Pendekar Mabuk 01 Bocah Tanpa Pusar Bagian 1
Serial : Pendekar Mabuk
Judul : 01. Bocah Tanpa Pusar
Pengarang : "
Penerbit : "
E-book : paulustjing
1 PARA penduduk mulai cemas mendengar suara
gemuruh di kejauhan. Mereka segera keluar dari rumah masing-masing dan memandang
puncak gunung. Jauh di sana bertengger puncak gunung tinggi yang dinamakan
mereka Gunung Cadas Geni. Warnanya putih keabu-abuan.
Biasanya puncak gunung itu tampak jelas dari Desa Kilangan. Sekarang tampak
buram. Ada kabut hitam menutupinya dan langit di atas puncak berwarna gelap.
Ada api menyembur dari dalam puncak, dan suara gemuruh terdengar lagi.
"Celaka! Kita akan dilanda musibah," ujar lelaki setengah umur.
"Kita harus cepat mengungsi. Sebentar lagi desa kita akan disapu lahar panas.
Gunung Cadas Geni mau meletus! Cepat!" teriak tetangganya.
"Apa"! Gunung meletus" Siapa suruh?" tanya istrinya.
"Mana aku tahu"! Aku tidak pernah menyuruhnya!
Cepat kemasi barang. Jangan banyak tanya!"
"ly... iya.... Baik. Baik...!" sang istri gugup. Barang dikemasi. Apa yang bisa
dibawa, dibawanya. Yang tidak bisa dibawa berusaha dibawanya pula.
"Kumpulkan anak kita!"
"Ada berapa ya?" gumam sang istri dengan linglung.
Mungkin karena panik. Sebab di luar rumah orang-orang juga panik. Mereka saling
teriak. "Cepat mengungsi! Cepat pindah...! Gunung itu akan meletus! Cepat cari tempat
yang aman! Hoi, hoi..., jangan bengong saja kamu! Cepat pergi dari sini!"
Ada juga suara lain yang berseru, "Baju hitamku ke mana, Mak"!"
"Jangan urusi baju hitam, Tong! Cepat bantu Emak kemasi barang!"
"Barangku ada di mana, Mak"!"
"Husy! Jangan pikir barangmu sendiri. Urus juga barangnya Emak itu, Tong!"
"Barang Emak kan sudah diurus Bapak!"
Suara kentongan berbunyi. Waktu itu, bunyi
gemuruh terdengar yang ketiga kalinya. Tanah berguncang makin jelas. Gayung di
cantelan sempat jatuh. Daun pohon rontok sebagian. Genteng di pojokan rumah
melorot tiga. Jatuh. Mengenai kepala anak kecil.
Anak itu menangis keras-keras. Bapaknya keluar dengan berang melihat kepala
anaknya bocor dan berdarah.
"Kurang ajar! Siapa yang melempar kepala anakku sampai bocor begini, hah"! Mau
mengungsi malah bikin perkara saja!"
Para penduduk menghambur keluar dari rumah.
Barang-barang dirakit. Siap dibawa pergi. Gulungan tikar, kendil, anak kambing,
diikat dijadikan satu.
Gayung sumur, ember timbaan, nasi jagung, singkong rebus, dibungkus dijadikan
satu. Kepanikan demi kepanikan berlangsung. Mereka bersimpang siur. Ada yang
saling tabrak dan saling caci sendiri.
Ada yang berteriak-teriak memanggil istrinya, takut ketinggalan. Ada yang
berteriak-teriak mencari anaknya, takut hilang. Ada yang berteriak-teriak
menarik anjingnya, takut disembelih orang. Ada yang berteriak-teriak memanggil
neneknya, takut tertukar kambing bandot.
Gaduh dan riuh desa itu. Tapi toh masih ada yang tidak menghiraukan suasana.
Seorang bocah duduk di atas punggung kuda. Ia sedang belajar menunggang kuda.
Bocah itu tertawa-tawa. Seorang lelaki gemuk yang dipanggilnya Paman Dubang
berlari-lari di samping kuda merah kecoklatan.
"Jangan kencang-kencang menarik talinya, Suto!"
seru Paman Dubang kepada anak di atas kuda. Ia tampak cemas. Takut jadi
terbalik, kuda di atas anak itu.
"Paman...! Bagaimana cara menghentikannya!"
"Kencangkan talinya!" sambil si paman masih berlari-lari di samping kuda. "Lekas
kencangkan talinya!"
"Baik, baik...! Baik, Paman!" Anak itu agak cemas, Ia buru-buru mengencangkan
tali celananya. Paman Dubang membentak, "Bukan tali celanamu, Suto! Tapi tali
kekang kuda. Tarik ke belakang supaya berhenti!"
"O, baik. Baik...!" . Tali kekang kuda ditarik. Kuda meringkik. Kaki depannya
naik. Bukan karena tarikan tali kekang, tapi karena suara gemuruh dan guncangan
tanah tadi. Rupanya kuda juga takut dengan tanda-tanda gunung akan meletus.
"Paman! Bagaimana ini"!"
"Kendorkan talinya!"
"Sudah."
"Tarik lagi jangan disentak."
Tali ditarik lagi. Tidak disentak. Tapi kuda meringkik. Kakinya naik lagi.
Tinggi. Sampai bocah yang bernama Suto itu tersentak ke belakang. Bluukk...! Ia
jatuh. "Aaauuuh...!" teriaknya kesakitan. Paman Dubang segera menolongnya sambil
menggerutu. "Tadi sudah Paman pesan, jangan sampai jatuh.
Kepalamu bisa bonyok kalau begini caranya. Ayo, bangun! Lekas bangun."
"Baik, Paman!"
"Kamu harus bisa menunggang kuda. Jangan sampai kuda yang menunggang kamu!"
"Kudanya nakal, Paman! Cari kuda betina saja."
"Husy! Kamu masih kecil. Tidak boleh menunggang kuda betina. Belum akil balik
kok sudah mau cari kuda betina"! Kuda jantan saja! Ayo, lekas... naik lagi ke
punggung kuda."
Suto terpacu semangatnya, ia bergegas naik ke punggung kuda lagi. Paman Dubang
berteriak, "Hoii...!
Jangan lewat ekornya! Lewat samping!"
"Bantu aku naik, Paman!"
Paman Dubang membantu Suto. Pantat Suto
didorong naik. Kaki anak itu melangkahi pelana. Pada saat itu, gemuruh dan
guncangan tanah yang kedua terdengar oleh sang kuda. Rupanya sang kuda menjadi
takut, ia kembali mengangkat kaki depannya sambil meringkik. Suto nyaris jatuh
lagi. "Paman, Paman...! Awas...!"
"Pegang tali kekangnya!" sentak Paman Dubang dengan jengkel.
Suto memegang tali kekang dengan kaki belum sempurna melangkah. Sang kuda
semakin kaget dan berlari dalam sentakan awal.
"Hati-hati, Paman!" Suto segera berseru.
"Diamlah! Paman sedang kebingungan!" Rupanya Paman Dubang ikut terbawa lari.
Kaki kirinya terseret-seret, ia menjadi panik dan gugup. Pelana dipakai
gelantungan. Pundaknya mendorong Suto. Anak itu bisa duduk di pelana. Tapi
tangan Paman Dubang tertindih pantatnya, "Jangan kau duduki tangan Paman, Suto!"
"Habis aku duduk di mana?"
"Agak maju sedikit, biar tangan Paman bebas.
Aduh, kaki Paman terseret-seret. Bagaimana ini?"
"Ya bagaimana"! Paman kan pawang kuda.
Hentikanlah, Paman!"
"Susah, Tolol!" sentak lelaki gemuk pendek itu.
Kuda tetap berlari dengan liar. Suaranya meringkik-ringkik bagaikan tawa perawan
di malam pengantin.
Paman dan Suto sama-sama tegang. Sama-sama kebingungan. Akhirnya sama-sama
terbawa oleh kuda ke arah kesibukan para penduduk yang siap-siap mengungsi.
"Lihat, Suto...! Gara-gara kamu tak becus mengendalikan kuda, para penduduk
menjadi panik begini!" kata Paman Dubang.
"Oh, maaf, Paman," bocah itu matanya jelalatan ke mana-mana. Memandang tiap
orang dengan kesibukannya masing-masing.
Kuda meringkik lagi semakin keras, semakin
kencang larinya. Bahkan kali ini melompat tinggi.
Seorang nenek yang bingung mencari tusuk kondenya yang jatuh di tanah, dilompati
oleh kuda itu. Sang nenek terkejut dan terkesima dengan mulut melongo.
"Burung apa itu tadi"!" gumamnya dengan bingung.
Kuda disangka burung. Tapi siapa yang tahu gumaman sang nenek, kecuali nenek itu
sendiri. Paman Dubang masih terseret-seret. Kuda semakin beringas. Lari sana lari sini.
Akhirnya Paman Dubang ketakutan dan berteriak keras-keras.
"Tolooong...! Tolooong...! Tolong hentikan kuda ini...!"
Tentu saja orang-orang tak menghiraukan. Tak ada yang datang menolong. Semua
panik dengan upaya menyelamatkan diri sendiri-sendiri.
Di saat itulah, tak lama kemudian muncul seorang lelaki tua. Dia adalah sesepuh
kampung tersebut. Dia hanya sesepuh, bukan kepala desa. Tubuhnya berdiri di
sebuah tempat tinggi dan berseru.
"Tenang! Tenang! Jangan panik, Saudara-saudara!"
Suara sesepuh itu didengar oleh penduduk. Mereka mulai berhenti berlarian.
Mereka berkumpul di depan sesepuh itu. Pada saat yang sama, kuda yang
ditunggangi Suto dan Paman Dubang menabrak sebuah kedai yang telah kosong
penghuninya. Bruss...!
Braaak...! Semua mata jadi memandang ke arah kedai
bernasib malang itu. Salah seorang ada yang berseru.
"Hoi, ada sesepuh mau bicara kok malah main kuda-kudaan!"
Suto meringis menahan sakit. Tubuhnya tersangkut di tiang atas kedai. Paman
Dubang merintih kesakitan.
Tubuhnya jatuh di atas meja bertindih patahan tiang atap. Ia berusaha bangkit
begitu melihat kaki Suto bergelantungan di atas. Kemudian ia bergegas menolong
bocah itu untuk turun dari atap. Tapi Suto menolak, kakinya menjejak-jejak.
"Biar. Biar, Paman. Aku bisa turun sendiri."
Suto pun melompat turun. Huuhp...!
Braak...! , "Aaauh...!" teriak Paman Dubang. Suto jatuh di meja, mejanya patah dan menjatuhi
kaki Paman Dubang. Tentu saja Paman Dubang menjerit. Seseorang kembali
menyentak. "Hooi...! Disuruh diam dan tenang kok malah terbahak-bahak!"
"Terbahak-bahak apanya"! Kakiku sakit!" bantah Paman Dubang. Suto hanya
cekikikan geli.
Mereka segera bergabung dengan kerumunan orang di depan sesepuh. Kemudian
terdengar suara sesepuh berkata, "Saudara-saudara, warga Desa Kilangan, kuharap
kalian tidak menjadi panik dan jangan salah langkah. Gunung Cadas Geni itu tidak
akan meletus. Jadi kalian tidak perlu panik dan mencari tempat untuk mengungsi. Kembalilah ke
rumah kalian masing-masing.
Gunung itu tidak akan meletus!"
"Tapi kok mengeluarkan semburan api?"
"Dan juga bergemuruh, Pak Tua!"
"Betul. Sudah tiga kali kami mendengar gemuruhnya."
"Itu sebuah pertanda akan ada bahaya di desa kita ini. Akan ada bencana, tapi
bukan bencana alam,"
jawab sesepuh desa berusaha menenangkan rakyatnya.
"Masa begitu?"
"Betul. Dari zaman buyutku hidup di tanah Desa Kilangan ini, gunung itu tidak
pernah meletus. Tapi jika desa ini akan terserang wabah, misalnya, maka gunung
itu memberikan tanda. Menyemburkan api dan asap hitam tiga kali, mengeluarkan
bunyi gemuruh yang mengguncangkan bumi, tiga kali."
"Ooo... jadi bukan mau meletus, ya Pak Sepuh?"
tanya seseorang.
"Tidak. Jangan takut. Cuma kalian harus waspada.
Jaga diri kalian baik-baik. Jaga keluarga kalian baik-baik. Tetaplah bersatu dan
gotong-royong jika terjadi sesuatu secara tiba-tiba!"
Kepala mereka manggut-manggut. Mulut mereka melongo mengeluarkan gumam. Kemudian
terdengar kasak-kusuk seperti serombongan lebah bergaung.
Mereka mulai melangkah menuju rumah mereka
masing-masing. Sedangkan Suto mendesak Paman Dubang untuk melangkah mencari
kudanya. Toh gemuruh gunung tersebut memang berhenti. Tidak menyemburkan asap
dan api lagi. Tidak terasa ada guncangan tanah kembali. Gunung itu tenang, hati
masyarakat desa pun jadi lapang.
Tapi beberapa saat kemudian, suara gemuruh itu datang lagi. Orang-orang yang
telah tenang menjadi tegang kembali. Mereka keluar dari rumah saling pandang
dalam keheranan. Suara gemuruh itu disimak baik-baik. Mata mereka menatap ke
puncak gunung. Salah seorang berseru, "Bukan suara gunung!"
"Ya, sepertinya suara gemuruh kaki kuda."
"Betul. Makin lama semakin dekat suaranya."
Seorang lelaki tua terbatuk-batuk. Lengannya ditepuk oleh istrinya, "Jangan
berisiklah...! Kita sedang menyimak suara gemuruh itu. Kamu kok malah
bergemuruh sendiri!"
"Batuk. Aku batuk," kata suaminya yang tua.
"Iya. Batuk ya batuk. Tapi nanti saja, kalau kita sudah yakin suara apa yang
bergemuruh itu!"
Lelaki tua itu bergegas masuk ke rumah sambil menggerutu, "Orang mau batuk kok
disuruh menunda...!"
Gemuruh itu memang kian mendekat. Kemudian
mata mereka memandang ke arah batas desa. Tampak samar-samar sesuatu yang
bergerombol bergerak maju.
Kian lama kian jelas. Mereka kian paham bahwa ada serombongan orang berkuda
mendatangi desa mereka.
Bertambah dekat bertambah jelas. Orang-orang penunggang kuda itu memiliki wajah
garang, buas, menyeramkan dan tampak keji-keji. Jumlah mereka ada tiga belas
orang. Semua menunggang kuda. Semua bersenjata. Sepertinya siap tempur.
Salah seorang yang menjadi ketua mereka
mengangkat tangan mengepal. Kuda-kuda itu berhenti.
Tapi kudanya sendiri keterusan. Akhirnya berhenti agak jauh dari rombongan anak
buahnya. Mata orang itu menatap liar di sekelilingnya. Kudanya bergerak pelan
mendekati rombongan. Sambil begitu, orang tersebut berseru kepada penduduk yang
melongok dari pintu rumah, atau yang tersembunyi mengintip dari celah dinding
papan, atau yang bersembunyi di balik batang pohon, termasuk kepada anak kecil
yang bersembunyi di balik sarung bapaknya.
"Mana Ronggo Wiseso..."!" teriak orang berbadan kekar dengan dada bidang
berbulu. Kumisnya tebal melintang dan kelopak matanya berbelok bagai burung
hantu. "Tunjukkan, mana rumah Ronggo Wiseso!" seru orang yang berpakaian serba hitam
itu. Ia menyandang pedang di punggungnya. Pedang besar, sebanding dengan ukuran
lengannya yang besar pula.
Karena tak ada penduduk yang berani buka mulut, selain buka baju karena
kegerahan, maka orang tersebut segera turun dari kudanya. Berjalan dengan mata
liar. Menggetarkan hati tiap manusia yang memandangnya.
Seorang pemuda bertubuh kurus yang bersembunyi di kolong bangku kedai yang rusak
ditabrak kudanya Suto itu, segera ditarik keluar. Dijambak rambutnya,
ditengadahkan kepalanya. Lalu, pedangnya dihunus, dan ditempelkan di leher anak
muda kurus itu.
"Mana rumah Ronggo Wiseso! Cepat tunjukkan, atau kugorok batang lehermu!
Lekas...!" bentaknya bagai tak sabar.
"Ad... ada... ada di pojok desa, sebelah barat, Paman!"
"Biadab! Berani kau memanggil Kombang Hitam dengan sebutan Paman, hah"! Panggil
aku Tuan!"
"Ba... baik.., baik, Tuan!"
"Nah, begitu!" lalu ia menggerutu, "Ketua Begal Utara kok dipanggil Paman!
Memalukan!" Ia kembali bertanya meyakinkan.
"Jadi benar, rumah Ronggo Wiseso ada di pojok sana"!"
"Benar, Tuan Kombang Hitam."
"Bagus. Terima kasih," katanya sambil melepas rambut pemuda kurus itu. Pedang
pun kembali dimasukkan dalam sarungnya. Ia melangkah setelah bersalaman dengan
pemuda kurus itu sambil
mengucapkan kata terima kasih lagi.
"Serang rumah itu!" teriak Kombang Hitam kepada anak buahnya. "Bantai semua
penghuninya! Jangan ada yang tersisa!"
Kemudian rombongan itu pun menuju ke rumah
pojok desa. Deru kaki kuda bergemuruh, menerbangkan jutaan debu menyirat ke
mana-mana. Kombang Hitam sendiri memacu kudanya lebih cepat dan selalu berada di
depan rombongan.
'' "Untung kamu selamat, Nang...!" kata seorang perempuan paro baya kepada
Pendekar Mabuk 01 Bocah Tanpa Pusar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemuda kurus tadi.
Rupanya pemuda itu anak perempuan tersebut.
"Mak... aku... lemas... aku...."
"Lho, lho... Nang" Lho, kenapa wajahmu pucat"
Lho... Nang" Kok wajahmu membiru"! Nang..."
Anakku..."!"
"Mak...!" suaranya pelan sekali. Matanya meredup.
Ia pun terkulai jatuh dalam pelukan emaknya. Emaknya tak kuat, akhirnya jatuh ke
tanah secara bersamaan.
Brukkkk...! "Anakku! Naang...!" teriak perempuan itu histeris setelah ia tahu anaknya sudah
tidak bernapas lagi.
Pemuda itu mati dalam keadaan sekujur tubuhnya menjadi biru kehitaman.
"Dia keracunan makanan!" seru seseorang yang mangerumun.
"Bukan keracunan makanan. Pasti gara-gara salaman sama Kombang Hitam itu!"
"Benar! Pasti waktu salaman, Ketua Begal Utara itu menyalurkan tenaga dalamnya
yang amat beracun dan berbahaya!"
"Edan! Jahat sekali orang itu."
"Gawat. Pasti keluarga Ronggo Wiseso tak mampu melawannya!"
"Apa benar begitu" Ronggo Wiseso kan pejabat kadipaten"!"
* * * 2 RONGGO Wiseso memang pejabat istana kadipaten.
Dia menjadi penasihat sang adipati untuk urusan hukum. Setiap ada perkara,
Ronggo Wiseso yang menyelesaikan secara hukum dan peraturan yang berlaku, lalu
sang adipati yang memutuskan ketetapan hukuman terakhir. Tapi karena waktu itu
Ronggo Wiseso sering sakit-sakitan, maka ia diizinkan untuk beristirahat. Untuk
itu diangkatlah seorang penasihat hukum yang bisa menggantikan Ronggo Wiseso.
Tetapi penasihat baru itu kurang begitu piawai dalam masalah hukum kadipaten,
sehingga masih sering minta pendapat Ronggo Wiseso. Pihak kadipaten sendiri
masih menganggap Ronggo Wiseso sebagai orangnya dan tetap menerima upah
perbulannya. Usia orang itu antara enam puluh tahun. Tubuhnya kurus dengan tulang-tulang
wajah yang keras, sedikit menonjol. Ia terkejut ketika pintu gerbang rumahnya
diterjang kuda. Suaranya bergemuruh mengagetkan seekor ayam yang sedang bertelur
di belakang rumah.
Serombongan orang berkuda itu segera mengepung rumah tersebut sampai di bagian
belakang. Bergegas lelaki kurus karena penyakit batuk-batuknya itu menuju serambi depan.
Dan ia berpapasan dengan Kepala Begal Utara yang tampak menggeram.
Kakinya berdiri tegak merenggang dengan mata menatap buas. Ronggo Wiseso
berkerut kening merasa heran.
"Siapa kau?"
"Ronggo Wiseso, kau tentu ingat Mandra Dayu yang atas usulmu dijatuhi hukuman
mati oleh sang Adipati, bukan?"
"Mandra Dayu..."!" gumam Ronggo Wiseso. Ia berpikir sejenak. "O, ya. Benar.
Rasanya memang layak Mandra Dayu menerima hukuman mati, karena ia nyaris
membunuh sang Adipati. Kenapa?"
"Aku adalah kakak Mandra Dayu. Aku menuntut atas kematian adikku itu, Ronggo
Wiseso! Satu-satunya saudaraku telah kau lenyapkan dengan keputusan hukummu yang
tidak adil itu, maka sebagai gantinya, keluargamu harus kulenyapkan pula, supaya
kau bisa merasakan bagaimana hidup tanpa sanak keluarga!"
"Tunggu dulu...!"
Kombang Hitam sudah tak sabar. Ia berseru, "Anak-anak, bantai habis mereka!"
"Hiaaat...!" teriak mereka bersamaan. Dua belas anak buah Kombang Hitam
mengamuk. Tak ada
tetangga yang bisa menolong, tak ada dari mereka yang berani mendekat. Jerit dan
teriakan bagai suasana di alam neraka.
Pada waktu itu, Paman Dubang dan Suto sudah berhasil menemukan kudanya. Kuda itu
menjadi jinak kembali. Suto duduk di atas punggung kuda, sementara Paman Dubang
menuntun, dengan memegangi tali kekang kuda itu. Kuda itu bukan berlari, namun
berjalan dengan santainya. Suto yang masih berusia delapan tahun itu tersenyumsenyum. Merasa tenang dan nyaman duduk di punggung kuda, karena ada yang
menjaganya. Kuda pun tidak bisa menjadi liar, melainkan patuh dan menurut dengan
bimbingan Paman Dubang.
"Enak sekali kalau begini, Paman. Aku pantas menjadi pendekar sakti berkuda,
ya?" "Iya. Tapi mana ada pendekar naik kuda kok dituntun" Seharusnya seorang pendekar
itu bisa naik kuda sendiri."
"Kalau begitu, lepaskan saja, biar aku menunggang kuda sendiri."
"Kalau kudanya lepas lagi bagaimana?"
"Ya dikejar. Sambil diancam seperti tadi, Paman!"
"Huuh... kuda kok diancam terus, lama-lama dia bosan jadi kuda," Paman Dubang
bersungut-sungut.
Tiba-tiba tiga orang penduduk yang dikenal Paman Dubang itu menghadang di depan
mereka. Wajah ketiga orang itu menegang dan napas mereka tampak tak teratur.
"Dubang, sebaiknya kau bawa si Suto pergi jauh-jauh. Jangan pulang ke rumah!"
kata salah seorang.
"Habis mau pulang ke mana kalau tidak ke rumah?"
"Ke penginapan saja!" kata yang satunya lagi.
"Di sini mana ada penginapan"!" sentak Dubang.
"Memangnya kenapa aku tidak boleh pulang, Kang?"
tanya Suto yang merasa heran mendengar larangan itu.
"Keluargamu sedang dibantai habis oleh Begal Utara!"
"Apa..."!" Dubang memekik kaget. Suto segera turun dari punggung kuda dengan
merosot dan jatuh sebentar. Ia mendekati salah satu dari ketiga tetangga dan
bertanya, "Apa yang terjadi di rumahku, Kang?"
"Keluargamu... keluargamu dibantai oleh Kombang Hitam, kepala rombongan Begal
Utara! Kakak-kakak perempuanmu diperkosa mereka, lalu dibunuh.
Termasuk kedua pembantu perempuanmu, juga
diperkosa dan dibunuh, dan...."
"Tunggu," kata Suto dengan bingung, lalu ia bertanya kepada Paman Dubang
pengasuhnya itu.
"Paman, diperkosa itu diapakan, Paman?"
"Jangan bertanya begitu. Kamu masih anak-anak.
Sebaiknya...."
"Sebaiknya cepat lari. Sembunyikan anak momonganmu itu! Lekas, Dubang! Kalau
mereka melihat Suto, pasti Suto juga akan dibunuhnya. Mereka merencanakan
menghabisi semua keluarga majikanmu itu!"
"Aduh, aku... aku... aku bagaimana, ya" Kakiku gemetar sekali dan, yaaah...
basah juga akhirnya,"
sambil Dubang memandang celananya yang basah bagian bawah. Itu disebabkan rasa
ketakutannya begitu besar.
"Huhh... dasar pengecut. Baru begitu saja sudah ngompol!" gerutu tetangga yang
bersarung merah.
Tiba-tiba mereka sadar, bocah kecil itu sudah tak ada di antara mereka. Salah
seorang dari mereka berseru, "Lho, di mana Suto tadi"!"
"Ya, ampun...! Dia sudah berlari ke arah rumahnya!"
"Celaka! Pasti dia menjadi sasaran juga. Ayo, cepat kita kejar dia!"
Mereka berempat mengejar Suto. Tapi larinya Suto begitu cepat sambil menyelusup
di antara pinggiran rumah penduduk, mencari jalan pintas menuju rumahnya.
Rupanya hati anak itu cemas dan tegang. Ia mulai menahan kesedihan membayangkan
apa yang diceritakan tiga tetangga tadi. Ia penasaran, ingin melihat kebenaran
cerita itu. Begitu tiba di depan rumahnya, di balik sebuah pohon, Suto bersembunyi. Ia
melihat rumahnya terbakar dengan api meluap berkobar-kobar. Ia juga melihat
ayahnya yang renta itu sedang melawan dua anak buah Kombang Hitam. Sementara
Kombang Hitam sendiri hanya terkekeh-kekeh sambil berdiri di samping kudanya.
"Hajar terus si tua bangka itu! Hajar jangan sampai mati!" teriak Kombang Hitam
dengan memuakkan hati siapa saja yang melihat pertarungan itu.
Ronggo Wiseso mencoba menahan serangan kedua anak buah Kombang Hitam yang datang
dari arah kanan-kirinya. Kedua tangannya dipakai untuk menangkis pukulan yang
datang secara bersamaan.
Ketika tangan itu membuka, kaki kedua anak buah Kombang Hitam itu menendang
setengah lingkaran dan mengenai dada Ronggo Wiseso. Buk, buk...!
"Hegh..."!" tubuh Ronggo melengkung ke belakang, lalu terhuyung-huyung. Darah
segar muncrat dari mulutnya. Warnanya hitam kemerah-merahan.
Kedua anak buah Kombang Hitam yang melancarkan jurus kembar itu segera
menghentakkan telapak tangan mereka, satu di dada kanan, satu lagi di dada kiri.
Bleg...! Bleg...!
"Uhggh...!" Ronggo Wiseso semakin mendelik matanya. Telapak tangan yang datang
secara serempak itu seperti sebongkah batu besar dihantamkan di kedua dadanya.
Napas terhenti seketika itu pula. Ronggo merasakan ada hawa panas yang membakar
rongga dadanya, bahkan seluruh isi tubuhnya bagai terbakar api. Namun, agaknya
lelaki kurus dan berbadan sedikit bungkuk itu masih berusaha bertahan. Ia balas
menyerang dengan sebuah sentakan kaki kanannya ke arah perut lawan yang ada di
sebelah kanan. Plakk...! Kaki itu ditangkis oleh lawannya
menggunakan kibasan tangan. Justru Ronggo Wiseso yang menyeringai kesakitan pada
pergelangan kakinya, terasa linu sekali akibat tangkisan tadi. Akibatnya, satu
kaki menjadi lemah. Ia jatuh terlutut. Tapi kaki kirinya berhasil tetap berpijak
pada tanah. Hanya saja, sebelum ia melakukan sesuatu gerakan, tiba-tiba kedua
tangan lawan datang memenggal dari kanan-kiri, tertuju pada tengkuk kepala
Ronggo. Bleg...! Bleg...!
"Uhgg...!" kepala Ronggo tersentak maju dan darah hitam kembali menyembur
keluar. Pukulan tangan memenggal itu seperti dua batang balok yang dihantamkan
kuat-kuat di tengkuknya. Ronggo pun jatuh tersungkur tak tahan lagi. Brukkk...!
Saat itu, Suto menjerit dari balik persembunyiannya.
"Ayaaah...!" ia berlari mendekati ayahnya yang sekarat.
"Hai, itu pasti anak bungsu Ronggo! Tangkap dan bunuh anak itu sekalian!" seru
Kombang Hitam. Ia menuding ke arah Suto dengan mata mendelik liar.
Mendengar seruan itu, Suto tidak merasa takut. Ia justru mendekati ayahnya.
Kedua anak buah Kombang Hitam yang telah merubuhkan ayahnya itu menghadang
langkah Suto, maka Suto pun berbalik mengambil batu dan melemparkan.
Plak, pletak! Batu itu mengenai wajah dan kepala
penghadangnya. "Wadow...!" seru mereka serempak.
Suto melarikan diri begitu melihat hidung salah seorang yang dilempar berdarah.
Kedua anak buah Kombang Hitam pun segera mengejarnya. Anak itu berlari mencari
kesempatan untuk melempar lagi.
"Anak itu bisa jadi penyakit kalau hidup!" geram Kombang Hitam. Maka, ia segera
naik ke atas kuda dan mengejar Suto dengan kudanya itu. Tetapi, Suto membelok ke
jalan setapak yang sempit di pinggiran rumah seseorang. Kuda itu tidak bisa
mengejar masuk di jalanan sempit itu.
"Jahanam!" geram Kombang Hitam lagi. "Kuremuk habis tulang-tulangnya kalau dia
tertangkap!"
Kombang Hitam mengarahkan kudanya dengan
memutar jalan. Ia bermaksud menghadang jalan tembus tempat pelarian Suto.
Sedangkan kedua anak buahnya masih tetap mengejar melalui jalan yang diambil
Suto. Rupanya di ujung jalan tembus itu Dubang telah menghadang. Begitu melihat Suto
berlari terbirit-birit, Dubang segera menyongsongnya. Suto baru bisa menjerit.
"Pamaaan...!"
"Diam. Jangan bersuara!" sambil Paman Dubang menggendong Suto dan menerabas
melalui tanaman jagung milik tetangga itu.
"Pegangan yang kuat, ya" Kita akan lari secepatnya lewat celah-celah tanaman
jagung ini!" kata Dubang yang menggendong Suto di belakangnya. Suto pun segera
berpegangan kuat-kuat dengan kedua
tangannya. Dubang membawanya lari tungganglanggang. Ia sempat berkata dengan nada tegang dan tertekan.
"Jangan terlalu kuat, itu namanya mencekik leher Paman!" Lalu ia terbatuk-batuk,
karena kedua lengan Suto begitu kencangnya memeluk leher sehingga napas Dubang
sulit dikendalikan.
"Ke mana mereka"!" teriak Kombang Hitam kepada kedua anak buahnya. "Aku tadi
melihat kelebatan anak itu yang digendong seorang lelaki pendek dan gemuk!"
"Saya rasa, mereka masuk ke ladang jagung, Ketua!"
"Kalau begitu, kejarlah mereka! Kenapa hanya bengong saja"!"
Maka kedua orang tersebut segera menerabas
masuk ke ladang jagung yang rimbun, tinggi tanaman itu sudah menyamai tinggi
orang dewasa. Sedangkan Kombang Hitam yang merasa waswas itu segera melarikan
kudanya mengikuti tepian ladang jagung. Ia akan mencegat di ujung ladang sebelah
sana. "Wah... bajuku robek, Paman!"
"Biarkan saja!" Dubang tetap berlari sambil mencari arah yang aman. Ia mendengar
suara gemerusuk di belakangnya, itu pertanda ada yang mengejarnya di dalam
ladang jagung itu. Karenanya, ia semakin mempercepat larinya bagai membabi buta.
Larinya sudah tidak tentu arah lagi.
"Turunkan aku, Paman. Biar aku lari sendiri!"
"Kebetulan!" kata Dubang, segera menurunkan Suto. Maka mereka lari berdua.
Beberapa waktu kemudian, mereka berdua berhasil keluar dari ladang jagung.
Dubang berhenti sebentar, mengatur pernapasannya. Di depannya sebuah jalan liar
menuju kaki bukit.
"Kita akan ke mana, Paman?" tanya Suto dengan ngos-ngosan juga.
"Ke mana sajalah. Ooh... napas Paman seperti mau putus, Suto."
"Tapi mereka mengejar kita di belakang, Paman.
Kita tak boleh beristirahat di sini. Ayo, lari lagi, Paman...!"
"Lari, lari...!" sentak Dubang. "Kamu enak, usia masih muda. Aku ini yang sudah
setengah umur harus lari tanpa berhenti, mana bisa"!"
Terdengar suara kaki kuda samar-samar. Dubang mulai cemas.
"Itu mereka, Paman. Biarlah kuhadapi mereka.
Paman selamatkan diri saja."
"Jangan berlagak jago kamu. Kamu kan masih kecil!
Ayo, lari lagi."
Mereka berlari kembali sekuat tenaga. Kali ini mereka mendaki tanah perbukitan,
melewati celah-celah batang pohon. Menerabas semak berduri.
Kedua anak buah Kombang Hitam muncul, keluar dari ladang jagung. Bertepatan
dengan itu, Kombang Hitam pun berpapasan dengan mereka. Ia berteriak dengan
kemarahannya. "Kalian lagi! Huh...!"
"Mungkin mereka masih tertinggal di dalam ladang, Ketua!"
"Setan! Kenapa masih mungkin" Harus pasti!"
Tiba-tiba mata salah satu anak buahnya itu melihat gerakan terburu-buru di
antara celah pepohonan. Ia menuding sambil berteriak keras.
"Itu dia!"
"Hiiihk...!" kuda yang ditunggangi Kombang Hitam meringkik dan melonjak kaget
karena suara keras tersebut.
"Kucing kurap! Jangan keras-keras. Kudaku kaget!"
"Ketua, mereka mendaki bukit. Saya lihat jelas!"
"Kejar dia! Kejaaar...!" bentak Kombang Hitam bagaikan orang kesurupan. Dan ia
sendiri segera bergegas mengejarnya dengan tetap menunggang kuda.
Suaranya berteriak-teriak menghela kuda supaya lebih cepat bergerak di
kerimbunan semak.
Jalanan makin mendaki. Di depan ada jurang. Di belakang ada pengejarnya. Turun
sama saja bahaya.
Dua anak buah Kombang Hitam tampak berkelebat mengejar dari arah bawah. Satusatunya jalan adalah tetap mendaki ke atas. Padahal kaki Dubang seperti
dibanduli beban berton-ton beratnya. Napasnya tinggal seliter lagi. Namun, demi
menyelamatkan Suto, bocah asuhannya itu, Dubang memaksakan diri untuk lari
mendaki menjadi penunjuk jalan. Sesekali ia limbung dan terhuyung karena
lelahnya. Sesekali ia menjadi tegak kembali jika mendengar suara ringkik kuda.
Suto memandang gemas, ingin melawan mereka tapi selalu segera ditarik tangannya
oleh Paman Dubang.
"Awas, Paman. Hati-hati... di sebelah kanan kita jurang yang sangat dalam,
Paman." "Diam kamu! Aku tahu itu jurang!" kata Dubang dengan hati dongkol, merasa
digurui dalam keadaan kelelahan begitu.
Tiba-tiba suara derap kaki kuda kian jelas di belakangnya. Dubang menoleh ke
Pendekar Mabuk 01 Bocah Tanpa Pusar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belakang, ia melihat Kombang Hitam sedang memacu kudanya untuk lebih cepat lagi.
Kaki Dubang pun kian dipercepat. Namun, sayang sekali kaki itu menyampar akar
pohon yang melintang, sehingga Dubang pun tersungkur jatuh ke depan. Buukk...!
Suto menabraknya dan ikut terjatuh.
"Ngekk...!" Tubuhnya tertindih Suto. Ia mencoba bangun karena Kombang Hitam
berseru, "Mampus kalian sekarang, hah..."!"
Terburu-buru Paman Dubang membuat kakinya
goyah berpijak. Ia terpeleset jatuh ke tepian jurang.
"Awas, Paman...!" teriak Suto terbawa tangan Dubang.
Tangan kanan Dubang memegangi akar pohon untuk menahan tubuhnya yang nyaris
merosot ke jurang.
Sedangkan tangan kirinya berusaha menahan tubuh Suto yang sudah bergeser dari
punggungnya. "Naik, Suto! Naik...! Cepat naik!"
Tangan Dubang mendorong-dorong tubuh Suto.
Bocah itu berhasil naik ke atas, berada di dekat pohon.
Tetapi, pada saat itu kuda Kombang Hitam mendekati.
Dubang berteriak,"Lari! Lekas lari, Suto...! Lari...!"
"Pamaaan...!" Suto bingung, ia ingin membantu menolong Dubang agar bisa naik.
"Cepat lariii...!" teriak Dubang dengan gemasnya.
"Selamatkan jiwamu untuk balas dendam nanti!"
Maka. Suto pun melarikan diri menuju ke atas.
Kombang Hitam berteriak, "Mau lari ke mana kau bocah ingusan...! Ha, ha, ha...!"
Suto tetap lari sambil memikirkan kata Dubang tadi. Napasnya terengah-engah.
Sementara itu, Dubang, segera berusaha naik dari tepi jurang.
Susah payah ia menarik dirinya dengan
berpegangan pada akar pohon yang berjuntai mirip rambut raksasa itu, namun tibatiba kedua anak buah Kombang Hitam tiba dari pengejarannya. Mereka menemukan
Dubang dalam keadaan kritis.
"Nah, ini dia orangnya!" kata salah seorang. Yang satu berkata pula.
"Habisi saja dia!"
Dubang cemas dan memohon, "Kang, tolong aku...!
Tolonglah. Nanti kuberi tahu sisa keluarga Ronggo Wiseso. Tolong tarik aku ke
atas, Kang...!"
"Jangan mau tertipu oleh bujukannya!" kata yang satu. Yang satunya lagi berkata,
"Tapi dia mau memberi tahu sisa keluarga Ronggo Wiseso!"
Orang yang diajak bicara itu mendengus, lalu mencabut goloknya. Dubang menjadi
tegang. Ingin memohon sesuatu tak sempat keluar dari mulutnya.
Orang yang memegang golok itu segera menebas ke depan. Crasss...! Akar itu
dipenggal. Putus. Dan tubuh Dubang pun jatuh melayang ke bawah jurang dengan
jerit yang menggema mengerikan.
"Aaaa...!"
Suto berhenti dari larinya, ia mendengar jeritan itu. Ia makin sedih karena tahu
suara itu jeritan Dubang. Ia berbalik arah ingin ke tepi jurang lagi, tapi kuda
yang ditunggangi Kombang Hitam muncul dari semak-semak. Suto menjerit kaget,
kemudian hanya bisa berdiri dengan tubuh gemetar. Pada saat itu, kedua anak buah
Kombang Hitam pun datang dengan napas terengah-engah. Kombang Hitam tertawa
terbahak-bahak dengan tetap di atas punggung kuda.
Kemudian, ia berseru kepada anak buahnya.
"Penggal kepala bocah itul Penggal!"
* * * 3 JANTUNG bocah yang sudah tidak berbaju lagi itu semakin berdebar. Rasa cemas
melihat golok tajam terhunus membuatnya ia melangkah mundur, mencari kesempatan
untuk mengambil batu buat dilemparkan.
Orang yang memegang golok tajam itu mendekat.
"Kalau berani jangan pakai golok!" ucap Suto dalam kebingungannya. Kaki gemetar
dan celana jadi melorot.
Melihat anak buahnya melakukan tugas dengan agak ragu-ragu, Kombang Hitam
berteriak dengan
membentak keras.
"Penggaaal...!"
Dan, golok berkilat itu diangkat ke atas. Dari sisi kanan Suto, golok itu
berkelebat menghantam leher bocah telanjang dada itu.
Trangng...! Orang yang menggenggam golok itu mendelik
melihat goloknya telah patah, hampir dekat gagang tempat yang patah itu. Kini ia
hanya memegangi gagang golok saja. Tentunya hal itu membuat temannya yang
satunya terkejut juga, dan Kombang Hitam terperanjat. Ia masih duduk di atas
kudanya sambil matanya melirik kanan-kiri, mencari seseorang yang telah
mematahkan golok itu dengan menggunakan sebutir batu kecil. Batu itu jatuh di
kaki kuda. Kombang Hitam turun dari kuda. Memungut batu kecil seukuran kacang tanah itu. Ia
mengamat-amati sambil bergumam, "Keparat! Pasti ada orang berilmu tinggi
menghalang-halangi niat kita! Batu sekecil ini bisa dipakai mematahkan golok
baja. Hmmm...! Mana dia...?" mata Kombang Hitam kembali menatap liar ke
sekelilingnya. Namun yang ada hanya sepi dan sunyi.
Tak ada tempat yang mencurigakan.
Kecemasan Suto mereda. Matanya memandang
golok yang patah dan tak sadar masih digenggam oleh pemiliknya. Kombang Hitam
merasa semakin geram dengan anak itu. Lalu, ia berkata kepada anak buahnya yang
masih mempunyai golok di pinggang.
"Penggal! Tunggu apa lagi. Cepat!"
Sreet...! Golok dicabut lagi. Suto kebingungan. Ia merundukkan kepala sambil
berkata, "Jangan coba-coba menyerangku lagi!" Suto masih nekat mengancam.
Baru saja golok diangkat ke atas, belum sempat diayunkan. Tiba-tiba terdengar
suara nyaring. Trangng...! Kembali golok itu patah. Bahkan menjadi tiga bagian. Padahal suara trang tadi
hanya satu kali. Dan lagi-lagi Kombang Hitam menemukan sebutir batu sebesar
kacang tanah. Hati lelaki bertubuh besar itu menjadi semakin panas. Matanya
semakin buas memandang sekeliling.
"Benar-benar keparat!" geramnya dengan kedua tangan menggenggam kuat-kuat. Batu
kecil itu digenggam dan hancur berubah menjadi serbuk abu-abu. Kecemasan Suto
kembali mereda. Ia merasa lega, bahwa golok yang akan memenggal lehernya itu
patah kembali. Itu berarti lehernya masih tetap utuh.
Kombang Hitam berteriak keras, "Siapa kamu, hah"!
Ada urusan apa kamu ikut campur dalam urusanku ini"!
Keluarkan batang hidungmu! Hadapi aku, Kombang Hitam, Ketua Begal Utara! Ayo,
keluar dari persembunyianmu! Keluar...!"
Sepi. Tak ada jawaban dan suara yang
mencurigakan. Bahkan detak jantung pun tak terdengar oleh Kombang Hitam.
Biasanya ia bisa mendengar detak jantung dari orang yang bersembunyi. Tapi kali
ini, ketika ia memejamkan matanya sesaat, ia tidak mendengar detak jantung,
selain jantung milik mereka dan Suto.
"Aku tak mendengar ada detak jantung selain milik kita," ia berkata kepada anak
buahnya. "Jangan-jangan anak itu punya kesaktian tersembunyi?"
Kombang Hitam menatap Suto. Bocah yang ditatap itu mendengus benci, dan
memalingkan kepala.
Menggumam sesaat dengan mata tak berkedip.
Kemudian ia berkata kepada kedua anak buahnya itu.
"Kurasa dia anak yang polos, tanpa ilmu apa pun.
Ingat saat dia lari, dia lari sebagai bocah biasa. Tanpa menggunakan tenaga
peringan tubuh, tanpa gerak-gerak yang mencurigakan."
"Lalu, siapa yang telah mematahkan senjata kami, Ketua?"
"Entahlah. Sebaiknya segera kalian periksa keadaan di sekeliling tempat ini!
Periksa dengan teliti, sebelum bocah itu kupenggal sendiri dengan pedangku!"
Kombang Hitam segera maju untuk meraih Suto.
Tetapi, tiba-tiba ia melompat ke samping karena merasakan ada hawa panas
berkekuatan besar sedang mengarah ke dadanya. Begitu ia melompat ke samping dan
berguling satu kali, kuda di belakangnya menjadi sasaran berikutnya. Kuda itu
meringkik sambil terlempar ke belakang, membentur pohon. Jaraknya ada sepuluh
tombak dari tempat sang kuda berdiri.
Kuda itu meringkik-ringkik, tak bisa bangun lagi. Dan hal itu membuat kedua anak
buah Kombang Hitam menjadi tertegun bengong tak berkedip.
"Iblis Laknat!" maki Kombang Hitam. Ia bergegas bangun. Ia juga memandang
kudanya yang patah pada keempat kakinya dan kelihatan menyedihkan sekali.
Meringkik-ringkik bagai orang menderita sakit yang amat nyeri. Sebagian kulit
tubuh kuda yang putih itu menjadi memar merah. Terutama pada bagian perut dan
kaki. "Benar-benar ada yang ingin main-main denganku!"
geram Kombang Hitam lagi. "Lekas cari! Periksa.
Tumbangkan semua pohon di sini! Bakar semua semak yang ada! Cepaaat...!"
Kedua anak buah itu bergegas pergi dengan
perasaan takut akan kemarahan Kombang Hitam. Suto juga bergegas pergi. Tapi
Kombang Hitam membentak.
"Hai, mau ke mana kamu, hah?"
"Membakar semak!"
"Yang kuperintahkan anak buahku. Kamu tidak ikut kuperintahkan membakar semak!
Diam di situ kalau masih ingin selamat!"
Suto diam, memandang dengan tengil dan berlagak tidak takut sedikit pun.
Di balik semak rimbun, kedua anak buah Suto berkasak-kusuk.
"Mana mungkin kita bisa menumbangkan pohon"
Golok pun tak punya. Bagaimana ini?"
"Entahlah. Kita juga tidak memiliki tenaga dalam sehebat ketua, mana bisa
menumbangkan pohon dengan tangan kosong" Membakar semak tanpa api pun jelas tak
bisa. Kita tidak bisa mengeluarkan api dari telapak tangan kita, seperti Ketua."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
"Tak tahulah...," orang itu tampak bingung dan garuk-garuk kepalanya yang
dililit kain pengikat kepala.
"Nyawa kita bisa melayang kalau begini caranya.
Aku yakin, ada tokoh sakti yang bersembunyi di sini.
Entah di sebelah mana. Salah-salah, begitu kita menemukan dia, kita mati lebih
dulu." "Iya. Aku juga khawatir begitu. Jelas tokoh itu sangat sakti. Setidaknya punya
tenaga dalam yang jauh lebih sempurna dari yang dimiliki sang ketua."
"Apakah... apakah sebaiknya kita pergi saja secara diam-diam?"
"Pergi" Oh, sepertinya itu gagasan yang bagus. Ayo, lekas tinggalkan hutan ini.
Aku yakin, iblis penunggu hutan ini sedang mengincar sang ketua. Kalau kita
mencampuri urusan mereka, jelas tidak seimbang. Kita bisa mati konyol!",
"Aku tidak mau, ah! Mati konyol jarang mendapat sumbangan dari teman. Ayo, pergi
pelan-pelan...!"
Kedua anak buah Kombang Hitam berhasil menuruni bukit itu. Mereka berlari dari
pelan menjadi cepat.
Sampai tiba di sebuah tempat, tak jauh dari ladang jagung, mereka terhenti di
sana. Seseorang yang menghentikan langkah temannya.
"Lihat di sebelah timur itu...!" katanya dengan nada kagum. Temannya memandang
menurut arah telunjuk.
Dan ternyata mereka melihat sesosok tubuh berdiri di atas sebuah tonjolan batu
besar. Tubuh itu bagai berada di tempat terang, tanpa dedaunan penghalang,
sehingga bisa dilihat dengan jelas dari tempat kedua anak buah Kombang Hitam
itu. "Menurutmu dia perempuan atau lelaki?"
"Sepertinya seorang lelaki berambut panjang meriap. Berdirinya begitu tegar."
Orang yang berdiri di batu itu mengenakan jubah ungu. Kain jubahnya melambailambai bagaikan menari karena hembusan angin. Salah satu anak buah Kombang Hitam
berkata, "Dia pasti bukan orang sembarangan, terlihat dari dandanannya yang
ketat namun tegas.
Warna pakaiannya merah, berselubung jubah ungu. Ini menandakan keberaniannya
dalam menentang bahaya apa pun juga."
"Siapa dia" Apakah dia yang menyelamatkan bocah itu" Yang mematahkan senjata
kita memakai batu kerikil?"
"Melihat letaknya yang jauh sekali dari tempat kita tadi, rasa-rasanya tak
mungkin orang berjubah ungu itu mematahkan senjata kita. Terlalu jauh jaraknya
untuk sebuah pukulan jarak jauh. Seperti ada di seberang jurang lebar itu, kan?"
"Memang. Tapi dia berdiri menghadap ke tempat kita berada tadi. Jangan-jangan
dia sedang memperhatikan sang ketua kita?"
"Apa iya begitu, ya..."!" gumam yang satunya bingung sendiri.
"Sudah, sudah... kita jangan terlalu lama berhenti di sini. Ayo, lekas pergi
sebelum sang ketua mengetahui kita lari!"
Mereka kembali bergegas pergi. Namun baru tiga langkah, tiba-tiba mereka
dikejutkan dengan kemunculan seseorang dari dalam ladang jagung itu.
Orang tersebut berada di arah samping mereka, jaraknya antara enam tombak. Orang
itu memandang sebentar ke arah mereka, lalu meneruskan langkahnya mendaki tanah
perbukitan. Kedua anak buah Kombang Hitam tertegun bengong, kemudian saling
pandang. "Siapa orang itu?"
"Entah. Dia acuh tak acuh pada kita."
"Memang dia tidak mempedulikan kita. Tapi tidakkah kau sadari pakaiannya?"
"O, iya..."!" orang itu terkejut. "Dia memakai pakaian serba merah dan berjubah
ungu. Rambutnya panjang meriap. Dan ia seorang perempuan cantik.
Apakah dia orang yang ada di atas...."
Kata-kata itu tidak berlanjut. Mata kedua anak buah Kombang Hitam terbelalak
ketika melihat tempat batu menonjol berukuran besar itu telah kosong. Tadi,
belum lebih dari lima helaan napas, mereka melihat seseorang berdiri jauh
sekali. Dengan pakaian dan ciri-ciri sama dengan orang yang baru saja muncul
dari ladang jagung dan melewatinya dengan acuh tak acuh.
"Apakah orang yang baru saja lewat itu adalah orang yang ada di atas batu sana?"
"Aneh. Kalau benar orang itu adalah orang yang ada di seberang jurang tadi,
lantas kapan dia datang kemari" Jarak dari sini ke batu itu membutuhkan waktu
cukup lama. Kenapa dia tahu-tahu muncul di ladang jagung dan...," orang itu
menengok ke belakang.
Ternyata perempuan cantik yang berjubah ungu itu sudah tidak kelihatan lagi.
"Edan! Dia sudah tidak kelihatan. Ke mana perginya. Mestinya ia masih bisa kita
lihat sedang berjalan mendaki?"
"Ayo, ayo... sepertinya ada yang tidak beres di sini!
Lekas tinggalkan tempat ini sebelum kita jadi sasaran!"
Mereka berlari menerabas pepohonan jagung.
Mereka tampak tergesa-gesa dalam langkahnya yang merunduk. Namun, tiba-tiba
langkah mereka kembali terhenti. Orang yang berjalan paling depan terkejut dan
berhenti seketika, sehingga yang belakang menabraknya dalam satu sentakan yang
membuat mereka nyaris jatuh bersama. Mereka terhenti karena di depan mereka
berdiri sepasang kaki tegar beralaskan kulit tebal yang diikat sampai betis.
Kaki itu ternyata milik seorang kakek tua yang mengenakan pakaian serba hijau
dengan jubahnya berwarna kuning. Kakek itu terkekeh-kekeh.
Rambutnya yang putih sepanjang pundak diikat memakai kain hitam. Ia menggenggam
tongkat yang tingginya seukuran dada orang dewasa. Tongkat itu menancap di
samping kaki kanannya, tergenggam erat oleh tangan kanannya. Tangan itu beruraturat, bertonjolan, menampakkan kulitnya yang telah menipis dan berkeriput. Kumis
dan jenggotnya pun memutih tanpa hitam selembar pun. Jelas kakek itu sudah
berusia lewat dari sembilan puluh tahun.
"Mengapa kalian ketakutan?"
"Hmmm... anu... ehh...," kedua anak buah Kombang Hitam tidak ada yang bisa
menjawab, karena gugup dan bingungnya. Kakek itu semakin terkekeh-kekeh melihat
raut wajah yang salah tingkah.
"Kalian tak pantas jadi prajurit, karena mempunyai jiwa pengecut dan
pengkhianat. Pasti lari dari tugas!"
"Ka... kami... kami takut, Kek."
"Takut melihat golok kalian patah sendiri?"
"Hah..."!" Kedua anak buah Kombang Hitam saling menebarkan mata dan saling
pandang dalam keheranan yang kuat. Kemudian mereka menatap kakek putih tebal
itu. Sang kakek semakin terkekeh-kekeh.
Kemudian berkata, "Terserah. Itu urusan jiwa kalian, baiknya segeralah menepi,
dan biarkan aku lewat."
Kedua lelaki bertampang licik itu menyingkir dengan perasaan takut. Kakek
berjubah kuning melangkah melintasi mereka. Tiba-tiba tubuh mereka rubuh membuat
Pendekar Mabuk 01 Bocah Tanpa Pusar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
batang-batang pohon jagung rusak ditimpa tubuh mereka berdua.
"Kenapa kamu mendorongku"!" sentak yang belakang.
"Mendorong bagaimana"! Tubuhku sendiri ada yang mendorongnya dengan kuat
sekali!" "O, kalau begitu... angin dari kibasan jubah kakek itu telah mengeluarkan suatu
tenaga yang mampu mendorong tubuhmu."
"Masa sekeras itu" Seperti didorong seekor kerbau rasanya."
"Wah, wah, wah...," yang satu geleng-geleng kepala. "Pasti kakek itu punya
kekuatan tenaga dalam yang cukup sempurna. Bahkan menurutku sangat tinggi
sekali!" "Mungkin saja. Sebab hanya terkena angin kibasan jubahnya yang pelan saja aku
bisa tumbang tak mampu berdiri."
"Untung kita tidak meremehkan dia dan tidak bertindak kurang sopan padanya."
"Hei, kau ingat kalimatnya tadi" Kurasa dialah orangnya yang membuat senjata
kita patah."
"O, iya! Dia tadi menyebutkannya. Kalau begitu, pasti dialah yang telah
melemparkan batu kerikil dan mengenai kedua golok kita. Tapi... dari mana dia
melemparkannya" Saat ini malah kelihatannya dia sedang menuju ke arah tempat
kita tadi bersama sang ketua. Iya, kan?"
"Iya, ya...," gumam yang satunya. "Dari mana dia bisa tahu kalau kita habis
kehilangan senjata karena patah, jika memang bukan dia pelakunya?"
"Hmmm... sudahlah. Lupakan tentang itu. Ayo, kita teruskan pelarian kita. Peduli
amat penilaian kakek tadi terhadap jiwa kita. Mau dibilang pengecut atau
pengkhianat, biar sajalah...!"
Baru saja mereka mau melangkah, salah seorang menahan tangan temannya sambil
berkata dengan nada tegang.
"Tunggu, coba perhatikan, apa yang berasap itu?"
Mereka memandang ke tanah ladang.
"Astaga! Bekas telapak kaki kakek itu berasap!"
kata yang satunya dengan kagum sekali.
Benar," gumam yang lain. "Bekas telapak kaki itu sangat dalam dan mengeluarkan
asap. Bahkan, lihat...!
bekas tongkatnya pun tampak dalam dan berasap juga.
Ck, ck, ck...l" orang itu geleng-geleng kepala.
"Luar biasa sekali kekuatan tenaga dalamnya. Aku jadi kepingin menjadi
muridnya."
"Aku juga. Tapi, nah... lihatlah lagi, jagung di dekat telapak kaki itu
sepertinya juga berasap."
Temannya memandang dengan dahi semakin
berkerut. Kemudian ia memetik jagung muda itu dan membuka kulitnya. Mata mereka
semakin terbelalak.
"Ya, ampuun... jagung ini menjadi matang. Seperti jagung yang baru saja
dibakar!" "Luar biasa! Hangatnya terasa di kulit tangan. Coba kau makan jagung itu sebiji.
Apa benar-benar matang"!
Kemudian orang yang disuruh mencoba itu benar-benar memetik satu butir dari
rentetannya. Butir jagung itu dimakan. Ia mengunyah-ngunyahnya sebentar. Ia
menggumam dalam kunyahannya.
"Rasanya pahit-pahit getir dan... dan.... Aduh, kepalaku jadi menggeliyang
begini?" Ia limbung sedikit. Berusaha berpegangan pundak temannya. Temannya menjadi heran
bercampur tegang. "Hai, kenapa kau" Kenapa?"
Tiba-tiba orang yang mencicipi jagung matang itu terbungkuk dan memuntahkan
sesuatu, "Hoooeeek...!"
Mata temannya semakin bundar melebar. Ia
melihat seluruh makanan dimuntahkan dari mulut sang teman. Cukup banyak orang
itu muntah-muntah isi perutnya. Wajahnya menjadi pucat pasi dan melemas.
Tentu saja sebagai teman ia kebingungan dan segera memapah pergi, ia menyeret
kaki temannya yang lemas sambil sedikit berlari. Tapi tubuh temannya menjadi
dingin dan kian dingin.
"Jagung itu masih mempunyai kekuatan tenaga dalam. Untung kau baru memakannya
satu butir. Coba kalau kau makan semua, kau pasti tidak akan tertolong lagi.
Benar-benar gila ilmu yaang dimiliki kakek berjubah kuning itu. Bertahanlah.
Bertahan sebentar, nanti kumintakan obat pada Sugolo. Dia bisa menawarkan racun
dan sudah mulai menguasai
pengobatan penyakit dalam. Kau masih kuat untuk bertahan, kan" Masih kuat..."
Hei, kau masih kuat...?"
"Masih," jawabnya lemas. Tubuh itu semakin dingin.
Semakin pasrah diseret. Dan setelah diperiksa sebentar, ternyata tubuh itu sudah
bercucur keringat.
Agaknya orang itu mabuk berat sehingga saat diajak bicara tentang Sugolo tadi,
mungkin ia tidak mendengarkan.
"Makanya jadi orang jangan rakus, ada makanan sedikit langsung dicaplok saja,"
gerutu temannya. Ia kembali menatap ke belakang sebentar sambil istirahat.
"Siapa kau sebenarnya, Kakek" Begitu hebat kau punya ilmu, sampai aku jadi ingin
tahu, apa yang kau lakukan di sana" Mampukah kau menghadapi sang ketua, jika kau
inginkan bocah itu" Dan mungkinkah kau akan bertemu dengan perempuan cantik
berjubah ungu itu" Mungkin kau kalah sakti dengannya, Kakek tua.
Tapi mungkin kau mampu ditundukkan dengan melihat kecantikannya. Hmm... siapa
perempuan cantik berjubah ungu itu" Apakah... apakah sebaiknya aku kembali ke
sana untuk mengintai apa yang mereka lakukan terhadap bocah itu"!"
* * * 4 KOMBANG Hitam semakin jengkel setelah
memanggil anak buahnya tiga kali, tapi tidak ada jawaban. Cemas juga hatinya. Ia
menyangka anak buahnya telah mati oleh serangan tenaga dalam yang tersembunyi.
"Rupanya aku perlu unjuk diri biar orang itu tahu siapa aku!" gumam Kombang
Hitam. Tangan kirinya menggenggam kuat-kuat. Ia
memusatkan tenaganya di tangan kiri itu. Tangan yang menggenggam itu ditekuk
naik sampai di batas dada.
Lalu, dengan kaki sedikit merendah tangan itu dihentakkan membuka ke arah depan.
Huup...! Dueerr...! Sebuah ledakan terjadi. Tangan itu mengeluarkan cahaya biru kehijauan. Cahaya
tersebut meluncur cepat dan menghantam sebuah pohon besar. Pohon tersebut
meledak, akarnya terangkat naik. Tumbang dalam keadaan hangus. Napas Kombang
Hitam pun ditarik panjang. Ditahan dalam dadanya. Kemudian
dihembuskan pelan-pelan melalui mulutnya yang sedikit ternganga.
Waktu itu, bocah berkulit sawo matang itu
menutup kedua telinganya sambil merendahkan badan.
Ia sangat ketakutan mendengar suara ledakan begitu kerasnya, ia merasa ngeri
melihat pohon sebesar gajah tumbang bersama akar-akarnya. Kakinya gemetaran
bagai tak mampu dipakai berdiri lagi. Namun matanya masih mencuri pandang ke
arah Kombang Hitam, karena hatinya ingin tahu apa lagi yang dilakukan orang
berwajah sangar itu.
Dueer...! Dueer...!
Dua pohon besar berjarak jauh kembali tumbang oleh sentakan tenaga dalam Kombang
Hitam. Matanya tetap memandang liar pada keadaan sekeliling. Karena hal itu ia
lakukan dengan harapan orang yang bersembunyi segera menampakkan diri. Tetapi
yang ada hanya sepi tanpa bunyi. Bau hangus tercium. Itulah bau pohon yang
terbakar karena sinar biru kehijauan dari telapak tangan Kombang Hitam.
"Keluar kau, pengecut!" bentak Kombang Hitam.
Suto pelan-pelan berdiri. Mulai melangkah mendekati Kombang Hitam dengan penuh
perasaan takut. Memelas wajahnya.
"Hei, kenapa kau mendekat" Kenapa berdiri dari jongkokmu?"
"Bukankah kau menyuruhku keluar?"
"Bukan kamu, Bodoh! Orang yang bersembunyi entah di mana, itu yang kusuruh
keluar dari persembunyiannya!"
Suto tersenyum sinis bernada mengejek.
"Tetaplah di tempatmu! Kau akan kubunuh setelah penyerang gelap itu kubereskan!"
"Coba saja!" jawab Suto dengan makin menjengkelkan. Ia kembali ke tempatnya dan
berjongkok sambil siap-siap memegangi kedua telinganya, menutup dengan kedua
telapak tangannya.
"Anak bodoh!" geram Kombang Hitam lagi sambil mendengus kesal. "Belum-belum
sudah tutup telinga!"
Rupanya Kombang Hitam sengaja membiarkan
suasana hening beberapa jurus. Ia menunggu kemunculan penyerang tersembunyi. Ia
memandangi kudanya yang sekarat. Mati tidak, namun tak punya kemampuan untuk
berdiri lagi. Semakin jengkel hati Kombang Hitam jika melihat keadaan kudanya
yang menderita.
"Tak seberapa tinggi sebenarnya ilmu orang yang bersembunyi itu," pikirnya.
"Sayang aku tidak bisa mengetahui di mana dia bersembunyinya." Matanya pun
segera memeriksa ke atas, siapa tahu penyerang geIapnya itu ada di atas pohon.
Ternyata tidak ada apa-apa di sana. Penasaran sekali hati Kombang Hitam jadinya.
Setelah Iama dirasakan keadaan sepi dan aman, maka Kombang Hitam pun segera
mendekati Suto.
Pandangan matanya penuh selera untuk membunuh sisa keturunan Ronggo Wiseso itu.
Suto menjadi sedikit ngeri, memandang dengan penuh perasaan waswas.
Jongkoknya pun bergeser sedikit demi sedikit.
Wusss...! Angin berhembus begitu cepatnya. Kombang Hitam terkesiap sebentar. Pandangan
matanya terarah ke kanan bagai mengikuti kelebatan angin yang baru saja melintas
di depannya. Ketika pandangan matanya kembali ke arah Suto, mata itu pun
terbelalak lebar.
Napasnya bagai tersentak berhenti.
Bocah telanjang dada itu sudah tidak ada. Lenyap.
Karuan saja Kombang Hitam menggeram penuh
kemarahan. Matanya menjadi liar memandang
sekeliling. "Babi buntung! Siapa yang berani mengganggu sasaranku itu!" geramnya dengan
langkah mundur berkeliling, matanya mencari-cari seseorang yang diduganya telah
melenyapkan Suto. Sikapnya telah menandakan siap bertarung dengan makhluk jenis
apa pun. Tangan keduanya selalu mengencang walau tidak mengepak kuat. Uraturatnya menegang. Setiap langkah kakinya membentuk kuda-kuda yang tak mudah
dirobohkan sewaktu-waktu.
"Hi, hi, hi...!"
Terdengar suara tawa mengikik bagai suara peri.
Suara itu datangnya dari salah satu dahan pohon. Maka segeralah kepala Kombang
Hitam mendongak ke atas.
"Jabang bayi...!" gumamnya penuh geram. Ia menatap tak berkedip. Ia tak
menyangka di atas sana ada seorang perempuan berambut panjang terurai.
Wajah nya cantik dengan potongan tubuh yang membuat mata lelaki sukar berkedip.
Perempuan itu mengenakan pakaian serba merah dengan jubah ungu muda. Ia
menggendong Suto yang rupanya dalam keadaan pingsan karena pengaruh totokan
jalan darahnya.
Kombang Hitam segera berseru, "Ooo... rupanya kau yang menggangguku sejak tadi.
Turunlah! Kita selesaikan apa kemauanmu!"
"Dengan senang hati, Kombang Hitam. Hi hi hi...!"
Kombang Hitam mundur dua langkah ketika
perempuan berjubah ungu itu melompat turun dari atas pohon. Gerakannya memutar
bagaikan baling-baling lurus ke bawah. Jubah dan rambutnya pun
mengembang, berputar mengikuti gerakan tubuh.
Beberapa daun pohon menjadi runtuh. Rupanya kibasan rambut dan jubahnya
mempunyai kekuatan tersendiri yang mampu meruntuhkan dedaunan, baik daun yang
tua maupun yang baru tumbuh. Akibatnya, tubuh Kombang Hitam banyak ditimbuni
dedaunan berukuran kecil-kecil. Kombang Hitam merasa kagum, namun juga merasa
jengkel karena sibuk menghindari dedaunan, menepis-nepis daun yang mengotori
rambut dan bagian tubuh lainnya.
Jlig...! Kaki perempuan itu menapak di tanah dengan
mantap. Tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sambil menaburkan tawa cekikikan.
Namun ia dibuat
terperanjat melihat Suto telah sadar dan melompat turun dari gendongannya. Buruburu perempuan itu meraih lengan Suto dan menahan agar anak itu tidak lari
pergi. "Tetaplah di belakangku, Nak! Kulindungi kau dari si rakus, Begal Utara itu!"
Suto menurut. Ia merasa dapat pelindung walau ia masih belum jelas apa yang baru
saja dialami. Merasa seperti dirinya sedang terbang sekejap. Sementara itu,
dalam hati perempuan berjubah ungu berkata, "Ada yang telah melepaskan totokanku
pada Suto. Hmm...
siapa orangnya" Apakah Kombang Hitam itu yang melepaskan totokanku dari jarak
jauh" Kurasa tak mungkin. Hmmm... baik. Kutunggu saja orangnya. Pasti nanti akan
muncul!" Mata Kombang Hitam tidak bisa berkedip melihat kecantikan terpapar di depannya.
Kemarahannya tertunda sejenak. Hatinya berdebar-debar indah.
Senyumnya pun menampakkan senyum otak mesum.
Tetapi, Kombang Hitam tetap waspada. Ia tahu perempuan itu berilmu tinggi, tak
Balada Di Karang Sewu 3 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Rahasia 180 Patung Mas 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama