Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan Bagian 2
diketahui kalau dia merasa terkejut.
"Apa itu, Kang Arya?" tanya gadis berpakaian serba putih sambil menudingkan jari
telunjuknya ke arah kejauhan Lelaki berambut putih keperakan itu tidak lain Arya
Buana. Dan, di gelanggang dunia persilatan ia dikenal dengan julukan Dewa Arak.
Lelaki itu segera mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjukkan gadis yang
berdiri di sampingnya.
"Asap...," gumam Arya perlahan. "Mungkinkah di sana ada kebakaran?"
"Mungkin dugaanmu benar, Kang," timpal gadis berpakaian putih.
"Kalau begitu..., kita harus cepat ke sana, Melati!"
sambut Arya memutuskan. "Barangkali di sana ada yang membutuhkan
pertolongan...."
Melati, si gadis berpakaian putih itu menganggukkan
kepala. Kini pasangan muda-mudi, yang sama-sama memiliki
kepandaian tinggi itu, melesat cepat ke arah asap hitam yang berarak ke angkasa.
Keduanya berlari dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh agar secepat mungkin
tiba di tempat asal asap.
Gerakan Arya dan Melati cepat bukan main. Sehingga
yang tampak hanya sekelebatan bayangan ungu dan putih yang melesat cepat.
Andaikan ada orang yang melihatnya, mungkin akan menyangka kalau bayangan ungu
dan putih itu adalah dua setan atau makhluk halus lainnya yang tengah berkejaran
di bawah siraman sinar bulan purnama.
Berkat ilmu meringankan tubuh, sepasang pendekar
muda yang telah mencapai tingkat kepandaian tinggi, sudah dapat melihat asal
asap itu Dahi Arya dan Melati berkemyit. Dugaan Dewa Arak
ternyata tidak meleset. Asap itu memang tidak terjadi secara wajar. Terbukti di
hadapan mereka, dalam jarak sekitar tujuh tombak, terlihat bangunan bangunan
yang terkurung oleh pagar kayu bulat tinggi.
Tapi bukan hal itu yang membuat dahi Arya dan
Melati berkerut. Melainkan keadaan pintu gerbang bangunan itu.
Bangunan-bangunan yang tidak tampak dari luar
karena tertutup oleh pagar kayu bulat itu, ternyata tidak mempunyai daun pintu
lagi. Tampak dua sosok tubuh
tergolek di depan ambang pintu gerbang, menimbulkan
dugaan di benak sepasang pendekar muda Itu, bahwa telah terjadi pembunuhan keji.
Hal itu membuat Arya dan Melati jadi semakin
mempercepat langkah. Sesaat kemudian, mereka telah
berada di dekat dua sosok tubuh yang telah tak bernyawa itu.
Arya dan Melati memperhatikan sekilas kedua sosok
tubuh itu. Mereka pun tahu, dua sosok tubuh berpakaian coklat itu telah tewas!
Arya dan Melati pun segera
mengalihkan pandangan.
"Perguruan Tapak Malaikat...," gumam Arya pelan ketika sepasang matanya
tertumbuk pada tulisan yang
tertera pada kayu berukir dan tergantung di atas pintu gerbang.
Memang, tempat itu adalah Perguruan Tapak Malaikat. Sedangkan dua sosok tubuh itu adalah mayat dua orang penjaga pintu
gerbang Perguruan Tapak Malaikat.
Semula keduanya belum tewas. Tapi, Gurida yang masih diliputi
rasa jengkel membunuh mereka sebelum meninggalkan tempat itu.
"Biadab...!" kutuk Arya geram ketika kakinya telah melangkah memasuki ambang
pintu gerbang Perguruan
Tapak Malaikat "Terkutuk...!" maki Melati.
Pemandangan yang terlihat oleh sepasang muda-mudi
itu memang cukup mendirikan bulu roma. Puluhan sosok tubuh, yang sebagian besar
di antaranya, sudah terlihat tak bernyawa, terhampar di sana-sini. Sedangkan tak
jauh dari situ, tampak bangunan-bangunan yang telah menjadi puing, berjajar.
Asap masih mengepul dari puing-puing itu.
Bergegas Arya dan Melati menghampiri puluhan sosok
tubuh yang tergolek. Barangkali masih ada yang bisa mereka selamatkan. Kemudian,
Arya dan Melati berjongkok dan memeriksa. Setiap kali mereka memeriksa, setiap
kali pula, bangkit dengan sikap lesu.
Berkali-kali hal itu yang dijumpai Arya dan Melati.
Tapi, mereka tidak putus asa dan terus memeriksa.
Mendadak.... "Kang...! Kemari...! Orang ini masih hidup...!"
Cepat Arya melesat ke arah Melati yang tengah
berjongkok di hadapan sesosok tubuh yang tergolek terlentang. Menilik dari pakaian yang dikenakan, Arya bisa menduga kalau sosok
itu adalah pimpinan Perguruan Tapak Malaikat
"Kau benar, Melati...," ucap Arya ketika selesai memeriksa keadaan sosok tubuh
yang tak lain Kl Gilang Sangkur itu. "Dia masih hidup. Tapi.... Keadaannya
terlalu parah. Dia tetap tidak dapat diselamatkan lagi...."
Melati menatap ke arah Arya. Ternyata kesimpulan
yang didapat kekasihnya tidak berbeda dengan pendapatnya.
Ki Gilang Sangkur tidak bisa ditolong lagi!
Mendadak Melati dan Arya mendengar suara langkah
kaki. Bergegas merela berpaling. Dan....
"Pembunuh biadab! Rasakan pembalasan kami!"
Suara makian keras dilontarkan ke arah Arya dan
Melati. Belum hilang gema bentakannya, sang pemilik suara yang terdiri dari dua
orang sudah melancarkan serangan.
Mereka mengibaskan dan menusukkan pedang dengan
mengeluarkan suara berdesing nyaring.
"Jangan jatuhkan tangan jahat, Melati. Mereka salah paham...!"
Arya langsung memberi peringatan pada Melati.
Makian kedua orang itu membuat pemuda berambut putih keperakan itu menduga kalau
mereka salah paham. Dan, dugaan itu diperkuat oleh warna pakaian yang dikenakan
dua orang itu sama dengan warna pakaian puluhan sosok mayat yang bergeletakan di
tanah. Melati bisa menduga mengapa Arya memerintahkan
demikian. Dan, tanpa banyak pikir lagi ia segera menganggukkan kepala. Sepasang muda-mudi ini melakukan lompatan harimau ke
samping. Arya ke samping kanan dan Melati ke samping kiri. Mereka berdua
bertumpu pada kedua telapak tangan. Lalu, mereka melompat saling mendekati.
Arya dan Melati berhasil mendaratkan kedua kakinya
di tanah tanpa mendapat halangan sama sekali, karena dua sosok bayangan coklat
yang menyerang mereka tidak
melanjutkan penyerangan.
Dua sosok bayangan coklat, yang terdiri dari dua
orang laki laki berusia tiga puluhan itu, rupanya lebih mementingkan
keadaan Ki Gilang Sangkur daripada menyerang Arya dan Melati.
Yang seorang di antara mereka langsung membungkukkan tubuh dan memeriksa keadaan Ki Gilang
Sangkur. Dia adalah seorang laki-laki berambut kecoklatan.
Sementara rekannya berdiri membelakanginya
dengan pedang melintang di depan dada.
"Bagaimana keadaan guru, Randaka?" tanya laki-laki yang berdiri dengan pedang di
tangan. "Tidak ada harapan, Gunawa," sahut laki-laki berambut kecoklatan yang dipanggil
Randaka. "Iblis-iblis
Jahanam! Kalian harus mempertang- gungjawabkan semua kekejian ini! tandas Randaka geram sambil bangkit berdiri.
Wajahnya merah padam. Sepasang matanya berkilat menyeramkan. Jelas, dia telah
dilanda kemarahan hebat.
Bukan hanya Randaka, tapi juga Gunawa marah
besar. Di samping perasaan marah yang berkobar, menyeruak pula rasa sedih. Pemandangan yang mereka
saksikan memang terlalu luar biasa! Mayat-mayat saudara seperguruan mereka, dan
perguruan mereka terbakar, juga keadaan Ki Gilang Sangkur sudah di ambang ajal.
Kenyataan itu memukul batin mereka.
"Sabar, Kisanak," ucap Dewa Arak buru-buru karena khwatir Randaka dan Gunawa
akan menyerang, sebelum ia berhasil memberikan penjelasan yang sebenarnya.
Arya tahu kalau dua orang itu adalah murid-murid
Perguruan Tapak Malaikat. Dan, itu diketahuinya dari pakaian dan gambar sulaman
yang sama dengan para
korban. Panggilan kedua orang itu terhadap Ki Gilang Sangkur kian mempertebal keyakinan
Arya akan dugaannya. Memang, kedua orang itu adalah murid kepala Perguruan Tapak
Malaikat yang tengah mendapat tugas ke luar perguruan.
"Bukan kami pelaku semua kekejaman ini!" ucap pemuda berambut putih keperakan
lagi. "Kalian kira kami percaya alasan itu, Keparat!"
sambut Randaka keras bernada kemarahan.
"Mana ada maling mengaku"!" sambung Gunawa tak kalah keras. Nada suaranya
terdengar penuh ejekan.
"Tutup mulut kalian, Manusia-Manusia
Berhati Kerdil!" sergah Melati tak kalah keras.
Memang putri angkat Raja Bojong Gading ini merasa
tersinggung bukan main, mendengar perkataan kasar dari dua orang murid Perguruan
Tapak Malaikat itu terhadap kekasihnya.
Randaka dan Gunawa terkejut ketika merasakan
getaran amat kuat menerpa dada mereka. Dari sini mereka sudah
dapat menduga kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam teriakan itu. Tidak mereka duga kalau seorang gadis semuda
Melati bisa memiliki tenaga dalam yang kuat. Tapi ketika teringat kematian semua
murid Perguruan Tapak Malaikat dan Ki Gilang Sangkur, keheranan mereka lenyap.
"Apakah mata kalian buta"! Tidakkah kalian bisa mengenali siapa orang yang
berdiri di hadapan kalian ini"!"
sambung Melati berapi-api.
"Melati...," ucap Arya pelan bernada menegur, dan berusaha mengingatkan Melati
untuk tidak melanjutkan ucapannya.
Tapi kali ini Melati tidak mempedulikan teguran Arya.
"Kalau kawanku ini mau..., mudah saja baginya
untuk membunuh kalian, sekalipun jumlah kalian ditambah seratus kali lipat!"
"Melati...."
Arya kembali menegur dengan suara lebih keras dari
semula. "Biar aku yang menyelesaikannya. Kang," potong Melati cepat. Dia tidak
memberikan kesempatan pada Arya untuk melanjutkan ucapannya.
Arya tidak berbicara lagi. Dia hanya mengangkat
kedua bahunya, pertanda menyerahkan seluruh keputusan kepada Melati.
Sementara itu, Randaka dan Gunawa menggertakkan
gigi karena geram mendengar ucapan Melati.
"Kematian bukanlah yang menakutkan bagi kami.
Wanita Jahat! Majulah! Dan serang kami! Bunuh kami
seperti kau membunuh rekan-rekan kami! Kami tidak mau menyerang lebih dulu
terhadap seorang wanita!" tegas Randaka agak bergetar karena hatinya diliputi
amarah. "Cihhh! Sombongnya!" cibir Melati "Buka telinga kalian lebar-lebar. Kawanku ini
bernama Arya Buana. Dan ia berjuluk Dewa Arak! Kalian dengar, Dewa Arak!"
'"Ah...!"
Jerit keterkejutan hampir berbarengan keluar dari
mulut Randaka dan Gunawa. Tanpa sadar sepasang mata
mereka terbelalak lebar. Bahkan kaki mereka pun melangkah ke belakang.
"Dewa Arak..."!" ucap Randaka dan Gunawa terbata-bata karena kaget. "Jadi....
kau.... Dewa Arak..."!"
Arya menganggukkan kepala.
"Begitulah orang memberiku julukan," jawab pemuda berambut putih keperakan itu
setengah berdesah. Tidak tampak adanya kebanggaan. Baik dalam ucapan maupun
raut wajahnya. "Kalau begitu..., maafkan kami, Dewa Arak. Kami telah menduga yang tidak patut
terhadapmu," ucap Gunawa sambil memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarung,
dan diikuti oleh Randaka.
Memang, kedua orang murid kepala Perguruan Tapak
Malaikat itu pecaya kalau pemuda berpakaian ungu yang berdiri di depan mereka
adalah Dewa Arak. Semua ciri-ciri yang terdapat pada diri pemuda itu sama
seperti yang selama ini mereka dengar. Rambut guci, dan pakaiannya semuanya ada
pada Dewa Arak.
"Lupakanlah. Kami tahu kalian salah paham. Dan, mungkin aku pun akan melakukan
hal yang sama bila berdiri di pihak kailan," sahut Arya bijaksana.
Diam diam Arya memuji kecerdikan Melati. Gadis itu
telah menemukan cara yang paling tepat untuk menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka.
Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih atas kebaikan hatimu. Dewa Arak," kali ini Gunawa yang
mengatakannya. "Namaku Arya. Panggillah namaku saja, jangan
julukanku. Risih kedengarannya," pinta Arya.
Randaka dan Gunawa saling pandang sejenak.
"Aku Randaka," ucap laki-laki berambut kecoklat-an menyebut namanya.
"Aku Gunawa," sebut rekan Randaka.
"Dan aku Melati," ucap Melati tak mau kalah.
Randaka dan Gunawa menganggukkan kepala. Diamdiam mereka memuji kecantikan Melati. Tentu saja keduanya tidak berani
mempelihatkan secara terang-terangan.
"O ya, Arya," ucap Randaka bernada akrab. "Apakah kau mengetahui pelaku kekejian
ini?" "Sayang sekali, Randaka," sahut Arya bernada penyesalan. "Aku tidak mengetahuinya. Keadaan sudah seperti ini sewaktu kami
sampai di sini."
"Hhh...! Sayang sekali...!" keluh Gunawa. "Kalau saja kujumpai, akan kuhancurkan
seluruh tulang-belulang iblis kejam itu"
Berbareng keluarnya ucapan itu, Gunawa mengepalkan kedua tangannya hingga terdengar suara-suara
gemeretak keras seperti ada tulang-tulang yang patah.
Bukan Gunawa saja yang merasa geram bukan
kepalang. Randaka pun demikian. Raut wajahnya tampak membesi.
Sepasang matanya terlihat berkilat-kilat memancarkan kemarahan.
"Kita bisa mengetahuinya dari mulut orang yang
selamat," kata Arya pelan.
"Tapi.... Rasanya tidak ada harapan baginya untuk hidup, Arya," lesu terdengar
ucapan yang dikeluarkan Randaka.
"Ya,"
sambung Gunawa. "Luka-lukanya
terlalu parah...."
Arya menganggukkan kepala.
"Apa yang kalian katakan sama sekali tidak salah.
Luka guru kalian terlalu parah, dan tidak ada harapan untuk hidup. Tapi, kita
dapat memanfaatkan sisa umurnya untuk mengetahui pelaku kekejian ini!"
"Aku belum mengerti maksudmu, Arya?" Randaka mengernyitkan alisnya.
"Begini. Aku bisa menyadarkan guru kalian, sebelum dia meninggal. Dari mulut
dia, kita dapat mengetahui siapa pelaku pembunuhan ini," jelas Arya. "Bagaimana"
Kalian menyetujui usulku?"
Randaka dan Gunawa saling pandang sejenak.
Kemudian, keduanya tahu kalau masing-masing pihak
menyetujui usul yang diajukan Arya.
"Baiklah, Arya," dengan berat hati Randaka mengucapkannya. "Kami menyetujui usulmu."
"Terima kasih."
Arya membungkukkan tubuhnya, dan duduk bersila.
Kemudian disusun jari-jarinya. Jari telunjuk dan tengah diluruskan, sedangkan
jari-jari lainnya dilipat ke dalam.
Tuk, tuk, tuk...!
Dengan kedudukan jari-jari tangan seperti itu, Arya menotok beberapa bagian di
tubuh Ki Gilang Sangkur.
Kemudian ia menghentikan totokannya. Lalu, ditariknya napas dalam-dalam, kedua
tangan dipertemukan di depan dada.
Beberapa saat lamanya, Arya bersikap seperti itu
sebelum akhirnya kedua telapak tangannya ditempelkan di punggung Ketua Perguruan
Tapak Malaikat.
Randaka, Gunawa, dan Melati mengamati dengan
penuh perhatian semua yang dilakukan Arya. Ketiga orang ini tahu, Dewa Arak
tengah menyalurkan hawa murni ke tubuh Ketua Perguruan Tapak Malaikat
Tak lama kemudian, tampak oleh mereka asap
mengepul dari kepala pemuda berambut putih keperakan itu, setelah menempelkan
kedua tapak tangannya di pungung Ki Gilang Sangkur.
"Huaaakh...!"
Dari mulut Ki Gilang Sangkur menyembur darah
kental berwarna kehitaman. Darah mati. Arya segera
melepaskan kedua tangannya dari punggung Ketua Perguruan Tapak Malaikat.
"Cepat tanyakan hal-hal yang ingin kalian ketahui,"
beritahu Arya. Peluh tampak membasahi dahi dan leher Arya. Jelas
kalau dia telah mengerahkan tenaga yang cukup banyak untuk menyadarkan Ki Gilang
Sangkur. Arya buru-buru duduk bersila untuk memulihkan
tenaga dalamnya yang telah terkuras. Sesaat kemudian, dia pun tenggelam dalam
keheningan semadi. Yang terdengar hanyalah napas keluar dan masuknya udara dari
dalam mulut dan hidungnya.
*** Menyadari waktu yang tersedia amat sedikit, Randaka
dan Gunawa buru-buru mendekati Ki Gilang Sangkur.
"Siapa yang telah melakukan semua kekejian ini, Guru?" tanya Randaka agak
bergegas. Ki Gilang Sangkur yang telah sadar, membuka
matanya yang sudah mulai kehilangan sinar. Napasnya
memburu seperti orang berlari jauh.
"U..., utusan... Perguruan... B... Bbb Bukit Larangan...," sahut Ketua Perguruan
Tapak Malaikat terputus-putus.
"Perguruan Bukit Larangan"!" ulang Gunawa setengah tak percaya.
Memang, dia telah mendengar tentang Perguruan
Bukit Larangan. Ya, sebuah perguruan yang penuh rahasia.
Bahkan Ki Gilang Sangkur pun telah melarang muridmuridnya mendekati bukit itu. Bahkan disediakan hukuman berat bagi murid-murid
Perguruan Tapak Malaikat yang melanggar larangan itu.
"Benar. Mereka-lah yang telah melakukan semua
pembantaian ini," jawab Ketua Perguruan Tapak Malaikat menegaskan. Kemudian ia
menceritakan semua kejadian
secara rinci. Randaka dan Gunawa mendengarkan penuh perhatian. Keduanya memusatkan seluruh perhatian cerita Ketua Penjuruan Tapak
Malaikat. Karena cerita itu dikeluarkan dengan suara terputus-putus, dan tak
sekali pun mereka menyelak.
"Begitulah
kejadiannya, Randaka," tutur Ketua Perguruan Tapak Malaikat mengakhiri ceritanya. "O ya. Kini mereka tengah menuju
tempat tinggal Dewa Halilintar. Cepat kau kesana. Katakan padanya akan ancaman
bahaya." "Boleh aku mengajukan pertanyaan, Guru?" tanya Randaka hati-hati.
"Katakanlah!" sambut Ki Gilang Sangkur cepat.
"Kami ingin tahu mengenai Perguruan Bukit Larangan itu, Guru. Bersediakah Guru
menceritakannya?"
Ki Gilang Sangkur menatap tajam wajah dua orang
murid secara berganti-ganti.
"Aku... aku tidak tahu banyak, Randaka. Guruku... Ki Tanjak Gara melarang
mendekati tempat itu. Ada ancaman berat yang akan dijatuhkan bila ke sana...,"
jawab Ketua Perguruan Tapak Malaikat. Dengan suara pelan-pelan dan terputusputus, sehingga sulit tertangkap.
"Tapi setidak-tidaknya, ada yang kau ketahui, Guru?"
Gunawa ikut mendesak. "Untuk memudahkan kami melakukan balas dendam atas utusan-utusan Perguruan
Bukit Larangan itu."
Ki Gilang Sangkur tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Deru napasnya makin memburu. Jelas, keadaan Ketua Perguruan Tapak
Malaikat sudah mengkhawatirkan.
"Yang aku tahu sedikit sekali, Randaka. Bukit Larangan, tempat terlarang untuk
dikunjungi. Bagi orang yang berani mendaki ke sana akan ditemukan mati. Tapi,
yang menjadi pertanyaan, kenapa Guruku melarang pergi ke
sana.... Dan...."
Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya kepala Ki
Gilang Sangkur terkulai, karena nyawanya telah melayang meninggalkan raga.
"Guru..!" panggil Randaka pilu.
"Guru...!" sebut Gunawa serak.
Kepala kedua orang murid Perguruan Tapak Malaikat
tertunduk. Mereka merasa terpukul menyaksikan kematian Ki Gilang Sangkur. Bahkan
hati Melati pun ikut terenyuh melihat kejadian di hadapannya.
"Sudahlah, Randaka, Gunawa. Yang sudah pergi,
relakan pergi. Sekalipun kita mengeluarkan tangis darah, guru kalian tak akan
kembali lagi," hibur Arya yang tahu-tahu telah berdiri di sebelah Randaka dan
Gunawa, yang duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk
Rupanya Arya telah menyelesaikan semadi.
Randaka dan Gunawa bangkit berdiri. Mereka menyadari kebenaran nasihat Arya.
"Lebih baik, kalian pusatkan untuk mencari pelaku pembunuhan keji ini. Tapi,
yang terpenting adalah me-nguburkan semua mayat-mayat yang ada-di sini"
Randaka dan Gunawa menganggukkan kepala.
"Terima kasih atas semua nasihatmu. Arya." Ucap Randaka serak karena perasaan
sedih menyesak hatinya.
Kini dua orang murid Perguruan Tapak Malaikat
sibuk mengumpulkan mayat-mayat saudara seperguruannya.
Arya dan Melati pun turut membantu. Sepasang muda mudi ini menggali beberapa
buah lubang untuk menaman mayat-mayat itu.
5 Dewa Arak, Melati, Randaka, dan Gunawa melesat
cepat meninggalkan Perguruan Tapak Malaikat. Tentu saja Melati
dan Arya tidak mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Karena bila hal itu dilakukan, kedua orang murid Kepala
Perguruan Tapak Malaikat itu akan tertinggal jauh. Apalagi, Arya dan Melati tidak tahu tempat tinggal Dewa
Halilintar. Kedua alasan itu membuat sepasang pendekar muda
itu terpaksa mengerahkan sebagian kecil ilmu meringankan tubuh, yang mereka
miliki. Agar dapat berlari bersama-sama dengan Randaka dan Gunawa.
Kerena keempat orang itu melakukan perjalanan
tanpa henti. Di samping itu ilmu meringankan tubuh
Randaka dan Gunawan sudah mencapai tingkatan lumayan.
Maka, menjelang tengah malam, mereka telah melihat
bangunan tempat tinggal Dewa Halilintar dari kejauhan yang diterpa sinar
rembulan. "Rasanya kita sudah terlambat," ucap Arya di sela-sela ayunan langkah kakinya.
"Celaka...!"
Teriak Randaka dan Gunawa hampir berbareng di sela
ayunan kaki mereka. Dan, karena saat itu keduanya telah mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu meringankan tubuh, maka suara mereka pun terputus-putus dan
memburu hebat Arya dan Melati mengalihkan pandangan ke arah
kejauhan. Tampak oleh mereka sebuah rumah yang tengah terbakar. Tapi, menilik
dari kobaran api yang sudah
mengecil, dapat diperkirakan kalau peristiwa itu sudah berlangsung lama.
"Itukah rumah Dewa Halilintar?" tanya Arya.
Dewa Arak mengajukan pertanyaan untuk meyakinkan kebenaran dugaannya. Karena memang dari kejauhan, hanya ada sebuah rumah yang tampak. Sebuah bangunan yang letaknya
terpencil, jauh terpisah dari bangunan lain.
"Benar," sahut Randaka lemah. Merasa terpukul sekali melihat kenyataan itu.
Mereka berempat mempercepat lari. Karena itu Randaka dan Gunawa tidak sempat
memperhatikan kalau nada bicara Arya terdengar biasa saja.
Tidak terputus-putus atau terengah-engah seperti dirinya
"Hhh...!" hanya helaan napas berat Dewa Arak yang menyahuti jawaban Randaka.
Arya tahu kecil kemungkinannya Dewa Halilintar
masih hidup, bila dilihat dari keadaan tempat tinggalnya.
Tapi, hal itu tidak diutarakannya agar Gunawa dan Randaka tetap tenang.
Sesaat kemudian, sekitar lima tombak dari tempat
tinggal Dewa Halilintar, keempat orang itu berdiri terpaku Sedang mata mereka
tertuju ke arah bangunan yang
terbakar, tempat tinggal Dewa Halilintar.
Api telah tidak berkobar lagi. Hanya kepulan asap dan puing-puing bangunan.
Samar-samar tercium bau sangit daging yang terbakar.
Sadar dari keterpakuan, Randaka dan Gunawa segera
menghampiri puing-pung itu. Dengan sebatang kayu mereka berdua mengais-kais
reruntuhan puing, guna mencari mayat-mayat yang terbakar.
Arya dan Melati mengernyitkan kening, ketika melihat kedua orang murid utama
Perguruan Tapak Malaikat itu menemukan beberapa sosok mayat yang terbakar.
"Apakah Dewa Halilintar tinggal sendirian di sini?"
tanya Arya heran. Ketika melihat Randaka dan Gunawa
menemukan dua sosok mayat yang telah hangus terbakar.
"Tidak," sahut Gunawa sambil menggelengkan kepala.
"Dewa Halilintar tinggal bersama dua orang pelayan, yang sekaligus menjadi
muridnya."
"Berarti..., ada kemungkinan Dewa Halilintar tidak terhitung dari orang yang
tewas," cetus Melati menduga.
"Siapa bilang aku tewas?" sambutan sebuah suara yang lain, sehingga membuat
Arya, Melati, Randaka, dan Gunawa memalingkan kepala ke arah asal suara.
Sekitar enam tombak di sebelah kanan mereka,
berdiri sesosok tubuh kecil kurus. Dalam siraman sinar rembulan yang cukup
Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terang di langit, tampak agak jelas wajahnya.
Pemilik suara itu ternyata seorang kakek berwajah
tirus. Kulit wajahnya agak keriput, tampak dihiasi kumis dan jenggot yang
jarang-jarang tapi panjang-panjang.
Usai berkata demikian, kakek kecil kurus itu melangkah menghampiri mereka. Setelah berlari Gunawa dan Randaka menghampiri pula.
"Ki Rajung...!" seru Randaka agak tersendat karena tidak menduga kalau kakek
kecil kurus itu ternyata selamat
"Ha ha ha...!"
Dewa Halilintar yang ternyata bernama Ki Rajung
tertawa. Tapi semua orang yang berada di situ tahu, nada tawa kakek itu tidak
keluar dari lubuk hati. Tawanya terdengar sumbang. Jelas, kalau ia tertawa
dengan terpaksa.
"Ah! Apakah mataku tidak salah lihat" Bukankah
kau..., Dewa Arak"!" seru Ki Rajung kaget ketika melihat Arya secara jelas.
"Hanya sebuah julukan kosong, Ki," ucap Arya merendah. "Tidak ada artinya bila
dibandingkan dengan nama besarmu."
"Kau terlalu merendah, Anak Muda," sambut Dewa Halilintar gembira, "Julukanmu
telah terkenal ke seantero dunia akibat sepak terjangmu yang luar biasa. Aku
kagum padamu, Dewa Arak. Semuda ini kau telah membuat nama besar di dunia
persilatan."
"Namaku Arya, Ki. Arya Buana," tegur Arya halus karena merasa risih mendengar
Dewa Halilintar begitu membesar-besarkannya.
"Luar biasa! Kepandaianmu ternyata bertolak belakang dengan sikapmu, Dewa..., eh... Arya. Kepandaianmu tak terukur
tingginya, begitu yang kudengar. Tapi sikapmu..., terlalu merendah."
"Maaf, Ki. Apakah ini tempat tinggalmu?" tanya Arya mengalihkan pembicaraan.
Ki Rajung bukan orang bodoh. Dia tahu kalau Arya
tidak suka melanjutkan pembicaraan itu. Maka, dia pun tidak memperpanjang lagi.
"Benar, De... eh! Arya," jawab Dewa Halilintar. "Ini tempat tinggalku. Sayang
sekali, aku tengah tidak berada di rumah ketika pertistiwa ini terjadi. Kalau
saja kutahu siapa pelaku semua kekejian ini..."
"Kami tahu siapa pelakunya, Ki," potong Randaka cepat
"Kalian tahu?" tanya Dewa Halilintar setengah tak percaya.
"Benar, Ki," kali ini Gunawa yang menjawab. "Almarhum guru kami yang
memberitahukannya..."
"Almarhum..."!"
tanya Dewa Halilintar setengah menjerit. Hampir berbareng Randaka dan Gunawa menganggukkan kepala. Karuan saja hal ini membuat Dewa
Halilintar melongo.
"Jadi...."
"Benar, Ki. Guru kami, Ki Gilang Sangkur telah tewas sore tadi."
"Ahhh...!" desah Ki Rajung sambil menundukkan kepala. Tampak jelas dia merasa
terpukul mendengar berita itu.
Baik Randaka maupun Gunawa tidak mau mengganggu. Keduanya segera menghentikan ucapan. Sedangkan Arya dan Melati diam
saja, mendengarkan. Sehingga suasana menjadi hening.
"Siapa yang telah membunuhnya,"
ucap Dewa Halilintar sambil mengangkat wajahnya, setelah berhasil menenangkan guncangan
hatinya. Meskipun demikian kesedihan pada wajah Dewa
Halilintar masih terlihat.
"Orang yang membunuh Guru, adalah orang yang
telah melakukan perbuatan biadab di tempat tinggalmu juga, Ki," jawab Randaka.
Kemudian secara singkat tapi jelas diceritakan semua kejadian yang menimpa
Perguruan Tapak Malaikat. Randaka dan Gunawa berganti-ganti menceritakannya.
"Begitulah kejadiannya, Ki. Kalau saja tidak ada pemberitahuan dari Guru,
mungkin kami pun tidak tahu pelaku kekejian itu," tutur Randaka mengakhiri
ceritanya. "Tidak mungkin!" tandas Dewa Halilintar keras. "Aku tidak percaya kalau utusan
Perguruan Bukit Larangan yang melakukannya! Kalian pasti salah dengar!"
"Kalau hanya aku yang mendengar, mungkin boleh
kau tidak percaya, Ki," bantah Randaka. "Tapi bukan aku sendiri yang mendengar.
Gunawa pun mendengar. "
"Kami pun mendengar pula ketika Ki Gilang Sangkur menceritakan semuanya,"
sambung Arya ikut angkat bicara.
Dewa Halilintar tercenung. Menilik dari kerut-kerut
pada dahinya, bisa diperkirakan kalau dia tengah berpikir keras.
"Mungkinkah pelaku pembunuhan ini adalah utusan-utusan Perguruan Bukit Larangan"
Lalu, kalau benar,
mengapa?" ucap Ki Rajung pelan seperti ia berbicara dengan dirinya sendiri.
"O ya, Ki," ujar Gunawa. "Menurut Guru, semula utusan-utusan Perguruan Bukit
Larangan itu tidak berniat melakukan pembantaian. Karena hanya ingin bertemu
dengan Ki Tanjak Gara. Anehnya, mereka menduga kalau Ki Tanjak Gara Ketua
Perguruan Tapak Malaikat."
"Benar, Ki," sambung Randaka. "Bahkan utusan-utusan itu telah menyiksa Guru
secara keji untuk meminta keterangan tempat berada Ki Tanjak Gara."
Semakin dalam kerutan di dahi Dewa Halilintar.
"Utusan-utusan itu mencari Tanjak Gara.... Kemudian ke tempat tinggalku. Berarti
mereka mencariku dan Ki Tanjak Gara.
Mungkinkah utusan-utusan itu dikirim untuk melenyapkan Tanjak Gara dan aku"! Kalau begitu berarti dia telah mengkhianati
perjanjian yang telah disepakati!"
Randaka, Gunawa, Arya, dan Melati saling pandang.
Mereka tidak mengerti maksud ucapan Dewa Halilintar.
"Ki..., boleh aku mengajukan pertanyaan?" ujar Arya dengan hati-hati melihat
Dewa Halilintar tercenung diam.
Ki Rajung menatap wajah Arya.
"Silakan, Arya. Katakanlah apa yang ingin kau
tanyakan padaku?"
Arya berdehem sebentar.
"Lebih dulu aku mohon maaf, Ki. Aku bukan
bermaksud mencampuri urusan ini...."
"Langsung saja pada pokok persoalan, Arya," potong Dewa Halilintar yang membuat
Melati mengernyitkan alis tidak senang.
"Baiklah kalau begitu, Ki," ucap Arya lega walau wajahnya memerah. "Mengapa kau
sepertinya tidak percaya kalau pelaku semua ini, orang-orang Perguruan Bukit
Larangan" Kalau boleh kutahu, mengapa perguruan itu
mempunyai nama yang begitu aneh?"
Randaka, Gunawa, dan Melati mengangguk-anggukkan kepala. Memang, mereka pun ingin menanyakan hal itu Tapi, mereka merasa
sungkan. Tidak aneh, begitu Arya menghentikan
pertanyaan, mereka bersiap-siap mendengarkan jawaban Ki Rajung.
*** Dewa Halilintar menarik napas panjang-panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat. Rupanya dia merasa berat untuk menceritakan pada
Arya dan yang lainnya.
"Sebenarnya ini rahasia perguruan...," kata Ki Rajung membuka cerita.
"Kalau begitu..., kau tidak usah menceritakannya, Ki,"
sergah Arya cepat dengan perasaan tidak enak.
Ki Rajung menggelengkan kepala. Kedua tangannya
dijulurkan ke depan. Arya tahu, Dewa Halilintar menyuruhnya diam. Maka dia pun tidak melanjutkan
ucapannya. 'Tapi, setelah kupertimbangkan..., rasanya kailan
patut mengetahuinya. Meskipun, semula aku ingin rahasia itu hanya diketahui oleh
kami bertiga. Barangkali, kalian bisa memberikan bantuan pikiran padaku.
Terutama sekali kau, De..., Arya."
Dewa Halilintar menghentikan ceritanya sejenak.
Diedarkan pandangannya berkeliling, dan menatap satu persatu wajah-wajah yang
penuh minat di sekelilingnya.
"Puluhan tahun lalu..., mungkin sekitar lima puluh tahun lalu. Aku, Tanjak Gara,
dan Wiratmaja menjadi murid seorang tokoh sakti yang mengasingkan diri. Entah
karena apa dia mengasingkan diri, kami sendiri tidak tahu. Maaf, namanya tidak
bisa kusebutkan."
Dewa Halilintar menghentikan ceritanya sejenak
untuk mengambil napas.
"Beliau mempunyai sebuah bangunan megah di
sebuah bukit yang akhirnya dinamakan Bukit Larangan.
Karena tidak diperkenankan seorang pun mendaki bukit itu.
Apalagi sampai memasuki bangunan itu. Pokoknya, siapa pun yang melanggar akan
menerima hukuman berat, dan
mati secara mengerikan."
"Kejam!" cetus Melati tak sabar
Karuan saja ucapan itu membuat Gunawa, Randaka,
dan terutama sekali Dewa Arak menatap ke arah wajah kakek itu. Ada nada
ketidaksenangan dalam sorot mata kakek kecil kurus itu.
Arya tahu kalau Melati telah keterlepasan berbicara.
Lalu, ia langsung menyentuh punggung Melati untuk
memberi isyarat agar gadis itu diam saja.
"Memang kejam, Nisanak," kata Dewa Halilintar getir.
"Tapi, aku yakin ada alasan yang mendorong guruku bertindak seperti itu.
Walaupun sampai sekarang aku tetap belum mengetahuinya."
"Maafkan atas ucapan kawanku itu, Ki," ucap Arya buru-buru.
"Ah! Tidak mengapa, Arya. Memang begitulah sifat orang muda. Aku pun dulu
bersikap seperti itu. Jadi, aku memakluminya," sambut Ki Rajung bijaksana.
"Syukurlah kalau begitu, Ki," kata Arya gembira. Dia berpura-pura tidak melihat
raut wajah Melati yang berubah cemberut.
"Kita kembali ke pokok pembicaraan," ujar Dewa Halilintar mengalihkan
pembicaraan. "Setelah guru mangkat, beliau memberikan pesan pada kami bertiga.
Dia minta agar kami bergiliran menjaga bangunan miliknya. Bukit tempat
tinggalnya tetap menjadi daerah terlarang. Dan, itu peraturan yang tidak beleh
dilanggar!"
Ki Rajung berdehem sebentar untuk memulihkan
suaranya yang telah serak, karena tenggorokannya kering akibat terlalu banyak
bercerita. "Melalui sebuah perdebatan sengit di antara kami bertiga aku, Tanjak Gara dan
Wiratmaja saling mengajukan alasan untuk dapat menjaga bangunan peninggalan
guru. Hasilnya nol besar. Akhirnya diputuskan melalui sebuah pertarungan. Siapa yang
keluar sebagai pemenang, berhak menjaga bangunan itu."
"Jadi..., Ki Wiratmaja yang keluar sebagai pemenang dalam pertarungan itu, Ki?"
setah Randaka tidak sabar. Dan, ada nada kekecewaan dalam ucapannya ketika
mengetahui Ketua Perguruan Tapak Malaikat kalah bertarung.
"Benar," sahut Dewa Halilintar dengan suara kering.
Jelas dia merasa kecewa dengan kekalahannya. "Wiratmaja keluar sebagai
pemenangnya. Dan, dia berhak sebagai
penjaga bangunan itu. Tapi, sesuai perjanjian yang kami sepakati, dia akan
menjaganya selama sepuluh tahun.
Setelah itu, diperebutkan kembali lewat pertarungan."
Ki Rajung menelan air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
"Tapi, pertarungan kedua dan ketiga pun kembali Wiratmaja yang keluar sebagai
pemenang. Bahkan, harus kami akui. Kepandaian yang dia miliki mengalami kemajuan
yang pesat. Rupanya dia memperdalam kepandaiannya dari kitab-kitab yang ada di
sana." Arya mengangguk-anggukkan kepala. Dia mulai bisa
menarik hubungan dari semua peristiwa yang terjadi.
"Kami pun tidak tinggal diam dan terus melatih diri.
Kini, masa pertarungan tinggal belasan hari lagi. Baik aku maupun Tanjak Gara
telah menciptakan ilmu-ilmu baru
untuk dipakai menghadapi pertarungan yang akan berlangsung. Sungguh tidak kusangka akan terjadi peristiwa unik seperti ini.
Utusan-utusan Perguruan Bukit Larangan yang datang mencari Tanjak Gara dan aku dengan niat tidak baik.
Padahal, waktu pertarungan tinggal beberapa hari lagi. Aneh!
Apakah Wiratmaja bermaksud mengkhianati persetujuan
kami?" Suasana menjadi hening ketika Dewa Halilintar
menghentikan ucapannya. Karena Arya, Melati, Gunawa, dan Randaka sama sekali
tidak menanggapinya lagi. Rupanya mereka tenggelam dalam lamunannya masingmasing. "Tidak mungkinkah ada orang luar yang bermaksud mengadu domba?" cetus Arya
menduga. Melati, Randaka, dan Gunawa menganggukkan kepaia. Mereka membenarkan dugaan pemuda berambut
putih keperakan itu.
"Tidak mungkin, Arya. Karena yang mengetahui
rahasia ini hanya aku. Tanjak Gara, dan Wiratmaja. Dan, kami semua tidak
menceritakan hal ini pada murid-murid kami," ucap Ki Rajung mengajukan alasan.
Arya pun terdiam.
"Ah...! jadi..., kau dan Ki Tanjak Gara saudara seperguruan, Ki?" tanya Randaka
kaget. "Kalian tidak mengetahuinya, bukan?" Dewa Halilintar, malah balas mengajukan
pertanyaan. Gunawa menggelengkan kepala.
"Ki Tanjak Gara sama
Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali tidak memberi- tahukannya pada kami. Entah pada Ki Gilang Sangkur."
"Aku yakin, Tanjak Gara tidak menceritakan masalah ini pada siapa pun," ucap Ki
Rajung mantap. Keyakinan yang amat sangat tampak jelas, baik pada nada suara
maupun sikapnya.
Arya, Melati, Randaka dan Gunawa diam. Mereka
tidak menanggapi ucapan kakek kecil kurus itu
"Lalu..., apa yang harus kami lakukan, Ki?" tanya Randaka memecahkan keheningan.
"Hm..., maksud kalian
bagaimana"
Aku belum mengerti."
Randaka terdiam. Sejenak memikirkan kata-kata yang
tepat agar tidak menyinggung perasaan Dewa Halilintar.
"Perguruan kami dibasmi, Ki. Guru dan semua
saudara perguruan kami dibantai. Kami tidak bisa membiarkan peristiwa ini!"
"Jadi..., kalian bermaksud membalas dendam?" tanya Ki Rajung mulai mengerti
maksud pembicaraan Randaka.
"Hanya itulah yang bisa kami lakukan untuk membalaskan sakit hati Guru dan semua saudara perguruan kami, Ki!" Gunawa yang
memberikan alasan.
Dewa Halilintar berpikir keras. Sedang Randaka diam
saja, menunggu jawaban dari lelaki berwajah tirus itu.
Sementara Arya dan Melati hanya memandangi mereka.
6 Ki Rajung mengangguk-anggukkan kepala. Dia dapat
memaklumi perasaan yang melanda hati kedua orang murid Perguruan Tapak Malaikat
itu. "Aku tidak bisa menyalahkan tindakan yang akan
kalian lakukan," ucap Ki Rajung pelan. "Aku pun mungkin akan melakukan hal yang
serupa bila aku berada di pihak kalian. Tapi...."
"Tapi kenapa, Ki?" potong Gunawa tidak sabar.
"Kalian tidak ingat cerita yang baru saja kubeberkan tadi...?" tanya Ki Rajung
menjawab pertanyaan Gunawa Randaka, Gunawa, Arya, dan Melati terdiam dengan
alis bekernyit. Rupanya bukan hanya Ki Rajung dan Gunawa saja yang jadi
tercenung untuk mengingat-ingat cerita Ki Rajung.
"Cerita mengenai pesan guruku...," tambah Ki Rajung memberi
bantuan pada keempat orang muda untuk mengingat-ingat ceritanya. Randaka dan Gunawa saling pandang. Ucapan tambahan Ki
Rajung membuat mereka
mengetahui apa yang dimaksudkan.
"Kalau kalian berniat untuk membalas dendam,
berarti kalian pergi menuju Bukit larangan, kan?" terka Ki Rajung.
Randaka dan Gunawa mengangguk membenarkan.
Sedang Arya dan Melati hanya mendengarkan. Mereka
berdua pun sudah mengerti arah pembicaraan Ki Rajung.
"Sebagai salah seorang murid yang baik, aku harus mematuhi semua perintah
guruku. Dan, guruku melarang siapa saja tidak boleh mendaki Bukit Larangan.
Apalagi memasuki bangunan peninggalannya."
Sampai di sini, Ki Rajung menghentikan ucapannya.
Mata Ki Rajung memandangi satu persatu wajah-wajah yang ada di hadapannya. Dia
ingin melihat tanggapan mereka atas ucapannya.
Wajah Arya dan Melati tampak biasa-biasa saja. Tapi
tidak demikian dengan Randaka dan Gunawa. Kedua orang murid Perguruan Tapak
Malaikat ini, tahu kalau mereka akan mendapatkan sebuah sandungan berat Meskipun
Ki Rajung belum menyelesaikan ucapannya, mereka sudah bisa menebak kalau kakek itu
akan menghalangi mereka untuk pergi ke Bukit Larangan.
"Jadi..., bagaimana kalau kami ingin pergi ke sana juga, Ki?" tanya Randaka
dengan suara bergetar karena dilanda perasaan tegang.
"Aku akan mencegah kalian!" tandas Ki Rajung mantap. "Sudah kukatakan, siapa pun
tak akan kubiarkan pergi ke sana! Tanpa kecuali!"
"Kau tidak adil, Ki!" tandas Gunawa keras. "Kau tahu, kami tidak ingin mencari
urusan! Tapi kami hanya meminta keadilan! Menuntut balas pada orang-orang yang
telah menghancurkan perguruan kami!"
"Apa pun alasan kalian! Aku tetap tidak dapat
membiarkan siapa pun pergi ke sana!" sambut Ki RaJung tak kalah keras. Jelas
amarah kakek kecil kurus ini mulai berkobar.
"Lalu..., haruskah kami membiarkan iblis-iblis dari Bukit Larangan yang telah
melakukan kekejian-kekejian itu"!" dalam keadaan amarah yang menggelegak,
Randaka memaki sejadi-jadinya.
"Tutup mulutmu. Monyet kecil!" bentak Ki Rajung keras.
Karena amarah yang mendera, teriakan itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Tidak aneh kalau membuat kedua kaki
murid Perguruan Tapak Malaikat menggigil keras. Dan, telinga mereka pun terasa
mendengung keras dengan dada bergetar.
Tapi, hal yang seperti itu sama sekali tidak menimpa Arya dan Melati. Memang,
dengan pengerahan tenaga dalam yang dimiliki, mereka berhasil menekan pengaruh
teriakan itu. "Sekali lagi kau ucapkan kata-kata kotor itu, aku tak akan segan-segan untuk
memukul mulutmu sampai hancur!"
ancam Ki Rajung dengan wajah merah padam. Jelas, dia tengah dilanda kemarahan
hebat. "Kami bukan orang yang mudah digertak, Ki!"
Randaka malah menyambut ancaman yang diajukan Ki
Rajung. "Demi membela guru dan saudara-saudara
seperguruan, kami rela mati!"
"Ya! Siapa pun yang menghalangi, kami akan tetap pergi ke bukit tempat tinggal
iblis-iblis itu!" sambung Cunawa tak kalah keras.
"Keparat! Hih...!"
Diiringi suara makian keras, Ki Rajung mengibaskan
tangannya ke arah pelipis Gunawa.
Wuttt...! Dari deru angin keras yang mengawali datangnya
serangan itu, dapat diduga kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.
Dan, memang kibasan tangan Ki Rajung mampu menghancurkan batu yang paling keras
sekalipun Kini sasaran yang dituju adalah pelipis Gunawa, yang merupakan salah satu bagian
terlemah dari anggota tubuh manusia. Akibat serangan ini sudah bisa diterka.
Kepala Gunawa akan hancur berantakan. Tapi sebelum serangan itu mengenai
sasaran, sebuah tangan meluncur memapak
Plakkk...! Suara benturan keras terdengar ketika kedua tangan
itu berbenturan. Akibatnya, pemilik masing-masing tangan terhuyung mundur ke
belakang. Ki Rajung menggertakkan gigi. Dengan sepasang mata
bernyala-nyala, segera ia mengalihkan pandangannya ke arah orang yang telah
menangkis serangannya. Dan seperti yang sudah diduga, pemilik tangan itu tidak
lain Dewa Arak!
"Tidak sepantasnya kau menjatuhkan tangan maut
pada orang yang berjiwa pendekar seperti dia, Ki," tegur Arya halus.
"Kau tidak usah mengajariku. Pemuda Sombong!"
bentak Ki Rajung keras. Amarahnya, memang semakin
berkobar-kobar karena tindakan Arya, yang telah lancang menangkis serangannya.
Apalagi ketika pemuda berambut putih keperakan itu menegurnya.
"Aku sama sekali tidak bermaksud demikian, Ki," kata Arya masih dengan suara
pelan. "Jangan kira karena kau adalah Dewa Arak, lalu bisa seenaknya saja berbicara"!"
tanpa peduli pada jawaban Arya, Ki Rajung terus saja mengumbar kemarahannya.
"Jangan kau kira aku takut padamu, Dewa Arak! Memang, sudah
lama aku ingin menjajal kepandaianmu! Bersiaplah kau!"
"Ki..!" Arya masih mencoba meredakan kemarahan Ki Rajung.
Tapi sia-sia. Dewa Halilintar tidak mempedulikan
ucapannya. Dia langsung melancarkan serangan ke arah Dewa Arak. Dia melompat dan
menerjang Dewa Arak. Begitu tubuhnya telah berada di udara, kaki kanannya
bergerak mengibas kepala Arya.
Wuttt...! Kibasan itu lewat di atas kepala ketika Dewa Arak
merendahkan tubuhnya. Menilik dari angin kibasannya, yang mampu membuat rambut
dan pakaian Arya berkibar keras, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang
terkandung pada serangan itu.
"Hup...!"
Dengan cepat kakinya dijejakkan di tanah, secepat itu pula Ki Rajung melancarkan
serangan susulan. Kaki kirinya meluncur cepat ke arah dada Arya. Tapi, karena
saat itu kedudukan pemuda berambut putih keperakan itu tengah membungkuk,
tendangan itu mengancam kepalanya.
Dewa Arak bersikap tenang. Dengan sekali menjejakkan kaki, tubuhnya telah dilemparkan ke belakang.
Sehingga untuk kedua kalinya serangan Dewa Halilintar mengenai daerah kosong.
Gerakan Dewa Arak tidak berhenti sampai di situ saja.
Ketika kedua kakinya mendarat di tanah, kembali ditotolkan.
Kali ini lebih keras dari sebelumnya, sehingga tubuhnya terlempar jauh ke
belakang. Hal itu terpaksa dilakukan Arya untuk menghindari serangan susulan
Dewa Halilintar.
Dugaan Arya sama sekali tidak meleset. Ketika
melihat serangannya kembali berhasil dielakkan. Dewa Halilintar segera melompat
dan mengejar. Kali ini, Dewa Arak memutuskan untuk mengadakan
perlawanan. Disadarinya, menghadapi orang yang memiliki kepandaian seperti Dewa
Halilintar, tanpa mengadakan perlawanan merupakan perbuatan konyol. Kecuali bila
ia menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
Setelah mengambil keputusan demikian, kedua kakinya telah menjejak tanah. Dewa Arak pun bersiap
mengadakan perlawanan. Tapi ia tidak menggunakan ilmu
'Belalang Sakti', melainkan ilmu yang diwarisi dari ayahnya, ilmu 'Sepasang
Tangan Penakluk Naga" dan ilmu 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau'. Dua jenis ilmu yang mempunyai keistimewaan serupa, sama-sama menitikberatkan pada penyerangan.
Pertarungan antara Dewa Halilintar dan Dewa Arak
tak terelakkan lagi. Dan, mereka pun terlibat dalam
pertarungan yang seru dan sengit.
Melati, Randaka, dan Gunawa memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh minat. Mereka menyaksikan dari tempat yang berjarak sekitar sepuluh tombak.
Ketika Ki Rajung melancarkan serangan ke arah Dewa
Arak, memang ketiga orang itu buru-buru mundur menghindar agar tidak terkena serangan nyasar. Kini mereka, terutama sekali,
Randaka dan Gunawa memperhatikan
dengan penuh semangat pertarungan yang tengah berlangsung di depan mata.
Tapi, karena tingkat kepandaian kedua murid Perguruan Tapak Malaikat itu terpaut jauh, baik dengan Dewa Arak dan Dewa
Halilintar, maka betapapun mereka melihat secara jelas. Namun tetap saja yang
mereka lihat bayangan ungu dan kuning yang berkelebatan cepat. Terkadang kedua
bayangan itu saling belit. Tapi tak jarang saling pisah.
Karena kedua belah pihak memiliki ilmu meringankan
tubuh yang tinggi, tidak aneh bila pertarungan sudah berlangsung hampir lima
puluh jurus. Dewa Halilintar menggertakkan gigi karena setelah
sekian lamanya bertarung, tidak juga mampu mengalahkan lawan.
Jangankan mengalahkan, tanda-tanda untuk mendesak pun belum terlihat. Padahal, tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh,
telah dikerahkan seluruhnya.
Karuan saja hal ini membuat Dewa Halilintar penasaran bukan kepalang. Haruskah
dikeluarkan ilmu andalannya"
Berbeda dengan lawannya, Dewa Arak sama sekali
tidak merasa berat menghadapi pertarungan itu. Memang, Arya
sama sekali
Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mengerahkan seluruh kemampuannya. Tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh, hanya ia kerahkan tiga
perempat saja. Dengan kemampuan itu, Dewa Arak sudah cukup untuk mengimbangi
Dewa Halilintar. Bahkan serangan-serangan yang dilancarkannya pun
tidak terlalu menggebu-gebu. Beberapa kali ketika ia berhasil mendesak lawan,
segera ia menghentikan serangan untuk memberi kesempatan bagi Dewa Halilintar
memperbaiki keadaan. Dewa Halilintar bukan orang bodoh! Tentu saja dia
tahu, Dewa Arak bersikap mengalah. Dan, sikap itu telah membuat Ki Rajung
penasaran. Apalagi ketika menyadari lawan belum mengeluarkan ilmu 'Belalang
Sakti' yang merupakan andalannya.
Menginjak jurus ke delapan puluh tiga, Dewa
Halilintar melemparkan tubuh ke belakang dan bersalto.
Kemudian tubuhnya meluncur turun, ketika telah berjarak sekitar tujuh tombak
dari tempat Arya. Dewa Arak tidak mempergunakan kesempatan itu untuk melakukan
serangan susulan.
Dewa Halilintar berdiri dengan kedua kaki terpentang agak
lebar. Ditariknya napas dalam-dalam sambil mengepalkan jari-jari tangan. Suara berkerotokan seperti ada tulang-tulang yang
patah, terdengar tatkala jari-jari tangan kakek kecil kurus ini terkepal.
Dewa Arak hanya memperhatikan saja. Dia tahu Dewa
Halilintar telah bersiap menggunakan ilmu andalannya.
Apalagi kalau bukan ilmu 'Tinju Halilintar' yang telah membuat julukannya
menjulang di dunia persilatan.
Memang julukan Dewa Halilintar telah menggemparkan dunia persilatan belahan Barat belasan tahun yang lalu. Dan, itu terjadi
karena sepak terjang kakek kecil kurus ini selalu bertindak brutal terhadap
tokoh-tokoh golongan hitam yang menjadi lawannya.
Tapi julukan Dewa Halilintar hanya menggaung
beberapa tahun saja. Setelah itu lenyap dan tak terdengar beritanya lagi. Karena
ia menarik diri dari dunia persilatan untuk menyempurnakan ilmunya.
Sementara itu, meskipun Dewa Arak tahu Dewa
Halilintar telah mengeluarkan ilmu andalannya, tapi ia belum berniat
mengeluarkan ilmu 'Belalalng Sakti'nya. Dia yakin mampu menahan serbuan ilmu
lawan dengan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan
Penakluk Naga'.
Mendadak.... "Tahan...!"
Suara bentakan keras yang menggetarkan seluruh
tempat itu terdengar. Jelas, suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
dalam yang tinggi.
Dewa Arak, Randaka, Gunawa, Melati, dan Dewa
Halilintar kontan menolehkan kepala ke asal suara. Tapi yang paling terkejut
justru Dewa Halilintar karena dia kenal betul pemilik suara itu.
"Tanjak Gara...!" seru Ki Rajung keras seraya bergerak meninggalkan
kancah pertarungan, dan membatalkan penggunaan ilmu 'Tinju Halilintar'nya.
Bukan hanya Ki Rajung yang merasa terkejut bukan
kepalang. Randaka dan Gunawa pun memiliki perasaan yang sama. Walaupun jarang
bertemu dengan Tanjak Gara, tapi mereka mengenalnya.
Tanjak Gara adalah kakek guru mereka. Karena guru
mereka, Gilang Sangkur, murid Tanjak Gara. Tanjak Gara-lah yang mendirikan
Perguruan Tapak Malaikat
Tapi karena sikap Tanjak Gara yang aneh, Randaka
dan Gunawa tidak berani bergerak mendekat. Mereka hanya berdiri dan
memperhatikan Ki Rajung yang melangkah
menghampiri Tanjak Gara dengan bergegas. Mereka membiarkan Ki Rajung bertemu dengan Tanjak Gara terlebih dahulu.
*** Dengan raut wajah beseri-seri, Ki Rajung melangkah
menghampiri seorang laki-laki tinggi besar berpakaian coklat.
Wajahnya dipenuhi cambang bauk yang lebat. Dialah Tanjak Gara.
Dan, kini Tanjak Gara melangkahkan kaki menghampiri Ki Rajung.
"Ha ha ha...! Bagaimana kabarmu, Tanjak Gara?"
tanya Ki Rajung gembira seraya mengulurkan tangan
menyambut uluran tangan bekas Ketua Perguruan Tapak
Malaikat itu, dan mengguncang-guncangkannya. "Ke mana saja kau sehingga tidak
pernah muncul selama ini?"
"Seperti juga kau..., aku pergi ke tempat yang sunyi untuk memperdalam ilmuku.
Kau kan tahu, Rajung. Tak
lama lagi pertarungan untuk memperebutkan bangunan
peninggalan guru akan dimulai. Sesekali aku ingin mencicipi tinggal di tempat
itu. Tidak hanya Wiratmaja saja yang merasakannya," jawab Tanjak Gara panjang
lebar sambil tersenyum dan mengguncang-guncangkan tangan Ki Rajung.
Bagai ada yang memberi perintah, Ki Rajung dan
Tanjak Gara sama-sama melepaskan pegangan tangannya.
"Kukira hanya aku saja yang melakukan hal itu.
Rupanya kau pun melakukan hal yang sama. Ha ha ha...!"
sambut Ki Rajung masih dengan tawa yang tidak lepas dari mulutnya.
"Rupanya kau
pintar berpura-pura tidak tahu,
Rajung," ujar Ki Tanjak Gara dengan gembira. "Bukan kau saja yang menginginkan
kemenangan dalam pertarungan
nanti. Aku pun demikian pula! Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...!"
Ki Tanjak Gara pun tertawa pula.
"Sayang..., aku terlalu buru-buru mencegah terjadinya pertarungan.
Kalau tidak, pasti akan kusaksikan kedahsyatan ilmu 'Tinju Halilintar'mu itu! O ya..., mengapa kau terlibat
bertarung dengannya, Rajung! Bukankah dia yang berjuluk Dewa Arak"!" tanya Ki
Tanjak Gara ketika teringat akan ciri-ciri Dewa Arak.
Usai berkata demikian, bekas Ketua Perguruan Tapak
Malaikat ini mengerling ke arah Arya, yang sudah berdiri di sebelah Melati.
Seperti Randaka dan Gunawa, pemuda
berambut putih keperakan itu hanya memperhatikan pertemuan antara Ki Tanjak Gara dengan Ki Rajung.
Tawa Ki Rajung kontan berhenti.
"Agak panjang ceritanya, Gara," pelan terdengar ucapan yang keluar dari mulut
Dewa Halilintar. Kemudian diceritakannya
semua persoalan yang menyebabkan terjadinya pertarungan antara dia dengan Dewa Arak
Ki Tanjak Gara mendengarkan penuh perhatian. Dan
ketika Ki Rajung menyelesaikan cerita, dia mengangguk-anggukan kepala.
"Iblis-iblis Jahanam!" kutuk Ki Tanjak Gara geram.
Suara gemeretak dari gigi-gigi yang beradu terdengar. Ketua Perguruan
Tapak Malaikat murka bukan kepalang mendengar cerita saudara seperguruannya.
"Randaka...! Gunawa...! Kemarii...!" teriak Ki Tanjak Gara sambil melambaikan
tangan. Dengan kepala tertunduk, dua orang murid kepala
Perguruan Tapak Malaikat itu menghampiri kakek guru
mereka. Di benak mereka sudah terbayang hukuman yang bakal dijatuhkan.
Kali ini Arya tidak bisa ikut campur lagi. Dia hanya berdiri dan memperhatikan
semua kejadian yang berlangsung di hadapannya. Demikian pula halnya dengan
Melati "Benarkah semua yang diceritakan Ki Rajung itu?"
tanya Ki Tanjak Gara dengan suara keras.
Hampir berbarengan Randaka dan Gunawa mengangguk membenarkan. Memang mereka mendengar
semua cerita Ki Rajung karena diucapkan dengan suara keras.
"Benarkah kalian akan mendaki Bukit Larangan itu, tanpa peduli siapa yang akan
menjadi penghalang?" desak Ki Tanjak Gara keras.
"Benar, Ki," sahut Randaka dan Gunawa jujur.
"Bagaimana kalau yang menghalangi tindakan kalian adalah aku. Apakah maksudmu
akan diteruskan"!"
Randaka dan Gunawa tersentak. Tanpa sadar kepala
mereka yang semula tertunduk, tertengadah.
"Mana kami berani bertindak lancang, Ki" Kalau kau yang menghalangi, terpaksa
maksud itu kami batalkan,"
pelan dan bergetar ucapan yang keluar dari mulut Randaka.
"Hm...!"
Ki Tanjak Gara mengangguk-anggukkan kepala seraya
menatap wajah murid-muridnya. Jari-jari tangan kanannya mengelus-elus jenggotnya
yang lebat. "Kalian tahu kalau tindakan kalian itu hanya akan mengantarkan nyawa secara siasia"! Apakah kalian tidak dapat berpikir bahwa orang yang telah berhasil
membunuh guru dan seluruh saudara seperguruan kalian, pasti orang yang
berkepandaian jauh di atas kalian"!"
"Kami mengerti, Ki. Tapi... kami rela mati asal dapat membalaskan kekejian ini!"
sahut Gunawa mantap.
Ki Tanjak Gara mengangguk-anggukan kepala.
"Kalau saja Gilang Sangkur mendengar ucapan kalian, aku yakin dia akan berbangga
hati. Ternyata murid-muridnya sangat berbakti dan tidak berjiwa pengecut! Jangan
takut. Aku di pihak kalian."
"Hahhh..."!"
Randaka dan Gunawa terperanjat mendengar ucapan
Ki Tanjak Gara. Saking kagetnya kedua murid Perguruan Tapak Malaikat itu menatap
wajah kakek guru mereka
dengan sinar mata tak percaya.
Ki Tanjak Gara menganggukkan
kepala sambil tersenyum lebar.
"Ya. Aku akan ikut bersama kalian! Kita minta
pertanggungjawaban
Perguruan Bukit Larangan atas kejadian yang menimpa Perguruan Tapak Malaikat!"
"Ahhh...!"
Ucapan kaget dan sekaligus kelegaan keluar dari
mulut Randaka dan Gunawa. Hati mereka gembira bukan
kepalang ketika mengetahui bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu berada di
pihak mereka. Bukan hanya kedua orang murid Perguruan Tapak
Malaikat itu yang merasa gembira. Arya dan Melati pun dilanda perasaan yang
sama. Mereka berdua saling pandang sambil tersenyum lega.
Di antara mereka semua, hanya Ki Rajung yang
terkejut bukan kepalang mendengar jawaban Ki Tanjak Gara.
"Gara! Kau ingin mengkhianati kesepakatan yang
telah kita buat bersama"! Apa kau akan melanggar pesan guru kita"!" tanya Kl
Rajung setengah berteriak.
Ki Tanjak Gara menatap wajah Ki Rajung lekat-lekat.
"Kali ini keadaan menghendaki lain, Rajung. Orang-orang Perguruan Bukit Larangan
telah menghancurkan
perguruan yang telah kudirikan dengan susah payah.
Penghinaan ini harus kubalas! Jadi, terpaksa aku melanggar kesepakatan kita kali
ini," sahut bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu mengajukan alasan
"Lalu..., larangan guru kita?" desak Ki Rajung penasaran
"Kau harus berpikir panjang dalam hal ini, Rajung.
Kau jangan menuruti perintah itu secara membuta. Aku yakin andaikata guru masih
ada, beliau akan memaklumi tindakanku ini. Toh. Aku berada di pihak yang benar!
Aku ingin meminta keadilan atas kejadian yang menimpa
perguruanku!"
Kali ini Ki Rajung tidak bisa membantah lagi. Disadari ada kebenaran yang tidak
Pedang Berkarat Pena Beraksara 5 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Seruling Gading 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama