Ceritasilat Novel Online

Perguruan Kera Emas 3

Dewa Arak 57 Perguruan Kera Emas Bagian 3


Meskipun demikian, tidak berarti Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka akan dapat
merobohkan sosok-sosok berpakaian hitam itu dengan mudah. Kedua tokoh penting
Perguruan Kera Emas itu terus disibukkan dengan tangkisan. Sehingga tak sempat
memburu lawan yang telah terhuyung-huyung.
Kesempatan yang sedikit itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh sosok-sosok
berpakaian hitam itu. Dua buah siulan pendek yang terdengar susul-menyusul
langsung terdengar. Jelas, ini merupakan isyarat untuk melakukan penyerangan
dengan cara lainnya lagi.
Dan benar, kali ini siasat penyerangan tampak berubah. Gerombolan terpecah dua
bagian. Sepuluh orang memusatkan perhatian pada Handaka. Dan sisanya, yang juga
berjumlah sepuluh orang bersiap untuk meringkus Ki Tapaksi Mandragunta.
Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka membiarkan saja semua tindakan lawan.
Keduanya sengaja memberikan kesempatan untuk melihat kelanjutan tindakan sosoksosok berpakaian hitam itu.
"Hiyaaat..!"
"Hiaaa.. !"
Seraya mengeluarkan teriakan-teriakan keras, masing-masing kelompok menyerang Ki
Tapaksi Mandragunta dan Handaka. Dan serbuan kedua puluh sosok berpakaian hitam
ini pun segera mendapatkan sambutan hangat dari kedua lawan. Tak pelak lagi,
pertarungan sengit pun berlangsung.
Berbeda dengan Ki Tapaksi Mandragunta yang telah berpengalaman, Handaka semula
menganggap remeh lawan-lawannya. Apalagi karena pada gebrakan pertama telah
membuat sosok-sosok berpakaian hitam itu terhuyung-huyung.
Handaka baru terperanjat ketika merasakan kemampuan sepuluh orang lawannya ini
tidak seremeh yang dibayangkan semula. Kelompok ini ternyata tidak melakukan
penyerangan secara serampangan, melainkan teratur. Serangan-serangan yang
dilakukan tak pernah dilakukan perorangan, paling tidak dilakukan dua orang!
Serbuan itu dilancarkan secara beruntun dan susul-menyusul. Begitu kelompok
pertama selesai, kelompok berikutnya telah menyusul, tanpa memberi kesempatan
lawan melakukan serangan balasan.
Yang lebih hebat lagi, ketika melakukan penangkisan. Setiap kali Handaka
melancarkan serangan balasan, selalu ditangkis secara bersamaan oleh lima orang.
Tentu saja kekuatan gabungan lima orang itu mampu membuat Handaka terhuyunghuyung karena kalah tenaga.
Handaka mulai kewalahan, karena setiap serangannya selalu dapat dikandaskan
dengan tangkisan gabungan lima orang. Sebaliknya, serangan lawan susul-menyusul
tiada henti, bagai gelombang laut! Cepat, bertubi-tubi dan mengandung kekuatan
yang besar. Keadaan yang dialami Handaka, diderita pula Ki Tapaksi Mandragunta. Hanya saja
keadaan lelaki tua itu tidak terlalu mengkhawatirkan. Di samping karena tingkat
kepandaiannya yang jauh lebih tinggi daripada putranya, dia pun memiliki
pengalaman yang amat luas dalam pertarungan. Sedikit banyak hal itu berguna saat
ini. Meskipun begitu, bukan berati Handaka dapat dipermainkan lawan-lawannya. Sama
sekali tidak! Dia nasih mampu mengadakan pertarungan dengan gigih.
Tak terhindarkan suasana hiruk-pikuk pertempuran semakin seru terdengar. Bunyi
desing senjata-senjata meluncur, dan benturan keras dalam tangkisan, serta
teriakan-teriakan keras yang mengawali serangan, seakan memecah suasana siang
itu. Perlahan-lahan namun pasti, kancah pertarungan pun tampak bergeser dari tempat
semula. Jarak pertarungan antara Handaka dan sang Ayah pun semakin terpisah jauh. Hal
itu terjadi karena pemuda berpakaian kuning itu terus didesak mundur.
"Haaat. !"
Wuttt! Sambil mengeluarkan teriakan keras, tiga sosok berpakaian hitam melompat,
menerkam Handaka dengan pedang ditudingkan lurus ke arah leher.
Handaka kaget. Namun dia masih sempat memberikan tangkisan. Hanya sebelum
goloknya membentur pedang lawan, dua sosok berpakaian hitam lain telah
menggulingkan tubuh dan melancarkan serangan ke bagian bawah tubuh Handaka.
Tentu saja serangan itu membuat Handaka kelabakan. Disadari kalau serangan dari
atas yang akan mencapai sasaran lebih dulu. Tapi selisih waktunya demikian
singkat. Kalau ditangkis serangan atas, sebelum dirinya sempat berbuat sesuatu,
serangan bawah akan memangsanya.
Hal inilah yang membuat Handaka kebingungan. Namun, disadari kalau kesempatan
baginya untuk berpikir tak ada. Akhirnya, Handaka memutuskan untuk bertindak
nekat. Pemuda berpakaian kuning itu bertekad memapak serangan dari atas.
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, putra Ketua Perguruan Kera Emas ini memutar-mutarkan
golok di depan tubuh. Dan....
Trangngng! Bunyi berdentang keras langsung terdengar, ketika golok Handaka berbenturan
dengan tiga barang pedang sekaligus. Akibatnya, baik Handaka maupun tiga sosok
berpakaian hitam sama-sama terhuyung-huyung ke belakang.
Saat itulah serangan susulan dari sosok-sosok berpakaian hitam yang berada di
bawah, meluncur. Pedang-pedang mereka meluncur ke pusar dan lutut. Yang satu
menusuk pusar, sedangkan yang lain membabat lutut.
Handaka memang sudah memperhitungkan hal seperti ini. Maka dengan sebisa-bisanya
dicoba menggeliatkan tubuh. Dan. ..
Crat! Crat! Crattt!
"Akh!"
Handaka memekik kesakitan, ketika pedang lawan-lawannya berhasil mengoyak paha
dan lutut. Untung keduanya tidak putus! Hanya tergurat. Tapi tak urung darah
segar mengalir keluar dari luka itu.
Seketika itu pula Handaka terhuyung-huyung ke belakang. Dan di saat seperti
itulah, dua di antara lima orang lawannya yang belum kebagian menyerang
melemparkan beberapa buah benda bulat ke tanah!
7 Glarrr! Ledakan keras terdengar ketika benda-benda coklat sebesar telur bebek itu
menghantam tanah. Seketika itu pula asap tebal kebiruan menyelimuti tempat itu.
Asap itu ternyata bukan asap sembarangan. Terbukti ketika tanpa sengaja Handaka
menghirupnya, langsung merasakan kepalanya mendadak pusing. Pandangannya pun
berkunang-kunang disertai sekujur tubuh terasa gemetaran.
Namun, tampaknya Handaka tahu kalau asap yang dihisapnya mengandung racun! Maka
buru-buru ditahan napas untuk mencegah terhisapnya racun itu.
Handaka berhasil. Namun sayangnya, asap yang sudah terhirup, meski hanya
sedikit, telah mampu mempengaruhi keseimbangan tubuhnya. Rasa pusing dan
pandangan berkunang-kunang yang melandanya semakin menghebat. Sampai akhirnya...
Brukkk! "Ukh...!"
Tubuh Handaka ambruk ke tanah dan mengeluarkan keluhan lirih. Saat itu juga,
putra Ketua Perguruan Kera Emas yang gagah perkasa ini tak sadarkan diri.
Melihat hal ini, sepuluh orang sosok berpakaian hitam itu langsung bertindak
cepat. Mereka bergegas menghampiri tubuh Handaka. Tak lupa, asap yang masih menyelimuti
tempat itu mereka halau dengan menggunakan kibasan-kibasan tangan.
Hanya dalam beberapa saat, asap yang menyelubungi tempat itu langsung sirna!
Sekarang yang tinggal hanya tubuh Handaka tergolek di tanah. Pemuda berpakaian
kuning ini telah pingsan!
"Berhenti, Ki Tapaksi!" seru salah satu sosok berpakaian hitam itu lantang,
"Hentikan pertarungan! Atau. ., nyawa anakmu akan melayang ke alam baka!"
Seruan itu membuat Ketua Perguruan Kera Emas terkejut bukan kepalang. Namun rasa
curiga membuatnya khawatir kalau seruan itu hanya gertakan belaka. Ki Tapaksi
Mandragunta takut kalau di saat perhatiannya dialihkan, lawan akan mempergunakan
kesempatan itu untuk membokong.
Meskipun demikian, di lubuk hati Ki Tapaksi Mandragunta ada rasa khawatir kalau
ucapan sosok berpakaian hitam itu benar. Maka, ketika mendapat kesempatan luang,
dia melempar tubuh ke belakang, dan berjumpalitan beberapa kali untuk menjauhi
lawan-lawannya.
Begitu kedua kakinya mendarat ringan di tanah, kepalanya langsung ditolehkan ke
asal suara. Seketika tubuh Ki Tapaksi Mandragunta merasa lemas! Dilihatnya,
Handaka telah tergeletak tak berdaya. Sementara lawan-lawannya berkeliling
mengepung. Dua di antara mereka meletakkan pedang di dada dan leher. Sikap
mereka menunjukkan keadaan siap melaksanakan ancaman yang dikeluarkan.
Untung saja di saat Ki Tapaksi Mandragunta tengah kebingungan menghadapi masalah
ini, kelompok yang menjadi lawannya tak menggunakan kesempatan itu. Mereka
berdiri diam menunggu. Rupanya, sepuluh sosok berpakaian hitam itu yakin kalau
Ki Tapaksi Mandragunta akan melaksanakan perintah rekan-rekan mereka!
"Bagaimana, Ki"! Apa kau tak sayang nyawa anakmu"! Asal kau tahu saja, aku tidak
termasuk orang yang sabar. Kuberi kau kesempatan sampai hitungan ketiga. Apabila
hal ini kau abaikan, nyawa pemuda ini tak bisa diselamatkan lagi!" ancam sosok
berpakaian hitam yang meletakkan pedangnya di leher Handaka.
Ki Tapaksi Mandragunta masih tetap diam. Masalahnya sebagai orang yang telah
mempunyai pengalaman luas dirinya tahu, ancaman itu tak bisa dipercaya.
Masalahnya, kalau dia menyerah, Handaka tetap dibunuh. Demikian pula dirinya.
Atas dasar pemikiran itulah, Ki Tapaksi Mandragunta merasa bimbang. Dirinya
berada dalam sebuah pilihan sulit, bagai dihadapkan dengan buah simalakama.
Apabila dimakan bapak mati, tak dimakan ibu yang mati. Keduanya serba repot!
"Satu! Dua. .! Ti. .!"
"Tahan! Baik! Aku menyerah...!" akhirnya Ki Tapaksi Mandragunta mengalah.
"Bagus! Kalau begitu tunggu apa lagi" Cepat lemparkan senjatamu!"
Ki Tapaksi Mandragunta tercengang sejenak. Namun, kemudian sambil menggertakkan
gigi dilemparkan senjatanya ke tanah.
Cappp! Golok yang mempunyai gagang berukiran kepala kera itu menancap di tanah.
"Ha ha ha. .!" sosok-sosok berpakaian hitam itu tertawa terbahak-bahak, gembira
melihat Ki Tapaksi Mandragunta memenuhi perintah mereka.
Mendadak terdengar suara siulan. Mula-mula pelan. Namun semakin lama semakin
nyaring. Melengking tinggi sehingga mampu mengatasi suara tawa mereka.
Anehnya, suara siulan itu mulai menyakitkan telinga mereka. Bahkan mampu membuat
dada tergetar dan kepala pusing. Hal itu membuat sosok-sosok berpakaian hitam
terpaksa menutup kedua telinga untuk mencegah suara-suara itu masuk.
Di antara mereka hanya Ki Tapaksi Mandragunta yang belum terpengaruh. Ketua
Perguruan Kera Emas itu tampak masih berdiam diri. Tidak menggunakan kedua
tangan untuk menutup telinganya. Dirinya hanya mengerahkan kekuatan tenaga
dalamnya untuk memunahkan pengaruh siulan itu.
Sementara itu, suara siulan itu sepertinya masih jauh dari batas tertingginya.
Masalahnya, nada siulan itu terus semakin meninggi. Dan akibatnya, yang harus
menderita sosok-sosok berpakaian hitam itu. Kalau semula mereka hanya mendekap
kedua telinga, sekarang mereka berguling-guling di tanah.
Ki Tapaksi Mandragunta sekarang mulai duduk bersila. Punggungnya diluruskan.
Kedua tangan dirangkapkan di depan dada. Ketua Perguruan Kera Emas ini tengah
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melawan pengaruh suara lengkingan itu.
Namun, baru sebentar hal itu dilakukan, suara siulan itu berhenti. Sungguhpun
demikian, Ketua Perguruan Kera Emas ini tetap meneruskan semadi. Dia khawatir
pemilik siulan itu belum menghentikan tindakannya.
Kekhawatiran Ki Tapaksi Mandragunta ternyata sia-sia. Siulan itu ternyata memang
telah berhenti sama sekali. Maka sepasang mata yang semula dipejamkan, langsung
dibukanya kembali.
Yang pertama kali dilihat Ki Tapaksi Mandragunta sosok-sosok berpakaian hitam
bergeletakan di sana-sini. Mereka semua terkapar lemas tak be-daya, menyusul
Handaka yang telah lebih dulu pingsan.
*** "Arya...! Melati...!"
Ki Tapaksi Mandragunta berseru ketika melihat dua sosok tubuh yang mengayunkan
kaki dengan tenang menghampirinya. Ketua Perguruan Kera Emas ini bangkit
berdiri. Dan dengan tarikan wajah memancarkan kegembiraan disambutnya kedatangan
Dewa Arak dan Melati.
"Apa yang terjadi, Arya, Melati" Mengapa kalian bisa sampai ke tempat ini" Ke
mana kuda kalian"!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta bertubi-tubi.
Dewa Arak dan Melati saling pandang dengan bibir menyunggingkan senyum mendengar
pertanyaan bertubi-tubi yang dikeluarkan Ketua Perguruan Kera Emas itu.
"Akan kami jawab pertanyaanmu satu persatu, Ki," jawab Arya seraya
menyembunyikan perasaan geli yang berkecamuk di hati.
"Ah...!"
Hanya ucapan demikian yang dapat dikeluarkan Ki Tapaksi Mandragunta. Masalahnya
dia merasa malu mengingat pertanyaannya tadi.
"Pertama, tidak ada kejadian apa pun atas diri kami. Kedua, keberadaan kami di
sini, karena memang dalam perjalanan menyusul perjalananmu dan Handaka. Ketiga,
kuda-kuda sengaja kami tinggalkan. Risih rasanya menunggangi kuda, setelah
terbiasa menempuh perjalanan dengan kaki," papar Dewa Arak menjelaskan.
Ki Tapaksi Mandragunta mengangguk-anggukkan kepala begitu mendengar keterangan
Dewa Arak. "Sebenarnya cukup jelas keterangan yang kau berikan, Dewa Arak. Tapi..., ada hal
yang masih mengganjal di hatjku. Bisa kau menjelaskannya"!"
"Andaikan aku bisa tentu kulakukan. Katakanlah, Ki! Jangan ragu-ragu!" pinta
Dewa Arak memberi angin.
"Baiklah kalau memang demikian, Arya. Pertanyaan yang hendak kuajukan hanya
satu. Mengapa kau menyusul perjalanan kami" Padahal, bukankah semula kau yang
bersikeras untuk berpisah?"
Dewa Arak menyunggingkan senyum di bibir.
"Sederhana saja, Ki," kalem jawaban Dewa Arak, "Aku khawatir kalau orang-orang
Perguruan Camar Sakti benar-benar berniat jahat. Dan bila itu benar-benar
terjadi kau dan Handaka berada dalam bahaya. Itulah yang menyebabkanku
menyusulmu!"
"Terima kasih atas niat baikmu, Arya. Dan kurasa dugaanmu benar, Perguruan Camar
Sakti telah berubah pendirian. Rupanya perguruan itu bermaksud mengajak
bentrokan dengan perguruanku! Ka lau itu memang kemauan Ki Liwung Perkasa
sendiri, akan kuladeni! Jangan dikira aku takut!" ucap Ki Tapaksi Mandragunta,
penuh semangat.
"Maaf, Ki! Kurasa dalam masalah ini, perasaan marah tidak perlu kita perturutkan
agar hal-hal buruk tak sampai terjadi," ucap Dewa Arak berusaha menenangkan,
ketika melihat Ki Tapaksi Mandragunta sudah mulai kelabakan.
Ki Tapaksi Mandragunta mengernyitkan alis.
"Aku jadi heran. Sebenarnya apa maumu, Arya"! Tadi, kau bilang kau merasa
khawatir akan keselamatanku dengan mengatakan, bahwa ada kemungkinannya orangorang Perguruan Camar Sakti itu bermaksud membunuhku. Bukankah demikian"!
Anehnya, begitu kunyatakan permusuhanku dengan Perguruan Camar Sakti kau
sepertinya malah membela mereka.
Sebenarnya, kau berdiri di pihak mana, Arya"!"
"Sabar, Ki! Tenang, dan dengarkan penjelasanku! Memang benar, yang menyebabkanku
bisa sampai kemari, karena perasaan khawatirku, kalau-kalau kau dan Handaka akan
menjadi korban orahg-orang Perguruan Camar Sakti..."
"Dugaanmu tidak salah! Orang-orang Perguruan Camar Sakti memang bermaksud
membunuh kami. Kau lihat sendiri buktinya!"
Sambil berkata demikian, Ki Tapaksi Mandragunta menudingkan jari telunjuknya ke
arah sosok-sosok berpakaian hitam yang bergeletakan di tanah.
"Mereka ternyata orang-orang Perguruan Camar Sakti!" tandas Ketua Perguruan Kera
Emas, keras. Dewa Arak dan Melati saling pandang sejenak.
"Benarkah mereka orang-orang Perguruan Camar Sakti, Ki" Kau yakin" Apa bukan tak
mungkin kalau mereka segerombolan orang yang sengaja bermaksud mengadu domba
antara perguruanmu dengan Perguruan Camar Sakti"!"
Ki Tapaksi Mandragunta menatap wajah Dewa Arak lekat-lekat
"Asal kau tahu saja, Arya. Aku kenal ilmu-ilmu milik Perguruan Camar Sakti
seperti aku mengenal ilmu-ilmuku sendiri. Dan..., aliran ilmu milik para
penyerbu ini kuketahui betul, ilmu-ilmu milik Perguruan Camar Sakti!"
Dewa Arak kontan terdiam. Pemuda berambut putih keperakan itu menyadari kalau
sekarang dirinya tidak bisa membantah lagi. Masalahnya, Ki Tapaksi Mandragunta
mampu menunjukkan bukti-buktinya.
"Mungkin dugaanmu mengenai para penyerbu yang berasal dari Perguruan Camar Sakti
ini benar, Ki. Tapi. ., apakah kau yakin kalau tindakan mereka ini sepengetahuan
pimpinan mereka"
Apakah bukan tak mungkin kalau tindakan-tindakan seperti ini dilakukan beberapa
gelintir murid saja" Dan kalau demikian halnya, rasanya tidak adil sekali
menimpakan kesalahan pada semua anggota Perguruan Camar Sakti!" kali ini Melati


Dewa Arak 57 Perguruan Kera Emas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang membuka suara. Terdengar berapi-api dan penuh semangat pernyataan yang
diberikannya. Ki Tapaksi Mandragunta mengangguk-anggukkan kepala seraya mengerutkan dahi.
Menilik sikapnya dapat diketahui kalau dirinya menerima pendapat yang diberikan
Melati. "Apa yang kau ucapkan sama sekali tidak salah, Melati. Kuucapkan terima kasih
atas saranmu yang bagus ini. Aku pun sadar kalau di perguruanku belum tentu
semua murid berhati luhur. Bukan tak mungkin, kelak di antara mereka akan ada
yang menjadi penjahat keji! Ahhh...!
Betapa piciknya pandanganku. .!"
"Lalu..., sekarang apa yang akan kau lakukan, Ki"!" tanya Dewa Arak, ingin tahu,
tanpa menyembunyikan rasa gembiranya melihat sikap Ki Tapaksi Mandragunta.
"Tetap pada tujuanku semula, Arya! Mengunjungi Perguruan Camar Sakti! Akan
kucoba berbincang-bincang dengan Ki Liwung Perkasa. Semua masalah yang menimpaku
akan kusampaikan. Tak lupa kubawa para pengeroyok kami. Aku akan berusaha
menyelesaikan masalahnya secara baik-baik!"
"Kami berada di belakangmu, Ki," sambut Dewa Arak cepat.
"Terima kasih atas dukunganmu, Arya!" ujar Ki Tapaksi Mandragunta, tulus.
"Lupakanlah, Ki!" timpal Dewa Arak dengan perasaan tidak enak.
Setelah mengobati luka-luka Handaka, rombongan yang dipimpin Ki Tapaksi
Mandragunta pun bergerak menuju markas Perguruan Camar Sakti. Di dalam rombongan
mereka terdapat sosok-sosok berpakaian hitam yang berhasil mereka tawan.
*** Tak lama kemudian, pagar yang melingkari bangunan-bangunan Perguruan Camar Sakti
telah terlihat. Dari kejauhan pagar itu kelihatan demikian kokoh kuat. Berdiri
tegak dan angker!
Dua orang murid Perguruan Camar Sakti yang bertugas menjaga pintu gerbang segera
melihat datangnya serombongan orang yang menuju markas mereka.
"Cepat beritahukan pada Kakang Jalatunda! Katakan ada serombongan orang menuju
kemari! Keadaan dan sikap mereka mencurigakan sekali!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, murid Perguruan Camar Sakti yang berkulit
hitam legam laksana arang, bergegas membalikkan tubuh dan berlari ke dalam.
Sementara penjaga pintu gerbang yang satu lagi, berdiam diri di tempatnya dengan
pandangan tertuju ke depan, menatap rombongan Ki Tapaksi Mandragunta.
Ki Tapaksi Mandragunta dan yang lain-lainnya pun bukan orang bodoh. Begitu
melihat salah seorang penjaga pintu gerbang Perguruan Camar Sakti berlari ke
dalam secara demikian tergopoh-gopoh, mereka sudah dapat menduga apa yang akan
dilakukan penjaga itu. Apalagi kalau bukan melaporkan kedatangan mereka"
Meskipun telah menduga demikian, Ki Tapaksi Mandragunta beserta rombongan tetap
bersikap tenang. Tidak terlihat adanya kegugupan atau pun kegelisahan, baik
dalam tarikan wajah maupun sorot mata.
Dugaan mereka tidak salah. Begitu jarak antara mereka dengan pintu gerbang
tinggal delapan tombak lagi, di depan pintu gerbang, berkerumun sosok-sosok
berpakaian hitam. Mereka semua murid Perguruan Camar Sakti.
Berdiri paling depan seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk
Jebat. Menilik dari tindak-tanduknya dialah pimpinan rombongan itu. Dan dugaan demikian
memang tidak salah. Lelaki bercambang bauk lebat ini murid kepala Perguruan
Camar Sakti. Jalatunda, demikian namanya.
Trek! Trek! Trekkk!
Terdengar bunyi berkeretekan ketika semua murid Perguruan Camar Sakti menyentuh
gagang senjata masing-masing. Menilik tindakan itu, dapat diketahui kalau mereka
telah siap untuk bertempur.
Tentu saja tindakan itu membuat Ki Tapaksi Mandragunta, Dewa Arak, Melati, dan
Handaka saling berpandangan satu sama lain. Hanya Handaka sendiri yang mengalami
sial. Masalahnya, dialah yang mendapat tugas untuk menjaga tawanan. Semua sosok
berpakaian hitam itu dikumpulkan dan diikat menjadi satu. Kemudian tali yang
mengikat mereka semua, dipegangnya.
Meskipun demikian, tidak berarti Ki Tapaksi Mandragunta dan rombongan menjadi
gentar karenanya. Sama sekali tidak! Mereka mempunyai prinsip! Selama berada di
jalan kebenaran, mereka tak akan pernah mengenal perasaan gentar. Apalagi hanya
menghadapi keroco-keroco seperti murid-murid Perguruan Camar Sakti.
Itulah sebabnya, tetap dengan sikap dan langkah tenang mereka mengayunkan kaki.
Ingin tahu apakah tindakan yang akan dilakukan murid-murid Perguruan Camar Sakti
itu"! Begitu jarak antara rombongan Ki Tapaksi Mandragunta dengan pintu gerbang
Perguruan Camar Sakti tinggal beberapa tombak lagi, Jalatunda mengibaskan
tangan. Seketika itu pula murid-murid Perguruan Camar Sakti bergerak menyebar.
Kemudian.. . Srat! Srat! Srattt!
Sinar terang menyilaukan mata langsung be-keredepan, ketika murid-murid
Perguruan Camar Sakti menghunus pedang masing-masing.
"Rupanya kekhawatiranmu benar, Arya. Perguruan Camar Sakti benar-benar telah
berniat memusnahkan Perguruan Kera Emas. Kau lihat sendiri kan, kenyataannya"!"
bisik Ki Tapaksi Mandragunta, bernada keluh.
"Aku masih belum yakin, Ki. Mungkin ada kesalahpahaman di sini. Kalau tidak,
mana mungkin Ki Liwung Perkasa akan membiarkan murid-muridnya menghadapimu"!
Sedikit banyak dia kan bisa mengukur kalau tingkatan murid-muridnya tak bisa
dibandingkan denganmu"!"
Ki Tapaksi Mandragunta menganggukkan kepala. Bisa diterimanya alasan yang
dikemukakan Dewa Arak.
"Jadi. ., maksudmu bahwa Ki Liwung Perkasa tak tahu-menahu tentang kejadian
ini"!"
"Kira-kira begitulah...," hanya demikian sambutan Dewa Arak.
8 "Itu dia pembunuhnya...!" seru seorang murid Perguruan Camar Sakti yang bertubuh
kecil kurus seraya menudingkan jari telunjuknya pada Handaka.
Karuan saja Handaka kelabakan mendengarnya. Mengapa dia dituduh membunuh"!
Apakah telinganya tak salah dengar" Atau.. , murid Perguruan Camar Sakti itu
yang sudah gila"
Bukan hanya Handaka yang merasa terkejut, Ki Tapaksi Mandragunta, Dewa Arak, dan
Melati pun demikian. Mengapa Handaka dituduh membunuh" Siapa yang telah
dibunuhnya" Dan kapan hal itu dilakukannya"
'Tunggu...! Harap kalian bersedia menjelaskan masalahnya," cegah Ki Tapaksi
Mandragunta, seraya mengangkat tangan kanan ke atas untuk mencegah murid-murid
Perguruan Camar Sakti melancarkan serangan.
Namun murid-murid Perguruan Camar Sakti tampak tak mempedulikannya. Di bawah
pimpinan Jalatunda, mereka menerjang rombongan Ki Tapaksi Mandragunta. Golokgolok di tangan mereka berkelebatan menyerang Ki Tapaksi Mandragunta dan
rombongan. "Aku yakin mereka hanya salah paham, Ki. Lebih baik kita tak usah menjatuhkan
tangan keras! Agar kesalahpahaman ini tidak menjadi berlarut-larut. Kau dengar,
Melati"!"
"Kau benar, Arya," jawab Ki Tapaksi Mandragunta seraya menganggukkan kepala.
Memang, Ketua Perguruan Kera Emas itu merasakan adanya kebenaran dalam ucapan
Dewa Arak. Pada saat yang hampir bersamaan dengan jawaban Ki Tapaksi Mandragunta, Melati
pun memberikan tanggapan terhadap pertanyaan Dewa Arak dengan anggukan kepala
pertanda mengerti.
"Heaaa. .!"
Saat itulah serangan murid-murid Perguruan Camar Sakti meluncur bagaikan hujan,
ke arah Ki Tapaksi Mandragunta dan rombongan.
Namun, bagi Ki Tapaksi Mandragunta, Melati, dan Dewa Arak serangan keroco-keroco
itu tentu saja tak banyak berarti. Hanya dengan beberapa gerakan sederhana
serangan-serangan itu dapat dielakkan.
Dengan cepat ketiga tokoh itu berkelebat ke sana kemari menghindari serangan
lawan. Sementara Handaka hanya berdiam diri.
Handaka berada tepat di belakang tiga tokoh itu. Dengan sendirinya, apabila
murid-murid Perguruan Camar Sakti itu hendak mengirimkan serangan terhadapnya,
mereka harus melalui Dewa Arak, Ki Tapaksi Mandragunta, dan Melati!
Sementara itu tindakan Dewa Arak, Ki Tapaksi Mandragunta, dan Melati tidak hanya
sampai pada melakukan elakan. Begitu berhasil melakukan elakan-elakan, mereka
pun mulai melancarkan serangan balasan.
"Hih!"
Seperti telah disepakati saja, ketiga tokoh sakti ini melakukan tindakan sama.
Mereka merampas senjata lawan-lawan mereka. Tindakan itu membuat murid-murid
Perguruan Camar Sakti tampak kebingungan ketika melihat tangan mereka telah
kosong. Tidak ada sesuatu pun yang tergenggam di sana. Dan ketika mereka semua
termasuk Jalatunda mengalihkan pandangan ke Dewa Arak, Melati, dan Ki Tapaksi
Mandragunta, tampak senjata-senjata itu di tangan mereka.
Jalatunda dan adik-adik seperguruannya terdiam dengan perasaan bingung yang
mencekam. Karena sebenarnya mereka tidak sadar tadi, bagaimana caranya senjatasenjata itu berpindah tangan.
Yang mereka tahu, tadi, untuk sesaat tangan mereka lumpuh. Mungkinkah pada saat
itu Ki Tapaksi Mandragunta dan rombongannya merebut senjata-senjata mereka.
Pertanyaan-pertanyaan yang menggayuti benak membuat murid-murid Perguruan Camar
Sakti terdiam beberapa saat lamanya. Tiba-tiba. ..
"Luar biasa.. ! Betapa gagahnya...! Tidak salahkah penglihatanku kali ini"
Benarkah yang kulihat Ki Tapaksi Mandragunta, Ketua Perguruan Kera Emas." Kalau
benar demikian, mengapa begitu tak tahu malu bermain-main dengan keroco-keroco
yang tidak punya arti"!"
Sebenarnya ucapan itu dikeluarkan dengan suara pelan. Namun anehnya seperti
mengandung getaran kuat yang mampu menyelusup sampai ke lubuk hati. Bukan hanya
Ki Tapaksi Mandragunta, Dewa Arak, dan Melati pun ikut menoleh pula.
Hanya saja di antara mereka bertiga, wajah Ki Tapaksi Mandragunta yang tampak
merah padam, Ketua Perguruan Kera Emas itu malu bukan kepalang, mendengar
pernyataan yang jelas-jelas menyindirnya itu. Ki Tapaksi Mandragunta tahu siapa
pemilik suara itu. Dirinya merasa pemilik suara itu pernah akrab dengannya,
puluhan tahun yang lalu. Siapa lagi kalau bukan Ki Liwung Perkasa"
Dan benar di depan mereka tampak berkelebat sosok bayangan hitam yang melesat
begitu cepat. Wusss! Jliggg! Laksana daun kering, sosok berpakaian hitam itu mendaratkan kaki di tanah.
Hampir tak terdengar sedikit pun bunyi yang ditimbulkannya. Jelas hal ini
menjadi pertanda kalau sosok berpakaian hitam ini memiliki ilmu meringankan
tubuh tinggi. Sosok berpakaian hitam itu ternyata seorang kakek bertubuh pendek kekar. Pada
bagian dadanya yang tak tertutup tampak bulu-bulu lebat berwarna hitam.
"Ki Liwung Perkasa...," desis Ki Tapaksi Mandragunta seraya menatap sosok tubuh
yang telah berdiri sekitar enam tombak di depannya.
"Ha ha ha. .! Rupanya kaumasih ingat denganku, Gunta?" ujar sosok berpakaian
hitam yang ternyata Ki Liwung Perkasa, Ketua Perguruan Camar Sakti!
"Bagaimana mungkin aku melupakanmu, Kang Liwung" Bagaimanapun kita tetap saudara
seperguruan. Kau tetap sebagai kakak seperguruanku."
Ki Liwung Perkasa tersenyum sinis.
"Manis benar ucapanmu, Gunta! Di depanku kau mengatakan demikian, tapi kalau
tidak ada aku, mungkin murid-muridku telah kau binasakan semua! Untung aku
segera datang hingga nyawa mereka masih utuh."
"Kau salah paham, Kang Liwung! Aku tidak pernah berniat membunuh murid-muridmu.
Bahkan melukainya pun tidak! Yang kulakukan hanya mencegah mereka melukaiku!"
bantah Ki Tapaksi Mandragunta, agak keras.
"Bohong...!" Ki Liwung Perkasa tetap pada pendiriannya. "Kalau kau tak punya
maksud tertentu, mengapa datang ke tempatku. Dengan secara berbondong-bondong
lagi! Lalu..., siapa pula orang-orang berpakaian hitam itu"!"
"Itulah sebabnya aku kemari, Kang Liwung! Kau tahu murid-muridku yang bertugas
mengawal barang kiriman tewas dibantai. Dan pada salah satu mayat itu terhunjam
benda ini!"
Sambil berkata demikian, Ki Tapaksi Mandragunta melemparkan pisau yang mempunyai
gagang berbentuk kepala burung camar.
Tanpa banyak bicara Ki Liwung Perkasa menangkap pisau itu dan memeriksanya.
"Rupanya kau hendak melempar batu sembunyi tangan. Gunta! Kau hanya berani
berbuat, tanpa berani bertanggung jawab. Padahal, murid Perguruan Kera Emas yang
mengacau di perguruanku. Tapi kini, kau malah mengatakan sebaliknya!"
"Fitnah!" teriak Ki Tapaksi Mandragunta keras, "Tak ada seorang pun murid
Perguruan Kera Emas yang melakukan kekejian seperti tuduhanmu!"
"Ooo..., begitu"! Kimpil..., kemari kau! Dan ceritakanlah pada Ki Tapaksi
Mandragunta yang terhormat ini, mengenai tindak kekejian muridnya!"
*** Kimpil, murid Perguman Camar Sakti yang bertubuh kecil kurus melangkah maju.
"Benar, Guru. Dialah orang yang telah mela kukan pembunuhan terhadap beberapa
orang murid Perguman Camar Sakti semalam. Aku sempat memergokinya. Tapi sayang,
dia keburu melarikan diri!" ujar Kimpil menjelaskan.
"Fitnah! Pembohong sepertimu harus dihajar!"
Karena tak mampu menahan amarahnya, Ki Tapaksi Mandragunta melesat ke arah
Kimpil. Tangan kanannya digerakkan menyampok. Untungnya, Ketua Perguman Kera Emas ini
masih ingat untuk tidak mengirimkan serangan yang mematikan! Maka sampokan itu
ditujukan ke arah bahu.
Meski yang dituju bahu, tetap saja serangan itu amat berbahaya. Tenaga yang
terkandung dalam serangan itu amat besar. Jangankan bahu manusia. Batu karang
pun dapat hancur oleh pukulan Ki Tapaksi Mandragunta.
"Ki...!"
Dewa Arak terkejut bukan kepalang melihat tindakan Ki Tapaksi Mandragunta yang
sama sekali tak disangka-sangkanya. Namun, untuk mencegah, pemuda berambut putih
keperakan itu tidak sempat lagi. Yang dapat dilakukannya hanya mengeluarkan
teriakan kaget.
Ki Liwung Perkasa dan semua yang ada di situ pun demikian. Mereka tahu kalau
keselamatan Kimpil terancam.
Ki Tapaksi Mandragunta pun sebenarnya kaget bukan kepalang. Tapi apa daya"
Dirinya sudah tak mampu lagi untuk menahan serangannya. Yang dapat dilakukan
hanya mengurangi tenaga. Itu pun hanya sedikit sekali.
"Heaaa. .!"
Wuttt! "Hah"!"
Mendadak terjadilah sebuah peristiwa yang membuat semua murid Perguruan Camar
Sakti, Ki Liwung Perkasa, dan Ki Tapaksi Mandragunta terkejut bukan kepalang.
Dalam waktu yang demikian singkat, Kimpil mampu memutar tubuh bagian atasnya
dengan bertumpu pada pinggang!
Yang menjadi penyebab keterkejutan mereka semua, jurus aneh seperti yang
dilakukan Kimpil tak pernah diajarkan di Perguruan Camar Sakti. Bahkan terlihat
jelas kalau gerakan itu mempunyai aliran lain.
"Dari mana kau dapatkan gerakan itu, Kimpil"!" tanya Ki Liwung Perkasa, setengah
membentak. Kimpil mundur-mundur. Pertanyaan bernada keras Ki Liwung Perkasa membuatnya
sadar kalau Ketua Perguruan Camar Sakti itu merasa curiga padanya. Maka lelaki
bertubuh pendek dan kekar itu tampak kebingungan.
Saat itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Tapaksi Mandragunta.
"Gerakan yang dilakukannya bukan merupakan jurus milik Perguruan Camar Sakti!
Jangan-jangan dia diselundupkan masuk untuk mengadu domba perguruan kita, Kang!"
Ki Liwung Perkasa tertegun ketika menyadari adanya kebenaran dalam ucapan Ki
Tapaksi Mandragunta. Tentu saja Ki Tapaksi Mandragunta tahu, maka segera
dipergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
"Aku punya saksi kuat akan banyaknya orang-orang Perguruan Kera Emas yang
dibunuh! Kau pernah dengar julukan Dewa Arak"! Nah! Dialah yang menjadi saksi semua
kejadian!"
kemudian secara singkat tapi jelas, Ketua Perguruan Kera Emas menceritakan semua
kejadiannya. Ketika Ki Tapaksi Mandragunta menceritakan semua kejadiannya, Kimpil menolehkan
kepala ke kanan dan ke kiri. Tampaknya tengah mencari celah-celah untuk
melarikan diri. Namun, kesempatan itu tak pernah ada. Semua orang yang berada di
situ telah mengawasi, begitu Ki Tapaksi Mandragunta mengutarakan kecurigaannya.
"Ah! Jadi..., kau Dewa Arak yang terkenal itu"! Sama sekali tak kusangka akan
berkenalan denganmu. Urusan apa yang menyebabkanmu kemari, Dewa Arak"!" tanya Ki
Liwung Perkasa, ramah penuh bernada gembira.


Dewa Arak 57 Perguruan Kera Emas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kebetulan saja, Ki," jawab Dewa Arak, seraya menyunggingkan senyum lebar.
Kemudian secara gamblang pemuda berambut putih keperakan ini menceritakan semua
kejadian yang menimpanya. Kali ini dengan sebenar-benarnya.
"Aku yakin sosok yang bermaksud membunuhku menyusup sebagai orang dalam
Perguruan Kera Emas. Itu dugaanku sejak semula. Sama sekali tak kusangka kalau
di Perguruan Camar Sakti pun ada penyelusupnya. Jelas, maksud orang itu ingin
mengadu domba!" ujar Dewa Arak mencoba menguraikan secara panjang lebar apa yang
menjadi kesimpulannya sejak semalam.
Ki Tapaksi Mandragunta dan Ki Liwung Perkasa mengangguk-anggukkan kepala seakanakan ia membenarkan kesimpulan Dewa Arak Telah mereka buktikan sendiri
kenyataannya. "Sekarang tinggal kita usahakan untuk mengorek keterangan itu dari mulut
Kimpil!" tandas Ki Liwung Perkasa seraya mengalihkan perhatian pada lelaki kecil kurus
itu. "Kimpil...!" Ki Liwung Perkasa menyapa dengan suara keras. "Sama sekali tak
kusangka kalau kau seorang penjahat keji. Berarti masuknya kau setengah purnama
yang lalu bertujuan untuk mengacau. Sekarang katakan siapa yang menjadi
pemimpinmu, Kimpil! Kami berjanji akan membebaskanmu kalau kau menjawab
sejujurnya!"
Kimpil tak memberikan tanggapan sama sekali. Namun sesaat kemudian tubuhnya
roboh ke tanah. Mati!
Semua mata yang ada di tempat itu tentu saja terbelalak kaget bercampur heran
menyaksikan kejadian itu. Tiba-tiba saja tubuh Kimpil tergeletak kaku di atas
tanah tanpa mereka tahu penyebabnya.
Ki Tapaksi Mandragunta dan Ki Liwung Perkasa, serta Dewa Arak segera menghambur
ke sana. Mereka bergegas memeriksa mayat Kimpil. Namun ketika melihat lendir
yang mengalir dari mulut lelaki kecil kurus itu, mereka pun tahu apa sebabnya.
Kimpil bunuh diri dengan menelan racun.
"Hhh...!" Ki Liwung Perkasa menghela napas berat, "Sekarang masalahnya kembali
gelap! Dengan tewasnya Kimpil, masalah ini sukar untuk terpecahkan. Kita tidak tahu di
mana keberadaan orang yang berdiri di balik kejadian ini."
"Bukankah kita mempunyai tawanan-tawanan lainnya," tukas Ki Tapaksi Mandragunta.
Ucapan Ki Tapaksi Mandragunta membuat semua orang yang berada di situ
mengalihkan perhatian pada Handaka. Karena pemuda berpakaian kuning itulah yang
bertugas menjaga tawanan.
Namun harapan yang memancar di wajah dan mata mereka semua mendadak pudar,
ketika melihat empat tawanan yang mereka bawa pun meninggal dunia. Tak seorang
pun yang tahu kejadian itu sebelumnya, sebab para tawanan itu masih tetap
berdiri, tidak ambruk. Hal itu terjadi karena mereka berdiri saling menempel.
"Mengapa mereka bisa tewas juga, Ayah?" tanya Handaka, tanpa menyembunyikan
herannya. "Mengapa tak kau tanyakan pada pendekar besar yang ada di sini"!" Ki Tapaksi
Mandragunta mengajukan usul pada putranya.
Pemuda berpakaian kuning itu pun menoleh kepada Dewa Arak yang hanya menggelenggelengkan kepala. "Kau hanya membuatku malu saja, Ki. Apa artinya pengetahuan
yang kumiliki bila dibanding denganmu"!" kilahnya merendah.
"Jadi. ., kau juga tak tahu, Dewa Arak"!" tanya Handaka.
"Kalau yang ini tahu, Handaka. Racun itu telah berada di dalam mulut mereka.
Mungkin di sela-sela gigi. Jadi, apabila diperlukan tinggal menggigit saja. Air
liur akan melarutkannya. Dan racun pun langsung bekerja," urai Dewa Arak panjang
lebar. Handaka mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan Dewa Arak. Ki Tapaksi
Mandragunta dan Ki Liwung Perkasa pun di dalam hatinya memuji keluasan pandangan
Dewa Arak! "Sekarang baru masalah ini kembali gelap seperti semula, Kang Liwung. Siapa
orang yang menjadi dalang kekacauan ini. Lalu..., di mana dia berada, di
Perguruan Camar Sakti atau di Perguruan Kera Emas. Sulit untuk dipastikan!"
keluh Ki Tapaksi Mandragunta.
Suasana berubah hening ketika ucapan Ketua Perguruan Kera Emas itu selesai.
Mereka semua yang ada di tempat itu tenggelam dalam alun pikiran masing-masing.
"Ki...! Aku punya dugaan kuat di mana sang Dalang itu berada... "
"Di mana, Arya"!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta tak sabar.
"Di perguruanmu. Asal tahu saja dia memiliki kepandaian yang amat tinggi.
Bahkan..., maaf bukan maksudku untuk menyinggung kalian berdua, Ki. Kepandaian
orang itu berada di atas kalian. Tapi anehnya, aku merasa dalang itu memiliki
ilmu-ilmu yang sealiran dengan kalian," ujar Dewa Arak menjelaskan.
Bukan merupakan hal yang aneh kalau Dewa Arak dapat mengambil kesimpulan
demikian, dua kali sosok yang tidak jelas itu melancarkan serangan terhadapnya.
Ki Tapaksi Mandragunta dan Ki Liwung Perkasa saling tatap sebentar. Tampaknya
ada sesuatu yang mereka rahasiakan.
"Mengapa kau bisa mengambil kesimpulan demikian, Arya"!" tanya Ki Tapaksi
Mandragunta, ingin tahu.
"Aku pernah bertarung dengan Handaka. Dan kulihat ada gerakan-gerakan mereka
yang mirip. Tapi, yang jelas, mereka berasal dari satu aliran!"
"Kalau begitu..., mungkinkah dia Gagak Seta, Kang Liwung"!"
"Mengapa tidak"! Hanya dialah satu-satunya orang yang memiliki aliran kita."
"Gagak Seta"! Siapa dia?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Kakak seperguruan kami. Tapi telah diusir sebelum tamat oleh guru kami, karena
mempunyai watak yang tidak baik. Rupanya dia dendam pada kami. Karena kamilah
yang melaporkan tindakan tak patutnya," jelas Ki Tapaksi Mandragunta, singkat.
"Tapi, kalau dia menyelusup sebagai orang dalam di perguruanku..., rasanya
sulit. Masalahnya aku pasti mengenalinya.... Astaga...! Mengapa aku begitu
pikun"!"
Ucapan Ki Tapaksi Mandragunta yang kelihatan demikian kaget membuat, semua orang
yang berada di situ menolehkan kepala ke arahnya.
"Ah! Sekarang aku ingat! Gagak Seta pasti Gaseta!" seru Ki Tapaksi Mandragunta,
penuh perasaan kaget
"Kakek yang pekerjaannya membersihkan halaman dan bangunan, Ayah"!" tanya
Handaka. "Benar," Ki Tapaksi Mandragunta menganggukkan kepala, "Pantas sewaktu
melihatnya, aku merasa pernah bertemu dengannya. Sayangnya aku lupa kapan dan di
mana. Masalahnya sedikit banyak dia menyamarkan diri."
"Kalau demikian tunggu apa lagi"! Mari kita ke sana, Ki!" ajak Dewa Arak.
"Kau benar!"
*** Hari telah menjelang senja ketika Ki Tapaksi Mandragunta, Handaka, Melati, dan
Dewa Arak telah berada tak jauh dari Perguruan Kera Emas.
'"Kau lihat itu, Dewa Arak"!" seru Ki Tapaksi Mandragunta seraya menudingkan
jari telunjuknya ke depan.
Pertanyaan itu ditujukan pada Dewa Arak. Tapi tidak hanya pemuda berambut putih
keperakan itu yang langsung mengarahkan pandangan ke sana. Handaka dan Melati
pun demikian. Dari kejauhan tampak asap membumbung tinggi ke angkasa. Hitam pekat dan
bergumpal-gumpal. Sesekali terlihat cahaya kemerahan di antara asap-asap tebal
itu. Sekilas saja dapat diketahui kalau asap seperti ini hanya timbul dari
sebuah kebakaran yang cukup besar.
"Kebakaran"!" hampir bersamaan Dewa Arak, Melati, dan Handaka berteriak kaget.
"Benar!" sambut Ki Tapaksi Mandragunta dengan suara bergetar karena menahan
gejolak pera-saan. "Dan kalian perhatikan letaknya!"
"Sepertinya dari...."
"Perguruan Kera Emas!" selak Ki Tapaksi Mandragunta, "Si Keparat Gagak Seta
pasti telah membumihanguskan perguruanku!"
"Kalau begitu, mari kita bergegas!"
Tanpa menunggu tanggapan Dewa Arak Ki Tapaksi Mandragunta langsung melesat.
Melihat kegusaran Ketua Perguruan Kera Emas itu, Dewa Arak segera melesat cepat.
Tak tanggung-tanggung dikerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.
Hingga dalam sekejap saja sosok berpakaian ungu itu telah berada puluhan tombak
meninggalkan ketiga kawannya yang lain.
Melihat Dewa Arak telah berada puluhan tombak di depan, Ki Tapaksi Mandragunta,
Melati, dan Handaka pun melesat cepat untuk menyusul.
Betapa pun Ki Tapaksi Mandragunta, Melati, dan Handaka mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki, mereka tidak mampu menyusul Dewa Arak Malah
sebaliknya, jarak antara mereka semakin bertambah jauh.
Sementara itu, Dewa Arak terus berlari cepat mengerahkan seluruh kemampuannya.
Disadari sekarang waktu berharga sekali. Sekejap mata saja sama harganya dengan
beberapa nyawa. Masalahnya, bukan tidak mungkin di sana Gagak Seta tengah
melakukan pembantaian!
Tak berapa lama kemudian, Dewa Arak telah berada di depan pintu gerbang
Perguruan Kera Emas. Tanpa pikir panjang lagi, dilompatinya pagar kayu yang mengelilingi kelompok bangunan. Ini terpaksa dilakukan karena pintu
gerbang tertutup dan tanpa penjaganya sama sekali!
"Heaaa. .!"
Jliggg! Begitu mendaratkan kedua kaki secara mantap di tanah, Dewa Arak langsung
mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Beberapa tombak di depannya, di dekat
kobaran api yang membakar bangunan-bangunan Perguruan Kera Emas, tampak seorang
kakek bertubuh kecil kurus berpakaian hitam tengah dikeroyok beberapa orang
murid Perguruan Kera Emas.
Hanya sekilas pandang, Dewa Arak tahu kalau terlambat sedikit saja, delapan
murid Perguruan Kera Emas akan tewas di tangan kakek kecil kurus itu. Karena,
meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak, jalannya pertarungan seperti
sekelompok semut menerjang api.
Semuanya roboh sebelum berhasil mencapai tujuan.
"Hih!"
Kakek kecil kurus yang ternyata Gagak Seta ini mengibaskan tangannya. Seketika
itu pula, beberapa buah benda berkilat melesat memburu delapan orang murid
Perguruan Kera Emas.
Terlihat jelas betapa mereka terkejut melihat serangan yang tidak disangkasangka telah meluncur dengan kecepatan menakjubkan itu
Sudah dapat dipastikan kalau nasib sisa murid Perguruan Kera Emas itu akan
selesai sampai di situ. Untung, di saat terakhir Dewa Arak menghentakkan kedua
tangan ke depan.
"Hih!"
Wusss! Serentetan angin kencang membadai meluncur dari kedua telapak tangan Dewa Arak.
Angin itu melesat begitu cepat menerjang benda-benda berkilat itu.
Srattt! Prakkk! Benda-benda senjata rahasia itu berpentalan jatuh ke tanah. Dan sebelum Gagak
Seta bertindak lebih jauh, Dewa Arak bergerak mendahului. Pemuda berambut putih
keperakan ini melompat memasuki kancah pertarungan. Dalam kesejap saja kakinya
telah mendarat begitu ringan di antara murid-murid Perguruan Kera Emas dan Gagak
Seta. "Menyingkirlah...! Dia bukan tandingan kalian," ujar Dewa Arak, pelan tapi
tegas. Tanpa menunggu perintah dua kali, delapan orang murid Perguruan Kera Emas,
bergerak menjauh. Sekarang yang tinggal hanya Dewa Arak berhadapan dengan Gagak
Seta. "Ha ha ha.. !" Gagak Seta tertawa terbahak-bahak, "Tak pernah kusangka akan
berhadapan denganmu, Dewa Arak! Semula, kupikir kau akan mati pada pertemuan
pertama kita kemarin!"
"Tidak usah banyak cakap, Gagak Seta!" sergah Dewa Arak. "Kejahatanmu telah
melampaui batas! Hanya mautlah yang dapat menghentikan tindakan angkara murkamu!
Bersiaplah kau, Seta!"
"Sombong! Kaulah yang akan mampus di tanganku, Dewa Arak! Hiyaaat..!"
Seiring keluarnya teriakan, Gagak Seta melompat menerjang Dewa Arak. Kemudian,
di saat tubuh kakek kecil kurus itu melayang di udara tinju kanannya dihantamkan
ke dada Dewa Arak
"Hih...!"
Wusss! Deru angin keras yang mengiringi serangan itu menjadi pertanda kekuatan tenaga
dalam yang terkandung di dalamnya. Dewa Arak pun tak berani bertindak gegabah.
Buru-buru dilemparkan tubuhnya ke samping. Dan di saat berada di udara, diambil
gucinya. Kemudian dituangkan isinya ke dalam mulut. Memang, dia telah mengisi
gucinya dengan arak hingga penuh ketika singgah di sebuah kedal sebelum menyusul
Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka.
Gluk... Gluk.. Gluk.. !
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam
perjalanannya menuju ke lambung. Sesaat kemudian, hawa hangat berputaran di
dalam perutnya.
Kemudian, hawa itu merayap ke atas menuju kepala.
Jliggg! Begitu mendaratkan kaki di tanah, tubuh Dewa Arak langsung sempoyongan. Oleng ke
sana-sini. Ini menjadi pertanda kalau ilmu 'Belalang Sakti'nya telah siap
dipergunakan. Masalahnya, dia tahu kalau Gagak Seta telah mengeluarkan ilmu yang
diandalkannya. "Inikah ilmu 'Belalang Sakti' yang tersohor"! Ingin kulihat mampukah menghadapi
ilmu 'Tangan Maut'ku?"
Belum jelas gema ucapannya, Gagak Seta telah menerjang Dewa Arak Kali ini kakek
itu melancarkan totokan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan leher Dewa Arak
dengan jari-jari tangan menegang kaku mirip pasangan jurus 'Ular'.
Tampaknya Dewa Arak tak ingin mengelak. Dipapaknya serangan bertubi-tubi yang
mengancam tempat-tempat mematikan itu dengan kedua tangan setengah terbuka.
"Hiaaa.. !"
Prat! Prattt! "Uh!"
Gagak Seta mengeluarkan keluhan tertahan dari mulutnya ketika menyadari
tangannya terasa sakit. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah, selangkah
lebih jauh dari Dewa Arak.
Jelas, dalam hal kekuatan tenaga dalam dirinya berada di bawah pemuda berambut
putih keperakan yang amat lihai itu!
Tapi, saat itu juga Gagak Seta langsung mempertunjukkan kelihaian ilmu 'Tangan
Maut'nya. Secepat tarikan napasnya kakek kurus itu memperbaiki kedudukannya,
melancarkan serangan susulan dengan susunan jari berbeda. Inilah keistimewaan
ilmu 'Tangan Maut'! Dalam satu kali meluncurkan tangan, dapat menciptakan
berbagai serangan, sesuai dengan perubahan sikap jari.
"Hia...!"
Wuttt! "Hih...!"
Namun, dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'nya, Dewa Arak berhasil membuat
serangan lawan pupus. Bahkan dia mampu mengirimkan serangan balasan yang tak
kalah dahsyat. Pertarungan sengit pun tak dapat dielakkan.
"Hih...!"
Wuttt! Sebuah pertarungan yang hebat tengah berlangsung di sekitar kobaran api di
lingkungan markas Perguruan Kera Emas. Setiap kali Dewa Arak melancarkan
serangan, angin menderu terlontar dari tangannya. Begitu pula yang dilakukan
Gagak Seta. Setiap pukulannya mampu menghempaskan kobaran api yang membakar
bangunan itu. Jangankan terkena langsung, angin serangan kedua tokoh itu saja telah cukup
untuk membuat keadaan di sekitar pertarungan berantakan. Tanah terbongkar di
sana-sini. Bahkan kobaran api yang tidak begitu besar mendadak semakin berkobar
hebat.Asap hitam menyelimuti tempat pertarungan.
Jurus demi jurus berlalu cepat karena kedua belah pihak sama-sama memiliki
gerakan cepat. Yang terlihat hanyalah bayangan hitam dan ungu yang saling belit.
Hanya sesekali saja kedua bayangan itu saling pisah. Tak terasa dua puluh jurus
telah berlalu. Di saat itulah, Ki Tapaksi Mandragunta, Melati, dan Handaka tiba. Dengan penuh
perhatian mereka menyaksikan jalannya pertarungan. Diam-diam Ki Tapaksi
Mandragunta harus mengakui kalau kepandaian Gagak Seta berada di atas dirinya.
Untung, ada Dewa Arak. Kalau tidak, dia bisa tewas di tangan bekas kakak
seperguruannya itu.
Sementara itu pertarungan semakin berlangsung sengit. Seratus lima puluh jurus
telah lewat. Dan sekarang sudah, terlihat tanda-tanda pihak pihak yang akan
keluar sebagai pemenang.
Dewa Arak telah menguasai keadaan.


Dewa Arak 57 Perguruan Kera Emas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tampak Gagak Seta hanya mampu bermain mundur. Keistimewaan ilmu 'Tangan Maut'nya tetap tak mampu mengimbangi kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti'. Robohnya
Gagak Seta hanya tinggal menunggu waktu saja.
"Haaat. !"
Pada jurus ke seratus enam puluh tiga, Gagak Seta mengirimkan serangan dengan
menghentakkan kedua telapak tangan ke dada lawan. Melihat hal itu, dengan
perhitungan matang seorang ahli silat Dewa Arak merendahkan tubuhnya.
Dipasangnya kuda-kuda yang sangat rendah.
Kemudian, secepat kilat kedua tangannya dihantamkan ke dada lawan. Persis apa
yang dilakukan Gagak Seta.
Blakkk! "Hukh!"
Bunyi gemertak keras tulang-belulang yang berpatahan terdengar. Gagak Seta
terpekik kaget. Darah seketika muncrat dari mulutnya. Hantaman kedua tangan Dewa
Arak mendarat telak pada sasaran.
Seketika itu pula tubuh Gagak Seta terlontar deras sejauh beberapa tombak,
sebelum akhirnya terbanting di tanah. Tapi, patut dipuji kekuatan tubuhnya.
Dengan luka dalam cukup parah kakek kecil kurus itu masih mampu bertahan.
Melihat nasib yang menimpa bekas kakak seperguruannya, Ki Tapaksi Mandragunta
tiba-tiba merasa kasihan. Bergegas dihampirinya. Kemudian dia berjongkok di
dekat tubuhnya.
Gagak Seta menyunggingkan senyum getir.
"Untuk yang kesekian kalinya aku menjadi orang yang kalah," ujar kakek kecil
kurus ini terputus-putus.
"Lupakanlah itu, Kang Seta!" hibur Ki Tapaksi Mandragunta. "O ya, ada satu hal
yang masih mengganggu pikiranku. Dengan tingkat kepandaianmu yang seperti ini,
kurasa tidak sulit bagimu untuk membunuhku sejak kau datang kemari?"
"He he he...!" Gagak Seta tertawa terkekeh, "Kau tidak tahu, saat itu aku tengah
terluka dalam. Aku pun berjuang keras mengobatinya di tempatmu. Dan luka itu
sembuh beberapa hari sebelum munculnya Dewa Arak di sini. Luka itu terjadi
akibat aku salah melatih ilmu. Dan. .. Akh!"
Kepala Gagak Seta terkulai. Kakek kecil kurus itu tewas sebelum menyelesaikan
ucapannya. Meskipun demikian, sampai di situ semua sudah cukup mengerti.
Perlahan-lahan Ki Tapaksi Mandragunta bangkit, dan ditatapnya bangunan-bangunan
perguruannya yang telah menjadi puing. Bara api masih memerah. Namun, asap hitam
mulai menipis dihembus angin senja yang bertiup cukup kencang....
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Tusuk Kondai Pusaka 4 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Kuda Putih 3

Cari Blog Ini