Ceritasilat Novel Online

Penyair Cengeng 1

Dewa Arak 86 Penyair Cengeng Bagian 1


Episode 1 : Golok Kilat
Episode II: Penyair Cengeng
PENYAIR CENGENG
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode : Penyair Cengeng
128 hal. ; 12 x 18
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Wajah Lingga terlihat menampakkan ketegangan.
Meski belum lama menerjunkan diri di dunia persilatan, tapi pemuda ini telah
banyak mendengar tentang tokoh yang
berjuluk Penyair Cengeng. Tapi sepengetahuannya, tokoh itu telah
belasan tahun lenyap dari dunia persilatan. Mungkinkah sekarang tokoh itu telah keluar dari tempatnya mengasingkan
diri" Apa yang menjadi penyebabnya"
Sementara lantunan syair dari Penyair Cengeng terus
berkumandang (Untuk lebih jelasnya mengenai kejadian ini, silakan baca serial
Dewa Arak dalam episode: "Golok Kilat").
Sampai tiba-tiba terdengar hantaman keras...
Brakkk! Beberapa langkah dari ambang pintu tampak brrdiri
dengan tenang seorang kakek. Rambut yang tumbuh di
kepala dan di sekitar wajahnya telah memutih semua.
Pakaian abu-abu membungkus tubuhnya yang ringkih.
Kakek yang bukan lain Ki Jaran Sangkar alias Penyair
Cengeng ini tidak berubah wajahnya. Dia kelihatan begitu tenang kendati di
depannya terpampang pemandangan yang cukup mendebarkan. Wiryadi, Linasih, dan
Gurit menatap ke arahnya penuh harapan. Ketiga orang ini sedikit mempunyai
harapan kalau Penyair Cengeng akan dapat menolong
mereka.Lingga menggertakkan gigi penuh perasaan geram.
Sepasang matanya seakan bernyala ketika menatap Penyair Cengeng. Pemuda ini
marah bukan main karena merasa
terganggu. "'Tua bangka gila...!" maki Lingga. "Rupanya, kau sudah tidak sabar untuk
menemui kematian sehingga begitu berani mencampuri urusanku! Menyingkirlah dari
sini, cepat! Jangan tunggu kesabaranku habis...!"
Lingga memang cerdik bukan main. Dia tahu Penyair
Cengeng memiliki kemampuan tinggi. Seorang lawan yang
amat tangguh! Walaupun
dia tidak takut, tapi demi
keberhasilan usahanya, lebih baik tidak terjadi keributan antara mereka.
Perasaan marah yang mencekam hati segera ditekannya.
Penyair Cengeng tetap tenang. Dia tidak menjadi
marah melihat makian dan sikap Lingga yang demikian
kurang ajar. Ilmu yang tinggi membuat manusia lupa
Menyebar maut dan bencana di mana-mana
Sadarlah, Tuhan tidak buta
Kelak akan diturunkan hukumannya
Rangkaian syair itu didendangkan Penyair Cengeng.
Memang tak aneh kalau tokoh itu mendapat gelar demikian.
Nada syairnya sangat sendu. Sarat dengan kedukaan dan
keprihatinan. Malah, lebih cenderung meratap-ratap.
Perlahan saja Penyair Cengeng menyanyikannya. Tapi,
pengaruh yang ditimbulkannya tidak sesederhana yang
terdengar. Semua orang yang berada di sini larut dengan kesedihan yang mendalam.
Wiryadi hampir menangis ketika teringat akan kematian istri dan anaknya yang demikian menyedihkan. Gurit dan Linasih pun
dilanda perasaan yang sama. Mereka
teringat kedua orang tua mereka dan seluruh anggota
keluarga yang tidak tersisa lagi akibat ulah perampokperampok. Perasaan yang sama dialami pula oleh Lingga.
Pemuda berpakaian merah ini merasakan gelombang
rasa sedih dan iba pada dirinya sendiri menyerangnya
dengan hebat. Nada syair Penyair Cengeng membuarnya
terkenang kembali akan nasib dirinya. Dia orang yang tidak mempunyai siapa-siapa
di dunia ini. Bahkan, orang tuanya sendiri pun tidak dikenalnya.
Suasana terasa hening yang mengharukan. Masingmasing dari mereka merenung dengan mata berkaca-kaca.
Malah Wiryadi kemudian menangis terisak kendati lelaki ini telah mencoba untuk
menahannya. Isakan Wiryadi membuat Lingga tersadar. Pemuda yang memiliki
kepandaian tinggi ini segera
tahu pengaruh syair Penyair Cengeng telah mencengkeramnya. Kesadaran yang timbul membuat Lingga
menggertakkan gigi, mengerahkan seluruh kekuatan batin untuk mengenyahkan
perasaan ganjil itu.
"Tua bangka gila...!" seru Lingga keras. Tapi, masih terasa ada getaran pada
suaranya. "Rupanya kali memang berniat mencari keributan denganku!"
Keributan ada di mana-mana
Ribuan kali aku terlibat
Sekarang aku telah bertobat
Tak mau aku ada di dalamnya
Lingga tidak bisa menahan diri lagi. Kemarahan yang
amat sangat membakar hatinya. Sambil mengeluarkan
pekikan keras, kedua tangannya cepat dihentakkan ke
depan! Hembusan angin yang luar biasa dingin menyerbu ke
arah Penyair Cengeng. Karena dinginnya, angin itu sampai mampu
membuat Wiryadi dan yang lainnya menggemelutukkan
gigi. Padahal, bukan
mereka yang dijadikan sasaran serangan!
Penyair Cengeng mendendangkan nada tanpa syair
melalui lubang hidungnya, mirip orang bergumam. Lingga hampir
tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pukulannya lenyap begitu saja. Hawa di dalam rumah itu yang semula dingin bagai
di atas puncak gunung salju, kini menjadi hangat. Seakan-akan tempat itu disorot
sinar matahari menjelang siang!
Penyair Cengeng mengangkat tangannya di depan
wajah, agak lebih tinggi sedikit dari kepala. Bagai diambil oleh tangan, Golok
Kilat yang ada di punggung Lingga
melayang ke arah tangan kakek itu. Tidak hanya goloknya saja tapi berikut
warangkanya Lingga tentu saja tidak ingin benda pusaka itu jatuh
ke tangan orang lain. Kedua tangannya buru-buru dijulurkan. Dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk menarik kembali
Golok Kilat Lagi-lagi Lingga harus menelan kenyataan yang
mengejutkan! Golok Kilat tetap meluncur ke tangan Penyair Cengeng. Lajunya tidak
tertahan sedikit pun. Tenaga tarikan Lingga seperti lenyap di tengah jalan tanpa
mempedulikan Lingga yang masih
terlibat dalam keheranan, Penyair
Cengeng menghunus Golok Kilat dari sarungnya. Diperhatikannya beberapa saat, lalu diciumnya.
Golok Kilat Sekian lamanya kau istirahat
Orang laknat berhati bangsat
Akan membuatmu kembali bejat
Golok Kilat Kau hanya m enunggu saat
Seorang pendekar muda berhati bersih
Akan membuatmu menjadi suci
Wiryadi, Gurit, dan Linasih menangis keras. Wiryadi
malah melolong-lolong
sambil menyebut-nyebut
nama istrinya yang telah meninggal. Pengaruh nada Penyair
Cengeng yang belum sirna dan semakin menjadi-jadi yang menyebabkannya demikian.
Lingga pun mendapatkan pengaruh syair Penyair
Cengeng. Tapi, karena sejak sadarnya pemuda ini telah
mengerahkan kekuatan batin dan berusaha menulikan
telinga, pengaruh yang melandanya tidak seberapa besar.
Dan pengaruh itu mampu dihilangkan dengan gertak gigi
kemarahan. Lingga sudah bersiap untuk melancarkan serangan
lagi. Namun, terpaksa dihentikan ketika mendengar ucapan dan tindakan Penyair
Cengeng. "Akan kukembalikan golok ini, Anak Muda. Aku tidak mau mengambilnya. Seperti
yang kukatakan, akan tiba
masanya golok ini tidak dijadikan penyebar bencana untuk selama-lamanya."
Golok Kilat melayang ke arah Lingga tanpa Penyair
Cengeng melemparkannya. Senjata mengerikan itu seperti mempunyai nyawa dan
terbang sendiri. Lingga segera
menangkapnya sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam.
Tapi, tetap saja begitu golok berada di tangan, tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang. Golok itu sendiri hampir terlepas dari pegangan.
Lingga sadar kalau Penyair Cengeng terlalu sakti
untuk dilawan. Tanpa malu-malu tubuhnya segera dibalikkan. Kemudian, dia melesat kabur meninggalkan
rumah itu melalui pintu belakang
Penyair Cengeng menatap kepergian Lingga tanpa
berusaha hendak mengejar. Setelah memandang Gurit,
Wiryadi, dan Linasih, dia pun meninggalkan rumah itu
sambil bersenandung. Tinggallah Gurit dan yang lainnya merasa bersyukur atas
pertolongannya. Mereka sampai tak sempat mengucapkan terima kasih karena begitu
terkesima menyaksikan Lingga yang lari ketakutan.
*** Arya mendengus-denguskan hidung. Bau sedap yang
tercium hidungnya membuat rasa lapar yang sejak tadi
melilit perut terasa semakin menjadi-jadi.
Memang, bunyi nyaring terdengar dari dalam perut
Arya. Bunyi yang membuat pemuda ini menoleh ke kanan
dan ke kiri karena khawatir ada orang yang mendekatinya.
Hati pemuda ini menjadi lega ketika melihat tak ada
orang di dekatnya. Perhatiannya lalu kembali dipusatkan pada bau sedap yang
mampir ke hidungnya. Kemudian, kaki Arya terayun menuju asal bau itu.
Semakin lama bau wangi daging panggang itu
semakin keras. Dan setelah Arya bergerak dari tempatnya semula sampai belasan
tombak dalam jarak lima tombak di depannya, duduk bersandar pada sisa sebatang
pohon yang telah ditebang seorang kakek berpakaian kuning kentang.
Arya yang memiliki mata tajam segera bisa memperkirakan kalau kakek yang memiliki wajah persegi dan penuh ditumbuhi
cambang bauk, kumis, serta jenggot lebat ini memiliki kepandaian tinggi.
Tubuhnya yang kekar
mengingatkan Arya akan seekor singa jantan. Suatu hal yang tidak berlebihan
karena wajahnya pun mirip wajah singa.
Dan, pakaian yang dikenakan kakek itu adalah kulit seekor singa! Kakek bermuka
singa sepertinya tidak tahu akan
kehadiran Arya. Dia tetap saja tenggelam

Dewa Arak 86 Penyair Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam kesibukannya memutar-mutarkan daging yang berada di atas tumpukan arang menyala.
Tangan kirinya mencekal sehelai daun nangka. Dengan daun itu arang dikipasinya
agar terus menyala. Dari daging yang tengah dipanggang si kakek itulah bau sedap
berasal. "Tidak pantas memperhatikan seperti itu, Anak Muda.
Kemarilah. Aku tahu kau lapar. Mari kita santap bersama.
Lagi pula, aku tidak akan bisa menghabiskannya sendiri."
Perkataan itu terdengar oleh Arya. Namun, pemuda ini
tidak menjadi kaget karenanya. Meskipun ucapan itu keluar dari
mulut si kakek yang tetap tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun.
Dari mana si kakek tahu keberadaannya, dan dengan
tepat menduga kalau dia adalah seorang pemuda" Padahal sejak tadi kakek itu
belum melihat Arya. Dan, dari mana kakek itu tahu kalau Arya sedang lapar"
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak begitu menggayuti hati Arya. Pemuda ini telah
maklum kalau si kakek seorang yang memiliki
kepandaian tinggi.
"Maaf, kalau tindakanku tidak berkenan di hatimu, Kek," ucap Arya sopan. "Tak
lupa kuucapkan terima kasih atas tawaran yang kau berikan. Memang aku tengah
lapar. Dan, bau daging panggangmu yang nikmat yang membawaku
kemari." Si kakek tidak memberikan sambutan. Dengan tenang
didekatkan daging panggangnya ke wajah. Diciumnya dalam-dalam bau wangi yang
menyebar. Nikmat sekali kelihatannya.
Arya sampai menelan ludah melihatnya.
Tanpa bergerak dari duduknya, si kakek memindahkan ranting di mana daging panggang tertusuk ke tangan kiri. Tangan
kanannya lalu diulurkan pada Arya.
"Siapa namamu, Anak Muda Berambut Aneh" Aku
cukup kau kenal sebagai Singa Air. Namaku sendiri aku tidak ingat lagi. Sudah
belasan bahkan mungkin puluhan tahun tak ada orang yang memanggil namaku.
Julukan aku tidak punya. Jadi, hanya itu yang bisa kuperkenalkan agar kau bisa
menyapaku," si kakek memperkenalkan diri.
"Namaku Arya, Kek. Arya Buana," jawab Arya sambil mendekat dan menyambut uluran
tangan Singa Air
Senyum lebar tersungging di bibir pemuda berambut
putih keperakan itu. Tapi, senyum Arya langsung memupus ketika merasakan ada
gelombang aliran tenaga dalam
menyerbunya. Arya menjadi heran. Ditatapnya wajah Singa Air. Usaha Arya sia-sia.
Dia tidak mampu membaca perasaan hati kakek itu. Apakah si kakek bermaksud
menguji atau memang sungguh-sungguh berniat menyerangnya, Arya tidak tahu.
Arya tidak mempunyai pilihan lain. Dikerahkannya
tenaga dalam untuk melawan gelombang serangan tenaga
dalam Singa Air. Pertarungan adu tenaga dalam kini
berlangsung. Pertarungan itu tidak teriihat meskipun jika kebetulan ada yang menyaksikan.
Yang tampak hanya jabatan tangan yang lebih lama dari biasanya.
Kedua belah pihak ternyata sama-sama kuat. Namun
ketika berlangsung agak lama, dari kepala Dewa Arak mulai mengepul
uap tipis. Sedangkan si kakek hanya mengeluarkan peluh banyak di wajahnya yang merah!
Pertarungan tenaga dalam itu rupanya demikian
dahsyat sehingga tanah tidak mampu menahan. Perlahan
tapi meyakinkan kedua kaki Dewa Arak dan Singa Air amhlas ke tanah. Mula-mula
hanya setelapak kaki lalu terus lebih ke dalam hingga betis!
Baik Dewa Arak maupun Singa Air rupanya tidak
menginginkan tubuh mereka tenggelam lebih dalam lagi.
Keduanya tahu apabila diteruskan bukan tidak mungkin
tubuh mereka akan tenggelam seluruhnya. Sesaat kemudian bagai telah disepakati
sebelumnya, Dewa Arak dan Singa Air menarik tangannya masing-masing.
"Kau hebat, Arya. Kau seorang pemuda yang luar
biasa," puji Singa Air sejujurnya. Sinar kekaguman tampak pada sorot sepasang
matanya yang mencorong kehijauan.
"Kau memiliki tenaga dalam yang amat kuat!"
Arya mendengar nada persahabatan dalam ucapan
Singa Air. Kecurigaannya terhadap Singa Air pun berkurang.
Timbul dugaan kalau kakek ini hanya bermaksud mengujinya. Arya lalu menyunggingkan senyum.
Tapi, baru juga mulut Dewa Arak terkembang
setengah jalan, Singa Air telah melancarkan serangan berupa bacokan sisi tangan
ke arah leher. Bunyi berciutan tajam yang mengiringi meluncurnya serangan
menunjukkan pada
Arya kalau bacokan itu sanggup membuat benda yang paling keras sekalipun menjadi
punggal! Arya pun marah! Singa Air benar-benar keterlaluan.
Andaikata benar kakek itu bermain-main, juga tetap
kelewatan! Permainannya terlalu berbahaya karena berakibat membawa kematian.
Kalau bukan dia sejak tadi diperlakukan seperti itu, tentu telah menggeletak
tanpa nyawa melekat di badan.
Kemarahan yang timbul membuat Dewa Arak segera
mengambil keputusan yang dipandangnya tepat. Sambil
merendahkan tubuh sehingga membuat serangan Singa Air
lewat di atas kepala, pemuda ini mengirimkan gedoran
tangan kanan ke arah dada.
Blarrr! Tubuh Dewa Arak dan Singa Air terhuyung-huyung ke
belakang. Arya selangkah lebih jauh ketika Singa Air
memapaki serangannya dengan cara serupa! Begitu berhasil mematahkan kekuatan
yang membuat tubuhnya terhuyung,
Arya langsung melesat untuk mengirimkan serangan berikutnya. Pemuda ini tidak mau lagi dijadikan sasaran serangan. Namun,
serangannya terhenti di tengah jalan.
Singa Air bukannya bersiap untuk mengelak atau memapaki.
Kakek ini malah menjulurkan kedua tangannya ke depan.
"Cukup, Arya...!" seru kakek bermuka singa itu.
"Permainan ini sudah cukup!"
Arya menatap tajam wajah Singa Air. Perasaan tidak
senang memancar jelas dari sepasang matanya.
"Mungkin benar kau bermain-main, Kek. Tapi ini
permainan yang amat berbahaya. Taruhannya adalah nyawa!
Dua permainan yang kau suguhkan terlalu dahsyat. Kalau aku tidak memiliki
kepandaian yang cukup, mungkin saat ini nyawaku sudah pergi meninggalkan badan.
Tidak bisa kubayangkan berapa banyaknya orang yang tewas di
tanganmu akibat permainan yang keterlaluan ini!"
Singa Air tidak marah atau tersinggung mendengar
ucapan Arya yang dikeluarkan dengan agak keras dan
bernada tidak senang. Kakek ini malah tersenyum
"Dugaanmu keliru, Anak Muda," sahut Singa Air tenang. "Aku tidak seperti
dugaanmu. Aku tidak pernah bermain-main seperti ini terhadap sembarang, orang!
Apalagi dengan serangan-serangan berbahaya seperti tadi. Hanya padamulah hal ini
kulakukan! Itu pun karena aku yakin kau mampu menangkalnya."
Arya mengernyitkan alis. Penjelasan si kakek membuat kemarahannya mereda. Singa Air tampaknya tidak berbohong.
Terdengar jelas nada kesungguhan dalam ucapannya. "Aku tidak mengerti maksudmu, Kek!"
"Permainan yang kau katakan itu, Anak Muda dan
kau anggap amat berbahaya ini tidak sembarangan kulakukan. Aku telah memperhitungkan sebelumnya. Aku
yakin kau akan mampu menghadapinya. Kau memiliki
kepandaian tinggi," jelas Singa Air.
"Maksudmu...,
kau telah bisa menduga siapa sebenarnya aku?" tanya Arya. Ia tidak begitu kaget karena tahu dirinya cukup
terkenal di kalangan tokoh tokoh rimba persilatan.
Singa Air mengangguk.
"Muridku telah menceritakan cukup banyak hal
mengenai dirimu sekembalinya dari merantau. Dia banyak memujimu, Arya. Katanya,
kau memiliki tingkat kepandaian tidak berada di bawahnya..."
"Sekarang aku mengerti,"
Arya mengangguk- anggukkan kepala. "Kau mengujiku sesuai dengan kemampuan muridmu itu. Benarkah dugaanku ini kek?"
Singa Air hanya tersenyum. Tidak mengiyakan atau
mengangguk. Tapi, jawaban ini telah cukup bagi Arya.
Kemarahannya pun seketika pupus bak awan tersapu angin.
"Boleh kutahu siapa muridmu yang terlalu melebihlebihkan cerita mengenai diriku, Kek?"
"Dia seorang pemuda gagah sepertimu, Arya. Menurut ceritanya, dia berhasil
menunaikan tugas dariku karena pertolonganmu." Singa Air masih mencoba
berahasia. Arya tercenung mengingat-ingat apa yang pernah
dilakukannya. Tapi sulit sekali. Terlalu banyak orang yang telah ditolongnya.
"Aku tidak mampu mengingatnya, Kek. Maaf, bukannya aku tidak mempedulikan masalah ini. Tapi karena terlalu banyaknya aku
terlibat dalam masalah seperti itu.
Sekali lagi, maaf. Bukannya aku bermaksdu menyombongkan diri dengan menceritakan
hal ini." "Aku bisa mengerti, Arya," sahut Singa Air, bijaksana.
"Aku tahu kau bukanlah orang yang sombong. Kalau tidak, pasti kau telah
memberitahukan julukanmu. Orang dengan kepandaian sepertimu, dan sikap tenang
yang mencerminkan kematangan telah menunjukkan seringnya kau terlibat dalam
masalah. Kau pasti punya julukan. Pemberitahuan sedikit dariku pasti akan
membuatmu teringat. Kau dan muridku itu terlibat dalam masalah Kerajaan Kujang."
Wajah Arya berubah. Pemuda ini segera teringat
pengalaman beberapa waktu yang lalu itu berkesan di
hatinya. 2 "Mungkin aku tahu sekarang siapa muridmu itu, kek,"
ujar Arya. Terbayang kembali di benaknya seorang pemuda berpakaian kuning,
bercambang lebat, dan bertangan kuat.
Singa Air tersenyum.
"Silakan katakan, Arya. Aku ingin mendengarnya.
Benar atau tidak jawaban yang akan kau berikan."
"Muridmu itu adalah Pendekar Tangan Baja!"
'Pendekar Tangan Baja?" ulang Singa Air setengah
tertawa. "Jadi..., itukah julukannya" Dia tidak pernah menceritakan hal itu
padaku. Atau..., jangan-jangan kau salah mengenali orang."
"Kurasa tidak, Kek. Bukankah Gumintang nama
muridmu itu?" tanya Arya untuk memastikan kebenarannya.
Ketika dilihatnya si kakek mengangguk, ucapannya segera dilanjutkan. "Dialah
Pendekar Tangan Baja"
Singa Air menggeleng-gelengkan kepala kagum. Bisa
diperkirakannya, mengapa muridnya yang mendapat julukan seperti itu (Untuk
jelasnya mengenai Gumintang alais
Pendekar Tangan Baja, silakan baca episode yang berjudul:
"Pendekar Tangan Baja").
"Mengapa kau bisa berada di sini, Kek" Apakah
Pendekar Tangan Baja mendapat masalah?"
"Tidak!" Singa Air kembali menggelengkan kepala. "Dia tengah berlatih sebuah
ilmu yang membuatnya harus
bersungguh-sungguh mempelajarinya. Masih membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya. Sialnya, pada saat itu pula aku
menemukan masalah besar! Aku
yakin ini ada hubungannya dengan kejadian pada puluhan tahun lalu. Di saat aku
tengah bertarung dengan seorang tokoh berkepala botak yang amat sakti."
"Masalah" Masalah apa, Kek?" tanya Arya, ingin tahu.
Tapi ketika disadarinya kalau mungkin


Dewa Arak 86 Penyair Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia bertindak lancang, buru-buru ucapannya dibetulkan. "Maaf, kalau aku terlalu ingin tahu,
Kek." "Tidak mengapa, Arya. Justru aku menaruh harapan
padamu. Urusan ini kurasa memang sebaiknya kuberikan
padamu. Aku sudah lama tidak terlibat dengan kekerasan.
Dan, memang aku tidak ingin terlibat. Tapi, mengetahui akan adanya ancaman besar
terhadap dunia persilatan, aku tidak bisa berpangku tangan. Daripada aku gelisah
di tempatku lebih baik aku turun. Masalah aku akhirnya mencampuri
urusan itu atau tidak, bukan hal yang penting. Di hatiku timbul harapan agar
bisa bertemu denganmu untuk memberi tahukan
masalah ini. Jiwa kependekaran tidak bisa kusangsikan lagi. Gumintang banyak memuji-mujimu dalam hal ini?"Bisa kutahu
masalah itu, Kek?" tanya Arya buru-buru. Dia merasa risih mendapat pujian terusmenerus. Singa Air mengeluarkan lembaran-lembaran dari balik
bajunya dan menyerahkannya pada Arya. Dengan sigap
pemuda itu menerimanya ketika si kakek berkata dengan
nada keluh. "Inilah masalah itu, Arya Kau bacalah."
Arya segera membacanya halaman demi halaman.
Beberapa kali alisnya berkerut membaca tulisan itu. Setelah selesai,
diberikannya lagi lembaran-Iembaran daun lontar bertulis itu pada Singa Air.
Tapi, si kakek menolaknya.
"Kurasa, lebih baik daun-daun lontar itu ada padamu, Arya. Aku tahu kau adalah
orang yang paling tepat untuk mengurus masalah ini. Aku pergi dulu, Arya. Aku
akan kembali ke tempatku yang tenang dan
nyaman. Ini bagianmu...!"
Singa Air melemparkan separuh daging panggangnya
pada Arya sebelum melesat meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Singa Air, Arya tercenung. Dia teringat akan tulisan yang tertera di
daun lontar. Tulisan itu berisikan keterangan mengenai Golok Kilat. Sebagian
besar dari keterangan itu cocok dengan cerita Setan Kepala Besi dan uraian Penyair Cengeng.
Malah, tulisan di daun lontar ini lebih lengkap.
Sebenarnya, kalau saja Singa Air mau tinggal lebih
Lima, Arya ingin bertanya satu hal. Apakah Singa Air yang dulu menyerang Setan
Kepala Besi" Tapi, bukankah Singa Air tidak berwatak aneh" Kalau melihat dari
uraian masing-masing pihak, baik Singa Air maupun Setan Kepala Besi, tidak salah
lagi Singa Air-lah tokoh aneh yang dulu
bertempur dengan Setan Kepala Besi.
Sekarang Arya lebih memusatkan perhatian pada
tulisan di lembaran-lembaran
daun lontar. Arya bisa
memperkirakan mengapa Lintang tahu mengenai Golok Kilat.
Dari mana lagi kalau bukan dari lembaran-lembaran ini!
Lembaran daun lontar ini ada beberapa halaman yang hilang.
Entah bagaimana itu bisa terjadi. Mungkin karena arus air laut sehingga ikatan
lembarannya itu terpisah-pisah. Tidak ada jawaban pasti yang didapatkan Arya.
Bunyi halilintar bersahut-sahutan yang terdengar
tiba-tiba membuat Arya merasa heran bukan main. Hari
cerah begini mengapa ada bunyi guntur" Dengan cekaman
rasa heran yang melanda pemuda ini mengedarkan pandangan ke langit.
Tercekat hati Arya ketika melihat pemandangan di
angkasa. Kilat yang bermain di angkasa disertai bunyi
menggelegar yang tak henti-henti itu ternyata bercabang tiga!
Yang luar biasa, pada saat yang bersamaan tiga kilatan menyilaukan mata dari
halilintar muncul dari tiga arah, dan masing-masing menuju ke satu tempat!
Petir bercabang tiga, petir tiga arah menuju ke satu
tempat, serta bunyi guruh yang tak henti-henti tertulis dalam lembaran daun
lontar! Itu berarti Golok Kilat telah kembali memiliki keistimewaannya!
Jantung Arya berdetak lebih cepat melihat semua
kejadian ini. Kecepatan detak jantungnya tetap tidak berubah kendati setelah
petir dari tiga arah itu lenyap dan keadaan alam kembali tenang. Terbayang
kembali di benak Dewa Arak barisan kalimat di dalam lembaran daun lontar.
Kalimat yang membuat Aiya gelisah bukan main.
Apabila karena satu dan lain hal Golok Kilat kembali muncul dan memiliki
keistimewaan, ini merupakan ancaman besar bagi tokoh-tokoh persilatan. Karena
sekali pun senjata itu ada di tangan tokoh yang berpandaian rendah, tokoh yang
memiliki kepandaian bagaimanapun tingginya akan tewas.
Cahaya yang keluar dari Golok Kilat akan memburu ke mana pun tokoh yang dimaksud
melarikan diri.
Arya tanpa sadar bergidik ngeri. Apabila di tangan
tokoh berkepandaian rendah saja demikian hebatnyabagaimana pula jika Golok Kilat berada di tangan seorang tokoh sakti
seperti Lingga" Sudah pasti bahaya yang ditimbulkannya akan berlipat ganda!
"Arya..."
Sapaan lembut yang menyejukkan hati Dewa Arak
dan menebarkan kedamaian, terdengar. Berbarengan dengan itu di hadapan Arya
telah berdiri seorang kakek berpakaian putih bersih berusia tak kurang dari
tujuh puluh lima tahun.
Seluruh tubuhnya seperti memancarkan cahaya. Terutama
wajahnya yang ditumbuhi kumis, alis, dan jenggot putih. Di tangannya tergenggam
seuntai tasbih.
"Guru...," panggil pemuda berambut putih keperakan pada kakek yang tahu-tahu
berdiri di depannya itu dalam jarak satu tombak.
Kakek yang bukan lain Ki Gering Langit, guru Arya
terlihat tersenyum. Ia mengelus-elus kepala Arya yang berdiri dengan
mempergunakan lututnya.
"Apa yang membuat Guru keluar dari tempat
pertapaan?" tanya Arya sambil bangkit berdiri. Arya dan kakek berpakaian putih
itu memang telah cukup lama tidak berjumpa.
"Kurasa kau telah mengetahuinya, Arya," jawab Ki Gering Langit, lembut "Bukankah
kau telah membaca lembaran-Iembaran daun lontar?"
"Benar, Guru," jawab Arya, tanpa merasa heran dari mana gurunya tahu. Kakek
berpakaian putih bersih ini
memiliki ilmu gaib yang sukar diukur tingginya. Sehingga sepertinya,
ada kejadian apa pun kakek itu pasti mengetahuinya. "Ketahuilah, Arya. Golok Kilat memiliki keistimewaan lebih dari yang dikatakan
Setan Kepala Besi atau Penyair Cengeng. Golok itu tak ubahnya makhluk hidup!"
"Aku tidak mengerti maksudmu, Guru?" tanya Arya.
Penjelasan gurunya rupanya masih terasa membingungkan
Ki Gering Langit tersenyum. la kelihatan sabar sekali.
Kakek yang memiliki kepandaian sukar untuk dijajaki ini pun seperti tidak
memiliki amarah sama sekali.
"Golok Kilat tak ubahnya manusia seperti kita, Arya.
Bisa kukatakan seperti itu karena Golok Kilat dapat
diperintahkan untuk membunuh seseorang yang kita ingini meski jaraknya teramat
jauh. Bila itu terjadi, kau bisa bayangkan sendiri akibatnya, Arya," beritahu Ki
Gering Langit Arya
menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Keterangan yang
diberikan Ki Gering Langit benar-benar tidak disangka.
Sekarang dia mengerti mengapa dalam lembaran daun lontar tertulis kalimat yang
mengatakan kalau tokoh berkepandaian rendah sekalipun
akan dapat membunuh tokoh
yang memiliki kepandaian amat tinggi.
"Lalu bagaimana cara untuk menghentikannya,
Guru?" tanya Arya dengan suara kering "Apakah Guru mengetahuinya?"
Ki Gering Langit mengangguk.
"Tapi, aku telah bersumpah untuk tidak terlibat
langsung dalam urusan dunia persilatan. Jadi, aku tidak bisa memberitahukannya.
Kau tidak perlu berkecil hati dulu, Arya. Untuk membuat Golok Kilat hidup
sehingga dapat disuruh untuk melakukan tindakan apa pun membutuhkan
cara yang tidak mudah. Kau boleh tenangkan hati karena orang yang telah berhasil
membuat Golok Kilat timbul
kembali keistimewaannya belum mengetahui hal ini."
Arya menghembuskan napas lagi. Kalau begitu tidak
terlalu berbahaya, pikir pemuda berambut putih keperakan ini.
Ki Gering Langit tersenyum. Kakek ini dapat membaca
pikiran yang terkandung di kepala Arya.
"Kau jangan merasa tenang dulu, Arya. Golok Kilat sendiri sudah amat berbahaya.
Hanya dengan diacungkan
pada lawan, dari ujung golok akan
melesat cahaya menyilaukan laksana halilintar. Sinar itu akan mengejar ke mana pun lawan yang
dituju menghindar. Membutuhkan
kecerdikan luar biasa dan kemampuan yang sangat tinggi untuk meloloskan diri
dari kejaran cahaya maut itu."
"Benar-benar senjata yang amat berbahaya, Guru.
Tidak bisa kubayangkan mengapa ada orang yang sampai
hati membuatnya. Sebuah senjata yang akan menyebar maut di mana-mana. Hhh...!
Manusia macam bagaimana yang
mampu menciptakan senjata sehebat itu, Guru?"
Ki Gering Langit tersenyum. "Kelak kau akan
mengetahuinya sendiri, Arya. Tidak baik kalau hal itu
kuberitahukan sekarang. Lagi pula seperti yang kukatakan sebelumnya, aku hanya
ikut campur tangan sebatas di luar garis. Kaulah yang harus memecahkan semua
masalah ini. Semoga kau berhasil, Arya."
"Selamat jalan, Guru. Dan, terima kasih
atas pemberitahuanmu. Akan kuperhatikan baik-baik semua yang kau katakan," ujar Arya
seraya memberi hormat
Ki Gering Langit tersenyum. Sesaat kemudian,
tubuhnya raib dari pandangan.
Arya tercenung sepeninggal Ki Gering Langit. Disadarinya kalau kali ini tugas yang terpikul di pundaknya amat berat. Semua
urusan ini, meski telah jelas, tetap masih terselimut rahasia besar. Di dalam
diri pemuda berambut putih keperakan itu bertekad akan secepatnya mengirim
Lingga ke akhirat. Karena, pemuda berpakaian merah itu seorang lawan yang amat
berbahaya. Arya tahu dia harus bertindak cepat. Disadari betul
lambat laun Lingga akan mengetahui kalau Golok Kilat dapat hidup tak ubahnya
manusia! Sekelebat pertanyaan bergayut di benak pemuda berambut putih keperakan
ini. Apakah ada orang lain yang tahu rahasia ini" Penciptanya mungkin"
Diam-diam Arya memaki dirinya sendiri. Mengapa dia
bisa lupa" Dia tidak ingat untuk menanyakan tadi apakah pencipta Golok Kilat
masih hidup" Selama ini memang belum ada yang memberitahukannya. Tidak Setan
Kepala Besi, Penyair Cengeng, tidak juga gurunya. Bagaimana kalau
pencipta Golok Kilat masih hidup" Bukankah itu berarti bahaya yang jauh lebih
besar akan mengancam dunia
persilatan! Dengan benak dipenuhi pertanyaan
yang tidak terjawab dan kekhawatiran besar, Dewa Arak meninggalkan tempat itu. Tujuannya
sudah pasti, mencari Lingga untuk merampas Golok Kilat. Kalau bisa, sekaligus
dengan nyawa pemuda berpakaian merah itu. Membiarkan Lingga berada di dunia
persilatan hanya akan menyebarkan malapetaka di
mana-mana. *** Hari sudah siang. Kicau burung tidak terdengar lagi.
Angin yang bertiup pun terasa tidak nikmat di kulit. Sebuah kereta kuda yang
dikawal delapan penunggang kuda bergerak memasuki mulut sebuah hutan.
Para pengiring kereta rata-rata memiliki wajah dan
sikap gagah. Kereta kuda itu ternyata tidak memakai kusir.
Jalannya kereta karena tali kekang kuda penariknya ditarik oleh seorang pengawal
yang berada depan. Para pengiring itu masing-masing empat berada di depan dan
yang empat lagi berada
di belakang. Semuanya mengenakan seragam pasukan kerajaan. Sedangkan kereta kuda yang dikawal
kelihatan indah dan mewah. Kereta khas bangsawan atau
pejabat kerajaan.
Seorang yang bertubuh kekar dan berkumis tebal
rupanya menjadi pemimpin rombongan ini. Terbukti dialah yang berkuda paling
depan sambil memberi aba-aba.
"Pertinggi kewaspadaan kalian!" ujar lelaki berkumis tebal
dengan suara penuh wibawa. "Jaga

Dewa Arak 86 Penyair Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik-baik keselamatan Gusti Adipati. Aku mendapat tirasat tidak baik.
Tapi, mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu. Meski
demikian, jangan lengah!"
Lelaki berkumis tebal ini mengedarkan pandangan
pada tujuh orang berseragam pasukan kerajaan lainnya.
Lelaki ini membalapkan kudanya mendahului rombongan
kemudian membalikkan arah kudanya hingga berhadapan
dengan tujuh orang lainnya. Hal itu dilakukannya sebelum melanjutkan perjalanan.
Bunyi langkah kaki kuda dan gerit roda kereta
menggilas jalan tanah terdengar kembali. Tapi, baru juga beberapa tombak
meninggalkan tempat di mana sang
pemimpin rombongan memberikan peringatan, terdengar
bunyi berdesing nyaring yang disusul dengan menancapnya sebatang tombak di
hadapan empat orang berseragam
kerajaan yang berada di depan kereta.
Seketika itu pala kesibukan melanda delapan orang
perajurit kerajaan. Masing-masing mencabut pedang yang tergantung di pinggang,
Dan, dengan kesigapan khas
pasukan yang terlatih, mereka bergerak mengelilingi kereta.
Delapan pasang mata beredar. Masing-masing mengarahkan pandangan ke arah kerimbunan semak-semak
yang berada di kanan kiri jalan selebar dua tombak. Sikap mereka kelihatan penuh
kewaspadaan. Bunyi sedikit saja sudah cukup untuk membuat masing-masing
bertindak! Tapi ternyata gangguan yang dikhawatirkan tidak
muncul dari kerimbunan semak-semak. Bunyi berkerosakan akibat terlandanya semaksemak dan pepohonan
kecil memang terdengar, tapi asalnya tidak dari rerimbunan semak itu melainkan
beberapa tombak di depan. Hanya berselisih waktu demikian singkat dengan bunyi
gaduh yang timbul, belasan sosok bermunculan.
Lelaki berkumis tebal segera memajukan kudanya.
Dengan sikap tenang diperhatikannya belasan penghadan
itu. Mereka bertampang kasar dan berpakaian sembarangan.
Pakaian khas orang-orang golongan hitam!
"Maafkan kami, Sobat Sekalian. Bisakah kalian
menyingkir sebentar" Kami hendak lewat. Dan, kami tengah memburu waktu. Atas
kesediaan sobat-sobat sekalian kelak kami akan datang menghaturkan terima kasih.
Tentu saja dengan sedikit oleh-oleh!" ujar lelaki berkumis tebal. Sikap dan
suaranya tampak ramah. "Aku, Sokananta, pimpinan rombongan ini"
"Bagaimana kalau kami tidak mau"!" sahut lelaki berkepala botak yang bertubuh
besar dan berperut gendut dengan nada mengejek. Dialah pimpinan rombongan
belasan penghadang.
"Maaf, Sobat," kilah Sokananta dengan suara tidak sehormat sebelumnya, kendati
tidak kasar. Sikap lelaki botak dan tawa rombongan penghadang yang penuh ejekan
membuatnya membuang sikap mengalah. "Rupanya, kalian semua tidak mengenal siapa
adanya kami dan orang yang
tengah kami kawal sekarang "
Lelaki botak mengalihkan pandangan ke arah kereta
kuda. Pada saat itu, da ri jendela kereta melongok satu kepala yang memiliki
wajah tirus dan garis-garis penderitaan batin di wajah. Pemilik kepala itu
adalah sang adipati. Ia
melongokkan kepala dari jendela karena ingin mengetahui hal yang tengah terjadi.
"Cuhhh!"
Lelaki botak membuang ludah dengan sikap kasar
dan menjijikkan. Kemudian, pandangannya dialihkan pada Sokananta.
"Kami tahu siapa kalian, Pengecut-pengecut Hina!
Bukankah kalian semua melarikan diri dari serbuan pasukan kerajaan" Dan,
bukankah yang berada di da lam kereta itu adalah
sang adipati yang pengecut dan hendak memberontak"!"
Wajah Sokananta langsung berubah. Pedang yang tadi
sudah dimasukkan ke sarung segera dicabutnya lagi.
Sikapnya terlihat penuh wibawa dan ketegasan ketika
kemudian berbicara.
"Aku tidak percaya kalau kalian perampok-perampok biasa. Pasti ada rahasia besar
di balik semua ini. Kalian tahu kalau kami diserbu pasukan kerajaan yang
menganggap junjungan kami yang selalu setia pada kerajaan sebagai pemberontak. Padahal,
masalah ini belum diketahui orang luar. Bahkan kami pun tahu hal itu sewaktu
terjadi penyerbuan pasukan kerajaan. Aku yakin kehadiran kalian di sini pun tidak secara
kebetulan!"
"Kau memang tidak sedungu yang kukira, Sokananta!
Kedunguanmu, hanya kau mengabdi pada orang yang salah!"
Sokananta membelalakkan sepasang matanya ketika
melihat sesosok tubuh muncul dari balik pepohonan di
belakang rombongan penghadang.
"Kau rupanya, Wisoka...," ujar Sokananta sambil mengangguk-anggukkan kepala,
maklum. Sosok itu berusia tiga puluhan dan berpakaian seragam pasukan kerajaan.
"Sekarang aku tahu siapa yang berdiri di balik penyerbuan pasukan kerajaan.
Pasti ulah Patih Liwung yang tidak
menyukai junjunganku sejak dulu. Entah mengapa, Gusti
Prabu mudah sekali dihasut."
"Apa susahnya melakukan hal itu, Sokananta yang
dungu"!" ejek Wisoka. "Kami melakukan rencana yang amat rapi. Seorang dayang
raja ka mi ancam, seluruh keluarganya akan dibasmi apabila dia tidak mau
melaksanakan perintah kami untuk membunuh Gusti Prabu. Dia tidak punya pilihan
lain kecuali melaksanakan perintah itu. Seperti yang kami duga dayang itu gagal.
Dan sesuai dengan perintah kami, dayang itu mengaku disuruh oleh junjunganmu!
Dengan alasan geram karena tindakan dayang itu, salah seorang dari kami membunuhnya.
Tidak ada lagi yang akan membuka
rahasia. Hasilnya, seperti yang kalian alami sendiri! Ha ha ha...!" "Keparat!"
Sokananta meraung seperti harimau luka.
Dia melompat dari punggung kudanya dan meluruk ke arah Wisoka.Tapi, lelaki botak
dan rombongannya tidak
membiarkan tindakan itu. Mereka beramai-ramai menyambuti. Melihat hal ini, prajurit bawahan Sokananta tidak tinggal diam.
Mereka pun ikut terjun dalam kancah pertarungan.
Hanya dalam sekejapan suasana hutan yang semula
hening jadi gaduh oleh bunyi dentang senjata beradu dan teriakan-teriakan.
Namun, tak lama kemudian teriakan-teriakan keras itu mulai berganti jerit
kesakitan. Malah, lolong kematian yang memilukan pun telah terdengar!
Dalam waktu sebentar saja telah jatuh korban
setengah lebih di pihak Sokananta. Sedangkan di pihak
Wisoka hanya satu orang yang roboh. Itu pun tidak tewas.
Wisoka dan lelaki botak segera mundur dari kancah
pertarungan. Mereka menghampiri kereta adipati. Karena, dengan mundurnya mereka
dari kancah pertarungan pun
tidak akan menguntungkan pihak Sokananta. Sokananta dan seorang anak buahnya
yang tersisa akhirnya tewas dengan cara mengerikan. Tubuh mereka hancur menjadi
cacahan daging yang tidak berbentuk lagi karena dihujani belasan senjata tajam.
"Gili...! Keluar kau...! Bersiaplah untuk menerima kematian!" seru Wisoka tanpa
nada penghormatan sedikit pun. Bahkan, tidak memanggil Gili dengan jabatannya
sebagai adipati.
Brakkk! Daun pintu kereta hancur berantakan, disusul
dengan turunnya dari dalam kereta seorang lelaki berpakaian mentereng. Tubuhnya
kecil kurus. Wajahnya muram seperti lampu
kehabisan minyak. Tarikan wajahnya tampak menyiratkan seseorang yang menderita tekanan batin.
"Apa yang terjadi denganmu, Gili" Ketidaktenangan hidup?" ejek Wisoka sambil
menyeringai. "Kulihat wajahmu
layu seperti pohon yang tidak pernah kena air. Apakah
kematian istri, adik, dan putrimu yang menjadi penyebabnya?"
Mata Adipati Gili yang sejak tadi terlihat hampa bagai orang yang kehilangan
semangat hidup, seketika berkilau tajam! Seakan ada cahaya yang mengusir kabut
duka di wajahnya. Rahang lelaki ini mengeras. Suaranya pun
terdengar penuh kemarahan dan ancaman
"Sepertinya kau tahu banyak mengenai peristiwa yang menimpa mereka, Wisoka"!"
"Sepertinya, Gili" Ha ha ha...! Kau memang bebal!
Peristiwa yang menimpa anak, istri, dan adikmu itu adalah hasil rencana Patih
Sura Banggal. Beliau yang menyewa
perampok-perampok untuk membunuh keluargamu! Tentu
saja dengan bayaran yang luar biasa mahal. Setelah itu, rombongan perampok yang
tersisa kami bereskan. Dengan
demikian, rahasia terterjaga! Ha ha ha...!"
"Keparat!"
Adipati Gili menggeram bak singa teduka. Keras yang
terselip di belakang tubuhnya langsung dicabut. Kemudian, ditusukkan ke arah
Wisoka! Wisoka mengelak dan segera
balas menyerang. Pertarungan kembali terjadi.
Wisoka yang mempergunakan trisula memiliki kepandaian tidak rendah. Tapi yang dihadapinya Adipati Gili.
Seorang patih kerajaan yang memiliki kepandaian tinggi, dan memiliki kemampuan
untuk mengatur pemerintahan dengan
baik. Oleh karena itu, Patih Gili diangkat menjadi Adipati.
Menghadapi Adipati Gili yang lihai ini, Wisoka segera
saja terdesak. Melihat hal itu, lelaki botak tidak tinggal diam.
Dia ikut terjun dalam kancah pertarungan dengan mempergunakan tongkat baja.
Ikut campurnya lelaki botak dengan cepat merubah
jalannya pertarungan. Adipati Gili segera terdesak. Kepandaian si botak memang tinggi. Malah sedikit lebih tinggi dari Wisoka. Tapi
bila dibandingkan dengan Adipati Gili, lelaki botak ini tetap kalah sedikit.
Adipati Gili bertarung bagai binatang buas terluka.
Lelaki itu begitu penuh semangat! Tapi, modal itu saja tak cukup untuk dipakai
menghadapi pengeroyokan lawan-lawannya. Tak sampai dua puluh jurus ujung trisula
Wtsoka menyerempet perutnya. Susulan serangan berupa tendangan lelaki botak
membuat tubuhnya terlempar dan terguling-guling di tanah.
"Terimalah kematianmu Gili!"
Sambl berseru keras. Wisoka melontarkan trisulanya.
Senjata itu meluncur deras kea rah Adipati Gili yang saat itu tengah tergulingguling! 3 Trakkk! Beberapa jengkal sebelum trisula Wisoka menghujam
tubuh Adipati Gili, sehelai sabuk meluncur dan memapakinya. Trisula itu terpental jauh ketika terbentur ujung sabuk berwarna
merah muda! Tidak hanya Wisoka, lelaki botak pun terkejut.
Serentak keduanya menoleh ke arah belakang Adipati Gili.
Terlihat seorang gadis cantik jelita berpakaian merah berdiri dengan sikap
gagah! Tahi lalat di bawah lubang hidungnya sebelah kiri menambah kejelitaan
wajahnya "Menyingkirlah. Paman. Biar aku yang mewakilimu
menghajar pengecut-pengecut hina yang beraninya main
keroyok ini!" ujar gadis berpakaian merah itu.
Si gadis melangkah maju dan bersiap menghadapi
Wisoka serta lelaki botak. Pada saat yang bersamaan, Adipati Gili segera bangkit
berdiri dan membalikkan tubuh menjauhi arena pertarungan. Lelaki ini menyadari
lawan-lawannya terlalu tangguh untuk bisa dirobohkan.
Adipati Gili tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika
menatap si gadis. Sepasang matanya membelalak lebar.
Wajahnya pun pucat pasi seperti melihat hantu di tengah hari. Lelaki kecil kurus
ini terkesima seperti orang kena sihir!
Si gadis mengerutkan alisnya. Dia merasa heran
melihat tingkah Adipati Gili. Apakah ada yang salah dengan dirinya sehingga
membuat Adipati Gili bersikap seperti itu"
Barangkali ada sesuatu yang menempel di wajahnya. Dengan punggung tangan kiri
diusap wajahnya secara asal.
"Ada apa, Paman?" tanya si gadis yang merasa risih mendapat tatapan sedemikian
rupa dari Adipati Gili.
Pertanyaan si gadis membuat Adipati Gili tersadar.
Dia tahu sikapnya itu tidak pantas. Maka, dengan gugup digeleng-gelengkan
kepalanya. "Ah..., ti..., tidak ada apa-apa, Nona. Tidak apa-apa... "
Gadis berpakaian merah melanjutkan langkahnya.
Adipati Gili bertindak serupa. Bedanya, kalau si gadis mendekati Wisoka dan
lelaki botak, Adipati Gili malah


Dewa Arak 86 Penyair Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebaliknya. Lelaki berpakaian indah itu menjauhi tempat pertarungan.
Tapi, setibanya di tempat yang aman Adipati Gili terus memperhatikan si gadis
dengan penuh selidik. Ada sesuatu pada diri si gadis yang menarik perhatiannya.
Gadis berpakaian merah sendiri telah menghentikan langkahnya ketika jaraknya dengan
Wisoka dan lelaki botak tinggal tiga tombak lagi. Kedua tangannya yang berjarijari lentik mempermainkan sabuk merah muda.
Wisoka dan lelaki botak segera menyadari lawannya
kali ini jauh lebih tangguh daripada Adipati Gili. Keduanya pun
bersikap lebih hati-hati. Senjata-senjata
yang tergenggam di tangan telah siap untuk dipergunakan. Wisoka telah mengambil
trisulanya yang tadi terlempar. Seandainya Wisoka dan lelaki botak melihat
tingkah Adipati Gili tadi, mereka pasti akan keheranan. Tapi, perhatian mereka
tengah dipusatkan
untuk menghadapi gadis yang telah
siap bertarung. Meski demikian, Wisoka sempat merasa heran.
Dia seperti pernah melihat gadis berpakaian merah ini.
Hanya kapan dan di mana tempatnya dia lupa.
"Apamukah keparat ini, Nona, sehingga kau sampai
membelanya" Kau tahu, taruhannya adalah nyawamu! Tidak sayangkah
kau dengan usiamu yang masih muda" Menyingkirlah dari sini, mu mpung kami
masih mau bermurah hati," ujar Wisoka.
Wisoka tidak takut sekalipun tahu si gadis memiliki
kepandaian tinggi. Atau, setidak-tidaknya tenaga dalam yang amat kuat, mengingat
dengan ujung sabuk yang lemas
mampu membuat trisulanya terlempar jauh. Padahal, trisula itu diluncurkan dengan
tenaga penuh! Wisoka hanya tidak ingin maksudnya untuk membunuh Adipati Gili
gagal karena lelaki itu kabur
"Aku memang tidak mempunyai hubungan apa pun
dengan orang yang kalian keroyok! Tapi, keperkasaannya melawan kalian yang
merupakan pengecut-pengecut hina ini telah mengagumkan hatiku. Dan aku, Nuri,
tahu mana yang harus kubela!" tandas si gadis penuh semangat.
"Sombong! Lihatlah nasib yang akan menimpamu,
Gadis Konyol!" maki Wisoka marah mendengar jawaban si gadis. "Kau akan kuberikan
pada belasan orang gagah di belakang.
Mereka akan memperkosamu habis-habisan sampai kau mati kelelahan!"
Belasan anak buah lelaki botak menelan air liur
mendengar ucapan Wisoka. Sudah terbayang di benak
mereka nikmatnya menggeluti tubuh montok Nuri. Matamata mereka merayapi sekujur tubuh Nuri seperti mata
seekor serigala kelaparan melihat anak domba gemuk.
Gadis berpakaian merah yang bukan lain mu rid Setan
Kepala Besi menjerit penuh kemarahan mendengar ucapan
Wisoka. Tangannya digerakkan sehingga membuat sabuknya meliuk-liuk ke arah
Wisoka sambil memperdengarkan bunyi meledak-ledak seperti halilintar.
Wisoka segera melompat ke belakang mengelakkan
serangan itu. Di saat yang bersamaan, lelaki botak
mengayunkan tongkatnya untuk menyapu lutut Nuri.
Nuri melompat ke atas menghindari serangan lawan.
Kemudian, dia melancarkan serangan balasan yang tidak
kalah dahsyat. Sekejapan saja pertarungan yang jauh lebih sengit segera
tercipta! Adipati Gili menatap Nuri dengan sepasang mata
berkaca-kaca. Tanpa sepengetahuan siapa pun, begitu Nuri memperkenalkan namanya,
lelaki ini hampir berteriak karena kaget. Untung dia cepat menutup mulut
sehingga seruan
yang hampir dikeluarkan tertelan kembali.
Meski demikian, Adipati Gili tidak mau berkedip
sekejap pun. Padahal, dengan berkaca-kacanya matanya
terasa panas. Tapi kekhawatiran kalau kedipan itu akan membuatnya
sekejap tidak menyaksikan jalannya pertarungan memaksa Adipati Gili berkeras untuk terus
membuka mata. Nuri ternyata terlalu tangguh untuk dilawan olel
Wisoka dan si lelaki botak. Kemampuannya yang tinggi
membuat Nuri mampu mendesak kedua lawannya. Dan
senjatanya yang lemas sehingga mudah menerima aliran
tenaga dalam itu semakin menambah kebingungan mereka.
Sabuk merah muda di tangan Nuri menjadi senjata
yang amat berbahaya. Begitu mudah dan cepat berubah
bentuk! Terkadang menegang kaku laksana pedang atau
golok. Tapi, tak jarang melecut-lecut seperti cambuk dan mengeluarkan bunyi
menggelegar. Di lain waktu, meliuk-liuk seperti ular. Tak terduga ke mana arah
yang dituju. Persis seekor ular sungguhan! Itu pun masih ditambah lagi dengan
mampu membelit dengan kuat hingga tak kalah dengan
jepitan baja. Tahu kalau berdua tidak akan dapat menghadapi
Nuri, lelaki botak segera memerintahkan anak buahnya
untuk membantu mengeroyok. Belasan orang itu pun
menghunus senjata masing-masing dan terjun ke dalam
kancah pertarungan. Bantuan mereka ternyata hampir tidak berarti. Tingkat
kepandaian mereka terlalu rendah. Hanya dalam beberapa gebrakan saja orang-orang
yang sial itu berpentalan satu persatu ke belakang ketika ujung sabuk Nuri
melecut. Tidak membuat mereka tewas memang, tapi
cukup untuk memaksa para lelaki bengis itu tidak mampu bangkit dan mengeroyok
lagi. Lelaki botak dan Wisoka mendapat giliran belakangan.
Ujung sabuk Nuri melecut dada mereka dengan keras.
Keduanya pun roboh dengan terluka dalam yang parah,
seperti belasan rombongan anak buah lelaki botak.
Nuri menatapi lawan-lawannya satu persatu sambil
membelitkan sabuknya kembali ke pinggangnya yang ramping. "Untunglah kalian," ucap Nuri penuh wibawa. "Aku bukan orang yang berhati kejam.
Dan lagi, aku tidak
mempunyai urusan dengan kalian. Maka aku tidak akan
membunuh kalian. Tapi, ingat! Bila lain kali bertemu dengan kalian lagi dan
sikap kalian masih seperti ini, aku tidak bisa bermurah hati lagi. Camkan itu
baik baik!"
"Nuri...."
Sapaan yang sarat dengan getaran perasaan itu
membuat Nuri membalikkan tubuh. Asal sapaan datang dari belakang tubuhnya. Rasa
heran karena mampu menangkap
getaran perasaan yang amat besar dalam sapaan itu
membuat Nuri cepat memberikan tanggapan.
Tepat seperti dugaan Nuri. Orang yang memanggilnya
adalah Adipati Gili. Suara adipati itu telah dikenalnya. Nuri merasa heran
ketika melihat sepasang mata Adipati Gili tampak berkaca-kaca. Apa pula ini"
Tanya si gadis dalam hati. Apakah Adipati Gili demikian cengeng" Menangis karena
luka yang diderita" Dugaan ini membuat Nuri kecewa
"Benar namamu Nuri...?" tanya Adipati Gili kemudian.
Suaranya terdengar lebih gemetar karena bibir-bibirnya menggigil.
"Benar, Paman" Kenapa?" tanya Nuri dengan rasaan heran yang menjadi.
"Kau tahu siapa ibu dan ayahmu?"
Nuri mulai bisa menduga arah pertanyaan Adipati
Gili. Jantung gadis ini pun berdetak lebih cepat dari
biasanya. "Tidak, Paman. Aku tidak tahu siapa orang tuaku.
Sejak kecil aku dipelihara dan dibesarkan oleh guruku.
Menurut beliau, ayah dan ibuku tewas di tangan para
perampok," suara Nuri gemetar ketika menjawab. "Apakah kau tahu siapa ayah
ibuku, Paman?"
Sekarang tidak hanya suara Adipati Gili yang
menggigil. Kedua kakinya pun goyah! Rupanya, guncangan perasaan yang melandanya
demikian hebat "Apakah gurumu itu menceritakan di mana tewasnya
orang tuamu itu, Nuri" Apakah di hutan karet...?"
"Benar, Paman. Dari mana kau tahu hal ini" Siapakah kau sebenarnya?"
"Nuri, Anakku...!"
Adipati Gili berseru. Serak. Penuh perasaan haru dan
gembira yang besar. Kedua tangan lelaki itu terkembang ketika melangkah
tertatih-tatih ke arah Nuri.
Nuri melangkah mundur selangkah. "Kau jangan
membohongiku, Paman. Orang tuaku telah mati di tangan
perampok. Kau jangan mengaku-aku sembarangan saja. Aku bisa marah dan
menghajarmu, Paman!"
Adipati Gili merasakan nada kesungguhan dalam
nada dan sikap Nuri. Maka, dia menghentikan langkahnya.
Wajahnya berubah sedih ketika melihat penolakan gadis
berpakaian merah itu.
"Percayalah, Nuri. Kau benar anakku. Aku tidak
berdusta. Sungguh, Nak. Bertahun-tahun
kau kucari. Bahkan seluruh prajurit kadipaten kupesan dan kuperintahkan untuk mencarimu ketika tidak kutemukan
mayatmu di sana. Yang ada hanya mayat para prajurit,
ibumu, dan adikku yang kuperintahkan untuk menemani
ibumu pergi, Nuri," urai Adipati Gili untuk menimbulkan kepercayaan Nuri.
Nuri tetap diam. Sikapnya belum berubah. Malah, jadi
terkesima seperti orang terkena sihir. Rupanya cerita yang didengarnya terlalu
mengejutkan hati.
"Mungkin adikku yang dianggap gurumu sebagai
ayahmu, Nuri. Kau tahu, Anakku. Wajahmu sangat mirip
dengan mendiang ibumu. Karena itu, aku kaget ketika
melihatmu tadi. Kukira kau istriku yang bangkit kembali dari kuburnya. Tapi,
akal sehatku segera membuatku sadar kalau hal itu tidak mungkin terjadi. Orang
yang telah mati tidak mungkin akan bangkit kembali. La gi pula, antara kau dan
ibumu ada perbedaan yang amat menyolok. Ibumu menyukai warna putih. Karena itu
pakaian yang dikenakannya selalu putih. Sedangkan kau sejak kecil suka dengan
warna merah!"
Adipati Gili menghentikan ceritanya untuk mengambil
napas. Guncangan perasaan yang melanda membuatnya
cepat lelah. Juga luka akibat serangan Wisoka dan lelaki botak belum diobatinya.
Nuri masih membeku di tempatnya. Gadis ini seakan
telah berubah menjadi patung batu yang amat cantik.
Wajahnya beku. Sinar matanya hampa. Kendati demikian,
semua keterangan Adipati Gili didengarnya dengan jelas.
"Kau anak yang lama kami nantikan kehadirannya.
Kau lahir setelah kami menikah lima tahun. Kami amat
menyayangimu Nuri, untuk menyatakan rasa sayang itu
kami membuat sapu tangan yang berbeda. Ibumu sapu
tangan putih dengan sulaman namamu berwarna merah. Aku mempunyai sapu tangan
kuning bertuliskan namamu dengan benang merah. Sedangkan kau Nuri, sapu tanganmu
merah. Tapi nama yang tersulam, meski namamu, tersulam atas dua warna. Kuning dan
putih! Ketika kau menyebutkan nama,
aku yakin kalau kau adalah Nuri-ku yang hilang.
Sekujur tubuh Nuri menggigil. Penjelasan Adipati Gili
yang terakhir begitu menusuk hatinya. Meski demikian, dia tetap tidak beranjak
dari tempatnya.
"Apakah kau masih menyimpan sapu tangan itu,
Nak?" tanya Adipati Gili sarat dengan perasaan haru. "Aku masih menyimpannya.
Kuanggap sapu tangan ini adalah
dirimu, Nuri. Apabila aku rindu padamu kupandangi sapu tangan ini. Rupanya,
Tuhan berkenan memperkenankan
keinginanku untuk bertemu denganmu. Aku tidak meminta
banyak-banyak. Hanya, sebelum pergi dipanggil-Nya aku
ingin bertemu utanmu, Anakku. Itu saja pintaku Sungguh tidak disangka
permintaanku dikabulkan-Nya. Aku bahagia sekali melihat kau yang dulu kecil dan
lincah kini tumbuh menjadi seorang gadis cantik jelita seperti mendiang ibumu.
Memiliki kepandaian tinggi lagi. Kalau ibumu masih hidup dia pasti akan sangat
bahagia dan bangga, Nuri."
Adipati Gili mengeluarkan sehelai sapu tangan kuning
bersulamkan benang merah yang bertuliskan nama Nuri
Kali ini Nuri tidak bisa bertahan lagi dengan sikapnya.
Dengan jari-jari tangan menggigil dikeluarkan dua helai sapu tangan yang
memiliki ciri-ciri seperti yang dikatakan Adipati Gili. Sapu tangan yang sejak
dulu menjadi tanda tanya besar bagi Nuri, namun sekarang telah terpecahkan
rahasianya! "Kau benar Nuri, Anakku," rintih Adipati Gili.
"Ayaaah...!''
Nuri berseru nyaring sambil menghambur ke arah
Adipati Gili dengan kedua tangan terkembang. Wajah Adipati Gili jadi berseriseri. Matanya seperti menyiratkan cahaya.
Lenyap sudah gumpalan kabut duka yang belasa tahun
menutupi sepasang mata dan wajahnya. Lelaki ini mengembangkan kedua tangan dan membiarkan tubuh Nuri
masuk ke dalam pelukannya. Dipeluknya gadis itu dengan penuh kegembiraan, dan
rasa sayang yang besar. Dua titik air mata mengalir dari mata Adipati Gili. Air
mata kegembiraan.

Dewa Arak 86 Penyair Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hanya dua titik! Namun, sangat berharga bagi Adipati
Gili. Lelaki ini tidak pernah menangis sebelumnya. Bagi Adipati Gili, lebih
baik berhamburan
darah daripada meneteskan setitik air mata. Tapi kali ini keadaannya lain. Itu terjadi begitu
saja. Bagaimanapun juga lelaki ini seorang manusia yang tidak luput da ri
landaan berbagai macam
perasaan. "Apakah Ayah tahu orang-orang yang telah membunuh ibu?" tanya Nuri setelah gelombang rasa harunya terlampiaskan.
Perlahan-lahan pelukannya dilepaskan
Adipati Gili bagai disengat ular berbisa. Dia telah lupa segala hal. Yang
diingatnya hanya tentang Nuri. Baru
sekarang dia teringat lagi. Cepat pandangannya dialihkan pada tempat Wisoka dan
kelompoknya tergolek.
Ternyata Wisoka dan teman-temannya masih ada di
situ. Mereka tidak bisa menggunakan kesempatan di saat ayah dan anak itu larut
dalam pertemuannya untuk
melarikan diri. Keadaan mereka tidak mendukung!
Sejak tadi Wisoka dan
kelompoknya mengeluh
mendengar perblncangan Adipati Gili dengan Nuri. Terutama Wisoka. Begitu
mendengar Adipati Gili memanggil Nuri
sebagai anaknya, sebelum Nuri sendiri mengakuinya, Wisoka segera tahu kalau Nuri
adalah putri Adipati Gili. Pengakuan sang adipati itu telah membuatnya sadar
kalau dia belum pernah melihat Nuri sebelumnya. Yang pernah dilihatnya adalah
orarg lain yang mirip dengan Nuri. Dan, orang itu adalah istri Adipati Gili, ibu
Nuri! "Mereka semualah yang telah membunuh ibumu,
Nuri. Mungkin juga kau akan menjadi korban apabila
gurumu tidak datang dan menyelamatkanmu!" beritau Adipati Gili sambil menunjuk
Wisoka dan rombongannya.
"Tapi, orang yang paling jahat di antara mereka adalah dia!"
tunjuk Adipati Gili pada Wisoka. Nuri menggertakkan gigi.
Sepasang matanya berkilat memancarkan kemarahan. Tak
ubahnya seekor harimau betina yang diganggu anaknya.
"Apa yang seharusnya aku lakukan terhadap mereka
Ayah?" desis Nuri penuh ancaman maut.
Adipati Gili mengangkat bahu
"Entahlah, Nuri. Begitu bertemu denganmu dan kau
mengakuiku sebagai Ayah, hilang sudah rasa sakit hati yang bertumpuk-tumpuk
selama belasan tahun ini
"Tapi bila mereka kita biarkan begitu saja terlalu enak. Ayah!" bantah Nuri. "Di
samping itu, bukan tidak mungkin mereka akan melakukan tindakan serupa. Kurasa,
orang-orang berhati binatang seperti mereka tidak patut dibiarkan berkeliaran
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 5 Mustika Lidah Naga 4 Pedang 3 Dimensi 6

Cari Blog Ini