Pendekar Mabuk 088 Rahasia Bayangan Setan Bagian 1
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 PADANG rumput menghijau bagai bentangan
permadani yang menyegarkan mata. Ketinggian
rumputnya rata-rata sebatas mata kaki. Tentu saja
rumput-rumput itu tumbuh dengan sendirinya, tak ada orang yang sengaja menanam
rumput di tanah datar itu.
Tapi anehnya ada orang yang merasa memiliki
perkebunan rumput itu. Pendekar Mabuk tertawa
pendek, ketika mendengar padang rumput itu ada
pemiliknya. "Kalau perkebunan kopi, perkebunan karet,
perkebunan tembakau, itu wajar! Tapi kalau perkebunan rumput, itu agak kurang
ajar." "Tapi orang itu mengaku sebagai pemilik perkebunan rumput ini, Suto!" ujar
Mahesa Gibas, pemuda berusia
sekitar dua puluh tahun yang gemar mengenakan baju
kuning dan celana hitam dengan rambut pendek
memakai ikat kepala kuning-merah. Kala itu, Mahesa Gibas mempunyai wajah yang
biru legam, tampak habis dihajar seseorang hingga babak belur. Bahkan daun
telinganya tampak sedikit robek dan berdarah. Rupanya ia habis dihajar oleh
orang yang mengaku pemilik
perkebunan rumput.
"Siapa orang itu, dan di mana tinggalnya?" tanya Suto Sinting setelah memberi
minum Mahesa Gibas dengan
tuak saktinya. Tuak itu membuat luka memar dan daun telinga yang robek menjadi
pulih seperti tak pernah mengalami luka apa pun.
Orang yang mengaku sebagai pemilik perkebunan
rumput itu adalah lelaki tua bertubuh kurus, berusia sekitar enam puluh tahun.
Lelaki tua itu gemar
mengenakan jubah biru dan celana hitam. Rambutnya
abu-abu, panjang sepunggung, diikat dengan kain putih bagai pasukan berani mati.
Ia memiliki jenggot pendek dan kumis tipis, semuanya berwarna abu-abu. Mata
orang itu cekung, tapi lebar. Tulang pipinya tampak bertonjolan karena kurusnya,
ia sering membawa
tongkat hitam dengan ujung tongkat berbentuk bintang.
"Ia menyebut dirinya dengan nama Wabah Langit,"
ujar Mahesa Gibas menjelaskan kepada Suto. "Rasa-rasanya memang ia pantas
berjuluk Wabah Langit,
karena rupanya mirip penyakit menular!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan. Geli juga melihat
ungkapan kejengkelan Mahesa Gibas terhadap si Wabah
Langit itu. "Lalu, bagaimana mulanya sehingga kau bisa
dihajarnya?" tanya Suto Sinting sambil masih duduk di bawah pohon rindang yang
teduh itu. "Aku berlari melintasi padang rumput itu. Kupikir, dengan melintasi padang
rumput itu aku bisa memotong jalan dan menyusulmu. Tapi tiba-tiba setelah aku
sampai di tanah berhutan jarang itu, aku diserang oleh si Wabah Langit. Mulanya
kulawan dia dengan jurus-jurus mautku sampai ia terdesak nyaris jebol dadanya.
Tapi aku tiba-tiba kasihan melihat ketuaannya. Lalu, kutinggalkan dia dalam
keadaan luka dalam. Tahu-tahu dia menyerangku dari belakang dan menghajarku
sampai babak belur. Aku mencoba mengalah, sungkan melawan orang tua.
Akhirnya aku berhasil melarikan diri dan bertemu
denganmu di sini!"
Senyum sinis Pendekar Mabuk menandakan dirinya
tak percaya sepenuhnya dengan cerita Mahesa Gibas. Ia tahu, pelayan sang Adipati
Jayengrana itu pandai
membual. Seratus kata yang diucapkan hanya delapan
kata yang benar, selebihnya adalah bualan. Pendekar Mabuk juga tak percaya kalau
Mahesa Gibas menghajar Wabah Langit hingga dada orang tua itu hampir jebol.
Karenanya Suto hanya tertawa sinis bercampur geli.
"Singkatnya cerita, kau dihajar karena menginjak-injak perkebunan rumputnya?"
"Ya. Tapi dia juga sesumbar saat aku melarikan diri."
"Sesumbar bagaimana?" pancing Suto.
"Dengan takaburnya si Wabah Langit itu berseru
sambil mengangkat tongkatnya: 'Dasar bocah tampan tak tahu diri! Awas kalau kau
lewat sini lagi, kuremukkan kepalamu yang seperti berlian itu! Panggil temantemanmu, kalau perlu panggil si Pendekar Mabuk, suruh dia membelamu datang
kemari. Akan kubeset-beset
kulitnya, kucungkil matanya, kupotong lidahnya, dan kurontokkan giginya!
Meskipun kau mengaku teman si
Pendekar Mabuk, kau pikir aku takut pada Pendekar
Mabuk! Cuih....'"
Plaak...! Suto menampar paha Mahesa Gibas, lalu
buru-buru menyapu wajah dengan kain bajunya yang tak dikancingkan.
"Sialan kau! Kenapa pakai meludah segala"!" bentak Suto.
"Memang dia pakai meludah segala! Aku cuma
menirukan dia berseru di belakangku!"
"Iya, tapi kau tak perlu pakai meludah di wajahku, Setan!" geram Suto jengkel
sekali. "Aku tak sengaja," Mahesa Gibas bersungut-sungut.
"Anggap saja kecelakaan kecil. Tak usah marah
begitu...."
Pada dasarnya, Pendekar Mabuk tetap tak percaya
kalau si Wabah Langit lontarkan sesumbar sampai
seperti itu. "Pasti rekaan si Mahesa sendiri biar aku marah pada Wabah Langit
dan melabraknya!" pikir Suto dengan tersenyum-senyum.
"Pokoknya, kau dihina habis-habisan. Direndahkan oleh si Wabah Langit,
diremehkan dan dianggap banci kalau tak berani melabraknya," tambah Mahesa
Gibas. "Biar saja!" ujar Suto kalem, tampak tak mau menanggapi hasutan itu.
"Kau tak malu dianggap banci"!"
"Kenapa malu" Hanya dianggap banci saja, apa
ruginya?" "Huhh...! Percuma punya sahabat sepertimu.
Dianggap banci kok diam saja."
"Habis, apakah aku harus pakai bedak dan gincu begitu dianggap banci oleh
seseorang"!"
"Maksudku, marahlah! Marah kepada si Wabah
Langit itu, biar dia tahu bahwa kau bukan pemuda
banci!" "Ah, biarpun dia tak tahu, aku tahu kalau aku bukan banci, aku tak merasa
kecewa." "Uhhh...!" geram Mahesa Gibas sambil cemberut.
Suto menertawakan, karena kedongkolan Mahesa Gibas
itulah yang diharapkan hadir dari sikap cueknya dengan hasutan itu.
"Kalau begitu aku tak mau ikut kau ke Bukit Lahat!"
ujar Mahesa Gibas dengan sewot.
"Memang seharusnya begitu. Bukankah sudah
kubilang, kau tetap tinggal bersama Eyang Panembahan Pancalingga, sambil
menunggu kedatangan Perawan
Sinting kembali dari Kadipaten Madusari. Tapi mengapa kau justru menyusulku"!
Siapa yang suruh"!"
"Mahayuni yang suruh!" sahut Mahesa Gibas.
"Mahayuni khawatirkan dirimu. Dia takut terjadi apa-apa pada dirimu. Maka aku
disuruh mendampingimu
selama dalam perjalanan menuju Bukit Lahat!"
"Omong kosong! Mahayuni tak mungkin
menyuruhmu, sebab dia tahu kau tak punya ilmu yang
bisa diandalkan untuk membantuku jika menghadapi
bahaya di perjalanan. Kalau dia mengkhawatirkan
diriku, pasti dia sendiri yang akan menyusulku."
"Tak percaya ya sudah...," Mahesa Gibas bersungut-sungut cemberut. Suto hanya
menertawakan dengan
suara seperti orang menggumam.
Pendekar Mabuk memang sedang dalam perjalanan
ke Bukit Lahat untuk mengejar si Bayangan Setan yang membawa lari Raden Rama
Jiwana, menantu dari
Adipati Jayengrana, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Buronan Cinta
Sekarat"). Semula pengejaran itu dilakukan Suto, Perawan Sinting, dan Mahesa
Gibas ke arah Pulau Blacan. Karena di sanalah setahu mereka negeri Samudera
Kubur yang berada dalam kekuasaan si Bayangan Setan itu berada.
Tetapi perahu yang mereka tumpangi itu pecah
dihantam ombak badai. Mereka terdampar di Pantai
Porong dan bertemu dengan Panembahan Pancalingga,
penguasa sekaligus ketua Perguruan Pantai Porong.
Bahkan mereka sempat membantu Perguruan Pantai
Porong dalam menumbangkan lawannya : Nyai Gincu
Barong, walau dalam pertarungan itu, Suto dibantu oleh Andani yang membantai
seluruh murid Nyai Gincu
Barong dengan sadisnya. Belakangan diketahui, si
Andani itu sebenarnya adalah si Bayangan Setan, alias Peri Kahyangan, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Pembantai Cantik").
Tapi menurut keterangan dari Penembahan
Pancalingga, negeri Samudera Kubur telah hancur
delapan tahun yang lalu. Padahal Suto dan kedua
sahabatnya itu baru melakukan perjalanan selama
delapan hari. Sementara itu, ketika si Bayangan Setan telah berhasil menangkap
Rama Jiwana, ia
memerintahkan para pengikutnya untuk pulang ke
Samudera Kubur.
Timbul pertanyaan dalam hati Pendekar Mabuk,
"Apakah aku telah terlempar ke masa delapan tahun yang akan datang, di mana
Samudera Kubur telah
hancur?" "Barangkali ketika perahu kita terombang-ambing ombak dan masuk dalam pusaran
air, saat itu kita sedang terlempar ke masa depan. Dan sekarang kita berada di
masa depan, masa yang sebenarnya belum kita lalui?"
ujar Perawan Sinting menanggapi pemikiran Suto tadi.
"Aku masih belum berani memastikan, sebab Eyang Panembahan sendiri tidak berani
berkata begitu kepada kita, bukan" Tapi anehnya, mengapa ketika aku bertemu
dengan Andani atau si Bayangan Setan, aku tidak
melihatnya bersama Rama Jiwana. Apakah Rama Jiwana
telah berhasil dibebaskan atau dibunuh?"
"Jangan-jangan dimakan habis oleh perempuan yang doyan daging manusia itu?"
timpal Mahesa Gibas sambil bergidik merinding.
"Sebaiknya kau pulang ke Kadipaten Madusari dan meminta keterangan Adipati
Jayengrana, apakah Rama
Jiwana sudah kembali atau belum, atau tak ada kabar
beritanya sama sekali," kata Suto menugaskan si gadis berompi cekak warna ungu
dengan tubuh sexy
menggiurkan itu. "Sementara itu, aku akan menuju ke Bukit Lahat. Aku akan
mencari tahu, benarkah si
Bayangan Setan ada di Bukit Lahat bersama para
pengikutnya; termasuk si Gober dan si Melon Kuning
itu?" "Aku bagaimana?" tanya Mahesa Gibas.
"Kau tetap menunggu di sini, sampai Perawan Sinting datang. Aku akan segera
kembali ke padepokan ini jika sudah mengetahui keadaan di Bukit Lahat yang
sebenarnya. Jika benar si Bayangan Setan ada di sana, maka kita serang dia
bersama-sama!"
Begitulah rencana yang telah disusun Pendekar
Mabuk pada saat berada di padepokannya Penambahan
Pancalingga. Perawan Sinting pun pergi ke Kadipaten Madusari yang cukup jauh dan
memakan waktu beberapa hari itu, sedangkan Pendekar Mabuk
menyelidiki Bukit Lahat yang letaknya berbeda arah
dengan kepergian Perawan Sinting. Tapi rupanya
Mahesa Gibas merasa tak enak sebagai tamu sendirian di Perguruan Pantai Porong,
sehingga ia menyusul Suto melalui padang rumput, sampai akhirnya dihajar oleh
Wabah Langit yang mengaku sebagai pemilik
perkebunan rumput itu.
Mahesa Gibas tetap ngotot, tak mau disuruh pulang.
"Jika terjadi bahaya yang menimpamu di perjalanan, lalu siapa yang akan
melindungimu, Suto?" kata Mahesa Gibas dengan berlagak menjadi pelindung Suto.
"Apakah kau sanggup menjadi pelindungku?"
"Siapa bilang begitu" Aku hanya bertanya; siapa yang akan melindungimu jika kau
ditimpa bencana di
perjalanan" Siapa?"
"Jadi... maksudmu bukan kau yang akan
melindungiku?"
"Mana mungkin!" lalu Mahesa Gibas bicara pelan sambil melengos, "Kecuali kalau
kau percaya pada kesaktianku, itu lain persoalan!"
Pendekar Mabuk terpaksa tertawa walau sebenarnya
hatinya gondok melihat lagak Mahesa Gibas yang sok
berilmu tinggi, padahal dikejar anjing saja lari terbirit-birit.
Mau tak mau Pendekar Mabuk akhirnya lanjutkan
perjalanan menuju Bukit Lahat dengan didampingi si
pembual; Mahesa Gibas. Namun baru saja mereka
meninggalkan tempat istirahat beberapa langkah, tiba-tiba perjalanan mereka
harus berhenti lagi karena
munculnya seorang lelaki tua berjubah biru dan berikat kepala putih. Lelaki itu
melompat dari balik semak
setinggi dada, dan tahu-tahu sudah menghadang langkah mereka berdua. Jleeg...!
"Naaah... Itu dia orangnya, Suto! Itu dia!" seru Mahesa Gibas di antara kaget
dan takut, ia segera ambil posisi di belakang Suto Sinting.
"Maksudmu siapa dia?"
"Dia yang mengakui mempunyai perkebunan rumput dan bernama Wabah Langit! Lihat
saja, wajahnya mirip penyakit muntaber, bukan"!"
"Bocah terkutuk!" geram si Wabah Langit dengan mata cekungnya memancarkan
kemarahan kepada
Mahesa Gibas. "Jangan seenaknya kau bicara, Bocah terkutuk! Sekali lagi kau
mengatakan wajahku seperti penjahit ember, kuhancurkan mulutmu!"
"Penjahit ember"!" gumam Suto. "Rupanya dia agak budeg, Mahesa," bisiknya kepada
Mahesa Gibas. "Mungkin kupingnya tersumbat rumput!" bisik Mahesa Gibas juga.
Lalu, Suto bicara kepada Wabah Langit dengan sikap
ramah. "Maaf, Ki Wabah Langit... temanku ini tidak
mengatakan kau seperti penjahit ember. Kau salah
dengar, Ki."
"Tidak mungkin aku salah dengar. Biar sudah tua tapi telingaku belum rusak.
Bocah terkutuk itu tadi
mengatakan wajahku seperti penjahit ember! Kau sangka aku tukang timba, hah"!"
bentaknya dengan angker.
Wabah Langit bergegas maju, Suto dan Mahesa Gibas
mundur beberapa langkah.
"Tunggu dulu, Ki. Aku dengar sendiri, Mahesa Gibas tidak mengatakan wajahmu
seperti penjahit ember. Dia hanya mengatakan wajahmu seperti penyakit muntaber!"
"Apaaa..."! Lebih parah lagi"! Kusembelih kau, Bocah terkutuk!" geram Wabah
Pendekar Mabuk 088 Rahasia Bayangan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Langit sambil hendak menyerang Mahesa Gibas, namun berhasil ditahan oleh Suto
dengan menghadangkan kedua tangan dan bersikap hormat.
"Maaf, maaf... temanku ini kalau bicara memang tak
pernah pakai otak, sebab dia memang belum mempunyai otak. Mohon dimaklumi saja,
Ki Wabah Langit."
"Hmmmrrr...! Kalau bukan memandang sikapmu
yang hormat dan ramah kepadaku, sudah kubantai si
Bocah terkutuk itu!"
"Enak saja! Aku bukan bocah perkutut!" sentak Mahesa Gibas.
"Sudah, sudah...! Jangan ikut-ikutan budek. Dia mengatakan kau: bocah terkutuk!
Bukan bocah perkutut!" hardik Suto sambil sedikit palingkan wajah ke belakang.
"Maksudku biar tambah rusak sekalian
pendengarannya itu!" bisik Mahesa Gibas.
"Jangan bisik-bisik! Itu menyinggung perasaanku!"
bentak Wabah Langit.
"Maaf, Ki...!" kata Suto dengan suara selalu keras biar tak salah dengar
lagi,"... aku hanya mengingatkan Mahesa Gibas agar jangan bersikap kurang ajar
kepada orang tua sepertimu, Ki Wabah Langit."
"Nah, itu bagus?" sahut Wabah Langit dengan suaranya yang besar dan agak serak,
menyeramkan. "Siapa kau sebenarnya, Anak Muda"! Aku belum
pernah melihat anak muda segagah dirimu di daerah
ini!" "Perkenalkan, aku bernama Suto dan temanku yang kau hajar tadi bernama Mahesa
Gibas," jawab Pendekar Mabuk dengan tetap sopan dan ramah. "Kumohon kau
memaafkan kelancangan temanku tadi yang menginjak-injak perkebunan rumputmu itu,
Ki Wabah Langit.
Kumohon kau jangan marah lagi kepadanya."
"Hmmmrrr...!" geram Wabah Langit. Setiap dia menggeram, bulu kuduk Mahesa Gibas
merinding seketika. "Bukan karena dia menginjak-injak perkebunan
rumputku yang membuatku marah kepadanya! Tapi
karena dia menginjak kepalaku saat aku tidur-tiduran di rerumputan itu. Maka
kukejar dan kuhajar dia!"
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut sambil berpaling pandangi Mahesa Gibas.
Yang dipandang diam saja dengan kepala tertunduk malu. Matanya
sesekali melirik Suto, juga melirik si Wabah Langit.
"Pantas dia ngamuk. Yang kau injak bukan
perkebunan rumputnya, tapi kepalanya! Siapa orangnya yang tidak marah jika
diinjak kepalanya"!"
"Tapi itu kan tidak sengaja!" Mahesa Gibas bersungut-sungut, masih tetap ngotot
sebagai orang tak bersalah. Pendekar Mabuk tak mau memperpanjang
masalah itu. Ia segera berkata kepada si Wabah Langit.
"Kalau begitu, sekali lagi aku sebagai temannya memohonkan ampun sebanyakbanyaknya kepadamu,
Ki Wabah Langit."
"Hmmmrrr!" jawabnya dalam geram. "Apa yang kalian lakukan di sekitar padang
rumputku ini"!"
"Kami sedang menuju ke Bukit Lahat, Ki," jawab Suto dengan suara keras supaya
jelas didengar si Wabah Langit. Namun begitu si Wabah Langit mendengar nama
Bukit Lahat, pandangan matanya menjadi dingin,
gerahamnya menggeletuk, genggaman tangannya pada
tongkat diperkuat. Suto Sinting menjadi heran melihat perubahan aneh dalam wajah
si Wabah Langit.
"Kalian mau ke Bukit Lahat"!"
"Benar, Ki!" jawab Suto tegas.
Tiba-tiba tongkat di tangan Wabah Langit itu
menyambar kepala Suto Sinting dengan cepat sekali.
Weess...! Tentu saja Pendekar Mabuk sangat terkejut, dan
secara refleks tangannya dipakai menangkis tongkat itu.
Dees...! "Aaow...!" pekik Suto sambil tangannya segera dikibas-kibaskan, ia sempat
terpelanting beberapa
langkah dan nyaris jatuh. Sedangkan Mahesa Gibas
segera lari bersembunyi di balik pohon besar dengan wajah ketakutan.
"Gila! Pukulan tongkatnya seakan ingin meremukkan tulang lenganku. Uuh... linu
semua sekujur tubuhku!"
keluh Suto dalam hati. Ia segera mundur begitu melihat Wabah Langit maju
mendekatinya. "Mengapa kau memukulku, Ki"!" seru Suto sambil menyeringai, tapi tangan kanannya
segera meraih tali bumbung tuaknya yang sejak tadi menggantung di
pundak. Tali itu melilit dalam genggaman Suto,
sehingga bumbung tuak dapat digerakkan ke mana saja.
Ternyata jawaban yang diperoleh Suto adalah tebasan tongkat yang memutar cepat
melintasi atas kepalanya.
Wuuuk...! Tongkat itu tiba-tiba berhenti di depan dan menyodok ke arah dada
Pendekar Mabuk. Suuuut...!
Bumbung tuak dihadangkan. Traaang...! Duaaar...!
Benturan ujung tongkat dengan bumbung tuak
menimbulkan suara ledakan yang lumayan besarnya.
Ledakan itu membuat Suto Sinting terpental ke
belakang, namun tak sampai terjatuh juga.
"Rupanya kau punya kekuatan pada bumbung bambu itu, Keparat!" geram si Wabah
Langit. "Tapi tak mungkin bisa menahan jurus 'Tongkat Seribu' ini!
Heaaah ..!"
Weesss...! Tongkat ditebaskan lagi, dan Suto Sinting menangkis dengan bumbung
tuaknya dengan lompatan
mundur. Traang...! Terdengar bunyi seperti besi beradu dengan besi. Rupanya
tongkat itu berisi tenaga dalam cukup tinggi yang dapat imbangi kekuatan tenaga
sakti dalam bumbung tuak itu.
Hanya saja, kali ini sekalipun tongkat sudah ditarik ke tangan pemiliknya, namun
Suto Sinting merasa masih dihantam dengan tongkat secara bertubi-tubi. Tongkat
itu tak terlihat wujudnya, namun angin tebasannya selalu datang mengancam tubuh
Suto. Mau tak mau Pendekar
Mabuk selalu berkelit dan menangkis hawa yang datang bagai sabetan tongkat itu.
Trang, weess... trang, trang, wess, wesss, trang...!
"Aneh! Tongkatnya sudah tidak bergerak tapi
hawanya masih saja menyerangku"!" pikir Suto sambil bergerak mundur sebagai
tanda bahwa dirinya mulai
terdesak dan kebingungan melawan jurus 'Tongkat
Seribu' itu. Wees, trang...! Buuukh, prak, wwes, trang...!
Praaak...! "Aaow...!" pekik Suto lagi karena kepalanya seperti dihantam tongkat dengan
kencang dan berkekuatan
tenaga dalam. Tubuh Suto Sinting sempat melintir dan jatuh karena pandangan
matanya menjadi gelap setelah mendapat hantaman di kepalanya.
Baaakh, buuukh, baakh, buuukh...!
Suto Sinting dihajar oleh hantamam tongkat yang tak diketahui dari mana arahnya.
Yang jelas ia memekik-mekik beberapa kali sambil berusaha menghindar dari tempat
itu. Dan tubuh Suto mulai merasa memar.
Pipinya sempat membiru bagai habis dihantam tongkat dengan keras. Pelipisnya
sempat berdarah, dan tulang punggungnya terasa patah karena merasa dihantam
tongkat beberapa kali. Zlaaap, zlaaap...!
Suto Sinting akhirnya pergunakan jurus 'Gerak
Siluman' untuk berkelebat cepat pergi dari tempat itu. Ia sengaja berdiri di
belakang si Wabah Langit dengan
pandangan mata masih buram.
"Kau yang mengawali permusuhan ini, Wabah
Langit!" Si tua berjubah biru dan bercelana hitam itu terkejut mendengar suara Suto sudah
ada di belakangnya. Maka ia pun segera berpaling memandang ke belakang. Tepat
pada saat itu, Pendekar Mabuk pergunakan jurus 'Jari Guntur', berupa sentilan
bertenaga dalam cukup tinggi.
Tees...! Buuukh...! Tees...! Buuukh...! "Heekh...!" Wabah Langit tak sempat memekik. Ulu hatinya bagai ditendang kuda
jantan yang sedang
mengamuk. Tubuh kurusnya terlempar ke belakang
hingga membentur pohon. Brruk...!
"Oukh...!" ia semakin mengerang kesakitan dengan sedikit terbungkuk.
Suto Sinting tak memberi kesempatan bagi si Wabah
Langit untuk membalas serangannya. Sentilan dari jurus
'Jari Guntur' dilepaskan terus secara beruntun.
Tes, tees, tes, tes...!
Praak...! Sentilan itu akhirnya kenai pelipis si Wabah Langit. Kepala pak tua
itu tersentak ke samping dengan kuatnya dan membentur batang pohon. Brruk...!
"Uuuh...!" pekiknya dengan darah mengalir dari telinga.
Teees, tees...! Trak, trak...!
"Aaow...!" Wabah Langit memekik panjang karena mata kakinya dihantam dengan
sentilan maut Pendekar Mabuk itu. Kedua mata kaki bagaikan pecah, Wabah
Langit jatuh terduduk sambil menyeringai menahan
sakit. Pendekar Mabuk sengaja hentikan serangannya,
namun ia tetap waspada, sewaktu-waktu Wabah Langit
ingin lepaskan jurus 'Tongkat Seribu' lagi, ia akan menyentil pergelangan tangan
itu dari jarak enam
langkah. "Jahanam kau! Hmmmrrr...!" geram Wabah Langit sambil berusaha berdiri, namun
jatuh kembali. Seluruh tulang dan urat kaki bagaikan putus.
"Aku tak mengawalinya, Pak Tua!" ujar Suto Sinting.
"Kau yang mengawali permusuhan ini, sehingga aku terpaksa sekali melumpuhkanmu,
Pak Tua!" "Aku belum lumpuh, Setan Belang! Aku masih bisa memecahkan batok kepalamu dari
sini!" "Apa salahku sehingga kau tiba-tiba menyerangku, Wabah Langit"!"
"Aku sudah bersumpah akan membunuh orang Bukit Lahat dengan cara menyiksanya
lebih dulu, seperti
mereka menyiksa cucuku hingga tewas!"
"Kalau begitu kau salah duga, Ki Wabah Langit," ujar Suto mulai mengurangi
ketegangannya. "Aku bukan orang Bukit Lahat!"
"Jangan dustai dirimu sendiri kalau kau tak berani hadapi dendamku ini, Kunyuk!"
"Aku memang bukan orang Bukit Lahat! Justru aku ingin pergi ke Bukit Lahat untuk
mengejar si Bayangan Setan itu!"
Wabah Langit diam sejenak, namun masih keluarkan
geram yang membuat Mahesa Gibas merinding lagi,
walau tetap bersembunyi di balik pohon besar itu.
Pandangan mata Wabah Langit masih tetap tajam dan
memancarkan dendam, namun beberapa kejap kemudian
ekspresi wajah itu mulai tampak ragu-ragu.
* * * 2 PONDOK kayu di dalam hutan mempunyai menara
pengawas cukup tinggi. Menara pengawas itu terbuat
dari empat batang pohon kelapa yang diberi tangga dari akar-akaran. Bagian
atasnya dibangun sebuah gubuk
kecil yang teduh dan nyaman beratap rumbia.
Pondok yang memiliki menara pengawas cukup
tinggi itu adalah kediaman si Wabah Langit. Hari itu, Pendekar Mabuk dan Mahesa
Gibas dibawa ke pondok
tersebut setelah Wabah Langit percaya bahwa Suto dan Mahesa Gibas bukan orangnya
si Bayangan Setan.
Rupanya lelaki tua itu menyimpan dendam kepada si
Bayangan Setan, sehingga ia menjadi cepat curiga
terhadap orang yang ingin menuju ke Bukit Lahat.
"Hutan ini adalah lereng terendah untuk menuju ke Bukit Lahat," ujar si Wabah
Langit setelah lukanya disembuhkan dengan meminum tuaknya Suto. Tentu
saja Suto pun mengobati dirinya dengan meminum tuak itu juga.
"Berapa lama Ki Wabah Langit tinggal di sini"!"
"Hampir dua puluh empat purnama. Kubangun
pondok ini sebagai tempat untuk menghadang orangorang yang datang dan pergi dari Bukit Lahat! Selama ini aku mengincar si
Bayangan Setan, namun tak pernah berhasil berhadapan dengannya. Dia memang
licik, gerakannya cepat dan menyerupai hantu tanpa wujud."
Mahesa Gibas ikut dengarkan kata-kata Wabah
Langit, namun posisi duduknya yang bersila tetap berada
di belakang Suto Sinting, ia masih takut terhadap tokoh tua yang galak dan kasar
itu. Bahkan kadang ia menjadi merinding sendiri jika bertepatan adu pandang
dengan Wabah Langit.
"Maafkan aku kalau tadi aku telah bertindak bodoh dengan menyerangmu! Kusangka
kau adalah orangnya si Bayangan Setan!" tutur Wabah Langit dengan sikap ksatria
sekali. "Semua ini ada manfaatnya, Ki. Tak perlu kau sesali hal itu. Aku lebih suka jika
kau mau menceritakan apa yang kau ketahui tentang si Bayangan Setan itu," ujar
Suto Sinting dengan sikap menghormat sekali.
"Aku pernah punya cucu tunggal bernama Danang
Pradana! Ia kubesarkan sejak usia delapan tahun, yaitu sejak kedua orangtuanya
tewas karena bencana alam.
Danang Pradana tumbuh menjadi pemuda yang gagah
dan tampan sepertimu. Tapi pada suatu hari, ia diculik oleh si Bayangan Setan
dengan bujukan mesumnya.
Kuakui, cucuku memang mata keranjang, sehingga
mudah jatuh dalam rayuan seorang perempuan. Entah
sifat siapa yang diwarisinya itu."
"Mungkin sifat kakeknya," celetuk Mahesa Gibas pelan sekali. Tapi karena jarak
mereka dengan Wabah Langit hanya dua langkah, maka celetukan itu didengar oleh
si Wabah Langit. Pak tua itu memandang Mahesa
Gibas dengan tajam, membuat Mahesa Gibas salah
tingkah menyembunyikan rasa takutnya. Akhirnya ia
bergeser ke kiri agar wajahnya tertutup punggung Suto.
Wabah Langit berkata datar, "Semasa masih muda
memang aku mata keranjang, tapi sekarang sudah tidak lagi! Catat dalam otakmu,
Bocah terkutuk: sekarang
sudah tidak lagi!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum kalem, padahal ia
ingin tertawa lepas melihat keangkeran si Wabah Langit yang menurutnya angkerangker kocak itu.
"Sejak cucuku diculik, aku selalu mengejar si
Bayangan Setan, tapi tak pernah berhasil menangkapnya.
Bahkan memergoki wujudnya pun tak pernah. Tapi
menurut beberapa orang yang pernah melihat wujudnya, si Bayangan Setan adalah
seorang wanita cantik yang menggiurkan dengan tato gambar kupu-kupu di
pahanya." "Kupu-kupunya betina atau jantan?" sela Mahesa Gibas, bagai celetukan tak
sengaja. Wabah Langit menyentak, "Aku tak sempat
memeriksanya, Tolol!"
Setelah diam sesaat, ia berkata lagi, "Mungkin aku tak akan sanggup memeriksa
tato di paha, sebab letaknya dekat dengan pusat tegangan tinggi."
Pendekar Mabuk tertawa pelan, ditahan agar tak lebih keras dari itu. Sementara
si Mahesa Gibas cekikikan di belakang Pendekar Mabuk, dan Wabah Langit tetap
berwajah angker, tanpa senyum sedikit pun, namun tak setegang tadi.
Pendekar Mabuk 088 Rahasia Bayangan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sejak cucuku dibawa lari oleh si Bayangan Setan, aku selalu memburunya, sampai
terakhir kali kudengar ia bersarang di Bukit Lahat. Kucoba menyelidiki Bukit
Lahat, tapi tak pernah kutemukan di mana letak
sarangnya itu. Satu-satunya jalan, kuhadang dia di sini.
Kubangun pondok ini dan akan kutinggalkan setelah si Bayangan Setan berhasil
kubunuh." "Tentang nasib cucumu sendiri itu bagaimana, Ki?"
tanya Suto. "Kabar yang kudengar dari seorang anak buah si Bayangan Setan yang berhasil
kucederai itu, ia
mengatakan bahwa Danang Pradana telah dibunuh,
sebagian dagingnya dimakan oleh perempuan itu. Bejat sekali perempuan itu!
Jahanam tingkat tinggi dia!"
geram si Wabah Langit sambil matanya menerawang
penuh kobaran api dendam kesumat yang agaknya sulit dipadamkan.
"Selama aku di sini, sudah lebih dari dua puluh orangnya si Bayangan Setan yang
mati kubunuh dan
mayatnya kubuang ke jurang sebelah timur sana. Setiap orang Bukit Lahat yang
berpapasan denganku tak pernah kuberi kesempatan berumur panjang. Tapi selama
ini, si Bayangan Setan tak pernah berhasil kupergoki. Itu yang membuatku jengkel
dan penasaran, sehingga bertekad
tetap di sini sebelum bertemu Bayangan Setan!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut dan menggumam
lirih. Setelah sama-sama bungkam beberapa helaan
napas, Suto pun mulai perdengarkan suaranya lagi.
"Tahukah kau tentang Samudera Kubur yang dulu
menjadi pusat kekuasaan si Bayangan Setan"!"
"O, yang ada di Pulau Blacan"! Itu sudah tak ada.
Sudah hancur dan membuat si Bayangan Setan
mengungsi berpindah-pindah tempat, sampai akhirnya ia
temukan Bukit Lahat sebagai tempat yang mungkin
menurutnya cukup aman untuk bersembunyi sambil
menyusun kekuatan kembali."
"Beberapa hari yang lalu kudengar ia perintahkan orang-orangnya yang menyerang
Kadipaten Madusari
untuk kembali ke Samudera Kubur. Lalu...."
"Bukit Lahat adalah Samudera Kubur!" sahut Wabah Langit. "Baginya, di mana ia
tinggal, di situlah Samudera Kubur. Mereka tak pernah menyebut Bukit
Lahat. Mereka menyebutnya Samudera Kubur. Sebab
dimana mereka tinggal, tempat itu akan menjadi kuburan bagi tulang-tulang para
korbannya. Tulang-tulang itu sangat banyak dan menyerupai samudera, sehingga di
mana mereka tinggal, tempat itu akan disebut sebagai Samudera Kubur."
"Oooo...," Suto Sinting manggut-manggut. Kini ia telah mendapatkan jawaban dari
pertanyaannya sendiri tentang Samudera Kubur dan masa kehancuran
Samudera Kubur delapan tahun yang silam.
"Kalau begitu, Rama Jiwana dibawanya ke Bukit
Lahat, bukan ke Pulau Blacan"!" ujar Suto. Tadi ia telah ceritakan misinya
sebelum dibawa ke pondok, termasuk tentang Andani.
"Ya. Tetapi jika kau tadi bercerita pernah bertemu dengan wanita cantik bertato
kupu-kupu di pahanya dan dia dalam keadaan sendirian, itu berarti Rama Jiwana
telah dibunuhnya, dimakan sebagian dagingnya, lalu
dikubur seenaknya sisa tulang dan daging si Rama
Jiwana itu. Selama ia bersama pria yang sedang
digandrunginya, ia tak akan mencari lelaki lain.
Keterangan itu kudapat dari salah seorang pengikutnya yang pernah kusiksa."
"Bagaimana menurutmu jika aku pergi ke Bukit
Lahat itu, Ki?"
"Kau tidak akan menemukan apa-apa, selain beberapa gundukan tanah yang jika
dibongkar berisi tulang
belulang para korban Bayangan Setan! Salah-salah kau akan masuk dalam
perangkapnya dan tertawan oleh si
perempuan cantik berjiwa setan itu!"
Setelah diam sesaat, Pendekar Mabuk ajukan tanya
lagi, "Kupikir, bukit itu harus dihancurkan hingga rata dengan tanah. Bagaimana
pendapatmu jika kulakukan
hal itu, Ki?"
"Jangan! Salah-salah tindakanmu akan merenggut korban yang tak tahu-menahu
tentang si Bayangan
Setan," jawab Wabah Langit dengan mata cekung masih tetap memandang dengan tajam
dan menyeramkan.
"Kalau tak memperhitungkan timbulnya korban tak bersalah, sudah dari dulu
kulakukan hal itu terhadap Bukit Lahat. Tapi di seberang Bukit Lahat, ada
perkampungan penduduk yang seluruh penghuninya
terserang penyakit kusta. Mereka sengaja menghabiskan sisa hidupnya di
perkampungan itu. Jika bukit tersebut kau hancurkan, maka ledakannya akan
menimbun perkampungan orang-orang kusta itu. Kasihan mereka."
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Dalam hatinya
sempat bergumam, "Ternyata orang ini punya hati yang lembut dan tidak seburuk
rupanya, ia memang tampak
galak, angker, dan kasar, namun sebenarnya jiwanya selembut sutera. Tak kusangka
Wabah Langit punya
perhitungan sematang itu."
Tiba-tiba Mahesa Gibas angkat bicara, khususnya
ditujukan kepada Suto.
"Mungkin si Bayangan Setan bersembunyi di
kampung kusta itu. Soalnya kalau dia ada di sana, orang-orang yang sehat seperti
kita tak ada yang berani
mendekati perkampungan itu, karena takut tertular
penyakit kusta!"
Wabah Langit menyahut, "Mana mungkin! Apakah
kau pikir si Bayangan Setan tidak takut ketularan
penyakit kusta juga?"
"Lho, siapa tahu dia punya baju anti kusta"!" Mahesa Gibas agak ngotot.
"Baju anti senjata tajam memang pernah kudengar.
Ilmu anti senjata tajam juga pernah kudengar. Tapi kalau baju anti kusta itu...
nenekmu yang merajutnya, ya"!"
kata Wabah Langit dengan nada dongkol, membuat Suto Sinting akhirnya tertawa
walau tak bersuara keras.
Mahesa Gibas cemberut dan tundukkan kepala, karena
mata tajam si Wabah Langit tertuju kepadanya.
Ketika mereka sama-sama bungkam dan keheningan
tercipta beberapa saat, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara jeritan yang
memanjang. Jeritan itu berasal dari tempat yang tak begitu jauh. Mereka bertiga
terperanjat kaget dan saling pandang.
"Suara jeritan"!" ucap Mahesa Gibas dengan tegang.
"Itu suara jeritan, bukan suara jahitan. Tolol!" bentak
Wabah Langit. Mahesa Gibas ingin ngotot
membenarkan ucapannya, tapi Pendekar Mabuk
memberi isyarat agar hal itu tak perlu dibahas. Mereka segera keluar dari
pondok. Blegaaarrr...! Baru saja mereka tiba di depan pondok, mereka
disambut oleh suara ledakan yang menggetarkan tanah bagai dilanda gempa. Wabah
Langit bicara sendiri.
"Sepertinya berasal dari perkebunan rumputku!"
Baru saja Suto Sinting ingin menanyakan tentang
perkebunan rumput itu, tahu-tahu Wabah Langit telah sentakkan kakinya ke tanah
dan tubuhnya melesat ke
atas dalam gerakan bersalto naik beberapa kali.
Wuuuk, wuk, wuk, wuk, wuk...!
Dalam sekejap ia sudah tiba di atas menara
pengawas. Bahkan sempat sedikit merusakkan tepian
atap gubuk pengawas itu. Rupanya dari atas menara
pengawas itulah si Wabah Langit mengintai mangsanya, menunggu lewatnya si
Bayangan Setan.
"Orang tua itu goblok, ya?" ujar Mahesa Gibas kepada Suto. "Buat apa diberi
tangga dari akar kalau naiknya ke sana pakai lompatan begitu"!"
"Keadaan darurat, jadi dia melakukannya dengan ilmu peringan tubuh!"
"Kurasa dia cuma pamer ilmu di depanmu, Suto. Dia sangka kau tidak bisa lakukan
hal itu." "Hmmm...!" Suto hanya tersenyum tawar.
"Atau mungkin kau memang tak bisa
melakukannya?"
"Mungkin tak bisa!" jawab Suto yang tak mau tergoda oleh bujukan Mahesa Gibas
untuk bersaing dengan ilmunya Wabah Langit.
"Suto, naiklah! Ada pertarungan di perkebunan
rumputku itu. Barangkali kau mengenali mereka yang
sedang bertarung!" seru Wabah Langit.
"Baik, Ki. Aku akan menyusulmu," jawab Suto, dan Mahesa Gibas tampak ceria
girang, ia mundur beberapa langkah memberi tempat pada Suto Sinting untuk
lakukan lompatan seperti Wabah Langit tadi.
"Ayo, Suto...! Lakukan seperti dia tadi!"
Suto mundur beberapa langkah, bersiap untuk
melompat. Mahesa Gibas menghitung.
"Satu... dua... tiga, huuup...!"
Pendekar Mabuk berlari tiga langkah, lalu
menyambar tangga akar dan mendaki tangga seperti
layaknya orang tak berilmu.
"Huuuh...! Kukira mau lompat pakai tenaga peringan tubuh, tak tahunya cuma mau
menyambar tangga dan
naik seperti beruk memanjat pohon kelapa! Sial!" gerutu Mahesa Gibas dengan
bersungut-sungut.
Di atas menara pengawas, Wabah Langit
menunjukkan tempat pertarungan tersebut. Pendekar
Mabuk melihat dua orang bertarung di padang rumput.
Mereka tampak jelas sekali, karena tak ada pohon
ataupun batu yang mengganggu pandangan mereka.
"Aku tidak kenal siapa mereka, siapa tahu kau
mengenalinya."
"Hmmm... aku hanya mengenali yang berbaju kuning
itu, Ki." "Siapa yang berbaju kuning itu"!"
"Dia salah satu orang kepercayaan si Bayangan Setan yang bernama Melon Kuning!"
"Dia kekayaan si Bayangan Setan"!"
"Orang kepercayaan!" ralat Suto agak keras.
"Ooh..."! Haram jadah kalau begitu!"
"Bukan! Namanya bukan haram jadah, tapi Melon
Kuning!" "Iya, aku dengar!" sentak Wabah Langit. "Tapi orang itu adalah haram jadah!
Artinya harus kumusnahkan
secepatnya. Apalagi dia menginjak-injak perkebunan
rumputku, itu sama saja menginjak-injak nasiku!"
"Nasi..."!" gumam Suto heran.
"Sebelum si Bayangan Setan mati, aku tak akan
makan nasi. Aku akan makan rumput! Oleh sebab itu,
kupiara rumput-rumput itu sebagai makananku jika aku merasa lapar!"
Blaaap...! Tiba-tiba orang tua itu lenyap dengan tinggalkan
letupan kecil yang berasap sangat tipis. Suto Sinting sempat kaget dan
kebingungan sendiri, ia mencari ke bawah, yang ada hanya Mahesa Gibas.
"Wabah Langit ada di situ, Mahesa"!"
"Tidak ada! Bukankah dia ada di atas bersamamu?"
"Hilang...!"
"Wah, mungkin digondol codot!"
Pendekar Mabuk memandang ke arah padang rumput
karena mendengar suara ledakan tadi. Ternyata Wabah
Langit sudah ada di sana. Mata Suto terkesiap dan hati pun membatin, "Gila!
Ternyata dia punya ilmu tinggi juga. Tahu-tahu sudah berada di sana. Seperti
ilmunya Batuk Maragam: sejauh mata memandang, sejauh itu
pula ia bisa pindah tempat dalam sekejap. Oh, aku akan ke sana untuk melihat
lebih dekat lagi!"
Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
Suto Sinting menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.
Pucuk-pucuk dedaunan dijadikan tempat berpijak tanpa membuat daun-daun itu
bergerak. Ilmu peringan
tubuhnya kali ini digunakan pula tanpa kesan pamer
kepada Mahesa Gibas atau si Wabah Langit. Dalam
sekejap ia sudah tiba di ladang rumput. Tapi Mahesa Gibas tak mengetahui hal
itu. Melon Kuning nyaris berhasil membunuh si gadis
yang menjadi lawannya. Tendangan mautnya yang dapat keluarkan cahaya merah
menyebar itu telah berhasil
kenai dada si gadis berbaju hitam dan bercelana sebetis warna hitam pula. Cahaya
merah menyebar mempunyai
kekuatan yang membakar sekaligus menghancurkan
benda apa pun yang dikenainya.
Dada si gadis tampak hitam sampai sebatas leher dan berlubang-lubang sebesar
paku. Gadis itu terkapar di rerumputan dalam keadaan sekarat. Melon Kuning
lakukan lompatan bersama pedangnya yang siap
dihujamkan ke perut si gadis. Tapi pada waktu itu
sebuah tenaga padat menghantamnya, buekh...! Melon
Kuning yang bertubuh tegap dan kekar itu terpental sejauh sepuluh langkah.
Weees...! Brrruk...!
Saat itulah ia melihat seraut wajah tua yang angker berjubah biru dengan ikat
kepala putih. Wabah Langit memandanginya penuh kobaran api dendam, ia tak
pedulikan keadaan si gadis. Seluruh perhatiannya
terpusat pada lelaki berusia sekitar lima puluh tahun yang mengenakan pakaian
serba kuning itu.
Lelaki itu bangkit sambil menggeram setelah
terbanting bagaikan karung beras dilemparkan dari atas punggung kuda. Matanya
yang kecil memandang ganas
kepada Wabah Langit. Pedangnya digenggam lebih kuat lagi, sambil suaranya
berseru dengan lantang.
"Siapa kau, Tua sekarat"!"
Wabah Langit tidak menjawab, justru balik bertanya,
"Benarkah kau orangnya si Bayangan Setan"!"
"Benar!" jawabnya tegas. "Kalau kau ingin kenal denganku, akulah si Melon
Kuning, orang andalan
Bayangan Setan!"
Tanpa banyak bicara lagi, Wabah Langit menerjang
Melon Kuning dengan tongkat dihentakkan ke depan.
Wesss, suuut...! Dari ujung tongkat itu keluar sinar biru lurus. Claaap...!
Melon Kuning menghadang sinar biru itu dengan pedangnya, sehingga sinar itu
bukan menghantam dada melainkan menghantam pedangnya
yang mengeluarkan asap kuning.
Blaarr...! Melon Kuning terlempar oleh gelombang ledakan
yang timbul dan sempat menggertakkan padang rumput
itu. Wabah Langit hanya terpelanting ke belakang,
namun tak sempat jatuh, ia tertumpu pada tongkatnya
hingga tetap berdiri dengan kaki sedikit ditekuk.
Pada saat itu, Pendekar Mabuk tiba di tempat dan
segera menolong gadis berbaju hitam. Mulut si gadis yang tercengap-cengap dalam
keadaan nyawa hampir
lepas itu segera diguyur dengan tuak. Sebagian tuak tertelan oleh si gadis.
Kejap berikutnya, gadis itu tersedak dan terbatuk-batuk. Namun luka hangusnya
mulai menyurut, lubang-lubang sebesar paku mulai
Pendekar Mabuk 088 Rahasia Bayangan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merapat. Pendekar Mabuk tak risaukan gadis itu lagi. Kini
perhatiannya tertuju ke arah pertarungan Wabah Langit dengan Melon Kuning.
Agaknya Wabah Langit tak ingin beri kesempatan kepada orangnya si Bayangan Setan
sedikit pun. Ia segera menyerang dengan kibasan
tongkatnya. Wuut, wuuut, wuuut...!
Setiap kibasan tongkat menaburkan serbuk putih
berkilauan. Serbuk itu jelas serbuk beracun. Tapi Melon Kuning segera sentakkan
tangan kirinya yang
menyemburkan asap kuning bersama cukup kencang.
Woooss...! Serbuk mengkilap itu berbalik menerjang
Wabah Langit. Werrss...!
"Aaakh....!"
Wabah Langit memekik
sambil terhuyung-huyung mundur. Matanya menjadi buta,
tubuhnya mulai berasap, ia terkena jurus mautnya
sendiri. "Terimalah ajalmu ini, Tua Keropos! Heaaah...!"
Melon Kuning lakukan lompatan cepat dengan
pedang berasap kuning ditebaskan ke arah kepala Wabah Langit.
Wuuuut...! Namun sebelum pedang itu membelah kepala si
Wabah Langit, Pendekar Mabuk sudah lebih dulu
berkelebat menerjang bersama bumbung tuaknya.
Zlaaap...! Traaang...!
Pedang itu mengenai bumbung tuak, memercikkan
bunga api yang menyambar ke wajah si Melon Kuning
sendiri. Wuurrs...!
"Aaaow...!"
Dan kaki Suto Sinting menendang dengan cepat ke
dada Melon Kuning. Dees...! Wuuut, brruk...! Melon Kuning jatuh terkapar dalam
jarak tujuh langkah.
Pendekar Mabuk segera daratkan kakinya ke tanah, lima langkah dari samping kanan
si Wabah Langit.
Pada saat itu, Wabah Langit mengerjap-ngerjapkan
matanya. Mata itu mengucurkan darah bersama kulit
tubuhnya yang mulai mengelupas mengerikan. Namun
samar-samar ia masih bisa melihat bayangan warna
kuning yang segera bangkit dari kejatuhannya. Wabah Langit segera sentakkan
tongkatnya sambil kakinya
menghentak ke bumi. Duuuhk, wwesss...!
Claap... ! Seberkas sinar biru berbentuk bintang
melesat dari kepala tongkat tersebut. Sinar itu sangat cepat dan tak sempat
ditangkis maupun dihindari oleh Melon Kuning yang baru saja bangkit itu.
Crrraas...! "Aaakhrrr...!"
Sinar biru berbentuk bintang menerjang leher Melon
Kuning. Leher itu langsung putus tanpa permisi lagi. Tak ada ledakan, tak ada
suara apa pun kecuali suara napas
yang serak dari mulut Melon Kuning. Kejap berikut,
kepala si Melon Kuning jatuh dan menggelinding di
rerumputan. Bluuuk...! Sedangkan sinar biru berbentuk bintang itu melayang
memutar arah dan ketika Wabah Langit mengangkat tongkatnya dengan kepala
tertunduk, sinar biru itu masuk kembali ke kepala tongkat yang berbentuk
bintang. Suuurb...!
"Oouh...!" Wabah Langit sendiri jatuh berlutut, kekuatannya semakin menipis
menahan rasa sakit. Kulit tubuhnya makin mengelupas, menampakkan rona merah
daging yang mengerikan.
"Ki Wabah Langit..."!" sentak Suto Sinting dengan tegang, ia buru-buru hampiri
orang tua itu, tapi tak tahu harus memegang bagian apanya, karena semua kulit
tubuh mengelupas dan tentu saja sangat perih.
"Tengadahkan kepalamu, buka mulutmu, lekas
lakukan, Ki!" Suto Sinting tampak panik sekali. Untung si Wabah Langit mau
lakukan perintah itu, sehingga Suto Sinting segera menuangkan tuaknya ke mulut
si Wabah Langit. Si gadis berpakaian hitam itu segera hampiri Wabah Langit. Rupanya ia telah
sehat, tak merasakan sakit sedikit pun, bahkan ia merasa tubuhnya lebih segar
dari sebelumnya. Langkahnya terhenti ketika matanya beradu pandang dengan Suto
Sinting, ia terperangah dengan
bibir ranumnya yang menggairahkan itu merekah indah.
"Oooh..."!" mata bundar bening itu pun terbelalak ketika Suto Sinting
sunggingkan senyum tipis
kepadanya. "Kalau boleh kutahu, siapa namamu, Nona?" tanya Suto Sinting tanpa pedulikan si
Wabah Langit yang jatuh tersungkur ke depan setelah menenggak tuaknya Suto
beberapa teguk tadi.
"Ehhmmm, eeeh, hhmm...," lidah itu bagaikan kelu.
"Jangan gugup. Tenang saja!" ujar Suto sambil mendekatinya. Gadis itu semakin
grogi dan salah
tingkah. "Namaku Suto Sinting. Namamu...?"
"Suto Sinting. Eh, anu... hmmm... ehhh...."
Pendekar Mabuk akhirnya tertawa geli walau tanpa
suara. Si gadis semakin tersipu dan wajahnya yang
berkulit kuning langsat itu menjadi berwarna merah
dadu. "Namaku Suto Sinting," ulang Suto kalem. "Namamu siapa, Nona cantik?"
"Namaku cantik, ehh, anu... bukan. Tapi, iya... ehhh, bukan, bukan...!"
"Lucu sekali gadis ini," pikir Suto. "Segagap itukah ia jika bertemu dengan
seorang pemuda?"
* * * 3 MEREKA bermalam di pondok si Wabah Langit.
Ternyata gadis cantik berhidung bangir itu bernama
Mayangsita. Ia bisa menyebutkan namanya setelah
Wabah Langit yang menanyakan nama itu.
Anehnya jika ia diajak bicara oleh Mahesa Gibas, ia dapat menjawab selancar
bicara dengan Wabah Langit.
Tapi jika Suto Sinting yang ajukan tanya atau mengajak bicara, Mayangsita selalu
gugup dan sering latah dalam memberi jawaban.
"Mengapa bisa begitu?" tanya Mahesa Gibas dengan senyum-senyum dan matanya
mengerling mirip orang
cacat. "Aku... aku memang selalu gugup jika berhadapan dengan pemuda tampan. Terlebih
jika hatiku berdebar-debar penuh keindahan, aku jadi salah tingkah dan
sepertinya seluruh kata-kata hilang dari ingatanku,"
jawab Mayangsita dengan lancar.
"Mengapa kau bisa bicara lancar denganku?" tanya Mahesa Gibas.
Suto Sinting yang diam-diam menguping percakapan
bisik-bisik itu segera menyahut, "Karena kau jelek!"
Lalu, tawa Suto terdengar saat Mahesa Gibas
menggerutu tak jelas sambil cemberut.
Wabah Langit yang berwajah seram itu justru tidak
membuat gugup si Mayangsita. Ketika ditanya asalusulnya dengan suara menggeram angker, Mayangsita
dapat menjawab dengan lancar pula.
"Aku dari Lembah Randu, murid Eyang Panujum."
"Panujum"!" Wabah Langit menyentak karena kaget.
Suaranya yang serak menyeramkan itu membuat Mahesa
Gibas terlonjak dalam keadaan bersila. Akhirnya ia
tertawa sendiri cekikikan sambil berlindung di belakang Suto Sinting yang juga
tersenyum-senyum menahan
tawa. Mahesa Gibas segera hentikan tawanya ketika
mata angker si Wabah Langit menatap ke arahnya.
"Bocah terkutuk! Ada orang tua kaget ditertawakan!"
geram Wabah Langit dalam gerutu.
"Mengapa kau terkejut mendengar nama guruku, Ki Wabah Langit?"
"Semasa muda, aku belajar jurus pedang dari si Panujum. Usianya lima belas tahun
lebih tua dariku.
Sejak peristiwa Geger Teluk Sakar, kami berpisah dan sejak itu tak pernah
berjumpa lagi."
"Oh, kalau begitu alangkah senangnya Eyang Guru jika beliau tahu aku telah
bertemu dengan sahabat
lamanya dan Salting, eh... Suto Siring, eh... Suto...
Suto...." "Suto Sinting!" tegas Mahesa Gibas.
"O, iya...! Suto Sinting!" lalu Mayangsita tersenyum malu, tak berani melirik
Pendekar Mabuk yang ada di samping kirinya, sama-sama menghadap si Wabah
Langit. "Apakah gurumu tahu kalau kau berada di sini?"
tanya Wabah Langit.
"Tidak. Aku sengaja pergi mengejar begundalnya si Bayangan Setan tanpa pamit
kepada Eyang Guru. Sebab jika aku pamit kepada beliau, pasti tak akan
diizinkan."
"Kalau begitu kau adalah murid yang bandel,
Mayangsita!"
"Aku terpaksa membandelkan diri," jawabnya terus
terang. "Mengapa kau sampai nekat mengejar si Melon
Kuning?" kali ini Suto yang bertanya.
Untuk hindari kegugupannya, Mayangsita menjawab
dengan wajah tertunduk, tak berani melirik Suto sedikit pun.
"Ia melumpuhkan kakak lelakiku yang bernama
Kumbara, lalu menyerahkannya kepada perempuan
cantik yang bertato kupu-kupu di pahanya. Menurut
Eyang Guru perempuan itu berjuluk si Bayangan Setan yang sulit ditumbangkan."
"Kapan hal itu terjadi?" potong Suto.
"Tiga purnama yang lalu," jawab Mayangsita masih tetap menunduk. "Maka ketika
aku melihat si lelaki berpakaian kuning itu menyeberangi Sungai Kapas, aku
segera memburunya!"
"Cukup berani juga kau, ya?" ujar Pendekar Mabuk sambil manggut-manggut.
Mayangsita tetap tundukkan
wajah, tak berani melirik Suto karena takut menggeragap lagi.
Wabah Langit berkata, "Lain kali kau tak boleh sebodoh itu, Mayangsita! Kau bisa
modar di tangan
orang berpakaian kuning tadi. Untung saja ada aku dan Suto Sinting. Bahkan jika
tak ada Suto Sinting, agaknya aku pun akan mengalami cedera melawan si Melon
Kuning tadi! Kita patut berayukur dan berterima kasih dengan adanya Suto Sinting
di tempat ini!"
"Lupakan tentang pertolonganku itu," sahut Suto.
"Kulakukan karena sudah merupakan kewajibanku
sesuai ajaran Guru."
"O, aku belum sempat mengenal siapa gurumu, Suto.
Melihat gerakanmu yang sangat cepat dan kesaktian tuak di dalam bumbung bambu
itu, aku jadi ingin tahu siapa gurumu sebenarnya?" tanya si Wabah Langit.
"Guruku orang biasa-biasa saja, Ki. Ia dikenal dengan nama si Gila Tuak."
"Hahhh..."!" Wabah Langit tersentak dan lebarkan mata. Mahesa Gibas terlonjak
lagi karena kaget.
"Mengapa kau terkejut sekali mendengar nama
guruku, Ki" Apakah kau juga mengenal beliau?"
"Siapa orang yang tak kenal nama si Gila Tuak, tokoh tertinggi di rimba
persilatan ini"! Semua orang
mengenalnya, termasuk aku. Tapi aku sangat tidak
menduga kalau kau adalah muridnya Kakang Sabawana
alias si Gila Tuak itu."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum wajar, ia
melirik Mayangsita, ternyata gadis itu sedang
menatapnya dengan mata tak berkedip dan bibir merekah pertanda terbengong sejak
tadi. Pendekar Mabuk makin lebarkan senyum. Jari tangannya usil menyentil bibir
itu. "Kenapa bengong"!"
"Kaa... kalau begitu kau... kau adalah Pendekar Bauk, ehhh... Pendekar Mabur,
eeh... Pendekar Tubruk, eeeh, hmm... Pendekar...."
"Pendekar Mabuk!" sentak Mahesa Gibas
membetulkan. "Iiiy... iya... yang kumaksud nama itu tadi!"
"Pendekar apa tadi"!" goda Mahesa Gibas.
"Pendekar Sabuk, eeh...."
"Nah, salah kan" Ikuti aku... Pendekar...."
"Pendekar...."
"Mabuk...."
"Mabuk," Mayangsita menirukan.
"Pendekar apa tadi?"
"Pendekar Serbuk, eh, anu... maaf, Pendekar...."
"Sudah, sudah...!" bentak Wabah Langit kepada Mahesa Gibas. "Jangan digoda
terus!" "Iya, jangan!" sahut Mayangsita dengan latah.
"Nanti dia malu!"
"Malu sekali! Eh, anu, maaf...!" sambil matanya melirik Suto dan salah tingkah.
Akhirnya Mayangsita buang muka ketika Suto Sinting tertawa tanpa suara dan
sengaja alihkan pandangannya ke arah Wabah Langit.
"Sebaiknya antar gadis itu pulang ke Lembah Randu.
Jangan sampai ia menjadi korban keganasan si
Bayangan Setan dan para pengikutnya."
Mahesa Gibas langsung menyahut, "Baik, aku akan mengantarkannya!"
"Aku bicara kepada Suto!" bentak Wabah Langit.
Mahesa Gibas mengkerut seperti kerupuk terkena udara dingin.
"Lembah Randu tak seberapa jauh dari sini jika memotong jalan menyeberangi
Sungai Kapas," tambah si Wabah Langit.
"Aku tidak mau pulang!" sahut Mayangsita dengan memandang tegak kepada Wabah
Langit. "Jangan bandel kau, Mayangsita! Kau murid
sahabatku, dan kuanggap muridku sendiri! Kau harus
pulang demi keselamatanmu!"
"Tidak! Aku tidak akan pulang sebelum membunuh si Bayangan Setan dan merebut
kakakku dari tangannya!"
"Kakakmu sudah mati!"
"Tidak! Kumbara belum mati! Pasti dia sedang
berusaha membebaskan diri dan butuh bantuan!"
"Dari mana kau tahu"!"
"Firasatku mengatakan demikian, Ki!"
"Bodoh!" bentak Wabah Langit dengan mata cekung melebar. "Jangan mau mati konyol
melawan orang yang tidak sebanding dengan ilmu yang kau miliki,
Mayangsita!"
Gadis itu bangkit berdiri dengan cemberut.
"Aku tetap tidak mau pulang! Aku rela mati demi membela kakakku!"
Wabah Langit pun berdiri dengan berang.
"Gadis tolol! Walau kau mati, Kumbara belum tentu selamat! Jadi buat apa mati
demi yang sudah telanjur mati! Kecuali kau punya siasat untuk loloskan diri jika
terancam bahaya, itu tak jadi soal! Tapi kalau kau tak punya siasat dan hanya
modal nekat, sama saja mati
gantung diri!"
"Tapi... tapi aku sayang kepada Kumbara, dia... dia satu-satunya saudaraku...."
Mayangsita mulai tampak lelehkan air mata dukanya. "Kalau... kalau dia tewas,
aku tak punya siapa-siapa lagi! Lalu, untuk apa aku hidup tanpa saudara dan
keluarga...."
Mayangsita menangis, kemudian buru-buru keluar
Pendekar Mabuk 088 Rahasia Bayangan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari pondok. Pendekar Mabuk bergegas menyusulnya.
Mahesa Gibas juga menyusulnya. Tapi tiba-tiba baju
belakangnya dicekal oleh Wabah Langit.
"Biarkan Suto yang menangani tangisnya! Kau duduk di sini saja bersamaku!"
"Yaaah, apesss...!" keluh Mahesa Gibas, mau tak mau menurut apa perintah si
wajah angker itu.
"Melumpuhkan si Bayangan Setan, tidak semudah
melumpuhkan si Melon Kuning atau yang lainnya! Perlu dipelajari berhari-hari
bahkan berbulan-bulan. Salah langkah sedikit, nyawa kita melayang. Mengerti"!"
Mahesa Gibas hanya mengangguk dan tetap
tertunduk dengan hati dongkol.
"Karena itu, kau harus selalu ingatkan Suto Sinting agar segala langkahnya harus
diperhitungkan masak-masak. Jangan sampai ia melangkah secara gegabah,
akhirnya akan menjadi santapan empuk bagi si
Bayangan Setan!"
Mahesa Gibas mengangguk sambil menahan rasa
merinding di kuduknya.
Pendekar Mabuk sempat clingak-clinguk dibuat
bingung setelah sampai di luar pondok. Yang ada hanya kegelapan, sedangkan
Mayangsita tak terlihat di sudut mana pun. Bahkan suara tangisnya tak terdengar.
Pendekar Mabuk mencoba melangkah ke samping
pondok, bahkan sampai mengitari pondok itu, namun
Mayangsita tak berhasil ditemukan, baik orangnya
maupun suaranya.
"Kurasa ia kecewa sekali dengan kata-kata Ki Wabah
Langit," ujar Suto membatin. "Gadis itu tampaknya benar-benar sedih dan
tangisnya itu dapat memaksa
dirinya untuk kabur dari pondok ini. Wah, gawat kalau sampai ia kabur! Malammalam begini, keadaan gelap
gulita tanpa sinar rembulan, ke mana arah pelariannya"
Salah-salah ia akan terperosok ke jurang sebelah timur sana!"
Pendekar Mabuk menjadi cemas, ia mencoba naik ke
menara pengawas, memandang ke arah padang rumput
yang tentunya jika ada orang melintas di sana dapat terlihat walau hanya bayangbayang. Dugaan Suto Sinting ternyata memang benar, ia
melihat sesosok bayangan berlari cepat melintasi padang rumput itu.
"Tak salah lagi, pasti itu si Mayangsita! Mau ke mana dia"! Aku harus segera
menahan gerakannya agar tak menemui bahaya!"
Zlaaap, zlaaap...! Tanpa pamit Wabah Langit dan
Mahesa Gibas, Pendekar Mabuk segera mengejar
bayangan yang melintas di padang rumput itu. Ia sengaja tak timbulkan suara,
atau memanggil Mayangsita. Sebab dikhawatirkan, jika gadis itu mendengar
suaranya, belum tentu akan berhenti, bisa jadi bahkan akan semakin
percepat larinya dan sukar ditahan lagi.
Namun gerakan Suto Sinting yang menggunakan
Jurus 'Gerak Siluman' itu sepertinya tak mampu
menyusul kecepatan lari si bayangan tersebut.
Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
"Gila! Sulit sekali mengejarnya"! Sepertinya dia
mempunyai kecepatan gerak yang melebihi jurus 'Gerak Siluman' ku ini"!"pikir
Suto Sinting sambil tetap lakukan pengejaran.
Bayangan yang dikejarnya menyelinap ke sana-sini,
sehingga sukar dipotong langkahnya. Kadang justru Suto Sinting salah arah karena
bayangan itu membelok
dengan cepat. Terpaksa ia berbalik lagi dan mengejarnya kembali.
"Gawat! Semakin masuk ke dalam kerimbunan hutan, semakin sukar mataku melihat
gerakannya," geram hati Suto mulai jengkel.
Untung saja saat keluar dari pondok tadi, Suto sempat menyambar bumbung tuaknya,
ia pikir dengan
membujuk Mayangsita untuk meminum tuaknya dapat
menghilangkan rasa sedih dan kemarahan si gadis itu.
Tapi karena gadis tersebut melarikan diri, maka
bumbung tuak itu pun tetap dibawanya dalam lakukan pengejaran. Bumbung itu kini
diselempangkan di
punggung hingga gerakan Suto menjadi lebih leluasa
lagi. Tanpa disadari, pengejaran itu telah membuatnya
jauh dari pondok si Wabah Langit. Semakin jauh
keadaan semakin gelap. Bahkan Pendekar Mabuk
merasa bergerak sembarangan tapi tidak membentur
pohon atau dedaunan sedikit pun. Mungkin karena
semakin lama semakin cepat lagi jurus 'Gerak Siluman'nya yang kecepatannya menyerupai kecepatan cahaya
itu, sehingga benda apa pun yang disentuhnya tak
sempat dirasakan.
"Aneh! Mengapa sejak tadi aku tidak menabrak
sebatang pohon pun" Padahal aku tak melihat di mana ada pohon dan di mana tempat
yang kosong"!" pikir Suto Sinting.
Beberapa saat kemudian, ia mulai kurangi kecepatan
geraknya sambil membatin, "Wah, sepertinya ada yang tak beres di sekitarku ini"
Gelap sekali, mataku seperti telah jadi buta, tak bisa melihat bayangan sedikit
pun. Oh, di mana aku sebenarnya"!"
Tangan Suto sengaja meraba-raba sekelilingnya, tapi ia tidak menyentuh pohon
maupun dedaunan. Bahkan
semak ilalang pun tak tersentuh olehnya.
"Celaka! Apa yang terjadi ini" Kakiku seperti tidak menginjak tanah. Ooh... tak
ada sesuatu yang bisa
kusampar"!"
Hati pemuda itu mulai berdebar-debar. Tegang.
Bumbung tuaknya segera dipindahkan tempatnya dari
punggung ke pundak. Talinya dipegang kuat-kuat,
sewaktu-waktu tinggal ambil dan dikibaskan ke mana
saja, tergantung datangnya bahaya. Ia mempertajam
seluruh inderanya, agar cepat bisa mengetahui jika ada gerakan yang
mendekatinya. "Sebaiknya jangan teruskan melangkah sebelum aku tahu di mana keadaanku sekarang
ini dan mengapa
kakiku bagai tak menyentuh tanah"!" ujarnya membatin sambil hentikan langkah.
Dada mulai merasa sakit, pernapasan terasa sesak.
"Sepertinya aku menghirup udara tak sehat! Tubuhku terasa lemas, makin lama
paru-paruku semakin berat
untuk bernapas. Oh, aku yakin diriku telah berada dalam keadaan yang ganjil.
Sebaiknya kuminum dulu tuakku
untuk melonggarkan pernapasan ini."
Keganjilan semakin terasa ketika Suto Sinting
menenggak tuaknya, gerakan tangannya terasa berat dan lamban. Membuka tutup
bumbung pun terasa sulit,
walau akhirnya berhasil juga. Tuak berhasil
ditenggaknya, tapi ada sisa yang disimpan di mulut.
Nalurinya bekerja lebih peka lagi, sehingga tiba-tiba tuak di mulut itu
disemburkan ke depan. Jurus 'Sembur Bromo Wiwaha' dipergunakan oleh Pendekar
Mabuk. Bwwwuurss...! Blaaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi. Nyala sinar merah menyebar dalam sekejap pada saat
ledakan itu menggelegar. Tuak yang disemburkan dengan kekuatan jurus 'Sembur
Bromo Wiwaha' itu memercikkan bunga api, dan bunga
api itu menimbulkan ledakan saat kenai gumpalan kabut hitam yang ternyata tadi
telah membungkus Suto Sinting dan membuat kaki Suto melayang tak menginjak
tanah. Tubuh Suto terlempar dan jatuh di semak-semak.
Brruss...! Kini ia dapat merasakan sentuhan pada semak ilalang dan sakitnya paha tertusuk
duri. Pandangan matanya pun tak segelap tadi. Bahkan ia dapat melihat sekelebat
bayangan yang mendekat.
Pendekar Mabuk sempat berpikir, "Rupanya aku tadi bukan mengejar Mayangsita!
Seseorang telah
menyerangku dengan jurus anehnya yang membuat
tubuhku terbungkus dalam kabut hitam. Pantas
pandanganku jadi seperti orang buta dan napasku makin memberat. Untung kabut itu
bisa kuhancurkan dengan
jurus 'Sembur Bromo Wiwaha'. Kalau tidak mungkin
aku bisa... eh, ada yang mendekatiku! Sepertinya bukan sosok bayangan
Mayangsita. Bentuk bayangan hitam si Mayangsita tak akan sebesar itu."
Pendekar Mabuk cepat-cepat bangkit. Tapi seberkas
sinar merah telah lebih dulu melesat ke arahnya. Sinar itu berbentuk seperti
sebatang anak panah yang berpijar-pijar. Claap...!
"Kurang ajar!" geram Suto sambil menyentakkan tangan kirinya, dan dari telapak
tangan kiri itu
melesatlah sinar hijau ke arah datangnya sinar merah tersebut. Claap, weess...!
Jurus 'Pecah Raga'
dipergunakan dengan gerakan refleks.
Tapi sinar merah lawan lupa tak dihindari. Ketika
sadar, sinar itu sudah berada di depan dadanya. Pendekar Mabuk segera limbung ke
kanan. Jrras...!
"Aaaakh...!" sinar merah itu menghantam tepat di bawah pundak kirinya. Rasa
sakit menyengat dari kepala sampai kaki. Saat itu, sinar hijaunya pun mengenai
sasaran dengan timbulkan suara ledakan
yang menggelegar. Blagaarr...! Tapi setelah itu, Pendekar Mabuk tak mampu ingat
diri lagi. Ia jatuh di semak-semak yang rimbun dalam keadaan pingsan. Tubuhnya
menelungkup, menindih
bumbung tuaknya. Untung tutup bumbung tuak tak
terbuka, sehingga tuak tak sempat tumpah.
Ledakan itu terdengar hingga di pondok si Wabah
Langit. Tapi suara ledakan itu sangat pelan, sayup-sayup sekali, sehingga Wabah
Langit menyangka ada
pertarungan di tempat yang jauh dari pondoknya.
Semula ia sempat gelisah, karena Pendekar Mabuk dan Mayangsita tak segera masuk
ke pondok, ia ingin
memeriksanya, tapi Mahesa Gibas segera beranikan diri berkata.
"Suto pasti mendengar suara ledakan itu. Kalau ledakan itu berbahaya, ia pasti
akan memberitahukan kita, Ki!"
Kata-kata yang terlontar seenaknya itu membuat
Wabah Langit menjadi ragu untuk memeriksa keadaan di luar pondoknya. Padahal
Mahesa Gibas hanya ingin
membalas tindakan Wabah Langit yang tadi
melarangnya keluar dari pondok saat mau ikut mengejar Mayangsita. Akhirnya
mereka berdua duduk kembali
dan Mahesa Gibas banyak menerima wejangan dari
Wabah Langit. Suka ataupun tidak, Mahesa Gibas
terpaksa tetap mendengarkan wejangan tersebut.
Sebenarnya Wabah Langit mulai merasa tak enak
dalam hatinya. Seperti ada sesuatu yang meresahkan.
Tapi perasaan itu dilawan dengan pertimbangan
nalarnya, bahwa Mayangsita kecewa atas kekerasan
ucapannya tadi dan sekarang Suto sedang membujuknya.
Jika ia ikut keluar, Mayangsita belum terbujuk, maka usaha Suto akan sia-sia.
Sampai larut malam, Wabah Langit masih banyak
berikan beberapa wejangan kepada Mahesa Gibas.
Padahal Mahesa Gibas telah terkantuk-kantuk dan
berulang kali menguap. Sampai akhirnya Mahesa Gibas tertidur dalam keadaan duduk
bersila dan kepala
tertunduk, Wabah Langit masih berceloteh dengan
maksud memberikan pengetahuannya kepada Mahesa
Gibas. Sekalipun ia tampak keras kepada Mahesa Gibas, namun hatinya sebenarnya
merasa berdamai dengan si
'bocah terkutuk' itu.
Ketika matahari mulai bersinar, Wabah Langit jatuh
bersandar dinding dalam keadaan tertidur. Pada saat itu pula di balik kerimbunan
semak, Pendekar Mabuk baru saja siuman, ia segera menyadari tubuhnya terluka dan
luka itu mulai membusuk. Maka ia pun buru-buru
meminum tuaknya, sehingga luka itu cepat mengering
lalu hilang bagai tak pernah mengalami luka apa pun.
Embun pagi yang terserap matahari masih terasa
membasah di permukaan dedaunan. Pendekar Mabuk
segera ingat peristiwa yang dialaminya semalam.
"Sepertinya pukulan 'Pecah Raga'-ku juga kenai sasaran. Entah apa yang
dikenainya, mungkin manusia, mungkin pohon, mungkin juga batu. Tapi sebaiknya
kuperiksa sekitar sini untuk mengetahui apa yang telah terhantam oleh jurus
'Pecah Raga'-ku semalam"!
Ternyata jurus itu telah mengenai seseorang yang
berpakaian hijau. Raga orang tersebut dalam keadaan pecah, menyebar ke manamana. Namun dari potongan-potongan tubuh yang agak besar, Suto Sinting dapat
mengenali siapa orang itu. Terutama setelah ia
menemukan sisa potongan topi kain abu-abu kebiruan
yang ujungnya berhias bola kain kecil, Suto Sinting yakin betul bahwa orang yang
terkena jurus 'Pecah
Raga'-nya itu adalah si Gober.
Gober adalah orang andalan si Bayangan Setan juga
yang dulu pernah bertarung melawan Suto. Orang
berbadan agak gemuk dan berkumis lebat itu pernah
menyebarkan kabut beracun yang sempat membuat
beberapa penduduk kadipaten nyaris mati keracunan jika tak segera ditolong
dengan menggunakan tuak Suto,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Buronan Cinta Sekarat"). Saat itu,
Gober segera larikan diri karena perintah dari si Bayangan Setan agar mereka
segera kembali ke Samudera Kubur.
"Rupanya orang yang semalam kukejar itu adalah si Gober. Pantas ia dapat
melawanku dengan menggunakan kabut hitamnya, rupanya kekuatan yang diandalkan
selalu dalam bentuk kabut atau asap beracun!"
Dalam renungannya, Suto tak lupa bertanya-tanya,
"Ke mana perginya si Mayangsita itu" Apakah ia ditangkap oleh si Gober" Tapi tak
ada jejaknya di sekitar sini. Dan kulihat bayangan yang kukejar memang
sendirian, tidak memanggul seseorang. Mungkin si
Gober dalam perjalanan pulang ke Bukit Lahat, dan kebetulan melintasi padang
rumput itu lalu kukejar.
Dalam kegelapan malam ia sempat melepaskan jurus
berkabutnya yang tak kuketahui, dan kabut itu
membungkusku beberapa saat."
Kini yang jadi pusat pemikiran Suto adalah perginya Mayangsita. Ia sangat
mencemaskan gadis itu, sehingga
ia berniat mencarinya di sekitar tempat itu sebelum pulang ke pondok si Wabah
Langit. "Sayang sekali aku tak bisa mengikuti si Gober.
Kalau saja tadi malam aku berhasil menguntit si Gober, maka dapat kuketahui di
mana si Bayangan Setan dan
para pengikutnya itu bersarang," ujar Suto membatin sambil melangkah di selasela pepohonan hutan yang
rimbun itu. Untuk memudahkan gerakannya, ia segera melesat ke atas pohon dan
melesat dari pohon ke pohon sambil pandangi keadaan di sekitarnya.
Tiba-tiba didengarnya suara rintihan kecil yang
belum diketahui dari mana datangnya. Rintihan kecil itu seperti tangis seorang
gadis yang terbawa angin pagi.
Pendekar Mabuk hentikan gerakan dan menyimak
suara tangis kecil itu dengan pergunakan ilmu 'Sadap Suara', hingga suara
tersebut menjadi jelas dan diketahui tempatnya.
Pendekar Mabuk 088 Rahasia Bayangan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh, sepertinya berasal dari pohon besar yang
berdaun rimbun itu"!" pikirnya, lalu ia pun segera melesat ke pohon besar
tersebut dengan pergunakan
ilmu peringan tubuh yang dinamakan jurus 'Layang
Raga', dipadu dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya itu.
Zlaaap, zlaaap...! Weess...!
Dalam beberapa kejap, Pendekar Mabuk sudah
sampai di salah satu dahan pohon besar tersebut. Suara isak tangis itu semakin
jelas. * * * 4 TERNYATA gadis yang menangis itu adalah
Mayangsita. Ia duduk meringkuk di atas dua dahan besar yang membentuk sudut
dengan dagu diletakkan di atas lututnya. Wajah gadis itu tampak berlinang air
mata. Pendekar Mabuk tak berani langsung mendekatinya.
"Kalau tak hati-hati mendekatinya dia akan marah dan terjun begitu saja tanpa
memperhitungkan bahaya,"
pikir Suto. "Kalau langsung mati masih mending, tapi kalau patah leher dulu, kan
sama saja menyiksa"!"
Pendekar Mabuk biarkan dulu gadis itu habiskan
dukanya, ia menunggu dengan sabar sampai isak tangis itu makin lama makin
menipis, lalu hilang tak terdengar lagi. Gadis itu melamun dengan wajah
murungnya. Lalu untuk tak mengagetkan si gadis, Pendekar Mabuk batuk-batuk
kecil, sehingga menarik perhatian si gadis.
"Oh..."!" gadis itu hanya terperanjat sedikit kala melihat Suto Sinting ada di
dahan seberangnya.
"Mayangsita, bolehkah aku mendekatimu?" sapa Suto Sinting dengan lembut.
Mayangsita sibuk mengeringkan sisa air mata, senyumnya serba canggung. Senyum
itu diartikan Suto sebagai izin untuk mendekat.
Pohon besar itu mempunyai banyak dahan lebar dan
besar. Rata-rata dahan tersebut berbentuk pipih, bukan bulat seperti kayu
gelondong. Pohon itu adalah jenis pohon beringin besi, yang mempunyai kekuatan
melebihi pohon jati. Banyaknya dahan yang tumbuh
membuat pohon itu mempunyai tempat yang enak untuk
duduk, bahkan bisa untuk berbaring bagi para
pengembara yang membutuhkan tempat beristirahat.
Agaknya Mayangsita sudah semalaman berada di
pohon beringin besi itu. Ia menemukan dahan yang lebar dan membentuk sisi sudut,
sehingga punggungnya dapat bersandar dan kakinya bisa selonjor santai. Ketika
Pendekar Mabuk mendekatinya, dahan itu masih tersisa dipakai duduk berdua,
karena lebar dahan seukuran
sebuah dipan dan ketebalannya sekitar dua jengkal. Tak ada kekhawatiran untuk
jatuh atau patah dahan.
"Mayangsita," ujar Suto dengan suara lembut.
"Mengapa kau harus lari dari pondok itu" Bukankah kau bisa tetap bersikap tidak
setuju dengan keputusan Ki Wabah Langit tanpa harus pergi di malam gulita itu?"
"Aku muak dengan Ki Wabah Langit. Dia tak bisa menyelami perasaanku," jawabnya
seraya cemberut.
Pendekar Mabuk duduk di depan Mayangsita.
Matanya memandang lekat-lekat sehingga kecantikan
gadis itu tampak jelas di matanya. Si gadis duduk
melonjor dan sandarkan kepala di dahan belakang.
"Aku mencemaskan dirimu, Mayangsita."
"Mengapa kau cemaskan diriku" Aku toh bukan apa-apamu, Suto?"
"Memang kau bukan apa-apaku, tapi akulah yang
membujukmu agar mau singgah dan bermalam di
pondok itu. Mau tak mau aku bertanggung jawab jika terjadi segala sesuatu atas
dirimu." "Tapi kau tidak membelaku saat itu."
"Aku sedang pelajari bagaimana melemahkan
kekerasan hati Ki Wabah Langit. Aku juga kecewa
melihat sikap Ki Wabah Langit, tapi aku bisa
memakluminya, karena dia sayang padamu dan tak ingin kau celaka."
Mayangsita masih cemberut, tangannya bermain
ranting muda. Pendekar Mabuk bicara kembali dengan
Golok Sakti 1 Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama