Ceritasilat Novel Online

Pelarian Istana Hantu 3

Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu Bagian 3


memburu begitu kedua kakinya menjejak tanah.
Adu kejar-kejaran yang aneh pun terjadi.
Raksagala terus-menerus melempar tubuhnya ke belakang sementara Durgasari terus
melompat memburu ke depan. Namun, sampai berapa lama Raksagala bisa bertahan
dikejar-kejar seperti itu"
Ki Wanara, murid-murid Perguruan Belut Putih yang memihak Raksagala, dan Galuh
hanya memandang dengan sinar mata cemas.
Walau tidak mampu melihat secara jelas karena cepatnya dua sosok yang tengah
bertarung, tapi mereka dapat memperkirakan dari kelebatan bayangannya. Yang
terdesak adalah kelebatan bayangan hitam. Dan itu adalah Raksagala.
Sedangkan yang mendesak adalah kelebatan bayangan hijau. Dan itu adalah lawan
Raksagala yang bernama Durgasari.
Sementara itu, Taraji dan murid Perguruan Belut Putih lain sudah tidak nampak
lagi di situ. Sejak Raksagala terlibat pertarungan, mereka semua memang sudah melarikan diri.
Di antara para penonton itu, hanya Ki
Wanara seorang yang sudah bisa menduga penyebab Raksagala bertarung dengan nenek
berpakaian hijau itu. Dia memang telah mengerti semua, setelah Raksagala
menceritakan sejelas-jelasnya.
Akhirnya saat yang gawat bagi Raksagala pun tidak bisa dielakkan lagi. Dan itu
terjadi ketika tubuhnya tengah berada di udara.
Durgasari melancarkan serangan maut bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan
pusar. Raksagala terperanjat, apalagi disadari kalau keadaannya tidak memungkinkan
untuk mengelak atau menangkis serangan. Dia hanya bisa pasrah diri pada
kenyataan sambil menunggu maut dengan sepasang mata ter-belalak lebar.
Di saat yang amat gawat itulah melesat cepat sesosok bayangan ungu memotong alur
serangan Durgasari.
Durgasari terkejut bukan main, tapi tak membatalkan serangannya. Akibatnya sudah
bisa diduga....
Plakkk, plakkk, plakkk...!
Suara berderak keras terdengar berkali-kali begitu kedua tangan Durgasari dan
tangan sosok bayangan ungu itu berbenturan. Seketika itu juga, tubuh keduanya
terpental balik ke belakang. Namun dengan gerakan manis dan indah, keduanya
berhasil mematahkan daya lontar masing-masing. Dan kini satu sama lain sudah
mendarat ringan dan mantap di tanah.
7 Durgasari menatap tajam sosok bayangan ungu yang befdiri di hadapannya. Namun
demikian, hatinya berdebar tegang. Raut keterkejutan yang amat sangat tampak di
wajahnya. Betapa tidak" Sosok bayangan ungu yang kekuatan tenaga dalamnya telah
membuatnya terkejut, ternyata hanyalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh
satu tahun. Tidak salahkah yang dirasakannya tadi" Benarkah kekuatan tenaga
dalam pemuda berpakaian ungu itu demikian kuatnya" Atau tadi ada kesalahan dalam
pengerahan tenaganya"
Rasa penasaran membuat Durgasari memperhatikan pemuda berpakaian ungu itu lekatlekat. Ada satu hal yang menarik perhatian nenek itu. Rambut pemuda itu ternyata
tidak hitam seperti rambut pemuda pada umumnya.
Tapi putih. Putih keperakan lagi!
Nenek berpakaian hijau itu juga melihat adanya sebuah guci arak yang tersampir
di punggung pemuda berpakaian ungu itu.
"Hm.... Pemuda pemabukan!" ejek Durgasari dalam hati.
Sementara itu, pemuda berpakaian ungu itu juga memandang nenek di depannya
dengan kening agak berkerut. Sebab, sejak tadi nenek itu seperti orang bingung
saja. Matanya melotot,
namun suaranya tak terdengar.
"Siapa kau, Anak Muda Keparat"! Mengapa mencampuri urusanku"! Apa sudah bosan
hidup"!" tanya Durgasari keras setelah puas mengamati pemuda yang telah
menyelamatkan nyawa Raksagala.
"Aku Arya, seorang pengelana. Maafkan bila aku telah mencampuri urusanmu. Tapi
ketahuilah, aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya tidak bisa berdiam diri
melihat adanya kesewenang-wenangan di depan mataku!"
Pemuda berpakaian ungu yang ternyata Arya alias Dewa Arak itu memang kebetulan
lewat desa ini. Kemudian dia tertarik dengan pertarungan Raksagala melawan
Durgasari. Langsung dihampirinya Ki Wanara yang sudah tidak ditemani Galuh. Gadis itu
memang sejak tadi bersembunyi di rumahnya.
Dewa Arak kemudian menanyakan sebab-sebab pertarungan itu berlangsung. Setelah
mendapat penjelasan dari Ki Wanara, barulah dia berani turun tangan.
"Tidak usah berbasa-basi, Monyet Kecil! Kau tahu, tidak ada ampun bagi orang
yang telah berani mencampuri urusan Durgasari! Tidak terkecuali kau! Jadi, tidak
ada gunanya meminta maaf atau ampun sekalipun!"
Dewa Arak tersenyum pahit. Dari sikap keras yang ditunjukkan nenek berpakaian
hijau itu, sudah bisa diketahui kalau mengajaknya bicara tidak akan ada gunanya
lagi. Pertarungan tidak mungkin bisa dielakkan.
Durgasari telah mengeluarkan kata-kata bernada tantangan. Dan bukan Dewa Arak
namanya kalau nyalinya ciut hanya karena mendapat tantangan.
Raksagala adalah seorang yang berwatak gagah dan ksatria. Yang mempunyai urusan
dengan Durgasari adalah dirinya sendiri. Bukan pemuda berambut putih keperakan
yang didengarnya bernama Arya. Maka begitu keadaan tampaknya sudah mulai
memanas, dia melangkah maju.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak!
Tapi, apa yang dikatakan nenek itu benar. Kau sama sekali tidak mempunyai urusan
dengannya. Lebih baik, kau tidak usah mem-pertaruhkan nyawa untuk membelaku,"
ucap Raksagala pada Dewa Arak.
Arya menoleh. Sepasang matanya menatap tajam wajah Raksagala. Dewa Arak adalah
seorang yang cepat tanggap. Dia tahu, mengapa laki-laki berwajah pucat itu
melarangnya. Raksagala tidak ingin dia tewas di tangan nenek berpakaian hijau itu. Hal ini
membuat Arya merasa kagum. Dengan sendirinya, semakin besar keinginan di hatinya
untuk menolong pemuda berpakaian hitam itu.
"Maaf, Kisanak. Bukannya aku tidak suka menuruti nasihatmu. Tapi aku pantang
menolak tantangan. Aku bukan seorang pengecut!"
tandas Arya tegas.
Mendengar jawaban Dewa Arak, Raksagala tidak melanjutkan ucapannya lagi. Dengan
langkah lesu kakinya melangkah mundur.
"Hati-hatilah, Kisanak," ucap Raksagala.
"Dia adalah lawan yang amat tangguh."
"Akan kuperhatikan nasihatmu," sahut Dewa Arak membesarkan hati Raksagala.
Baru saja Raksagala melangkah meninggalkan Dewa Arak, Durgasari sudah
mengirimkan serangan.
Nenek berpakaian hijau itu membuka serangannya dengan memutar-mutarkan kedua
tangannya di depan dada.
Dewa Arak terperanjat ketika merasakan ada kekuatan aneh yang membetot tubuhnya.
Otaknya yang memang cerdas langsung saja bisa menduga kalau lawannya memiliki
sebuah ilmu yang mengandung tenaga membetot. Maka buru-buru dikerahkannya ilmu
'Pasak Bumi'. Kekuatan tenaga dalam langsung disalurkan pada kakinya, agar kuat berpijak
seperti akar pohon besar.
Usaha yang dilakukan Arya sama sekali tidak sia-sia. Berkat ilmu 'Pasak Bumi',
kekuatan daya sedot itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Memang ada angin
keras yang berusaha membetotnya. Tapi berkat ilmu itu, betotan itu sama sekali
tidak berarti apa-apa.
Tapi Durgasari tidak kecewa melihat kenyataan ini. Dia memang tidak terlalu
berharap usahanya akan membuahkan hasil.
Toh, tadi telah dibuktikan sendiri kalau Raksagala pun sanggup memunahkan daya
sedotnya. Maka begitu Dewa Arak tampak sibuk mengerahkan tenaga untuk melawan betotan itu,
segera dikirimkannya serangan. Kaki kanannya meluncur cepat ke arah leher,
mengirimkan sebuah tendangan miring. Angin yang menderu keras mengiringi
serangan itu. Arya yang memang sudah menduga hal itu sama sekali tidak gugup. Cepat kakinya
melangkah ke belakang seraya merendahkan tubuhnya. Sehingga, serangan itu hanya
mengenai tempat kosong, lewat sejengkal di atas kepalanya.
Pada saat yang bersamaan, pemuda
berambut putih keperakan ini menjumput guci araknya. Kemudian guci itu diangkat
ke atas kepala. Dan....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika
itu juga, ada hawa hangat merayap di dalam perutnya. Kemudian, terus merayapi
naik ke atas kepala secara perlahan-lahan. Sekejap saja tubuh Arya mulai meliukliuk. Durgasari menggeram begitu melihat serangannya berhasil dielakkan. Segera saja
dikirimkannya serangan susulan berupa tendangan kaki kanan ke arah kepala Dewa
Arak. Tentu saja ini karena sikap pemuda berambut putih keperakan itu tengah
membentuk kuda-kuda rendah. Kalau Arya tengah berdiri, mungkin tendangan itu
hanya mengenai pusarnya.
Cepat bukan main serangan susulan itu tiba.
Mungkin hanya berbeda waktu sedikit saja dengan tendangan yang pertama kali.
Walaupun begitu, Arya sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menangkalnya.
Apalagi, pemuda berambut putih keperakan itu telah menggunakan ilmu 'Belalang
Sakti' yang mampu membuat gerakan yang bagaimanapun sulitnya.
Masih dengan tubuh meliuk-liuk, Dewa Arak menggerakkan gucinya menangkis
tendangan yang mengarah ke kepalanya.
Banggg...! Suara berdentang keras terdengar ketika kaki Durgasari berbenturan dengan guci
Dewa Arak. Seketika itu pula, tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung ke
belakang. Durgasari terhuyung dua langkah, sedangkan Dewa Arak hanya satu langkah. Jelas,
kalau dalam adu tenaga Dewa Arak masih lebih kuat Durgasari menggeram. Kini
tidak ada lagi keraguan dalam hatinya. Pemuda berambut putih keperakan ini
adalah seorang lawan yang amat tangguh. Dan ini bisa diketahui dari kekuatan
tenaga dalam lawan yang ternyata lebih kuat darinya.
Hal ini tentu saja membuat Durgasari penasaran bukan kepalang. Masa dia harus
mengaku kalah dengan seorang pemuda yang pantas menjadi cucunya" Pikiran ini
membuat nenek berpakaian hijau itu mengerahkan seluruh kemampuannya.
Tapi lawan yang dihadapi Durgasari kali ini
adalah Dewa Arak. Seorang yang meskipun masih muda, tapi telah memiliki tingkat
kepandaian tak tertandingi. Bukan hanya itu saja. Pemuda berambut putih
keperakan ini juga telah memiliki pengalaman bertanding yang tidak sedikit. Tak
terhitung, sudah berapa kali Arya terlibat pertarungan dengan tokoh yang
memiliki kepandaian menggiriskan.
Maka meskipun Durgasari telah mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja tidak
mampu mendesak Dewa Arak. Ilmu 'Belalang Sakti' benar-benar menjadikan Arya
sebagai lawan yang teramat tangguh.
Hebat bukan main akibat dari pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama
memiliki kepandaian tinggi ini. Angin menderu, mencicit, dan mengaung terdengar
menyemaraki pertarungan itu. Bukan hanya itu saja. Tanah terbongkar di sana-sini
terkena pukulan nyasar.
Debu pun mengepul tinggi ke udara. Bahkan para penonton pun bergerak menjauhi
arena pertarungan, karena khawatir terkena serangan nyasar.
"Luar biasa...," desah Raksagala penuh kagum. "Pemuda itu memiliki kepandaian
yang amat tinggi. Ilmu silatnya pun aneh...."
"Tidak perlu heran, Raksagala," ucap Ki Wanara. "Pemuda itu adalah Dewa Arak...!
Dia tadi menghampiriku, dan sempat memperkenalkan namanya. Begitu aku yakin
kalau dia benar-benar Dewa Arak, maka kuceritakan segalanya tentang dirimu."
"Dewa Arak?" Raksagala mengerutkan alisnya. "Orang seusia dia sudah mempunyai
julukan"!"
"Jadi, kau belum pemah mendengar
julukannya?" Ki Wanara yang kini ganti bertanya.
Raksagala menggeleng.
"Apakah julukan itu begitu terkenal, Ki?"
Ki Wanara menggeleng-gelengkan kepala melihat keluguan Raksagala. Dia memang
merasa heran mendengar Raksagala sama sekali belum mendengar julukan Dewa Arak.
Tapi ketika teringat kalau Raksagala terkungkung selama belasan tahun di dalam
sebuah bangunan yang bemama Istana Hantu, dia tidak merasa heran lagi.
"Julukan itu bukan hanya terkenal saja, Raksagala. Tapi juga menggemparkan!"
jawab Ki Wanara setengah memberi tahu. "Banyak sudah tokoh sakti aliran hitam
yang tewas di tangannya."
"Ah...! Jadi, dia seorang pendekar, Ki?"
Raksagala menudingkan telunjuknya ke arah Dewa Arak yang masih sibuk bertarung
menghadapi Durgasari.
"Bukan hanya seorang pendekar saja, Raksagala. Dewa Arak adalah seorang pendekar
besar! Sudah tidak terhitung kelaliman yang merajalela di persada ini
dibasminya," sahut Ki Wanara, menguatkan penuturan Raksagala.
Raksagala terdiam. Ada perasaan kagum menyelinap di hatinya terhadap Dewa Arak.
Apalagi ketika melihat sendiri kalau berkali-kali Durgasari terhuyung-huyung
setiap kali terjadi benturan antara mereka. Dari sini saja sudah bisa dinilai
keunggulan Dewa Arak! Dan mau tak mau, hal ini membuatnya kagum setengah mati.
Sementara itu di arena pertarungan, Dewa Arak semakin menunjukkan keunggulannya.
Pertarungan memang sudah berlangsung lebih dari seratus jurus. Dan sekarang
keadaan Durgasari sudah semakin mengkhawatirkan.
Walau nenek berpakaian hijau itu sudah mengeluarkan senjata andalan yang berupa
sebuah sabuk, tapi tetap saja tidak mampu menahan tekanan-tekanan Dewa Arak.
Dewa Arak dengan menggunakan ilmu
'Belalang Sakti' benar-benar menjadi seorang lawan yang amat berat bagi
Durgasari. Kedua tangannya yang disertai ilmu 'Belalang Sakti', guci di
tangannya, semburan-semburan araknya, gerakannya yang aneh, dan tenaganya yang
seperti tidak pernah habis, merupakan kesatuan yang mampu menggilas habis semua
perlawanan Durgasari. Robohnya nenek berpakaian hijau ini hanya tinggal menunggu
saatnya saja. Hati Durgasari terpukul bukan kepalang menerima kenyataan ini. Rasanya bagaikan
mimpi ketika menyadari kalau Dewa Arak memang lebih unggul darinya. Setiap
serangannya kandas sama sekali. Sedangkan setiap serangan yang dilancarkan lawan
selalu membuatnya pontang-panting untuk menyelamatkan diri. Rasa penasaran, marah, dan terpukul membuat Durgasari menjadi nekat. Nenek
berpakaian hijau ini jadi tidak mempedulikan keselamatan diri lagi. Dan kini
perhatiannya hanya dipusatkan pada satu sisi saja.
Menyerang! Tidak dipedulikannya lagi pertahanan dirinya.
Memang dengan cara seperti ini, serangan serangan Durgasari jadi semakin
dahsyat. Tekanan-tekanan setiap serangannya pun semakin berat. Tapi karena tindakannya
itu, pertahanannya jadi lemah. Banyak celah kosong di sana sini bagi Dewa Arak
untuk memasukkan serangan.
Sebuah keuntungan bagi Durgasari, Arya sama sekali tidak berminat mencelakainya.
Dewa Arak bertarung menghadapi nenek berpakaian hijau itu hanya karena tidak
sudi dianggap pengecut. Sama sekali tidak ada maksud di hatinya untuk melukai
nenek itu. Masalahnya, dia sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Durgasari.
Karena dasar pemikiran seperti itulah, Dewa Arak sama sekali tidak mau
memanfaatkan kesempatan yang terpampang. Pemuda berambut putih keperakan ini
hanya mengelak dan menangkis serangan lawan. Beberapa kali dicobanya memasukkan
serangan, namun hatinya seketika kaget, ternyata nenek itu sama sekali tidak
mengacuhkannya. Bahkan pada saat yang bersamaan, lawannya itu
melancarkan serangan pula. Jelas kalau Durgasari hendak mengadu nyawa!
Tentu saja Arya tidak ingin bertindak bodoh.
Tidak diturutinya tindakan gila Durgasari.
Maka buru-buru serangannya ditarik pulang seraya melompat menjauhkan diri dari
serangan nenek berpakaian hijau itu.
Kini keadaan jadi terbalik. Dalam
pandangan mata orang yang belum memiliki tingkat kepandaian tinggi, tampaknya
Dewa Arak terdesak. Buktinya sosok bayangan ungu itu berkali-kali bergerak
menghindari setiap serangan yang dilancarkan sosok bayangan hijau. Hanya sekalisekali saja sosok bayangan ungu itu menangkis serangan.
"Apa maunya Dewa Arak ini?" gumam
Raksagala dalam hati.
Kepala pemuda berwajah pucat itu tampak menggeleng-geleng. Dia memang tidak
mengerti, mengapa Dewa Arak malah jadi terdesak.


Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal, dia sendiri jelas-jelas melihat kalau pertahanan Durgasari berantakan
dan terbuka di sana-sini. Tapi, kenapa Dewa Arak tidak memasukkan serangan ke
sana" Pikiran-pikiran itu mengganggu benak Raksagala.
"Apakah pemuda itu tidak mengetahuinya"
Mustahil!" bantah hati murid Sawungrana ini.
"Mengapa Raksagala?" Ki Wanara yang juga bingung melihat Dewa Arak terdesak, tak
tahan untuk tidak bertanya.
"Aku tidak mengerti maksud Dewa Arak itu, Ki," kata Raksagala mengeluarkan
ganjalan hatinya. "Dewa Arak sepertinya tidak ingin memanfaatkan kesempatan yang banyak
tercipta. Durgasari menyerang tanpa mempedulikan bagian pertahanan lagi. Kalau
saja Dewa Arak melancarkan serangan dan tidak hanya mengelak saja, rasanya tidak
sulit untuk merobohkan, ataupun menewaskan nenek itu.
Padahal tadi kulihat dia hampir berhasil menyarangkan serangannya, tapi malah
ditarik kembali. Aneh...!"
Ki Wanara mengerutkan dahinya, namun sebentar kemudian hatinya menjadi lega.
Dewa Arak sama sekali tidak terdesak. Kini pandangannya kembali dilayangkan ke
arah pertempuran. Ucapan keheranan Raksagala sama sekali tidak dipedulikannya.
Di arena pertarungan, sepak terjang Durgasari semakin membabi buta. Nenek
berpakaian hijau ini terus melancarkan serangan, tanpa mempedulikan pertahanan.
Apalagi ketika menyadari kalau perlahan-lahan dia berhasil mendesak Dewa Arak.
Ctarrr...! Sabuk di tangan Durgasari melecut mem-perdengarkan ledakan nyaring yang memekakkan telinga. Kemudian dengan gerakan meliuk-liuk seperti seekor ular, sabuk itu
mematuk ke arah kepala Dewa Arak.
Arya terperanjat ketika menyadari kalau dirinya berada dalam keadaan sulit.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera dibanting ke tanah, lalu
bergulingan beberapa
kali. Sementara Durgasari mana mungkin
membiarkan lawannya lolos" Maka buru-buru nenek ini bergerak mengejar. Sabuk di
tangannya, dan kakinya melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Dewa Arak.
Dewa Arak tidak punya cara lain lagi untuk mengelakkan diri terhadap serangan
susulan yang cepat datangnya. Tubuhnya kembali bergulingan di tanah untuk
menyelamatkan selembar nyawanya. Kini terjadilah tontonan yang menarik. Dewa
Arak yang terus-menerus berguling untuk menyelamatkan diri, dan Durgasari yang
terus mengejarnya dengan serangan-serangan maut.
"Hih...!"
Ctar...! Kembali sabuk di tangan Durgasari melecut ke arah tubuh Dewa Arak yang masih
bergulingan. Kali ini Dewa Arak bertindak nekat.
Disadarinya kalau tidak mungkin mengelak dengan cara seperti itu terus-menerus.
Maka dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti'nya, tubuhnya melenting ke atas.
Sebuah perbuatan yang sangat berbahaya!
Ctarrr...! Tanah langsung terbongkar ketika sabuk itu menghantam telak permukaan tanah.
Debu pun mengepul tinggi ke udara. Tapi tubuh Dewa Arak sudah tidak tampak lagi
di sana, karena telah melenting ke atas.
Tapi Durgasari memang sudah sejak tadi memperhitungkan hal itu. Maka begitu
tubuh lawannya terlihat melenting, cepat-cepat dijegalnya. Tangan kirinya dengan
jari-jari terbuka memapak tubuh yang tengah melenting dengan sebuah serangan ke
arah pelipis. Sebuah serangan mematikan!
Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Maka cepat tangan kirinya diangkat untuk
menangkis. Pada saat yang sama, tangan kirinya bergerak menyampok ke arah pelipis lawan.
Plakkk! Prakkk...!
Dua buah bunyi yang berbeda, terdengar saling bersusulan. Bunyi pertama adalah
bunyi benturan antara tangan kiri Dewa Arak dengan tangan kiri Durgasari.
Sementara suara berderak yang kedua adalah ketika sampokan Dewa Arak mengenai
sasaran. Durgasari memang sejak tadi sudah tidak mempedulikan pertahanan. Akibatnya,
begitu Dewa Arak melancarkan serangan, dia tidak mampu mengelak. Yang ada di
benaknya hanya satu, mengadu nyawa!
Tanpa mengeluarkan suara keluhan apa pun, tubuh Durgasari terlempar, lalu jatuh
berdebuk di tanah. Tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat, kemudian diam tidak
bergerak lagi di tanah.
Arya terpaku melihat sosok tubuh lawannya yang kini telah menjadi mayat. Raut
wajahnya memancarkan penyesalan yang amat sangat.
Dan memang hatinya menyesal bukan main. Dia memang tidak ingin membunuh nenek
itu, sehingga sejak tadi hanya berusaha menjaga diri saja. Tapi keadaan terakhir
kali, membuatnya tidak punya pilihan lagi. Pilihannya hanya dua.
Membunuh atau dibunuh! Dan tentu saja dia memilih yang pertama.
Melihat keunggulan Dewa Arak, Raksagala, dan Ki Wanara, segera bergerak
menghampiri Dewa Arak. Di raut wajah mereka semua terpancar perasaan lega
melihat Durgasari berhasil dibinasakan.
Tapi seri kegembiraan di wajah mereka lenyap, dan kini berganti dengan raut
kebingungan ketika melihat wajah Dewa Arak.
Wajah pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak memperlihatkan
kegembiraan, namun sebaliknya malah menyiratkan penyesalan. Karuan saja hal ini
membuat mereka bingung.
"Aku tidak bermaksud membunuhnya...,"
keluh Arya. Pelan dan tak bersemangat suaranya. Jelas, ucapan itu keluar dari
hati yang terpukul.
Karuan saja ucapan itu membingungkan orang-orang yang berada di dekatnya. Tapi
sesaat kemudian Raksagala mengerti, mengapa Dewa Arak tidak memanfaatkan banyak
kesempatan yang ada. Rupanya Arya ternyata memang tidak ingin menurunkan tangan
kejam pada lawannya.
Ki Wanara tahu perasaan yang berkecamuk dalam hati Dewa Arak. Maka kakek
berpakaian putih ini bergerak lebih mendekat lagi,
kemudian perlahan-lahan ditepuknya bahu Arya.
"Lupakanlah hal itu, Dewa Arak. Kau sama sekali tidak bermaksud membunuhnya,
bukan" Tapi Durgasari terlalu memojokkanmu, sehingga kau tidak punya pilihan lagi. Itu
berarti bukan kau yang membunuhnya, tapi dirinya sendiri yang membuatmu terpaksa
membunuhnya. "
Ki Wanara memberi nasihat sekenanya saja.
Tapi kakek berpakaian putih ini sama sekali tidak menyadari kalau semua
nasihatnya tepat sekali.
"Tapi biar bagaimanapun..., dia tewas di tanganku, Ki," bantah Arya seraya
menatap wajah Ki Wanara.
"Dia memang pantas untuk tewas, Dewa Arak," sahut Ki Wanara lagi.
Dewa Arak mendengarkan penuh perhatian penuturan Raksagala tentang rencananya
sejak dari Istana Hantu hingga sampai ke Desa Kali Asem. Semuanya sudah jelas.
Tadi Ki Wanara juga telah bercerita demikian. Jadi, Dewa Arak memutuskan untuk
membantu pemuda
berwajah pucat itu, walaupun hal itu belum diutarakannya.
Raksagala melangkah menghampiri murid-murid Perguruan Belut Putih yang masih
saja menunggu di depan rumah Ki Wanara dengan sabar.
Begitu melihat Raksagala menghampiri, serentak mereka pun bergerak menghampiri.
Salah seorang dari belasan murid Perguruan
Belut Putin itu melangkah maju begitu kedua belah pihak telah berhadapan dalam
jarak tiga tombak.
"Maaf, bukannya aku tidak percaya. Tapi benarkah kau urusan ketua kami,
Kisanak," tanya murid Perguruan Belut Putih yang ternyata bertindak sebagai juru bicara
itu. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh kekar dan berotot. Usianya mungkin
tak kurang dari tiga puluh tahun.
"Benar," Raksagala menganggukkan kepalanya. "Aku adalah utusan Ki Sawungrana.
Namaku Raksagala. Aku diutus untuk membenahi semua kericuhan yang terjadi di
Perguruan Belut Putih. Itu bila memang benar ada kerusuhan."
"Semua kericuhan itu memang benar ada, Raksagala," tanpa ragu-ragu lagi lakilaki bertubuh kekar berotot ini menyebut Raksagala dengan namanya saja.
"Perguruan Belut Putih sekarang diketuai oleh Kalasura, seorang murid kepala
Perguruan Belut Putih juga. Tapi sayang, wataknya tidak baik. Banyak di antara
kami yang menentang. Tapi dengan cara halus maupun kasar, dia berhasil
menyingkirkannya.
Kelompok Kalasura sangat kuat. Apalagi dia pun dibantu tokoh-tokoh aliran
hitam." Laki-laki bertubuh kekar berotot ini menghentikan ceritanya untuk mengambil
napas seraya mencari kata-kata untuk melanjutkan ucapannya. Matanya menerawang
jauh, seperti mengingat-ingat kejadian yang menimpa
perguruannya. "Banyak di antara murid Perguruan Belut Putih yang menentang, tapi berhasil
dipatahkan. Terpaksa kami berdiam diri. Apalagi karena di pihak kami tidak ada
lagi tokoh yang bisa diandalkan. Semua murid kepala Perguruan Belut Putih yang
bersifat jujur telah tewas. Sementara di pihak Kalasura cukup banyak. Kini
dengan adanya kau, Raksagala, kami siap menentang mereka kembali. Kita harus
merubah Perguruan Belut Putih menjadi perguruan beraliran putih kembali! Kami
yakin, masih banyak anggota Perguruan Belut Putih yang hanya terpaksa mengikuti
kemauan Kalasura," mantap dan penuh semangat ucapan laki-laki kekar berotot itu.
Dan semua kepala rekan-rekannya yang berdiri di belakangnya terangguk begitu
laki-laki kekar berotot itu menghentikan ucapannya.
Jelas, mereka semua setuju dengan keputusan yang diambil rekan mereka itu.
"Kalau begitu, mari kita serbu mereka!"
Raksagala memutuskan dengan penuh semangat
"Kami ikut, Raksagala."
Raksagala menoleh begitu mendengar ucapan itu. Tampak Dewa Arak dan Ki Wanara
tengah bergerak menghampiri mereka.
"Kau..."!"
Arya tersenyum lebar. Dia tahu kalau Raksagala merasa keberatan kalau dia ikut
campur tangan. Dewa Arak tahu, pemuda berwajah pucat itu ingin menyelesaikan
tugas gurunya sendiri.
"Kedatanganku yang secara kebetulan ke desa ini, dan setelah mendengar dari Ki
Wanara kalau ada kesewenang-wenangan yang terjadi di Perguruan Belut Putih,
telah menarik hatiku untuk membantumu, Raksagala. Yahhh....
Barangkali saja, tenagaku agak berguna di sana.
Paling tidak, cukup untuk melindungi kau dan murid-murid Perguruan Belut Putih
merebut kembali perguruan yang telah dikotori itu."
Raksagala tidak bisa menolak lagi. Alasan yang dikemukan Arya membuatnya tidak
bisa membantah lagi.
Walaupun tidak memperliatkannya dalam raut wajah dan sikap, karena merasa tidak
enak pada Raksagala, murid-murid Perguruan Belut Putih ini sebenarnya merasa
gembira bukan main atas ikutnya Dewa Arak bersama mereka.
Telah mereka saksikan sendiri kelihaian pemuda berambut putih keperakan itu. Dan
pada kenyataannya, Arya jauh lebih lihai daripada Raksagala! Padahal, pemuda
yang mengaku murid Sawungrana juga lihai bukan main. Mereka juga telah
menyaksikan kalau Raksagala bertarung menggunakan ilmu-ilmu Perguruan Belut
Putih. Tak lama kemudian, rombongan itu pun berangkat menuju Perguruan Belut Putih.
Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya murid-murid Perguruan Belut Putih ini
melirikkan mata untuk melihat wajah Dewa Arak. Sungguh tak disangka kalau mereka
bisa bertemu tokoh
yang julukannya begitu mengguncangkan dunia persilatan. Dan ternyata, orangnya
masih sangat muda.
Di antara mereka semua, hanya Ki Wanara saja yang sama sekali tidak melirik ke
sana kemari. Kakek berpakaian putih ini ingin cepat sampai di tempat tujuan. Dia
ingin markas Perguruan Belut Putih cepat direbut kembali.
*** 8 "Rupanya mereka telah bersiap-siap," kata Raksagala ketika melihat pintu gerbang
yang tertutup rapat.
"Hati-hati, Raksagala," ujar laki-laki kekar berotot yang telah memperkenalkan
namanya sebagai Diraga, setengah memberi tahu.
"Kalasura adalah seorang berwatak licik. Aku yakin, dia telah menempatkan muridmurid Perguruan Belut Putih di bagian atas pintu gerbang. Mereka akan
membidikkan panah, agar kita tidak bisa mendekat"
Raksagala terdiam karena memang tidak mengetahui hal itu.
"Apakah tidak akan ada bantuan dari dalam markas" Bukankah kau tadi mengatakan
banyak murid Perguruan Belut Putih yang tidak suka terhadap tindakan Kalasura?"
tanya Raksagala, bernada tuntutan.
"Dari mana mereka tahu akan hal itu, Raksagala?" Diraga malah balik bertanya.
"Tentu saja dari orang-orang yang telah kuberi pelajaran tadi!" sahut Raksagala
tandas. "Mereka tidak akan begitu bodoh untuk mengatakan secara terbuka mengenai dirimu
di hadapan begitu banyak orang. Bila hal itu diceritakan, akan menimbulkan
pemberontakan. Orang-orang itu pasti hanya mengatakannya
secara terus terang pada kelompoknya."
Raksagala mengangguk-anggukkan kepala.
Bisa diterima alasan yang dikemukakan Diraga itu.
Suasana hening sejenak tercipta setelah Diraga menghentikan ucapannya. Karena
memang Raksagala tidak lagi menyambutinya.
"Kalau begitu..., lebih baik aku yang masuk lebih dulu untuk melihat keadaan di
dalam," tandas Raksagala setelah beberapa saat lamanya terdiam.
"Tapi sangat berbahaya, Raksagala," sergah Diraga khawatir. "Kalasura adalah
orang licik. Dia tidak, segan-segan, menggunakan cara apa pun demi mencapai kemenangan."
"Aku akan berhati-hati, Diraga," sahut Raksagala cepat.
"Hhh...!"
Diraga hanya dapat menghela napas berat.
Laki-laki kekar berotot ini tahu kalau Raksagala tidak bisa dicegah lagi. Jadi
rasanya akan sia-sia jika terus mencegahnya. Dia merasakan adanya tekanan dalam
ucapan Raksagala yang terakhir.
Tekanan yang tidak menghendaki adanya bantahan. Maka, pendapatnya tidak
diutarakannya lagi.
Setelah mengedarkan pandangan berkeliling, Raksagala segera melesat ke depan.
Tidak ada serbuan anak panah seperti yang dikatakan Diraga. Huh! Dia terlalu
khawatir, keluh Raksagala dalam hati.
"Hih...!"
Begitu telah berada di depan pintu gerbang Perguruan Belut Putih, laki-laki
berwajah pucat ini menjejakkan kakinya. Seketika tubuhnya melambung ke atas. Dan
begitu telah melewati pagar yang tinggi dan kokoh, tubuhnya berputar di udara.
"Hup...!"
Baru saja kedua kaki Raksagala mendarat di tanah, belasan orang berpakaian abuabu sudah berkelebat mengurungnya. Bukan hanya itu saja. Tampak belasan orang
lain, melompat ke atas dengan anak panah siap dilesatkan. Kini Raksagala
mengerti. Mereka memang sengaja membiarkannya masuk sendirian. Jadi apa yang
dikatakan Diraga ternyata benar.
Tapi Raksagala sama sekali tidak kelihatan gentar. Meskipun tahu kalau dirinya
sengaja dijebak, dia tidak mengirim pemberitahuan kepada kawan-kawannya di luar
pagar kalau dirinya terancam.
"Ha ha ha...! Sungguh besar nyalimu, Anak Muda," kata orang yang tak lain dari
Taraji. Tangan kanannya nampak tergantung lemah di sisi pinggang. Jelas, akibat
perbuatan Raksagala masih tersisa. "Jangan harap dapat keluar dari sini dalam
keadaan hidup."
Raksagala memandang berkeliling menatap wajah-wajah orang yang mengurungnya.
Tidak lebih dari dua puluh orang.
"Inikah orang yang kau ceritakan itu, Taraji"!"
Mendadak terdengarsuara keras bergaung.
Sesaat kemudian, muncul seorang laki-laki bertubuh pendek kekar tapi bercambang
bauk lebat. Sementara di sebelahnya berdiri tiga orang berwajah kasar berpakaian
kuning garis-garis hitam.
"Benar, Ketua," tandas Taraji seraya mengangguk-anggukkan kepala.
Laki-laki bercambang bauk lebat yang ternyata Kalasura, kini mengalihkan
perhatian kembali pada Raksagala. Sepasang matanya merayapi selebar wajah pemuda


Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwajah pucat itu.
"Jangan mimpi untuk dapat membuat
khayalanmu jadi kenyataan, Bocah!" dengus Kalasura. "Kau hanya akan mengantarkan
nyawa di sini, tahu"!"
Raksagala menatap wajah laki-laki
bercambang bauk lebat di hadapannya beberapa saat, lalu beralih pada tiga orang
kasar yang berdiri di sebelahnya. Baru kemudian, perhatiannya tertumpah pada
murid-murid Perguruan Belut Putih yang mengepungnya.
Sikap pemuda berwajah pucat ini terlihat tenang saja. Padahal, seluruh urat
syaraf dan ototnya menegang waspada.
Perlahan-lahan tangan Raksagala
menyelinap masuk ke batik baju. Sudah bisa ditebak maksudnya. Ya! Pemuda
berwajah pucat itu ingin mengeluarkan tongkat pemberian gurunya.
Kalasura rupanya sudah mengetahui
maksud Raksagala. Dan dia tidak ingin hal itu
terjadi. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, dia melompat menerjang. Kedua
tangannya menegang kaku, melancarkan totokan bertubi-tubi ke arah leher dan
bawah hidung Raksagala.
Belum juga serangan Kalasura tiba, tiga orang berwajah kasar itu melompat
menerjang pula. Dalam sekejap saja, Raksagala sudah menghadapi empat buah
serangan dari empat penjuru, dan semuanya mengarah ke tempat-tempat yang
mematikan! Mau tak mau, Raksagala membatalkan maksudnya semula. Benaknya berputar keras
untuk menghadapi serangan keempat orang lawannya ini. Sesaat kemudian, dia sudah
bisa memutuskan. Sepasang matanya yang awas dapat cepat mengetahui kalau di
antara keempat serangan itu, serangan Kalasura-lah yang menyambar paling dulu.
Maka, diputuskannya untuk menanggulangi serangan laki-laki bercambang bauk lebat
itu terlebih dulu.
Plakkk, plakkk, plakkk...!
Benturan keras terdengar berkali-kali ketika Raksagala menangkis semua serangan
lawan. Sadar akan keadaannya yang tidak mengun-tungkan, pemuda berwajah pucat ini tidak
segan-segan mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Akibatnya memang hebat! Tubuh Kalasura terhuyung-huyung jauh ke belakang.
Mulutnya menyeringai menahan sakit Dan memang, benturan antara tangannya dengan
tangan Raksagala membuat kedua belah tangannya
terasa sakit bukan main. Bukan hanya itu saja.
Dadanya pun terasa sesak bukan main.
Sedangkan Raksagala kelihatan sama sekali tidak terpengaruh benturan itu. Bahkan
sehabis menangkis serangan, laki-laki berwajah pucat ini melompat melewati atas
kepala Kalasura.
Akibatnya, semua serangan dari ketiga orang lawannya hanya mengenai tempat
kosong. Tapi Kalasura dan ketiga orang kasar itu rupanya tidak mau memberi kesempatan.
Begitu Raksagala melompat menjauh, mereka semua segera melesat memburu dan
menghujaninya dengan serangan serangan berbahaya. Pertarungan sengit pun tidak
bisa dihindari lagi.
Kali ini Raksagala harus menguras seluruh kemampuannya. Apalagi keempat lawan
itu memiliki kepandaian tinggi. Walaupun bila dihadapi satu persatu keempat
orang lawan itu masih di bawahnya, tapi cara bertarung mereka keroyokan. Mau tak
mau, Raksagala jadi kerepotan juga.
Kalasura merasa penasaran bukan kepalang.
Seperti juga Raksagala, dia adalah murid langsung dari Ki Sawungrana. Hanya
saja, laki-laki bercambang bauk lebat itu tidak memiliki seluruh ilmu gurunya.
Lain halnya dengan Raksagala yang menerima semuanya.
Sementara Raksagala menghadapi lawan-lawannya, sementara itu pula murid
Perguruan Belut Putih yang berada di atas pagar bambu menjepretkan panah ke arah
Dewa Arak dan murid-murid Perguruan Belut Putih lain yang
berada di luar pagar.
Twanggg...! Twanggg...!
Saat itu Dewa Arak bersama rombongan murid Perguruan Belut Putih telah bergerak
menuju gerbang. Di tangan mereka sudah tergenggam senjata terhunus. Rupanya
mereka semua merasa tidak sabar lagi menunggu Raksagala. Maka diputuskanlah
untuk segera menyusulnya.
Melihat hujan anak panah itu, Arya segera memutar-mutarkan tangannya. Luar
biasa...! Belasan anak panah itu berpentalan tak tentu arah ketika angin yang amat kuat
keluar dari kedua tangannya yang berputar. Sebagian besar anak panah itu runtuh
sebelum mengenai sasaran. Ada beberapa di antaranya yang lolos, tapi dengan
mudah berhasil dipatahkan dengan ayunan senjata murid-murid Perguruan Belut
Putin. Berkali-kali hujan anak panah itu ber-hamburan ke arah rombongan yang memaksakan
diri untuk masuk ke Perguruan Belut Putih, tapi semuanya berhasil dipunahkan.
Brakkk...! Suara berderak keras terdengar ketika pintu gerbang Perguruan Belut Putih hancur
berantakan. Dewa Arak memang telah menggunakan kekuatan tenaga dalam untuk
merobohkan pintu itu dengan kekerasan.
Begitu pintu terbuka, rombongan itu segera bergerak menyerbu ke dalam seraya
berteriak-teriak mengajak rekan-rekan mereka untuk
bergabung menentang tindakan Kalasura.
Dewa Arak yang takut terjadi pertumpahan darah besar-besaran, segera melesat ke
arah pertarungan antara Raksagala dengan keempat orang lawannya.
"Mundur Raksagala...! Cegah pertumpahan darah!" teriak Arya.
Raksagala tidak membantah. Begitu Arya tampak meluruk masuk ke kancah
pertarungan, dia melompat menghindar. Dan ketika kedua kakinya hinggap di tanah,
tongkatnya segera diacungkan tinggi-tinggi ke atas.
"Murid-murid Perguruan Belut Putih semua...! Lihat tongkat ini baik-baik,..! Aku
adalah wakil penuh Ki Sawungrana! Kumohon kalian yang masih belum tersesat,
bantu kami menumpas kelaliman Kalasura...!"
Keras bukan main suara Raksagala karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga
dalam. Serempak semua kepala menoleh begitu mendengar nama Ki Sawungrana disebut.
Seketika pertarungan terhenti. Dan begitu mendengar kata-kata Raksagala dan
melihat tongkat pusaka itu, sebagian murid Perguruan Belut Putih yang akan
menyerang rombongan Dewa Arak berbalik haluan. Mereka kini bersatu dengan
rombongan itu. Pertarungan tak dapat dielakkan lagi.
Gerombolan anak buah Kalasura pun tidak sedikit, karena sebagian besar adalah
murid-murid Perguruan Belut Putih yang berwatak bobrok. Dan sebagian lagi,
adalah anak buah
tiga tokoh berpakaian kuning garis-garis hitam.
Melihat keempat orang lawan telah dihadapi Dewa Arak, Raksagala segera membantu
murid-murid Perguruan Belut Putih yang masih setia.
Kini, terjadilah dua arena pertarungan. Yang satu antara Dewa Arak melawan
Kalasura dan kawan-kawannya. Sementara yang satu lagi antara dua gerombolan
berbeda aliran.
Jeritan kematian diiringi robohnya tubuh-tubuh tanpa nyawa terdengar. Bumi pun
dibasahi darah yang sebagian besar keluar dari tubuh gerombolan Kalasura. Memang
dengan adanya Raksagala, murid-murid setia Perguruan Belut Putih berhasil
mendesak lawan. Sepak terjang Raksagala benar-benar menggiriskan.
Kemana saja tangan atau kakinya bergerak, sudah dapat dipastikan ada sesosok
tubuh terbaring tanpa nyawa.
Berbareng tewasnya orang terakhir dari gerombolan Kalasura, Kalasura dan ketiga
orang kawannya pun roboh tergeletak di tanah tanpa mampu bergerak lagi. Dewa
Arak memang terpaksa menewaskan mereka. Dia tahu dari Ki Wanara kalau keempat
orang inilah yang selalu merusak wanita. Sebuah perbuatan yang amat dibencinya.
Dan itulah sebabnya, dia tidak sudi mengampuni keempat orang lawannya. Dewa Arak
mengamati mayat-mayat bekas lawannya. Sementara, Raksagala juga telah
menyelesaikan pertarungannya.
Raksagala melirik Arya. Dan tentu saja pemuda berambut putih keperakan itu tahu
maksud lirikan itu. Raksagala mengajaknya pergi ke Istana Hantu.
"Diraga...! Uruslah semuanya...! Aku akan pergi dulu...!" kata pemuda berwajah
pucat itu seraya melesat pergi dari situ.
Dewa Arak pun berkelebat mengikuti. Dalam waktu sebentar saja, tubuh mereka
telah lenyap ditelan jalan. Keduanya sama sekali tidak mempedulikan pandangan
kekaguman dari murid-murid Perguruan Belut Putih.
*** Raksagala dan Dewa Arak berlari cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki. Raksagala yang bertindak sebagai petunjuk jalan, tentu saja berada
agak di depan. Sementara Dewa Arak mengikuti di belakangnya.
Raksagala memang mengerahkan seluruh kemampuannya. Namun Arya hanya sebagian
saja. Sebab jika seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan, sudah bisa
dipastkan Raksagala pasti akan tertinggal.
Dua hari lamanya Raksagala dan Dewa Arak menempuh perjalanan bersama. Kini
sewaktu matahari tepat di atas kepala, mereka berdua berjalan di tempat yang
tanahnya lembek dan banyak tergenang air.
Dewa Arak mengamati keadaan sekelilingnya. Udara di sekitar tempat ini demikian
lembab. Sekelilingnya penuh pepohonan. Pohon
besar dan tinggi sampai menjulang tinggi.
Raksagala terus saja melangkah melewati jalan-jalan becek berhawa lembab yang
dipenuhi pepohonan menjulang tinggi. Dewa Arak mengikutinya, dengan seluruh urat
syaraf menegang waspada.
"Itu dia Istana Hantu...!"
Raksagala berseru seraya menudingkan telunjuknya ke arah sebuah bangunan besar
dan megah tapi terlihat tua. Bangunan itu berhalaman luas. Sebuah pagar tembok
yang tebal dan terlihat tua mengelilingnya.
Dewa Arak mengikuti arah tudingan
Raksagala. Dan diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini mengakui kalau nama
yang diberikan untuk tempat itu memang cocok.
Bangunan itu mirip sebuah istana. Tapi menilik keadaannya yang begitu
menyeramkan, mana ada raja atau pejabat kerajaan yang bersedia tinggal di situ.
Rasanya tidak ada seorang pun yang mau tinggal di situ, kecuali hantu!
"Ha ha ha...!"
Mendadak terdengar suara tawa keras menggelegar menggetarkan jantung. Jelas
kalau suara itu keluar dari mulut orang yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Seketika itu juga Raksagala dan Dewa Arak terperanjat. Kontan seluruh urat
syaraf di tubuh mereka menegang waspada, bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan. Sebelum gema suara tawa itu lenyap, di hadapan Raksagala dan Dewa Arak telah
berdiri seorang kakek tinggi besar berpakaian merah.
Memang, pakaian kakek ini mirip pakaian Jonggirupaksi, satu-satunya penjaga
Istana Hantu. Melihat munculnya kakek itu, Raksagala tanpa sadar melangkah mundur. Dia kenal
betul, siapa sosok tubuh tinggi besar itu. Dia adalah Barong Segara, si Penghuni
Istana Hantu! Tanpa diberi tahu lagi pun Dewa Arak sudah bisa memperkirakan sosok yang berdiri
di hadapannya. Memang, Raksagala telah menceritakan ciri-ciri Penghuni Istana
Hantu ini! Dewa Arak menatap wajah kakek berpakaian merah itu lekat-lekat. Diam-diam ada sedikit perasaan ngeri di hatinya
melihat guratan yang ada di wajah Barong Segara.
"Sungguh tidak kusangka kau memiliki nyali juga, Monyet Kecil"!" kata Barong
Segara keras seraya melayangkan pandangan pada
Raksagala. "Rupanya kau pun ingin cepat-cepat menjadi bangkai seperti gurumu
itu!" Terdengar suara gemeretak dari mulut Raksagala ketika mendengar ucapan Penghuni
Istana Hantu itu. Tanpa mempedulikan kenyataan kalau dirinya bukanlah tandingan
kakek berpakaian merah itu, hatinya bertekad untuk menyerangnya. Kemarahan yang
amat sangat telah menutup matanya.
Tapi sebelum pemuda berwajah pucat itu berhasil melaksanakan maksudnya, sebuah
tangan kekar telah mencekal pergelangannya.
Raksagala menoleh. Memang, itu adalah tangan Dewa Arak yang mencegahnya untuk
tidak bertindak gegabah.
"Biar aku yang menghadapinya, Raksagala,"
tegas pemuda berambut putih keperakan itu pelan, tanpa bermaksud meremehkan.
Raksagala tahu diri. Dia sadar kalau memaksakan diri bertarung, hanya akan
mengantarkan nyawa sia-sia saja. Maka dibiarkan saja Dewa Arak yang
menghadapinya. Tapi perasaan dongkol yang menyesak di dada, membutuhkan pelampiasan! Tidak bisa
membalas dengan kekerasan, dia pun berniat membuat Barong Segara terpukul.
"Kali ini kau yang akan menjadi bangkai, Barong Segara!" ejek Raksagala tajam.
"Kau tahu, adikmu telah menjadi bangkai lebih dulu di tangan pemuda di sampingku
ini! Dan kini kau akan menyusulnya!"
Terdengar raungan keras, seperti ada seekor binatang buas terluka yang tengah
murka. Barong Segara murka bukan kepalang.
Durgasari, adiknya telah tewas" Hampir dia tidak bisa mempercayai hal ini!
Kini dia mengerti, mengapa pemuda berwajah pucat itu berani datang menyatroni
tempatnya. Rupanya Raksagala mengandalkan temannya.
Sambil meraung keras seperti binatang buas terluka. Barong Segara bersiap
menerjang Dewa Arak. Tahu kalau pemuda yang berdiri di hadapannya ini telah
menewaskan adiknya, dia
bisa menduga kalau calon lawannya pasti berilmu tinggi. Maka Penghuni Istana
Hantu ini tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan seluruh ilmu yang dimilikinya. Tanpa
sungkan-sungkan segera dikeluarkan gabungan ilmunya, 'Tangan Penahan Gelombang
Laut' dan 'Ilmu Tangan Pasir Besi'.
Arya sama sekali tidak berani bertindak setengah-setengah. Segera guci araknya
diangkat ke atas kepala, lalu dituangkan ke dalam mulut
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu cairan arak memasuki tenggorokan Dewa Arak.
Seketika itu juga hawa hangat menjalar di dalam perut Arya.
Kemudian perlahan-lahan merayap ke atas.
Hanya dalam sekejap saja, tubuh Dewa Arak mulai limbung. Posisi kedua kakinya
mulai tidak tetap. Oleng sana, oleng sini!
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan teriakan mengguntur, Barong Segara segera melompat menerjang
Dewa Arak. Kedua tangannya yang kini berwarna hitam mengkilat seperti baja,
meluncur cepat ke arah dada, ulu hati, pusar Dewa Arak dengan jari-jari tangan
menegang kaku. Dewa Arak mengerutkan alisnya. Dia merasa heran, karena tidak merasakan adanya
hembusan angin yang mengiringi serangan lawan. Dia tahu kalau lawan telah
menyerang mempergunakan tenaga lemas. Tak kelihatan
berbahaya, tapi sebenarnya mengandung ancaman maut! Tapi yang membuat hati Dewa
Arak bingung, mengapa kedua tangan dan bentuk serangan itu terlihat keras dan
kasar penuh tenaga! Sekujur tangan itu menegang kaku seperti penuh tenaga, tapi
anehnya tidak ada hawa angin sedikit pun yang mengiringi.
Sama sekali pemuda berambut putih
keperakan ini tidak tahu kalau Barong Segara telah menggabungkan 'Ilmu Tangan
Pasir Besi' yang kelihatan kasar dan keras, dengan ilmu
'Tangan Penahan Gelombang Laut' yang kelihatan lembut dan tidak bertenaga.
Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh.
Maka buru-buru serangan itu dielakkan dengan menggunakan jurus 'Delapan Langkah
Belalang'. Kemudian dia bergegas melangkah maju ke kanan. Dengan bertumpu pada
telapak kaki kanan, tubuhnya berputar. Dan tahu-tahu saja, dia telah berada di
belakang lawan. Bukan hanya itu saja. Secepat Arya berada di belakang lawan,
secepat itu pula melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah punggung.
Semula Barong Segara terperanjat bukan main melihat lawannya tahu-tahu
menghilang dari hadapannya. Tapi begitu merasakan adanya hembusan angin dari
belakang, dia tahu lawan telah mengirimkan serangan.
Serangan Dewa Arak datangnya memang begitu cepat dan tiba-tiba. Tapi Barong
Segara tidak kalah cepat. Buru-buru tubuhnya dilipat ke depan sehingga serangan
Dewa Arak hanya
menyambar tempat kosong, lewat setengah jengkal di atas punggungnya. Pada saat
yang sama, kaki kanan Barong Segara menendang ke belakang. Persis gerakan seekor
kuda yang menendang!
Arya terperanjat, sungguh tidak disangka kalau akan begini sambutan lawannya.
Memang luar biasa Penghuni Istana Hantu ini. Dalam keadaan terjepit dan waktu


Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sempit, dia tidak hanya mampu lolos dari ancaman maut.
Bahkan juga mampu sekaligus balas mengancam.
Meskipun begitu Dewa Arak tidak hilang akal. Sudah tidak terhitung kejadian yang
berbahaya seperti ini dialaminya. Dan berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti',
dia selalu berhasil menyelamatkan diri.
Sekarang pun demikian juga. Dengan kelincahan seorang yang telah memiliki ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi, Arya menjejakkan kakinya di tanah. Sesaat
kemudian, tubuhnya telah melayang ke belakang.
Barong Segara yang telah dilanda dendam, tidak mungkin akan memberi kesempatan
pada lawannya. Secepat dia berhasil memperbaiki posisinya, secepat itu pula
kembali melancarkan serangan.
Tapi Dewa Arak bukan orang sembarangan.
Begitu Barong Segara berhasil memperbaiki posisinya, dia pun telah melakukan hal
yang sama. Dan kini keduanya segera saling gebrak!
Tak lama kemudian, kedua tokoh berbeda aliran
tapi sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini sudah terlibat dalam sebuah
pertarungan sengit.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang sama-sama telah mencapai tingkatan amat
tinggi, pertarungan antara mereka berdua jadi berlangsung cepat. Dalam waktu tak
begitu lama, lima puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu, tidak nampak adanya
tanda-tanda yang akan terdesak. Pertarungan masih berjalan seimbang, walaupun
terlihat tidak menarik.
*** Raksagala mengerutkan alis melihat pertarungan yang berlangsung di hadapannya.
Jelas sekali kalau pemuda berwajah pucat ini merasa tidak tertarik dengan
pertarungan di hadapannya yang berlangsung membosankan.
Diam-diam Raksagala merasa kecewa
melihat sikap Dewa Arak dalam menghadapi pertarungan itu. Tampak pemuda berambut
putih keperakan itu seperti gentar menghadapi Barong Segara. Tak sekali pun dia
berani menangkis serangan Barong Segara. Dan ini membuat Raksagala sama sekali
tidak puas. Begitu pula ketika Arya melancarkan serangan.
Penghuni Istana Hantu itu tampak seperti akan menangkis, namun pemuda berambut
putih keperakan itu menarik pulang serangannya.
Barong Segara menggertakkan gigi. Ada perasaan kagum di hatinya melihat tindakan
Dewa Arak, meskipun amarahnya tetap
berkobar-kobar. Sungguh tidak disangka kalau lawannya begitu cerdik, sehingga
tidak mau mengadu tangan dengannya. Karena sekali saja mengadu tangan, nyawa
pemuda berambut putih keperakan itu pasti akan melayang.
Tenaga di dalam ilmu 'Tangan Penahan Gelombang Laut', akan menyelusup dan
menghancurkan bagian dalam dadanya dan memang demikianlah keunggulan ilmu itu.
Dan karena tahu akan kedahsyatan ilmu
'Tangan Penahan Gelombang Laut', maka Barong Segara berusaha memojokkan lawan.
Dia berusaha sekuat tenaga agar lawan tidak dapat mengelak lagi, sehingga
terpaksa harus mengadu tangan. Dan bila hal itu terjadi, Dewa Arak sudah pasti
akan dapat dikalahkannya.
Tapi Dewa Arak ternyata gesit bukan main.
Dan hal itu memang wajar saja. Pemuda berambut putih keperakan ini memang
memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, sehingga semua usaha yang
dilakukan Barong Segara sia-sia.
Tapi pada jurus kedua ratus, Dewa Arak tidak bisa mengelak lagi. Barong Segara
melompat menerjang Dewa Arak dengan sebuah serangan tusukan tangan bertubi-tubi
ke arah leher dan ulu hati. Dua buah serangan mematikan.
"Hih...!"
Arya menggertakkan gigi. Tidak ada jalan baginya, kecuali menyambuti serangan.
Buru-buru serangan itu dipapak dengan hentakan
kedua tangannya yang membentuk cakar. Ada uap tipis yang samar-samar keluar dari
kepala Dewa Arak. Arya memang menggunakan jurus
'Membakar Matahari' dalam pengerahan ilmu
'Tenaga Sakti Inti Matahari'.
Prattt..! Barong Segara memekik ngeri. Tubuhnya melayang kembali ke atas, kemudian jatuh
berdebuk di tanah dan diam tidak bergerak lagi.
Penghuni Istana Hantu itu tewas dengan sekujur kulit tubuh menghitam hangus. Bau
sangit daging yang terbakar tercium di sekitar tempat itu.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas. Lega rasa hatinya melihat lawan tangguhnya berhasil
dibinasakan. Dan yang lebih melegakan hatinya, ternyata tidak dirasakan adanya
rasa sakit yang menekan dada ketika menarik napas dalam-dalam. Jelas kalau dia
tidak terluka dalam.
Apakah jurus 'Membakar Matahari' dalam pengerahan ilmu 'Tenaga Dalam Inti
Matahari', telah membuat ilmu 'Tangan Penahan Gelombang Laut' mati kutu! Dewa
Arak sendiri tidak tahu. Padahal, kesimpulan yang diambilnya memang benar!
Raksagala menghampiri Arya.
"Kuucapkan banyak terima kasih atas bantuanmu, Dewa Arak. Dengan tewasnya Barong
Segara, maka semua tokoh persilatan yang berada di Istana Hantu bebas untuk
keluar," ucap pemuda berwajah pucat ini
gembira. 'Kau bersedia ikut aku memberi tahu mereka, Arya?"
"Sayang sekali, Raksagala. Aku tidak bisa ikut. Aku masih ada urusan lain."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak melangkah perlahan meninggalkan tempat itu.
Sementara Raksagala hanya dapat memandangi saja kepergian pemuda berambut putih
keperakan itu. Dia tahu, tidak ada gunanya membujuk. Orang seperti Dewa Arak
sekali berkata tidak, selamanya akan tidak. Maka pemuda berwajah pucat itu
bergegas menuju Istana Hantu.
Sementara itu, semakin lama tubuh Dewa Arak semakin kecil. Dan akhirnya lenyap
ditelan jalan. SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr) Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com Thread Kaskus:
http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Bloon Cari Jodoh 15 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Pendekar Misterius 6

Cari Blog Ini