Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian Bagian 1
PRAHARA DI GUNUNG KEMATIAN
Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Fahri
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Firman R Serial Pendekar Gila
dalam episode :
Prahara di Gunung Kematian
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Di sebelah utara Lembah Setan, terdapat sebuah pegunungan yang amat menyeramkan.
Gunung yang disebut oleh para penduduk di sana, Gunung Kematian. Karena, bentuk
gunung itu amat
menakutkan. Penuh dengan hutan yang lebat dan binatang buas yang mencari mangsa.
Pagi itu, Gunung Kematian nampak semakin
mengerikan saja. Kabut tebal yang menyelimutinya, seolah raksasa yang sedang
terlelap. Dan suatu waktu bisa bangun dengan amarah yang membabi buta.
Di sanalah tempat bermukim para gerombolan yang telah lama menyerang desa-desa
di sekitar sana dan banyak membuat keonaran. Gerombolan itu menamakan diri
Gerombolan Iblis dari Pacitan, yang terdiri dari orang-orang kejam dan bengis.
Teror yang mereka timbulkan amat membuat
orang-orang yang tinggal di sekitar Gunung Kematian dan desa-desa dekat sana,
selalu dicekam ketakutan.
Karena orang-orang itu tak segan-segan membunuh bila keinginan mereka tak
terpenuhi. Dan terkadang dengan diiringi tawa yang menggema, mereka bergilir
memperkosa seorang gadis.
Tidak hanya sampai di sana saja mereka berbuat.
Setelah diperkosa, gadis itu pun mereka bunuh.
Bahkan ada yang dicincang sambil tertawa-tawa.
Kekejaman mereka tiada taranya. Tak seorang pun yang berani menentang semua
tindakan mereka.
Sehingga lambat laun mereka pasti akan rebah berkalang tanah.
Gerombolan itu juga sering mencegat para
pedagang yang siap menjajakan barang dagangan yang mereka bawa ke desa seberang.
Bukan sekali dua kali perampokan yang mereka lakukan disertai dengan pembunuhan
terjadi. Tetapi sudah berpuluh kali. Dan mereka merasa memiliki kepuasan
tersendiri melakukan kejahatan itu, tertawa-tawa bermandikan darah. Kalau
rombongan itu membawa penumpang wanita, sudah bisa dipastikan kalau wanita
itulah yang paling mengenaskan nasibnya.
Mereka akan memperkosanya bergantian. Tidak jarang sepuluh orang yang
melakukannya. Setelah itu, dibunuh dengan kepala ditumbuk pakai batu. Lalu
orang-orang kejam itu pun akan kembali ke markas mereka di Gunung Kematian.
Mereka selalu mengenakan pakaian berwarna hijau, lambang Gerombolan Iblis dari Pacitan.
Namun di pagi ini, ketua mereka yang bernama Rodopalo sedang marah-marah, karena
gerombolannya gagal menggasak desa yang dijadikan sasaran perampokannya.
Rodopalo bertubuh tegap, dengan sepasang alis yang tebal dan mata yang tajam.
Cambang bauk menghiasi wajahnya yang keras. Di dadanya ada kalung tengkorak yang
menambah kengerian siapa saja yang melihatnya.
Menurut laporan anak buahnya, ada seorang pemuda yang mengenakan rompi terbuat
dari kulit ular yang menggagalkan rencana mereka. Bahkan banyak yang tewas
ketika bertarung dengan pemuda yang selalu cengengesan itu.
Beberapa orang anak buahnya yang datang
menghadap hanya menundukkan kepala saja, ketika
Rodopalo mengebrak meja hingga beberapa kendi berisikan tuak segar berterbangan
dan pecah di lantai.
Tuak-tuak segar dengan harga yang cukup mahal itu tumpah. Wajahnya demikian
geram sekali. Jiwanya tidak pernah mau menerima apa yang telah terjadi.
Kemarahan sudah mengikatnya. Dan bila ia marah, maka sudah dapat dipastikan akan
terjadi sesuatu yang amat mengerikan. Amat menakutkan untuk dibayangkan.
Dia adalah sosok manusia yang kejam dan bengis.
Siapa pun yang melihatnya akan jatuh mental du-luan karena ngeri. Di samping
wajahnya sendiri memang menakutkan. Belum lagi dengan kesaktian yang
dimilikinya. Konon amat tinggi sekali.
"Bodoh, bodoh semua! Menghadapi seorang saja kalian tidak mampu" Itu bodoh
namanya!" Penuh kegeraman yang memuncak Rodopalo
memaki-maki. Mendengus, dengan wajah yang mem-biaskan kemarahan yang tak
terkirakan. Membuat para anak buahnya semakin ketakutan saja. Dan merasa kecil.
Mereka tahu, sebentar lagi mereka akan menghadapi kiamat dari Rodopalo.
Kakinya yang mondar-mandir menandakan bahwa dirinya amat marah. Tangannya
berkali-kali terbuka dan mengepal. Penuh dengan tenaga yang sanggup
menghancurkan batu sebesar kambing. Konon, Rodopalo memiliki tenaga dalam yang
amat dahsyat Bahkan terdengar kabar pula, bahwa dialah yang telah menghancurkan
batu besar kala sebuah jalan tertutup akibat gempa bumi kecil, yang telah
membuat semuanya menjadi panik.
Di dekatnya sejak tadi duduk bersila seorang wanita berusia kira-kira enam puluh
tujuh tahun. Wajah wanita itu mengerikan sekali. Sudah peot semuanya. Ia asyik mengunyah
sirihnya sambil sekali-sekali menganggukkan kepalanya.
Di sisinya tergeletak sebuah tongkat kayu berwarna hitam, dan di ujungnya ada
relief ular cobra.
Dia adalah Nyai Titir, guru dari Rodopalo yang bergelar, Wanita Berhati Iblis.
Kekejamannya tidak perlu disangsikan lagi. Nyai Titir sangat pandai dalam ilmu
racun. Sejak tadi ia hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja melihat kelakuan muridnya yang mencak-mencak. Dia membiarkan saja
muridnya itu marah-marah. Namun karena tak melihat hasil yang diinginkan di
hatinya, akhirnya ia berkata,
"Rodopalo..." panggilnya masih tetap tersenyum.
"Oh! Nyai Guru... Kenapa?" sahut Rodopalo dengan wajah memerah dan masih mondarmandir. Ia masih sangat geram sekali pada anak buahnya.
Hhh! Siapa sebenarnya pemuda yang memakai rompi terbuat dari kulit ular itu"
"He he he... tak pernah kusangka kalau anak buahmu sebodoh itu!" kata Nyai Titir
yang sejak tadi selalu berdiam diri dan hanya memperhatikan Rodopalo saja.
Pikirannya terus bekerja memikirkan siapakah pemuda yang telah mengacaukan
rencana muridnya. Sebenarnya pikirannya tiba pada satu ingatan, kalau di rimba
persilatan ini telah tersiar kabar tentang seorang pemuda yang mengenakan rompi
berkulit ular, yang berjuluk Pendekar Gila.
Apakah pemuda yang mengacaukan rencana muridnya itu adalah Pendekar Gila"
"Kau benar, Nyai Guru! Mereka bodoh! Bodoh!"
seru Rodopalo sambil menendang meja yang
langsung berantakan. Benda yang ada di atasnya
berpentalan. Tak ada yang berani mengangkat wajahnya.
"Kau tidak bisa menerimanya?" Mereka melakukan sebuah tindakan yang teramat bodoh! Dan aku tidak menyuruh mereka untuk
gagal dalam menjalankan perintahku?"
"Memang benar. Tetapi bila memang demikian lagi mau di apakan?" tanya Nyai Titir
sambil tersenyum penuh arti.
"Mereka harus mati!"
Mendengar kata-kata itu, sepuluh orang anak buahnya yang gagal menjalankan
perintahnya, semakin ciut saja hatinya. Mereka menundukkan kepala dalam-dalam
sementara hati mereka berdoa agar tidak menerima hukuman yang mengerikan itu.
Nyai Titir tersenyum, "Mengapa kau masih berdiam diri saja?"
Mendengar kata-kata Nyai gurunya, Rodopalo menghentikan langkahnya. Lalu
mendadak dia terbahak-bahak. Perutnya yang buncit berguncang-guncang.
"Ya, ya... mengapa aku harus marah-marah tak karuan" Ya, ya... hei kalian
semua!" bentaknya dengan suara yang menggelegar yang mampu membuat jantung copot
bagi yang mendengarnya. Karena saking kerasnya.
Tergagap semuanya mengangkat kepala dan
saling berpandangan dengan hati cemas. Lalu serempak dengan suara yang gugup
mereka mendesis. "Ya... iya... Ketua..."
"Kalian mendengar apa kata guruku?"
Tak ada sahutan, yang ada hanya kepala-kepala yang mengangguk dengan wajah
memucat. "Kalau kalian sudah mendengarnya, mengapa kalian tidak segera membunuh diri,
hah?" Serempak terdengar suara yang mengiba,
meminta belas kasihan dengan tubuh ditundukkan ke depan. Bagaikan ratapan
belaka. "Ketua... ampuni kami, Ketua... ampuni kami..."
"Hmm... meminta ampun, berani kalian melakukannya, hah"!" maki Rodopalo dengan suara mengejek.
"Ketua... beri kami kesempatan sekali lagi," kata salah seorang. "Kami
berjanji... tidak akan melalaikan tugas ini lagi...."
"Bagus!"
Wajah yang berkata tadi berseri-seri.
"Terima kasih Ketua. Terima kasih. Ketua memang junjungan kami...," katanya yang
serentak diikuti oleh teman-temannya yang memuja-muja Rodopalo.
Rodopalo terbahak melihat wajah-wajah pias yang kini gembira itu.
"Jadi kalian pikir, aku mengampuni" Ha ha ha...
lucu, lucu! Aku, Rodopalo ternyata masih memiliki rasa kasihan!" Tiba-tiba
Rodopalo memalingkan kembali wajahnya kepada para anak buahnya yang semakin ciut
nyalinya. Sepasang matanya memerah menandakan kejengkelan dan kemarahan.
Suaranya pun bagaikan dengusan kala dia berkata, "Kalian harus mampus sekarang!"
Wajah-wajah itu bagaikan melihat sesuatu yang amat mengerikan. Mulut mereka
terbuka bagaikan menanti masuknya jaringan yang jahat.
Dan serentak kepala-kepala itu menundukkan kepala. Lalu suara mereka terdengar
bagaikan meratap-ratap.
"Ketua... ampuni kami... Ampuni kami..."
"Berilah kami kesempatan sekali lagi, Ketua..."
Tetapi sosok di hadapannya itu malah tertawa lebih lebar. Lebih mengerikan.
Tawanya mengandung hawa kematian yang semakin tercium dan merebak.
'Tak akan pernah lagi aku mengampuni orang-orang macam kalian! Orang-orang yang
bodoh! Cepat cabut golok kalian dan penggal kepala kalian!"
"Ketua...."
"Bangsat! Kalian masih berani membantah juga, hah"!" maki Rodopalo dengan suara
yang menggelegar.
Menangis bagai anak kecillah mereka. Meratap-ratap minta dikasihani. Meskipun
mereka tahu siapa ketua mereka, yang sudah tentu tidak mengenal arti kasihan dan
ampun. "Percuma kalian menangis di hadapanku!" seru Rodopalo sambil menghentikan
langkahnya, kedua kakinya dibuka. Sepasang tangannya mengepal dengan keras.
Mendadak saja ia membuka kedua tangannya, mendorongnya ke depan sambil berseru,
"Mampuslah kalian semua!"
Serangkum angin keras menerpa kesepuluh orang yang sedang mohon ampun itu. Tubuh
mereka langsung terjengkang ke belakang diiringi dengan jeritan yang menyayat
hati. Lalu terlihatlah pemandangan yang amat mengerikan. Sepuluh buah kepala
jatuh bergulir di lantai. Dan darah pun bersimbah.
Melihat pemandangan yang mengerikan itu, Rodopalo malah terbahak-bahak.
"Itulah akibatnya bila berani melalaikan tugas dariku!" seru Rodopalo yang
membuat anak buahnya yang lain hanya menundukkan kepalanya. "Bila kalian gagal
menjalankan tugas dariku, maka inilah
akibatnya! Mengerti"!"
Sahutan 'mengerti' terdengar keras. "Singkirkan mayat-mayat itu! Buang ke Lembah
Setan!" seru Rodopalo sambil melangkah mendekati Nyai Titir.
Anak buahnya yang semuanya memakai baju
berwarna hijau itu segera menjalankan perintahnya.
Lalu mereka keluar dari aula besar yang terdapat di belakang.
"Hhh! Siapa sebenarnya pemuda berompi ular itu, Nyai Guru?" tanya Rodopalo
sambil menangkap tabung bambu yang berisi tuak merah, lalu menenggaknya dan
menghapus mulutnya yang masih tersisa tuak itu dengan lengannya.
Nyai Titir masih mengunyah sirihnya.
"Aku sudah memikirkan sesuatu sebenarnya."
"Nyai Guru tahu siapa pemuda keparat itu" Hhh!
Aku sudah tidak sabar untuk mengepruk kepalanya!"
sahut Rodopalo geram.
"He he he... tenang, tenang," kata Nyai Titir.
"Rodopalo... pernahkah kau mendengar kalau di rimba persilatan sekarang ini, ada
seorang pemuda yang mengenakan rompi dari kulit ular?"
"Aku. . tidak pernah mendengarnya, Nyai Guru."
Nyai Titir mendengus. Bagaimana kau bisa tahu kalau kau sibuk memuaskan nafsumu
pada gadis-gadis itu"
"Orang-orang rimba persilatan menyebutnya Pendekar Gila. Kalau memang dia yang
mengacaukan rencanamu, bisa jadi."
"Maksud Nyai Guru... ilmunya sangat tinggi."
"Bahkan terlalu tinggi."
"Hhhh! Seperti apa tampang pemuda itu" Aku sudah tidak sabar untuk membunuhnya!"
Rodopalo mengepalkan tangannya dengan geram, lalu meng-hentakkannya ke depan.
Serangkum angin keras
yang bergulung-gulung melontarkan beberapa buah kursi. Uniknya, kursi-kursi itu
seperti bisa dimain-kannya. Ibarat bermain layang-layang. Dilontarkannya ke sana
kemari, lalu dihempaskannya ke lantai hingga pecah berantakan. "Aku ingin tahu,
apakah Pendekar Gila mampu menghadapi 'Pukulan Angin Manik'ku?"
Nyai Titir tertawa.
"Pukulan Angin Manik itu sengaja aku ciptakan untukmu. Yakinlah, kalau pukulan
itu tak ada duanya.
Namun, sekarang aku hendak meninggalkan tempat ini."
Rodopalo terkejut.
"Mau ke manakah, Nyai Guru?"
"Aku mau menghubungi kerabatku yang telah lama mengasingkan diri. Dulu kami
dikenal dengan julukan Empat Malaikat Kahyangan. Hhh! Aku adalah orang pertama.
Kedua, Ki Rongsowungkul yang bergelar, Si Tua Penghuni Gunung Karang. Orang
ketiga adalah Nyai Priatsih, yang bergelar Si Tongkat Iblis. Dan orang keempat
dari Malaikat Kahyangan adalah Kuntala yang bergelar Kipas Maut. Dulu, Empat
Malaikat Kahyangan sangat menguasai rimba persilatan.
Hanya karena ada sedikit kesalahpahaman saja sehingga kami memutuskan untuk
memisahkan diri.
Tetapi sekarang aku yakin, dengan bergabungnya kembali Empat Malaikat Kahyangan,
kekuatan kita akan semakin bertambah, Rodo..."
Rodopalo menganggukkan kepalanya. Ia sangat setuju dengan usul gurunya. Namun
saat ini, ia sangat geram sekali dengan pemuda berompi kulit ular yang telah
menggagalkan rencananya. "Hhh!
Seperti apa saktinya Pendekar Gila itu?"
"Tetapi mengapa harus hari ini juga Nyai Guru berangkat?" tanyanya kemudian.
Nyai Titir berdiri dari duduknya. "Menurut pengamatanku, malam ini adalah malam
yang terbaik untukku. Hmmm, persiapkanlah kudaku, Rodo!"
Rodopalo segera bertepuk tiga kali. Dua orang anak buahnya dengan sigap mendekat
dan sedikit membungkuk, "Ada apa, Ketua?"
"Siapkan si Hitam untuk Nyai Guru," sahut Rodopalo
"Baik, Ketua."
Kedua anak buahnya segera menjalankan
perintahnya. Tak lama kemudian, Nyai Titir sudah berada di atas kuda hitam yang
gagah perkasa. "Aku tidak lama, Rodo," katanya.
"Aku akan menunggu, Nyai Guru. Dan jangan lupa... kalau Nyai Guru bertemu dengan
seorang gadis yang cantik, bawa saja kemari. Sudah lama aku menginginkannya...
hua ha ha ha..."
Nyai Titir cuma mendengus saja. Meskipun ia tahu kebiasaan dan kesenangan murid
tersayangnya. Tak lama kemudian kudanya pun segera melesat. Begitu kencangnya
karena Nyai Titir telah menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, sehingga kuda
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hitam itu seakan tidak membawa beban apa-apa.
Rodopalo segera masuk ke dalam. Dan memerin tahkan beberapa anak buahnya untuk
pergi ke perbatasan Gunung Kematian. Daerah hutan kecil namun lebat.
*** Rombongan iring-iringan itu melangkah perlahan-lahan. Ada tiga buah kereta kuda
yang sarat dengan
muatannya. Beberapa penunggang kuda berpakaian pendekar mengiringi kereta kuda
di mana ada dua orang gagah yang menjaga muatannya.
Di belakang kereta kuda itu pun mengiringi dua orang penunggang kuda dengan
pedang di punggung.
Jelas sekali kalau rombongan itu adalah para pedagang yang hendak berniaga ke
desa Sawo Jajar.
Di salah satu kereta kuda itu yang berada di tengah, satu sosok tubuh berpakaian
bagus sedang melihat keadaan di sekelilingnya. Ia adalah Baruna, pemilik barangbarang dagangan itu. Baruna sengaja menyewa orang-orang bayaran untuk menjaganya
dan barang-barangnya ke tempat tujuan.
Siang perlahan-lahan meranggas, namun
rombongan itu terus bergerak. Pimpinan mereka, Soko Pati yang mengenakan pakaian
putih-putih dengan selendang warna hitam di pinggang, mengangkat tangannya
ketika rombongan mulai memasuki Hutan Bawengan, yang terletak di perbatasan
Gunung Kematian.
"Kita beristirahat di sini."
Tak lama terlihatlah kesibukan di hutan
Bawengan. Beberapa orang menjaga keamanan.
Mereka mondar-mandir dengan gagah. Beberapa orang segera mendirikan tenda
darurat dan memasak air. Mereka pun lalu makan dengan lahapnya. Setelah itu
memberi kuda-kuda mereka makan dan minum.
Namun belum lagi mereka melepaskan lelah
dengan sempurna, mendadak saja bermunculan berpuluh orang bersenjatakan golok
yang amat tajam.
Dan di antara mereka berdiri seorang laki-laki yang bertubuh tegap dengan kalung
tengkorak di dadanya.
Soko Pati bersiaga. Tangannya mengepal, ia mencium sesuatu yang tak enak
sekarang. Begitu
pula dengan teman-temannya. Tangan mereka pun berada di hulu golok, siap dicabut
dan diayunkan. Tetapi Soko Pati yang tidak mau mencari
keributan, mengangkat kedua tangannya tanda bersahabat. Baginya, jalan kekerasan
tak ada gunanya. Apalagi ia melihat wajah-wajah di hadapannya itu begitu amat
ganas dan sepertinya kelaparan, siap menerkam mangsa yang berada di hadapannya.
Hal ini membuat cuping hidungnya seolah mencium darah.
"Sabarlah...," desisnya pada teman-temannya yang sudah amat bersiaga. Sementara
dalam kereta kuda kedua, Baruna menjadi pias. la ngeri membayangkan apa yang
akan terjadi. Soko Pati memperhatikan orang-orang yang berdiri di hadapannya, yang
memandangnya dengan wajah beringas. Tidak sedikit pun terlihat kesan bersahabat.
"Kisanak sekalian... ada apakah gerangan Kisanak sekalian mengganggu saat
istirahat kami?" katanya dengan suara yang sopan dan bibir yang menguak senyum.
Laki-laki yang berkalung tengkorak itu mendengus.
Sepasang matanya berkilat-kilat, menandakan sebuah kebencian yang amat sangat.
"Hhh! Kisanak... jangan berpura-pura tidak tahu!"
katanya dengan nada membentak.
"Apa maksud, Kisanak?" tanya Soko Pati dengan nada suara yang tenang. Dia bisa
menduga, laki-laki inilah yang memimpin gerakan mereka. Terlihat hanya dialah
yang bersuara sementara yang lain terdiam mendengarkan, namun tetap dengan golok
di tangan. Dan golok itu siap menerkam mangsanya!
"Hhh! Serahkan semua yang kau bawa kepadaku, Kisanak" Bila kau melakukannya,
sudah pasti aku
tidak akan mengusik dan mengganggu
perjalananmu..."
Soko Pati yang sudah menduga akan niat jahat orang-orang beringas di hadapannya,
hanya tersenyum saja. Ketenangannya sungguh benar-benar nyata.
"Hmm... apakah tidak salah pendengaranku?"
'Tidak!" "Mengapa kalian harus mengharuskan aku untuk menyerahkan harta milikku ini?"
"Jangan banyak bacot!"
"Aku sungguh tidak mengerti."
"Hmm... agaknya kau mau bermain-main denganku, hah"!" bentak si kalung tengkorak
yang tak lain adalah Rodopalo. Semenjak kegagalan anak buahnya menyerang Desa
Sawo Jajar, Rodopalo memang sengaja memimpin aksi perampokannya. Karena ia
berharap, suatu saat akan bertemu dengan Pendekar Gila.
"Kisanak... bukankah ini barang-barang milikku, mengapa harus kuserahkan
kepadamu"!"
"Keparat!"
"Aku tidak mengerti!" kata Soko Pati yang mencoba mengulur waktu.
"Jangan banyak lagak!"
Soko Pati mendesah. Rasanya tidak mungkin bisa mengulur waktu lagi. Manusia
berkalung tengkorak ini nampak amat kejam. Dan tentunya tak segan-segan
mengayunkan senjatanya untuk memusnahkan orang yang membuatnya marah.
"Bagaimana bila tidak kuserahkan?"
"Berarti kau memancing macan yang sudah ada di hadapanmu untuk bangun!" bentak
Rodopalo dengan suara marah.
"Hmm... agaknya aku tidak pernah menyangka, kalau di muka bumi ini masih banyak
terdapat orang-orang jahat dan serakah! Di antaranya kau!"
"Keparat!"
'Yah, dan kau pun tahu bukan apa jawabanku?"
"Anjing buduk! Kau menghendaki mati rupanya!"
"Sebenarnya tidak, tetapi daripada kebebasanku dijajah oleh kau, lebih baik aku
dan kawan-kawanku ini melawanmu!" kata Soko Pati tetap dengan suara yang tenang.
"Bangsat! Kau memang ingin mampus rupanya!"
"Atau... kau yang ingin mampus, karena telah lancang berani mengganggu
ketenangan kami!"
"Bangsat!"
"Dan kau lebih bangsat lagi, karena kau dan teman-temanmu itu kerjanya hanya
mengganggu ketenangan orang lain dan mengambil harta benda Rodopalo sudah tidak
kuasa lagi menahan
amarahnya. Ia memang sengaja berlama-lama karena menunggu kemunculan Pendekar
Gila, namun setelah ia yakin Pendekar Gila tidak akan muncul, ia pun segera mengambil
keputusan. Sambil membentak keras ia menenang, "Buat lumat mereka!
Ratakan dengan tanah!"
Tanpa perlu dikomando sekali lagi, anak buahnya pun segera menerjang dengan
ganasnya. Sudah tentu Soko Pati pun segera berbuat yang sama. Ia pun mengomandoi orangorangnya seraya ia sendiri, ikut terjun ke medan laga.
"Jaga Tuan Baruna!" serunya dan beberapa
orangnya segera bersalto dari kuda mereka, hingga di sisi kanan dan kiri kereta
kuda yang dinaiki Baruna.
Baruna menjadi panik. Ia menjerit-jerit ketakutan.
Pertempuran memang tak bisa dielakkan lagi.
Masing-masing sudah saling menyerang dan
berupaya menjatuhkan lawan dengan membela diri.
Suara senjata beradu, pekikan yang dahsyat dan suara jeritan membaur menjadi
satu. Soko Pati segera menghadapi si kedok hitam yang terlihat paling ganas.
"Hhh! Kau punya nyali juga, Bangsat!" maki Rodopalo sambil tertawa-tawa.
Soko Pati yang merasa memang sudah saatnya untuk membela diri pun bersiap dengan
goloknya. "Tidak ada jalan lain, bukankah kau sendiri yang menghendaki hal seperti ini"!"
"Dan kau akan mampus di tanganku!"
"Kita lihat saja nanti, siapa yang akan berkalang tanah!" sahut Soko Pati gagah.
"Bangsat keparat! Lihat serangan...!" seru Rodopalo dan tubuhnya pun segera
melesat ke muka diiringi dengan jeritan yang keras.
Soko Pati pun berbuat yang sama. Dengan tak kalah garangnya ia pun memapaki
serangan itu. Trang! Trang!! Memang pertempuran tak bisa dielakkan lagi, karena senjata-senjata telah
terangkat. Soko Pati sendiri berusaha sekuat tenaga, di samping ingin
menjatuhkan lawannya ini, juga ingin melindungi Baruna yang telah menyewanya.
"Ha ha ha... lebih baik menyerahkan saja barang-barang bawaanmu itu, daripada
kau mati konyol!"
tertawa Rodopalo sambil terus mencecar. Senjatanya berkelebat ke sana kemari
dengan dahsyatnya. Ia masih mencoba menggunakan senjatanya. Padahal biasanya, ia
selalu bertangan kosong. Terutama dengan jurus 'Pukulan Angin Manik'nya. Tetapi
ia pun secara tidak langsung hendak mencoba jurus-jurus
ilmu goloknya. Setiap gerakan yang ia lakukan, menimbulkan angin yang berdesis. Jurus-jurus
yang diperlihat-kannya teramat kejam. Namun Soko Pati hingga sejauh ini masih
bisa mengimbanginya dengan permainan goloknya yang hebat.
Perlahan-lahan terdengar jeritan kematian dari mereka. Soko Pati bisa menduga,
kalau satu persatu orang-orangnya menemui ajal. Para gerombolan ini teramat
kejam dan sakti. Mereka nampaknya tidak sanggup untuk melayani mereka.
"Ha ha ha... bodoh! Kau bukan hanya
mengorbankan hartamu, tetapi juga mengorbankan nyawamu!" desis Rodopalo dan
mendadak ia bersalto ke angkasa, lalu meluncur deras ke arah Soko Pati dengan
senjata yang mengarah ke dada.
Sepersekian detik saja Soko Pati lengah, habislah dia. Untungnya ia masih sempat
berguling ke kiri dan mendadak pula tubuhnya bagaikan terbang
menyerbu ke arah Rodopalo yang masih bergerak meluncur.
Rodopalo terkejut.
Cepat ia mengangkat tangannya dan menangkis.
Trang! Namun Soko Pati yang melihat adanya
kesempatan untuk terus menyerang, melakukannya lagi. Dia berbalikkan tubuh dan
memutar goloknya pindah ke tangan kiri, lalu dikibaskannya dengan ganas.
Wuuuttt! Bila saja Rodopalo tidak menghindar, maka lepaslah kepalanya dari lehernya. Hal
ini membuatnya begitu amat geram dan marah. Ia menggeram dengan hebat.
"Bangsat busuk! Mampuslah kau! Hiaaaattt!"
Dan mendadak kembali ia menyerang. Kali ini dengan teramat ganas. Ia tidak suka
lawannya bisa mempermalukannya dengan gerakan seperti itu.
Rasanya menyakitkan sekali.
Tentu saja Rodopalo yang memiliki tabiat
mengerikan dan ganas itu, tidak terima dengan perlakuan yang diperlihatkan oleh
Soko Pati. Ia menyerbu dengan ganasnya.
"Mampuslah kau!"
Kali ini Soko Pati yang kewalahan menghadapi serangan-serangan yang ganas dari
lawannya. Serangan-serangannya begitu cepat dan mencecar titik kematian dari tubuh Soko
Pati. Serangan yang benar-benar hebat dan mengejutkan. Dan tak mengenal ampun.
Sebisanya Soko Pati bertahan. Ia adalah seorang jago dari timur yang telah lama
dikenal dengan julukan si Golok Maut. Telah berulangkali orang-orang
mempercayakan dirinya untuk menjaga keselamatan mereka, dan selama ini Soko Pati
selalu berhasil membuktikan diri dalam menjalankan tugasnya.
Namun kali ini ia nampaknya gagal. Berkali-kali bagian tubuhnya terkena pedang
Rodopalo. Melihat darah yang keluar dari berbagai bagian tubuh Soko Pati,
semakin membuat Rodopalo bertambah buas dan marah. Ia terus mencecar dengan
ganasnya. Hingga suatu ketika, senjatanya mengenai paha Soko Pati yang langsung ambruk.
Tak kuasa berdiri lagi. Wajahnya menampakkan kesakitan yang luar biasa.
Goloknya terlepas.
Kini ia merasa sedang mandi dalam keadaan telanjang bulat, tanpa mengenakan apaapa. Sama seperti yang dirasakannya sekarang, ia tak memegang senjata apa-apa. Itu adalah
kekalahan bagi seorang pendekar yang biasa bersenjata. Sama seperti halnya
dengan pendekar yang selalu mempergunakan tangan kosong. Saat seperti yang
dialami oleh Soko Pati, pendekar itu telah buntung kedua tangannya. Rodopalo
menghentikan serangannya.
"Ha ha ha... apakah kau masih ingin melanjutkan pertarungan ini?" ejeknya
terbahak-bahak, sementara mayat-mayat sudah bergelimpangan. Dari rombongan Soko
Pati, sudah banyak sekali yang mati. Darah sudah bersimbah.
Sambil menahan rasa sakit di hati maupun di bagian-bagian tubuhnya, Soko Pati
mendengus. "Bangsat! Jangan kau pikir aku akan menyerah begitu saja" Sejengkal pun aku tak
akan mundur dari hadapanmu!"
"Bagus! Aku menyukai keberanianmu itu!"
"Bangsat perampok! Kerjamu hanya menyakiti dan menyabet harta milik orang lain
saja"!"
"Bukankah itu suatu hal yang menyenangkan?"
"Apakah tidak kau pikir, betapa kejamnya kau yang menghabisi nyawa orang lain
begitu saja?"
"Dan setelah mendengar kata-katamu itu, apakah kau pikir aku akan membiarkan kau
hidup begitu saja?" ucap Rodopalo dengan nada mengejek yang menyakitkan.
"Tidak... aku tidak akan pemah melepaskan lawanku yang hendak kujadikan mangsa
begitu saja" Tak terkecuali kau!"
"Keparat!"
"Aku sudah bosan berlama-lama berbicara
kepadamu! Kini terimalah ajalmu, Bangsat!"
Lalu tubuhnya pun melenting dan melayang
menyerbu dengan ganasnya.
Pekikannya teramat keras.
Soko Pati yang menahan rasa sakit di pahanya, tak kuasa lagi untuk menggerakkan
tubuhnya. Ia hanya pasrah saja menerima ajal yang hampir tiba.
Perlahan-lahan dipejamkannya matanya, seakan ia telah siap menerima ajalnya.
Namun mendadak terdengar suara, "Trang!" yang amat keras. Salah seorang anak
buah Soko Pati dengan nekat menyerbu dan menahan serangan yang dilancarkan oleh
Rodopalo. Sudah tentu kejadian itu membuat Rodopalo kaget, sekaligus menjadi marah. Maka
ia pun mengalihkan serangannya kepada orang yang berani menahan serangannya itu.
"Bangsat! Rupanya kau dulu yang harus mampus!"
serunya terus mencecar.
Tak memerlukan waktu yang cukup lama, karena Rodopalo berhasil melepaskan kepala
orang itu dari lehernya. Lalu ia mendengus dengan nafas turun naik.
"Keparat! Itulah ganjaran bagi orang yang berani menghalangi musang murka!"
makinya. Lalu ia menoleh kembali kepada Soko Pati, "Kini tiba giliranmu untuk
mampus!" Mendadak saja ia membuka kedua kakinya agak lebar. Lalu kedua tangannya
direntangkan ke samping dan dibawanya ke atas, lalu disatukan di dada. Gerakan
itu sangat cepat dilakukan, merupakan gerakan pertama dari 'Pukulan Angin Manik'
miliknya. Dan mendadak saja ia menggerakkan kedua tangannya ke depan secara
bersamaan. Serangkum angin dingin menerpa ke arah Soko Pati.
Ambruklah Soko Pati menjadi mayat yang
sebelumnya melengkingkan suara jeritan yang teramat keras.
Terbahak-bahak manusia kejam itu.
"Ha ha ha... itulah ganjaran bagi orang yang berani menentang keinginan
Rodopalo!" serunya sambil melangkah mendekati mayat Soko Pati dengan langkah
yang pasti dan lebar. Seakan ingin menunjukkan, bahwa ialah orang yang paling
berkuasa di muka bumi ini.
Lalu menendang mayat itu setelah meludahinya berkali-kali. Dan ia terbahak-bahak
sendiri dengan suara yang terdengar menakutkan, "Ha ha ha... tak seorang pun
yang bisa menghalangi keinginanku!"
Tiba-tiba ia menggeram. "Pendekar Gila, tak lama lagi kau pun akan mampus di
tanganku!"
Lalu ia menoleh kepada para anak buahnya yang masih bertempur dengan hebat, dan
berseru, "Cepat bereskan! Aku sudah bosan melihatnya!"
Tak perlu menunggu waktu lama lagi, para
gerombolan itu semakin menyerang dengan ganasnya. Dan tak lama kemudian,
semuanya pun ambruk berkalang tanah.
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Salah seorang menendang pintu kereta kuda di mana Baruna sedang meringkuk
ketakutan. Ditarik-nya tubuh itu dengan hentakan keras sehingga terjerembab ke
tanah. Lalu tanpa banyak cakap, diayunkannya pedangnya ke leher Baruna. Baruna
yang belum sempat berkata apa-apa pun ambruk dengan leher putus.
Kemudian gerombolan itu dengan leluasa dan sambil bernyanyi-nyanyi menjarah
harta milik Baruna.
Namun masih ada yang belum puas begitu saja melepaskan mayat yang telah mati,
mereka menendang dan meludahi. Bahkan masih ada yang mengayunkan goloknya dengan
perasaan geram.
"Ketua... tidak ada wanita di sini," kata salah seorang.
"Bangsat! Kembali ke markas! Sia-sia aku muncul, karena Pendekar Gila tidak
muncul di sini! Hhh! Sia-sia aku memperlihatkan 'Pukulan Angin Manik'ku."
Tak lama kemudian, barang-barang hasil jarahan itu mereka bawa ke markas mereka
dengan kegembiraan yang luar biasa. Sambil masih terus bernyanyi-nyanyi.
Meninggalkan mayat-mayat yang bergeletakan.
Siang pun berganti senja. Senja terasa amat kelam.
Dan di senja itulah baru saja terjadi pembantaian besar-besaran yang amat
mengerikan. Selang beberapa lama, terlihat satu sosok di antara mayat yang bergelatak
bergerak. Rupanya ia belum mati. Tadi hanya pingsan saja.
Melihat keadaan di sekelilingnya, orang itu menjadi amat sedih sekali. Lebih
sedih melihat keadaan Soko Pati yang terluka parah dan kini telah mampus.
Beringsut sambil dengan menahan rasa sakitnya, ia bergerak ke arah Soko Pati.
Hatinya semakin hancur melihat kenyataan itu. Lalu sambil mengerahkan sisa-sisa
tenaganya yang terakhir, ia naik ke atas kudanya dengan susah payah setelah
mengucapkan selamat jalan pada Soko Pati.
Dihelanya tali kekang kuda itu agar kuda bergerak.
Dari tubuhnya banyak mengalirkan darah. Dan dira sakannya hawa dingin dan panas
yang bermain di sekujur tubuhnya. Terutama bila angin berhembus kencang, terasa
sangat menyiksa sekali.
Lalu perlahan-lahan ia tertelungkup di atas kudanya. Seakan mengerti ada orang
yang membutuhkan
tenaganya agar cepat berlari, kuda itu pun melesat dengan cepatnya. Sangat cepat
sekali menuju ke satu tempat
*** 2 Pagi sudah menjelang beberapa saat. Matahari pun sudah tinggi, sinarnya
sepenggalah. Menaungi seisi Hutan Bawengan. Angin berhembus semilir, seakan
memberikan kesejukan pada siapa saja. Namun bau yang datang pagi itu sangat
tidak enak, sangat amis dan memuakkan.
Bau itu pun tercium oleh si penunggang kuda berwarna putih. Ia seorang gadis
yang berparas jelita.
Mengenakan pakaian ringkas berwarna merah.
Wajahnya bulat telur dengan kedua alis hitam legam.
Kulitnya sawo matang, mulus dan langsat. Sepasang matanya jernih dan bening,
sebening air telaga.
Hidungnya bangir dan sepasang bibir yang tipis ranum, semakin menambah
kejelitaannya. Namun, di punggungnya terdapat sepasang pedang kembar yang
bersilangan, menandakan di balik kejelitaannya juga terdapat darah pendekar yang
mengalir. Gadis itu bernama Sekar Wangi. Mendadak ia menghentikan lari kudanya. Memandangi
alam sekitarnya yang penuh dengan pepohonan tinggi.
Cuping hidungnya bergerak-gerak, lalu mendengus karena bau amis itu sangat
menyesakkan nafasnya.
"Hhh! Aku seperti berada di tempat pemotongan hewan," katanya dalam hati. "Bau
amis ini berasal dari mana?"
Lalu ia memacu kudanya dan dirasakannya bau amis itu semakin menyengat, semakin
menggoda perasaannya untuk mengetahui dari manakah asal bau amis dan busuk itu.
Alangkah terkejutnya Sekar
Wangi ketika matanya melihat berpuluh mayat bergeletakan di hadapannya. Ada tiga
buah kereta kuda yang hancur berantakan, sementara kuda-kuda yang menariknya
entah ke mana. "Oh, Gusti Allah... apa yang telah terjadi?" desisnya sambil melompat turun dari
kudanya. Gerakannya sangat ringan sekali, menandakan ilmu yang dimiliki gadis
itu sangat tinggi. Lalu ia berjalan perlahan-lahan, memeriksa mayat-mayat itu
satu persatu. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya, "Bukan main, rupanya telah terjadi
pembantaian besar-besaran. Hhh! Rupanya apa yang dikatakan Guru benar, kalau di
dunia ini sangat banyak sekali kejahatan."
Gadis itu terus berjalan dan memeriksa mayat-mayat itu. Dan berkali-kali ia
menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat mayat-mayat yang sangat mengerikan.
Karena, mayat-mayat itu ada yang buntung kepalanya, lengannya, kakinya,
perutnya. Bahkan beberapa mayat memburai isi perutnya.
Membuat gadis itu ingin muntah, namun ditahannya.
Karena, ia ingin mengetahui apakah penyebab dari semua ini.
"Sepertinya mereka para pedagang," gumamnya lagi. "Hmmm... mungkin dijegal oleh
komplotan perampok yang sangat ganas."
Tiba-tiba gadis itu mendadak menoleh dan
sepasang matanya yang jernih memicing.
"Hhh! Rupanya ada Pengintip busuk yang tidak mau menampakkan batang hidungnya!"
dengusnya keras. Lalu bertolak pinggang, "Manusia pengecut, keluar kau!"
"He he he he... hebat, hebat... gadis manis yang sangat hebat...," terdengar
kekehan itu dan bersamaan dengan munculnya satu sosok tubuh dari atas pohon. Ia seorang pemuda
berpakaian rompi terbuat dari kulit ular. Di pinggangnya terselip sebuah suling
yang di ujungnya ada ukiran naga. la tak lain dari Pendekar Gila.
Sekar Wangi mendengus melihat siapa yang
muncul. "Rupanya manusia seperti kau yang bertindak pengecut!"
Sena menggaruk-garuk kepalanya. "He he he...
pengecut, pengecut" Tidak, aku tidak pengecut... he he he..."
Mata Sekar Wangi memicing. Tiba-tiba ia membentak keras, "Rupanya manusia busuk
seperti kaulah yang telah melakukan pembantaian seperti ini!"
Sena terbengong sejenak. Lalu cengengesan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku" Wah, wah... sudah tentu tidak. He he he...
kau salah sangka, Manis. Ya, ya... kau manis. Hmm...
tidak, tidak... kau jelita. Ya, ya... Jelita Penunggang Kuda... Wah, wah...
bagus itu, bagus sekali..."
Sekar Wangi mengerutkan keningnya. Merasa aneh melihat sikap pemuda itu. Tetapi
ia sudah salah sangka. Pikirnya, pasti pemuda yang bersikap gila inilah yang
melakukan pembantaian ini. Dengan mendadak saja ia menggerakkan tangannya ke
belakang dan kini sepasang pedangnya sudah berada di tangan. Sangat cepat sekali
gerakan yang dilakukannya.
"Kau harus membayar nyawa orang-orang ini, Pemuda Gila!" bentaknya dan
menyilangkan kedua tangannya di dada, bertanda ia siap menyerang.
Sena masih cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepalanya. "Tidak, aku tidak melakukannya... sumpah!
Tetapi... he he he... pasti kau yang melakukannya, bukan?"
"Aku?" Sekar Wangi melotot. "Sudah tentu tidak!
Pasti kau yang melakukannya!"
"Aku?" Sena mengikuti gerakan yang dilakukan oleh Sekar Wangi. "Sudah tentu
tidak! Pasti kau yang melakukannya!"
Sekar Wangi merasa diejek dengan sikap Sena.
Ia menggeram marah. "Kau! Pasti kau!"
"Kau! Pasti kau!" sahut Sena menirukan seruan Sekar Wangi.
"Brengsek!" serunya sambil menghentakkan kakinya.
"Brengsek!" Sena menirukan gerakannya sambil cengengesan.
Wajah Sekar Wangi memerah padam. Ia jengkel ditirukan seperti itu. Mendadak saja
tubuhnya melenting ke arah Sena, kedua tangannya yang menggenggam pedang siap
dihujamkan ke tubuh Sena. "Hhh! Lebih baik kau mempertanggungjawabkan
perbuatanmu, Orang gila!"
Pedangnya berkelebat dua kali, merupakan satu rangkaian jurus pedang yang
tangguh. Sena sendiri sejenak cukup terkejut. Karena sebelum pedang itu
ditebaskan pada tubuhnya, ia sudah merasakan hawa panas yang menerpa tubuhnya.
"Haittt! Hebat, hebat!" serunya sambil melompat menghindar. "Sayang, dilakukan
dengan penuh amarah! Tetapi... he he he... kalau tidak begitu, bisa buntung
leherku nanti...."
Sekar Wangi yang sudah marah dan merasa yakin kalau pemuda inilah yang harus
bertanggungjawab
atas kematian orang-orang ini, semakin mencecar.
Sabetan dan tusukan pedangnya dilakukan secara beruntun. Hawa panas setiap kali
ia menggerakkan pedangnya terus dirasakan oleh Sena. Merupakan hawa yang mampu
menghanguskan tubuh, terutama bila mengenai tubuhnya.
Namun Sena masih terus menghindari saja.
Karena ia sendiri yakin kalau pertarungan ini hanyalah salah paham belaka. Ia
sendiri tidak yakin kalau gadis itu yang melakukan pembantaian terhadap orangorang ini. Karena bau bangkai sudah merebak ke hidungnya.
"Nona Manis... lebih baik kita sudahi saja pertarungan ini," katanya sambil
terus menghindar. "He he he... kau lebih manis bila tidak sedang marah."
"Kurang ajar!" Sekar Wangi terus mencecar. Mendadak ia bersalto ke belakang dan
ketika hinggap di bumi, kedua pedangnya sudah bersilangan di dadanya. "Hhh!
Rupanya kau punya kebolehan juga, Orang gila! Sekarang lihat serangan!"
Kedua tangan Sekar Wangi bergerak, ke atas dan ke bawah. Ini merupakan jurus
'Sepasang Pedang Menguasai Mata Angin'. Suatu jurus yang sangat dahsyat sekali.
Karena ke mana lawannya pergi, pedang-pedang itu akan mengejar, persis menguasai
penjuru angin Sena sendiri sudah memperhitungkan kehebatan ilmu pedang yang diperlihatkan
Sekar Wangi. Tetapi seperti sifatnya, ia hanya tersenyum-senyum saja.
He he he... lumayan, karena pedangmu itu seolah mengipasi tubuhku," katanya
terkekeh, padahal justru hawa panas yang keluar dari ayunan pedang itu. "Kurang
ajar! Mampuslah kau! Heeeeaaa!" sambil
berseru keras, Sekar Wangi menenang dengan hebat Pedangnya terus mencecar Sena
ke mana Sena menghindar. Dan beberapa batang pohon yang terkena babatan
pedangnya segera hangus dan mengeluarkan asap. Jurus pedang yang sangat hebat
"Hei, apakah kau hanya bisa menghindar saja?"
bentak Sekar Wangi.
Sampai sekian lamanya Sena belum juga membalas. Karena, ia yakin ini adalah
salah paham belaka. Tetapi lama kelamaan ia bisa kewalahan juga.
Mendadak sambil bersalto ia meraih sebatang ranting yang segera dialiri tenaga
dalamnya. Dengan ranting itulah ia menangkis setiap serangan Sekar Wangi.
Justru Sekar Wangi yang kini diam-diam merasa kagum. Karena ketajaman pedangnya
sudah tidak pernah disangsikannya lagi. Baja yang terkeras sekali pun akan putus
seketika. Tetapi sang lawan hanya menggunakan sebatang ranting. Itu menandakan
betapa tingginya tenaga dalam lawannya.
"Wah, wah... mengapa jadi pias seperti itu, nah?"
ejek Sena yang dengan memadukan jurus 'Kera Gila Melempar Buah' dengan ranting
yang dipegangnya, justru membuat Sekar Wangi terdesak.
Karena, Sekar Wangi seolah-olah melihat kalau ranting itu akan dilemparkan Sena,
sehingga ia sangat berkonsentrasi dengan lemparan ranting itu.
Padahal sebenarnya tidak. Jurus 'Kera Gila Melempar Buah' memang merupakan jurus
yang mirip dengan seekor kera yang sedang melempar buah, padahal hanya angin
saja yang mampu menahan serangan lawannya.
Mendengar ejekan Sena, Sekar Wangi mengubah jurusnya, 'Sepasang Pedang Kembar
Membunuh Naga'. Jurus ini lebih dahsyat dari jurus yang pertama.
Karena, tenaga dalam dan hawa panas yang
terangkum menjadi satu, menimbulkan bunyi seperti ledakan. Bunyi itu bukan hanya
mampu mengecoh lawannya, juga mampu menghancurkan lawannya.
"Wah, wah... ini baru seimbang! Bagus, bagus...
gadis manis seperti kau ini ternyata memiliki banyak ilmu... He he he...
bagaimana kalau kau jadi istriku?"
kata Sena sambil terus menghindar dan sekali-sekali menyerang tetapi ia tidak
bermaksud melukai. 'Tetapi tidak, punya bini yang galak kayak kau ini, bisa
gawat nanti... he he he...."
Wajah Sekar Wangi memerah lagi. Sambil
meludah jijik dan meneruskan serangannya, ia berseru, "Siapa kesudian menjadi
istri orang gila, hah"!"
"Benar, benar... siapa yang mau, ya?" sahut Sena sambil terkekeh-kekeh. "Tetapi,
kau mau, bukan?"
"Kurang ajar!"
"He he he... biasanya begitulah gadis-gadis... pura-pura tak mau padahal hatinya
mau..." Sekar Wangi semakin jengkel diejek seperti itu. Ia semakin mempergencar
serangannya. Sena sendiri merasa kalau ia tidak segera mengalahkan Sekar Wangi, bisa-bisa
pertarungan ini akan berlangsung lama. Padahal kedatangannya ke Hutan Bawengan
untuk menyelidiki Gerombolan Iblis dari Pacitan yang bermukin di Gunung
Kematian. Soalnya, kemarin malam ketika Sena sedang bercakap-cakap dengan Ki Lurah Somata,
mendadak muncul seekor kuda dengan penunggangnya yang luka parah. Dan sebelum
ajalnya, si penunggang kuda itu hanya mampu berkata pelan dan terpatak-patah,
"Kami., dirampok...."
Hanya itu. Karena ajal lalu menjemputnya.
Sena pun bermaksud menyelidiki tentang hal itu.
Yang tidak disangkanya, ia bertemu dengan Sekar Wangi yang justru menganggapnya
sebagai pelaku dari pembantaian itu. Sena sekarang yakin, kalau mayat-mayat yang
bergeletakan di hadapannya, adalah teman-teman dari si penunggang kuda yang
tidak sempat menyebutkan namanya.
Mengingat hal itu, mendadak saja Sena melemparkan ranting yang dipegangnya dan
membuat Sekar Wangi menjadi kalang kabut Dengan gerakan yang cepat ia membabat
ranting itu hingga terpotong-potong.
Itu adalah pengalihan perhatian dari Sena, karena begitu Sekar Wangi sibuk
mempertahankan diri dari lemparan rantingnya, ia segera melesat maju. Dan
menubruk tubuh Sekar Wangi sehingga keduanya jatuh bertindihan.
"Ih!" desis Sekar Wangi sambil berusaha mem-bebaskan diri. Tetapi Sena segera
menotok urat kakunya, sehingga gadis itu terdiam.
Masih dengan menindih tubuh Sekar Wangi,
Pendekar Gila cengar-cengir. "Hehehe... asyik juga.
Empuk lagi. Jangan marah, jangan marah, Nona Manis" Kalau tidak kulakukan
seperti ini, kau tidak akan mau diam, bukan" He he he... tetapi asyik juga..."
"Lepaskan aku! Lepaskan! Kita akan bertarung sampai mati, Pengecut!" seru Sekar
Wangi dengan wajah merah padam. Ia malu diperlakukan seperti ini.
Sena pun perlahan-lahan bangkit dari tubuh Sekar Wangi dan duduk di sebelahnya
sementara Sekar Wangi menjerit-jerit marah dengan mata melotot.
"He he he... jangan marah. Kita hanya salah paham saja, Nona.... Atau... kau
senang ya aku tindih" He he he... jangan kuatir, masih banyak
kesempatan..."
Lalu Sena bangkit.
"Maaf... aku masih ada tugas yang harus kuse-lesaikan. Mudah-mudahan kita
bertemu lagi," katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya. Lalu.... Wuuutt!
Tubuhnya segera menghilang dari pandangan.
Tinggal Sekar Wangi yang menjerit-jerit minta dilepaskan dari totokan Sena.
Namun mendadak saja ia bisa melepaskan dirinya. Rupanya totokan yang dilakukan
Sena hanya bersifat sementara.
Sekar Wangi segera melompat mengejar, tetapi Pendekar Gila sudah tidak nampak
lagi di matanya. Ia menghentakkan kakinya jengkel. Malu karena diperlakukan
seperti itu oleh Sena. Ia berjanji, akan membalas rasa malunya.
Lalu dinaikinya kudanya dan dihentakkannya dengan cepat. Harinya masih marah
pada Pendekar Gila. la bermaksud akan membalas perbuatan Pendekar Gila. Tanpa
sadar, kudanya menuju ke Gunung Kematian.
Siapakah sebenarnya Sekar Wangi yang dijuluki Pendekar Gila sebagai, Jelita
Penunggang Kuda"
*** Di pesisir Laut Kidul, terlihat satu sosok tubuh yang mengenakan pakaian ringkas
berwarna merah sedang berlatih memainkan ilmu pedangnya. Ia adalah Sekar Wangi,
gadis berusia tujuh belas tahun yang telah lama digembleng oleh Nyai Harum Tari,
yang dikenal sebagai Penjaga Laut Kidul.
Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyai Harum Tari sangat sayang pada Sekar Wangi, nama yang diberikannya ketika ia
menemui gadis itu selagi bayi. Dan di sisi bayi perempuan montok yang
sedang menangis itu tergolek satu sosok tubuh wanita yang sudah menjadi mayat.
Dengan hati iba, Nyai Harum Tari menguburkan mayat wanita itu yang ia yakin
adalah ibu dari bayi perempuan itu. Lalu membawa bayi itu pulang.
Memberinya nama dan membesarkannya. Dari
selentingan kabar, Nyai Harum Tari mendengar kalau desa yang ada di sebelah
utara Laut Kidul telah diserbu oleh Gerombolan Iblis dari Pacitan, daerah
selatan dari Laut Kidul.
Nyai Harum Tari pun melakukan pembalasan ke Pacitan seorang diri. Dan berhasil
mengusir gerombolan itu dari sana. Yang sekarang entah berada di mana.
Lalu ia pun mendidik dan menggembleng Sekar Wangi dengan ilmu yang dimilikinya.
Ternyata gadis itu memiliki otak yang sangat cerdas. Pada suatu malam, Nyai
Harum Tari menceritakan asal-usul Sekar Wangi yang hanya bisa menangis pilu
mendengar ceritanya.
"Lalu di manakah Gerombolan Iblis dari Pacitan itu bermukim sekarang, Nyai?"
tanyanya tersendat.
"Aku tidak yakin mereka berada di mana. Tetapi selentingan kabar, aku mendengar
mereka bermukim di Gunung Kematian."
"Oh, di manakah gunung itu berada, Nyai?" "Jauh dari sini, Sekar." Sekar Wangi
terdiam. Air matanya semakin menitik. Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya,
"Nyai... aku ingin membalas kematian kedua orang tuaku yang telah mereka bunuh."
Mendengar kata-kata Sekar Wangi, Nyai Harum Tari hanya menundukkan kepalanya. Ia
bisa merasakan dendam yang tiba-tiba muncul di hati murid tunggalnya. Namun
sangat disayangkan bila ia
mempunyai dendam seperti itu.
"Sekar... memang sudah tiba saatnya kau keluar ke dunia ramai. Tidak hanya
berdiam di daerah yang sepi dan dingin seperti ini."
"Tetapi aku senang berada di sini, Nyai. Aku bisa melihat debur ombak dan lautan
yang luas. Juga camar-camar yang beterbangan kian kemari. Namun, aku ingin
mencari orang yang telah membunuh kedua orangtuaku."
Nyai Harum Tari mengangguk. "Bagus. Memang, di dunia persilatan ini, darah harus
dibalas darah. Tetapi akan lebih bagus lagi bila kita saling memaafkan.
Tetapi bila tekadmu telah bulat, kau bisa segera keluar dari daerah sunyi ini
besok siang..."
"Nyai...."
"Jangan bersedih. Bila Hyang Widi menghendaki kita bertemu, kita pasti akan
bertemu lagi."
Malam itu Sekar Wangi tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia hanya bisa menatap
langit-langit gubuk di mana ia dan Nyai Harum Tari tinggal. Ada rasa berat untuk
meninggalkan gubuk dan daerah yang sudah melekat di hatinya. Tetapi ia telah
bertekad untuk mencari orang-orang yang telah membunuh kedua orangtuanya, yang
telah dipukul mundur oleh Nyai Harum Tari dan kini menamakan diri mereka
Gerombolan Iblis dari Pacitan.
Dan pagi itu, Sekar Wangi berlatih seorang diri di tepi pesisir Laut Kidul.
Sejak pagi buta. Sementara itu Nyai Harum Tari hanya memperhatikan saja dari
kejauhan. Ia sangat menyayangkan kalau Sekar Wangi sampai pergi meninggalkannya.
Namun ia pun merasa tidak memiliki hak untuk menahan Sekar Wangi lebih lama.
Setelah berpikir demikian, ia pun memanggil Sekar
Wangi yang datang menghadap dengan keringat bercucuran di wajah dan sekujur
tubuhnya. Kedua pedangnya sudah disarungkan kembali ke warangkanya.
"Nyai...," ia bersimpuh. Kedua lututnya menekan pasir putih yang banyak terdapat
di sana. Angin laut berhembus dingin.
"Berdirilah, Cucuku...," kata Nyai Harum Tari dengan suara gemetar. "Kini, telah
tiba saatnya bagimu untuk meninggalkan daerah ini dan mencari orang-orang yang
telah membunuh kedua orang tuamu. Carikah orang yang bernama Rodopalo dan Nyai
Titir salah seorang dari Empat Malaikat Kahyangan yang sangat kejam. Jangan lupa
pula, setelah kau menumpas mereka, berjalanlah di jalan yang lurus. Minta
ampunlah pada Hyang Widi."
"Nyai..."
"Aku tidak suka bersedih-sedihan. Sudah
kupersiapkan seekor kuda yang membawamu dalam perjalanan. Ingat Sekar, dunia
ramai penuh dengan intrik kejahatan. Kau jangan sampai lengah sedikit pun.
Apalagi kau seorang gadis."
"Nyai...."
Nyai Harum Tari memeluk Sekar Wangi. Lalu meninggalkannya setelah berkata,
"Pergilah... dan jangan menengok lagi ke sini sebelum kau keluar dari daerah
ini...." "Nyai!"
Nyai Harum Tari terus melangkah. Sekar Wangi tahu kalau gurunya sekaligus
orangtua angkatnya, menuju ke Pendopo yang ada di samping batu karang besar di
sebelah timur. Sekar Wangi menguatkan hatinya. Lalu ia berlari ke belakang tempat tinggal
mereka. Seperti yang
dikatakan Nyai Harum Tari, ada seekor kuda putih di sana. Juga ada sebuah
buntalan yang berisi pakaian dan sedikit makanan di sisi pelana kuda itu. Lalu
dinaikinya kuda itu. Sejenak ia memperhatikan gubuk dan sekelilingnya.
Lalu dikuatkannya hatinya. Dan mulailah
digebraknya kudanya dengan kencang, dengan satu tekad untuk mencari orang-orang
yang telah membunuh kedua orangtuanya. Akan ia balaskan sakit hati mereka!
*** 3 Malam menyelimuti alam. Ratu malam nampak enggan bersinar, tersaput oleh awan
hitam yang berarak. Suasana Desa Sawo Jajar sangat sepi sekali.
Sesekali terdengar bunyi binatang malam yang sibuk mencari makan atau pun sedang
memacu birahi. Biasanya kalau malam begini, masih ada satu dua orang yang berkeliaran. Namun
semenjak penye-rangan yang dilakukan orang-orang Gerombolan Iblis dari Pacitan
dan berhasil digagalkan dengan bantuan Pendekar Gila, sudah membuat mereka
justru tidak bisa tidur.
Penjagaan pun sebenarnya diperketat. Para penjaga malam siaga dalam menjalankan
tugasnya. Apalagi mereka tahu, Pendekar Gila yang membantu mereka waktu itu dalam
menghadapi orang-orang biadab, kini sedang meninggalkan desa.
Di rumahnya, Ki Lurah Somata sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang.
Membicarakan masalah yang baru saja mereka hadapi. Menurut Ki Lurah Somata,
keadaan sudah semakin genting.
Sehingga penjagaan harus diperketat.
Namun mendadak dari satu rumah terdengar
jeritan-jeritan keras, membangunkan seisi Desa Sawo Jajar. Rumah itu telah
terbakar. Api terus menjalar.
Membuat desa yang sunyi itu menjadi riuh rendah.
Kepanikan sudah meraja dan menguasai seisi desa Orang-orang segera bergotong
royong untuk memadamkan api. Ki Lurah Somata dengan sigap
melompat keluar rumah bersama tamu-tamunya. Ia memberi semangat dan ikut terjun
langsung memadamkan api.
"Jangan panik! Selamatkan anak dan istri kalian!"
serunya sambil menyiram air. Suara jerit kepanikan semakin terdengar kencang.
Tetapi mendadak saja beberapa anak panah
berapi melesat dari satu tempat, membakari rumah-rumah yang lain. Kepanikan
semakin terasa.
"Kawan-kawan!" seru Ki Lurah Somata di tengah kepanikan. "Nampaknya ada orang
jahat di balik semua ini! Siapkan senjata kalian dan ungsikan anak-anak dan
wanita!" Segera yang laki-laki mempersiapkan diri dengan senjata mereka. Apa saja. Pacul,
golok, parang, pedang, tombak atau apa saja yang bisa dijadikan senjata.
Sementara anak-anak dan wanita berlarian ke Hutan Gamis yang ada di belakang
Desa Sawo Jajar. Sebisanya mereka menyelamatkan diri. Barang yang bisa mereka
raih, mereka bawa.
Para laki-laki termasuk Ki Lurah Somata bersiaga di tanah yang lapang. Mereka
tidak lagi meng-hiraukan rumah yang terbakar, walau memang ada beberapa orang
yang berusaha memadamkan api.
Apa yang diperkirakan oleh Ki Lurah Somata ternyata benar. Karena, mendadak saja
dari balik semak belukar bermunculan berpuluh orang bersenjata golok dengan
suara gegap gempita.
"Hancurkan mereka!"
"Bunuh!"
Mendapat serangan seperti itu, Ki Lurah Somata pun tak mau kalah. Ia mengomandoi
dan mengobar-kan semangat para warganya untuk menyongsong serangan itu.
Seketika terjadi pertempuran yang hebat sekali.
Suara senjata beradu dan jerit kematian pun terdengar. Baru beberapa saat
pertempuran itu terjadi, darah sudah bersimbah dan mayat-mayat bergeletakan.
Ki Lurah Somata melihat satu sosok tubuh yang menyeramkan dengan mengenakan
pakaian berwarna hitam, sedang mengibaskan kedua tangannya dengan cepat. Hasil
yang dilihat Ki Lurah Somata amat mengenaskan sekali. Karena para penduduk yang
berada di dekatnya dan mencoba menyerang atau menghalanginya, harus ambruk
dengan kepala putus terkena angin dari pukulan laki-laki itu tanpa menjerit!
Ki Lurah Somata segera bersalto sambil mengibaskan tombaknya ke kanan dan kiri.
Beberapa orang dari penyerangnya segera mampus. Lalu ia tiba di hadapan lakilaki tinggi besar itu dengan wajah marah dan hati yang panas.
"Anjing buduk! Rupanya kau Rodopalo yang gagal menyerang desa kami dua hari yang
lalu!" geramnya murka.
Rodopalo terbahak-bahak.
"Ha ha ha... inilah akibatnya bila berani melawan kehendakku! Ki Lurah, desamu
akan selamat bila kau menyerahkan Pendekar Gila kepadaku!"
"Jahanam! Kau harus mampus!"
"Ha ha ha... kasihan kau, Ki Lurah. Memang, hanya orang-orang bodohlah yang
merasa ajalnya masih jauh dalam menghadapi kejadian seperti ini!"
seru Rodopalo sambil terbahak-bahak. "Tetapi, seluruh rimba persilatan mengenal
aku sebagai orang baik-baik! Serahkan atau tunjukkan di mana Pendekar Gila
berada, maka kau akan terbebas dari
ancaman maut yang akan menimpamu beserta isi desa ini!"
"Manusia anjing! Lebih baik kau pergi ke neraka...
heaaa!" Dengan tombak terhunus, Ki Lurah Somata menerjang ke arah Rodopalo yang
masih terbahak-bahak, namun ia segera mendesis kaget, "Keparat!"
Karena Ki Lurah Somata sudah sepersekian meter saja berada di hadapannya dan
siap menghujamkan tombaknya ke tubuhnya..
"Kau mempunyai nyali juga, Ki!" seru Rodopalo sambil menghindar.
"Karena orang seperti kau bukan hanya harus minggat dari tempat ini, tetapi
harus mampus menghadap Yang Kuasa untuk dimasukkan ke neraka!"
"Ha ha ha... bagus, bagus sekali! Tetapi jangan salahkan aku bila kau harus
mampus sekarang juga, Ki!"
Pertarungan keduanya pun berlangsung seru. Ki Lurah Somata, meskipun yakin ia
tidak akan mampu untuk mengalahkan Rodopalo, terus berusaha untuk mendesaknya.
Paling tidak, sebagai lurah ia telah mempertanggungjawabkan tugasnya meskipun
ajal akan menjemputnya.
Sementara itu pertempuran masih terus berlangsung. Kali ini sudah jelas sekali
kemenangan berada di pihak para penyerang. Karena, mereka adalah orang-orang
yang terlatih sementara para penduduk Desa Sawo Jajar hanya mengandalkan
keberaniannya saja. Paling tidak, mereka akan mempertahankan milik mereka.
Para penyerang itu pun mulai masuk ke dalam rumah yang belum terbakar,
mengambili apa saja.
Dan beberapa orang dari mereka mulai menyergap para wanita yang tidak sempat
melarikan diri.
Beberapa orang dari wanita itu langsung mengambil tindakan membunuh diri
daripada kesuciannya ternodai. Namun yang tidak sempat melakukannya, sudah tentu
dengan terpaksa menjadi pemuas nafsu laki-laki yang menyergapnya.
Kejadian itu membuat para laki-laki penduduk desa itu menjadi terpecah. Apalagi
bila melihat wanita yang sedang diperkosa oleh para gerombolan itu adalah anak
atau istri mereka. Mereka langsung menyerang si pemerkosa yang sedang asyik
memacu diri. Namun para penduduk laki-laki yang bermaksud menyelamatkan para
wanitanya, harus mampus sebelum mengayunkan senjata mereka.
Para penyerang pun semakin buas memperkosa para wanitanya. Ada yang digilir. Ada
yang langsung dibunuh setelah berhasil memuaskan nafsunya.
Sementara itu Ki Lurah Somata sudah terdesak hebat oleh Rodopalo yang sudah
menggunakan 'Pukulan Angin Manik'nya yang hebat.
"Sudah kukatakan, beritahu ke mana perginya Pendekar Gila?" seru Rodopalo yang
sejak tadi tidak melihat Pendekar Gila muncul. Berarti, saat ini memang Pendekar
Gila tidak berada di sana.
"Pergilah kau ke neraka!" sahut Ki Lurah Somata dengan gagah. Ia masih berusaha
untuk mempertahankan diri, namun hanyalah kesia-siaan belaka yang ditemuinya.
Karena, dadanya jebol terkena 'Pukulan Angin Manik' yang dilepaskan oleh
Rodopalo secara jitu.
Laki-laki gagah itu pun menemui ajalnya. Rodopalo terbahak-bahak.
"Itulah akibatnya bila berani membantah
keinginan dari Rodopalo! Hei, kalian semua! Bakar seluruh rumah ini! Ambil harta
apa saja! Jangan lupa,
bawa beberapa gadis manis untukku!"
Merasa yakin kalau Pendekar Gila tidak berada di sana, dengan gerakan yang
sangat ringan, Rodopalo melompat ke kudanya kembali dan menggebraknya.
Hhh! Ia akan tetap mencari Pendekar Gila. Dan membunuhnya!
Anak buahnya pun segera mengikutinya. Dengan membawa barang-barang hasil
rampasan dan beberapa orang gadis yang menjerit-jerit minta dilepaskan. Sedangkan orang-orang
Rodopalo yang tewas, tidak diangkuti. Dibiarkan bergeletakan di sana.
Namun belum lagi mereka sempat meninggalkan tempat itu, mendadak saja tubuh
mereka beterbangan dengan muntah darah dan ajal segera menjemput.
Satu sosok tubuh berpakaian rompi terbuat dari kulit ular menerjang dengan
cepat, memukuli mereka satu persatu. Setelah tak satu pun yang dilihatnya masih,
pemuda yang tak lain Pendekar Gila itu segera melompat ke satu arah. Mencoba
mengejar Rodopalo yang tidak mengetahui kejadian itu.
Tetapi Rodopalo dan gerombolannya sudah
menghilang dari pandangan.
*** 4 Pendekar Gila pun kembali lagi ke tempat kejadian bersamaan dengan pagi
menjelang. Pagi tragis, pagi berdarah di Desa Sawo Jajar.
Romantika Sebilah Pedang 4 Pendekar Lembah Naga Serial Pendekar Muka Buruk Karya Tjan I D Lembah Nirmala 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama