Ceritasilat Novel Online

Gerombolan Setan Merah 1

Pendekar Naga Putih 64 Gerombolan Setan Merah Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG JUDUL Sumber: [sumber_ebook]
EBook: [pembuat]
Hampir setiap malam terjadi pembunuhan di
Desa Palasari, korban selalu tewas dengan tanda
tiga buah jari yang melubangi kening !
Bagaimanakah sikap Kepala Desa Palasari, Ki
Kaligandii ketika mengetahui pelaku pembunuhan
di desanya adalah Gerombolan Setan Merah ".
Gerombolan kaum sesat yang memiliki ilmu-ilmu
hitam mengerikan! Bahkan sanggup membangkitkan mayat dari dalam kuburnya!
Mampukah Pendekar Naga Putih mengatasi tokohtokoh puncak Gerombolan Setan Merah yang
sangat sakti dan mengerikan itu"
---ooo0dMyrna0ooo--1 Matahari sudah jauh bergeser ke barat Sinarnya
kian redup, berganti dengan semburat cahaya
merah. Tak lama kemudian, kegelapan mulai turun
menyelimuti permukaan bumi. Seiring dengan itu,
terdengar nyanyian binatang-binatang malam yang
saling bersahutan. Malam telah jatuh.
Langit dihiasi bulan sabit Sinarnya yang redup
tak mampu menembus kegelapan malam yang
semakin pekat Terlebih di daerah pekuburan yang
terletak jauh di luar Desa Palasari. Pantulan cahaya
samar sang Dewi Malam, jatuh di beberapa batu
nisan. Dan, membentuk gambaran-gambaran
seram yang membuat bulu kuduk meremang.
Ditambah lagi adanya kepulan asap tipis laksana
lapisan kabut Daerah pekuburan itu tampak
semakin menyeramkan.
"Hhh.... Malam ini tidak seperti biasanya. Dingin
sekali...," desah seorang penjaga pekuburan sambil
menaikkan kain sarungnya hingga ke leher.
Kemudian melipat kedua tangannya. Seolah
dengan sikapnya itu kebenaran ucapannya ingin
diperlihatkan. Lelaki berselimut kain sarung itu melangkah
perlahan keluar dari pos jaganya. Menilik
wajahnya, usianya kira-kira Bma puluh tahun.
Bertubuh kurus dan agak bungkuk. Langkahnya
tertatih-tatih mendekati sosok lain yang tengah
berjongkok di dekat perapian.
"Kurang ajar...! Udara dingin malam ini
membuat kayu jadi lembab dan sulit terbakar...,"
lelaki yang tengah sibuk membuat api unggun
mengomel panjang pendek. Rupanya, merasa
jengkel apinya tak juga mau membesar.
"Heh heh heh.... Kau mengomel pada siapa, Adi
Lajang...?" tegur lelaki kurus itu sambil berjongkok
di dekat kawannya. Hatinya merasa geli melihat
kelakuan kawannya yang mengomel sendirian.
"Ah. Kau rupanya, Kakang Jasman!" seru lelaki
beralis tebal agak terkejut mendengar teguran itu.
"Mengapa tidak tidur" Biar aku saja yang berjagajaga sampai lewat tengah malam nanti...."
Setelab berkata begitu, tatapan lelaki beralis
tebal yang ternyata bernama Lajang itu kembali
beralih pada api unggun yang menyala kecil. Lalu
sibuk mengatur kayu bakar di atas jilatan api.
"Hhh.... Udara dingin begini masa bisa tidur,
Adi...," sungut Ki Jasman, ikut sibuk membantu
kawannya memperbesar api. Selain untuk
menghangatkan tubuh, api itu pun digunakan
sebagai pengusir nyamuk.
"Ya. Udara malam ini memang tidak seperti
biasanya. Kalau tidak ingat akan tugas, aku lebih
suka pulang dan tidur sepuas-puasnya...," timpal
Lajang. Rupanya, dia pun merasakan dinginnya
udara malam itu. "Malam apa ini, Kakang...?"
Kata-kata itu diucapkan Lajang sambil tetap
sibuk mengurus api unggun di depannya.
Sepertinya, pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi
saja. Tapi pertanyaan itu sempat membuat kening Ki
Jasman berkerut agak dalam. Bahkan, sepasang
matanya mengitari daerah pekuburan di depannya.
Sebentar kemudian, wajahnya terlihat menegang.
"Hm.... Kalau tidak salah, malam Jumat Kliwon,
Adi Lajang," sahutnya dengan suara agak kering.
"Kalau malam Jumat Kliwon memangnya
kenapa, Kakang...?" tanya Lajang yang tidak
membedakan soal nama-nama malam. Lelaki
beralis tebal itu tetap acuh dan tidak
mempedulikan ketegangan kawannya.
"Tidak apa-apa, Adi," sahut Ki Jasman, berusaha
menyembunyikan ketegangan hatinya. Mungkin
merasa malu bila Lajang yang usianya lebih muda
darinya itu sampai mengetahui perasaannya saat
itu. Sementara itu, api sudah mulai membesar.
Rupanya, usaha Lajang tidak sia-sia. Mereka mulai
merasakan kehangatan yang menyerap ke dalam
tubuh. Lajang menoleh dan tersenyum pada
kawannya. Tapi sebentar kemudian senyumnya
pudar. ' "Kau seperti tengah memikirkan sesuatu, Kakang...?" tanya Lajang, seolah dapat membaca
keanehan pada wajah lelaki setengah baya di
sampingnya, yang juga tengah bangkit berdiri.
Ki Jasman sedikit tersentak mendengar
pertanyaan Lajang. Dihelanya napas panjang.
Kakinya melangkah lalu duduk di bangku kayu,
yang ada di depan pos jaga. Tampaknya lelaki
setengah baya itu berusaha menghindar dan
menyembunyikan perasaannya.
"Ada apa, Kakang...?"
Lajang menjadi penasaran. Dan, berusaha mendesak kawannya
agar memberikan jawaban
Ki Jasman kembali menghela napas panjang dan
mengedarkan pandangannya ke daerah pekuburan. Sepertinya, orang tua itu tengah mencari
jawaban yang tepat
"Kau ingat peristiwa beberapa minggu yang
lalu..?" Ki Jasman balik bertanya sambil menatap
wajah Lajang yang mengerutkan kening.
"Maksud, Kakang...?" Lajang agaknya belum
mengerti arah pertanyaan Ki Jasman. Ditatapnya
wajah orang tua itu lekat-lekat
"Ah.... Masa kau lupa dengan kejadian
pembongkaran makam pada beberapa minggu
lalu...?" Ki Jasman mencoba mengingatkan Lajang akan
peristiwa itu. "Hm.". Ya, aku ingat!" sahut Lajang setelah
berpikir sesaat "Lalu...?"
"Ah...! Bebal sekali otakmu, Lajang!" umpat Ki
Jasman jengkel. Perasaan itu terpancar pada
sepasang mata tuanya. "Kau ingat! Kejadiannya
pada malam seperti ini...!"
"Ooo.... Jadi itu yang mengganggu pikiran
Kakang...?" Lajang membulatkan mulutnya begitu
ingat apa yang dikatakan Ki Jasman. Sehingga,
orang tua itu kelihatan bertambah kesal.
"Peristiwa itu sungguh tidak mengganggu
pikiranmu?" tegur Ki Jasman. Kelihatan sekali kalau
lelaki tua itu tidak puas dengan jawaban Lajang.
"Mula-mula memang agak sedikit mengganggu.
Tapi, untuk apa kita memikirkannya" Lagi pula,
kejadian itu sudah cukup lama terjadi...," tukas
Lajang. "Bodoh kau!" rutuk Ki Jasman seraya menampar
kepala Lajang perlahan karena kejengkelannya
yang memuncak "Aku khawatir peristiwa itu akan
terulang lagi malam ini...!"
Lajang yang hampir terjatuh dari bangku
tertegun sesaat Semula hatinya agak penasaran
dengan perbuatan Ki Jasman. Tapi begitu
mendengar kekhawatiran orang tua itu, Lajang jadi
berpikir. "Jadi itu yang mengganggu pikiranmu...?"
Lajang meminta ketegasan Ki Jasman.
"Kau kira apa yang terpikir dalam kepalaku
selain soal keamanan tempat ini, hah"!" tukas Ki
Jasman setengah membentak.
Lajang terkekeh perlahan. Lelaki beralis tebal itu
tidak tersinggung dibentak Ki Jasman. Malah
kelihatan geli sendiri melihat ringkah orang tua itu
"Auuung...!"
"Hei..."!"
Ki Jasman terlonjak bangkit dari duduknya
mendengar raungan anjing malam itu. Wajahnya
terlihat agak pucat!
"Anjing sialan...!" rutuk Ki Jasman menyumpahnyumpah. "Jantungku hampir copot dibuatnya...!"
"Kau kelihatan sangat tegang, Ki..," tegur Lajang
dengan pandangan menyelidik, karena dirinya
sendiri tidak terkejut dengan lolongan anjing
malam itu. Menurutnya, suara itu tidak aneh.
Karena memang sering terdengar pada saat-saat
seperti itu. Srekkk! Srekkk!
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki
menginjak dedaunan kering. Wajah Ki Jasman
semakin pucat! Dengan sigap, golok di
pinggangnya langsung dicabut
Srat! "Kau dengar suara itu, Lajang..?" bisik Ki
Jasman. Goloknya digenggam erat-erat
Lajang tidak mengeluarkan suara. Dia hanya
menganggukkan kepala. Sedangkan tangannya
sudah meraba gagang golok. Meskipun senjata itu
belum keluar dari sarungnya, tapi Lajang telah
mempersiapkan segalanya.
"Sepertinya dari belakang pos jaga kita...," bisik
Ki Jasman tegang. "Jangan-jangan kawanan
pencuri yang hendak membongkar makam baru...."
Sesaat keduanya saling bertukar pandang.
Kemudian, sama-sama mengangguk dan berpencar
ke kiri dan kanan dengan senjata tergenggam di
tangan kanan. Sedangkan tangan kiri mereka
memegang kayu bakar menyala sebagai penerangan. "Anjing keparat..!"
Lagi-lagi Ki Jasman mengutuk. Ternyata hanya
seekor serigala. Rupanya, binatang itulah yang
menimbulkan suara langkah lembut di atas
dedaunan kering. Karena kejengkelan yang
memuncak, kayu bakar yang berada di tangannya
segera disodorkan ke arah serigala itu. Maka,
binatang buas itu pun langsung mengambil langkah
seriba "He he he...!"
Lajang terkekeh melihat wajah Ki Jasman yang
kemerahan. Tingkah kawannya itu tampak semakin
janggal dan lucu. Lajang sendiri tidak begitu heran
melihat binatang-binatang itu berkeliaran di
pekuburan. Pemandangan itu bukan sesuatu yang
bani bagi mereka berdua. Terasa aneh bila orang
tua itu terlihat sangat tegang.
"Jangan mengejekku, Lajang!" bentak Ki Jasman
jengkel karena ditertawakan kawannya. "Kalau
tubuhmu sudah dirobek-robek taringnya, baru kau
tahu rasa...!"
Sambil bersungut-sungut, Ki Jasman bergegas
meninggalkan tempat itu. Sementara, Lajang masih
terkekeh sambil memegangi perutnya.
"Aaa..."!"
Tiba-tiba terdengar lolong kematian yang
panjang dan mendirikan bulu kuduk. Lajang yang
saat itu masih berada di belakang pos jaga terkejut
setengah mati, karena mengenali suara jeritan itu.
"Kakang...!" desis Lajang segera menghambur
ke depan pos jaga. Tapi....
"Ahhh..."!"
Lajang terbelalak pucat melihat pemandangan
yang terbentang di
depan matanya. Tanpa sadar kakinya
melangkah mundur.
Butir-butir keringat dingin

Pendekar Naga Putih 64 Gerombolan Setan Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membasahi wajahnya. "Ki Jasman..."!"
Lelaki beralis tebal
itu merintih parau.
Betapa tidak" Begitu
tiba di depan pos
jaga, dilihatnya tubuh
Ki Jasman telah tergeletak tanpa nyawa. Darah
segar memancur keluar dari batang lehernya.
Sedangkan kepala orang tua itu entah ke mana.
"Ahhh..."!" Lajang terbelalak pucat melihat
tubuh Ki Jasman tergeletak tanpa nyawa.
"Kakang.."!" Lelaki beralis tebal itu merintih
parau. Betapa tidak" Pemandangan di hadapannya
sangat mengerikan! Darah segar memancur keluar
dari batang leher Ki Jasman. Sedangkan kepala
orang tua itu entah berada di mana!
Lajang menarik napas berulang-ulang untuk
menenteramkan perasaannya yang terguncang.
Sebagai penjaga pemakaman umum, lelaki itu
sudah terbiasa melihat segala macam bentuk
mayat Karena keberaniannyalah ia diterima dan
dipercaya penduduk Desa Palasari untuk menjaga
keamanan makam warga desa itu.
Tapi, pemandangan kali ini terasa lain. Darah
segar yang terus memancur keluar dari batang
leher Ki Jasman, dan kepala yang lenyap entah ke
mana, membuat tubuh Lajang menggigil hebat
Bahkan hampir jatuh pingsan. Untung ia masih
sanggup berdiri dalam kesadaran utuh!
Setelah terdiam cukup lama dan berhasil
menenangkan hatinya, Lajang bergerak mendekat
Dicarinya kepala Ki Jasman yang terpental entah ke
mana. Kayu bernyala di tangan kirinya bergerak
kian kemari. Sedangkan di tangan kanannya
tergenggam golok telanjang. "Ahhh..."!"
Lajang terlonjak ke belakang ketika menemukan
kepala Ki Jasman tergantung tepat di depannya.
Sepasang mata kepala itu menatap wajah Lajang.
Hingga hati lelaki itu berdebar keras. Darah yang
masih menetes dari batang leher itu membuat
kepala Ki Jasman terlihat demikian menakutkan.
Keheranan besar melanda hati Lajang. Kepala
itu tergantung setinggi wajahnya, tanpa ada
sesuatu pun yang menyangga. Membuat Lajang
penasaran untuk memeriksanya. Didekatkannya
kayu bernyala di tangannya. Dan....
"Aaa..."!"
Lagi-lagi Lajang memekik kaget ketika
menemukan jari-jari tangan kekar mencengkeram
rambut Ki Jasman. Tangan itulah yang membuat
kepala lelaki tua itu tergantung di udara. Ketika
Lajang menyusuri jari-jari tangan itu, kembali
kakinya melangkah mundur. Di sebelah kanan
kepala Ki Jas-, man berdiri sesosok tubuh tinggi
kurus dengan wajah menyeramkan.
"Sssi... siapa... kau...?" desis Lajang segera
menjauh dengan golok menyilang di depan dada.
Lelaki itu berusaha bersikap tenang dengan
menekan segala rasa takut dan ngeri yang
mendera hatinya.
Tapi sosok tubuh yang tingginya melebihi
ukuran manusia biasa itu, melangkah maju
menenteng kepala Ki Jasman. Langkahnya
perlahan dengan tangan kiri terulur ke depan.
Kuku-kuku jarinya panjang melengkung, menambah sosoknya semakin terlihat menyeramkan. Belum lagi wajahnya yang putih
seperti dicat Benar-benar sosok yang sanggup
membuat orang penakut pingsan seketika!
---ooo0myr0ooo--"Berhenti...!"
Dengan sisa-sisa keberaniannya, Lajang membentak. Goloknya dikibaskan untuk menghalau
sosok itu agar menjauh dari dirinya.
"Hmhhh...."
Bukannya berhenti, sosok itu malah mempercepat langkahnya. Bahkan, mengeluarkan
geraman parau yang membuat hati Lajang
bergetar. Sehingga kedua kakinya sukar digerakkan. "Haaat..!"
Untuk melenyapkan rasa tegang dan ngeri di
hatinya, Lajang memekik kuat-kuat. Kemudian,
melemparkan kayu bernyala di tangannya. Dan
terus melompat sambil mengibaskan goloknya ke
arah sosok jangkung itu.
Bettt! "Hei..."!"
Terkejut bukan main hati Lajang ketika
sambaran goloknya mengenai angin kosong.
Sedangkan sosok jangkung di depannya telah
lenyap entah ke mana.
"Iblisss...!" desis Lajang yang mulai lenyap
keberaniannya. Lajang bergegas membalikkan tubuh ketika
mendengar dengus napas berat di belakangnya.
Sayang, gerakannya terlambat! Pada saat itu
terdengar sambaran angin keras. Dan....
Brettil "Aaa...!"
Terdengar raung kematian yang membelah
keheningan malam. Bersamaan dengan itu, tubuh
Lajang terlempar ke tanah dan tewas dengan luka
di leher. Saat berikutnya, kepala lelaki itu direnggut
secara paksa dari tubuhnya.
Darah segar menyembur keluar membasahi
tanah merah yang kering. Dalam waktu singkat,
dua penjaga makam itu tewas secara mengerikan.
Keheningan malam adalah saksi bisu peristiwa itu
Angin dingin bertiup semakin keras membawa
butir-butir air yang berjatuhan ke bumi. Rembulan
dan bintang-bintang telah lenyap tertutup awan
hitam pekat Gerimis pun turun perlahan
membasahi bumi.
"He he he...!"
Sosok jangkung berwajah putih tanpa mengenakan pakaian atas itu, terkekeh parau.
Dengan menenteng dua kepala di kanan dan
kirinya, sosok itu bergerak melewati makammakam yang berjejer. Meskipun tanah yang
dipijaknya telah basah oleh tetesan air hujan, tapi
tidak meninggalkan jejak sedikit pun saat sosok
jangkung itu melangkah.
Rintik hujan bertambah deras saat sosok
jangkung itu semakin jauh memasuki daerah
pekuburan. Sosok itu tidak mempedulikan air hujan
yang membasahi sekujur tubuhnya. Langkahnya
tetap tenang dan tidak terlihat tergesa-gesa.
Cukup lama sosok jangkung itu melangkah di
sisi makam yang berjejer di kiri dan kanannya.
Semak perdu banyak tumbuh di atas makammakam tak terurus. Mungkin karena letaknya
terlalu jauh dari pintu gerbang, maka sanak
keluarganya enggan mengurus. Sehingga dibiarkan
telantar begitu saja.
Saat hampir mencapai ujung pemakaman, sosok
jangkung itu tiba-tiba meloncat ke dalam sebuah
liang lahat yang menganga lebar. Kemudian lenyap
bersama suara gemuruh yang ditimbulkannya.
"Hieh heh heh...!"
Suara parau yang menyakitkan telinga
berkumandang memenuhi pelosok daerah pe
kuburan itu. Semakin lama kian mengecil hingga
lenyap sama sekali.
Bersamaan dengan lenyapnya tawa parau yang
menyeramkan itu, rintik hujan pun berhenti.
Rembulan kembali muncul, ditemani bintangbintang yang berkedip jenaka. Suasana pekuburan
kembali hening dan sunyi. Hembusan angin
sesekali bertiup keras.
---ooo0myr0ooo--2 Hari masih pagi Matahari baru saja muncul
dengan sinarnya yang redup. Tiupan angin pun
masih terasa dingin menyentuh kulit Kicauan
burung yang terdengar sesekali, membuat suasana
pagi itu terasa cerah.
Dua sosok tubuh tampak melangkah memasuki
mulut Desa Palasari. Mendadak kening mereka
berkerut dengan wajah menggambarkan keheranan. Sejenak keduanya saling pandang,
kemudian kembali menatap penduduk desa yang
terlihat berduyun-duyun menuju ke satu arah.
"Ada apa ya, Kakang" Melihat wajah-wajah
mereka, sepertinya ada suatu peristiwa mengerikan
yang baru saja terjadi...," ujar dara jelita
berpakaian serba hitam. Matanya memperhatikan
penduduk Desa Palasari yang hampir semua
menyiratkan ketegangan di wajahnya.
Pemuda tampan berpakaian serba putih, yang
berjalan di sebelah kanan dara jelita itu
menggeleng perlahan. Pemuda itu tengah
memandang orang-orang yang berduyun-duyun
menuju utara desa.
"Entahlah. Aku belum bisa menduganya. Tapi
melihat wajah-wajah mereka, rasanya memang ada
suatu peristiwa yang menghebohkan," sahut
pemuda berjubah putih itu setelah terdiam
beberapa saat. "Mungkin ada perampok yang mengganas di
desa ini semalam. Lalu ada keluarga yang menjadi
korban...," duga dara jelita itu seraya berpaling dan
menatap pemuda tampan di sebelahnya. Seolah
hendak meminta tanggapan atas dugaannya.
"Hm.... Mungkin dugaanmu benar...," jawab
pemuda itu tanpa berpikir lagi. Kemudian langkah
kakinya dipercepat untuk menyusul rombongan
orang-orang itu.
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang..."!" seru
dara jelita itu, bergegas mengikuti langkah
kawannya. "Aku hendak bertanya pada salah seorang dari
mereka...," jawab pemuda tampan berjubah putih,
tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.
Dara jelita berpakaian serba hijau itu tidak
berkata apa-apa lagi. Langkahnya dipercepat untuk
menjajari langkah pemuda tampan yang tidak lain
Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga
Putih. "Paman, boleh aku bertanya sedikit..?" sapa
Panji, setelah dapat menyusul langkah seorang
lelaki berusia empat puluh tahun, yang wajahnya
kecoklatan. Lelaki itu tidak berusaha menghentikan
langkahnya. Bahkan, semakin dipercepat seraya
menatap pemuda tampan berjubah putih dengan
sinar mata tajam menyelidik. Ada kilatan curiga di
mata petani itu.
"Kau siapa, Kisanak" Dari mana asalmu...?"
Lelaki berwajah kecoklatan itu malah melemparkan pertanyaan kepada Panji. Nada
suaranya memperlihatkan kecurigaan yang nyata.
Tapi Pendekar Naga Putih tidak memperlihatkan
sikap tersinggung. Bahkan senyumnya mengembang. Seolah ingin mengatakan bahwa
kecurigaan petani itu tidak beralasan.
Berbeda dengan dara jelita berpakaian serba
hijau yang tak lain Kenanga. Sepasang matanya


Pendekar Naga Putih 64 Gerombolan Setan Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang bulat dan jernih berkilat sejenak. Dan,
kembali biasa saat melihat gelengan pemuda
berjubah putih itu. Tampaknya, Kenanga tidak
ingin membantah isyarat kekasihnya, hingga
memilih diam. "Kami berdua adalah pengembara yang tidak
mempunyai tempat tinggal. Kebetulan pagi ini tiba
di Desa Palasari. Melihat para penduduk berduyunduyun menuju utara desa, kami jadi tertarik dan
ingin menanyakannya pada Paman. Kami akan
sangat berterima kasih bila Paman mau
memberitahukannya...," sahut Panji dengan halus
dan sopan. Kecurigaan petani itu tampak agak berkurang.
Sikap dan cara berbicara pemuda itu agaknya telah
menimbulkan rasa suka di hatinya.
"Hm".. Sebetulnya aku pun belum tahu jelas,
Kisanak. Tapi, kalau memang ingin mengetahui,
lebih baik kau ikut dengan rombongan ini...," jawab
petani itu agak malu.
"Huh! Kalau tidak tahu, mengapa mencurigai
orang segala..."!" omel Kenanga jengkel. Untung
ucapan itu agak pelan, sehingga tidak tertangkap
jelas oleh petani itu.
Mendengar jawaban petani berwajah kecoklatan itu, Panji dan Kenanga yang mengaku
sebagai pengembara, tidak berbicara lagi. Mereka
segera mengikuti rombongan orang desa.
Tidak berapa lama kemudian, rombongan itu
tiba di depan sebuah rumah sederhana yang
dipenuhi orang. Rasanya, sangat sulit untuk
melihat isi rumah. Pagar halaman depannya pun
tidak dapat dilihat lagi Orang yang memadati
tempat itu terlalu banyak.
Merasa penasaran. Panji dan Kenanga
menyeruak kerumunan orang itu. Aneh, penduduk
yang berkerumun tidak menghalangi perbuatan
mereka. Entah pengaruh apa yang dimiliki
pasangan muda ini. Dengan mudah mereka
bergerak maju sampai pagar halaman depan
rumah itu "Siapa mereka..." Mengapa begitu mudah
menyeruak kerumunan orang banyak...?"
Petani berwajah kecoklatan merasa heran
karena sewaktu berusaha menyeruak seperti
pasangan muda itu, tubuhnya terombang-ambing
ke kiri dan kanan. Bahkan terjepit padatnya orangorang yang berada di tempat itu. Sehingga, ia
kembali bergerak ke luar. Itu pun dilakukan dengan
susah-payah sampai wajahnya berkeringat. Padahal kalau melihat bentuk tubuhnya yang tegap
dan biasa bekerja keras, dia jauh lebih kuat dari
dara jelita berpakaian hgau. Tapi, kenyataannya
lain. Petani itu pun menggeleng tak habis mengerti.
Sementara itu, Panji dan Kenanga telah berada
di barisan depan. Mereka dapat melihat dengan
jelas pemandangan yang terbentang di depan
matanya. Benda seukuran tubuh manusia itu
ditutupi selembar tikar dari kaki hingga kepala.
Tapi, Panji tahu benda itu adalah sesosok mayat Di
halaman depan rumah sedernaha itu masih
terdapat tiga lainnya, yang ukurannya berbedabeda. "Rupanya keluarga ini terbunuh semalam,
Kakang..," gumam Kenanga yang berdiri di sebelah
kekasihnya. "Aku rasa juga demikian. Kemungkinan besar
perampok yang melakukannya. Tapi aku heran.
Mengapa tidak keluarga kaya yang menjadi sasaran
mereka" Keluarga sederhana seperti ini tentu tidak
memiliki banyak harta. Untuk hidup pun mereka
harus bekerja keras membanting tulang...," tukas
Panji, membantah dugaannya sendiri. Memang sulit
dipercaya bila keluarga yang sangat sederhana itu
didatangi perampok. Padahal, keluarga-keluarga
kaya di Desa Palasari tidak sedikit jumlahnya.
"Kalian pasti bukan orang desa ini...," ujar
seorang lelaki kurus berusia lima puluh tahun yang
berdiri di sebelah Kenanga. Tampaknya dia
mendengarkan percakapan pasangan muda itu.
Kemudian gagal menahan diri untuk tidak ikut
campur. "Memang bukan, Paman. Kami berdua kebetulan
singgah di desa ini Tapi penduduk yang
berbondong-bondong
menuju tempat ini, mengundang rasa ingin tahu kami. Hingga,
sampailah kami di tempat ini...," sahut Panji seraya
tersenyum ramah kepada lelaki kurus itu.
"Apa sebenarnya yang terjadi dengan keluarga
ini, Paman" Rasanya tidak mungkin mereka
terbunuh oleh perampok...," tanya Kenanga.
Kesempatan itu segera dimanfaatkan dara jelita itu
untuk mencari keterangan mengenai peristiwa ini.
"Mari ikut aku..," bisik lelaki separuh baya,
segera menyeruak kerumunan orang. Kemudian,
melangkah meninggalkan tempat itu
Pasangan muda itu jadi penasaran. Tanpa
banyak cakap lagi, keduanya bergerak keluar dari
kerumunan penduduk dan mengikuti langkah lelaki
kurus itu. "Jangan terlalu dekat! Kalian harus berpura-pura
tidak sedang mengikuti aku! Itu bisa berbahaya...,"
bisik lelaki separuh baya bertubuh kurus itu.
Langkahnya dipercepat, sehingga pasangan muda
itu tertinggal hampir satu tombak.
Bisikan lelaki kurus itu menimbulkan rasa heran
keduanya. Tapi, mereka tidak membantah dan
segera memperlambat langkahnya. Mereka terpisah
empat tombak jauhnya. Banyaknya penduduk yang
lalu-lalang, membuat mereka tidak begitu
diperhatikan orang. .
"Hm.... Peristiwa ini semakin bertambah aneh
saja, Kakang...," bisik Kenanga.
"Ya. Rupanya, ada suatu misteri yang
menyelimuti desa ini. Lelaki tua itu kelihatannya
tahu banyak. Mudah-mudahan kita bisa memperoleh keterangan darinya...," sahut Panji,
berbisik. Mereka menjaga pembicaraan agar tidak
sampai terdengar orang lain, seperti pesan orang
tua bertubuh kurus itu.
Lelaki tua bertubuh kurus terus bergerak
meninggalkan Desa Palasari. Dan, terus melangkah
tanpa menoleh. Setelah cukup jauh meninggalkan
mulut desa, lelaki kurus itu tidak menunjukkan
tanda-tanda akan menghentikan langkahnya.
Sedangkan pasangan muda yang mengikutinya,
mulai mengerutkan kening. Mereka heran melihat
orang tua itu belum juga mau berhenti. Agaknya,
dia sengaja menjauhi Desa Palasari untuk
membicarakan peristiwa tadi.
"Hendak dibawa ke mana kita, Kakang..." Apa
ini tidak mencurigakan...?" bisik Kenanga yang
mulai tidak sabar. Setelah cukup jauh berjalan,
orang tua itu masih terus saja melangkah.
"Hm.... Kita lihat saja nanti. Mungkin yang akan
dibicarakannya memang sangat penting dan
rahasia. Sehingga, memilih tempat yang aman dan
tidak diketahui orang...," sahut Panji tenang, tanpa
rasa curiga sedikit pun.
Tidak berapa lama kemudian, mereka menyeberangi sebuah sungai yang cukup deras.
Lelaki separuh baya bertubuh kurus itu telah
berada 65 seberang, dan tengah duduk di sebuah
batu di tepi sungai.
"Berjalanlah ke sebelah kiri kira-kira enam
tombak Di sana kalian akan menemukan sebuah
jembatan dari batang pohon kelapa...!" seru lelaki
tua itu. Tanpa banyak bicara lacp, Panji dan Kenanga
segera mengikuti petunjuk yang diberikan lelaki tua
itu. Benar saja. Sekitar enam tombak dari tempat
semula, terdapat sebuah jembatan dari batang
pohon kelapa. Keduanya bergegas menyeberang.
Lelaki tua bertubuh kurus memandangi cara
pasangan muda itu menyeberang. Meskipun tidak
terlalu cepat namun mereka tidak mengalamai
kesulitan. Bahkan, kelihatan seperti tengah berjalan
di atas tanah datar saja.
"Hm.... Sudah kuduga. Pasangan muda itu pasti
merupakan kaum rimba persilatan. Dari cara
mereka menyeberang, kelihatan ilmu meringankan
tubuhnya sudah cukup tinggi...," gumam lelaki
kurus itu. Ada sinar kekaguman di matanya melihat
cara pasangan muda itu menyeberang.
"Bagaimana, Orang Tua" Apakah tempat ini
sudah cukup aman dari orang-orang yang kau
khawatirkan...?" tanya Panji langsung, begitu tiba
di depan orang tua itu.
"Hm.... Rupanya kau sudah tidak sabar, Kisanak...?" senyum tipis di bibir lelaki tua itu terukir.
Dia bergerak bangkit menyambut kedatangan
pasangan muda itu.
"Bukan aku tidak sabar, Orang Tua. Tapi aku
merasa heran. Semula aku menganggap persoalan
yang menimpa penduduk Desa Palasari merupakan
hal sepele. Tapi melihat kau sangat berhati-hati
membicarakannya, aku mulai berpikir lain. Mungkin
apa yang akan kau ceritakan pada kami sangat
berbahaya," tukas Panji tenang.
"Hm.... Apa sebenarnya yang ingin kalian
ketahui...?" tanya lelaki tua itu yang kembali duduk
di atas sebuah batu. Sikapnya seperti orang yang
tidak tahu maksud pasangan muda itu. "Hm...."
Kenanga kelihatan sangat tersinggung karena
merasa dipermainkan. Ingin rasanya menempeleng
pipi lelaki tua itu. Tapi niatnya terpaksa dibatalkan
karena Panji keburu mencegahnya. Dan
mengambil aHh persoalan.
'Terlebih dulu, silakan perkenalkan nama
kalian...," ujar lelaki kurus itu saat melihat Panji
hendak berbicara.
"Baiklah...," ucap pemuda tampan itu masih
tetap tenang dan sabar. "Namaku Panji. Sedangkan
gadis ini tunanganku. Namanya Kenanga."
"Hm.... Panji dan Kenanga. Nama yang bagus
dan gagah," puji lelaki kurus itu perlahan.
Kemudian, menoleh dan mengulurkan telapak
tangannya ke arah Panji.
"Apa ini..?" tanya Panji meminta ketegasan atas
sikap orang tua itu.
"Kalian hendak mencari keterangan dariku,
bukan?" tegas lelaki tua itu Keningnya berkerut
saat mendengar pertanyaan Panji yang dianggapnya pertanyaan bodoh.
"Hm.... Maksudmu kau ingin meminta imbalan
atas jawaban-jawaban yang akan kau berikan
kepada kami...?" tanpa Panji menegasi.
"Tidak ada sesuatu yang cuma-cuma di atas
dunia ini, Anak Muda. Kau memerlukan keterangan,
aku memerlukan uang. Adil, bukan?" jelas lelaki
kurus itu sambil memperlihatkan senyum liciknya.
Ucapan orang tua itu membuat Panji tertegun.
Setelah bersusah-payah mengikuti langkahnya,
ternyata mereka hanya dipermainkan. Pemuda itu
menghela napas panjang menahan kejengkelan
hatinya. Tapi tidak dengan Kenanga. Begitu mendengar
ucapan lelaki kurus itu, dia langsung saja bangkit
Dan tahu-tahu, tangan kanannya telah mencengkeram leher baju lelaki tua itu.
"Kurang ajar! Kau pikir siapa kami sehingga bisa
kau permainkan seperti ini"!" geram dara jelita itu
Tubuh kurus itu kemudian dilemparkan ke tanah
berumput "Hei..."!"
Kaget bukan main lelaki tua bertubuh kurus itu.
Sungguh tak disangkanya kalau gadis jelita yang
kelihatan lemah lembut itu, ternyata mampu


Pendekar Naga Putih 64 Gerombolan Setan Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melemparkan tubuhnya. Padahal dia sendiri bukan
orang lemah. Meski tak terlalu lihai, tapi soal ilmu
silat sedikit-sedikit dikuasainya. Kemarahannya pun
bangkit Tampaknya, dia belum yakin kalau gadis
jelita itu yang telah melemparkannya barusan.
"Hm.... Jangan kira aku dapat kau paksa. Gadis
Liar! Aku Ki Sola, pantang dihina orang! Apalagi
oleh seorang gadis!" geram lelaki tua bertubuh
kurus itu seraya memperlihatkan jurusnya. Siap
untuk menyerang Kenanga.
Melihat gelagat yang tak menyenangkan itu,
Panji segera menengahi. Pemuda itu berpaling ke
arah kekasihnya, dan membujuk dara jelita itu agar
menahan kemarahannya.
"Ki Sola," ujar Panji setelah dapat membujuk
kekasihnya. "Kami akan membayar jika keterangan
yang kau berikan benar. Tapi ingat! Kalau ternyata
keteranganmu bohong, aku akan memberikan
pelajaran padamu...."
Ancaman pemuda itu membuat hati Ki Sola
bergetar. Apalagi, sinar mata pemuda itu demikian
tajam. Hingga dadanya berdebar keras.
"Baik..., baik...," sahut lelaki tua itu mendadak
gugup. "Nah, duduklah. Lalu jelaskan kepada kami apaapa yang kau ketahui...," ujar Panji.
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Sola melangkah dan
duduk di sebelah pemuda tampan berjubah putih
itu. ---ooo0myr0ooo--"Sebenarnya peristiwa itu bukan baru kali ini
terjadi. Sudah ada empat keluarga yang menjadi
korban, sebelum yang kalian saksikan tadi. Mereka
bukan perampok, karena tak satu pun harta yang
diambil dari rumah korban. Yang lebih aneh adalah
cara korban-korban itu menemui ajalnya. Pada
bagian dahi mereka terdapat tanda tiga jari, yang
langsung menembus batok kepala!"
Ki Sola menghentikan ceritanya, seperti hendak
melihat tanggapan Panji dan Kenanga. Tapi, kedua
erang muda itu tidak memperlihatkan sikap kaget
atau ngeri Ki Sola menjadi heran.
"Apakah keteranganmu hanya sekian...?" tanya
Panji. Setelah menunggu beberapa saat, orang tua
itu belum juga melanjutkan ceritanya.
"Apa lagi yang ingin kau ketahui, Panji...?" tanya
Ki Sola yang rupanya sudah kehabisan cerita.
"Mengenai pembunuh itu. Apa sudah ada orang
yang pernah memergokinya?" tanya Panji seraya
menatap wajah orang tua itu lekat-lekat
"Aku sendiri belum pernah bertemu atau
melihatnya...," sahut Ki Sola seraya mengalihkan
pandang ke tempat lain. Lelaki tua itu merasa ngeri
menentang pandang mata Panji yang demikian
tajam bagaikan mengiris-iris jantung.
"Bagaimana dengan orang lain" Dan, apakah
pembunuhan itu hanya terjadi pada malam hari
saja?" desak Panji. Pemuda itu mulai dapat
menebak, Ki Sola hanya mendengar dari orang lain
dan tidak mengetahui secara pasti kejadian yang
sebenarnya. "Menurutku, belum ada orang yang memergoki
pembunuh itu. Sedangkan kejadiannya memang
selalu malam hari. Itu pun tidak setiap malam...,"
jelas Ki Sola tak berani mengangkat wajah.
Rupanya, ia telah salah menilai orang. Semula ia
hendak memeras pasangan muda itu dengan
keterangan-keterangan
palsu. Kini keadaan berbalik, dirinya yang tunduk dan takluk kepada
pemuda tampan berjubah putih itu.
"Hm.... Tidak adakah orang-orang yang patut
dicurigai di desa itu...?" tanya Panji, berusaha
memancing pendapat Ki Sola mengenai pelaku
pembunuhan. "Rasanya tidak. Kalaupun ada, kepala desa kami
pasti telah menyelidikinya dengan cermat Tapi,
sampai saat ini belum nampak tanda-tanda siapa
pembunuh keji itu...."
"Terima kasih, Ki Sola. Keteranganmu rasanya
sudah cukup. Nah! Terimalah hadiahmu...," ujar
Panji sambil memberikan lima keping uang kepada lelaki tua itu, yang langsung menerimanya
dengan wajah cerah.
"Terima kasih...," ucap Ki Sola. Kemudian
menyimpan uang itu ke dalam kantung di
pinggangnya. "Kami pergi dulu...," pamit Panji segera
mengajak Kenanga meninggalkan tempat itu.
Kali ini Panji tidak menggunakan jempatan
batang pohon kelapa untuk menyeberangi sungai.
Tubuhnya langsung melayang di atas air. Pada saat
meluncur turun, kakinya menotol permukaan air
hingga kembali melayang. Kemudian menjejakkan
kakinya di seberang sungai.
Lain lagi yang dilakukan Kenanga. Dara jelita itu
membawa dua batang ranting. Tubuhnya
melompat ke tengah sungai Pada saat meluncur
turun, kayu di tangannya dilemparkan dan
digunakan gadis itu sebagai landasan berpijak.
Tubuh langsing terbungkus pakaian serba hijau itu
kembali melayang dan menjejakkan kakinya di
dekat Panji. "Gila..."! Setankah mereka..." Atau seorang
dewa dan dewi..."!" desis Ki Sola sangat kaget
menyaksikan perbuatan pasangan muda itu
Mulutnya menganga lebar. Dan, matanya terbelalak
bagai melihat hantu di siang hari.
Panji serta Kenanga memang sengaja menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya. Hal itu dimaksudkan untuk memberi
pelajaran pada Ki Sola, agar lain kati tidak
meremehkan orang yang baru dikenalnya.
Tanpa mempedulikan keheranan lelaki kurus itu,
mereka meninggalkan tepi sungai. Sebentar
kemudian, tubuh keduanya lenyap dari pandangan
Ki Sola. "Aaa...!"
Mendengar jerit kematian Ki Sola, Panji dan
Kenanga menahan langkah. Mereka tampak sangat
terkejut Sungguh tak pernah disangka kalau di
tempat itu ada orang jahat yang tengah mengincar
Ki Sola. "Hm.". Jangan-jangan ini permainan saja,
Kakang," ujar Kenanga ragu.
"Kita lihat saja dulu. Jika benar ini hanya
permainan Ki Sola, tidak ada sulitnya meninggalkan
lelaki tua itu," bantah Panji yang merasa berat
meninggalkan Ki Sola setelah mendengar jerit
kema-tian lelaki tua itu.
Kenanga terpaksa mengalah. Mereka segera
kembali ke tempat Ki Sola. Dan, yang mereka
temukan benar-benar sesuatu yang mengejutkan.
Tubuh Ki Sola terbujur tewas dengan dahi
berlubang. "Kurang ajar! Pembunuh itu rupanya telah
mengetahui kedatangan kita...," desis Panji setelah
melihat cara kematian Ki Sola yang sama dengan
korban-korban pembunuhan di Desa Palasari.
"Kita kejar saja, Kakang...," usul Kenanga
sangat penasaran melihat pembunuh keji itu
"Percuma. Pembunuh itu pasti telah lari jauh.
Sebaiknya kita kembali ke desa," ajak Panji.
Kemudian melesat meninggalkan tempat itu.
Dan tanpa banyak bicara lagi, Kenanga pun
menyusul. Sebentar saja, tubuh pasangan
pendekar muda itu segera lenyap ditelan rimbunan
pohon. ---ooo0myr0ooo--3 Rombongan penduduk Desa Palasari yang
berjumlah cukup besar, bergerak melintasi jalan
utama desa. Paling depan tampak seorang lelaki
gagah berusia sekitar lima puluh tahun Wajahnya
agak pucat dengan sepasang mata merah,
pertanda kurang tidur. Lelaki itu jadi terlihat lebih
tua sepuluh tahun dari usia sebenarnya. Dia adalah
Ki Kaligandi, Kepala Desa Palasari.
Lelaki tua bertubuh gagah itu dikawal oleh dua
orang lelaki berbadan tegap. Yang seorang
berkumis lebat, sedangkan yang satu berhidung
besar. Keduanya tampak gagah, meskipun wajah
mereka kelihatan agak pucat
Di belakang ketiga lelaki Sesepuh Desa Palasari
itu terlihat empat buah keranda yang dipikul enam
belas orang. Mereka sedang menuju pekuburan
tempat pemakaman sanak keluarganya.
Saat itu matahari sudah naik agak tinggi.
Sinarnya yang kuning keemasan menerobos
dedaunan dan menerangi tanah di bawahnya.
Untung udara tidak terlalu panas. Sehingga,
mereka tidak epat lelah menempuh perjalanan
yang cukup sulit itu. Menjelang setengah
perjalanan, para pemikul keranda diganti. Hal itu
memungkinkan, karena jumlah mereka sekitar lima
puluh orang, dan kebanyakan laki-laki. Yang
wanitanya bisa dihitung dengan jari tangan.
Saat matahari sudah semakin tinggi, rombongan
itu pun tiba di daerah pekuburan. Hembusan angin
terasa agak keras. Tempat itu memang merupakan
tanah lapang yang sangat luas. Itu salah satu
penyebab, mengapa daerah itu dibuat untuk tanah
pemakaman. "Hm.... Ke mana Lajang dan Ki Jasman...?"
gumam Ki Kaligandi heran ketika melihat kedua
penjaga pemakaman tidak muncul menyambut
mereka. "Bukankah mereka yang bertugas
menjagai tanah pemakaman ini..?"
"Benar, Ki," sahut lelaki berhidung besar yang
berdiri di sebelah kiri Ki Kaligandi. "Mungkin
mereka masih tertidur dalam pos...."
"Hm.... Coba kalian lihat. Apa benar mereka
masih tertidur sesiang ini...?" perintah Ki Kaligandi
kepada dua pembantu utamanya. Kepala desa itu!
merasa ada sesuatu yang meresahkan hatinya.
"Baik, Ki!" sahut mereka seraya melangkahi
pergi. Ki Kaligandi menghentikan rombongan. Dan,
menyuruh mereka beristirahat sejenak sambil
menunggu kedua pembantu utama kepala desa itu.
Saat Ki Kaligandi baru saja duduk di bawah
sebatang pohon rindang, tiba-tiba terdengar
teriakan kaget. Cepat lelaki itu bangkit dan
memandang heran dua orang pembantu utamanya
yanag berlarian menghampirinya.
"Ada apa..." Apa yang terjadi..."!" tegur Ki
Kaligandi. Keningnya berkerut melihat wajah kedua
orang pembantunya sangat pucat
Kedua lelaki tegap itu tidak bisa menjawab
pertanyaan kepala desanya. Napas mereka sedang
memburu, sehingga sulit memberikan jawaban.
"Ada apa, Bagola?" tanya Ki Kaligandi setengah
membentak. Lelaki itu sudah tidak sabar ingin
segera mengetahui apa yang dilihat kedua
pembantunya. Bagola, lelaki tegap berhidung besar terpaksa
mengangkat kepala. Tampak jelas dia terkejut
mendengar bentakan kepala desanya.
"Lajang..., dan Ki Jasman..., telah tewas dengan
leher putus! Kepala mereka..., hilang entah ke
mana...," lapor Bagola dengan napas memburu.
Kendati demikian, ucapan itu tertangkap jelas oleh
Ki Kaligandi "Apa kalian tidak salah lihat..?" Ki Kaligandi
mencoba menegasi. Mungkin saja kedua pembantu
utamanya itu salah melihat karena terlalu terburuburu. "Kami yakin, Ki...," tegas Bagola tanpa keraguan
sedikit pun. Bahkan, berani menentang pandang
mata lelaki tua itu untuk meyakinkannya.
"Hm.... Ayo ikut aku...!" ajak Ki Kaligandi
melihat mayat-mayat yang telah mereka temukan.
Kepala Desa Palasari itu tampaknya belum yakin
dengan laporan kedua pembantunya. Ki Kaligandi
melangkah perlahan dengan jari-jari siap di hulu
pedang, siap menghadapi segala kemungkinan
yang terjadi. "Itu mayat mereka, Ki...!" seru Bagola. Jari
telunjuknya diarahkan pada dua sosok mayat yang
terbujur kaku tanpa kepala. Mayat Lajang dan Ki
Jasman, yang bertugas menjaga tanah pekuburan.


Pendekar Naga Putih 64 Gerombolan Setan Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iblis keji...!" geram Ki Kaligandi ketika melihat dua anak buahnya yang tewas
tanpa kepala. Kelihatan sekali orang tua itu sangat terguncang.
Peristiwa yang satu belum terungkap, kini jatuh
korban lagi yang keadaannya jauh lebih
mengerikan dari mayat-mayat yang mereka bawa.
Penemuan dua mayat itu membuat kepalanya
semakin pening.
Mendadak terdengar teriakan-teriakan ketakutan
dan suara dentang senjata. Ki Kaligandi dan kedua
orang pembantunya tersentak kaget
"Kurang ajar! Siapa lagi yang membuat
kekacauan itu"!" geram Ki Kaligandi marah bukan
main. Cepat tubuhnya melayang dengan pedang
terhunus. Dan, langsung menceburkan diri dalam
kancah pertempuran.
Bagola dan lelaki tegap berkumis lebat tidak
mau ketinggalan. Keduanya segera menghunus
senjata dan membantu kawan-kawannya menggempur lawan.
Ki Kaligandi dan kedua pembantunya kelihatan
sangat terkejut Orang yang menyerang rombongan
mereka berdandan sangat aneh. Warna wajahwajah mereka berbeda-beda. Mereka jelas bukan
perampok-perampok biasa.
"Aaa...!"
Dua orang anggota rombongan tersungkur
tewas dengan tubuh bermandikan darah. Terkena
sambaran senjata lawan yang berupa golok besar
bergerigi. Keadaan jadi semakin kacau. Warga desa
yang tidak memiliki kepandaian silat, berlarian kian
kemari sambil berteriak-teriak ketakutan
"Bagola, Dinta! Lindungi para penduduk itu!"
teriak Ki Kaligandi yang tengah menghadapi dua
orang berwajah merah.
Bettt, bettt! Kesempatan itu segera digunakan lawan untuk
menerjang maju. Untunglah Kepala Desa Palasari
itu cukup tangguh dan gesit Sehingga berhasil lolos
dari sambaran golok lawan. "Yeaaah...!"
Ki Kaligandi yang terkejut melihat kelihaian wan
memekik keras, sambil melancarkan serangkaian
serangan maut yang berdesing tajam.
Namun, kedua lawannya yang berwajah merah
memang benar-benar tangguh. Serangkaian
serangan yang dilancarkan Ki Kaligandi dapat
mereka hadapi dengan baik. Bahkan, mampu
melepaskan serangan balasan yang sangat cepat
dan berbahaya. "Kurang ajar! Orang-orang gila dari mana
mereka ini" Mengapa memusuhi warga desaku...?"
desis Ki Kaligandi seraya memutar senjatanya
untuk melindungi tubuh dari hujan serangan lawan.
Pertempuran tampak semakin hebat, saat Ki
Kaligandi mengerahkan seluruh kemampuannya.
Lelaki tua itu ingin segera merobohkan lawan.
Karena masih banyak orang yang harus
diselamatkan dari keganasan gerombolan aneh itu.
Sementara itu, Bagola dan Dinta menemui
lawan yang seimbang! Sehingga, tidak mempunyai
kesempatan membantu kawan-kawannya. Mereka
sendiri pun harus mempertahankan nyawanya
dengan sekuat tenaga.
Di saat warga Desa Palasari sudah tidak
mempunyai harapan lagi, tiba-tiba melayang dua
sosok bayangan putih dan hijau. Kedua sosok itu
langsung menerjunkan diri ke dalam kancah
pertarungan. "Hiaaat..!"
Sosok tubuh langsing terbungkus pakaian serba
hijau, langsung mengibaskan pedang bersinar putih
keperakan yang memancarkan hawa dingin. Sekali
bergerak, pedang di tangannya menewaskan
seorang lawan dengan usus terburai!
Lain lagi dengan sosok bertubuh sedang yang
terbungkus jubah putih. Sosok yang ternyata
seorang pemuda tampan itu membagi-bagi pukulan
dan tendangannya ke arah empat orang lawan
yang berada di dekatnya. Hebat dan benar-benar
mengagumkan sepak terjangnya. Dalam waktu
singkat, keempat pengeroyoknya dapat dirobohkan
hanya dengan tangan kosong.
Melihat ada bala bantuan, Ki Kaligandi dan
kedua pembantunya jadi tambah bersemangat
Sehingga, kepala desa itu dapat merobohkan
seorang lawan dengan sabetan pedangnya.
Keadaan pun berbalik secara mengejutkan.
Gerombolan orang-orang aneh berwajah merah
menjadi terdesak. Jumlah mereka berkurang
separuh setelah munculnya dua sosok tubuh
berkepandaian hebat itu Salah seorang anggota
gerombolan segera berteriak memerintahkan
kawan-kawannya mundur. Jumlah mereka yang
tinggal sepuluh orang, bergerak mundur sambil
melindungi tubuh dengan golok besarnya.
"Heaaat..!"
Pemuda tampan berjubah putih rupanya tidak
ingin membiarkan gerombolan itu melarikan diri.
Dengan sebuah lesatan panjang, pemuda itu
mengejar lawan-lawannya. Kaki dan tangannya
bergerak cepat menerbitkan hawa dingin menusuk
tulang Lawan-lawannya pun menjadi semakin
gentar. Plakkk! Bukkk! Dua orang gerombolan berwajah merah
tersungkur mencium tanah. Mereka tewas dengan
kepala retak, serta dada remuk oleh tendangan dan
tamparan keras pemuda tampan itu.
"Hiaaat..!"
Tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi. Disusul
munculnya sesosok tubuh ramping terbungkus
pakaian merah. Wajahnya ditutupi cadar merah,
seperti halnya gerombolan liar itu. Begitu tiba,
serangkaian serangan kilat dilancarkan ke arah
pemuda tampan berjubah putih, yang telah
memporak-po-randakan gerombolan liar itu.
Bak! Plak! Terdengar benturan keras yang menulikan
telinga sebanyak dua kali. Tubuh ramping
terbungkus pakaian serba merah tersentak ke
belakang. Namun dengan sebuah putaran yang
indah, tubuhnya melambung ke udara dan
meluncur turun.
Pemuda tampan berjubah putih terlihat
mengerutkan kening dengan wajah heran. Pemuda
itu mencium bau asap pendupaan. Dugaannya, bau
itu berasal dari sosok tubuh ramping berpakaian
serba merah, yang barusan memapak! serangannya. Sosok ramping berpakaian serba merah, yang
sebagian wajahnya tertutup cadar dengan warna
sama, menatap sosok pemuda tampan berjubah
putih penuh selidik. Kemudian, berbalik dan
memberi isyarat pada kawan-kawannya untuk
segera pergi dari tempat itu. Agaknya, sosok
ramping berpakaian serba merah merupakan
pimpinan gerombolan liar itu. "Berhenti...!"
Melihat gerombolan berwajah merah hendak
melarikan diri, pemuda berjubah putih melesat
melakukan pengejaran. Tubuhnya melayang bagai
seekor burung besar. Sosok berpakaian merah
yang dari bentuk tubuhnya adalah seorang wanita,
bergegas mempersiapkan jurusnya untuk mencegah. "Biarkan mereka pergi...!" desis wanita itu
seraya melepaskan sebuah pukulan lurus ke depan
menyambut datangnya tubuh lawan.
"Heaaah...!"
Pemuda berjubah putih yang tidak lain Panji,
membentak perlahan. Tangan kirinya dikibaskan ke
samping dengan mengerahkan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan'.
Namun, wanita berpakaian serba merah itu
rupanya cukup gesit Merasa kekuatannya di bawah
lawan, maka arah pukulannya segera diubah. Kali
ini dengan bacokan sisi telapak tangan yang
mengincar iga lawan.
Dukkk! Gerakan tangan Pendekar Naga Putih ternyata
tidak kalah cepat dengan pembahan gerak wanita
itu. Bacokan sisi telapak tangan lawan dapat dipapaki dengan lengan kirinya. Benturan pun tak
dapat dihindari lagi! "Aaah...!"
Wanita berpakaian serba merah itu mengeluh
tertahan. Tubuhnya terdorong mundur beberapa
langkah. Tenaga dalamnya memang kalah kuat
oleh lawan. Srattt..! Mendadak wanita berpakaian serba merah itu
mencabut sebatang pedang yang berbentuk
melengkung. Sinar kemerahan berpendar menyebarkan bau harum memabukkan. Jelas,
senjata itu telah dilumuri racun mematikan!
"Nisanak! Siapa kau sebenarnya" Mengapa
memusuhi penduduk Desa Palasari...?" tanya Panji
yang bergerak mundur setelah mengetahui senjata
lawan mengandung racun ganas. Pemuda itu
menatap tajam, seolah hendak menembus cadar
merah yang menutup sebagian wajah lawannya.
"Hm.... Kau tidak perlu tahu siapa aku dan
tujuanku, Pendekar Naga Putih! Sebaiknya,
tinggalkan desa ini. Lanjutkan perjalananmu tanpa
harus mengganggu kami...!" tukas wanita bercadar
merah seraya menentang pandang mata Panji
dengan tidak kalah tajamnya. Bahkan, terlihat ada
kilatan aneh pada sepasang mata yang
sekelilingnya dilingkari garis hitam. Persis mata
mayat "Hm.... Pancaran mata wanita berpakaian serba
merah itu mengandung kekuatan sihir...," gumam
Panji. Pemuda itu segera mengerahkan kekuatan
batinnya, agar tidak terpengaruh ilmu sihir lawan
yang disalurkan melalui pandang mata. Untung
tenaga dalamnya lebih tinggi dari wanita bercadar
merah. Kalau tidak sudah pasti dirinya akan
terkena pengaruh sihir lawan.
Wanita berpakaian merah sedikit terkejut ketika
merasakan betapa kuat pengaruh yang terpancar
dari sepasang mata pemuda tampan itu. Sadarlah
ia bahwa Pendekar Naga Putih tidak termakan
tatapan sihirnya.
"Hmhhh...,"
Kesadaran itu membuat wanita bercadar merah
ini geram. Pedang di tangannya bergerak
menyilang menimbulkan suara mengaung tajam.
Dan.... "Heaaat..!"
Disertai sebuah pekikan nyaring, tubuh wanita
bercadar merah melesat ke depan dengan
sambaran sinar merah yang berasal dari badan
pedang- Bettt..! Pendekar Naga Putih menarik mundur tubuhnya
tiga langkah. Kemudian menggeser ke samping,
menghindari serangan susulan lawan. Pemuda itu
menahan napas saat ujung pedang lawan lewat di
depan tubuhnya. Hawa beracun yang keluar dari
badan pedang itu bisa membuat kepalanya pening. "Heaaah...!"
Sambil membentak keras, Panji melepaskan
pukulan ke samping yang mengarah iga lawan.
Bukkk! "Ukhhh...!"
Wanita bercadar merah tidak sempat menghindar. Hantaman pada iganya membuat
tubuhnya terhuyung ke belakang. Jelas, pukulan
keras itu telah membuat dadanya sesak.
"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Tunggulah
pembalasanku...!" desis wanita bercadar merah itu.
Setelah berkata demikian, tangannya dipukulkan
ke bawah tubuhnya. Dan....
Bsss...!

Pendekar Naga Putih 64 Gerombolan Setan Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika itu juga, asap berwarna merah muncul
menutupi sekujur tubuhnya.
"Celaka! Asap beracun! Cepat menyingkir...!"
teriak Panji pada Ki Kaligandi dan yang lainnya!
Pemuda itu sendiri melepaskan pukulan jarak jauh
dengan kedua tangannya. Maksudnya hendak
mengusir asap beracun itu.
Whusss...! Seketika itu juga, asap merah yang berbau
harum itu buyar oleh pukulan jarak jauh Pendekar
Naga Putih. Namun, sosok wanita berpakaian serba
merah itu telah lenyap tanpa bekas.
"Kenanga! Lindungi mereka! Aku akan mencoba
mengejar orang-orang itu...!" seru Panji.
Dan tanpa menunggu jawaban dari kekasihnya,
Pendekar Naga Putih langsung melesat ke arah
tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan.
Dengan mengerahkan ilmu lari cepat, tubuhnya
mele-laksana terbang. Kedua kakinya tidak
menjejak mi Sekilas pandang, pemuda tampan
berjubah putih itu seperti tengah melayang di atas
tanah. Tapi, sosok wanita bercadar merah maupun
gerombolan liar itu, tidak dapat ditemukan. Mereka
lenyap ditelan bumi.
"Hm.... Tidak mungkin mereka hilang begitu
saja" Menurutku mereka pasti belum lari jauh...,"
gumam Panji seraya menghentikan larinya sesaat,
dan berdiri tegak memperhatikan sekelilingnya
yang semakin rapat ditumbuhi pepohonan.
Kemudian, melesat mengelilingi sekitar daerah itu.
Tapi, orang-orang yang dicarinya tidak nampak
batang hidungnya, akhimya, Panji memutuskan
kembali ke rombongan Ki Kaligandi.
"Bagaimana, Kakang...?" Kenanga langsung
nenyambut kedatangan kekasihnya dengan pertanyaan. Panji menggeleng lemah. Gadis jelita itu segera
tahu arti gelengan itu. Kemudian, mereka
melangkah mendekati Ki Kaligandi dan rombongan
yang sudah berkumpul kembali.
---ooo0myr0ooo--4 "Siapa orang-orang aneh itu, Ki...?" tanya Panji
begitu ia dan Kenanga tiba di hadapan Ki Kaligandi,
yang menyongsong kedatangan pasangan pendekar muda itu dengan sikap hormat
"Aku tidak tahu pasti, Anak Muda. Tapi, aku
akan menceritakan sesuatu yang mungkin ada
hubungannya dengan gerombolan orang- orang
seram itu Sebelum itu, sebaiknya kita kuburkan
dulu mayat-mayat ini...," ujar Ki Kaligandi
Panji langsung menyetujui usul Kepala Desa
Palasari itu. Pasangan pendekar muda itu
membantu mengobati penduduk yang terluka. Dan,
mengantar Ki Kaligandi serta rombongannya ke
pekuburan. "Mari singgah ke tempat tinggalku, Panji...."
Ki Kaligandi mengajak Panji dan Kenanga,
setelah mereka selesai menguburkan mayat-mayat
ttu Rupanya, mereka telah saling mengenalkan diri.
Panji merasa lebih enak jika di antara mereka
saling menyebut nama. Ucapan itu menurutnya
terdengar lebih akrab.
"Baiklah, Ki. Kami merasa tertarik dengan
kejadian yang menimpa Desa Palasari. Mudahmudahan kami dapat membantu meringankan
beban di pundakmu..." sahut Panji menerima
ajakan Kepala Desa Palasari karena ingin
membongkar misteri pembunuhan di desa itu.
Tanpa banyak cakap lagi, rombongan itu pun
bergerak meninggalkan tanah pekuburan yang
kembali lengang Mereka tiba di Desa Palasari saat
hari menjelang senja.
Ki Kaligandi langsung membawa Panji dan
Kenanga ke tempat tinggalnya. Lelaki tua itu
memang sangat mengharapkan bantuan pasangan
muda itu, yang diduganya pendekar penegak
keadilan. Ia merasa yakin Panji dan Kenanga dapat
membantunya menyelesaikan masalah ini. Apalagi,
ia sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri
kehebatan pasangan pendekar muda itu.
"Beberapa belas tahun yang lalu, semasa
ayahku menjabat Kepala Desa Palasari, peristiwa
ini pernah terjadi Kemudian mereka lenyap begitu
saja, setelah menimbulkan korban yang tidak
sedikit termasuk ayahku. Kabarnya, kejahatan
Gerombolan Setan Merah itu telah berpindah ke
desa lain. Lalu, aku mengajak penduduk untuk
membangun desa yang telah hancur ini Tapi siapa
sangka sekarang mereka muncul kembali, dan
menyebarkan bencana di desa ini. Rasanya aku
sudah tidak sanggup lagi menanggulangi mereka.
Kalau tadi kalian tidak cepat muncul, mungkin kami
semua sudah tidak bernyawa lagi...," jelas Ki
Kaligandi Saat itu mereka bertiga sedang duduk di
ruang tengah kediaman kepala desa itu.
"Apakah tidak ada orang-orang gagah yang
mengetahui dan mengulurkan tangan untuk
membasmi Gerombolan Setan Merah?" tanya
Kenanga. 'Tentu saja ada. Tapi, Gerombolan Setan Merah
sangat kuat Selain itu, jumlah mereka tidak sedikit,
dan rata-rata berkepandaian tinggi. Kita mem-.
butuhkan banyak orang gagah untuk menghancurkan mereka...," sahut Ki Kaligandi
"Hm.." Kira-kira apa tujuan mereka, Ki...?" tanya
Panji. Pemuda itu menduga ada tujuan
tersembunyi dari gerombolan itu Kalau tidak, mana
mungkin mereka melakukan kejahatan yang keji
seperti itu. "Aku sendiri tidak tahu jelas, Panji. Tapi, ayahku
pernah bercerita bahwa Gerombolan Setan Merah
merupakan penganut ilmu hitam yang mengerikan.
Apa yang mereka lakukan selama ini adalah untuk
memperdalam ilmu-ilmu yang mereka miliki.
Bahkan, kabarnya mereka sanggup membangkitkan
mayat-mayat dari dalam kubur...," jelas Ki
Kaligandi yang terlihat agak ngeri sewaktu
mengatakannya. Tapi, tidak bagi Panji dan Kenanga. Sebagai
pendekar-pendekar perantau, mereka tidak merasa
aneh lagi dengan ilmu-ilmu golongan sesat
Sehingga, ucapan Ki Kaligandi tidak membuat
mereka terkejut Sebaliknya, Kepala Desa Palasari
yang merasa heran melihat ketenangan dua
tamunya. "Kalian tidak terkejut mendengar ilmu-ilmu
mengerikan Gerombolan Setan Merah...?" tanya Ki
Kafigandi yang rupanya tidak bisa menyembunyikan keheranannya.
"Sebagai pengembara, kami telah sering
mendengar ilmu-ilmu kaum sesat yang memang
mengerikan. Jadi, ini bukan sesuatu yang baru bagi
kami..," sahut Kenanga mewakili kekasihnya
menjawab pertanyaan Kepala Desa Palasari.
Ki Kaligandi mengangguk-angguk mendengar
jawaban itu. Melihat kepandaian pasangan
pendekar muda itu, Ki Kaligandi tidak menyangsikannya lagi. Tapi, lelaki tua itu tidak
berani menanyakan julukan pasangan pendekar
muda itu. Disimpannya dalam kepala untuk
menunggu waktu yang tepat. Ia ragu jika
menanyakannya saat itu. Panji dan Kenanga tidak
akan memberikan jawaban yang memuaskan.
Kepala desa itu tahu sifat orang-orang gagah yang
berbudi tinggi. Mereka tidak suka menggembargemborkan nama besarnya.
"Hm.... Apa kalian mempunyai rencana untuk
memberantas mereka...?" tanya Ki Kaligandi
setelah beberapa saat suasana hening.
"Untuk sementara ini rasanya kami belum
mempunyai rencana apa-apa, Ki. Bagaimana
denganmu" Apakah kau mempunyai gagasan?"
tanya Panji balik bertanya.
"Entahlah, Panji. Rasanya aku sudah kehabisan
cara untuk memberantas mereka...," sahut Ki
Kaligandi dengan suara lemah. Terdengar helaan
napas beratnya.
"Jangan putus asa, Ki. Biar bagaimanapun,
kebathilan tidak akan abadi di muka bumi ini.
Selalu saja ada orang yang akan meruntuhkan
kejayaan mereka...," hibur Panji melihat lelaki tua
itu kehi-ngan semangat untuk memberantas
Gerombolan Setan Merah, yang membuat warga
desa itu selalu dibayangi ketakutan.
"Yahhh.... Mudah-mudahan kalian berdualah
orang yang akan meruntuhkan kejayaan Gerombolan Setan Merah...," desah Ki Kaligandi
disertai hembusan napas panjang.
"Kami pun berharap demikian, Ki. Dengan
bekerja sama, mudah-mudahan kita dapat
melenyapkan keganasan Gerombolan Setan
Merah," sahut Panji tanpa sikap takabur sedikit
pun. "Kami berdua akan membantu sekuat tenaga"
sambung Kenanga yang kelihatan sangat
bersemangat untuk menghancurkan Gerombolan
Setan Merah. "Hhh.... Rasanya malam sudah semakin larut
baiknya kalian beristirahat Tempat untuk kalian dah
kusediakan...."
Setelah beberapa saat terdiam, Ki Kaligandi
mempersilakan Panji dan Kenanga untuk beristirahat melepas lelah.
"Sebentar, Ki...," cegah Panji membuat Ki
Kaligandi menahan gerakannya. Dan, menoleh ke
arah pemuda tampan berjubah putih itu.
"Ada yang ingin kau tanyakan, Panji...?" tanya j
orang tua itu kembali duduk dan menatap wajah
tampan di depannya.
"Pada waktu kami tiba di desa ini, ada seorang
lelaki tua bernama Ki Sola. Apakah Aki
mengenalnya...?" tanya Panji ketika teringat lelaki
tua yang memberi sedikit keterangan kepada
mereka dengan imbalan uang.
"Hm.... Apa manusia pemalas yang licik itu
mengganggu kalian?"
Dalam suara Ki Kaligandi tersirat kegeraman
yang berusaha disembunyikan. Tapi, Panji dan
Kenanga menangkap nada kegeraman itu.
"Tidak. Bahkan, dia telah memberi beberapa
keterangan tentang peristiwa yang terjadi di desa
ini...," sahut Panji yang tentu tidak ingin
mengadukan perbuatan Ki Sola.
"Lelaki tua itu tentu meminta imbalan atas
jasanya yang tidak seberapa itu, bukan" Kalian
tidak perlu segan-segan menceritakannya padaku.
Aki sudah hafal dengan sifat Ki Sola. Mungkin saat
in dia tengah mabuk-mabukan di kedai minum...,'
tukas Ki Kaligandi yang rupanya telah mengenal
baik Ki Sola. "Maksudnya memang demikian, Ki. Tapi, aku
memberikannya dengan sukarela. Sayang dia
keburu tewas sebelum sempat menikmati
uangnya...," jelas Panji.
Wajah Ki Kaligandi agak berubah. Kelihatan
sekali orang tua itu cukup terkejut mendengar
kematian Ki Sola. Tapi, berusaha

Pendekar Naga Putih 64 Gerombolan Setan Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyembunyikannya dari pandangan pasangan
pendekar muda itu. Tapi, Panji tidak bisa dikelabui.
Meskipun hanya sekilas, kekagetan sinar mata
lelaki tua itu dapat ditangkapnya.
"Kau tidak ingin mengetahui, bagaimana dan
mengapa Ki Sola tewas?" tanya Panji menegasi.
Pemuda itu ingin mengetahui bagaimana
tanggapan Ki Kaligandi atas kematian Ki Sola.
"Sebenarnya
aku memang tidak suka dengannya. Tapi, apa kira-kira yang menyebabkan
kemasannya...?" akhirnya Ki Kaligandi ingin
mengetahui juga, meski kelihatan tidak sepenuh
hati. "Cara kematian Ki Sola sama dengan korbankorban pembunuhan di desa ini...," sahut Panji
yang membuat wajah Ki Kaligandi kali ini agak
pucat "Maksudmu..., keningnya berlubang oleh tiga
kuah jari..."!" tanya Ki Kaligandi menegasi. Lelaki
itu menjadi tertarik mendengar cara kematian Ki
Sola. "Tepat!" jawab Panji cepat
Panji kemudian menceritakan awal mula
kejadian itu. Sehingga, Ki Kaligandi kelihatan agak
termenung setelah mendengar penuturan Panji.
"Hm.... Benar-benar lihai pembunuh itu.
Menurutku, dia pasti salah seorang pentolan
Gerombolan Setan Merah. Kalau tidak, mana
mungkin pembunuh itu tidak terkejar olehmu...,"
ujar Ki Kaligandi.
"Tidak seluruhnya betul, Ki. Kelihaian pembunuh
itu memang harus kuakui. Satu hal yang
membuatku masih belum mengerti. Setiap anggota
Gerombolan Setan Merah memiliki ilmu lari cepat
atau sejenis ilmu melenyapkan diri yang sangat
hebat Sewaktu aku mengejar Gerombolan Setan
Merah yang menyerang rombonganmu, aku
kehilangan jejak. Padahal, aku telah berusaha
dengan seluruh kemampuanku. Nyatanya aku tidak
berhasil menyusul mereka. Bahkan, jejaknya pun
tidak kutemukan. Entah ilmu apa yang mereka
pergunakan....," jelas Panji yang rupanya masih
memikirkan kejadian siang tadi. Dan, sampai saat
ini belum juga menemukan jawabannya.
"Itulah yang membuatku putus asa, Panji
Mereka dapat lolos dari kejaran kita, meskipun di
tempat terbuka. Aku pun pernah mengalaminya
saat terjadi pembunuhan beberapa hari yang lalu.
Buruanku lenyap tanpa jejak. Padahal, saat itu
mereka tengah berlari di sebuah lapangan rumput
luas. Bisa kau bayangkan, betapa penasaran
hariku...."
Ki Kaligandi rupanya pernah mengalami hal
serupa. Hanya saja tidak terlalu dipikirkannya.
Lelaki tua itu tahu Gerombolan Setan Merah
memang memiliki ilmu yang tinggi dan mengerikan.
Mungkin itu sebabnya mengapa gerombolan itu
mendapat julukan setan. Mereka memang dapat
menghilang seperti setan!
"Aku akan menyelidiki masalah ini...," gumam
Panji yang merasa penasaran terhadap gerombolan
itu. "Jangan terburu nafsu, Panji. Aku khawatir kau
akan celaka."
Ki Kaligandi berusaha mengingatkan Panji.
Kekhawatiran orang tua itu tulus dan benar-benar
keluar dari hati yang bersih. Sehingga, Panji
terharu mendengarnya.
'Terima kasih, Ki. Aku akan mengingat pesanmu
baik-baik," ucap Panji seraya tersenyum.
Setelah memberi tahu kamar untuk Panji dan
Kenanga, lelaki tua itu meninggalkan ruang tengah.
Panji mengatakan malam ini akan meronda desa.
Ki Kaligandi tidak bisa mencegah niat pemuda itu,
sebab akan sia-sia saja. Dengan menghela napas
panjang, ditinggalkannya pasangan pendekar muda
itu. 'Beristirahatlah, Kenanga. Nanti aku menyusul.
Malam ini aku ingin meronda desa. Siapa tahu
mereka muncul untuk mencari korban...," ujar
Panji, setelah tubuh Ki Kaligandi lenyap di balik
pintu kamarnya.
"Biar aku menemanimu, Kakang. Rasanya aku
belum mengantuk...," bantah Kenanga yang ingin
menemani kekasihnya meronda desa malam itu.
"Hm.... Bukan aku tidak mempercayai kemampuanmu, Kenanga. Tapi, biarlah malam ini
aku meronda sendiri. Besok baru kita lakukan
bersama-sama. Bagaimana?"
"Kalau memang itu kemauan Kakang. Baiklah.
Hati-hati. Musuh yang kita hadapi belum jelas...,"
pesan Kenanga dan bergegas memasuki kamar
yang telah disediakan Ki Kaligandi.
Setelah tubuh Kenanga tidak terlihat lagi, Panji
bangkit dari duduknya. Kemudian melangkah
keluar. Kegelapan malam langsung menyambut
pandang mata Panji.
"Hendak ke mana, Tuan Pendekar...?" sapa
seorang penjaga, ketika melihat tamu kepala
desanya melangkah ke halaman depan, tempat
lelaki tegap itu berjaga bersama seorang
kawannya. "Hm.... Malam ini tampaknya cuaca sangat baik.
Aku ingin berjalan-jalan sebentar sambil menikmati
keindahan malam...," sahut Panji membalas
anggukan penjaga itu. Kemudian melanjutkan
langkahnya menyusuri jalan utama desa. Setelah
agak jauh dari kediaman Ki Kaligandi, tubuh
pemuda itu langsung melesat dengan kecepatan
tinggi. Kemudian melayang naik ke atas atap
rumah penduduk, dan berlompatan dari satu atap
ke atap lainnya.
Setibanya di batas desa, Panji menghentikan
larinya. Pemuda itu berdiri di atas sebuah dataran
yang agak tinggi. Dari tempat itu dipandangnya
arah selatan Desa Palasari yang merupakan daerah
pekuburan. Panji mencurigai daerah pekuburan itu.
Kecurigaan Panji bukan tidak beralasan. Pikiran
itu timbul ketika teringat bau harum asap dupa
yang berasal dari tubuh wanita bercadar merah.
Bau itu mengingatkannya pada kematian. Dan,
kematian membuat pikirannya melayang ke tanah
pekuburan. Tapi, kecurigaan itu belum mempunyai
bukti yang kuat Apalagi, Gerombolan Setan Merah
melarikan diri ke arah yang berlawanan dengan
arah kuburan. Panji menemui jalan buntu.
Setelah puas memandang, Panji segera
membalikkan tubuh. Kali ini dia berlari agak lambat
menuju desa. Beberapa kali langkahnya berhenti di
atas atap rumah penduduk dan memperhatikan
sekeliling. Dan, kembali bergerak setelah
memastikan tidak ada sesuatu yang dicurigai
"Hm.... Agaknya malam ini pembunuh itu tidak
menunjukkan aksinya. Kalau memang ingin
mencari korban, waktu tengah malam seperti ini
sungguh tepat sekail Atau mungkin memang tidak
akan muncul, menunggu keadaan menjadi
tenang...," gumam Panji seraya bergerak turun dari
atap, dan melangkah perlahan menyusuri jalan
utama desa yang lengang dan sunyi.
Tapi baru saja Panji ingin kembali ke tempat
kediaman Ki Kaligandi, tiba-tiba telinganya
menangkap sebuah jeritan panjang yang merobek
kesunyian malam.
"itu jeritan orang yang melihat sesuatu yang
sangat mengerikan...!" desis Panji.
Dan tanpa membuang waktu lagi, Pendekar
Naga Putih langsung melesat ke arah suara jeritan
itu. Bagaikan seberkas sinar putih yang melayang
di atas tanah, tubuhnya meluncur pesat,
mengerahkan seluruh ilmu larinya. Kali ini,
Pendekar Naga Putih tidak ingin kehilangan jejak
pembunuh, yang diduganya tengah beraksi di salah
satu rumah penduduk.
Ketika tiba di tempat itu, Panji melihat empat
orang keamanan desa tengah bertarung dengan
seorang lelaki kurus. Tubuhnya segera melayang
ke tengah arena. Di tempat itu tampak dua sosok
mayat keamanan desa terkapar berlumuran darah.
Korban di pihak keamanan desa telah jatuh!
"Haiiit..!"
Panji memekik nyaring sambil melontarkan
pukulan jarak jauh, ketika melihat seorang
keamanan desa terancam maut' Pendekar Naga
Putih berusaha menyelamatkan orang itu dengan
melepaskan pukulan jarak jauh ke arah lelaki
bertubuh kurus.
Buggg! "Aaarghhh...!"
Sosok bertubuh kurus memekik parau mendirikan bulu roma. Tubuhnya terpelanting ke
kanan sejauh satu tombak, terkena pukulan Panji
yang menghantam punggungnya. Keamanan desa
itu pun selamat dari kematian.
'Panji.."!" seru para keamanan desa yang
merasa lega melihat kemunculan pemuda itu
Mereka telah mengetahui ketangguhan pemuda
tampan berjubah pitih itu, sewaktu membantu
mereka menghadapi Gerombolan Setan Merah.
"Apa yang telah dilakukannya...?" tanya Panji
setelah membalas penghormatan keempat orang
keamanan desa itu.
"Orang itu belum melakukan sesuatu. Kami
memergokinya saat ia hendak memasuki rumah
itu...," sahut salah seorang keamanan desa seraya
menunjuk sebuah rumah yang terletak empat
tombak dari arena pertempuran.
"Hm...," Panji bergumam mendengar jawaban
itu. Meskipun belum membunuh calon korbannya,
namun lelaki kurus itu telah menewaskan dua
orang keamanan desa. Itu sudah merupakan
kejahatan yang tidak bisa diampuni.
"Hati-hati, Panji. Orang itu sangat kuat.
Beberapa bacokan kami ditepiskan dengan lengan
telanjang...," kata seorang keamanan desa,
mengingatkan pemuda tampan perjubah putih itu
"Maksudmu orang itu kebal terhadap senjata
tajam...?" tanya Panji menegasi.
"Kurasa begitu..," sahut lelaki bertubuh gemuk
itu, terlihat agak ragu
"Heaaahk...!"
Pembicaraan mereka terhenti ketika mendengar
teriakan parau lelaki bertubuh kurus. Cepat Panji
berbalik menghadapi orang yang diduganya
sebagai pelaku pembunuhan di desa itu.
"Hm.... Kali ini aku tidak akan melepaskanmu,
Manusia Jahat..!" desis Panji seraya bergerak maju
dengan langkah menyilang. Pendekar Naga Putih
agak berhati-hati menghalangi sosok bertubuh
kurus. Pukulan jarak jauh yang dilancarkannya tadi,
seperti tidak dirasakan lawan. Itu hanya
mempunyai satu arti. Lawannya bukan tokoh
sembarangan. Lelaki bertubuh kurus seperti tak peduli dengan
ucapan Panji. Dengan langkah berat, kakinya
bergerak maju Sepasang tangannya terentang ke
kiri dan kanan, seperti hendak mencekik leher
pemuda tampan berjubah putih itu.
"Hm.... Majulah! Aku ingin lihat sampai di mana
kekebalan tubuhmu...," ujar Panji, berusaha
menegasi wajah lelaki kurus itu. Sayang, ia tidak
dapat melihat dengan jelas. Lelaki kurus itu berdiri
di bawah pohon lebat Sehingga, sosoknya tidak
terkena sinar bulan yang redup.
---ooo0myr0ooo--5 "Eaaakhhh...!"
Sosok bertubuh kurus membuka serangan
dengan gerak yang kaku. Meski demikian,
sambaran anginnya terasa sangat kuat Panji agak
kaget juga. Selain lambat, ilmu silat lawan pun
terlihat aneh dan tidak lumrah. Bahkan, tanpa
pertahanan sedikit pun.
Bettt..! Cengkeraman tangan kanan lelaki kurus itu
meluncur ke arah kepala Panji. Dari angin pukulan
yang ditumbulkannya, rasanya sambaran itu
mampu menghancurkan sebongkah batu karang.
Serangan itu sangat berbahaya.
"Haiiit..!"


Pendekar Naga Putih 64 Gerombolan Setan Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gerakan itu terlampau lambat bagi Panji.
Tangan kirinya segera diangkat untuk memapaki
dan mengukur kekuatan lawan. Sehingga....
Dukkk! Panji tersentak ketika merasakan lengan yang
dingin dan keras seperti besi. Untung ia tidak
gegabah dan mengerahkan hampir separuh tenaga
dalamnya. Kalau tidak, kuda-kudanya pasti akan
tergempur. "Heaaah...!"
Tangkisan itu masih disusul Panji dengan
sebuah hantaman telapak tangan kanannya ke
tubuh lawan. Buggg! Tanpa ampun lagi, tubuh kurus itu terjengkang
ke belakang dan jatuh berdebuk di tanah. Kendati
demikian, tidak sedikit pun terdengar keluhan dari
mulut lawan. Bahkan begitu jatuh, lelaki kurus itu
langsung bergerak bangkit Seolah pukulan telapak
tangan Panji tidak berarti apa-apa baginya.
"Hebat..!" desis Panji kagum melihat lawan
kembali siap bertarung. "Lelaki kurus ini memang
memiliki ilmu kebal yang cukup tinggi. Untuk
melumpuhkannya aku harus menggunakan tenaga
yang lebih kuat..."
Panji mengerahkan hampir seluruh tenaga
dalamnya. Sepasang tangannya berputaran di
depan dada, hingga menerbitkan angin dingin
menusuk tulang yang memenuhi arena pertarungan. Lelaki kurus itu tampaknya mulai sadar akan
ketangguhan Pendekar Naga Putih. Gerakannya
segera diubah. Kali ini langkahnya agak cepat,
meskipun masih tetap kaku Demikian pula dengan
sepasang lengannya. Dengan tetap membentuk
cakar, jari-jari tangan lelaki kurus itu digerakkan
susul-menyusul dengan kecepatan yang cukup
tinggi. Bettt, bettt! .___
Panji berkelit ke kiri dan kanan dengan
menggunakan kelincahan tubuhnya. Sehingga,
serangan lawan selalu mengenai tempat kosong.
Kemudian melontarkan serangan balasan dengan
tenaga tinggi. Pertahanan lawan yang sangat
lemah, membuat dua pukulan Panji telak bersarang
di tubuh lelaki kurus itu.
"Hahhh"!"
Panji ternganga melihat tubuh lawan kembali
bangkit Pukulan yang dilancarkannya tadi tidak
dirasakan lawan. Padahal, pukulan itu sanggup
membuat tokoh persilatan tangguh mengalami luka
dalam yang parah. Tapi, lelaki kurus itu ternyata
tidak merasakannya. Bahkan mengeluh pun tidak.
Panji menjadi heran bukan main!
"Gila! Terbuat dari apa tubuh lelaki kurus itu"!
Apa aku mesti menggunakan seluruh kekuatanku
untuk merobohkannya?" desis Panji tak percaya
dengan apa yang dialaminya. Jika tenaga dalamnya
dikerahkan sepenuhnya, itu berarti lawan
merupakan gembong tokoh sesat yang setingkat
dengan seorang datuk persilatan. Padahal kalau
melihat gerakannya, lelaki kurus itu tak lebih dari
seorang yang baru beberapa bulan berlatih ilmu
silat Hanya kekuatan tubuhnya saja yang luar
biasa. Dan, hampir tidak mungkin! Karena setiap
jago silat yang telah mahir, pasti akan memiliki
kekuatan tenaga dalam yang seimbang dengan
ilmunya. Sedangkan lelaki kurus itu hanya memiliki
kekuatan tubuh yang sulit dimengerti.
Melihat lawan kembali bergerak maju, Pendekar
Naga Putih segera mengerahkan seluruh kekuatan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Rasa penasaran
membuatnya ingin mengetahui sampai di mana
kekuatan tubuh lelaki kurus itu. Pendekar Naga
Kisah Si Bangau Putih 14 Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Makam Bunga Mawar 5

Cari Blog Ini