Pendekar Mabuk 021 Titisan Ilmu Setan Bagian 1
Serial : Pendekar Mabuk
Judul : Titisan Ilmu Setan
Pengarang : "
Penerbit : "
E-book by : paulustjing
1 JERITAN yang melengking tinggi itu seakan
menggema ke seluruh jagat raya. Begitu keras dan
panjangnya, sehingga orang yang ada di balik bukit itu pun bisa tersentak
mendengarnya. Begitu pula dengan seorang pemuda yang masih tergeletak malas,
bangun dari pembaringannya di atas pohon. Pemuda itu terkejut ketika mendengar jeritan
yang menandakan sebagai jerit kematian. Ia segera bangkit dari rebanannya, dan
menempatkan bumbung tempat tuaknya ke punggung.
Pemuda berbaju coklat tanpa lengan dan celana putih itu melompat turun dari atas
pohon berketinggian tujuh
tombak. Jlegg...! Dengan ringannya kedua kaki kekar itu
menapak di tanah perbukitan. Matanya yang berbentuk indah tapi punya ketajaman
yang mempesona itu segera memandang ke arah barat. Dahinya berkerut sebentar
pertanda merasa aneh dengan jeritan yang cepat lenyap dari pendengarannya itu.
Pemuda itu belum bergegas pergi. Ia masih
memikirkan langkahnya untuk menengok ke arah barat,
ke sumber jeritan tadi, atau membiarkannya saja. Yang jelas, pemuda itu kembali
meneguk tuaknya dengan
mendongakkan kepala, menuangkan tuak dari
bumbungnya, dan menelan air tuak itu beberapa teguk.
Hanya satu orang yang punya kebiasaan meneguk
tuak di sembarang tempat dan dalam suasana apa saja.
Orang itu tak lain adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak, yang mempunyai gelar
tak asing lagi, yaitu
Pendekar Mabuk.
Apa yang terjadi di sebelah barat adalah sesuatu yang tak diduga-duga oleh
setiap orang. Seorang gadis berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, sedang
berhadapan dengan seorang lelaki kurus, ceking, dan berkulit pucat.
Wajahnya angker, matanya sipit tapi berkesan cekung dan bengis. Rambutnya
panjang sebatas punggung, tapi tipis dan acak-acakan.
Lelaki itu mengenakan jubah abu-abu dan celana
merah, sedangkan bagian dalamnya tidak mengenakan
baju, sehingga tulang iganya terlihat bertonjolan, sebab jubahnya sendiri tidak
menutup bagian dada dan perut.
Laki-laki itu menggenggam sebuah senjata berupa kapak bergagang panjang warna
merah, mempunyai dua sisi
tajam di kanan-kirinya. Kedua kapak itu mempunyai
ukuran lebar dan tipis. Pada sisi kedua mata kapak yang tajam itu berbentuk
sedikit lengkung ke dalam, seakan pas untuk sebatang leher manusia.
Perempuan muda itu masih tegar berdiri di depan si
lelaki lawannya. Ia mempunyai rambut panjang yang
disanggul membentuk kucir besar dan dililiti kain
pengikat mirip tali. Sisa rambutnya dibiarkan meriap ke samping kanan-kirinya.
Ia mengenakan pakaian biru
muda dengan sabuk merah di pinggangnya. Tempat
pedang masih terselempang di punggungnya yang
berkulit kuning langsat.
Di tanah sekitar mereka, sudah ada tiga mayat
terkapar berlumur darah. Perempuan muda yang
berparas cantik jelita itu, telah menumbangkan ketiga mayat tersebut dengan
menggunakan sebilah pedang
berujung runcing bagaikan pisau panjang. Pedang itu mempunyai dua sisi yang
ketajamannya melebihi sebuah pisau cukur.
Melihat tiga korban telah jatuh tak bernyawa, lelaki bermata bengis itu semakin
tampak bernafsu untuk
membunuh gadis di depannya. Dengan suaranya yang
menggeram menahan kebencian, lelaki itu berkata
kepada lawannya,
"Dosamu kepadaku semakin bertambah, Arum
Kafan! Sudah tak ada ampun lagi yang tersisa untukmu!"
Perempuan yang dipanggil Arum Kafan itu menjawab
dengan wajah tanpa senyum sedikit pun, dengan mata memandang tajam dan dingin,
seakan tak mau kalah
bengis dengan mata lawannya.
"Aku tak pernah mengharap ampunan darimu, Tulang Neraka! Apa yang ingin kau
lakukan padaku, lakukanlah sepanjang kau mampu melakukannya! Tapi kau pun
harus bersiap-siap kehilangan nyawamu seperti kedua adikmu dan satu kakakmu itu,
Tulang Neraka!"
Lelaki yang berjuluk Tulang Neraka itu, ternyata adik
dan kakak dari ketiga orang yang telah dibunuh oleh Arum Kafan di tempat itu
juga. Rupanya mereka adalah empat bersaudara yang berhadapan dengan satu musuh
mereka, yaitu perempuan cantik tersebut. Apa
masalahnya, belum jelas. Yang sudah pasti, Tulang
Neraka merasa sangat sakit hati melihat ketiga
saudaranya mati di tangan Arum Kafan.
Kapak dua mata yang berpenampang lebar itu
digenggam kuat pada bagian pertengahan gagangnya!
Tulang Neraka melangkah berkeliling pelan-pelan
sambil berkata penuh geram,
"Bukan hanya tubuhmu yang akan kucacah-cacah di sini, Arum Kafan, tapi kedua
tubuh adikmu pun akan
kuburu dan kucacah-cacah sama seperti aku mencacah
tubuhmu!" "Jangan banyak bicara, Tulang Neraka! Kita
selesaikan secepatnya dendam leluhur ini supaya jelas, siapa yang binasa di
antara dua keluarga kita!" seru Arum Kafan tak mau kalah gertak.
Maka dengan gerakan cepat, Tulang Neraka
melompat menerjang Arum Kafan. Kapaknya ditebaskan
ke arah leher Arum Kafan. Tetapi perempuan berpedang runcing itu mengibaskan
pedangnya sambil
merendahkan tubuh, sehingga gerakan kapak tertahan di pertengahan jalan.
Trangng...! Kaki perempuan cantik itu menendang ke perut
Tulang Neraka. Wutt! Behgg...! Tubuh kurus ceking
berusia sekitar empat puluh tahun itu terpental mundur lebih dari tiga tombak
jauhnya. Ia jatuh menimpa semaksemak hingga terdengar suara gemeresak dengan jelas sekali.
Tapi dengan sentakan pinggangnya, lelaki berjubah
abu-abu itu bisa melentik bagai belalang, dan kembali berdiri dengan sigap.
Wajahnya sedikit dimiringkan agar bisa memandang dengan melirik sadis.
"Heeaah...!" tiba-tiba ia menyentakkan tangan kirinya ke depan. Dari tangan kiri
itu melesat seberkas sinar, warnanya kuning kemerahan, berbentuk seperti tongkat
panjang satu hasta.
Wuttt...! Sinar kuning kemerahan itu melesat dengan cepat ke Arum Kafan. Tapi
Arum Kafan tak kalah sigap.
Dengan satu sentakan tangan kirinya pula ia melepaskan pukulan tenaga dalam yang
mempunyai berkas sinar
warna hijau. Kedua sinar itu bertemu di pertengahan jarak, dan saling membentur
menimbulkan ledakan
dahsyat. . Duarrr...! Asap mengepul warna gelap. Kejap
berikutnya menghilang lenyap. Tapi sinar hijau itu masih ada dan diam di tempat
benturannya tadi. Sinar itu tidak ikut pecah dan bahkan kembali bergerak setelah
berhenti di udara beberapa kejap tadi.
Tulang Neraka terbelalak kaget melihat sinar
hijaunya Arum Kafan masih ada di tempat dan sekarang sedang menyerangnya dengan
kecepatan tinggi. Maka,
cepat-cepat Tulang Neraka melompat ke samping dan
membuat sinar hijau itu lolos darinya, menghantam
sebatang pohon di belakangnya.
Blarrr...! Sinar itu menimbulkan ledakan kembali.
Anehnya pohon itu tidak hancur dan masih utuh. Bahkan daunnya tak ada yang gugur
satu helai pun.
Tulang Neraka memandang pohon itu sebentar, lalu
tersenyum sinis meremehkan kekuatan sinar hijaunya
Arum Kafan. Ia berkata dengan nada melecehkan jurus Arum Kafan,
"Ternyata jurusmu hanya jurus untuk menipu anak kecil! Tak punya kekuatan apa
pun, selain kekuatan
menipu pandangan orang!"
"Sayang sekali tidak mengenai tubuhmu, Tulang
Neraka!" .
"Seandainya mengenai tubuhku pun tak akan menjadi masalah bagiku! Sama saja aku
tersengat puntung
tembakau, atau...."
Tulang Neraka tidak melanjutkan ucapannya. Karena
tiba-tiba datang angin kencang dan pohon itu rusak terhembus angin, bagaikan
gugusan abu yang
membentuk sebuah pohon. Bahkan kurang dari satu
helaan napas, pohon itu telah hilang dari wujud aslinya.
Berubah menjadi debu yang beterbangan terbawa angin.
Mata bengis Tulang Neraka sempat tak berkedip. Ia
meneguk ludahnya sendiri menyaksikan kehebatan sinar hijaunya Arum Kafan. Tak
disangka ternyata sinar itu mampu membuat pohon itu tetap berbentuk sebagaimana
aslinya, tapi sebenarnya sudah hangus menjadi debu
yang lembut dan tak bisa dipegang lagi.
"Edan! Kalau tadi tubuhku yang kena pukulannya pasti aku sudah menjadi debu
seperti pohon itu," kata Tulang Neraka dalam hatinya. "Rupanya dia sudah
melepaskan jurus andalannya, sekarang giliran aku yang melepaskan jurus
andalanku!"
Dengan suara keras, Tulang Neraka berseru, "Arum Kafan, kau boleh banggandengan
pamer ilmu seperti itu padaku. Tapi kau pun harus menerima akibatnya dari
kesombonganmu tadi. Kukirimkan jurus 'Brajagina' ini untuk menyambut kematianmu,
Arum Kafan! Heaah...!"
Tulang Neraka meluruskan kapaknya ke depan,
mengarah kepada Arum Kafan. Kapak itu dipegang
dengan tangan kiri, dan tangan kanannya menghantam
ujung gagang kapak warna merah itu. Telapak tangan
kanannya merapat lekat di ujung gagang kapak.
Tubuhnya sedikit miring dan berdiri agak merendah.
Tubuh itu gemetar bagai sedang mengerahkan satu
kekuatan tenaga dalam yang cukup dahsyat.
Bersamaan dengan sikapnya begitu, dari kedua mata
kapak yang lebar itu terlepaslah dua sinar patah-patah warna merah bening. Sinar
merah bening itu keluar dari mata kapak secara beruntun dan menerjang tubuh Arum
Kafan. Kedua mata kapak pun menyala merah membara.
Sinar merah patah-patah yang beruntun menyerang
itu salah satunya bisa dihadang oleh telapak tangan Arum Kafan yang menjadi
menyala hijau sebatas
pergelangan tangannya. Ia menahan sinar itu di depan dadanya dengan telapak
tangan terbuka.
Tapi seberkas sinar yang kiri tak bisa tertahan lagi karena pedangnya meleset
ketika ingin menghadangnya.
Seberkas sinar itu menembus bagian bawah pundak
Arum Kafan. Jrabbb...!
"Aaahg...!" Arum Kafan tersentak ke belakang, oleng dan akhirnya jatuh.
Pundaknya menjadi hangus seketika.
Hitam. Bahkan pakaiannya yang dikenakan itu mulai
menyalakan api dan terbakar. Arum Kafan tergulingguling sambil menjerit kesakitan. Pedangnya sampai
lepas dari genggaman tangan. Kehangusan itu ternyata berjalan terus sampai ke
lengan batas siku.
Arum Kafan seperti dibakar hidup-hidup. Tingkahnya
yang kelabakan ditertawakan oleh Tulang Neraka.
"Ha ha ha ha...! Makanlah habis jurus Brajagina'-ku itu! Ha ha ha ha ha...! Arum
Kafan, kuselesaikan tugas ku mencabut nyawamu saat ini juga! Hiaaat...!"
Tulang Neraka berkelebat melompat sambil
mengangkat kapaknya untuk ditebaskan ke bawah begitu tiba di tanah samping Arum
Kafan. Tapi sebentuk
bayangan tak jelas telah membuatnya kalang kabut
karena berkelebat cepat menabrak dirinya. Bruss...!
Tulang Neraka seperti diseruduk tiga banteng yang
mengamuk. Tubuh Tulang Neraka terpental lebih dari
lima tombak jauhnya. Ketika ia jatuh dalam keadaan
miring, ia sempat melihat sesosok manusia muda berbaju coklat dan celana putih.
Pemuda itu segera menghampiri Arum Kafan. Mengangkat kepala Arum yang tersentaksentak karena menahan rasa panas yang mulai menjalar sampai di perutnya.
Dalam keadaan mulut ternganga itu, Arum Kafan
merasa ada yang menuangkan cairan ke mulutnya. Rasa panas membuat Arum Kafan
menelan cepat-cepat cairan yang ternyata tuak itu. Beberapa teguk tuak di
telannya, kemudian kepalanya diletakkan di rerumputan kembali oleh si pendatang tak
dikenal itu. Suto Sinting sudah berdiri di sana. Matanya
memperhatikan si Tulang Neraka dengan tenang dan
kalem. Tulang Neraka saat itu sedang berusaha bangkit dengan menyeringai
kesakitan. Tapi matanya yang
menyipit karena menahan sakit itu tiba-tiba jadi
terbelalak terbuka cepat. Ada sesuatu yang mengejutkan dirinya. Ada sesuatu yang
dicari-carinya. Tanpa sadar ia bicara sendiri,
"Mana kapakku..."! Mana senjataku"! Lho...
mana..."!"
Kapak itu telah lenyap dari tangan Tulang Neraka.
Dicari ke mana-mana tetap tak ada. Tulang Neraka tak tahu, bahwa Suto Sinting
telah menyemburkan tuaknya saat menabrakkan diri ke tubuhnya. Kapak itu terkena
ilmu 'Sembur Siluman' si Pendekar Mabuk, yang dapat membuat benda menjadi lenyap
setelah terkena
semburannya. Sedangkan keadaan Arum Kafan saat itu menjadi
tenang kembali. Bukan hanya Tulang Neraka yang
merasa terheran-heran melihat Arum Kafan berkulit
kuning langsat itu sehat kembali, tapi Arum Kafan
sendiri merasa heran dengan keadaannya yang lekas
pulih itu. Rasa panas akibat hantaman sinar biru tadi telah hilang. Bahkan
kulitnya yang hangus pun lenyap dan kembali mulus. Tapi luka bakar pada
pakaiannya masih belum hilang dan menghitam robek, walau tidak panas dan tidak mengepulkan
asap sedikit pun. Rupanya
tuak yang diminumnya tadi adalah obat mujarab yang
punya kekuatan sungguh ajaib.
"Jahanam kusut!" geram Tulang Neraka sambil matanya mendelik memandang Suto
Sinting. "Kau pasti Pendekar Mabuk yang kesohor itu! Benar, bukan"!"
"Benar! Tapi aku tidak kenal siapa dirimu, kalau tidak aku mendengar perempuan
itu memanggilmu
Tulang Neraka!"
"Bagus. Kau telah mengaku di depanku, sehingga aku lebih bangga jika bisa
membunuhmu! Tapi aku ingin
tahu, mengapa kau memihak Arum Kafan" Apakah
karena dia cantik dan kau tertarik"!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis berkesan
sinis. "Jika kau tertarik dengan perempuan itu, kau harus tahu, Pendekar Mabuk, bahwa
Pendekar Mabuk 021 Titisan Ilmu Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempuan itu adalah
perempuan iblis yang tak pantas mendapat suami atau kekasih dari siapa pun! Kau
akan mati dalam keadaan terhisap darahnya jika kau bercumbu dengannya! Dia
adalah perempuan penghisap darah yang harus
dilenyapkan! Sama seperti kakaknya yang bernama
Dewi Taring Ayu!"
"Itu urusan dia, bukan urusanku! Aku menyelamatkan dia karena kau bertarung
tidak dengan ksatria! Kau ingin menghancurkan orang yang telah terluka parah dan
akan mati dengan sendirinya. Kedua, karena aku kenal
namamu Tulang Neraka, maka aku ingat cerita yang
dituturkan oleh para tamu di sebuah kedai tempat
minum, bahwa Tulang Neraka adalah satu dari keempat
bersaudara yang menamakan diri Empat Raja Sesat.
Pekerjaan kalian merampok, memperkosa, mengganggu
ketenangan orang lain, dan ingin menguasai rimba
persilatan dengan mencari pengikut sebanyakbanyaknya. Kalian berempatlah yang membawa orangorang untuk berjalan di tempat yang sesat."
"Ini urusan antar keluarga, Pendekar Mabuk! Kau tak bisa ikut campur dalam hal
ini!" bantah Tulang Neraka.
"Memang, mungkin saja perkaramu dengan Arum
Kafan adalah perkara urusan keluarga. Tapi pada saat ini aku berdiri sebagai
sang pembela kebenaran, pembasmi kejahatan, dan pembantai manusia-manusia sesat
seperti dirimu!"
"Lagakmu benar-benar seperti jagoan, Pendekar
Mabuk!" "Terima kasih atas pengakuanmu secara tak
langsung!"
"Rupanya kau pantas mendapat pelajaran berat
dariku! Hiaaah...!"
Serta-merta tangan kanan Tulang Neraka menyentak
ke depan dengan curahan tenaga dalamnya. Dan dari
tangan kanan itu melesatlah sinar biru bergumpalgumpal bersamaan asap yang menebal. Sinar biru itu
sebesar kepalan tangannya dan menghantam tubuh Suto Sinting. Tetapi oleh
Pendekar Mabuk sinar itu
ditangkisnya menggunakan bumbung tuaknya. Debb!
Wukkk...! Sinar biru bercampur asap itu membalik arah,
menjadi lebih cepat gerakannya, lebih besar bentuknya,
dan menghantam dada ceking Tulang Neraka. Dan
begitu melihat pukulan sinar birunya membalik ke
arahnya, Tulang Neraka cepat melompat dalam satu
kelebatan kilat. Tapi tetap saja terlambat sedikit.
Sebuah pohon di belakangnya terhantam sinar biru
sebesar buah kelapa itu. Dan pecahlah sinar biru serta pohon itu menjadi
serpihan-serpihan tajam. Blarrr...!
Sinar biru itu seperti kaca yang pecah dan
pecahannya menerjang tubuh Tulang Neraka. Serpihan
kaca itu masuk sebagian ke tubuh Tulang Neraka dan
membuat tubuh itu segera menjadi hijau kebiru-biruan dengan mulut memuncratkan
darah segar. "Uhgg...!" Tulang Neraka terbungkuk-bungkuk dan sempoyongan. Sambil melelehkan
darah dari mulutnya, ia memandang Suto Sinting dan berusaha menuding
dengan mengucapkan kata,
"Awas...! Tunggu pembalasanku...!"
Suto tidak bergeming. Memandang dengan bibir
tersungging senyum ketenangan. Ia membiarkan Tulang Neraka pergi meninggalkan
tempat itu dengan gerakan secepat mungkin. Arum Kafan bangkit dan mengejarnya.
Tapi kaki Pendekar Mabuk menjegal gerakan langkah
Arum Kafan, sehingga perempuan itu jatuh tersungkur ke depan.
Gabrusss...! "Monyet...!" rutuknya dengan geram dan gemas sekali.
"Biarkan dia pergi! Dia sudah terluka. Siapa tahu lukanya membuatnya jera untuk
tidak melanjutkan
perjalanan sesatnya lagi!"
Arum Kafam mendengus kesal sambil berdiri
menatap Suto. Dengan nada ketus ia berkata,
"Kau terlalu banyak ikut campur dalam perkara ini!"
"Kalau aku tak ikut campur kau telah mati dari tadi!"
"Tapi Tulang Neraka pun akan mati juga bersamaku!
Aku sudah siapkan senjata rahasia untuknya! Sayang kau datang dan mengacaukan
urusanku dengannya!"
"Sudahlah, jangan marah padaku! Aku hanya ingin menyelamatkan nyawamu dari
tangan orang sesat itu!"
"Aku tidak butuh seorang penyelamat!" Arum Kafan semakin geram.
"Tapi aku butuh orang seperti kamu, yang tahu
tentang Kitab Lontar Gegana!"
Terkesiap mata Arum Kafan begitu Pendekar Mabuk
menyebutkan nama Kitab Lontar Gegana. Berkerut dahi Suto, berkerut juga dahi
Arum Kafan menatap pemuda
tampan itu. Ia heran kepada Suto, sedangkan Suto curiga dengan sesuatu suara
yang ditangkap oleh
pendengarannya. Suara yang dicurigai itu ada di
belakangnya. Suara itu seperti suara langkah orang
menginjak rumput pelan-pelan.
Maka dengan kelebat cepat Pendekar Mabuk
melepaskan pukulan tenaga dalamnya tanpa sinar
dengan gerakan memutar balik dan menyentakkan
tangan kirinya. Wuttt...! Brasss...! Semak-semak
diterjang pukulan jarak jauh itu, dan seseorang
melompat keluar dari sana sambil menyerukan pekik
yang tertahan. "Uuhg...!" Orang itu melompat bukan karena menghindar, tapi karena terpental
oleh kekuatan pukulan jarak jauh Pendekar Mabuk. Orang itu sempat melayang dan
jatuh di bawah gugusan tanah cadas setinggi tiga tombak itu. Breggh...!
Arum Kafan memandang dengan mata terbuka lebar
dan mulutnya segera menyerukan suara, "Delima
Ungu..."!"
"Siapa dia" Kudengar dia melangkah mendekati kita untuk mencuri dengar
percakapan kita! Haruskah dia
kulenyapkan juga?"
"Jangan! Dia adik bungsuku!" kata Arum Kafan.
Lalu, tampak olehnya Suto menghembuskan napas lega, melepas ketegangannya. Arum
Kafan pun segera
menghampiri adik bungsunya, gadis muda yang punya
tahi lalat di tepian sudut bibir bawahnya.
"Aih, gila! Yang itu cantik juga seperti Arum
Kafan"!" gumam Pendekar Mabuk memuji kagum
kecantikan kakak-beradik itu.
* * * 2 TERNYATA Arum Kafan masih mempunyai satu
adik lagi yang kecantikannya sukar dibandingkan
dengan Delima Ungu. Ketika Suto diajak singgah ke
rumah keluarga Arum Kafan di lembah sunyi itu, Suto Sinting sempat tertegun
memandangi ketiga perempuan
muda yang punya kecantikan sama, walau wajah tak
terlalu persis serupa. Masing-masing mempunyai
kelebihan dalam kecantikannya, sehingga sulit bagi
seorang lelaki jika harus memilih satu di antara
ketiganya. Bahkan mungkin bagi lelaki yang rakus, ia akan memilih ketiga-tiganya
daripada harus memilih
salah satu dengan bingung.
Adik Arum Kafan yang satu itu bernama Kembang
Darah. Tentu saja nama itu adalah nama julukan yang mereka pilih sendiri dengan
alasan masing-masing.
Kembang Darah adalah adik Arum Kafan dan kakak dari Delima Ungu. Jika pakaian
Delima Ungu berwarna ungu muda, dengan rambut lurus sepunggung memakai poni
di depannya, mata bulat bening bak mata boneka, hidung bangir, dan kulit sawo
matang, tapi tampak mulus. Maka pakaian Kembang Darah adalah warna merah darah.
Rambutnya yang panjang dikepang satu. Di ujung
kepangnya itu terikat pisau kecil yang amat tajam dan runcing. Rambut itu sering
dililitkan di lehernya.
Matanya sedikit lebar dan berbulu lentik. Kulitnya
kuning langsat seperti kulit Arum Kafan. Usianya sekitar dua puluh empat tahun,
dua tahun lebih tua dari Delima Ungu, dan tiga tahun lebih muda dari Arum Kafan.
Suto sungguh tak menyangka kalau mereka tinggal di
rumah besar berdinding rapuh dan sudah tua itu tanpa seorang ayah atau ibu.
Rumah terpencil beratap tinggi itu kini kedatangan tamu pemuda tampan sedangkan
penghuninya tiga gadis cantik.
"Kami masih mempunyai satu kakak lagi," kata Arum
Kafan. "Maksudmu, yang bernama Dewi Taring Ayu itu?"
sela Suto. "Dari mana kau tahu nama kakak kami" Apakah kau pernah bertemu dengannya?" tanya
Kembang Darah. "Belum," jawab Suto. "Tapi aku pernah mendengar Tulang Neraka menyebutkan nama
itu." "Oo...," Kembang Darah manggut-manggut. Matanya tak lepas memandang lembut pada
Pendekar Mabuk.
Demikian pula halnya dengan Delima Ungu, sejak tadi diam-diam tak berkedip
memandangi Suto dari tempat
duduknya yang menyudut, agak jauh dari kedua
kakaknya. Arum Kafan bersikap tenang, tidak setajam mata
adik-adiknya dalam memandangi Suto. Hanya sesekali
ia mencuri pandang ke arah wajah tampan Pendeka
Mabuk. Setelah itu ia bersikap acuh tak acuh dengan ketampanan tersebut.
"Sengaja aku membawamu kemari, karena kau
menyebutkan Kitab Lontar Gegana. Tahukah kau bahwa
Kitab Lontar Gegana adalah kitab pusaka leluhur kami|
yang telah lama hilang?"
"Aku tidak tahu soal hilangnya kitab itu. Yang kutahu, ada seseorang mengutusku
untuk mencari kitab tersebut dan menyerahkannya kepadanya."
"Kalau boleh kutahu, siapa orang yang menyuruhmu itu"!" tanya Kembang Darah.
"Seseorang yang tak perlu kusebutkan namanya!"
jawab Suto. "Kelak kalian sendiri yang akan kuantar
untuk menemui orang itu, jika Kitab Lontar Gegana
sudah ada di tangan kalian! Yang jelas, dia bukan di pihak musuh kalian,
melainkan di pihak kalian sendiri!
Dia bukan tokoh sesat, menurutku!"
Arum Kafan memandang Kembang Darah. Kembang
Darah sendiri segara menatap Arum Kafan bagai saling bicara lewat pandangan
mata. Sedangkan Delima Ungu
masih diam saja, mengunci mulutnya rapat-rapat. Tapi matanya masih tertuju pada
Suto Sinting dan
menyembunyikan kekaguman.
"Apa kau tahu mengapa orang itu membutuhkan
Kitab Lontar Gegana?" tanya Arum Kafan.
"Menurut penjelasannya, di dalam kitab itu ada catatan ilmu dan jurus maut yang
harus segera dilenyapkan! Berbahaya sekali jika jurus itu dimiliki orang yang langkahnya
sesat. Bahkan jurus itu, katanya, bisa menggiring orang benar untuk berbuat
salah setelah menguasai jurus tersebut."
Kali ini Delima Ungu angkat bicara dan berkata,
"Mungkin yang kau maksud adalah 'Kidung Mantera Gaib'"!"
Pandangan mata Suto tertuju pada Delima Ungu, dan
Suto berkata, "Aku tak tahu soal itu! Menurut orang yang
menyuruhku, ada ilmu berbahaya di dalam kitab
tersebut. Hanya itu yang kutahu."
Arum Kafan menjawab lirih, "Ya, kurasa memang
'Kidung Mantera Gaib' itulah yang dimaksud ilmu
berbahaya. Tapi tidak semua orang bisa mempelajari
ilmu 'Kidung Mantera Gaib' itu! Bahkan mendiang
kakekku, sampai ayahku sendiri tak bisa menyelesaikan jurus tersebut sampai saat
meninggalnya. 'Kidung
Mantera Gaib' hanya dimiliki oleh mendiang kakek
buyutku yang bernama Ki Bayan Maruto, bergelar
Manusia Tembus Raga. Setelah itu tak ada lagi
pewarisnya yang mampu mempelajari jurus ilmu
'Kidung Mantera Gaib'."
Suto mengangguk-anggukkan kepala dan berkata
seperti orang menggumam lirih, "Aku pernah mendengar nama itu...! Manusia Tembus
Raga! Tepat seperti apa yang disebutkan oleh orang yang mengutusku ini!"
"Apakah orang yang mengutusmu itu kenal dengan kakek buyutku itu?" tanya Kembang
Darah. "Sangat kenal," jawab Suto dengan tersenyum.
"Jangan-jangan dari keluarga Nyai Pancung Layon!"
Suto berkerut dahi memandang Delima Ungu lagi
yang baru saja memperdengarkan suaranya dari meja
sudut itu. "Siapa itu Nyai Pancung Layon?"
Arum Kafan yang menjawab, "Nyai Pancung Layon
adalah nenek dari Tulang Neraka. Perempuan keji itu sebenarnya adalah kakak dari
eyang kami, yaitu Eyang Panjar Pitu. Antara Eyang Panjar Pitu dan Nyai Pancung
Layon sama-sama mempunyai ayah Manusia Tembus
Raga. Kakak-beradik ini dari sejak kecil sudah saling bermusuhan dan tak pernah
akur. Kemudian, Eyang
Panjar Pitu mempunyai tiga anak lelaki, satu di
antaranya adalah Ayah kami. Dan Nyai Pancung Layon
mempunyai anak lelaki dua orang. Kedua anak Nyai
Pancung Layon membunuh kedua saudara Ayah kami.
Tinggal Ayah kami yang masih hidup. Pada saat itu,
Ayah mempelajari kitab pusaka dari gurunya sendiri, dan berhasil membunuh Nyai
Pancung Layon dan kedua
anaknya. Tapi salah satu anaknya Nyai Pancung Layon itu sudah sempat mempunyai
keturunan empat orang,
yaitu Tulang Neraka dan saudara-saudaranya.
Sedangkan Ayah mempunyai anak kami berempat yang
terdiri dari perempuan semua, sementara dari keluarga Tulang Neraka lelaki
semua." Kembang Darah menambahkan kata setelah Arum
Kafan berhenti bicara,
"Dan kami selalu bermusuhan. Tulang Neraka dan saudara-saudaranya selalu
berusaha membunuh kami
berempat, karena mereka sangat sakit hati atas
perlakukan Ayah kami yang menewaskan ayah, paman,
dan nenek mereka itu!"
"Agaknya permusuhan ini sudah mulai reda, karena ketiga saudara Tulang Neraka
berhasil kubunuh di
tempat kita bertemu kemarin," kata Arum Kafan. "Itu pun setelah aku berhasil
mempelajari jurus-jurus maut yang kuperoleh dari sebuah kitab kecil milik Ayah.
Sekarang pun Kembang Darah dan Delima Ungu sedang
kusarankan untuk mempelajari kitab kecil peninggalan Ayah itu. Jika jurusjurusnya digabungkan, menjadi satu jurus baru yang punya kekuatan dahsyat."
Kembang Darah berkata lagi menyambung ucapan
kakaknya, "Dan perlu kamu ketahui, Suto... bahwa sejak
Pendekar Mabuk 021 Titisan Ilmu Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dulu antara keluargaku dengan keluarganya Tulang
Neraka selalu mempermasalahkan tentang hilangnya
Kitab Lontar Gegana itu! Kami saling tuduh terus,
sampai sekarang belum ada yang tahu secara pasti, siapa yang mencuri atau
menyembunyikan Kitab Lontar
Gegana itu. Tuduhan demi tuduhan sering menyulut api pertempuran diwarnai dengan
dendam leluhur di antara keluarga kami ini!"
Suto Sinting menghela napas. Ia meminum tuaknya
bukan dari bumbung tuak, melainkan dari secangkir
minuman yang disuguhkan oleh ketiga gadis cantik itu.
Sementara itu, di luar rumah cahaya sore sudah mulai makin menua, sorot matahari
kian tertutup cakrawala.
Ditambah lagi langit memang diselimuti mendung hitam yang menebal. Naga-naganya
malam nanti akan turun
hujan. Anginnya sudah hadir sejak tadi, berhembus
kencang menyerupai anak badai. Bahkan semakin lama
semakin kencang dan sang petir pun muncul sesekali.
Menggelegar di langit hitam.
"Kusarankan menginapfah di sini," kata Arum Kafan.
"Sebentar lagi lembah ini akan dilanda angin badai dan hujan lebat. Kalau kau
pulang ataupun pergi dari
sekarang, kau akan dihadang oleh badai dan hujan lebat di perjalanan! Jadi,
seyogyanya bermalamlah di rumah kami."
Suto Sinting belum bisa menjawab karena hatinya
masih bimbang. Ia hanya tersenyum lebar, seperti
menelan rasa geli sendiri. Lalu, ia berkata sambil
memegangi cangkir tuaknya,
"Di sini perempuan semua. Dan hanya aku satusatunya lelaki yang ada di rumah ini, jika aku bermalam di sini!"
Kembang Darah yang tersenyum lebih dulu,
kemudian disusul oleh senyum malu Arum Kafan.
Senyuman ini dibuang ke arah lain dengan maksud
disembunyikan dari pandangan Suto Sinting. Dan tiba-tiba Delima Ungu yang sejak
tadi tak pernah
memamerkan senyumannya, segera berkata,
"Rasa-rasanya, berbicara tentang Kitab Lontar
Gegana tak cukup memakan waktu sehari saja. Perlu
waktu sehari semalam, baru jelas duduk persoalannya tentang kitab pusaka itu dan
silsilahnya! Tanpa
mempelajari silsilah, kau tak akan berhasil melacak kitab tersebut."
Tiba-tiba mereka dikejutkan datangnya sebaris tawa
dari kejauhan. Tawa seorang perempuan yang
melengking tinggi menyeruak di antara deru angin badai kecil itu. Suara tawa
tersebut mengubah wajah ketiga perempuan cantik itu menjadi tegang. Bahkan
Kembang Darah segera meraih pedangnya yang digantungkan pada dinding, lalu
disandangnya di punggung.
"Ada apa"!" tanya Suto terheran-heran.
"Si nenek bertanduk itu kemari!" ucap Delima Ungu dengan nada penuh ketegangan.
"Siapa nenek bertanduk itu?" Pendekar Mabuk makin bingung. Arum Kafan segera
menjawab, "Istri dari si Urat Iblis!"
"Ah, siapa pula Urat Iblis itu?" desak Suto.
"Kakak sulung dari Tulang Neraka!" jawab Kembang Darah.
"Ya. Nyai Tanduk Setan itu pasti ingin menuntut kematian suaminya yang kubunuh!
Tulang Neraka pasti sudah menceritakan perihal kematian suaminya itu!"
Suara tawa itu makin terdengar jelas bagai jeritan
kuntilanak di tengah deru angin membadai. Bahkan kini suaranya terdengar jelas,
"Arum Kafan, keluar kau! Kita selesaikan
perhitungan kita berdua sesama wanita!"
"Biar aku yang keluar!" kata Kembang Darah.
"Aku saja!" Delima Ungu menukas.
"Tidak. Harus tetap aku yang menghadapi si Tanduk Setan itu!" kata Arum Kafan
sambil bergegas mau membuka pintu. Tapi gerakannya ditahan oleh Delima
Ungu yang memandang ketus dan berkata,
"Kita hadapi bertiga! Tanduk Setan lebih ganas dan lebih sakti dari suaminya
maupun si Tulang Neraka! Kau bisa dikalahkan dengan mudah jika tidak kita hadapi
bertiga!" "Benar," sahut Kembang Darah. "Sebaiknya kita keluar bersama dan menghadapi
mereka!" Suto diam saja, memperhatikan keributan mereka
bertiga. Lalu, terdengar sekali lagi Nyai Tanduk
Setanberteriak keras, berkesan kasar dan liar,
"Arum Kafan! Keluar dan hadapilah aku! Jangan kau mencoba lari dari
perhitunganku! Aku datang untuk
menuntut balas atas kematian suamiku, yang habis kau perkosa lalu kau bunuh
dengan keji!",
"Edan!" geram Arum Kafan masih di dalam rumah.
"Pasti Tulang Neraka mengarang cerita yang
berlebihan!"
"Jangan pedulikan apa yang dikatakan Tulang
Neraka, yang jelas perempuan itu pun harus ikut
dilenyapkan jika ia menuntut kematian suaminya yang sesat dan jahat itu!" kata
Kembang Darah. Brakk...! Tiba-tiba pintu rumah jebol karena dihantam dengan
pukulan jarak jauh oleh Nyai Tanduk Setan. Daun pintu itu terhempas ke dalam
dengan keadaan pecah. Hampir saja mengenai tubuh Kembang Darah.
Melihat rumahnya sudah diawali diserang oleh Nyai
Tanduk Setan, maka Delima Ungu segera melompat
keluar dengan cepat tanpa menghiraukan kedua
kakaknya yang masih ada di dalam. Wuttt...! Jlegg...! Ia tiba di depan Nyai
Tanduk Setan sambil mencabut kedua kipas kembar yang menjadi senjata di tangan
kanan-kirinya. Kembang Darah pun cepat melompat keluar karena
mencemaskan keadaan adiknya, disusul kemudian Arum
Kafan yang segara melesat ke luar rumah tanpa
menghiraukan Pendekar Mabuk yang masih sibuk
meneguk tuaknya.
"Bagus! Ada baiknya kalian bertiga menghadapi aku, biar mampus secara serentak!
Sayang sekali kakak
sulung kalian tidak ikut keluar dari rumah itu! Suruh dia keluar sekalian!" kata
Nyai Tanduk Setan.
Delima Ungu berkata dengan tegas bernada dingin
"Hadapi aku dulu, si bungsu! Kalau kau bisa melangkahi mayatku, baru hadapi
kakak-kakakku!"
"Hebat," gumam Suto Sinting mendengar ucapan Delima Ungu dari tempat duduknya.
"Biar kecil dan muda, tapi nyalinya gede juga gadis itu!"
Pendekar Mabuk menampakkan diri, berdiri di
ambang pintu yang jebol itu dengan sedikit bersandar pundaknya pada tepian kusen
pintu. Ia memandang ke
pelataran rumah tanpa pagar itu. Matanya sedikit
menyipit ketika melihat Nyai Tanduk Setan. Ternyata menurut pandangan mata Suto,
perempuan itu tak pantas di| panggil nenek, karena usianya masih belum tua.
Sekitar empat puluh tahunan. Masih kelihatan cantik, bertubuh sekal dan padat.
Dadanya terlihat montok dari balik pakaian pinjung sebatas dadanya yang berwarna
hitam dengan jubah merahnya. Rambutnya diurai lepas, tampak ada dua tanduk kecil
di kanan-kiri kepalanya. Ia berdiri dengan tegap tanpa membawa senjata di atas
punggung atau di pinggang atau pula di tangannya.
Bahkan tongkat pun tidak digenggamnya.
Ketika Suto Sinting muncul, mata perempuan beralis
tebal itu menatap dengan ganas. Ada senyum
tersungging di bibirnya. Senyum nakal yang
menandakan kejalangan sikapnya terhadap lelaki.
"Rupanya kalian sedang asyik dengan pemuda
simpanan itu"! Pantas aku harus menunggu di luar
sampai beberapa saat! Hmm... boleh juga dia menjadi pengganti si Urat Iblis!
Kurasa dia jauh lebih tampan lebih tegap, lebih perkasa, dan tentu lebih hangat
dari si Urat Iblis yang malang itu!"
"Dasar mulut perempuan liar!" geram Delima Ungu.
Dengan cepat kakinya menjejak tanah dan tubuhnya
melesat maju menyerang. Wutt...! Kipasnya dikibaskan ke mulut perempuan
bertanduk pendek itu. Tapi dengan cepat tangan perempuan itu berkelebat
menangkis pergelangan tangan Delima Ungu. Plakk...!
"Aaauh...!" Delima Ungu menjerit dengan mata terpejam. Ia segera mendapat
tendangan kaki si Tanduk Setan. Sekalipun Delima Ungu masih sempat berkelit
menghindari, namun hembusan angin dari kaki yang
ditendangkan membuat Delima Ungu terpental dan
berguling-guling di rerumputan pendek itu.
"Mundur kau, Delima!" sentak Arum Kafan.
Suto sedikit picingkan mata melihat tangan Delima
Ungu menjadi bengkak dan membiru pada
pergelangannya. Suto menyimpulkan, Nyai Tanduk
Setan memang sangat berbahaya. Tangkisannya mampu
membuat tangan lawan bisa patah atau putus sama sekali walau tidak memakai
senjata tajam. Tangannya itu bisa mewakili sebagai tenaga baja, atau senjata
tajam, atau gada besi sebesar pilar istana.
"Delima, masuklah dan minumlah tuakku ini!" kata Suto Sinting. Delima tertatihtatih karena sekujur
tubuhnya terasa lemas bagai tak bertulang lagi. Suto membantunya melangkah, dan
sesampai di dalam
tuaknya diberikan kepada Delima Ungu.
"Kalau hanya tuak, biar aku meminum dari tempat minumku sendiri!"
"Beda! Tuak dari dalam tabung ini punya khasiat penyembuhan. Percayalah! Kau
terluka dalam, Delima!
Akhirnya Delima Ungu mau meminum tuak dari tabung
tuaknya Pendekar Mabuk. Beberapa saat kemudian,
memang terasa ada perubahan pada rasa sakit yang
mengelilingi pergelangan tangan sampai siku dan
ketiaknya itu. Di luar, Arum Kafan maju bersama Kembang Darah
menyerang Nyai Tanduk Setan. Keduanya sama-sama
lincah dan hati-hati dalam melakukan penyerangan
terhadap lawannya. Tak satu pun ada yang berani
menyentuh tubuh Nyai Tanduk Setan, karena mereka
tahu sekujur tubuh perempuan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang
membahayakan jika sampai
tersentuh. Pedang di tangan Kembang Berdarah mempunyai
gerigi pada setiap sisinya dari ujung sampai di gagang.
Pedang itu ketika dikibaskan mengeluarkan sinar merah yang bagai meloncat keluar
dari tepian pedang dan
berusaha memenggal kepala Nyai Tanduk Setan. Tapi
oleh perempuan berjubah merah itu, sinar tersebut
dihadang dengan tangan terbuka, kemudian dari telapak tangan itu keluar sinar
perak yang berukuran sama besar dan sama bentuknya dengan sinar merah tersebut.,
Kedua sinar bertemu, dan menimbulkan ledakan
dahsyat. Blarrr...! Membuat Kembang Darah terpental akibat terhempas gelombang
angin dari ledakan tersebut.
Sementara itu, Arum Kafan melompat tinggi-tinggi
dan bersalto ke atas kepala Nyai Tanduk Setan. Begitu
sampai di atas kepala, tubuh Arum Kafan menukik lurus ke bawah dengan pedang
siap menancap di kepala Nyai Tanduk Setan.
"Hiaaat...!" pekiknya dengan penuh nafsu membunuh Tanduk Setan. Tapi ternyata
hal itu tidak mudah.
Nyai Tanduk Setan mendongak ke atas, dengan
merendahkan badan secepatnya ujung runcing pedang
yang hendak menusuk kepalanya itu dihadang oleh
telapak tangannya. Tapp...! Pedang itu tidak menancap, tapi tertahan oleh
telapak tangan Nyai Tanduk Setan.
Bahkan gerakan tubuh Arum Kafan menjadi kaku
seketika, tak bergerak turun sedikit pun. Tetap
menggenggam pedang yang ditusukkan itu.
"Kembang Darah...!" seru Arum Kafan dalam keadaan diam di udara. "Aku kena
totok! Tak bisa bergerak lagi!"
Tiba-tiba ujung pedang yang ditahan dengan telapak
tangan Nyai Tanduk Setan itu mulai menyala merah,
membara bagai besi dipanggang api. Dan nyala merah
membara itu bergerak sampai ke pertengahan mata
pedang, lalu seluruh pedang itu menjadi merah
membara, bahkan sampai pada pergelangan pedang
antara mata pedang dengan gagangnya.
Suto melihat semacam kekuatan tenaga dalam
pelebur jiwa sedang disalurkan oleh Nyai Tanduk Setan lewat telapak tangan yang
menyangga ujung pedang,
sekaligus menyangga tubuh Arum Kafan yang diam di
udara itu. Tak lama lagi pasti kekuatan tenaga dalam itu akan membuat tubuh Arum
Kafan bagai dilanda panas
melebihi leburan baja.
Sementara itu, Kembang Darah baru saja bangkit tapi sudah jatuh lagi. Ia bagai
tak memiliki tulang. Lemas dan tak berdaya. Napasnya tersengal-sengal sesak.
Matanya menjadi semakin sayu. Ledakan tadi bukan
hanya sekadar ledakan dua tenaga dalam yang beradu, melainkan juga ada kiriman
tenaga dalam yang
berbahaya dan dapat melumpuhkan semua urat saraf
lawan. Nyai Tanduk Setan yang mengirimkannya tadi.
Dan sekarang kekuatan tenaga dalam itu sedang
berusaha membunuh lawan.
Melihat keadaan seperti itu, Pendekar Mabuk segera
menyentilkan jari telunjuknya yang kukunya sudah
menyala hijau membara itu. Sentilan jurus 'Jari Guntur'
melesat mengenai ketiak Nyai Tanduk Setan yang
sedang menahan pedang dengan telapak tangannya itu.
Dess...! Sentilan tenaga dalam itu menyetakkan tubuh Nyai Tanduk Setan. Tangan
penahan ujung pedang
terangkat kaget. Akibatnya pedang itu terlepas dari tahanan telapak tangannya.
Brrukk...! Tubuh Arum Kafan jatuh bersama
pedangnya yang menancap di tanah. Tapi pedang itu
sudah tidak menyala merah lagi. Tubuh Arum Kafan
sudah tidak tertotok lagi. Sedangkan tubuh Nyai Tanduk Setan tersentak mundur
tiga tindak akibat terkena
sentilan jarak jauh dari Suto Sinting itu.
Pada waktu itu, Delima Ungu sudah berada di
samping Pendekar Mabuk dan melihat gerakan jari
Pendekar Mabuk saat menyentil dari jarak jauh. Karena
Delima Ungu ada di samping Suto, mata Nyai Tanduk
Setan memandang ke arah Delima Ungu. Lalu ia
menggeram dengan wajah semakin kelihatan ganas dan
liar, "Kau mau membokongku, Delima Ungu"! Hmm...!
Kurasa kau memang harus dimusnahkan lebih dulu!"
Telapak tangan Nyai Tanduk Setan menyodok lurus ke
depan dalam posisi telapak tangan terbuka dan miring.
Zuttt...! Clapp...! Seberkas sinar berbentuk semacam bintang berwarna biru tua
itu melesat dengan cepatnya.
Begitu cepat hingga Delima Ungu tak menangkap
gerakan cahaya biru tersebut. Tapi karena di sampingnya ada Suto, maka Suto-lah
yang bertindak menangkis sinar biru yang cepat melesat itu.
Trangng...! Sinar tersebut menghantam bumbung
Pendekar Mabuk 021 Titisan Ilmu Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tuak, dan memantul balik dengan lebih cepat dan lebih besar lagi. Wosss...!
"Gila...!" sentak Nyai Tanduk Setan dengan mata melotot sebentar, kemudian
berusaha menghindari sinar biru yang datang memantul balik itu. Ia melompat ke
samping dengan cepatnya.
Duarrr...! Sinar itu menghantam sebuah pohon jauh di seberang sana yang membuat
pohon itu hancur
berkeping-keping. Pecahannya sampai ada yang jatuh di depan Pendekar Mabuk.
"Keparat kau, Bocah Ganteng...! Kau mau ikut
campur masalah ini biar dianggap jago dan semakin
dikagumi oleh mereka"! Hmm...! Tidak bisa! Kau harus kubunuh juga jika begitu!"
"Arum, mundurlah... biar kuhadapi dia!" Pendekar Mabuk selesai berkata begitu,
segera lenyap dari
samping Delima Ungu. Tahu-tahu pemuda tampan itu
sudah berada di belakang Nyai Tanduk Setan.
"Hadapilah aku, Nyai Tanduk Setan!" kata Suto yang membuat perempuan bertanduk
itu berpaling dengan
kagetnya. Serta-merta ia menggeram, kemudian melompat
dengan cepat ke arah Suto Sinting. "Hiaaahhh...!"
Ia menyerang dengan menyodokkan kepalanya
mengandalkan tanduk pendek yang tumpul itu untuk
menyodok perut Pendekar Mabuk. Tetapi dengan cepat
Pendekar Mabuk kelebatkan kakinya ke depan dan
menendang kepala itu dengan tendangan bertenaga kuat, Wuttt...! Plokkk...!
"Ahg...!" Nyai Tanduk Setan terdongak karena kepalanya bagian wajah bagai
mendapat paksaan untuk mendongak melalui kaki yang menendang mengenainya
itu. Dengan menggunakan tangan kanannya, Pendekar
Mabuk segera menggebukkan bumbung tuak ke dada
Nyai Tanduk Setan. Buhgg...!
"Uuaahhg...!" Nyai Tanduk Setan tersentak kuat dengan suara tertahan. Ia
langsung terkapar jatuh dengan kedua lutut melengkung ke dada serta wajah
menyeringai menahan rasa sakit yang kuat. Mulutnya
mulai memuntahkan darah kental dan hitam warnanya.
Nyai Tanduk Setan terkejut dan menjadi cemas.
Kemudian ia bergegas bangkit dan cepat-cepat pergi
tanpa mengatakan sesuatu hal apa pun.
Pendekar Mabuk tersenyum tipis saat memandang
pelarian Nyai Tanduk Setan. Sedangkan Arum Katai dan Delima Ungu hanya bisa
memandang bengong. Secepat
itu Nyai Tanduk Setan menjadi ketakutan dan itu berarti ia dikalahkan oleh
Pendekar Mabuk. Kini, kedua
perempuan itu sama-sama memandang Suto dengan dahi
masing-masing berkerut dan hati masing-masing
mengagumi kehebatan ilmu yang dimiliki Pendekar
Mabuk. * * * 3 MANUSIA bertanduk itu rupanya terluka bagian
dalamnya. Berhari-hari ia terkapar di tepi pantai. Ia tidak berdaya untuk
mengangkat kepalanya. Sekujur tubuhnya telah memar membiru, sampai pada kukukukunya pun menjadi biru kehitam-hitaman. Tak ada bagian tubuh
yang tak terasa sakit bila disentuh. Semacam bisul yang mau pecah, sekujur tubuh
Tanduk Setan nyut-nyutan.
Sakitnya bukan main. Bahkan terkena angin pantai pun terasa perih sekali.
Berhari-hari dia ada di sana. Sasarannya adalah
sebuah pulau kecil yang sudah terlihat oleh mata, namun tak bisa terjangkau oleh
keinginannya, yaitu keinginan untuk datang ke pulau kecil itu.
"Kalau saja ada orang lewat, mungkin aku bisa minta tolong untuk mengantarkan ke
pulau itu!" pikir Nyai
Tanduk Setan dengan sedihnya.
Harapan adanya orang itu ternyata terkabul. Itu
terjadi setelah beberapa saat lamanya ia berpikir seperti tadi. Orang yang lewat
itu sayangnya adalah anak kecil, berusia sekitar sebelas tahun. Bocah itu
berlari-lari dengan sangat tegangnya. Sepertinya ada seseorang yang mengejar
bocah itu. Tanpa melihat adanya Nyai Tanduk Setan yang terkapar di pasir pantai,
di bawah sebuah pohon kelapa lengkung, bocah itu berusaha bersembunyi dari
pelariannya. Ia segera naik ke atas pohon kelapa lengkung itu dan dalam waktu
cepat sudah bisa
mencapai bagian atas pelepah daun kelapa. Ia
bersembunyi di sana. Menghindar dari pengejaran yang belum terlihat siapa
pengejarnya itu.
Tetapi celakanya, bocah itu tanpa sengaja menginjak buah kelapa yang sudah
memerah. Kelapa itu jatuh
dengan cepat dan menimpa perut Nyai Tanduk Setan.
Behgg...! "Uaaaoww...!" teriak Nyai Tanduk Setan. Jeritannya itu sungguh keras. Karena
ibarat bisul yang dijaga rapi-rapi jangan sampai terbentur benda keras, sekarang
malahan kejatuhan kelapa dari suatu ketinggian. Kelapa keras dan berbentuk
besar. Sungguh merupakan siksaan yang amat menyakitkan bagi Nyai Tanduk Setan.
"Dasar bocah monyet...!" umpatnya dengan menahan sakit yang tak bisa diatasi
lagi itu. Dari kulitnya yang memar biru empuk itu keluar semacam darah kotor
yang berbau busuk akibat ketiban kelapa tadi. Terutama
bagian pusarnya, merembeskan cairan merah kehitamhitaman. Nyai Tanduk Setan rasa-rasanya ingin
menangis, rasa-rasanya ingin mencekik leher bocah itu sampai mati.
Sedangkan sang bocah yang tidak memandang ke
bawah itu segara tersenyum begitu mendengar teriakan suara orang. Ia berpikir,
"Pasti ibu tiriku jatuh ke lubang jebakan yang dibuat almarhum Ayah dulu. Pasti
tubuhnya tertancap bambu-bambu runcing di dalam lubang tersebut. Hmm...!
Rasakan! Jadi ibu tiri kalau jahat ya begitu nasibnya!
Sebaiknya aku turun dan melihat seperti apa wujud ibu titiku saat ini...!"
Tass...! Kakinya menjejak buah kelapa, ia hampir
jatuh karena kelapa itu lepas dari rangkainya, bahkan bergandengan dua buah.
Kelapa hitam kering itu
akhirnya meluncur kembali jatuh ke bawah dan
menimpa kepala dan dada Nyai Tanduk Setan. Prokk...!
"Uuaaaoow...!" teriaknya lagi sangat kesakitan. Kali ini rasanya lebih sakit
dari kejatuhan kelapa yang
pertama. Wajahnya jadi sasaran, juga bagian dadanya yang nyut-nyutan itu.
Keadaan tubuh yang terkena angin pantai saja sakit, apalagi harus kejatuhan
benda keras seperti itu. Tentu saja kemarahan di dadanya semakin menyala-nyala
dan ia paksakan diri untuk berseru,
"Kuremukkan kepalamu, Bocah Setaaan...!"
Bocah itu kaget setelah tahu ada orang dalam keadaan terluka parah di bawah
pohon kelapa yang dipanjatnya.
Bocah itu terbelalak matanya dan segera mengerti bahwa yang berteriak tadi bukan
suara ibu tirinya, melainkan
suara orang yang terkapar kejatuhan kelapa dari atas itu.
"Wah, kalau begitu ibu tiriku belum mati! Aku harus lari lagi! Jangan
bersembunyi di sini, sebab orang yang kejatuhan kelapa itu bisa memberitahukan
tempatku bersembunyi...!"
Maka bocah tersebut segera berlari lagi meninggalkan tempat itu. Sementara Nyai
Tanduk Setan masih
terengah-engah dengan sangat menyedihkan. Telinganya mengeluarkan bau busuk
akibat cairan hitam yang
meleleh. Juga hidungnya yang tadi membiru bengkak itu sekarang menjadi melesak
ke dalam dengan keadaan
memuncratkan darah merah kehitam-hitaman yang
berbau busuk. Kejap berikutnya, lewatlah seorang perempuan
berambut digulung ke atas dengan kebaya merah lusuh dan kain separo betis.
Perempuan separo baya itu berlari-lari dengan kebingungan. Rupanya dia adalah
ibu tiri dari bocah yang menjatuhkan kelapa tadi.
Melihat ada orang terkapar dalam keadaan busuk dan
menjijikkan itu, perempuan berkebaya merah itu
memekik kaget dan ketakutan. Kemudian ia
memandanginya dengan jantung berdetak-detak dan
sedikit demi sedikit mulai tenang setelah mengetahui orang itu masih hidup,
masih bisa menggerakkan
kepalanya miring ke kiri dengan sangat pelan sekali.
Lalu, perempuan itu mendengar Nyai Tanduk Setan
berkata dengan suara lirih,
"Tolong... tolonglah aku...."
Sambil menutup hidungnya, perempuan berkebaya
merah itu mendekat. Semakin dekat, semakin jelas suara yang didengarnya,
"Tolonglah... aku...!"
"Ap... apa yang harus kulakukan untuk
menolongmu?"
"Pergilah ke... ke pulau itu, dan beri tahu saudaraku agar datang kemari
menolongku!"
"Ke pulau mana...?"
"Pulau kecil itu... yang kelihatan dari sini! Temui seseorang yang bernama
Tulang Neraka, dan katakan
bawah aku si Tanduk Setan, dalam keadaan terluka di sini, minta dibawa ke pulau
itu!" 'Maksudmu, aku harus pergi ke Pulau Dedemit itu"
Oh, tidak! Aku tidak mau! Aku masih ingin hidup!
Kalau aku pergi ke Pulau Dedemit, maka nyawaku akan hilang, dan jasadku tak akan
ditemukan lagi, seperti yang dialami beberapa korban yang sudah-sudah!"
"Seb... sebut namaku di sana... tak akan ada yang mengganggumu!"
Perempuan itu geleng-geleng kepala sambil
melangkah mundur dengan penuh ketakutan. Tanduk
Setan waswas, takut perempuan itu pergi
meninggalkannya sehingga ia tak bisa membujuknya.
"Tolonglah... nanti akan kuberi upah cukup banyak untukmu!"
"Sebanyak upah berapa pun aku tak akan mau di
datang ke pulau itu! Aku tak mau mati! Biar aku janda tapi aku masih belum puas
menikmati keindahan hidup mesra dengan lelaki, jadi aku tak mau mati terburuburu! Maaf, aku tak bisa membantumu!"
"Hei, tunggu... tunggu dulu! Aku punya sesuatu untukmu!"
"Tidak! Tidak mau...!"
Akhirnya perempuan itu melarikan diri pulang ke
rumahnya, tak mau menolong Nyai Tanduk Setan, tak
jadi mencari anak tirinya. Ia sangat ketakutan bila membayangkan Pulau Dedemit
yang dari pantai itu
tampak kecil. Apa sebenarnya yang terjadi di Pulau Dedemit itu
sehingga perempuan berkebaya merah tadi sangat
ketakutan" Pulau itu memang kecil, berhutan tak terlalu lebat, binatang buas tak
ada. Tapi manusia buas ada di sana. Manusia buas itu dulu dikenal dengan nama
Peri Pulau Dedemit, yaitu seorang perempuan yang gemar
memakan daging manusia. Tapi konon, Peri Pulau
Dedemit itu sudah dikalahkan oleh Empat Raja Sesat, satu di antaranya adalah
Tulang Neraka. Kabarnya, Peri Pulau Dedemit itu sudah mati. Tapi ada pula yang
bilang, Peri Pulau Dedemit itu sudah pergi dan
menghilang entah ke mana.
Semua kabar tak jelas. Bahkan termasuk kabar Peri
Pulau Dedemit yang gemar makan daging manusia, itu
juga belum jelas kebenarannya. Karena, yang mereka
tahu setiap nelayan yang singgah ke Pulau Dedemit
selalu tak pernah kembali selama-lamanya. Apakah
dimakan, atau dikubur, atau bagaimana, tak ada jawaban pasti selain dugaandugaan ngeri saja. Karena tak pernah ada orang yang bisa keluar dari pulau itu
setelah masuk di kedalaman hutannya.
Hanya Empat Raja Sesat itulah yang bisa keluar
masuk pulau kecil tersebut. Itu pun tanpa diketahui oleh satu orang pun penduduk
di sekitar pantai tersebut.
Tapi ketika perempuan berkebaya merah itu
mendengar nama Tulang Neraka, dan disuruh
memanggilkan nama itu di Pulau Dedemit, maka
tersebarlah kabar bahwa Pulau Dedemit dihuni oleh
seseorang yang bernama Tulang Neraka. Apa yang
dilakukan oleh Tulang Neraka di sana, tak ada yang
tahu. Kalau saja perempuan berkebaya merah itu mau
datang ke sana, sudah pasti dia akan mengerti apa yang terjadi sebenarnya di
Pulau Dedemit itu, dan sudah pasti pula dia merupakan satu-satunya manusia yang
bisa lolos dengan selamat dari Pulau Dedemit tersebut.
Sayangnya ia tidak mau datang, justru malah
menyebarkan berita tentang adanya manusia busuk di
pinggir pantai. Maka, berbondong-bondong masyarakat desa nelayan itu menghampiri
tempat terdapatnya
manusia berbau busuk itu. Jumlah mereka lebih dari
sepuluh orang. Mulanya mereka hanya ingin melihat dan bilamana perlu menolong,
tapi tiba-tiba hati mereka menjadi geram setelah salah seorang berkata,
"O, dia si Tanduk Setan yang sering mencuri bayi tak berdosa itu!"
"Wah, benar! Dia bayi setan, eh... dia pencuri bayi yang berjuluk Nyai Tanduk
Setan! Kalau begitu, habisi saja dia selagi sekarat!"
Tanpa banyak berembuk lagi, akhirnya rombongan
penduduk desa yang sudah menaruh dendam dan
kebencian cukup lama kepada Tanduk Setan itu,
beramai-ramai menyerang Tanduk Setan. Keadaan
Tanduk Setan yang tidak berdaya merupakan peluang
emas bagi para orang tua yang bayinya pernah dicuri dan sampai sekarang tak
pernah kembali itu. Maka, nasib Nyai Tanduk Setan yang sakti itu habis di tangan
penduduk desa. Tubuhnya tak berbentuk lagi akibat
amukan mereka yang membabi buta.
Sisa-sisa potongan tubuhnya dilemparkan oleh
mereka ke laut sebagai umpan makanan ikan-ikan ganas.
Tetapi tak satu pun dari mereka yang menyangka bahwa sisa-sisa potongan tubuh
Nyai Tanduk Setan itu tidak digemari oleh ikan, karena berbau busuk. Akhirnya,
sisa-sisa potongan tubuh Nyai Tanduk Setan itu terbawa
ombak dan terdampar di pantai Pulau Dedemit.!
Terutama bagian kepala, kaki kanan, dan telapak tangan kirinya, jelas-jelas
tergeletak di pantai berpasir putih kehitam-hitaman itu.
Seorang lelaki berusia muda, sekitar dua puluh
delapan tahun, bertubuh pendek, berpakaian serba hitam, menemukan potongan
anggota tubuh Nyai Tanduk
Setan. Ia segera merangkumnya dan membawanya ke
suatu tempat, memasuki kedalaman hutan pulau tersebut.
Mendaki ke sebuah tebing cadas bertanaman lumut dan rumput.
Kemudian, beberapa saat setelah melakukan
perjalanan dari pantai, tibalah dia di sebuah gua yang mulut atau pintunya tidak
terlalu lebar. Ia masuk ke gua
itu sambil menenteng potongan anggota tubuh Nyai
Tanduk Setan. Dilihatnya, seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun masih
duduk di atas sebuah batu,
bersila dengan mulutnya berkomat-kamit, matanya
terpejam rapat. Lelaki itu bertubuh kurus kering dan ceking, wajahnya pucat
berkesan angker. Rambutnya
tipis panjang tak beraturan, jubahnya abu-abu tanpa mengenakan baju dalaman.
Siapa lagi dia kalau bukan si Tulang Neraka.
Beberapa saat lamanya, pemuda berwajah amburadul,
karena terdapat banyak codet bekas luka bacokan itu, diam berdiri tak jauh dari
Pendekar Mabuk 021 Titisan Ilmu Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depan Tulang Neraka. Sampai pada akhirnya Tulang Neraka membuka matanya pelanpelan, lalu menatapnya dengan mata berkesan dingin.
"Ada apa, Dogol..."!" tanyanya pelan kepada pemuda berwajah rusak dan yang
ternyata bernama Dogol itu.
"Saya menemukan benda-benda ini di pantai, Guru,"
jawab Dogol yang ternyata murid dari Tulang Neraka.
Mata lelaki ceking itu terkesiap dan berdebar hatinya melihat 'barang-barang'
bawaan Dogol. Wajahnya mulai tampak semakin pucat. Dogol tahu, jika wajah
gurunya semakin pucat, itu pertanda Tulang Neraka mulai
memuncak kemarahannya.
"Siapa yang melakukan hal ini"!"
"Saya tidak tahu, Guru! Saya hanya menemukannya di pantai!"
"Keparat!" geram Tulang Neraka. "Kau tahu kepala siapa itu?"
"Saya tahu, Guru! Ini kepala Nyai Tanduk Setan,
bekas istri Paman Guru Urat Iblis!"
"Benar! Dan kau bisa menduga siapa yang
membunuhnya?"
"Tidak bisa, Guru! Karena saya tidak ikut serta dalam pembunuhan itu, Guru!"
"Goblok! Siapa lagi yang membunuhnya kalau bukan keluarga si Arum Kafan dan
adik-adiknya! Tempo hari kukabarkan kematian suaminya dan dia mengamuk,
menuntut balas kematian suaminya, lalu menyerang ke rumah kediaman keluarga Arum
Kafan! Rupanya Arum
Kafan sekarang memang punya kesaktian yang tinggi.
Nyai Tanduk Setan yang menjadi tokoh tua dalam dunia persilatan ini, yang usia
sebenarnya sudah mencapai seratus delapan puluh tahun itu, ternyata masih bisa
dikalahkan oleh mereka! Mengenaskan sekali! Tapi juga membuatku semakin bernafsu
untuk membantai habis
keturunan si Panjar Pitu tanpa ampun lagi! Tapi mereka harus menunggu.... Ya,
menunggu sampai kuselesaikan pelajaran ini untuk melakukan pembalasan! Tanpa
kuselesaikan pelajaran ini, tak mungkin aku bisa
mengalahkan mereka."
"Apakah saya perlu maju, Guru"!" sela Dogol, yang sebenarnya adalah pengikut
Empat Raja Sesat itu, dan berharap mendapatkan ilmu dari Empat Raja Sesat,
namun hanya beberapa ilmu saja yang ia peroleh dari Tulang Neraka. Karena itu ia
menganggap Tulang
Neraka itulah gurunya.
"Dogol, kalau kau mau menyerang ke keluarga Panjar Pitu, kau akan mati sia-sia!
Kau tak akan mampu
menandingi kesaktian ilmu mereka. Tetapi kutugaskan padamu untuk menaburkan
racun ganas di mata air yang mengalir melewati kediaman keluarga Arum Kafan itu.
Karena di sana ada sungai bening yang airnya sering dipakai untuk minum atau
memasak oleh keluarga Arum Kafan! Nah, jika racun itu kau sebar melalui mata
airnya, maka apa yang diminum dan dimasak memakai
air itu akan membuat mereka mati lemas sedikit demi sedikit. Tiba giliranku
menyerang, maka aku akan lebih kuat daripada mereka!"
"Baik, Guru! Akan saya kerjakan tugas itu! Saya berangkat sekarang juga, Guru!"
ucapnya dengan lugu dan polos.
"Berangkatlah dan hati-hati! Jangan sampai ada yang melihatmu saat menaburkan
racun di mata air itu!"
"Baik, Guru!" sekali lagi Dogol menjawab dengan luara tegas, menampakkan
kepatuhannya. * * * E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
4 MENYUSURI sungai bening merupakan salah satu
dari beberapa kegemaran Suto Sinting. Pendekar Mabuk sangat menyukai dengan
kebeningan, terlebih
kebeningan yang mengandung ketenangan. Karena
jiwanya senantiasa merindukan sebentuk kehidupan
yang tenang, damai, dan menyegarkan di antara sesama.
Tetapi kali ini Suto menyusuri sungai bening bukan
dengan maksud semata-mata ingin menikmati
kegemarannya saja, melainkan punya tujuan tertentu, yaitu mencari pondok Ki
Darma Paksi. Karena setelah Suto menginap beberapa saat di rumah keluarga Arum
Kafan itu, percakapan mengenai hilangnya Kitab Lontar Gegana menarik
perhatiannya. Dari pembicaraan ke
pembicaraan, akhirnya Suto Sinting menemukan langkah awal untuk melacak jejak
hilangnya kitab pusaka itu.
Langkah itu diawali dari menemui Ki Darma Paksi
yang pondoknya berada di tepian sungai bening tersebut.
Sungai berair bening itulah yang mengalir di samping tempat tinggal tiga gadis
cantik itu. Ki Darma Paksi adalah bekas pelayan Eyang Panjar Pitu. Diduga Ki
Darma Paksi mengetahui ke mana larinya kitab pusaka tersebut. Semasa hidupnya
Eyang Panjar Pitu, satu-satunya orang yang dipercaya untuk membersihkan
kamarnya adalah Ki Darma Paksi. Dia dikenal sebagai orang jujur yang tak pernah
bisa berbohong selama
hidupnya. Jika Suto beruntung, maka ia akan menemukan Ki
Darma Paksi. Tapi jika tidak beruntung, maka ia hanya
akan menemukan kuburannya saja. Menurut keterangan
Arum Kafan, ia masih sempat bertemu dengan Ki Darma Paksi ketika ia berusia
tujuh tahun, Kembang Darah
masih berusia empat tahun dan Delima Ungu masih
Si Pedang Tumpul 3 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Riwayat Lie Bouw Pek 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama