Ceritasilat Novel Online

Tapak Siluman 1

Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 DENGAN gerakan yang lincah, gadis kecil itu
melambung di udara dan bersalto dua kali. Wut, wuut...!
Gerakan itu membuat seorang lelaki tua berusia sekitar delapan puluh tahun
menjadi kebingungan sesaat. Tahu-tahu kepala si tua yang tergolong gundul itu
merasa tersentuh sesuatu. Plak...! Weess...! Ternyata kaki bocah cilik itu telah
menggunakan kepala si tua sebagai alas jejakan untuk melambung lebih tinggi
lagi. Tahu-tahu gadis kecil itu sudah hinggap di sebuah dahan pohon.
Sementara si tua gundul hanya mengusap-usap kepalanya sambil memandang bengong, seakan memamerkan giginya yang sudah ompong.
Seorang pemuda yang bersembunyi di balik gundukan tanah berilalang rimbun itu tertawa dengan mulut ditutup tangan. Pemuda
itu bercelana putih kusam dan bajunya yang tanpa lengan itu berwarna coklat.
Dilihat dari ketampanan dan bumbung tuak yang
menyilang di punggungnya, tak salah lagi jika pemuda itu dipanggil dengan
julukan kondangnya: Pendekar Mabuk. Pemuda itu adalah Suto Sinting, si murid
tunggal Gila Tuak, termasuk juga murid dari tokoh perempuan sakti yang dikenal
dengan nama Bidadari Jalang.
"Bocah bodong!" umpat Pak Tua yang memakai jubah hijau kusam. "Kepala orang tua
dianggap batu terapung! Uuuh...! Kau belum tahu siapa aku, Bocah Bodong!"
"Hik, hik, hik...," gadis kecil itu tertawa sambil nangkring di atas dahan.
"Habis, kau jahat padaku.
Kalau kau tidak jahat padaku, aku tidak akan berlaku tak sopan seperti tadi!"
"Siapa yang jahat padamu"!" bentak Pak Tua itu.
"Aku hanya ingin membunuhmu, itu kan tidak jahat!
Kecuali kalau aku mau menyiksamu, itu berarti aku jahat."
"Enak saja. Mau membunuh kok dikatakan tidak jahat" Lebih baik kau bunuh diri
saja, Kek. Mumpung usiamu sudah medok, sudah waktunya bobo' santai di dalam
kuburan." "Turun kau, Bocah Bodong!"
"Naik kau, Kakek Ompong!"
"Keparat! Turun kau, Bodong!"
"Naik kau, Ompong!"
Pendekar Mabuk cekikikan menahan tawa di balik
kerimbunan ilalang. Geli sekali mendengar pertengkaran mulut antara gadis kecil
berusia sekitar tujuh tahun dengan seorang kakek setua itu.
Bagi Suto Sinting, gadis kecil berambut cepak
berwarna pirang seperti rambut jagung itu bukanlah sosok bocah yang mengherankan
lagi. Suto kenal betul dengan gadis kecil bergiwang merah sebesar kacang hijau,
mengenakan rompi bulu warna hitam-putih seperti kulit kuda zebra, celana
pendeknya berwarna coklat rusa dan mengenakan kalung tali hitam berbatu merah
delima lebih besar dari giwangnya itu. Gadis kecil itu tak lain adalah Dewi
Menik, yang akrab dipanggil Menik, ia adalah keturunan terakhir dari tiga
bersaudara; Dewi Hening dan Dewi Kejora, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Utusan Raja Iblis").
Tetapi siapa kakek berjubah hijau dan berambut tipis di bagian pinggirnya hingga
berkesan gundul itu" Suto Sinting merasa belum pernah bertemu dengan tokoh tua
yang menggenggam tongkat dari kayu hitam itu.
Agaknya tokoh tua berbadan kurus dengan alis dan jenggot sudah memutih itu bukan
tokoh sembarangan, walaupun penampilannya mirip bocah ingusan. Terbukti ketika
ia ditantang oleh Menik untuk naik ke atas pohon, ia hanya menggerakkan tangan
kirinya ke bawah bagai membuang sesuatu dengan gemulai, lalu tubuhnya
melesat ke atas bagai angin berhembus. Weess...!
Tahu-tahu kakek berjubah hijau sudah ada di pohon itu, lain dahan dengan Menik.
Hanya saja, gadis kecil yang tengil dan selalu tampil sok tua itu sudah lebih
dulu melesat ke bawah dengan bersalto lincah dua kali. Wuk, wuk, jleeg...!
"Dasar bocah raja bodong! Katanya aku disuruh naik, eeh... dia malah turun!"
omel sang kakek. "Ayo, naik lagi kau, Bodong!"
"Ayo, turun lagi kau, Ompong!" balas Menik bagai tak punya rasa takut sedikit
pun. Kedua tangannya bertolak pinggang, kedua kakinya berdiri tegak sedikit
merenggang seakan siap menantang pertarungan.
"Kucabut nyawamu sekarang juga, Bocah Bodong!"
"Kucabut gigimu kalau berani turun, Kakek Ompong!" "Kurang ajar!" geram sang kakek.
"Kurang tua!" balas Menik menirukan gerakan si kakek.
"Kau sangka aku takut dengan tantangan cilikmu itu, hah"!"
Menik membalas, "Kau sangka aku juga takut mendengar
gertakanmu itu, hah"! Panggil bapak moyangmu, suruh hadapi aku sekarang juga, sedikit pun aku tak akan mundur
dan...." Menik diam. Tiba-tiba sekali ia diam, karena tiba-tiba pula kakek
berjubah hijau itu lenyap dari pandangan matanya. Gadis kecil merasa heran dan
bingung sendiri, ia sempat menajamkan penglihatannya ke arah atas pohon, tapi
sang kakek tidak kelihatan sama sekali. Gusinya saja tidak tertinggal di
pohon itu. "Ke mana perginya?"
gumam Menik yang kebingungan. "Ke belakangmu, Bodong!" jawab suara tua yang mengejutkan Menik.
"O, oh..."!" Menik diam tak bergerak, karena ia tahu sang kakek ada di
belakangnya dalam jarak cukup dekat.
Kepala Menik tak berani berpaling, tapi bola matanya yang bundar itu bergerak
melirik ke samping, seakan ingin menengok ke belakang.
"Benarkah kau tak akan mundur jika melawanku, Gadis Bodong"!" gertak sang kakek.
"Iiy... iya... soalnya, kau ada di belakangku, bagaimana aku bisa mundur, Kakek Ompong!"
"Keparat! Hiih...!"
Sang kakek menyentakkan tangan kirinya ke depan bagai membuang selembar daun.
Wees...! Ternyata gerakan itu mengeluarkan tenaga dalam cukup besar yang
menghantam punggung Menik dengan telak.
Buuhk...! "Uuhk...!" Menik tersentak dan tubuhnya terhempas ke depan, melayang cepat bagai
dilemparkan oleh tenaga yang amat besar.
Brruss...! "Aaauww..!" Menik mengaduh di semak-semak.
Untung ia jatuh di semak-semak, seandainya tubuhnya yang kecil itu menghantam
pohon besar di samping semak-semak itu, mungkin kepalanya akan remuk dan tulangtulangnya akan berantakan.
Weees...! Kakek berjubah hijau lenyap, tapi sebenarnya bergerak sangat cepat, melebihi gerakan angin, sehingga dalam waktu
kurang dari sekejap sudah berada di semak-semak. Ia mencekal rompi bulu yang
dipakai Menik, kemudian melemparkan gadis kecil itu bagai melempar mangga busuk
saja. Wees...! "Aaa...!"
Menik menjerit panjang, tubuhnya melayang tinggi dan tanpa keseimbangan tubuh. Kepala Menik pun menukik ke bawah
saat tubuhnya melayang turun. Sedangkan di tanah yang akan menjadi sasaran
jatuhnya Menik itu terdapat gugusan batu sebesar kepala kerbau.
Menik tak bisa mengendalikan gerakan tubuhnya, maka dapat dibayangkan kepala Menik akan pecah begitu menyentuh batu
besar itu. Zlaaap...! Sekelebat bayangan melintas di depan kakek berjubah hijau. Bayangan
itu menyambar tubuh Menik, dan gadis kecil itu semakin berteriak keras karena
merasa kaget dapat melesat ke arah lain.
"Woooaaw...! Tolooong...!"
Deeb! Tiba-tiba Menik merasa gerakan terbangnya terhenti
seketika. Rupanya orang yang telah menyambarnya tadi berhenti secara mendadak dan
kakinya menapak di tanah dengan tegak. Menik belum berani membuka mata, namun ia
sudah mulai sadar bahwa saat itu ia berada dalam gendongan seseorang.
"Oh, di mana aku ini" Jatuh di tumpukan sampah apa aku ini?" sambil Menik
meraba-raba wajah Suto Sinting,
"Bukalah matamu, Menik. Aku bukan tumpukan sampah!"
Menik pun membuka mata. "Oh.. kau"! Kenapa kau berani menjamahku, hah"'"
"Tengil!" sentak Suto Sinting dengan dongkol, lalu tubuh Menik dibuang begitu
saja. Brruk...!
"Aduh...! Kejam nian kau, Suto!" ujar Menik sambil menyeringai kesakitan, ia
memegangi lututnya yang membentur kayu saat dibuang dari gendongan Suio Sinting.
Bocah yang suka berlagak tua itu akhirnya bangkit sendiri dan menggerak-gerakkan
kakinya agar uratnya tak menjadi kaku.
Sementara itu, pandangan mata Suto Sinting menatap ke arah pertarungan Menik
dengan kakek tua tadi. Sang kakek tak kelihatan ujung hidungnya, mungkin ia tak
mengejar Menik, atau menganggap Menik lenyap begitu saja karena gerakan Suto
saat menyambar Menik seperti gerakan
anak panah lepas dari busurnya. Ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang terkenal tak ada tandingannya dalam hal
kecepatan geraknya itu.
Menik bersungut-sungut dan menendang tulang
kering kaki Suto. Duuhk...!
"Aduh...!" pekik Suto kaget.
"Rasakan akibatnya!" kata Menik dengan cemberut.
"Kau kira aku ulat bulu, dibuang seenaknya saja! Dasar buaya kaleng!"
Suto jadi tertawa mendengar makian Menik yang
mengatakan dirinya buaya kaleng.
"Apa maksudmu mengatakan aku buaya kaleng?"
"Manis di luar di dalamnya busuk!" jawab Menik.
"Kelihatannya
mau menolong, tak tahunya mau mencelakakan diriku!" Menik melirik sinis dengan bibirnya meruncing seperti ikan
cucut. Pendekar Mabuk semakin geli melihatnya.
Kemudian bumbung tuak yang ada di punggung
diraih. Suto Sinting menenggak tuaknya beberapa teguk.
Menik memandangi dengan sinis, masih cemberut,
sambil membersihkan badannya dari debu tanah.
"Lututku sakit gara-gara kau buang!"
"Hmmm... lantas kau mau apa?" tanya Suto dengan sabar.
"Beri aku minum tuakmu, biar sakitku hilang."
Suto Sinting tertawa tanpa suara sambil gelenggeleng kepala. Kemudian ia membantu menuangkan
tuak ke mulut Menik.
"Jangan banyak-banyak, nanti kau mabuk!" kata Suto Sinting.
"Mabuk itu biasa...," ucap Menik sok tua sekali membuat kelucuan yang konyol,
namun digemari oleh Suto Sinting.
"Siapa kakek tua itu tadi, Menik?"
"Entah," Menik melengos dengan angkuh. "Aku tidak kenal dengannya. Aku juga
tidak naksir lelaki macam dia!"
Kalau tak terbiasa menghadapi Menik, siapa pun akan dibuat kaku hati, jengkel,
akhirnya main tabok. Untung Suto Sinting sudah terbiasa menanggapi ketengikan
Menik, sehingga walau hati memendam dongkol namun bibir menyunggingkan senyum
geli. "Kudengar kakek tadi mau membunuhmu. Apa benar
dia bersungguh-sungguh ingin membunuhmu, Menik?"
"Entah, ya!" jawab Menik dengan tengil. Ia sengaja memunggungi Suto dan bermain
pucuk-pucuk bunga
yang tumbuh di semak belukar.
"Kalau begitu, tak ada salahnya jika aku terpaksa meninggalkanmu sendirian di
sini," pancing Suto Sinting sambil berpura-pura ingin melangkah pergi. Menik
buru-buru palingkan wajah dan menyapa ketus.


Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Suto...!"
Langkah Suto Sinting terhenti, tapi ia sengaja tak mau berpaling memandang
Menik. Gadis kecil itu
berjalan cepat menuju depan Suto. Ia berhenti berhadapan dengan Pendekar Mabuk, memandang dengan lagak angkuhnya.
"Begitukah seorang pendekar bersikap terhadap gadis kecil" Apakah gurumu
mengajarkan agar segera pergi jika melihat gadis kecil dalam bahaya" Hmmm...
pendekar cap apa kau ini, Suto?" Menik mencibir, Suto sengaja buang muka walau
dalam hati ia ingin tertawa terbahak-bahak.
"Kalau tahu kau pengecut begitu, tak akan kukenalkan kau kepada kakak sulungku waktu itu,"
celoteh Menik. "Kau tidak bersungguh-sungguh
menjawab pertanyaanku, Menik. Aku tak punya waktu banyak untuk kau buat mainan seperti
tadi." , "O, jadi kau tersinggung" Hmmm...! Terlalu perasa kau ini, Suto. Seandainya
aku...." Weess...! Suto Sinting berkelebat menyambar Menik.
Kata-kata gadis kecil itu terhenti seketika. Dalam sekejap mereka sudah
berpindah tempat agak jauh dari tempat semula.
"Mengapa kau menyambarku seenaknya saja begitu"
Kau pikir aku ini jemuran nganggur" Main sambar saja!"
omel Menik dengan mulut runcingnya.
"Lihatlah ke sana...," kata Suto Sinting sambil menuding tempat mereka berada
tadi. Menik kerutkan dahi, mempertajam penglihatannya.
Ternyata di sana telah berdiri kakek berjubah hijau yang tadi ingin membunuhnya.
Menik terperangah kaget.
"Sejak kapan dia ada di sana, Suto?"
"Sejak aku menganggapmu jemuran," jawab Suto Sinting seenaknya. "Kalau tidak
kusambar, nyawamu pasti sudah melayang. Karena dia tadi menerjangmu dengan
sangat cepat dan kulihat tongkatnya dihantamkan ke kepalamu."
Menik memegangi kepalanya. "Ah, apa iya" Buktinya kepalaku masih utuh"!"
Suto Sinting tidak melayani kata-kata Menik, karena ia
segera bersiap menghadapi kedatangan kakek berjubah hijau yang menggenggam tongkat kayu hitam.
Kaii ini sang kakek bergerak tak secepat tadi. Satu lompatan saja sudah bisa
menerbangkan tubuhnya untuk mendekati Pendekar Mabuk dan Menik.
Mata kecil sang kakek menatap tajam kepada Suto Sinting. Badannya masih tampak
tegak, walau sikap berdirinya berkesan kalem. Senyum sang kakek mekar ketika
pandangan matanya berubah tak setajam tadi.
"Rupanya kau kakak si bocah bodong itu, Anak Muda"!" ujar sang kakek sambil
menuding Menik dengan tongkatnya.
"Anggap saja begitu," kata Suto.
"Dan rupanya kau ingin ikut campur urusanku ini, Nak?"
"Aku tak rela Menik mati di tanganmu. Dia masih kecil dan tak mampu melawanmu,
Eyang," kata Suto dengan sikap tetap sopan.
Menik cemberut. "Siapa bilang aku tak mampu melawannya" Hmmm...! Baru satu orang
seperti dia, seratus orang seperti dia pun aku tak akan lari selangkah pun."
"Kenapa kau tak lari?"
"Aku pasti langsung pingsan!" jawab Menik sambil bersungut-sungut. Sang kakek
tertawa terkekeh-kekeh, demikian pula Suto Sinting. Tapi ketika sang kakek
hentikan tawanya dalam seketika, Suto Sinting pun menyurutkan tawa dan
memandanginya kembali.
"Eyang, kalau boleh kutahu siapa namamu?"
"Heh, heh, heh, heh... rupanya kau orang baru di rimba persilatan, sehingga kau
belum mengenali ciri-ciriku," ujarnya dengan sedikit sombong. "Ketahuilah,
Nak... jika kelak kau mendengar nama Dewa Semprong dari mulut para tokoh rimba
persilatan, itulah nama julukanku yang kesohor di seantero jagat"
"Pantas wajahnya seperti semprong!" gerutu Menik.
Sang kakek berkata, "Untung aku tak mendengar gerutuanmu, Bocah Bodong.
Seandainya aku mendengar
gerutuanmu tadi, kutambal mulutmu dengan tanah
kuburan!" "Sabarlah, Eyang...," Suto menenangkan si Dewa Semprong.
"Anak muda, melihat gerakanmu yang cukup lumayan dalam melarikan bocah bodong itu, agaknya kau mempunyai ilmu yang paspasan, Nak. Kalau boleh kutahu, siapa namamu, Anak Muda?"
Menik yang menyahut, "Hemm, mengaku orang lama di persilatan tapi tidak kenali
ciri-ciri Pendekar Mabuk!"
Dewa Semprong terperangah memandangi Suto.
"Oo... jadi kaulah orangnya yang dikenal dengan nama Pendekar Mabuk itu" Kau
murid si Gila Tuak"!"
"Apakah kau mengenal guruku, Eyang Dewa Semprong"!"
"Celaka!" Dewa Semprong menggumam dan menjadi nanar
karena memendam kegelisahan. Menik menggerutu sambil bersungut-sungut di samping Suto Sinting.
"Ditanya kenal sama si Gila Tuak kok malah celaka"
Dasar dewa pikun, susah diajak bicara!"
Gerutuan Menik tak dihiraukan oleh Dewa Semprong maupun Suto. Karena pada saat
itu, Suto Sinting segera ajukan tanya kepada Dewa Semprong dengan nada tegas dan
bersungguh-sungguh.
"Eyang, mengapa Eyang setua ini ingin membunuh bocah sekecil Menik"!"
"Aku butuh otaknya."
Suto Sinting berkerut dahi, demikian pula Menik.
Pandangan matanya menjadi tajam dan raut wajahnya tampak heran bercampur tegang.
"Apa maksud, Eyang?" tanya Suto Sinting.
"Tolong beri tahukan kepada gurumu; si Gila Tuak, agar ia juga memakan otak
bocah berusia sepuluh tahun ke bawah tapi bukan bayi."
"Mengapa begitu, Eyang"!" Suto Sinting lebih mendekat.
"Karena darah manusia yang sudah bercampur dengan otak bocah di bawah usia
sepuluh tahun akan dapat menolak kekuatan ilmu 'Bajang Rampak'. Darah yang tidak
bercampur dengan otak bocah akan mampu diserang ilmu 'Bajang Rampak', dan ilmu
itu tak ada tandingannya kecuali dengan cara yang kesebutkan."
"Aneh sekali ilmu itu. Siapa pemilik ilmu 'Bajang Rampak' itu, Eyang?"
"Pemiliknya adalah si Tapak Siluman!"
"Tapak Siluman"!" gumam Suto Sinting. "Apakah Tapak Siluman itu sama dengan
Siluman Tujuh Nyawa?" "O, bukan! Siluman Tujuh Nyawa pun akan menjadi santapannya
Tapak Siluman jika mereka saling berpapasan."
Suto Sinting diam membisu. Bayangan wajah dingin Siluman Tujuh Nyawa muncul
kembali dalam benaknya.
Tokoh paling sesat itu adalah musuh utama Suto Sinting, yang harus dipenggal
kepalanya sebagai maskawin dalam melamar Dyah Sariningrum, penguasa Puri
Gerbang Surgawi itu. Jika Siluman Tujuh Nyawa saja
dikatakan akan menjadi santapan si Tapak Siluman, berarti ilmu yang dimiliki si
Tapak Siluman lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Durmala Sanca alias Siluman
Tujuh Nyawa itu.
"Pendekar Mabuk," kata Dewa Semprong. "Demi menyelamatkan jiwaku dari keganasan
ilmu 'Bajang Rampak', aku terpaksa harus membunuh bocahmu itu.
Kuharap kau menyingkir dan jangan menentangku."
Suto Sinting geleng-geleng kepala. "Tak kuizinkan siapa pun merampas otak bocah
ini!" sambil Suto berdiri menghalangi Menik.
"Kusarankan sekali lagi, jangan halangi niatku. Kau akan binasa jika melawanku,
Pendekar Mabuk. Bahkan bila perlu cepatlah mencari bocah yang usianya di bawah
sepuluh tahun dan makanlah otaknya, supaya kau pun kebal dari serangan ilmu
'Bajang Rampak'. Sebab sekarang ini, si Tapak Siluman sedang merajalela dan
ingin menumbangkan semua tokoh di rimba persilatan.
Dia ingin menjadi orang tertinggi di dunia persilatan."
"Apa pun alasanmu, aku tetap akan menjadi perisai bagi gadis kecil ini."
"Oh, kalau begitu jangan salahkan aku jika kau sampai celaka di tanganku,
Pendekar Mabuk."
Weeess...! Tiba-tiba tangan kiri Dewa Semprong
menyentak ke depan dengan telapak tangan terbuka.
Tangan itu berubah merah bening seperti beling. Dan sinar yang keluar dari
telapak tangannya berwarna merah bening juga, seperti semprong lampu teplok.
Slluuub...! Sinar itu begitu cepatnya menerjang Suto
Sinting, sehingga tak dapat dihindari dan ditangkis dengan bumbung tuaknya.
Padahal kala itu Menik
sedang ingin mengatakan sesuatu kepada Suto. Ia mendekati Suto tepat sinar merah
itu berkelebat dengan kecepatan melebihi petir. Prraaaang...!
Sinar itu menghantam Suto Sinting dan Menik.
Cahaya merahnya pecah, menyebar ke mana-mana,
menimbulkan suara seperti beling pecah. Suto Sinting sempat menyambar tubuh
Menik. Tapi sentakan sinar itu amat kuat sehingga mereka berdua terpental ke
belakang bagaikan terbang.
Weeerrss...! "Aaauh...! Sutoooo...!"
Brrruss...! Mereka jatuh di semak-semak sekitar lima belas tombak jauhnya dari
tempat Dewa Semprong
berdiri. "Menik..."! Menik, di mana kau..."!" Suto Sinting meraba-raba sekelilingnya. Ia
menjadi tegang, karena pandangan matanya menjadi gelap pekat, tak bisa melihat
setitik sinar pun.
"Meniiik.,.!" seru Suto Sinting dengan panik.
"Sutoo... aku tak bisa melihat apa-apa!" suara Menik ada di samping kanan Suto
Sinting. "Celaka! Sinar itu membuat aku dan Menik menjadi buta. Oh, aku harus
menyelamatkan Menik sebelum Dewa Semprong memakan otaknya!" kata Suto dalam
hati. Zlaaap..! Dengan nalurinya Suto bergerak menyambar Menik. Wuuus...! Teeb...! Dalam sekejap
Menik sudah berhasil dipeluk Suto Sinting. Kemudian tanpa banyak bicara lagi,
Suto melarikan diri demi menyelamatkan Menik.
Zlaab, zlaab, zlaab...!
Gerakan cepatnya yang melebihi angin itu membuat Dewa Semprong kehilangan jejak.
Namun kakek tua itu masih tetap mengejarnya dengan menggunakan indera keenamnya
sebagai penunjuk jalan mengikuti Pendekar Mabuk dan Menik.
* * * 2 PENDEKAR Mabuk tak tahu arah yang dituju. Yang
ia tahu hanyalah menjauhkan diri dari Dewa Semprong agar Menik tak menjadi
korban. Setelah dirasakan pelariannya cukup jauh dari Dewa Semprong, Suto pun
menghentikan langkahnya. Menik diturunkan dari gendongannya. "Kita sampai di mana ini, Suto?"
"Mana kutahu" Aku juga buta!" jawab Suto Sinting lalu meraih bumbung bambu
berisi tuak saktinya itu.
"Minumlah tuakmu biar kau tak ikut-ikutan buta,"
kata Menik seenaknya saja sambil kucal-kucal mata.
"Tanpa kau suruh aku sudah membuka tutup
bumbung tuakku."
"Minumlah, tapi jangan dihabiskan. Sisakan untukku, biar aku juga bisa melek
kembali, Suto."
"Cerewet!" sentak Suto agak jengkel karena merasa digurui anak kecil.
Tuak sakti yang mampu menyembuhkan segala
macam penyakit dan mampu melenyapkan luka apa pun dalam waktu singkat itu segera
ditenggak oleh Pendekar Mabuk. Glek, glek, glek...! Beberapa saat kemudian Suto
menunggu pulihnya pandangan mata. Tetapi
ternyata pandangan mata tetap gelap. Hanya ada warna hitam yang terpampang di
depannya. Tuak pun diteguk kembali.
Glek, glek, glek...!
"Hei, sudah kubilang jangan banyak-banyak, kok malah minum terus"!" sentak Menik
berlagak tua sambil menepak pantat Suto. Akibat tepakan itu, tubuh Suto
terguncang dan tuak menyiram wajahnya. Byuur ..!
"Sial kau ini, Menik!" bentak Suto sambil tangannya ingin meraba Menik.
"Kenapa ngomel?"
"Kau mendorong tubuhku, akibatnya tuak mengguyur wajahku."
"Mungkin tuakmu tahu kalau mulutmu selebar wajah," kata Menik seenaknya saja.
"Sini, ganti aku yang minum."
Menik pun meraba-raba ingin mendapatkan bumbung tuak. Suto Sinting akhirnya
membantu menuangkan tuak ke mulut Menik. Tapi karena tak bisa melihat apa-apa,
akibatnya tuangan itu terlalu banyak dan tuak meluber ke wajah Menik.
"Haalp, haalp, haalp...! Sudah, sudah... halp!" Menik
seperti orang tenggelam. Gelagapan sendiri, ia segera terengah-engah begitu tuak
sudah tak mengguyur
wajahnya lagi.

Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, mulutku kecil, Suto. Jangan kau anggap mulut gentong. Menuang tuak
seenaknya saja!" gadis kecil itu mengomel dalam gerutu. Suto sempat tertawa
pelan sebentar, kemudian diam dan mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Kok masih buta?" pikir Suto Sinting dengan hati berdebar-debar. "Wah, celaka!
Kebutaan ini rupanya tak bisa disembuhkan dengan tuak saktiku"!"
"Suto...," seru Menik sambil meraba-raba ingin meraih tangan Pendekar Mabuk.
"Suto, apakah kita berada di sebuah gua?"
"Kenapa kau bertanya begitu?"
"Aku tak menemukan pintu gua ada di mana."
"Kita bukan berada di dalam gua."
"Mengapa gelap?"
"Karena kita masih buta!" sentak Pendekar Mabuk agak jengkel.
"Lho, biasanya orang sakit apa pun kalau minum tuakmu langsung bisa sembuh."
"Itu biasanya. Kali ini agak luar biasa, jadi tidak bisa langsung sembuh. Kita
harus menunggu beberapa waktu agar tuakku bekerja memerangi racun kebutaan yang
menyerang kita ini, Menik."
Mereka menunggu saat-saat kebutaan hilang. Tetapi sampai beberapa saat mereka
menunggu, ternyata mata mereka masih tetap buta, tak bisa melihat apa-apa. Suto
Sinting menjadi cemas, ia mengerahkan hawa murni untuk menghancurkan lapisan
hitam yang sepertinya melekat di kedua bola matanya itu. Tetapi usaha tersebut
juga gagal. "Celaka, kita tak bisa melihat apa-apa lagi, Menik,"
kata Suto Sinting yang bersandar pada sebuah pohon.
Menik duduk di sampingnya tak jauh dari jangkauan Suto. Ia memang diperintahkan
agar jangan jauh-jauh dari Suto, karena jika terjadi sesuatu bisa cepat
diselamatkan oleh jangkauan tangan Suto.
"Mimpi apa aku semalam?" gumam Menik bernada sedih. Ia tidak menangis, ia
menampakkan ketenangan dan ketabahannya.
"Kenapa kau sampai bertemu dengan Dewa Semprong, Menik?"
"Aku tidak bermaksud menemuinya. Aku bermaksud mencari kakakku: Kejora. Dia
pergi dan udah beberapa hari tak pulang ke rumah. Kakakku, Dewi Hening,
mencemaskan dirinya. Lalu kami berpencar mencari Kejora. Sebab saat itu Kejora
sedang patah hati karena ditinggal pergi kekasihnya."
"Siapa kekasih Kejora?"
"Wicaksara, pemuda tampan sepertimu yang masih keturunan darah biru."
"Hmmm...," Suto manggut-manggut, tapi Menik tak melihat gerakan kepala Suto,
sehingga ia menyangka Suto hanya menggumam.
"Dalam mencari Kejora, tiba-tiba aku dihadang oleh kakek tua ompong itu. Dengan
ramah ia meminta agar
aku bersedia menyerahkan otakku untuk dimakannya.
Tentu saja aku tak mau. Aku segera melindungi lututku dan...."
"Mengapa yang kau lindungi lututmu?"
"Sebab Kejora sering mengatakan otakku ada di dengkul. Dengkul itu lutut, jadi
ketika kudengar Dewa Semprong mau memakan otakku, maka aku segera
melindungi lututku. Akhirnya aku melarikan diri dan dia mengejarnya sampai...
yah, bertemu denganmu dan buta bersamamu begini."
Weess...! Angin berhembus cepat, dan berhenti di depan Pendekar Mabuk. Firasat
Suto mengatakan ada yang datang menemui mereka. Ia segera bersiap menarik lengan
Menik dan menyembunyikan Menik di belakangnya. "Ada yang datang menghampiri kita, Menik. Siapa dia?"
"Mana kutahu, kau kan yang ada di depan" Apa kau tak kenal dia?"
"Oh, ya... aku lupa. Kita sama-sama buta!"
Dengan mempertajam pendengaran dan firasatnya,
Suto Sinting mulai mempelajari tokoh yang datang dan kini sedang berdiri di
depannya itu. Kepalanya sebentar-sebentar
miring ke kanan atau ke kiri untuk mendengarkan suara langkah kaki. Ilmu 'Lacak Jantung'
pun segera digunakan untuk mendengar detak jantung seseorang.
"Hmmm... kalau mendengar detakan jantungnya yang agak lembut, seperti orang yang
datang di depanku ini
adalah seorang perempuan," kata Suto Sinting dalam hatinya. "Bau wangi yang
kuhirup ini juga menunjukkan wewangian seorang perempuan. Tak salah lagi, pasti
orang yang berdiri di depanku adalah seorang perempuan."
Pendekar Mabuk segera menyapa dengan ramah
namun bernada tegas.
"Siapa kau sebenarnya. Nona" Sebutkanlah namamu jika kau bermaksud baik padaku."
"Hik, hik. hik.... Baru sekarang ada pemuda ganteng memanggilku Nona," kata
orang yang ada di depan Suto.
Pendekar Mabuk terperanjat. Suara yang didengarnya adalah suara perempuan tua
yang usianya sekitar delapan puluh tahun. Suto menjadi malu ketika mendengar
Menik terkikik geli di belakangnya.
"Apakah tak boleh aku memanggilmu Nona?" kata Suto menutupi rasa malunya akibat
salah terka. "Yah, terserah apa maumu, Pemuda Tampan. Tapi ketahuilah dalam kebutaanmu itu,
bahwa aku adalah Nyai
Serampang Wilis. Umurku sudah mencapai delapan puluh tahun, sudah peot, keriput, tapi... yah, mungkin
memang masih kelihatan cantik, seperti
seorang nona. Hik, hik, hik...."
Suto tak melihat bahwa perempuan yang berdiri di depannya itu memang sudah tua,
seperti yang dituturkan orang
itu. Ia bernama Nyai Serampang Wilis. Mengenakan jubah hitam dan berambut abu-abu disanggul asal-asalan, ia selalu memainkan kipasnya dalam bicara.
"Apa maksudmu menemui kami di sini, Nyai
Serampang Wilis"!"
"Kebetulan saja aku melihat kalian di sini. Aku mempunyai kecurigaan yang
kubutuhkan."
"Apa maksudmu, Nyai?"
"Kau pasti telah bertemu dengan seorang lelaki tua berjubah hijau yang bernama
Dewa Semprong itu."
"Iya, memang benar. Dari mana kau tahu kalau kami bertemu dengan Dewa Semprong?"
"Kulihat kebutaan di mata kalian bukan dari sejak lahir. Kalian pasti terkena
jurus 'Gelap Sayuta'-nya si Dewa Semprong. Jurus itu bisa membuat lawan buta
seumur hidup dan tak ada obat penyembuhnya!"
Pendekar Mabuk diam menahan kecemasan dalam
hatinya. Namun di batin sang Pendekar Mabuk sempat bertanya-tanya, "Benarkah aku
akan buta selamanya"
Benarkah tak ada obat yang dapat menyembuhkan
kebutaanku ini"!"
Suara Nyai Serampang Wilis terdengar lagi.
"Dewa Semprong memang patut dipenggal kepalanya. Sebagai tokoh sakti ia sangat gegabah dalam bertindak. Itulah
sebabnya ia selalu dijauhi oleh para tokoh seangkatannya."
"Apa yang harus kami lakukan jika sudah buta begini, Nyai Serampang Wilis?"
"Hmmm... ya sudah, nikmati saja kebutaan kalian.
Karena ke mana pun kalian mencari obat penyembuh kebutaan itu, kalian akan
gagal. Kebutaan itu tak akan mampu dipulihkan oleh kesaktian apa pun.".
"Jangan percaya sepenuhnya, Suto," bisik Menik.
"Di mana sekarang si Dewa Semprong itu. Aku sedang memburunya
untuk menyelesaikan perkara dengannya."
"Nyai, kami memang tadi bertemu dengan Dewa Semprong.
Tapi setelah kami dibuat buta, kami melarikan diri ke sembarang arah. Jadi kami tak tahu di mana si Dewa Semprong
berada sekarang ini. Mungkin di arah belakangku, mungkin di sebelah kiriku, atau
mungkin di arah sebelah kananku. Aku tadi sempat berlari ke berbagai penjuru
untuk menghilangkan jejak."
Nyai Serampang Wilis ingin bicara lagi. Tetapi tiba-tiba Suto Sinting berkelebat
menerjangnya dengan kecepatan tinggi. Zlaaap...! Brrrus...! Tubuh Nyai Serampang
Wilis terlempar ke samping. Nenek tua itu terkejut
dan nyaris murka. Namun tiba-tiba kemarahannya segera menjadi reda setelah melihat Suto Sinting menangkap sesuatu
dengan jari-jari tangan kirinya.
Tiga pisau kecli terselip di jari-jari Pendekar Mabuk.
Tiga pisau berbulu merah pada bagian gagangnya itu nyaris merenggut nyawa Nyai
Serampang Wilis, karena ketiga pisau terbang itu memang ditujukan ke arah leher
Nyai Serampang Wilis.
Ketajaman indera pendengaran dan indera perasa
membuat Suto Sinting mengetahui ada hembusan angin aneh yang menuju ke tubuh
Nyai Serampang Wilis.
Nalurinya pun segera menggerakkan kaki untuk menyentak kecil ke tanah dan tubuh pun melesat cepat
melebihi hembusan angin. Karenanya, tiga pisau dari penyerang
yang masih bersembunyi itu berhasil ditangkap oleh Suto Sinting, sehingga Nyai Serampang Wilis hanya menderita nyeri
di pinggulnya akibat jatuh terbanting oleh terjangan Suto tadi.
"Monyet kurap!" geram Nyai Serampang Wilis sambil memperhatikan tiga pisau
berjambul merah di jari-jemari Suto
"Seseorang ingin membunuhmu, Nyai."
"Memang," jawab Nyai Serampang Wilis bernada tegas karena memendam kemarahan.
"Tapi aku kenal dengan pemliik pisau berjambul merah itu."
"Hmmm... siapa pemiliknya, Nyai?"
"Tapak Siluman!"
"Hahh..."!" Menik terdengar memekik. Lalu tubuhnya melesat
dalam satu lompatan ke atas. Wuuut...! Duuuhk...! "Aaow...!" Menik memekik lagi lebih keras, karena kepalanya membentur dahan
pohon dengan keras. Gadis kecil itu hampir saja jatuh terbanting dari
ketinggian. Untung tangannya berhasil mendapatkan dahan kecil sebagai pegangan. Akhirnya
gadis itu bergelayutan di atas pohon. Dalam keadaan mata tak dapat melihat,
Menik berusaha untuk bersembunyi di atas pohon begitu mendengar pisau itu milik
si Tapak Siluman.
"Menik, kau baik-baik saja"!" seru Suto Sinting.
"Ya, lumayan...," jawab Menik yang sudah berhasil mendapatkan dahan yang aman.
"Mengapa adikmu itu terkejut begitu nama Tapak
Siluman kusebutkan" Apakah kalian sedang dicari-cari oleh Tapak Siluman"!"
"Kami mendengar tentang Tapak Siluman dari mulut si Dewa Semprong. Hmmm...
sebaiknya carilah dulu orang yang akan membunuhmu dengan tiga pisau itu, Nyai."
"Percuma!" kata Nyai Serampang Wilis "Tapak Siluman tak pernah diketahui
jejaknya, ia dapat melakukan serangan sambil berlalu begitu saja. Sekarang pun
kalau kau ingin mencarinya, tak akan dapat
menemukan si Tapak Siluman. Aku yakin ia tidak
berada di sini, tapi mungkin di seberang barat sana."
"Dari mana kau dapat menduga bahwa ia ke barat?"
"Kulihat daun-daun ilalang di sebelah barat bergoyang, arahnya ke timur. Padahal saat ini angin bergerak ke
barat. Berarti daun-daun ilalang itu terhembus oleh gerakan si Tapak Siluman yang sedang melintasi daerah itu!"
"Apakah kau bermusuhan dengan si Tapak Siluman, Nyai?"
"Tidak. Tapi dia selalu ingin membunuh siapa pun yang dianggapnya berilmu
tinggi. Tapak Siluman ingin menguasai dunia persilatan dengan membantai habis
para tokoh sakti di dalamnya."
"Gawat...!" gumam Pendekar Mabuk.
"Aku akan mengejarnya. Sementara urusanku dengan si Dewa Semprong akan


Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kutangguhkan dulu."
"Nyai, apakah itu tidak berbahaya bagi keselamatan jiwamu?"
"Kalau aku bisa membunuh si Tapak Siluman, berarti ilmuku lebih tinggi dari si
Gila Tuak."
Suto Sinting terkejut mendengar nama gurunya
disebut-sebut oleh Nyai Serampang Wilis. Setidaknya nenek yang selalu
menyebarkan aroma wangi itu
mengenal si Gila Tuak. Tapi Suto belum jelas, di aliran mana Nyai Serampang
Wilis berada. Apakah termasuk tokoh hitam atau tokoh putih.
Weeeers...! Nyai Serampang Wilis melesat tinggalkan tempat. Gerakan kepergiannya
dirasakan oleh Suto seperti hembusan angin pagi yang menyebarkan udara dingin.
Suto Sinting penasaran, ingin mengetahui apa yang terjadi jika Nyai Serampang
Wilis bertemu dengan si Tapak Siluman. Maka ia pun segera berlari mengikuti
udara dingin yang ditimbulkan oleh gerakan lari Nyai Serampang Wilis itu.
"Suto, mau ke mana kau"!" seru Menik dari atas pohon.
'Aku ingin mengikuti Nyai Serampang Wilis. Siapa tahu bisa bertemu dengan si
Tapak Siluman!"
"Aku ikut!"
"Jangan...!"
Weeeess...! Menik nekat melompat turun dan dengan lincahnya melesat mengikuti
suara langkah Suto Sinting.
Duuhk, brrus...!
"Aaauh...!" Menik memekik kesakitan karena dalam kebutaan matanya ia sempat
menabrak sebatang pohon.
Suto tak tega, akhirnya berhenti dan mendekati Menik sambil kedua tangannya
meraba-raba tempat sekitarnya.
"Menik..."! Menik..."! Menangislah lagi biar aku tahu di mana kau berada!"
"Uugf...! Uuffh...!"
Suto Sinting hentikan langkah begitu mendengar
suara Menik bagai disekap oleh tangan kekar.
"Celaka! Menik dalam bahaya. Pasti ada orang yang menyekap mulutnya hingga tak
dapat berteriak!" pikir Suto Sinting, ia mulai tegang dan menggunakan ilmu
'Lacak Jantung' untuk mengetahui kebenaran dugaannya.
"Oh, ada suara degub jantung agak cepat. Hmmm...
siapa pemiliknya"!"
Pendekar Mabuk bergerak pelan ke arah datangnya suara Menik tadi. Tapi dalam
hatinya ia yakin pasti bukan si Dewa Semprong, sebab irama detak jantungnya
berbeda. Kali ini irama detak jantung yang didengarnya lebih cepat dan lebih
menyentak-nyentak. Suto hanya bisa memastikan, pemilik jantung itu adalah
seorang lelaki. Tapi ia belum bisa menduga siapa orang tersebut.
* * * 3 SUARA langkah kaki bergegas pergi membuat
Pendekar Mabuk segera lakukan pengejaran. Dalam firasatnya mengatakan, bahwa
Menik ingin dibawa lari oleh seseorang yang membungkam mulut bocah itu.
Maka sambil melakukan pengejaran ke arah datangnya suara langkah menjauh itu, Pendekar Mabuk
lepaskan jurus 'Jari Guntur' yang berupa sentilan bertenaga dalam. Tess...!
Plook...! Ada suara seperti kaki ditabok keras. Disusul suara pekik orang kesakitan yang
tertahan. Setelah itu baru suara orang jatuh tersungkur. Brruus...!
"Aauh!"
Menik memekik. Agaknya bocah itu terpental dari gendongan orang yang jatuh tersungkur akibat pahanya terkena
pukulan 'Jari Guntur'. Pukulan itu membekas biru di paha, namun sayang tertutup
celana merah sehingga tak kelihatan. Yang jelas orang bercelana merah dan
berbaju hitam itu jatuh tersungkur dan meluncur menerabas semak belukar.
Brrruuus...! "Aaaow...!" ia memekik kesakitan, merasa mendapat pukulan sebesar tendangan
seekor kuda jantan, ia menjadi berang dan cepat keluar dari semak belukar.
"Sutooo..., Sutooo..."!' Menik memanggil-manggil dengan kebingungan. Suto segera
berkelebat ke arah suara Menik tadi. Zlaap...! Wuuut...! Menik pun berhasil
disambar Pendekar Mabuk dan menjauhi tempat itu.
Namun tiba-tiba Suto merasa ada yang menghadangnya.
Jleeg...! Suara orang menapakkan kakinya ke tanah setelah lakukan suatu lompatan. Ditilik
dari suara hentakan tanah yang cukup berat, Suto dapat membayangkan orang yang
ada di depannya bertubuh tinggi dan besar.
Kenyataannya memang begitu, orang bercelana merah dan berbaju hitam itu mempunyai tubuh yang tinggi dan besar. Kumisnya
lebar, matanya lebar, ia mengenakan ikat kepala dari kain batik warna biru.
Kedua lengannya mengenakan gelang akar bahar warna hitam. Pada sabuk hitamnya
yang lebar itu terselip sebiiah golok besar bersarung dari kayu besi.
Orang itu menggeram menampakkan kemarahannya.
"Bangsat tengik! Rupanya kau ingin cari mampus di tangan si Kebo Gadung, hah"!"
"Maaf, Kang," kata Suto dengan kalem sambil menggendong Menik. Ia menyebut orang
itu 'Kang', karena ditilik dari suaranya yang besar, usia orang itu pasti lebih
tua dari usia Pendekar Mabuk. Mungkin berusia sekitar empat puluh tahun. Dugaan
Suto memang benar, orang itu berusia sekitar empat puluh tahun dan berperangai
galak. Seakan tak pernah pandang bulu jika membantai lawan.
"Sekali lagi, aku mohon maaf padamu, Kang. Bukan aku mencari mampus, sebab ilmu
apa pun memang ingin kucari sebanyak mungkin, kecuali ilmu mampus, aku tak ingin
mencarinya. Aku bertindak demi menyelamatkan adikku ini!"
"Serahkan bocah itu atau kau mati di tanganku, Tikus Got!" bentak Kebo Gadung.
"Mengapa kau menginginkan anak ini, Kang?"
"Waktuku hampir habis. Sebelum matahari tenggelam aku harus sudah mendapatkan
seorang bocah yang harus kuserahkan kepada guruku. Karena jika aku gagal, maka
nyawakulah yang akan menjadi gantinya!"
"Untuk apa gurumu membutuhkan bocah sekecil ini, Kang"!"
"Jangan banyak bacot! Serahkan bocah itu!"
"Maaf, aku tak berani menyerahkan padamu, sebab aku bukan bapaknya, juga bukan
ibu bocah ini!"
"Bangsat! Kutumbuk mulutmu yang asal cuap itu!
Heeeeaah...!"
Bed, zlaap...! Lompatan cepat si Kebo Gadung menemukan tempat
kosong. Suto Sinting telah melesat dan hinggap di atas pohon. Gerakan lompatnya
memutar cepat seperti
baling-baling, sehingga daun dan bunga pohon berguguran bagai terhempas oleh angin kencang.
"Menik, diamlah di sini. Biar kuhadapi dulu orang itu!"
"Baik. Lumpuhkan dia secepatnya, Suto. Aku tak mau berada dalam gendongannya
lagi. Keringatnya bau sekali! Hampir saja gigiku rontok sendiri karena mencium
bau ketiaknya itu...."
Entah apa lagi yang dikatakan Menik, yang jelas Suto Sinting segera
meninggalkannya sebelum Menik selesai bicara. Gerakan Suto melompat turun
bagaikan kapas melayang dihempas angin. Tanpa suara dan getaran sedikit pun,
sebagai tanda ilmu peringan tubuhnya cukup tinggi. Menik tak tahu Suto telah
turun dari pohon, maka ia berceloteh sendirian tanpa ada yang mendengarnya.
"Heeeaat...!" Kebo Gadung menyongsong gerakan Suto Sinting yang melayang turun.
Orang bertubuh kekar itu lakukan lompatan naik, sehingga sebelum Suto
mendaratkan kakinya ke tanah sudah harus beradu pukulan dengan Kebo Gadung.
Bed, bed...! Prrok...!
Kedua tinju itu beradu dengan keras. Masing-masing kepalan mempunyai kekuatan
tenaga dalam. Tetapi agaknya tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Mabuk lebih
besar ketimbang yang dimiliki Kebo Gadung.
Akibatnya, tubuh Kebo Gadung terpental ke belakang dan jatuh berguling-guling.
Guzraak...! Wuk, wuk, wuk!
"Monyet panggang!" maki Kebo Gadung dengan suara menggeram berat. Kepalanya
membentur akar pohon berbentuk pipih seperti dinding sehingga merasa pusing
tujuh keliling, ia mengerang dengan suara pelan.
Sementara itu Pendekar Mabuk berdiri dengan satu kaki. Bumbung tuaknya masih ada
di punggungnya, ia bergerak limbung seperti orang mau jatuh. Tapi gerakan itu
terhenti dan berpindah limbung ke arah lain dengan pergelangan tangan ditekuk.
Wut, wut, wees...!
Kebo Gadung tercengang melihat jurus sempoyongan lawannya, ia cepat menyimpulkan
jurus tersebut.
"Jurus mabuk..."! Oh, apakah dia yang dikenal dengan nama Pendekar Mabuk"!"
Wuk, wuuk...! Suto Sinting hentikan permainan jurusnya dalam
keadaan kaki kanan tegak lurus, dan kaki kiri dilipat hingga telapak kaki kiri
itu merapat dengan betis kanannya. Kedua tangan Suto mengembang ke samping
dengan badan sedikit miring dan kepala tertunduk lemas seakan sedang mabuk.
"Siapa pun dirimu aku tak peduli! Tetap saja kuhancurkan kepalamu, Tikus Dapur!
Hiiah...!"
Kebo Gadung melompat melepaskan tendangan
beruntun ke wajah Pendekar Mabuk. Namun tendangan itu berhasil ditangkis
berkali-kali oleh Pendekar Mabuk walaupun dalam keadaan buta matanya.
Plak, plak, plak, plak, plak...!
Wuuuut, buuuhk...!
Suto Sinting putar tubuh dengan cepat, tahu-tahu kakinya
melayang menendang telak kepala
Kebo Gadung. Tendangan itu cukup keras dan mempunyai kekuatan tenaga dalam besar,
sehingga tubuh kekar berkumis lebat itu terpental ke samping kanan dan jatuh
berguling-guling. Bleduk, brrus...!
"Oouh...!" Kebo Gadung mengerang kesakitan, ia segera memegangi hidungnya,
ternyata dari lubang itu keluar darah kental yang membasah hingga melewati
mulutnya. "Kusarankan agar kau segera pulang dan jangan coba-coba ingin menculik gadis
kecilku lagi, Kebo Gadung!" kata Suto Sinting dengan tegas dan bernada penuh
wibawa. "Keparat sangit!" geram Kebo Gadung sambil bangkit kembali. "Daripada aku
dibunuh Guru karena gagal membawa pulang seorang bocah, lebih baik kita beradu
nyawa di sini, Tikus Pasar!"
Sreek! Golok besar dicabut dari sarung kayunya.
Golok itu berkilauan dan ditebas-tebaskan ke sana-sini.
Kebo Gadung memamerkan jurus goloknya. Ia tak sadar bahwa lawannya buta, tak
bisa melihat kehebatan jurus itu.
Suto Sinting hanya menelengkan kepala memperhatikan suara yang mendekatinya. Dengung
golok menebas angin terdengar makin mendekat dari sisi kanannya. Pendekar Mabuk
berdiri dengan badan
limbung ke kiri bagai mau jatuh. Kepalanya terkulai lemas, sesekali tersentak
mirip orang cegukan. Kebo Gadung memutar tubuh dengan cepat dan tahu-tahu golok
menyabet pinggang Suto Sinting. Wuuss..!
Suto jatuh, tangannya menapak di tanah, lalu
menyentak cepat, tahu-tahu tubuhnya melenting ke atas.
Golok itu mengenai tempat kosong. Tetapi si pemilik golok segera lakukan satu
lompatan ke atas pula, dan kakinya berkelebat menendang dari samping kanan ke
kiri. Wuuut, buuhk...!
"Uuhg...!"
Pendekar Mabuk terpental ketika tendangan keras itu mengenai lambungnya.
Brrruk...! Ia jatuh terpuruk dengan wajah menyeringai. Bumbung tuaknya nyaris terlepas dari punggung. Untung talinya yang
menyilang di dada cukup kuat, sehingga bumbung itu hanya mengganjal tubuh Suto
yang jatuh meringkuk.
"Modar kau sekarang! Heeah...!"
Kebo Gadung tak mau memberi kesempatan lawannya untuk bangkit, ia segera menerjang dengan golok ditebaskan ke depan.
Wuuut...! Traaang, traak...!
Golok itu tiba-tiba patah menjadi dua bagian. Sebutir batu melayang cepat dan
menghantam pertengahan
golok yang membuat golok itu patah. Kebo Gadung terbengong melihat goloknya
patah karena dihantam
batu kerikil sebesar melinjo. Jika bukan berisi tenaga dalam cukup tinggi, tak
mungkin batu kecil itu dapat mematahkan golok baja tersebut.
Pada saat Kebo Gadung terbengong pandangi goloknya, tiba-tiba sekelebat bayangan melintas cepat dari balik semak. Bayangan
itu berwarna abu-abu yang segera menerjang dada Kebo Gadung. Buuhk...!
"Heegh...!" Kebo Gadung nyaris tak bisa bernapas.
Dadanya bagaikan mau jebol, pernapasannya tersumbat sesaat. Tubuh besar itu melayang ke belakang dan membentur sebatang
pohon dengan keras. Duuurr ..!
Daun-daun berguguran karena benturan tubuh besar bertenaga dalam itu.
"Ada orang yang ikut campur dalam pertarungan ini,"
pikir Suto Sinting. "Hmmm... siapa orang

Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang memihakku itu"!"
Pendekar Mabuk bangkit berdiri dan ketika tangannya meraba-raba mencari pegangan atau keseimbangan tubuh. Ketika itu ia mendengar Kebo Gadung
berseru kepada bayangan yang tadi menerjangnya itu.
"Babi kurap! Rupanya kau mau ikut campur urusanku, hah"! Hiaaah...!"
Kebo Gadung melompat lakukan serangan bagai
singa menerkam mangsanya. Tapi orang yang diserang segera menyambutnya dengan
pukulan bertubi-tubi menggunakan kedua telapak tangannya.
Wut, wut, wut, wut...!
Plak, plak, duhg, duhg, duhg, duhg, duhg..!
Pukulan beruntun itu terdengar jelas di telinga Suto Sinting. Kecepatan pukulan
itu menandakan orang berpakaian biksu warna abu-abu itu mempunyai ilmu yang
lumayan tinggi. Suara pukulannya seperti beduk ditabuh dengan dua batang kayu
sebesar lengan.
"Huuoeek...!" Kebo Gadung memuntahkan darah segar dari mulutnya. Di sela suara
'hoek-hoek'-nya Kebo Gadung, Suto Sinting mendengar suara tawa yang
terkekeh-kekeh. Suara tawa itu sepertinya pernah didengar, hanya sayang ia lupa
siapa pemiliknya.
"Bangsat kau!" geram Kebo Gadung dengan menahan sakit di dada. "Aku akan datang
lagi untuk membalas perbuatanmu ini! Aku akan datang untukmu, Bangsat Tua!"
Weess...! Suto Sinting mendengar suara langkah kaki menjauh. Hatinya segera
menggumam, "Hmm.... Kebo Gadung melarikan diri. Siapa orang yang membuatnya lari
itu"!"
Pendengaran Suto segera menangkap langkah kaki
mendekatinya. Kira-kira dalam jarak satu tombak, langkah kaki itu berhenti. Tapi
dari belakang Suto muncul pula langkah kaki yang seakan baru keluar dari
persembunyian. Suto Sinting segera menyapa orang yang menolongnya itu.
"Maaf, Kawan... sebelum kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu, terlebih dulu
aku ingin mengenal namamu, Kawan."
Kemudian orang itu pun terkekeh pelan dan mulai
perdengarkan suaranya.
"Perawan juling berhulu hidung lentik
Mencari kutu sambil jungkir balik
Pandanglah wajah tampanku baik-baik
Inilah aku si penakluk gadis cantik."
"Eyang Resi Pakar Pantun..."!" Suto Sinting langsung yakin bahwa orang itu
adalah Resi Pakar Pantun yang sudah dianggap seperti orangtuanya sendiri. Suto
pun yakin bahwa yang muncul dari balik semak di
belakangnya pasti si Kadal Ginting, pelayan setia sang Resi.
"Eyang, tampaknya Suto dalam keadaan buta!" ujar Kadal Ginting, lelaki agak
pendek berpakaian hijau tua dengan ikat kepala putih.
Resi Pakar Pantun mendekati Suto, melambaikan
tangan di depan mata. Suto diam saja dan tampak kebingungan. Kadal Ginting
segera berkata,
"Eyang ini bagaimana"! Mata buta malah diberi lambaian tangan. Mana mungkin
mendapat balasan"!"
"Aku hanya mencoba apakah benar matanya buta!"
hardik sang Resi.
"Kalau tak percaya, silakan dicolok dulu, Eyang!"
"Matamu saja yang dicolok!" sahut Suto Sinting dengan bersungut-sungut.
"Astaga! Jadi kau benar-benar buta, Suto"!" wajah sang Resi tampak tegang. Lalu
ia mulai meluncurkan pantunnya lagi.
"Perawan juling ketiban papan
Tubuh mulus panunya sebesar kendi
Buat apa punya wajah tampan
Kalau tak bisa mengintip gadis mandi."
Menik yang menyimak keadaan di bawah segera tahu bahwa Kebo Gadung telah pergi,
ia segera lakukan lompatan bersalto karena ingin bergabung dengan Suto.
Ia lupa bahwa matanya masih buta. Karenanya ketika ia melompat turun, kakinya
mendarat di pundak Resi Pakar Pantun. Jleeg...!
"Aduh, kotoran apa yang kuinjak ini, Suto?" tanya Menik dengan tegang. "Kok
empuk"!"
"Bocah gendeng!" maki sang Resi sambil menabok kaki Menik. "Ayo, turun...! Kau
menginjak pundakku, bukan kotoran apa-apa!"
Wuuut, jleeg...!
Menik melompat turun dari atas pundak sementara Kadal Ginting dan Suto
menertawakan omelan sang Resi.
"Kalau tak salah dengar, seperti ada suara Eyang Resi Pakar Pantun, Suto," ujar
Menik dengan tangan meraba-raba mencari lengan Suto. Kadal Ginting dan Resi
Pakar Pantun semakin terbengong dengan hati iba melihat Menik pun ternyata dalam
keadaan buta. "Ya, ampun...! Jadi si Menik juga ikut buta?" ujar sang Resi.
"Oh, Menik...," Kadal Ginting bernada sedih, ia langsung berlutut dan memeluk
Menik. "Adikku sayang, mengapa kau punya penyakit latah sehingga ikut-ikutan
buta seperti Suto, Adikku"!"
Menik memegang kepala Kadal Ginting.
"Suto, aku mendapatkan kentang cukup besar."
Kadal Ginting menyahut dengan suara dibuat mendayu-dayu. "Ini bukan kentang, Adikku. Ini kepala yang belum pernah ditanam!"
Kadal Ginting segera menepiskan tangan Menik
ketika gadis itu tertawa cekikikan.
"Kurang ajar! Kepala orang tua disangka kentang!"
gerutu Kadal Ginting yang membuat Pendekar Mabuk sunggingkan senyum geli.
"Suto, ceritakan bagaimana awalnya kau dan Menik bisa menjadi buta begini"
Apakah kau tak bisa
sembuhkan kebutaanmu dengan tuakmu itu"!"
Pendekar Mabuk segera meraih bumbung tuak dan
bersiap untuk meneguknya.
"Dewa Semprong yang membuat kami menjadi
seperti ini, Eyang Resi...," kemudian Suto pun menceritakan pertemuannya dengan Dewa Semprong.
"Kalau begitu kau dan Menik harus mencuci muka dengan air Sendang Ketuban," kata
Resi Pakar Pantun.
* * * 4 SENDANG Ketuban merupakan sebuah kolam berair
jernih, warnanya hijau bening. Kolam itu terletak di dalam Istana Jerami milik
Ratu Cumbutari. Benda apa pun yang jatuh di atas permukaan air kolam tersebut
akan lenyap secara gaib, sehingga air kolam itu tetap bening dan bersih.
Istana Jerami terdapat di negeri Wilwatikta, tepatnya di Gunung Purwa. Negeri
itu kekuasaan Ratu Cumbutari yang
pernah dibantu Pendekar Mabuk dalam mengalahkan si anak raksasa bernama Barakoak. Sedangkan Ratu Cumbutari sendiri adalah adik dari ayahnya Menik, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Pembantai Raksasa").
Adapun kesaktian air Sendang Ketuban memang
melebihi kesaktian tuaknya Suto. Air itu mampu
sembuhkan seluruh penyakit dan luka apa pun. Sudah beberapa kali Pendekar Mabuk
terpaksa menggunakan air Sendang Ketuban untuk menolong luka seorang sahabat
yang tak bisa disembuhkan dengan tuak
saktinya. Beberapa luka yang pernah disembuhkan dengan menggunakan air Sendang
Ketuban antara lain: luka terkena racun 'Tapak Ungu' yang kala itu didera oleh
Darah Prabu, murid dari Resi Badranaya, juga luka terkena kesaktian Tongkat
Guntur Bisu yang membuat Kabut Merana menjadi patung batu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Dendam Selir Malam").
Kali ini, kebutaan Suto dan Menik yang membutuhkan air Sendang Ketuban. Resi Pakar Pantun serta Kadal Ginting ikut
mendampingi Pendekar Mabuk dan Menik menuju Gunung Purwa. Hal itu terpaksa
diakukan oleh Resi Pakar Pantun, karena dengan begitu ia mempunyai kesempatan
menjelaskan tentang si Tapak
Siluman. "Memang para tokoh tua kalangan atas sedang ramai membicarakan tentang
kemunculan si Tapak Siluman,"
kata Resi Pakar Pantun sambil menuntun Suto melangkah, sedangkan Dewi Menik digendong oleh
Kadal Ginting. "Siapa sebenarnya si Tapak Siluman itu. Eyang Resi?"
"Dia sebenarnya tokoh tua yang pernah merajai dunia hitam sebelum gurumu: si
Gila Tuak, tampil sebagai tokoh sakti teratas di jajaran para tokoh di rimba
persilatan ini. Sebelum Gila Tuak dinobatkan sebagai tokoh tersakti, Tapak
Siluman sudah meninggal."
"Lalu, kenapa sekarang dia bisa bangkit lagi?"
"Mayatnya memang bisa bangkit lagi jika tersiram darah perawan. Walau hanya
setetes darah perawan mengenai mayat si Tapak Siluman, maka ia dapat hidup
kembali karena ilmu 'Sukma Perawan'-nya bekerja kembali. Menurut kabar yang
diterima oleh para sesepuh dunia persilatan, termasuk keterangan dari gurumu
sendiri, bahwa kuburan si Tapak Siluman yang terletak di lereng Bukit Segara itu
telah mengalami bencana tanah longsor beberapa waktu yang lalu...."
"Ya, aku juga mendengar kabar itu sekitar dua purnama yang lalu, ketika hujan
turun dengan deras selama tujuh hari tujuh malam," timpal Menik dari gendongan
Kadal Ginting. "Benar," sahut Resi Pakar Pantun lagi. "Bencana tanah longsor itu menimpa sebuah
desa yang bernama
Desa Pare Kembang. Kabar yang kuterima, bencana tanah longsor itu menewaskan
hampir separo lebih penduduk Desa Pare Kembang. Dugaan para sesepuh dunia
persilatan, rangka dari mayat Tapak Siluman itu terkena darah seorang gadis yang
masih suci tanpa disengaja. Darah itulah yang membangkitkan si Tapak Siluman dan
menuntut balas terhadap bekas lawan-lawannya yang dulu belum sempat
ditumbangkan. Bahkan kudengar ia juga masih melanjutkan cita-citanya yang dulu, yaitu ingin
menguasai dunia persilatan dengan membantai habis semua orang berilmu tinggi."
"Lalu, dulu yang mengalahkan Tapak Siluman siapa, Eyang Resi?"
"Dulu si Tapak Siluman dikalahkan oleh Kangmas Purbapati, atau gurunya si Gila
Tuak." "Ooh..."!" Suto Sinting terkejut, lalu menggumam bernada masygul.
"Jadi sasaran dendam Tapak Siluman sekarang ini adalah murid dari Purbapati,
yang tak lain adalah si Gila Tuak. Jika Gila Tuak mempunyai murid lagi, maka
Tapak Siluman pun akan membantai habis muridnya si Gila Tuak."
"Berarti aku pun terancam oleh dendamnya?"
"Begitulah kira-kira. Sebab itu dalam pembicaraan para sesepuh dunia persilatan,
aku diminta bantuannya oleh si Gila Tuak untuk menemuimu dan membawamu pulang ke
Jurang Lindu. Gila Tuak akan memberi tugas padamu untuk mengalahkan Tapak
Siluman. Sebab, para sesepuh dunia persilatan mendapat kabar bahwa Tapak
Siluman telah menguasai ilmu 'Bajang Rampak' yang amat berbahaya."
"Seperti yang diceritakan Dewa Semprong itukah?"
"Ya, memang apa yang dikatakan Dewa Semprong itu betul, Suto. Kesaktian ilmu
'Bajang Rampak' hanya bisa dilawan jika darah kita bercampur dengan otak bocah
di bawah usia sepuluh tahun. Karena itu
belakangan ini aku sering mendapat kabar tentang penculikan bocah kecil di
beberapa tempat, itu lantaran para tokoh yang tahu rahasia ilmu 'Bajang Rampak'
ingin mendapat penangkal ilmu tersebut dengan memakan otak bocah di bawah usia sepuluh tahun. Jika dibiarkan terus begitu,
maka berapa ribu bocah yang akan mati sebagai korban siap siaga datangnya ilmu
'Bajang Rampak'."
"Mengerikan sekali," gumam Kadal Ginting.
"Ah, begitu saja mengerikan! Dasar pengecut kau!"
kecam Menik yang digendong belakang oleh Kadal
Ginting. "Satu-satunya jalan untuk mengurangi pembantaian terhadap bocah di bawah usia
sepuluh tahun adalah dengan melawan dan menghancurkan raga si Tapak
Siluman," sambung Resi Pakar Pantun. "Dalam hal ini, menurut para sesepuh dunia


Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan, hanya kaulah orangnya yang bisa menandingi si Tapak Siluman
dengan ilmu 'Bajang Rampak'-nya. Karena gurumu
sendiri tahu bahwa kau mempunyai jurus 'Manggala'
yang dapat membuat lawanmu menjadi debu dalam
sekejap." Menik menyahut, "Tapi dalam keadaan buta begini mana bisa Suto mengarahkan jurus
'Manggala'-nya ke tubuh Tapak Siluman" Bisa-bisa malah nyasar ke
tubuhmu, dan kau sendiri yang menjadi debu buat cuci piring, Eyang Resi."
"Anak kecil ikut nimbrung terus kalau ada orang tua bicara!" hardik Resi Pakar
Pantun. Menik malahan bersungut-sungut.
"Salahnya sendiri, orang tua kok bicaranya dekat anak kecil!"
"Dasar tengil, konyol, bandel, sok tua...."
"Tapi cantik, bukan?" sahut Menik dengan lagak genitnya. Resi Pakar Pantun
mendengus kesal dan buang muka, sementara Suto dan Kadal Ginting tertawa geli
mendengar lagak bicara si gadis kecil itu sambil tetap melangkah menuju ke
Gunung Purwa. Tiba-tiba langkah mereka terhenti oleh datangnya sekelebat bayangan yang
melintas di atas kepala Suto.
Weesss...! Gerak naluri Soto Sinting membuatnya segera merendahkan kepala dengan
badan limbung ke samping seperti orang mabuk. Tangannya berkelebat dengan
pergelangan terlipat dan jari-jari membentuk kuncup.
Craaas...! "Aaauh...!"
Suto Sinting memekik, pundaknya terkena tebasan pedang si bayangan yang melintas itu.
Darah pun mulai membanjiri pundak Suto dengan luka panjang dari punggung kiri ke
pundak kiri. Kadal Ginting segera lakukan lompatan ke balik
pohon besar. Menik masih ada dalam gendongannya.
Sementara itu, Resi Pakar Pantun segera melompat ke samping dan melepaskan
pukulan tenaga dalam dengan sentakkan tangan kanan dalam keadaan telapak
terbuka. Wuuut...! Bayangan itu melesat bagai kilatan cahaya. Dari pohon yang satu ke pohon yang
lain bayangan itu bergerak cepat. Wes, wes, wes, wes! Lalu mendaratkan kakinya
ke tanah. Jleeg...!
Pada saat itu Suto Sinting jatuh berlutut sambil memegangi pundaknya yang
terluka. Matanya yang buta seperti
memandang ke sana-sini, padahal yang digunakan untuk mengetahui keadaan sekeliling adalah pendengarannya.
Jurus 'Lacak Jantung' segera digunakan. "Hmmm... detak jantungnya lemah, pasti ia seorang perempuan," pikir Suto Sinting
sambil menahan rasa sakitnya.
Dugaan Pendekar Mabuk itu benar. Bayangan putih yang menyerangnya dengan pedang
itu adalah seorang perempuan cantik berusia sekitar tiga puluh tahun.
Rambutnya disanggul rapi, mengenakan hiasan kepala dari rantai emas permata.
Jubah putihnya tipis dan sangat membayang, sehingga bentuk tubuhnya dapat
dilihat secara samar-samar.
Perempuan itu mempunyai mata jalang dan bibir
menggemaskan. Pinggulnya begitu indah, sekal, sangat menggairahkan. Bahkan
dadanya tampak montok dan kencang, seakan selalu siap menantang lawan jenisnya.
Di tangan perempuan yang bergelang butiran permata itu menggenggam sebuah pedang
runcing. Gagang
pedangnya dibungkus dengan kain bludru warna hitam, berhias ronce-ronce benang
kuning emas. Perempuan itu tidak mengeluarkan suara apa pun, sehingga Pendekar Mabuk sempat
berkerut dahi dan wajah terheran-heran. Melihat gelagatnya, perempuan itu akan
menyerang Suto lagi dengan pedangnya. Maka Resi Pakar Pantun buru-buru tampil
menghadang langkah perempuan cantik beralis tebal itu. Resi Pakar Pantun sengaja berdiri
membelakangi Suto, karena ia tahu Suto Sinting pasti ingin buru-buru meminum
tuak saktinya untuk mengatasi luka tebasan pedang tadi.
"Perawan juling datang bertamu
Burung satu bandel melulu
Memang cantik paras wajahmu
Tapi sayang sirik hatimu."
"Hemmm...!" perempuan itu hanya mencibir sinis, sikapnya sangat bermusuhan.
"Siapa dirimu, Nona Cantik" Mengapa kau menyerang pemuda tampan itu"!" ujar Resi Pakar Pantun.
"Minggir kau, Tua Kejemur!"
"Eit, ditanya belum menjawab malah mengusir orang" Kau sangka aku pedagang kaki
lima yang bisa diusir sewaktu-waktu"!"
Pendekar Mabuk memang segera menenggak tuaknya. Begitu tuak masuk ke dalam kerongkongannya, luka sabetan pedang yang
memanjang itu mulai berasap
tipis. Makin lama warna merahnya makin berubah
menjadi kehitam-hitaman. Rasa sakit pun mulai hilang.
Lama-kelamaan luka itu pun menutup kembali dan
menjadi rapat seperti semula tanpa darah setetes pun yang tersisa di tubuh Suto.
"Sebutkan siapa namamu dan mengapa menyerang sahabatku"!" desak Resi Pakar
Pantun yang rupanya juga baru kali itu berhadapan dengan si perempuan cantik.
"Buka matamu, Tua Peot... akulah yang dikenal dengan nama Mahkota Dewi."
"Hmmm... nama yang masih asing di telingaku,"
gumam Suto Sinting yang sudah bisa berdiri tegak kembali.
Resi Pakar Pantun ajukan tanya kepada perempuan cantik itu.
"Mahkota Dewi....
"Perawan juling mancung giginya
Perawan bunting bodong pusarnya
Kalau marah apa sebabnya
Kalau cinta berapa anaknya?"
Sebelum Mahkota Dewi menjawab pertanyaan berpantun dari sang Resi, Pendekar Mabuk lebih dulu perdengarkan suaranya kepada
Mahkota Dewi. "Rasa-rasanya kita tak punya persoalan apa-apa, Mahkota Dewi."
Hati perempuan itu sempat menggumam kagum,
"Gila. Lukanya lenyap begitu saja" Padahal pedangku ini beracun ganas, tapi tak
membuatnya mati sedikit pun."
Hati berkata demikian, tapi mulut menanggapi
ucapan Pendekar Mabuk tadi.
"Menurut otak jahanammu memang begitu. Tapi menurutku kau adalah orang yang
wajib kutuntut balas."
"Apa yang ingin kau tuntut dariku?"
"Nyawamu!" jawab Mahkota Dewi dengan tegas dan semakin
menampakkan permusuhannya. Pandangan matanya yang galak itu menatap Suto Sinting tak berkedip. Tangannya masih
menggenggam pedang yang terangkat ke atas, siap untuk lakukan serangan mautnya
kembali. "Mengapa kau ingin menuntut nyawaku, Mahkota Dewi?" Suto ajukan tanya dengan
kalem. "Kau telah membunuh guruku, dan aku harus
membalas kematiannya kepadamu. Kau harus menebus nyawa Guru, Manusia sesat!"
Resi Pakar Pantun berkerut dahi memandang Suto
Sinting dengan heran. Dahi sang Pendekar Mabuk pun tampak berkerut tajam, ia
ajukan tanya kepada Mahkota Dewi sebelum Resi Pakar Pantun buka suara.
"Siapa gurumu itu, Mahkota Dewi"!"
"Jangan berpura-pura bodoh, Manusia Laknat! Dari puncak bukit tadi kulihat kau
berhadapan dengan Guru.
Tapi ketika kuhampiri, ternyata Guru sudah tidak ada di tempat dan kau pun
menghilang. Tak jauh dari tempat pertemuanmu dengan Guru kutemukan jenazah Guru
dalam keadaan yang sungguh
menyedihkan! Kau
memang manusia laknat yang amat keji. Kau layak mendapatkan upah seperti ini,
hiaaah...!"
Tiba-tiba sekali Mahkota Dewi tebaskan pedangnya di udara dari atas ke bawah.
Wees...! Angin tebasan itu memercikkan sinar merah yang melesat ke dada Suto
Sinting. Pandangan mata Pendekar Mabuk yang gelap tak bisa melihat datangnya sinar merah
itu. Tetapi Resi Pakar Pantun segera sentakkan tangannya dan keluarkan sinar
biru dari ujung jari telunjuknya. Claap...! Kedua sinar itu akhirnya
bertabrakan. Blaaaarr...! Gelombang hentakan dari ledakan tersebut membuat tubuh Resi Pakar Pantun
terlempar sejauh delapan langkah. Pendekar Mabuk sendiri terpental ke belakang
dan berguling-guling
sambil memeluk bumbung tuaknya. "Hiaaaah...!" Mahkota Dewi memanfaatkan keadaan Pendekar Mabuk yang terdesak
itu. Ia lakukan satu lompatan cepat dengan pedang menebas kuat. Weet,
traaang...! Suto Sinting menangkap datangnya angin kencang
dari arah atas kepalanya. Dengan cepat digenggamnya bambu bumbung tuak itu
memakai kedua tangan lalu disilangkan di atas kepala, sehingga bambu tuak itu
menjadi sasaran tebasan pedang si Mahkota Dewi.
Wuuut... brrruk...!
Mahkota Dewi justru terpental dan jatuh terpelanting setelah melayang sesaat di
udara. "Edan! Bumbung tuaknya bisa mengembalikan tenaga dalamku yang kusalurkan melalui pedang ini"!
Bahkan sepertinya tenaga dalam itu lebih besar dari yang kusalurkan tadi. Pantas
kalau Guru tewas di tangannya!"
Mahkota Dewi diam berdiri sambil membatin demikian. Sebelum perempuan itu bicara, Pendekar Mabuk lebih dulu perdengarkan
suaranya kembali yang masih bernada kalem itu.
"Mahkota Dewi, aku tak merasa membunuh gurumu dan aku tak tahu siapa gurumu
sebenarnya."
"Nyai Serampang Wilis!" jawab Mahkota Dewi dengan suara geram penuh kebencian
serta dendam. Pendekar Mabuk terkejut mendengar keterangan itu.
Seingatnya, Nyai Serampang Wilis tadi mengejar si Tapak
Siluman. Jika ternyata Mahkota Dewi menemukan Nyai Serampang Wilis sudah tak bernyawa lagi, berarti si Tapak Siluman
itulah pembunuhnya.
Begitu kesimpulan batin Suto.
"Kurasa kau salah paham, Mahkota Dewi," ujar Suto sambil memainkan tali
penggantung bumbung tuaknya.
"Aku tidak membunuh Nyai Serampang Wilis, tapi...."
"Jangan banyak bicara kau, Laknat! Hiaaah...!"
* * * 5 RESI Pakar Pantun akhirnya melepaskan pukulan
jarak jauhnya dari belakang Mahkota Dewi. Seberkas sinar kuning melesat dari
tangan Resi Pakar Pantun dan menghantam punggung Mahkota Dewi. Claap, des...!
Mahkota Dewi tersentak dan mengejang. Kepalanya terdongak ke atas dengan mulut
ternganga tanpa bisa keluarkan
suara. Pedangnya segera terlepas dari genggaman, dan tubuh itu pun akhirnya limbung karena urat-uratnya seperti putus
semua dan tulangnya bagaikan menjadi lunak. Brruk...!
Suto Sinting pertajam pendengaran, ia segera mengetahui bahwa lawannya telah jatuh terkulai tanpa daya lagi. Selang beberapa
saat kemudian terdengar suara sang Resi bernada kesal.
"Maaf, Suto... terpaksa aku berbuat curang sedikit.
Hanya sedikit kok."
'Kau apakan dia, Eyang?"
"Kuhantam dari belakang dengan pukulan 'Setan Presto' yang jarang kugunakan
itu." Suto Sinting geleng-gelengkan
kepala pertanda kurang setuju dengan tindakan itu.
"Aku memang lakukan kecurangan sedikit, tapi ini demi
menghindari korban nyawa terhadap kesalahpahaman ini," ujar sang Resi yang tadi juga mendengar cerita tentang Nyai
Serampang Wilis dari Suto sendiri.


Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahkota Dewi merintih kecil, suaranya mengharukan hati. Suto Sinting tak tega,
kemudian mendekati dengan pelan-pelan.
"Kau bisa memulihkannya dengan tuakmu, Suto,"
ujar sang Resi setelah memandang kemunculan Kadal Ginting yang menggendong Menik
itu. Kaki Pendekar Mabuk menyentuh kaki Mahkota
Dewi, lalu ia jongkok dan meraba-raba kaki perempuan itu.
"Di mana letak mulutnya?" gumam Suto yang didengar oleh sang Resi.
"Kurasa letak mulutnya ada di kepala, Suto."
"Aku sedang mencari kepalanya," kata Suto sambil tangan yang kiri mulai
mempersiapkan bumbung tuak. Ia ingin meminumkan tuak ke mulut Mahkota Dewi.
"Bunuhlah aku...," ratap Mahkota Dewi dengan lirih.
"Bunuhlah saja aku, agar menyatu dengan aman guruku...."
"Itu soal gampang," ujar Suto seenaknya sambil mencari kepala Mahkota Dewi.
Tangan Suto Sinting merayapi tubuh Mahkota Dewi untuk mendapatkan
kepala perempuan itu. Tapi ketika tangan tersebut sampai di dada montok Mahkota
Dewi, Suto Sinting sempat
berkata kepada sang Resi yang ada di belakangnya, "Kepalanya ada dua, Eyang."
"Husy...! Itu bukan kepala!"
"O, maaf. Kusangka kepala," kata Suto sambil nyengir nakal.
Mafkota Dewi semakin berang, tapi ia tak bisa
berbuat apa-apa. Tangannya sangat lemas, tak bisa untuk menabok wajah Pendekar
Mabuk. Seandainya Mahkota Dewi tidak dalam keadaan lumpuh akibat pukulan 'Setan
Presto' tadi, maka tangannya sudah berkelebat cepat menghantam wajah pemuda yang
dianggap menggagahi tubuhnya itu.
"Maaf, Mahkota Dewi.." aku hanya ingin menuangkan tuak ke dalam mulutmu biar kau sehat kembali. Aku tak ingin
kesalahpahaman ini memakan korban jiwa di antara kita."
"Bunuh saja aku, Keparat!" Mahkota Dewi bermaksud membentak, tapi suaranya yang keluar sangat pelan hingga mirip sebuah
rayuan. Begitu tangan Suto menyentuh mulut Mahkota Dewi, ia justru meraba-raba bibir
perempuan itu dengan hati berdesir desir. Suara decak kekaguman terdengar samarsamar dari mulut Suto.
"Ck, ck, ck... bibir kok legit amat begini" Hmm, hmm... pria mana yang bakalan
beruntung mencicipi bibir sepulen ini, ya?"
Resi Pakar Pantun menendang pinggul Suto secara seloroh. Plok...!
"Tuang saja tuakmu! Jangan sembrono begitu. Mulut orang diobok-obok seenaknya
saja...!" "Aku sedang buta, Eyang. Maklum, namanya saja orang buta, jadi kerjanya ya
meraba-raba begini."
Tuak pun segera dituangkan dengan hati-hati ke
mulut Mahkota Dewi dengan bantuan Resi Pakar
Pantun. Di sisi lain, Kadal Ginting berdiri memandangi adegan itu sambil berkata
agak keras. "Enak juga kalau jadi orang buta, ya" Pegang-pegang tubuh perempuan dianggap
sah-sah saja."
Menik menyahut dari gendongan, "Kudoakan perempuan itu jadi buaya, jadi kalau Suto mengobok-obok mulutnya bisa langsung
ditelan oleh buaya itu!"
"Hei, nada bicaramu kedengarannya jengkel sekali.
Kenapa begitu, Menik?" tanya Kadal Ginting.
"Aku tidak suka pemuda bertangan nakal," jawab Menik dengan ketus. "Sayang saja
aku kepepet buta begini. Kalau tidak aku tak mau berada dalam
gendonganmu."
"Kenapa begitu?"
"Tanganmu pun dari tadi juga nakal."
"Oh. aku tak sengaja nakal. Tanganku memang semutan, jadi sebentar-sebentar
kugerak-gerakkan biar semutnya hilang."
Percakapan itu terhenti, karena Kadal Ginting segera menjelaskan kepada Menik
bahwa Mahkota Dewi telah bisa bangkit dan duduk di tempat. Perempuan itu pegangi
kepalanya yang terasa agak pusing. Rupanya ia tak biasa minum tuak. Tapi tuak
itu telah membuatnya sehat kembali, urat-urat dan tulangnya bisa bekerja
sebagaimana mestinya. Bahkan Mahkota Dewi merasa lebih
segar sekarang dibanding sebelum lakukan pertarungan tadi. Duka atas kematian sang Guru pun bagaikan terkikis habis oleh pengaruh tuak yang
diminumnya. "Dia agak mabuk karena kebanyakan minum tuak,"
kata Kadal Ginting, menjelaskan penglihatannya kepada Menik.
"Hmm..., dasar perempuan udik! Aku saja sejak tadi banyak minum tuaknya Suto
tidak merasa mabuk."
"Apakah kau sudah sering minum tuak?"
"Jarang. Tapi kalau minum arak sering."
"Gila. Kecil-kecil minumannya sudah arak."
"Buat melatih diri dari tidak kaget jika bertemu dengan para tokoh yang gemar
Jejak Di Balik Kabut 36 Kuda Putih Karya Okt Perjodohan Busur Kumala 15

Cari Blog Ini