Ceritasilat Novel Online

Teror Macan Putih 3

Dewa Arak 28 Teror Macan Putih Bagian 3


mengakui kesalahan.
"Pasti akan kulakukan, Nyi Nila." sahut Ketua Gerombolan Macan Putih yang
ternyata bernama Kala.
Menilik dari pangilan yang dipanggil masing-masing, bisa diduga kalau kedudukan
wanita tua itu tidak berada di bawah Kala.
"Baiklah. Rupanya orang yang telah melakukan kesalahan mengira bisa
menyembunyikan diri dariku"!"
Ada kegeraman dalam ucapan Kala. "Angkat wajah kalian semua!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, kepala puluhan orang berseragam hitam itu
terangkat. "Kalian semua perhatikan dan camkan ucapanku baik-baik! Jangan mengira kalian
bisa melanggar peraturan tanpa kuketahui. Dan buktinya, akan segera kuungkapkan
di hadapan kalian!"
Berpuluh puluh jantung berdebar keras penuh
ketegangan. Masing-masing diri menebak-nebak, siapa orang yang telah melakukan
kesalahan itu. Kala melangkah maju lambat-lambat. Karuan saja hal itu semakin menambah besar
ketegangan yang melanda puluhan orang Gerombolan Macan Putih.
Meskipun ketegangan besar melanda, namun Jalatang berusaha menenangkan hati.
Sehingga, wajahnya tidak terlalu gelisah. Sama saja dengan raut wajah anggota
gerombolan yang lain, yang sama-sama dicekam
ketegangan. Tapi ketenangan laki-laki berwajah bopeng itu mulai goyah. Jantungnya berdetak
keras ketika melihat Kala bergerak menghampirinya.
Semakin Ketua Gerombolan Macan Putih itu
mendekatinya, debar jantung Jalatang kian keras. Dan ketika akhirnya Kala
menghentikan langkah tepat di depannya, laki-laki berwajah bopeng ini tidak bisa
menahan diri Lagi. Kedua kakinya langsung menggigil hebat!
"Anjing kurap...!" desis KaLa penuh geram sambil melayangkan kaki.
Tuk, tuk...! Jalatang memekik kesakitan ketika kaki sang Ketua menghantam kedua lututnya.
Tubuhnya pun langsung terkulai karena kedua tulang lututnya langsung hancur
terkena tendangan yang ditopang tenaga dalam tinggi.
Tanpa mengenai kasihan sedikit pun, Kala segera
menjejak kedua siku Jalatang.
Krek, krek...! Suara berkeretek keras dua kali, menjadi pertanda hancurnya kedua tulang siku
Jalatang. Kali ini tidak ada keluh kesakitan lagi dari mulut Jalatang. Bibirnya digigit
kuat-kuat untuk menahan keluarnya jeritan itu Saking kerasnya, sampai-sampai
bibir itu pecah. Tak pelak lagi, darah pun mengalir.
Ternyata tindakan Kala tidak berhenti sampai di situ saja. Kali ini ujung kaki
kanannya bergerak. Dan dengan sebuah gerakan mengungkit, tubuh Jalatang telah
dibuatnya melayang ke atas.
Brukkk...! Diiringi suara berdebuk keras, tubuh laki-laki berwajah bopeng itu jatuh ke
tanah, tepat di sebelah Nyi Nila!
"Hmh...!"
Wanita setengah tua itu mendengus seraya menggerakkan kaki menekan pergelangan tangan Jalatang.
Dan... Krekkk! Tulang pergelangan tangan Jalatang pun kembali
hancur. Jalatang sudah tidak mampu lagi menjerit. Siksaan Kala telah membuatnya hampir
pingsan! Memang, siksaan yang mendera tidak tanggung-tanggung. Tambahan lagi,
laki-laki berwajah bopeng ini belum pulih dari luka-luka yang diderita setelah
bertarung melawan Suta.
Hanya suara keluhan pelan dan tak jelas yang keluar dari mulut Jalatang ketika
pergelangan tangannya hancur berantakan.
*** Tanpa mempedulikan keadaan Jalatang yang
dilemparkannya, Kala mengedarkan pandangan. Lalu, kakinya melangkah kembali.
Kali ini, laki-laki bertubuh kekar berotot itu harus menyibak kerumunan anak
buahnya karena orang yang dicarinya ternyata berada di bagian tengah.
Wajah Samparan seketika berubah. Menilik dari
tatapan mata, bisa diperkirakan kalau sang Ketua tengah menuju ke arahnya.
Dugaan laki-laki tinggi kurus itu ternyata tidak salah.
Tepat di hadapannya, Kala menghentikan langkahnya.
"Cacing busuk..!"
Untuk yang kedua kalinya. Ketua Gerombolan Macan Putih itu memaki. Belum lagi
ucapannya lenyap, tangan Kala telah terulur. Dan....
Kreppp...! Leher baju Samparan telah dicekal tangan Kala. Sekali tangan itu bergerak
menyentak, tubuh laki-laki tinggi kurus itu telah terlempar.
Tapi, Samparan memang sudah bersiap siaga sejak
tadi. Maka begitu tubuhnya dilontarkan, segera ilmu meringankan tubuhnya
digunakan. Samparan memper-gunakan tenaga lontaran itu untuk bersalto beberapa
kali di udara. "Keparat..! Berani kau memamerkan kepandaian seperti itu di hadapanku..."!"
geram Kala. Pada saat yang bersamaan dengan lenyapnya suara
makian itu, Kala menggenjotkan kaki. Seketika itu pula, tubuhnya melayang ke
udara, menyusul tubuh Samparan yang tengah berjumpalitan di udara.
Samparan terkejut bukan kepalang. Sepasang matanya hanya melihat sekelebatan
sosok bayangan meluncur ke arahnya. Dan tahu-tahu....
Plakkk, plakkk...!
"Huakh...!"
Samparan memuntahkan darah segar dari mulutnya
ketika dua tangan Kala menepuk kedua bahunya.
"Hup...!"
Indah dan manis Kala mendaratkan kedua kakinya di tanah. Disusul kemudian,
Samparan hinggap di tanah dalam keadaan terhuyung-huyung. Lelehan cairan merah
kental tampak di kedua sudut mulutnya.
Tanpa mempedulikan keadaan Samparan, Kala
mengalihkan pandangan ke arah puluhan anak buahnya yang hanya bisa memperhatikan
semua kejadian.
"Kalian semua lihat baik-baik!" ujar Kala, pelan tapi mengandung getaran yang
membuat isi dada bergetar.
"Inilah orang-orang yang telah berani menentang aturanku!"
Laki-laki bertubuh kekar berotot itu menghentikan ucapannya sejenak untuk
mengambil napas.
"Anjing kurap ini...," lanjut Ketua Gerombolan Macan Putih sambil menudingkan
jari telunjuk ke arah tubuh Jalatang yang masih tergolek tanpa daya di tanah.
"Telah berusaha memperkosa putri Ketua Perguruan Hati Naga."
"Ah...!"
Seruan-seruan keterkejutan keluar dari mulut anggota Gerombolan Macan Putih,
kecuali yang menjadi bawahan Jalatang. Bahkan Sancang dan ketiga rekannya yang
ditugaskan melenyapkan Kusuma ikut berseru kaget.
Memang, keempat oang itu tidak mengetahui hal itu, bertemu di tengah jalan
dengan rombongan Jalatang yang tampak terburu-buru. Dan ketika ditanyakan, hanya
mendapatkan jawaban kalau Rara Inggar telah diselamatkan seorang tokoh sakti,
dan mereka dipukul mundur ketika mencoba melawan.
Itulah sebabnya, Sancang menjadi terkejut mendengar ucapan Ketua Gerombolan
Macan Putih. Dia hanya mampu memandang dengan mata terbelalak.
Kala mengangkat tangan kanannya ke atas. Seketika itu pula, suasana yang semula
riuh rendah suara teriak keterkejutan, kontan hening. Jelas, sang Ketua amat
disegani anak buahnya.
"Dan cacing busuk ini," tunjuk Kala pada Samparan yang hanya dapat berdiri
dengan wajah pucat. "Telah berani bertindak lancang hendak membunuh gadis liar
putri Ketua Perguruan Hati Naga! Padahal, cacing busuk ini tahu kalau aku sangat
membutuhkan gadis liar itu untuk mendapatkan kembali pusaka leluhurku! Suling
Naga!" Kala menghentikan ucapannya sejenak untuk melihat tanggapan anak buahnya.
Sepasang matanya beredar berkeliling memperhatikan wajah wajah anak buahnya.
"Kedua orang yang telah berani menentang peraturan-ku ini akan mendapatkan
hukuman. Terutama sekali, Jalatang! Dia telah begitu berani hendak melakukan
dosa tak terampunkan dalam perkumpulan kita!"
Usai berkata demikian, Kala lalu membalikkan tubuh.
Kemudian dia berjalan menghampiri Jalatang yang berada dalam keadaan setengah
sadar. "Anjing kurap...! Sekarang kau harus menerima hukuman atas perbuatanmu...!"
Seiring selesainya ucapan itu, Kala mulai dengan siksaannya.
Dengan senyum kecut tersungging di bibir, Ketua
Gerombolan Macan Putih itu lalu mengangkat kaki kirinya.
Kemudian, diletakkannya di atas paha Jalatang yang memang terbaring menelentang.
Suara berkeretekan dari tulang-tulang yang patah terdengar ketika kaki Kala
bergerak menekan.
Kontan tubuh Jalatang menggeliat dilanda rasa sakit yang menggelegak. Memang,
tidak ada jeritan yang keluar dari mulutnya. Tapi gigitan gigi pada kedua
bibirnya yang membuat darah mengalir, telah menjadi bukti kedahsyatan rasa sakit
yang melanda. Seringai menggiriskan semakin tampak di mulut Kala.
Kaki kirinya kembali bergerak. Kali ini turun ke betis karena tulang tulang di
paha, dan lutut Jalatang telah hancur.
Maka, rasa sakti yang mendera kembali harus diterima Jalatang. Dan untuk yang
kesekian kalinya pula tubuhnya menggeliat.
Tanpa mengenal rasa kasihan, Kala terus melakukan penyiksaan. Setelah tulang
tulang kaki Jalatang hancur semua, tulang-tulang tangannya menyusul mendapat
giliran. Siksaan itu baru berakhir ketika nyawa Jalatang
melayang meninggalkan raganya. Dan itu terjadi ketika kaki kiri Kala menekan
dada Jalatang hingga hancur berantakan!
Darah segar yang menghambur deras dari mulut
Jalatang mengiringi melayangnya nyawa laki-laki berwajah bopeng itu ke alam
baka. Dengan seringai sadis yang menghias wajah, Kala
menolehkan kepala ke arah Samparan yang sejak tadi menyaksikan penyiksaan dengan
hati ngeri. Padahal kalau dalam keadaan biasa, laki-laki tinggi kurus ini pasti
akan tertawa terbahak-bahak. Tapi karena sadar kalau nasib yang akan diterima
tidak akan jauh berbeda dengan Jalatang, bulu tengkuknya seketika merinding.
Maka ketika Kala menatap ke arahnya dengan
pandangan menggiriskan. Samparan segera melompat ke belakang.
"Mau ke mana kau, Cacing Busuk..."!" dengus Ketua Gerombolan Macan Putih seraya
melompat mengejar.
"Jangan harap bisa lolos dari tanganku dan.... Hey...!"
Prakkk...! Kepala Samparan kontan pecah. Darah bercampur
otak mengalir keluar dari bagian yang tertuka.
Kala memekik kaget ketika melihat tangan Samparan bergerak memukul kepalanya
sendiri. Maksud laki-laki tinggi kurus ini sudah jelas. Ingin membunuh diri!
Rupanya, dia yakin kalau tidak mungkin lagi bisa lolos dari tangan laki-laki
bertubuh kekar berotot itu. Maka, dipilihnya jalan singkat.
"Pengecut..!" maki Kala geram ketika kedua kakinya telah mendarat di tanah.
Beberapa saat lamanya pandangan laki-laki bertubuh kekar berotot itu terpaku
pada mayat Samparan. Baru kemudian, dialihkan ke arah kerumunan anak buahnya.
"Besok siang kuharap kalian telah berada di pulau kecil yang terletak di tengah
Danau Garu. Di sanalah sisa murid-murid Dewa Muka Putih tinggal. Di situ, ada
juga gadis liar itu dan pemuda penolongnya! Seperti biasa, aku tidak akan turun
tangan, sebelum diperlukan. Kalian mengerti"!"
Puluhan kepala anggota Gerombolan Macan Putih
menganggukkan kepala.
"Sekarang kalian boleh bubar!"
Kontan puluhan orang berpakaian hitam melangkah
meninggaikan tempat itu dengan perasaan lega karena tidak terkena hukuman.
Meskipun merasa lega, tapi rombongan Gerombolan
Macan Putih yang ikut bersama Jalatang, dan yang ikut bersama Samparan sewaktu
mengejar Suta dan Rara
Inggar, dilanda keheranan. Di antara mereka yang keheranan itu termasuk pula
Karugi dan Bangor!
Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak mereka
semua. Benarkah Kala melihat semua itu" Ataukah hanya menduga saja" Kalau hanya
menduga, tidak mungkin akan diberikan hukuman seperti itu pada anak buahnya. Dan
kalau benar berada di sana, mengintai misalnya, mengapa tidak turun tangan
mencegah kepergian Suta yang membawa kabur Rara Inggar"
Namun akhirnya sebuah jawaban berhasil ditemukan Bangor! Ya! Ketua Gerombolan
Macan Putih itu sudah pasti berada di sana. Dan ketika Suta membawa kabur Rara
Inggar, sang Ketua pun mengejar. Toh, hasilnya sudah terbukti! Kala telah
berhasil menemukan tempat persembunyian sisa murid-murid Dewa Muka Putih!
Ketika tidak ada lagi anggota Gerombolan Macan Putih di situ, Kala melangkah
menghampiri Nyi Nila.
"Mudah-mudahan semua yang kita rencanakan berhasil dengan baik, Nyi. Maka,
dendam Raja Ular Pelenyap Sukma akan terbalaskan.... Di samping itu, Suling Naga
akan berhasil pula kudapatkan!"
"Pasti, Kala! Aku yakin semuanya akan berhasil baik!
Kalau tidak, rasanya akan sia-sia kita menundukkan tokoh-tokoh hitam itu, dan
menjadikannya sebagai pengikut kita."
"Terima kasfh, Nyi," ucap Kala.
"Tidak usah berterima kasih, Kala. Kau adalah cucu Raja Ular Pelenyap Sukma.
Sedangkan aku adalah pelayan kakekmu. Sudah sewajarnya aku membantumu agar
dendam majikanku bisa terbalaskan!"
"Yang aku heran, mengapa kau bisa secepat itu mengumpulkan mereka, Nyi?"
"Mudah saja," sahut wanita berpakaian dari kulit macan putih itu. "Dengan panah
ini." Sambil berkata demikian, Nyi Nila lalu mengangsurkan busur dan sekelompok anak
panah yang sejak tadi
tersampir di pinggangnya. Baik busur mau pun anak panah itu tidak sebesar
biasanya, tapi kecil. Paling-paling hanya berukuran setengah dari yang biasa.
Kala mengangguk-anggukkan kepala pertanda
mengerti. Dan memang, dia telah mengetahui kegunaan peralatan itu. Anak panah
itu berapi, dan akan dilontarkan bila hendak meminta bantuan.
Pantas saja kalau semua anggota gerombolan yang
bergerak mengejar dan berpencar bisa berkumpul di tanah lapang di Gunung Garu.
"Aku pergi dulu, Kala."
"Silakan, Nyi."
Belum juga gema ucapan Ketua Gerombolan Macan
Putih lenyap, tubuh wanita berpakaian kulit macan itu telah melesat dari situ.
Dalam beberapa kali langkah saja, tubuhnya telah lenyap ditelan kerimbunan
pepohonan. Sepeninggal Nyi Nila, Kala pun melangkah meninggalkan tempat itu. Arah yang
ditempuh berlawanan dengan nenek berpakaian merah itu.
Setelah suasana di tempat itu sepi, baru Dewa Arak dan Melati keluar dari tempat
persembunyiannya.
"Bagaimana, Kang" Apa yang harus kita lakukan?"
tanya gadis berpakaian putih itu.
"Kita harus ke pulau kecil di tengah Danau Garu itu, Melati," ujar Dewa Arak
mengambil keputusan. "Aku telah mendengar tentang tokoh yang berjuluk Dewa Muka
Putih. Kalau tidak salah, dia termasuk tokoh aliran putih. Maka sudah menjadi kewajiban
kita untuk membantu murid-muridnya."
Melati hanya mengangkat bahu. Dia telah percaya
penuh pada pemuda berambut putih keperakan itu. Apa pun keputusan Arya, pasti
disetujuinya. Karena, dia tahu kalau keputusan yang diambil kekasihnya tidak
pernah salah! Tak lama kemudian, Arya dan Melati pun melesat cepat meninggalkan tempat itu.
*** 7 "Hhh...!"
Suara helaan napas kakek tinggi besar berkepala botak mengusik keheningan pagi


Dewa Arak 28 Teror Macan Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sejuk. Sehelai pakaian berwarna coklat dan longgar membungkus tubuhnya yang
kokoh laksana batu karang.
Kakek berpakaian kuning itu tengah duduk bersila di teras depan sebuah bangunan
sederhana yang bagian depannya terhampar rapi tanaman rempah dan bunga-bunga.
Sementara di sana juga tergelar rerumputan hijau yang dipotong pendek. Kesejukan
memang menyelimuti tempat itu.
Dua sosok tubuh yang juga duduk bersila di depan kakek tinggi besar itu
menundukkan kepala. Jelas hati mereka dilanda keresahan pula, sebagaimana yang
dirasakan kakek berpakaian kuning.
Yang seorang adalah kakek kecil kurus berpakaian abu-abu. Sementara yang
satunya, adalah seorang gadis berpakaian merah. Wajahnya yang cantik jelita.
Apalagi dengan rambut yang dikuncir. Hanya saja, sayangnya saat itu nampak
tengah bersedih. Meskipun begitu, tidak mengurangi kecantikannya. Dua sosok
tubuh itu tak lain adalah Karundeng dan Rara Inggar.
"Apa yang kukhawatirkan ternyata terjadi juga...,"
kembali kakek berkepala botak mengucapkan kata-kata bernada keluhan. "Ahli waris
Raja Ular Pelenyap Sukma, akhirnya muncul juga. Sementara, aku baru berhasil
mempelajari tiga belas dari delapan belas Jurus 'Trenggiling'.
Ahhh...! Sungguh tidak kusangka kalau diriku begitu bebal "
"Kakang Tapas Jaya.... Kau tidak usah menyesali diri.
Jurus 'Trenggiling' memang sulit luar bisa. Bukankah guru pun telah
mengatakannya. Kecuali orang yang sangat berbakat, sulit untuk bisa
menguasainya. Apalagi sampai menguasai semua nya," hibur Karundeng.
"Tapi... bagaimana kalau ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma merajalela lagi"
Siapa yang akan mampu menghadapinya?" tanya kakek tinggi besar yang ternyata
Tapas Jaya, murid tertua Dewa Muka Putih!
"Kita tak perlu khawatir, Kang. Ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma tidak akan
selihai dan berbahaya seperti leluhurnya," kata Karundeng bernada menenangkan.
"Bukankah Suling Naga telah dirampas guru?"
"Ah...! Kau benar, Adi." sahut Tapas Jaya terkejut bercampur gembira. "Mengapa
aku bisa melupakannya?"
"Jadi... kau yang menyimpan Suling Naga, Kang?"
"Benar! Benda itu kusimpan di suatu tempat. Maaf, Adi.
Aku tidak bisa memberitahukanmu. Kau mau memakluminya, bukan?"
Karundeng tersenyum lebar.
"Aku mengerti, Kang. Lebih sedikit orang yang tahu, lebih baik dan lebih sulit
untuk bocor ketimbang diketahui banyak orang."
"Tapi, Paman...."
Rara Inggar terpaksa menahan ucapannya ketika Tapas Jaya mengangkat jari
telunjuk dan menempelkannya ke bibir.
"Aku mendengar ada langkah kaki menuju kemari...,"
bisik kakek tinggi besar itu, sebelum Rara Inggar sempat mengajukan pertanyaan.
"Banyak, Paman?" tanya Rara Inggar pelan, lebih mirip bisikan.
Tapas Jaya menggelengkan kepala.
"Hanya satu orang...."
"Mungkin Suta...." duga Rara Inggar dengan wajah berseri, seraya membalikkan
tubuhnya. Tapas Jaya dan Karundeng tersenyum lebar. Meskipun gadis berpakaian merah itu
tidak mengutarakannya, tapi bisa diterka-terka kalau Rara Inggar menyukai Suta.
Baik Karundeng maupun Tapas Jaya sama sekali tidak
melarang. Bahkan sebaliknya merestui. Memang, Tapas Jaya telah mendengar perihal
pemuda berjubah biru itu dari Karundeng dan juga Rara Inggar sendiri.
Bukan hanya Rara Inggar saja yang membalikkan
tubuh. Karundeng pun demikian pula. Dia juga ingin mengetahui pemilik langkah
itu. Dan hanya Tapas Jaya seorang yang sama sekali tidak merubah sikap tubuhnya,
karena memang tengah duduk bersila menghadap jalan.
Sesaat kemudian, pemilik langkah itu pun terlihat.
Dugaan Rara Inggar ternyata tidak keliru. Sutalah orang-nya. Ingin rasanya Rara
Inggar bangkit dari duduk bersilanya dan menghambur ke arah Suta. Hanya saja,
perasaan malu yang melanda menghalanginya berbuat seperti itu.
Memang, gadis berpakaian merah itu bangkit dari
duduk bersilanya. Tapi tidak lantas menghambur, melain-kan melangkah perlahan
menyambut Suta.
Ternyata bukan hanya Rara Inggar saja yang melangkah maju menghampiri Suta, tapi juga Tapas Jaya dan Karundeng.
Tapi senyum yang mengembang di bibir Rara Inggar kontan menciut ketika melihat
raut wajah pemuda bertubuh kekar yang terlihat begitu tegang.
"Ada apa, Suta?" tanya Rara Inggar khawatir, begitu telah berhadapan dalam jarak
dua tombak dari pemuda berjubah biru itu. "Kau membatalkan niatmu ke Desa Garu?"
Rara Inggar mengajukan pertanyaan seperti itu karena tahu kalau perjalanan dari
tempat kedua pamannya ini ke Desa Garu membutuhkan waktu sehari semalam. Itu pun
bila perjalanan dilakukan cepat dan tanpa henti.
"Apa boleh buat..." sambut Suta pelan.
"Mengapa, Suta?" tanya Karundeng ingin tahu.
"Kemarin malam, di perjalanan aku menyaksikan pertemuan yang diadakan Gerombolan
Macan Putih," tutur pemuda berjubah biru itu memulai ceritanya.
"Ahhh...! Lalu...?" selak Rara Inggar ingin tahu.
Perasaan terkejut amat sangat tampak di wajahnya.
Bukan hanya gadis berpakaian merah itu saja yang terkejut Tapas Jaya dan
Karundeng pun dilanda perasaan yang sama. Hanya saja, kedua kakek itu mampu
menguasai perasaan sehingga tidak tampak di wajahnya.
"Rupanya mereka telah mengetahui tempat ini, Paman, Inggar. Karena kudengar
mereka hendak menyerbu tempat ini." "Ahhh....!" desah Rara Inggar seraya menatap
wajah Karundeng dan Tapas Jaya berganti-ganti. "Apa yang harus kita lakukan,
Paman?" Tapas Jaya dan Karundeng tidak langsung menjawab.
Dahi kedua orang itu nampak berkernyit dalam. Jelas, kedua kakek sakti itu
tengah memikirkan masalah yang dibawa Suta.
"Kita lihat saja dulu keadaannya, Inggar," jawab kakek bertubuh tinggi besar
itu. "Kalau memang perlu, kau dan Suta harus pergi dari sini menyelamatkan diri.
Biar aku dan Karundeng yang akan menahan mereka."
"Mengapa Paman tidak ikut bersama kami meninggalkan tempat ini saja?" tanya Rara
Inggar. "Kami bukan pengecut-pengecut yang takut mati, Inggar. Apa pun yang terjadi,
kami tidak akan meninggalkan tempat ini!" tandas Karundeng mantap.
Nada suara kakek berpakaian abu-abu ini mengandung ketegasan yang tidak bisa
dibantah lagi. "Kalau begitu, kami pun tidak akan meninggalkan tempat ini! Kami akan melawan
Gerombolan Macan Putih itu sampai titik darah penghabisan! Bukan begitu, Suta?"
"Jangan bertindak bodoh, Inggar!" sergah Tapas Jaya keras. "Kami berdua sudah
tua. Mati sekarang atau nanti tidak menjadi persoalan. Sedangkan kau masih
sangat muda. Adalah sebuah tindakan bodoh untuk membuang nyawa secara percuma..."
"Tapi, Paman..."
Rara Inggar terpaksa menahan ucapannya ketika
melihat kakek berkepala botak itu mengangkat tangan, mencegahnya bicara lebih
lanjut. "Dan tindakan bodoh kedua yang kau lakukan adalah usahamu melibatkan Suta dalam
persoalan kita. Kau ingin Suta menjadi buruan Gerombolan Macan Putih itu"!"
Rara Inggar terdiam.
Ucapan Tapas Jaya tidak hanya sampai di situ saja.
Kepalanya ditolehkan ke arah Suta yang sejak tadi diam mendengarkan.
"Terima kasih atas pemberitahuanmu, Suta. Kuharap kau segera pergi dari sini
sebelum terlibat terlalu jauh yang akibatnya membuat kami menyesal seumur hidup.
Kami tidak ingin orang luar yang tidak tahu apa-apa, jadi korban karena kami."
"Paman..!" seru Rara Inggar kaget.
"Hhh...!" Suta menghembuskan napas berat. Sesaat lamanya dia terdiam, dan hanya
menatap wajah-wajah di hadapannya berganti-ganti.
"Aku memang orang luar, Ki," kata pemuda berjubah biru itu merubah panggilannya.
"Tapi, aku tidak bisa meninggalkan Rara Inggar di sini menghadapi Gerombolan
Macan Putih."
Tapas Jaya dan Karundeng terdiam, sedangkan Rara Inggar menundukkan kepala
begitu ucapan Suta selesai.
Memang, meskipun hanya segitu, tapi cukup untuk
diketahui maksud yang tersirat di dalamnya.
"Kalau kau memang tidak ingin melihat Rara Inggar celaka, bawa dia pergi dari
sini, Suta. Kupercayakan murid keponakanku ini padamu," ujar Tapas Jaya setelah
beberapa saat lamanya terdiam.
"Kalau menurut pendapatku, lebih baik kita lihat dahulu perkembangannya...
Apabila betul Gerombolan Macan Putih datang dan kita tidak bisa
menanggulanginya, baru Suta dan Rara Inggar harus pergi pergi dari sini.
Dan...." "Kalau saja keadaanku memungkinkan, usulmu itu bisa kuterima, Adi," selak Tapas
Jaya. "Ap... apa maksudmu...?"
"Hhh...! Aku mengalami luka dalam yang lumayan parah ketika memaksakan diri
menguasai jurus keempat belas
'Tringgiling'...."
"Kenapa kau tidak segera mengobatinya, Kang"!" tanya Karundeng kaget.
''Karena aku ingin melihat dan bercakap-kacap dulu dengan murid keponakanku...."
"Paman...!" seru Rara Inggar sambil menghambur ke arah kakek berkepala botak
itu. Ada isak tangis keluar dari mulut gadis berpakaian merah itu karena perasaan
haru yang menggelegak.
Sungguh tidak disangka akan sebesar itu kasih sayang Tapas Jaya padanya,
sehingga rela menangguhkan
pengobatannya demi untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan murid keponakannya!
Tapas Jaya tersenyum lebar. Kedua tangannya
mengembang. Disambutnya tubuh yang menghambur ke arahnya, lalu direngkuhnya
penuh kasih sayang. Kedua tangannya yang masih tampak kekar, meskipun telah
dipenuhi keriput di sana-sini, mengelus-elus rambut hitam dan tebal milik Rara
Inggar. "Maukah kau memenuhi permintaan terakhir kami berdua, Inggar?" tanya Tapas Jaya.
Rara Inggar mendongakkan kepala, kemudian perlahan kepalanya terangguk.
"Kau dan Suta pergi dari sini."
Rara Inggar terperanjat sebentar, tapi kemudian
tersenyum walaupun getir.
"Kalau hal itu dapat membuat hati Paman berdua gembira, aku mau memenuhinya,"
kata gadis berambut dikuncir itu dengan suara serak.
"Bukan hanya gembira saja, Inggar. Tapi juga bahagila.
Kami akan berbahagia sekali bila kau sudi memenuhi permintaan kami...."
"Ada apa, Paman?" tanya Rara Inggar ketika melihat kakek tinggi besar itu
menghentikan ucapannya secara mendadak.
"Aku mendengar banyak langkah kaki menuju
kemari...."
"Banyak?" selak Suta. "Jangan-jangan mereka adalah Gerombolan Macan Putih."
"Mungkin kau benar, Suta," kali ini Karundeng yang menanggapi. "Menilik dari
suaranya, jumlah mereka tak kurang dari dua puluh orang...."
"Kalau begitu kita harus bersiap-siap menghadapinya,"
tegas Rara Inggar gagah sambil melepaskan pelukannya.
"Tapi, ingat. Begitu keadaan tidak menguntungkan, kau dan Suta harus segera
meninggalkan tempat ini!"
Rara Inggar mengangguk. "Aku bukan orang yang suka menarik kembali ucapan yang
telah keluar dari mulutku.
Paman" "Bagus! Aku percaya padamu...!"
*** Dugaan Suta tidak keliru. Di kejauhan tampak banyak sosok tubuh berpakaian hitam
yang tengah bergerak cepat menuju ke arah mereka.
"Itukah Gerombolan Macan Putih yang telah meng-hancurkan perguruan ayahmu,
Inggar?" tanya Tapas Jaya.
Rara Inggar mengangguk. Pandangannya tertuju ke
arah sosok-sosok tubuh yang berada jauh di sana dengan sorot mata mengandung
dendam. "Mari kita sambut mereka!" kata Karundeng sambil melangkah meninggalkan pondok.
Tapas Jaya, Rara Inggar, dan Suta bergegas mengikuti.
Pandangan mata mereka tertuju pada puluhan sosok tubuh yang semakin lama semakin
bergerak mendekat.
Memang, rombongan itu tak lain adalah Gerombolan Macan Putih! Berdiri paling
depan adalah Nyi Nila, Bangor dan beberapa orang pemimpin kelompok.
"Serbu...!" teriak Nyi Nila seraya mengibaskan tangan kanan ke depan.
Tanpa menunggu perintah dua kali, puluhan
Gerombolan Macan Putih meluruk ke arah rombongan Tapas Jaya. Suara suara
berdesing nyaring dan berkeredep sinar-sinar berkilatan mengiringi tercabutnya
golok bergagang kepala macan putih. Maka dengan senjata ter-hunus di tangan,
Gerombolan Macan Putih menerjang.
Serbuan Gerombolan Macan Putih itu disambut hangat oleh rombongan Tapas Jaya.
Sementara Rara Inggar tanpa ragu-ragu lagi segera menghunus pedangnya. Tapi
Tapas Jaya, Karundeng, dan Suta sama sekali tidak menggunakan senjata. Dengan
tangan telanjang, mereka menghadapi serbuan puluhan Gerombolan Macan Putih.
Seperti telah diatur saja, Nyi Nila segera melesat ke arah Karundeng. Tapas Jaya
dikepung Bangor, seorang pemimpin regu lagi dan empat orang pemimpin kelompok.
Sedangkan sisa pemimpin kelompok yang berjumlah tujuh orang dan puluhan orang
Gerombolan Macan Putih lainnya, mengeroyok Rara Inggar dan Suta.
Pertarungan sengit dan mati-matian pun tak bisa
dielakkan lagi. Memang, masing-masing pihak telah mengeluarkan seluruh
kemampuan. Di antara semua orang yang tengah bertarung, hanya Tapas Jaya saja yang merasa
menyesal bukan kepalang.
Mengapa lawan datang di saat dirinya belum berhasil memulihkan kesehatannya.
Sehingga, kelihaiannya
menurun jauh. Oleh karena itu, Tapas Jaya mengalami sedikit kesulitan untuk
menghadapi keroyokan enam orang lawan. Terutama sekali Bangor dan rekan
setingkatannya.
Ternyata bukan hanya Tapas Jaya saja yang mengalami kesulitan. Karundeng, Rara
Inggar, dan Suta pun
mengalami hal yang sama.
Karundeng yang menghadapi Nyi Nila dibuat terpontang-panting ke sana kemari. Memang, tingkat
kepandaian kakek berpakaian abu-abu ini hanya sedikit di atas ibu Rara Inggar
yang tewas di tangan Nyi Nila. Maka tidak aneh kalau Karundeng menghadapi lawan
berat. Di antara keempat orang itu, yang terlihat menggebu-gebu hanya Rara Inggar
seorang. Pedang di tangannya melesat ke sana kemari mencari-cari sasaran. Tapi,
serangannya selalu kandas, karena lawan-lawan yang dihadapi terlalu berat. Empat
orang pemimpin kelompok.
Padahal seorang di antara mereka saja, memiliki
kepandaian yang hanya berselisih sedikit saja daripadanya.
Dan kini gadis berpakaian merah itu menghadapi empat orang sekaligus. Akibatnya,
dia terpontang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Sebuah keuntungan bagi Rara Inggar. Suta selalu
memperhatikan keadaannya. Pemuda itu selalu melesat menolong, apabila Rara
Inggar berada dalam keadaan bahaya. Padahal, Suta tengah menghadapi keroyokan
banyak lawan. Hal ini pun tak lepas dari perhatian Karundeng dan Tapas Jaya, walaupun memang
hanya sekilas saja terlihat.
Diam-diam kedua tokoh sakti itu bersyukur, Rara Inggar mendapatkan seorang yang
bersedia melindunginya dari segala bahaya.
Kalau melihat dari letak pulau kecil itu, kemungkinan pertarungan dilihat orang
tipis sekali. Tapi ternyata ada juga orang yang menyaksikan pertarungan matimatian itu. Sang penonton itu berjumlah dua orang, dan mengintai dari balik kerimbunan
pepohonan. Mereka tak lain adalah Melati dan Arya.
"Bagaimana, Kang" Apakah kita pertu turun tangan sekarang?" tanya Melati yang
sudah tidak sabar lagi untuk segera terjun dalam pertarungan.
"Sabar dulu, Melati," sahut Arya. "Aku ingin melihat kehadiran Ketua Gerombolan
Macan Putih dulu. Dan lagi, ada hal hal yang mencurigakan hatiku...."
"Apa itu, Kang?" tanya Melati ingin tahu.
"Maaf Melati. Aku tidak bisa mengatakannya. Dan andaikata dugaanku benar, aku
tak ingin kau terkejut...
Tambahan lagi, aku ingin melihat kau berusaha berpikir dan memperhatikan


Dewa Arak 28 Teror Macan Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertempuran."
"Hm...," Hanya gumam pelan tak jelas dari mulut gadis berpakaian putih yang
menyambuti ucapan Arya.
"Hanya yang perlu kau ketahul, Melati. Aku yakin Ketua Gerombolan Macan Putih
telah berada dalam kancah pertarungan. Hanya saja, belum mau mengunjukkan diri.
Mungkin ada sesuatu yang ditunggunya,"
"Mengapa kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu, Kang?" tanya Melati lagi.
"Tentu saja dari pengamatan jalannya pertarungan,"
kalem jawaban pemuda berambut putih keperakan itu.
Melati pun diam. Dan kini pandangannya kembali
dialihkan ke arah pertarungan.
Sementara itu di antara pertarungan. Tapas Jaya mulai dilanda rasa was-was.
Telah hampir lima puluh jurus bertarung, tapi tidak juga mampu merobohkan lawan
seorang pun. Kerja sama enam orang lawan benar-benar menyulit-kannya. Apa lagi
keadaannya memang tidak menguntungkan. Sambil lalu, diliriknya Karundeng.
Ternyata tidak jauh beda dengannya. Begitu pula keadaan Rara Inggar. Hanya Suta
saja yang keadaannya lebih baik. Meskipun kelihatan terdesak, tapi selalu
menolong Rara Inggar pada saat gadis itu dalam keadaan berbahaya.
"Inggar, Suta...! Ombak besar, gulung layar...!" teriak Tapas Jaya menyuruh
sepasang muda-mudi itu
menyelamatkan diri. Sengaja kakek berkepala botak ini menggunakan bahasa rahasia
untuk membuat pihak lawan tidak mengetahui maksudnya.
Rara Inggar menoleh ke arah Suta. Dan dengan sebuah gerakan mengejutkan, pemuda
berjubah biru itu melesat cepat, dan tahu-tahu telah berada di sebelah Rara
Inggar. Tapi para pengeroyok Suta mana mau membiarkannya" Mereka pun bergerak mengejar.
Kini Rara Inggar dan Suta bersama-sama dalam satu kurungan puluhan Gerombolan
Macan Putih. "Mintalah sesuatu untuk kenang-kenangan, Inggar.
Agar kita bisa selalu mengingat beliau, anggaplah sebagai eh... hadiah
perkawinan dari mereka," ujar Suta.
Belum juga Rara Inggar sempat menyambuti ucapan
itu, kembali Gerombolan Macan Putih telah meluruk menyerbu. Terpaksa mereka
berdua bahu membahu menghadapinya.
"Mari kita menuju tempat paman untuk memberi tahu, Inggar.... Teroboslah cepat,
aku akan melindungimu..."
Tanpa ragu-ragu, Rara Inggar bergerak menerobos
kepungan. Tentu saja, para pengeroyok tidak sudi mem-biarkannya. Berbondongbondong mereka bergerak menghadang. Hujan senjata pun bertubi-tubi mengancam
berbagai bagian tubuh gadis berpakaian merah itu.
Tapi semua hambatan itu kontan buyar berantakan
ketika Suta menggerak-gerakkan tangannya. Angin kuat berhembus dari kedua tangan
pemuda berjubah biru itu, sehingga membuat tubuh-tubuh lawan berpentalan seperti
dilanda angin ribut. Tak terkecuali tubuh-tubuh para pemimpin kelompok.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Suta.
"Maaf, Paman...!"
Sambil berteriak keras, tubuhnya meluruk ke arah enam orang pimpinan Gerombolan
Macan Putih yang
tengah mengeroyok Tapas Jaya. Tangan dan kakinya melancarkan serangan bertubitubi. Enam orang pimpinan Gerombolan Macan Putih itu terkejut bukan kepalang ketika
menyadari kedahsyatan serangan lawan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera
tubuhnya dibanting dan bergulingan menjauh.
Kesempatan yang hanya sesaat itu dimanfaatkan Rara Inggar sebaik-baiknya.
"Kami minta sesuatu sebagai kenang-kenangan dari Paman, sekaligus sebagai hadiah
pernikahan kami...
Paman," pinta Rara Inggar dengan wajah berubah merah.
Benak Tapas Jaya berputar cepat. Apa yang pantas untuk diberikan" Dia tidak
memiliki apa pun yang cukup berharga, kecuali.... Suling Naga!
Bertepatan dengan berhasilnya kakek berkepala botak itu menemukan hadiah untuk
Rara Inggar, serangan-serangan dari enam orang lawan kembali tiba. Sedangkan
Suta sudah sibuk menahan pengeroyok yang tadi
ditinggalkan. "Ambil hadiah itu di dalam tanah di bawah pohon Melati... Inggar," ujar Tapas Jaya
seraya menyambut datangnya serangan lawan.
Belum juga Rara Inggar melaksanakan perintah itu, Suta sudah melesat
meninggalkan lawan-lawannya.
"Tahan mereka dulu, Inggar. Aku yang akan mengambil hadiah itu!"
Mau tidak mau, Rara Inggar pun terpaksa menghadapi lawan-lawannya karena Suta
sudah melesat meninggalkan.
Hanya dalam beberapa gebrakan saja, dia sudah dibuat terpontang-panting ke sana
kemari. *** Suta segera mengedarkan pandangan ke arah
tanaman depan pondok, begitu telah keluar dari kancah pertarungan. Sesaat
kemudian, senyumnya berseri ketika telah melihat pohon melati. Hanya ada satu
tanaman melati di sekitar situ. Jadi, tidak mungkin salah lagi.
Tapi sebelum sempat menghamiri pohon itu, belasan orang Gerombolan Macan Putih
telah menyerbunya.
Memang, Rara Inggar tidak mampu mencegah mereka
yang tengah memburu Suta karena terlalu banyak lawan yang dihadapinya.
"Keparat..!"
Suta menggeram keras. Kedua tangannya bergerak
cepat memapak hujan senjata yang menuju ke arah
berbagai bagian tubuhnya.
Suara berdetak keras senjata senjata yang berpatahan, dan jeritan kesakitan
belasan Gerombolan Macan Putih terdengar meningkahi tubuh-tubuh yang
berpentalan. Tanpa mempedulikan keadaan lawan-lawannya, Suta
segera melesat menghampiri pohon melati. Tangannya diulurkan mencengkeram batang
pohon itu, kemudian bergerak mencabut.
Brelll..! Pohon itu tercabut sampai ke akar-akarnya. Tanpa mempedulikan keadaan
sekelilingnya, Suta melemparkan pohon melati itu. Pandangannya langsung
dialihkan ke arah lubang yang kini terbentuk.
Wajah pemuda berjubah biru ini kontan berseri ketika melihat sebuah buntalan
kain kuning di dasar lubang.
Dengan tangan menggigil dan dada berdebar tegang, diambilnya buntalan kain itu,
lalu dikeluarkan isinya.
"Suling Naga...," desis Suta. Wajahnya kontan berseri dan sepasang matanya
berbinar-binar pertanda tengah dilanda perasaan gembira yang menggelegak.
Sepasang matanya menatap ke arah benda yang kini tergeletak di tangan. Sebuah
suling yang pada bagian ujungnya terdapat bentuk kepala seekor naga. Sementara,
badan ular naga itu melilit di sekitar badan suling.
"Ha... ha... ha...!" Mendadak Suta tertawa terbahak-bahak. "Akhirnya kudapatkan
juga benda ini. Ha ha ha...!"
"Berikan senjata itu pada kami...!" teriak Karugi sambil melangkah maju diikuti
belasan temannya yang tadi memekik kesakitan ketika senjata mereka berpatahan.
"Hentikan pertempuran !"
Kontan semua Gerombolan Macan Putih menghentikan gerakan. Mereka semua mengenal
pemilik suara yang melengking nyaring itu. Suara Nyi Nila, Wakil Ketua
Gerombolan Macan Putih!
Seiring selesai ucapan itu, tubuh Nyi Nila melenting ke belakang. Dia kemudian
bersalto beberapa kali di udara, lalu mendarat beberapa tombak dari tempat
semula. Karundeng sama sekali tidak mengejar, tapi sebaliknya malah bergerak mendekati
Rara Inggar dan Tapas Jaya yang telah bersama-sama. Memang, lawan telah bergerak
menjauh akibat perintah yang dikeluarkan Nyi Nila.
"Inggar...! Cepat kau lari...!" perintah Tapas Jaya seraya mendorong tubuh gadis
berpakaian merah pelan.
Tanpa membuang-buang waktu, Rara Inggar berlari
menghampiri Suta.
"Mari, Suta...!"
Melihat tindakan Rara Inggar, belasan orang
Gerombolan Macan Putih sudah bergerak dan siap
mengejar. Tapi....
"Tahan...!"
Lagi-lagi suara Nyi Nila terdengar menggelegar membuat gerakan Gerombolan Macan
Putih itu tertahan. Hanya pandangan mata keheranan saja yang menjadi saksi kalau
mereka merasa bingung mendengar perintah itu. Gilakah Nyi Nila" Kalau tidak,
mengapa seperti sengaja mem-berikan kesempatan kabur pada Rara Inggar"
Karena tidak ada yang bergerak menghalangi, tidak ada kesulitan bagi Rara Inggar
untuk tiba di dekat Suta.
"Mari kita pergi, Suta...!" ajak Rara Inggar. Agak heran hatinya melihat sikap
pemuda berjubah biru itu.
"Pergi" Ha... ha... ha...! Aku memang akan pergi, Wanita Liar! Tapi setelah kau
dan kakek-kakek jompo itu kulenyapkan! Apalagi, pusaka leluhurku telah berada di
tanganku...!" kasar dan keras sekali ucapan yang keluar dari mulut pemuda kekar
itu. Wajah dan sepasang mata yang semula lembut, kini berubah beringas, penuh
hawa membunuh. Karuan saja ucapan dan perubahan sikap Suta bukan hanya membuat Rara Inggar
tersentak kaget. Tapas Jaya dan Karundeng, serta belasan Gerombolan Macan Putih
pun begitu terkejut. Orang-orang berpakaian hitam itu merasa heran melihat di
antara lawan ada perselisihan.
"Kau.." Kau..."! Apa maksudmu..."!" tanya gadis berpakaian merah itu terbatabata. "Inggar...! Cepat kemari !" teriak Tapas Jaya yang sudah menyadari adanya
gelagat yang tidak menguntungkan.
Ucapan Suta telah membuat dirinya sadar, siapa adanya pemuda berjubah biru itu.
"Tapi, Paman...," Rara Inggar mencoba membantah.
"Cepat kemari...! Dia adalah ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma...!" teriak
Tapas Jaya lagi.
"Ah...! Benarkah itu... Suta?" tanya Rara Inggar gagap seraya melangkah mundur.
"Ha ha ha...!"
Bukannya jawaban yang diperoleh Rara Inggar, tapi sebuah tawa bergelak yang
menyeramkan. Tapi mendadak saja tawanya dihentikan, dan diputuskan dengan
dengus. "Hih...!"
Prall...! Pakaian yang dikenakan Suta langsung hancur
berkeping-keping, ketika terdengar suara berkerotokan keras. Seolah-olah seluruh
tulang di tubuh pemuda berjubah biru itu hancur berantakan.
Kini Suta berdiri kokoh tanpa mengenakan pakaian lagi. Pemuda berjubah biru itu
kini bertelanjang dada.
Sehingga, tampak otot-otot dan urat-urat yang bertonjolan di sekujur tubuhnya.
Tapi bukan itu yang membuat semua pasang mata,
kecuali mata Nyi Nila, terbelalak. Gambar kepala seekor macan putih besar di
bagian dada Sutalah yang membuat mereka semua hampir terlonjak. Tanda seperti
itu hanya dimiliki Ketua Gerombolan Macan Putih! Jadi, Suta adalah....
"Kau..."!" jerit Rara Inggar dengan perasaan hancur.
Sama sekali tidak disangka, orang yang selama ini menolongnya adalah pembunuh
ayahnya. Dialah keturunan Raja Ular Pelenyap Sukma. Beberapa saat lamanya gadis
itu hanya terpaku kaku.
"Keparat..! Kubunuh kau...!"
"Inggar...!"
Karundeng dan Tapas Jaya sama-sama berseru kaget ketika melihat Rara Inggar
melancarkan serangan ke arah Suta. Pedang di tangan gadis berpakaian merah itu
meluncur deras ke arah tenggorokan Ketua Gerombolan Macan Putih.
"Hmh...!"
Suta hanya mendengus. Ditunggunya hingga serangan menyambar dekat, kemudian
tangannya diulurkan. Dan....
Tappp...! Pedang Rara Inggar berhasil dicekalnya. Dan sekali tangannya bergerak menekuk,
kontan senjata itu patah-patah. Akibatnya tubuh gadis berpakaian merah itu
terhuyung- huyung.
"Habisi mereka...!" perintah Suta yang ternyata adalah Ketua Gerombolan Macan
Putih. Tanpa menunggu perintah dua kali, Gerombolan Macan Putih bergerak menyerbu
rombongan Tapas Jaya. Kini Bangor, Karugi, dan sebagian besar Gerombolan Macan
Putih yang menjadi anak buah Jalatang mengerti, mengapa Ketua Gerombolan Macan
Putih itu tahu orang-orang yang melanggar aturan gerombolan itu. Karena tanpa
se-pengetahuan mereka sang Ketua berada di sana waktu itu!
Suta alias Ketua Gerombolan Macan Putih menghampiri Nyi Nila yang telah menjauhi arena pertarungan.
"Bagaimana, Nyi" Rencanaku berhasil baik, bukan"
Berarti nama Kala Suta tidak jadi kubuang! Bukankah begitu tekadku, Nyi?"
Wanita berpakaian kulit macan putih ttu menganggukkan kepala sambil tersenyum.
"Kau akan lebih sakti dari kakekmu sendiri, Kala. Kau akan menguasai dunia
persilatan!" tegas Nyi Nila yakin seraya menatap Suling Naga yang dipegang Kala
Suta. "Tapi, ingat. Larang setiap anak buahmu memperkosa wanita! Kau tahu, betapa
besar kengerian yang melanda hati wanita yang akan diperkosa!"
"Akan kuperhatikan ucapanmu, Nyi!" sahut Suta yang ternyata memiliki nama
lengkap Kala Suta.
"Kala...! Lihat..!" seru Nyi Nila sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah
pertarungan. Terdengar suara gemeretak dari mulut Kala Suta ketika sepasang matanya mengikuti
arah tudingan telunjuk wanita berpakaian kulit macan putih itu.
Betapa tidak" Di kancah pertarungan ternyata bukan anak buahnya yang tengah
membantai lawan. Tapi, justru anak buahnya yang tengah dibantai!
Saking asyiknya terlibat percakapan, Kala Suta dan Nyi Nila sama sekali tidak
curiga mendengar jeritan-jeritan kematian sejak tadi. Rupanya, jeritan itu
keluar dari mulut anak buahnya!
"Siapa keparat-keparat busuk itu, Nyi"!" tanya Kala Suta sambil menatap penuh
perhatian pada dua sosok tubuh yang tengah sibuk merobohkan Gerombolan Macan
Putih. Dua sosok tubuh yang tak lain dari Arya dan Melati rupanya telah ikut campur tangan. Beberapa sosok tubuh lawan tampak bergeletakan tanpa
nyawa di tanah.
Nyi Nila menggeleng.
"Siapa pun adanya kedua orang itu, mereka harus dilenyapkan! Mari, Nyi. Kita
bunuh mereka!"
Sambil berkata begitu, Kala Suta dan Nyi Nila
melompat ke dalam kancah pertarungan.
Seperti telah dimufakati lebih dahulu, Kala Suta langsung menerjang Dewa Arak.
Sementara, Nyi Sula langsung menerjang Melati. Tanpa sungkan-sungkan lagi,
mereka mengirimkan serangan bertubi-tubi dan mematikan ke arah berbagai bagian
tubuh sepasang pendekar itu.
Arya dan Melati tidak menjadi gugup, dan buru-buru menangkis. Seluruh tenaga
dalam dikerahkan dalam tangkisan itu.
Plak, plak, plak...!
Suara nyaring seperti beradunya dua batang logam keras terdengar ketika empat
pasang tangan itu berbenturan. Tubuh mereka pun sama-sama terhuyung ke belakang.
Sadar akan ketangguhan lawan, Dewa Arak segera
mengambil guci araknya yang terletak di punggung, kemudian dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Arya. Sesaat
kemudian, tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu pun limbung.
Kala Suta sama sekali tidak memberi Dewa Arak
kesempatan. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka lurus dan menegang kaku
meluncur bertubi-tubi menimbulkan suara berdesing nyaring. Inilah Jurus 'Ular',
warisan Raja Ular Pelenyap Sukma.
Cit, cit, cit...!
Suara mendecit nyaring menjadi pertanda kuatnya
tenaga yang terkandung dalam serangan itu.
Tapi lawan yang dihadapinya adalah Dewa Arak.
Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', serangan itu mudah saja dikandaskan.
Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu balas menyerang yang tak kalah


Dewa Arak 28 Teror Macan Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahsyat. Sesaat kemudian, pertarungan sengit pun berlangsung.
Bukan hanya pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Kala Suta saja yang berlangsung ramai. Pertarungan Melati melawan Nyi
Nila, dan pertarungan rombongan Tapas Jaya menghadapi Gerombolan Macan Putih pun
berlangsung tak kalah seru.
Riuhnya suara denting senjata beradu, gerakan setiap tokoh-tokoh tingkat tinggi,
serta jerit kematian dari mulut anggota Gerombolan Macan Putih, meningkahi
pertarungan sengit itu.
Memang, setelah tanpa Nyi Nila ikut bertarung. Tapas Jaya, Karundeng, dan Rara
Inggar tidak mengalami kesulitan mendesak Gerombolan Macan Putih. Apalagi, dua
pemimpin regu, dan beberapa orang pimpinan
kelompok sudah roboh di tangan Arya dan Melati.
Sehingga, lawan yang tinggal kebanyakan hanya keroco saja.
Tak sampai tujuh puluh jurus, hanya tinggal beberapa gelintir saja Gerombolan
Macan Putih yang tersisa. Dan itu pun tak berlangsung lama. Dua jeritan kematian
mengiringi robohnya dua orang terakhir Gerombolan Macan Putih.
Tapas Jaya, Karundeng, dan Rara Inggar menghentikan gerakan. Lalu, mereka
menghapus peluh yang membasahi kening dan leher. Kini perhatian mereka beralih
pada pertarungan antara Dewa Arak melawan Kala Suta, dan Melati melawan Nyi
Nila. Memang hebat bukan kepalang pertarungan yang
terjadi. Terutama sekali pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Kala Suta.
Dalam hati, Dewa Arak harus mengakui kelihaian
lawan. Jurus 'Ular' milik lawannya mengingatkannya pada lawan tangguhnya dulu
yang juga memiliki jurus 'Ular Terbang' (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak
dalam episode perdana 'Pedang Bintang"). Seluruh kemampuan yang dimilikinya
telah dikeluarkan. Kedua tangan, guci, dan semburan araknya juga telah
dikeluarkan. Tapi tetap saja mengalami kesulitan menanggulangi lawan. Baru pada
jurus keseratus dua puluh lima, lawannya berhasil ditekan.
Ternyata bukan hanya Arya saja yang berhasil meng-ungguli lawan. Melati pun
demikian pula. Pedang di tangannya dalam penggunaan ilmu 'Pedang Seribu Naga'
meng-gerung mendesak Nyi Nila yang bersenjatakan sepasang pisau bergagang kepala
seekor harimau.
Pada jurus keseratus enam puluh dua, Kala Suta yang kini telah menggunakan
Suling Naga melompat menerjang Dewa Arak. Suling Naga di tangannya menotok cepat
ke arah dada, menimbulkan suara berciutan nyaring.
Menyadari akan kedahsyatan serangan itu. Dewa Arak segera melangkahkan kaki ke
kanan seraya men-doyongkan tubuh sehingga serangan itu lewat di sebelah kirinya.
Di saat itulah kaki kiri Arya melayang ke arah dada.
Kedudukan Kala Suta yang saat itu tidak menguntungkan berusaha keras mengelak.
Tapi... Desss...! Telak dan keras bukan kepalang tendangan itu
mengenai sasarannya. Diiringi suara berderak dari tulang-tulang yang patah, dan
darah menyembur dari mulut, tubuh Ketua Gerombolan Macan Putih itu melayang ke
belakang dan jatuh ke tanah. Pada saat yang tepat, Dewa Arak cepat melompat.
Begitu tubuh Kala Suta telentang, kaki Arya dijatuhkan, tepat di leher Ketua
Gerombolan Macan Putih itu. Sebentar Kala Suta kelojotan, laki diam tidak
bergerak lagi. Mati!
Pada saat kematian Kala Suta, Nyi Nila menusukkan kedua pisaunya bertubi-tubi ke
arah dada Melati.
Tapi dengan sebuah genjotan pelan pada kaki, gadis berpakaian pulih itu telah
membuat serangan lawan tidak mengenai sasaran, dan hanya meluncur lewat di bawah
kakinya. Memang, Melati telah melompat ke atas.
Dan dari atas, dengan kecepatan luar biasa Melati menusukkan pedangnya ke arah
kepala Dan... Cappp..! "Aaakh...!"
Nyi Nila menjerit ngeri. Tubuhnya pun roboh ke tanah, berbarengan dengan
hinggapnya kedua kaki Melati. Sesaat tubuh Wakil Ketua Gerombolan Macan Putih
itu meng-gelepar, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak dan
Melati segera melesat meninggalkan tempat itu.
"Anak Muda! Tunggu..!" Karundeng berusaha mencegah kepergian Arya, tapi
terlambat. Karena, hanya dalam beberapa langkah saja tubuh sepasang muda-mudi
itu telah mengecil.
Rara Inggar hanya dapat menatap mayat Kala Suta
dengan berbagai macam perasaan yang bercampur aduk.
Pandangan matanya pun tetap tidak bergeming, meski Tapas Jaya berjalan
menghampiri mayat Kala Suta dan mengambil Suling Naga.
Sementara, Karundeng masih telah melayangkan
pandangannya ke depan, ke arah tubuh Dewa Arak dan Melati yang telah semakin
mengecil. "Sayang sekali, kedua orang itu cepat pergi. Ingin aku berkenalan dengan
sepasang anak muda yang begitu sakti...Ahhh...! Mereka berdua memang pendekarpendekar sejati...."
Matahari perlahan mulai gelincir dari titik tengahnya.
Tapi Rara Inggar, Tapas Jaya, dan Karundeng tetap hanyut dalam lamunan masingmasing. SELESAl Kitab Pusaka 3 Manusia Harimau Merantau Lagi Karya S B. Chandra Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 6

Cari Blog Ini