Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka Bagian 2
Demikian pula Lawunggana, Sorogenen, Kertipana dan
dua orang jagabaya yang duduk semeja dengan Pendekar Bayangan sendiri ikut terkejut, lebih terkejut daripada ketika mereka
melihat uang tembaga tadi masih
tergulung. Dobleh, Dempok dan keempat teman lainnya terpaksa ganti melongo keheranan, sebab merekapun tak
habis mengerti betapa orang bertopeng tersebut dapat membuka gulungan uang
tembaga tadi, semudah
orang membuka gulungan selembar kertas belaka.
Bagaimanapun kenyataannya, sesungguhnya lebih
mudah menggulung selembar uang logam daripada
membuka dan meluruskan uang logam yang telah tergulung supaya pulih seperti sediakala.
Belum lagi Dobleh dan kawan-kawannya habis keheranan, tiba-tiba Pendekar Bayangan telah melempar kembali ke arah meja para
peminum tuak tadi!
Crak-crak-crak-cep-cep-cep!
Keenam buah uang tembaga tersebut bertancapan
pada permukaan meja si Dobleh dalam satu garis lurus seperti berbaris.
"Terimalah kembali uangmu itu!" seru Pendekar
Bayangan kepada Dobleh dan kawan-kawannya.
"Keparat!" desis Dobleh seraya mencabut mata uang
tembaga yang tertancap di permukaan meja di depannya. Tapi alangkah kagetnya bila mata uang tadi tidak tercabut bahkan bergerak
saja tidak! Begitu pula kelima orang pengikutnya pada mengutuk-ngutuk setelah
mereka tak berhasil mencabut uang tembaga itu, yang keadaannya telah menancap
separo lebih ke dalam
kayu permukaan meja.
"Permainanmu tidak begitu jelek, topeng barangan!"
bentak Dobleh seraya mengangkat meja tersebut dengan sebelah tangan lalu dilemparkan ke arah Pendekar Bayangan. "Terimalah hadiahku ini!" teriak Dobleh mengiringi meja yang
dilemparnya tadi melayang ke
arah sasarannya, yakni Pendekar Bayangan.
Namun sebelumnya Pendekar Bayangan telah berjaga lebih dulu, maka begitu meja tadi melayang ke arah tempatnya, secepat kilat
ia melancarkan pukulan tenaga dalamnya yang telah terkenal dengan nama Pukulan
Angin Bisu ke arah meja itu.
Plestak... byaaaarr!
Meja tadi tahu-tahu ambrol di tengah lemparannya
dan berantakan runtuh ke permukaan lantai warung.
Melihat ini Dobleh beserta kelima orangnya segera
berloncatan ke luar warung.
"Topeng barangan! Ayo keluar! Kita bermain-main
sedikit!" teriak Dobleh dengan kerasnya.
Beberapa pengunjung ataupun tamu lainnya segera
bersembunyi di pojok warung dan sebagian lagi menyingkir ke luar.
Dengan tenangnya Pendekar Bayangan melangkah
ke luar dan mendapatkan Dobleh yang telah meneriakkan tantangannya tadi.
"Heh, kau masih ingin bermain-main?" ujar Pendekar Bayangan dengan tenangnya.
"Yaaaah! Aku masih ingin mendapat sedikit pelajaran dari kamu, topeng barangan. Bersiaplah!" teriak Dobleh sambil mengkomatkamitkan bibir tebalnya.
"Hyaaat!" seru Dobleh dan melesat ke arah Pendekar
Bayangan dengan pukulan tangannya, yang segera disambut oleh Pendekar Bayangan menyilangkan kedua
tangannya di depan dada.
Blaaaakkkk! Terdengar benturan seru dan tubuh Dobleh tampak
terpental ke belakang, tapi dengan sigap ia mendaratkan kakinya ke tanah. Sedang Pendekar Bayangan
tetap berdiri tegak, bergeming saja tubuhnya tidak!
Hanya saja kedua tumitnya agak melesak masuk ke
tanah, akibat menahan pukulan tangan Dobleh. Dengan ini jelaslah bahwa peminum tuak berbibir tebal ini memiliki tenaga dalam
yang cukup hebat!
Setelah terpental itu, Dobleh seketika berseru, "Topeng barangan! Kamu sungguh
hebat! Tapi sampai di
sini dulu permainan kita! Lain kali kita lanjutkan lagi!"
Dobleh bersama kelima kawannya segera bergegas
melangkah ke samping warung dan mendapatkan kuda-kudanya. Mereka segera berloncatan ke punggung
kudanya dan memacunya sekali ke arah utara meninggalkan warung tersebut.
Orang-orang yang menyaksikan pertandingan singkat tadi terpaksa terlongoh keheranan, sementara Pendekar Bayangan dan para
pengikutnya telah duduk
kembali di tempatnya.
Mereka masih beberapa saat tinggal di situ sambil
menghabiskan minuman dan panganan yang telah ter-hidang. Sesudah itu merekapun
menyerahkan sekadar
uang kepada pemilik warung sebagai pengganti meja
dan mangkuk-mangkuk tembikar yang pecah akibat
perbuatan Dobleh dan kawan-kawannya tadi.
"Eh, terima kasih, Tuan!" berkata si pemilik warung kepada Pendekar Bayangan.
"Untunglah Tuan telah
memberi sedikit pelajaran kepada keenam pendekar
liar tadi sehingga mereka tidak akan berani ugal-ugalan lagi! Tetapi untunglah
Tuan tidak mendapat cedera sedikitpun. Sebab sesungguhnya keenam tadi adalah
pendekar-pendekar jagoan. Nah, tahukah Tuan, siapa
keenam orang tadi"!"
"Eeehm, tidak, Kisanak. Jika Andika tahu, lalu siapakah mereka itu?" tanya Pendekar Bayangan.
"Mereka adalah Sasta Tunggal, atau si Setan Enam
Serangkai dari Pegunungan Kendeng!" ujar si pemilik warung dengan suara
bergetar. "Si Setan Enam Serangkai"!" desis Pendekar Bayangan dengan kaget. "Hmm, memang aku pernah mendengar nama Sasta Tunggal dari Gunung Kendeng. Rupanya tidak hanya isapan jempol belaka, tapi sungguh-sungguh ada!"
"Tapi mengapakah mereka keluyuran sampai ke
tempat ini, Bapak?" bertanya Lawunggana. "Bukankah
Pegunungan Kendeng terletak jauh di sebelah selatan sana?"
"Ya, itulah anehnya! Pasti mereka punya tujuan tertentu!" Pendekar Bayangan membenarkan. "Akh, biarlah. Kita tak perlu lagi menggubris mereka. Marilah ki-ta meneruskan perjalanan
kita!" Setelah meminta diri kepada pemilik warung, Pendekar Bayangan beserta kelima pengikutnya segera
melanjutkan perjalanannya ke Tanjung Bugel. Mereka
berpacu ke arah utara dengan cepatnya.
*** 5 SEBUAH PERAHU telah mendarat di pantai Tanjung
Bugel, lalu para penumpangnya segera menyeret perahu tadi ke balik sebuah batu karang yang menjorok ke air, sehingga terlindung
dari pandangan mata.
Sesudah perahu tadi tersembunyi, para awak perahu segera berlarian ke darat dan bersembunyi di balik batu-batu karang pantai.
"Kakang Soma Karang, apakah engkau yakin bahwa
tempat inilah yang harus kita tuju?" bertanya si Tongkol kepada pemimpin
rombongan. "Tidak keliru lagi, si Tongkol," sahut Soma Karang
seraya melihat peta yang ada di tangannya. "Tempat
inilah yang ditandai oleh Ki Rikma Rembyak sesuai dengan petunjuk dari Bido
Teles! Dan tempat inilah yang dinamakan Tanjung Bugel!"
"Tanjung Bugel!" ulang si Tongkol. "Nama yang agak
aneh! Tetapi lalu apakah tugas kita di sini"!"
"Kita menunggu kedatangan Kakang Bido Teles dan
teman-temannya!" ujar Soma Karang.
"Hemm, jadi kita akan menanti di sini?" menyela
Garangpati ikut berbicara. "Apakah kita tidak perlu mencari si Bido Teles saja"
Mungkin kita bisa berpencar." "Maaf, Kakang Garangpati. Perintah Ki Rikma Rembyak cuma mengharuskan kita menunggu Kakang Bido Teles di tempat ini! Maka langkah-langkah selain daripada yang dituliskan di
dalam surat ini, tidak bisa dibenarkan!" ujar Soma Karang. "Sebab selain melanggar perintah, juga berbahaya bila kita terpecah-pecah!"
"Hmm, terserah jika demikian," gumam Garangpati.
"Engkau memimpin rombongan ini dan bertanggung
jawab atas tugas tersebut. Aku cuma sekadar mengajukan usul saja!"
Suasana menjadi sepi sejenak dan tiba-tiba mereka
terkejut oleh bunyi derapan kaki kuda dari sebelah barat, sehingga Soma Karang
dan rombongannya terperanjat. "Kawan-kawan, lekas bersembunyi!" seru Soma Karang. "Kita lihat saja, siapa yang mendatang itu!"
Mendengar perintah itu, maka orang-orang rombongan Soma Karang berloncatan dengan gesitnya ke balik batu-batu karang ataupun semak-semak yang cukup lebat. Sebentar-sebentar terdengar ringkikan kuda dan
debu yang berkepulan ke udara berbareng gemuruh
derap kaki kuda yang semakin dekat, membuat tanah
Tanjung Bugel bagaikan bergetar dan bergoyang.
Rombongan berkuda tadi segera berhenti dan para
penunggangnya berloncatan turun dari punggung kuda. Mereka ini ternyata adalah Ki Bango Wadas, Bido Teles dan anak buahnya.
"Marilah kita bekerja dengan cepat, Bido Teles!" ujar Ki Bango Wadas.
"Persiapkan anak buahmu untuk menyediakan alat-alat penggalinya! Nah,
bagaimana?"
"Baik! Tapi sayangnya kita cuma membawa tiga
buah cangkul saja. Biarlah yang lain nanti menggali dengan pedang dan goloknya!"
jawab Bido Teles.
Ki Bango Wadas segera mengeluarkan dua buah kalung permata hijau yang disimpannya di dalam kantong ikat pinggangnya. Setelah itu ia menggatukkan kedua permata hijau tadi pada
sisi-sisi lurusnya sehingga keduanya merupakan lingkaran bulat.
"Nah, inilah tanda timbunan harta Tanjung Bugel
yang kita cari!" ujar Ki Bango Wadas. "Lihatlah ini, Bi-do Teles. Ada tanda
bulatan bercabang-cabang! Yah,
aku yakin bahwa yang dimaksud adalah sebuah pohon
tua! Dan ini di dekat tanda pohon tua terlihat tanda ti-ga bulatan bersusun.
Hemm, lihatlah di sebelah selatan itu, kita lihat tiga buah batu karang besar
bertum-puk! Dan tidak jauh pula kita lihat ada sebuah pohon beringin tua yang
telah gundul!"
"Tapi apa arti tanda telapak kaki di samping angka
dua puluh lima ini?" sela Bido Teles seraya memperhatikan pada kedua permata
kalung hijau tersebut.
"Itu berarti bahwa kita memperoleh ukuran tersembunyi, yakni dua puluh lima langkah kaki dari arah
batu karang tiga bersusun!" ujar Ki Bango Wadas.
"Akan tetapi, tentang pohon beringin itu apakah tidak mungkin terjadi satu kekeliruan"!" tanya Bido Teles seraya menatap ke arah
pohon beringin tua yang
telah gundul itu dengan ragu-ragu.
"Heee, satu kekeliruan?" sambung Ki Bango Wadas
kaget. "Maksud Andika?"
"Begini, Ki Bango Wadas," ujar Bido Teles. "Rahasia tentang harta Tanjung Bugel
ini telah bertahun-tahun lewat. Dengan demikian mungkin pohon yang dimaksud
dalam peta permata hijau itu telah lama mati dan pohon beringin gundul yang
sekarang kita jumpai ini mungkin tumbuhan yang baru. Jadi bukan pohon
yang dimaksud!"
"Hmmm, bisa juga begitu," ujar Ki Bango Wadas dengan manggut-manggut. "Ternyata Andika berpikir dengan baik. Namun Andika pun harus pula ingat bahwa
pohon beringin itu mampu mempertahankan hidupnya
sampai puluhan tahun dan juga batu karang bersusun
itu bukanlah sekadar batu yang mudah rapuh dimakan jaman," demikianlah kata-kata Ki Bango Wadas
seraya melihat kembali pada kedua permata kalung hijau itu. "Nah, sekarang
marilah dilanjutkan pemeriksaan kita. Lihatlah titik-titik ini berasal dari
sumbernya, yakni batu karang bersusun yang lurus menuju ke
arah pohon tua itu!"
"Heh, heh, heh, jelaslah sekarang ini!" sela Bido
Teles. "Jadi petunjuknya lurus dari batu karang bersusun tiga segaris atau
searah dengan pohon beringin
tua, dan sejauh dua puluh lima langkah. Kemudian
berhenti dan galilah tempat tersebut, sebab di bawahnya tertimbun seguci dan
beberapa peti kecil yang berisi emas intan perhiasan yang tak ternilai
harganya."
"Nah, sekarang mulailah kita bekerja!" kata Ki Bango Wadas dengan tak sabar lagi.
Ki Bango Wadas, Bido Teles dan anak buahnya segera berlarian ke arah batu karang bersusun tiga dan mulailah mereka membuat
ukuran-ukuran sesuai dengan petunjuk-petunjuk pada batu permata hijau yang telah
berada pada tangan Ki Bango Wadas.
Mereka mengambil jarak dua puluh lima langkah
dan kemudian mulailah mereka menggali permukaan
tanah. Tanpa mengenal rasa lelah mereka terus menggali dan menggali semakin dalam sampai akhirnya,
seorang di antara anak buah Bido Teles berteriak kegirangan dan sangat serunya.
"Hei, lihatlah! Paculku menerjang sebuah leher guci yang besar."
"Husss, jangan berteriak keras-keras, Blending!"
ujar Bido Teles kepada anak buahnya. "Terus saja gali dan lebih cepat kalau
bisa!" Mereka bekerja semakin cepat hingga sebentar saja
tergalilah sudah guci perunggu berukir indah. Bersamaan itu pula tergali pula
beberapa peti kecil di sekitar guci tadi.
Para penemu peti kecil tadi rupanya sudah tidak
sabar lagi untuk mengetahui apakah isi yang terkandung di dalamnya. Maka cepat-cepat mereka membuka
peti tersebut dengan tergesa-gesa.
Namun berbareng tutup peti tadi terbuka maka terdengarlah bunyi tiga desingan lemah dan tiga orang
yang tepat berada di depan mulut peti tadi menjerit keras lalu roboh ke tanah
sambil berkelojotan.
Ki Bango Wadas dan Bido Teles yang melihat hal itu
cepat-cepat berusaha menolong ketiga orang tadi, tetapi sudah terlambat!
"Jarum-jarum beracun telah memasuki tubuh mereka! Bagaimana, Ki Bango Wadas?" desis Bido Teles.
"Tak dapat ditolong lagi, sobat," ujar Ki Bango Wa
Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
das setelah ia memeriksa tubuh korban-korban tersebut. "Racun telah beredar ke dalam darahnya!"
"Hmm, tiga orang anak buahku telah menjadi korban lagi!" gumam Bido Teles. "Tentunya kita harus lebih hati-hati dalam membuka
tutup guci itu! Siapa ta-hu bahwa mautpun telah mengintai di situ!"
"Lihatlah, Kakang Bido Teles!" berkata Sigayam
sambil membawa salah satu dari peti kecil yang telah terbuka tadi. "Uang-uang
emas! Kita semua akan
kaya!" Mata Bido Teles seketika bersinar melihat uang
emas tersebut yang berkilapan tertimpa sinar matahari siang dan kemudian iapun
berkata kepada Sigayam.
"Nah, kalau begitu, lekaslah kau buka tutup guci itu, Sigayam!"
"Baik, Kakang!" Sigayam berkata seraya meletakkan
peti kecil tadi, lalu mendekati guci perunggu dengan
hati-hati, seperti mendekati seorang musuh. Dengan
segera pula dicabutnya pedang di pinggang kirinya untuk kemudian digunakan
sebagai pencungkil tutup perunggu dari guci itu.
Klang! Tutup guci tersebut terlepas dan menggelinding ke
bawah bersamaan Sigayam dan orang-orang lainnya
mengendapkan diri, sebab takut kalau-kalau menjadi
korban seperti ketiga orang yang membuka peti kecil tadi.
Akan tetapi sampai beberapa lama tidak terjadi sesuatu hal, seperti berloncatannya jarum-jarum beracun ataupun lain-lainnya, sehingga Ki Bango Wadas,
Bido Teles, Sigayam dan orang-orang lainnya dapat
menarik nafas lega.
Maka Bido Teles buru-buru memeriksa isi guci perunggu tersebut. Dan begitu tangannya menjumput seuntai kalung emas yang berhiaskan permata-permata
intan yang gemerlapan, iapun berseru dengan girangnya. "Ha, ha, ha, ha! Lihat, kawan-kawan! Lihatlah ini!
Kita semua akan kaya. Ha, ha."
"Sobat Bido Teles," berkata Ki Bango Wadas, "sebaiknya kita kumpulkan seluruh harta penemuan Tanjung Bugel ini, kemudian kita bagi rata!"
"Ha, ha, ha, ha. Mengapa tergesa-gesa, Kiai" Apakah Andika kuatir kalau tidak menerima bagianmu?"
bertanya Bido Teles seraya memain-mainkan kalung
intan yang ada di tangannya.
"He, hanya bagianku"! Jangan lupa, sobat! Aku harus menerima pula bagian untuk muridku si Lawunggana!" Ki Bango Wadas berkata dengar tajam, sehingga Bido Teles menjadi
terkejut. "Sayang, Ki Bango Wadas! Maaf sebesar-besarnya,
bahwa aku cuma dapat menyerahkan bagian untukmu
saja, Kiai! Sebab ketahuilah, bahwa si Lawunggana
muridmu itu, tidak ikut bekerja bersama kita. Maka tidak sepantasnya bila iapun
harus mendapat bagiannya!" demikian kata-kata Bido Teles.
"Eh, bukankah aku yang menerimanya adalah sama
saja?" seru Ki Bango Wadas dengan nada keras.
"Ho, ho, ho. Tidak bisa, Kiai! Andika tahu, berapa
orang anak buahku yang telah tewas dalam usaha
mencari Harta Tanjung Bugel ini?"
"Itu bukan urusanku!" sahut Ki Bango Wadas.
"Memang bukan urusanmu!" kata Bido Teles. "Tapi
itu semua telah terjadi dan mereka itu benar-benar telah bekerja di dalam
rombongan ini! Sedang muridmu
itu, tidak ikut bekerja di sini, maka bagaimana kami dapat menilai kemampuannya"
Apalagi ia akan meminta bagiannya! Nah, itu tak bisa kami berikan!"
"Keparat," teriak Ki Bango Wadas yang merasa bahwa tipuannya untuk mendapatkan dua bagian dari
harta tersebut tidak berhasil. "Kalian mau mencoba
mengkhianatiku, Bido Teles"!"
"Ooo, tidak sekali-sekali demikian, Ki Bango Wadas!" sela Bido Teles. "Sabarlah, Andika akan segera menerima bagianmu saja. Dan
itu akan sudah lebih
dari cukup buat hidupmu bertahun-tahun."
"Tidak! Aku mau dua bagian!" teriak Ki Bango Wadas. "Dan kalian jangan coba-coba mempersulit atau
menipuku!"
"Hooo, Andika menghendaki kekerasan, Ki Bango
Wadas"!" bertanya Bido Teles seraya meringis. "Andika tahu bahwa aku mempunyai
anak buah yang cukup
banyak"!"
"Heeehh! Kau kira aku takut dengan tikus-tikus kecil itu, haah"!" Ki Bango Wadas mulai bersiaga dan ia telah menggenggam hulu
penggadanya. "Jangan Kiai menyesal nanti!" seru Bido Teles sambil tersenyum, sebab ia melihat bahwa di belakang Ki
Bango Wadas telah bersiap seorang anak buahnya
yang siap membacokkan pedang lebarnya ke arah kepala si botak Bango Wadas!
Tetapi memang dasar Ki Bango Wadas tidak bisa diremehkan begitu saja, begitu ia merasa desiran di belakang tubuhnya, maka
secepat kilat ia menyabetkan
penggada berdurinya ke belakang.
Prooaak! "Eeaaarrgh!"
Si penyerang gelap anak buah Bido Teles itu seketika roboh dengan kepala remuk disertai darah berhamburan. Sedang Ki Bango Wadas kemudian tertawa
terkekeh melihat korbannya tadi roboh menemui ajalnya. Iapun segera berseru. "Bido Teles, lihatlah itu anak buahmu! Mampus sudah!
Nah, apakah itu tidak
cukup sebagai peringatan pendahuluan"!"
Bido Teles menggeram marah, dan tiba-tiba ia bersuit nyaring, bertepatan dari balik batu-batu karang dan semak-semak
berloncatanlah Soma Karang beserta pengikutnya. Memang itulah isyarat yang
mereka tunggu-tunggu dan sebenarnya mereka telah sejak tadi mengawasi rombongan Bido
Teles. "Kakang Bido Teles! Inilah kami datang!" seru Soma
Karang sambil meloncat ke samping Bido Teles, sementara pengikut-pengikut Soma
Karang lainnya segera
bersiaga dan menyiapkan senjatanya.
"Setan alas!" seru Ki Bango Wadas. "Kalian licik, Bi-do Teles. Kau telah
menyiapkan orang-orangmu untuk
mengeroyok diriku!"
"Heh, heh, heh. Kau mau apa, mau apa sekarang,
Bango Wadas"!" ujar Bido Teles. "Meskipun sakti luar biasa, kau toh tak akan
mampu menghadapi keroyokan pendekar-pendekar dari gerombolan Ki Rikma
Rembyak ini!"
"Hooh" Jadi kalian begundal-begundal dari Rikma
Rembyak," seru Ki Bango Wadas. "Hmm, bagusbagus!" "Ho, ho, ho. Kau takut bukan?" seru Ki Bido Teles
kepada Ki Bango Wadas. "Oleh sebab itu, minggat saja-lah sebelum tubuhmu lumat
kami gilas!"
"Keparat! Jangan buru-buru sombong kau, Bido
Teles! Dengarlah suara derap kuda dari sebelah selatan itu!" Ki Bango Wadas
berteriak dan memanglah da-ri sebelah selatan muncul enam orang berkuda yang
langsung menuju ke arah Ki Bango Wadas yang lagi
dikepung itu. Tanpa diduga-duga, keenam orang berkuda itu sekonyong-konyong mengibaskan tangannya, disusul bunyi berdesing nyaring dan tahu-tahu enam orang anak buah Bido Teles yang lagi
mengepung Ki Bango Wadas
terjungkal ke tanah, dengan masing-masing dahinya
tertembus oleh sekeping mata uang tembaga!
Bukan main kagetnya Bido Teles, Soma Karang dan
segenap rombongannya, ketika enam orang dari anak
buahnya telah tergeletak tak bernyawa lagi. Kini ganti Ki Bango Wadaslah yang
terkekeh-kekeh kegirangan,
sementara keenam orang pendatang tadi segera berloncatan turun dari punggung kudanya dan segera
mendapatkan Ki Bango Wadas.
"Ha, ha, ha, ha. Nah, lihatlah Bido Teles! Kalian ta-hu siapa yang berdiri di
sampingku ini"! Mereka adalah Sasta Tunggal atau Setan Enam Serangkai dari
Pegunungan Kendeng!"
Keruan saja Bido Teles serta segenap gerombolannya menjadi kaget sekali. Mereka mengenal bahwa Setan Enam Serangkai dari daerah selatan itu sangat ditakuti dan hampir boleh
dikatakan bahwa mereka telah merajai Pegunungan Kendeng dan daerah sekitarnya. Dalam pada itu, Ki Bango Wadas telah merasa tenang, sebab kini dirinya telah dibela oleh Sasta Tunggal yang telah diundangnya
beberapa waktu berselang.
Sedang tangan kirinya berkali-kali meraba dua kalung permata hijau yang
disimpannya dalam lipatan ikat
pinggangnya. Sesungguhnya ia kuatir kalau-kalau terjatuh, sebab kedua kalung
inilah yang sangat berharga dan juga pangkal dari sengketa kalung pusaka dan
harta Tanjung Bugel!
"Kurang ajar!" sumpah Bido Teles. "Kaupun juga licik, Bango Wadas! Kau telah melibatkan Setan Enam
Serangkai dalam persoalan ini!"
"Heh, heh, heh, heh. Tak perlu mengumpat! Kenyataannya kita sama-sama liciknya. Dan sekarang, siapa yang berhasil menang dalam
pertempuran nanti, di-alah yang boleh menggotong seluruh harta Tanjung
Bugel itu!" demikian teriak Ki Bango Wadas.
"Bagus!" seru Bido Teles. "Ayo, kawan-kawan, hancurkan si botak itu dengan kawan-kawannya! Serbuuu!" Pertempuran hebat tak tercegah lagi. Begitu teriakan Bido Teles mengumandang di atas udara Tanjung
Bugel ini, seketika itu pula menerjanglah Bido Teles beserta seluruh
rombongannya ke arah Ki Bango Wadas dan enam pendekar dari selatan itu.
Dengan sabetan penggadanya, Ki Bango Wadas menyambut serangan Bido Teles yang menyerang dengan
pedang lebarnya, sementara Soma Karang, Garangpati, si Tongkol, Blending,
Sigayam dan lain-lainnya telah menerjang ke arah Setan Enam Serangkai.
Namun alangkah kagetnya Soma Karang beserta
rombongannya bila ternyata Setan Enam Serangkai itu berkekuatan dahsyat. Mereka
masing-masing bersenja-takan pedang yang tajam pada kedua belah sisinya
dan gerakan mereka selalu berpasangan.
Dengan begitu maka Soma Karang dan kawan-kawannya terpaksa harus mengerahkan segenap tenaganya untuk menghadapi Sasta Tunggal dari Pegunungan Kendeng ini!
Memang sangat hebat si Setan Enam Serangkai.
Maka sudah pantaslah bila mereka disebut dengan
nama demikian. Gerakannya benar-benar mirip sekawanan setan yang kelaparan. Mereka kadang-kadang
bertempur dalam garis memanjang sehingga merupakan seleret ombak ganas yang siap menyapu lawanlawannya. Terkadang mereka menjadi setengah lingkaran gerakannya, mirip cepit udang atau bentuk tapal kuda sampai pertahanan Soma
Karang dan rekan-rekannya terpaksa berantakan bila mereka tidak ingin dikurung
serta dicepit oleh si Setan Enam Serangkai dari daerah selatan itu.
Berkali-kali Soma Karang langsung menerjang ke
arah pemimpin dari Setan Enam Serangkai tersebut,
tapi setiap kali pendekar dari Pulau Mondoliko ini dibuat kagum oleh tangkisantangkisan yang dilancarkan oleh si pemimpin Setan Enam Serangkai yang berbibir tebal, lebar dan bermata tajam.
"Haa, ha, ha, ha. Tikus-tikus yang mau main curang! Mau apa kau sekarang, haa"!" teriak si pemimpin berbibir tebal kepada Soma
Karang. "Mumpung masih
ada waktu, lekaslah angkat kaki dan tinggalkan harta Tanjung Bugel untuk kami!
Jika tidak, maka kau akan segera binasa di bawah pedangku ini!"
"Keparat. Manusia berbibir setebal sumur itu masih
berani jual tampang di muka anak buah Ki Rikma
Rembyak"!" seru Soma Karang. "Sebut dulu namamu,
hah!" "Ha, ha, ha, ha. Akulah yang bernama Dobleh Kelana, pemimpin dari Sasta Tunggal atau Setan Enam Serangkai ini!" jawab si pemimpin berbibir tebal tadi seraya memutar-mutar
pedangnya sampai merupakan
lingkaran sinar putih dan berdesis-desis mengiris hati.
Sesaat Soma Karang agak terkejut, namun akhirnya
iapun tertawa menggeletar. "Hi, hi, ha, ha. Permainan pedangmu tidak begitu
jelek, sobat berbibir sumur!
Tapi cobalah untuk menyerangku jika kau mampu!"
Belum lagi Soma Karang meneruskan kata-katanya,
mendadak Dobleh telah melesat menerjang ke arah dirinya. Untunglah iapun telah bersiaga sejak semula.
Maka begitu pedang lawannya menyambar, secepat kilat Soma Karang menangkiskan pedangnya.
Craaaang! Kedua-duanya, baik Soma Karang sendiri maupun
Dobleh Kelana, menjadi saling terperanjat akibat benturan kedua senjata mereka.
Keduanya tergetar surut beberapa langkah dibarengi pedang-pedang mereka
tergetar di dalam genggaman.
Maka tak urung Soma Karang menjadi terheran-heran bahwa gempuran pedang lebarnya yang dilambari
kekuatan penuh, dan biasanya sanggup sekali pukul
rontok terhadap lawan-lawannya, kini ternyata kandas dalam tangkisan pertama
Dobleh Kelana. Dengan demikian makin sadarlah Soma Karang,
bahwa julukan Setan Enam Serangkai terhadap Dobleh Kelana berenam itu betul-betul cocok dengan kenyataannya. Gerak dan tindak-tanduk mereka mirip
setan-setan liar tak terurus.
Begitu juga sebaliknya. Dobleh Kelana juga merasa
heran mengapa lawannya ini sanggup menerima terjangan pedangnya. Padahal ia mengira bahwa pedang
lawannya akan segera terpental lepas dari tangan So-ma Karang.
Karenanya masing-masing menjadi maklum bahwa
kekuatan mereka tidak selisih banyak bedanya dan
merupakan lawan yang seimbang.
Terbentanglah sudah pertempuran yang semakin
meningkat seru dan menyeramkan. Bila pedang bermata kembar si Dobleh Kelana sanggup mengaungngaung berputar dahsyat, maka pedang lebar Soma
Karang mampu menebas-nebas dengan sambaran
mautnya.
Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada waktu yang sama pula, Garangpati bertempur
dengan tangguhnya melawan Dempok atau orang kedua dari Setan Enam Serangkai. Tokoh selatan yang
berhidung pesek dan besar, bagaikan buah jambu air
menggandul itu, ternyata bukan lawan yang boleh dianggap ringan dan semaunya.
Pada gebrakan dan jurus pertama saja, terasalah
oleh Garangpati kalau Dempok memiliki kekuatan tersembunyi. Orang seperti Garangpati yang telah bertempur di mana-mana dan kenyang akan asam garamnya, segera menjadi tahu bagaimanakah yang harus
diperbuatnya dalam menghadapi Dempok itu. Tidak
lain ialah menumpahkan segenap tenaga dan ilmunya
secara total! Di sebelah lain, si Tongkol, Blending, Sigayam dan
lain-lainnya juga terlibat dalam pertarungan seru melawan keempat Setan Enam
Serangkai yang lain. Anggapan mereka yang semula mengira bahwa golongannya akan selalu menang dan ditakuti lawan-lawannya, ternyata sekarang menjadi
keliru, sebab kali ini mereka menemukan lawan yang imbang.
Ki Bango Wadas memutar penggada berdurinya dan
bunyi berdesau terdengar bersamaan cahaya berkilatan dari duri-duri logam yang runcing dan setiap saat dapat merobek tubuh Bido
Teles. Karenanya Bido Teles terpaksa mengomel dalam hati menghadapi lawannya
yang berkepala botak ini. Kalau saja ia tak mempunyai kepandaian tinggi, jangan
harap mampu menandingi si botak dari muara Kali Serang itu. Sebagai pendekar
jagoan dari seluruh pengikut-pengikut Ki Rikma Rembyak, Bido Teles tak mau mendapat malu oleh temantemannya jika sampai dikalahkan oleh Ki Bango Wadas, maka Bido Teles senantiasa mencurahkan segenap kemampuannya.
Pertempuran di pantai Tanjung Bugel untuk memperebutkan harta emas intan yang tak ternilai harganya itu menjadi kian
menghebat, sementara sang surya makin bergeser ke arah barat dengan malasnya.
Sampai puluhan jurus mereka saling serang-menyerang dan berusaha menjatuhkan lawan-lawannya
agar mereka segera dapat menguasai harta Tanjung
Bugel itu. Yah, harta yang begitu banyak, teramat mahal untuk dihargai, telah menyeret kedua gerombolan itu bertempur bertegang leher dan
urat serta memperjudikan nyawanya. Ketamakan dan nafsu memperkaya diri memang
sering melanda setiap hati nurani manusia, sehingga mereka tidak jarang saling bercakaran sendiri.
Saling gilas-menggilas dengan segala tipu daya dan
akal licinnya, menerobos batas-batas lingkaran persaudaraan dan persahabatan. Maka tak heran bila
norma kemanusiaan sering terpunah karenanya.
Bila sudah begitu, mereka lebih mirip sekawanan
serigala atau hewan-hewan liar yang saling mencercah untuk kemudian saling
melahap, dan hukum rimbalah
yang telah bersarang serta bermukim di setiap relung-relung hati dan pori-pori
kulit mereka. Dan terakhir sekali bila mereka telah saling hancur ataupun menang dan
mengangkangi harta itu, akhirnya mereka pasti akan menyesal. Sebab untuk hal itu
mereka telah banyak mengorbankan segala-galanya.
Tiada sesuatu yang langgeng atau abadi seperti kekayaan berlimpah-limpah yang
tengah mereka perebutkan itu. Berbahagialah manusia yang masih sadar
dan eling akan dirinya.
Dan daerah Tanjung Bugel itu seperti tergoncang
dan bergetar oleh pertempuran itu. Tiba-tiba terdengarlah satu jeritan bila pundak si Garangpati tergores oleh pedang Dempok.
Garangpati merasakan pedih dan terasalah sesuatu
mengalir dari pundak kirinya. Darah! Ya, ujung pedang telah merobek bajunya dan
menggores kulitnya. Namun justru karenanya, Garangpati menjadi lebih garang dan beringas. Pedangnya makin gencar menyerang Dempok. Jeritan Garangpati tadi sempat membuat pertahanan Ki Bango Wadas melonggar, sehingga Bido Teles
mempergunakan kesempatan itu untuk membabatkan
pedangnya ke arah lawannya.
Breettt! Untunglah Ki Bango Wadas keburu mengegoskan
tubuhnya ke samping dan hanya kainnyalah yang terobek oleh pedang Bido Teles.
"Keparat! Benar-benar dia menggunakan pertahananku yang lowong dengan baik," gerutu Ki Bango
Wadas. "Untunglah perutku tidak ikut terburai! Tapi terimalah ini, Bido Teles!"
Bido Teles yang sedikit takabur karena dapat menyobek kain Ki Bango Wadas menjadi sedikit lengah
dan menjadi geragapan begitu penggada si botak itu
menghajar ke arah kepalanya! Ia masih sempat menangkiskan pedangnya, tapi akibatnya terpentallah tubuh Bido Teles bergulingan
ke belakang beberapa kali.
Namun dengan sigapnya pula Bido Teles melenting
berdiri dan siap bertempur kembali.
Sementara itu, jauh di pojok barat, Ki Lurah Mijen
telah mengendap-endap di balik semak belukar. Mereka telah turun dari kudanya.
"Nah, lihatlah Angger Wulung. Mereka bercakar-cakaran sendiri. Inilah kesempatan kita untuk memukul
mereka!" ujar Ki Lurah Mijen. "Marilah Angger dan biarlah Endang Seruni nanti
menjaga kuda-kuda yang
telah kita tambatkan itu!"
"Baik, Bapak. Ayolah!" seru Mahesa Wulung seraya
melolos pedangnya. Sedang Pandan Arum telah mengurai selendang jingganya, sebab ia yakin bahwa jumlah musuh yang mesti dihadapi
jauh lebih banyak dan
hanya dengan senjata selendangnya ia merasa lebih
aman. Sebentar kemudian empat bayangan telah melesat
ke arah medan pertempuran dan siap terjun ke dalamnya, bagaikan empat ekor rajawali yang siap menerkam mangsanya! Kedatangan mereka berempat ternyata mengagetkan kedua gerombolan yang lagi bertempur. Baik Ki Bango Wadas ataupun Bido
Teles segera tahu siapakah mereka berempat itu!
Tambah mengejutkan lagi, begitu selendang jingga
Pandan Arum melecut pada salah seorang pengikut
Bido Teles, maka seketika orang tersebut terjungkal dengan muntah darah.
Bersamaan waktunya pula, pedang Mahesa Wulung telah menemukan korbannya juga. Ki Bango Wadas, demi melihat bahaya yang mengancam dirinya beserta kawan-kawannya segera berpikir dengan sibuknya dan tiba-tiba ia menemukan satu pikiran. Pertempuran antara
pihaknya dengan pihak
Bido Teles harus ditunda untuk sementara, sebab jika tidak maka besar
kemungkinan bahwa rombongan mereka berdua akan berantakan, dan Ki Lurah Mijen
be- serta pengikutnya akan dengan mudah menumpas mereka! "Bido Teles!" teriak Ki Bango Wadas. "Mari persengketaan kita sementara ditunda dan bersama-sama kita hancurkan Ki Lurah Mijen
serta pengikutnya itu!"
"Hmm, pikiran yang bagus!" seru Bido Teles. "Tapi
setelah itu, pertempuran antara kita harus dilanjutkan lagi!"
"Setuju!" seru Ki Bango Wadas dan kemudian seperti digerakkan oleh kekuatan yang sama, mereka segera bersuit memberi tanda
kepada para pengikutnya.
Maka seketika kedua gerombolan itupun seperti tersadar dari mimpinya. Mereka
segera dapat mengetahui
manakah musuh mereka yang sebenarnya! Yaitu, tidak
lain adalah Ki Lurah Mijen beserta pengikutnya!
Mereka segera beramai-ramai menyerangnya, sehingga Ki Lurah Mijen, Mahesa Wulung, Pandan Arum
serta Jagabaya Cangkring menjadi terkurung dan terdesak! "Kurang ajar!" desis Mahesa Wulung. "Kita terjebak!
Mereka telah bersatu kembali!"
Dan memang sesungguhnyalah, bahwa mereka kerepotan. Betapapun saktinya seseorang, tapi bila
menghadapi keroyokan dari musuh-musuh yang kelewat banyak dan juga terhitung pendekar-pendekar jagoan, maka pastilah akan terdesak karenanya!
Sebentar kemudian tampaklah bahwa Ki Lurah Mijen dan pengikutnya berada dalam bahaya dan bayangan maut telah membayangi mereka!
Mahesa Wulung diam-diam mengeluh di dalam hati.
"Hmm, Bapak Pendekar Bayangan belum muncul. Apakah mereka menemui kesulitan" Terlalu banyak musuh-musuh yang harus aku hadapi. Aku harus segera
menggunakan cambuk Naga Geni!"
Demikianlah, Mahesa Wulung bermaksud menggunakan cambuk pusakanya. Akan tetapi sebelum maksud itu terlaksana, mendadak saja dari arah barat me-lesatlah seorang bercaping
dan bersenjata pedang, lalu terjun ke dalam kancah pertempuran!
Mahesa Wulung tak sempat terlalu lama memperhatikan tokoh bercaping ini, sebab begitu terjun orang tersebut segera
berkelebatan ke sana-ke mari sedang pedang di tangannya menyambar-nyambar bagai
ujung jari elmaut, menyerang orang-orang dari pengikut Ki Bango Wadas dan Bido Teles!
Sebentar kemudian beberapa orang telah roboh oleh
pedang si tokoh bercaping, membuat Ki Bango Wadas
dan Bido Teles menggeram marah.
"Hooh! Siapakah orang bercaping itu" Ia membela
rombongan Ki Lurah Mijen!" gerundal Ki Bango Wadas.
"Keparat! Tapi biarlah. Aku punya bingkisan buat dia!"
Ki Bango Wadas menatap tajam ke arah si tokoh
bercaping kemudian ia mengambil sebuah ruas tabung
bambu dari balik ikat pinggangnya. "Hmm, memang
dia luar biasa! Tapi aku ingin tahu, apakah ia mampu menangkis jarum-jarum
mautku ini!"
Dengan cepatnya Ki Bango Wadas mengibaskan tabung bambu tadi ke arah si tokoh bercaping dan seketika itu pula beterbanganlah
jarum-jarum maut yang
pangkalnya berumbai benang-benang merah menuju
ke sasarannya! Pendekar bercaping sangat terkejut mendengar bunyi berdengung seperti suara puluhan lebah, dan keti-ka ia menoleh ke arah
sumber suara tersebut, tampaklah benda-benda berkeredapan merah menuju ke
arah dirinya dengan kecepatan luar biasa.
"Senjata-senjata rahasia!" desis pendekar bercaping sambil memutar pedang di
tangannya untuk menangkis jarum-jarum maut tadi. Memang usaha pendekar
bercaping tadi berhasil. Bunyi gemerincing senjata pedangnya yang berhasil
menangkis rontok jarum-jarum
maut tadi terdengar amat nyaring. Namun beberapa jarum maut yang menyambar ke
bawah tubuhnya tak
berhasil ditangkis dan langsung menancap, bersarang kepada si pendekar
bercaping! "Aaaargh!" rintih si pendekar bercaping seraya roboh ke tanah dan berkelojotan. Buru-buru ia meraba
pahanya dan mencabut jarum-jarum maut yang bersarang pada dagingnya.
Akan tetapi bisa dari jarum-jarum maut tadi memang luar biasa. Sebentar saja si pendekar bercaping merasakan bahwa kakinya
sudah tidak mempunyai
rasa lagi, sedang dadanyapun menjadi sesak.
"Kakiku mulai lumpuh!" desah pendekar bercaping.
Sementara itu Mahesa Wulung menjadi terperanjat
begitu dilihatnya si pendekar bercaping yang telah
membelanya terjatuh ke tanah. Cepat-cepat ia melesat ke arah sana, dan alangkah
kagetnya bila ia segera
mengenal si pendekar tadi.
"Bapak Camar Seta!" seru Mahesa Wulung seraya
merangkul bekas gurunya itu, serta berusaha menolongnya! "Tak ada faedahnya lagi, Angger Mahesa Wulung,"
desah Ki Camar Seta. "Racun si botak ia memang sangat keras dan tak ada harapan lagi untuk mencegahnya." Mahesa Wulung tak segera dapat berkata kecuali
tersedu sedih melihat nasib Ki Camar Seta. Ia sudah beberapa lama tak bertemu,
dan kini mereka diperte-mukan dalam saat-saat yang mengharukan. Meskipun
mulai kepucatan wajahnya, tapi Ki Camar Seta masih
tersenyum seraya menepuk-nepuk pundak Mahesa
Wulung. "Angger Wulung, tabahkan hatimu, Nak! Jika aku
telah tiada lagi, maka rawatlah caping dan pedangku ini dan sampaikan salamku
kepada Angger Pandan
Arum serta sahabat-sahabat lainnya!"
"Ba... pak!" ujar Mahesa Wulung. "Tapi tak mungkin
Andika akan tewas. Aku akan menolongmu, Bapak!"
"Terima kasih... terima kasih," sahut Ki Camar Seta.
"Engkau memang murid yang berbakti, Wulung. Namun ketahuilah, bahwa racun yang telah mengeram di
dalam tubuhku ini sangat hebat!" Ki Camar Seta tampak semakin lemah dan pucat, sehingga Mahesa Wulung menjadi berputus asa. "Angger... Wulung. Ber...
hati-hatilah... engkau menghadapi si botak itu... Nak,"
ujar Ki Camar Seta dengan terputus-putus dan lemah.
Wajahnya yang tua dengan kumis putih kelihatan pucat sekali. "Bapak Camar Seta!" desah Mahesa Wulung seraya
merangkul pendekar bercaping itu lebih erat, seolah-olah ingin menahan kematian
bekas gurunya itu.
"Biarlah... aku berlalu..., Nak. Aku su... dah tua.
Ibarat... selembar daun... yang telah menguning layu...
dan setiap saat akan runtuh ke bumi... itu pasti ter...
jadi... aaakkh...."
Ki Camar Seta makin lemah dan terakhir sekali ia
terdengar bergumam menyebut nama Tuhan Yang Maha Besar dengan suara hampir tak terdengar, tapi ia telah menyebutnya dengan
ketulusan hati dan kekuatan terakhir. Setelah itu kepala Ki Camar Seta terkulai
dalam pelukan Mahesa Wulung.
Dengan hati-hati sekali Mahesa Wulung membaringkan tubuh Ki Camar Seta ke atas tanah. Matanya
yang berkaca-kaca itu kemudian menatap tajam ke
arah Ki Bango Wadas yang masih berdiri congkak di
kejauhan.
Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hua, ha, ha, ha. Biarlah ia mampus si caping bobrok itu," teriak Ki Bango Wadas. "Jika kau ingin
membelanya, majulah lekas kemari, supaya engkau
pun segera binasa menyusulnya!"
"Setan botak!" berseru Mahesa Wulung. "Marilah kita buktikan kata-katamu itu!" Kemudian dengan teriakan dahsyat, seperti teriakan
seekor harimau yang marah, Mahesa Wulung meloncat menerjang ke arah Ki
Bango Wadas. Melihat lawannya menerjang, Ki Bango Wadas telah
bersiaga pula dan putaran penggada berduri di tangannya segera menyambut tebasan
pedang Mahesa Wulung. Maka pertempuran hebatpun segera terjadi.
Di saat pertempuran itu tengah berkecamuk, beberapa orang anak buah Bido Teles secara diam-diam
mengangkat peti-peti kecil. Yah, begitu kecilnya peti-peti itu yang masingmasing sisinya berukuran lebih kurang satu jengkal. Dengan begitu maka sangat
mu-dahlah membawanya. Berbeda dengan guci yang berukuran kelewat besar itu, dan memerlukan tenaga lebih dari satu orang untuk
mengangkutnya. Di saat itu, Garangpati yang telah terluka dan kini berhadapan dengan Jagabaya
Cangkring tiba-tiba
menjerit, sebab ketika ia menghindari tusukan tombak Jagabaya Cangkring,
ternyata kurang cepat gerakannya. Maka tak ampun lagi mata tombak lawannya itu
berhasil menggores pundaknya. Biarpun begitu Garangpati masih gigih bertempur.
Meskipun Mahesa Wulung dapat menandingi Ki Bango Wadas, tapi di pihak lain Ki Lurah Mijen, Pandan Arum dan Jagabaya Cangkring
semakin terdesak oleh
lawan-lawannya. Lebih-lebih dengan Bido Teles dan
Setan Enam Serangkai yang menyerang dengan gencar
membuat mereka bertiga harus mengerahkan segenap
ilmu dan tenaganya dengan sepenuh daya.
Dan melihat itu Mahesa Wulung menjadi cemas.
Tapi bagaimanakah ia harus membantu mereka bertiga, sebab iapun terlibat dalam pertempuran melawan
Ki Bango Wadas yang ternyata berkekuatan hebat.
Sekonyong-konyong dari arah selatan muncullah
enam sosok bayangan manusia yang berloncatan menuju ke medan pertempuran itu.
"Bapak Pendekar Bayangan!" desis Mahesa Wulung
dengan gembira, sedang Ki Bango Wadas bahkan sebaliknya, ia menjadi cemas oleh kedatangan pendekar
bertopeng putih itu dengan kawan-kawannya. Bahkan
ia menjadi gemetar marah bila di antara orang-orang yang baru muncul itu
tampaklah si Lawunggana!
Ki Lurah Mijen, Pandan Arum dan Jagabaya
Cangkring menjadi bergembira oleh kedatangan Pendekar Bayangan dan rombongannya. Semangat mereka
menjadi lebih menyala seperti juga gerak serangannya.
Kini si Bido Teles langsung berhadapan dengan Pendekar Bayangan, sedang Soma Karang masih gigih menyerang Ki Lurah Mijen. Di sebelah lain, Pandan Arum, Lawunggana, Kertipana,
Sorogenen dan dua orang jagabaya dengan gencarnya menyerang Setan Enam Serangkai dan pengikut-pengikut Bido Teles lainnya seperti si Tongkol, Kerang dan
kawan-kawannya.
Meskipun lawan-lawan yang harus dihadapi Setan
Enam Serangkai dan rekan-rekannya bertambah, namun suasana tidak begitu banyak perubahannya. Setan Enam Serangkai dari daerah selatan tadi ternyata mampu bertempur dengan
tenaga berlipat-lipat. Terutama mereka mempunyai jurus-jurus yang saling berpasangan dan saling mengisi sehingga serangan-serangan mereka ibarat segulungan ombak ganas yang
berganti-ganti menghempas ke arah lawan-lawannya.
Bila hempasan yang pertama kandas maka hempasanhempasan berikutnya menyusul. Begitulah pertempuran di Tanjung Bugel tadi, menjadi semakin hebat, seperti tak akan ada akhirnya.
Di tengah keriuhan tersebut, tak antara lama terdengarlah satu jeritan nyaring berbareng lecutan selendang jingga Pandan Arum
yang berhasil menerjang
dada Kerang. Pengikut Bido Teles ini segera terhenyak.
Pedangnya terlepas dan tampaklah ia berusaha menekan dadanya, tapi sesaat kemudian terlontaklah darah
segar dari mulutnya dan robohlah Kerang ke tanah
tanpa dapat berkutik lagi.
Satu korban telah jatuh lagi, akan tetapi pertempuran tidak akan berhenti karenanya, bahkan menjadi
hebat. Sebab dengan jatuhnya korban-korban itu, maka mereka menjadi lebih hati-hati dan gigih dalam
menghadapi lawan-lawannya.
Dan mereka yang kurang gigih dan cekatan akan
segera tergilas oleh serangan-serangan lawannya, seperti halnya kedua orang
jagabaya dari Desa Mijen
yang tiba-tiba menjerit parau, begitu pedang-pedang dari Dobleh Kelana dan
Dempok masing-masing meng-hunjam ke dada dan lambung kedua orang jagabaya
tadi. Keduanya seketika roboh tanpa sesambat lagi.
Bido Teles menjadi bernafsu apabila serangan-serangannya berkali-kali kandas terhadap Pendekar
Bayangan. Tokoh bertopeng putih ini cuma bersenjata tongkat kayu bercabang,
namun itupun sudah cukup
hebat bila dimainkan dan digerakkan oleh tangan Pendekar Bayangan.
Pedang lebar Bido Teles yang digerakkan dengan
kekuatan penuh dan ilmu yang sempurna selalu mengancam Pendekar Bayangan. Demikian tajamnya mata
pedang Bido Teles yang berhulu gading itu, selalu berkilatan tertimpa sinar
matahari siang, merupakan seleret sinar putih yang bergulung-gulung mengerikan.
Memang, berkali-kali terjadi benturan antara pedang Bido Teles dengan tongkat bercabang si Pendekar Bayangan, dan setiap kali
itu pula, pedang Bido Teles bergetar seraya tubuhnya bergeser surut ke belakang,
sedang Pendekar Bayangan bergeming saja tidak. Tubuh dan senjatanya seolah-olah
merupakan tonggak
baja yang tak mudah goyah oleh apapun,
Bido Teles merasa kalah tenaga, tapi beruntunglah
bahwa ia memiliki kelincahan bergerak sehingga ia
mampu menghindari serangan-serangan tongkat bercabang dari Pendekar Bayangan.
Di pojok lain, Ki Bango Wadas yang menghadapi
Mahesa Wulung selalu gencar melancarkan seranganserangannya. Penggadanya yang berduri logam dan
runcing yang menunjukkan jumlah lawan yang telah
dibunuhnya, berputaran menerjang Mahesa Wulung
dengan hebat. Sekali ini ia tak mau tanggung-tanggung menghadapi pendekar muda dari Demak itu, sebab ia telah
sadar, bahwa lawannya yang masih lebih muda daripada dirinya telah memiliki ilmu bertingkat tinggi. Betapa tidak, karena jika
ilmunya cuma rendah saja, ma-na bisa ia mampu bertahan terhadap serangan-serangannya lebih dari tiga puluh jurus.
"Hmm, memang hebat si Mahesa Wulung ini. Kepandaiannya tidak bertaut banyak dengan kepandaianku!" gerundal Ki Bango Wadas. "Tapi tunggulah.
Jurus-jurus penggada mautku belum sampai pada
puncaknya!"
Demikianlah, keduanya bertempur semakin dahsyat, lebih-lebih ketika keringat mereka mulai mengalir dari lobang-lobang
kulitnya, maka yang tampak kemudian seolah-olah adalah gulungan asap saling
melibat dan melingkar-lingkar.
"Mahesa Wulung!" seru Ki Bango Wadas. "Lekaslah
berlalu dari tempat ini selagi masih sempat, sebab aku masih memberi waktu dan
kelonggaran untuk itu!"
Mendengar itu Mahesa Wulung tertawa lirih, namun
nadanya cukup menyakitkan telinga Ki Bango Wadas,
sehingga pendekar botak itupun seketika berteriak marah.
"Edan! Apa yang membuatmu ketawa, hoa"!"
"Kata-kata ancamanmu tadi! Engkau seolah-olah
berhadapan dengan bocah cengeng dan menganggapku
sebagai anak kecil yang mudah terbirit-birit lari oleh gonggongan kata-katamu
itu!" "Keparat!" teriak Ki Bango Wadas marah seperti juga sorot matanya yang telah merah, seperti hendak
membakar lawannya. "Terimalah jurus-jurus mautku
ini." Mahesa Wulung terkejut namun hanya sesaat, sebab di saat itu pula ia telah menyiapkan sikap Tugu Wasesa untuk menahan
hempasan gada berduri Ki
Bango Wadas. Jraaang! Bunyi gemeroncang terdengar akibat benturan pedang Mahesa Wulung dengan penggada berdurinya Ki
Bango Wadas, mengagetkan orang-orang di sekelilingnya. Kedua senjata tadi seketika terpelanting lepas dari tangan-tangan pemegangnya.
Baik Mahesa Wulung
maupun Ki Bango Wadas masing-masing terpental surut ke belakang beberapa langkah.
Tampaklah Mahesa Wulung menggosok-gosok telapak tangan kanannya yang terasa panas, begitu pula
dengan Ki Bango Wadas yang segera menghembushembus tangan kanannya, sebab rasanya bagai terbakar oleh kobaran api.
"Nah, kita masing-masing tak bersenjata lagi. Sekarang aku ingin tahu apakah kau mampu bertempur
dengan tangan kosong melawanku!" seru Ki Bango Wadas yang sekaligus menerjang kembali ke arah Mahesa Wulung. Keduanya bertempur
kembali dengan serunya.
Di saat itu pula, dengan tewasnya kedua orang jagabaya dari Mijen, maka Pandan Arum, Lawunggana,
Kertipana dan Sorogenen menjadi kerepotan dalam
menghadapi Setan Enam Serangkai dan pengikutpengikut Bido Teles lainnya.
Tiba-tiba ketika perhatian mereka dicekam oleh kedahsyatan pertempuran, terdengarlah derai ketawa
bernada tinggi yang susul-menyusul dan kemudian
memenuhi udara, berderak-derak menyeramkan. Suara ketawa tadi seolah-olah menelusuri segenap sudut-sudut batu karang, pepohonan
dan juga telinga-telinga yang mendengarnya, mirip teriakan burung gagak yang
lagi gusar. Begitu tiba-tiba dan besarnya pengaruh suara ketawa tadi, sehingga untuk sejenak para peserta pertempuran terhenti dan melirik ke
arah sekelilingnya. Dan alangkah kagetnya bila di atas puncak dahan beringin
gundul bertenggerlah sesosok tubuh manusia berpa-kaian kebiruan dan pada
punggungnya ia mengenakan
selembar kain selimut atau mantel, berbunga-bunga
coklat biru dengan dasar putih menggelantung bagaikan sayap seekor burung.
"Ha, ha, ha, ha, khak, khak, khak.... Setan Enam
Serangkai!" teriak si tokoh berselimut tadi. "Di mana-mana engkau selalu
terlibat dalam perbuatan jahat!
Pulanglah engkau ke kandangmu! Apakah engkau menunggu sampai Gagak Cemani menyeretmu?"
"Kurang ajar!" seru Dobleh Kelana dengan marahnya berbareng tangan kirinya menyambitkan beberapa
mata uang logam yang seketika beterbangan ke arah
tokoh berselimut yang menyebut namanya Gagak Cemani. Namun sebelum uang logam tadi mengenai tubuhnya, Gagak Cemani telah lebih dulu melenting meninggalkan pohon beringin gundul
itu dan tahu-tahu telah mendarat kembali, hinggap di atas batu karang ber-tumpuk
tiga dengan kecepatan yang mengagumkan.
Setelah itu Gagak Cemani kemudian melesat turun ke
atas tanah tanpa menimbulkan suara sedikitpun, tak
ubahnya gerakan hantu.
Terdengar kembali teriakannya yang lantang. "Setan
Enam Serangkai! Sambutlah kedatanganku ini dengan
hangat. Sediakanlah tenagamu buat melayani seranganku!" Habis berkata demikian iapun melolos golok panjangnya dan segeralah Gagak Cemani terjun ke dalam
lingkaran pertempuran, di mana Setan Enam Serangkai terdapat di dalamnya.
Kedatangan pendekar asing ini ternyata besar pengaruhnya bagi Mahesa Wulung. Semangatnya seolaholah makin berkobar dan bergairah dalam menghadapi
si botak, Ki Bango Wadas.
Ketika telapak tangan kanan Ki Bango Wadas menghempas ke arah dada Mahesa Wulung, segera disambut pula oleh lawan mudanya itu dengan tangkisan telapak tangan kanannya.
Taaap! Begitulah kedua telapak tangan kanan mereka tadi
bertemu dan seakan-akan melekat menjadi satu. Dorong-mendorong dengan tenaga dalam, segera berlangsung hebat. Masing-masing berkutat untuk memenangkan pertempuran.
Bagi orang lain yang tidak mengerti, pasti akan tercengang. Mengapakah selagi
yang lain-lain sibuk bertempur, maka kedua orang itu cuma saling dorongmendorong dengan telapak tangan kosong saja. Kelihatannya seperti tengah
bermain-main tanpa arti sedikitpun, bahkan membosankan, sebab gerak mereka
menjadi lamban. Tapi, bagi yang faham akan pertarungan dan faham tentang dahsyatnya tenaga dalam,
maka mereka akan terkagum oleh pertempuran bisu
antara Ki Bango Wadas melawan Mahesa Wulung.
Keduanya telah berkeringat, sementara masing-masing tangan kanannya yang beradu menjadi tergetar
hebat, seperti gemetarnya seorang penderita sakit demam panas. Sejurus kemudian, dengan perlahan-lahan Ki Bango
Wadas mulai tergeser ke belakang dan kemudian iapun merasakan betapa dada dan nafasnya menjadi
semakin sesak. Tiba-tiba Ki Bango Wadas menyeringai dan mengerang untuk akhirnya
memuntahkan darah
segar dari mulutnya sebagai pertanda bahwa dadanya
telah tergempur oleh tenaga dalam Mahesa Wulung.
Merasa bahwa dadanya telah mendapat luka dalam,
Ki Bango Wadas dengan sebatnya menerkam ke arah
kepala Mahesa Wulung untuk kemudian diremasnya
dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada.
Hanya saja Mahesa Wulung tak mau memberi kelonggaran lagi kepada musuh besarnya ini. Bukankah
Ki Bango Wadas ini yang telah menewaskan Ki Camar
Seta bekas gurunya beberapa saat berselang. Tamba
Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
han lagi Mahesa Wulung masih sangat menyintai kepalanya, sehingga dengan cepat ia mengelakkan terkaman Ki Bango Wadas, sementara ia telah bersiaga
menghadapi segala kemungkinan.
Ternyata kekuatiran dan kesiagaan Mahesa Wulung
besar pula artinya, sebab begitu terkamannya meleset, Ki Bango Wadas telah
melancarkan tendangan kaki
kanannya ke arah lambung lawan.
Wuuuuuutt! Tendangan kaki Ki Bango Wadas meluncur amat
derasnya, tapi sekali lagi Mahesa Wulung berhasil me-nangkisnya dengan tebasan
sisi telapak tangannya.
Namun Ki Bango Wadas tidak berhenti sampai di situ saja. Sekali lagi ia menunjukkan, siapa sesungguhnya Ki Bango Wadas dan
betapa tangguhnya dia ini.
Biarpun tendangannya gagal, kaki kiri Ki Bango Wadas dengan secepat kilat
mengait kaki Mahesa Wulung.
Maka keduanyapun segera roboh ke atas tanah bergulingan saling tindih-menindih silih berganti, sementara
dari mulut Ki Bango Wadas senantiasa terlihat darah merah yang menetes-netes
mengerikan. Suatu kali Ki Bango Wadas berhasil menindihi Mahesa Wulung dan kedua belah tangannya menyengkeram serta mencekik leher lawan mudanya ini.
"Heeekh!" Mahesa Wulung mengeluh pendek karena
leher dan nafasnya jadi sesak akibat cekikan tangan Ki Bango Wadas yang
dilambari pemusatan tenaga. Merasakan tekanan dari lawannya, Mahesa Wulung memutar otaknya untuk mencari jalan bagaimana ia harus menyelesaikan pertempuran ini.
Memang Ki Bango Wadas masih gigih bertempur.
Luka dalam pada dadanya tadi bukannya membuat dia
lalu berkecil hati ataupun lari terbirit-birit. Tapi malah seperti menimbulkan
gairah dan semangat untuk bertempur habis-habisan sampai mati dan hancur bersama-sama lawannya.
Untunglah Mahesa Wulung telah memiliki bekalbekal yang cukup sempurna sesudah ia mengalami beberapa gemblengan dari tokoh-tokoh pendekar utama
seperti Panembahan Tanah Putih dari Asemarang,
mendiang Ki Camar Seta dan Pendekar Bayangan yang
sekarang ini juga terlibat dalam kancah pertempuran yang sama. Dan beruntunglah
pendekar muda dari
Demak ini, seandainya kejadian seperti sekarang ini terjadi pada beberapa tahun
yang lalu, maka boleh dipastikan bahwa Mahesa Wulung sudah akan terpukul
atau tercekik mati, karena Ki Bango Wadas bukanlah
tokoh sembarangan.
Saat ini yang selalu terukir di dalam otak Mahesa
Wulung adalah kematian Ki Camar Seta yang baru saja terjadi beberapa saat yang
lalu, dan lebih-lebih dengan pesannya yang mengatakan agar dia berhati-hati
menghadapi Ki Bango Wadas, si hantu dari muara Serang. Begitulah, sebelum kedua belah tangan Ki Bango
Wadas benar-benar meremukkan lehernya, Mahesa
Wulung segera menekuk lututnya ke atas dan berhasil menempatkan kedua telapak
kakinya pada lambung Ki
Bango Wadas. Setelah itu dengan mengerahkan kekuatannya, Mahesa Wulung menjejakkan kakinya ke atas dan seketika terdengarlah keluhan orang yang kesakitan perutnya bersamaan terlambungnya tubuh Ki Bango Wadas
ke atas. "Aaaargh!"
Memang hebat Ki Bango Wadas! Biarpun tubuhnya
mencelat ke udara toh dengan sigapnya sempat memutar tubuhnya beberapa kali untuk kemudian turun ke
bawah dengan mendaratkan kedua kakinya terlebih
dulu. Ia segera bersiaga kembali untuk menyerang Mahesa Wulung. Dan dengan
langkahnya yang pelan-pelan sedikit sempoyongan, Ki Bango Wadas menghampiri lawannya. Tiba-tiba saja Mahesa Wulung agak terkejut, sebab
dilihatnya si botak itu mengembangkan kedua belah
tangannya ke depan dengan seluruh jari-jarinya kaku bagai cakar-cakar burung
bangau. "Huh, dia akan melancarkan terkaman mautnya!"
desis Mahesa Wulung. "Kiranya inilah saatnya aku harus mempergunakan pukulan
"Lebur Waja"-ku!"
Mahesa Wulung secepatnya memusatkan segenap
kekuatan lahir dan batinnya serta mengatur aliran nafasnya, tepat di saat yang
sama ia melihat Ki Bango Wadas menerkam ke arahnya dengan kecepatan yang
luar biasa serta berteriak dengan suara menakutkan.
"Haah, mati lumat kau, Mahesa Wulung!"
Namun sekali ini Mahesa Wulung sama sekali tak
berusaha untuk menghindar, bahkan dengan tekad
yang besar serta penuh kepercayaan diri sendiri ia menantikan benturan terkaman Ki Bango Wadas itu dengan aji Lebur Waja yang telah disiapkannya.
Begitulah, sikap Mahesa Wulung yang berdiri tegap
dengan kedua belah kaki kekar bagai tonggak-tonggak baja yang terpancang dalamdalam di tanah, tak ubahnya seekor banteng yang selalu waspada menantikan
sang harimau yang dengan hebatnya menerkam ke
arah dirinya. Bayangan tubuh Ki Bango Wadas cuma sekilas saja
ketika menerkam Mahesa Wulung. Setelah itu terdengarlah bunyi benturan dahsyat menggemuruh dan
tubuh Ki Bango Wadas terpelanting ke tanah bergulingan, sedang Mahesa Wulung cuma tergetar sedikit sa-ja di tempatnya.
Tubuh Ki Bango Wadas seperti hangus terbakar,
bagaikan daging panggang yang terlalu lama diperam
dalam tungku api. Kendatipun begitu, si botak dari
muara Serang ini mencoba bangkit, tapi sekali mulutnya melontakkan darah hitam
kental ke tanah, Ki Bango Wadas lalu roboh terjungkal tak berkutik lagi.
"Hoooorrgh!"
Benturan serta disusul dengan jatuhnya tubuh Ki
Bango Wadas menyebabkan semua orang terperanjat.
Lebih-lebih dengan rekan-rekan Ki Bango Wadas sendiri, seperti Setan Enam Serangkai dari daerah Kendeng yang terlongoh keheranan. Mereka tak habis
mengerti betapa seorang pendekar gemblengan seperti sahabatnya, Ki Bango Wadas
itu, dapat dipukul roboh dan mati oleh lawannya yang jauh lebih muda.
Begitu pula Bido Teles dan para anak buahnya.
Meskipun dengan matinya Ki Bango Wadas itu berarti
tambahnya bagian emas mereka dari Harta Tanjung
Bugel, tapi tak urung merekapun keheranan pula jika Mahesa Wulung dapat mengalahkan si pendekar botak
tersebut. Setelah lawannya roboh dan mati, Mahesa Wulung
cepat-cepat memungut pedangnya yang tergeletak di
tanah, ketika beberapa saat yang lalu terpental lepas dari tangannya akibat
benturan melawan penggada Ki
Bango Wadas. Bagaikan seekor belalang, Mahesa Wulung meletik
dan terjun ke dalam lingkaran pertempuran kembali
untuk membantu rekan-rekannya yang masih gigih
bertempur di tempatnya.
Ki Lurah Mijen yang bertarung melawan Soma Karang sebentar tampak terdesak oleh libatan-libatan pedang lawannya, tetapi
sebentar itu pula ia ganti mendesak Soma Karang. Ujung kerisnya yang sangat
runc- ing itu seakan-akan selalu bergetar menjadi puluhan jumlahnya serta mengancam
kedudukan lawannya.
Soma Karang yang telah seringkali turun dalam gelanggang pertempuran terpaksa kagum pula menghadapi orang tua ini. Maunya ia cuma menggunakan jurus-jurus ringan saja, sebab toh akhirnya Ki Lurah Mijen akan dapat
dirobohkannya dalam waktu yang
singkat. Akan tetapi Soma Karang menjadi terkecoh
sebab orang tua itu sangat tangguh, maka dikerahkannyalah segenap kekuatannya,
sehingga serangannya
menjadi berlipat-lipat, dan mengalir sambung-menyambung tiada hentinya.
Dengan demikian maka sedikit demi sedikit keadaan menjadi berubah. Tampaklah kini bahwa Ki Lurah
Mijen berkali-kali menangkis dengan repotnya akan serangan-serangan yang
dilancarkan oleh Soma Karang.
Bahkan dalam beberapa jurus kemudian ujung pedang
Soma Karang telah berhasil menggores lengan kirinya, menyebabkan Ki Lurah Mijen
menggeram menahan
sakit. "Ha, ha, ha. Nah, Ki Lurah. Apa jeleknya jika engkau lekas-lekas menyingkir serta membawa pulang teman-temanmu yang lain. Jika engkau bersedia, aku
akan membagikan sebagian emas dari Harta Tanjung
Bugel itu kepadamu," ujar Soma Karang.
"Bedebah!" Ki Lurah Mijen berseru. "Engkau mencoba untuk menyuapku, heh"! Aku bukan tampangnya
pejabat yang kau maksudkan itu!"
"Heh, heh. Bukankah aku seorang manusia, seperti
juga kamu" Seperti juga kita semua" Dan untuk setiap manusia uang adalah berguna
dan penting sekali! Ma-ka Andika tak usah malu-malu, Ki Lurah. Untuk urusan semacam itu aku tak akan menyinggung-nyinggung kedudukan Anda!"
"Setan brekakasan!" Ki Lurah Mijen berseru. "Hanya
orang bermoral bobroklah yang dapat menyetujui permintaanmu itu. Ketahuilah, bahwa harta ini adalah
milik kami dan kalian berusaha menyerobotnya!"
"Hmm, persoalannya cukup berbelit-belit, Ki Lurah!
Setiap orang yang mau, boleh saja mengakui sebagai si empunya harta Tanjung
Bugel, ini seperti halnya kamu sendiri. Tetapi, itu bukan berarti jatuhnya harta
ini semua ke pangkuanmu dengan mudahnya. Yang ber-hak memiliki adalah yang
berhasil keluar sebagai pemenang dari gelanggang pertempuran ini!"
"Yah, apalagi yang kau tunggu sekarang"!" sahut Ki
Lurah Mijen. "Cobalah keluar sebagai pemenangnya!"
"Awas! Kau sudah mulai terluka oleh senjataku ini,
Ki Lurah! Kerismu yang pendek itu tak akan mampu
menandingi pedangku ini! Caaaattt!" Soma Karang
menerjang ke arah Ki Lurah Mijen dan terjadilah lagi pertempuran yang lebih seru
antara mereka. Namun
itu cuma beberapa saat saja dan kembali Ki Lurah terdesak oleh serangan-serangan
Soma Karang. Maka terpaksalah Ki Lurah mundur dan terus mundur ke belakang sampai suatu ketika ia tersandung sebongkah
batu karang dan jatuh terjengkang.
Soma Karang terkekeh-kekeh kegirangan. Cepat diangkat pedang di tangannya tinggi-tinggi untuk selan-jutnya dihunjamkan ke bawah
untuk menembus dada
Ki Lurah Mijen yang telah tertelentang tak berdaya.
"Modar kowe!" seru Soma Karang.
Troaang! Soma Karang terkejut begitu pedangnya tak jadi
menembus dada Ki Lurah, tetapi malah tertangkis oleh sebuah pedang yang begitu
menyelonong bersamaan
berkelebatnya bayangan manusia ke arahnya.
"Maaf, sobat. Akulah tandinganmu sekarang!" seru
Mahesa Wulung yang telah menyelamatkan Ki Lurah
Mijen itu. "Kurang ajar, kau mengganggu seleraku! Matilah
sekalian kalau kau menghendakinya!" seru Soma Karang sambil menebaskan pedangnya ke leher Mahesa
Wulung dengan tiba-tiba.
"Heeit!" desis Mahesa Wulung seraya mengendap
dan menggerakkan pedangnya dengan tiba-tiba dan
cepat, hingga tahu-tahu ujungnya telah membersit lengan kiri Soma Karang.
Bukan main kagetnya tokoh dari Pulau Mondoliko
ini, begitu dengan mudahnya ia kena dilukai oleh lawannya dalam jurus gebrakan
yang pertama. Maka segeralah ia menerjang kembali ke arah Mahesa Wulung.
Pedang-pedang mereka saling melibat, menusuk dan
sambar-menyambar, mirip dua ekor ular yang lagi bertanding.
6 Matahari telah semakin merendah ke cakrawala barat, seolah-olah ingin lekas-lekas tenggelam di sebelah sana, karena tak sampai
hati menyaksikan pertempuran yang masih berlangsung dengan sengitnya itu.
Dalam pada itu, Garangpati telah banyak menderita
luka-luka sehingga gerakannya menjadi kian berkurang lincahnya. Ia merasa bahwa mata tombak si Jagabaya Cangkring terus-menerus menerjangnya dan ia
tak banyak kesempatan untuk melawannya. Tiba-tiba,
Garangpati melihat bahwa beberapa orang temannya
telah mengangkat peti-peti kecil Harta Tanjung Bugel ke arah perahu di sebelah
utara, sedang di sekitarnya sudah banyak pula para pengikut Bido Teles dan Soma
Karang yang tergeletak mati.
"Aku harus cepat-cepat ke perahu! Aku tak ingin
tertinggal di sini sendiri!" pikir Garangpati sambil sekonyong-konyong
melemparkan pedangnya ke arah
Cangkring, sehingga lawannya ini terpaksa mengendapkan dirinya ke bawah meskipun agak sedikit terlambat. Karenanya, ikat kepala Cangkring tersambar
lepas oleh pedang Garangpati.
Dengan gesitnya Garangpati menyelinap-nyelinap di
antara batu-batu karang untuk segera mendekati arah perahu yang disembunyikan di
balik bongkah karang
di tepi pantai.
Langit makin menggelap di sebelah timur, maka Garangpati agak hati-hati mencari jalan ke perahu. Pada saat itu telinga tajamnya
tiba-tiba menangkap ringkik kuda di sebelah barat tak jauh dari tempatnya.
"Hah, kuda siapa yang berada di sana?" pikir Garangpati seraya berhenti sejenak dan mengendap ke
arah barat. "Jika aku berhasil mendapatkan kuda, biarlah aku lari ke mana saja.
Daripada aku kembali kepada Rikma Rembyak aku mesti mati di tangannya!"
Garangpati berloncatan dengan gesitnya ke arah
suara ringkikan kuda dan alangkah kagetnya bila ia mendapatkan seorang gadis
cantik yang berdiri seorang diri tengah menunggu empat ekor kuda.
"Lhah, bocah ayu! Hi, ha, ha, ha. Berilah aku seekor kuda yang tertambat dan
ikutlah bersama Garangpati!"
ujar Garangpati menyeringai.
"Tit... ti... tidak! Pergi... kau!" seru Endang Seruni ketakutan, sementara
Garangpati dengan tubuhnya
yang telah luka-luka dan pakaiannya yang terkena
bercak-bercak darah, perlahan-lahan mendekati En
Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dang Seruni dengan gelagat mengancam.
"Kau harus ikut aku, sebagai penunjuk jalan dan
juga sebagai milikku!" teriak Garangpati seraya menyerbu ke arah Endang Seruni. Tapi gadis ini dengan gesitnya mengelak kemudian
lari ke arah selatan.
Sambil menggeram marah Garangpati berbalik dan
mengejar sasarannya ke arah selatan, sehingga kejar-mengejar terjadi beberapa
saat sebab tiba-tiba saja Garangpati melesat dan menubruk kaki Endang Seruni
sehingga keduanya jatuh berguling di tanah.
"Ha, ha, ha. Sudah kukatakan agar engkau tak
usah melarikan diri jika berhadapan dengan Garangpati! Sekarang engkau harus menurut kata-kataku!"
ujar Garangpati seraya bangkit dan menghampiri Endang Seruni yang masih terduduk di tanah dengan ketakutan. "Jangan! Jangan dekati aku! Aaakh... tooo... long!"
teriak Endang Seruni dengan suara keras mengumandang. Suasana di medan pertempuran makin menjadi suram. Bido Teles serta Soma Karang sempat menyaksikan beberapa orang anak buahnya mengangkut petipeti kecil Harta Tanjung Bugel ke arah pantai, menuju ke perahu mereka. Apabila
kedua tokoh dari Mondoliko itu mengetahui bahwa jumlah anak buahnya makin
menipis dan mereka telah dapat merampas sebagian
emas itu, maka Bido Teles tiba-tiba bersuit keras ke udara.
Maka seperti digerakkan oleh tenaga yang sama,
Bido Teles, Soma Karang serta segenap anak buahnya
mengundurkan diri dan berlarian ke arah pantai.
"Mundur!"
Melihat ini, terkejutlah Pendekar Bayangan, Mahesa
Wulung, Jagabaya Cangkring dan Ki Lurah Mijen.
Hampir saja mereka berempat mengejar lawanlawannya jika tidak lekas-lekas Ki Lurah Mijen berse-ru. "Tahan! Lihatlah guci
yang berisi emas intan ini!
Mereka tak sempat mengangkutnya!"
Bersamaan waktunya pula, Setan Enam Serangkai
merasa terkejut oleh mundurnya Bido Teles beserta segenap anak buahnya. Apalagi
dengan matinya Ki Bango Wadas sendiri yang semula telah mengundangnya
untuk datang ke Tanjung Bugel ini, berarti ia tak ada perlunya lagi untuk
tinggal lebih lama.
Dobleh Kelana bermaksud untuk mengajak rekanrekannya untuk meninggalkan tempat tersebut, tapi
celakanya si Gagak Cemani selalu mendesaknya terusmenerus tanpa memberi kesempatan sedikitpun.
"He, he, he, engkau bermaksud lari, bukan"!" sapa
si Gagak Cemani kepada Dobleh Kelana sambil tersenyum mengejek. "Keparat! Kawan-kawan! Ayo, lekas tinggalkan lawan-lawanmu si tikus-tikus kecil itu dan bantulah aku untuk mencincang si Gagak
edan ini!" teriak Dobleh
Kelana kepada kelima rekannya yang lain. Mereka segera meninggalkan lawan-lawannya seperti, Pandan
Arum, Lawunggana, Kertipana serta Sorogenen dan kelimanya segera menerjang ke arah Gagak Cemani berbareng dalam serangan berpasangan.
Sebentar kemudian Gagak Cemani telah terlibat dalam pertempuran dahsyat melawan Setan Enam Serangkai itu, yang gerakannya sukar ditangkap oleh
mata kecuali gulungan bayangan yang melibat dan mengurung Gagak Cemani itu. Ternyata pendekar berselimut dan berkumis melintang inipun mampu bergerak
bagaikan seekor burung gagak yang gesit dan dahsyat.
Tubuhnya berkali-kali meletik menyelinap dan menyambar di antara gulungan bayangan keenam tubuh
lawannya. "Munduuur!" tiba-tiba Dobleh Kelana berteriak kepada rekan-rekannya dan mereka berenam segera melesat ke arah selatan dengan gerakan gesit bagai han-tu-hantu malam.
Namun dalam waktu yang sama pula, golok panjang
Gagak Cemani berkelebat dengan gesitnya.
Weeest. "Ha, ha, ha. Selamat minggat, sobat-sobat. Tapi
perhatikanlah dahimu itu, Dobleh Kelana!" seru Gagak Cemani kepada keenam
lawannya yang kabur ke arah
selatan. Setan Enam Serangkai tersebut melesat bagaikan
angin dan sebentar saja mereka telah mendapatkan
keenam ekor kudanya yang tertambat dan kaburlah
dari tempat ini. Tetapi manakala Dobleh Kelana meraba dahinya yang terasa pedih-pedih itu, mendadak ia mendesis kaget, "Terluka!
Ujung golok Gagak Cemani
telah melukaiku!"
Suasana sesaat terhening dan sepi. Namun dari
arah barat terdengarlah sekali lagi jeritan meminta tolong yang mengumandang di
udara sore. "Tolooooong!"
"Itu suara Endang Seruni!" seru Lawunggana seraya
berloncatan melesat ke arah barat. "Apa yang terjadi dengan dia?"
Sebagai seorang pemuda yang mendengar jeritan
kekasihnya, maka Lawunggana segera mengetrapkan
segenap kemampuannya untuk berlari secepat angin
ke arah barat. Akan tetapi sebuah bayangan biru kehitaman juga
melesat ke arah barat melampaui jarak yang lagi ditempuh oleh Lawunggana, sehingga pendekar muda
inipun kaget karenanya.
"Gagak Cemani!" desis Lawunggana. "Oh, dia juga
lari ke sana! Apakah maksudnya"!"
Lawunggana tanpa menoleh lagi mencurahkan segenap kemampuan larinya menuju ke barat, sementara di sebelah belakang beberapa orang bergegas pula lari ke sana, di mana Endang
Seruni dengan ketakutan selalu menghindar dari jangkauan tangan Garangpati
yang dengan nakalnya selalu menakut-nakuti Endang
Seruni untuk mendekapnya.
"Tolooong!"
Sekali lagi Endang Seruni berteriak keras-keras saking ngerinya, apalagi jika ia melihat kedua mata Garangpati yang liar berkilat
seperti hendak melahap tubuhnya yang padat semampai ini.
"Heh, he, he. Mau lari ke mana kau, ha"! Tak akan
ada orang lain yang bakal menolongmu, bocah ayu!"
seru Garangpati dengan meringis. "Percayalah. Mereka tak mendengarmu, sebab
sibuk bertempur menghadapi lawan-lawannya!"
"Apakah kau yakin dengan kata-katamu, bedebah!"
seruan dahsyat mengejutkan Garangpati yang terdengar dari belakang, sehingga Garangpati secepat kilat membalikkan diri dengan
terbelalak. "Kau... kau...?" seru Garangpati.
"Akulah Gagak Cemani!" ujar si pendatang itu dengan tajamnya. "Kawan-kawanmu telah kabur semua!"
Ketika itu pula Lawunggana tiba-tiba muncul dan
tiba di tempat tersebut. Endang Seruni yang melihat kedatangannya, segera
berlari-lari dan mendekap kekasihnya.
"Ooh, Kakang Lawunggana. Garangpati itu! Ia mencoba membawaku kabur. Untunglah kalian lekas-lekas
datang!" ujar Endang Seruni seraya terisak-isak.
Mendengar ini, Lawunggana cepat-cepat bersiap untuk turut menyerang Garangpati, tetapi Gagak Cemani lebih dahulu berkata, "Sobat
Lawunggana! Biarlah si tikus ini aku yang menyelesaikan. Kalian lihat saja,
apakah tikus busuk ini mampu mempertahankan dirinya!"
Merasa telah terjepit, Garangpati melesat menerjang Gagak Cemani. Tapi alangkah
kagetnya bila lawannya
ini cuma bergeser sedikit dan tahu-tahu serangannya telah meleset.
Gagak Cemani tak tinggal diam. Iapun menyerang
lawannya, dan terjadilah pertempuran sengit antara
Garangpati dengan Gagak Cemani. Pukulan-pukulan
tangan dan tendangan kaki Garangpati bertubi-tubi
mencecar dan menghajar ke arah Gagak Cemani, tetapi pendekar berkumis melintang ini gerakannya cukup gesit, dan sambil bertempur itu, Gagak Cemani
sekali-sekali tertawa dengan suara burung gagak,
membuat lawannya menjadi ngeri.
"Haak, krak, krak, kraaak."
Tak antara lama, sesudah memperdengarkan tawanya itu, serangan Gagak Cemani bertambah hebat.
Ujung jari-jarinya berkali-kali menyentuh kulit tubuh Garangpati dan ini terasa
oleh lawannya bagai cocokan paruh burung yang menyebabkan rasa nyeri dan pedihpedih. "Ayo Garangpati! Mana keberanianmu?" seru Gagak
Cemani. Akhirnya Garangpati menjadi makin penasaran dan
serangannya sudah tak teratur lagi. Pokoknya asal ganas dan ribut saja dan semua
itu terdorong oleh nafsu amarahnya.
Gagak Cemani menebaskan kepalan tangannya ke
leher Garangpati, ketika pertahanan lawannya pada
tempat itu terlowong sesaat.
Kraack! "Huaaarrgh!"
Garangpati menggeliat dengan mulut yang megapmegap, dan tak lama kemudian terlontaklah darah segar keluar dari mulutnya disertai rintihan untuk kemudian terguling roboh tanpa
bernyawa lagi! Endang Seruni dan Lawunggana buru-buru mendapatkan Gagak Cemani serta menghaturkan terima kasih atas pertolongan yang diberikan oleh si pendekar berkumis melintang ini.
Demikian pula Pendekar
Bayangan, Mahesa Wulung, Pandan Arum, Ki Lurah
Mijen, dan lain-lainnya yang baru saja tiba di tempat tersebut segera
mengucapkan terima kasih.
"Hmm, Andika telah membantu mengusir si Setan
Enam Serangkai itu!" ujar Ki Lurah Mijen. "Jika tidak karena Andika, mungkin
kami masih lebih lama menghadapi mereka."
"Eh, janganlah Bapak terlalu merendahkan diri. Sebab di antara Tuan-tuan ini terdapat pendekar-pendekar ulung dan besar kemungkinan bahwa tingkatan
ilmuku ada beberapa tingkat di bawah mereka," demikian kata-kata Gagak Cemani yang selalu berusaha
merendahkan dirinya, sehingga orang-orang yang hadir di situ menjadi kagum karenanya.
Mereka lalu saling memperkenalkan diri dan ternyata Gagak Cemani adalah orang yang peramah serta
pandai bergaul. Bahkan ia tak keberatan untuk memenuhi undangan Ki Lurah Mijen.
"Baiklah, Bapak. Aku bersedia mengunjungi Desa
Mijen serta menyaksikan pesta perkawinan putrimu
dengan Kisanak Lawunggana ini."
"Terima kasih," ujar Ki Lurah. "Tapi apakah persoalannya hingga Angger sampai tiba di tempat ini dari
daerah Ponorogo yang sejauh itu?"
"Eh, itu hanya memenuhi permintaan ayahku, Ki
Banyak Sekti," kata Gagak Cemani. "Dan tentang hal
itu kelak akan kuceritakan."
"Oooh, jadi Angger adalah putra Ki Banyak Sekti"!"
seru Ki Lurah Mijen dengan kaget. Begitu pula Pendekar Bayangan, Mahesa Wulung, Pandan Arum dan
lain-lainnya. Senjapun telah tiba dan mereka telah selesai merawat mayat-mayat yang tertinggal di situ serta menguburnya sekali, sedang harta Tanjung Bugel itupun telah mereka bongkar untuk
diangkutnya pula ke Desa Mijen.
Maka sesaat kemudian tampaklah iring-iringan
orang berkuda menuju ke arah selatan dalam keremangan cahaya ujung malam yang berhiaskan ribuan
bintang di langit kelam.
Hingga di sini selesailah cerita seri Naga Geni
"Sengketa Kalung Pusaka" dan segera menyusul seri
Naga Geni, yakni "Pendekar Gagak Cemani". Pembaca
akan mengerti kelanjutan kisah Bido Teles dan kawan-kawannya, begitu pula Sasta
Tunggal atau si Setan
Enam Serangkai dari Pegunungan Kendeng. Dan yang
tak kalah asyiknya adalah perjuangan pendekar Gagak Cemani. Benarkah ia lebih
dahsyat dan lebih sakti daripada Mahesa Wulung"
TAMAT Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** *** 2 *** *** 3 *** 4 *** 5 6 TAMAT Muridku Macho 2 Sumpah Palapa Karya S D Djatilaksana Panji Sakti 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama