Ceritasilat Novel Online

Sepasang Maling Budiman 3

Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman Bagian 3


"Dia temanku, namanya Mei Lie. Dan aku Sena
Manggala," jawab Pendekar Gila memperkenalkan diri.
Buto Gege yang semula ganas, kini menjura
hormat pada Mei Lie dengan cara menganggukkan kepala. Kedua telapak tangannya menyembah di depan
dada. "Terimalah hormatku, Nisanak!"
"Terima kasih," jawab Mei Lie.
Buto Gege pun menceritakan peristiwa yang dialami puluhan tahun silam. Kejadian yang menyebabkan hubungan Kemuning Wangi dengan Singo Edan
putus. Ketika Buto Gege datang menemui Kemuning
Wangi, sang Kakak merasa malu memiliki adik seorang
raksasa. Namun Singo Edan berusaha meyakinkan
Kemuning Wangi, agar mau menerima adiknya.
Kemuning Wangi mulanya hendak menerima,
namun kekerasan hatinya menolak. Apalagi setelah
tahu adiknya berhaluan sesat. Pertentangan antara
Singo Edan dan Kemuning Wangi terjadi. Sampai akhirnya Buto Gege menyangka kalau Singo Edan yang
tak suka padanya. Raksasa itu menantang Singo Edan
bertarung. Mulanya Singo Edan menolak. Namun setelah
diejek dan dituduh menyakiti hati Kemuning Wangi,
akhirnya Singo Edan menerima tantangan Buto Gege.
Mereka pun bertarung. Rupanya ilmu Singo Edan jauh
lebih tinggi daripada ilmu Buto Gege. Sehingga Buto
Gege dapat dikalahkan. Buto Gege dilemparkan ke
Gunung Gelangan.
Sejak kejadian itu, Kemuning Wangi justru menuduh Singo Edan tak punya perasaan dan tega melemparkan adiknya. Kemuning Wangi pun akhirnya
meninggalkan Singo Edan, untuk mencari sang Adik.
"Kami benar-benar menyesal, karena merasa
benar sendiri. Penyesalan kami, benar-benar tak dapat tuntas sebelum meminta
ampun pada Kakang Singo
Edan. Walau kakakku telah membutakan matanya.
untuk tidak melihat dunia lagi," kata Buto Gege mengakhiri ceritanya. Wajahnya
nampak sedih. Kepalanya
ditundukkan dalam-dalam.
"Aha, kurasa guru pun akan mengampuni kalian," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Terima kasih. Ku mohon padamu, jika sampai
di tempat gurumu, sampaikan permintaan maaf kami!"
pinta Buto Gege penuh harap, "Kami benar-benar merasa tak akan pernah tenang,
sebelum Kakang Singo
Edan memaafkan tindakan kami."
Mei Lie yang mendengar cerita Buto Gege, matanya tampak membasah. Hatinya turut iba, setelah
tahu bagaimana nasib manusia raksasa itu. Sementara
Pendekar Gila kini nampak mengulum bibir dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Sepertinya Pendekar
Gila pun turut merasa prihatin dengan nasib Buto
Gege dan kekasih gurunya, Kemuning Wangi.
"Itukah sebabnya Eyang Guru tak menikah...?"
tanya Sena dalam hati.
"Sena, aku harus segera pergi. Hati-hatilah!"
ujar Buto Gege.
Setelah menjura, manusia raksasa itu pun melangkah meninggalkan Pendekar Gila dan Mei Lie yang
masih terpaku memperhatikan sosok raksasa itu.
Langkah kaki Buto Gege, lima kali langkah mereka.
Namun di balik tubuhnya yang besar, tersembunyi duka dan kesedihan serta keburukan nasibnya.
Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala
sambil tersenyum cengengesan. Dimasukkan Suling
Naga Sakti ke ikat pinggangnya. Lalu dipandang wajah
Mei Lie yang tersenyum, sepertinya merasa tenang ada
bersama sang Kekasih.
Keduanya saling pandang. Di bibir mereka,
mengurai senyum.
*** Malam kembali hadir dengan kegelapannya.
Suasana sunyi memperjelas suara lolongan anjinganjing hutan yang semakin mencekam malam di Desa
Sawangan dan sekitarnya. Sehingga suasana mirip pedesaan yang mati. Seperti desa yang tak berpenghuni.
Apalagi angin yang berhembus agak kencang meniupkan hawa dingin. Dinginnya terasa menusuk ke tulang sumsum. Sementara itu langit tampak mendung.
Kilat pun sesekali menyambar, dengan sinarnya yang
hanya sekejap menerangi bumi. Sesaat kemudian, terdengar suara guruh di langit.
Hujan rintik-rintik mulai membasahi bumi, bagaikan tangis Dewi Malam yang sedang dirundung duka. Angin semakin kencang berhembus. Dan orangorang yang tidur, semakin terlelap dalam mimpinya.
Di bawah rintik hujan gerimis, dua sosok tubuh
berlari-lari kecil berusaha mencari tempat berteduh.
Kedua orang itu, tak lain Pendekar Gila dan Mei Lie.
Keduanya terus berlari-lari, untuk mencari tempat berteduh. "Hujan sialan!
Dingin sekali, Kakang," keluh Mei Lie sambil berlari-lari mengikuti Pendekar
Gila yang hanya tertawa cekikikan.
"Aha, kenapa kau memaki-maki hujan" Hi hi
hi...! Bagaimana kalau kita cari pohon saja yang rindang?" ajak Sena sambil terus berlari ke timur, karena di sana nampak banyak
pepohonan besar.
Mei Lie tak menyahuti, kakinya terus lari mengikuti langkah kaki Pendekar Gila. Keduanya sampai di bawah sebatang pohon
beringin yang besar.
"Bagaimana, Mei?" tanya Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ah, kenapa kau harus kedinginan seperti ini?"
"Aku tak apa-apa, Kakang. Bahkan kini merasa
lebih dekat dengan alam," sahut Mei Lie sambil mere-bahkan kepalanya di pundak
sang Kekasih. Pendekar Gila dengan penuh kasih sayang
membelai rambut dan memeluk tubuh Mei Lie, berusaha agar gadis itu tak merasa kedinginan. Suasana
malam di bawah rinai gerimis dan hawa dingin dirasakan begitu indah oleh Pendekar Gila dan Mei Lie. Paduan kasih sayang yang mereka bina selama ini, kian
menyentuh dan terasa di dalam alunan jiwa yang bersih dan suci. Pendekar Gila masih berdiri di bawah pohon
beringin besar itu, ketika dari arah timur nampak dua sosok bayangan berlarilari. Keduanya ternyata dua
sosok tubuh. Di pundak mereka terpanggul dua karung besar yang terus dibawa lari ke selatan.
"Kakang, lihat...! Bukankah itu orang yang dicari-cari pihak kerajaan?" ujar Mei Lie sambil menunjuk dua orang bercadar yang
di pundaknya memanggul
kantung. "Aha, kurasa benar, Mei. Ayo, kita kejar mereka!" ajak Sena.
Keduanya segera melesat meninggalkan pohon
beringin, memburu kedua lelaki bercadar yang membawa kantung di pundak. Dengan mengerahkan ilmu
lari, dalam sekejap mereka dapat menghadang kedua
lelaki bercadar.
"Berhenti!" seru Mei Lie, yang membuat kedua lelaki bercadar menghentikan
langkah mereka. Mata
kedua maling budiman yang tiada lain Pangeran Prapanca dan temannya, Pranala memandang tajam pada
Mei Lie dan Pendekar Gila.
"Ada apa kalian menghadangku?" tanya Pangeran Prapanca. "Benarkah kalian yang sering disebut maling
budiman?" tanya Mei Lie.
"Ah, kurasa kami bukan maling budiman. Kami
hanya ingin membantu penduduk desa yang miskin,
yang haknya diambil oleh orang-orang kaya dan para
pembesar," sahut Pangeran Prapanca yang bercadar biru. "Apapun alasannya,
kerajaan memerintahkan untuk menangkap kalian," kata Mei Lie.
Kedua maling budiman saling padang. Kemudian Pangeran Prapanca memandang lekat wajah Pendekar Gila yang bertingkah laku aneh, membuatnya
mengerutkan kening. Sepertinya Pangeran Prapanca
berusaha mengingat-ingat akan sesuatu.
"Jadi, kalian yang disebut sebagai penegak kebenaran dan keadilan pun hendak menangkap kami?"
tanya Pangeran Prapanca setengah mengejek.
"Aha, lucu sekali ucapanmu, Maling Budiman!
Meski kau mengatakan bertujuan baik, bagaimana
mungkin kami akan percaya dengan omongan kalian,
jika sebagian muka kalian ditutupi," ujar Sena sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
"Cadar Biru, tak ada waktu lagi untuk berteletele!" ujar Pranala mengingatkan Pangeran Prapanca.
"Benar! Kalian mau apa?" tanya Pangeran Prapanca dengan tegas, "Apakah kalian
pun akan me- nangkap kami untuk mendapatkan hadiah dari Baginda Awangga" Silakan kalau mampu!"
"Hm, begitu" Ah, sungguh lucu sekali! Hi hi
hi...! Kisanak, kami bukan atas dasar sayembara itu
hendak menangkap kalian. Tetapi atas dasar keadilan
dan keamanan saja yang mendorong kami untuk menangkap kalian," ujar Sena berusaha menjelaskan apa yang menyebabkan dia turut
berusaha menangkap Sepasang Maling Budiman.
"Keadilan..." Hua ha ha...! Keamanan..."!" Pangeran Prapanca tertawa terbahakbahak, mendengar
Pendekar Gila menyebut keadilan dan keamanan. Diliriknya Pranala yang juga tertawa.
"Hua ha ha...!" Sena tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Hal itu membuat kedua
maling budiman terdiam. Keduanya kembali saling pandang, kemudian
menatap wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kisanak, kalau kau mengatakan keadilan dan
keamanan, keadilan macam apa" Keamanan macam
apa?" tanya Pangeran Prapanca.
"Ah ah ah, kenapa kau tanyakan hal itu padaku?" tanya Sena. Tingkahnya masih cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Seharusnya, kalian tanyakan hal itu pada warga yang merasa terganggu dengan
perbuatan kalian."
Pangeran Prapanca dan Pranala kembali saling
pandang, lalu kembali keduanya tertawa terbahakbahak. Hal itu menjadikan Pendekar Gila turut tertawa keras sambil menggarukgaruk kepala. "Kisanak, tingkah lakumu seperti orang gila.
Namun tutur katamu, sangat pintar. Hm, meski aku
belum kenal siapa kalian, tetapi kurasa kalian pendekar yang berjiwa besar," tukas Pangeran Prapanca,
"Kalau kau tidak bertanya, maka kini aku ingin mengajukan pertanyaan pada
kalian." "Aha, kau lucu sekali, Kisanak," kata Sena
sambil cengengesan. "Tapi kalau memang itu maumu, katakanlah!"
"Kita terlalu bertele-tele, Kakang. Mereka sudah ketahuan mencuri, mengapa kita
masih membiarkan?"
kata Mei Lie tak sabar.
"Aha, tenanglah, Mei," sahut Sena masih cengengesan. "Nah, Kisanak, katakanlah
apa yang akan kau tanyakan pada kami!"
Pangeran Prapanca sesaat terdiam. Dipandangi
tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan lucu.
Bahkan dapat mengundang tawa. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dengan masih memandang lekat pada
wajah Sena berkata.
"Kisanak, jika seandainya Kisanak benar orang
yang menjunjung kebenaran dan keadilan, kemudian
melihat ada yang tidak benar, bagaimana" Di sebuah
kerajaan, rakyatnya menderita, sementara orang-orang
besar semakin sewenang-wenang, memperlakukan mereka. Bahkan, rakyat dianggap sebagai manusiamanusia yang tak punya arti, apa tindakanmu?" tanpa
Pangeran Prapanca, yang menjadikan Pendekar Gila
mengerutkan kening. Dipandanginya Mei Lie yang juga
terdiam. Kemudian nampak mulutnya cengengesan lagi dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah...! Jadi rupanya kalian hendak berkedok dengan hal yang kalian katakan tadi" Kulihat
rakyat di sini tak menderita seperti yang kau katakan, Kisanak," sahut Sena
membantah penuturan Pangeran Prapanca.
"Itu karena kau tak melihat kenyataannya, Kisanak. Kau tak melihat, bagaimana rakyat dipaksa
meninggalkan sawah atau pekarangan! Kalian juga tidak melihat, bagaimana para kuli dipaksa untuk menerima bayaran yang sangat rendah. Padahal menurut
perjanjian, para kuli dibayar sepuluh tail," tutur Pangeran Prapanca dengan
suara berapi-api, "Kalau kalian masih tidak percaya, kini kami siap menghadapi kalian!" "Alasan!" dengus Mei Lie.
"Terserah apa yang kau katakan, Nisanak!" sahut Pangeran Prapanca.
"Baik, bersiaplah kalian untuk kami tangkap!"
kata Mei Lie sambil bergerak menyerang Pangeran Prapanca dan Pranala yang tersentak kaget.
Dengan cepat kedua lelaki bercadar bergerak ke
samping. Namun rupanya serangan Mei Lie tak berhenti sampai di situ. Mei Lie kembali bergerak menyerang. "Tunggu! Hentikan, Mei!" seru Sena yang membuat Mei Lie menghentikan
serangan. Namun nampaknya wajah gadis itu tak senang, kekasihnya melerai pertarungan.
"Ada apa lagi, Kakang" Bukankah kedua maling
ini sudah ketahuan belangnya?" tanya Mei Lie dengan wajah bersungut.
"Aha, sabarlah sedikit, Mei!"
Pendekar Gila kembali melangkahkan kakinya
mendekati Pangeran Prapanca. Tingkah lakunya masih
kelihatan konyol, cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala. "Aha, pertarungan tak akan membawa sebuah persoalan menjadi selesai.
Bahkan sebaliknya akan
membuat masalah semakin panjang" gumam Sena
dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.


Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Matanya memandang Pangeran Prapanca dan Pranala,
yang tertegun sejenak. Mereka tak menyangka, kalau
pemuda gila di hadapannya dapat bertutur kata dengan baik. Bahkan berbicara dengan menggunakan filsafat. "Kisanak, didengar dari tutur katamu, kau orang yang bijaksana," ujar
Pangeran Prapanca polos.
"Namun, mengapa kau sepertinya hendak menghalangi kami" Kami melakukan semua
ini, untuk menolong
orang yang menderita. Kami mencuri pun bukan pada
sembarang orang. Kamu mencuri pada orang-orang
yang kaya namun kikir. Atau pada pembesar yang culas, yang suka memakan uang rakyat."
"Aku tak percaya!" seru Mei Lie.
"Itu terserah kalian. Mau percaya atau tidak
pada kami, tetapi Hyang Widhi-lah yang tahu semuanya," jawab Pangeran Prapanca tenang.
"Nisanak, kau dan kekasihmu boleh mengikuti
kami, jika belum juga percaya," Pranala yang sedari tadi diam, kini angkat
bicara. "Benar! Jika belum juga yakin apa yang kami
katakan, kalian boleh mengikuti kami! Itu pun kalau
kalian benar-benar orang bijaksana, yang senantiasa
mementingkan keadilan dan kebenaran," sambung
Pangeran Prapanca, setelah yakin kalau kedua pendekar itu tak bermaksud menangkap mereka atas perintah kerajaan. Terbukti Pendekar Gila malah mencegah
Mei Lie meneruskan pertarungan.
"Aha, kalian jangan takut! Kami bukanlah
orang-orang yang berkepala dua," ujar Sena sambil masih cengengesan dengan
tangan menggaruk-garuk
kepala. "Hm, baik. Mari ikut kami, untuk membuktikan kalau kami bukanlah berbuat
atas dasar keserakahan!" ajak Pangeran Prapanca. Kemudian dengan diikuti
Pendekar Gila dan Mei Lie. Pangeran Prapanca
dan Pranala pun melesat menuju Desa Sawangan. Mereka segera menaruh harta curian di depan pintu rumah semua penduduk Desa Sawangan.
*** Pendekar Gila dan Mei Lie yang sudah melihat
dengan mata kepala bagaimana sebenarnya Sepasang
Maling Budiman itu, kini percaya. Setelah selesai menaruh semua harta curian, mereka pun berlalu meninggalkan Desa Sawangan. Keempatnya baru saja
meninggalkan batas Desa Sawangan, ketika tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda menuju tempat mereka. Pada saat itu pula.
"Berhenti...!"
Keempat orang itu seketika berhenti, membalikkan tubuh memandang ke tempat asal suara. Nampak sepuluh orang berkuda mendekati mereka. Tiga di
antara mereka, merupakan orang-orang persilatan.
Tentunya mereka diutus Baginda Raja Awangga untuk
menangkap kedua maling budiman.
Tiga orang penunggang kuda itu, satu di antaranya seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima
tahun. Wajahnya masih cantik, matanya memandang
dengan genit pada Pendekar Gila. Hal itu membuat Mei
Lie cemberut, cemburu, dan jengkel atas tingkah laku
wanita genit itu.
"Rupanya kita akan menemukan kedua maling
ini, Kakang Gagak Selo," ujar Gagak Praja, dengan bibir mengurai senyum kecut
senyum merendahkan kedua lelaki bercadar yang diketahui sebagai maling budiman. "Benar, Adik. Rupanya keberuntungan ada di tangan kita," sahut lelaki
beralis naik dengan mata lebar. "Nyi Roro Cenil kau kenalkah dengan kedua pemuda
itu?" "Tidak! Lagi pula, kita tak punya urusan dengan mereka. Kita hanya akan menangkap kedua maling itu," ujar Nyi Roro Cenil dengan senyum merekah di bibirnya. Matanya masih
memandang dengan genit
Pendekar Gila yang cengengesan sambil menggarukgaruk kepala. "Hua ha ha...! Lucu sekali kalian semua. Bagaimanapun kami ini teman kedua Maling Budiman.
Kalau kalian mau menangkap keduanya, bukankah itu
sama saja kalian berurusan dengan kami"!" ujar Pendekar Gila sambil cengengesan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya melirik Mei Lie yang kelihatannya sudah jengkel atas tingkah laku Nyi Roro
Cenil yang genit dan nampaknya senang pada Pendekar Gila. "Benar! Dan kalau kalian hendak menangkap
keduanya, berarti kalian tak punya perasaan dan
hanya mementingkan diri sendiri!" dengus Mei Lie sengit. Matanya kini memandang
tajam penuh kebencian
pada Nyi Roro Cenil yang genit. Mei Lie benar-benar
tak suka pada wanita yang genit, karena khawatir kekasihnya akan dapat dirayu wanita genit itu.
"Tapi, Kisanak. Kalian tak tahu apa-apa. Kami
yang berbuat," selak Pangeran Prapanca seakan-akan
menolak maksud Pendekar Gila.
"Aha, kau keliru, Kisanak. Bukankah dengan
menunjukkan apa yang kalian lakukan, berarti secara
tak langsung kalian telah percaya pada kami?" sahut Sena sambil masih
cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap wajah Pangeran
Prapanca dan Pranala.
"Bagus! Jadi kalian pun rupanya sama-sama
maling yang harus ditangkap juga," bentak Gagak Selo.
"Prajurit, tangkap mereka...!"
Mendengar perintah Gagak Pelo, tujuh orang
prajurit langsung mengurung keempat orang pendekar.
Serentak mereka menyerang dengan pedang dan tombak yang menjadi senjata mereka.
"Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Mendapat serangan dari tujuh orang prajurit
itu, keempat pendekar itu tak mengalami kewalahan.
Meski masih mengandalkan tangan kosong, mereka
dapat menghadapi ketujuh orang lawannya yang bersenjata. "Hea! Hea...!"
"Hi hi hi...!"
Dengan tertawa cekikikan Pendekar Gila bergerak mengelakkan serangan para prajurit. Tubuhnya
meliuk-liuk bagaikan menari, kemudian tangannya
menepuk dengan pelahan ke tubuh lawan. "Aha, kura-sa kalian harus istirahat,
Kisanak! Tidurlah...!"
Dengan gerakan aneh, Pendekar Gila menepukkan kedua tangannya ke dada kedua orang prajurit
kerajaan. Kedua orang prajurit tersentak. Mereka berusaha mengelak, tetapi gerakan aneh yang dilakukan
Pendekar Gila ternyata datang begitu cepat. Padahal
mereka baru saja melihat gerakan Pendekar Gila itu
sangat pelan. Plak! Plak! "Ukh!"
Kedua prajurit terpekik, kemudian terdiam
mematung tak mampu bergerak sedikit pun. Sementara Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak dengan tingkah lakunya yang konyol, menggelitik.
"Kurang ajar! Rupanya bocah gila itu bukan
sembarangan, Kakang! Kita harus menangkapnya," ka-ta Gagak Sura. Kemudian
kakinya melompat dari kuda, langsung menghadang dan menyerang Pendekar
Gila. "Heaaa...!"
Mendapat serangan dari Gagak Sura, Pendekar
Gila dengan cepat berkelit ke samping. Kemudian dengan masih cengengesan, dibalas dengan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana
menari sambil sesekali menyodokkan telapak tangan.
Gerakan tarian dan tepukan tangannya nampak pelan,
lemah, dan seperti tak bertenaga. Namun kenyataannya, cukup membuat Gagak Sura tersentak kaget bukan kepalang. "Gila...!" pekik Gagak Sura sambil melompat mundur. Matanya membelalak, hampir
tak percaya dengan apa yang baru saja hampir terjadi. Tepukan
tangan Pendekar Gila nampak pelan dan lemah, tetapi
mampu mengeluarkan angin keras yang hampir menerjangnya. "Celaka! Dia bukan pemuda gila biasa...!" gumam lelaki berusia sekitar tiga
puluh lima tahun dengan muka garang. Matanya mengerut, dengan alis terjungkit ke atas.
"Hi hi hi...!" Pendekar Gila cekikikan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
Tingkah lakunya yang
bertambah konyol, menjadikan lawan semakin mengerutkan kening. "Aha, kau sangat lucu, Kisanak. Mu-kamu pucat seperti mayat"
Diejek begitu rupa, Gagak Sura menggeram
marah. Kemudian dengan geram, dicabutnya pedang
yang bertengger di punggungnya.
Srattt! "Bocah gila, jangan kira kau mampu mengalahkanku! Cabut senjatamu!" tantang Gagak Sura dengan penuh kemarahan, membuat
Pendekar Gila kian tertawa terbahak-bahak.
"Hua ha ha...! Senjata" Ah, kedua tanganku
adalah senjata. Kurasa kedua tangan dan kakiku,
mampu menghadapimu," sahut Sena sengaja berusaha terus memancing kemarahan
lawan. "Sombong! Jangan salahkan kalau nyawa gilamu tercabut oleh pedangku!" dengus Gagak Sura sengit. Kemudian dengan cepat
bergerak menyerang Pendekar Gila dengan pedangnya.
"Hi hi hi...!"
Sambil tertawa cekikikan Pendekar Gila segera
mengelitkan serangan pedang Gagak Sura. Tubuhnya
melenting ke atas, kemudian menyambar ke bawah
sambil menukik. Itulah jurus 'Gila Terbang Menyambar Mangsa', sebuah jurus yang menggunakan ilmu
meringankan tubuh sempurna, disertai tenaga dalam
yang tinggi. Kalau tidak, maka tubuhnya akan menukik dan jatuh ke tanah.
Semakin tersentak kaget Gagak Sura, mendapatkan serangan yang sangat aneh itu. Hampir saja
tubuhnya terkena sambaran tangan dan jejakkan kaki
Pendekar Gila, kalau tidak cepat melompat ke belakang. "Gila! Benar-benar jurus gila!" rutuk Gagak Su-ra sambil berjumpalitan
beberapa kali, mengelakkan
serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Namun ternyata jurus 'Gila Terbang Menyambar Mangsa', sangat
cepat. Di mata lawan gerakan itu tampak lamban dan
lemah. Hingga....
Degkh! "Ukh!"
Gagak Sura memekik tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mata terbelalak.
Dari mulutnya, menyembur darah segar pertanda
mengalami luka dalam. Dadanya yang terkena jejakkan kaki Pendekar Gila terasa sangat sesak.
"Kau.... Hkkk.... Ukh!" Gagak Sura ambruk
pingsan. Sementara itu, di pihak Pangeran Prapanca dan
Pranala yang dibantu Mei Lie pun dengan mudah mengalahkan lawan-lawannya. Lima orang prajurit dan
Gagak Selo serta Nyi Roro Cenil dapat didesak. Bahkan lima orang prajurit, kini
telah mengalami luka dalam
akibat pukulan dan hantaman ketiga orang pendekar.
Gagak Selo dan Nyi Roro Cenil yang merasa tak
mungkin menandingi, segera meninggalkan tempat itu.
Keduanya membiarkan teman-temannya berjatuhan.
Digebah kuda mereka dengan cepat, berusaha secepatnya meninggalkan tempat tersebut.
"Aha, kurasa kita harus segera pergi dari sini,"
ajak Sena setelah kepergian dua orang kerajaan, yang
dapat mereka kalahkan. "Mereka pasti akan mengundang bala bantuan."
"Lalu, bagaimana dengan para prajurit ini, Kakang?" tanya Mei Lie.
"Ah ah ah, biarkan saja! Ayo kita pergi!" ajak Sena yang segera diikuti Mei Lie
dan Pangeran Prapanca serta Pranala. Mereka lari ke arah barat, menembus
kegelapan malam
*** 8 Pagi nampak sangat cerah, dengan sinar matahari yang terasa hangat di kulit. Di sebuah bangunan
bilik yang terletak di tengah hutan bambu, nampak
empat orang sedang duduk-duduk bersila beralaskan
tikar pandan. Keempat orang itu, tiga lelaki dan seorang lagi wanita. Mereka tak lain Pangeran Prapanca, Pranala, dan Pendekar Gila
serta si Bidadari Pencabut Nyawa. Keempat pendekar itu, nampaknya tengah
mengadakan pembicaraan yang serius. Pangeran Prapanca sepertinya sedang menuturkan sesuatu pada
Pendekar Gila. Cadar yang biasa dikenakan, kini telah terbuka. Sehingga
nampaklah seraut wajah tampan,
dengan hiasan kumis tipis. Wajahnya yang bersih, menunjukkan kalau Pangeran Prapanca bukanlah orang
kebanyakan. Di samping Pangeran Prapanca, duduk Pranala.
Lelaki muda yang berusia sekitar dua puluh empat tahun ini pun berwajah tampan. Hidungnya mancung,
dengan lesung pipit pada kedua pipinya. Senyumnya
menawan. Namun nampak ketegasan dari sorot matanya. "Kami merupakan kawan akrab sejak kecil, yang juga saudara seperguruan,"
kata Pangeran Prapanca membuka pembicaraan, setelah Pendekar Gila
dan Mei Lie bertanya siapa mereka sebenarnya, "Lima belas tahun yang lalu,
ketika ayahku masih bertahta
sebagai raja, aku dititipkan pada Resi Sureng Pari untuk dididik dari diajarkan
ilmu." Pangeran Prapanca pun dengan nada sendu,
akhirnya menceritakan semua yang terjadi dan mengapa dirinya bersama Pranala melakukan tindakan
yang telah diketahui Pendekar Gila.
Hari demi hari Pangeran Prapanca dan Pranala


Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dididik dan digembleng oleh Resi Sureng Pari. Semua
ilmu yang dimiliki Resi Sureng Pari, diturunkan pada
Pangeran Prapanca dan Pranala. Baik ilmu bela diri,
ilmu tata negara, maupun ilmu kesusastraan.
Sampai pada suatu hari, ketika Resi Sureng Pari pulang dari Kota Praja, wajahnya tampak bermuram
durja. Keadaan yang tak seperti biasanya itu membuat
Pangeran Prapanca heran. Kemudian dengan penuh
hormat, pemuda itu memberanikan diri bertanya kepada sang Guru.
"Ampun, Guru! Jika Guru berkenan, aku hendak bertanya."
Resi Sureng Pari memandang dengan tatapan
iba pada muridnya yang sudah berusia dua puluh tahun. Dihelanya napas dalam-dalam. Kemudian menggeleng-gelengkan kepala, sepertinya sang Resi sangat
berat untuk menuturkan apa yang sebenarnya terjadi.
"Guru, kalau pertanyaanku membuat Guru sedih, aku siap dihukum," kata Pangeran Prapanca sambil menyembah, menunjukkan
betapa hormat Pangeran Prapanca terhadap Resi Sureng Pari.
"Tidak, Anakku. Bangunlah dan duduklah!" ka-ta Resi Sureng Pari sambil memegang
pundak Pange- ran Prapanca dan membantu pemuda itu duduk di hadapannya. "Guru, apa sebenarnya yang terjadi?" tanya
Pangeran Prapanca semakin ingin tahu, mengapa gurunya yang baru datang dari Kota Praja tiba-tiba bermuram durja. Sepertinya ada berita buruk yang dibawanya dari kota.
"Anakku tabahkanlah hatimu!" hanya kata itu yang terucap dari mulut Resi Sureng
Pari. Mata lelaki tua berjenggot panjang itu tampak mulai berkaca-kaca,
berusaha menahan tangis.
"Guru, katakanlah, apa yang sebenarnya terjadi!" pinta Pangeran Prapanca semakin penasaran ingin tahu, apa yang terpendam
dalam hati gurunya.
Resi Sureng Pad membelai-belai jenggotnya.
Kemudian dipegangnya pundak Pangeran Prapanca,
seraya menarik napas dalam-dalam, seakan hendak
membuang kegundahan di hatinya. Matanya yang bening menatap lurus ke depan, menyiratkan kebimbangan di hatinya. Bibirnya bergerak-gerak, sepertinya
hendak berbicara. Namun nampaknya sulit. Seakan
ada ganjalan yang menyumbat mulutnya untuk membuka kata. Pangeran Prapanca yang menyaksikan kesedihan di wajah gurunya, hanya mampu diam membisu.
Matanya memandang lekat ke wajah gurunya. Ingin
sekali Pangeran Prapanca bertanya. Namun dirinya
pun merasa tak kuasa. Hatinya melarang untuk bertanya. Hatinya memerintahkan agar diam, menunggu
apa yang akan dikatakan sang Guru.
Lama Pangeran Prapanca menunggu apa yang
bakal dikatakan Resi Sureng Pari. Suasana hening
menyelimuti kedua guru dan murid itu.
"Anakku, kuharap kau tabah mendengar berita
yang baru saja kuterima di Kota Praja," kata Resi Sureng Pari masih dengan wajah
duka. Hal itu membuat
Pangeran Prapanca mengerutkan kening, tak mengerti
mengapa dengan gurunya. Dan bertanya apa yang disampaikan sang Guru padanya.
"Guru, kalau boleh aku tahu, berita apa yang
Guru terima" Apakah mengenai ayahanda" Atau ibunda dan adik-adik di istana?" tanya Pangeran Prapanca tak sabar ingin segera
tahu. Resi Sureng Pati menganggukkan kepala. "Kenapa mereka, Guru?" desak Pangeran Prapanca ingin
tahu. "Anakku, di kerajaan telah terjadi pemberontakan oleh orang-orang yang tak
suka terhadap kepemimpinan ayahandamu. Menurut kabar, keluargamu
mati semua. Beruntung pamanmu dapat segera menangani kakacauan itu. Pamanmu dengan dibantu
Perdana Menteri Giri Gantra, segera melakukan penumpasan terhadap para pemberontak. Maka dalam
waktu singkat pemerintah dapat diambil alih dari para pemberontak," tutur Resi
Sureng Pari dengan sedih.
"Jadi...," Pangeran Prapanca belum selesai berbicara, ketika Resi Sureng Pari
telah mendahuluinya.
"Benar, Anakku," selak Resi Sureng Pari, "Namun, aku merasa belum yakin dengan
berita yang disampaikan Perdana Menteri Giri Gantra itu."
"Mengapa, Guru?" tanya Pangeran Prapanca ingin tahu. Ditatapnya wajah sang Guru
dengan penuh harap, agar mau menceritakan segalanya secara gamblang. Pangeran Prapanca mengharap, gurunya mau
membuka tabir rahasia yang nampaknya tengah menyelimuti Kerajaan Surya Langit Kalau memang sang
Ayah masih hidup, dia akan berusaha mencarinya.
Namun jika telah mati, maka dia pun harus melihat
kuburannya. "Ada keanehannya," gumam Resi Sureng Pari.
"Maksud Guru?"
"Makam keluargamu tak ada."
"Apakah paman tak mengetahui mayat keluargaku?" "Entahlah, Anakku. Itulah yang kumaksudkan.
Semuanya sangat aneh dan tak masuk akal. Kulihat,
keadaan Kota Praja masih seperti dulu, tenang. Rasanya sangat sulit, kita bayangkan kalau telah terjadi pemberontakan," gumam
Resi Sureng Pari sambil
membelai-belai jenggotnya yang panjang.
"Lalu apa yang meski kulakukan, Guru?"
Resi Sureng Pari sesaat terdiam. Sepertinya
sang Resi sedang memikirkan bagaimana untuk mencari jalan guna menyingkap rahasia yang menyelimuti
Kerajaan Surya Langit.
"Anakku...," desis Resi Sureng Pari.
"Saya, Guru."
"Sebagai putra mahkota, kau tak boleh tinggal
diam mendengar kejadian ini. Kau harus berusaha
mencari tahu, apa sebenarnya yang terjadi. Namun,
kurasa kau akan mengalami kesulitan. Maka itu, jika
kau hendak turun gunung dan berusaha mencari bukti, kau harus hati-hati. Menyamarlah! Bantulah rakyatmu yang kau lihat sangat menderita."
"Menderita"!" pekik Pangeran Prapanca tanpa sadar dengan mata membelalak, seakan
tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan gurunya. Wajahnya seketika membara. Matanya berlinang-linang sedih. "Ya, menderita."
"Bagaimana mungkin, Guru" Ketika ayahanda
masih bertahta, rakyat sangat makmur. Kemiskinan
dapat diberantas. Mengapa sekarang justru sebaliknya?" tanya Pangeran Prapanca sambil berlinang air mata. Kepalanya menggelenggeleng, seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Begitulah keadaannya, Anakku. Aku pun tak
tahu, mengapa begitu," gumam Resi Sureng Pari setengah mengeluh, diikuti desah
nafasnya yang berat.
"Hhh...! Kasihan!" gumam Pangeran Prapanca
lirih. "Bukan hanya kasihan, Anakku. Tetapi sangat menyedihkan," kata Resi
Sureng Pari dengan suara lirih pula. "Kini rakyat sangat mengharapkan kehadiran
penolongnya."
"Apa yang sebenarnya telah terjadi, Guru?"
"Penyiksaan. Penindasan terhadap rakyat," jawab Resi Sureng Pari masih dengan
mata berkaca- kaca. Orang tua berjubah putih ala resi ini, tak sanggup menyaksikan penderitaan
rakyat Kerajaan Surya
Langit, "Memang sepintas orang akan melihat bahwa kerajaan makmur, karena
banyaknya pembangunan.
Tetapi kenyataannya, rakyatlah yang menderita. Mereka dipaksa untuk menjual tanahnya dengan harga
yang serendah mungkin. Rakyat diperintah untuk hidup hemat, sementara orang-orang besar hidup bermewah-mewah. Bahkan mereka bersenang-senang di
atas penderitaan rakyat. Mereka memelihara gunduk
bukan hanya satu, tetapi empat atau lima."
Pangeran Prapanca tanpa sadar mengepalkan
tinjunya. Jiwanya menggelora, setelah mendengar penuturan sang Guru. Hatinya benar-benar marah. Kalau saja hanya keluarganya yang menjadi korban,
mungkin tidaklah seperti itu kemarahannya. Namun
ini rakyat, yang tidak tahu apa-apa harus menjadi
korban. Keji! Sangat keji perbuatan itu. Di atas penderitaan rakyat, orang-orang
yang mengaku sebagai pemimpin, dan orang pintar, justru berpesta-pora. Menghambur-hamburkan uang mereka, untuk bersenangsenang dengan gundik-gundik jelita.
"Guru, izinkanlah aku turun! Bagaimanapun
aku tak tega jika rakyat harus menderita seperti itu.
Ini harus dihentikan, Guru"
"Aku tahu, Anakku. Tetapi, kita tak mungkin
melakukan seorang diri. Kita lemah," desah sedih Resi Sureng Pari, "Kalau kau
memang mau turun gunung, aku merestui. Tolonglah rakyat Kerajaan Surya Langit
yang menderita. Tegakan kebenaran dan keadilan. Satu hal yang harus kau ingat, jangan kau menampakkan diri. Karena hal itu akan membahayakan dirimu."
"Kenapa, Guru?" tanya Pangeran Prapanca ingin tahu. "Dengan kehadiranmu, rakyat tentu sangat
mengharapkan kau mau menjadi raja. Ketika itu bukan tak mungkin ada orang yang menginginkan kematianmu, Anakku," kata Resi Sureng Pari menasihati sang Murid.
"Baiklah, Guru. Muridmu akan selalu ingat."
"Satu hal lagi yang harus kau perhatikan,
Anakku." "Kalau aku boleh tahu, apa itu, Guru?" tanya Pangeran Prapanca.
"Menurut kabar yang kudengar, sekarang telah
muncul seorang pendekar yang usianya sebaya dengan
usiamu, Anakku. Dia terkenal dengan sebutan Pendekar Gila. Dia penegak kebenaran dan keadilan. Selain
itu, ada seorang wanita yang mungkin usianya sebaya
denganmu dan dia merupakan kekasih dari Pendekar
Gila. Dia bernama Mei Lie, atau lebih dikenal dengan sebutan Bidadari Pencabut
Nyawa. Kalau kau bertemu
dengan mereka, usahakan jangan sampai bentrok. Karena ilmu mereka sangat tinggi. Bahkan aku pun belum apa-apa dibandingkan dengan mereka. Mintalah
bantuan mereka! Kuharap mereka akan mau membantumu." "Baiklah, Guru. Semua petuah yang Guru berikan, akan aku ingat"
Keesokkan harinya, Pangeran Prapanca bermaksud meninggalkan perguruan. Saat itu, Pranala
yang melihat kakak seperguruannya hendak pergi,
meminta pada Resi Sureng Pari agar diizinkan ikut ser-ta.
"Guru, izinkanlah murid menemani Kakang
Prapanca!"
"Kalau memang itu kehendakmu, ikutlah! Temani kakakmu dalam suka dan duka," pesan Resi Sureng Pari.
"Baik, Guru."
Hari itu, kedua kakak beradik seperguruan pun
melakukan perjalanan untuk melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi di Kerajaan Surya Langit
"Apa yang dikatakan guru, ternyata benar," desah Pangeran Prapanca mengakhiri
ceritanya. "Penindasan, dan kesewenang-wenangan terjadi di sana sini.
Akhirnya, kami bersepakat mencuri, lalu hasilnya kami bagikan pada rakyat yang menderita."
Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.
Ada perasaan sedih di wajahnya. Namun tingkah lakunya yang konyol, kembali muncul. Mulutnya cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan Mei Lie, kini kelihatannya terhanyut dalam
cerita yang tadi disampaikan Pangeran Prapanca.
"Aha, jadi kalian murid Resi Sureng Pari?"
tanya Pendekar Gila, dengan tingkah lakunya yang
masih konyol. Mulutnya cengengesan, sedangkan jari
tangannya menyentil-nyentil serabut tikar yang mencuat ke atas. "Begitulah, Tuan," jawab Pangeran Prapanca.
"Ah ah ah, jangan kau sebut aku 'tuan'. Namaku Sena," sahut Pendekar Gila memperkenalkan diri.
"Oh, sudah kuduga, kalau Tuan-lah Pendekar
Gila yang dimaksudkan guru. Dan tentunya, Nisanak
ini pasti Mei Lie atau Bidadari Pencabut Nyawa," kata Pangeran Prapanca.
"Hi hi hi...! Dan tentunya, kau Pangeran Prapanca, bukan?" tebak Sena.
"Pranala. Hua ha ha...!" lanjutnya sambil menuding Pranala.
Betapa senangnya Pangeran Prapanca, setelah
tahu kalau kini sedang berhadap-hadapan dengan
Pendekar Gila. Tak terkira rasa terharu, di dalam hati putra mahkota itu.
Dipeluknya Pendekar Gila yang
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tuan Pendekar, tolonglah rakyatku!" harap
Pangeran Prapanca.
"Ah ah ah, mengapa kau seperti anak kecil,
Pangeran" Bangunlah! Lucu sekali, kalau seorang
pendekar menangis seperti anak kecil. Tak layak, meratap memelas meminta dikasihani," ujar Pendekar Gi-la sambil berusaha membantu
Pangeran Prapanca
bangun. "Pangeran, kebenaran dan keadilan, senantiasa dalam lingkungan Hyang
Widhi. Aku, dan Mei Lie
akan membantumu. Kau tetaplah berjuang, membantu
rakyat yang menderita! Kami berdua, akan turut di belakangmu. Kita bangkitkan semangat rakyat!"
"Oh, terima kasih, Tuan."
"Sena," sahut Pendekar Gila.
"Terima kasih, Sena, Mei Lie. Sungguh tak terkira bahagianya hatiku, mendengar kalian bersedia
membantuku," ujar Pangeran Prapanca sambil menggeleng-gelengkan kepala. Matanya menatap penuh persahabatan pada Pendekar Gila dan Mei Lie, yang tersenyum saling pandang.


Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kurasa, bukan kami berdua saja yang akan
membantumu, Pangeran. Buto Gege pun, akan kuminta bantuannya. Kuharap dia bersedia membantu kita!
Mei Lie dan aku, akan berusaha menghimpun para
pendekar," ujar Sena.
"Terima kasih..., terima kasih...."
"Eh eh eh, aku bukanlah raja yang harus disembah," kata Sena sambil membangunkan Pangeran
Prapanca dan Pranala yang hendak menyembah. "Sebagai kawan, sepantasnya aku berjuang demi rakyat
kerajaan mu, tanpa pamrih," ujarnya kemudian.
Pangeran Prapanca dan Pranala terpaku mendengar penuturan Pendekar Gila. Mata mereka memandang pemuda bertingkah seperti orang gila itu.
Sedangkan mulut mereka melongo bengong. Tak menyangka, kalau mereka akan mendengar petuah yang
begitu bijaksana dari seorang pemuda sebayanya yang
bertingkah laku gila.
"Oh, kau benar-benar seorang kawan sejati,
Sena. Betapa kecil dan tak berartinya diriku, dibandingkan dengan kalian," kata Pangeran Prapanca dengan senyum mengembang di
bibirnya. "Ah..., tidak Pangeran," kilah Mei Lie yang sedari tadi masih diam dengan senyum
mengembang, yang
menjadikannya semakin bertambah cantik. "Semua
manusia sama, ada kelebihan dan ada kekurangannya." "Benar apa yang kau katakan, Mei Lie. Sungguh beruntung sekali, aku
menemukan kawan-kawan
yang berjiwa besar," gumam Pangeran Prapanca sambil melirik pada Pranala yang
juga tersenyum. "Kurasa, ki-ta harus merayakan pertemuan ini. Pranala, apakah
arak masih ada?"
"Masih, Kakang," jawab Pranala.
"Ambillah! Kita rayakan persahabatan ini," perintah Pangeran Prapanca pada
saudara seperguruannya yang juga merupakan sahabat sejak kecil itu.
"Baik, Kakang."
Pranala pun segera berlalu meninggalkan mereka untuk mengambil guci-guci arak.
Tidak lama kemudian, Pranala telah keluar
membawa empat guci yang berisi arak. Ditaruhnya
keempat guci itu di atas tikar daun pandan.
"Mari, saudara Sena dan Mei Lie! Sebagai tanda
persaudaraan kita, kita rayakan dengan meminum
arak!" ajak Pangeran Prapanca.
"Mari!" jawab Mei Lie dan Sena bareng.
Namun tiba-tiba dari luar terdengar bentakan
keras, yang menyebabkan mereka mengurungkan meminum arak. "Orang-orang pengacau! Keluar kalian! Tempat
kalian telah kami kepung...!"
"Heh"!" Sena tersentak.
"Hah"!"
*** Keempat pendekar itu segera menaruh guci
arak di atas tikar. Mata mereka terbelalak saling pandang. Pendekar Gila
cengengesan sambil menggarukgaruk kepala. Sepertinya pemuda itu tak merasa takut
sedikit pun. Bahkan kini terdengar gelak tawanya memecah keheningan.
"Hua ha ha...! Orang-orang tolol yang ada di
luar. Kalau kalian mau ikut pesta, masuklah!" seru Sena sambil memberi kode pada
ketiga orang temannya yang mengangguk mengerti.
"Cuih! Bocah gila dari mana yang berani berkoar"!" terdengar suara mendengus marah. "Prajurit, serang mereka!"
Sena cengengesan dengan tangan menggarukgaruk kepala. "Aha, kita akan berpesta besar, Kawan. Bersiaplah menyambut lalat-lalat sombong itu!" ujar Sena.
Srt! Srt! Pangeran Prapanca dan Pranala segera mencabut pedang mereka. Sementara Pendekar Gila dan Mei
Lie nampak masih tenang, mengintai keluar. Nampak
sepuluh prajurit dengan senjata siap di tangan, berlari ke gubuk tempat keempat
pendekar muda berada.
"Seraaang...!"
Terdengar seruan dari luar, memerintah pada
prajurit untuk melakukan serangan.
"Aha, kita akan mulai pesta, Kawan!"
Dengan cepat Pendekar Gila membuka pintu
itu. Kemudian dengan cepat pula dihantamkan pukulan jarak jauh. Begitu pula dengan Mei Lie, langsung
menghantamkan pukulan jarak jauhnya yang tak kalah dahsyat. "Hea!"
"Yea!"
Angin kencang melesat cepat memburu sepuluh
prajurit yang hendak menyerang ke gubuk. Angin itu,
keluar dari pukulan yang dilontarkan Pendekar Gila.
Dibarengi larikan sinar merah kuning yang panas,
yang keluar dari hantaman tangan Mei Lie.
Zrt! Srt! Prattts! "Akh...!" sepuluh orang prajurit langsung memekik. Ada yang terpental ke
belakang kemudian
membentur pepohonan. Ada yang terbakar dan hangus. Dalam sekejap saja, tubuh mereka berhamburan
tak menentu arah. Hal itu membuat Perdana Menteri
Giri Gantra yang memimpin langsung penyerbuan
dengan dibantu beberapa tokoh hitam, semakin bertambah marah. "Kurang ajar! Seraaang...!" teriak Perdana Menteri Giri Gantra sambil
menggerakkan tangan. Seketika para prajurit kerajaan yang berjumlah dua puluh
orang melakukan serangan susulan.
Kedua puluh orang prajurit itu, langsung menyerbu dengan senjata diayun-ayunkan. Sementara
Perdana Menteri Giri Gantra, dengan senyum sinis seperti yakin akan menang duduk di atas kuda dengan
angkuhnya. Di samping kanan dan kirinya, duduk di
punggung kuda dua tokoh aliran hitam. Keduanya tak
lain Ki Naga Wilis dan Panglima Utama Rawa Sekti.
Di belakang mereka, juga menunggang kuda
empat tokoh dunia persilatan. Mereka tak lain, Nyi Ro-ro Cenil, Tirta Kayonan
atau si Pisau Maut, Gagak Selo, dan Resi Wisangkara. Sementara Buto Gege tak
nampak bersama mereka. Nampaknya sejak pertemuan dengan Pendekar Gila, manusia raksasa itu tak
mau lagi membantu pihak kerajaan. Karena dirinya
tahu, akan berhadapan dengan Pendekar Gila yang ilmu kesaktiannya tentu sama dengan kesaktian gurunya, Singo Edan.
Sementara Pendekar Gila yang melihat dua puluh prajurit menyerang, tak mau diam begitu saja. Segera dicabutnya Suling Naga Sakti. Begitu juga dengan Mei Lie. Gadis itu segera
mencabut Pedang Bidadarinya. "Aha, mendekatlah, Tikus-tikus Tolol! Kita pesta
bersama!" seru Sena.
"Kita harus menghadang mereka, Kakang!" ujar Mei Lie. "Kau takut?" tanya Sena.
"Tidak!" jawab Mei Lie.
"Aha, bagus! Sebagai calon istriku, kau tak boleh takut," kata Sena yang membuat pipi Mei Lie me-rona merah karena malu. Sebab
di situ ada Pangeran
Prapanca dan Pranala, yang tampak tersenyumsenyum mendengar ucapan Pendekar Gila.
"Sena, mereka semakin dekat!" seru Pangeran Prapanca mengingatkan.
"Aha, kita ladeni mereka!" sahut Pendekar Gila dengan cengengesan dan tangan
menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan berjingkrak seperti seekor kera Pendekar
Gila, melangkah keluar diikuti Mei Lie dan
Pangeran Prapanca dan Pranala.
"Heaaa...!"
Trang! Trang! Prakkk! Pertarungan seru antara keempat pendekar melawan para prajurit kerajaan pun tak terelakkan. Dalam sekejap saja, mereka telah terlibat dalam pertempuran sengit. Suasana hutan bambu yang semula sepi,
seketika berubah hiruk-pikuk. Suara jeritan dan pekikan keras terdengar ditingkahi pula dentangan nyaring pedang dan golok atau
tombak saling beradu. Pepohonan bambu morat-marit bertumbangan terterjang dan
terbabat senjata yang saling dikerahkan dengan tenaga dalam. "Heaaa...!"
"Hi hi hi...! Kurasa pesta akan semakin meriah,
Kawan," kata Pendekar Gila sambil cengengesan. Tangannya yang memegang Suling
Naga Sakti, tak hentihentinya menyambar ke tubuh lawan. Ucapannya ditujukan pada Pangeran Prapanca yang sudah mengenakan kembali cadar birunya, sehingga tidak dapat dikenali. Pendekar Gila dengan jurus 'Gila Terbang Menyambar Mangsa', melesat ke sana kemari sambil
membabatkan sulingnya. Sebentar kemudian tampak
tubuhnya telah berayun-ayun di pohon-pohon bambu,
mirip kera. Sementara tak henti-henti sulingnya dipukulkan ke kepala lawan yang berusaha menyerang.
Mulutnya terus tertawa terbahak-bahak jika
melihat lawan terpental lalu pingsan tersambar senjatanya yang terus berkelebat.
"Hi hi hi...! Kawan, puaskan hatimu berpesta!"
seru Sena pada Pangeran Prapanca dan Pranala yang
menyerang lawan-lawannya tak kalah ganas. Pedang di
tangan mereka, bergerak cepat membabat Setiap babatan pedang mereka, membuat nyawa prajurit melayang. "Hea!"
Wrt! Crab! "Akh...!" dua orang prajurit terjungkal terbabat pedang di tangan Pangeran
Prapanca dan Pranala.
Mei Lie pun yang dekat dengan Pendekar Gila,
bagaikan harimau betina yang garang. Julukannya sebagai Bidadari Pencabut Nyawa ternyata bukan julukan kosong. Sekali tangannya bergerak menggunakan
jurus 'Tebasan Bidadari Menyapu Jagad' sangat dahsyat. Sekali pedangnya bergerak, lima prajurit terpekik keras dengan tubuh
berlumuran darah.
"Hea!"
Wrt! Cras! Cras! Crasss...!
"Okh"!"
Lima prajurit seketika ambruk, Pangeran Prapanca dan Pranala terbelalak kaget. Mereka baru melihat sebuah jurus ilmu pedang yang sangat dahsyat.
Sekali gerak, lima prajurit terbabat perutnya.
"Hah...! Siapa perempuan itu..."!"
Bahkan bukan hanya Pangeran Prapanca dan
Pranala saja yang membelalakkan mata, menyaksikan
kehebatan jurus pedang Mei Lie. Semua yang ada di
hutan bambu terbelalak kaget. Hanya Pendekar Gila
yang masih cengengesan dengan tubuh berayun-ayun
tak ubahnya seekor kera sambil cengengesan dan terus menggaruk-garuk kepala.
"Aha, rupanya kau sedang haus darah, Mei! Hi
hi hi...!' Resi Wisangkara yang sudah menjajaki ilmu
pedang Mei Lie, nampak bergidik menyaksikan bagaimana dahsyatnya ilmu pedang gadis Cina itu. Dia tak
dapat membayangkan kalau beberapa waktu lalu ketika mereka bertarung, Mei Lie melakukan hal serupa.
Tentu tubuhnya yang gemuk dan tinggi besar itu akan
hancur. Mengerikan!
Melihat banyak prajuritnya mati, bukan membuat Perdana Menteri Giri Gantra menyadari kalau lawan tidak enteng. Bahkan Perdana Menteri Giri Gantra
semakin marah. Hatinya semakin penasaran, ingin melihat sampai sejauh mana keempat pendekar menghadapi anak buahnya.
"Roro Cenil, Gagak Selo, Tirta Kayon, dan Resi
Wisangkara, pimpinan prajurit! Tangkap mereka...!"
perintah Perdana Menteri Giri Gantra semakin bertambah gusar, menyaksikan kedua puluh prajuritnya kocar-kacir dan banyak yang mati. Kini tinggal empat
orang prajurit Itu pun sudah kelihatan tak bakal hidup lagi, mengingat keempat
pendekar bukanlah lawan
yang enteng. "Baik!" jawab Tirta Kayon, merasa yakin akan menang menghadapi keempat pendekar.
Sementara Gagak Selo, Nyi Roro Cenil, dan Resi Wisangkara yang
sudah pernah bentrok dengan mereka kelihatan agak
ciut nyalinya. Mereka tak berani sesumbar. Keempat
tokoh persilatan itu segera melesat dengan diikuti dua puluh orang prajurit lagi
untuk menggempur Pendekar
Gila dan teman-temannya.
"Seraaang...!" teriak Tirta Kayon memerintah.
"Aha, bagus! Semakin besar pestanya, Kawan!"
seru Sena sekaligus sebagai isyarat perintah bagi Pangeran Prapanca dan Pranala
serta Mei Lie untuk memapaki serangan prajurit kerajaan yang dibantu
keempat tokoh persilatan.
Pertarungan seru berlangsung lagi. Kini Pendekar Gila yang melihat keempat orang persilatan turut
serta, tak mau menganggap remeh. Dengan jurus 'Gila
Terbang Menyambar Mangsa', Pendekar Gila bergerak
menyerang lawan-lawannya. Suling Naga Sakti di tangan kanannya, bergerak menghantam kepala para prajurit yang mengurungnya.
Tuk! Tuk! Tukkk...!
"Aduh!"
"Wuaaa...!"
Lima orang prajurit yang terkena patukan kepala Suling Naga Sakti, seketika berputar-putar sempoyongan. Pandangan mereka berkunang-kunang. Kepala mereka berdenyut-denyut sakit, kemudian ambruk ke tanah dan pingsan.
Melihat kelima anak buahnya dalam sekali ge

Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

brak dapat dirobohkan oleh Pendekar Gila, si Pisau
Maut segera melemparkan puluhan pisau kecil yang
menghias di dadanya.
"Hea!"
Swing! Swing! Lima pisau kecil beracun melesat ke tubuh
Pendekar Gila, namun dengan cepat Pendekar Gila
mengelak. Tubuhnya melejit ke atas, kemudian dengan
gerakan ringan tangannya mengibaskan Suling Naga
Sakti memapak pisau-pisau itu.
Trang! Trang! Pluk! Pluk! Pisau-pisau itu berpentalan jatuh dan patah
karena tersambar Suling Naga Sakti. Hal itu membuat
Tirta Kayon tersentak kaget dengan mata terbelalak.
Sepertinya tak percaya, kalau pisau-pisau mautnya
yang terkenal tak pernah luput memburu lawan, kini
dengan sekali kibas saja berguguran ke tanah.
"Heh"!"
"Hua ha ha...! Pisaumu terlalu tumpul, Kawan!"
ejek Pendekar Gila dengan tawanya yang nyaring, berusaha membangkitkan amarah lawan. Namun Tirta
Kayon yang menyadari kalau pemuda gila itu bukan
lawan sembarangan, kini nampak hati-hati.
"Hm, pemuda ini bukan pemuda sembarangan.
Meski tingkah lakunya persis orang gila, ilmunya sangat tinggi. Apalagi suling berkepala naga itu," gumam Tirta Kayon dalam hari.
Matanya memandang tajam
menyelidik Pendekar Gila yang masih cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
*** Sementara itu, Mei Lie yang menghadapi Nyi
Roro Cenil dan kelima prajurit, nampak bergerak dengan cepat. Pedang Bidadari di tangannya, bagaikan
pencabut nyawa. Setiap kelebatan mengeluarkan hawa
panas yang menyentakkan Nyi Roro Cenil.
"Hea!"
Wrt! Wrt! "Uhhh...!" keluh Nyi Roro Cenil sambil melompat ke belakang dengan mata
membelalak. Dirasakan
serangan lawan begitu membahayakan dan mengeluarkan hawa panas. Namun baru saja melompat, terdengar olehnya pekikan kematian kelima prajuritnya yang
terbabat pedang Mei Lie.
Cras! Cras! Crasss...!
"Akh...!"
Mei Lie yang sudah menyelesaikan kelima prajurit, segera memburu Nyi Roro Cenil. Dengan jurus
'Tebasan Bidadari Memenggali Gunung', gadis itu terus menyerang Nyi Roro Cenil
yang tampak kelabakan.
"Hea!"
Wrt! Wrt! "Celaka!" pekik Nyi Roro Cenil sambil berusaha mengelakkan serangan pedang
lawan. Tangannya yang
memegang pedang, dengan cepat dibabatkan memapak
pedang lawan yang hendak menyerang. "Tak ada jalan lain. Heaaa...!"
Wrt! Trang! Prak! "Hah"!"
Nyi Roro Cenil mendelik, mendapatkan pedangnya dapat dibabat pedang lawan. Pedangnya kini patah
menjadi dua. Belum juga Nyi Roro Cenil hilang rasa
kagetnya, tiba-tiba Mei Lie telah kembali membabatkan Pedang Bidadari-nya yang
mengeluarkan sinar kuning
keemasan-emasan.
"Hea!"
Wrt! Nyi Roro Cenil yang tersentak kaget, dengan cepat berkelit ke samping kanan. Namun gerakan pedang
Mei Lie, ternyata jauh lebih cepat. Sehingga....
Cras! "Akh...! Tobat..!" Nyi Roro Cenil memekik, ketika bahu tangan kirinya terbabat
Pedang Bidadari. Seketika itu pula, tangan kin Nyi Roro Cenil putus dan
jatuh ke tanah dengan darah menyembur keluar. Perempuan setengah baya itu menjerit kemudian lari
meninggalkan pertarungan sambil mencaci-maki.
"Tunggulah pembalasanku, Bidadari...," Nyi Roro Cenil terus melesat semakin
jauh. Tak menghiraukan ancaman Nyi Roro Cenil
yang terus lari meninggalkan hutan bambu, Mei Lie
yang melihat Pranala dalam keadaan terjepit diserang
Gagak Selo segera membantu. Namun belum juga Mei
Lie menyerang, lima prajurit Gagak Selo telah menghadangnya. Sedangkan Gagak Selo kini terus menyerang
Pranala, bahkan....
"Heaaa!"
Wrt! "Ukh...!" Pranala tersentak, ketika cadarnya terbuka. Seketika semua orang yang
melihat tersentak
kaget, tak urung Perdana Menteri Giri Gantra sendiri
"Kau"!" mata Perdana Menteri Giri Gantra
membelalak, setelah mengenali siapa lelaki bercadar
ungu. Gagak Selo yang terkesiap setelah tahu siapa
maling budiman, tak dapat mengelitkan sebuah pukulan telak yang dilancarkan Pranala. Dan....
Degkh! "Ukh! Hoakh...!"
Gagak Selo memuntahkan darah segar, kemudian ambruk pingsan dengan luka dalam. Para prajurit
pun mati dengan perut terbabat pedang di tangan Mei
Lie. Sementara Pangeran Prapanca yang bertarung
menghadapi Resi Wisangkara, nampak masih terus berusaha melepaskan diri dari desakan lelaki tinggi besar itu, yang terus mencecar
dengan cakaran tangannya.
"Hea!" kembali Resi Wisangkara mencakar ke
wajah lawan. Gerakannya sangat cepat, membuat Pangeran Prapanca tersentak kaget. Pangeran muda itu,
berusaha menghindar ke samping sambil membabatkan pedangnya. Namun ternyata serangan Resi Wisangkara itu hanya pancingan. Ketika pedang lawan,
membabat tangan kanannya, dengan cepat Resi Wisangkara menarik serangannya. Kemudian dengan cepat menggerakkan tangan kiri, mencakar ke wajah lawan dan merenggut cadar biru yang menutupinya.
"Hih...!"
Bret! "Hah..."!"
Semua mata terbelalak, menyaksikan siapa sebenarnya maling budiman itu. Bahkan Resi Wisangkara sampai melototkan mata hampir keluar, setelah tahu siapa lawannya. Sedangkan Perdana Menteri Giri
Gantra terpaku di punggung kudanya, memandang
bagai tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Nah, bagaimana kelanjutan dari kisah "Sepasang Maling Budiman" ini" Apakah akan tertangkap"
Bagaimana pula dengan Pendekar Gila dan Mei Lie"
Apakah mereka dapat membantu Pangeran Prapanca
untuk mendapatkan haknya, atas Kerajaan Surya
Langit" Untuk lebih jelasnya, ikuti serial Pendekar Gila dalam episode:
"Undangan Maut".
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Pendekar Sakti Suling Pualam 21 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Pendekar Pedang Dari Bu Tong 6

Cari Blog Ini