Pendekar Mabuk 023 Rahasia Pedang Emas Bagian 1
Serial : Pendekar Mabuk
Judul : Rahasia Pedang Emas
Pengarang : "
Penerbit : "
E-book : paulustjing
1 KUIL dikelilingi tembok tinggi itu hanya berwarna hitam
keseluruhannya. Batu-batuan yang dipakai untuk bangunan kuil tersebut
konon berasal dari letusan gunung berapi beberapa puluh tahun yang lalu.
Batuan itu mulanya sebuah gumpalan lahar yang mengeras, membeku dari
tahun ke tahun, dan membentuk warna hitam pada permukaannya. Batuan
itu punya kekerasan yang menyerupai besi. Tak mudah dihancurkan
dengan tangan kosong atau tenaga dalam yang sedang-sedang saja.
Batuan itu pula yang membentengi kuil yang menjadi satu dengan
pemukiman para murid Perguruan Elang Putih.
Tetapi pada satu kesempatan, seseorang memandang kuil itu
sebagai bangunan mewah berwarna putih bersih. Baik bangunan kuilnya
sendiri maupun pemukiman para murid dan tembok tinggi yang
mengelilinginya, adalah berwarna putih bersih. Kuil itu tampak seperti
suatu tempat yang berkharisma tinggi dan punya keagungan terpendam.
Dua pemandangan yang berbeda sering membuat seseorang
berdebat sengit mengenai Kuil Elang Putih itu. Yang satu bersikeras
mengatakan kuil itu berwarna hitam batu, yang satu mengatakan kuil itu
berwarna putih bersih, bahkan jika ada tiga orang, maka yang ketiga akan
ngotot mengatakan kuil itu berwarna abu-abu. Kadang kadang mereka
sama-sama datang ke sebuah bukit, yang bisa dipakai memandang
kearah Kuil Elang Putih untuk membuktikan pendapat mereka. Jika ada
tiga orang, maka dua diantaranya akan terbengong karena merasa
pendapatnya ternyata salah.
Ketua Perguruan Elang Putih adalah seorang guru yang punya
kesaktian sejajar dengan para tokoh tua di kalangan rimba persilatan.
Sebuah kekuatan yang dimilikinya bisa membuat pandangan mata tiap
orang berbeda-beda tentang warna bebatuan yang dipakai membangun
kuil tersebut. Guru besar itu berusia lebih dari delapan puluh tahun, tapi ia
tampak masih muda dan cantik, seperti masih berusia sekitar empat puluh
tahun kurang. Guru besar itu bernama Embun Salju. Hampir setiap tokoh
tua rimba persilatan mengenal nama Embun Salju. Tapi hanya beberapa
yang mengenal nama asli Embun Salju. Dan pada umumnya, mereka
yang mengetahui nama Embun Salju sebenarnya, tidak ada yang berani
menyebutkannya. Karena sesuatu kekuatan ajaib akan datang pada saat
orang menyebut nama Areswara Kandita. Badai mengamuk dan hujan petir
datang pada saat orang menyebutkan nama Areswara Kandita. Sebab
konon, Kandita adalah nama kecil Ratu Penguasa Laut Kidul yang tak
boleh sembarangan menyebutkannya.
Menurut cerita silsilah Nyai Embun Salju, ibunya pernah mempunyai
dua orang suami, dan dari suami yang pertama melahirkan Embun Salju,
dari suami yang kedua melahirkan Ki Padmanaba. Ibu dari Embun Salju
itu adalah prajurit setia dari Ratu Laut Kidul. Pada saat perempuan itu
melahirkan Embun Salju, sang Ratu menitipkan nama Kandita pada bayi
itu dan tak boleh disebutkan oleh siapa pun. Itulah sebabnya, setiap
orang menyebut nama Areswara Kandita, keajaiban alam terjadi.
Embun Salju mewarisi ilmu-ilmu dan kesaktian yang dimiliki oleh
ibunya. Bahkan dulu ia pernah terpilih sebagai pengganti ibunya menjadi
prajurit Laut Selatan, tetapi sang ibu memohon kepada sang Ratu agar
anaknya dibebaskan memilih tempat tinggal kehidupannya. Embun Salju
memilih tinggal di alam kasatmata, menjadi manusia sejati yang
mempunyai sisi kehidupan berbeda dengan kehidupan di dalam Kerajaan
Laut Selatan. Mengenai silsilah cerita hidup Areswara Kandita sudah banyak
diketahui oleh para tokoh rimba persilatan. Dan hal itulah yang membuat
para tokoh menjadi segan terhadap Nyai Guru Embun Salju. Bahkan
beberapa tokoh sesat, seperti Logayo dari Perguruan Kobra Hitam, tak
berani bikin persoalan dengan Embun Salju. Para tokoh sesat punya
pendapat, lebih baik bentrok dengan tokoh sakti lainnya dari aliran putih,
ketimbang harus bentrok dengan perempuan cantik yang menggairahkan
itu. Hanya orang-orang bodoh, orang orang nekat, dan orang-orang tak
waras saja yang sengaja membuat persoalan dengan Embun Salju. Seperti
halnya seorang perempuan tua yang sengaja mencegat langkah kedua
murid Embun Salju itu. Perempuan tersebut berpakaian jubah hitam
dengan pakaian dalamnya yang serba putih kusam. Rambutnya yang putih
dikonde tengah, sisanya meriap ke mana-mana. Perempuan tua yang
layak dipanggil nenek itu membawa sebatang tongkat berujung lengkung
dari kayu warna hitam. Tubuhnya yang kurus dan matanya yang cekung,
membuat ia cepat dikenali oleh para tokoh tua di rimba persilatan. Nenek
itu tak lain adalah saudara seperguruan mendiang Ki Padmanaba. Dia
bernama Nini Pasung Jagat. Dialah yang berhasil membunuh Ki
Padmanaba, yang dulu bergelar Dewa Pedang Pamungkas (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Lentera Kematian").
Nini Pasung Jagat memburu pusaka milik Ki Padmanaba. Tapi ia tak
berhasil mendesak Ki Padmanaba untuk menyerahkan pusakanya itu,
sampai akhirnya Ki Padmanaba dibunuhnya. Ia mencoba mendesak
Ekayana, cucu Ki Padmanaba, tapi Ekayana juga tidak tahu menahu
tentang pusaka Ki Padmanaba tersebut, bahkan sekarang Ekayana telah
mati di tangan Pendekar Mabuk yang dikenal dengan nama Suto Sinting.
Padahal Nini Pasung Jagat sangat berkeinginan utuk memiliki pusaka Ki
Padmanaba yang bernama Pedang Wukir Kencana. Dengan pusaka itu,
dia mempunyai kekuatan yang dapat dipakai untuk mengalahkan setiap
orang yang melawannya, karena Pedang Wukir Kencana mempunyai
keampuhan anatara lain, orang sebodoh apapun jika memegang Pedang
Wukir Kencana, maka orang itu akan bisa bermain ilmu pedang dan
mengeluarkan jurus jurus pedang maut yang sukar ditandingi.
Sayangnya, Nini Pasung Jagat sudah beberapa kali mencari Kuil
Elang Putih tapi tak pernah ditemukannya. Untuk menemukan tempat
kediaman Embun Salju, Nini Pasung Jagat membutuhkan waktu sudah
mencapai hampir satu bulan lamanya, tapi kuil itu belum juga ditemukan.
Nini Pasung Jagat merasa heran sekali, padahal beberapa waktu
sebelumnya, ia pernah melihat kuil tersebut berada diseberang sebuah
bukit gundul yang hanya bertanaman pohon sekitar sepuluh batang dan
jaraknya berjauhan itu.
Karena gagal mencari Kuil Elang Putih, Nini Pasung Jagat
menghadang dua anak buah Embun Salju. Ia mengenal kedua anak buah
Embun Salju itu dari kalung yang dikenakan oleh kedua gadis itu. Kalung
itu dari tali hitam, dengan liontin sepasang sayap terbentang yang bagian
tengahnya berbentuk jantung atau hati, yang mirip daun waru itu. Liontin
kecil itu terbuat dari logam putih mengkilat pada bagian sayap yang
terbentang, dan bagian bentuk jantung terbuat dari logam emas kuning.
Itulah ciri-ciri orang Elang Putih.
Wuttt...! Jlegg...!
Nini Pasung Jagat mendaratkan kakinya dari atas ketinggian pohon,
tepat di depan dua gadis orang Elang Putih itu. Keduanya sama-sama
terkejut melihat wajah nenek yang belum dikenalinya itu.
"Mahasi, kau mengenal dia?" bisik gadis berpakaian hijau muda itu
kepada temannya yang berpakaian merah jambu. Temannya yang
bernama Mahesi itu menjawab dengan bisikan juga,
"Aku tak kenal dia! Tapi aku kenal sikapnya yang ingin berbuat jahat
kepada kita, Anjarwati!"
"Haruskah kita melawan?"
"Kita lihat saja nanti, bersiap-siaplah dan waspada selalu," kata
Mahasi yan usianya agaknya lebih tua dari Anjarwati. Jika Anjarwati
berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, maka Mahasi berusia sekitar tiga
puluh tahun. Terdengar suara Nini Pasung Jagat tertawa cekikikan, lalu berkata
sambil memandang Mahasi dan Anjarwati secara bergantian,
"Kalau tak salah penglihatan mata tuaku, kalian adalah murid-murid
dari Elang Putih!"
"Benar!" jawab Mahasi yang berdada lebih montok dari Anjarwati.
"Kalau begitu sangat kebetulan sekali aku bisa jumpa kalian!"
"Siapa kamu, Nenek Tua?"
"Gurumu pasti kenal aku"
"Tapi kami tidak kenal kamu!" balas Anjarwati.
"Namaku cukup dikenal di dunia persilatan sebagai tokoh sakti yang
berbahaya jika dipancing kemarahannya. Aku adalah Nini Pasung Jagat!"
Anjarwati dan Mahasi berwajah biasa-biasa saja, tak ada rona kaget
atau heran. keduanya tetap memandang Nini Pasung Jagat. Kini justru
nenek tua itu yang merasa heran dan berkata,
"Kalian tidak terkejut mendengar namaku?"
"Kami tidak mengenal kehebatan namamu, Nini! Jadi kuanggap kau
manusia biasa," jawab Anjarwati.
"Dasar murid-murid bodoh! Mau-maunya Embun salju mempunyai
murid sebodoh kalian berdua!" kecam Nini Pasung Jagat dengan rasa
dongkol karena dirinya dianggap orang biasa-biasa saja.
"Apa maumu menghadang kami, Nini"!" tanya Mahasi tanpa nada
keras ataupun bermusuhan. Mahasi menjaga sikap supaya tetap tenang
dan punya wibawa di depan orang yang belum dikenalnya itu.
"Aku ingin bertemu Embun Salju!" jawab Nini Pasung Jagat. "Tapi
sejak beberapa hari bahkan beberapa minggu lamanya aku mencari Kuil
Elang Putih, aku tak pernah menemukannya! Jadi kuharap kau mau
membawaku menghadap gurumu, si Embun Salju itu!"
Mahasi dan Anjarwati saling pandang, mereka tahu, Guru sedang
melakukan semadi. Dan biasanya jika Guru mereka sedang melakukan
semadi, maka kuil itu lenyap dan tidak tampak di mata orang selain di mata
orang-orangnya sendiri. Dalam keadaan semadi, Embun Salju merasa
perlu menggunakan "Ajian Halimun" nya, yang membuat kuil lenyap dari
pandangan orang, dengan maksud supaya tidak ada orang datang untuk
mengganggu masa semadinya.
"Nini Pasung Jagat'" kata Mahasi, "Kami tidak bisa membawamu ke
tempat kami, karena guru sedang melakukan 'sepi jiwa' dan tak boleh
diganggu oleh siapa pun!"
"Katakan aku yang datang. Nini Pasung Jagat, saudara seperguruan
Ki Padmanaba, adik guru kalian itu!"
"Kami tetap tidak bisa mempertemukan kau dengan Guru!" jawab
Anjarwati lebih tegas lagi.
"Harus bisa! Kepada orang lain, boleh saja ia tidak bisa diganggu
dalam keadaan 'sepi jiwa' alias semadi. Tapi kepadaku ia tidak boleh
bersikap begitu!"
"Siapa dirimu, Nini" Seorang ratu bukan, seorang saudara juga
bukan, dewa pun bukan! Mengapa Guru kau paksa tunduk dengan
perintahmu"! Jangan terlalu menyombongkan diri didepan kami , Nini!"
"Dasar anak-anak dungu" geram Nini Pasung Jagat. "Aku bisa
membuat kuil itu menjadi hancur dalam sekejab kalau kalian menentang
keinginanku! Lekas, bawa aku kepada Guru kalian!"
"Kami tidak sanggup!" jawab Mahasi lebih lunak.
"Kalau begitu aku harus memaksa kalian dengan cara lain! Jangan
salahkan aku jika kugunakan cara kasar untuk membuat kalian
menghormat padaku!"
"Cara apa pun yang ingin kau lakukan, lakukanlah! Tapi kami tetap
tak mau membawamu menghadap Guru!"
Nini Pasung Jagat mengangkat kedua tangannya, dalam keadaan
kedua telapak tangan tengkurap dan mengembang membuka, tangan
itu disentakkan pendek-pendek saja. Bett...! Lalu dari kedua tangan itu
muncul sinar kuning yang melesat bagaikan dua mata pisau. Sinar kuning
itu terbang dengan cepatnya menyerang Mahasi dan Anjarwati.
Seketika itu pula, Mahasi dan Anjarwati menundukkan kepalanya
tanpa melakukan gerak apa pun. Dan tiba-tiba dalam jarak tiga jengkal di
depannya, sinar kuning itu membelok arah masing-masing ke kanan dan
ke kiri. Sinar kuning itu bagaikan membentur dinding transparan yang tak
mudah ditembusnya. Sinar itu bagaikan dibuang oleh Anjarwati dan Mahasi.
Akibatnya, dua buah pohon yang menjadi sasaran sinar kuning itu. Duarr,
duarrr...! Kedua pohon itu tumbang dan menjadi hangus pada bagian yang
terkena benturan sinar kuning. Sementara itu, Nini Pasung Jagat sedikit
terkesiap melihat cara kedua lawannya menghindari serangan tenaga
dalam berwarna kuning itu. Kedua gadis cantik itu sama-sama kembali
tegakkan kepala dan memandang Nini Pasung Jagat, Mahasi berkata,
"Sebaiknya biarkan kami lewat, Nini! Jangan ganggu kami lagi!"
"Kalian harus kupaksa mau menuruti keinginanku! Heeaah...!"
Nini Pasung Jagat melompat secara tiba-tiba, kaki tuanya itu begitu
cepat menendang ke kanan-kiri secara serentak. Plak, bukk...! Kedua kaki
yang tiba-tiba menendang dalam tendangan bersamaan itu mengenai
wajah Anjarwati, yang satu bisa ditangkis dengan kelebatan tangan
Mahasi. Akibat tendangan itu, Anjarwati terpelanting jatuh dalam jarak
antara empat langkah dari tempatnya berdiri semula.
Nini Pasung Jagat segera melompat berguling sambil menyanggah
tongkatnya yang tadi dilepaskan pada waktu ia melepaskan pukulan
tenaga dalam berwarna kuning itu. Kini dengan tongkatnya ia menyabet
kepala Anjarwati yang baru saja bangkit dari jatuhnya. Wuttt!
Anjarwati tundukkan kepala seketika itu, dan tongkat tersebut
terpental sendiri bagai memukul benda yang empuk seperti karet. Dalam
kesempatan itu, Mahesi segera melompat dan mencabut pedangnya. Ia
ingin menyerang Nini Pasung jagat yang membahayakan Anjarwati.
Namun tiba-tiba ujung tongkat yang bawah menyodok ke belakang dan
hampir saja mengenai mata Mahasi. Untung Mahasi segera kelebatkan
pedangnya menangkis sehingga ia terhindar dari sodokan tongkat yang
berbahaya itu. Dikatakan tongkat berbahaya, karena ketika pedang Mahasi
menepisnya, terjadi percikan api yang cukup terang dan suara letupan kecil
menyertainya. Tarrr...!
Nini Pasung Jagat segera membalik dan menendangkan kakinya
yang kanan untuk menampar pipi Mahasi. Plokkk...! Telak sekali pipi
Mahasi terkena tendangan bertenaga dalam itu, yang membuat Mahasi
berjungkir balik di tanah karena terpental, nyaris membentur batok
kepalanya. Pada saat itu pula, Anjarwati mencabut pedangnya dan menyerang
Nini Pasung Jagat dari belakang. Tetapi gerakan nenek tua itu cukup
lincah, ia segera menyodokkan tongkatnya ke belakang dengan posisi
satu kaki berlutut di tanah. "Heaaaah....!" Pekiknya keras dan mantap.
Sodokan itu tepat mengenai ulu hati Anjarwati. Sodokan itu membuat
Anjarwati mendelik, lalu memuntahkan darah kental di mulutnya. Pedang di
tangannya jatuh, mulut mengeluarkan asap biru samar-samar. Anjarwati
pun segera rubuh, untuk beberapa kejap ia tak bernyawa lagi. Terkulai
lemas di samping pedangnya.
"Anjar...!" seru Mahasi dengan mata membelalak kaget bercampur
marah. Ia melihat temannya gugur dengan satu kali sodokan tongkat itu. Itu
membuat Mahasi naik pitam dan segera menyerang Nini Pasung jagat
yang terkekeh-kekeh menertawakan kematian Anjarwati.
"Kubalas kematian temanku itu., Nenek tua! Hiaaaaaat...!"
Trak Trak behgg...!
Nini Pasung Jagat berkelebat, tangannya bergerak cepat memainkan
tongkat lengkungnya. Pedang Mahesi yang ditebaskan beberapa kali itu
berhasil ditangkisnya, bahkan tongkat itu berhasil membuat gerakan
menggebuk dengan kuat, mengenai pinggang belakang Mahasi, membuat
tubuh Mahasi melengkung kesakitan, dan ia pun jatuh dalam keadaan
berlutut. "Bawa aku kepada gurumu, atau kubawa nyawamu ke neraka"!"
ancam Nini Pasung Jagat dengan membiarkan Mahasi mengerang lirih
kesakitan. Tulang punggung Mahasi terasa patah. Kulit pinggangnya bagaikan
melepuh memar membiru, sakit sekali disentuh dengan pelan pun. Mahasi
bagai kehilangan tenaga setelah digebuk pinggangnya, gebukan itu jelas
Pendekar Mabuk 023 Rahasia Pedang Emas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gebukan bertenaga dalam cukup besar, sehingga membuat seluruh urat
tubuh Mahasi bagaikan putus.
"Pukulan tongkatnya benar-benar maut" pikir Mahasi sambil
memulihkan keadaannya. "Aku hampir saja dibuatnya lumpuh! Rasa-rasanya aku harus lakukan penyerangan mematikan! Tak boleh
sekadar mengajarnya sebagai pelajaran saja! Jurus pedang maut harus
kugunakan, karena sudah terpaksa!"
Terdengar suara Nini Pasung Jagat membentak, "Bangkit! Cepat
bawa aku kepada gurumu, Bocah Bodoh!"
Mahasi pun segera berdiri. Pinggang yang terasa sakit itu ditahannya
kuat-kuat. Jurus pedang maut segera digunakan. Mahasi memejamkan
mata, dan pedangnya menjadi menyala merah membara.
Wusssst...! Pedang yang seperti habis dipanggang di dalam api itu dikibaskan ke
arah Nini Pasung Jagat. Hawa panas melebihi lahar gunung berapi mulai
menyebar. daun-daun menjadi layu dan rontok, ranting dan dahan pun
mengerut layu. Rumput menguning, lalu kering berwarna coklat.
Seharusnya tubuh manusia akan melepuh dan merah matang karena
hembusan hawa panas dari pedang Mahasi, tetapi Nini Pasung Jagat
hanya berdiri dengan diam, mata memandang sayu, tangan menggenggam
tongkatnya kuat-kuat. Tubuhnya bergetar. Lalu, tiba-tiba kepala tongkat
yang berbentuk lengkung itu disodokkan ke depan.
Wusss...! Kepala tongkat itu menyemburkan asap putih, dan asap putih
menggumpal bagaikan kabut, lalu melesat membungkus pedang Mahasi
yang masih diangkat untuk ditebaskan kembali, begitu pedang berwarna
merah membara itu dibungkus kabut putih, tiba-tiba terdengar seperti besi
membara dimasukkan ke dalam air dingin.
Jrosss...! Tiba-tiba pula pedang itu menjadi padam, kembali ke warna aslinya.
tak ada nyala merah membaralagi dan gumpalan kabut itu pun bagai
terserap habis.
"Hiaaaah...!"
Zlappp...! Sinar biru melesat dari pangkal telapak tangan Nini
Pasung Jagat. Sinar biru itu menghantam cepat, tapi pedang Mahasi
berkelebat menangkisnya. Trangng...blarrr...!
Tubuh Mahasi terpental akibat pedangnya dipakai menangkis sinar
biru itu. Ledakan tersebut menimbulkan gelombang besar yang membuat
tubuh Mahasi terbang ke belakang, lalu membentur pohon besar.
Begggh...! "Hehggg...!" Mahasi tersentak napasnya, tersembur darah merah
dari mulutnya. Ia terluka bagian dalam. Lukanya amat membahayakan,
sehingga dengan cepat ia melarikan diri meninggalkan pertarungannya.
Nini Pasung Jagat sengaja mengejar untuk mengikuti kepergian lawannya.
2 BUKIT gersang di depan Kuil Elang Putih itu dinamakan orang
sebagai Bukit Perawan. Dikatakan demikian, karena bukit itu jika malam
bulan purnama sering digunakan muda-mudi untuk saling memadu kasih.
Kadang beberapa gadis yang belum punya pasangan, datang ke bukit itu
untuk menikmati suasana terang bulan purnama, dan disana mereka
mendapat teman bicara, mendapat kenalan, kemudian saling jatuh cinta.
Namun sejak orang-orang Kobra Hitam dalam pimpinan Dewa Murka
yang bernama asli Logayo bercokol di lembah Kabut, Bukit Perawan itu
menjadi sepi. Orang-orang perguruan Kobra Hitam yang beraliran sesat itu
sering datang ke bukit tersebut mencari mangsa. Karena, letak lembah
kabut tak seberapa jauh dari Bukit Perawan. Dengan menyebrangi
Perkampungan Orang-orang Kate, mereka bisa mencapai Bukit Perawan,
tetapi jika dari Kuil Elang Putih, hanya berjalan lurus menerobos hutan kecil,
sudah bisa mencapai Bukit Perawan yang tak seberapa tinggi itu.
Kali ini, dua orang bertampang menyeramkan sedang duduk di atas
sebuah batu di Bukit Perawan itu. Dua orang tersebut sudah lebih dari tiga
hari berada disana, menunggu sesuatu yang sangat diharapkan. Mereka
adalah Logayo dan Rangka Cula.
Seperti telah dikisahkan dalam 'Lentera Kematian', Logayo
mempunyai orang-orang kuat yang menjadi guru untuk masing-masing
ilmu. Mereka adalah Ekayana, guru pedang yang bergelar Malaikat Maha
Pedang. Brajawisnu, guru ilmu racun yang bergelar Iblis Maha Racun, dan
Pancakana, guru ilmu cambuk yang bergelar Hantu Naga Belah. Tiga
orang kuat itu mati di tangan Suto Sinting, Pendekar Mabuk. Pancakana
sempat melaporkan pertarungannya dengan Suto Sinting, dan selesai
melaporkan kematian kedua rekannya, Pancakana pun menghembuskan
napas terkahirnya di depan Logayo.
Kini Logayo tinggal mempunyai satu orang kuat, yaitu Rangka Cula.
Orang yang bertubuh kurus kering bermata cekung angker dan berambut
kucal tanpa ikat kepala itu, adalah orang istimewa buat Logayo. Rangka
Cula boleh dikatakan guru segala macam ilmu. Ia menguasai ilmu pedang,
sejajar dengan Ekayana, ia menguasai ilmu racun sejajar dengan
Brajawisnu, ia menguasai ilmu cambuk sejajar dengan Pancakana, bahkan
ia juga menguasai ilmu toya dan ilmu panah yang cukup handal. Rangka
Cula juga mempunyai kekuatan batin cukup tinggi, sehingga di kalangan
orang-orang Kobra Hitam ia dikenal dengan julukan Manusia Maha Sihir.
Rangka Cula ditugaskan dalam keadaan sangat genting. Dia
termasuk orang yang jarang bicara jika tidak perlu. Tak pernah tersenyum,
tak pernah bercanda. Ia yang mendapat tugas menyelidiki kematian
orang-orang Kobra Hitam yang mayatnya bergelimpangan di dekat
jembatan bambu. Rangka Cula itu pula yang mengetahui adanya
seseorang berpakaian serba hitam sampai kepala, dan hanya kelihatan
bagian matanya saja. Rangka Cula melihat orang itu meletakkan lentera
dan lentera itulah sumber racun ganas yang selama ini mematikan banyak
orang Kobra Hitam.
Sayang sekali Rangka Cula tak berhasil menangkap manusia serba
hitam itu. Tetapi lentera yang berlumur Racun Getah Tengkorak telah
berhasil disita olehnya. Dan pada saat lentera itu ditemukan, orang-orang
Kobra Hitam tinggal delapan orang termasuk Logayo sendiri dan Rangka
Cula. Jumlah orangnya yang mati karena racun itu mencapai empat puluh
lebih. Kobra Hitam kini kehabisan anggota, nyaris musnah semua dimakan
Racun Getah Tengkorak.
Secara kejiwaan, Logayo kalah total dengan manusia serba hitam itu.
Hatinya menjadi sangat penasaran, ingin mengetahui siapa sebenarnya
orang serba hitam yang mempunyai Racun Getah tengkorak itu" Untuk
menanyakan hal tersebut, Logayo perlu menemui Embun Salju.
Pengalaman Logay di rimba persilatan, belum seberapa jika disbanding
Embun salju, karena memang Embun salju sebenarnya tokoh tua namun
berwajah muda dan cantik.
Tetap rupanya Logayo tidak bisa langsung menemui Embun Salju,
karena ia tidak bisa melihat Kuil Elang Salju. Kuil itu hilang, dan Logayo
menunggu di Bukit Perawan sampai beberapa hari. Ia menunggu
munculnya kuil tersebut dengan ditemani Rangka Cula. Repotnya,
walaupun ia mempunyai teman di sana, tapi sama saja ia sendirian, karena
Rangka Cula jarang mau bicara. Sekali bicara hanya sepatah dua patah
kata saja. Ilmu kekuatan batin Rangka Cula tak bisa dipakai menembus
hilangnya Kuil Elang Putih. Berkali-kali Logayo memerintahkan Rangka
Cula untuk melacak hilangnya kuil tersebut, berualng kali pula Rangka
Cula meneropomng dengan kekuatan batinnya yang mampu menghadirkan ilmu sihir maut, tapi Rangka Cula tetap tidak berhasil.
Setelah beberapa hari, barulah mereka menemukan bentuk Kuil
Elang Putih. Kuil tersebut muncul kembali, dan Logayo merasa lega. Maka,
Logayo segera membawa Rangka Cula menuju Kuil Ealng Putih. Logayo
tahu, jika Kuil Elang Putih sudah bisa dilihat mata telanjang, maka itu
berarti Embun salju sudah siap menerima tamu siapa saja.
Kehadiran Logayo dan Rangka Cula disambut oleh perempuan cantik
berpakaian ketat, dadanya terlihat mulus dari belahan yang tersumbul
dibalik pakaian ketatnya itu. Rambut disanggul sebagian. Perempuan
cantik itu semakin kelihatan cantik dengan pakaian warna ungunya. Namun
Logayo dan Rangka Cula tak berani bersikap kurang ajar kepada
perempuan yang dikenalnya bernama Dewi Anjani itu.
"Aku ingin bertemu dengan Embun Salju," kata Logayo dengan sikap
halus yang masih tampak kasar dan kampungan.
"Ada perlu apa?" Tanya Dewi Anjani dengan keramahan yang penuh
wibawa, membuat lawan bicaranya sering merasa sungkan.
"Aku punya kesulitan. Aku mau minta bantuan. Maksudku, minta
saran dan pendapat kepada Embun Salju!"
"Tunggu sebentar, aku bicarakan dengan beliau!"
Dewi Anjani pun pergi, sementara Logayo dan Rangka Cula belum
diizinkan masuk pekarangan kuil tersebut. Mereka dibiarkan berdiri diluar
pintu gerbang dengan dua penjaga bersenjatakan tombak. Logayo tak
sabar dan kelihatan gelisah. Ia tak suka diperlakukan seperti itu, tapi ia
terpaksa dan setengah dipaksa untuk mau menerima perlakuan demikian.
Iseng-iseng ia bertanya kepada Rangka Cula,
"Bagaimana menurutmu?"
"Bertele-tele!" jawab Rangka Cula dengan datar dan dingin. Ia masih
menenteng pedang panjangnya yang jarang diselipkan di pinggang.
Pedang panjangnya itu mempunyai gagang runcing dari cula badak. Itu
sebabnya ia dikenal di dunia persilatan sebagai Rangka Cula, manusia
kurus tinggal kerangka, ibaratnya, dan bersenjata pedang bergagang cula
badak.Wajahnya yang dingin tapi berkesan angker itu ditatap Logayo,
kemudian Logayo bertanya lagi,
"Kita harus sabar menunggu, mengikuti aturan di sini!"
"Terjang saja!" ucap Rangka Cula, kemudian bergegas masuk
dengan melompat mendobrak pintu. Tapi Logayo buru-buru menahannya.
"Jangan! Nanti bisa membuat rencana kita kacau! Kita harus
tunjukkan sikap baik kepada Embun Salju, supaya Embun Salju mau
membantu kita menangkap manusia serba hitam itu! Setidaknya kita bisa
tahu, apakah orang dari sini atau bukan yang mempunyai Racun Getah
tengkorak itu!"
"Baik!" jawab Rangka Cula dengan pandangan mata dingin.
Dalam beberapa saat kemudian, Logayo dan Rangka Cula diterima
oleh Embun Salju disebuah ruang semacam bangsal pertemuan. Embun
Salju sempat memukau Logayo dengan kecantikannya yang serupa
dengan bidadari kayangan. Berpakaian serba putih, dengan jubah putihnya
juga yang dari bahan lembut bagaikan sutera, dengan pinjung sebatas
dada yang berwarna putih dan menampakkan gumpalan mulus tak
bercacat sedikit pun. Wajahnya sendiri begitu memukau, berhidung
mancung, berbibir tak terlalu tebal namun menggairahkan, bermata sedikit
besar namun berbentuk indah dan berbulu lentik, mengenakan kalung ciri
Elang Putih yang berukuran lebih besar dari kalung-kalung yang dikenakan
oleh anak buahnya. Rambutnya diurai panjang sebatas pinggang dengan
ikat kepala dari logam emas berukir membentuk mahkota berbatu indah. Di
ujung mahkotanya membentuk hiasan sekor elang sedang membentangkan sayapnya dengan mata elang yang merah dari bebatuan
merah delima kecil.
Logayo sempat berbisik kepada Rangka Cula, "Kalau dia bukan
orang sakti, mau rasaanya aku mengawininya!"
Tak ada senyum atau tawa di mulut Rangka Cula, ia hanya
mengangguk tipis. Tapi Embun Salju segera berkata dan tersenyum tawar,
"Jangan berpikiran menyimpang, Logayo! Katakan saja apa maksud
kedatanganmu menemuiku?"
Logayo menjadi tersipu malu karena bisik-bisiknya tertangkap oleh
indera pendengaran Embun Salju. Kejap berikutnya, Logayo pun segera
berkata, "Aku mengalami musibah, Embun Salju."
"Itu karena kau penyebar musibah," jawab Embun Salju dengan
penuh wibawa dan kharisma tinggi. "Lanjutkan...!"
Rangka Cula sudah menggenggamkan tangan mendengar ucapan
Embun Salju tadi. Tapi Logayo segera memandang, memberi isyarat agar
Rangka Cula tetap tenang. Logayo segera melanjutkan kata-katanya
dengan suara berat, sesuai dengan badannya yang besar seperti raksasa,
berwajah ganas, dan brewokan.
"Ada seseorang yang membantai habis anak buahku. Ia
menggunakan sebuah lentera!"
"Sebuah lentera"!" guman Embun Salju dengan dahi berkerut.
"Bagaimana maksudmu" Sebuah lentera dipakai membunuh?"
"Benar. Lentera itu adalah jebakan. Lentera itu dilapisi racun ganas,
siapa yang memegang lentera itu akan termakan racun ganas. Tak sampai
lebih dari seratus helaan napas, orang itu akan mati. Dan mayatnya
mengeluarkan banyak keringat berbau amis darah. Siapa menyentuh
mayat itu, dia akan ketularan dan mati pula dalam keadaan sama seperti
korban sebelumnya. Jadi racun itu adalah racun berantai, satu kali
mengenai orang, bisa empat-lima orang yang mati bersamanya."
"Racun Getah Tengkorak!" sebut Embun Salju, menunjukkan bahwa
ia juga mengenal jenis racun.
"Racun itu sangat langka dan sukar didapat."
"Memang benar! Lalu, apa maksudnu mengutarakan semua ini
padaku, Logayo"!"
"Apakah kau mempunyai racun itu?"
"Tidak," jawab Embun Salju. "Tapi kalau kau menginginkan Racun
Getah Tengkorak, aku bisa menunjukkan dimana kau bisa memperoleh
pohon tengkorak itu, lalu carilah sendiri getahnya !"
"Kau tahu di mana terdapat pohon tengkorak itu " "
"Tahu."
"Kau pernah menunjukkan tempat itu kepada seseorang ?"
"Belum, " jawab Embun Salju. "Dan kalau kau mencurigai orangku
yang berbuat begitu, kau salah alamat ! Kalau orangku mau membunuh
kalian, pasti akan datang dan bertarung sampai mati ! Tidak ada yang
menggunakan cara seperti itu !"
"Aku tidak menuduh dan mencurigai orang-orangmu, tapi..."
"Pertanyaanmu sudah mewakili kecurigaanmu terhadap kami !" sahut
Embun Salju dengan cepat, membuat orang berperawakan seperti raksasa
itu menjadi gelagapan sebentar.
"Baiklah," akhirnya Logayo secara tak langsung mengakui
kekeliruannya. "Sekarang aku ingin minta pendapatmu, siapa kira-kira
orang yang memiliki Racun Getah Tengkorak itu?"
"Yang kukenal disini hanya satu orang," jawab Embun Salju.
"Siapa"!" desak Logayo dengan berdebar-debar.
"Manusia serba hitam!"
"Ya, memang kami memergoki manusia berpakaian serba hitam, tapi
kami tak mengenali wajahnya dan tak berhasil menangkapnya. Siapa
manusia serba hitam itu?"
"Jompo Keling."
Logayo berkerut dahi karena merasa asing dengan nama itu, "Jompo
Keling..."!" Ia menggumam sambil menatap Rangka Cula. Orang yang
Pendekar Mabuk 023 Rahasia Pedang Emas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditatapnya juga memandangnya beberapa kejap, kemudian dengan bibir
terkatup ia menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak mengenal nama
Jompo Keling. "Siapa Jompo Keling itu, Embun Salju"!"
"Tokoh tua, bekas seorang pengembara yang sudah mengasingkan
diri dari dunia persilatan!"
"Aku.... aku tidak kenal dengan Jompo Keling. Mengapa dia
menyerangku?"
"Pasti kau punya salah padanya!"
"Aku tidak kenal dengan dia! Bagaimana aku punya salah dengannya
jika aku tidak mengenalnya dan belum pernah bertemu dengan dia!"
"Tidak mungkin!" Embun Salju geleng-geleng kepala. "Kau pasti
punya salah kepada orang itu."
"Hmmm... bagaimana ciri-cirinya"!"
"Kulitnya serba hitam keling, sampai pada kuku jari tangan dan
kakinya, bahkan sampai pada giginya juga berwarna hitam!"
Logayo memandang Rangka Cula lagi. Oang berjubah abu-abu itu
mengeleng-geleng kepala pelan. Hampir tak terlihat. Kemudian Logayo
menatap Embun Salju dan berkata,
"Tidak. Kami tidak pernah berjumpa orang seaneh itu! Hmmm... di
mana tempat tinggalnya orang itu"!"
"Dia pengembara, aku tak tahu di mana ia tinggal. Tapi kalau kau
mau menemui kuburannya, aku bisa menunjukkan di mana tempat ia
dikuburkan!"
Terperanjat Logayo seketika itu juga. Berkerut keningnya memandang Rangka Cula. Tapi yang dipandang hanya dingin-dingin saja,
tanpa rasa kaget dan heran.
"Jadi, orang yang bernama Jompo keeling itu sudah meninggal?"
"Sudah lima tahun yang lalu!" jawab Embun Salju dengan tegas.
"Lima tahun..."!" Sudah lima tahun dia dikubur"! Aneh...!" ucap
Logayo semakin dibuat bingung oleh jawaban-jawaban Embun Salju.
Kemudian sambungnya lagi,
"Peristiwanya baru beberapa hari yang lalu, Embun Salju! Rangka
Cula ini yang melihat sendiri orang serba hitam membawa lentera. Baru
beberapa hari yang lalu!" tegas Logayo dalam keheranannya.
"Kalau begitu, orang berpakaian serba hitam itu bukan Jompo Keling.
Pasti orang lain!"
"Siapa?"
"Aku tidak tahu."
"Dia punya murid?"
"Dia pengembara yang tak pernah punya murid, tapi tentunya dia
punya banyak sahabat, karena dia orang baik!"
"Hmmm...!" Logayo berpikir sebentar. Kemudian bertanya lagi,
"Apakah dia punya cucu atau ahli waris?"
"Dia hidup sebatang kara sampai saat matinya!" jawab Embun Salju.
"Hmmm...! Lalu, siapa orang berpakaian serba hitam dan
menggunakan Racun Getah Tengkorak itu?"
"Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu kali ini, Logayo. Yang jelas,
orang itu pasti kenal kamu, pasti punya dendam padamu, dan pasti bukan
Jompo Keling."
Logayo menarik napas. Ia merasa menemukan jalan buntu walau
sudah mendapat beberapa keterangan tentang racun itu. Kemudian, ia
mencoba bicara lagi dengan Embun Salju,
"Apakah... apakah kau bisa membantuku menangkap orang itu?"
"Aku punya urusan sendiri. Tak baik aku ikut campur urusan orang
lain, sementara aku belum becus mengurus diri sendiri!"
"Aku minta bantuan padamu! Bukan kau ikut campur, tapi aku
meminta bantuanmu, Embun Salju! Bantuan untuk menangkap orang
berpakaian serba hitam dan mempunyai Racun Getah Tengkorak!"
"Kobra Hitam sudah cukup banyak punya orang sakti dan berilmu
tinggi. Kurasa bantuanku tak ada artinya!"
"O, tidak! Bukan begitu, Embun Salju...! Kami tidak punya orang sakti
seperti kau."
"Buktinya orang Kobra Hitam sudah berani cari gara-gara dan
berbuat onar di mana-mana! Bukankah itu berarti orang Kobra Hitam
sakti-sakti dan tidak ada yang mampu mengalahkannya?"
Kata-kata itu sangat tajam, bagaikan pisau cukur yang menggores
hati Logayo dan Rangka Cula. Sebuah sindiran yang menyerang batin
membuat darah Logayo mulai panas. Wajahnya kaku dan matanya tajam
memandang Embun Salju. Begitu pula halnya dengan Rangka Cula.
Tulang gerahamnya yang tampak menonjol di pipi itu bergerak-gerak
menggeletuk mendengar sindiran menyakitkan itu. Tangan Rangka Cula
sudah memegang gagang pedang. Matanya yang dingin juga menatap
Embun Salju. Tetapi Embun Salju dan Dewi Anjani yang mendampinginya tetap
tenang. Tak sedikitpun kelihatan cemas melihat sikap memandang Logayo
mengandung makna permusuhan. Bahkan Embun Salju berkata,
"Kalau kita menanam padi, kita pasti akan menuai padi. Kalau kau
menanam maut, kau pun akan menuai maut!"
"Kau tak perlu mengguruiku, Embun Salju!" suara Logayo sudah
mulai bernada menggeram.
"Kalau kau tak memerlukan Guru, jangan datang kemari dan
bertanya tentang racun itu!" balas Embun Salju dengan sikap tenang.
Mata tajam dan angker itu melirik Rangka Cula. Sekilas Rangka Cula
membalas, kemudian kembali memandang Embun Salju. Yang dipandang
pun tak mau berkedip menatapnya. Embun Salju dan Rangka Cula saling
pandang beberapa saat lamanya. Hening diantara mereka.
Tiba-tiba dari mata Embun Salju yang indah itu mengeluarkan asap
samar-samar seperti terbakar suatu kekuatan batin dari lawan yang
dipandanginya. Asap itu makin jelas berwarna kehitam-hitaman. Mata
Embun Salju masih belum berkedip. Dewi Anjani mulai cemas, tangannya
sudah berada di gagang pedang, siap mencabut sewaktu-waktu.
Tetapi asap tipis itu segera menghilang. Kini pusat perhatian Logayo
dan Dewi Anjani beralih pada Rangka Cula. Logayo terkesiap melihat ada
air mata yang keluar dari sudut mata Rangka Cula. Air mata itu berwarna
merah. Dan Logayo tahu persis, itu bukan air mata, tapi darah! Merembes
darah itu keluar dari kedua mata Rangka Cula. Tubuh Rangka Cula
bergetar, berkeringat, dan keringat itu mulai berubah warnanya menjadi
kotor, tidak bening lagi. Makin lama keringat itu berubah abu-abu seperti
nanah menyebarkan bau amis. Wajah Rangka Cula pun memucat, bibirnya
yang gemetar membiru. Darah masih mengucur dari kelopak matanya.
Kedua tangannya meremas kuat-kuat sampai sebagian kukunya ada yang
menembus masuk ke dalam kulit telapak tangannya.
"Cukup! Cukup!" teriak Logayo dengan keras. Rangka Cula pun
tertunduk kepalanya, lemas gerakannya. Ia hampir jatuh dan segera
ditangkap tangan Logayo, sedangkan Embun Salju tetap sunggingkan
senyum tipis, sebagai senyum kemenangan dalam beradu kekuatan batin.
3 LEWAT tengah siang, penjaga pintu gerbang Kuil Elang Putih
dikejutkan dengan munculnya Mahasi yang berwajah pucat pasi.
Langkahnya gontai, namun berhasil mendekati pintu gerbang kuil dan
segera ditolong oleh salah seorang penjaga pintu gerbang itu.
"Mahasi"! Ada apa..."!" seru orang yang menangkap tubuh Mahasi
yang terkulai lemas itu. Ia segera berseru kepada rekannya yang ada di
bagian dalam, di balik pintu gerbang itu,
"Panggil Dewi Anjani! Mahasi terluka!"
Orang yang menjaga bagian dalam itu terkejut melihat Mahasi
mengeluarkan darah dari mulutnya, pakaiannya terkena bercak-bercak
darah dan sangat mengkhawatirkan. Orang itu segera berlari menemui
Dewi Anjani yang menjadi perantara antara Nyai Guru Embun Salju
dengan para murid lainnya.
"Dewi Anjani....! Mahasi terluka!"
"Hah..."! Di mana dia sekarang"!"
"Ada di pintu gerbang!"
Waktu itu, Dewi Anjani sedang bicara dengan Embun Salju mengenai
Racun Getah Tengkorak dan musibah yang melanda Perguruan Kobra
Hitam. Mendengar Mahasi terluka, Dewi Anjani segera berlari ke pintu
gerbang, sedangkan Embun Salju melangkah cepat sampai di depan
balairung. Di sana ia berdiri dengan tangan dikebelakangkan, memandang
kearah pintu gerbang yang menjadi gaduh karena kemunculan Mahasi.
Segera Dewi Anjani membawanya ke balairung itu, tapi Embun Salju
memerintahkan Anjani untuk membawa Mahasi ke ruang penyembuhan.
Hanya Embun Salju dan Dewi Anjani yang masuk ke ruang
penyembuhan, yang lainnya berjaga-jaga di luar dan saling membicarakan.
Embun Salju segera melakukan pengobatan terhadap diri Mahasi, yang
saat itu sudah dibaringkan di atas sebuah ranjang dari batu plesteran yang
dilapisi tikar tebal.
"Buka semua pakaian!" kata Embun Salju. "Jangan sampai ada
penghambat jalan darahnya! Ia terluka cukup parah. Tapi masih bisa
diselamatkan!"
Setelah Dewi Anjani melepaskan semua pakaian Mahasi dengan
cepat, maka Embun Salju segera menyalurkan hawa murninya ke dalam
tubuh Mahasi. Telapak tangannya menjadi bercahaya putih keperakan.
Kedua telapak tangan itu ditempelkan terutama di bagian dada Mahasi
yang masih kencang namun montok itu. Telapak tangan itu bukan
menempel tepat di dua buah bukit Mahasi, melainkan di bagian atasnya.
Kejap berikutnya, Mahasi menjadi gemetar. Sekujur tubuhnya bergerak
seperti orang menggigil. Telapak tangan Embun Salju yang menyala putih
perak itu masih menempel di atas dada Mahasi. Telapak tangan itu
berasap tipis. Dan ruangan yang tertutup itu menjadi dingin beberapa saat.
Dewi Anjani sendiri sampai mendekap kedua lengannya sendiri.
Telapak tangan Embun Salju berpindah ke bagian perut Mahasi.
Menempel di sana dan membuat Mahasi mengerang kecil sambil menggigil.
Udara di kamar bertambah dingin bagaikan di dalam ruang es. Tubuh Dewi
Anjani sendiri samapi menggigil juga menahan hawa dingin itu.
Beberapa saat setelah itu, cahaya perak padam dari tangan Embun
Salju. Kini Embun Salju memusatkan kekuatannya pada kedua jarinya,
yaitu jari tangan kanan-kiri. Kedua jari itu menekan bagian pelipis Mahasi.
Dan kedua jari itu pun menyala merah bagaikan besi terbakar. Pada saat
itu, ruangan yang dingin menjadi berkurang. Lalu, menjadi hangat. Dan
Embun Salju berhenti melakukan pengobatan.
Mahasi tersentak tiba-tiba dan segera memuntahkan darah hitam.
Muntahnya darah hitam itu membuat Embun Salju tersenyum. Ia berkata
kepada Anjani, "Dia tertolong! Lekas ambilkan air hangat untuk diminumkan!"
Menurut Embun Salju, terlambat sedikit saja, Mahasi akan mati.
Pukulan yang diterimanya dari lawan telah membuat jantungnya
merembaskan darah di luar saluran darah semestinya. Pukulan itu
mempunyai hawa pembusuk, yang dapat membuat sekujur tubuh Mahasi
menjadi busuk. "Siapa yang melakukannya?" tanya Embun Salju setelah Mahasi
agak segar dan sudah mengenakan pakaiannya kembali.
"Seorang perempuan tua yang mengaku bernama Nini Pasung
Jagat!" "O, dia..."!" Embun Salju mangut-mangut.
"Siapa Nini Pasung Jagat itu, Nyai Guru?" tanya Dewi Anjani.
"Saudara seperguruan adik tiriku, Padmanaba!"
"Dia memaksa saya untuk bertemu dengan Guru, tapi saya menolak
membawanya kemari. Bahkan...bahkan Anjarwati..."
"O, iya! Bukankah kau pergi dengan adikku Anjarwati" Ke mana dia
sekarang"!" sergah Dewi Anjani.
"Dia tewas, dibunuh orang itu!"
"Hahh..."!" Dewi Anjani terpekik kaget. Embun Salju terkesiap dan
segera menarik napas dalam-dalam, menahan sesuatu yang ingin meledak
dari dalam dadanya, yaitu sebuah murka.
Dewi Anjani merah mukanya. Terengah-engah napasnya. Matanya
menyipit memancarkan duka dan dendam yang bergumul menjadi satu. Ia
berkata kepada Embun Salju dengan suara gemetar menahan luapan
marah, "Guru, izinkan saya mencari dia dan membalas kematian Anjarwati!"
"Dia bukan lawanmu, Anjani!"
"Saya harus membalas kematian itu, Guru!"
"Silakan kalau kau nekat!" jawab Embun Salju.
Pada saat Dewi Anjani keluar dari kamar penyembuhan, seorang
murid berusia muda, sekitar dua puluh dua tahun, segera datang dengan
napas terengah-engah dan wajah tegang.
"Kakak, di luar ada seorang pengacau! Perempuan tua yang
mengaku Nini Pasung Jagat mendesak masuk dan membunuh dua
penjaga! Sekarang sedang dihadapi oleh Irandani dan Pujarini, Kak!"
Laporan itu didengar oleh Embun Salju. Langkah kaki perempuan
berpakaian serba putih itu masih tetap tenang. Ia menyusuri lorong
penghubung dari ruang penyembuhan ke balairung dengan langkah tidak
terlalu tergesa-gesa, tapi hatinya membatin,
"Apa maunya nenek itu datang dan mengamuk padaku" Seingatku
tak ada salahku padanya! Haruskah aku turun tangan dan mengakhiri
riwayat hidupnya" Lalu, bagaimana dengan Ki Padmanaba" Apakah dia
tidak menuntut balas padaku jika aku membunuh Pasung Jagat"!"
Embun Salju masih belum tahu, bahwa Ki Padmanaba sudah
dibunuh oleh Nini Pasung Jagat. Karenanya, Embun Salju merasa
bimbang dan ragu-ragu untuk bertindak lebih tegas lagi. Karena pada
dasarnya Embun Salju tidak mau bentrok dengan adiknya, walau hanya
adik tiri, karena selama ini ia telah menjalin hubungan persaudaraan yang
baik dan saling menolong.
Dewi Anjani sengaja menyuruh beberapa orangnya untuk mendesak
Nini Pasung Jagat supaya menjauhi pintu gerbang. Penjagaan di pintu
gerbang lebih diperketat lagi. Dewi Anjani sendiri segera keluar dari
halaman kuil tersebut dan melihat dengan mata kepala sendiri si nenek tua
itu membunuh Irandani dan Pujarini.
"Keji...!" geram Dewi Anjani, lalu dengan cepat ia menyentakkan
kedua tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh sebagai pendorong
tubuh lawan. Wukkk...! Tenaga yang terkirim itu melesat menghantam Nini
Pasung Jagat. Tenaga itu membuat Nini Pasung Jagat terlempar jauh
bagai boneka kayu yang dibuang begitu saja.
Brukk...! Nini Pasung Jagat jatuh di rerumputan beralang-alang
lumayan tinggi. Tapi ia segera bangkit dalam satu sentakan pimggul,
tahu-tahu ia sudah berdiri dan menggenggam tongkatnya dengan kuat.
Matanya memandang seorang perempuan muda seusia Mahasi yang
sedang menghampirinya.
Di tempat yang agak jauh dari pintu gerbang itulah, Dewi Anjani mulai
siap menghadapi lawannya yang menurutnya berjiwa kejam. Terlihat dari
caranya membunuh Irandani dan Pujarini bagai tanpa mengenal belas
kasihan sedikit pun. Bayangan yang ada di benak Dewi Anjani, seperti
itulah adiknya dibunuh oleh nenek tua itu.
"Apakah kau orang andalan Elang Putih"!" sindir Nini Pasung Jagat.
Tetapi Dewi Anjani menjawab dengan suara keras,
"Aku adalah orang utusan dari neraka untuk mencabut nyawamu!"
"Oho, he he he he...!" Nini Pasung Jagat terkekeh-kekeh mendapat
gertakan seperti itu. "Rupanya kau lebih galak dari mereka yang telah
melawanku, Nona Cantik!"
Srett...! Dewi Anjani mencabut pedangnya dengan wajah semakin
kaku dan mata penuh hasrat membunuh.
"Oho, punya pedang juga kau, Nak" Apakah cukup mahir
memainkannya" Jika tidak, sebaiknya biarkan aku masuk menemui Embun
Salju untuk membicarakan sesuatu!"
"Kau harus melunasi hutangmu lebih dulu, NeNek iblis! Kau
Pendekar Mabuk 023 Rahasia Pedang Emas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhutang nyawa padaku, karena kau telah membunuh Anjarwati, adikku!
Sekarang tiba saatnya kau harus menyusul roh adikku dan meminta maaf
di sana! Heeeaaah...!
Dewi Anjani tidak memberi kesempatan Nini Pasung Jagat untuk
melontarkan kata-kata lagi. Ia langsung melompat dan menyerang dengan
menebaskan paedangnya yang berkelebat simpang-siur membingungkan
untuk ditangkis.
Wut wut wess wuttt wut wut wess... trak! Wut trak!
Nini Pasung Jagat sempat dibuat kewalahan menghadapi gerakan
pedang yang bersimpang-siur tak jelas ke mana arahnya itu. Dan memang
kehebatan jurus 'Elang Mengamuk Bintang' adalah terletak pada
kecepatan tebas yang sukar dipastikan ke mana arahnya. Hanya sesekali
bisa ditangkis, hanya sesekali lolos terhindar, tapi beberapa kejap
berikutnya, terdengar suara lembut yang mendirikan bulu kuduk tiap orang.
Cras cras cras...!
Buhgg...! Dewi Anjani tahu-tahu terpental agak jauh. Tubuhnya melayang
karena terkena sodokan tongkat Nini Pasung Jagat. Ia jatuh terkapar
dalam jarak antara empat tombak dari tempatnya bertarung. Sementara itu,
kedua paha Nini Pasung Jagat tampak terluka dan punggungnya terkena
sabetan pedang. Sayangnya, tidak terlalu parah dan berbahaya. Hanya
luka biasa dan tidak akan merenggut nyawa nenek tua itu. Bahkan yang
menderita luka tidak menggubrisnya sama sekali. Hanya memandangnya
sebentar, lalu terkekeh-kekeh sendiri, sebab ia tahu lukanya tidak
berbahaya. Napas Dewi Anjani menjadi sesak. Ia terkena sodokan tongkat pada
bagian rusuk. Rusuk itu bagaikan patah salah satu tulangnya. Sakit jika
dipakai untuk bergerak. Napas pun segera dipaksakan untuk bisa dihirup
panjang-panjang lalu ditahannya beberapa saat di dalam rongga dada.
Pada saat itu, Nini Pasung Jagat berjalan dengan sanatainya mendekati
Dewi Anjani. "Kalau kau mau menyusul adikmu, mari kubantu, Cah Ayu..!" seraya
tongkatnya diangkat dan hendak dihantamkan ke kepala Anjani. Tetapi
tiba-tiba terdengar suara orang berseru dari arah pintu gerbang kuil
tersebut, "Hentikan, Pasung Jagat!"
"Aha...! Akhirnya kau muncul juga, Embun Salju! Hik hik hik!" Nini
Pasung Jagat memandang kehadiran Embun Salju yang melangkah
dengan penuh wibawa mendekatinya. Nini Pasung Jagat tersenyum
kegirangan. Sementara itu, Dewi Anjani pun bangkit perlahan-lahan
setelah mengumpulkan kekuatan kembali.
Tiba-tiba, pedangnya berkelebat dari belakang Nini Pasung Jagat, Wuttt...!
Trak...! Tongkat Nini Pasung jagat menghadang gerakan pedang itu
kearah pundak. Jika tidak terhalang tongkatnya, maka pedang Anjani akan
menebas pundak dan membuat pundak itu terpotong.
Secepatnya Nini Pasung Jagat membalik sambil mengibaskan
tongkatnya. Tapi pada saat itu pula Dewi Anjani menundukkan kepala dan
memejam. Tongkat itu bagai mengenai lapisan membal dan sukar
terpecahkan. Wutt...! Wungngng...! Tongkat itu membalik dari arah
pukulannya. Gerakan membalik itu menimbulkan kekuatan sendiri tanpa
disengaja dan membuat Nini Pasung Jagat terhuyung-huyung ke belakang
mau jatuh. Dewi Anjani cepat berkelebat utnuk membelah kepala Nini
Pasung Jagat. Tetapi suara gurunya membuat ia berhenti dari segala
gerakkannya. "Anjani...!"
Hanya suara itu yang membuat Dewi Anjani tak berani teruskan
niatnya. Karena nada suara itu sudah sangat dipahami oleh Dewi Anjani,
bahwa Guru dalam keadaan marah dan tidak pernah mau bertimbang
rasa jika sudah menghardik dengan suara berat begitu. Dewi Anjani
akhirnya mundur dan segera mengambil tempat dibawah pohon. Di sana ia
bersiap melepaskan serangan kepada Nini Pasung Jagat jika sampai
terjadi pertarungan dengan Embun Salju dan sang Guru itu terdesak. Di
bawah pohon itulah, Dewi Anjani berjaga-jaga sambil menunggu
kesempatan untuk melepaskan pembalasan atas kematian adiknya yang
disayangi itu. "Aku mau bicara padamu, Embun Salju!" kata Nini Pasung Jagat.
"Dengan mulut atau dengan pedang"!" tanya Embun Salju bagaikan
menantang. "Terserah padamu, dengan pedang pun aku siap!" jawab Nini Pasung
Jagat menampakkan keberaniannya.
"Dengan pedang, aku tak bersedia! Aku bukan jagal, bukan
pembunuh, dan bukan binatang! Aku manusia!"
"Apa kau menganggapku binatang?"
"Hanya seekor binatang yang tega membunuh manusia, karena ia
merasa tidak sejenis dengan manusia!" jawab Embun Salju dengan
sindiran tajam yang penuh kharisma.
"Terserahlah apa katamu, yang jelas aku ingin bicara padamu!"
"Bicaralah sekarang juga!"
"Kau tidak mengajakku masuk ke dalam?"
"Hanya tamu yang kuajak masuk ke dalam dan bicara di sana!"
"Apakah aku bukan kau anggap tamu"!"
"Kalau kau tamu, kau tidak akan datang dengan tidak sopan dan
menewaskan beberapa muridku!"
"Hik hik hik hik...! Kau marah padaku rupanya"! Oh, jangan! Jangan
kau marah padaku, karena kau nanti akan kubunuh jika sampai hilang
kesabaranku. Embun Salju!"
"Kalau begitu kita tidak perlu bicara! Kita tentukan saja siapa yang
harus mati sekarang ini, kau atau aku!"
"O, tidak tidak tidak...! Bukan begitu maksudku! Hmmm...!"
"Jika tidak, bicaralah seperlunya dan setelah itu pergi dan tempat
suciku ini!"
"Baiklah! Aku hanya ingin menanyakan tentang pusaka titipan dari
adikmu, si Padmanaba!"
"Aku tidak tahu-menahu tentang pusaka itu!" ujar Embun Salju
bernada jengkel.
"Padmanaba bilang pusaka itu dititipkan padamu dan dia
menyuruhku mengambilnya!" pancing Nini Pasung Jagat.
"Padmanaba tidak pernah bilang begitu pada si apa pun!" kata
Embun Salju. Wajahnya yang cantik memancarkan kemarahan.
"Tapi dia memang menitipkan pusakanya kepadamu, bukan"!"
"Kau tak perlu memancingku, Pasung Jagat! Kau tak akan
memperoleh apa-apa dariku walau de ngan cara memancing seribu tanya!
Sebaiknya kau pergi dari sini, karena aku tidak tahu menahu tentang
pusaka yang kau kejar-kejar itu!"
"Omong kosong! Sebagai kakaknya, pasti kau tahu!"
"Kenapa tidak kau tanyakan pada Ki Padmanaba sendiri"!"
"Dia sudah kubunuh!" sentak Nini Pasung Jagat karena jengkel,
pancingannya diketahui Embun Salju. Mendengar tentang Kematian Ki
Padmanaba, Embun Salju hanya menyipitkan matanya memandang tajam
kepada Nini Pasung Jagat. Kemudian dadanya tampak membusung
sebentar, menahan napas, mengendalikan luapan amarahnya.
"Jika begitu," kata Embun Salju dengan tenang, "Pergilah ke alam
baka dan tanyakan kembali kepada Padmanaba, adikku itu!"
"Kau mengancamku, Embun Salju"!"
"Kunyatakan, aku tak tahu menahu tentang pusaka itu! Kalau kau
menganggap aku menantangmu beradu nyawa, kulayani keinginanmu!"
jawab Embun Salju dengan tegas dan selalu jelas.
"Baik! Aku punya cara sendiri untuk memaksa mulutmu agar
mengatakan hal yang sebenarnya tentang pusaka itu! Hiaaah...!
Zlappp...! Tangan yang memegang tongkat itu menyentak maju. Dari kepala
tongkat keluar sinar merah sekecil buah buni. Jika bukan mata yang awas
dan terlatih, tak mungkin bisa melihat gerakan sinar merah kecil itu, karena
gerakannya begitu cepat, melebihi anak panah.
Embun Salju tetap di tempat, tak bergeser sedikit pun. Ia hanya
mengelebatkan tangannya ke dada, seperti menangkap sesuatu yang
digenggamnya. Ternyata sinar merah kecil itu yang ditangkapnya.
Kemudian sinar itu dilemparkan ke arah pohon yang jauh dari mereka.
Wuttt..! Blarrrr...!
Pohon itu pecah seketika setelah dilempar dengan sinar kecil
tersebut. Pecahan pohon itu menjadi kecil-kecil, sepertinya habis dipahat
dalam waktu sangat singkat. Daunnya tak berbekas sedikit pun.
Rantingnya menjadi serbuk. Dan hal itu mencengangkan setiap orang yang
melihatnya. Termasuk Nini Pasung Jagat sendiri.
Yang membuat tercengang nenek haus pusaka itu adalah cara
Embun Salju menangkap sinar merah kecil itu. Selamanya tak pernah ada
orang yang berhasil menangkap sinar tersebut, kecuali hanya menangkis
dan menghindarinya. Jelas caranya menangkap sinar dalam keadaan tetap
utuh dan tidak meledak di tangan adalah cara yang hanya bisa dilakukan
oleh orang berilmu tinggi.
Sekalipun begitu, Nini Pasung Jagat masih belum jera melawan
Embun Salju. Ia segera melepas kan jurusnya yang bernama 'Darah Geni'.
Tangan kanannya melepaskan tongkat dan menyentak ke depan, lalu
melesatlah selarik sinar merah bagaikan bentuk pelangi melengkung. Sinar
merah itu tidak patah, tetap mengalir deras dan menghantam Embun Salju.
Telapak tangan kiri Embun Salju hanya menadah di depan dada,
menghadang sinar merah itu. Kini sinar tersebut melengkung dari tangan
kanan Nini Pasung Jagat ke tangan kiri Embun Salju. Tetapi beberapa
kejap berikutnya, sinar merah itu berubah sedikit demi sedikit menjadi
keputih-putihan, berpijar-pijar bagai nyala matahari, sampai akhirnya sinar
merah itu berubah putih keperakan. Tetap mengalir dari tangan Embun
Salju ke tangan Nini Pasung Jagat.
Tubuh Nini Pasung Jagat gemetar. Kuda-kudanya semakin rendah
bagai sedang menahan sesuatu yang amat berat. Keringatnya pun mulai
bercucuran di bagian kening. Semakin lama tubuh itu semakin menggigil
bagai orang kedinginan. Rupanya Embun Salju yang berdiri dengan tenang
bagai tanpa tenaga itu telah melepaskan jurus 'Darah Kutub' yang amat
dingin melebihi batu es.
Makin lama semakin tampak menggigil tubuh nenek tua itu. Bahkan
sebagai pengimbang kekuatannya, ia melepaskan satu pukulan mautnya
lagi melalui tangan kiri. Zlappp...! Sinar hijau melesat ke arah Embun Salju.
Itulah jurus 'Jalur Baja' yang amat berbahaya dan bisa membuat orang
menjadi meleleh jika terkena jurus itu karena kekuatan panasnya luar
biasa. Tetapi tangan kanan Embun Salju menyambut nya dengan tenang.
Sinar hijau yang melesat lurus tanpa bengkok sedikit pun itu ditahan
dengan telapak tangan kanan Embun Salju. Dan lama-kelamaan sinar
hijau itu bagaikan dibungkus oleh sinar putih perak. Sinar putih perak itu
merayap pelan-pelan sampai akhirnya masuk ke telapak tangan Nini Pasung Jagat. Sinar itu juga merupakan tenaga dalam yang sama, yaitu jurus
'Darah Kutub'. Tiga jurus maut kini meresap masuk ke dalam tubuh Nini Pasung
Jagat, yaitu jurus 'Darah Geni'nya sendiri, jurus 'Jalur Baja'-nya sendiri,
dilawan dengan jurus 'Darah Kutub' yang amat dingin menggigilkan tiap
persendian tubuhnya. Bahkan semakin lama Nini Pasung Jagat bertahan,
semakin tampak busa-busa salju bertumbuhan di bagian rambut, alis, leher,
pergelangan tangannya, dan hampir seluruh tubuh Nini Pasung Jagat
menjadi putih, dibungkus busa salju.
Nenek yang ngotot tak mau kalah itu tiba-tiba bercahaya sekujur
tubuhnya. Blappp...! Sinar merah memancar dari seluruh tubuh. Zlappp...!
Embun Salju melepaskan tangannya, menjauhi tubuh lawan yang menyala
memancarkan sinar merah itu. Tubuh tersebut mulai menyentak-nyentak
tak bisa bersuara. Jatuh ke tanah dan berkelojotan bagai ayam disembelih.
Beberapa saat kemudian, tubuhnya diam tak bergerak. Cahaya merah
surut, lalu padam dan wajah Nini Pasung Jagat kelihatan merah kehitaman
seperti tembaga.
"Kuburkan dia!" kata Embun Salju kepada Dewi Anjani, dan ia pun
segera meninggalkan tempat dengan tenang. Dewi Anjani menyuruh anak
buahnya untuk menguburkan Nini Pasung Jagat.
4 SEBENARNYA bisa saja mayat Nini Pasung Jagat dibuang ke laut.
Atau bila perlu dibuang ke jurang curam. Tapi Embun Salju tidak sekejam
itu. Kematian adalah sesuatu yang layak mendapat penghormatan
sekalipun sekecil biji semangka. Dengan menguburkan mayat Nini Pasung
Jagat sudah merupakan suatu penghormatan kecil yang dilakukan oleh
Embun Salju. Kisah Si Rase Terbang 8 Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo Pedang Darah Bunga Iblis 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama