Ceritasilat Novel Online

Perjalanan Menantang Maut 2

Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut Bagian 2


seraya kedua tangannya diputar-putarkan dari luar ke dalam.
Hebat akibatnya! Dari kedua tangan yang berputaran itu keluar angin dahsyat yang membuat
gerombolan bajak laut yang mengeroyok Panglima
Kerajaan Pasugihan itu berpentalan tak tentu arah.
Suara-suara berdebukan keras terdengar dari
tubuh yang jatuh di tanah dan yang membentur
dinding gua. Itu pun masih ditingkahi suara berdentingan dari senjata-senjata Pasukan Tengkorak
Mata Satu yang berpentalan entah ke mana.
Serasa hampir melompat keluar sepasang mata
Tengkorak Mata Satu melihat semua kejadian ini.
Tidak pernah terbayangkan kalau gerombolan yang
selama ini merajalela di lautan tanpa pernah terkalahkan, kini dibuat berantakan oleh seorang
pemuda hanya dalam segebrakan saja! Kalau tidak
ingat malu, ingin rasanya laki-laki bermata satu ini menangis!
Bukan hanya Tengkorak Mata Satu yang
berbelalak. Panglima Gorawangsa pun dilanda
perasaan yang sama. Dia memang telah memperkirakan kalau pemuda berambut putih keperakan
itu memiliki kepandaian tinggi. Tapi, sama sekali tidak disangka kalau sampai
selihai ini. Akibatnya, untuk beberapa saat lamanya laki-laki
berkumis dan berjenggot rapi itu terpukau. Panglima Gorawangsa terkesima dengan
pedang masih tergantung di tangan! Dia baru tersadar kembali dari
kesimanya, ketika Tengkorak Mata Satu berteriak
nyaring. Laki-laki bermata satu itu kemudian
melompat menerjang Dewa Arak! Golok yang kini
tinggal sepotong, diputar-putarkan di atas kepala, lalu meluncur deras ke arah
leher Arya! Kesabaran Dewa Arak pun habis. Semula, dia tidak
bermaksud menjatuhkan tangan kejam pada
Tengkorak Mata Satu. Sungguhpun telah didengarnya sendiri tentang kejahatan
laki-laki bermata satu ini, tapi Arya rasanya tidak tega menjatuhkan tangan
kejam. Dan kini pertimbangan Dewa Arak lenyap.
Tengkorak Mata Satu terlalu keras kepala. Orang
seperti ini tidak mungkin dibiarkan merajalela. Hidup pun akan menjadi ancaman
bagi orang lain.
Tambahan lagi, pikiran Arya tengah dilanda
keruwetan memikirkan keselamatan Melati.
Dengan gerakan seenaknya, Dewa Arak mengulurkan tangan kiri. Seketika, batang golok Tengkorak Mata Satu berhasil dicekal,
dan secepat itu pula di-sentaknya.
Terdengar suara bergemeletuk ketika sambungan
tulang pangkal lengan Tengkorak Mata Satu terlepas diiringi tertariknya tubuh
laki-laki bermata satu itu ke arah Dewa Arak. Ada keluhan tertahan terdengar
dari mulut kepala bajak laut itu.
Dan tertariknya tubuh Tengkorak Mata Satu,
segera dipapak oleh tepakan tangan kanan Arya ke
arah dada. Plakkk..! Perlahan saja kelihatannya tangan itu menepak
dada, tapi akibatnya tidak sesederhana itu bagi
Tengkorak Mata Satu. Ada suara keluhan tertahan
keluar dari mulutnya diikuti memerciknya cairan
merah kental. Dari suara yang berderak keras, jelas ada tulang dada yang remuk
di dalam tubuh Tengkorak Mata Satu.
Begitu tepakan tangannya telah mengenai
sasaran, Dewa Arak pun melepaskan cekalannya. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki
bermata satu itu terbanting jatuh ke tanah. Tengkorak Mata Satu menggelepargelepar sesaat sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Kepala bajak laut yang ditakuti itu pun tewas di tangan Dewa Arak
hanya dalam segebrakan
saja! Karuan saja kematian pemimpin mereka secara
demikian mudah, membuat para bajak laut itu menjadi gentar. Tambahan lagi, mereka telah melihat
sendiri kesaktian Dewa Arak. Maka tanpa pikir
panjang lagi, mereka semua menyerah.
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar," ratap seorang bajak laut yang berambut hitam
campur coklat. "Kami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan seperti ini, Tuan Pendekar,"
janji yang lain. Dia seorang laki-laki bertubuh pendek kekar.
"Benar, Tuan Pendekar," sambut yang lain.
Sesaat kemudian suara riuh rendah pun terdengar.
Karena tidak hanya tiga orang bajak laut itu saja yang mengucapkan janji.
Berturut-turut dan saling susul-menyusul, semua bajak laut itu mengucapkan
janji. Arya tersenyum, kemudian menoleh ke arah
Panglima Gorawangsa.
"Aku tidak berhak memutuskannya," ucap pemuda berambut putih keperakan itu
sambil tersenyum. "Ada yang lebih berhak menentukannya."
Panglima Gorawangsa tercenung beberapa saat.
Dia mengerti maksud ucapan dan pandangan Dewa
Arak padanya. Arya menyerahkan semua keputusan
itu padanya. Seketika itu juga perasaan bimbang
melanda hati Panglima Gorawangsa. Laki-laki
berkumis dan berjenggot rapi itu tengah menghadapi pilihan yang sulit, dan
bingung mengambil keputusan.
"Hhh...!" Panglima Gorawangsa menghela napas berat. "Kalau menuruti perasaan,
rasanya sulit bagiku untuk mengampuni. Kejahatan kalian telah melampui atas.
Tapi karena memandang Arya sahabatku ini,
aku bersedia mengampuni kalian...."
"Terima kasih, Panglima Gorawangsa," selak seorang bajak laut bertubuh pendek
kekar cepat. "Kami sudah menduga akan mendapatkan
ampunan. Kebijaksanaan panglima telah lama kami
dengar," sambung orang yang berambut hitam
campur coklat bernada memuji.
Panglima Gorawangsa tersenyum pahit
"Tapi, ingat," sambung laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu. "Aku telah
mengenali tampang-tampang kalian semua. Apabila kelak kudapati ada di antara
kalian yang melakukan kejahatan, maka aku
tak akan segan-segan lagi bertindak!"
"Panglima boleh membuktikan janji kami," tegas bajak laut yang berambut hitam
campur coklat bernada tantangan.
"Baik! Aku pegang janji kalian ini," kata Panglima Gorawangsa menyambut
tantangan itu. Suaranya
terdengar lantang penuh wibawa.
Dewa Arak yang sejak tadi memperhatikan pembicaraan ini, diam-diam memuji kebijaksanaan
Panglima Gorawangsa. Perasaan kagum kembali
menyeruak dalam hatinya.
"Dan sebagai bukti pertama dari kesadaran kami, semua harta rampasan yang ada,
kami serahkan pada panglima," tegas bajak laut yang berambut
hitam kecoklatan.
Kepala semua bajak laut yang lain terangguk
mendengar ucapan rekan mereka itu. Jelas kalau
mereka semua menyetujui keputusan yang diambil
bajak laut berambut hitam bercampur coklat itu.
Panglima Gorawangsa menggoyang-goyang
tangannya. "Tidak perlu diserahkan semua. Masing-masing kalian boleh mengambil harta
rampasan itu se-cukupnya. Pergunakan sebagai bekal untuk menjalani kehidupan
yang baru. Setelah itu baru sisanya kalian serahkan padaku."
"Terima kasih atas kebaikan hati panglima," ucap bajak laut yang bertubuh pendek
kekar gembira. Keputusan yang diambil Panglima Kerajaan
Pasugihan ini benar-benar di luar dugaan orang itu.
Sementara rekan-rekannya sebagian besar berdiam
saja. Tidak banyak bicara, kecuali sekali-kali saja.
Mereka pun merasa gembira bukan main mendengar
keputusan yang diambil Panglima Gorawangsa.
Rupanya, anggota gerombolan yang lain telah
menyerahkan seluruh urusan itu pada kedua orang
rekannya. Kembali perasaan kagum menyeruak dalam hati
Dewa Arak. Keputusan Panglima Gorawangsa untuk
membekali para bajak laut itu benar-benar merupakan sebuah keputusan yang sangat tepat. Setidaktidaknya, dengan adanya bekal harta itu mereka
dapat menggunakan untuk menekuni pekerjaan baru.
Perlahan Dewa Arak melangkah kembali ke dalam
gua. Melihat hal ini, Panglima Gorawangsa buru-buru mengejarnya.
"Arya...! Tunggu...!"
Arya menghentikan langkah, kemudian membalikkan tubuhnya. "Ada apa, Panglima?" tanya Dewa Arak pelan.
"Kau mau ke mana?" tanya Panglima Gorawangsa ingin tahu.
"Istirahat," kalem ucapan Dewa Arak. "Besok aku harus melanjutkan perjalananku
lagi. Jadi aku ingin beristirahat"
"Jadi.., kau membohongiku sewaktu mengatakan terdampar di sini?" tanya Panglima
Gorawangsa setelah terdiam beberapa saat lamanya.
"Maafkan aku, Panglima," pelan suara Dewa Arak.
Wajah pemuda berambut putih keperakan ini
memerah karena perasaan malu yang menyeruak.
Malu karena kebohongannya telah diketahui.
"Lupakanlah, Arya," desah Panglima Gorawangsa bijaksana. "Aku bisa
memakluminya."
"Terima kasih."
Suasana menjadi hening sejenak ketika Dewa Arak
menghentikan ucapannya. Dan Panglima Gorawangsa
pun tidak melanjutkan ucapannya pula.
"Boleh kutahu, ke mana kau akan pergi, Arya?"
tanya laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu, hati-hati. Dia begitu khawatir
kalau pertanyaannya
menyinggung perasaan Dewa Arak.
"Aku akan pergi ke Pulau Ular, Panglima," sahut pemuda berambut putih keperakan
itu pelan. "Apa"!" Panglima Gorawangsa tersentak bagai disengat ular berbisa. Sepasang
matanya berbelalak lebar bagaikan melihat hantu. "Kau tidak main-main, Arya?"
Dewa Arak menggelengkan kepala.
"Kalau boleh aku memberi nasihat, urungkan saja niatmu itu, Arya." Raut wajah
Panglima Gorawangsa menampakkan kekhawatiran yang amat sangat
"Terima kasih atas saranmu itu, Panglima. Tapi sayang sekali, aku tidak bisa
menerimanya. Nyawa
seorang kawanku bergantung pada usahaku di Pulau
Ular." Panglima Gorawangsa pun terdiam, tidak berkata
kata lagi. Meskipun belum lama mengenal, sebagai
orang yang sudah terbiasa berhadapan dengan
berbagai macam tingkah dan polah manusia, dia
sudah bisa mengetahui kalau percuma saja
mencegah Arya. Pemuda berambut putih keperakan
itu termasuk orang yang teguh memegang keputusan.
Sekali berkata hitam, selamanya akan tetap hitam!
"Kalau begitu, aku hanya bisa mendoakan agar kau berhasil menjalankan tugasmu
itu, Arya," hanya itu yang bisa diucapkan Panglima Gorawangsa.
"Terima kasih, Panglima," sahut Dewa Arak.
Dan memang pemuda berambut putih keperakan
ini merasa berterima kasih sekali atas perhatian
panglima itu padanya.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak melangkah
meninggalkan Panglima Gorawangsa yang hanya
dapat memandangi punggung pemuda berambut
putih keperakan itu. Sinar mata laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu penuh
dengan kekhawatiran dan kecemasan.
4 Pagi baru saja menjelang, ditandai oleh munculnya bola api raksasa berwarna
merah di ufuk Timur.
Sepertinya bola api raksasa itu muncul dari permukaan laut. Angin pun masih bertiup semilir ketika Arya dan Panglima Gorawangsa
mulai men-dorong
perahunya ke laut.
Memang, para bajak laut di bawah pimpinan
Tengkorak Mata Satu mempunyai beberapa buah
perahu kecil. Dan dengan senang hati, mereka memberikannya pada Dewa Arak dan Panglima
Gorawangsa. Kedua orang itu memang telah sepakat untuk
meninggalkan pulau bersama-sama. Hanya saja
tujuan mereka berbeda. Dewa Arak menuju ke Pulau
Ular, sementara Panglima Gorawangsa kembali ke
tempatnya semula. Kerajaan Pasugihan.
Baik Arya maupun Panglima Gorawangsa menggunakan perahu yang sama. Namun pada perahu
yang ditumpangi Panglima Gorawangsa terdapat
harta hasil rampasan para bajak laut itu.
Sejauh beberapa tombak dari pulau tempat tinggal
gerombolan Pasukan Tengkorak Laut, perahu Dewa
Arak dan Panglima Gorawangsa berdampingan. Tapi
setelah itu, arah kedua perahu itu pun terpisah.
"Jangan lupa singgah di tempatku, apabila
masalahmu telah selesai, Arya," pinta Panglima Gorawangsa ketika perahu mereka
berdua mulai berpisah untuk menempuh jalan masing-masing.
"Akan kuingat permintaanmu itu, Panglima," sahut
Dewa Arak. "Aku akan selalu menunggu kedatanganmu,
Arya...!" Dewa Arak hanya tersenyum, dan tidak lagi
menyahuti. Jarak di antara mereka semakin jauh. Dan dengan sendirinya, perahu
yang mereka tumpangi itu pun semakin terlihat mengecil. Dan akhirnya lenyap sama
sekali. Kini perhatian Arya tertuju penuh pada tujuannya
semula. Mencari Pulau Ular! Dewa Arak melakukan
perjalanan dengan tergesa-gesa. Dia ingin buru-buru tiba di tempat yang dituju.
Maka tanpa segan-segan lagi, segera dikerahkan tenaga dalamnya pada
tangan yang mengayuh dayung. Hebat akibatnya!
Perahu itu melaju seperti anak panah yang lepas dari busur!
Perlahan-lahan matahari merangkak semakin
tinggi. Dan seiring semakin tingginya matahari, hari pun semakin siang. Dan
dengan sendirinya, Arya pun mulai lelah. Rasa lapar dan haus menyengat


Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerongkongannya.
Dewa Arak lalu menyimpan dayungnya, dan
membiarkan perahunya terbawa arus gelombang.
Sesaat kemudian, pemuda berambut putih keperakan
ini mulai sibuk dengan bekal yang diberikan
gerombolan Pasukan Tengkorak Laut. Memang,
begitu mengetahui tujuan Dewa Arak, mereka
memberikan bekal makanan dan minuman yang
diperkirakan cukup hingga sampai sana.
*** Pada hari ke enam pelayarannya, hati Dewa Arak mulai berdebar tegang. Samarsamar hidungnya
mencium bau amis memuakkan yang dibawa angin
laut. Tanpa ragu-ragu lagi Dewa Arak segera
mengambil sebutir pil penawar racun yang diberikan Eyang Sagapati.
Semangat Arya yang semula sudah mulai pudar,
kembali timbul. Dia seolah-olah mendapat tambahan tenaga baru. Sepercik harapan
mulai terbetik di
hatinya. Mudah-mudahan saja, bau amis memuakkan
ini adalah pertanda kalau dia telah memasuki wilayah Pulau Ular!
Kalau menuruti perasaan hati, ingin rasanya Arya
mengayuh sekuat-kuatnya agar segera tiba di tempat tujuan. Tapi kehati-hatiannya
dan sikap waspada
telah melarangnya. Dia tidak ingin usahanya kandas, hanya karena sikap ceroboh.
Maka sekuat tenaga
perasaan melonjak-lonjak untuk mengayuh dayungnya secepat mungkin ditahannya. Dewa Arak terus
mengayunkan dayung perlahan-lahan.
Semakin lama, bau amis yang tercium semakin
menyengat hidung. Semula Dewa Arak masih
sanggup bertahan. Tapi lama-kelamaan, dia mulai
tidak kuat lagi. Bau amis itu terlalu memuakkan.
Sepertinya tepat di hadapannya ada sebukit sampah udang mentah! Amisnya begitu
memuakkan, membuat seluruh isi perutnya seperti akan tumpah ke
luar! Terpaksa Arya menghentikan gerak mendayungnya
sebentar. Dia yakin kalau maju beberapa tombak lagi, kemungkinan tidak akan
tahan terhadap bau amis
yang membuat isi perutnya teraduk itu. Bau amis itu sudah begitu luar biasa
keras. Padahal, perairan yang diberi tahu oleh Ki Temula belum ditemukannya.
Kini pemuda berambut putih keperakan ini
mengerti, mengapa kakek berwajah tirus itu langsung
mundur teratur begitu tiba di wilayah pertama menuju Pulau Ular. Kalau halangan
pertamanya saja sudah
seperti ini, bagaimana dengan halangan selanjutnya"
Secepat kayuhannya dihentikan, secepat itu pula
Arya membuka buntalan kain putih yang berisi obat-obat yang diberi oleh Eyang
Sagapati. Kemudian
segera dikeluarkannya sebuah kendi kecil dari
buntalan itu. Seketika tutupnya dibuka.
Bau wangi dan harum yang menyerap sejuk
sampai ke dada, tercium begitu tutup kendi itu
terbuka. Tapi hanya sesaat saja bau wangi dan harum itu menyebar. Sesaat
kemudian, bau amis memuakkan itu kembali menyeruak.
Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera
menuangkan kendi itu ke sekeliling perahu. Ternyata, isi kendi itu berupa bubukbubuk halus mirip tepung.
Eyang Sagapati memang memberikannya pada Dewa
Arak, untuk melawan bau busuk yang memuakkan.
Arya terus menaburkannya sampai seluruh isi
kendi itu habis. Dari ahli obat istana nomor satu itu, dia telah tahu kalau
bubuk itu dibuat dari campuran beberapa macam tumbuhan. Di antaranya adalah
kayu pohon cendana dan kayu rasamala.
Wewangian yang diberikan Eyang Sagapati ternyata cukup membuahkan hasil. Meskipun tidak
terusir seluruhnya, tapi bau amis yang menerpa
hidung Arya tidak lagi sekeras semula. Sebagian
besar sudah tertutupi oleh bau wangi yang timbul dari bubuk yang ditaburkannya
tadi. Kini Dewa Arak kembali mengayunkan dayung
untuk melanjutkan perjalanan yang tadi tertunda
sejenak. Bau amis yang memuakkan mulai semakin
menguat lagi, walaupun tidak bisa sekeras seperti sebelum dilawan dengan
wewangian. Tak lama kemudian, Arya mulai melihat permukaan air laut yang berwarna hitam pekat. Arya
bingung memikirkan, mengapa permukaan air laut
yang berwarna biru tidak bercampur dengan permukaan air laut yang berwarna kehitaman.
Tapi Arya tidak sempat memikirkannya, karena
sudah sibuk memusatkan seluruh pikirannya untuk
menghadapi hambatan-hambatan yang akan dijumpai. Sepasang mata Arya terbelalak begitu melihat
asap tipis mengepul di atas pemukaan air yang
berwarna hitam itu. Seketika tercium bau amis
memuakkan dari asap yang mengepul itu.
Kini Dewa Arak tahu, dari mana asal bau amis
yang membuat seluruh isi perutnya seperti diaduk-aduk itu. Ternyata, bau itu
berasal dari larutan air yang berwarna hitam kelam.
Arya tidak berani main-main. Dengan gerakan hatihati, dayungnya dikayuh. Pemuda berambut putih
keperakan ini tidak berani mengayuh secara
sembarangan dan ceroboh. Dia khawatir larutan
berwarna hitam itu akan memercik ke tubuhnya.
Padahal, dia sama sekali belum mengetahui
keistimewaan air itu.
Karena Arya mengayuhnya secara hati-hati, tidak
aneh kalau laju perahu itu pun tersendat-sendat.
Pelan sekali seperti seekor keong merayap.
Cukup lama juga Arya mengayuh kan dayungnya
melalui laut yang memiliki air yang berwarna hitam itu. Baru ketika matahari
naik tinggi, warna air laut berubah merah seperti darah. Baunya pun tidak lagi
amis seperti sebelumnya. Namun justru bau busuk
yang kini menyerangnya. Seakan-akan di hadapan
Arya tergeletak bangkai tikus yang telah membusuk.
Bila dibandingkan sebelumnya, bau air laut yang
berwarna merah ini tidak terlalu memualkan perut.
Tapi mendadak Arya terkejut ketika merasa kan sepasang kelopak matanya jadi
berat. Bahkan beberapa kali tanpa sadar, sepasang kelopak
matanya mengatup sendiri.
Semula Arya tidak merasa curiga. Hal itu dianggapnya wajar saja. Mungkin karena
dirinya terlalu lelah, sehingga tanpa dapat ditahan lagi sepasang kelopak
matanya terkatup sendiri.
Dewa Arak baru merasa curiga ketika merasakan
ada kekuatan aneh yang menarik perahunya.
Perahunya terbawa ke suatu tempat.
Seketika itu juga Arya terperanjat. Langsung dia
tersadar kalau lautan yang berbau busuk itu
mengandung racun, sehingga membuat orang
mengantuk tanpa disadari. Maka tanpa ragu-ragu
lagi, Dewa Arak segera menelan pil pemberian Eyang Sagapati. Pil yang khusus
untuk mengusir pengaruh racun pembius.
Memang setelah Arya menelan pil itu, tak lama
kemudian rasa kantuknya mulai berkurang banyak.
Apalagi pemuda berambut putih keperakan itu kini
telah berusaha menahan rasa kantuk yang melanda.
Dan begitu tersadar, Dewa Arak jadi terkejut bukan main. Kekuatan yang menarik
perahunya ke satu
arah ini telah semakin bertambah saja. Berdasarkan pengalaman yang pernah
dialami ketika dulu terbawa kekuatan di sungai, Dewa Arak segera bersikap
waspada. Dan begitu mengetahui kalau perahunya
ditarik sebuah kekuatan aneh, pemuda berambut
putih keperakan ini segera melayangkan pandangan
ke depan. Seketika itu juga, sepasang mata Dewa
Arak terbelalak.
Betapa tidak" Sekitar beberapa tombak dari
perahunya, nampak sebuah pusaran air. Suara
bergemuruh yang mengerikan terdengar mengiringi
putaran air itu.
Dewa Arak sadar kalau terlambat, bahaya besar
akan mengancamnya. Perahunya akan luluh lantak
dalam pusaran air itu apabila tidak segera berusaha meloloskan diri.
Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera
mengayuhkan dayungnya, untuk segera meninggalkan tempat itu. Tahu akan ancaman bahaya yang
telah mengintai, seluruh tenaga dalam langsung
dikerahkannya. Untung bagi pemuda berambut putih keperakan
ini. Ternyata perahunya masih berada dalam luar
pusaran air. Sehingga, kekuatan yang menarik
perahunya belum terlalu kuat. Sedikit demi sedikit perahu Arya mulai
meninggalkan tempat itu.
"Hhh...!"
Arya menghembuskan napas lega begitu perahunya telah berhasil meninggalkan tempat berbahaya
tadi. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan
ini bergidik. Kalau saja tidak keburu merasa curiga begitu diserang kantuk yang
amat sangat, mungkin
dia kini telah berada di dasar lautan bersama
perahunya yang telah hancur berkeping-keping.
*** Begitu telah berhasil meloloskan diri dari pusaran
air, Dewa Arak baru sadar kalau telah salah arah.
Tampak matahari kini telah berada di sebelah kanannya. Berarti, Arya telah
menuju ke arah Utara.
Jadi tanpa sepengetahuannya, dia telah terseret arus
putaran ke arah Utara.
Kini Dewa Arak kembali berusaha menempuh jalan
yang benar. Patokan yang menjadi dasar arah bagi
Dewa Arak memang sudah tidak mungkin diragukan
lagi. Matahari!
Seiring bergantinya warna air laut menjadi
berwarna hijau, samar-samar di hadapan Dewa Arak
tampak sebuah pulau.
Seketika itu juga wajah Dewa Arak berseri. Sudah
tidak bisa diragukan lagi kalau pulau yang tampak di hadapannya ini adalah Pulau
Ular. Karena, semuanya persis dengan cerita Ki Temula.
Kakek berwajah tirus itu memang telah memberitahukannya. Dan semua memang cocok dengan
yang ditemuinya. Begitu telah menemukan laut yang airnya berwarna hijau, Dewa
Arak akan melihat
sebuah pulau. Dan itu memang dijumpainya.
Seketika itu juga semangat Dewa Arak semakin
berkobar-kobar. Meskipun begitu, sikapnya diusahakan untuk tenang. Dia tidak mau
menuruti luapan
perasaan semata-mata. Maka sungguh pun keinginan
untuk segera tiba di Pulau Ular begitu menggebugebu, Dewa Arak tetap tenang melajukan perahunya.
Entah berapa lama perahunya melaju, namun
pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali
tidak mempedulikannya. Yang jelas, suasana masih
cukup terang ketika warna permukaan air laut
berubah. Tidak lagi hijau seperti sebelumnya, tapi biasa seperti warna air laut
umumnya. Dan begitu Dewa Arak telah menemukan permukaan air laut yang biasa, daratan itu telah semakin jelas terlihat. Seketika
pemuda berambut putih
keperakan ini mengerutkan alisnya. Betapa tidak"
Daratan Pulau Ular ternyata terletak jauh di atas
permukaan laut Sulit bagi orang untuk mendarat di sana.
Tambahan lagi, arus gelombang laut di sekeliling
pulau itu tidak terarah. Begitu menghantam dinding pulau itu gelombang air
langsung berbalik, menyebar ke segala arah.
Beberapa saat lamanya Arya kebingungan.
Bagaimana cara mendarat ke sana" Jangankan
mendarat, untuk mendekati pulau itu, perahunya
tidak bisa. Setiap kali dikayuh mendekati pulau itu, setiap kali pula perahunya
hampir terguling karena terkena dorongan air yang menghempas dari dinding pulau.
Paling tidak, perahu itu akan terdorong
kembali ke telakang.
Beberapa saat lamanya Dewa Arak tercenung.
Menilik dari dahinya yang berkernyit, sudah dapat dipastikan kalau tengah
berpikir keras.
Tak lama kemudian kernyit di dahi Arya lenyap,
berganti dengan sinar keceriaan. Bahkan sepasang
matanya pun berbinar-binar. Jelas kalau sebuah
gagasan telah ditemukannya.
Dewa Arak segera mengambil dua bilah papan dan
tambang dari sudut perahu, kemudian diikatkan di
bawah alas kakinya.
"Hih...!"
Arya menggertakkan gigi. Kedua lututnya menekuk
sebentar. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah melayang ke atas. Dia bersalto beberapa kali di udara, kemudian....
Pyarrr...! Air laut memercik tinggi ke udara begitu kedua kaki Dewa Arak menyentuh
permukaan air laut.
Tidak hanya sampai di situ saja. Begitu kedua
kakinya menyentuh permukaan air, Arya lalu kembali
melompat ke udara, dan bersalto beberapa kali.
Kemudian kakinya menyentuh permukaan laut
dengan menimbulkan percikan air di sana-sini. Begitu seterusnya.
Memang dengan cara seperti itu, Arya tidak
mengalami kesulitan untuk mendekati daratan pulau.
Hanya dalam beberapa kali lompatan saja, tubuhnya sudah berada dekat dinding
Pulau Ular. "Hih...!"
Kembali Arya menggertakkan gigi. Seketika itu juga tubuhnya melayang ke atas.
Tapi kali ini lebih tinggi daripada sebelumnya. Maksudnya memang untuk
bisa mendarat di permukaan Pulau Ular. Tubuh Dewa Arak lalu melenting ke atas,
dan bersalto beberapa kali di udara. Maka....
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki Dewa Arak
mendarat di tanah.
5 Secepat kedua kakinya mendarat di tanah yang
ternyata becek, secepat itu pula Dewa Arak
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sikapnya


Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar-benar waspada. Tampak di hadapannya,
hamparan rumput kering berwarna kecoklatan yang
tinggi menjulang.
Setelah melepaskan alas kakinya, Dewa Arak
terpaku. Dia tahu tidak ada jalan lain untuk masuk terus ke dalam pulau itu
kecuali melewati hamparan rumput kering yang tinggi membentang. Kanan kirinya
adalah tebing-tebing tinggi, yang di bawahnya
terhampar lautan luas.
Perlahan dan hati-hati sekali Dewa Arak
melangkah mendekati hamparan rumput itu.
Kelihatannya dekat saja letaknya, tapi ketika didekati rupanya jauh juga. Jarak
hamparan padang rumput
itu dari tempat Arya tadi berdiri tak kurang dari tiga puluh tombak.
Selangkah demi selangkah Dewa Arak bergerak
mendekat. Arya melangkah hati-hati sekali. Walau
suasana di sekeliling sepi-sepi saja. Kewaspadaannya tetap tidak ditinggalkan.
Sepasang matanya menatap berkeliling. Mendadak....
Blosss...! Dewa Arak terperanjat ketika kaki kanannya
amblas ke dalam tanah sampai sebatas betis. Tanah yang dipijaknya ternyata empuk
seperti bubur! Belum lagi lenyap perasaan kagetnya, mendadak
Arya merasakan adanya kekuatan aneh yang menarik
kakinya terus ke dalam tanah.
"Lumpur hidup...," desis Arya dengan hati berdebar tegang. Memang dia telah
cukup sering mendengar
tentang lumpur hidup. Tapi, baru kali ini
ditemukannya. Sebuah keuntungan bagi Dewa Arak, karena hanya
sebelah kakinya saja yang masuk ke dalam lumpur
hidup itu. Sementara kaki kirinya masih berada di tempat yang aman. Maka, berkat
ilmu meringankan
tubuhnya yang luar biasa, tidak sulit bagi pemuda berambut putih keperakan itu
untuk tidak membiarkan seluruh tubuhnya terserap lumpur hidup.
Tapi hanya sesaat saja Arya dilanda perasaan
bingung. Sesaat kemudian, dia sudah kembali seperti sikapnya semula. Tenang dan
penuh perhitungan.
Tanpa ragu-ragu, Dewa Arak segera mengerahkan
seluruh tenaga dalam untuk menarik kembali kakinya yang terbenam dalam lumpur.
Sesaat kemudian, adu
tarik-menarik pun terjadi. Arya mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki
untuk menarik kembali
kakinya. Sementara lumpur hidup itu berusaha
menyedot kaki Dewa Arak ke bawah.
Adu tarik-menarik rupanya tidak berlangsung lama.
Dewa Arak dengan tenaga dalamnya yang telah
mencapai tingkatan tinggi, tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk menarik
kembali kakinya. Sesaat kemudian, perlahan-lahan kaki kanannya mulai ter-angkat
naik. Dan kini dia telah berhasil membebaskan kakinya dari cengkeraman lumpur hidup
itu. "Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas lega. Diam-diam
pemuda berambut putih keperakan itu bersyukur,
karena tetap bersikap hati-hati. Kalau saja tadi tidak
bersikap hati-hati, mungkin sudah tewas di dalam
lumpur hidup itu.
Mendadak Dewa Arak tersentak. Dirasakan adanya
getar-getar aneh pada kaki kanannya. Bergegas
kepalanya ditolehkan. Dan seketika itu juga sepasang mata Arya terbelalak.
Betapa tidak" Di sekujur kaki sampai sebatas tutut, bertengger benda-benda hidup
berwarna hitam sebesar jari. Lintah! Dan menilik dari bentuknya yang sudah
gendut-gendut itu, bisa
dipastikan kalau lintah-lintah itu telah cukup lama mengisap darahnya!
Menilik dari banyaknya, Arya tidak mau membunuh
mereka dengan tangan. Pemuda berambut putih
keperakan ini merasa jijik membunuh binatangbinatang itu dengan tangan kosong. Maka tanpa ragu-ragu lagi 'Tenaga Dalam Inti
Matahari' segera dikerahkan.
Sebenarnya bisa saja Dewa Arak membunuh
binatang-binatang itu dengan semburan araknya.
Tapi, dia tidak ingin menghamburkan araknya untuk hal-hal yang kurang penting.
Karena masih ada hal yang lebih penting lagi yang membutuhkan araknya.
Itulah sebabnya sepanjang perjalanan menuju
kemari, araknya tidak pernah diminum.
Bergegas Arya memusatkan pikiran. Dan sesaat
kemudian, hawa panas dari pusar bergolak ke arah
kakinya. Hanya sekejapan saja, hawa panas itu telah berada di kakinya.
Hebat bukan main akibatnya! Satu persatu tubuh
lintah-lintah itu berguguran ke tanah. Tubuh binatang-binatang itu melipat, lalu
menggeliat-geliat di tanah.
Dan akhirnya , diam tidak bergerak lagi.
Baru saja lintah-lintah itu tidak bergerak lagi,
mendadak rasa pusing menyerang Arya. Semua yang
dilihatnya seperti berputaran. Bahkan bukan hanya itu saja. Sekujur urat-uratnya
pun terasa mengejang.
Meskipun dalam keadaan seperti itu, otak Dewa
Arak masih sempat berpikir. Tidak salah lagi, lintah-lintah itu pasti beracun!
Begitulah kesimpulan yang diambil pemuda berambut putih keperakan itu.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi,
buntalannya segera dijumput. Kemudian dengan
susah, karena urat-uratnya yang telah mengejang,
dan juga karena pandangannya yang sudah tidak
jelas, pemuda berambut putih keperakan ini berhasil mengambil obat yang
dicarinya. Dan begitu didapat, segera ditelannya.
Baru saja obat itu ditelannya, Arya sudah tidak
sanggup lagi menahan rasa pusing yang menyerang.
Diiringi sebuah keluhan tertahan, Dewa Arak roboh pingsan.
*** Entah sudah berapa lama Dewa Arak tidak
sadarkan diri. Yang jelas ketika sadar, matahari telah muncul di ufuk Timur.
Sementara sewaktu perasaan
pusing menyerangnya, matahari baru saja tergelincir dari titik tengahnya. Jadi,
paling sedikit Arya telah tidak sadarkan diri selama semalaman lebih.
Setelah menggeliat-geliatkan tubuh beberapa saat
lamanya, Dewa Arak baru bangkit dari berbaringnya, kemudian duduk. Dahinya
berkernyit mencoba
mengingat-ingat kejadian yang dialami sampai tahutahu tertidur.
Tidak sulit bagi pemuda berambut putih keperakan
ini untuk mengingat-ingat kejadian yang dialami.
Karena, di hadapannya masih terpampang bukti-bukti
yang membantunya untuk mengingat-ingat.
Kini Dewa Arak tercenung. Sepasang alisnya
nampak bertautan. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Memang, dia tengah memikirkan jalan untuk nelewati lumpur hidup ini.
Dewa Arak yakin, pasti ada jalan lain untuk menuju ke tengah pulau. Maka,
pandangannya diedarkan ke
sekeliling. Pulau tempatnya berdiri ini hanya pulau kecil. Lebarnya tak lebih
dari dua ratus tombak. Kalau panjangnya, Dewa Arak sama sekali tidak bisa
memperkirakan, karena di hadapannya terpampang
hamparan rumput ilalang tinggi. Dan lagi, lebar pulau yang disinggahinya juga
tertutup hamparan rumput
ilalang! Yakin pada dugaannya, membuat semangat Dewa
Arak kembali bangkit. Cepat dia bangkit berdiri,
kemudian berjalan ke arah kiri pulau sampai tiba di ujungnya. Tak lupa di
sepanjang perjalanan menuju ke sana, dipungutnya batu-batu sebesar kepala yang
berserakan di sana-sini.
Iseng-iseng Arya melongokkan kepala ke bawah.
Tampak olehnya lautan yang membentang di sana.
Agak ciut juga hatinya. Maka, pandangan Arya segera dipalingkan.
Kini Dewa Arak kembali pada maksudnya semula,
mencari jalan yang aman untuk masuk ke dalam
pulau. "Hih...!"
Arya mulai dengan percobaannya. Dilemparkannya
baru itu ke atas tanpa pengerahan tenaga dalam
sama sekali. Wuuuttt..! Baru itu meluncur naik ke atas. Dan setelah daya
lontarannya habis, batu itu meluncur ke tanah dalam
jarak sekitar dua tombak di hadapan Dewa Arak.
Brukkk...! Batu sebesar kepala itu jatuh di tanah. Kontan
tanah yang kelihatannya keras, langsung melesak.
Batu itu tenggelam sedikit ke dalam tanah yang
ternyata bagian dalamnya empuk.
Semula hanya sebagian kecil saja yang terbenam.
Tapi, semakin lama semakin banyak bagian batu yang tenggelam. Rupanya tanah yang
terlihat keras itu di dalamnya adalah lumpur hidup yang akan menyedot
apa pun yang berada di atasnya.
Arya bergidik melihatnya, tak sanggup membayangkan kalau seandainya terjeblos di lumpur
hidup yang tertutup lapisan tanah tipis itu.
Dewa Arak tidak hanya sekali saja mencobanya.
Kakinya segera melangkah sekitar tiga tindak ke
tanah, kemudian kembali melemparkan batu sebesar
kepala yang dibawanya. Lagi-lagi batu itu tenggelam.
Tapi Dewa Arak tidak putus asa, dan terus melangkah ke kanan sambil melemparkan
batu itu. Hasilnya
tidak jauh berbeda.
Dewa Arak terus saja mencoba sampai akhirnya
tiba di bagian paling kanan pulau itu. Kini pemuda berambut putih keperakan ini
tidak bisa lagi
mencobanya karena di sebelah kanannya, nun jauh di bawah, terbentang lautan
luas. "Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas panjang, antara
bingung dan putus asa. Jelas dari hasil percobaannya dapat diketahui, tidak ada
jalan yang aman untuk
masuk ke dalam pulau. Jalan satu-satunya hanyalah melalui lumpur hidup. Tapi
bagaimana caranya"
Untuk yang kesekian kalinya Dewa Arak tercenung.
Pikirannya berputar keras, mencari jalan untuk
melewati lumpur hidup itu. Sepasang alis Arya hampir bertautan saking kerasnya
berpikir. Beberapa saat lamanya Arya bersikap seperti itu,
berdiri dengan sepasang alis berkerut. Sementara ibu jari dan telunjuknya
mengelus-elus dagu. Sepasang matanya menatap tak bergeming pada satu titik.
Beberapa saat kemudian, wajah Arya berseri.
Kerutan pada sepasang alisnya pun lenyap. Suatu
bukti kalau telah ditemukan suatu cara.
Kini Arya menerawangkan pandangannya ke
depan. Diperkirakannya jarak dari tempatnya berdiri, kehamparan rerumputan yang
terdapat di sana.
Menurut perhitungannya, jarak itu tak kurang dari tiga puluh tombak! Sebuah
jarak yang teramat jauh untuk dapat dilompatinya, sekalipun mengerahkan seluruh
ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.
Tapi kini dia telah menemukan cara untuk
mengatasinya. Diambilnya beberapa buah batu
sebesar kepalan tangan. Semuanya dimasukkan ke
balik bajunya. Hanya satu saja yang dipegangnya.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, Dewa Arak melompat
melewati lumpur hidup yang tertutup lapisan tanah tipis. Tapi seperti yang sudah
diperhitungkan,
sebelum mencapai tengah-tengah, daya lontar pada
tubuhnya pun habis. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya meluruk deras ke bawah.
Tapi Dewa Arak tidak menjadi gugup, karena hal ini memang sudah diperhitungkan.
Maka begitu kedua
kakinya hampir menyentuh tanah, batu yang
digenggamnya dijatuhkan ke bawah.
Plukkk...! Batu sebesar kepalan tangan itu jatuh di tanah.
Seketika itu pula tanah yang kelihatannya keras
melesak ke dalam. Padahal, Arya melontarkan batu
itu tanpa mengerahkan tenaga dalam.
Tukkk...! Dengan perhitungan matang, Dewa Arak menotokkan ujung alas kakinya ke batu yang dilontarkan. Dan dengan meminjam tenaga
landasan pada batu itu,
tubuh Dewa Arak kembali melenting ke udara.
Sementara, batu itu langsung tenggelam terserap
lumpur hidup. Tapi sebelum mencapai tempat yang dipenuhi
hamparan rumput luas, tubuh Arya telah kembali
meluruk turun ke tanah. Maka kembali dijatuhkannya balu yang dibawa. Kemudian
kembali ditotokkan
ujung alas kakinya ke batu. Kembali tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu melambung ke atas.
Dewa Arak terus melakukannya berkali-kali untuk
dapat tiba di tempat yang penuh rumput-rumput
ilalang kering.
Hambatan-hambatan yang diterima Dewa Arak
tidak hanya itu saja. Di hamparan rumput itu pun
menghadang hambatan-hambatan yang tidak kalah
mengerikan. Ular kecil, kelabang, lintah, kalajengking, dan bermacam-macam
binatang lainnya menyerbu
dari balik rerimbunan alang-alang itu. Namun berkat kelihaiannya, Arya mampu
mengatasi semuanya
meskipun dengan susah payah.
Kini Dewa Arak menatap sebuah bangunan
sederhana yang terpampang di hadapannya. Tidak
salah lagi! Bangunan ini pasti tempat tinggal
Kelelawar Beracun! Maka tanpa ragu-ragu lagi,
pemuda berambut putih keperakan ini segera
bergerak menghampiri.
6 "Kelelawar Beracun...! Keluar kau...!" Masih dengan napas terengah-engah, Dewa
Arak berseru memanggil. Keras bukan main suaranya, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam.
Kriiit..! Suara bergerit tajam terdengar mengiringi
terbukanya pintu pondok itu. Dan dari balik pintu yang terkuak, muncul sesosok
tubuh tinggi kurus
berpakaian serba hitam. Sepasang matanya yang
kecil dan merah tampak menyeramkan sekali dengan
wajahnya yang pucat. Inilah Kelelawar Beracun, yang membuat Melati terluka!
Terdengar suara gemeretak dari mulut Dewa Arak
begitu melihat sosok tubuh di ambang pintu itu.


Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun belum pernah melihat, tapi dari ciri-ciri yang diceritakan, sudah bisa
diduga kalau itu adalah Kelelawar Beracun!
"Siapa kau, Anjing Kecil"!" tanya Kelelawar Beracun kasar penuh kemarahan.
Dan memang, Kelelawar Beracun marah bukan
main mendengar panggilan Dewa Arak. Dengan sorot
mata penuh ancaman, kakinya melangkah menghampiri pemuda berambut putih keperakan itu.
Kedua tangan Dewa Arak menggigil keras karena
hawa amarah yang bergelora. Memang, hatinya
panas bukan main mendengar sambutan laki-laki
berwajah pucat itu. Apalagi saat itu, Arya tengah dilanda kemarahan yang amat
sangat, mengingat
penderitaan yang dialami kekasihnya yang diakibatkan oleh orang di hadapannya ini. Tapi karena nasib Melati tergantung pada
pertolongan Kelelawar
Beracun, Dewa Arak menelan kemarahan yang
menyesakkan dada.
"Aku Arya...," sahut Dewa Arak dengan suara bergetar karena hawa amarah yang
menyesakkan dada.
"Hmh...!" Kelelawar Beracun mendengus. Sikapnya jelas terlihat sangat memandang
rendah. "Lalu, apa keperluanmu memanggilku?"
Dewa Arak menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat untuk meredakan amarah
yang bergejolak dalam dada. Sikap dan ucapan laki-laki berwajah pucat itu benarbenar menjengkelkan.
"Aku ingin kau ikut denganku...," masih bergetar nada suara Dewa Arak.
"Ikut denganmu?" Kelelawar Beracun tersenyum mengejek. Perasaan geli bersarang
dalam hatinya mendengar ajakan itu. "Kalau aku tidak mau?"
"Aku akan memaksamu...!" tandas Dewa Arak, tegas dan keras.
"Heh..."!"
Berkilat sepasang mata Kelelawar Beracun. Dia
adalah seorang laki-laki yang berwatak angkuh dan selalu mengagungkan kemampuan
sendiri. Maka tidak aneh, jika laki-laki berwajah pucat ini merasa terkejut mendengar ucapan
Dewa Arak. "Kau akan memaksaku?"
Arya mengangguk.
"Ha ha ha...!"
Tawa Kelelawar Beracun meledak, walau terdengar
aneh. Kecil dan melengking tak ubahnya tikus mencicit. Wajah Dewa Arak memerah, karena tahu kalau
laki-laki berpakaian hitam itu menertawakan dirinya.
Kalau menuruti perasaan, mungkin sudah sejak tadi Dewa Arak menerjang Kelelawar
Beracun. Tapi kekhawatirannya akan nasib Melati, membuatnya
menelan kemarahan itu.
"Diam...!"
Terpaksa Dewa Arak membentak. Keras sekali
suaranya karena ditopang tenaga dalam tinggi.
Bentakan itu tak ubahnya ledakan halilintar!
Seketika itu juga Kelelawar Beracun menghentikan
tawa. Sikapnya langsung berubah. Dirasakan adanya getaran kuat yang membuat
dadanya terguncang
akibat bentakan yang keluar dari mulut pemuda yang berdiri di hadapannya ini.
Kini laki-laki berwajah pucat ini sadar, pemuda
berambut putih keperakan ini bukan lawan ringan.
Dan seiring timbulnya kesadaran itu, dia pun teringat kalau untuk masuk ke
tempatnya, orang harus
melalui berbagai macam rintangan dan hambatan
yang penuh bahaya. Tanpa memiliki kemampuan dan
kecerdikan tinggi, tidak akan pernah ada orang yang mampu masuk ke tempatnya.
Tapi, Arya ternyata
mampu! Ini saja sudah membuktikan kalau Dewa
Arak bukan orang sembarangan!
Mendapat dugaan seperti ini membuat Kelelawar
Beracun waspada. Pikirannya pun berputar, mengingat-ingat barangkali pernah mendengar ada
seorang tokoh muda berambut putih keperakan yang
memiliki kepandaian tinggi. Seketika laki-laki berwajah pucat ini tersentak
begitu teringatk
"Jadi..., kau... Dewa Arak..."!" tanya Kelelawar Beracun terbata-bata. Nada
suaranya menyiratkan
keterkejutan yang amat sangat. Dia memang telah
mendengar julukan tokoh yang mengemparkan itu.
"Benar," sahut Dewa Arak, mantap. "Maka, lebih
baik kau ikut denganku secara baik-baik sebelum
terjadi sesuatu pada dirimu."
Untuk pertama kalinya, Dewa Arak tidak lagi bersikap merendah. Pemuda berambut putih kepeakan
ini tidak mau membuang-buang waktu lagi. Itulah
sebabnya, dia seperti bersikap sombong.
"Hmh...!" Kelelawar Beracun mendengus. "Orang lain boleh takut dengan nama
besarmu, Dewa Arak!
Tapi jangan harap Kelelawar Beracun akan gentar!"
"Kalau begitu, terpaksa kau harus kutundukkan dengan kekerasan!"
"Sombong!"
Kelelawar Beracun memaki. Dia marah bukan
main menyaksikan sikap dan ucapan Dewa Arak yang
jelas-jelas seperti merendahkannya.
Setelah berkata demikian, Kelelawar Beracun lalu
melompat menerjang Dewa Arak. Tangan kanannya
bergerak menampar ke arah pelipis. Keras bukan
main. Ini terbukti dari deru angin deras yang
menyambar ke arah Dewa Arak.
Dewa Arak tidak mau bersikap main-main lagi.
Segera guci araknya dijumput dan langsung diangkat ke atas kepala.
Gluk... gluk... gjuk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga ada hawa hangat yang menyebar dalam
perut Arya. Perlahan
hawa hangat itu naik ke kepala. Kontan kedua kaki pemuda berambut putih
keperakan itu mulai oleng.
Sementara itu serangan dari Kelelawar Beracun
meluncur tiba. Dengan gerakan sempoyongan yang khas dari ilmu
'Belalang Sakti', Dewa Arak mengelakkan serangan
itu. Kaki kanannya melangkah ke belakang sehingga
tamparan itu mengenai angin kosong.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Arya. Begitu
serangan itu berhasil dipunahkan, tubuhnya berputar ke kiri dengan bertumpu pada
kaki kiri. Sekejap
kemudian, tubuh Dewa Arak telah berada di belakang Kelelawar Beracun. Inilah
salah satu gerak jurus
'Delapan Langkah Belalang'.
Dan secepat tubuhnya telah berada di belakang,
secepat itu pula Dewa Arak melancarkan serangan.
Kedua tangannya dengan jari-jari membentuk jurus
belalang, melancarkan serangan bertubi-tubi ke bahu belakang kanan Kelelawar
Beracun. Semula Kelelawar Beracun kebingungan tatkala
melihat lawan mendadak lenyap dari hadapannya.
Tapi begitu merasakan desir angin dari belakang, dia segera tahu kalau lawan
telah berada di belakangnya.
Luar biasa! Meskipun dalam keadaan gawat
seperti itu, Kelelawar Beracun masih mampu
menyelamatkan diri. Bahkan laki-laki berwajah pucat itu tidak mengelak. Dia
hanya menjejakkan kedua
kaki, maka tubuhnya melenting ke atas. Tak pelak
lagi serangan Dewa Arak mengenai tempat kosong, lewat beberapa jengkal di bawah
kaki Kelelawar Beracun. Arya terperanjat. Sungguh di luar dugaan kalau
lawan akan mengelakkan diri dengan cara seperti itu.
Semula dikira laki-laki berpakaian hitam itu akan mengelak dengan melempar tubuh
ke depan dan bergulingan. Suatu cara yang paling mudah untuk
mengelak. Sebenarnya, mengelak dengan cara
seperti itu paling tidak membutuhkan ilmu
meringankan tubuh yang luar biasa!
Bahkan bukan hanya itu saja yang dilakukan
Kelelawar Beracun. Saat tubuhnya bersalto di udara,
tangan kanannya bergerak mengibas.
Serrr...! Belasan batang jarum beracun meluncur ke arah
Dewa Arak. Arya terperanjat dan juga geram. Sungguh tidak
disangka akan mendapat serangan seperti itu.
Meskipun serangan itu datangnya begitu mendadak dan tiba-tiba, tapi Dewa Arak tidak gugup. Guci araknya segera dituangkan
ke mulutnya. Tapi berbeda dengan biasanya, kali ini arak itu
tidak diminum. Begitu masuk ke dalam mulutnya,
arak itu langsung disemburkan Dewa Arak.
"Pruhhh...!"
Tringgg, tringgg...!
Suara berdenting nyaring seperti beradunya
benda-benda logam kecil terdengar, ketika arak yang disemburkan Dewa Arak
berbenturan dengan jarum-jarum beracun yang diiepaskan Kelelawar Beracun.
Seketika itu pula semua jarum-jarum yang dilepaskannya runtuh ke tanah.
Memang berkat pengerahan tenaga dalam Arya
yang sudah mencapai tingkatan tinggi, percikan arak itu seolah-olah telah
berubah menjadi logam-logam kecil.
Bersamaan dengan kedua kaki Kelelawar Beracun
mendarat di tanah, Dewa Arak telah menyampirkan
gucinya kembali ke punggung. Langsung dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke arah Kelelawar
Beracun. Sesaat kemudian pertarungan sengit pun
terjadi. Hebat bukan main pertarungan antara kedua
orang yang sama-sama memiliki ilmu meringankan
tubuh tingkat tinggi itu. Yang terlihat hanyalah
kelebatan bayangan hitam dan ungu, yang terkadang
saling belit dan kemudian saling pisah.
Suara menderu dan mendesing menyemarakkan
pertarungan. Dan, beberapa kali Dewa Arak harus menyemburkan araknya begitu
Kelelawar Beracun
melancarkan serangan jarum-jarum beracun.
Pertarungan antara kedua tokoh berbeda aliran ini berlangsung cepat. Memang,
keduanya sama-sama
memiliki gerakan cepat, sehingga tidak aneh bila
dalam waktu sebentar saja dua puluh jurus telah
berlalu. Dan selama itu, belum nampak ada tandatanda yang akan terdesak.
Sebuah keuntungan bagi Kelelawar Beracun, Dewa
Arak ternyata bertarung secara hati-hati. Pemuda
berambut putih keperakan ini tidak ingin lawannya tewas atau terluka parah.
Maka, Arya selalu menahan serangan yang diperkirakan akan mengakibatkan hal-hal
yang tidak diinginkan. Dan tentu saja, hal ini semakin membuat Arya mengalami
kesulitan. Padahal, Kelelawar Beracun bertarung disertai
pengerahan seluruh kemampuannya.
Kelelawar Beracun memang orang yang cerdik. Dia
tahu kalau lawan tidak terlalu bersungguh-sungguh menghadapinya. Tapi sebenarnya
hal ini membuatnya terpukul, di samping rasa penasaran yang bukan
kepalang. Untuk yang kedua kalinya, dia menelan
kenyataan pahit karena harus bertemu lawan yang
memiliki kepandaian di atasnya. Dan yang lebih
menyakitkan hati lagi, lawan itu adalah seorang tokoh muda!
Kelelawar Beracun adalah seorang yang memiliki
keangkuhan tinggi. Selama ini, dia selalu mengagulkan kepandaiannya. Menurut anggapannya, tidak banyak orang yang akan dapat
menandingi kepandaiannya. Dapat dibayangkan, betapa kecewa
hati Kelelawar Beracun tatkala berturut-turut menghadapi kenyataan pahit. Dua
kali dibuat malu oleh tokoh muda! Pertama dengan Melati, dan kali ini
dengan Dewa Arak!
Memang harus diakui, sewaktu menghadapi
Melati, seluruh kemampuan yang dimilikinya belum
dikerahkan. Dan hal itu memang tidak mungkin
dilakukan. Karena, waktu itu dia menghadapi gadis berpakaian putih itu bersamasama Tuyul Tangan
Seribu (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode 'Kelelawar
Beracun").
Kalau seluruh kemampuannya dikeluarkan, bukan
hanya Melati yang akan celaka. Rekannya pun pasti akan celaka pula! Dan itu sama
sekali tidak diinginkannya. Kali ini, dirinya harus menghadapi Dewa Arak
seorang diri. Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, sehingga bebas mengeluarkan seluruh
kemampuan yang dimiliki. Dia tidak perlu merasa
khawatir lagi. Sebenarnya sejak tadi Dewa Arak sudah dilanda
perasaan heran. Apakah karena jarum beracun ini,
laki-laki berpakaian hitam itu dijuluki Kelelawar Beracun! Rasanya mustahil!
Tapi mengingat tempat
tinggalnya yang begitu penuh dilapisi racun-racun mengerikan, rasanya tidak
mungkin kalau hanya
karena jarum-jarum dia mendapat julukan Kelelawar Beracun.
Dewa Arak langsung teringat pada pamannya yang
berjuluk Raja Racun Pencabut Nyawa (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam
episode per-dananya,
"Pedang Bintang"). Pamannya itu memang tidak mengherankan mendapat julukan
seperti itu, karena memang setiap serangannya selalu mengandung
racun. "Hih...!"
Mendadak Kelelawar Beracun melempar tubuhnya
ke belakang, menjauhkan diri dari kancah
pertarungan. Dan begitu telah berada di udara, dia be-putaran beberapa kali ke
belakang. Arya sama sekali tidak mengejarnya. Pemuda
berambut putih keperakan ini sudah bisa menduga
kalau lawan akan menggunakan ilmu lain. Maka, dia hanya diam menunggu. Dewa Arak
tidak ingin mempergunakan kesempatan itu untuk merobohkan
lawan. Karena Arya tidak mengejarnya, Kelelawar Beracun


Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk
melaksanakan maksudnya. Dengan gerakan indah
dan manis, kedua kakinya mendarat di tanah. Kini
keduanya berdiri berhadapan dalam jarak sekitar
tujuh tombak. Dengan sepasang. mata tak lepas mengawasi
gerak-gerik lawan, Dewa Arak mengangkat guci
araknya ke atas kepala. Dan dengan sikap tenang,
araknya dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan Arya. Tak lama kemudian, setelah hawa langat kembali menjalari perut
dan kepalanya, kedua kaki pemuda berambut putih keperakan ini mulai
oleng. Langkahnya juga mulai tidak tetap dan
terhuyung-huyung.
Sementara pada saat Dewa Arak menuangkan
arak ke mulutnya, Kelelawar Beracun tengah bersiap mengeluarkan ilmu andalannya.
Kedua tangannya
dijulurkan ke depan dengan jari-jari tangan terbuka lurus dan kaku. Sekujur
tangannya, mulai dari
pangkal lengan sampai pergelangan mengejang.
Suara mencicit pelan, seperti suara seekor tikus
terdengar dari mulutnya. Dan perlahan-lahan, kedua tangan itu direntangkan ke
samping. Tepat ketika tubuh Dewa Arak mulai sempoyongan,
dari seluruh tubuh Kelelawar Beracun mengepul uap tipis berwarna putih. Karuan
saja hal ini membuat Dewa Arak terbelalak. Memang diakui, dia pun
mampu mengeluarkan asap tipis dari sekujur
tubuhnya. Tapi itu dilakukan bila tengah memusatkan pikiran untuk mengeluarkan
tenaga dalamnya,
'Tenaga Sakti Inti Matahari'!
Begitu kedua tangannya telah merentang ke
samping, mendadak Kelelawar Beracun melompat,
Dan dari atas, kedua tangannya dengan jari-jari
terbuka, bergerak menepuk. Yang kanan menepak
pelipis kiri, sementara yang kiri menepak pelipis kanan Arya. Rupanya dia ingin
menggencet hancur
kepala Dewa Arak!
Arya terperanjat melihat kecepatan gerak lawan.
Apalagi ketika hidungnya mencium bau amis yang
memuakkan, seiring tibanya serangan Kelelawar
Beracun. Bau amis itu membuat kepala Dewa Arak
terasa pusing. Dewa Arak tidak mau bersikap sembrono dengan
menangkis serangan itu. Dia belum tahu keistimewaan ilmu lawan. Maka diputuskannya untuk
mengelakkan serangan itu. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, tubuhnya segera direndahkan dengan
cara menekuk lutut.
Plokkk...! Suara keras menggelegar terdengar ketika kedua
tangan Kelelawar Beracun saling bertemu satu sama lain, karena sasaran yang
ditujunya telah lenyap.
Ternyata tidak hanya sampai di situ saja serangan Kelelawar Beracun. Begitu
serangannya berhasil
dielakkan, kedua kakinya bergerak menendang ke
arah dada. Keras bukan main. Suara angin menderu
menjadi saksi kekuatan tenaga dalam yang
terkandung dalam serangan itu.
Arya terkejut bukan kepalang. Apalagi ketika rasa pening yang menyerang
kepalanya semakin hebat,
seiring semakin kerasnya bau amis yang semakin
menyengat hidung.
Meskipun berada dalam keadaan yang mengkhawatirkan, Dewa Arak tetap membuktian kehebatannya. Dengan keistimewaan ilmu 'Belalang
Sakti' yang membuatnya mampu melakukan gerakan
apa pun dan dalam keadaan sesulit bagaimana pun,
dia mampu mengelakkan serangan itu.
Cepat laksana kilat, kedua kakinya menekan
tanah. Seketika itu juga, tubuhnya melenting ke
belakang. Akibatnya sudah bisa diduga. Serangan
Kelelawar Beracun hanya menghantam tempat
kosong! Karena, tubuh Dewa Arak sudah tidak berada lagi di situ.
Berbareng mendaratnya kedua kaki Dewa Arak di
tanah, kedua kaki Kelelawar Beracun pun hinggap di tanah pula. Kembali keduanya
berdiri berhadapan
dalam jarak lima tombak.
Arya tahu, betapa berbahayanya setiap serangan
yang dilakukan Kelelawar Beracun. Jangankan terkena secara langsung. Baru angin serangannya saja, sudah membuat kepalanya
pusing. Padahal laki-laki berwajah pucat itu baru menyerang sebanyak dua
kali! Semakin banyak Kelelawar Beracun menyerang, dengan sendirinya suasana di
sekitar tempat ini akan semakin banyak dicemari racun ganas. Baru sedikit
saja kepalanya sudah terasa pusing. Tidak bisa
dibayangkannya, bagaimana kalau Kelelawar Beracun sudah banyak melancarkan
serangan! Maka tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak segera
menuangkan arak ke dalam mulutnya kembali.
*** 7 Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian, hawa
hangat mulai merayap di dalam perutnya, dan terus naik ke kepala. Dan kini sikap
kedua kaki Arya mulai tidak tetap.
Dan seiring dengan itu, perasaan pusing yang tadi mendera kepalanya pun lenyap
seketika. Itulah
keistimewaan yang dimiliki Dewa Arak. Gabungan dari arak dan ilmunya, mampu
mematahkan hawa
beracun yang menyerang.
Baru saja Arya menurunkan guci araknya,
Kelelawar Beracun kembali melesat menerjang.
Sesaat kemudian pertarungan sengit kembali terjadi.
Kini Arya baru sadar, mengapa lawannya ini
mendapat julukan Kelelawar Beracun. Laki-laki
berwajah pucat ini bagaikan seorang manusia
beracun. Jangankan serangan tangan atau kaki,
anginnya saja mengandung racun kuat yang mampu
membuat lawan pusing dan terpecah perhatiannya.
Pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama
memiliki kecepatan gerak mengagumkan itu berlangsung cepat. Sehingga dalam waktu sebentar saja, lima puluh jurus telah
berlalu tanpa terasa. Dan
selama itu, tidak nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak.
Diam-diam Arya merasa bergetar melihat kedahsyatan ilmu yang dimiliki Kelelawar Beracun.
Memang bila ditujukan baginya, kedahsyatan ilmu itu tidak berarti banyak. Tapi
jika ditujukan untuk orang lain" Kelelawar Beracun memang layak dimusnahkan! Tapi bila dimusnahkan, bagaimana dengan
Melati" Diam-diam Dewa Arak harus mengakui, kalau
setelah mengeluarkan ilmu andalan ini kelihaian
Kelelawar Beracun semakin menjadi-jadi. Dan itu
tidak bisa dilayani dengan kemampuan seperti sebelumnya. Terpaksa kemampuannya ditambah.
Meskipun begitu, tetap saja Arya tidak mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimiliki. Tapi begitu pertarungan menginjak jurus ke
seratus, mulai nampak keunggulan Dewa Arak.
Perlahan namun pasti, Kelelawar Beracun mulai
terdesak. Hal ini tidak aneh, karena keistimewaan ilmunya sama sekali tidak ada
gunanya begitu menghadapi Dewa Arak. Hawa beracun yang telah
menyebar ke seluruh tempat itu sama sekali tidak
berarti apa-apa.
Kelelawar Beracun hampir putus asa. Sebab,
setiap serangannya mampu dielakkan Dewa Arak.
Memang tingkat kepandaian Arya Buana di atas
Kelelawar Beracun.
Dewa Arak selalu mengelakkan serangan yang
dilancarkan Kelelawar Beracun, dan sekali pun tidak pernah mencoba menangkisnya.
Arya tahu kalau
setiap serangan lawan mengandung racun yang tidak terkirakan ganasnya. Makanya
dia tidak berani
mencoba-coba menangkisnya. Jadi selama seratus
jurus bertarung, belum pernah terjadi benturan
tangan antara mereka secara langsung. Kelelawar
Pendekar Bodoh 11 Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8

Cari Blog Ini