Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal Bagian 3
purnama! Itulah hukum kekal
untuk murid sesat seperti aku ini, Suto! Sekali pun aku menyesali tindakan masa
mudaku, tapi tetap saja aku
dibayang-bayangi kutuk yang mematikan!"
"Hebat sekali!"
"Aku akan mati, mengapa kau katakan hebat"!"
"Yang kumaksud hebat adalah ilmu kutukannya."
"Kuharap kau bisa menolongku, Suto. Karena setingi-tingginya ilmu Nyai guruku,
dia masih tunduk dan takut
kepada gurumu, si Gila Tuak!"
"Jadi, menurutmu guruku mengenal dia?"
"Kurasa mengenalnya! Nyai Guru itu adalah orang
yang dikenal sebagai Mahkota Sejati, karena sampai saat ini, walau usianya sudah
menyamai si Gila Tuak,
gurumu, tapi ia masih sebagai perawan suci yang belum pernah ternoda oleh cinta
dan birahi lelaki siapa pun juga!'
"Ooh..."!" Pendekar Mabuk menggumam kagum,
jatungnya berdetak-detak bagai ingin melompat keluar
dari rongga dada. Rasa bangga dan rindu bergumul
menjadi satu, membuat hati Suto gemetar.
"Kalau kau ingin tahu lebih banyak tentang Nyai
Guru, tanyakanlah kepada Dewa Racun."
"Apakah Dewa Racun benar-benar tahu banyak
tentang penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi itu?"
"Jelas banyak tahu, karena dia adalah orang ketujuh kepercayaan Nyai Guru!"
"Hahh..."! Jadi dia orang dari Puri Gerbang
Surgawi"!"
"Benar. Apakah dia tidak bilang begitu padamu?"
"Tidak!"
"Dasar Dewa gila! Terlalu rapat ia menyembunyikan ilmunya, terlalu rendah ia
menundukkan dirinya. Tapi
memang begitulah ajaran dari Nyai Guru, agar setiap
murid menjadi padi, semakin berisi semakin menunduk
kepada siapa pun!"
"Lalu, untuk apa dia datang kemari menemuimu?"
"Mencari kamu," jawab Peramal Pikun.
"Mencari aku, untuk mengobatimu?"
"Tidak! Hanya kebetulan saja sewaktu aku
menjelaskan tentang dirimu, aku tak sadar telah
menyebutkan nama Nyai Guru, lalu aku jatuh sakit
seperti ini. Tapi tujuannya datang padaku adalah
menanyakan tentang kamu. Dia mendapat tugas dari
Nyai Guru untuk membawa pulang seseorang yang
bernama Suto, murid si Gila Tuak."
"Memang gila dia itu!" geram Suto. "Dia tak pernah bilang apa-apa padaku soal
itu!" "Temuilah dia dan bicaralah apa saja yang ingin kau bicarakan kepada Dewa Racun
itu! Tapi terlebih dulu,
tolonglah aku. Selamatkan aku dari ilmu 'Rentang
Kutuk' ini, Suto!"
"Apakah kau masih ingin hidup dalam usiamu setua ini"!"
"Masih," jawab Peramal Pikun dengan sedikit dongkol. "Aku ingin mati sebagai
ksatria! Aku ingin mati dipertarungan, bukan mati karena kutukan!"
"Tegar sekali pendirianmu, Peramal Pikun. Jika
memang begitu kemauanmu, aku akan mencoba
menyembuhkanmu!"
Sementara Suto melakukan penyembuhan terhadap
diri Peramal Pikun, di luar pondok itu Dewa Racun
mencoba memancing ikan untuk santapan nanti. Ia
memancing ikan bukan dengan kail maupun pancingan
bila, melainkan menggunakan sehelai daun ilalang. Daun ilalang itu dibelah
menjadi dua pada tiap sisi kanan-kirinya, tinggal bagian tengahnya yang keras,
tapi di tiap sisa daun kanan-kiri itu tidak dihabiskan belahannya.
Helai daun di kanan-kiri itu diselipkan di antara jari telunjuk dan jari tengah,
sisanya yang keras ada di atas telunjuk, lalu dengan satu kali tarikan, bagian
tengah ilalang itu melesat bagai dipanahkan dari dua jari.
Slaattt...! Jeebbb...!
Ilalang itu menancap pada tubuh seekor ikan, yang
segera menggelepar-gelepar. Dewa Racun segera
mengangkatnya dari kedalaman air. Ikan itu ditumpuk di salah satu tempat
berbatu, lalu ia kembali mengambil
daun ilalang untuk dipanahkan pada ikan-ikan lainnya.
Jika bukan disertai kekuatan tenaga dalam yang
cukup tinggi, tak mungkin daun ilalang itu bisa sekeras dan setajam jarum baja.
Tak mungkin pula gerakan
panah daun ilalang itu sama cepat dan tajamnya dengan panah biasa. Alhasil,
setiap ikan yang dikumpulkan
mempunyai sisa daun ilalang yang menancap di tubuh
ikan, kadang tembus kadang hanya sebagian saja yang
terbenam di daging ikan.
Dewa Racun segera mengumpulkan kayu kering.
Salah satu ranting kering digosokkan pada salah satu
anak panahnya. Srettt...! Dan memerciklah bunga api,
lalu menyala. Dewa Racun membakar ikan-ikan tersebut
di depan batang kayu tumbang yang tak seberapa jauh
dari pondok persinggahan Peramal Pikun.
Bau sedap ikan bakar membuat hidung Pendekar
Mabuk kembang kempis, kemudian ia segera bergegas
keluar dari pondok, ia dekati Dewa Racun dari arah
belakang secara diam-diam. Pendekar Mabuk ingin
menjajal ilmu orang kerdil itu. Lalu, dengan serta-merta Suto menendang punggung
si orang kerdil itu. Wuuttt...!
Plasss...! Tendangan itu mengenai tempat kosong, karena kejap
berikutnya Dewa Racun ternyata sudah pindah tempat
duduknya di seberang tempat duduk semula, ia tetap
tekun membakar ikan-ikan itu tanpa merasa terganggu
oleh kedatangan Suto. Sementara, Suto sempat terkesiap sebentar melihat gerakan
pindah Dewa Racun yang
begitu cepat, bagaikan menghilang dalam sekejap.
"Boleh, boleh...," Suto manggut-manggut sambil membatin, "Tinggi juga ilmunya
jika begitu. Kurasa dia memang orangnya Dyah Sariningrum yang tak pernah
mau sombongkan diri di depanku."
Sambil mengamati ikan yang habis dibaliknya dari
pembakaran, Dewa Racun bicara pada Suto tanpa
memperhatikan Suto,
"Bagaimana sakitnya temanku itu" Bisa kau atasi?"
"Dia sedang tidur."
"Tidur..."!" Dewa Racun memandang Suto dengan dahi berkerut.
"Ya. Mengapa?"
"Orang yang terkena Ilmu 'Rentang Kutuk' tak akan bisa tidur, kecuali jalur
kutukan yang berwarna merah belum tampak di kulit perutnya! Jika jalur merah itu
sudah kelihatan dari pusar menggaris sampai ke leher, orang itu tidak akan bisa
tidur sedikit pun!"
Pendekar Mabuk tersenyum sambil mengambil satu|
ekor ikan yang sudah matang, lalu ia berkata dengan
santai, "Nyatanya sekarang Peramal Pikun sudah tertidur."
"Berarti kau berhasil membuat pengaruh kutukan
menjadi tawar, Suto"!"
"Mungkin saja!" jawab Suto sambil mengunyah ikan bakar.
Sejenak dipandanginya Suto, lalu bergumam mulut
Dewa Racun seperti bicara pada dirinya sendiri,
"Belum pernah ada orang yang bisa menawarkan
pengaruh kutukan Nyai Guru itu!"
"Nyai Guru siapa?" tanya Suto sambil lalu, sepertinya tidak tertarik dengan
sebutan 'Nyai Guru' itu.
Dewa Racun menjelaskan sambil tetap mengerjakan
kesibukannya, bahkan kini ikut-ikutan melahap ikan
bakarnya, "Menurut penjelasan Peramal Pikun, sebelum ia
terjebak ilmu 'Rentang Kutuk' kemarin, kau sedang
mencari-cari kekasihmu yang bernama Dyah
Sariningrum. Apakah benar begitu, Suto?"
"Kalau benar mau apa?"
"Dyah Sariningrum adalah guruku, juga termasuk
gurunya Peramal Pikun itu!"
"Penjelasanmu terlambat!" kata Suto acuh tak acuh, karena merasa jengkel atas
sikap bungkamnya Dewa
Racun sejak diperjalanan tadi. Kenapa baru sekarang ia mau jelaskan" Kenapa
tidak di perjalanan tadi" Itulah yang bikin Suto ingin membalas kejengkelannya.
"Nyai Gusti Dyah Sariningrum mengutusku untuk
mengajukan dua pilihan kepadamu kau mau datang
kesana atau tidak!"
"Kalau aku bilang tidak mau datang menghadapnya, mau apa?"
"Aku pulang, tak boleh aku paksa dirimu."
"Kalau aku mau datang menghadapnya?"
"Aku antar kamu ke sana! Karena Nyai Gusti Dyah Sariningrum memang ingin bertemu
denganmu. Kau sering hadir dalam mimpinya dan memanggil-manggil
namanya." Suto tertawa kecil bersikap meremehkan, padahal
dalam hatinya ia berdebar-debar bahkan berjingkrakjingkrak kegirangan. Tapi toh dia mampu menahan
perasaannya yang jika diluapkan bisa menjadi seperti
anak kecil itu. Dan tiba-tiba ia berkata,
"Hei, mengapa kegagapanmu hilang" Kau lupa
bahwa kau bicara dengan gagap!"
Dengan tenang orang kerdil itu sunggingkan senyum
dan berkata, "Sebelum kau datang dari dalam pondok, sudah
kumakan dua ekor ikan bakar kesukaanku ini!"
"Apa hubungannya dua ekor ikan bakar dengan
bicara gagapmu?"
"Jika mulutku sudah bau ikan bakar, walau secuil saja, maka aku sudah bisa
bicara dengan lancar. Tapi
jika aroma ikan bakar hilang dari mulutku, maka
kegagapan bicaraku timbul kembali."
"Kenapa bisa begitu?" tanya Pendekar Mabuk sambil tertawa pelan.
"Entahlah," jawab Dewa Racun sambil sentakkan
pundak sekejap, lalu berkata lagi, "Mungkin memang sudah kodratnya aku punya
keanehan seperti ini."
Pendekar Mabuk geleng-gelengkan kepala sambil
tersenyum geli, merasa aneh dengan sifat orang kerdil itu.
"Tentukan pilihanmu sekarang juga, Suto, agar aku bisa bertindak secara pasti,
mana yang harus
kulakukan!"
"Aku bersedia menghadap gurumu, tapi aku harus
menunggu lewat dari saat purnama tiba."
"Kenapa" Apakah kau akan memenuhi tantangan
lawanmu itu?"
Suto menggeleng. "Aku hanya ingin mengetahui
apakah pengobatanku berhasil atau tidak. Aku harus tahu nasib Peramal Pikun
setelah lewat dari saat purnama
nanti, apakah dia hidup atau mati!"
"O, ya. Aku paham," Dewa Racun manggut-manggut.
"Lalu, bagaimana dengan pertarungan di Bukit Jagal itu"
Apakah kau tetap akan menolak pertarungan itu?"
"Kurasa memang aku tak perlu melayani tantangan
Dirgo Mukti! Hanya buang-buang waktu dan tenaga
saja! Aku sendiri sebenarnya tidak berminat untuk
bertarung dengannya."
"Tapi menurut adat, seseorang yang tidak memenuhi tantangan, namanya akan
disepelekan dari dunia
persilatan! Kau dianggap kalah dan tidak jantan, Suto.
Orang yang telah mundur dari arena pertarungan
sebelum ia mencoba kalah atau menang, maka ia tak
berhak menggunakan gelar pendekar lagi!"
"Apakah begitu peraturan adat di rimba persilatan"!"
"Setahuku memang begitu!"
"Guruku tidak pernah mengatakannya begitu!"
"Guruku pernah bilang begitu!"
"Tapi gurumu dan guruku berbeda!"
"Terserah kamu," akhirnya Dewa Racun tak mau berdebat lagi. Tapi Suto jadi
merenungkan kata-kata
Dewa Racun. Haruskah ia membuktikan kependekarannya melalui
pertarungan yang tanpa perkara besar itu" Hanya
masalah cinta dan melindungi kekasaran Dirgo Mukti
terhadap Peri Malam, haruskah Suto bertarung secara
tanding laga di Bukit Jagal" Bukankah sebenarnya Peri Malam yang menciptakan
pertarungan itu dengan
berlagak menjadi penterjemah bahasa Pendekar Mabuk"
Sedangkan Pendekar Mabuk sendiri sebenarnya tidak
bermaksud menyetujui tantangan pertarungan di Bukit
Jagal. Ini semua ulah Peri Malam, sehingga Suto merasa terjebak dalam arena
pertarungan yang menurutnya
dianggap pertarungan konyol. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
"Kalau kau tak mau muncul di pertarungan itu,
biarlah aku yang mewakilimu," kata Dewa Racun.
"Aneh kau ini. Kenapa kau selalu tampil sebagai
orang yang melindungiku" Kau hanya utusan nyai
gurumu itu. Kau bukan apa-apaku!"
"Karena perintah Nyai Gusti agar aku membawamu
datang padanya tanpa luka ataupun lecet sedikit pun!"
"Dia berpesan begitu"!"
"Ya."
"Apa lagi pesannya?"
"Hanya itu, dan hanya tangis yang sering mengalir dari matanya yang indah itu."
"Tangis" Mengapa dia menangis?"
"Hasrat ingin bertemu denganmu sangat besar dan
menyiksa hatinya sepanjang hari. Ia tak sanggup
menahannya, lalu ia perintahkan aku untuk
menemuimu!"
"Kalau begitu, pulanglah sekarang juga ke Pulau
Serindu dan katakan padanya bahwa aku akan segera
datang setelah lewat purnama tiba itu!"
"Baik. Aku akan pulang. Tapi apakah kau tahu jalan dan arah menuju Pulau
Serindu?" "Tidak!" jawab Suto Sinting polos dan tegas. Dewa Racun tertawa sendiri.
* * * 8 DEWA Racun tetap mengikuti Pendekar Mabuk
walau Pendekar Mabuk mengatakan akan pergi sebentar.
Orang kerdil ini agaknya memang berjiwa ngotot.
Semalam ia juga ngotot menyuruh Suto tidur di dalam
Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pondok bersama Peramal Pikun, sementara dia tidur di
luar pondok. Sekarang ia kembali ngotot dengan
bicaranya yang mulai gagap lagi karena mulutnya sudah kehilangan aroma ikan
bakar, "Ak... aku harus ikut kamu ke... ke... ke mana pun kau pergi!"
"Mengapa begitu" Kau bukan pengawalku. Aku
bukan buronanmu!"
"Pe... pe... perintah Nyai Gusti, aku harus menjaga ke... ke...."
"Kepompong"!"
"Bukan! Keselamatanmu!" Dewa Racun terengah-engah. Suto tersenyum menahan geli
dalam hatinya. Sebenarnya Suto hanya ingin menengok keadaan
gurunya di Jurang Lindu dan menengok keadaan Betari
Ayu yang ditinggalkannya dalam keadaan luka pukulan
dari Nagadipa. Untuk menemui Betari Ayu dan gurunya,
Suto tak enak hati jika harus dikawal oleh Dewa Racun.
Karenanya, Suto terpaksa menggunakan ilmu yang
bernama 'Seberang Raga', yaitu ilmu pemberian dari
Bidadari Jalang. Seonggok batu yang ada di pinggir
sungai tiba-tiba berubah wujud menjadi dirinya setelah Pendekar Mabuk heningkan
cipta secara diam-diam di
belakang pondok.
Dewa Racun tidak mengetahui Pendekar Mabuk
mempunyai ilmu siluman 'Seberang Raga', sehingga
ketika ia keluar dari pondok, ia langsung saja mendekati Suto yang terlihat
duduk merenung di pinggiran sungai.
Padahal saat itu juga Suto sudah melesat pergi jauh
menuju Jurang Lindu.
"Men... menurut... menurutku, jiwa Peramal Pikun selamat dari bahaya 'Rentang
Kutuk'. Ja... ja... jalur merahnya telah hilang dan wa... wajahnya kelihatan
kembali segar se... sep... seperti semula!"
"Bagus," jawab Suto kalem, bahkan berkesan datar.
"Malam purnama be... be... besok, dia akan tetap hidup. Ini satu per... per...
peristiwa yang luar biasa bagi orang-orang Puri Gerbang Surgawi. Nyai Gusti
ak... ak... akan senang dan ka... kagum jika mendengar ke... ke...
kesaktian ilmumu!"
Pendekar Mabuk masih diam merenung, tidak
memandang ke arah Dewa Racun. Diam-diam Dewa
Racun merasakan keanehan itu, tapi tidak terlalu
dihiraukan, berkata lagi kepada Pendekar Mabuk palsu,
"Tan... tanpa menunggu pur... purnama tiba, kita sudah bisa berangkat ke...
ke... ke Pulau Serindu. At...
atau kau mau layani tantangan di Bukit Ja... Jagal itu?"
"Ya."
"Ya, bagaimana maksudmu?"
"Bagus!"
"Bagus apa?"
"Ya."
Dewa Racun makin heran dan curiga. Mata Suto
memandang dengan datar sekali, sepertinya tidak punya rasa apa pun. Dewa Racun
mencoba menendang
pinggang Suto dengan sulu kali lompatan. Duug...!
Pendekar Mabuk diam saja. Tidak mengadakan
gerakan menangkis atau menghindar, tidak merasakan
sakit atau apa pun. Padahal tendangan itu cukup keras.
Menurut perkiraan Dewa Racun, orang akan
menyeringai kesakitan jika ditendang pinggangnya oleh tendangan seperti itu.
Melihat Suto Sinting tidak ada perubahan apa-apa,
Dewa Racun semakin bertambah heran, ia kembali
berkata, "Ma... mau... maukah kau bicara ke dalam pondok?"
"Ya."
"Mari kita bicarakan de... de... dengan Peramal Pikun!"
"Bagus!"
Jawaban yang hanya 'ya' dan 'bagus' juga membuat
Dewa Racun kerutkan dahi. Semakin penasaran hatinya.
Bahkan ia pun membatin,
"Jangan-jangan orang ini bukan Suto?"
Dewa Racun segera mundur dua langkah. Tangannya
diangkat dengan gerakan pelan-pelan seperti orang
menari, dan tiba-tiba kedua tangan itu menghentak ke
depan. Wuuuttt...!
Memerciklah sinar putih ke arah Pendekar Mabuk
yang masih tetap duduk itu. Dewa Racun sendiri terkejut melihat Pendekar Mabuk
tidak memberi tangkisan
terhadap pukulan tenaga dalamnya, juga tidak
menghindar sedikit pun. Bahkan sempat timbul rasa
sesal di hati Dewa Racun.
Percikan sinar putih itu membuat tubuh Suto pecah
berasap dan berupa wujud aslinya, yaitu sebongkah batu hitam sebesar ukuran
orang duduk di tepi sungai. Dewa Racun segera menggeram sambil hempaskan napas
kekesalan hatinya.
"Kurang ajar! Dia mengecohku!" geramnya dalam hati. "Dia pasti telah pergi dan
meninggalkan aku! Hebat
juga ilmu anak muda itu. Tak sia-sia aku diutus jauh-jauh untuk membawanya
menghadap Nyai Gusti. Pasti
Nyai Gusti sangat kagum kepadanya kalau kuceritakan
setinggi apa ilmu yang dimiliki Suto Sinting itu!
Hmmm... tapi tugasku adalah mendampingi dan menjaga
Pendekar Mabuk. Jika sekarang dia pergi, aku harus
segera mencarinya. Ke mana arah perginya" Kurasa aku
bisa bertanya kepada Peramal Pikun. Setidaknya
Peramal Pikun bisa kasih perkiraan arah yang dituju
Suto!" Suto sendiri membayangkan wajah Dewa Racun yang
terkecoh. Suto tertawa sendiri saat mendekati Jurang
Lindu, di mana ada air terjun yang cukup tinggi dan
besar itu. Suto berkata dalam hati,
"Dewa Racun pasti akan mencak-mencak kalau dia
tahu orang yang disangkanya aku itu adalah seonggok
batu! Hi hi hi.... Pasti jika ia mengajak bicara orang yang disangka aku itu, ia
hanya akan menerima jawaban ya
dan bagus. Karena memang aku hanya menitipkan dua
kata itu dalam bayangan ragaku di sana! Mudahmudahan hal itu tidak membuat Dewa Racun mengamuk
berlarut-larut...!"
Suto segera melesat masuk menembus curah air
terjun. Dalam kejap berikut, Suto sudah berada di dalam gua. Ternyata di sana si
Gila Tuak masih belum
kelihatan. Yang ada hanya Betari Ayu dalam keadaan
sedang melakukan semadi.
"Ke mana perginya Guru" Sampai sekarang belum
datang juga"!" pikir Pendekar Mabuk sambil menunggu
Betari Ayu selesaikan semadinya, ia sempat mengisi
tuak ke dalam bumbungnya dari persediaan tuak di
dalam gentong besar. Setelah itu, ia mendengar suara
mendehem dari Nyai Betari Ayu, itu pertanda sang
Betari Ayu sudah selesaikan semadinya yang dilakukan
dengan berdiri satu kaki, dan hanya jempol kakinya yang berpijak di tanah.
"Bagaimana keadaanmu, Nyai?" tanya Suto
mengawali percakapan.
"Sejak kemarin sudah terasa segar sekujur tubuh ku.
Tapi aku tak berani tinggalkan tempat ini."
"Kenapa?"
"Gurumu kasih wanti-wanti padaku agar jangan
tinggalkan tempat ini sebelum ada perintah darimu."
"O, kau sudah bertemu dengan guruku?"
"Ya. Sudah. Beliau tahu aku dalam perawatanmu."
"Hmm... lalu, ke mana beliau?"
"Pergi ke Lembah Badai untuk menemui Bidadari
Jalang, yang baru kutahu bahwa orang itu ternyata juga gurumu."
Suto malu, tak berani tatap mata Nyai Betari Ayu.
Namun begitu, Pendekar Mabuk tetap berkata,
"Ya, memang sebagian ilmuku adalah pemberian
darinya. Tapi aku tak enak kepadamu jika aku jelaskan bahwa aku adalah juga
murid dari Bidadari Jalang. Aku tahu kau punya dendam padanya. Aku takut jika
kukatakan bahwa aku murid Bidadari Jalang, kau jadi
bermusuhan denganku atau membenciku, Nyai!"
"Sudahlah, lupakan soal itu!" Betari Ayu agaknya
tidak mau mempermasalahkan lagi tentang Bidadari
Jalang. Suto Sinting pun tidak mau kembali ke
pembicaraan itu. Ia meneguk tuak, dan duduk di depan Betari Ayu.
"Syukurlah jika kau sudah sehat. Kau tambah
kelihatan cantik, Nyai!" sambil tatapan mata Suto tertuju lurus ke wajah Nyai.
Yang ditatap tersipu malu, segera palingkan wajah dan berkata,
"Jangan puji aku begitu, nanti aku makin tersiksa tak kau rengkuh dalam hatimu,
Suto." Tawa Pendekar Mabuk berderai yang membuat Betari
Ayu kian tersipu malu. Maka cepat ia alihkan suasana itu kepada pertanyaan
mengenai lukanya.
"Siapa yang menyerangku dari belakang, Suto" Aku tidak bisa merasakan datangnya
hawa dari pukulan
melainkan tiba-tiba saja punggungku merasa seperti
tersengat."
"Pukulan itu memang sangat berbahaya."
"Siapa pelakunya?"
"Kurasa kau tak perlu tahu."
"Kenapa" Kau takut aku membalas dendam pada
pelakunya" O, tidak. Aku tidak akan membalas dendam,
Suto. Cukup banyak aku bicara dengan gurumu tentang
hakikat suatu kehidupan dan kematian. Bahkan aku
sudah sepakat untuk mengasingkan diri dan menjadi
seorang pertapa yang dibantu oleh gurumu, Ki Sabawana itu."
"Kau ingin menjadi seorang pertapa?"
"Ya. Ki Sabawana mendukung rencanaku itu.
Gurumu banyak kasih saran padaku. Itulah sebabnya aku tak ingin mengadakan
pembalasan walau aku tahu siapa
penyerangku itu."
"Baiklah. Kau diserang oleh Putri Alam Baka!"
"Hmmm... berarti dugaanku memang benar."
"Tapi bukan dia pelakunya, melainkan suaminya!"
"Nagadipa?"
"Ya. Nagadipa pelakunya."
"Lalu kau mengejarnya?"
"Ya. Karena aku harus menuntut balas atas
kejahatannya terhadap dirimu. Aku tak bisa tinggal diam melihat kamu dilukai,
Nyai." "Lalu... kau bunuh mereka?"
"Secara tak sengaja, Putri Alam Baka mati dan
Nagadipa terluka parah."
"Kau menggunakan napas Tuak Setan?"
"Dari mana kau tahu. Nyai?"
"Gurumu yang mengatakannya. Dia merasakan ada
badai aneh dan badai itu pasti datangnya dari napas Tuak Setan-mu! Tapi beliau
tahu kau menggunakannya secara
tidak sengaja."
Pendekar Mabuk diam berpikir tentang gurunya,
Ternyata segala kegiatannya selalu dipantau oleh sang gurunya. Suto jadi riskan
dan tak enak untuk berbuat
bebas, ia menjadi gelisah, dan kegelisahan itu dilihat oleh Betari Ayu, kemudian
Betari Ayu berkata,
"Bukan hanya si Gila Tuak yang memantau
kegiatanmu, Suto. Tapi aku pun banyak mengikuti
kegiatanmu dari sini, atau dari tempatku yang jauh.
Semua itu hanya sekadar menjaga kalau-kalau kau dalam bahaya yang membutuhkan
bantuan. Hanya hal-hal yang
bersifat berbahaya yang dipantau terus oleh gurumu."
"Apakah Guru juga membicarakan tentang
pertarunganku di Bukit Jagal, yang akan terjadi esok
malam?" "Tidak. Apakah kau akan melakukan pertarungan?"
"Aku ditantang."
"Siapa yang menantang?"
"Dirgo Mukti."
"O...," Nyai Betari Ayu manggut-manggut. "Hati-hati kau berurusan dengan Dirgo
Mukti." "Kenapa?" Suto jadi ingin tahu.
"Dia murid tunggalnya Pendekar Tanduk Dewa yang
bersemayam di Gunung Tujuh Batu. Pendekar Tanduk
Dewa adalah bekas suami dari penguasa Pulau Hantu
yang dikenal dengan nama si Mawar Hitam, orang ini
juga menyimpan dendam pada Bidadari Jalang, karena
merasa suaminya direbut oleh bibi gurumu itu!"
"O, pantas waktu itu Peri Malam dipesan oleh
gurunya, si Mawar Hitam, agar jangan membuat
perselisihan dengan Dirgo Mukti!"
"Mungkin karena Mawar Hitam tidak mau berurusan
dengan mantan suaminya, jika muridnya bentrok dengan
murid Pendekar Tanduk Dewa itu. Yang jelas, hatihatilah jika berhadapan dengan Dirgo Mukti. Pende kar Tanduk Dewa bisa turun
tangan kalau sampai muridnya
itu mati."
"Apakah Pendekar Tanduk Dewa berilmu tinggi"!"
"Ya. Tapi tidak lebih tinggi dari gurumu sendiri."
Suto Sinting manggut-manggut dan diam beberapa
saat. Setelah itu baru ia kembali bertanya,
"Apakah menurutmu sebuah tantangan tanding laga
harus dipenuhi, Nyai" Bagaimana jika aku tidak
memenuhi tantangan itu?"
"Apakah karena kata-kataku tadi kau jadi takut
dengan Dirgo Mukti, si Manusia Sontoloyo yang tak
jelas juntrungannya itu?",
"Bukan karena takut, tapi karena aku merasa
pertarungan itu bukan merupakan pertarungan yang
bermasalah penting, Nyai. Urusannya cuma sepele,
mengapa harus kulayani tantangan itu" Maksudku, aku
tidak ingin datang pada malam purnama nanti! Kalau
aku bisa membunuhnya, aku merasa menyesal, hanya
persoalan anak kecil saja sampai harus membunuhnya.
Apalagi kalau aku yang kalah, jelas sangat menyesal
tujuh turunan aku, Nyai!"
"Jika tak mau hadir, mengapa kau buat janji
pertarungan?"
"Aku terjebak. Bukan aku yang bikin janji, bukan aku yang menjawab tantangannya,
Nyai! Tapi Perawan
Sesat!" Betari Ayu tarik napas panjang, ia bangkit dan
langkahkan kaki ke mulut gua. Ia memandang curahan
air terjun dari sana. Kemudian ia palingkan wajah dan berkata kepada Suto,
Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebagai seorang pendekar, kau harus penuhi
tantangan itu! Jika tidak, gelar pendekarmu akan
disepelekan oleh mereka yang mendengar
ketidakhadiranmu."
"Pertarungan ini sungguh pertarungan yang tidak punya arti!"
"Walau begitu, kau tetap harus hadir. Toh bukan
berarti kau harus membunuh Dirgo Mukti. Cukup kau
beri pelajaran padanya, agar harga diri kependekaranmu masih ada."
Seperti apa yang dikatakan Dewa Racun, rupanya
Pendekar Mabuk tetap tidak bisa menghindari
pertarungan dengan Dirgo Mukti. Ia harus menjaga
nama baik kependekarannya, agar dunia persilatan tidak memandang rendah terhadap
dirinya. Tapi menurut Suto
pertarungan itu bukan pertarungan demi membela
kehomatan, pertarungan itu tetap saja pertarungan
konyol yang harus dihadirinya.
Kalau saja ia tahu rencana di balik pertarungan itu, ia semakin tidak mau
melaksanakannya. Sayang sekali
Suto tidak tahu rencana tiga perempuan patah hati yang ingin memanfaatkan
pertarungan itu.
Tetapi niat licik dari tiga perempuan patah hati itu
tanpa disengaja didengar oleh Dewa Racun. Saat itu,
Dewa Racun sedang mengejar arah kepergian Suto. Di
perjalangan, ia berhenti karena melihat tiga kelebat
banyangan ke arahnya. Dewa Racun bergegas lompat ke
pohon berdaun rindang. Wuuttt...!
Ternyata, tiga perempuan cantik itu justru berhenti di bawah pohon tempat
persembunyian Dewa Racun.
Segera Dewa Racun menggunakan ilmu serap
napasnya, supaya hembusan napas tak bisa didengar oleh orang yang berilmu tinggi
di sekitarnya. Dan dari balik kerimbunan pohon itu, Dewa Racun mendengar
percakapan Selendang Kubur, Peri Malam, dan Perawan
Sesat. "Ke mana kita harus mencari Pendekar Mabuk" Sejak kemarin kita tidak temukan
dia." ' Apakah masih perlu kita mencarinya?"
"Nanti kalau dia tidak datang ke pertarungan di Bukit Jagal, kita kehilangan
kesempatan untuk menyerang
dia!" "Kurasa dia tetap akan datang, walau sekadar
mengatakan penundaan pertarungannya. Dan saat itu kita perdaya dia supaya tetap
maju melawan Dirgo Mukti.
Aku nanti yang akan mempengaruhinya," kata
Selendang Kubur.
"Baiklah. Kita yakinkan diri saja bahwa dia akan datang. Aku capek mencarinya ke
mana-mana!" keluh Peri Malam. "Yang jelas, kita harus bisa tetap bikin Dirgo
Mukti bersemangat melawan dia, dan
mendesaknya terus sampai Suto merasa kehabisan
tenaga. Walau nantinya Dirgo Mukti mati di tangan Suto Sinting, tak jadi
masalah. Tapi kita punya kesempatan menggempur Pendekar Mabuk yang tenaganya
sudah banyak berkurang dari pertarungan itu!"
"Kurasa Dirgo Mukti sekarang sudah bersemangat
sekali, sebab kita sudah memberi janji-janji gombal,
bahwa kita bertiga bersedia menjadi istrinya jika dia menang melawan Suto. Itu
sudah merupakan imingiming yang sangat berharga sekali buat Dirgo Mukti.
Setidaknya dia akan berjuang sekuat tenaga
mengalahkan Pendekar Mabuk!"
Dewa Racun mendengar semua percakapan itu.
Sampai mereka bertiga pergi, Dewa Racun masih
termangu-mangu di atas pohon tersebut. Dalam hatinya
ia berkata, "Ternyata perempuan yang mengaku bernama
Perawan Sesat itu punya komplotan untuk membunuh
Suto dengan kelicikannya. Benar apa kata Suto,
pertarungan itu sebenarnya tidak punya arti apa-apa.
Hanya sebagai pertarungan konyol saja. Dan pertarungan itu digunakan oleh ketiga
perempuan tadi untuk mencari kelemahan Pendekar Mabuk. Hmm... sebuah
pertarungan konyol ada baiknya dibuat semakin konyol
saja!" Menurut keterangan Peramal Pikun, Suto mempunyai
tempat persingahan di Jurang Lindu. Tetapi apakah Suto ke sana atau tidak,
Peramal Pikun tak bisa memastikan.
Petunjuk itu sudah cukup buat Dewa Racun, karena ia
punya arah tujuan dalam mencari Suto walau mungkin
nantinya tidak ditemukan. Tapi dari sanalah Dewa
Racun akan melacak terus ke mana perginya orang yang
harus dikawalnya itu.
Di pertengah jalan, Dewa Racun mulai mencium bau
tuak. Segera ia arahkan larinya ke pusat bau tuak itu.
Dan akhirnya ia temukan Pendekar Mabuk sedang
beristirahat di bawah pohon untuk menenggak tuaknya
dari dalam bumbung bambu.
Jleeg...! Suto terkejut melihat Dewa Racun sudah berdiri
didepannya. Wajah Dewa Racun cemberut, Suto nyengir
tertawa ingat tipuannya. Pasti orang kerdil ini sudah mengetahui tipuan di tepi
sungai. 'Ku... ku... kurang ajar kau!" maki Dewa Racun yang membuat Pendekar Mabuk tak
bisa tahan tawanya lagi,
lalu meledak terbahak-bahak.
"Ka... ka... kalau tidak kuingat, aku harus
mengawalmu, sudah ku... ku... kurontokkan gigimu
dengan panahku ini!
"Maafkan aku, Dewa Racun! Aku memang senang
bercanda denganmu!"
"It... it... itu bukan bercanda, tapi ku... ku...."
"Kunang-kunang?"
"Bukan! Itu kurang ajar namanya! Kau sen... sendiri akan dibuat bercanda dalam
pertarunganmu nan... nan...
nanti!" "Apa maksudmu?"
"Tig... tiga... tiga perempuan ingin ambil bagian dalam pertarunganmu nan...
nan... nanti! Satu
perempuan sudah pernah ku... kulihat, yaitu yang
rambutnya awut-awutan tempo hari."
"Tiga perempuan ambil bagian dalam pertarunganku dengan Dirgo Mukti nanti"!"
"Bet... bet... bet...."
"Betot"!"
"Betul! Bukan betot!" Dewa Racun bersungut-sungut, merasa jengkel jika
omongannya diteruskan dengan kata
yang salah. Kemudian, ia segera jelaskan kepada Suto
apa yang didengarnya dari ketiga perempuan tadi.
Mendengar ciri-ciri ketiga perempuan itu, Pendekar
Mabuk bisa menduga mereka adalah Perawan Sesat,
Selendang Kubur, dan Peri Malam. Tapi Suto belum
tahu alasan ketiga perempuan itu, mengapa ingin
membunuhnya"
Dewa Racun berkata, "Ak... ak... aku jadi punya
rencana lain! Kau harus ha... ha...."
"Hamil?"
"Bukan! Kau harus ha... hadir dalam pertarungan itu!
Harus! Ka, ka, ka... kalau tidak mau, kau akan kupak...
pak... pak...."
"Kupakai"!"
"Kupaksa!" bentak Dewa Racun jengkel. "Kau akan kupaksa untuk hadir. Karena aku
punya rencana bagus
untuk tiga pe... perempuan itu!"
"Rencana apa?"
* * * 9 MALAM bulan purnama, sungguh benderang sinar
rembulan menyorot ke bumi. Langit bersih,
memantulkan cahaya makin cerah. Puncak Bukit Jagal
tampak jelas tanpa pepohonan apa pun di sana. Bukit itu adalah bukit yang
tandus, yang biasa digunakan untuk
pertarungan tanding laga bagi para tokoh persilatan.
Bukit Jagal, terletak di sebuah pantai yang bertebing curam. Sebagian lapisan
tanah bawah adalah bebatuan
karang, sebagian di atasnya adalah cadas putih yang
keras. Sebuah pertarungan jika dipandang dari lautan
akan kelihatan sangat indah dan menawan, karena gerak kedua orang yang bertarung
akan terlihat jelas tanpa
penghalang sedikit pun.
Biasanya, orang yang mati dalam pertarungan di atas
Bukit Jagal, mayatnya akan langsung dibuang ke laut
yang ganas, bergelombang besar dan konon banyak
dihuni ikan-ikan buas. Mereka yang terlempar ke laut
dalam keadaan hidup-hidup pun tak akan bisa selamat
menghindari keganasan ombak dan ikan-ikannya. Tinggi
tebing dari puncak bukit sampai ke permukaan laut ada lima puluh tombak. Itulah
sebabnya orang yang jatuh
dari atas bukit tak akan bisa selamat dari ancaman maut di kaki bukit, karena di
sana juga ada karang-karang
runcing menunggu mangsanya. Di sela karang itu,
banyak tulang-tulang manusia yang berserakan terselip di sana-sini. Tengkoraktengkorak manusia tergeletak tak beraturan, tanpa nama dan tanda-tanda semasa
hidupnya. Tak heran jika Bukit Jagal juga sering disebut Kuburan Tanpa Nama.
Dalam siraman cahaya purnama, tampak sesosok
tubuh kekar berdiri di atas bukit gundul itu. Orang itu didampingi tiga
perempuan yang masing-masing
mempunyai gerak kelincahan tersendiri. Siapa lagi orang bersenjata kapak dua
mata itu kalau bukan Dirgo Mukti yang menjuluki dirinya sebagai Manusia
Sontoloyo. "Aku sudah tidak sabar lagi menunggu
kehadirannya," kata Dirgo Mukti dengan kedua tangan meremas-remas bagai
melampiaskan kegelisahannya.
"Percayalah, dia pasti datang!" kata Peri Malam.
"Kalau beberapa saat lamanya dia tidak datang,
Selendang Kubur akan menyusul Suto ke tempat
gurunya, dan melaporkan kebodohan sang murid! Pasti
gurunya Pendekar Mabuk akan mengamuk dan mencari
muridnya yang menghadapi tantanganmu!"
"Kau harus menang, Dirgo!" kata Selendang Kubur sambil mengusap-usap punggung
Dirgo Mukti. "Kami akan bersedih tiada habisnya jika kau kalah. Tapi jika kau
menang dan bisa membunuh Suto, kami akan
bersorak kegirangan, karena itu berarti kami bertiga
dengan senang hati menjadi istrimu, Dirgo!"
"Itulah semangatku!" kata Dirgo Mukti yang kemudian disusul dengan tawa
terbahak-bahak.
Perawan Sesat yang sejak tadi mondar-mandir,
memandang sekeliling bagai orang memeriksa keamanan
lingkungan, tiba-tiba berkata dengan suara seraknya,
"Seseorang sedang menuju kemari! Bersiaplah!"
Kedua mata teman sekongkolnya itu segera
lemparkan pandangan ke arah yang ditunjuk Perawan
Sesat. Peri Malam segera berkata,
"Itu dia! Dia telah datang!"
"Lantas bagaimana dengan kita?" Selendang Kubur berdebar-debar.
"Kita... kita bersembunyi saja di balik batu itu!"
"Terlalu rendah ke lereng, nanti kita tidak bisa jelas
melihat pertarungan ini!"
Perawan Sesat cepat ucapkan kata tegas, "Kita tetap di sini! Mengapa harus
sembunyi" Justru kita tunggu
kesempatan baik untuk menyerang Pendekar Mabuk
pada saat ia tampak terdesak oleh Dirgo Mukti!"
"O, benar! Benar sekali pendapatmu!" Peri Malam menepuk-nepuk pundak Perawan
Sesat, namun tangan
Perawan Sesat cepat kibaskan tangan Peri Malam.
Agaknya ia tak suka ditepuk-tepuk begitu oleh orang
sejenisnya. "Kurasa kalian tak perlu jauh-jauh. Diam saja di pinggiran sana dan saksikan
kemenanganku!" kata Dirgo Mukti. "Akan kutumbangkan dia dalam dua jurus saja!"
"Tak perlu malu-malu menggunakan lebih dari
sepuluh jurus, yang penting kau bisa menang
melawannya, Dirgo Mukti!" kata Peri Malam.
Orang yang ditunggu datang. Pendekar Mabuk
muncul dengan badan terbungkuk-bungkuk, seperti
keberatan bumbung tuak yang disandang di
punggungnya. Peri Malam berbisik kepada Selendang
Kubur yang berdiri di samping kirinya.
"Dia dalam keadaan mabuk!'
"Bahaya! Justru dalam keadaan mabuk begitulah
ilmunya semakin tinggi," bisik Selendang Kubur.
"Diamlah!" hardik Perawan Sesat yang merasa terganggu dengan kasak-kusuk mereka.
Pendekar Mabuk berwajah kaku saat itu. Tak ada
sapa dan senyum untuk ketiga perempuan yang sudah
dikenalnya. Bahkan Peri Malam sempat berbisik kepada
Perawan Sesat. "Dia acuh tak acuh pada kita. Tak menyapa sedikit pun!"
"Mungkin dia sudah tahu persekongkolan kita, atau dia sedang memusatkan
perhatiannya kepada Dirgo
Mukti!" "Ssst...! Diamlah!" Selendang Kubur ganti
menghardik. Terdengar suara Dirgo Mukti menyapa kasar kepada
Suto, "Sudah siapkah kau menemui ajalmu, Suto"!"
"Sudah!" jawab Suto datar dan berkesan ketus.
"Kau siap menderita malu di depan tiga perempuan ini"!"
"Sudah!"
"Bagus. Tapi sebelum kau menemui ajalmu,
barangkali kau punya pesan untuk ketiga perempuan
yang menjadi saksi pertarungan ini?"
"Tidak!"
"Kalau begitu, kita mulai saja pertarungan kita, Suto!"
"Baik!"
Dirgo Mukti segera kembangkan tangannya.
Langsung saja di tangan kanannya sudah tergenggam
kapak bermata dua yang mempunyai ujung mata tombak
kecil. Tapi tidak secepat itu ia menggunakan senjata
tersebut, ia masih mencari celah baik untuk menyerang Suto dengan pukulan jarak
jauhnya. Ia bergerak pelan mengelilingi Suto, sementara Suto sendiri hanya diam
sambil melirik dengan mata sayu yang tidak meyakinkan sebagai mata seorang
pendekar tangguh.
"Aih, gila! Semakin tampan saja dia!" pikir Selendang Kubur. "Hatiku berdebardebar digelitik bayangan indah dalam cumbuannya. Oh, apakah
nantinya aku akan tega menyerang dia?"
Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hati Perawan Sesat pun membatin, "Kurang ajar!
Semakin terkena cahaya rembulan, semakin
menggairahkan wajahnya. Aku jadi gundah
membayangkan cumbuannya. Oh, sepertinya aku tak
sampai hati jika harus menyerangnya!"
Peri Malam bahkan palingkan wajah, tak berani
menatap Pendekar Mabuk. Dalam hatinya ia membatin,
"Celaka kalau begini! Dia semakin memikat hatiku! Aku terbayang saat dia
menciumku di pantai. Oh, luar biasa indahnya kala itu. Kakiku sekarang pun jadi
gemetaran membayangkannya. Lantas, bagaimana nanti jika aku
harus menyerangnya" Apakah aku bisa menyerang
seorang kekasih yang kucintai dan kurindukan itu?"
Sementara hati ketiga perempuan itu berkecamuk
sendiri-sendiri, Dirgo Mukti segera sentakkan tangan
kosongnya ke depan bagai mencakar perut harimau.
Wuuttt..! Pendekar Mabuk melompat, namun terlambat.
Tubuhnya tersentak ke belakang dan berguling dua kali.
Lalu ia segera berdiri sambil menggeram. Ia bergerak
kembali, bersamaan dengan itu Dirgo pun bergerak
berkeliling. Langkah demi langkah ia perhatikan. Sedang Suto masih tetap
membungkuk-bungkuk dengan kedua
tangan lurus ke bawah dan menggantung, seakan
sewaktu-waktu siap melompat untuk menerkam
lawannya. Dirgo Mukti segera jejakkan kakinya ke tanah,
tubuhnya pun cepat melesat terbang dalam satu putaran salto ke depan.Wuuttt...!
Pendekar Mabuk mundur satu tindak. Di belakangnya
jurang maut. Suto bagaikan tidak menyadari hal itu.
Ketika Dirgo Mukti pijakkan kaki ke tanah di depan
Pendekar Mabuk dalam jarak empat langkah, cepat-cepat ia sentakkan tangan
kanannya ke depan, dan ujung kapak yang dipegangnya itu melesat lepas dari
tangkai. Ujung kapak yang berupa mata tombak kecil itu mempunyai
nyala pijar api merah. Zuuittt...!
Pendekar Mabuk tak bisa mengelak kecepatan mata
tombak itu. Langsung mata tombak bergerak tanpa
ampun, menembus dada Suto. Jruub....! Tubuh Suto
seketika menjadi berasap. Sebelum tumbang dan hancur, Dirgo Mukti segera
lompatkan kaki dan memberi
tendangan samping yang cukup keras.
"Hiaaattt...!"
Beeg...! . "Aaahg...!" Suto mengerang, tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh ke jurang
yang amat dalam itu. Suara jeritannya menggema bagai memecah sepi di malam
purnama. Sementara itu, ujung kapak Dirgo Mukti yang
sudah kehilangan mata tombaknya itu kembali muncul
mata tombak baru. Creekk...!
Tetapi kapak itu hanya digenggamnya dengan hati
puas. Ia berseru geram,
"Mampuslah kau, Suto Sinting! Ternyata
kehebatanmu tak seperti apa yang digembar-gemborkan
tiap manusia!"
Segera Dirgo Mukti balikkan badan. Ia menatap
ketiga perempuan itu dengan senyum lebar dan tawa pun terdengar berkumandang.
Sedangkan ketiga perempuan
itu sama-sama terpaku tak bergerak di tempatnya. Mata mereka tak berkedip sama
sekali. Karena mereka
terpukau melihat kematian Suto yang begitu cepat dan
mudahnya dikalahkan oleh Dirgo Mukti.
"Celaka...!" bisik Peri Malam kepada kedua teman di kanan-kirinya. "Dirgo Mukti
menang melawan Pendekar Mabuk! Ini berarti kita bertiga bakal menjadi istrinya!"
"Aku tidak sudi!" bisik Selendang Kubur dengan tegang.
"Aku juga tidak bergairah dengan dia!" bisik Perawan Sesat.
"Lantas bagaimana?"
"Kita serang saja dia! Bunuh!" geram Selendang Kubur.
"Kalau begitu, biarlah aku yang maju melawannya!"
bisik Perawan Sesat dengan dada naik turun. Dalam
hatinya ia berkata,
"Bangsat si Dirgo Mukti ini! Dia telah membunuh
orang yang kuharapkan kemesraannya! Dia telah
menghancurkan gairahku! Dia harus kubunuh juga!"
Sedangkan Selendang Kubur berkata pula dalam
hatinya, "Aku tak rela! Sungguh tak rela Suto
ditumbangkan begitu saja! Aku harus membalas
kematian Suto, karena dialah yang telah menghilangkan orang yang kucintai! Dia
telah menghancurkan cintaku!
Jahanam kau, Dirgo Mukti!"
Mata perempuan bertahi lalat di sudut dagunya juga
menjadi nanar penuh kobaran api amarah. Peri Malam
berkata geram dalam hati,
"Orang ini benar-benar memuakkan! Akan kutebus
kematian Pendekar Mabuk dengan nyawanya! Akan
kubela orang yang kucintai itu, walau aku harus
korbankan nyawa dalam pertarungan ini!"
Dirgo Mukti melangkah dengan gagahnya mendekati
ketiga perempuan itu. Tawanya masih berkepanjangan
sambil ia serukan kata,
"Kalian sekarang menjadi istri-istriku! Harapan
kalian terkabul! Aku melihat sendiri mayat Pendekar
Mabuk tertancap bebatuan karang di bawah sana! Ha ha
ha...! Dekatlah kemari istri-istriku! Mari kita rayakan kemenangan ini dengan
sejuta kemesraan dan
kehangatan bercinta, ha ha ha...!"
Perawan Sesat maju dua tindak, tangannya siap untuk
melancarkan pukulan jarak jauhnya. Tapi kain selendang putih telah lebih dulu
berkelebat menghantam tubuh
Dirgo Mukti. Wuuugh...!
Selendang Kubur melepaskan pukulan tenaga
dalamnya menggunakan kibasan selendang putihnya.
Pukulan itu membuat Dirgo Mukti tersentak ke samping
dan oleng mencari keseimbangan.
"Hai...! Mengapa kalian menyerangku"!"
Wuuttt...! Perawan Sesat sentakkan tangan kirinya
dan sebuah pukulan tenaga dalam cukup tinggi tak dapat dihindari Dirgo Mukti.
Pukulan itu tepat mengenai dada Dirgo Mukti. Beeegh...!
"Heegh..."!"
Dirgo Mukti memekik tertahan.
Tubuhnya tersentak ke belakang, tiga langkah jauhnya.
Mulutnya mulai mengeluarkan darah. Tapi ia belum
jatuh, ia masih berdiri dengan terbungkuk-bungkuk. Ia menarik gagang kapaknya,
sreekkk...! Gagang itu
mengulurkan rantai, sehingga mata kapak bisa diputarputarkan di atas kepala.
"Jahanam kalian semua! Kalian ingkar janji! Kalian hanya pergunakan aku untuk
membunuh Suto!"
"Tak perlu banyak bicara, Dirgo Mukti! Kami
memang gunakan kamu sebagai alat! Tak satu pun dari
kami yang sudi menjadi istrimu!" sentak Peri Malam yang segera melompat ke atas
dan menghantamkan
pukulan jarak jauhnya.
Bangng...! Pukulan itu tertangkis oleh kibasan kapak
yang berputaran cepat di atas kepala. Memercikkan
cahaya merah menyala dalam sekejap. Lalu, tiba-tiba
kapak itu bagaikan terbang dalam ikatan rantainya yang bisa mulur panjang.
Wungng...! Sreekkk...!
Kalau saja kepala Perawan Sesat tidak segera
merunduk dan berguling di tanah, sudah pasti akan
terpenggal mata kapak itu. Juga kalau Selendang Kubur yang berdiri sejajar
dengan Perawan Sesat itu tidak
segera gulingkan badan ke tanah, lehernya akan putus
seketika karena ditebas kilasan kapak terbang itu.
Peri Malam yang berada tepat di garis lurus depan
Dirgo itu segera keluarkan sumpit bambunya dari
belahan dadanya yang montok itu. Lalu, ia tiupkan
napasnya melalui lubang sumpit yang panjangnya hanya
sejengkal. Slup...! Maka meluncurlah senjata andalannya yang bernama Jarum Iblis
itu ke arah Dirgo Mukti.
Crasss...! Duaarrr...!
Jarum Iblis tak berhasil menembus sasaran, karena
kapak Dirgo Mukti yang mengeluarkan bunyi dengung
berkumandang itu menangkis jarum tersebut.
Tangkisannya itu menimbulkan percikkan nyala api
bersama bunyi ledakan yang menggema.
Pada kesempatan lengah sedikit itu, Selendang Kubur
segera sabetkan selendangnya dengan satu hentakkan
kaki ke bumi. Jurus 'Selendang Petir' diganaskan. Dari ujung kain selendang itu
keluar percikkan api yang
mampu membakar lawan.
Craapp... craapp...!
Melihat datangnya bahaya dari samping, Dirgo Mukti
segera sentakkan kaki dan melenting di udara dengan
kapaknya tetap berputar membentengi dirinya.
Wuusss...! Sabetan 'Selendang Petir' hanya membuat
nyala api sekejap, menyambar tempat kosong.
Sementara itu, ujung kapak Dirgo Mukti keluarkan sinar merah membara yang
meluncur cepat ke arah Peri
Malam. Sinar merah membara itulah yang tadi
digunakan menghantam Suto.
Wuusssh...! Cepat sekali gerakan sinar merah
membara dari logam berbentuk mata tombak itu.
Sebelum mencapai tubuh Peri Malam, Perawan Sesat
cepat sentakkan tangan kanannya dan melesatlah sinar
kuning menghantam logam membara itu.
Duaarrr...! Pecah logam membara itu tepat di atas kepala Peri
Malam. Dentumannya membuat tubuh Peri Malam
tersentak dan jatuh tersungkur. Tetapi ia segera bangkit lagi dan dalam posisi
duduk ia luncurkan Jarum Iblis di kaki Dirgo Mukti. Slaappp...!
"Uuhf...!" Dirgo Mukti menahan rasa sakit yang mengagetkan, karena begitu ia
mendaratkan kakinya ke
tanah, jarum beracun itu telah menyambut betisnya
dengan empuk. Jruubb...!
Dua pasang mata yang memperhatikan pertarungan
tak imbang itu menjadi tegang. Dua pasang mata itu ada di atas pohon, di lereng
bukit agak ke bawah. Karena
posisinya ada di atas pohon, jadi kedua pasang mata
milik dua manusia itu dapat melihat dengan jelas
pertarungan tersebut.
"Dirgo Mukti bisa mati! Dia terdesak terus dan telah berkena Jarum Iblis milik
Peri Malam!"
"Jar... jar... jarum itu kulihat mempunyai serbuk racun! Sangat ber... ber...
berbahaya racun itu. Kedipan serbuknya dapat tertangkap oleh mat... mata...
mataku!" "Kasihan Dirgo Mukti! Bagaimana kalau aku
membantunya, meleraikan pertarungan itu?"
"Jang... jang... jangan! Kkkau... kau sudah dianggap mat... mati oleh mereka!"
Ya, Suto telah dianggap mati oleh tiga perempuan
patah hati. Tapi sebenarnya dia sedang menjadi
penonton pertarungan di atas Bukit Jagal itu bersama Dewa Racun.
Ini semua gagasan Dewa Racun, si kerdil yang cerdik
itu. Ia berhasil menemukan seekor orang hutan. Ia cepat jinakkan orang hutan
itu. Lalu, ia suruh Suto
menggunakan ilmu 'Seberang Raga'-nya sehingga orang
hutan itu bisa menjadi wujud dirinya di mata orangorang yang ada di atas bukit tadi. Orang hutan yang
sudah berubah wujud Suto itu masuk arena pertarungan
dan tentu saja dengan mudahnya dikalahkan Dirgo
Mukti. Dengan begitu, Dirgo Mukti berhak menuntut
janji dari ketiga perempuan licik itu, dan ketiga
perempuan licik menjadi kebingungan, karena tidak
menyangka bahwa Dirgo Mukti benar-benar dapat
membunuh Pendekar Mabuk.
Pendekar Mabuk tertawa geli melihat tiga perempuan
licik itu berontak, tak mau ditagih janjinya oleh Dirgo Mukti. Rupanya mereka
benar-benar bernafsu untuk
membunuh Dirgo Mukti. Sehingga, walaupun keadaan
Dirgo Mukti sudah lemah dan parah, mereka masih terus menyerangnya. Sampai
akhirnya Dirgo Mukti
tersungkur jatuh dengan luka dalam dan luar, namun ia masih bisa berlutut dan
mencoba berdiri lagi.
"Habislah nyawamu sekarang juga, Jahanam!" geram Perawan Sesat sambil lancarkan
pukulan pamungkasnya
yang amat berbahaya itu. Tapi tiba-tiba kilatan cahaya merah dari tangan Perawan
Sesat tersentak ke samping, didorong oleh kilatan cahaya hijau yang datang
secara tiba-tiba. Glegaaar...! Tabrakan cahaya bertenaga dalam tinggi itu membuat
bukit bagaikan mau rubuh. Dentumannya mengguncang
bumi, membuat ketiga tubuh perempuan itu terpental
berlainan arah. Jatuh telentang dengan erangan yang
lirih. Ketiganya cepat berusaha untuk bangkit kembali.
"Hi hi hi hi...!" terdengar suara tawa mirip kuntilanak yang berdiri di depan
mereka bertiga. Suara itu berasal dari seorang nenek berjubah biru lusuh,
pakaiannya serba abu-abu. Badannya agak bungkuk, rambutnya
digulung naik, berwarna abu-abu juga. Di pinggangnya
terselip tengkorak kambing bergagang tulang ikan
berukuran antara dua jengkal.
Peri Malam tak asing lagi dengan wajah bermata
cekung angker itu. Karena dulu ia pernah menjadi murid nenek keriput bergigi
ompong dan tak bisa menyebutkan huruf 'r'.
"Guru,.."!"
"Hei, jangan sebut aku gulumu lagi, Peli Malam!"
kata nenek angker yang dikenal dengan nama Mawar
Hitam dari Pulau Hantu itu. "Kamu sudah bukan lagi mulidku! Kamu sesat, dan
perlu kuhajal juga lupanya!"
"Tunggu!" sentak Perawan Sesat ketika Mawar Hitam ingin menghantamkan pukulan
jarak jauhnya. "Apa urusanmu ikut campur pertarungan kami ini, Nenek
Peot!" "Aku memang cali-cali anak muda ini! Dia punya
kesaktian cukup lumayan buat kuselap, sama dengan
kesaktian gulumu si Nyai Lembah Asmara itu! Aku akan
jadi olang yang paling tinggi ilmunya setelah kuselap banyak ilmu dali olangolang yang kuselamatkan dali
peltalungan!"
Wuttt...! Dengan sekali sentak kaki, tubuh Dirgo
Mukti sudah melesat sendiri dan jatuh di pundak Mawar Hitam. Badannya yang
bungkuk semakin bungkuk lagi
menggendong tubuh Dirgo Mukti yang sudah nyaris
Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mati itu. "Akan kau bawa ke mana dia" Kami harus
membunuhnya lebih dulu, baru kamu boleh membawa
mayatnya pergi!" sentak Selendang Kubur.
"Benar, Guru!" sahut Peri Malam yang sudah terbiasa memanggil 'guru' kepada
Mawar Hitam. "Kami harus hancurkan Dirgo Mukti, karena dia telah membunuh
Suto!" "Hik hik hik hik...! Pendekal Mabuk belum mati! Dia masih sembunyi! Kalian telah
dikecohkan oleh Pendekal Mabuk! Hi hi hi hi...! Kalian tidak akan sanggup
melawan Suto, kalena Suto itu adalah lawanku! Aku
halus tebus kekalahanku dalam lebutan Pusaka Tuak
Setan, setelah aku tebus kekalahanku tempo hali, aku halus bunuh gulunya yang
belnama Bidadali Jalang!
Tapi itu lanti, kalau aku sudah selap banyak ilmu dali olang-olang bodoh macam
Dilgo Mukti ini! Hik hik
hik...!" Mawar Hitam bergerak mau tinggalkan tempat. Tapi
Perawan Sesat cepat lompat dan hadang langkah Mawar
Hitam. Dengan berani ia menyentak Mawar Hitam.
"Tinggalkan manusia itu di sini!"
"Ah, kamu mau cali-cali mati lupanya?"
Mawar Hitam segera kibaskan tangannya bagai
menyambar nyamuk. Wuuttt...! Tepat pada saat itu sinar merah berbentuk bulat
seperti bola kecil itu melesat dari siku Mawar Hitam, melesat ke dada Perawan
Sesat. Kejap berikut, Dewa Racun lepaskan anak panahnya
dari atas pohon. Wuuttt....! Panah itu meluncur bagai kilat menyambar bola
merah. Blaarrr...! Tubuh Mawar Hitam tersentak mundur karena
hempasan angin dari ledakan bola merahnya itu.
Perawan Sesat terpentang dan nyaris jatuh ke jurang
dalam itu. Ledakan itu menimbulkan hentakkan gelombang
yang cukup besar. Mawar Hitam sendiri segera berpaling ke arah datangnya anak
panah tadi. "Kulang ajal...!" geramnya dengan beringas. Slapp...!
Tiba-tiba tubuh Pendekar Mabuk sudah berada di
samping Mawar Hitam dalam satu lompatan
berkecepatan tinggi sekali itu. Pendekar Mabuk
langsung berkata,
"Kalau kau mau hadapi aku, sekaranglah kita
tentukan pertarungan kita di sini, Mawar Hitam!"
Yang terkejut bukan hanya Mawar Hitam, tapi ketiga
perempuan itu sama-sama tersentak kaget dan mundur
dalam jarak tertentu.
"Dia masih hidup!" bisik Selendang Kubur kepada Peri Malam. Tapi yang diajak
bicara hanya terbengong.
Perawan Sesat juga hanya berdiri mematung tak
berkedip. "Suto, saatnya belum tiba untuk peltalungan kita!
Tunggu bebelapa waktu lagi! Akan kuhanculkan kamu
sampai selembut selbuk tepung! Jangan sangka aku tidak bisa ungguli ilmumu,
Suto!" "Telselah kamu!" tak sadar Pendekar Mabuk ikut cadel bicaranya, namun buru-buru
ia perbaiki lagi,
"Terserah kamu, Mawar Hitam! Kapan saja kau
menghendaki pertarungan kita, aku siap menunggumu!"
"Tunggu saatnya!" dan tiba-tiba, Mawar Hitam seperti membanting sesuatu.
Wuugh...! Asap mengepul
tebal dari sebuah letupan. Asap itu menipis, Mawar
Hitam ternyata sudah hilang dari pandangan bersama
tubuh Dirgo Mukti.
"Ada yang masih bernafsu membunuhku"!" tantang Pendekar Mabuk kepada ketiga
perempuan itu. Tapi tak
satu pun menyahut, tak satu pun bergerak. Bahkan ketika Suto tertawa sambil
tinggalkan tempat itu, mereka hanya bisa mengikuti dengan pandangan mata
bengong. Dewa Racun datang menyambut langkah Suto. Orang
kerdil itu tersenyum-senyum sambil berkata,
"Kkku... kurasa sudah tidak adalah masalah dengan Bukit Jagal ini, Suto. Kit...
kkkit... kita langsung saja pergi ke sana!"
"Baik! Aku sependapat denganmu, Dewa Racun!"
"Nyai Gusti pas... pass... pasti akan sen... sen... sen..."
"Seneb"!"
"Bukan! Akan sen... senang menerima
kedatanganmu. Nyai Gusti pasti sudah tidak sabar men...
men... men...."
"Menungging?"
"Menunggumu! Bukan menungging!" sentak Dewa Racun yang segera ditertawakan oleh
Suto. Langkah kaki Suto begitu cepat, seiring dengan
langkah kaki Dewa Racun. Dalam kejap berikut
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sudah sama-sama
menghilang dari pandangan tiga perempuan salah
tingkah itu. "Hei, mengapa kita tidak membunuhnya" Suto sudah ada di depan kita!" kata Peri
Malam. Selendang Kubur berkata. "Adakah dari kita yang tega membunuhnya?"
Tak satu pun ada yang menjawab dari mulut mereka.
Semua diam, bingung, dan hanya bisa saling pandang
satu dengan yang lainnya.
SELESAI PENDEKAR MABUK Ikuti kisah selanjutnya!!!
serial Pendekar Mabuk
Suto Sinting dalam episode :
UTUSAN SILUMAN TUJUH NYAWA
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
Makam Bunga Mawar 22 Dewi Ular 66 Misteri Anak Selir Laron Pengisap Darah 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama