Pendekar Mabuk 078 Dewi Kesepian Bagian 2
Kemudian ia pun menjadi bayi yang kehausan.
"Ooooh...!" Dewi Kesepian mengerang panjang dengan mata terpejam kuat. Lalu
bibirnya digigit sendiri dengan suara erangan mirip gumam memanjang.
"Temon, tunggu dulu! Berhenti sebentar."
Temon berhenti menjadi bayi. Ia memandang Dewi Kesepian dengan napas terengahengah. "Sekarang akan kuajarkan jurus 'Induk Kucing'
namanya." "Ya, ya, ya...!" Temon bersemangat sekali. "Kau pernah melihat seekor kucing
memandikan anaknya?"
"Hmmm... o, ya! Pernah. Dia memandikan anaknya dengan lidah, Guru."
"Nah, sekarang kau menjadi ibu kucing, aku menjadi anak kucing. Kau bisa
lakukan?" "Bisa... bisa sekali, Guru!"
"Tapi supaya pernapasanmu teratur dan peredaran darah kita tidak terhambat,
sebaiknya lepaskan saja apa pun yang menutupi tubuh kita."
"Lho... kalau begitu...?"
"Lakukan saja, ini, jurus kedua!"
"O, ya... baik, Gurru! Akan kulakukan apa perintahmu, Guru."
"Bagus...!" Dewi Kesepian girang sekali mendapat mangsa sebodoh itu.
Temon segera menjadi seekor Induk kucing yang sedang memandikan anaknya, dan sang Guru dianggap anak kucing. Dari ujung
kepala sampai ujung kaki sang Guru dimandikan oleh 'sang induk kucing', membuat
'si anak kucing' mengerang-ngerang ditikam seribu kenikmatan yamg menggairahkan.
"Meeeeong... meeeong... meeeong...l"
"Tidak usah pakai meong!" kata Dewi Kesepian sambil menepak paha Temon. Maka,
suara 'meong' segera dihilangkan, kini berganti suara dengus napas yang memburu, karena Dewi
Kesepian juga melakukan kecupan-kecupan yang nyaris meledakkan jiwa si pemuda
polos itu. "Oh, Temon... lakukan di tempat itu agak lama. Aku suka sekali, Temon. Ooh...
yaah, indah sekali itu, Temon...," celoteh Dewi Kesepian.
Begitu asyiknya mereka berlatih jurus-jurus 'maut', sampai tak sadar kalau ada
sepasang mata yang mengintip dari balik bebatuan dengan pintu gua.
Sepasang mata itu milik pemuda tampan yang tak lain adalah Suto Sinting, ia
berpisah arah dengan Resi Pakar Pantun, karena sang Resi segera bertemu dengan
kenalannya yang mengaku melihat Kadal Ginting di sebelah selatan. Sang Resi dan
kenalannya itu pergi ke selatan, Suto ke arah yang dituju Dewi Kesepian dan
Temon. "Oh, Muridku... berhenti dulu. Sekarang pelajaran ketiga, Muridku."
"Bbbaaa... baik... baik, Guru," jawab Temon dengan
napas ngos-ngosan karena dikejar gairah yang menyentak-nyentak sejak tadi.
"Kita pelajari jurus 'Aji Tonggak Bumi' yang dahsyat itu."
"Caranya bagaimana, Guru"!"
Dewi Kesepian menggenggam sesuatu yang selama ini dirasakan Temon belum pernah
digenggam oleh perempuan mana pun.
"Ini kita anggap tonggak. Dan tonggak ini harus disatukan ke bumi agar bisa
keluarkan kekuatan dahsyat yang dapat melambungkan sukma."
Temon melakukan hal itu sesuai dengan petunjuk yang diterimanya. Tetapi sang
bumi berguncang memutar ke sana kemari, membuat Temon memberi perlawanan agar
sang tonggak tidak terguncang ke sana-sini.
Sementara itu, di balik pengintaian, Suto Sinting jadi panas-dingin dan
keringatnya mulai membasah di sekitar kening, dahi, serta bagian dagu dan atas
mulut. "Sialan! 'Aji Tonggak Bumi' benar-benar membuatku sesak napas. Oh, celaka! Temon
yang polos pasti terkena wabah menular dan jalan darahnya akan beku. Kalau
begini aku sulit mengambil langkah; menghentikan perbuatan itu, sama saja
membunuh Dewi Kesepian.
Membiarkan hal itu terjadi, sama saja membunuh Temon. Apa yang harus kulakukan
jika begini?"
* * * 4 UNTUK menentukan sikap, Pendekar Mabuk harus mengetahui lebih jelas lagi siapa
Dewi Kesepian itu sebenarnya. Dari aliran hitam atau aliran putih. Jika memang
Dewi Kesepian dari aliran hitam, Suto akan mempertimbangkan sejauh mana tindakan
kekejiannya. Jika memang ia perempuan yang keji, Pendekar Mabuk tak segan-segan melenyapkan
Dewi Kesepian, ketimbang menjadi wabah yang berbahaya bagi kaum lelaki.
"Tapi jika ia dari aliran putih, dan selama ini berbuat kebajikan, aku tak
mungkin tega membunuhnya. Tapi aku juga belum punya jalan keluar bagaimana
mengatasi penyakit racun kutukan itu."
Dewi Kesepian mempunyai tempat sendiri yang tersembunyi, ia tinggal di tengah
hutan, di dalam sebuah rumah gubuk yang sangat sederhana. Barangkali di situlah
ia mengasingkan diri dari dunia ramai, karena tak ingin banyak orang mengetahui
racun kutukan yang dapat menular ke mana-mana itu. Sekaligus tempat itu
dijadikan tempat persembunyian bagi para pengejarnya yang ingin menuntut
tindakannya itu.
Temon dibawanya ke pondok tersebut pada esok harinya setelah bermain di dalam
gua. Pendekar Mabuk mengikuti terus dari tempat yang aman dan terlindung,
sehingga ia bisa mengetahui pondok kediaman Dewi Kesepian itu.
"Bagaimana kalau aku mendatangi mereka?" pikir Suto. "Setidaknya aku dapat
mengenal lebih dekat siapa
Dewi Kesepian itu, sehingga aku bisa mengambil sikap harus bagaimana terhadap
perempuan tersebut."
Namun baru saja Suto menimbang-nimbang, tiba-tiba ia mendengar sebuah ledakan di
sebelah barat, lalu gumpalan asap hitam tampak membubung tinggi bagai muncul
dari balik bukit. Perhatian Suto tertarik pada asap ledakan itu. Ia berani
memastikan, bahwa di sana pasti sedang terjadi pertarungan cukup seru. Dan
Pendekar Mabuk paling gemar mengintai sebuah pertarungan untuk memperkaya
khasana pengetahuan tentang jurus dan ilmu di dunia persilatan. Maka ia pun
segera berkelebat ke arah barat dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaaaaapp...!! Pertarungan itu dilakukan oleh dua tokoh tua yang agaknya sama-sama berilmu
tinggi. Kedua tokoh tua itu sangat mengejutkan Suto Sinting, karena ia kenal
betul dengan keduanya.
"Si Kapas Mayat bertarung dengan Resi Badranaya"!" gumamnya dalam keheranpn.
"Oh, apa yang membuat mereka saling beradu ilmtu sedahsyat itu"!"
Kapas Mayat tokoh tua berusia sekitar tujuh puluh tahun bertubuh agak pendek,
bahkan tergolong kerdil, karena tingginya hanya sebatas tinggi perut Suto. Ia
berambut abu-abu dengan jubah lengan panjang dan celana warna abu-abu juga.
Tubuhnya kurus, tulang iganya tampak bertonjolan karena jubah itu tidak
dikancingkan, ia mempunyai seorang cucu cantik yang
pernah diselamatkan Pendekar Mabuk dari
pertarungannya dengan Ratu Dayang Demit. Cucu cantiknya itu bernama Kelambu
Petang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gairah Sang Ratu").
Sedangkan Resi Badranaya adalah sahabat si Gila Tuak, guru Suto Sinting. Tokoh
yang satu ini berusia sekitar sembilan puluh tahun, tapi masih tampak tegar dan
gesit. Badannya yang gemuk selalu mengenakan pakaian model biksu warna kuning.
Tokoh berkepala gundul ini ke mana-mana selalu membawa kalung tasbih putih
sebesar kelereng, kadang ditenteng kadang dikalungkan sepanjang perut, ia
termasuk tokoh tua yang kumis, jenggot, dan brewoknya sudah putih rata.
Mempunyai seorang murid bernama Darah Prabu, yang juga menjadi sahabat karib
Suto Sinting, "Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gadis Buronan")
"Semestinya antara Resi Badranaya dan si Kapas Mayat bersahabat, sebab para
sahabat guruku tak ada yang saling bermusuhan. Jika sekarang ternyata mereka
bermusuhan, pasti ada penyebabnya yang sangat penting dan tidak bisa diremehkan
begitu saja," pikr Suto dari persembunyiannya.
Resi Badranaya tampak memutar-mutar tasbihnya di atas kepala sambil melangkah ke
samping dengan kedua kaki merendah, ia tampak serius sekali dan pandangan
matanya yang berwibawa itu memancarkan kebencian yang jelas di depan si Kapas
Mayat. Sedangkan Kapas Mayat yang cenderung bersikap lebih santai. Tak ada kuda-kuda
atau jurus yang
dilakukan, selain hanya mengikuti gerakan Resi Badranaya dengan pandangan
matanya yang mengecil penuh kewaspadaan.
Ketika Resi Badranaya melemparkan tasbihnya, tasbih itu segera menyala merah
seperti kobaran api dan menghantam tubuh si Kapas Mayat. Sayangnya, sebelum
tasbih itu kenai si Kapas Mayat, orang kecil bertongkat punya dua cabang itu
segera lakukan lompatan ke samping dan menghantam tongkatnya ke arah tasbih
tersebut. Wuuwt..! Beeet...!
Jegaaaarrrrr....!
Tasbih itu padam dan terpental ke arah lain, sementara tanah dan pepohonan
bergetar hebat karena gelombang ledakan yang dahsyat tadi. Resi Badranaya
sentakkan tangan ke arah tasbihnya yang terbang menjauh. Dalam sekejap tasbih
itu berputar balik dan meluncur ke arah pemiliknya lalu ditangkap dengan sigap.
Teek...! Tongkat si Kapas Mayat yang bercabang dua seperti ketapel itu juga mempunyai
karet dan tempat batu pelontar. Kapas Mayat terlempar di belakang dan jatuh
terbanting akibat ledakan tadi. Hanya saja, dengan tangkas ia pergunakan
tongkatnya untuk menahan hempasan tubuh sehingga ia tak sampai terbanting,
melainkan menukik dengan kaki di atas dan kedua tangan bertumpu pada tongkat.
Dalam sekejap ia telah berdiri kembali dengan tegak menghadapi lawannya.
Resi Badranaya berseru sambil menuding si Kapas Mayat.
"Kalau kau tak mau bertanggung jawab, jangan salahkan diriku jika cucumu pun tak
selamat, Kapas Mayat!"
"Kalau tak salah dugaanku...," ujar Kapas Mayat dengan ucapan khas yang selalu
menggunakan kalimat,
'kalau tak salah dugaanku' itu.
"... kau tak bisa menuntut kepada cucuku; si Kelambu Petang, Kakang Badranaya!
Cucuku tidak punya kesalahan apa-apa. Kalau tak salah dugaanku, dia hanya
seorang gadis yang waras. Artinya, punya rasa suka kepada lelaki dan punya
hasrat kepada lawan jenisnya."
"Tapi gara-gara bergaul dengan cucumu, muridku si Darah Prabu akhirnya terancam
racun yang sukar disembuhkan. Menurut pengakuannya, racun itu mengenainya
setelah ia bercumbu dengan Kelambu Petang, cucumu itu!"
"Belum tentu, Kakang!" ujar Kapas Mayat cenderung lebih kalem dari Resi
Badranaya. "Kalau tak salah dugaanku, cucuku tak punya racun apa-apa dalam
tubuhnya. Tak masuk akal kalau muridmu keracunan cinta setelah bercumbu dengan
cucuku! Justru kalau tidak salah akulah yang harus menuntutmu agar segera
mengawinkan cucuku dengan muridmu, sebab dia sudah
'menikmati' kesucian si Kelambu Petang!"
"Tak sudi aku mengawinkan muridku dengan cucumu!" bentak Resi Badranaya. "Sama
saja aku mengawinkan si Darah Prabu dengan Iblis perempuan!"
"Eh, jangan mengatakan cucuku Iblis perempuan, Badranaya! Kalau tak salah
dugaanku, cucuku itu bukan
iblis. Tapi muridmu itu yang penganut setia iblis sesat!"
"Berarti kau mengatakan aku iblis sesat"! Kurobek mulutmu, Kipas Mayat!
Heeeaahh...!"
Resi Badranaya melayang bagaikan terbang.
Tasbihnya dikalungkan, kedua tangannya diacungkan ke depan. Kedua tangan itu
memancarkan warna hijau bening, sepertinya tangan Resi Badranaya terbuat dari
batu giok yang bersinar.
Serangan itu disambut oleh si Kipas Mayat dengan satu lompatan yang membawa
tubuh kecilnya terbang dengan cepat. Kapas Mayat pegangi tongkatnya dengan kedua
tangan di bagian tengah. Weees...! Lalu, tubuh mereka bertabrakan di udara.
Kedua tangan Resi Badranaya menghantam kedua sisi tongkat si Kapas Mayat.
Blegaaarrr...! Claaaap...! Warna merah membias lebar dan lenyap seketika dengan asap tipis
berhembus ke atas. Kedua tokoh itu sama-sama terpental ke belakang dan jatuh
berguling-guling di tempat berdirinya semula. Namun dalam sekejap keduanya sudah
sama-sama bangkit berdiri dan siap lepaskan serangan lagi.
Resi Badranaya mengeluarkan darah kental dari hidungnya, si Kapas Mayat
keluarkan darah kehitam-hitaman dari tepian mulutnya. Keduanya terluka dalam
akibat adu kesaktian di udara tadi. Tapi keduanya sama-sama tak ada yang merasa
jera. Wuk, wuk, wuk...! Kapas Mayat memainkan
tongkatnya dengan dikibaskan ke kanan-kiri, lalu terjepit
lurus di ketiak kanannya, tangan kirinya mulai membentuk cakar yang mengeras dan
lambat laun keluarkan asap putih tipis dari sela-sela jemarinya.
Tangan itu segera berkelebat menyentak ke atas.
Claaap...! Sinar biru bundar seperti buah kedondong melesat ke arah Resi
Badranaya. Sinar biru itu berekor asap kehijau-hijauan yang punya kecepatan
cukup tinggi. Melihat kedatangan sinar biru itu, Resi Badranaya segera sentakkan kedua jarinya
ke depan dan meluncurlah selarik sinar lurus warna kuning emas menuju ke sinar
biru itu. Claaap, weeeess...!
Tetapi tiba-tiba Suto Sinting melihat sekelebat sinar merah bagai membias dari
dasar bumi. Sinar merah tipis dan lebar itu seperti nyala api yang menghalangi
pertemuan sinar kuning dan sinar biru.
Blaaab...! Blegaaaarrr. .!
Alam sekitarnya bagai dilanda kiamat lokal. Pohon-pohon tumbang, tanah retak,
bahkan ada yang longsor ke dalam. Suto Sinting sendiri hampir terkubur hiduphidup karena tanah yang dipijaknya longsor ke bawah, ia buru-buru melesat dan
hinggap di atas sebuah batu yang masih kokoh. Jleeeg...!
Ia segera terkejut melihat Resi Badranaya terkapar dan mengerang, juga si Kapas
Mayat terjungkal nungging sambil mengerang kesakitan. Ketika keduanya berhasil
berdiri, tampaklah kedua wajah mereka menjadi biru kehitam-hitaman bagai habis
dipukuli orang satu kadipaten.
Tapi yang lebih mengejutkan lagi adalah munculnya
perempuan berambut hitam berikat kepala merah, mengenakan jubah hijau dan
dalaman kuning.
Perempuan itu mempunyai wajah yang menyeramkan; tua, keriput, cekung, hidungnya
hampir bolong dan giginya amburadul, ia tak lain adalah si Rupa Setan alias
Anjardani. Kemunculan si Rupa Setan bukan membuat terkejut Pendekar Mabuk saja, namun juga
membuat kaget Resi Badranaya dan Kapas Mayat. Pendekar Mabuk segera menenggak
tuaknya sedikit untuk menghilangkan rasa sakit di dadanya akibat hentakan
gelombang ledak tadi.
"Rupa Setan...!" Resi Badranaya bersuara sedikit menggeram. "Cukup lama kau tak
muncul, begitu muncul mau mencampuri urusanku! Patutkah
tindakanmu ini, Rupa Setan"!"
Sebelum si Rupa Setan menjawab, Kapas Mayat serukan suaranya.
"Kalau tak salah dugaanku, kau adalah si Rupa Setan alias Anjardani, saudara
perguruannya Tanuyasa, si Omong Cekak itu! Wah, wah, wah... kusangka kau sudah
mati, Anjardani. Ternyata begitu muncul bikin wajahku memar dan nyaris terbakar
hangus begini. Kalau tak salah dugaanku, ini sakit lho, Njar...!" sambil menuding wajahnya
sendiri. Dalam hati Suto berkata, "Wah, seru kalau begini!
Mereka bertiga tokoh sakti semua. Si Rupa Setan mau memihak siapa kalau begini?"
Lalu, suara Rupa Setan terdengar lantang, setelah ia melangkah mundur beberapa
kali, mengambil jarak agar
bisa bicara dengan kedua tokoh yang ada di kanan-kirinya itu.
"Badranaya dan Kapas Mayat, kemunculanku kali ini bukan untuk memihak salah satu
di antara kalian berdua.
Aku hanya ingin meluruskan anggapan kalian yang keliru! Sejak tadi kudengarkan
tuntutanmu, Badranaya.
Aku mulai paham dengan persoalan kalian!"
"Apa yang kau tahu tentang tuntutanku"!" sergah Resi Badranaya.
"Muridmu yang bernama Darah Prabu terkena racun setelah bercumbu dengan cucunya
si Kapas Mayat yang bernama Kelambu Petang!"
"Bagus! Kalau begitu kau benar-benar paham dengan persoalanku, Rupa Setan!" ujar
Resi Badranaya dengan tegas. "Perlu kau ketahui, bahwa muridku sekarang dalam
keadaan sekarat. Sekujur tubuhnya pucat pasi berbintik-bintik hitam, ia tak bisa
bicara, tak bisa berkedip, napasnya tersentak-sentak bagai mengalami penyumbatan
pada pernapasan dan jalan darahnya."
"Bukan penyumbatan, tapi pembekuan!" sahut si Rupa Setan.
"Sudah kukerahkan hawa murniku untuk sembuhkan penyakitnya itu, tapi tak
berhasil. Bahkan beberapa tabib sahabatku kumintai bantuannya, tapi juga tidak
Pendekar Mabuk 078 Dewi Kesepian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhasil!"
"Tentu saja, sebab penyakit itu tak akan bisa terobati.
Obat satu-satunya adalah kematian!" kata si Rupa Setan.
"Penyebabnya jelas bukan dari cucu si Kapas Mayat.
Aku tahu betul jenis wabah itu. Datangnya dari seorang
perempuan yang terkena kutukan beracun milik mendiang Ronggeng Iblis. Kutukan
beracun itu diberinya nama: racun 'Asmara Kubur'. Racun itu keluar dari sebuah
kutukan bermantra. Perempuan yang terkena racun 'Asmara Kubur' itu adalah si
Yundawuni, yang sejak terkena racun 'Asmara Kubur' mengubah namanya menjadi Dewi
Kesepian."
"Siapa sebenarnya perempuan yang bernama Dewi Kesepian itu, Rupa Setan?"
Kapas Mayat menyahut, "Kalau tak salah dugaanku, Yundawuni adalah muridnya
Pendeta Amor alias Amoroso Kumbaya dari Selat Darah!"
"Benar, Kapas Mayat!" sahut si Rupa Setan.
"Yundawuni adalah murid murtadnya si Pendeta Amor.
Ia tak diakui sebagai murid lagi karena tak mau mengikuti ajaran sesat gurunya,
ia menyimpang dari aliran hitam, lalu mengabdi kepada Prabu Dasawalatama di
Kerajaan Kincir Bantala."
Pendekar Mabuk sempat terperanjat, karena ia pernah mendengar nama Prabu
Dasawalatama dari Kerajaan Kincir Bantala dalam peristiwa pusaka Panji-panji
Mayat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Perawan Titisan Peri").
Kalau begitu, Dewi Kesepian itu tokoh aliran putih"
Sebab, dia dipecat oleh Pendeta Amor karena tak mau ikuti jejak sesat sang
Guru," pikir Suto Sinting sambil membayangkan wajah Pendeta Amor yang pernah
bertarung melawannya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Misteri Tuak
Dewata"). Kedua tokoh itu akhirnya berkumpul dan
membicarakan tentang kutukan beracun 'Asmara Kubur'
itu. Suto mencuri dengar percakapan ketiga tokoh sakti itu dengan menggunakan
jurus 'Sadap Suara' yang mampu mendengar suara dari kejauhan.
"Kalau tak salah dugaanku," kata si Kapas Mayat,
"Berarti Darah Prabu pernah kencan dengan Dewi Kesepian, lalu terkena penyakit
laknat itu!"
Resi Badranaya menggumam bagai menggerutu,
"Mengapa Darah Prabu tidak ceritakan tentang si Dewi Kesepian itu"!"
"Tentu saja ia malu padamu, juga malu kalau sampai didengar oleh cucunya si
Kapas Mayat," ujar Rupa Setan.
Sebelum Resi Badranaya bicara lagi, tiba-tiba sekelebat bayangan melesat hampiri
mereka. Suto Sinting terkejut dan berkerut dahi saat melihat bayangan berkelebat
itu. Setelah bayangan tersebut hentikan langkah di samping Resi Badranaya, Suto
Sinting semakin berkerut dahi.
Bayangan itu tak lain adalah Resi Pakar Pantun.
Kemunculan Resi Pakar Pantun memang mengejutkan Suto Sinting dan ketiga tokoh
sakti itu, karena Resi Pakar Pantun datang sambil memondong tubuh kurus si Kadal
Ginting, pelayannya. Tampaknya Kadal Ginting dalam keadaan tak sadar, sehingga
sang Resi terpaksa memondongnya terus dengan kedua tangan.
"Pakar Pantun..."! Siapa yang kau bawa itu"
Pelayanmukah?" sapa si Rupa Setan yang ternyata sudah
mengenal Resi Pakar Pantun.
"Benar," jawab Resi Pakar Pantun bernada sedih.
"Kadal Ginting, pelayanku ini, kutemukan dalam keadaan terkapar di bawah
sebatang pohon. Keadaannya sangat menyedihkan sekali. Lihatlah...!"
Ketiga tokoh sakti itu memperhatikan Kadal Ginting setelah diletakkan di
rerumputan oleh Resi Pakar Pantun.
Kadal Ginting tampak pucat pasi, sekujur tubuhnya berwarna kuning bintik-bintik
hitam. Matanya terbeliak memutih, mulutnya ternganga. Napasnya tersendat-sendat
bagai sedang sekarat.
"Kalau tak salah dugaanku, pelayanmu ini sedang sakit, Pakar Pantun!"
"Orang budek juga tahu kalau dia sedang sakit!"
gertak Resi Pakar Pantun kepada si Kapas Mayat sambil cemberut kesal.
"Rupa Setan," ujar Resi Badranaya."... seperti inilah keadaan muridku; Darah
Prabu! Persis seperti ini!"
Rupa Setan mengangkat wajah pelan-pelan dan pandangi Resi Pakar Pantun. Suaranya
yang mirip orang kumur-kumur itu terdengar oleh telinga batin Suto Sinting.
"Apakah ia bercumbu dengan...."
"Dewi Kesepian!" sahut Resi Pakar Pantun. Ketiga tokoh itu akhirnya manggutmanggut. "Kupergoki dia sedang bercumbu di balik semak bersama Dewi Kesepian, lalu mereka
lari dan baru kutemukan sekarang."
"Berapa lama ia menghilang sejak kau pergoki itu?"
tanya Resi Badranaya.
"Sekitar sepuluh hari."
"Oh, kalau begitu lebih dulu muridku! Muridku sudah lima belas hari menderita
seperti ini, makin lama semakin parah."
"Apakah muridmu juga...."
"Dia tidak mengaku," sahut Resi Badranaya.
"Setahuku belakangan ini ia akrab dengan cucunya si Kapas Mayat yang bernama
Kelambu Petang. Dalam pengakuan muridku, ia pernah berbuat dengan Kelambu
Petang. Maka kusangka, si Kelambu Petang itulah yang menanamkan wabah beracun
dalam tubuh Darah Prabu, ia tidak ceritakan kalau pernah bercumbu dengan si Dewi
Kesepian."
Resi Pakar Pantun berkata dengan lemas. "Aku tak tahu apakah Kadal Ginting bisa
kuselamatkan atau tidak.
Yang jelas, sudah kucoba beberapa saat dengan ilmu pengobatanku, tapi tak
berhasil."
Kapas Mayat bicara kepada Rupa Setan.
"Kalau tak salah dugaanku, apakah tak ada obat sama sekali yang bisa sembuhkan
penyakit seperti ini"!"
"Tidak ada!" jawab Rupa Setan dengan tegas. "Orang yang bisa mengobati penyakit
seperti ini adalah Ronggeng Iblis dengan menggunakan 'Aji Mantra Balik'... "
"Dari mana kau tahu kalau hanya si Ronggeng Iblis yang bisa lakukan?" tanya Resi
Badranaya setengah kurang percaya dengan si Rupa Setan. Sambungnya lagi,
"Bukankah kau bermusuhan dengan Ronggeng Iblis"
Bukankah Ronggeng Iblis pernah memporakporandakan kuilmu di Pulau Katong"!"
"Benar. Tapi ingat, bahwa Ronggeng Iblis pernah menjadi istri adikku, dan
mendiang adikku pernah bercerita padaku tentang rahasia ilmu hitamnya si
Ronggeng Iblis saat sebelum ia meninggal akibat pukulan beracunnya si Ronggeng
Iblis." "Kalau begitu, akan kupaksa si Ronggeng Iblis untuk sembuhkan penyakit muridku!"
ujar Resi Badranaya sambil ingin bergegas pergi. Tapi Rupa Setan cepat
menghentikan langkahnya dengan sebaris kata,
"Ronggeng Iblis telah mati di tangan Pendekar Mabuk."
"Hahh..."!" Resi Badranaya terkejut.
"Kudapatkan keterangan itu dari Tenda Biru, beberapa waktu yang lalu, ketika
Tenda Biru menceritakan nasibnya saat menjadi gadis tanpa raga."
"Siapa Tenda Biru itu?" tanya Resi Badranaya.
"Bekas muridnya Gerang Sayu yang pindah ke aliran putih menjadi muridnya Tapak
Lintang." "Tapak Lintang adalah kakaknya Ronggeng Iblis, bukan?" sahut Resi Pakar Pantun.
"Benar. Tapi mereka berbeda aliran."
Mereka diam sesaat dan manggut-manggut. Suto Sinting pun tetap menyimak dan
memperhatikan ke tempat tokoh tua itu. Percakapan mereka sangat menarik bagi
Pendekar Mabuk, karena dengan begitu pengetahuannya tentang para tokoh dan
kesaktian-kesaktiannya semakin bertambah.
Setelah masa bungkam itu lewat, Resi Pakar Pantun ajukan tanya kepada Rupa
Setan. "Jadi menurutmu, apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi keganasan gairah
Dewi Kesepian itu, Anjardani"!"
"Aku tak tahu, Pakar Pantun! Yang jelas, semasa Dewi Kesepian masih hidup, ia
akan mencari mangsa sebagai tumbal penyakitnya, dan kaum lelaki akan habis
termakan korban racun 'Asmara Kubur' dalam kemesraannya itu."
"Kalau begitu, kita cari perempuan itu dan harus segera dilenyapkan agar tak
menjadi wabah cinta yang mengerikan bagi keturunan kita!" usul Resi Badranaya
penuh semangat.
"Kurasa tak ada jalan lain untuk hentikan wabah kutukan beracun itu!" timpal si
Rupa Setan. Resi Pakar Pantun berkata, "Kalian saja yang mencarinya, aku akan berusaha
mencari obat penyembuh penyakit ini. Kalau obat itu kudapatkan, aku akan segera
menghubungimu, Badranaya! Kasihan muridmu jika sampai mati karena bercumbu
dengan perempuan beracun. Alangkah jatuh nama baikmu selama ini.
Kurasakan nama baikku pun bisa jatuh jika kematian Kadal Ginting sampai tersebar
seantero jagat!"
"Kalau tak salah dugaanku..., aku tak perlu ikut campur, karena aku tak punya
cucu atau murid lelaki."
"Kalau begitu kau hanya mementingkan dirimu sendiri, Kapas Mayat!" geram Resi
Badranaya. "Ya, bukan begitu maksudnya. Tapi kalau tidak salah
dugaanku...."
"Kau harus ikut!" sentak Resi Badranaya. "Sebagai tokoh aliran putih kau harus
bertanggung jawab atas musibah yang terjadi di permukaan bumi kita ini!"
"Kalau tak salah dugaanku... kau telah membuka kesadaranku, membuatku terpaksa
harus ikut mencari Dewi Kesepian itu!"
"Kita berpencar!" kata si Rupa Setan. "Terakhir kulihat ia bersama Temon, murid
dungunya si Tanuyasa!"
"Kalau tak salah dugaanku.... Temon akan menjadi korban seperti Kadal Ginting
dan Darah Prabu."
"Jangan banyak bicara! Kita berpencar sekarang juga!" kata Resi Badranaya. Lalu
ia melesat, pergi lebih dulu dalam bentuk asap tebal.
Rupa Setan pergi dalam bentuk bayangan samar-samar, seakan dirinya ditelan
udara. Sedangkan si Kapas Mayat pergi tanpa bisa dilihat. Tahu-tahu datang angin
ribut yang menggoyang pepohonan merontokkan dedaunan, meninggalkan bau wangi
setanggi dari tongkatnya itu. Resi Pakar Pantun sampai
menghadangkan tangannya karena takut matanya terkena debu akibat angin ribut
itu. "Kapas Mayat tokoh paling brengsek! Datang dan pergi selalu bikin ribut dengan
anginnya!" gerutu Resi Pakar Pantun, kemudian mengangkat tubuh Kadal Ginting
yang menyentak-nyentak itu dan membawanya pergi dengan satu lompatan cepat.
Pendekar Mabuk diam tertegun di tempatnya.
* * * 5 JERAM berair deras hamburkan air menutup pintu gua pada dinding tebing tersebut.
Tebing yang bagian bawahnya adalah sungai lebar berair jernih dari air terjun
itu dinamakan Jurang Lindu. Gua di balik curahan air terjun itulah tempat
gurunya Pendekar Mabuk mengasingkan diri untuk dapatkan ketenangan dan
pendekatan kepada Myang Widi Wasa alias Sang Pencipta alam semesta ini.
Di tempat itulah Suto Sinting ditempa menjadi seorang pendekar perkasa beraliran
putih. Di situ juga, seluruh ilmu si Gila Tuak mengalir ke diri murid
tunggalnya. Bahkan ilmu terakhir si Gila Tuak juga diturunkan kepada Suto di
Jurang Lindu. Ilmu tersebut dinamakan ilmu 'Sukma Lingga', yang dapat membuat
Suto mengubah diri menjadi raksasa atau makhluk lainnya.
Ilmu 'Sukma Lingga' itu diturunkan untuk gantikan ilmu 'Dewatakara' pemberian
dari Payung Serambi, utusan dari Istana Laut Kidul. Karena jika Pendekar Mabuk
masih mempunyai ilmu 'Dewatakara' yang kesaktiannya sama dengan ilmu 'Sukma
Lingga' itu, maka dalam diri Suto akan mengalir darah siluman dan ia tak bisa
menikah dengan perempuan yang bukan siluman, ia hanya bisa menikah dengan rakyat
Istana Laut Kidul saja. Padahal Suto jatuh cinta sekali kepada
calon istrinya; Dyah Sariningrum; penguasa Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu
itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gerbang Siluman"
dan "Bencana Selaput Iblis").
Kali ini Suto datang lagi menghadap gurunya di Jurang Lindu.
"Ada apa lagi"! Masih kurang jelas tentang Ilmu
'Sukma Lingga' yang telah kau miliki itu?"
"Bukan soal itu, Kakek Guru," ujar Suto menyebut gurunya dengan kata 'kakek',
karena sejak kecil ia ikut Gila Tuak dan sudah terbiasa memanggilnya kakek.
"Lalu, apa yang membuatmu datang padaku dengan tegang begini?"
"Kakek Guru, aku menghadapi kesulitan yang meragukan. Seseorang telah terkena
kutukan beracun yang dinamakan racun 'Asmara Kubur' dan...."
"Racun 'Asmara Kubur'..."! Hmmm... itu ilmunya si Ronggeng Iblis!" ujar sang
Guru yang dikenal sebagai tokoh tertinggi, namanya tercantum paling atas dari
deretan tokoh-tokoh sakti di dunia persilatan. Tak heran juga Gila Tuak
mengetahui siapa pemilik Racun 'Asmara Kubur' itu.
"Apa yang Kakek Guru ketahui tentang racun itu?"
Suto justru ganti bertanya, karena ia yakin gurunya pasti sudah banyak tahu
tentang racun tersebut.
"Racun itu tersebar bersama kutukan kekuatan iblis,"
jawab Gila Tuak dengan penuh wibawa. Usianya yang sudah mencapai dua ratus lima
belas tahun itu tidak membuatnya bungkuk, melainkan tetap tegak, tegar, dan
suaranya tetap lantang.
"Seseorang yang terkena langsung racun itu, ia akan menyebarkan wabah penyakit
yang sangat mematikan.
Darah dan jantungnya akan membusuk. Napasnya akan berubah menjadi napas beracun,
dan dari situlah wabah tersebut tersebar," ujar si Gila Tuak dengan duduk
bersila menatap muridnya penuh ketegasan.
Sambungnya lagi,
"Orang yang terkena racun itu harus bercumbu setiap malam. Dalam dua malam dia
tidak bercumbu dengan lawan jenisnya, maka ia akan mengalami pembusukan seperti
yang kuceritakan tadi."
"Bagaimana cara mengatasinya, Guru?"
"Musnahkan orang itu!"
Suto terhenyak sesaat pandangi gurunya. Sang Guru menyambung kata lagi dengan
tenang. "Jika ia tokoh sesat aliran hitam, jangan ragu-ragu, lenyapkan dia! Karena jika
dibiarkan hidup, ia akan memakan korban lawan jenisnya. Makin lama lawan
jenisnya akan semakin berkurang dan habis!"
"Tapi jika ia tokoh aliran putih bagaimana, Guru?"
Gila Tuak tarik napas. "Pertanyaanmu agak menyulitkan diriku, Suto."
"Bukankah Guru pernah ajarkan padaku bahwa kita harus menghadapi kenyataan
sesulit apa pun."
"Memang benar. Tapi aku perlu berpikir dulu untuk pertanyaanmu.itu," ujar si
Gila Tuak yang segera berdiri, melangkah ke salah satu sisi sambil merenung
dalam bungkam. Beberapa saat kemudian, suaranya terdengar kembali menggugah lamunan Suto.
"Siapa orang yang terkena racun 'Asmara Kubur'
itu?" "Yundawuni, Guru!"
"Oh, muridnya si Pendeta Amor yang tempo hari mau membunuhku itu?"
"Betul, tapi dia dianggap murid murtad, karena tak mau ikuti jalan sesat
gurunya. Sekarang ia mengabdi kepada pihak Kerajaan Kincir Bantala, Guru."
"Hmmm...," Gila Tuak manggut-manggut. Merenung lagi sebentar, kemudian berkata
kembali sambil pandangi muridnya.
"Sudah ada yang menjadi korbannya?"
"Sudah, Guru! Kadal Ginting, Darah Prabu, dan mungkin yang lainnya. Sedangkan
sekarang, Resi Badranaya, Kapas Mayat, si Rupa Setan dan entah siapa lagi,
sedang sepakat memburu Yundawuni untuk dibunuh. Aku kasihan, Guru...."
"Kau juga telah jadi korbannya?"
"Belum, Guru. Kalau tak percaya, geledahlah aku, Guru!"
"Apanya yang digeledah!" gerutu Gila Tuak melangkah sambil berpikir.
"Aku bingung mengambil sikap, Guru. Haruskah kubiarkan perempuan itu mati di
tangan Resi Badranaya atau si Rupa Setan" Atau, haruskah aku membela Yundawuni
dan itu berarti aku harus berhadapan dengan Resi Badranaya. Bolehkah aku
menyerang Resi Badranaya, dan beberapa sahabat Guru lainnya itu?"
"Dengan ilmu pemberian calon mertuamu; Ratu Kartika Wangi itu, Badranaya, Rupa
Setan, Kapas Mayat, atau yang lainnya adalah bukan tandinganmu!
Kau bisa tumbangkan mereka sekali gebrak saja."
"Kalau begitu..."
"Tapi itu tidak baik!" sergah Gila Tuak. "Masih ada jalan lain yang bisa kau
Pendekar Mabuk 078 Dewi Kesepian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lakukan, Suto."
"Tunjukkan jalan itu padaku, Guru!"
"Memang akan kutunjukkan, tapi aku harus mengingat-ingat sesuatu dulu!" ujar si
Gila Tuak setelah menarik napas lagi, Suto Sinting diam, menenggak tuaknya tiga
teguk dalam keadaan tetap duduk di lantai.
Karena sang Guru diam sampai beberapa saat lamanya, Suto pun mencoba menanyakan
masalah lain. "Guru, Rupa Setan itu siapa sebenarnya?"
"Penguasa Kuil Tembus Jagat di Pulau Katong. Dia dan saudara seperguruannya yang
bernama Tanuyasa pernah menjadi Ketua Partai Petapa Sakti, namun sekarang sudah
tidak lagi, karena masing-masing sibuk bertapa sendiri-sendiri."
Suto Sinting diam kembali setelah menggumam dan manggut-manggut. Tapi karena
Gila Tuak masih diam, dan belum memberikan perintah atau penjelasan apa-apa,
Suto Sinting ajukan tanya kembali.
"Kakek Guru, dapatkah racun 'Asmara Kubur' diobati dengan tuak saktiku tadi?"
"Tidak bisa! Racun itu tercipta dari napas nenek moyang iblis yang usianya jauh
lebih tua dari usia Eyang
Buyut Guru-mu yang menjelma dalam bumbung tuakmu itu. Jadi... tuakmu kalah tua
dengan racun 'Asmara Kubur'."
"Bagaimana kalau dilawan dengan 'Air Sendang Ketuban' yang ada di negeri
Wilwatikta itu, Guru?"
"Tidak bisa! Air itu tercipta dari darah petapa sakti yang usianya masih kalah
tua dibanding usia racun
'Asmara Kubur'. Jadi...."
Tiba-tiba Gila Tuak berhenti bicara. Ada sesuatu yang diingatnya, hingga ia
buru-buru dekati murid Sintingnya itu.
"Ada obat yang dapat menolak wabah penyakit seperti yang diderita Darah Prabu.
Aku baru ingat sekarang!"
"Apa nama obat itu, Guru?" cecar Suto dengan penasaran sekali.
Ki Sabawana alias si Gila Tuak itu diam sebentar, memandang ke arah pintu keluar
dengan mata menerawang. Sesaat kemudian ia berkata dengan suara pelan.
"Batu Tembus Jagat...."
"Apa maksudmu, Kakek Guru?" tanya Suto sambil mendekat.
"Kau harus dapatkan 'Batu Tembus Jagat' yang ada di Gua Mahkota Dewa. Goa itu
terletak di perbatasan alam gaib dan alam nyata! Ciri-cirinya, gua itu penuh
dengan batu aneka warna dan indah-indah."
"Perbatasan..." Perbatasan alam gaib dan alam nyata"
Oh, sepertinya aku pernah berada di gua itu, Guru," ujar
Suto pelan seperti bicara pada diri sendiri. Lalu ia memandangi gurunya dan
berkata lagi, "Apakah gua itu terletak di hutan cemara merah?"
"Tepat sekali!" jawab Gila Tuak dengan tegas. Suto tersenyum girang sambil
membayangkan sebuah gua yang berisi bebatuan warna-warni dan indah-indah. Gua
itu terletak di bukit cemara merah. Suto berada di sana karena diselamatkan oleh
gadis cantik yang bernama Nirwana Tria dari jeratan asmara maut Ratu Kamasinta,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Maksiat").
Untuk mencapai ke perbatasan alam gaib dan alam nyata, Pendekar Mabuk cukup
mengusapkan tangannya ke kening. Karena di kening Pendekar Mabuk terdapat noda
merah yang berkekuatan gaib, bisa untuk keluar-masuk alam gaib atau melihat
sesuatu yang tak tampak di mata manusia biasa. Noda merah itu pemberian dari
calon mertuanya; Gusti Ratu Kartika Wangi yang menjadi penguasa negeri Puri
Gerbang Surgawi di alam gaib. Anaknya; Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang
Surgawi di alam nyata, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia
Seribu Wajah").
Gila Tuak berkata lagi kepada murid tunggalnya yang memang mempunyai ilmu edanedanan itu, sehingga ia dinamakan Suto Sinting.
"Rupa Setan sendiri tidak mengetahui di mana letak Batu Tembus Jagat itu. Karena
pada waktu gurunya si Rupa Setan dan Omong Cekak mau meninggal, ia berada di
pangkuanku dan sempat sebutkan letak Batu
Tembus Jagat. Aku tidak bicara kepada si Rupa Setan maupun Omong Cekak, karena
memang tidak ada perintah untuk sampaikan hal itu kepada mereka dari sang Guru."
Sambil sunggingkan senyum Suto angguk-anggukkan kepala.
"Batu itu berwarna kuning kunyit, bentuk dan ukurannya seperti... seperti
belimbing sayur."
"Belimbing wuluh."
"Ya. Seperti itulah bentuk dan ukurannya. Jika batu itu kau ambil dan kau
masukkan dalam tuakmu, maka ia akan larut. Tuakmu akan berwarna kuning kunyit.
Dan aku yakin larutan itu dapat untuk melawan kekuatan racun 'Asmara Kubur',
sebab batu itu sendiri tercipta dari keringat dewa yang teraniaya."
"Oh, tentu saja khasiatnya sangat luar biasa."
"Jika batu itu kau ambil, kemudian batu itu larut di dalam tuakmu, maka di sana,
di Gua Mahkota Dewa, batu itu tumbuh lagi pada tempat semula, seolah-olah
kembali ke tempat asalnya. Begitulah kesaktian batu itu jika diambil seseorang
untuk kebaikan."
"Kalau begitu, para korban seperti Darah Prabu dan Kadal Ginting bisa
disembuhkan dengan larutan batu itu dengan bumbung ini, Guru?" sambil Suto
tunjukkan bumbung tuaknya.
"Tentu saja bisa! Tetapi, tunggu dulu... kalau hanya untuk sembuhkan Darah
Prabu, kurasa kau bisa mencampur tuakmu dengan air kelapa gading."
"Kelapa kuning maksudmu,, Guru?"
"Benar! Karena orang seperti Darah Prabu bukan terkena kutukan beracun, tapi
terkena wabah penyakit, penyakit menular. Tidak ada hal gaib di dalamnya! Tapi
juga tidak mudah penyembuhannya."
"Jadi, bagaimana langkahku sebaiknya, Guru?"
"Selamatkan dulu mereka yang menjadi korban asmara Yundawuni. Lalu pergilah ke
Gua Mahkota Dewa dan ambil Batu Tembus Jagat itu, sembuhkan si Yundawuni dengan
batu itu dan tuakmu. Tapi ingat, jangan kau katakan kepada siapa pun tentang di
mana letaknya Batu Tembus Jagat itu, kecuali kepada muridmu kelak jika kau punya
murid!" "Kalau begitu, aku akan berangkat sekarang, Guru!"
"Ingat, jangan sampai kau tergoda oleh rayuan Yundawuni dan menjadi korban
seperti Darah Prabu!"
Gila Tuak acungkan jarinya mempertegas peringatannya.
Suto Sinting hanya nyengir malu.
"Itu tidak mungkin terjadi, Guru. Kecuali... memang kepepet!"
Zlaaap...! Setelah bicara begitu, Suto langsung lenyap dari hadapan gurunya, pergi dengan
gunakan jurus 'Gerakan Siluman'. Sang Guru hanya geleng-geleng kepala dan
bergumam lirih,
"Mirip kenakalanku waktu masih muda...."
Sasaran pertama Pendekar Mabuk adalah pergi ke pondoknya Dewi Kesepian dan
membawa perempuan itu bersembunyi di suatu tempat. Kemudian ia akan mencari air
kelapa gading dan mencampurkan dalam tuaknya
sebagai obat untuk Kadal Ginting dan Darah Prabu, atau para korban lainnya yang
diketahui. Tetapi alangkah kagetnya Suto ketika tiba di pondok persembunyian Dewi Kesepian,
ternyata pondok itu sudah rata dengan tanah, menjadi abu. Hutan di sekelilingnya
juga telah terbakar dan sisa arangnya masih berserakan di sana-sini, namun
kepulan asap dan bara api sudah tak ada.
"Edan! Kutinggal dua hari menghadap Guru, hutan dan gubuk ini sudah menjadi
seperti ladang arang"!"
gumam Suto pelan, bicara pada diri sendiri. "Lalu, siapa yang melakukannya" Di
mana si Dewi Kesepian dan Temon"!"
Pendekar Mabuk memeriksa puing-puing gubuk yang menjadi pondok persembunyian
Dewi Kesepian. Ternyata di sana tak terdapat mayat seseorang, bahkan di sekeliling tempat itu
telah diperiksanya, juga tak ditemukan mayat yang mati hangus.
"Berarti Dewi Kesepian dan Temon masih hidup!"
ujarnya membatin. "Ke mana aku harus mencari perempuan itu"!"
Pendekar Mabuk diam termenung beberapa saat.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara orang melintas di hutan sebelah sana yang
tidak ikut terbakar. Mata pun segera memandang penuh curiga dan ketajaman.
Sekelebat bayangan melintas di sela pepohonan yang masih hijau. Pendekar Mabuk
tak tahu siapa orangnya yang berkelebat pergi di hutan seberang sana. Tapi ia
segera memburunya dengan gerakan yang kecepatannya
menyamai kecepatan cahaya itu.
Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
Wees, wees, wees...!
Ternyata orang yang dikejar juga mampu bergerak cepat, walau tidak secepat
gerakan Suto Sinting. Tetapi agaknya ia menguasai hutan tersebut, sehingga mampu
menyelinap ke sana-sini tanpa takut tersesat. Pendekar Mabuk justru salah arah
beberapa kali. Namun ia tidak mau menyerah begitu saja. Bumbung tuak yang
disandang melintang di punggung membuatnya lebih leluasa lagi dalam bergerak.
Wuuut...! Suto Sinting naik ke atas pohon gua memperluas pandangannya. Tapi
setelah beberapa saat di atas pohon, akhirnya ia menggerutu sendiri dengan hati
kesal. "Sial! Ke mana tadi orang itu" Mencurigakan sekali gerakannya. Bikin hatiku
penasaran kalau begini! Coba kucari ke arah timur!"
Zlaaap, zlaaap...!
Suto Sinting melompat dari pohon ke pohon. Selain jurus 'Gerak Siluman' yang
dipergunakan, tapi juga pergunakan jurus peringan tubuh sehingga mampu lebih
cepat lagi. Bayangan itu tampak menyeberang sungai besar.
Sepertinya berjalan di atas permukaan air dengan lincahnya. Suto dapat pastikan
bayangan tersebut adalah orang yang berilmu tinggi, karena dapat seberangi
sungai selebar itu dalam waktu amat singkat.
Sebenarnya Suto Sinting pun mampu lakukan hal
yang sama. Tapi langkahnya segera terhenti karena mendengar suara letusan di
arah kanannya. Letusan itu sangat dekat dengannya, sehingga rasa tertarik untuk
melihat ke arah kanan lebih besar.
"Di sana ada pertarungan!" pikir Suto. "Siapa lagi yang mengadu kekuatan tenaga
dalamnya di sebelah sana" Tak mungkin si bayangan yang sedang kukejar itu!
Hmmm... bagaimana kalau begini" Mengejar bayangan itu atau melihat siapa yang
bertarung di sana"!"
Pendekar Mabuk bimbang sejenak, matanya
memandang ke arah kanan dan ke seberang sungai secara bergantian.
* * * 6 DENGAN maksud sekadar untuk hilangkan rasa penasarannya, Suto Sinting akhirnya
menengok pertarungan itu sebentar. Maksud untuk menengok sebentar menjadi
berkepanjangan karena ternyata dua pihak yang bertarung itu ternyata adalah Dewi
Kesepian melawan Resi Badranaya dan si Kapas Mayat.
"Celaka! Bisa mati tanpa bangkai si Yundawuni melawan dua tokoh berilmu tinggi
itu. Aku harus segera bertindak sebelum segalanya menjadi lebih kacau lagi!"
pikir Pendekar Mabuk, kemudian segera menenggak tuaknya sebentar.
Yundawuni tampak masih mampu hindari serangan-serangan kedua lawannya. Tetapi,
Resi Badranaya yang sangat berang terhadap Yundawuni segera lepaskan jurus
andalannya. Dengan satu sentakan napas, tubuhnya berubah menjadi asap dan asap
itu menerjang Dewi Kesepian tanpa bisa dipukul lagi.
Bluuub, wwwwuuusss..!
Asap hitam itu jelas racun yang mematikan. Dewi Kesepian tampak cemas, ia
berusaha hindari asap hitam yang berkelebat cepat bagai tertiup badai. Sementara
itu, si Kapas Mayat menghadang gerakan Dewi Kesepian dengan lepaskan sinar
kuning patah-patah dari kedua cabang tongkatnya secara berturut-turut. Cap, cap,
cap, cap...! Dewi Kesepian tak punya tempat untuk menghindar.
Di belakangnya sinar kuning di depannya asap hitam.
Satu-satunya jalan ia harus lakukan lompatan ke atas setinggi mungkin.
Tetapi sebelum hal itu dilakukan, Suto Sinting lebih dulu berkelebat cepat
menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Tubuh kecil si Kapas Mayat diterjangnya
dari samping kiri. Zlaaap...! Brruusss...!
Kapas Mayat terpental dan terguling-guling di semak-semak yang jauhnya sekitar
delapan tombak dari tempatnya berdiri. Pada waktu itu, Dewi Kesepian sentakkan
kaki dan tubuhnya melambung ke atas dengan gerakan jungkir balik beberapa kali,
bagaikan bola tertendang naik. Tetapi asap hitamnya Resi Badranaya dapat meliuk
ke atas dan mengejar tubuh Dewi
Kesepian. Suto Sinting cepat ambil bumbung tuaknya. Tapi bumbung tuak digenggam dan
bumbung itu diputar cepat di atas kepalanya hingga terdengar suara berdengung
memanjang. Wuuuuungg...! Jurus 'Kipas Malaikat' yang dipergunakan Suto hadirkan angin kencang yang
membuat asap itu berantakan tak jadi mencapai tubuh Dewi Kesepian.
Weeesss...! Asap yang buyar berantakan membentuk gumpalan-gumpalan kabut kecil
di sana-sini. Sementara itu Dewi Kesepian berhasil hinggap di atas sebuah dahan
pohon agak tinggi. Jleeg...!
"Oh, dia..."!" Dewi Kesepian terperanjat memandang kehadiran Suto yang tampak
membelanya. Bumbung tuak segera dihentikan. Jika tidak, maka putaran bumbung itu bukan saja
mengeluarkan angin kencang tapi juga akan menimbulkan busa-busa salju yang
dingin sekali. "Bocah tolol! Kalau tidak salah dugaanku.... Mengapa kau menyerangku dan memihak
perempuan beracun itu, Suto"!" teriak Kapas Mayat yang tampak sehat-sehat saja
tanpa luka sedikit pun walau sudah terbanting dan terguling-guling sedemikian
rupa. "Maaf, Pak Cilik...!" ujar Suto yang mempunyai sebutan khas untuk si Kapas
Mayat. Kulakukan semua ini demi meluruskan langkah yang keliru, Pak Cilik!"
"Kalau tidak salah dugaanku, langkahmu itu yang keliru!" bantah Kapas Mayat
sambil hampiri Suto.
"Perempuan itu memang cantik, tapi kalau tidak salah dugaanku... bagian dalamnya
mengandung racun yang dapat merenggut nyawamu. Kalau tak percaya, cobalah kau
pakai sebentar perempuan itu. Kalau tidak salah dugaanku, kau akan kejang-kejang
seperti terkena sawan babi!"
Gumpalan kabut hitam itu menyatu kembali.
Zuuubbs...! Lalu membentuk sosok Resi Badranaya yang sudah mengerutkan dahi dan
menaikkan alisnya karena berang kepada Suto Sinting.
"Murid Sinting! Mengapa kau membela penyakit berbahaya itu, hah"! Pergi dan
jangan halangi maksud kami menghancurkan wabah yang dapat memusnahkan kaum
lelaki di permukaan bumi ini!"
"Maaf, Eyang Resi Badranaya...," ujar Suto dengan sedikit membungkuk sebagai
tanda tetap menghormat.
"Kita telah salah langkah. Ada cara yang lebih baik untuk memecahkan masalah
ini, Eyang Resi
Badranaya!"
"Jangan mengguruiku, Murid Sinting! Kuadukan kepada Gila Tuak, gurumu itu, bisa
dihukum kau!"
"Justru tindakanku ini sudah seizin Kakek Guru Gila Tuak, Eyang Resi!"
"Ooo... kalau begitu Gila Tuak juga ikut-ikutan sinting!" ujar Kapas Mayat masih
tetap tenang, tidak seberang Resi Badranaya.
Dengan napas memburu karena dibakar kemarahan, Resi Badranaya dekati Suto
Sinting hingga berjarak kurang dari satu langkah. Tangannya mencengkeram
baju Suto dan tubuh Suto sedikit diangkat naik.
"Kau tidak tahu, sahabatmu sebentar lagi mati gara-gara racun dalam tubuh
perempuan terkutuk itu! Darah Prabu hampir mati dan sekarang sedang sekarat!"
bentak Resi Badranaya setelah menggerang panjang.
"Sabar, Eyang... aku akan mengobatinya!"
"Omong kosong!" tubuh Suto disentakkan hingga jatuh terduduk. Suto tidak
melawan, ia bangkit dengan menarik napas sebagai tanda mempertahankan
kesabarannya. "Penyakit itu tidak ada obatnya!" bentak Resi Badranaya.
Kapas Mayat menimpali, "Kalau tidak salah dugaanku, obatnya adalah kematian. Dan
kalau tidak salah dugaanku, kematian itu ngeriiii... sekali!" sambil ia bergidik
sekali. "Eyang Resi dan Pak Cilik.... Yundawuni atau si Dewi Kesepian itu tokoh dari
aliran putih. Justru ia membela aliran putih hingga rela dipecat menjadi murid
Pendeta Amor. Justru karena dia ada di pihak aliran putih, maka dia melawan Nyai
Ronggeng Iblis. Mengapa kita harus lenyapkan dia jika ia memang terkena racun
'Asmara Kubur', seharusnya kita tolong dia untuk lepaskan diri dari kutukan
beracun itu."
Pendekar Mabuk 078 Dewi Kesepian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau tidak salah dugaanku, kau terlalu banyak ngomong, Suto!" sela Kapas
Mayat. "Kalau tidak salah dugaanku, kau belum tahu apa racun 'Asmara Kabut' itu!" ujar
Resi Badranaya.
"Kalau tidak salah dugaanku, aku sudah dapat
keterangan dari Kakek Guru dan diberi tahu bagaimana cara melawan Racun 'Asmara
Kubur' itu!" kata Suto.
Resi Badranaya berkata lagi, "Kalau tidak salah dugaanku...," tapi segera
dibentak oleh Kapas Mayat.
"Jangan ikut-ikutan berkata begitu. Itu kebiasaanku!"
"Kau pikir hanya kau sendiri yang bisa berkata 'kalau tidak salah dugaanku'?"
geram Resi Badranaya.
"Eyang Resi dan Pak Cilik... izinkan aku mendapat kesempatan untuk sembuhkan
Darah Prabu dengan tuakku."
"Kalau tidak salah dugaanku, tuakmu tidak akan bisa sembuhkan penyakitnya Darah
Prabu," ujar Kapas Mayat.
"Dengan dicampur air kelapa gading, tuak ini dapat untuk sembuhkan wabah yang
menjangkit di tubuh Darah Prabu, Kadal Ginting, dan yang lainnya, terutama yang
pernah bercumbu dengan Dewi Kesepian. Kau bisa mencobanya lebih dulu, Pak
Cilik!" "Kalau tidak salah dugaanku, kau kurang ajar, Suto!
Apa kau kira aku pernah bercumbu dengan Dewi Kesepian"! Mampu saja sudah tidak,
kok mau bercumbu!" gerutu Kapas Mayat sambil bersungut-sungut.
"Setan! Perempuan itu telah pergi dari kita!" seru Resi Badranaya. "Kapas Mayat,
kejar perempuan itu!"
"Kalau tidak salah dugaanku...."
"Aaaah, jangan terlalu banyak dugaan!" sentak Resi Badranaya. "Kita kejar dia,
jangan sampai menyebarkan wabah kepada pemuda lain!"
Wuuut...! Jleeeg...!
Pendekar Mabuk melompat di depan langkah Resi Badranaya dan Kapas Mayat.
"Maaf, Eyang Resi dan Pak Cilik... mungkin akulah yang harus lebih dulu Eyang
dan Pak Cilik hadapi sebelum menangkap Dewi Kesepian!"
"Grrrmmm...!" geram Resi Badranaya penuh kemarahan.
"Kalau tidak salah dugaanku, baru saja kau ngomong apa itu, Badranaya"!"
"Aku menggeram, Tolol!" bentak Resi Badranaya semakin jengkel.
"Suto, minggir atau melawanku!" ancam sang Resi.
"Barangkali aku terpaksa melawanmu, Eyang Resi,"
jawab Suto pelan.
"Kurang ajar!"
"Kalau tak salah dugaanku, dia memang kurang ajar!"
timpai Kapas Mayat.
"Sebenarnya aku tidak menghendaki pertarungan di antara kita, Eyang Resi.
Seandainya saja Eyang Resi mau percaya padaku dan memberi kesempatan padaku
untuk mengobati Darah Prabu, barangkali kita tidak akan saling berselisih
seperti ini!"
"Kalau tidak salah dugaanku, apakah kau benar-benar sanggup menyembuhkan
muridnya si gendut ini?"
sambil Kapas Mayat menuding Resi Badranaya yang berbadan gemuk itu. Sang Resi
melirik dengan geram tertahan. Kapas Mayat cuek, seakan tak merasa menyinggung
perasaan Resi Badranaya.
"Aku sanggup, Pak Cilik! Sanggup sekali menyelamatkan nyawa Darah Prabu, sebab
biar bagaimanapun juga dia adalah sahabatku. Tak mungkin kubiarkan dia celaka
karena penyakit itu! Yang penting, ku mohon Pak Cilik dan Eyang Resi mau
membantuku mencarikan air kelapa gading!"
"Di kaki gunung tempatku tinggal, banyak pohon kelapa gading!" kata sang Resi
tetap garang. "Kalau begitu, tak ada masalah lagi. Serahkan padaku maka Darah Prabu akan sehat
kembali, Eyang!"
"Apa jaminannya!" sentak Resi Badranaya.
"Nyawaku, Eyang!" jawab Suto tegas dan jelas.
"Hmmmm... baik! Kuberi kesempatan padamu kalau sampai muridku mati, kau akan
kukirim ke neraka, Suto!"
"Aku tak keberatan, Eyang. Tapi sekarang aku harus kejar Dewi Kesepian itu dan
mengasingkannya di suatu tempat agar tidak menimbulkan korban bagi lelaki lain!"
"Pergilah, dan aku akan siapkan air kelapa gading itu!"
"Kalau tidak salah dugaanku, aku ikut siapa, Badranaya?"
"Terserah! Mau ikut kena penyakit juga terserah! Itu urusanmu!"
"O, kau tak bisa begitu, Badranaya. Kalau tidak salah dugaanku...."
Zlaaap...! Suto sudah meninggalkan mereka sebelum mereka selesai berdebat, ia
mengejar Dewi Kesepian menuruti langkah nalurinya.
Blegaaarrr...! Suara ledakan dahsyat menggema, bahkan sempat menggetarkan tanah tempat Suto
berada. Suara ledakan itu segera diburu. Firasatnya mengatakan, di sanalah Dewi
Kesepian berada, sedang lakukan pertarungan dengan seseorang. Zlaaap, zlaaap...!
Ternyata suara ledakan itu berasal dari seberang sungai yang tadi. Asap ledakan
masih tersisa membubung ke atas. Maka Pendekar Mabuk pun segera berkelebat
menyeberang sungai dengan melemparkan helai-helai daun sebagai tempat berpijak
alas kakinya. Helai-helai daun yang mengambang di permukaan air sungai itu pun segera
dilaluinya dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi. Tab, tab,
tab, tab, tab...!
Letusan kecil terdengar lagi. Pendekar Mabuk berkelebat ke arah letusan kecil
tersebut. Akhirnya ia menemukan gundukan tanah yang membukit tak seberapa
tinggi, ia melompat ke atas gundukan tanah yang membukit itu. Wuuut...!
Jleeg...! Di balik gundukan tanah yang membukit itulah pandangan mata Suto menatap dengan
tajam-tajam, karena di sana sedang terjadi pertarungan antara Dewi Kesepian
dengan si Rupa Setan.
Tuak diteguk sebentar. Pada saat itu, Dewi Kesepian terlempar dan terbanting
akibat sapuan tangan si Rupa Setan yang berkelebat ke atas dari jarak enam
langkah. Sapuan lembut itu ternyata hadirkan tenaga dalam besar yang melemparkan tubuh
tinggi sekal milik Dewi
Kesepian. Brrruk...!
Agaknya Dewi Kesepian sudah terluka sebelumnya.
Mulutnya sudah melelehkan darah. Ditambah lagi bantingan kuat itu telah membuat
luka dalamnya semakin parah. Darah mengalir dari hidung dan telinganya. Ketika
ia mencoba bangkit, lututnya menjadi lemas hingga ia sempoyongan mau jatuh.
"Dengan sangat terpaksa aku harus memusnahkanmu, Yundawuni!" ujar si Rupa Setan
yang memunggungi gundukan tanah membukit itu.
"Tidak ada yang harus dimusnahkan!" seru sebuah suara yang membuat Rupa Setan
berpaling ke belakang, lalu pandangannya menangkap seraut wajah pemuda tampan
berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala, membawa bumbung tuak. Tak salah lagi
ciri-ciri yang dicatat dalam ingatan Rupa Setan itu, pasti dialah orangnya yang
bernama Suto Sinting.
"Hmmm.... Pendekar Mabuk!" gumamnya menyerupai geram.
Zlaaap...! Suto Sinting tiba di depan si Rupa Setan pada saat Rupa Setan masih memandang ke
arah gundukan tanah yang membukit itu. Rupa Setan sempat terperanjat kecil
karena ketika ia berpaling mau memandang Dewi Kesepian, ternyata Suto Sinting
bagaikan sudah berada di depan hidungnya.
"Sudah kuduga kau akhirnya akan bertemu denganku, Pendekar Mabuk."
Suto Sinting rapatkan kaki dan sedikit membungkuk.
"Hormatku untukmu, Penguasa Kuil Tembus Jagat!"
ucap Suto Sinting dalam ketegasan yang membanggakan hati Rupa Setan.
"Ternyata kau sudah mengenaliku, Pendekar Mabuk"!"
"Guruku, si Gila Tuak, menyuruhku mengenalimu, Rupa Setan!"
"Sampaikan salamku kepada Kakang Sabawana alias si Gila Tuak itu!"
"Akan kusampaikan kalau kau mau melepaskan ancaman mati untuk Dewi Kesepian!"
Wajah keriput dan buruk dengan gigi simpang siur itu ditarik satu sentakan kecil
menandakan ia sedang terkejut mendengar ucapan Pendekar Mabuk.
"Apa maksudmu berkata begitu, Pendekar Mabuk?"
"Aku tidak setuju jika kau membunuh Dewi Kesepian hanya untuk lenyapkan kutukan
beracun itu! Bukan jalan yang terbaik bagiku melakukan hal seperti rencanamu
itu, Rupa Setan!"
"Murid si Gila Tuak ternyata pandai bicara! Tapi ia tidak pandai menggunakan
akal sehatnya, sehingga ingin membiarkan kaum lelaki di seluruh dunia ini lenyap
karena racun kutukan itu!"
"Aku akan mengobati penyakitnya, Rupa Setan! Aku akan melawan racun 'Asmara
Kubur' yang ada pada diri Yundawuni itu!"
"Aneh sekali!" gumam Rupa Setan dengan nada tertawa meremehkan, ia melangkah ke
samping, dan Pendekar Mabuk melangkah dekati Yundawuni.
"Minum tuakku, tapi jangan dihabiskan!" katanya kepada Dewi Kesepian. Maka
perempuan itu menenggak tuak tersebut, karena ingat saat tubuhnya terluka parah
oleh serangan Ambarini, pemuda tampan itulah yang melenyapkan seluruh lukanya.
"Pendekar Mabuk, apakah gurumu tidak tahu bahwa racun 'Asmara Kubur' itu tidak
bisa disembuhkan dengan cara apa pun kecuali dengan kematian"!"
"Guru tidak berkata begitu!" jawab Suto tegas. "Guru mengutusku untuk mencari
obat penawar racun 'Asmara Kubur' itu. Karenanya Guru mengutusku juga untuk
selamatkan Dewi Kesepian!"
Suto menerima bumbung tuaknya dari tangan Dewi Kesepian, ia sempat ajukan tanya
pelan, "Di mana Temon?"
"Ada di tempat persembunyianku!" jawab Dewi Kesepian yang rasa sakitnya mulai
berkurang. Rupa Setan bicara dengan hentikan langkah dan menghadap tegak ke arah Pendekar
Mabuk. "Kurasa kau berdusta padaku dengan membawa-bawa nama gurumu! Kurasa kau naksir
perempuan itu tanpa peduli racun di dalam tubuhnya!"
Pendekar Mabuk maju empat langkah. Matanya memandang lurus dengan sikap
menantang. "Kau sangka aku berani menjual nama guruku"!"
"Untuk dapatkan tempat pelampiasan gairah kejantananmu, kurasa kau memang cukup
berani menjual nama gurumu di depanku!"
"Kau picik, Rupa Setan!" geram Suto dengan hati
tersinggung oleh tuduhan itu.
"Hah, hah, hah, nah...!" Rupa Setan yang bersuara agak besar itu tertawa
panjang. Tiba-tiba tawanya itu hilang dan pandangan mata cekungnya tertuju tajam
ke arah Suto Sinting.
"Apa pun alasanmu, perempuan itu tetap harus kulenyapkan! Kau tak bisa
melarangku, Pendekar Mabuk!"
"Kau akan berurusan denganku, Rupa Setan!"
"Tak jadi masalah. Kalau kau memang bisa unggul melawanku, kau boleh lindungi
perempuan itu! Kau boleh selamatkan dia dengan tipu muslihatmu itu!"
"Aku sudah cukup siap menghadapimu, Rupa Setan!"
"Baik...!" ucap si Rupa Setan dengan nada menggeram, seakan penuh nafsu untuk
hancurkan Pendekar Mabuk juga.
Rupa Setan melangkah ke samping, kembali ke tempatnya berdiri semula. Tapi tibatiba kedua tangannya menyentak naik bagai membentangkan sayap bersama gerakan
jubahnya yang berkelebat. Wuuuk...!
Pendekar Mabuk tahu-tahu terjungkal ke belakang bagai disambar badai cukup kuat.
Bruuuk...! Ia jatuh dua langkah dari tempatnya berdiri. Dewi Kesepian tampak
cemas dan bersembunyi di balik pohon besar.
"Hiiiaah...!"
Rupa Setan cepat hentakkan kakinya ke tanah.
Duuuhk...! Krraaak...!
Tanah pun retak. Suto Sinting terperosok ke dalam retakan tanah itu pada saat ia
mau bangkit. Bruuusk...!
"Heeeah...!" Rupa Setan menyentakkan kakinya lagi ke tanah. Maka tanah yang
retak itu pun merapat kembali, menjepit tubuh Pendekar Mabuk sebatas dada.
"Aaahk...!" Suto memekik dengan wajah menyeringai dan mata terpejam kuat.
Tubuhnya tergencet tanah dan seluruh tulangnya terasa patah, ia berusaha keluar
dari jepitan tanah itu, tapi tenaganya terasa terkuras habis.
"Hah, hah, nah...! Keluarlah dari situ kalau kau memang mampu mengungguliku!"
seru si Rupa Setan dengan berjalan mondar-mandir ke kanan-kiri sambil pandangi
usaha Suto melepaskan diri dari gencetan tanah itu.
"Uuhk...! Ahhhkk...!" Suto Sinting kewalahan hadapi bahaya itu. Wajahnya sampai
merah, pertanda gencetan tanah itu sangat kuat menjepitnya.
"Hiiiaaah...!"
Buuurk...! Rupa Setan sentakkan kedua kakinya ke tanah dengan satu lompatan
pendek. Tanah yang menggencet Suto melambung naik pertanda gencetan itu semakin
kuat. "Aaaaahhkk...!" Suto Sinting menyeringai dengan mata terpejam kuat karena
menahan rasa sakit yang semakin menyesakkan pernapasan.
Melihat keadaan itu, Dewi Kesepian diam-diam segera loloskan diri. Ia merasa tak
akan mampu menghadapi Rupa Setan yang ilmunya cukup tinggi itu.
Rupa Setan tak memperhatikan kepergian Dewi Kesepian, karena ia cenderung
memperhatikan usaha Suto Sinting dalam mempertahankan diri. Bahkan kini ia
lakukan lompatan sambil menendang kepala Suto.
"Hiaaattt...!"
Wuuus...! Prrrrok...!
"Aaaahk...!"' Suto Sinting hanya bisa keluarkan suara pekikan tertahan saat
kepalanya terkena tendangan dengan telak sekali. Tak heran jika mulutnya menjadi
keluarkan darah dan telinganya pun keluarkan darah kental.
Walau kedua tangan Suto masih di atas tanah bersama bumbung tuaknya, tetapi
gencetan itu bagai menahan seluruh uratnya sehingga kedua tangan itu tak sukar
digerakkan. Namun setelah mendapat tendangan yang kedua, urat-urat yang mengejang itu terasa
longgar sedikit. Suto berhasil gerakkan tangannya pelan-pelan, lalu menuang tuak
ke mulutnya dengan berhamburan tak teratur.
"Minumlah dulu sebelum ajalmu tiba!" ujar Rupa Setan sambil bertolak pinggang
dalam jarak lima langkah di depan Suto.
Tuak itu membuat tenaga Suto menjadi pulih kembali. Bahkan kekuatannya menjadi
berlipat ganda.
Rasa sakit lenyap sama sekali. Dengan satu sentakan kaki di dalam tanah, Suto
Sinting akhirnya bisa melesat ke atas menjebol tanah yang menggencetnya dari
tadi. "Heeeeeeaaahh...!!"
Brrruuuull...! Rupa Setan terkejut. Gerakan melambung ke atas yang dilakukan Suto seperti roket
lepas dari landasannya. Daun-daun dan dahan pohon diterjangnya
hingga patah berantakan. Hal itulah yang membuat Rupa Setan terperanjat dan
terkesima beberapa saat.
Wuuusss...! Jleeeg...!
Suto Sinting bergerak turun dan mendaratkan kakinya tepat tiga langkah di depan
Rupa Setan. Perempuan itu semakin terperangah. Saat ia terperangah itulah, Suto
Sinting segera lepaskan tendangan kipasnya yang memutar tubuh dengan cepat.
"Heeah...!"
Plook...! Tubuh Rupa Setan terlempar dan membentur pohon.
Sebelum tubuh itu merosot turun, Suto Sinting melesat maju dan menghantamkan
jurus 'Mabuk Lebur Gunung', menggeloyor seperti orang mabuk dan jatuh, namun
tiba-tiba menyodokkan bumbung tuaknya ke dada Rupa Setan. Buuuhk...!
"Heeeekh...!" Rupa Setan mendelik dalam keadaan diam tak bergerak. Mulutnya
semburkan darah kental yang nyaris mengenai tubuh Suto jika Suto tak segera
melompat ke belakang.
Pendekar Mabuk sengaja biarkan Rupa Setan merosot ke bawah dan akhirnya jatuh
terkulai bersandar pohon yang tadi bergetar dan daunnya rontok saat Suto
sodokkan bumbung tuak ke dada Rupa Setan.
Brrruk...! "Uuhhhkk...!" Rupa Setan keraskan seluruh tubuhnya.
Agaknya ia melawan kekuatan dahsyat dari sodokan bumbung tuak tadi.
"Gila! Mestinya orang yang terkena jurus 'Mabuk
Lebur Gunung' akan menjadi biru legam dan rambutnya rontok. Tapi kenapa dia
tidak begitu" Kenapa justru keluarkan asap dari tiap lubang kulitnya?" gumam
Suto dalam hati bernada heran.
Ia segera berseru, "Kusempurnakan penderitaanmu dengan jurus 'Tangan Guntur'-ku
ini, Rupa Setan!
Heeeeah...!"
"Tahan!" pekik Rupa Setan sambil mengulurkan tangannya. "Aak... aku mengakui
keunggulanmu...l"
Pendekar Mabuk 078 Dewi Kesepian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suto Sinting kendorkan tangannya yang nyaris melepaskan sinar biru besar dan
dapat membuat lawannya keropos dalam keadaan menjadi arang.
"Baiklah, saat ini kau unggul, Pendekar Mabuk!
Uuuhk...!"
Suto tak sampai hati menghabisi nyawa orang yang sudah mengakui kekalahannya, ia
justru mendekati Rupa Setan dan menyodorkan bumbung tuaknya.
"Buka mulutmu dan minum tuakku biar lukamu sembuh!"
Rupa Setan akhirnya menuruti perintah itu. Tuak dituangkan ke mulut pelan-pelan.
Beberapa saat kemudian, tubuh Rupa Setan pun segar kembali.
"Kuakui kehebatanmu, Bocah Bagus! Tapi wabah Dewi Kesepian ada dalam tanggung
jawabmu!" "Akan kuselesaikan masalah ini!"
"Dengan apa kau mau melawan racun 'Asmara Kubur'
itu?" Pendekar Mabuk diam sebentar, lalu berkata dengan suara pelan.
"Dengan sebuah batu yang bernama 'Batu Tembus Jagat'!"
"Hahh..."!" Rupa Setan terperanjat. "Itu... itu batu keramat! Tak mungkin bisa
kau dapatkan, karena di tempatku tak ada batu itu. Aku penguasa Kuil Tembus
Jagat. Aku tahu batu itu tidak ada!"
"Batu itu ada dan aku tahu tempatnya."
"Di mana tempatnya"!" sergah Rupa Setan tampak bernafsu ingin mengetahui.
Suto Sinting sunggingkan senyum. "Hanya gurumu dan guruku yang mengetahuinya.
Sekarang ditambah satu orang lagi yang mengetahui, yaitu aku!"
"Hmmm... ehh... kalau begitu, bolehkah aku membantumu, Pendekar Mabuk?"
"Aku tak menolak uluran tanganmu. Tapi ada saatnya sendiri kubutuhkan bantuanmu,
Rupa Setan!" jawab Pendekar Mabuk dengan kedengaran gagah dan mantap,
mengagumkan hati si Rupa Setan.
"Sekarang yang penting adalah menolong Darah Prabu, Kadal Ginting, dan yang
lainnya," tambah Suto.
"Apakah... apakah mereka juga bisa kau sembuhkan?"
"Kenapa tidak"! Resi Badranaya dan Kapas Mayat sedang mencari kelapa gading
untuk campuran tuakku.
Campuran itu yang akan menjadi obat mujarab bagi penderita wabah asmara Dewi
Kesepian! Dan... oh, di mana perempuan itu"!"
Pendekar Mabuk mencari sekeliling tempat itu, tapi Dewi Kesepian tak ditemukan.
Lalu ia berucap dalam
hatinya, "Aku tahu di mana ia bersembunyi bersama Temon.
Tapi, sebaiknya kuselesaikan dulu tugasku menyembuhkan para korban asmaranya
itu!" Dan ternyata, campuran tuak Suto dengan air kelapa gading memang berhasil
selamatkan nyawa Darah Prabu. Kadal Ginting serta beberapa korban lainnya yang
sama-sama pernah menikmati kehangatan tubuh Dewi Kesepian. Kini tugas Suto hanya
satu; mengambil Batu Tembus Jagat di Gua Mahkota Dewa, setelah itu menyelamatkan
Dewi Kesepian dari cengkeraman racun
'Asmara Kubur'.
Namun selama Suto pergi ke perbatasan alam nyata dan alam gaib itu adakah korban
lain lagi yang menikmati maut di sela-sela pelukan hangat Dewi Kesepian itu"
Selain Temon, siapa lagi yang ingin menuju liang kuburnya dalam cumbuan sang
Dewi Kesepian"
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera menyusul!!!
PENJARA TERKUTUK
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Jodoh Rajawali 23 Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung Pemberontakan Taipeng 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama