang. Srek!
Kembali Karso mempermainkan goloknya,
membuat orang tua itu semakin kebingungan dan takut. Kalau dia menyerahkan uangnya yang dua ketip,
lalu anak dan istrinya yang menunggu di rumah mau
makan apa" Sedangkan jika tak memberikan uangnya,
dia takut pemuda itu akan membunuhnya.
Dengan tangan gemetaran, lelaki tua itu segera
mengambil uang dari ikat pinggangnya.
"Cepat!" bentak Karso tak sabar.
Lelaki tua yang malang itu semakin menggigil.
Wajahnya bahkan lebih pucat dibandingkan
dengan wajah pemuda yang ada di hadapannya.
"Ini, Den. Tapi Bapak minta dua sen saja, untuk makan anak dan istri Bapak!" harap lelaki tua itu memohon.
"Apa"! Enak saja kau bicara! Nih untukmu...!"
bentak Karso seraya hendak memukul dada lelaki tua
itu, ketika tiba-tiba....
Trak! "Aduh!" pekik Karso sambil menarik mundur tangannya yang terasa sakit. Tulangnya
bagaikan re-tak. "Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar ingin mampus, Orang Tua
Keparat!" Srrrt! Karso menarik goloknya, yang membuat lelaki
tua malang itu semakin ketakutan.
"Ampun, Den. Jangan bunuh saya!" pinta lelaki tua itu meratap.
"Setan! Rupanya kau hendak mempermainkan
ku, heh"! Kubunuh kau, Orang Tua Keparat!"
Pemuda bertampang garang itu seketika membabatkan goloknya ke arah lelaki tua malang yang
membelakkan matanya.
Wuttt..! Hampir saja leher lelaki tua itu menjadi santapan golok di tangan pemuda berandalan itu. Namun,
belum sempat golok itu sampai ke leher, sebuah batu kecil melesat ke arah tangan
Karso. Tuk! "Aduh!" Karso kembali memekik keras, goloknya kini terjatuh karena tangannya
sangat sakit. Mata pemuda itu liar, memandang garang ke arah sekelilingnya
dengan tangan kiri memegangi tangan kanan
yang terasa sakit. "Kurang ajar! Siapa yang berani jual lagak di depan Karso"!
Ayo, keluarlah!"
"Hua ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa menggema
di penjuru pasar. Sepertinya orang yang tertawa itu ada di mana-mana. Hal itu
menjadikan Karso dan ke
dua orang temannya tersentak. Mereka yang sedang
memeras, seketika menghentikan kegiatannya. Mereka
langsung mengedarkan pandangan, mencari-cari asal
suara itu. "Setan! Keluarlah! Hadapi kami...!" seru Karso semakin marah, karena merasa
dipermainkan orang
yang kini masih tertawa tergelak-gelak.
"Aha, aku di sini, Sobat!"
Karso tersentak bagaikan disengat kala ketika
tiba-tiba di belakang lelaki tua penjual sirih telah berdiri seorang pemuda
seusianya dengan tingkah laku
seperti orang gila. Mulutnya cengengesan dan tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Setan belang! Rupanya orang gila yang mainmain denganku! Minggir kau dari sini, atau terpaksa golokku akan memenggal
lehermu"!" bentak Karso garang. "Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Cecurut! Mukamu
persis tikus kebakaran kumis," ejek pemuda berambut gondrong dengan ikat kepala
dari kulit ular. Tubuhnya dibalikkan, kemudian sambil tertawa-tawa pantatnya
ditunggingkan ke arah Karso.
Brut..! "Hua ha ha...! Bagaimana, Cecurut! Enak kentut-ku?" tanya pemuda berambut gondong yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar
Gila. "Bedebah! Rupanya kau pun minta mampus,
Bocah Gendeng!" dengus Karso semakin bertambah marah. Dipungutnya kembali golok
yang tadi jatuh, kemudian dengan geram dia menyerang. "Pecah kepalamu, Setan!
Heaaa...!"
Wuttt! "Aduh!" pekik Sena mengejek lawan.
Sambil berkata begitu didorongnya tubuh orang
tua penjual sirih ke samping. Sedangkan dia dengan
cepat merundukkan tubuh mengelakkan serangan golok lawan. "Ampun, Den. Jangan bunuh saya...!" ratap Se-na, menirukan orang tua penjual
sirih itu. "Kurang ajar! Kau benar-benar minta mampus,
Bocah Edan!" maid Karso semakin beringas, ketika serangan pertamanya gagal.
Kembali goloknya dibabatkan ke arah Pendekar Gila.
Wuttt! "Aduh, Mak! Galak sekali kau, Den! Jangan bunuh saya...!"
Sambil meratap seperti itu, Pendekar Gila segera menyusup masuk ke kolong meja tempat dagangan
sirih. Kemudian dari kolong meja, kaki kanannya menendang ke arah perut lawan.
Dug! "Ukh!"
Karso mengeluh, ketika tendangan Pendekar
Gila mendarat telak di perutnya. Seketika tubuhnya
terhuyung ke belakang. Perutnya terasa sangat mual.
"Hi hi hi...! Enak kue apemku, Sobat...?" tanya Sena sambil cengengesan dengan
tangan menggaruk-garuk kepala.
Melihat tindakan itu, Karso dan kedua temannya yang telah berada di tempat itu semakin bertambah marah. "Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan!
Heaaa...!"
Karso dan kedua temannya langsung menggebrak Pendekar Gila.
Wut! Wut..! "Tolong! Aduh, galak sekali kalian...!" jerit Sena sambil berjumpalitan dan
bergerak meliuk-liukkan tubuh, mengelakkan babatan golok ketiga lawannya.
Semua mata yang ada di Pasar Kliwon seketika
tertuju pada pertarungan itu. Dari mulut para penjual dan pembeli yang ada di
pasar itu keluar decak kagum, menyaksikan bagaimana Pendekar Gila mengelakkan
serangan-serangan yang dilancarkan ketiga pemuda
berandalan yang selalu memeras mereka.
"Tahu rasa! Kalian kena batunya!" kata penjual pisang, bersungut-sungut
"Moga-moga pemuda gila itu bisa menghajar
mereka!" sambung penjual daging.
"Ya! Biar mereka kapok!" timpal penjual ikan.
"Ck ck ck...! Tak kusangka, pemuda gila itu
ternyata memiliki kepandaian yang hebat," decak penjual tempe dengan mata bergerak-gerak ke sana kema

Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ri mengikuti pertarungan itu.
Pasar yang semula tenang, seketika berubah
riuh. Orang-orang yang semula berada di tempatnya
masing-masing kini berkerumun menyaksikan pertarungan. "Aku bertaruh pemuda gila itu. Ayo, siapa yang mau taruhan denganku?"
seorang penjual tahu menggunakan pertarungan itu untuk berjudi.
"Wah, sama juga bohong! Aku pegang dia tiga
banding satu! Kalau pemuda gila itu kalah, aku bayar tiga bendong buatmu!"
penjual daging tak mau kalah.
*** Pertarungan antara tiga pemuda berandal yang
mengeroyok Pendekar Gila masih berlangsung sengit.
Ketiga berandal itu semakin bernafsu ingin segera
membunuh pemuda gila. Mereka begitu jengkel melihat Pendekar Gila.
"Pecah kepalamu, Bocah Gila"!"
Wuttt! "Wadau! Jangan, Kang! Kepalaku mahal...!" se-ru Sena sambil meliukkan tubuh agak
ke bawah, se- hingga serangan golok lawan melesat beberapa jari di atas kepalanya. Kemudian
dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Sena balas menyerang.
"Heits! Setan! Rupanya kau bisa silat juga, Bocah Gila"!" maki Tarmin yang
tersentak kaget. Tak disangka kalau pemuda bertingkah laku seperti orang gila
itu ternyata memiliki tenaga dalam yang sempurna.
Hal itu dapat dirasakan, ketika tangan Pendekar Gila menepuknya. Tepukannya
kelihatan sangat pelan dan
lambat, namun tahu-tahu telah berkelebat begitu dekat. Bahkan angin tepukannya terasa menderu kencang. Tarmin melompat mundur dengan mata terbelalak. Wajahnya semakin merah karena marah.
Melihat Tarmin mundur, kedua temannya kini
bergerak maju menyerang. Keduanya langsung menusuk dan membabatkan golok ke bagian tubuh Pendekar Gila. "Hancur perutmu!" dengus Karso sambil menyodokkan goloknya ke perut Pendekar Gila.
Wuttt! "Aduh, Kang! Jangan galak-galak!" seru Sena sambil melangkah mundur mengelak.
Kemudian dengan menggunakan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan' tubuhnya bergerak
mengelak menyerang lawan-lawannya. Tubuhnya berputar cepat laksana gasing ke arah kiri. Tangannya tak diam
begitu saja, terus menyerang dengan tamparan dan cengengesan ke arah lawan
Plak!... "Aduh...!"
Karso terpekik, ketika wajahnya kena tampar
tangan Pendekar Gila. Tubuhnya memutar ke arah kanan dengan kencang laksana gasing. Hal itu menunjukkan betapa kuat tamparan Pendekar Gila.
Tubuh Karso masih terhuyung-huyung, lalu
bagaikan orang mabuk dengan mata kosong ambruk
ke tanah. Dan pingsan.
Orang-orang di pasar seketika bersorak girang
melihat salah seorang dari tiga pemuda berandalan itu terkapar pingsan kena
tamparan Pendekar Gila.
"Hua ha ha...! Lihat, lucu sekali dia! Seperti ayam kena pukul!" seru Sena
sambil tertawa-tawa.
"Pemuda gila! Kubunuh kau! Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Menyaksikan Karso pingsan terkena tamparan
Pendekar Gila, kedua temannya semakin beringas menyerang. Golok di tangan mereka serentak bergerak
maju melakukan serangan dengan tebasan dan sodokan. Wut! Wut..!
"Wah! Kenapa kalian main keroyok! Aduh...!"
Dengan masih bertingkah laku seperti orang gila, Sena kembali mengelak seraya mengejek kedua lawannya. Tubuhnya bergerak meliuk-liuk, kemudian
berputar dengan cepat laksana gasing.
Wusss! Dengan memadukan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' dan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan', Pendekar Gila mengelakkan
serangan-serangan kedua kawannya. Kemudian dengan cepat pula tangannya bergerak menyodok dan mencakar.
Breeet! "Wuaaa...!"
Tarmin menjerit ketika tahu-tahu bajunya telah
tercengkeram. Belum sempat Tarmin melepaskan
cengkeraman itu, tahu-tahu Sena telah menyentakkan
tangan dan melemparkan tubuhnya.
"Kau belum pernah terbang, kan" Hi hi hi...! Ku ajari kau bagaimana caranya
terbang! Hih...!"
Tubuh Tarmin terlempar deras ke atas dan melesat laksana terbang masuk ke pasar.
Wusss! "Aaa.... Tolooong...!"
Tarmin menjerit, tubuhnya melayang laksana
terbang. Semua orang di pasar melongo dengan mata
membelalak, menyaksikan kejadian yang lucu dan
menegangkan itu.
Brukkk! Tubuh Tarmin mendarat di tumpukan sampah
yang ada di samping pasar. Tubuhnya berkelojotan sebentar, lalu terkulai pingsan
setelah berusaha bangun
tapi tak mampu.
Menyaksikan kedua temannya dalam keadaan
pingsan, Tarban menggigil ketakutan. Nyalinya menciut. Tanpa diperintah, dia langsung berlutut di depan Pendekar Gila.
"Ampun, Tuan. Jangan bunuh saya! Ampunilah
selembar nyawa saya!" ratapnya mengiba.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau! Aneh..., kenapa kau berubah seperti cecurut
kecebur got?" ejek Sena sambil tertawa bergelak-gelak dengan tangan kanan
menggaruk-garuk kepala.
Tubuh Tarban menggigil ketakutan. Tangannya
disatukan di depan dada. Matanya menatap penuh harap pada pemuda gila di hadapannya.
"Bantai saja dia!" seru para pedagang.
"Ya! Mereka tak mungkin kapok!" sambut yang lainnya.
"Kuliti saja!"
"Cincang! Biar dagingnya kujual!" seru penjual daging dengan nada gemas dan
jengkel. "Beraninya sama pedagang saja! Huh!"
Pekikan-pekikan kemarahan terdengar bersahutan. Sepertinya para pedagang tak puas kalau ketiga pemuda berandalan itu
dibiarkan hidup.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tingkah
lakunya kini seperti kera, melompat-lompat sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Aha, aku tak berhak menghukum mu, Kisanak. Biarlah nanti para pedagang yang menentukan
hukuman untukmu," ujar Sena.
Mendengar ucapan itu Tarban semakin ketakutan. Tapi begitu hendak meminta pertolongan pada
Pendekar Gila, pemuda berbaju rompi kulit ular itu telah pergi meninggalkan
Pasar Kliwon. "Tangkap dia!" seru para pedagang.
"Habisi saja!" teriak yang lain.
"Bagaikan diperintah, seketika para pedagang
yang sudah dilanda amarah menyerbu Tarban dan kedua temannya yang masih pingsan.
"Ampun! Jangan...!"
Tarban berusaha meminta ampun, tapi para
pedagang yang sudah marah tak peduli dengan ratapan pemuda itu. Dengan pisau-pisau yang biasa digunakan untuk berdagang, mereka melampiaskan kemarahan. "Mampus kau, Bajingan!"
Crab! Bret! "Wuaaa...!"
Tarban melolong kesakitan ketika pisau-pisau
para pedagang menghujani tubuhnya. Tak lama kemudian, tubuhnya berantakan terbeset-beset bagaikan di-cincang. Begitu juga dengan
keadaan kedua orang temannya. *** 5 Malam telah larut. Gelap menyelimuti bumi.
Angin menghembuskan hawa dingin dan basah. Sementara itu halimun yang tebal pun merayap, bagai
menyimpan sejuta misteri.
Desa Piring Ceper yang terletak di kaki Gunung
Dandaka nampak sepi. Sebuah kedai besar di sebelah
timur Desa Piring Ceper, malam itu nampak masih ramai dikunjungi orang. Kebanyakan dari mereka anakanak muda. Suasana di kedai itu masih terang benderang, tak ubahnya seperti sebuah kendurian besar
tengah berlangsung.
Tiga lelaki muda berambut gondrong dengan
tubuh tegap dan bermata tajam melangkah masuk ke
kedai itu. Mata mereka yang tajam menatap ke sekelilingnya, di mana para
pengunjung kedai tengah menikmati santapan.
Salah seorang dari ketiga lelaki muda yang
mengenakan rompi warna merah menggerakkan tangan kanannya. Kemudian ketiganya melangkah menuju ke pemilik kedai yang segera menyambut kedatangan mereka dengan senyum.
"Apakah pemuda gila itu datang lagi ke sini, Ki Jamhari?" tanya Suroso, lelaki
yang berjalan di tengah.
Pemuda itu berbadan tinggi dan tegap serta berwajah garang. Rambutnya yang
gondrong, ditutup dengan
kain ikat batik membentuk blangkon. Hal serupa juga ada pada kedua pemuda
lainnya. "Sampai sekarang tidak," jawab pemilik kedai yang ternyata bernama Ki Jamhari.
"Hm..., syukurlah! Bisa aku menemui mereka?"
tanya Suroso. "Silakan," jawab Ki Jamhari sambil merentangkan tangan, kemudian dia pun
mengajak ketiga orang
dari Serikat Serigala Merah itu mengikutinya.
Ki Jamhari membawa Suroso dan kedua temannya ke belakang. Di sana terdapat sebuah ruangan yang sempit dan hanya bisa dimasuki orang satu
persatu. Di dalam ruangan itu, terdapat sebuah pintu bawah tanah.
Ki Jamhari segera membuka pintu bawah tanah, kemudian mempersilakan ketiga anggota Serikat
Serigala Merah itu masuk ke ruangan bawah tanah.
Satu per satu dari mereka menuruni tangga
yang menghubungkan dengan ruang bawah. Kemudian
setelah semuanya masuk, Ki Jamhari kembali menutup pintu penghubung bawah tanah dan kembali ke
ke-dainya. Rupanya di bawah tanah, terdapat sebuah
ruangan yang sangat luas. Menuju ke tempat itulah
ketiga pemuda berbadan tegap yang tergolong anggota Serikat Serigala Merah.
Kedatangan mereka seketika
disambut muda-mudi yang berwajah sayu. Mereka merengek, meratap, meminta sesuatu kepada ketiga lelaki muda itu.
"Cepat! Berikan aku surga itu!" seorang gadis cantik yang keadaannya nampak
memprihatinkan "Mana uangmu?" tanya Suroso.
"Tak ada! Habis...," jawab gadis itu.
"Huh! Kalau tak punya uang, mengapa kau datang ke tempat ini, Bodoh"!"
Sambil berkata begitu Suroso menyentakkan
tubuh gadis itu sampai terjengkang ke belakang. Namun gadis cantik berwajah pucat dan kusut itu seperti tak peduli. Dia kembali
merangkak mendekati Suroso, lalu menjilati kaki lelaki muda itu.
"Berilah aku surga itu!" ratapnya penuh harap.
"Minggir! Hih!"
Suroso kembali menyentakkan tubuh gadis itu
hingga terjengkang. Namun, gadis cantik yang sudah
kecanduan madat itu tak menghiraukan. Dia kini
membuka pakaiannya, lalu dengan tubuh bugil meliuk-liuk menari di depan Suroso. Tindakan itu membuat Suroso membelalakkan mata. Jakunnya turun
naik, menyaksikan tubuh gadis yang gemulai menggiurkan. "Oh, berilah aku surga itu, Tuan! Kau boleh memperlakukan tubuhku ini
sesukamu, asal kau mau
memberi aku surga itu," pinta gadis itu sambil me-nempelkan tubuh bugilnya ke
tubuh Suroso yang semakin bergetar.
Mata Suroso tak berkedip, menyaksikan keadaan tubuh gadis yang menggiurkan itu. Pikirannya
benar-benar kacau. Kelelakiannya seketika terbakar.
Beberapa kali dia harus menelan ludah, tak tahan menyaksikan keadaan tubuh gadis
yang bahenol dan
sangat mulus itu.
Gadis cantik itu terus meliuk-liukkan tubuhnya
di depan Suroso. Dari mulutnya keluar desisandesisan yang membuat kelelakian Suroso semakin bertambah menggelegak.
"Oh, berilah aku surga, Tuan! Lakukanlah apa
yang kau ingin lakukan atas tubuhku, asalkan kau
memberi ku surga itu," pinta gadis cantik itu sambil meliuk-liukkan tubuhnya di
depan mata Suroso dan
kedua temannya yang kini terpaku seperti patung dengan jantung berdebar.
"Bagaimana, apakah akan kita beri dia?" tanya Sugonggo.
"Hm...," Suroso bergumam tak jelas. Jakunnya masih turun naik menyaksikan lekuk
tubuh gadis cantik di depannya yang masih meliuk dan menari-nari.
"Kurasa kalau sedikit tak akan kentara oleh ketua," sambung Sugama.
"Ya! Bukankah dengan begitu kita bisa terlepas dari marah" Sudah begitu, kita
bisa menikmati tubuh gadis ini," sambut Sugonggo.
Suroso masih terdiam. Nampaknya dia masih
berpikir dengan apa yang akan diperbuatnya. Dia tak ingin pimpinan mereka marah.
Dia sudah tahu, apa
hukumannya jika Dewa Pedang marah. Pedang Darah
yang sangat sakti, tak memberi ampun lagi pada
orang-orang yang berani menentang dan berbuat salah. "Baiklah, beri dia sedikit!" ujar Suroso pada kedua temannya.


Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kemarilah!" perintah Sugonggo sambil melam-baikan tangannya pada gadis itu.
"Kau akan kami beri surga itu. Tapi, kau harus melayani kami!"
"Berilah aku surga itu, aku akan segera melayani kalian!" jawab gadis itu setengah meratap.
Sugonggo menoleh pada Suroso. Kemudian, setelah melihat Suroso mengangguk, Sugonggo pun segera memberikan serbuk putih. Wanita cantik itu langsung menjilatinya dengan mata mengerjap-ngerjap kenikmatan. "Ayo!" Sugonggo segera menyeret gadis cantik itu ke ruangan lainnya.
Gadis itu tak mengelak, dia segera mengikuti ke
mana ketiga lelaki itu mengajaknya.
Di ruangan itu, nampak muda-mudi tengah
menggelosor dengan mulut tiada henti mengoceh. Mata mereka antara melek dan
terpejam. Mereka bagaikan
tiada gairah untuk hidup. Tubuh mereka kurus kering tak menentu. Wajah kusut
masai dan pucat bagaikan
tak berdarah. Mereka inilah korban-korban bubuk
maut yang dijual Serikat Serigala Merah.
Di sisi ruangan lain, nampak tiga lelaki anggota
Serikat Serigala Merah tengah asyik bergantian melampiaskan nafsu birahinya pada gadis cantik yang ju-ga salah satu korban serbuk
maut. Mereka dengan penuh nafsu menggagahi gadis itu.
Tengah ketiganya melampiaskan nafsu iblisnya,
tiba-tiba terdengar suara bentakan yang mengejutkan mereka.
"Bedebah! Rupanya begini kerja kalian"!"
Ketiga pemuda itu tersentak kaget. Kemudian
setelah tahu orang yang membentak, ketiganya langsung menunduk di hadapan lelaki tua berjubah putih
yang di punggungnya bertengger sebilah pedang.
"Ampun, Ketua! Semua telah kami jalankan dengan sebaik mungkin," ujar Suroso sambil menyembah. "Hm..... Bagus! Kalian
memang anak buahku yang patut diberi penghargaan atas perbuatan dan
kerja kalian. Nah, kini kalian bersiaplah untuk mampus!" dengus Dewa Pedang,
yang seketika menyentakkan ketiganya.
"Ketua, apa salah kami?" tanya Sugonggo seperti belum menyadari kesalahannya.
Dewa Pedang tersenyum sinis, mendengar pertanyaan yang dilontarkan Sugonggo.
"Kau belum tahu kesalahanmu, Sugonggo"!"
"Benar, Ketua. Kalau memang kami salah, kami
mengharap sudilah Ketua memberitahukan kesalahan
kami!" jawab Sugonggo dengan wajah ketakutan.
"Baiklah! Dengar...! Aku sangat tak suka dengan cara kerja kalian! Sudah kukatakan, yang lebih
utama bukan bersenang-senang dengan perempuan!
Kalian harus bisa membunuh Pendekar Gila!"
"Tapi, kami tak menemukannya, Ketua."
"Apa pun alasannya, kalian telah membuatku
marah! Nah, bersiaplah kukirim ke akherat!"
Cring! Dewa Pedang menghunus Pedang Darahnya
yang memancarkan sinar merah membara. Hal itu
membuat mata ketiga anak buahnya semakin membelalak tegang. "Ampuni kami, Ketua! Jangan bunuh kami!" ratap ketiganya hampir bersamaan.
Mereka segera mencium kaki Dewa Pedang yang masih berdiri mematung
dengan tubuh gemetar, menahan gelora kekuatan yang
keluar dari Pedang Darahnya.
"Ketua, janganlah bunuh kami! Biarlah kami tidak dibayar selama dua purnama, asalkan Ketua sudi
mengampuni kami," ratap Sugonggo memelas.
"Benar, Ketua. Kami berjanji akan mencari Pendekar Gila untuk membunuhnya," sambut Suroso.
"Dapatkah kupegang janji kalian"!" bentak De-wa Pedang.
"Kami bersumpah, akan membunuh Pendekar
Gila dalam waktu kurang satu purnama ini!" sahut ketiganya bersamaan
"Baiklah! Kuampuni nyawa kalian. Tapi jika dalam satu purnama ini kalian tak sanggup membunuhnya, kalianlah yang akan kubunuh!" ancam Dewa Pedang. "Kami berjanji!"
"Minggirlah!" bentak Dewa Pedang dengan tubuh masih bergetar hebat, terbawa oleh
kekuatan gaib Pedang Darah yang haus akan darah jika telah telanjur keluar dari
warangkanya. Ketiga anak buahnya langsung berguling menyingkir. Mereka tahu persis kalau pedang di tangan ketua mereka tak akan diam
jika belum menyentuh
darah dan merenggut nyawa.
"Heaaa...!"
Dengan pedang terayun tinggi ke atas kepala,
Dewa Pedang melangkah dua tindak ke depan. Matanya yang tajam menatap dingin gadis yang berada di tempat tidur.
"Tidaaak..!"
Wuttt!" Pedang bersinar merah itu berkelebat begitu
cepat memangsa nyawa. Dan....
Crab! "Aaakh...!"
Pekikan melengking memecah suasana di ruangan bawah tanah itu. Tubuh gadis yang masih bugil itu terkapar berlumur darah di
tempat tidur. Dadanya
yang hancur menyemburkan darah. Seketika nyawanya melayang.
Dewa Pedang menarik napas panjang, kemudian pedangnya dimasukkan ke dalam warangka yang
tersampir di punggung. Lalu dengan tenang lelaki tua berjubah putih itu
meninggalkan tempat itu.
*** Pendekar Gila baru saja hendak merebahkan
tubuhnya untuk tidur, ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara jeritanjeritan dari desa sebelah barat Hutan Gareng tempat Pendekar Gila malam itu
berada. "Ah! Kejahatan lagi!" gumam Pendekar Gila.
"Aneh, akhir-akhir ini kejahatan semakin merajalela!"
Pendekar Gila mengurungkan niatnya tidur.
Dia bangun dan duduk di cabang pohon besar itu. Matanya memandang ke asal suara jeritan itu.
"Tolong! Perampok...!"
"Diam!"
Cras! "Aaakh...!"
Pekikan kematian pun terdengar, disusul suara
bentakan dan babatan senjata. Tentunya babatan senjata para perampok yang menjarah Desa Kadipan di
sebelah utara Hutan Gareng.
"Wah, pertanda kejahatan masih merajalela?"
gumam Sena. Secepat kilat, Pendekar Gila melompat dari atas
pohon. Bagaikan terbang tubuhnya melayang ke utara.
Dalam sekejap tubuhnya hilang di tengah kegelapan
malam. Sementara itu, di Desa Kadipan suasana malam yang seharusnya tenang
berubah hiruk-pikuk oleh jeritan ketakutan bercampur dengan kematian.
Penduduk Desa Kadipan semakin bertambah
ketakutan, setelah dikejutkan oleh suara jeritan-jeritan kaum wanita yang
dipaksa para perampok untuk mengikuti mereka.
"Tolong! Tolooong...!"
Crab! "Aaa...!"
Pekikan kematian kembali terdengar, memecah
keheningan suasana malam. Seorang lelaki bertubuh
besar dan berkepala botak tampak menyeret seorang
Jejak Di Balik Kabut 27 Raja Silat Lahirnya Dedengkot Silat Karya Chin Hung Kucing Suruhan 5

Cari Blog Ini