Ceritasilat Novel Online

Telur Mata Setan 1

Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 PONDOK kayu dikelilingi pepohonan rindang itu
roboh. Keadaannya hancur bagaikan habis dilanda
gempa dan badai. Warna hitam arang menghiasi
reruntuhan pondok kayu itu. Asap tipis masih mengepul
sebagai tanda bahwa penghancuran pondok kayu itu
terjadi belum lama ini. Serat-serat kayu yang berserakan menandakan adanya
tenaga dalam tinggi dipergunakan
untuk menghancurkan pondok tersebut.
Pemuda berambut hitam lurus dan lemas, panjangnya
sebatas lewat pundak, memandangi reruntuhan pondok
tersebut, ia geleng-gelengkan kepala melihat tak satu pun tiang yang masih
tersisa tegak berdiri sebagai tanda bekas penopang atap. Karena atap pondok itu
sendiri nyaris rata dengan tanah. Pemuda tampan berbaju coklat
tanpa lengan dan celana putih kusam itu masih diam
memandang sekeliling tempat itu. Bumbung tuak dari
bambu berukuran tak begitu panjang masih ditentang
dengan tangan kanannya. Tadi ia habis menenggak tuak
dua teguk sebelum memandangi sisa reruntuhan dengan
lebih teliti lagi.
"Kurasa ia masih ada di sekitar sini," katanya membatin, lalu kembali melangkah
mengelilingi reruntuhan pondok sambil memeriksa kanan-kirinya.
Pemuda itu agaknya sudah dapat menduga siapa orang
yang menghancurkan pondok milik mendiang Nyai Sapu
Lanang itu. Bahkan hatinya merasa yakin.
"Pasti ia masih mencariku setelah mengetahui di
dalam pondok ini tak terdapat satu orang pun. Sebaiknya kutunggu beberapa saat
di sini. Aku merasa yakin ia
akan datang kembali melihat hasil murkanya ini!"
Angin berhembus dari utara ke selatan. Asap sisa
pembakaran itu kian menipis. Tapi bara yang tersisa di tumpukan kayu masih
menyala. Pemuda tampan yang
tak lain adalah Pendekar Mabuk alias Suto Sinting itu sengaja jongkok tak jauh
dari bara. Sesuatu yang
tergeletak di sana di pungutnya.
Benda bulat seperti telur burung diperhatikan dengan
mata tak berkedip. Benda yang menurutnya adalah telur
aneh itu berwarna kemerah-merahan dan berkulit bening.
Cairan di dalamnya tampak berwarna merah seperti
darah. Pendekar Mabuk mendekatkan telur itu ke
wajahnya agar lebih jelas lagi dalam meyakinkan isi
telur itu. "Hmmm... telur apa ini" Agaknya warna merahnya
bukan karena terpanggang bara api tapi karena cairan di dalamnya," katanya
membatin, ia berdiri sambil
memperhatikan telur aneh itu. "Kulitnya sangat tipis, mudah pecah, sepertinya
hanya terbungkus oleh kulit ari.
Telur burung apakah ini" Mengapa berada di reruntuhan
pondoknya Nyai Sapu Lanang?"
Pendekar Mabuk jauhi reruntuhan, ia ingin meneduh
di bawah pohon beringin gajah yang besar itu. Ia merasa lebih tenang
memperhatikan benda itu di sana ketimbang di dekat reruntuhan.
Namun ketika sedang tekun memperhatikan jenis
telur tersebut, tiba-tiba terdengar sebuah suara berseru,
"Itu dia orangnya. Serang!"
Tentu saja Suto Sinting terkejut mendengar seruan
tersebut. Lebih terkejut lagi ketika tahu-tahu tiga sosok tubuh melayang hendak
menerjangnya dari tiga arah;
depan, kanan, dan kiri. Wuusss...! Pendekar Mabuk
terpaksa bergerak cepat. Gerakan nalurinya membuat ia memutar dengan bumbung
tuak di tangan dikibaskan
berkeliling cepat. Wuungg...! Kibasan bumbung tuak
dari bambu itu ternyata menimbulkan gelombang hawa
panas yang menyebar dalam satu hentakan bersama.
Akibatnya ketiga orang yang ingin menyerangnya itu
terpental dan melayang ke belakang bagaikan helai-helai daun yang ditebarkan.
Guzzrrak...! Bruuss...! Buuhg...!
Pendekar Mabuk berdiri tegak kembali dengan kedua
kaki kekarnya sedikit merenggang, ia juga menghadap
ke arah semula, dan di depannya berdiri seorang gadis
cantik yang tadi memberi perintah serang kepada ketiga lelaki berbadan agak
gemuk dengan tinggi tubuh sama
rata. Gadis yang berdiri di depan Suto Sinting dalam
jarak sekitar lima langkah itu mengenakan pakaian biru, rambutnya panjang diikat
ke belakang, bagian depannya
di poni, dan sikap berdirinya tak bisa tenang; bergerak ke sana-sini tanpa
tujuan yang pasti.
"Menak Goyang...!" sapa Suto Sinting pelan seakan tertuju untuk diri sendiri.
Pandangan matanya memang
tak salah, gadis itu adalah Menak Goyang, murid
Malaikat Miskin dari Perguruan Tongkat Sakti, (Baca
serial Pendekar Mabuk episode: "Racun Gugah Jantan").
Tiga orangnya yang menyerang Suto Sinting tadi
sedang berusaha bangkit dari jatuhnya. Salah seorang
ada yang mengerang karena tulang punggungnya
bagaikan patah. Seorang lagi luka kepalanya, membentur batu dan berdarah.
Sedangkan yang satu lagi sehat,
hanya merasa ngilu pada tulang kaki yang tadi sempat
beradu dengan sebatang pohon kecil. Salah seorang yang sehat itu akan menyerang
Suto Sinting dengan mencabut
goloknya, tapi Menak Goyang memberi isyarat dengan
tangan untuk menahan gerakan orang tersebut. Tapi
mata Menak Goyang masih tertuju tajam ke arah Suto
Sinting. Barangkali ia masih menyimpan dendam
kekalahannya ketika dilumpuhkan Suto dengan cara
ditotok peredaran darahnya. Untung Malaikat Miskin
mampu melepaskan totokan tersebut.
"Mana anak itu"!" hardik Menak Goyang tanpa
senyum sedikit pun.
Suto Sinting berkerut dahi. "Anak yang mana?" Ia ganti bertanya karena benarbenar merasa bingung
dengan pertanyaan gadis itu.
"Jangan berlagak bodoh! Kau telah berhasil menculik anak itu!"
"Anak siapa"!"
"Adikmu!" sentak Menak Goyang.
"Adikku..." Oh, Sum... eh, anu.... Maksudmu gadis kecil yang bernama Runi,
adikku itu"!"
"Ia!" jawab Menak Goyang dengan tegas.
"Lalu... lalu apa yang kau tanyakan padaku?" Suto Sinting benar-benar bingung
jika benar gadis itu
menanyakan Sumbaruni yang berubah menjadi anak
kecil karena terkena Racun Ludah Naga itu. Sebab
setahunya Sumbaruni sedang dijadikan sandera oleh
orang-orang Perguruan Tongkat Sakti dan minta tebusan
Pisau Tanduk Hantu. Sebab dalam perkara hilangnya
pisau pusaka milik Malaikat Miskin itu, Pendekar
Mabuk menjadi pihak yang dituduh sebagai pelaku
pencurian benda pusaka tersebut. Tapi anehnya sekarang Menak Goyang menanyakan
di mana Sumbaruni kepada
Suto Sinting. Padahal Suto Sinting yang semula menjadi tua dan sekarang sudah
berubah menjadi muda lagi itu
sedang mempersiapkan rancangan untuk merebut
kembali bocah Sumbaruni.
"Suto, kami sudah kehilangan kesabaran dengan
tingkahmu, terutama aku! Sebaiknya jangan pancing
kesabaranku habis dengan cara merebut dan membawa
lari bocah kecil yang menjadi adikmu itu."
Pendekar Mabuk memandang dengan dahi berkerut
tajam. Kini ia dapat menduga; Sumbaruni hilang dari
tangan mereka dan Suto Sinting dianggap sebagai orang
yang berhasil membawa lari Sumbaruni. Pikiran itu
sempat membuat hati Suto Sinting berdebar-debar
diliputi kecemasan. Padahal tujuannya berada di kaki
Gunung Kundalini itu untuk mencari Telur Mata Setan yang dapat menawarkan Racun
Ludah Naga dalam diri
Sumbaruni. Jika wanita bekas istri jin yang sudah
berubah menjadi bocah cilik itu hilang dari mereka, lalu mereka tidak mengetahui
ke mana perginya dan siapa
pencurinya, itu akan membuat Suto Sinting menjadi
kalang kabut lagi.
"Jika benar anak itu hilang dari tangan kalian, kalian harus bertanggung jawab.
Jangan memaksa diriku untuk
melampiaskan kemarahan kepada kalian!" kata Pendekar Mabuk dengan tegas-tegas,
tanpa wajah ceria sedikit
pun. Walau masih berkesan kalem, tapi pandangan mata
maupun kata-katanya terasa 'dingin' dan nyaris
membekukan darah mereka berempat.
Menak Goyang tampaknya tak tergoyahkan oleh
ancaman halus Pendekar Mabuk itu. Sekalipun
pinggulnya bergerak-gerak dengan satu tangan
menopang di batang pohon dan satunya lagi bertolak
pinggang, tapi Menak Goyang kelihatan tetap tenang dan mampu bersuara lantang,
"Kau ingin memutarbalikkan tuduhan dan tanggung
jawab kepada kami! Oh, kurasa itu tak bisa, Suto! Kami
tahu kaulah orang yang merebut gadis itu dari tangan Jumala dan Reksita!"
"Aku tidak tahu tentang kedua orangmu itu. Aku
tidak berlagak bodoh. Karenanya kalau sampai adikku
itu tidak segera kalian temukan, maka aku akan
menuntut guru kalian dengan caraku sendiri!" kata Suto dengan suara bernada
tegas, tak ada kesan cengar-cengir kalem seperti biasanya. Untuk menahan
kegelisahan, Suto Sinting menenggak tuaknya sambil memasukkan
telur aneh yang menarik perhatiannya itu ke dalam
bumbung tuak. Telur itu menyatu dengan tuak dalam
bumbung bambu itu. Pluung...!
Melihat Suto Sinting sedang tengadah menenggak
tuak, tiba-tiba orang yang tulang kakinya terasa ngilu tadi segera lepaskan
serangannya dengan sebuah tebasan goloknya melalui samping kiri Suto Sinting.
Orang itu bergerak sambil lakukan lompatan maju menerjang Suto.
Tetapi dengan tetap menenggak tuaknya, tangan kiri
Suto Sinting menyentak ke arah kirinya. Pukulan
bergelombang panas dari telapak tangan Suto itu
menghantam tubuh lawan yang diam-diam mau
menyerangnya secara mendadak.
Wuusstt...! Buuhg...
"Uuhg...!" orang itu terpekik ketika perutnya terkena pukulan tenaga dalam Suto
yang kali ini tidak
menggunakan sinar seperti biasanya.
Brrussk...! Orang itu terlempar jatuh ke semak-semak
ilalang yang berjarak tujuh langkah dari tempatnya
berdiri semula. Tentu saja gerakan orang tersebut
membuat dua temannya terbengong-bengong sambil
menahan sakit. Orang itu seperti benda ringan yang
disapu angin begitu saja. Jatuhnya pun kali ini tampak telak karena membentur
akar tua beringin gajah itu,
memantul ke depan dan masuk ke semak-semak ilalang.
"Kau benar-benar cari penyakit dengan pihakku, Suto Sinting!" sentak Menak
Goyang dengan marah, ia segera mencabut pedangnya yang ada di pinggang.
Srreett...! Dengan satu lompatan lurus bagaikan seekor burung
sedang terbang, Menak Goyang mengarahkan
pedangnya ke dada Suto Sinting. Tapi tiba-tiba pedang
itu berkelebat merobek wajah Pendekar Mabuk.
Wuutt...! Trrakk...! Pendekar Mabuk dengan cepat
mampu menangkis pedang itu dengan bumbung tuaknya.
Tangan kirinya menyentak ke samping kanan, telapak
tangan itu mengenai rahang si gadis cantik. Desas...!
Brrukk...! Menak Goyang menyeringai dalam
keadaan telentang. Rahangnya terasa pecah karena hantaman
pangkal telapak tangan kiri Pendekar Mabuk. Menak
Goyang tak mampu berdiri lagi. Kulit wajahnya pucat
pasi, napasnya tersendat-sendat. Rupanya pukulan
tangan kiri Suto tadi dialiri tenaga dalam yang lumayan tinggi sehingga
hentakannya terasa sampai di seluruh
tubuh, bahkan sampai di bagian dalam tubuh.
Tiga orang pengikut Menak Goyang menjadi gentar
melihat Menak Goyang roboh dalam satu jurus. Tapi
peduli apa kata Menak Goyang nanti, mereka bertiga
segera angkat kaki dan tinggalkan tempat itu cepatcepat. Sebenarnya Menak Goyang tahu bahwa ia
ditinggalkan mereka, semestinya ia marah kepada
mereka, tetapi karena dalam keadaan seperti remuk
sekujur tubuhnya, ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali hanya mengerang lirih.
Pendekar Mabuk memang tidak bermaksud
membunuh Menak Goyang, ia bahkan merasa kasihan
dan punya rasa menyesal juga dalam hatinya. Maka
Menak Goyang segera ditolongnya, diobati dengan
meminumkan tuak ke mulut gadis cantik itu. Pendekar
Mabuk membantu Menak Goyang untuk bangkit, duduk
di rerumputan itu. Napas si gadis masih terengah-engah, namun beberapa kejap
berikutnya mulai mereda,
"Pedangku..."!" Menak Goyang memandang sedih melihat pedangnya patah karena
beradu dengan bumbung tuak tadi.
"Masih banyak pedang lain yang lebih hebat dari
pedangmu. Jangan pikirkan lagi pedang itu. Pikirkanlah tentang adikku yang kau
bilang telah dibawa lari
seseorang. Bagaimana bisa terjadi begitu?" Suto Sinting jongkok di depan Menak
Goyang, menatap tanpa
senyum tapi juga tak bersikap bermusuhan lagi.
"Kami ingin menyembunyikan adikmu ke Lembah
Timur, di sana ada sahabat Guru, dan anak itu
bermaksud kami titipkan ke sana. Jadi sewaktu-waktu
kau datang dan ingin merebutnya tanpa membawa Pisau
Tanduk Hantu, kau akan kecele. Tak bisa temukan anak
itu."

Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalian sudah mulai main licik-licikan, rupanya."
Menak Goyang diam sesaat bagai tak membantah
tuduhan itu. Lalu ia berkata lagi dengan suara lebih
ringan, tidak seberat tadi,
"Guru yang mempunyai siasat itu. Bukan aku. Guru
yang perintahkan Jumala dan Reksita membawa gadis
kecil itu ke Lembah Timur. Tapi di perjalanan mereka
diserang seseorang yang tak terlihat. Mereka dibuat
pingsan dan ketika sadar bocah itu sudah tidak ada."
Suto Sinting tarik napas sambil berdiri, menahan
kesedihan, kekecewaan dan rasa dongkol yang ingin
meledak tercurahkan kepada Menak Goyang. Perasaan
itu ternyata masih mampu ditahan dan dipendam, walau
dadanya sempat bergemuruh membayangkan Sumbaruni
kecil dibawa lari seseorang. Suto merasa bertanggung
jawab atas hidup-matinya Sumbaruni, karena Sumbaruni
yang pura-pura diaku sebagai adiknya itu menjadi susut dan mengecil hanya garagara membela pertarungannya
dengan Syakuntala. Sumbaruni ingin unjuk kesetiaan,
karena wanita itu mencintai Suto dan ingin menjadi
istrinya. Tentunya malapetaka yang dialami Sumbaruni
secara tak langsung menjadi beban Suto Sinting untuk
ganti menolong menyembuhkannya dari Racun Ludah
Naga. Jika sekarang Suto Sinting kehilangan jejak kemana
perginya orang yang membawa Sumbaruni itu, maka
adalah tugasnya untuk mendapatkan Sumbaruni kembali.
Padahal wanita itu makin hari akan menjadi semakin
kecil dan bisa berubah menjadi bayi karena pengaruh
Racun Ludah Naga tersebut. Hal yang dicemaskan oleh
Pendekar Mabuk adalah jika Telur Mata Setan tidak
segera ditemukan, atau jika Telur Mata Setan ditemukan tapi Sumbaruni tidak
ditemukan, maka perempuan bekas
Panglima Negeri Kencana Ringgit itu akan kembali
menjadi janin dan akhirnya mati tak tertolong lagi.
"Ke mana arah kepergian orang yang membawa
adikku itu?"
"Tak ada yang tahu karena kedua utusan itu dalam
keadaan pingsan."
Pendekar Mabuk menggerutu dalam hati, "Sial! Adaada saja masalahnya. Yang satu belum bisa
kuselesaikan, timbul lagi masalah yang baru. Percuma
saja kalau aku menuntut Menak Goyang dan Perguruan
Tongkat Sakti, yang akan terjadi hanya pertentangan
membuang waktu. Sebaiknya harus kucari sendiri
kemana perginya Sumbaruni! Para tokoh akan
mengecamku jika Sumbaruni tak bisa kutemukan
kembali." Tanpa berkata sepatah kata lagi, Pendekar Mabuk
segera pergi tinggalkan tempat itu. Tetapi tiba-tiba
Menak Goyang berseru, "Mau ke mana kau"!"
"Mencari adikku!"
"Akan kubantu. Aku ikut denganmu!" Menak Goyang bergegas mendekati Suto.
"Kau pulang saja ke perguruanmu. Aku tak ingin kau ikut campur lagi dalam
urusanku, Menak Goyang!"
"Aku akan membantumu!"
"Terima kasih. Aku bisa menjaga diri sendiri.
Pulanglah sana!"
"Lalu... lalu bagaimana dengan pisau pusaka itu?"
"Kalau aku mempunyai pisau itu, sudah kutikamkan
ke dadamu sejak tadi. Mungkin gurumu pun akan
kulawan dengan pisau itu. Paham maksudku?"
Menak Goyang membungkam mulut, tapi badannya
masih bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan bagai naik perahu. Mata mereka
beradu pandang sejenak. Setelah
itu Suto Sinting cepat-cepat tinggalkan si gadis yang
masih tertegun di tempatnya mencari keputusan
langkahnya sendiri.
Mencari sesuatu yang tak diketahui arah dan
tujuannya memang hal yang paling sulit. Pendekar
Mabuk sendiri sempat bingung, mana arah yang harus
ditujunya. Tak ada tanda-tanda, tak ada jejak yang bisa diikuti. Satu-satunya
jalan ia mengikuti apa kata hati nuraninya sendiri.
Naluri yang bekerja dengan peka membuat Suto
Sinting terpaksa hentikan langkah. Ia merasakan ada
hembusan angin aneh melintas di samping kirinya,
menyelusup di sela-sela pepohonan. Suto Sinting segera perhatikan arah tersebut.
Karena ia yakin bahwa angin
yang melintas itu tak lain adalah sesosok bayangan yang bergerak cepat
menduluinya. "Siapa yang bersembunyi di situ, keluarlah dan
perkenalkan dirimu!" seru Suto Sinting sambil membuka tutup bumbung tuak,
setelah itu menenggak tuak
beberapa teguk. Selesai menenggak tuak, Pendekar
Mabuk merasa harus cepat sentakkan napas tertahan di
perut sehingga tubuhnya dapat melesat naik ke atas
bagai ada yang menariknya dengan cepat. Suutt...!
Hal itu dilakukan karena ia melihat kilatan cahaya
merah kecil yang menyerang ke arahnya dengan gerakan
cepat. Cahaya merah kecil itu melesat di bawah kaki
Suto Sinting saat tubuh Suto melenting di udara. Sinar merah itu menghantam
pepohonan di seberang sana.
Duaar...! Pohon yang terhantam menjadi pecah sebagian
batangnya, tapi tidak sampai terbelah atau tumbang.
Pendekar Mabuk kembali daratkan kakinya tanpa
suara menghentak seperti yang dilakukan kebanyakan
para tokoh berilmu sedang itu. Pandangan mata masih
tertuju ke arah datangnya sinar merah tadi.
"Aku tahu kau ada di balik pohon berjajar dua itu.
Keluarlah!" seru Suto.
Agaknya orang yang bersembunyi di balik dua pohon
berjajar rapat itu merasa malu karena tempat
persembunyiannya diketahui, ia merasa percuma jika
tetap bertahan di balik pohon itu. Maka orang tersebut pun segera melompat
keluar menerabas semak ilalang
dan dalam kejap berikutnya sudah berdiri di depan Suto Sinting, ia memegang
kipas emas dengan gambar bunga
teratai. Melihat bentuk kipasnya yang kini sedang
dibentangkan dan dikipas-kipaskan, Suto Sinting
ataupun orang lain dapat menyimpulkan bahwa gadis
cantik itu pasti yang berjuluk Teratai Kipas, ia
mengenakan jubah tanpa lengan berwarna kuning
kunyit. Pinjung dada serta celana ketat dari beludru
berwarna hijau muda berhias benang emas. Rambutnya
lepas meriap sepunggung diberi hiasan ikat kepala dari lempengan logam seperti
emas berukir. Wanita cantik itu sebenarnya sudah pernah bersama
Suto saling bantu dan saling selamatkan jiwa. Tapi pada waktu itu Suto Sinting
dalam keadaan menjadi tua, setua kakeknya. Sekarang Racun Gugah Jantan yang
membuat Suto Sinting berpenampilan tua itu sudah lenyap, wajah dan tubuh Suto sudah
berubah seperti aslinya. Tak aneh lagi jika Teratai Kipas memandang kagum dan
terpesona beberapa saat dengan mata tak mau berkedip, ia tidak
mengenali wajah tampan rupawan itu. Tapi ia mengenali
baju coklat tanpa lengan dan celana putih lusuh itu adalah milik Suto Sinting,
ia juga mengenali bumbung tuak tersebut adalah bambu bumbung tuak milik Suto
Sinting. Hanya saja ia tak menyangka bahwa
ketampanan Suto ternyata melebihi ketampanan bekas
kekasihnya yang kini telah tiada.
"Kau... kau yang bernama Suto Sinting?"
"Kau tak salah pandang, Teratai Kipas," jawab Suto Sinting, ia yang maju lebih
mendekat dan berkata lagi,
"Mengapa kau menyerangku" Sekadar mengujiku atau
memang bermaksud membunuhku?"
Sebenarnya dalam hati Teratai Kipas mengatakan
bahwa ia sekadar menguji ketinggian ilmu orang yang
masih asing baginya. Tapi di mulutnya terlontar jawaban yang berbeda.
"Aku sengaja ingin melukaimu, Suto Sinting. Aku
ingin buktikan bahwa kemarahanku kepadamu tak bisa
dibendung lagi, sebab kau melarikan musuhku pada saat
aku seharusnya mengakhiri hidupnya sebagai tindakan
balas dendamku kepada Nyai Sapu Lanang."
"Kau tak perlu berpikir tentang Nyai Sapu Lanang lagi. Ia telah mati!"
"Omong kosong!" sergah Teratai Kipas. "Kau pasti telah bercumbu dengannya untuk
merengek obat penawar Racun Gugah Jantan, dan kau tak mungkin tega
membunuhnya karena ia telah memberikan segenggam
kehangatan yang indah dan akan terasa membekas dalam
jiwamu sepanjang hidup."
Suto Sinting hanya tersenyum dan tak lanjutkan kata.
Tetapi Teratai Kipas melanjutkan ucapannya dalam hati,
"Setan alas! Ternyata dia benar-benar tampan dan sangat menawan. Dia memancarkan
daya tarik yang tinggi,
sehingga aku dibuatnya berdebar-debar sejak tadi. Rasa-rasanya sangat
disayangkan jika kulit tubuhnya terluka atau memar karena hantamanku nanti. Ah,
kenapa aku menjadi resah sekali" Terasa sulit melupakan rasa
kagumku kepadanya."
"Teratai Kipas, kuharap kau jangan berpikiran jelek lagi tentang diriku. Kalau
kutahu ada orang lain yang mempunyai kemampuan melenyapkan Racun Gugah
Jantan itu, aku tak akan menyambar Nyai Sapu Lanang
saat ingin kau tikam dengan pisau di ujung kipasmu itu.
Tapi karena ada tokoh lain yang bersedia melenyapkan
Racun Gugah Jantan dari tubuhku, maka aku sendiri
yang mengakhiri hidup Nyai Sapu Lanang. Memang
sangat disayangkan, kejadian itu tidak terjadi di depan matamu, sehingga kau tak
bisa menyaksikan kebenaran
ucapanku ini."
"Aku tak peduli dengan celotehmu! Yang penting
serahkan Nyai Sapu Lanang padaku dan biarkan
dendamku tercurah kepadanya!"
"Aku tidak bisa membawa mayatnya karena sudah
telanjur menjadi debu!"
"Rupanya kau ingin agar aku memaksamu
mengatakan yang sebenarnya! Hiaah!"
Teratai Kipas mengebutkan kipasnya ke arah Suto
Sinting. Lima larik sinar hijau melesat dari ujung-ujung kipas. Claap...! Tetapi
baru saja terlepas dari ujung kipas, lima larik sinar hijau itu telah padam
bersama melesatnya uap putih menggumpal dan menyebar di
depan Teratai Kipas. Bukan hanya wanita itu saja yang
terkejut, melainkan Suto Sinting pun kaget. Hal yang
lebih mengejutkan lagi adalah kemunculan seorang
wanita yang tidak diketahui dari mana datangnya, tahutahu sudah berada di tempat itu.
"Guru...!" sebut Teratai Kipas dengan kaget, kemudian ia buru-buru memberi
hormat kepada wanita
itu. Namun wanita yang dipanggil sebagai Guru oleh
Teratai Kipas itu justru memberi hormat kepada Suto
Sinting dengan membungkuk rendah.
"Selamat datang di tempat kami, Suto!"
* * * 2 TERATAI KIPAS tampak nyata-nyata heran melihat
gurunya menghormat kepada Suto Sinting. Bahkan
ketika kedua mata gurunya bertatap pandang dengan
mata Suto Sinting sampai beberapa saat lamanya, Teratai Kipas menjadi salah
tingkah sendiri. Rasa ingin tahunya menggumpal di dada, mendesak tenggorokan
ingin dikeluarkan dalam bentuk tanya, tapi Teratai Kipas tak berani melontarkannya.
Pendekar Mabuk mengenal gurunya Teratai Kipas
jauh sebelum ia mengenal Sumbaruni, bahkan sebelum
ia mengenal Embun Salju atau yang lainnya. Pendekar
Mabuk mengenal perempuan cantik itu ketika
perempuan tersebut gemar mengenakan pakaian merah
dadu atau warna pink, ikat pinggangnya dari selendang
putih tipis. Tetapi sekarang agaknya pakaian merah
dadunya itu dirangkapi baju jubah longgar warna hijau
tua dari kain sedikit tebal. Walau sekarang rambutnya
disanggul sebagian di bagian tengah, tapi paras
cantiknya masih terlihat jelas, sebab perempuan itu
memang masih berusia muda, sebaya dengan Suto
Sinting. "Tak kusangka akan bertemu denganmu di sini.
Selendang Kubur," ucap Suto lirih membuat Teratai Kipas semakin yakin dan heran
bahwa gurunya dikenali
betul oleh Suto Sinting. Sikap sang pendekar tampan
sendiri tak ada hormat sedikit pun kecuali hanya sikap bersahabat dengan akrab.
"Barangkali kau lupa, Suto... Gunung Kundalini
adalah tempatku mendampingi Guru menjadi seorang
petapa." Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam senyum
cerianya, "Ya, ya... sekarang aku ingat, kau dan Nyai Betari Ayu mengasingkan
diri ke gunung ini!
Bagaimana kabar beliau, Larasati?" Suto menggunakan nama asli Selendang Kubur
yang kian menambah
kerutan dahi Teratai Kipas semakin tajam.
Teratai Kipas membatin, "Orang ini memang edan!
Kepada Guru dia kenal, bahkan kepada Eyang Guru
Betari Ayu juga kenal. Malahan nama asli Guru juga
dikenalnya. Tokoh dari mana sebenarnya Suto Sinting
ini" Bukannya dia menghormat kepada guruku malah
guruku yang menghormatinya?"
Terdengar percakapan lirih antara Suto dan
Selendang Kubur mengenai keadaan Nyai Betari Ayu.
Bahkan mereka sempat mengupas masa lalu mereka
sebelum Selendang Kubur dan Betari Ayu
mengasingkan diri di Gunung Kundalini. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan Sesat").
"Guru, siapa sebenarnya pemuda yang mengaku
bernama Suto Sinting itu" Kelihatannya dia sudah kenal baik dengan Guru bahkan
tahu tentang Eyang Guru
Betari Ayu?" tanya Teratai Kipas yang tak bisa menahan raaa herannya lagi.
"Eyang gurumu; Betari Ayu, adalah calon kakak ipar Suto Sinting," kata Selendang
Kubur yang membuat
Teratai Kipas terperangah. "Seharusnya kau memberi hormat kepada Pendekar Mabuk;
Suto Sinting ini!"
"Pendekar Mabuk"!" Teratai Kipas mendelik, ia pernah mendengar nama itu, malah


Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah menjadikan
nama Pendekar Mabuk sebagai nama kebanggaan
hatinya, tapi ia sama sekali tak menyangka bahwa lelaki yang bergelar Pendekar
Mabuk itu ternyata adalah lelaki yang dianggapnya menyembunyikan Nyai Sapu
Lanang. Teratai Kipas sempat berdebar-debar dan gemetar
setelah mengetahui orang yang tadi diajaknya bertarung itu tak lain adalah
Pendekar Mabuk yang kesohor
ketinggian ilmunya itu.
"Bukankah aku sudah cerita banyak-banyak padamu
tentang siapa Pendekar Mabuk dan seberapa ketinggian
ilmunya?" "Benar, Guru," Teratai Kipas menunduk penuh rasa takut dan hormat.
"Tapi mengapa kau masih
mau coba-coba melawannya" Apakah kau ingin pindah ke alam baka?"
"Ampun, Guru. Saya tidak tahu kalau dia adalah
Pendekar Mabuk, sang Manggala Yudha Kinasih dari
Puri Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib. Saya
benar-benar tidak tahu, karena dia hanya menyebutkan
nama Suto Sinting saja tanpa menyebutkan gelar
kependekarannya, Guru!"
"Bukankah aku pernah ingatkan padamu agar
memandang seseorang bukan hanya dengan mata kepala
saja melainkan juga dengan mata batinmu?"
"Ampun, Guru. Ampun... saya memang khilaf,
Guru!" Semakin menunduk semakin geli Suto melihat sikap
Teratai Kipas yang amat ketakutan kepada Selendang
Kubur. Gadis itu tak berani memandangi Suto lagi,
bahkan melirik pun takut. Kakinya merapat, kedua
tangannya juga merapat di depan paha. Suatu sikap yang melambangkan rasa hormat
dan takut seorang murid
kepada gurunya itu sering dipandangi Suto sebagai sikap yang menggelikan, karena
ia membandingkan dengan
sikap mencak-mencaknya Teratai Kipas sebelum
mengetahui siapa diri Suto sebenarnya.
"Apakah Teratai Kipas itu sungguh-sungguh
muridmu, Selendang Kubur?"
"Benar, Suto. Dia muridku, dan hanya dialah yang
menjadi muridku atas perintah Nyai Guru Betari Ayu."
"Muridmu itu memang nakal dan bandel. Perlu
dijewer kupingnya!"
"Ampun, Tuan Pendekar!" sergah Teratai Kipas.
"Saya mohon ampun dan benar-benar tidak tahu siapa Tuan Pendekar sebenarnya,"
Teratai Kipas kian
membungkuk di depan Suto Sinting dengan kedua
telapak tangan merapat di dada. Suto menahan geli
karena ia hanya menakut-nakuti Teratai Kipas.
Melihat Suto Sinting tertawa tanpa suara. Selendang
Kubur pun memahami maksud kata-kata itu. Ia segera
alihkan pembicaraan sambil melangkah didampingi Suto
Sinting dan diikuti oleh Teratai Kipas. Di dalam hatinya Teratai Kipas membatin
serangkaian kata yang
berkecamuk dalam benak,
"Kalau kutahu dia Pendekar Mabuk, ih... amit-amit, tak akan berani aku coba-coba
menyerangnya. Untung ia
tidak gunakan jurus-jurus mautnya. Kalau saja ia
gunakan jurus mautnya, waaah... habis sudah riwayat
hidupku! Pantas kalau dia tampan dalam wujud begini.
Dalam keadaan tua pun masih terlihat sisa
ketampanannya. Pantas pula kalau ia mengaku telah
membunuh Nyai Sapu Lanang, sebab menurutku
ilmunya Nyai Sapu Lanang masih dibawah jauh dari
ilmunya Pendekar Mabuk."
Teratai Kipas mendengarkan cerita Suto Sinting
tentang alasannya datang ke Gunung Kundalini sampai
pertarungannya dengan Nyai Sapu Lanang. Nama
Teratai Kipas ikut dibawa-bawa sebagai saksi bahwa
Suto pernah terkena Racun Gugah Jantan dan menjadi
tua seperti seorang kakek berusia tujuh puluh tahun.
Suto pun menyinggung-nyinggung soal Telur Mata
Setan dan hilangnya Sumbaruni.
"Telur Mata Setan hanya ada dalam dongeng," kata Selendang Kubur yang dulu
pernah terpikat oleh
ketampanan Suto Sinting.
"Tetapi para tokoh tua mengatakan Racun Ludah
Naga hanya bisa disembuhkan dengan Telur Mata Setan.
Apakah para tokoh tua hanya terpengaruh oleh dongeng
juga atau mereka memang yakin bahwa Telur Mata
Setan ada di Gunung Kundalini?"
"Itulah yang mengherankan hatiku. Mengapa para
tokoh tua seolah-olah yakin betul bahwa Telur Mata
Setan itu memang ada dan bukan sekadar pelengkap dari
sebuah dongeng kanak-kanak?"
"Anehnya di dalam hatiku tumbuh suatu keyakinan
bahwa Telur Mata Setan itu memang ada. Tapi di mana
tempatnya yang pasti, aku tidak tahu."
"Kusarankan untuk dibicarakan dengan calon kakak
iparmu itu."
"Nyai Betari Ayu maksudmu?"
Selendang Kubur anggukkan kepala. "Dia dapat
meneropong seluruh tempat di Gunung Kundalini. Tadi
pun aku diperintahkan turun gunung karena ada tamu
agung yang datang ke gunung ini. Tanda-tandanya sudah
diawali dari turunnya hujan dan badai pada beberapa
malam sebelum ini."
"Akukah yang dimaksud tamu agung itu?"
Selendang Kubur hanya tersenyum. "Seorang yang
tinggi ilmunya dan beraliran putih selalu disebut sebagai tamu agung. Siapa lagi
kalau bukan kaulah orang yang
dimaksud itu."
"Baiklah. Aku akan menemui beliau di puncak. Tapi aku ingin mencari Sumbaruni
dulu. Percuma saja
kudapatkan Telur Mata Setan itu jika Sumbaruni tidak
ada, karena telur itu untuknya. Bukan untukku."
"Akan kusuruh muridku membantumu mencari
Sumbaruni. Tapi aku harus segera menghadap Nyai
Guru Betari Ayu untuk memberitahukan kedatanganmu
ke gunung ini, Pendekar Mabuk."
Kemudian Selendang Kubur bicara kepada muridnya,
"Teratai..., dampingi Pendekar Mabuk ini! Bantu dia sampai dapatkan bocah kecil
yang bernama Sumbaruni.
Setelah itu ajak mereka ke puncak untuk temui Eyang
Guru Betari Ayu!"
"Baik, Guru!" jawab Teratai Kipas bersikap patuh.
Kemudian mereka berpisah. Selendang Kubur menuju
ke puncak Gunung Kundalini, Suto Sinting pergi ke arah lain bersama Teratai
Kipas. Betari Ayu adalah kakak dari Dyah Sariningrum,
calon istrinya Suto yang menjadi Ratu di Negeri Puri
Gerbang Surgawi yang ada di Pulau Serindu. Sedangkan
ibu mereka adalah penguasa Puri Gerbang Surgawi yang
ada di alam gaib, bernama Ratu Kartika Wangi. Dulu,
ketika sama-sama belum tahu, Betari Ayu pernah jatuh
cinta kepada Pendekar Mabuk. Bahkan sampai sekarang
pun ia masih menyimpan cinta untuk sang pendekar
tampan itu. Namun mengetahui Suto adalah kekasih
adiknya, Betari Ayu berusaha menjauhi Suto Sinting dan tak mau mengganggu
kebahagiaan pasangan tersebut,
sehingga ia pun akhirnya memutuskan untuk
mengasingkan diri, menjadi petapa di puncak Gunung
Kundalini. "Nyai Betari Ayu adalah wanita yang bijak dan
berjiwa besar. Jika tidak begitu, maka dia tidak akan
serahkan padaku sebuah kitab pusaka sebagai pelengkap
syarat melamar Dyah Sariningrum."
"Maksudmu Kitab Wedar Kesuma?"
"Benar. Sekarang tinggal satu syarat lagi yang harus kupenuhi, tapi sampai
sekarang permintaan itu belum juga bisa kupenuhi. Aku belum mendapatkan syarat
terakhir untuk meminang Dyah Sariningrum yang
bergelar Gusti Mahkota Sejati itu."
"Apa syarat itu?"
"Kepala tokoh sesat tertinggi; Siluman Tujuh
Nyawa." Serentak kedua mata Teratai Kipas terbelalak. "Aku pernah mendengar nama itul
Aku sering mendengar
ceritanya dari Guru Selendang Kubur. Itu tokoh yang
berbahaya."
"Memang berbahaya dan menjadi racun dari segala
racun kehidupan di muka bumi. Sebab itu ia harus
dikalahkan secepatnya. Sebab ia telah menjadi orang
terkutuk. Siluman Tujuh Nyawa memang dikutuk oleh
neneknya untuk menjadi orang sesat selama tiga ratus
tahun. Kita harus bisa melenyapkannya sebelum genap
tiga ratus tahun Siluman Tujuh Nyawa menjadi orang
sesat. Bisa kau bayangkan berapa ribu korban yang akan terjadi jika ia hidup
sampai tiga ratus tahun menjadi
tokoh tersesat di dunia?"
"Banyak," jawab Teratai Kipas dengan suara gemetar.
Rupanya nyalinya menjadi ciut begitu Suto
menceritakan tentang Siluman Tujuh Nyawa. Ciutnya
nyali Teratai Kipas dapat dilihat oleh Suto dan
membuatnya bertanya,
"Mengapa kau menjadi takut, Teratai Kipas?"
"Hmm... eeh... karena... karena dulu aku mempunyai guru bernama Ki Selo Gantung.
Beliau belum turunkan
semua ilmunya pada kami, para muridnya, tapi sudah
lebih dulu dibunuh oleh Siluman Tujuh Nyawa dalam
sebuah pertarungan yang terjadi secara mendadak."
"O, jadi sebelumnya kau pernah menjadi murid Ki
Selo Gantung?"
"Benar. Setelah Ki Selo Gantung tewas, perguruan kami bubar. Masing-masing
mencari guru lain, dan aku
bertemu dengan Guru Selendang Kubur lalu berguru
kepada beliau."
"Mengapa Siluman Tujuh Nyawa membunuh
gurumu?" "Mempertahankan sebuah pusaka."
"Pusaka apa?"
"Tongkat Tulang Barong!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi memandang Teratai
Kipas yang kini tak berani beradu pandang secara
terang-terangan itu. Langkah Suto terhenti gara-gara
mendengar nama pusaka yang menurutnnya aneh.
"Tongkat Tulang Barong..." Apakah Barong itu ada
tulangnya" Bukankah Barong itu artinya kepala singa
tanpa badan" Atau kalau di negeri seberang, Barong
adalah kepala naga raksasa. Apakah Ki Selo Gantung
pernah membedah tubuh seekor naga raksasa dan
mengambil tulangnya?"
Teratai Kipas hanya mesem saja. Menahan geli yang
tak berani dilontarkan seperti biasanya, ia menjadi
canggung sejak mengetahui bahwa Suto Sinting adalah
Pendekar Mabuk yang kondang berilmu tinggi itu.
"Tongkat Tulang Barong hanya sebuah nama tongkat
pusaka," katanya menjelaskan kepada Suto, "Tongkat itu jika diusap dari kepala
sampai ujung bawahnya bisa
berubah menjadi senjata hebat tergantung kehendak hati pemegangnya. Bisa berubah
menjadi pedang panjang,
bisa berubah menjadi tombak, gada, golok, kapak atau
yang lainnya. Senjata-senjata jelmaannya mempunyai
kekuatan dapat menembus atau memotong pilar baja.
Bentuk tongkat itu biasa-biasa saja. Tingginya sekitar satu pundak, kepala
tongkat berbentuk kepala binatang
aneh, seperti perpaduan antara naga dengan singa,
mempunyai rambut meriap warna kuning berukuran satu
jengkal." "Apakah sekarang masih ada atau sudah diambil oleh Siluman Tujuh Nyawa?" tanya
Suto Sinting dengan rasa ingin tahu.
"Siluman Tujuh Nyawa tidak berhasil membawa
tongkat itu. Tapi Tongkat Tulang Barong sendiri tak
tahu ada di mana. Waktu kami memakamkan jenazah Ki
Selo Gantung, kami tidak menemukan tongkat itu di
kamar beliau. Entah disimpan di mana. Malahan banyak
dari murid Ki Selo Gantung dibunuh oleh Siluman Tujuh
Nyawa karena disangka mengetahui di mana tongkat
pusaka itu berada. Mereka terancam, termasuk aku
sendiri. Karenanya aku sempat berdebar-debar begitu
kau menyebutkan nama Siluman Tujuh Nyawa, karena
aku masih takut jika kepergok dia di jalan. Pasti aku
akan mati jika tak sebutkan tempat penyimpanan
Tongkat Tulang Barong itu."
"Apakah dia bisa mengenalimu sebagal murid Ki
Selo Gantung?"
"Kipas inilah ciri-ciri murid Ki Selo Gantung,"
sambil Teratai Kipas menunjukkan kipasnya. "Setiap murid Ki Selo Gantung diberi
senjata kipas, tapi berbeda ukuran, bentuk dan warnanya. Sebab kami memang dari
Perguruan Kipas Bumi. Jurus-jurus memainkan senjata
kipas sangat dikuasai oleh para murid Perguruan Kipas
Bumi." Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil
menggumam pelan. Tapi sebelum ia mengajukan tanya
lagi, tiba-tiba langkahnya terhenti dan tangannya cepat mencekal lengan Teratai
Kipas. "Ada apa?" bisik Teratai Kipas.
"Aku mendengar detak jantung orang lain di sekitar sini."
"Mungkin detak jantungku?"
"Bukan," jawab Suto dalam bisikan. "Detakannya agak cepat, seperti sedang
berdebar-debar. Pasti ia
bermaksud tidak baik kepada kita."
"Di mana orang itu?"
"Sepertinya ada di atas pohon belakang kita."
Teratai Kipas segera menengok ke belakang dan
memandang ke atas. Ia terperanjat dan segera berbisik.
"Benar. Ada detak jantung lebih dari satu orang."
Baru saja selesai berbisik demikian, tiba-tiba tiga
orang turun dari atas pohon sambil masing-masing
lepaskan pisau terbangnya ke arah Suto dan Teratai
Kipas. Wut, wut, wut...! Teratai Kipas cepat cabut


Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjatanya. Kipas disentakkan dan langsung terbuka.
Kipasnya menimbulkan angin kencang yang
membalikkan arah pisau-pisau itu hingga beterbangan.
Wuuusss...! Jreb! Satu pisau menancap di ulu hati salah seorang yang baru saja
daratkan kakinya ke tanah. Orang tersebut tak menyangka akan mendapat kembalian
pisau karena matanya terpejam saat angin yang keluar dari
kibasan kipas menerpa keras ke wajahnya.
"Hebat juga dia," pikir Suto sambil tersenyum tipis.
"Baru satu gebrakan sudah mampu membunuh satu
lawan." "Jeprak Kurap..."!" seru lelaki berkumis lebat dan berpakaian hitam itu. Ia
segera memeriksa orang yang
kena tancap dadanya. Setelah mengetahui orang itu tak
bernyawa lagi, si Baju Hitam menggeram dengan mata
memandang buas, menatap ke arah Teratai Kipas.
Sedangkan orang kurus berpakaian merah ikut
menggeram marah karena mengetahui bahwa temannya
yang bernama Jeprak Kurap itu sudah tak bisa bernapas
lagi. "Jahanam kau, Teratai Kipas! Belum-belum kau
sudah bikin persoalan dengan kami! Kau telah
membunuh sahabat kami; Jeprak Kurap! Maka kau harus
menebusnya dengan nyawa. Tapi jika kau mau
tunjukkan di mana Tongkat Tulang Barong itu disimpan
mendiang gurumu; Selo Gantung, maka kumaafkan
perbuatanmu ini."
"Siapa mereka?" bisik Pendekar Mabuk mendekati Teratai Kipas.
"Orang-orang Bukit Kopong. Mereka yang
menamakan diri Tiga Pengawal Iblis!" Teratai Kipas bicara pelan. "Pekerjaan
mereka memburu pusaka untuk dijual dengan harga tinggi kepada peminatnya."
"Hanya mereka bertiga?"
"Tidak. Masih banyak yang lain. Tapi kali ini
agaknya hanya mereka bertiga yang berhasrat memiliki
Tongkat Tulang Barong. Pasti ada pemesan yang ingin
membelinya." Teratai Kipas agak mendekatkan wajah ke pundak Suto Sinting.
"Yang berbaju hitam itu yang bernama Roh Seribu
Dewa, yang berbaju merah menamakan dirinya Neraka
Berjalan."
Suto tersenyum geli. "Lucu-lucu nama mereka."
"Biar kuatasi sendiri. Aku masih mampu melawan
mereka berdua."
Suto Sinting tersenyum dan angkat bahu, lalu
melangkah menepi, seakan menyerahkan urusan itu
kepada Teratai Kipas. Sementara Suto menepi, mata baju hitam yang bernama Roh
Seribu Dewa itu
memperhatikan dengan buas. Roh Seribu Dewa
berkumis lebat seperti sayap kelelawar, sedangkan
Neraka Berjalan berkumis tipis tapi panjang hingga
melengkung ke dagu. Ikat kepalanya berwarna merah,
rambutnya tipis tapi panjang selewat punggung, ia
bersenjatakan cambuk warna merah. Matanya cekung
dan berkesan dingin. Sedangkan Roh Seribu Dewa
bersenjata trisula gagang panjang, kira-kira sepanjang satu ukuran pergelangan
tangan sampai ketiak.
"Bicaralah, Teratai Kipas; di mana pusaka mendiang gurumu itu tersimpan"!" kata
Roh Seribu Dewa dengan suaranya yang besar, sebab badannya juga besar.
"Aku tidak tahu! Aku tidak diserahi untuk
menyimpan pusaka itu!"
"Bohong!" bentak Roh Seribu Dewa dengan mata
melotot bagaikan mau lompat dari rongganya. Neraka
Berjalan segera mendekati Roh Seribu Dewa. Dengan
mata pandangi Teratai Kipas, ia berkata datar tertuju
kepada Roh Seribu Dewa.
"Kalau tak dipaksa tak akan bicara! Biar kubeset saja mulutnya. Siapa tahu
semakin lebar semakin mudah
dipakai untuk bicara!"
Neraka Berjalan melangkah tiga tindak, lalu berhenti
dalam jarak empat langkah dari Teratai Kipas. Wanita
muda itu diam saja, tapi dalam keadaan siap diserang dan siap menyerang pula.
Kipasnya hanya dipakai untuk
mengipas-ngipas bagian dadanya yang sekal itu.
"Kau mau bicara tentang pusaka itu atau mau kubeset dulu di bagian mulut"!"
Teratai Kipas menjawab dengan senyuman sinis.
"Aku mau kau beset dulu dadamu, baru aku akan
bicara!" "Kurang ajar! Hiaaah...!" Weees...!
Tubuh Neraka Berjalan bagaikan anak menjangan
yang keluar dari sarang serigala. Melompat dengan cepat menerjang Teratai Kipas.
Gerakannya sangat tiba-tiba,
sehingga Teratai Kipas terperanjat kaget dan terpental karena saat menghindari
gerakan itu pundaknya terkena
tendangan kaki lawan. Wuutt!
Bruugh...! Teratai Kipas jatuh dalam jarak empat
langkah ke samping. Tapi dengan satu kali gerakan
berjungkir balik di tanah ia sudah dalam keadaan berdiri dengan sigap kembali.
Pada saat itu, Roh Seribu Dewa lepaskan pukulan
jarak jauhnya ke arah Teratai Kipas. Pukulan itu berupa sinar merah kecil
seperti tutup gelas. Claap...! Wrrrbb...!
Kipas emas terbentang dan menghadang sinar merah.
Kipas itu disentakkan sedikit dalam gerakan mengibas.
Wuutt...! Sinar merah yang menyentuh kipas emas
terbang kembali ke arah semula, bagaikan bola yang
dipukul balik oleh lawan yang diserangnya.
Wuuss...! "Monyet...!" teriak Roh Seribu Dewa sambil
melompat ke atas hindari sinar merahnya sendiri itu.
Duuaaar...! Sinar merah menghantam pohon dan
pohon itu terbelah menjadi tiga bagian dalam keadaan
masih berdiri tegak.
Baru saja Teratai Kipas selesai mengembalikan sinar
merahnya Roh Seribu Dewa, tiba-tiba dari arah kirinya
datang serangan dari Neraka Berjalan. Sebuah lecutan
cambuk yang berkelebat dengan mengeluarkan cahaya
biru terang. Taarr...! Sinar biru itu melesat dan melingkari tubuh Teratai
Kipas lalu mengecil dalam gerakan menjerat. Teratai
Kipas tahu bahwa sinar biru penjerat tubuh itu dapat
mengakibatkan tubuhnya terpotong menjadi dua bagian,
sebab dulu seorang sahabatnya pun mati karena sinar
biru tersebut. Maka kaki Teratai Kipas segera menyentak ke bumi dan tubuh pun
melesat ke atas dengan bersalto
satu kali ke arah belakang. Jleeg....! Ia mendarat di
samping kiri Suto Sinting. Sedangkan sinar biru itu
mengecil dan melakukan jeratan di udara kosong.
Duuaaar...! Sinar itu meledak sendiri, memercikkan
bunga api kemerahan. Teratai Kipas membalas dengan
menyentakkan kipas yang dikatupkan, lalu dari ujung
kipas keluar selarik sinar hijau yang mengarah ke dada Neraka Berjalan.
Slaap...! Sinar hijau itu segera
dihantam dengan lecutan cambuk. Taarr...!
Blegaarr...! Maka meledaklah pertemuan ujung
cambuk dengan sinar hijau. Gelombang ledakannya
cukup hebat, dapat merontokkan dedaunan di sekeliling
mereka. Sedangkan Neraka Berjalan sendiri tersentak
mundur tiga langkah dan jatuh terduduk bagai tak kuat
menahan gelombang sentakkan dari depan.
Suto Sinting hanya manggut-manggut dengan
tersenyum tenang, ia bagaikan benar-benar menikmati
permainan jurus orang-orang Bukit Kopong itu. Bahkan
ketika Roh Seribu Dewa mencabut trisula gagang
panjang dengan gerakan melompat ke arah Teratai
Kipas, Suto Sinting justru membuka tutup bumbungnya
dan menenggak tuaknya yang tinggal sedikit itu.
Gerakan menenggaknya pelan-pelan sekali, karena ia
ingat di dalam bumbung tuak itu ia menyimpan benda
merah seperti telur burung.
"Heeaaah...!"
"Hiaaat...!" Teratai Kipas bukan menghindari trisula yang ingin menghujam ke
tubuhnya tapi justru
menyongsong trisula itu dengan satu lompatan seperti
terbang tengkurap.
Traakk...! Kipas itu masuk ke sela-sela trisula,
menahan gerakan menghujam tubuh. Karena kipas pada
waktu itu dipegang tangan kiri, maka tangan kanannya
segera menghantam ke dada Roh Seribu Dewa,
sedangkan tangan orang berbadan besar itu juga
menghantam ke depan. Plaaakk...! Blaarr...! Pertemuan telapak tangan mereka
hasilkan ledakan besar dan
seberkas sinar merah berkerilap sesaat.
Teratai Kipas terjungkal ke belakang dan jatuh
berlutut. Tapi Roh Seribu Dewa terpental kehilangan
keseimbangan badan dan jatuh ke tanah dalam keadaan
tertekuk kepalanya. Buuhg...!
"Nggek...!
Kreekk...! Terdengar ada suara tulang patah. Disusul
dengan suara orang mengerang dengan suara berat. Roh
Seribu Dewa segera bangkit tapi lehernya masih tak bisa tegak, ia menyeringai
sambil menunduk dalam.
"Neraka Berjalan...! Tolong kepalaku!" teriaknya dengan susah payah.
Neraka Berjalan segera mendekatinya. Kepala itu
disentakkan mendongak dengan gerakan cepat. Kleek...!
"Waaoww...!" Roh Seribu Dewa menjerit kesakitan.
Mulutnya ternganga lebar.
"Istirahatlah, biar kuhabisi sekalian nyawa perempuan itu!" kata Neraka
Berjalan. Lalu, ia segera menyerang dengan maju dua langkah dan menyabetkan
cambuknya ke arah Teratai Kipas yang baru saja berdiri tegak
kembali. Cetaaarr!
Cambuk bersinar biru menyabet ke arah kiri, dan
Teratai Kipas menghindar ke kanan. Cambuk itu
mengenai batu setinggi betis. Batu itu langsung terbelah
dengan bekes belahannya menyala merah membara.
Suto Sinting memandangnya dengan rasa kagum dan
senang. Hatinya berkata, "Benar-benar pengerahan
tenaga dalam yang cukup tinggi! Buktinya batu itu bisa terbelah dan belahannya
menyala bagaikan bara batuan
lahar! Boleh juga ilmunya si Neraka Berjalan itu. Pantas kalau dia berjuluk
Neraka Berjalan. Cambuknya bisa
menghadirkan kekuatan api neraka yang membahayakan
lawan. Teratai Kipas kalau tak hati-hati bisa habis
riwayatnya di ujung cambuk merah itu."
Kini cambuk itu melecut lagi setelah diputar-putarkan
di atas kepala beberapa saat. Teratai Kipas sempat
terperanjat, karena lecutan cambuk itu kali ini
melepaskan sinar biru lima larik bagai menyerang secara menyergap ke berbagai
arah. Taaarr...! Srraap...!
Teratai Kipas tak punya cara lain kecuali dengan
menangkis. Maka kipasnya cepat-cepat dibentangkan
dan dikibaskan ke samping kanan. Wuuuk...!
Claapp...! Sinar hijau keluar lagi dari kibasan kipas tersebut.
Kali ini melebar bagai membentuk perisai tembus
pandang. Sinar hijau itulah yang menangkis gerakan
sinar biru lima larik dan akibatnya terjadi lagi ledakan dahsyat yang sempat
membuat beberapa pohon patah di
bagian dahannya. Blegaarr...!
Krrakk...! Brrruuuk...!
Tubuh kurus bermata cekung itu terlempar ke
belakang karena gelombang ledakan tersebut menyentak
amat kuat. Tubuh kurus itu menghantam pohon yang
tadi terbelah tiga bagian dari atas ke bawah itu.
Kepalanya masuk di sela-sela belahan dan terjepit di
sana. Jlaaab...!
"Aauh...!" pekiknya seketika. Tapi kepala itu segera dipaksakan untuk keluar
hingga lecet dan berdarah.
Sementara itu, Teratai Kipas jatuh terkapar dengan
mulut semburkan darah segar akibat terhantam
gelombang ledakan tadi. Wajahnya menjadi pucat pasi,
tenaganya bagaikan terkuras habis untuk menahan
gelombang ledakan tersebut
"Hiaaah...!" Neraka Berjalan berteriak sambil melompat ke depan begitu melihat
Teratai Kipas terkapar. Cambuknya siap dilecutkan ke arah tubuh yang terkapar. Dapat diduga
tubuh itu akan terbelah menjadi dua bagian jika ujungnya menyentuh dada Teratai
Kipas. Gadis itu pun tak mungkin bisa menghindar lagi.
Melihat keadaan berbahaya, Suto Sinting segera
melompat dan menghadangkan bumbung tuaknya.
Traaat...! Cambuk itu melingkar di bumbung tuak,
menjerat kuat. Pendekar Mabuk menahan ketika Neraka
Berjalan berusaha menarik cambuk tersebut. Percikan
api masih terjadi, melompat-lompat mengelilingi tali
cambuk yang melingkar di bumbung tuak.
Dengan mengerahkan tenaga. Neraka Berjalan
berusaha menarik cambuk tapi tak pernah berhasil.
Pendekar Mabuk mempertahankan dengan memegangi
bumbung itu menggunakan satu tangan. Mereka saling
adu kekuatan menarik, tentunya tenaga dalam mereka
pun terkuras untuk saling menarik. Tapi akhirnya tenaga
Pendekar Mabuk lebh kuat, bumbung bambu itu
disentakkan ke belakang dan cambuk itu terlepas dari
tangan Neraka Berjalan sambil tubuh pemilik cambuk
jatuh tersungkur ke depan. Wuuttt...! Teebb...!
Kini cambuk berada di tangan Suto Sinting.
Bumbung tuak masih di tangan kanan, sementara
cambuk itu dilecutkan oleh Suto Sinting menggunakan
tangan kiri. Disabetkan di udara ke sana-sini dan dari ujung cambuk keluarkan
sinar merah berkelok-kelok
sebagai pelepasan tenaga dalamnya Suto Sinting. Tar,
tar, tar, tar, tar, tar, taar...! Cambuk yang bagaikan mengamuk ke mana-mana
dengan sinar merah menjilat
dahan-dahan pohon besar itu membuat Neraka Berjalan
bangkit dan terbengong-bengong memandanginya.
"Gila! Gerakannya begitu cepat, hampir tak bisa
kulihat lagi" Rupanya anak muda itu pandai memainkan
jurus cambuk"! Sinarnya pun berbeda dengan sinar yang
kumiliki. Suaranya pun menggema panjang. Oh, angin
panas hadir di sini dan melayukan dedaunan" Setan dari mana anak muda itu"!"


Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah Pendekar Mabuk hentikan amukan
cambuknya, suasana menjadi hening. Neraka Berjalan
adu pandang dengan si pendekar tampan. Roh Seribu
Dewa berusaha menatap pula walau kepalanya sedikit
terdongak dan masih sakit. Tak berapa lama, muncul
suara gemeretak, disusul dengan dahan-dahan pohon
berjatuhan ke tanah. Brruk, bruk, brrruuuk ..! Kraaak...!
Buurukk...! Braas...!
"Edan...!" gumam Neraka Berjalan dengan mata
memandang ke sana-sini memperhatikan dahan-dahan
pohon yang terpotong rapi akibat sabetan cambuk yang
dimainkan Suto Sinting tadi. Teratai Kipas yang kini
berhasil duduk dengan napas sesak itu juga memandang
sekelilingnya dengan heran dan terkagum-kagum.
Sedangkan Roh Seribu Dewa hanya diam terpaku di
tempat setelah melihat dahan-dahan pohon berjatuhan.
Pendekar Mabuk tersenyum tipis. Cambuk itu
dilemparkan kembali ke arah Neraka Berjalan. Prrukk...!
Cambuk jatuh tepat di depan kaki Neraka Berjalan. Lalu terdengar suara Suto
Sinting berkata,
"Ambillah cambukmu dan belajarlah jurus cambuk
yang lebih baik lagi!"
Neraka Berjalan yang berusia sekitar lima puluh
tahun sama seperti Roh Seribu Dewa itu hanya
terbengong-bengong walau sambil memungut
cambuknya. Matanya tak berkedip pandangi Suto
Sinting penuh keheranan, ia mundur selangkah demi
selangkah sampai tiba di samping Roh Seribu Dewa.
"Dia cukup berbahaya!" bisiknya dalam geram.
Roh Seribu Dewa menjawab dalam bisikan pula, "Dia bukan tandinganmu. Sebaiknya
kita pulang dulu. Kita
perlu minta bantuan si Kumis Tengkorak!"
"Aku setuju!"
"Bawa mayat Jeprak Kurap itu!"
Teratai Kipas berusaha berdiri dan hendak mengejar
lawannya, tapi ia terhempas ke depan nyaris jatuh
tersungkur. Untung segera ditangkap oleh kedua tangan
Pendekar Mabuk.
"Mereka mau lari...!"
"Biarkan! Jangan hiraukan mereka. Kau terluka
dalam. Sembuhkan dulu lukamu. Minum tuak ini! Ayo,
minumlah...!"
"Ak... aku... akku... uuhg...!"
Werrrss...! Darah segar muncrat lagi dari mulut
Teratai Kipas. Tubuhnya melemas. Dingin sekali.
Matanya mulai terbeliak memutih.
"Teratai...! Teratai...!" seru Suto Sinting sambil mengguncang-guncang tubuh
gadis itu. "Teratai... ber-tahanlah! Minumlah tuak ini! Lekas! Lekas!"
* * * 3 PERTEMUAN dengan Tiga Pengawal iblis membuat
Pendekar Mabuk mempunyai pemikiran baru. Jika benar
kata Teratai Kipas bahwa Tiga Pengawal iblis adalah
orang-orang Bukit Kopong, dan orang-orang Bukit
Kopong adalah para pemburu pusaka untuk diperjual
belikan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa si
penculik Pisau Tanduk Hantu milik Malaikat Miskin
adalah orang-orang Bukit Kopong. Tentunya pusaka itu
dicuri untuk dijual kepada peminatnya. Bisa jadi
penjualnya adalah orang berilmu tinggi, yang dapat
menyusup masuk ke benteng Perguruan Tongkat Sakti.
Teratai Kipas yang akhirnya tertolong dari luka
berbahaya karena dipaksakan meminum tuak Suto
Sinting itu, membenarkan kesimpulan tersebut, ia
berkata di ujung pagi, setelah mereka bermalam di atas pohon pada dahan yang
terpisah, "Malaikat Miskin tak akan mau percaya jika kita
katakan pencurinya adalah orang-orang Bukit Kopong."
"Mengapa begitu?"
"Penguasa Bukit Kopong adalah Cukak Tumbila.
Menurut cerita yang kudengar dari guruku yang dulu;
Cukak Tumbila, Malaikat Miskin, dan Ki Selo Gantung
adalah saudara seperguruan seangkatan. Konon mereka
sepakat untuk hidup sendiri-sendiri membentuk
perguruan dan tidak mau saling mengganggu. Jadi jika
kita katakan pencuri Pisau Tanduk Hantu adalah orang
Bukit Kopong, pasti Malaikat Miskin akan
menyanggahnya. Bisa-bisa kita dianggap mengadu
domba antara Perguruan Tongkat Sakti dengan orangorangnya Cukak Tumbila."
"Tapi buktinya orang Bukit Kopong juga
menghendaki pusaka milik mendiang gurumu, bahkan
menyerangmu. Apakah itu namanya tidak saling
mengganggu?"
"Aku sependapat. Tapi bagaimana menjelaskannya
kepada Malaikat Miskin?"
Suto Sinting tarik napas panjang-panjang bagaikan
ingin mengisi paru-parunya dengan udara pagi yang
segar. Kejap berikutnya ia berkata,
"Tak perlu pikirkan tentang pusakanya Malaikat
Miskin. Toh Sumbaruni sudah tidak di tangannya, tidak
harus kutebus dengan pusaka tersebut. Yang perlu kita
pikirkan, siapa kira-kira orang yang membawa lari bocah Sumbaruni itu" Untuk apa
dibawa lari atau direbut dari tangan orang-orangnya Malaikat Miskin?"
"Bagiku kemungkinan menuduh orang-orang Bukit
Kopong masih ada."
Pendekar Mabuk cepat palingkan wajah ke arah
Teratai Kipas. "Apa maksudmu?"
"Mungkin yang merebut Sumbaruni juga orang-orang
Bukit Kopong!"
Suto berkerut dahi. "Untuk apa kira-kira?"
"Tebusan!" Teratai Kipas angkat dua pundaknya.
"Mungkin ia inginkan tebusan dari Malaikat Miskin, entah berupa pusaka atau
berupa uang, yang jelas tak
mungkin tak ada tujuannya merebut bocah itu dari
tangan Malaikat Miskin!"
Setelah merenungkan kata-kata itu, Pendekar Mabuk
angguk-anggukkan kepala. Mereka masih ada di atas
pohon, tempat tidur mereka yang paling alami. Suara
kicau burung telah sirna dari tadi. Tapi masih tersisa satu dua ekor yang
berkicau di kejauhan, mungkin itu adalah burung yang terlambat bangun karena
malam harinya begadang dengan temannya.
"Siapa orang terkuat di Bukit Kopong selain Cukak Tumbila?" tanya Suto.
"Setahuku... orang terkuat di sana adalah Durjana Belang. Dia punya ilmu paling
tinggi dari yang lainnya.
Bahkan beberapa orang yang pernah menjadi korbannya
sering menjulukinya dengan nama si Maling Sakti."
"Seberapa tinggi ilmunya?"
"Entah. Aku belum pernah mencoba melawannya.
Yang jelas, Roh Seribu Dewa dan Neraka Berjalan takut
kepada Durjana Belang."
"Aku jadi penasaran," kata Suto Sinting setelah merenung. "Aku ingin datang ke
Bukit Kopong. Apakah kau bersedia membawaku ke sana?"
"Kau sama saja mencari mati jika datang ke sana.
Mereka ganas-ganas dan tidak suka melihat lelaki
tampan. Mereka merasa dikalahkan dan iri, sebab wajah
mereka tak ada yang tampan; simpang siur semuanya."
Suto Sinting tertawa pelan. "Wajah kok simpang siur"
Apa wajah mereka serupa dengan aliran arus sungai?"
Sambil melompat turun dari pohon Teratai Kipas
menjawab, "Pokoknya wajah mereka kusut semua! Tak ada yang tampan sepertimu!"
"Hei, mau ke mana kau?"
"Ke sungai!" jawabnya sambil berlari ke arah sungai.
Tak jauh dari tempat mereka bermalam memang ada
sungai. Gemericik suara aliran air sungai terdengar
samar-samar bila malam tiba. Suto Sinting tak mau
menyusul, karena ia tahu apa kepentingan perempuan
jika pergi ke sungai. Di atas pohon itu Suto Sinting
Hina Kelana 39 Dewa Iblis Karya Tak Diketahui Istana Tanpa Bayangan 4

Cari Blog Ini