Ceritasilat Novel Online

Titipan Berdarah 2

Dewa Arak 59 Titipan Berdarah Bagian 2


pada Jayeng Kertacundraka. Tentu saja dia mengharapkan imbalan uang!"
jelas Sukrasana. "Das ar manusia tidak kenal budi! Asal kau tahu saj a,
Kisanak. Andiningsih dulunya adalah s eorang jembel kecil yang kotor.
Berkat bel as kasih istri ketua perkumpulan kami, Setyaning, dia menjadi
gadis terhormat. Sungguh tidak kami sangka kalau kekejian seperti ini
diberikannya sebagai balas budi kebaikan yang telah diterimanya."
Penjelasan itu membuat rasa bimbang Dewa Arak at as kebenaran
cerita Andiningsih semakin besar. Sebab, penjelasan Sukrasana bisa
diterima akal sehat. Dengan sendirinya, kejanggal an cerita Andiningsih
mulai dapat dirasakan. Apakah mungkin suami istri tinggal di tempat yang
terpisah demikian jauh"
"Kalau benar ceritamu..., untuk apa bayi yang diculik Andiningsih
ini bagi Jayeng Kertacundraka"!" tanya Dewa Arak ingin tahu lebih jelas.
Karena pada bagian ini cerita Sukrasana teras a agak janggal.
"Untuk menjadi korban si a-sia atas ilmu yang tengah dituntutnya.
Perlu kau ketahui, Kisanak. Jayeng Kertacundraka seorang penganut ilmu
hitam. Dia membutuhkan darah bayi-bayi lelaki. Terutama bayi yang
mempunyai waktu lahir istimewa. Di malam bulan purnama, misalnya."
Sampai di sini Sukrasana menghentikan ceritanya. Ditelannya air
liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
"Darah seorang bayi yang lahir di malam jum"at wage sama
khasiatnya dengan darah dua puluh lima bayi yang lahir di malam biasa.
Dan bayi yang tengah kau gendong itu lahir di malam bulan purnama. Itu
sebabnya Jayeng Kertacundraka amat menyukainya. Jelas, Kisanak"!
Sekarang, serahkan bayi itu kepadaku!"
Tidak ada alas an lagi bagi Dewa Arak untuk meragukan
keterangan Sukrasana. Semua cerita yang dikatakannya masuk akal. Tapi,
haruskah bayi ini diserahkan pada lelaki itu" Lalu, bagaimana janjinya
dengan Andiningsih" Haruskah j anji itu diingkari" Dewa Arak dilanda
peras aan bimbang.
Di saat Dewa Arak tengah mempertimbangkan permintaan
Sukrasana, lelaki itu menghampirinya dengan kedua tangan terulur.
Selangkah demi seangkah jarak antara mereka semakin dekat. Sementara
Dewa Arak masih tercenung.
Dua tindak lagi kaki Sukrasana melangkah, maka bayi itu akan
berpindah tangan. Tapi sebelum itu terjadi, Dewa Arak segera teringat
ucapan terakhir Andiningsih. Wanita itu menyatakan tidak akan mati
tenteram bila bayi ini tidak sampai di tempat tujuannya.
Seketika itu pula Dewa Arak melangkahkan kaki kanannya ke
belakang. Dan....
Wuttt! Sukrasana kecewa ketika tangannya hanya menangkap angin.
Dewa Arak sudah tidak berada lagi di tempatnya.
"Keparat! Kau berani mempermainkan aku"! Jangan harap kau
akan selamat, Kisanak. Tak seorang pun bisa lolos hidup-hidup bila telah
membuat Sukrasana marah!"
Usai berkata demikian, lelaki berpakaian indah itu melancarkan
tusukan ke arah leher Dewa Arak. Serangan itu dilancarkan dengan tangan
telanjang. Sikap jari-jari tangannya menegang, lurus, dan kaku, seperti jurus
'Ular'. "Hm...!"
Dewa Arak menggumam pelan menutupi rasa kagetnya. Serangan
Sukrasana jauh lebih dahsyat dari serangan Limbong dan yang lainnya. Dari
bunyi mencicit yang mengiringi tibanya serangan itu, Dewa Arak bisa
memperkirakan kekuatannya. Batu yang paling keras pun akan dapat
ditembus jari-jari tangan Sukrasana.
Meskipun demikian, serangan itu tidak membuat Dewa Arak
gugup. Dengan tenang, pemuda berambut putih keperakan itu
mendoyongkan tubuhnya ke samping kiri. Serangan itu lewat beberapa jari
di sebelah kanan Dewa Arak. Tidak hanya itu. Sebelum Sukrasana sempat
melancarkan serangan susulan, Arya telah lebih dulu mengirimkan kaki
kanannya mencuat ke arah perut lawan.
Wuttt! Sukrasana tidak berani bertindak gegabah. Buru-buru dia
melompat ke belakang. Serangan Dewa Arak pun menyambar tempat
kosong di depan lelaki berpakai an indah itu.
Tapi, Dewa Arak tidak mempedulikan hal itu. Begitu melihat
serangannya gagal, serangan lanjutannya tidak dikirimkan. Pemuda
berambut putih keperakan itu malah membalikkan tubuh dan melangkah
pergi. Tampaknya Arya tidak ingin memperpanj ang urusannya dengan
Sukrasana. Tindakan Dewa Arak membuat Sukrasana berang bukan main.
Meskipun dia yakin Dewa Arak terl alu tangguh untuk dihadapi, tapi melihat
sikap pemuda itu, Sukrasana menjadi tersinggung. Dia merasa di remehkan.
Amarahnya langsung meluap. Dan seiring dengan itu akal sehatnya pun
lenyap. Yang ada di benaknya adalah melampiaskan kemarahannya pada
Dewa Arak. "Tunggu dulu, Kisanak!"
Sambil berkata demikian, Sukrasana mengibaskan tangannya.
Singgg! Bunyi mendesing nyaring yang menyakitkan telinga langsung
terdengar. Tampak benda berkilat meluncur deras ke arah kuduk Dewa
Arak. Benda itu berasal dari tangan Sukrasana! Benda berkilat itu
sebenarnya sebilah pisau yang putih berkilauan.
Meskipun tengah melangkah menghampiri kudanya, Dewa Arak
tahu ada bahaya yang tengah mengancam. Dengan berpatokan pada bunyi
desingan itu, Arya dapat menget ahui bagian yang tengah diancam. Maka,
sambil membalikkan tubuh, tangan kanannya diayunkan.
Takkk! Dengan t elak pisau Sukrasana berbenturan dengan kibasan tangan
telanjang Dewa Arak. Akibatnya, benar-benar menggiriskan hati. Senjata
tajam itu meluruk balik ke arah pemiliknya dengan kecepatan berlipat
ganda. Mendapat s erangan balik yang tidak disangka-sangka itu,
Sukrasana gugup. Dengan agak tergesa-gesa tubuhnya dibungkukkan. Pisau
itu meluncur lewat beberapa jari di atas kepala Sukrasana.
Sementara itu, tanpa mempedulikan akibat sampokannya, Dewa
Arak melompat ke atas punggung kuda. Dan s ekali menghentakkan tali
kekangnya, binatang tunggangan itu melangkah lambat meninggalkan
tempat itu. Kali ini, Sukrasana tidak berani mengirimkan serangan lagi.
Disadarinya tindakan itu malah akan membahayakan dirinya. Masih untung
Dewa Arak tidak melayani kemauannya. Kalau tidak, tentu dia akan celaka.
Tingkat kepandaian pemuda berambut putih keperakan itu ternyata sulit
diukur. Yang dapat dilakukan l elaki berpakaian indah itu hanya menatap
kepergian Arya. Entah perasaan apa yang berkecamuk di hatinya, melihat
buruannya lolos begitu saja di depan matanya sendiri.
Mendadak langkah kuda Dewa Arak terhenti. Sesaat kemudian,
pemuda berambut putih keperakan itu menoleh.
"Boleh kutahu nama bayi ini, Kisanak"!" tanya Dewa Arak ingin
tahu. "Hmh!"
Hanya dengus penuh ras a kesal dari Sukrasana yang menyambuti
pertanyaan Dewa Arak.
Melihat hal itu, Dewa Arak pun mengerti. Tidak ada gunanya lagi
mengajukan pertanyaan. Lelaki berpakaian indah itu tidak akan mau
menjawabnya. Maka, disentaknya tali kekang untuk menyuruh kuda
coklatnya meninggalkan tempat itu.
Tatapan Sukrasana mengiringi kepergian pemuda berambut putih
keperakan itu hingga tidak terlihat lagi ditelan kejauhan. Baru setelah itu,
Sukrasana mengalihkan perhatian pada rekan-rekannya yang tergol ek tak
berdaya di tanah.
6 "Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Tampak tiga sosok tubuh berdiri
dalam jarak sepuluh tombak di depannya. Mereka berjajar di depan sebuah
jembatan yang melintas di atas sungai yang jauh di bawah sana. Saat itu
Arya berada di sebuah tebing yang cukup curam.
Dewa Arak meras akan ada sesuatu yang tidak enak di dalam
dadanya. Tiga sosok tubuh itulah penyebabnya. Arya tahu mengapa mereka
berdiri berjajar di sana. Jelas, mereka tidak akan membiarkan orang-orang
melewati jembatan tanpa seizin mereka.
Itu berarti perjal anannya akan mengalami hambatan lagi. Pemuda
berambut putih keperakan itu yakin betul akan kesimpulannya. Meskipun
demikian, dia berpura-pura tidak tahu. Dibiarkannya kudanya terus
melangkah. Semakin lama jarak Arya dengan tiga sosok itu semakin dekat.
Sambil lalu, pemuda berambut putih keperakan itu memperhatikan tiga
sosok di depannya. Dewa Arak dapat melihat ciri-ciri mereka.
Kecurigaan Dewa Arak agaknya tidak keliru. Saat kudanya
semakin dekat, tidak ada t anda-t anda mereka akan memberikan jal an.
Tampaknya, mereka tidak mau membiarkan Dewa Arak melalui jembatan
itu. Terpaksa Arya mengalah. Begitu jarak antara mereka tinggal tiga
tombak, tali kekang kudanya ditarik. Kuda hitam itu pun menghentikan
langkahnya. Masih dengan pandangan tertuju pada ketiga sosok itu, Dewa
Arak melompat turun dari punggung kuda. Dan mendarat dengan ringan di
tanah seperti daun kering jatuh ke bumi.
"Maaf, Kisanak. Bisa menyingkir sebentar"! Aku hendak mel alui
jembatan ini," ujar Arya sopan.
Tiga sosok yang memiliki potongan tubuh berbeda-beda itu saling
berpandangan sejenak. Kemudian...
"Ha ha ha...!
"Serempak, bagai diberi perintah ketiganya tertawa. Tentu saja
tindakan mereka membuat Dewa Arak mengerutkan alis. Perasaan tidak
senang langsung menyeruak hatinya. Tidak ada hal lucu yang patut
ditertawakan pada pernyataannya tadi. Mes kipun demikian, pemuda itu
tetap bersikap tenang.
"Rupanya aku salah mengenali orang. Semula kukira kalian orang
waras. Ah...! Siapa dapat menduga..."!" ujar Dewa Arak setengah berdesah
seraya menggeleng-gelengkan kepala. Sikapnya memperlihatkan kalau dia
merasa prihatin dengan kejadian itu.
Tawa keras bergelak dari tiga sosok itu langsung terhenti. Wajah
mereka merah padam. Dan sepasang mat anya membel alak penuh
kemarahan menatap Dewa Arak.
"Sungguh berani kau mengucapkan kata-kata itu pada kami,
Anjing Kecil"! Apakah kau tidak tahu siapa kami"! Kau pernah mendengar
julukan Raja Monyet Tenaga Raksasa"! Nah! Akulah orangnya!" ucap salah
seorang di antara ketiga sosok itu penuh kemarahan.
Sosok itu seorang manusia yang mirip gorilla. Seorang lelaki
berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya kekar, tapi agak bungkuk. Ciri
khas seekor kera.
Ciri-ciri itu semakin jelas dengan adanya bulu-bulu lebat berwarna
hitam yang menghias sekujur tubuhnya, yang hanya dibungkus rompi hitam
dan celana sebat as lutut. Kedua tangannya pun mempunyai ukuran lebih
dari manusia biasa. Tangan itu menggelantung hingga melampaui lutut.
"Dan aku Buaya Emas Berekor Tiga," sambung sosok yang berada
di sebelah Raja Monyet Tenaga Raksasa. Buaya Emas Berekor Tiga seorang
lelaki berusia sekitar empat puluh t ahun. Tubuhnya pendek kekar dan
dibungkus rompi terbuat dari kulit buaya.
"Aku... Raja Hiu Terbang," timpal sosok kecil kurus yang bermata
sipit dan berpakaian rompi coklat.
Arya mengangguk-anggukkan kepala.
"Tak kusangka di tempat seperti ini aku akan berjumpa dengan
tokoh-tokoh tenar seperti kalian...."
Dewa Arak berkat a sejujurnya. Julukan tiga tokoh itu memang
telah sampai ke telinganya. Mereka adalah para pimpinan kelompok orangorang
sesat Raja Monyet Tenaga Raksas a seorang kepala perampok yang
merajai tempat -tempat berupa daratan. Setiap kelompok perampok yang
berdiam di hutan atau gunung harus tunduk di bawah kekuasaannya. Bagi
yang menentang akan dihancurkan. Tokoh ini amat ditakuti.
Berbeda dengan Raja Monyet Tenaga Raksasa, Buaya Emas
Berekor Tiga merajai wilayah sungai. Sementara Raja Hiu Terbang
menguasai lautan. Hingga, lengkaplah sudah pimpinan orang sesat di
seluruh permukaan bumi. Mereka merajai kelompok-kelompok itu selama
bertahun-t ahun.
"Bagus, kalau kau telah mengenal kami. Sekarang sebelum kami
membunuhmu, lebih baik perkenalkan diri. Sebab, kami tidak mau
membunuh orang yang tidak mempunyai nama," ujar Raja Monyet Tenaga
Raksasa, yang lebih pandai bicara daripada dua kepala perampok lainnya.
Dewa Arak tidak segera memberikan jawaban. Perhatiannya
dialihkan pada putra Saudagar J ayeng Kertacundraka. Diayun-ayunnya
tubuh bayi mungil itu.
"Apa untungnya kalian mengetahui namaku"!" t anya Arya dengan
sikap tidak peduli.
"Bagi kami memang tidak penting. Tidak ada keuntungan yang
kami dapat. Keuntungan itu hanya kau yang peroleh. Karena dengan
menyebutkan namamu, mungkin kami tidak memanggilmu dengan sebutan
anjing cilik lagi. Itu yang pertama," urai Raja Monyet Tenaga Raksasa.
"Ha ha ha...!"
Buaya Emas Berekor Tiga dan Raja Hiu Terbang tertawa terbahakbahak
mendengar olok-olok rekan mereka terhadap Dewa Arak. Tapi,
pemuda berambut putih keperakan itu kelihatan tidak terpengaruh sedikit
pun. Dia tetap mengayun-ayunkan tubuh putra Saudagar Jayeng
Kertacundraka. Melihat hal ini, Raja Monyet Tenaga Raksasa menj adi penasaran.
Amarahnya bangkit perlahan.
"Tapi yang lebih penting adalah yang kedua. Dengan
memperkenalkan diri, berarti kau bukan seorang pengecut!" tandas Raja
Monyet Tenaga Raksasa dengan berget ar.
Seketika itu pula Dewa Arak menolehkan kepal a. Ditatapnya
tajam-tajam Raja Monyet Tenaga Raksasa. Memang, pemuda berambut
putih keperakan itu paling pantang mendapat makian seperti itu.
"Baiklah. Namaku Arya. Kalian puas"!" ujar Arya dengan suara
bergetar menahan marah.
"Arya"!"
Hampir bers amaan Raj a Monyet Tenaga Raksasa, Buaya Emas
Berekor Tiga, dan Raja Hiu Terbang mengucapkannya. Ketiganya bertukar
pandang dengan dahi berkernyit dalam. Rupanya ada sesuatu yang menarik
perhatian mereka.
"Apakah nama lengkapmu Arya Buana"!" tanya Raja Monyet
Tenaga Raksasa sungguh-sungguh. Tatapan mat anya merayapi sekujur
tubuh Dewa Arak.
"Benar," jawab Arya tegas. Dia sudah menduga ketiga kepala
perampok itu telah mengetahui perihal dirinya.
"Kalau begitu..., kau adalah Dewa Arak"!" sentak Raja Hiu
Terbang tanpa dapat menyembunyikan rasa kagetnya.
*** "Itulah julukan yang diberikan orang-orang persilatan kepadaku,"
ringan jawaban Dewa Arak.
Seketika itu pula sikap ketiga kepal a rampok itu berubah. Mereka
langsung melangkah mundur dan agak menyebar. Kenyataan bahwa
pemuda berambut putih keperakan itu adalah Dewa Arak, membuat
ketiganya tersentak kaget.
"Kami memang t elah mendengar kabar kalau tokoh yang berjuluk
Dewa Arak itu masih muda. Tapi tidak pernah kami sangka kalau semuda
ini. Sungguh suatu kebetulan. Aku sudah lama bermaksud menantangmu


Dewa Arak 59 Titipan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertarung, Dewa Arak! Ingin kuras akan s endiri sampai di mana
kepandai anmu. Bersiap-siaplah kau, Dewa Arak!" ucap Raja Monyet
Tenaga Raksasa keras. Kemudian menyiapkan jurusnya untuk mel ancarkan
serangan. Tapi....
"Tunggu, Raja Monyet!" cegah Buaya Emas Berekor Tiga. Tangan
kanannya dijulurkan menghadang. "Bukan hanya kau yang ingin bertarung
dengannya. Aku juga demikian! Akan kubuktikan pada dunia persilatan
kalau aku, Buaya Emas Berekor Tiga, tidak terkalahkan oleh siapa pun. Tak
terkecuali Dewa Arak!"
"Jangan t erburu nafsu, Buaya Emas! Akulah yang akan
mengalahkan Dewa Arak! Karena itu, aku yang akan menghadapinya lebih
dulu!" Raja Hiu Terbang tidak mau kalah.
Kesempatan di saat ketiga kepala rampok itu terlibat perdebatan
sengit, dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. Sekali menjejakkan
kaki, pemuda itu telah melayang melewati kepal a Raja Monyet Tenaga
Raksasa. Memang, tokoh yang merajai s emua perampok darat an itu berada
tepat di depan jembatan yang membentang.
"Hey!"
Hampir bers amaan ketiganya berteriak kaget melihat tindakan
yang dilakukan Dewa Arak. Mereka segera mel esat mengejar. Tapi sudah
terlambat! Dewa Arak telah mendarat di ujung j embatan. Kemudian,
melesat cepat menuju ke seberang.
Sementara di belakangnya Raj a Monyet Tenaga Raksasa, Buaya
Emas Berekor Tiga, dan Raja Hiu Terbang melesat mengejar. Seketika
perselisihan yang tengah berlangsung terhenti. Mereka harus mencegah
Dewa Arak sampai di seberang jembatan.
Tapi maksud itu hanya mudah untuk direncanakan. Dewa Arak
melesat cepat di depan mereka. Terlebih, pemuda berambut putih keperakan
itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang jauh berada di atas ketiganya.
Pengejaran ketiga kepala perampok itu sia-sia. Tanpa menemui
kesulitan, Dewa Arak berhasil mencapai seberang jembatan.
"Hup!"
Begitu kedua kakinya menjejak tanah di ujung jembatan, tanpa
ragu-ragu Dewa Arak menghent akkan tangan kanannya.
Wusss! Bunyi menderu keras langsung terdengar ketika serangkum angin
keras menghembus dari tangan Dewa Arak. Agaknya, Arya mel ancarkan
pukulan jarak jauh. Dan, arah yang dituju adalah ujung jembatan yang
tengah dituju ketiga pengejarnya.
Brakkk! Terdengar bunyi berderak keras. Jembatan yang terbuat dari papan
itu hancur berkeping-keping. Hubungan dengan daratan di tempat Dewa
Arak berada langsung terputus! Padahal saat itu Raja Monyet Tenaga
Raksasa, Buaya Emas Berekor Tiga, dan Raja Hiu Terbang masih berada di
tengah-tengah jembatan. Akibatnya, bersamaan dengan runtuhnya
jembatan, ketiga kepala perampok itu terjatuh ke bawah.
"Aaa...!"
Jeritan panjang menyayat mengiringi luncuran tubuh Raja Monyet
Tenaga Raksasa, Buaya Emas Berekor Tiga, Raja Hiu Terbang.
Kejadian itu tidak lepas dari pandangan Dewa Arak. Wajah tampan
pemuda berambut putih keperakan itu tampak muram. Arya, kelihatan
terpukul. "Hhh...!"
Seraya menghembuskan napas berat, Dewa Arak membalikkan
tubuh. Mendadak....
Sing, sing, sing!
Bunyi mendesing tajam yang menyakitkan t elinga mengejutkan
Dewa Arak. Belasan batang anak panah melesat cepat ke arahnya. Rupanya,
kedatangannya di tempat ini tidak disukai.
Namun bukan Dewa Arak kalau menghadapi sambutan seperti itu
menjadi gugup. Ditunggunya hingga serangan-serangan itu menyambar
dekat. Baru setelah itu, tangan kanannya diputar.
Dari putaran tangan pemuda berambut putih keperakan itu
berhembus angin keras. Hingga anak panah yang hampir mencapai sasaran
melenceng arahnya. Bahkan sebagian bes ar jatuh di tengah jalan. Seakanakan
ada tembok tak nampak melindungi pendekar muda yang
menggemparkan dunia persilatan itu.
Namun, kejadian itu tidak membuat pemiliknya menjadi jera.
Terbukti, puluhan anak panah terus meluncur deras. Tapi seperti juga
sebelumnya, hujan anak panah itu pun hanya membuahkan kegagal an.
Sebelum mencapai sas aran, anak-anak panah itu berj atuhan bagai semutsemut
menerjang api. Sadar kalau tidak ada gunanya lagi melakukan penyerangan,
pemilik-pemiliknya berlompatan keluar dari semak-semak yang menjadi
tempat persembunyiannya.
Srak, srak, srak!
Dan hanya dalan sekejapan s aja, di depan Dewa Arak tel ah berdiri
belasan lel aki kekar. Tangan mereka menggenggam pedang telanj ang yang
kelihatan berkilat-kilat diterpa sinar matahari.
"Tahan!"
Sebelum belasan l elaki kas ar itu menyerang, Dewa Arak telah
lebih dulu berseru.
"Apakah kalian anak buah Saudagar Jayeng Kertacundraka"!
Kalau benar, harap katakan padanya aku datang membawa putranya."
Tanggapan atas ucapan Dewa Arak adalah ayunan pedang belasan
lelaki kekar. Mereka tidak mempedulikan perkataan Arya. Tindakan itu
mereka lakukan setelah mendapat isyarat dari seorang lelaki tinggi besar
bercambang bauk yang menjadi pimpinan kelompok.
Dewa Arak menggertakkan gigi. Tidak ada gunanya lagi berbicara.
Orang-orang kas ar ini hanya mau diajak bercakap-cakap dengan kepalan tangan
dan kaki. Karena itu, Dewa Arak tidak ragu-ragu lagi untuk bertindak.
Begitu senjata para pengeroyoknya berkelebat ke berbagai bagian tubuhnya,
Arya memberikan sambutan hangat.
Karena keberadaan putra Jayeng Kert acundraka di tangan kiri,
terpaksa Dewa Arak menghadapi keroyokan itu dengan sebelah tangan.
Namun, itu pun telah lebih dari cukup untuk menghadapi serbuan lawanlawannya.
B unyi berderak keras senantiasa terdengar setiap kali tangan Dewa
Arak berbenturan dengan senjata lawan. Tidak sedikit pun tangan pemuda
itu terluka. Bahkan sebaliknya, tangan-t angan lawannya yang terasa hampir
lumpuh. Patut dipuji kekerasan hati rombongan lelaki kasar itu. Tanpa
mengenai takut mereka terus menerjang Dewa Arak. Tapi usaha mereka siasia.
Setiap serangan yang dilakukan dapat dengan mudah dipatahkan Arya.
Sebaliknya, setiap Dewa Arak melakukan serangan balasan sudah dapat
dipastikan akan ada lawan yang roboh dan tidak bangkit lagi. Pingsan!
Semakin lama jumlah para pengeroyoknya semakin berkurang.
Jerit kesakitan mengiringi tumbangnya tubuh-tubuh mereka. Sampai
akhirnya tidak ada seorang pun lagi yang berdiri tegak. Semua bergel etakan
di tanah. Tak terkecuali pemimpin rombongan itu.
Tanpa mempedulikan para pengeroyoknya, Dewa Arak melesat
untuk melanjutkan perjalanan. Sekilas perhatiannya dialihkan pada putra
Jayeng Kertacundraka. Timbul rasa kagum dan sukanya karena bayi itu
tidak pernah menangis meskipun beberapa kali terancam maut.
Dan sekarang Dewa Arak tengah menuju sebuah bangunan besar
dan megah. Bangunan itu terkurung dinding baru tinggi. Arya melihat tidak
ada apa pun yang menghalanginya.
Dalam beberapa lesatan saj a pemuda itu tel ah hampir mencapai
pintu gerbang yang tertutup rapat. Tapi, di saat pemuda berambut putih
keperakan itu hampir tiba, daun pintu gerbang bergerak membuka diiringi
bunyi berderit nyaring.
Dewa Arak menghentikan ayunan l angkahnya. Kini dia berdiri
tegak di t empatnya dengan pandangan tertuju lurus ke arah pintu gerbang.
Sementara itu pintu gerbang t erus t erkuak. Dari dalam berj alan keluar
beberapa sosok tubuh.
Tapi, Dewa Arak tidak t erlalu memperhatikan semuanya.
Pandangannya langsung tertuju pada sosok yang berada di tengah. Sosok itu
mengenakan pakaian amat indah dan mewah. Sikapnya terlihat agung dan
sedikit congkak. Pasti inilah orang yang bernama Jayeng Kertacundraka!
"Kudengar kau mencariku, Kisanak"! Benarkah demikian"!" tanya
sosok berpakaian indah itu.
Dewa Arak tidak segera menj awab. Pemuda itu meneliti sekujur
tubuh orang yang diduganya s ebagai Saudagar Jayeng Kertacundraka.
Lelaki itu berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Sebagaimana halnya
seorang kaya raya, tubuhnya gemuk dan perutnya agak buncit.
"Tulikah kau, Jembel Hina! Tuan besarmu mengajukan
pertanyaan! Cepat jawab!" hardik seorang lelaki bertelanjang dada yang
berdiri di sebelah lelaki berpakaian indah. Lelaki bertelanjang dada itu
marah melihat pertanyaan tuannya tidak segera mendapat jawaban.
Ternyata bukan hanya lelaki itu yang marah melihat sikap Dewa
Arak. Delapan orang kasar yang bersenjatakan tombak dan berdiri di kanan
kiri Saudagar Jayeng Kertacundraka pun murka. Bahkan, tombak yang
berada di tangan mereka telah siap untuk digunakan.
Namun, tangan-tangan yang tel ah menegang kaku itu langsung
mengendur ketika melihat Saudagar Jayeng Kertacundraka mengangkat
tangan kanannya ke at as.
7 Tepat di saat Saudagar Jayeng Kertacundraka menurunkan
tangannya, Dewa Arak angkat bicara.
"Apakah kau orang yang bernama Jayeng Kertacundraka" Kalau
benar demikian, mari kita bercakap-cakap sebentar." Tenang dan tanpa rasa
takut pemuda berambut putih keperakan itu mengutarakannya.
Terdengar bunyi bergemeret ak ketika lelaki bertelanjang dada dan
delapan orang bers enjata tombak mendengar sambutan Dewa Arak. Mereka
murka bukan main melihat sikap pemuda itu, yang dianggapnya terlalu
meremehkan Jayeng Kert acundraka.
Kalau menuruti perasaan, mungkin mereka sudah menerjang Dewa
Arak. Tapi karena Jayeng Kertacundraka belum memberikan isyarat,
mereka tidak berani bertindak. Takut kalau majikan mereka murka.
Berbeda dengan s embilan orang kaki tangannya, Jayeng
Kertacundraka tet ap bersikap tenang. Malah di bibirnya tersungging
senyuman lebar.
"Dugaanmu tidak salah, Anak Muda. Aku Jayeng Kertacundraka.
Kalau kau memang mempunyai urusan denganku... mari kita
membicarakanya di dalam," ajak lelaki itu ramah.
"Terima kasih, Tuan Saudagar. Kurasa l ebih baik di sini saja,"
tolak Arya halus.
"Terserah kal au itu yang kau mau." Jayeng Kert acundraka
mengangkat kedua bahunya. "Tapi ingat, jangan l ama-lama. Aku tidak
tahan berdiri terlalu lama di tempat panas seperti ini."
"Jangan khawatir, Tuan Saudagar," jawab Dewa Arak cepat. Arya
agak jengkel meras akan adanya kesombongan dalam ucapan lelaki
berpakaian indah itu. "Aku akan langsung pada pokok pembicaraan."
"Bagus sekali kalau kau berpikir s eperti itu, Anak Muda," tanggap
Jayeng Kertacundraka tak peduli. "Sekarang katakanl ah. Jangan buangbuang
wakru lagi."
Dewa Arak tidak segera memenuhi permintaan Jayeng
Kertacundraka. Pemuda itu t ercenung sebentar, memikirkan ucapan yang
akan dikeluarkannya.
"Aku datang kemari atas permintaan seseorang yang tengah
menjelang ajal. Menurut pengakuannya dia disuruh oleh seorang wanita
yang kau kenal, Tuan Saudagar," Dewa Arak memulai ceritanya.
"Kalau ingin ceritamu kudengarkan, tidak usah berteka-teki, Anak
Muda. Langsung s aja! Atau..., aku terpaksa menyuruh orang-orangku
mengusirmu dari sini!" tegas Jayeng Kertacundraka tidak sabar.
"Kau kenal wanita yang bernama Setyaning, Tuan Saudagar"!"
Tanpa peduli sikap Jayeng Kertacundraka, Dewa Arak meneruskan
ucapannya. Itu sengaja dilakukan Dewa Arak karena tidak ingin bayi lucu
titipan Andiningsih jatuh ke t angan orang yang tidak berhak. Penj elasan
Sukrasana menyebabkannya mengambil keputusan untuk berhati-hati.
"Apa"!" seru J ayeng Kertacundraka terkejut. "Setyaning" Kau
bilang Setyaning, Anak Muda"!"
Dewa Arak mengangguk. "Nama itulah yang kudengar dari mulut
orang yang tengah sekarat itu, Tuan Saudagar. Apakah kau mengenalnya"!"
"Mengenalnya"!" tanya J ayeng Kertacundraka setengah menjerit.
"Apakah orang yang sekarat itu tidak menceritakannya padamu"!"
"Memang dia menceritakannya, Tuan Saudagar. Tapi, alangkah
baiknya kalau kudengar sendiri dari mulutmu," sahut Dewa Arak kalem.
Seketika itu pula wajah Jayeng Kertacundraka berubah.
"Tidak usah berbelit-belit, Anak Muda! Aku bukan anak kecil yang
dapat dibohongi. Katakan saja kau mencurigaiku, bukan"!"
"Tidak sampai sejauh itu, Tuan Saudagar," timpal Arya tetap
tenang. "Aku hanya berhati-hati. Sebab, perintah yang diberikan Setyaning
menjadi tanggung jawabku s etelah orang suruhannya tewas. Kuharap kau
bisa memakluminya, Tuan Saudagar...."
Jayeng Kertacundraka tidak memberikan tanggapan. Ditatapnya
Dewa Arak lekat-lekat. Lalu menghembuskan napasnya perlahan-lahan.
"Kau tidak memberikan pilihan lain, Anak Muda. Tapi... baiklah.
Agar kau puas dan yakin, kukatakan hal yang sebenarnya. Setyaning adalah
istriku. Dia kunikahi dua tahun yang lalu. Kami hidup berbahagia sampai
akhirnya timbul sebuah masalah."
Sampai di sini Jayeng Kertacundraka menghentikan ucapannya.
Wajahnya yang semula cerah mendadak muram.
Meskipun belum mendengar rangkaian ceritanya dengan jelas,
Dewa Arak telah dapat menduga kalau kel anjutannya bukan hal yang
menyenangkan. "Sebuah peristiwa membuatku terpisah dari Setyaning," lanjut
Jayeng Kertacundraka dengan wajah semakin kel am. "Kakak Setyaning,
yang kelak menggantikan kedudukan ayahnya, tewas terbunuh. Celakanya,
menurut saksi-saksi akulah pembunuh kakak Setyaning."
Kembali Jayeng Kertacundraka menghentikan ceritanya. Lelaki itu
menarik napas panjang, dan menghembuskannya. Sepertinya dia tengah
membuang beban berat yang mengganjal dadanya. Sementara Dewa Arak
menunggunya dengan s abar. Tidak dipergunakannya kesempatan itu untuk
memberikan tanggapan.
"Tak pelak lagi, Ayah Setyaning marah besar. Dia mencariku
untuk mengadakan perhitungan. Untung aku telah pergi. Kal au tidak,
mungkin aku sudah tewas di tangannya. Aku pergi dengan hati penasaran.
Kalau saja Setyaning tidak terus-menerus memaksaku, aku pasti tidak akan
pergi. Padahal, aku ingin membuktikan kalau bukan aku pelaku
pembunuhan itu. Tapi, tidak ada yang percaya kecuali Setyaning." Jayeng
Kertacundraka menutup ceritanya dengan mendesah.
Suasana seketika hening ketika Jayeng Kertacundraka
menghentikan ucapannya. Tampaknya, ceritanya telah selesai. Tapi
keheningan itu tidak berlangsung lama.
"Apakah Ayah Setyaning tidak mel akukan pengej aran"!" tanya
Dewa Arak ingin tahu.
"Tidak katamu, Anak Muda"! Rupanya kau belum tahu siapa Ki
Windu Paksi. Dia ketua perkumpulan yang mempunyai watak keras. Mudah
marah dan t ersinggung. Hal s epele saja sudah cukup untuk membuatnya
menghajar orang sampai setengah mati. Bisa kau bayangkan betapa
kalapnya Ki Windu Paksi menghadapi kematian putra satu-satunya. Asal
kau tahu saja, Anak Muda. Putranya itu amat disayanginya. Bahkan,
melebihi rasa sayangnya pada diri sendiri."
Jayeng Kertacundraka menelan ai r liur untuk membasahi
tenggorokannya yang kering.
"Itu sebabnya Ki Windu Paksi amat terpukul. Apalagi, putranya itu
diharapkan dapat menggantikan kedudukannya sebagai Ketua Perkumpulan
Macan Kumbang, yang disegani semua tokoh persilatan."


Dewa Arak 59 Titipan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi...," Arya menggantung kalimatnya.
"Ki Windu Paksi tidak tinggal diam. Aku dikejarnya. Bahkan
sampai ke tempat ini. Aku tidak punya pilihan selain menghadapinya. Tapi
ayahku, pemilik tempat ini, mencegahnya. Seperti juga Setyaning, ayahku
tidak percaya dengan tuduhan yang ditimpakan kepadaku. Maka dia yang
keluar menghadapi Ki Windu Paksi. Dia percaya Ki Windu Paksi akan
dapat ditenangkan. Memang, ayahku dan Ki Windu Paksi telah puluhan
tahun bersahabat."
"Tak kusangka akan mendengar cerita semenarik ini, Tuan
Saudagar," ucap Arya ketika J ayeng Kert acundraka menghentikan
ceritanya. "Terima kasih atas pujianmu, Anak Muda. Sekarang hatiku merasa
lega. Semula kupikir kau akan bosan mendengar cerita ini."
"Sama sekali tidak, Tuan Saudagar."
"Kalau begitu biar kulanjutkan," tanggap Jayeng Kertacundraka.
"Ternyata Ki Windu Paksi tidak bisa disabarkan. Dia tetap bersikeras ingin
membalaskan kematian putranya. Karena ayahku pun bersikeras dengan
pendiriannya, adu mulut pun tak dapat di elakkan. Dalam kemarahannya Ki
Windu Paksi menyerang ayahku."
Jayeng Kert acundraka menutup waj ahnya dengan kedua tangan,
seakan-akan peristiwa itu tengah terjadi di depannya. Sedangkan Dewa
Arak sudah dapat menduga akhir cerita panjang ini.
"Karena ayahku tidak memberikan perlawanan, serangan Ki
Windu Paksi mengenainya dengan t elak. Ki Windu Paksi yang tidak
menyangka demi kian, berusaha membat alkan serangan. Tapi sayang tidak
berhasil. Dia hanya mampu mengurangi tenaga serangannya. Hingga,
ayahku tidak langsung tewas. Dia sekarat. Hhh...!"
Sambil menghela napas berat Jayeng Kert acundraka menurunkan
kedua tangannya. Kemudian, mengarahkan pandangannya ke angkasa
seakan di sana tergambar lanjutan cerita yang akan diutarakannya.
"Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhi r, beliau
meminta agar semua urusan diselesaikan. Aku dan Ki Windu Paksi memang
memenuhinya. Tapi pedang yang tel ah patah t ak akan mungkin utuh
kembali. Demikain pula dengan hubungan kami. Sejak saat itu antara kami
terjadi perang dingin. Itu berlangsung sampai sekarang," tutur Jayeng
Kertacundraka menutup ceritanya.
"Hhh...!"
Lagi-lagi terdengar helaan napas berat. Kali ini bukan berasal dari
Jayeng Kertacundraka, melainkan dari Dewa Arak!
"O, ya. Hampir aku lupa. Bisa kau beri tahu perintah istriku"!" ujar
Jayeng Kertacundraka.
Kini Dewa Arak tidak mempunyai al asan untuk mengelak. Jayeng
Kertacundraka mempunyai hak untuk itu.
"Seperti yang telah kuceritakan, sebenarnya bukan istrimu yang
menyuruhku. Aku hanya mendapat amanat dari orang suruhan istrimu."
"Apa amanat itu, Anak Muda"!" sentak Jayeng Kertacundraka tak
sabar. "Inilah amanat itu, Tuan Saudagar!" Dewa Arak mengangsurkan
tangan yang menggendong putra Jayeng Kertacundraka.
"Anakku...!" seru Jayeng Kertacundraka seraya mengulurkan
kedua tangannya untuk mengambil bayi itu.
Tindakan Jayeng Kertacundraka membuat Dewa Arak merasa
heran. Buru-buru tangannya ditarik pulang. Kemudian dengan dahi
berkernyit ditatapnya lelaki berpakaian mewah itu.
"Dari mana kau tahu kal au bayi ini adalah anakmu, Tuan
Saudagar"!" tanya Dewa Arak curiga.
Belum sempat Jayeng Kertacundraka memberikan jawaban. Tibatiba....
"Jangan berikan bayi itu kepadanya, Anak Muda! Orang itu bukan
Jayeng Kertacundraka!"
Dewa Arak tidak mengerti, mengapa Jayeng Kertacundraka tidak
memperdulikan kes elamatan putranya"! Tetapi pemuda berambut putih itu
tidak sempat berpikir terlalu lama. Tangannya segera memapak tendangan
lelaki berpakaian mewah itu.
Plakkk! Bunyi keras terdegnar ketika tangan dan kaki mereka saling
berbenturan Keras bukan main teri akan itu. Apalagi kejadiannya demikian
mendadak dan tidak t erduga-duga. Akibatnya, bukan hanya Dewa Arak
yang terkejut, Jayeng Kertacundraka dan yang lainnya pun demikian pula.
Tapi, tentu saja yang mengalami keterkejutan paling besar adalah Dewa
Arak. Sebab, dialah orang yang dituju.
Terdengar bunyi gemeretak keras dari mulut Jayeng
Kertacundraka, ketika mengetahui kegagalannya mengambil bayi di tangan
Dewa Arak. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Sebuah tendangan
miring kaki kanan segera dikirimkan ke arah dada Dewa Arak.
Wuttt! "Hey!"
Dewa Arak bers eru kaget. Bukan karena serangan itu didahului
bunyi angin keras yang menandakan kekuatan tenaga dal am pengirimnya.
Tapi melihat sasaran yang dituju! Serangan Jayeng Kertacundraka
membahayakan keselamat an putranya.
Kenyataan itu membuat benak Dewa Arak diganggu pertanyaan.
Apakah Jayeng Kert acundraka tidak menyadari tindakannya" Rasanya tidak
mungkin! Alasan yang masuk akal adalah lelaki berpakaian mewah itu tidak
mempedulikan keselamatan putranya! Kalau begitu, orang yang
memberitahukannya tadi benar. Lelaki berpakai an mewah ini memang
bukan Jayeng Kertacundraka! Kalau demikian siapa"
Dewa Arak segera menghentikan pertanyaan-pertanyaan itu.
Serangan orang yang mengaku Jayeng Kertacundraka tengah meluncur
datang. Kalau tidak segera memberikan tanggapan, keadaannya akan
berbahaya!Maka, tanpa membuang-buang waktu Dewa Arak menarik kaki
kirinya mundur seraya mencondongkan tubuhnya ke bel akang. Pada saat
yang bers amaan tangan kanannya memapaki serangan. Pemuda berambut
putih keperakan itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Plakkk! Bunyi seperti beradunya dua benda keras terdengar ketika tangan
dan kaki mereka saling berbenturan.
Tubuh orang yang mengaku Jayeng Kertacundraka terhuyunghuyung
empat langkah, sedangkan Dewa Arak hanya selangkah. Itu terjadi
karena kedudukan lelaki berpakaian mewah itu tak menguntungkan. Dia
berdiri dengan satu kaki.
Meskipun demikian, dengan gerakan sederhana kedua tokoh itu
berhasil mematahkan daya dorong tubuh mereka. Rupanya, akibat benturan
itu mengejutkan keduanya. Mereka saling berpandangan dengan mata
penuh selidik "Rupanya kau orang yang berjuluk Dewa Arak. Pendekar muda
yang terkenal itu. Ternyata berita itu benar. Kau memang lihai!" ucap
Jayeng Kertacundraka palsu seraya mengangguk-anggukkan kepala.
Dewa Arak tersenyum pahit
"Tidak usah mengejek, Kisanak. Aku yakin kau pun bukan orang
sembarangan. Namun, aku lebih yakin kalau kau mengaku sebagai penipu.
Kau bukan ayah dari anak yang kugendong. Kau bukan Jayeng
Kertacundraka!"
"Tak kusangka seorang pendekar besar seperti Dewa Arak mudah
dipengaruhi. Sekalipun orang tak dikenal yang memberitahukan, dia
langsung saja menel annya. Kau l ebih percaya padaku atau pada tua bangka
itu!" Jayeng Kertacundraka menudingkan jari telunjuknya ke arah kakek
bertubuh pendek kekar yang berada beberapa tombak di belakang Dewa
Arak. Arya mengalihkan perhatiannya kembali setelah melihat orang
yang telah memberitahukannya. Ditatapnya wajah lel aki berpakaian indah
itu dengan penuh selidik.
"Kau keliru, Kisanak. Aku yakin kau bukan Jayeng Kertacundraka,
berdas arkan kesimpulan yang kudapat. Tindakan yang kau lakukan telah
menjelaskan semuanya. Aku hampir s aja menyerahkan bayi tak berdosa ini
untuk menghadapi malaikat maut! Hhh...!"
"Kau tidak mengatakan alas an yang menyebabkanmu berani
menduga kal au aku bukan Jayeng Kertacundraka, Dewa Arak!" seru lelaki
berpakaian indah itu.
"Rupanya telingamu tidak pernah kau bersihkan, Kisanak!
Buktinya kau tidak mendengar ucapanku. Padahal dengan jelas dan terang
telah kukatakan padamu."
"Keparat! Kau berani mempermainkan aku, Dewa Arak. Orang
lain boleh takut padamu. Tapi, aku tidak. Cepat katakan! Aku tidak ingin
mendengar kesimpulanmu tanpa adanya penjelasan."
"Ooo..., begitu." Kalem tanggapan Dewa Arak. "Sederhana saj a.
Pertama, kau langsung menyebut kalau bayi di tanganku ini adalah anakmu.
Padahal, aku belum menceritakannya sama sekali. Kedua, kau menyerangku
tanpa merasa khawatir serangan itu akan mengenai bayi ini. Rasanya tidak
mungkin seorang ayah akan bertindak seperti itu. Jelas"!" sentak Dewa
Arak. Lelaki berpakaian indah itu mengangguk-angguk seraya tersenyum
tipis. "Kau cerdik, Dewa Arak! Tapi, itu tidak berarti banyak. Kau akan
segera mati di tanganku!"
Usai berkat a demikian, Jayeng Kertacundraka palsu melompat
menerjang Dewa Arak. Selagi berada di udara, kaki kanannya dikibaskan.
Serangan itu dilakukannya sambil membalikkan tubuh.
Wusss! Lagi-lagi serangan tokoh gadungan itu mengenai tempat kosong.
Rupanya, di saat yang menentukan Dewa Arak tel ah lebih dulu
menundukkan kepala. Kibasan kaki itu menyambar beberapa jari di atas
kepalanya. Keras bukan main, sehingga mampu membuat rambut dan
pakaian Dewa Arak berkibar keras terbawa angin serangan.
Namun, Dewa Arak tidak bisa menghela napas lega. Begitu
kakinya menjejak tanah, Jayeng Kert acundraka palsu melancarkan serangan
susulan. Kaki kirinya digunakan untuk mengirimkan tendangan lurus ke
arah perut. Tentu saja Dewa Arak tidak bisa tinggal diam. Pemuda itu
segera mengi rimkan sambutan hangat. Akibatnya, pert arungan sengit tidak
bisa dihindari lagi
Ternyata bukan hanya Dewa Arak yang terlibat pertarungan.
Kakek pendek kekar pun demikian. Dia diserbu anak buah Jayeng
Kertacundraka palsu. Pemimpin penyerbuan itu adal ah lelaki bertelanjang
dada. 8 Dewa Arak mengeluh dalam hati. Sedikit pun tidak disangkanya
kalau Jayeng Kert acundraka palsu ini demikian lihai.Tenaga dalam maupun
ilmu meringankan tubuhnya hanya terpaut sedikit di bawahnya.
Dengan sendirinya, untuk mendesak apalagi mengalahkan Jayeng
Kertacundraka palsu adalah hal yang sulit. Terlebih dengan keberadaan bayi
di gendongannya. Mau tidak mau hal ini mengurangi kemampuannya.
Hingga pertarungan jadi berlangsung seimbang.
Meskipun demikian, Dewa Arak tahu bila putra Jayeng
Kertacundraka tetap berada di tangannya nyawanya akan terancam.
Mungkin dengan kepandaiannya Jayeng Kertacundraka palsu tidak akan
dapat menyarangkan serangannya terhadap bayi itu. Tapi, bayi itu tetap
berada dalam bahaya maut. Angin s erangan l awan sudah cukup untuk
mengirim nyawanya ke alam baka.
Dewa Arak tahu betul akan hal itu. Maka, diputuskan untuk
meletakkan putra Jayeng Kertacundraka di tempat yang aman, sebelum
pertarungan berlangsung semakin sengit. Tanpa bayi itu, dia dapat
bertarung dengan hati lega.
Namun, pemuda berambut putih keperakan itu tidak terlalu
terburu-buru melaksanakan maksudnya. Kalau Jayeng Kertacundraka palsu
mengetahui maksudnya, pasti akan dihalangi. Itu berarti usahanya akan
mengalami kesulitan. Dengan sabar Dewa Arak menunggu kesempatan
yang tepat. Begitu pertarungan menginjak jurus kelima, pemuda berambut
putih keperakan itu melancarkan serangan bertubi-tubi yang memaksa
Jayeng Kertacundraka palsu melompat j auh ke belakang. Kesempatan ini
tidak dilewatkan oleh Dewa Arak. Dengan bergegas Arya melempar
tubuhnya ke belakang.
Jliggg! Begitu mendarat Dewa Arak melet akkan put ra Jayeng
Kertacundraka di tanah. Tentu saja letaknya agak jauh dari kancah
pertarungan, agar terhindar dari ancaman maut.
Tindakan Dewa Arak tidak lepas dari pengamatan Jayeng
Kertacundraka palsu. Lel aki berpakaian mewah itu menjadi geram bukan
main. Rupanya, dirinya telah tertipu. Maka sambil mengeluarkan teriakan
keras yang menggetarkan tempat itu, diterjangnya Dewa Arak.
Kali ini, Arya tidak ragu-ragu lagi menyambut serangan lawan.
Ketidakberadaan putra Jayeng Kertacundraka membuatnya leluasa untuk
bertindak. Pertarungan sengit pun berlangsung.
Di kancah pertarungan lainnya, kakek pendek kekar tengah
berjuang keras menghadapi lawan-lawannya. Ternyata kakek itu bukan
orang sembarangan. Kepandai annya tidak bisa dianggap ringan. Terbukti
meskipun dikeroyok sembilan orang, kakek itu mampu mengadakan
periawanan sengit. Bahkan, dia tidak terdesak sama sekali. Pertarungan
yang berlangsung pun tidak kalah serunya dengan pertarungan Dewa Arak
dengan Jayeng Kertacundraka palsu.
Dewa Arak yang sempat memperhatikan jalannya pertarungan
menjadi tenang. Arya tahu keadaan kakek pendek kekar itu tidak perlu
dikhawatirkan. Setidak-tidaknya sampai puluhan jurus anak buah Jayeng
Kertacundraka palsu belum bisa merobohkannya. Maka, pemuda berambut
putih keperakan itu memusatkan perharjan pada lawannya.
Di jurus-jurus awal, baik Dewa Arak maupun Jayeng
Kertacundraka palsu tidak mengeluarkan ilmu-ilmu andalan. Seperti
biasanya, Dewa Arak lebih dulu menggunakan ilmu warisan ayahnya. Ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk
Naga'. Hebat dan menggiriskan ilmu-ilmu warisan Pendekar Ruyung
Sakti itu. Serangan demi serangan bertubi-tubi meluncur ke arah Jayeng
Kertacundraka palsu bagaikan tak pernah henti. Hal ini tidak aneh. Kedua
ilmu yang dipergunakan Dewa Arak adalah ilmu-ilmu yang menitikberatkan
pada penyerangan.
Tapi, Jayeng Kert acundraka palsu pun bukan orang sembarangan.
Meski serbuan Dewa Arak dahsyat dan susul-menyusul laksana gelombang
laut, dia dapat mengandaskannya. Bagai batu karang kokoh, lelaki
berpakaian indah itu memupuskan setiap serangan Dewa Arak. Malah, dia
dapat melancarkan serangan balas an yang tidak kalah dahsyatnya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Yang t erlihat hanya sosok-sosok
bayangan dalam bentuk yang tidak jelas. Mereka saling belit dan sesekali
keduanya menjauh. Bunyi menderu, mengaung, dan mencicit menyemaraki
jalannya pert arungan. Tanah di sana-sini terbongkar akibat gerakan kedua
tokoh itu. Debu tampak mengepul tinggi ke udara.
Karena pert arungan berlangsung dengan cepat, hanya dalam waktu
singkat lima puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu belum nampak tandatanda
pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan masih
berlangsung seimbang.
Mengjnjak jurus kelima puluh lima, kedua bel ah pihak tidak sabar
lagi untuk segera menyel esaikan pertarungan. Mereka memutuskan untuk
menggunakan ilmu andalan. Bagai telah disepakati sebelumnya, Dewa Arak
dan Jayeng Kertacundraka palsu melempar tubuhnya ke belakang.
Di saat berada di udara, Dewa Arak segera mengambil gucinya dan
menuangkan ke mulut.
Gluk.... Gluk.... Gluk..!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu mel ewati tenggorokan
Arya. Sesaat kemudian, ada hawa hangat merayap ke kepal a Dewa Arak.
"Hup!"
Dengan agak terhuyung-huyung, Arya mendaratkan kedua kakinya


Dewa Arak 59 Titipan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di tanah. Tampaknya, ilmu 'Belalang Sakti'nya telah siap untuk
dipergunakan. Ternyata bukan hanya Dewa Arak yang telah siap. Jayeng
Kertacundraka palsu pun demikian. Begitu kedua kakinya menjejak tanah,
dia segera mempersiapkan jurus.
Mula-mula kedua t angannya yang mengejang keras, dengan jarijari
terbuka, disilangkan di depan dada. Lalu, dengan perl ahan-l ahan tapi
penuh tenaga ditariknya ke sisi pinggang. Masih dengan perlahan kemudian
kedua tangannya didorongkan ke depan.
Begitu telah terjulur habis, tampak punggung tangannya yang tidak
tertutup baju berwarna hitam mengkilat. Samar-samar dari kedua tangannya
mengepul asap tipis. Inilah ilmu 'Tangan Besi' yang menjadi andalannya.
Sejenis ilmu yang membuat kedua t angannya tak kal ah kuat dengan besi
baja sekalipun!
*** Dewa Arak bukan orang bodoh. Sekali lihat saja dia bisa
mengetahui kedahsyatan jurus lawan. Telah beberapa kali Arya berhadapan
dengan orang-orang yang memiliki ilmu seperti itu. Dengan terhuyunghuyung
seperti akan jatuh dan sesekali menenggak arak, dihampirinya
Jayeng Kertacundraka palsu.
Semula lelaki berpakai an indah itu bersikap menunggu. Dibiarkan
saja Dewa Arak menghampirinya. Tapi ketika melihat kenyataannya dia
menjadi tidak sabar. Sampai kapan pertarungan akan berlangsung kalau
menunggu Dewa Arak mendekatinya" Pemuda berambut putih keperakan
itu maju selangkah tapi mundur tiga langkah! Karena langkah kakinya yang
terhuyung. "Haaat...!"
Diawali teriakan keras membahana, Jayeng Kertacundraka palsu
menerjang Dewa Arak. Tangan kanannya dengan sikap jari-jari terbuka
dihantamkan ke arah dada Dewa Arak.
Wusss! Bunyi angin menderu berhawa panas mengiringi tibanya serangan
lelaki berpakai an indah itu. Sungguh dahsyat serangan yang dilancarkannya.
Tapi Dewa Arak tet ap bersikap bias a. Bahkan, dengan tidak peduli
ditenggaknya arak. Kedua kakinya yang tidak menapak dengan mantap di
tanah membuat tubuhnya oleng ke sana kemari. Dan ketika serangan Jayeng
Kertacundraka palsu telah menyambar dekat, Dewa Arak memapakinya dengan
tangan kanan. Prattt! Bunyi seperti beradunya dua logam keras terdengar saat kedua
tangan yang mengandung tenaga dalam kuat itu berbenturan. Keras dan
memekakkan telinga. Akibatnya, Dewa Arak maupun Jayeng
Kertacundraka palsu terhuyung-huyung ke bel akang. Namun, Dewa Arak
lebih unggul. Jayeng Kertacundraka palsu terdorong selangkah lebih jauh.
Akibat benturan itu tidak seles ai sampai di situ. Dewa Arak
merasakan betapa tangannya teras a sakit. Otaknya yang cerdas segera dapat
menebak. Dal am penggunakan ilmu 'Tangan Besi', Jayeng Kert acundraka
palsu jadi memiliki tangan yang amat kuat.
Lelaki berpakaian indah itu segera melancarkan serangan susulan.
Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali menyambutnya. Pertarungan
yang jauh lebih sengit pun berkobar.
Memang, ilmu 'Tangan Besi' milik Jayeng Kertacundraka palsu
sangat hebat. Namun Dewa Arak dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya dapat
mengimbangi. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', semua serangan
Jayeng Kert acundraka palsu berhasil dielakkan. Kemudian, dengan
mempergunakan jurus 'Belalang Mabuk' dan 'Pukulan Belalang',
dilancarkan serangan balas an yang membuat Jayeng Kertacundraka palsu
kelabakan. Namun, itu bukan berarti Dewa Arak dapat menundukkan
lawannya dengan mudah. Lelaki berpakaian indah itu mampu melakukan
perlawan-an sengit. Kedua belah pihak silih berganti melancarkan serangan.
Sampai hampir seratus jurus pertarungan berlangsung. Baru ketika
menginjak jurus kes eratus, Dewa Arak berhasil menguasai keadaan.
Perlahan-l ahan tapi pasti Jayeng Kert acundraka palsu berhasil didesak.
Serangan-serangan lawan mulai berkurang. Lelaki berpakaian indah itu
lebih banyak mengelak dan menangkis.
Memang tangan, kaki, guci, dan arak dalam penggunaan ilmu
'Belalang Sakri' merupakan s atu kesatuan yang dapat menggilas habis
pertahanan lawan. Ini dialami sendiri oleh Jayeng Kertacundraka palsu.
Ternyata bukan hanya l elaki itu yang t erdesak. Sembilan anak
buahnya yang menghadapi kakek pendek kekar pun demikian. Bahkan, dua
di antara mereka telah tergel etak tewas. Sisanya berjuang keras agar tidak
ikut menyusul rekannya ke alam baka.
Akhir dari pertarungan-pertarungan itu sudah dapat ditebak.
Jayeng Kertacundraka palsu dan anak buahnya akan roboh di tangan Dewa
Arak dan kakek pendek kekar. Hanya kalau dibuat perbandingan, keadaan
Jayeng Kertacundraka palsu masih lebih baik daripada anak buahnya.
Kakek pendek kekar yang tahu kemenangannya hanya tinggal
menunggu waktu, semakin bers emangat melancarkan serangan. Sepasang
tombak pendek putih berkilat yang tergenggam di tangan, dikelebatkan ke
sana kemari mencari sasaran di tubuh lawan.
Tentu saja lelaki bertelanjang dada dan enam orang rekannya tidak
tinggal diam. Dengan senjata terhunus perlawanan sengit mereka lakukan.
Tapi usaha mereka sia-sia. Kecepatan gerak kakek itu tidak bisa mereka
imbangi. Lagi-Iagi tanpa dapat dicegah, dua di antara mereka mengeluarkan
lolong kesakitan. Ujung tombak kakek pendek kekar menyobek leher dan
lambung mereka.
Dengan tewasnya kedua orang itu, keadaan anak buah Jayeng
Kertacundraka palsu semakin berantakan. Kematian keduanya
menyebabkan perlawanan mereka semakin berkurang. Tak heran beberapa
gebrakan kemudian, jeritan kematian terdengar saling susul. Sampai
akhirnya, tidak ada satu pun yang berdiri tegak.
Kakek pendek kekar tersenyum penuh kemenangan. Ditatapnya
sejenak mayat-mayat anak buah Jayeng Kertacundraka palsu. Setelah itu,
perhatiannya dialihkan pada pertarungan Dewa Arak dan orang yang
mengaku Jayeng Kert acundraka.
"Hebat! Tak pernah kusangka ada seorang pemuda memiliki
kepandai an setinggi itu," gumam kakek pendek kekar penuh kekaguman.
Kakek itu bisa melihat jelas jalannya pertarungan. Dia tahu tak
akan lama lagi Dewa Arak akan keluar s ebagai pemenang. Sebab, orang
yang mengaku sebagai Jayeng Kertacundraka terdesak hebat dan hanya bisa
bertarung mundur.
"Menyingkirlah, Anak Muda! Biar aku yang membereskan Jayeng
Kertacundraka palsu ini! Aku l ebih berkepentingan terhadap di rinya!" seru
kakek pendek kekar, seraya bersi ap-siap terjun ke dalam kancah
pertarungan. Seruan kakek itu keras bukan main, sehingga mampu mengat asi
hiruk-pikuk pertarungan. Hal ini tidak aneh, karena kakek itu mengerahkan
tenaga dalamnya.
Dewa Arak terlihat ragu-ragu. Haruskah dituruti seruan itu"
Ataukah dibiarkannya s aja dan diteruskan serangannya terhadap Jayeng
Kertacundraka palsu" Bukankah tak lama l agi lelaki berpakaian indah itu
akan dapat dirobohkannya"
Tapi..., pemuda berambut putih keperakan itu merasa tidak enak
melakukannya. Bukankah dia tidak memiliki kepentingan sama sekali.
Kalau memang kakek pendek kekar itu benar mempunyai urusan, biarlah
dia yang menghadapinya.
Di saat Dewa Arak tengah mempertimbangkan pilihan itu, tibatiba....
*** "Ketua...!"
Karena hanya kakek pendek kekar yang tidak dilanda kesibukan,
dialah yang leluasa menoleh. Sedangkan Dewa Arak dan Jayeng
Kertacundraka palsu tidak dapat berbuat banyak. Mereka tengah
memusatkan seluruh perhatian pada pertarungan. Kalau bertindak lengah
sedikit saja, akibatnya akan sangat berbahaya.
Karena itu, mereka tidak mengetahui orang yang mengucapkan
panggilan itu. Meskipun demi kian Dewa Arak sempat merasa heran. Nada
suara itu seperti pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana, Arya tidak
ingat lagi. Sayang, Dewa Arak tidak mempunyai kesempatan untuk
melihatnya. Sulit. Karena pemilik suara itu berada di belakangnya.
Sementara itu kakek pendek kekar tampak agak t erkejut melihat
pemilik suara itu.
"Kau... Sukrasana..."! Mengapa hanya sendi rian" Mana yang
lainnya?" tanya kakek pendek kekar bertubi-tubi. Tatapannya terus
diarahkan pada sosok yang menghampirinya.
Sosok yang ternyata Sukras ana l angsung berubah wajahnya.
Kelam, penuh kesedihan yang dalam. Karuan saja kakek pendek kekar yang
adalah Ki Windu Paksi menjadi kebingungan. Berbagai pikiran buruk
berkecamuk di benaknya. Apakah yang telah menimpa Limbong dan empat
orang rekannya"
"Katakan, Sukras ana! Apa yang terjadi pada yang l ainnya?" desak
Ki Windu Paksi tak sabar.
"Mereka..., mereka telah tewas, Ketua," lapor Sukrasana terbatabata.
Jelas, kesedihan masih melingkupi hatinya.
"Apa"!" selak Ki Windu Paksi kaget "Mengapa itu bisa terj adi"!
Siapa yang telah melakukan kekejian itu, Sukrasana"! Katakan!"
"Dia, Ketua!" jawab Sukras ana seraya menudingkan jari
telunjuknya ke arah Dewa Arak.
"Keparat!" maki Ki Windu Paksi. Ditatapnya Dewa Arak dengan
sorot mata memancarkan dendam. "Akan kubalaskan semua sakit hati ini!"
Usai berkat a demikian, Ketua Perguruan Macan Kumbang itu
melesat menuju kancah pertarungan.
"Aku ikut, Ketua!" seru Sukras ana, melompat menyusul Ki Windu
Paksi. Ki Windu Paksi memang mendengar seruan muridnya. Tapi, kakek
itu tidak menanggapinya. Seluruh perhatiannya dipusatkan pada serangan
yang tengah dilancarkan.
Sementara itu, Dewa Arak sedang mendesak Jayeng
Kertacundraka palsu. Lelaki berpakai an indah itu tampak terhuyung-huyung
setelah menangkis serangan Arya. Saat itulah Dewa Arak mel ancarkan
serangan susulan dengan ayunan gucinya ke arah dada lawan.
Jayeng Kertacundraka palsu terkejut bukan main. Bahaya maut
tengah mengancamnya. Pada-hal, saat itu dia berada dalam keadaan yang
tidak menguntungkan. Sedangkan untuk mengelak sudah tidak mungkin
lagi. Jalan satu-s atunya untuk menyelamatkannya hanya dengan
menangkis. Itu pun bukan dengan tanpa resiko. Keadaan yang tidak
memungkinkan membuat tangkisannya tidak dapat dilakukan dengan tenaga
penuh. Akibatnya, dia akan menderita luka dalam yang cukup parah!
Di saat Jayeng Kertacundraka palsu mengambil keputusan untuk
menangkis, dari belakang Dewa Arak meles at sesosok bayangan hitam.
Sosok itu bersalto melewati kepala Dewa Arak, dan memapaki
serangannya. Semua berlangsung dalam sekejap mata.
Prattt! Bunyi keras terdengar ketika tangan-tangan yang dialiri tenaga
dalam tinggi berbenturan. Tubuh Dewa Arak maupun sosok hitam
terjengkang ke arah yang berlawanan!
Jliggg! Pada saat yang bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki sosok
hitam itu, Dewa Arak berhasil memperbaiki kedudukan. Pemuda berambut
putih keperakan itu melayangkan pandangan ke arah orang yang telah
menangkis serangannya.
"Kau..."!" seru Arya kaget ketika mengenali sosok hitam itu. Siapa
lagi kalau bukan Ki Windu Paksi"!
Tapi Ki Windu Paksi tidak mempedulikan sikap Dewa Arak.
Pandangannya dialihkan pada Jayeng Kertacundraka palsu.
"Biar aku yang menyeles aikannya! Aku mempunyai urusan
dengannya!" ucap Ki Windu Paksi pada lelaki berpakaian indah yang
berdiri di dekatnya. Tak ada nada ramah dalam ucapan maupun tarikan
wajah Ketua Perguruan Macan Kumbang itu. Tegas dan kaku!
Jayeng Kertacundraka palsu mengerti. Tampaknya, sesuatu telah
membuat Ki Windu Paksi memusuhi Dewa Arak. Hal ini menguntungkan
pihaknya. Dia tidak mau bertindak bodoh dengan merusak kesempatan yang
sudah tercipta.
"Mengapa sungkan-sungkan, Ki"! Biarkan aku membantumu!
Bukannya aku meremehkan kemampuanmu. Tapi, percayalah. Kau tidak
akan mampu menghadapinya. Dia lihai s ekali!" l elaki berpakaian indah itu
menawarkan bantuan dengan ramah.
Ki Windu Paksi tidak menjawab. Kakek itu t ermenung sejenak.
Terasa ada kebenaran dalam ucapan lelaki berpakaian indah itu. Dewa Arak
memang memiliki kepandai an sangat tinggi. Tanpa perlu mengujinya dia
tahu tingkat kepandaiannya masih berada di bawah pemuda berambut putih
keperakan itu. Di saat Ketua Perguruan Macan Kumbang memikirkan penawaran
Jayeng Kertacundraka palsu, pertarungan mulai berkobar. Saat itu
Sukrasana telah melakukan penyerangan terhadap Dewa Arak.
Tapi, mana mungkin Sukrasana mampu menghadapi Dewa Arak"
Sewaktu pemuda itu belum menggunakan ilmu-ilmu andalan saja dia sudah
kelabakan, apalagi kini setelah menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Dengan beberapa gebrakan saja dia dibuat pontang-panting!
Melihat hal ini, Ki Windu Paksi tidak tinggal diam. Buru-buru kakek itu melesat memasuki kancah pertarungan. Tak diberikannya jawaban pasti untuk Jayeng Kertacundraka palsu.
Tapi, lelaki berpakaian indah itu tidak membutuhkan jawaban Ki Windu Paksi. Dia tahu, dengan diamnya Ketua Perguruan Macan Kumbang berarti maksud baiknya diterima! Maka, tanpa menunggu lebih lama, dia pun ikut teriun ke dalam kancah pertarungan.
Pertempuran kembali berlangsung. Bahkan, kali ini jauh lebih seru.
Dewa Arak menghadapi tiga orang lawan sekaligus! Hingga, pemuda berambut putih keperakan itu harus menguras seluruh kemampuannya.
Sebab, dua dari tiga lawannya merupakan tokoh-tokoh berkepandaian sangat tinggi dan hanya berselisih sedikit dengannya.
Jayeng Kert acundraka palsu, Ki Windu Paksi, maupun Sukrasana diam-diam kaget bercampur kagum. Sungguh tidak disangka kepandaian Dewa Arak akan setinggi ini! Padahal, mereka telah mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi tetap saja mengalami kesulitan untuk merobohkan pemuda itu.
Tanpa teras a tiga puluh jurus t elah berlalu. Dan set ama itu belum nampak tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang.
Sungguhpun demikian, sebenarnya Dewa Arak berada di bawah angin. Hanya berkat keunikan ilmu 'Belalang Sakti' saja pemuda itu masih dapat bertahan. Di samping jurus 'Delapan Langkah Belalang', yang dengan langkah terhuyung-huyung s eperti akan jatuh Dewa Arak mampu mengelakkan setiap serangan lawan. Ilmu 'Belalang Sakti' pun dapat membuat Dewa Arak melakukan gerakan dalam keadaan sesulit apa pun.
Hanya saja, karena bertubi-tubinya serangan yang datang, Arya hampir tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Hanya sesekali serangan balasan dilancarkan.
Dua puluh jurus kembali terlewati. Tapi keadaan masih belum berubah. Dewa Arak t etap tidak dapat didesak. Di saat itulah mendadak terdengar seruan keras.
"Jangan khawatir, Saudara Saudagar! Kami datang membantu...!"
Belum juga gema ucapan itu lenyap, melesat tiga sosok bayangan yang langsung memasuki arena pertempuran. Kemudian, tanpa bicara sepatah pun mereka menerjang Dewa Arak.
Arya sedikit heran melihat serangan tiga sosok yang baru datang itu. Dewa Arak tahu siapa mereka. Kepala-kepal a perampok! Buaya Emas Berekor Tiga, Raja Hiu Terbang, dan Raja Kera Tenaga Raksasa! Tiga pentolan perampok yang t elah dijatuhkannya dari atas jembatan. Rupanya, mereka dapat menyelamatkan diri dan naik ke atas.
Pemuda berambut putih keperakan itu maklum melihat tiga kepala perampok berhasil tiba di sini. Seperti juga mengapa Sukrasana dan Ki Windu Paksi berhasil sampai di tempat ini meskipun tidak ada jembatan.
Bagi tokoh-tokoh tingkat tinggi, hal-hal seperti itu bukan merupakan masalah.
Ikut campurnya tiga kepal a perampok dalam kancah pertarungan langsung mengubah keadaan. Betapapun saktinya Dewa Arak dan hebatnya ilmu 'Belalang Sakti', tetap saja mempunyai batas kemampuan. Lawanlawan yang dihadapinya terlampau banyak. Rata-rata berilmu tinggi pula.
Tak pelak lagi, sepuluh jurus setelah tiga kepala perampok ikut campur Arya terjepit
"Haaat..!"
Di jurus kelima belas, Jayeng Kertacundraka palsu menerjang Dewa Arak dengan terkaman bagai harimau menerkam mangsa.
Kesempatan yang tidak ters edia membuat Dewa Arak memutuskan untuk memapakinya.
Prattt! Tubuh Dewa Arak langsung terhuyung ke belakang. Sedangkan Jayeng Kertacundraka palsu terjengkang. Saat itulah, sepasang tombak Ki Windu Paksi menyapu kedua kakinya. Ternyata, Dewa Arak masih sempat menjejakkan kaki. Sehingga tubuhnya melayang ke at as dan serangan itu lewat di bawah kakinya.
Buaya Emas Berekor Tiga mempergunakan kesempatan itu untuk mengibaskan kaki kanannya. Tindakan yang dilakukannya bersamaan dengan gedoran tangan kanan Raja Hiu Terbang ke arah dada kanan, dan pukulan Raja Kera Tenaga Raksasa ke arah perut.
Wusss!Wuttt! Zebbb!
Dewa Arak terkejut bukan main. Saat itu, Arya baru saja mengelakkan s erangan. Menurut perhitungan merupakan hal yang mustahil bergerak di saat tubuh terapung di udara, karena tidak ada landasan sama sekali. Tapi berkat ilmu 'Belalang Sakti' Dewa Arak mampu melakukannya.
Pemuda berambut putih keperakan itu menggeliatkan tubuhnya. Tapi....
Bukkk! Desss! Plakkk!
Serangan tiga kepal a perampok itu masih dapat mengenai sasaran.
Hanya s aja tidak s ecara telak. Kal au tidak, nyawa Dewa Arak telah melayang ke alam baka. Meskipun demikian, itu sudah cukup untuk mendorong tubuh Dewa Arak ke belakang dan jatuh berdebuk di tanah. Dari sudut-sudut bibir pemuda berambut putih keperakan itu mengalir darah segar.
"Ha ha ha...!"
Raja Kera Tenaga Raksasa, Buaya Emas Berekor Tiga, dan RajaHiu Terbang tertawa bergelak. Sepasang mata mereka diarahkan pada Dewa Arak yang tergolek tanpa daya. Pemuda itu tidak mampu bergerak sama sekali.
Sementara itu, tanpa mempedulikan suasana di sekitarnya Ki Windu Paksi menghampiri Dewa Arak.
"Bukannya aku bermaksud tidak bertindak ksat ria, Anak Muda.
Tapi, terpaksa aku harus membunuhmu agar arwah lima orang muridku tenteram di alam baka!"
Usai berkat a demikian, Ketua Perguruan Macan Kumbang itu mengangkat kedua tombaknya tinggi-tinggi. Siap dihunjamkan ke tubuh Dewa Arak.
Arya hanya tersenyum pahit. Dia tahu Ki Windu Paksi salah paham. Ingin dijelaskannya padanya. Tapi sayang, Arya tidak mampu melakukan hal itu. Luka-luka yang dideritanya terlampau parah. Maka yang dapat dilakukannya hanya pasrah menunggu aj al dengan mulut menyunggingkan senyum getir.
Bukkk! "Akh!"
Peristiwa yang mengejutkan pun terjadi! Sebelum ujung tombak Ki Windu Paksi mengenai sasaran, tubuhnya terjengkang ke depan karena gedoran sepasang tangan pada punggungnya. Kakek itu jatuh tergulingguling di tanah.
"Kau... kau... Sukrasana..."!" desis Ketua Perguruan MacanKumbang tak percaya. Darah yang menetes dari sudut-sudut bibirnya tidak dipedulikan sedikit pun. Ki Windu Paksi terluka dalam. Pukulan Sukrasana yang dilakukan dengan pengerahan seluruh t enaga dalam mengenai sasaran dengan telak. Sukrasana tersenyum sinis.


Dewa Arak 59 Titipan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kaget, Tua Bangka"! Kau tidak menyang-kanya, bukan"!"
"Mengapa kau l akukan semua ini"!" tanya Ki Windu Paksi masih tidak percaya.
"Mengapa"!" Sukras ana mal ah balas bertanya, setengah mengej ek.
"Semua memang sudah kami rencanakan. Maksudku, aku dan Jayeng Kertacundraka palsu. Pertama-t ama aku adu domba kau dan Jayeng Kertacundraka. Kakakku ini, Jayeng Kertacundraka palsu, menyamar sebagai J ayeng Kertacundraka! O ya, hampir lupa. Aku pul a yang membunuh Limbong dan yang lainnya. Apakah kau tidak mau memperkenalkan dirimu, Kang?"
Jayeng Kert acundraka ters enyum. Tubuhnya dibalikkan.
Kemudian, kedua t angannya sibuk bermain-main di wajah. Hanya sebentar saja. Tubuhnya kembali dibalikkan.
"Iblis Muka Seribu...!" desis KiWindu Paksi begitu melihat wajah Jayeng Kertacundraka palsu.
Ketua Perguruan Macan Kumbang itu kenal betul siapa Iblis Muka Seribu. Seorang tokoh sesat berkepandaian tinggi yang amat kejam. Belasan tahun dia mal ang-melintang tanpa ada yang mampu mengal ahkan. Entah sudah berapa ratus kali bertarung dan membunuh lawan. Julukannya sangat ditakuti.
"Rupanya kau mengenalku, Windu Paksi," ucap Iblis Muka Seribu kalem.
"Kekejian apa lagi yang akan kau ciptakan, Iblis Muka Seribu"!"
tanya Ki Windu Paksi penuh amarah.
"Aku hanya ingin menciptakan kerajaan sendiri. Dan aku yang menjadi rajanya. Tempat ini bagus dan terlindung. Itu sebabnya, Sukrasana mengatur siasiat seperti itu agar aku dapat menguasai tempat ini. Lalu, kukabari tiga kawanku ini untuk bergabung," jelas Iblis Muka Seribu seraya menunjuk tiga kepala perampok yang telah membantunya. "Tak lama lagi setelah anak buah mereka tiba, akan kutaklukkan keraj aan-kerajaan lain.
Aku akan menjadi maharaja! Ha ha ha...!"
"Kau benar-benar iblis! Lalu..., di mana Jayeng Kert acundraka berada"!"
"Dia"! Dia telah kukirim ke alam baka! Ha ha ha...!"
"Keparat! Terkutuklah kau...!" desis Ki Windu Paksi geram.
Ditatapnya Sukrasana tajam-tajam. Sedikit pun tidak menyangka kalau anak buahnya adik kandung Iblis Muka Seribu.
"He he he...!" Sukrasana tertawa terkekeh-kekeh penuh kemenangan. "Kurasa sudah saatnya membunuh mereka!"
"Biar kami yang membunuhnya!" seru Buaya Emas Berekor Tiga, Raja Hiu Terbang, dan Raja Kera Tenaga Raksasa hampir bersamaan.
Belum habis gema ucapan mereka, ketiga kepala perampok itu melompat menerjang Dewa Arak.
Di saat-saat gawat bagi keselamatan nyawanya, Dewa Arakmemanggil belalang raksasa di alam gaib. Seketika itu pula, seluruh bulu di tubuhnya bangkit ketika binatang kasat mat a itu telah berada di dalam tubuhnya. Hawa yang amat dahsyat berputaran di dalam pusarnya.
Tanpa menunggu lebih l ama, Dewa Arak menghent akkan kedua tangannya. Dalam waktu sekejap Dewa Arak mampu menghentakkan beberapa kali. Pemuda berambut putih keperakan itu mengirimkan jurus 'Pukulan Belalang'!
Wusss, wusss, wusss!
Serangkum angin pukulan dahsyat berhawa panas menyambar!
Tidak hanya pada tiga kepala perampok. Tapi juga Jayeng Kert acundraka palsu dan Sukrasana!
Mendapat serangan yang tidak disangka-sangka, tokoh-tokoh sesat itu terkejut bukan main. Sebisa-bisanya mereka berusaha mengelak. Tapi...
Bresss! "Aaa...!"
Lolong kematian terdengar saling susul, mengiringi melayangnya tubuh kelima tokoh sesat itu. Mereka tewas seketika itu juga dengan sekujur tubuh hangus terbakar!
*** "Dari mana kau tahu kalau dia J ayeng Kertacundraka palsu, Ki"!"
tanya Arya, seraya menoleh ke arah Ketua Perguruan Macan Kumbang yang bejalan di sebelahnya.
Kedua orang itu telah pulih kembali seperti sediakal a. Luka-luka dalam Dewa Arak langsung sembuh begitu belalang raksasa masuk ke dalam tubuhnya. Sedangkan Ki Windu Paksi karena diobati Dewa Arak sebelumnya.
Sekarang mereka melangkah meninggalkan tempat tinggal Jayeng Kertacundraka. Di tangan Ki Windu Paksi tampak bayi Jayeng Kertacundraka. Mereka berdua bercakap-cakap dengan akrab. Itu tidak aneh. Karena sebelumnya mereka telah saling memperkenalkan diri.
"Jayeng Kertacundraka saat ini tidak mungkin berada di luar gedung. Hari ini adalah hari kematian ayahnya. Dia pasti sedang berkabung.
Aku tahu betul tradisi keluarganya. O ya, maafkan aku, Dewa Arak. Aku telah bertindak keliru."
"Lupakanlah, Ki," jawab Arya seraya tersenyum.
Mereka terus melangkah pergi meninggalkan daerah perbukitan tenal tempat kediaman Jayeng Kertacundraka. Sementara putra Jayeng Kertacundraka tertidur pulas di dalam pelukan KiWindu Paksi, kakeknya.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Kasih Diantara Remaja 13 Tongkat Rantai Kumala Seruling Kumala Kim Lan Pay Karya Oh Chung Sin Pendekar Latah 24

Cari Blog Ini