Ceritasilat Novel Online

Pendekar Murtad 1

Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad Bagian 1


PENDEKAR MURTAD
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh Isi buku ini
tanpa izin tertuHs dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Pendekar Murtad
128 hal. ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 "Tolooong...! Lepaskan aku!
Binatang kau!"
Gadis yang berada di pondongan
lelaki tinggi kurus itu berteriakteriak. Sepasang tangannya yang
berjari mungil tak henti hentinya
memukuli punggung orang itu. Dia terus meronta sambil berteriak-teriak
"He he he...! Biarpun berteriak-teriak sampai suaramu habis, tak akan ada orang
yang menolongmu. Hutan ini sangat lebat dan tidak ada seorang pun yang berani
mendatanginya," kata lebki tinggi kurus itu sambil terkekeh
parau. Setelah berkata demikian,
dielusnya pinggul ramping gadis itu.
"Benar, Manis. Untuk apa
membuang-buang tenaga percuma. Lebih baik simpan tenagamu untuk melayani
kami nanti. Tak usah takut. Kami tidak akan melukaimu. Hanya.... He he he!"
orang yang berlari di samping si
tinggi kurus ikut membujuk. Suaranya terdengar melengking bagaikan suara
wanita. Orang yang satu itu penampilannya
sangat jauh berbeda dengan kawannya.
Tubuhnya pendek dan gemuk sehingga
terlihat bulat. Dan pada saat tengah berlari seperti itu, tak ubahnya
sebuah bola yang menggelinding.
Dua orang laki-laki yang jauh
berbeda bagai langit dan bumi itu tems berlari menerobos semak belukar.
Sepertinya mereka sama sekali tidak
merasa khawatir kalau-kalau akan
bertemu binatang buas.
Tidak berapa lama kemudian, kedua
orang itu menghentikan larinya. Di
hadapan mereka tampak membentang
lapangan berumput hijau yang cukup
luas. Sementara itu, gadis yang berada dalam pondongan si kurus, tampaknya
sudah tak kuasa lagi untuk meronta
ronta. Sepertinya dia sudah pasrah.
Laki laki tinggi kurus itu
melangkahkan kakinya menuju sebatang pohon besar yang berdaun lebat.
Bergegas diturunkan tubuh molek yang berada dalam pondongannya itu, lalu
direbahkan di atas rerumputan tebal
laksana permadani. Sedangkan tubuhnya sendiri dijatuhkan di samping gadis
itu, sambil tetap memeluk.
Gadis manis berwajah bulat telur
itu hanya menangis sambil menutupi
wajahnya. Menilik pakaian yang
dikenakan, pastilah gadis itu putri
seorang yang cukup berada. Karena
pakaiannya terbuat dari bahan surra
halus, bersulamkan benang emas. Dengan warna kuning gading, serasi benar
dengan kulit tubuhnya yang putih
mulus. Tampak gadis itu hanya
meringkuk dengan wajah bersimbah air mata.
"Kasihanibh aku, Tuan.
Kembalikanlah aku kepada ayahku,"
ratap gadis manis itu, di antara isak tangisnya yang menyayat.
"He he he...! Berhentilah
menangis, Bidadariku. Beristirahatlah agar tenagamu tetap kuat untuk rnela-yani
kami berdua," ujar si tinggi kurus yang berwajah mirip tengkorak.
Tulang-tulang wajahnya tampak
menonjol, seolah-olah hanya merupakan tulang yang terbungkus kulit. Kembali
dielus-elusnya pinggul gadis yang
padat berisi itu. Dan gadis itu hanya bisa menatap.
"He he he...! Kita harus
mengundinya, Kakang. Siapa yang berhak mencicipi tubuh molek ini terlebih
dahulu," usul si pendek gemuk, seraya tertawa.
Sepasang matanya yang sipit
menjilari sekujur tubuh ramping
mengundang gairah. Karena meskipun
gadis itu mengenakan pakaian, jelas
sekali lekuk tubuhnya begitu indah.
"Huh! Enak saja kau bicara! Tentu saja aku dulu yang harus mencicipinya.
Pertama aku telah susah payah
memondongnya hingga sampai ke tempat ini. Kedua, aku adalah kakakmu. Dan
tentu saja harus didahulukan. Jadi
sudah sepantasnya kalau kau mendapat bagian paling belakang. Bukankah itu sudah
adil?" sentak si tinggi kurus mengajukan alasan. Sementara tangannya masih saja
sibuk mengelus tubuh si
gadis. "Wah! Kau memang selalu ingin
menang sendiri, Kakang. Setiap kite
mendapat sesuatu, selalu kau ajukan
alasan yang sama. Lalu, kapan aku akan mendapat bagian pertama?" sergah si gemuk
dengan wajah menyeringai sedih.
Mulutnya tampak cemberut mendengar
alasan kakaknya.
"Ah, sudahlah. Mengapa masalah
sepele ini harus dipersoalkan. Lebih baik lihat, bagaimana aku menundukkan
bidadari liar ini. Apakah kau tidak ingin menyaksikannya?"
"He he he...! Tentu saja aku mau.
Tapi kau harus melakukannya dengan
baik, Kakang. Nah! Dengan begitu,
mungkin aku bisa menerima alasanmu
tadi," sahut si gendut. Sepasang matanya tampak berbinar penuh
kegembiraan. Sepertinya ia merasa
senang sekali mendengar perkataan si tinggi kurus itu.
"Nah, lihatlah!" kata si tinggi kurus, parau. Setelah berkata
demikian, segera disekapnya tubuh si gadis yang maslh terisak ketakutan.
"Oh! Jangan, Tuan. Lepaskan
aku...!" si gadis kembali berteriak Sedangkan sepasang matanya membelalak ngeri,
membayangkan apa yang yang akan diperbuat si kurus itu.
"He he he...! Merontalah, Manis.
Gerakanmu membuatku semakin
bersemangat!" ucap orang itu sambil mendekap mangsanya penuh gejolak.
Si gemuk pendek tertawa
kegirangan melihat perbuatan kakak
seperguruannya itu. Wajahnya yang
bulat tampak semakin merah. Sepasang matanya dibuka lebar-lebar agar dapat
melihat jelas pemandangan di depannya.
Belum lagi laki-Iaki tinggi kurus
itu meneruskan niat kotornya, tibatiba sesosok bayangan putih berkelebat cepat ke arah mereka.
*** "Jahanam! Lepaskan gadis itu!"
bentak sosok tubuh berjubah putih itu.
Berdirinya demikian gagah, dengan
kedua kaki terpentang. Sepasang
matanya mencorong tajam memancarkan
sinar berapl Seketika itu juga
si kurus bangkit disertai kemarahan memuncak.
Sepasang matanya yang memang sudah
melotot keiuar itu nampak semakin
menonjol. "Bangsat! Siapa kau, Anak Muda"!
Apakah kau sudah tidak menyayangi
nyawamu"!" bentak laki-laki bermuka mirip tengkorak itu. Suaranya cukup
meng-gelegar, memekakkan telinga.
Sepertinya sangat marah karena
kesenangannya terganggu.
"Hei, Anak Muda! Tahukah kau,
dengan siapa kau berhadapan saat
ini"!" si gendut ikut menimpali.
Suaranya yang kecil semakin
melengking, karena ia pun sudah pula diliputi kemarahan.
Pemuda berjubah putih itu
tersenyum tenang. Wajahnya yang tampan tampak semakin menarik. Perlahan-lahan
dilangkahkan kakinya semakin mendekati kedua orang itu. Kira-kira berjarak
sekirar tiga tombak, pemuda itu pun
menghentikan langkahnya. Jelas sekali kalau pemuda itu tidak merasa gentar
menghadapi dua orang yang bertampang agak aneh itu.
"Hm.... Aku tidak peduli, siapa kalian berdua! Lepaskan gadis itu,
maka kalian akan selamat!" sahut pemuda tampan berjubah putih itu
setengah mengancam.
Kedua orang itu tertawa terkekehkekeh ketika mendengar ancaman pemuda itu. Kemarahan di hati mereka mendadak
lenyap, karena merasa geli dengan
ucapan pemuda itu. Keduanya
terpingkal-pingkal sambil memegangi
perut. "He he he...! Lucu.... Lucu! Ada anak menjangan yang coba-coba
menggertak harimau! Lucu...!" ejek si tinggi kurus yang masih saja tertawa
terpingkal-pingkal. Bahkan air matanya sampai keluar.
"Ha ha ha...! Ketahuilah, Anak
Muda. Saat ini kau tengah berhadapan dengan Setan Langit dan Setan Bumi,"
si gendut memperkenalkan julukan
mereka untuk menakut-nakuti pemuda
itu. "Hm.... Baru Setan Langit dan
Setan Bumi. Bahkan Raja Setan
sekalipun, tetap akan kutentang!"
sahut pemuda tampan itu tetap tenang tanpa rasa gentar sedikit pun!
"Eh"!"
Kedua orang itu seketika
menghentikan tawanya, karena menjadi terkejut mendengar jawaban pemuda itu.
Untuk beberapa saat lamanya mereka
hanya dapat saling pandang dengan
wajah heran. "Hm.... Jadi kau belum pernah
mendengar julukan kami berdua"!
Ketahuilah! Kami dijuluki sebagai
Setan Langit dan Setan Bumi karena
sepak terjang kami yang sangat kejam!"
si tinggi kurus masih mencoba menakut-nakuti pemuda tampan itu.
Tapi, kedua orang itu kembali
harus mendan kekecewaannya. Ternyata, pemuda berjubah putih sama sekali
tidak berubah sikapnya. Malah kini
kepalanya terangkat dengan sikap agak angkuh.
"Hm.... Sekarang giliranku untuk memperkenalkan diri kepada kalian.
Ketahuilah! Kalangan rimba persilatan memberikan julukan padaku. Sepak
terjangku yang telah mengguncangkan
dunia persilatan, membuat diriku
dijuluki Pendekar Naga Putih. Apakah kalian sudah pernah mendengar julukan itu?"
kata pemuda tampan itu, tenang.
'Pendekar Naga Putih..."!" seru Setan Langit dan Setan Bumi tersentak kaget
Wajah mereka berubah seketika,
saat mendengar julukan pemuda berjubah putih itu. Serentak keduanya mdangkah
mundur dengan wajah agak pucat.
"Huh! Kau kira kami akan
mempercayainya begitu saja" Jangan
coba-coba menakut-nakuti, Anak Muda!"
kilah salah seorang dari mereka sambil mencoba menekan debaran dalam dadanya.
Meskipun sebenarnya kata-kata
anak muda itu mulai dipercayai, namun untuk menjaga julukannya, Setan Bumi yang
bertubuh pendek itu berusaha
untuk menyembunyikan kegentarannya.
"Hm.... Biarpun kau memang benar Pendekar Naga Putih, jangan harap kami akan
gentar! Malah kami sudah lama
ingin berhadapan denganmu. Kami ingln mencoba kehebatan 'Ilmu Naga Sakti'
dan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'mu
yang terkenal itu. Nah! Marilah kita mulai!" timpal Setan Langit yang bertubuh
jangkung dan berwajah mirip tengkorak itu.
Sebagai tokoh gdongan hitam yang
sangat ditakuti, tentu saja Setan
Langit tidak ingin memperlihatkan rasa gentarnya di hadapan pendekar muda
yang terkenal itu.
Sementara itu, tanpa
sepengetahuan ketiga orang sakti itu, sesosok tubuh tegap tampak
memperhatikan mereka. Sepasang mata
yang tersembunyi di balik semak semak itu nampak terbelalak. Untunglah
jaraknya terpisah beberapa
belas tombak, sehingga kehadirannya tidak
sampai diketahui tiga orang tokoh itu.
Laki laki berusia sekitar empat
puluh lima tahun itu berdebar hatinya.
Memang, sebentar lagi ia akan
menyaksikan sebuah pertarungan yang
sangat langka. "Hm.... Aku harus berhati-hati
agar tidak terdengar oleh mereka.
Kalau tidak, bisa-bisa pertarungan itu akan gagal," desah laki-laki itu dalam
hati. Dengan menarik napas perlahanlahan, orang itu berusaha menekan
debaran dalam dadanya. Kembali matanya diarahkan pada tiga orang yang saling
menggertak, untuk menjatuhkan nyali
masing-masing. "Ha ha ha...! Kalau memang itu
sudah menjadi keputusan kalian,
baiklah. Tapi bagaimana dengan gadis tawananmu! Apakah tidak sebaiknya kita
bertaruh?" usul si pemuda yang
kelihatannya memang Pendekar Naga


Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putih itu. Sikap Pendekar Naga Putih itu
tetap tenang, seolah-olah sama sekali tidak merasa khawatir meskipun yang
dihadapinya adalah dua orang tokoh
hitam yang menggiriskan.
"Apa maksudmu, Pendekar Naga
Putih?" tanya Setan Bumi seraya mengerutkan keningya. Memang sulit
dimengerti, apa yang diinginkan
pendekar itu. "Ya! Katakanlah, tidak perlu
berbelit-belit!" timpal Setan Langit yang sudah tidak sabar melihat sikap pemuda
yang masih saja nampak santai.
"Hm.... Begini maksudku, Setan
Berotak Udang! Kalau aku memenangkan pertempuran ini, maka kuminta agar
gadis itu diserahkan kepadaku.
Sebaliknya, apabila kau yang
memenangkan pertarungan ini, terserah apa yang akan kau lakukan kepadaku dan
juga kepada gadis itu. Bagaimana"
Apakah kalian berani?" tawar pemuda tampan itu sambil tersenyum
merendahkan. Ia sengaja berbuat
demikian untuk membuat hati kedua
calon Iawannya itu menjadi panas.
"Baik!. Kuterima tantanganmu,
Pendekar Naga Putih! Nah, sekarang
bersiaplah!" sahut Setan
Langit, langsung bersiap menghadapi
pertarungan. Melihat Setan Langit telah
bersiap, Setan Bumi pun bergegas
menggeser tubuhnya merenggang.
Tampaknya mereka hendak menggencet
Pendekar Naga Putih dan dua arah.
"Ha ha ha...! Mengapa kalian
begitu terburu-buru" Sabarlah.
Bukankah perjanjian kita belum
selesai?" sergah Pendekar Naga Putih yang langsung tertawa melihat kedua
orang calon Iawannya sudah bersiapsiap. "Bangsat! Apa lagi yang hendak
kau ucapkan, Pendekar Naga Putih"
Apakah kau memang sengaja hendak
mempermainkan kami?"
Setan Langit yang sudah mulai
menyiapkan ilmunya segera mengendurkan urat-urat tubuhnya. Lelaki tinggi
kurus berusia enam puluhan tahun itu mulai bangkit nafsu membunuhnya.
Karena, ia merasa telah dipermainkan pendekar muda itu.
"Bedebah! Rupanya kau memang
sengaja hendak mengejek kami, Pendekar Naga Putih! Aku tidak peduli dengan
segala macam syarat yang kau ajukan
itu! Kalau tidak segera bersiap,
jangan salahkan kami. Hati hati,
tubuhmu akan terbelah oleh pukulanku!"
ancam Setan Bumi.
Laki-laki gemuk pendek itu pun
sudah terbangkit kemarahannya. Rasanya pendekar itu memang seperti sengaja
hendak mengulur-ulur waktu. Tentu saja hal itu membuat hatinya jengkel.
"Wah, wah! Sabar dulu, Kisanak.
Aku sama sekali tidak bermaksud
demikian. Aku hanya ingin bertanya,
apakah kita bertarung dengan tangan
kosong, atau menggunakan senjata?"
kilah Panji sambil merentangkan kedua tangannya ke depan dada untuk
menyabar-kan kedua orang itu.
"Tidak peduli! Kau boleh
menggunakan apa saja untuk menghadapi kami! Aku tidak sudi terhadap segala macam
aturan pertandingan! Sekarang
kau benar-benar harus bersiap,
Pendekar Naga Putih!" geram Setan Langit yang sudah menarik napas
berulang-ulang.
"Hmh...!"
Dengan sebuah gerengan keras,
Setan Langit mendorongkan telapak
tangannya ke depan. Hawa panas
langsung berhembus disertai bau amis yang menusuk hidung. Tokoh sesat itu benarbenar tidak main-main, dan
langsung saja mengeluarkan ilmunya
yang mengerikan dalam menghadapi
pendekar muda yang memang sudah
terkenal itu. Beberapa tombak di sebelah Setan
Langit, nampak Setan Bumi juga sudah mempersiapkan ilmu andalannya.
Sepasang tangannya dengan telapak
terbuka bergerak turun-naik
bergantian. Angin dingin bergemuruh
ketika kedua tangannya mulai
digerakkan. "Ha ha ha...! Keluarkanlah
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'mu,
Pendekar Naga Putih. Aku ingin tahu, apakah ilmu 'Pukulan Badai Salju'ku
dapat kau tahan!" desis Setan Bumi yang sudah menarik kedua tangannya ke sisi
pinggang. Sedangkan kuda-kuda
kakinya tetap membentuk kuda-kuda
kokoh. "Hmh...!"
Pemuda berjubah putih itu
menggeram perlahan. Kedua tangannya
mendorong ke atas dengan telapak
menghadap langit. Kedua kakinya yang membentuk kuda-kuda menunggang kuda
bergerak turun dalam posisi yang amat rendah. Kemudian, kedua tangan itu
bergerak turun menyilang. Pendekar
Naga Putih mendorong tangannya lurus-lurus ke depan setelah menariknya ke sisi
pinggang "Sambutlah 'Pukulan Api
Neraka'ku, Pendekar Naga Putih!
Heaaat...!" ujar Setan Langit.
Tubuh kakek tinggi kurus itu
meluncur cepat dengan serangan
dahsyat. Kedua tangannya berputaran
menimbulkan sambaran angin panas yang menyengat kulit. Nampaknya dia tidak ingin
ayal-ayalan lagi. Begiru
serangannya dibuka, langsung digunakan ilmu pamungkasnya yang menggiriskan
itu. Wuttt! Wuttt...!
"Hahhh!"
Pendekar Naga Putih membentak
menggelegar. Tubuhnya langsung
melambung ke udara. Begitu serangan
Setan Langit lewat di bawah kakinya, tangan pemuda itu bergerak menusuk ke arah
ubun-ubun lawannya.
Cuiiit...! Angin pukulan yang keluar dari
jari-jari yang menusuk itu mencicit tajam, sehingga mengejutkan lawan.
Setan Langit mengegoskan kepalanya
dengan gerakan berputar. Kemudian
tubuhnya bergulingan ke kiri
menghindari sambaran susulan. Setelah berhasil menyelamatkan diri, tubuh
tokoh sesat itu langsung mencelat
melontarkan tendangan terbang!
Zebbb! Plakkk! Pendekar Naga Putih menapak kaki
yang melancarkan tendangan itu.
Kemudian tubuhnya berjumpalitan
melewati kepala Iawannya dengan
meminjam tenaga tepakan tadi.
Wusss! Baru saja kaki pemuda itu
menyentuh permukaan tanah, tahu-tahu saja serangkum angin dingin berhembus keras
ke arahnya. Cepat cepat tubuhnya direndahkan disertai liukan. Kemudian, kedua
tangannya mendorong ke depan
menyambut serangan Setan Bumi.
Bresss! "Ahk...!"
Sungguh hebat pertemuan dua
tenaga dalam tingkat tinggi itu. Udara di sekitarnya tampak bergetar hebat.
Daun-daun pohon di dekat mereka
langsung berguguran ke atas tanah.
Sedangkan tubuh kedua orang sakti itu sama-sama terjajar mundur ke belakang.
Sepertinya, pada pertemuan tenaga
pertama itu keduanya berimbang!
"Ha ha ha...! Ternyata julukanmu bukan sekadar nama kosong belaka,
Pendekar Naga Putih!" puji Setan Langit sambil terkekeh, meskipun di
sudut bibirnya tampak cairan merah
merembes keluar.
"Kau pun hebat, Setan Langit!"
sambut Panji yang juga menekap
dadanya. Dari sudut bibir pemuda itu juga mengalir cairan merah perlahan.
"Yeaaat...!"
Saat itu pukulan Setan Langit
meluncur datang, siap mehimatkan tubuh Pendekar Naga Putih.
Blarrr! Debu dan dedaunan mengepul,
beterbangan di udara ketika pukulan
Setan Langit mengenai permukaan bumi.
Hebat sekali pukulan yang dilancarkan tokoh sesat itu. Akibatnya bumi di
sekitar tempat itu bagai digoyang
gempa! Untunglah pemuda berjubah putih itu sempat menyelamatkan diri. Kalau
tidak, nlscaya tubuhnya pasti sudah
hancur terhantam pukulan dahsyat itu.
Pemuda itu terus bergulingan
menjauhi kedua orang Iawannya.
Sehingga tanpa sadar Setan Langit dan Setan Bumi mengejar sehingga
meninggalkan tawanan mereka.
"He he he...! Mau lari ke mana
kau, Pendekar Naga Putih" Sebentar
lagi kematian akan segera
menjemputmu!" seru
Setan Langit terkekeh kegirangan. Tubuhnya lerus
melesat mengejar pendekar muda yang
sudah mulai terdesak.
Setan Bumi pun tidak mau
ketinggalan. Tubuhnya yang bulat itu seperti menggelinding mengejar Iawannya.
Meskipun tubuhnya seperti itu,
namun nyatanya dapat pula bergerak
gesit. *** 2 Laki-laki berusia empat puluh
tahun yang menyak-sikan pertarungan
dari tempat tersembunyi, menjadi
cemas. Sebab biarpun tidak begitu
mengenal Pendekar Naga Putih, namun ia adalah salah seorang pengagumnya. Dan
ketika pertarungan itu bergeser, laki-laki itu terus membuntuti dengan
menjaga jarak. "Ah! Bisakah pendekar muda itu
menyelamatkan diri dari ancaman kedua orang jahat itu" Kalau sampai pendekar itu
tewas di tangan mereka, maka akan celakalah dunia persilatan. Dengan
tewasnya Pendekar Naga Putih, berarti mereka akan semakin merajalela
menyebarkan bencana. Mudah-mudahan
saja pendekar muda itu dapat
mengalahkan Iawannya. Atau paling
tidak bisa meloloskan diri dari
ancaman kematian," desah laki-laki itu penuh harap.
Memasuki jurus ketujuh puluh
lima, Pendekar Naga Putih mulai tampak bangkit. Jurus-jurus andalannya mulai
terlihat dahsyat. Sampai pada suatu
saat.... Mendadak sepasang mata di balik
semak belukar itu terbelalak heran!
Kedua matanya digosok-gosokkan,
seolah-olah tak mempercayai apa yang dilihatnya. Karena saat itu, tampak
Setan Langit dan Setan Bumi berlutut di depan kaki pemuda berjubah putih
itu. Sikap kedua orang tokoh sesat itu
terlihat patuh dan takut.
"Hei! Apa yang telah terjadi
terhadap kedua tokoh sesat itu"
Bukankah tadi mereka telah berhasil
mendesak Pendekar Naga Putih" Lalu
mengapa sekarang berlutut kepada
pemuda itu" Apa yang telah dilakukan pendekar muda itu terhadap lawan-lawannya?"
kata hati laki-laki yang bersembunyi di balik semak-semak itu.
Dia jadi keheranan melihat kedua orang lawan Pendekar Naga Putih itu tahu-tahu
telah menyerah begitu saja.
Keheranan dan rasa tidak percaya
semakin kuat menyelimuti benaknya.
Apalagi ketika Pendekar Naga Putih
menggerakkan tangannya seperti orang yang mengusir anjing. Seketika kedua orang
yang cukup ditakuti kaum rimba persilatan itu tampak beranjak bangkit dan
bergegas meninggalkan tempat itu.
Sedikit pun mereka tidak menoleh, dan terus saja berlari bagai seorang
pesuruh yang diperintah majikannya.
Sepeninggal kedua orang tokoh
sesat yang sakti itu, pemuda berjubah putih melangkah mendekati gadis yang masih
rebah ketakutan.
*** "Jangan takut. Kedua orang setan keparat itu sudah pergi. Bangkitiah.
Mari kuantarkan ke rumahmu," ajak pemuda tampan itu.
Segera Pendekar Naga Putih
mengulurkan tangannya menarik tangan si gadis untuk bangkit Senyum di wajah
pemuda tampan itu mengembang,
membuatnya tampak semakin menarik.
'Terima kasih, Tuan.... Tuan
telah menyelamatkan diriku," ucap gadis manis itu dengan suara bergetar.
Sekujur tubuh dara itu semakin
gemetar ketika lengannya yang berkulit kuning langsat itu digenggam Pendekar
Naga Putih. Tampak warna kemerahan
merona di kedua sisi wajahnya. Dengan agak malu-malu, gadis manis itu


Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangkit berdiri.
"Di manakah rumahmu?" tanya Pendekar Naga Putih, lembut.
Nada suara pemuda itu tampak
bergetar karena merasakan hal yang
sama dengan gadis itu. Hanya saja
bedanya, ia tidak bersikap malu-malu.
"Jauh sekali...," sahut gadis itu dengan tubuh gemetar karena lengannya masih
saja digenggam erat pemuda
tampan itu. Gadis itu nampak semakin gugup saja.
"Tidak apa. Mari, kuantarkan,"
ajak Pendekar Naga Putih sambil tetap memegang tangan dara itu.
Sesaat kemudian Pendekar Naga
Putih menyadari kelakuannya. Cepatcepat tangannya ditarik dari lengan
gadis itu. "Hm.... Siapa namamu?" tanya pemuda tampan itu sambil melangkah
menjajari di samping kaki si gadis.
"Namaku Warti. Nama Kakang
siapa?" tanya gadis manis itu.
Hatinya mulai memperoleh
ketenangan. Sikapnya pun sudah tidak canggung lagi. Bahkan sudah berani
pula bertanya tentang nama
penolongnya. "Namaku Panji," sahut pemuda tampan berjubah putih itu sambil
memamerkan senyumnya.
"Dan kedua kakek bejat tadi
menyebutmu sebagai Pendekar Naga
Putin. Benarkah itu julukanmu?" tanya gadis yang ternyata bernama Warti itu
semakin berani.
Pemuda berjubah putih yang
mengaku bernama Panji itu
menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba
saja kepala pendekar muda itu menoleh ke arah semak-semak yang terpisah
beberapa tombak di sebelah kanannya.
Setelah bergumam tak jelas, pemuda itu kembali mengalihkan pandangannya
kepada Warti. Laki-laki yang masih bersembunyi
di batik semak-semak itu hampir saja melompat keluar ketika Pendekar Naga Putih
memperhatikan semak-semak
tempatnya bersembunyi. Namun segera
niatnya diurungkan ketika pemuda itu mengalihkan pandangannya kembali.
"Hm.... Apakah pemuda itu tahu
kalau aku bersembunyi di sini?" pikir orang itu, bertanya kepada dirinya
sendiri. Sepeninggal Panji dan Warti,
laki-laki itu kembali mengendap-endap mengikuti mereka. Ilmu meringankan
tubuhnya dikerahkan agar tidak sampai menimbulkan suara mencurigakan. Orang itu
juga menjaga jarak agar tidak
terlalu dekat dengan pendekar yang
dikaguminya itu.
Pendekar Naga Putih dan Warti
terlihat semakin akrab. Sesekali gadis manis itu malah mencubit lengan Panji
sambil terkikik manja. Tampaknya Warti sudah mulai melupakan kejadian yang
hampir merenggut kehormatannya. Dia nampak semakin banyak memperlihatkan
senyumnya. Sikapnya pun terlihat
semakin manja kepada pemuda
penolongnya itu.
"Hm.... Kita harus mencari kuda untuk mempercepat perjalanan," gumam Pendekar
Naga Putih di sela-sela canda mereka.
Orang yang sudah mengenal pemuda
tampan itu pasti akan merasa heran
melihat sikapnya kali ini. Pemuda yang biasanya pendiam itu, kini nampak
pandai sekali berseloroh, sehingga
Warti menjadi gembira dibuatnya.
Bahkan sepasang matanya terkadang
memandang gadis di sampingnya dengan penuh hasrat. Memang aneh sekali
tingkah pemuda itu kali ini.
"Tidak apalah, Kakang. Aku pun tidak terlalu merasa letih," sahut Warti cepat.
Dari cara memandang dan tingkah
laku, Pendekar Naga Putih tahu kalau gadis manis itu enggan untuk lekas-lekas
berpisah dengannya. Sepertinya dia sudah benar-benar melupakan
keluarga dan tempat tinggalnya.
Karena, hatinya benar-benar telah
terpikat oleh ketampanan pemuda
penolongnya itu. Dan hal itu tentu
saja diketahui Pendekar Naga Putih.
"Apakah kau tidak takut kalau
kita kemalaman di tengah hutan lebat ini?" tanya pemuda itu seperti hendak
memancing perasaan Warti.
"Di manapun, aku tidak merasa
takut kalau bersama Kakang," sahut gadis itu tanpa basa-basi.
Warti sepertinya sudah percaya
penuh terhadap Pendekar Naga Putih.
Sehingga perasaan hatinya tidak ragu-ragu lagi untuk diungkapkan. Karena
dari sikap serta pandang mata pemuda itu, diyakininya kalau orang yang
mengaku bernama Panji itu juga
menyukainya. Itulah sebabnya, mengapa Warti begitu berani mengungkapkan
perasaannya. Padahal, mereka baru
beberapa saat saling mengenal.
"Sungguh...?" tanya Panji seraya mengelus wajah bulat telur itu dengan telapak
tangannya. Sepasang mata
pemuda itu tampak berbinar gembira.
Warti menganggukkan kepalanya
seraya menangkap tangan pemuda itu,
lalu digenggamnya penuh kehangatan.
Sepasang matanya tampak terpejam
seolah-olah ingin menikmati perasaan bahagia yang saat itu tengah
dirasakannya. Pemuda itu merunduk perlahan.
Lalu dikecupnya bibir mungil itu penuh perasaan. Warti mengerang lirih
bagaikan seekor kucing yang tengah
dibelai-belai manja. Dibalasnya
kecupan pemuda itu penuh gelora.
Pelukan keduanya kini semakin rapat
saja. Sebentar-sebentar terdengar
erangan lirih penuh kenikmatan.
Laki-laki yang semenjak tadi
masih tetap mengikuti kedua anak muda itu menjadi heran. Keningnya berkerut
dalam melihat pemandangan yang
terbentang di depan matanya. Diam-diam hatinya mulai tidak suka kepada
Pendekar Naga Putih yang menurutnya
telah menjebak gadis itu agar jatuh ke dalam pelukannya.
"Hm.... Tidak kusangka kalau
Pendekar Naga Putih yang tersohor itu ternyata adalah seorang pemuda mata
keranjang," umpat laki-laki itu geram.
Dan memang, tentu saja ia tidak
dapat berbuat apa-apa karena hal itu terjadi atas suka sama suka. Sedangkan ia
hanya dapat memandang dengan mata terbelalak.
Dan kini yang terlihat hanyalah
dua insan berlainan jenis saling
berpacu dalam birahi. Masing-masing
mulai menanggalkan pakaian, tanpa
melepas pagutan. Kemudian, mereka
sama-sama menjatuhkan diri di atas
rumput tebal. Sementara orang yang bersembunyi
itu memejamkan mata sambil menahan
seruannya ketika menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya. Hatinya menjadi
bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Sehingga akhirnya ia hanya dapat
mengurut dada melihat perbuatan kedua orang muda yang tengah dipenuhi nafsu
birahi itu. *** "Kau menyesal, Warti?" tanya pemuda tampan itu sambil membelai
wajah Warti. Sementara, gadis itu masih sibuk
membenahi pakaiannya yang morat-marit.
Meskipun wajahnya agak pucat, namun
jelas sekali kalau Warti merasa
bahagia. Sepertinya Warti tidak
menyesali perbuatan yang telah
dilakukannya. "Tidak, Kakang. Sebaliknya, aku malah bahagia,"
ujar gadis itu memamerkan senyum manisnya.
Sambil berkata demikian, kedua
tangannya bergerak merapikan rambutnya yang kusut. Wajahnya yang manis itu
tampak masih dihiasi butir-butir
keringat yang menitik. Namun di balik itu semua, tersimpan suatu perasaan
yang sulit diungkapkan.
Pendekar Naga Putih tersenyum
lembut. Kembali dikecupnya bibir gadis itu perlahan, kemudian bergerak
bangkit dan mengenakan pakaiannya
kembali. Wajah tampan itu pun masih
terhias butir-butir keringat.
Sementara laki-laki gagah yang
semenjak tadi menyembunyikan dirinya, segera melompat keluar. Rupanya dia
sudah tidak kuasa lagi menahan rasa
muak melihat perbuatan pemuda yang
dikaguminya itu. Perbuatan yang jelas-jelas menyimpang dari sepak terjangnya
selama ini. "Huh! Inikah pemuda bejat yang
berjuluk Pendekar Naga Putih"! Sungguh aku merasa kecewa sekali. Semula
kusangka Pendekar Naga Putih adalah
seorang laki-laki sejati yang selalu menjunjung tinggi susila dan sopan
santun. Tapi nyatanya hanyalah seorang pemuda bejat yang suka merayu gadisgadis! Sungguh memuakkan!" kata laki-laki gagah itu sambil bertolak
pinggang. Wajah laki-laki
itu nampak memerah ketika mengingat perbuatan
Pendekar Naga Putih yang telah menodai gadis desa lugu itu. Sedangkan
Pendekar Naga Putih dan Warti langsung tersentak kaget melihat kehadiran
orang itu yang dengan tiba-tiba saja.
"Hm... Siapakah Kisanak ini" Dan apa yang kau bicarakan itu?" sahut Panji dengan
alis berkerut. Meskipun begitu, pemuda itu nampaknya berusaha menahan
kegugupannya dengan kehadiran orang itu.
"Huh! Tidak usah berlagak bodoh, Pendekar Cabul! Aku lihat semua yang telah kau
perbuat terhadap gadis itu!
Apakah masih mau menyangkal?" laki-laki gagah itu semakin sinis saja
melihat sikap yang ditunjukkan
Pendekar Naga Putih.
"Ha ha ha...! Kami berbuat karena dilandasi rasa suka sama suka. Mengapa kau
yang marah-marah" Tanyalah gadis itu, apakah ia menyesal atau tidak?"
sahut Panji, tenang.
Sikap Panji demikian tenang
seolah-olah sama sekali tidak berbuat kesalahan. Tentu saja hal ini sangat
mengherankan hati laki-laki gagah itu.
Orang itu bungkam begitu
mendengar kata-kata Panji. Segera
pandangannya dialihkan kepada Warti
yang saat itu sudah ketakutan. Selain merasa malu karena perbuatannya telah
dipergoki orang lain, gadis itu takut kalau-kalau pemuda yang dicintainya
akan tewas di tangan laki-laki yang
terlihat gagah dan bertenaga kuat itu.
"Nisanak. Apakah kau tidak sadar kalau dirimu sudah terjebak rayuan
pemuda iblis berwajah tampan ini"
Ketahuilah, Nisanak. Pemuda ini pasti akan segera meninggalkanmu setelah
merenggut kehormatanmu. Kau telah
dipermainkannya, Nisanak!" jelas laki-laki gagah itu mencoba menyadarkan
Warti. "Oh, tidak mungkin! Kakang,
katakanlah kalau kau tidak akan
meninggalkan aku! Jawablah, Kakang!"
sambil terisak ketakutan, Warti
mengguncang-guncangkan lengan Panji.
"Nah! Kau lihat sendiri, bukan"
Pemuda Iblis itu tidak akan sudi
mempertanggungjawabkan perbuatannya
terhadapmu," kembali si laki-laki gagah mencoba menyadarkan Warti.
"Jawablah, Kakang! Kau tidak akan meninggalkan aku, bukan" Kau akan
mengantarkan aku kepada orang tuaku, bukan?"
Warti semakin kalap ketika pemuda
tampan itu hanya berdiri mematung
tanpa menjawab pertanyaan-nya. la
semakin keras mengguncangkan tangan
pemuda itu. "Diam kau, Perempuan Bodoh!
Apakah kau lebih mempercayai orang itu daripada aku?" bentak Panji sambil
menepiskan lengannya sehingga gadis
itu terjatuh keras di tanah.
"Ohhh...!"
Warti menekap wajah dengan
telapak tangannya. Hatinya benar-benar sedih mendapat perlakuan yang demikian
kasar dari pemuda yang dicintainya
itu. Diam-diam ia pun mulai
mempercayai kata-kata lelaki gagah
itu. "Hei, Pendekar Murtad! Sadarkah kau kalau perbuatanmu itu telah
menghancurkan nama besarmu sendiri
yang telah dipuja tokoh-tokoh
persilatan! Maka kelak kesulitan akan datang kepadamu apabila kejadian ini
tersebar dan diketahui kaum rimba
persilatan!" tegas laki-laki gagah itu lagi, geram.
Ia yang semula kagum dengan
pemuda itu, berbalik
menjadi membencinya setengah mati. Sepertinya perbuatan Pendekar Naga Putih tidak
bisa dimaafkan lagi.
"Ha ha ha...! Kejadian ini tidak akan tersebar apabila aku
menghancurkan tubuhmu dan tubuh gadis kampung itu! Nah! Sekarang, bersiaplah
untuk melayat ke akhirat!"
Setelah berkata demikian, tubuh
Pendekar Naga Putih melesat dengan
kecepatan kilat. Sepasang tangannya
siap melumat tubuh laki-laki gagah
itu. Wuttt! Wuttt! "Ahk...!"
Orang itu bergegas melempar


Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya ke belakang. Serangan yang
berbahaya itu tidak mengenai sasaran.
Tubuh lelaki gagah itu terus
bergulingan menjauhkan diri dari
serangan Pendekar Naga Putih. Begitu bangkit, tangannya telah menggenggam
sebatang pedang yang
langsung digerakkan untuk menghalau serbuan
pendekar muda yang sakti itu.
Wukkk! Wukkk! Pendekar Naga Putih melompat ke
belakang begitu serangannya disambut tebasan pedang. Begitu kakinya
menyentuh tanah, kembali disiapkan
serangan berikutnya.
"Nisanak! Kau larilah!" teriak laki-laki gagah itu memperingatkan
Warti akan bahaya yang akan menimpa
diri gadis itu.
"Ohhh.... Tidaaak...!"
Warti berteriak-teriak bagaikan
kesetanan. Hatinya benar-benar
terpukul atas kejadian yang dialaminya itu. Jiwanya begitu guncang sehingga
Warti tidak lagi mempedulikan
persoalan mati hidupnya.
Warti bergegas bangkit dengan
sepasang mata menyala. Air matanya
terus mengalir bagai anak sungai.
Terdengar isak lirih yang keluar dari kerongkongannya. Rupanya gadis manis itu
benar-benar telah mengalami
guncangan jiwa yang hebat!
"Kubunuh kau...!" teriak Warti.
Bagaikan seekor harimau luka
tubuhnya, gadis itu segera berlari
menerjang Panji yang tengah berusaha untuk menghabisi nyawa si lelaki
gagah. Pendekar Naga Putih langsung
menggerakkan tangannya menghantam
batok kepala Warti yang pada saat itu tengah memukuli punggungnya.
Akibatnya, pukulan yang bertenaga
dalam tinggi itu memang parah apabila menghantam batok kepala wanita lemah
seperti Warti. Maka....
Wuttt! Prakkk! Darah segar bercampur cairan
putih memercik membasahi permukaan
bumi. Batok kepala gadis itu langsung pecah terkena pukulan pemuda tampan
itu. Tanpa sempat berteriak lagi,
tubuh wanita desa yang malang itu
tewas seketika.
"Biadab kau, Pendekar Naga Putih!
Kau benar-benar setan! Kau sudah
berubah menjadi iblis! Bagus sekali
perbuatanmu. Setelah kau renggut
kehormatannya, kau renggut pula
jiwanya! Kalau kau masih belum puas, ayo hirup darahku!" teriak laki-laki gagah
itu yang menjadi meledak-ledak kemarahannya melihat kekejaman
pendekar muda yang semula dikaguminya itu.
"Ha ha ha...! Tentu! Kau pun akan segera mendapat bagian, Manusia Usil!"
ancam Pendekar Naga Putih. Karena
disadari kalau orang itu terlalu
berbahaya baginya. Dan sudah pasti
tidak akan membiarkannya lolos!
"Heaaat...!"
Dibarengi sebuah bentakan
menggeledek, tubuh
pemuda berjubah
putih itu meluncur ke arah Iawannya.
Sepasang tangannya yang berbentuk
cakar, berkelebat mencari sasaran.
Bet! Bet...! "Ah...!"
Lelaki gagah itu berlompatan
menghindari sambaran cakar Pendekar
Naga Putih yang berhawa maut.
Sekali salah langkah saja, maka
dirinya tidak mungkin dapat lolos dari kematian. Hal itu tentu saja
disadarinya. Walaupun lelaki gagah itu
bukanlah lawan berat bagi Pendekar
Naga Putih, namun sulit juga untuk
menundukkannya. Dia selalu bisa
menghindar sambil sesekali menusukkan pedangnya apabila sudah sangat
terdesak. Lelaki gagah itu mulai menyadari
kalau tidak mungkin akan menang
menghadapi Pendekar Naga Putih. Namun ia pun tidak menginginkan pemuda itu
terbebas dari hukuman atas
perbuatannya yang keji itu. Setelah
mempertimbangkan segalanya, maka
diambilnya keputusan untuk meloloskan diri dari tangan maut Pendekar Naga Putih.
Mulailah dicari jalan agar dapat
meloloskan diri dari pemuda sakti itu.
Namun Pendekar Naga Putih tentu saja tidak ingin membiarkan Iawannya lolos.
Begitu melihat gelagat kalau orang itu hendak mencari jalan untuk lari, maka
semakin diperhebat serangan-serangannya.
"Heaaat...!"
Wuttt! Brettt! "Aaakh...!"
Orang itu menjerit kesakitan
ketika sebuah tusukan jari tangan
Panji mengenai bagian atas dada
kirinya. Tubuhnya langsung terlempar sejauh dua tombak ke belakang. Darah tampak
merembes melalui lukanya yang terasa perih itu. Ketika tampak
Pendekar Naga Putih melompat mengejar, cepat senjatanya dilemparkan ke arah
lawan. Kemudian, secepat kilat
tubuhnya melompat ke semak-semak.
Pendekar Naga Putih cukup
terkejut melihat pedang lawan meluncur ke
arahnya. Bergegas tubuhnya
dimiringkan, sehingga senjata itu
lewat di sisinya.
"Bangsat!" geram Panji ketika melihat Iawannya menghilang di balik semak-semak.
Cepat pemuda itu bergegas mengejarnya. Tubuhnya melesat ke balik semak-semak
tempat Iawannya tadi
menghilang. Kegelapan senja yang mulai
menapak, membuat pemuda itu mendapat kesulitan untuk menemukan Iawannya.
Setelah cukup lama mencari, namun
tidak juga dapat menemukan orang itu, maka dengan hati kesal Pendekar Naga Putih
bergegas meninggalkan tempat
itu. Lama setelah kepergian Pendekar
Naga Putih, sesosok tubuh melayang
turun dari atas pohon yang tidak jauh dari semak-semak. Sambil menekap luka di
bagian atas dadanya, kakinya
melangkah tertatih-tatih meninggalkan hutan. Lelaki gagah itu mengambil
jalan yang berlawanan, agar tidak
kepergok orang yang mcngaku berjuluk Pendekar Naga Putih itu.
Malam pun semakin merayap
menampakkan kekuasaannya. Bintangbintang tampak menghiasi cakrawala
yang berwarna biru gelap. Rembulan
tersenyum memancarkan cahayanya,
menerobos kegelapan malam.
*** 3 "Tolooong...! Ada rampok....
Pembunuh...!"
Seorang laki-laki bercaping bambu
berlari sambil berteriak-teriak.
Cangkulnya yang semula tersandang di punggung, terlempar entah ke mana.
Beberapa orang petani yang hendak
berangkat ke sawah, tertegun sesaat.
Mereka terkejut melihat laki-laki yang berlari bagai dikejar setan itu.
"Bukankah itu tukang kebun Tuan Wiralaga" Mengapa berteriak-teriak
seperti itu" Di mana pula ada perampok dan pembunuh?" bisik salah seorang petani
kepada kawannya.
Orang yang diajak bicara hanya
memandang bingung karena memang tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya
memandang kawannya sambil mengangkat bahu tanda tak mengerti.
"Hei, Karja! Ada apa" Siapa yang dirampok" Dan siapa pula yang
dibunuh"!" desak seorang laki-laki bertubuh sedang, menghentikan lari
orang yang bernama Karja itu.
"Ada perampok... Pembunuh....'"
kata Karja dengan napas megap-megap
bagaikan ikan yang diangkat dari
sungai. Wajahnya tampak pucat bagai
tak teraliri darah.
Sepertinya laki-laki setengah
baya yang bernama Karja itu masih
dilanda ketegangan dan keguncangan.
Dan memang, meskipun orang bertubuh
sedang itu bertanya lembut, ia hanya menjawab dua patah kata saja. Dan itu pun
diulang-ulangnya.
"lya, siapa yang dirampok" Siapa yang dibunuh"!" teriak laki-laki bertubuh
sedang itu sambil
mengguncang-guncangkan tubuh Karja.
Rupanya kesabarannya hilang melihat
sikap Karja yang hanya mengulang-ulang dua kata itu saja.
"Bawa saja kepada kepala desa.
Siapa tahu Ki Banggala dapat
menyadarkannya?" usul salah seorang penduduk kepada lelaki bertubuh sedang yang
tengah mengguncang-guncang tubuh Karja.
Mendengar usul yang baik, orang
itu menganggukkan kepalanya. Kemudian tanpa minta persetujuan orang yang
bersangkutan, langsung ditarik tubuh Karja untuk menemui Ki Banggala yang
menjadi pemimpin desa itu.
"Ada apa, Kakang Dungga?" tanya salah seorang penjaga rumah kepala
desa begitu mengenali siapa orang yang datang itu.
"Entahlah, Adi. Aku pun masih
belum jelas. Tapi sepertinya si Karja ini baru saja mengalami peristiwa
hebat," sahut orang bertubuh sedang yang ternyata bernama Dungga itu.
Dungga kemudian melangkah kan kakinya, sambil menggamit lengan Karja menuju
pintu masuk rumah kepala desa.
Sementara penjaga itu segera
mensejajarkan langkahnya di samping
Dungga. "Jadi Kakang Dungga pun belum
tahu apa yang telah dialami orang ini"
Lalu, mengapa Kakang membawanya ke
sini" Untuk apa, Kakang" Siapa tahu ia hanya orang gila yang kesasar," kata si
penjaga yang rupanya tidak mengenai lelaki yang dibawa kawannya itu.
"Bodoh kau! Kalau tidak ada apa-apa, mengapa harus bersusah-susah
membawanya ke sini" Lagi pula, aku
kenal baik orang ini. Dia sama sekali bukan orang gila seperti yang kau
sangka itu!" sahut Dungga agak kesal.
"Sekarang, lebih baik beritahukan kepada Ki Banggala kalau aku ingin
bertemu dengannya!"
"Tapi, Kakang Mana aku berani"
Aku juga belum tahu, apakah Ki
Banggala sudah bangun atau belum! Kau sajalah yang membangunkannya, Kakang.
Bukankah kau orang kepercayaannya"
Jadi kalau kau yang memberitahukannya, mungkin dia tidak terlalu marah,"
tukas si penjaga yang tidak berani
membangunkan kepala desanya.
"Ah, dasar kau!" umpat Dungga semakin bertambah kesal mendengar
jawaban yang berbeda dengan
keinginannya. Tanpa banyak cakap lagi, Dungga
bergegas menaiki anak tangga yang
menuju ke pintu depan. Tangan kanannya tetap menarik Karja yang terus saja
mengoceh hingga tak ubahnya seorang
pemabuk, Der, der, der! "Ki...! Aku Dungga, ingin
melaporkan sesuatu yang sangat
penting!" Sambil menggedor-gedor pintu,
Dungga berteriak-teriak membangunkan penghuni rumah yang sepertinya masih
terlelap. Memang saat ini hari masih terlalu pagi. Hanya para petani yang
sawahnya jauh saja yang sudah
berangkat, memulai kehidupan di
mayapada ini. Setelah agak lama menunggu,
terdengar langkah kaki yang terseret menghampiri pintu depan. Di situ,
Dungga menunggu tak sabar.
"Apakah Ki Banggala sudah bangun"
Cepat laporkan, Dungga ingin
menyampaikan sesuatu yang sangat
penting!" desah Dungga ketika melihat yang membuka pintu temyata hanyalah
pembantu kepala desa.
Pembantu itu mempersilakan Dungga
dan Karja untuk masuk, kemudian
kembali ke ruangan dalam untuk
memberitahukan majikannya. Dan tak
berapa lama, tampak seorang laki-laki gagah berusia kira-kira lima puluh
tahun muncul. Sepasang matanya nampak segar, menandakan kalau ia telah lama
bangun dari tidur.
"Hm.... Kau rupanya, Dungga. Ada keperluan apa sepagi ini sudah datang
menghadapku" Dan siapa pula orang kau bawa itu?" Ki Banggala yang begitu tiba,
langsung memberi pertanyaan
beruntun. Keningnya berkerut ketika
mendengar ocehan yang keluar dari
mulut orang yang datang bersama Dungga itu.
"Begini, Ki...," Dungga pun lalu menceritakan kejadian yang sebenarnya.
"Hm...," Ki Banggala bergumam tak jelas setelah mendengar penuturan
pembantu utamanya itu. Cepat-cepat
pelayannya diperintahkan untuk segera mengambilkan air putih.
Tak lama, pelayan itu keluar


Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa air putih yang diminta
majikannya. Kemudian, segera
diserahkannya air putih itu. Ki
Banggala segera meraih dan
meminumkannya ke mulut Karja yang
hanya menerima tanpa perlawanan.
Kemudian orang tua itu memijat
beberapa bagian di pelipis dan
belakang kepala Karja.
"Karja kau dengar suaraku"
Kenalkah kau, siapa aku?" tanya Ki Banggala begitu melihat mata Karja
kembali menunjukkan tanda-tanda
kembali seperti biasa.
"Ki.... Banggala!" seru Karja setelah beberapa saat lamanya menegasi wajah lakilaki setengah baya yang
duduk di depannya. Suaranya terdengar masih mengambang.
"Ceritakan, apa yang telah
terjadi dan di mana kau melihatnya,"
desak Ki Banggala begitu mengetahui
kalau Karja benar-benar telah tenang kembali.
Dengan terputus-putus, Karja lalu
menceritakan apa yang telah disaksikan di rumah majikannya.
Berkali kali wajahnya ditutup
dengan kedua telapak tangannya ketika terbayang peristiwa yang menimpa
keluarga majikannya.
"Hm.... Jadi kau sempat melihat perampok itu, Karja?" tanya Ki
Banggala setelah mendengar penuturan Karja sampai selesai.
"Benar, Ki. Saat itu kebetulan si perampok berdiri di bawah sinar lampu.
Jadi aku sempat melihat wajahnya yang masih muda dan tampan. Dia bukan saja
merampok, Ki. Tapi juga membunuh
seluruh keluarga majikanku. Bahkan
sebelum membunuh, sepertinya ia telah memperkosa putri majikanku, Ki," tutur
Karja dengan wajah sedih. Laki-laki
setengah baya itu menutup wajahnya
seolah-olah ingin membuang semua
bayangan buruk yang sangat mengerikan itu.
"Hm.... Bagaimana kau tahu kalau putri majikanmu telah diperkosa
sebelum dibunuh?" tanya Ki Banggala lagi dengan alis berkerut
Dan memang, biar bagaimanapun, Ki
Banggala boleh juga mencurigai Karja.
Sebab, hanya dialah satu-satunya orang yang mengetahuinya. Tentu saja hal itu
bukan berarti Ki Banggala menuduh
Karja sebagai pelakunya.
"Setelah perampok biadab itu
pergi, aku lalu memeriksa seluruh
ruangan. Dan ketika memasuki kamar
putri majikanku, ternyata dia telah
tewas dalam keadaan tidak berpakaian.
Itulah sebabnya aku menduga demikian, Ki," tutur Karja lagi.
"Baiklah. Kalau begitu, kita
harus segera berangkat untuk melihat keadaan tempat majikanmu itu," kata Ki
Banggala, setelah jelas dengan semua keterangan yang diperoleh dari tukang kebun
Tuan Wiralaga yang merupakan
orang terkaya di desa itu.
Setelah memerintahkan pembantunya
untuk menyiapkan beberapa ekor kuda, Ki Banggala bergegas memasuki kamar
untuk mengganti pakaiannya.
*** Lima ekor kuda berpacu cepat
melintasi jalan utama desa. Keremangan pagi tidak menjadi halangan bagi lima
orang untuk mempercepat lari kudanya.
Karena yang ditempuh hanyalah jalan
lurus yang biasa dipakai umum.
Ki Banggala yang berada paling
depan, segera membelokkan kudanya
menuju Timur desa. Tidak jauh di
belakangnya, tampak Karja yang juga
menunggang kuda. Sedangkan Dungga dan dua orang lainnya berada paling
belakang. Dan kini, kelima ekor kuda itu
berhenti di depan sebuah rumah yang
dikelilingi tembok kokoh. Ki Banggala terus saja melompat dari atas punggung
kuda begitu telah berada di halaman
rumah besar itu.
Karja, Dungga, dan dua orang
lainnya juga bergegas turun dari atas punggung kuda. Senjata mereka telah
terhunus untuk menjaga kemungkinan
yang akan dihadapi nanti.
"Kalian berdua tunggu di sini!
Biar aku, Karja, dan Dungga saja yang memeriksa keadaan di dalam. Ingat!
Jika kalian melihat sesuatu yang
mencurigakan, cepat beri
tanda!" perintah Ki Banggala kepada dua orang pengawalnya.
"Baik, Ki!" jawab salah seorang dari kedua penjaga itu mengangguk
hormat. Setelah mencabut senjata yang
tergantung di pinggang, Ki Banggala
melangkah memasuki rumah besar itu
melalui jalan samping. Dungga
mengikuti di belakangnya. Sedangkan Karja berjalan di belakang Dungga.
Wajah laki-laki setengah baya itu
tampak pucat ketakutan.
Ketiga orang itu terus melangkah
memasuki setiap ruangan yang terdapat di dalam rumah besar itu. Namun mereka
tidak menemukan sesuatu, selain mayat keluarga Tuan Wiralaga dan beberapa
orang pembantunya. Maka ketiga orang itu bergegas kembali ke halaman depaa
"Karja! Menurut penuturanmu tadi, perampok itu hanya seorang diri.
Benarkah itu?" tanya Ki Banggala kembali menegasi keterangan yang
diberikan Karja tadi.
"Betul, Ki," jawab Karja pasti.
"Dan perampok itu adalah seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah
putih, dan mengeluarkan kabut
keperakan pada tubuhnya. Begitu
bukan?" "Ya! Begitulah yang kulihat, Ki,"
sahut Karja lagi. Sebenarnya hati
Karja sudah merasa tidak enak melihat kepala desanya masih terus saja
mendesak dengan pertanyaan-pertanyaan yang serupa. Namun, karena memang
tidak bersalah, maka ia pun tidak merasa takut untuk menjawabnya.
"Kau yakin, Karja" Apakah kau
tidak salah lihat?" desak Ki Banggala kembali.
"Aku yakin, Ki. Karena aku
bersembunyi di semak-semak itu dan
pemuda tampan yang mengenakan jubah
putih tepat berdiri di sini!" jawab Karja sambil menunjuk ke arah semak-semak
yang terpisah beberapa tombak dari tempatnya berdiri. Sinar mata
Karja seperti memancarkan kekesalan
karena didesak terus-menerus.
"Maafkan aku, Karja. Bukan semua keteranganmu tidak kupercayai. Tapi
ciri-ciri orang yang kau sebutkan itu rasanya pernah kudengar. Dan suatu hal
yang mustahil kalau orang itulah yang melakukan perbuatan ini," jelas Ki
Banggala yang menjadi tidak enak
karena terlalu mendesak orang itu.
'Tidak apa-apa, Ki. Aku mengerti
apa yang kau pikirkan. Aku percaya,
semua ini demi kepentingan penduduk
desa agar kejadian semacam ini tidak akan terulang," Karja tersenyum untuk
membuktikan kalau sama sekali tidak
merasa tersinggung atas pertanyaanpertanyaan kepala desanya yang seperti menyelidik dan tidak mempercayai
keterangannya itu.
"Terima kasih, Karja," ucap Ki Banggala juga memperlihatkan senyumnya untuk
menghilangkan ketegangan di
antara mereka. "Ki. Siapakah pemuda tampan
berjubah putih yang pernah kau dengar itu" Dan di manakah tinggalnya?" tanya
Dungga yang rupanya memikirkan tentang perampok tunggal berusia muda itu.
"Hm, dalam rimba persilatan,
hanya ada satu pemuda mengenakan jubah putih yag tubuhnya mengeluarkan kabut
keperakan. Tapi, apa mungkin kalau dia yang melakukannya. Karena orang itu
adalah seorang pendekar besar yang
menjadi kebanggaan tokoh persilatan
golongan putih. Dia berjuluk Pendekar Naga Putih. Kebersihan jiwanya sudah
sering ditunjukkan dengan jalan
membasmi kejahatan. Sayang pendekar
muda yang perkasa itu tidak mempunyai tempat tinggal tetap, Dungga," papar Ki
Banggala tentang pemuda berjubah putih yang pernah didengamya itu.
Wajah orang tua itu nampak menyiratkan kebanggan ketika
menceritakan tentang Pendekar Naga
Putih yang memang sangat dikaguminya itu.
"Ki, Apakah tidak mungkin kalau ada seseorang yang sengaja hendak
mencemarkan nama besar Pendekar Naga Putih?" tiba-tiba saja ucapan itu terlontar
dari mulut Dungga.
"Bisa saja, Dungga. Tapi yang
menjadi persoalan, siapa orang yang
melakukan perbuatan itu" Apakah kau
mempunyai dugaan?" Ki Banggala malah balik
bertanya kepada pembantu
utamanya itu. "Sayang sekali tidak, Ki," sahut Dungga. Wajahnya agak kecewa, karena memang
tidak mempunyai dugaan sama
sekali tentang orang yang melakukan
perbuatan keji itu.
"Yah, sudahlah. Mari kita
kembali. Biar nanti aku suruh beberapa orang penduduk untuk mengurus jenazah
mereka," desah Ki Banggala sambil melompat ke atas punggung kudanya.
Dihelanya kuda itu, yang segera
berjalan menuju ke luar.
Dungga dan yang lainnya segera
mengikuti kepala desa itu meninggalkan rumah kediaman Almarhum Tuan Wiralaga.
Tidak berapa lama kemudian, kelima
penunggang kuda itu kembali menyusuri jalan utama desa.
*** 4 Siang itu matahari memancar
terik. Sinarnya yang kuning keemasan menyirami penmukaan bumi secara
merata. Tiupan angin silir-silir
memainkan pucuk dedaunan.
Di bawah siraman cahaya matahari,
nampak iring-iringan yang cukup
panjang tengah melintasi jalan utama.
Beberapa orang di antaranya terlihat meng-gotong enam buah peti mati.
Sepertinya iring-iringan itu akan
melakukan penguburan.
Wajah-wajah puluhan laki-laki itu
tampak tertunduk sedih. Diduga, suatu musibah baru saja menimpa, sehingga
menewaskan kawan-kawan mereka. Karena pakaian yang dikenakan rata-rata
berwarna putih. Dan pada bagian
punggung terdapat bulatan yang cukup besar. Bulatan itu ternyata adalah
sebuah lambang perguruan.
"Huh! Hal ini tidak bisa kita
biarkan, Kakang! Kita harus mencari
keparat keji itu untuk menuntut
balas!" tegas salah seorang yang berwajah kuning dan pucat. Suaranya ditekan
serendah mungkin agar tidak
terdengar yang lain.
"Tentu saja kita harus
membalasnya, Adi. Tapi yang menjadi
pertanyaan dalam hatiku, apakah semua ini memang hasil perbuatannya" Rasanya aku
belum dapat mempercayainya, Adi!"
sahut orang itu yang masih merasa ragu tentang kejadian itu.
"Hm.... Jadi kau tidak
mempercayai keterangan yang diberikan saudara seperguruan kita, Kakang"
Bukankah tidak mungkin kalau mereka
membohongj kita" Apa untungnya bagi
mereka?" bantah laki-laki berwajah kuning pucat yang merasa tak senang
mendengar jawaban kakak seperguruannya itu
"Bukan aku tidak mempercayai
keterangan saudara seperguruan kita
itu, Adi. Tapi rasanya mustahil kalau ini dilakukan Pendekar Naga Putih!
Bukankah kau pun tahu, siapa Pendekar Naga Putih itu?"
'Tapi bukemkah ia masih muda,
Kakang. Pemuda mana yang tidak akan
tertarik melihat kedua orang adik
seperguruan kita yang cantik-cantik
itu" Mungkin saja pendekar muda itu
khilaf karena melihat kecantikan
mereka. Dan karena mereka tidak
melayaninya, maka jalan kekerasanlah yang diambilnya, lalu dibunuhnya
setelah mereka dinodai terlebih
dahulu! Dan saudara -saudara
seperguruan kita yang mencoba membela, terpaksa harus tewas di tangannya.
Beruntung dua orang saudara kita
berhasil melarikan diri. Sehingga
mereka dapat mengadukan hal ini kepada guru," si muka pucat masih juga
bersikeras mempertahankan pendapatnya.
"Yahhh.... Nantilah kita
bicarakan hal ini kepada guru.
Sekarang yang harus dilakukan adalah menasihati saudara-saudara yang lain.
Agar mereka tidak bertindak sendiri-sendiri. Setelah penguburan ini, baru kita
rencanakan hal itu," jelas orang itu.
*** "Hei, lihat! Bukankah itu
Pendekar Naga Putih!" tiba-tiba salah seorang dari anggota rombongan
pengantar jenazah berteriak sambil
menunjuk ke satu arah.
Mendengar teriakan itu, yang lain
serentak menoIeh. Wajah puluhan orang itu langsung menegang ketika sesosok tubuh
yang mengenakan jubah putih
tampak tengah berjalan ke arah mereka.
Beberapa orang yang semula menggotong peti mati malah serentak
menurunkannya. Pemuda tampan yang tengah
melangkah lambat itu memang Pendekar Naga Putih. Wajahnya yang bersih dan tampan


Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu memancarkan rasa keheranan ketika melihat puluhan orang yang
mengenakan pakaian serba putih
berlarian ke arahnya. Dan rasa heran langsung berubah terkejut ketika
puluhan orang itu langsung
mengurungnya. "Ada apa ini, Kisanak?" tanya Panji yang tetap memperlihatkan sikap tenangnya.
Padahal sebenarnya dadanya berdebar tegang!
"Huh! Tidak perlu bersandiwara, Pendekar Cabul! Lihatlah korban-korbanmu itu!"
sahut salah seorang dari para pengepung itu galak sambil menggerak-gerakkan
pedangnya di depan dada dengan sikap mengancam.
"Ha ha ha...! Rupanya kau sengaja hendak melihat bagaimana korban-korban
kebiadabanmu itu akan dikuburkan.
Begitu bukan?" seru yang lainnya.
Sikapnya jelas sekali menunjukkan
kebencian yang dalam.
"Maaf, Kisanak. Aku sama sekali tidak mengerti pembicaraan kalian ini"
Apakah kalian bersedia
menjelaskannya?" pinta Panji tetap tenang tanpa amarah sedikit pun.
Karena Pendekar Naga Putih tahu, kalau mereka telah salah menuduh.
'Tidak perlu bersandiwara,
Pendekar Cabul! Pembunuhan dan
perkosaan yang telah kau lakukan terhadap murid wanita perguruan kami,
hanya dapat dicuci dengan darahmu yang hitam itu!" bentak lelaki bermuka pucat
Laki-laki itu memang sangat
dendam terhadap Pendekar Naga Putih, karena salah satu korban adalah
kekasihnya. Maka wajarlah kalau rasa dendamnya demikian dalam terhadap
pendekar muda itu.
"Dengarlah, Kisanak. Kalian telah salah menuduh orang" sahut Panji yang menjadi
pucat seketika. Suaranya pun sedikit bergetar. Benar-benar tidak
disangka kalau dirinya akan dituduh
sedemikian kejinya oleh orang-orang
itu. "Tidak perlu banyak bicara,
Pendekar Murtad! Hari ini kami akan
membalaskan sakit hati saudara-saudara kami yang telah kau bunuh itu!
Terimalah hukumanmu! Heaaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan keras,
salah seorang pengepung Itu segera
melompat menerjang Pendekar Naga
Putih. Wuuuttt! Panji melangkah mundur sambil
memiringkan tubuhnya untuk menghindari tebasan golok orang itu, kemudian
melompat ke belakang. Maksudnya adalah untuk menghindari terjadinya
pertempuran. Tapi anggapan orang-orang itu
ternyata lain. Mereka segera
melompat dan menerjang Pendekar Naga Putih yang dikira akan melarikan diri.
Bet! Bet! Bet...!
Beberapa mata pedang berkelebatan
mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.
Cepat Panji melempar tubuhnya ke
belakang, menghindari bacokan. Dua di antaranya segera ditepis karena tidak
mungkin lagi dielakkannya.
Plakkk! Plakkk!
"Uuuhhh...!"
Dua orang pengeroyok yang
senjatanya tertepiskan itu terpental hingga dua tombak jauhnya. Mereka
langsung memijat-mijat tangan yang
terasa bagaikan patah itu. Sedangkan senjata mereka telah terpental entah ke
mana. "Kisanak. Tidak bisakah masalah ini diselesaikan secara baik-baik"
Percayalah! Aku benar-benar tidak
mengerti tuduhan yang kalian lontarkan itu!" dengus
Panji yang tidak
menginginkan terjadinya pertumpahan
darah. Karena, menurutnya semua itu
hanyalah kesalahpahaman saja.
"Apakatamu, Pendekar Murtad"
Bicara baik-baik" Huh! Enak saja!
Setelah kau bunuh dan kau nodai dua
saudara seperguruan kami, kau masih
ingin bicara baik-baik! Jangan mencari alasan, Pendekar Naga Putih! Lebih
baik kau jagalah dirimu agar tidak
tersayat pedang kami!" sahut si muka pucat yang memang sangat membenci
Panji setelah kejadian itu.
"Sudahlah. Untuk apa bicara lagi!
Ia pasti tidak akan sudi mengakui
perbuatannya itu!"
Setelah ucapannya selesai, orang
itu segera melompat sambil menyabetkan senjatanya ke leher Panji.
"Heaaat...!"
Beberapa orang kembali bergerak
mengeroyok Sepertinya pertempuran
tidak mungkin lagi untuk dihindari.
Pendekar Naga Putih yang semula
masih mencoba bersabar, menjadi kesal hatinya. la benar-benar dongkol
melihat sikap keras kepala orang-orang itu. Kemarahannya pun mulai bangkit
ketika disadari kalau orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya memang
benar-benar berniat membunuhnya.
"Hmh...!"
Sambil menggertakkan giginya,
Panji pun mulai menggerakkan tangannya melancarkan serangan balasan.
Bukkk! Desss! "Hukh...!"
Dua orang pengeroyok terjungkal
seketika begitu terkena hantaman
Pendekar Naga Putih. Mereka pingsan
seketika itu juga akibat kerasnya
pukulan yang dilontarkan Panji. Masih untung Pendekar Naga Putih tidak
berniat mencelakai, sehingga tidak
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya.
"Kakang Balewa! Ayo kita hajar
pendekar sesat itu!" ajak si muka pucat, menolehkan kepala kepada kakak
seperguruannya.
Setelah berkata demikian,
tubuhnya langsung melesat disertai
sambaran goloknya yang menimbulkan
deruan angin tajam. Dilihat dari
gerakan dan kekuatannya, pastilah si muka pucat memiliki kepandaian yang
cukup tinggi. Sedangkan orang yang dipanggil
Balewa termangu sejenak. Mulanya ia
masih merasa ragu-ragu untuk melakukan pengeroyokan. Tapi begitu melihat dua
orang kawannya tergeletak akibat
terkena pukulan Pendekar Naga Putih, maka ia segera berkelebat membantu si muka
pucat. Wuttt! Pedang di tangan Balewa menderu
dan menimbulkan sambaran angin yang
kencang! Bahkan gerak-annya terlihat lebih gesit dan mantap daripada si
muka pucat Tubuh Pendekar Naga Putih
berkelebatan menyelinap di antara
sambaran pedang para pengeroyoknya.
SesekaH dilontarkannya serangan
balasan agar tidak terlalu terdesak
Sampai sejauh ini, Panji belum juga
mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya.
Padahal keadaannya
boleh dibilang terancam. Semarah-marahnya Panji, rupanya
masih tidak tega juga untuk menurunkan tangan kejam kepada orang-orang itu.
Sebab disadari kalau tuduhan
terhadapnya bukanlah sekadar fltnah
yang mereka cari-cari.
Pasti ada sebab-sebab yang kuat sehingga tuduhan itu teriempar kepadanya. Dan bukannya
tidak mungkin kalau yang melakukan
adalah orang yang mengaku-ngaku
sebagai dirinya. Jelasnya, pasti ada orang yang memang sengaja hendak
mencemarkan namanya.
Setelah mempunyai dugaan seperti
itu, Panji berniat meloloskan diri
dari kepungan. Maka mulailah matanya melirik jalan keluar yang akan
diterobosnya. Wuttt..! "Ihhh...!"
Untunglah Panji sempat
memiringkan tubuhnya ke samping. Kalau tidak, tentu pedang di tangan Balewa
sudah merobek perutnya. Begitu tebasan pedang Iawannya luput tangan Panji
bergerak menusuk ke arah lambung orang itu. Gerakannya demikian cepat hlngga
hampir tidak tertangkap mata.
Balewa yang mengetahui kehebatan
ilmu Iawannya, cepat menarik mundur
tubuhnya. Namun sayang, ia tertipu!
Sebab saat itu Panji telah menarik
pulang lengannya yang merupakan
serangan tipuan itu. Mendadak tubuhnya berputar sambil melepaskan tendangan ke
arah dada orang itu.
Desss! "Uhg...!"
Tendangan berputar yang dilakukan
Pendekar Naga Putih tepat hinggap di dada Balewa. Tanpa dapat dicegah lagi,
tubuh orang itu pun terjengkang ke belakang disertai semburan darah kental.
Namun sebagai seorang yang terlatih
baik, Balewa langsung melenting
bangkit. Padahal kedudukan kedua
kakinya terlihat agak goyah. Setelah menarik napas berulang-ulang untuk
menghilangkan rasa nyeri yang
diderita, Balewa kembali menerjang
Panji. Sesudah berhasil menjatuhkan
Iawannya yang paling tangguh, tubuh
pendekar muda itu melesat menerobos
kepungan di sebelah kirinya. Si muka pucat yang memang berada di sebelah
kiri menjadi terkejut Ini karena
dirinya menjadi incaran serangan
pemuda itu. Cepat goloknya
dikelebatkan untuk menahan serbuan
pendekar muda yang lihai itu.
Wuttt! Panji hanya periu memiringkan
sedikit tubuhnya membiarkan ujung
golok lawan lewat di sisi tubuhnya.
Secepat kilat tubuhnya merendah,
disertai sebuah totokan yang mengarah lambung si muka pucat!
Sadar akan bahaya yang mengancam,
maka si muka pucat membentak sambil menjejak bumi kuat-kuat. Detik itu
juga tubuhnya melambung melewati
kepala Iawannya. Dan dalam keadaan
masih di udara, goloknya diayunkan,
untuk membelah kepala Pendekar Naga
Putih. "Yeaaat..!"
Pendekar Naga Putih sempat
mengagumi kesigapan gerak Iawannya.
Namun, ia tidak ingin bertindak ayal-ayalan. Cepat tubuhnya dijatuhkan
disertai ayunan kaki untuk menangkis bacokan golok lawan.
Plakkk! "Ahk...!"
Si muka pucat berseru tertahan.
Goloknya terpental akibat hantaman
telapak kaki yang tepat mengenai
pergelangan tangannya. Belum lagi
sempat menyadari keadaannya, sebuah
tendangan berikutnya telah bersarang di dada si muka pucat.
Bukkk! "Hegh...!"
Tubuh si muka pucat yang tengah
meluncur turun itu kembali tersentak ke atas. Darah segar langsung
menyembur dari mulutnya hingga
membasahi jubah lawan. Meskipun
demikian, ternyata tubuhnya masih
sempat juga diselamatkan agar tidak
terbanting di atas tanah.
Setelah berjumpalitan beberapa
kali, kedua kaki si muka pucat hinggap di atas permukaan tanah dengan
selamat. Kedua tangannya tampak
menekap bagian dada yang terasa bagai patah tulang-tulangnya. Rupanya
tendangan Pendekar Naga Putih telah
menjadi berlipat kekuatannya karena
dibantu daya luncur tubuh si muka
pucat itu sendiri. Dan akibatnya dia mengalami luka yang cukup parah!
Begitu kesempatan untuk
meloloskan diri terbuka, tubuh Panji segera melesat meninggalkan tempat
itu. Lesatannya demikian cepat bagai kilat, karena disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Sekejap kemudian, tubuh pemuda berjubah putih itu sudah
jauh meninggalkan para pengeroyoknya.
"Keparat kau, Pendekar Naga
Putih! Sampai ke ujung dunia pun, aku bersumpah akan tetap mengejarmu!"
teriak si muka pucat dengan napas
terengah-engah. Hatinya benar-benar
penasaran sekali melihat musuh yang
sudah di depan mata ternyata mampu
meloloskan diri.
"Sudahlah, Adi. Lebih baik
kuburkan dulu mayat-mayat itu. Sesudah itu baru kita melaporkan kejadian ini
kepada guru," bujuk Balewa yang merasa tidak tega melihat keadaan adik
seperguruannya yang tengah dilanda
kekecewaan dan kesedihan itu.
"Aku bersumpah akan mencarinya
nanti, Kakang. Berjanjilah bahwa kau juga akan membantuku," pinta si muka pucat
kepada kakak seperguruannya itu.
"Aku berjanji akan membantumu,
Adi. Karena hal itu memang sudah
menjadi kewajibanku dan juga kewajiban seluruh murid perguruan kita," jawab
Balewa menenangkan perasaan adik


Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperguruannya.
Dan kini, rombongan itu kembali
bergerak ke daerah pekuburan. Saat itu matahari
sudah semakin tinggi.
Sinarnya terasa menyengat permukaan
kulit. Seolah-olah sang mentari tidak peduli dengan kejadian yang
berlangsung di bawahnya.
*** 5 Pendekar Naga Putih terus berlari
mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Perasaannya benar-benar kacau akibat kejadian yang baru saja dialaminya
itu. Sudah cukup jauh juga dia
berlari. Dan kini Panji tiba di suatu jalan setapak yang di kanan-kirinya
ditumbuhi semak belukar.
"Perlahan dulu, Anak Muda...!"
Tiba-tiba terdengar teguran halus
yang mengandung perbawa kuat. Mau tak mau Panji yang saat itu baru saja
mengurangi kecepatan larinya menjadi terkejut dan menghentikan larinya.
Kening Pendekar Naga Putih
berkerut dalam ketika melihat seorang kakek tengah melambaikan tangan ke
arahnya. Usianya sekitar delapan puluh tahun. Ketika melangkah menghampiri
Panji, jubah putihnya tertiup angin.
Empat orang lelaki gagah yang
berpakaian serba putih, ikut
menyertainya. Dua di antaranya, tampak dalam keadaan terluka.
Melihat lambang garuda putih yang
ada di dada, Pendekar Naga Putih bisa menduga kalau mereka berasal dari
Perguruan Garuda Putih. Dan kalau tak salah, pemimpin perguruan itu adalah Eyang
Sancaka. Dan kini laki-laki tua itu telah berdiri di antara mereka, di depan
Panji "Ada keperluan apakah Kakek
menahan langkahku?" tanya Panji sopan.
Terus terang, dada Pendekar Naga
Putih berdebar tegang saat melihat
pakaian yang dikenakan mereka. Karena pakaian itu mengingatkannya kepada
orang-orang yang tadi mengeroyoknya.
"Hm.... Maaf kalau aku
mengejutkanmu, Pendekar Naga Putih.
Bukankah demikian julukanmu?" ucap Eyang Sancaka. Suaranya juga lembut
dan berwibawa. Tampak tangan kanannya mengelus-elus perlahan jenggotnya yang
panjang dan berwarna putih.
"Benar, Kek. Itulah julukan yang diberikan orang kepadaku," jawab Panji.
Perasaannya semakin tidak enak Pikirannya kembali melayang kepada
tuduhan yang dilontarkan pada
pengeroyoknya tadi
"Hm.... Benarkah pemuda ini yang telah melakukan perbuatan itu,
Panjala" Telitilah dulu?" Eyang Sancaka mengalihkan pandangan ke arah
salah seorang muridnya yang tampak
mengalami luka. Nada suaranya jelas
meminta penegasan.
"Benar, Eyang. Tidak salah lagi!
Pemuda inilah yang telah melakukan
perbuatan biadab itu! Aku yakin,
Eyang. Dan aku tidak akan salah!"
jawab laki-laki gagah yang bernama
Panjala itu tegas. Sepasang matanya
menatap Panji dengan sorot dendam yang hebat
"Kau, Banawa. Benarkah pemuda
ini yang telah mehikaimu?" tanya kakek itu lagi kepada muridnya yang lain.
Orang itu juga dalam keadaan terluka pada bagian bahunya.
"Benar, Eyang Pemuda inilah yang telah melukai-ku dan menodai serta
membunuh dua orang murid wanita kita,"
jawab laki-laki brewok yang dipanggil Banawa itu tanpa keraguan sedikit pun.
Panji yang saat itu pikirannya
masih kalut, sebenarnya merasa
tersinggung juga mendengar keluhan
itu. Sepertinya mereka menganggapnya sebagai maling tertangkap basah yang
hukumannya sedang diputuskan. Tapi
karena masih memandang orang tua itu, maka Panji terpaksa menelan rasa
jengkelnya. "Nah.!Kau dengar sendiri apa yang telah dikatakan kedua orang muridku
ini, Anak Muda. Sekarang apa
pendapatmu?" kata
Eyang Sancaka, mengalihkan pertanyaannya kepada
Pendekar Naga Putih.
"Maaf, Kek. Bukan aku ingin
menyangkal apa yang dituduhkan
kepadaku. Tapi aku memang benar-benar tidak tahu apa sebenarnya yang kalian
inginkan?" sahut Panji. Nadanya terdengar agak keras. Namun demikian sikap yang
ditunjukkannya tetap
membayangkan ketenangan, karena ia
memang tidak merasa telah berbuat
salah terhadap orang-orang itu.
"Hm.... Perbuatanmu telah
mencoreng nama besarmu sendiri,
Pendekar Naga Putih. Dan di sini ada dua orang saksi
yang langsung mengalami kejadian itu. Dan apa-apa
yang mereka katakan itu adalah
kebenaran yang tidak mungkin
diingkari," gumam Eyang
Sancaka lembut. Namun di balik kata-katanya, terkandung tuntutan yang tidak mungkin
dibantah. Panji terdiam untuk beberapa saat
lamanya. Ia mulai meragukan dirinya
sendiri. Apakah benar perbuatan
seperti yang mereka tuduhkan itu telah dilakukannya" Kalau tidak, mengapa
tampaknya mereka begitu yakin kalau
dirinya yang telah melakukan" Ia yakin kalau orang-orang itu tidak hanya
sekadar melemparkan fitnah belaka.
Sebab Pendekar Naga Putih kenal betul kalau Perguruan Garuda Putih adalah
perkumpulan orang-orang gagah yang
tidak akan sembarangan menuduh.
Apalagi, perguruan itu dipimpin Eyang Sancaka yang cukup arif dan bijaksana.
"Itu dia si Pendekar Murtad!"
Belum lagi Panji sempat menjawab
pertanyaan yang dilontarkan kakek itu, tiba-tiba terdengar seruan keras.
Pendekar Naga Putih dan kelompok
orang dari Perguruan Garuda Putih
sama-sama menolehkan kepalanya ke arah teriakan tadi. Kening semua orang yang
ada di situ jadi berkerut melihat
tujuh orang laki-laki gagah dengan
langkah lebar-lebar mendatangi mereka.
Dari roman wajah tujuh orang itu jelas tei gambar kemarahan yang ditujukan
kepada Panji. "Hei! Pendekar Murtad, apakah kau masih ingat kepadaku?" tanya salah seorang
dari ketujuh laki-laki gagah itu dengan suara yang sangat
menyakitkan telinga.
"Maaf, Kisanak. Aku sama sekali belum mengenalmu. Dan rasanya kita
belum pernah berjumpa," sahut Panji.
Rasanya hati Pendekar Naga Putih
semakin tidak enak saja. Dia mulai
menduga kalau kedatangan orang itu
mungkin membawa persoalan yang akan
menambah ruwet pikirannya.
*** "O, begitu. Jadi kau tidak ingat dengan wanita desa yang kau gauli di dalam
hutan, dan kemudian kau bunuh
secara kejam" Mungkin kalau saat itu aku tidak berhasil meloloskan diri,
pasti tubuhku sudah hancur oleh
pukulanmu. Kenapa kau masih
menyangkalnya, Pendekar Murtad?" ejek laki-laki bertubuh sedang itu setengah
membentak. Wajahnya tampak memerah
karena kemarahan yang menggelegak
Mendengar tuduhan itu, tubuh
Panji menggigil hebat! Wajahnya
berubah pucat bagai tak teraliri
darah. Tuduhan itu terdengar bagaikan ledakan petir di telinga pemuda tampan
itu. "Hm.... Ini sudah keterlaluan.
Apa sebenarnya maksud kalian
melontarkan fitnah keji itu kepadaku"
Lihatlah baik-baik. Apakah orang yang melakukan perbuatan keji itu adalah
aku" Apakah orang itu memiliki ilmuilmu sepertiku" Jawablah!" teriak Panji dengan suara menggelegar.
Hati Pendekar Naga Putih benarbenar merasa terpukul atas tuduhan
yang telah dilemparkan orang-orang itu kepadanya. Kemarahan dan rasa sakit di
hatinya benar-benar sudah tidak dapat ditahan lagi.
Lima orang dari Perguruan Garuda
Putih dan tujuh orang tokoh persilatan itu melangkah mundur melihat sikap
yang ditunjukkan pemuda itu. Serentak kedua belas orang itu bersiap
menghadapi segala ke mungkinan yang
bakal terjadi. "Jangan coba untuk menyangkal,
Pendekar Murtad. Kalau seandainya kau memiliki saudara kembar, apakah orang itu
juga mempunyai ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' seperti yang kau miliki itu"
Tidak mungkin, bukan" Nah,
sekarang lebih baik kau menyerah untuk mempertanggungjawabkan segala
kejahatanmu!" desak laki-laki gagah yang tak lain adalah Panjala, murid
utama Perguruan Garuda Putih dengan
suara mengejek.
"Jadi.... Jadi orang itu memiliki ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'?"
tanya Panji seperti bertanya pada
dirinya sendiri. Suaranya terdengar
bergetar hingga tak ubahnya seperti
orang berbisik Wajah pemuda itu
semakin bertambah pucat ketika
mendengar penjelasan Panjala.
"Benar! Dan orang itu juga
mengeluarkan sinar putih keperakan
dari tubuhnya. Jadi sudah pasti kalau orang Itu adalah kau, Pendekar Naga
Putih!" bentak Banawa, keras. Rupanya ia juga sudah tidak sabar untuk segera
membalas perlakuan pemuda itu terhadap saudara-saudara seperguruannya.
"Keji...! Kalian telah
melemparkan fltnah keji karena tidak suka kepadaku!" hati Panji benar-benar
terguncang mendengar tuduhan-tuduhan yang dijatuh-kan kepadanya itu.
"Huh! Percuma saja. Apa pun yang kita katakan, ia tetap akan
menyangkal!" timpal salah seorang dari tujuh laki-laki gagah itu, seraya
mencabut pedang yang tergantung di
pinggangnya. "Ya! Lebih baik kita seret dengan paksa!" seru yang lain sambil
menghunus senjatanya.
Tanpa banyak cakap lagi, orang
itu langsung melompat menerjang Panji.
"Yeaaat..!"
Keenam orang tokoh lainnya
bergegas melompat menyusul kawannya.
Senjata-senjata mereka bergerak cepat menciptakan gulungan sinar yang
menyilaukan mata.
Wuttt! Wukkk..!
Dua batang pedang menderu keras
dari sebelah ldri. Sedang yang lainnya sudah pula menyusul mengancam tubuh
pemuda berjubah putih itu.
Meskipun hati Pendekar Naga Putih
terguncang sangat hebat, namun
nalurinya yang terlatih telah membuat tubuhnya bergerak menghindari sambaran
pedang lawan. Cepat-cepat Panji
melempar tubuhnya ke belakang untuk
mempersiapkan jurus-jurusnya.
"Heeeaaa...!"
Terdengar pekikan laksana
binatang terluka yang keluar dari
mulut Panji. Rasa sakit hati dan
penasaran telah membangkitkan
kemarahannya. Sesaat kemudian, selapis kabut yang bersinar putih keperakan
pun mulai bergerak menyelimuti seluruh tubuhnya Menyadari kalau lawan
bukanlah orang-orang sembarangan, maka Pendekar Naga Putih mulai mengeluarkan
ilmu-ilmu andalannya.
Jurus 'Naga Sakti' yang tidak
pernah digunakan secara sembarangan, juga dikeluarkan. Hal ini dilakukan
untuk menyelamatkan diri dari ancaman senjata dan pukulan para
pengeroyoknya. Ketujuh orang laki-laki gagah itu
tersentak mundur ketika ada serangkum hawa dingin yang menyergap tubuh
mereka. "Hm.... Anak muda ini benar-benar hebat! Sayang ia telah memilih jalan yang
salah dan tercela," ucap Eyang Sancaka yang menjadi Ketua Perguruan Garuda
Putih, lirih. Dari nada suaranya, jelas kalau
kakek itu merasa kecewa terhadap
Panji. Sebentar kemudian tubuh kakek itu melesat ke tengah arena
pertempuran Tangan kanannya mengibas, persis orang mengukir lalat
Wusss...! Hebat sekali! Kibasan tangan si
kakek yang terlihat sembarangan itu ternyata berhasil menguslr hawa dingin yang
keluar dari tubuh Pendekar Naga Putih.
Dan tentu saja hal itu membuat
Pendekar Naga Putih terkejut dan
semakin bersiaga penuh. Disadari betul kalau kakek itu satu-satunya lawan
yang terberat Dua orang murid urama Perguruan
Garuda Putih sudah pula melompat ke
tengah arena. Mereka ma-sing-masing telah menghunus sebatang pedang.
"Sambutlah, Anak Muda!" seru Eyang Sancaka sambil melompat
melakukan serangkaian serangan yang
menimbulkan sambaran angin mencicit
Gelang Kemala 5 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Darah Dan Cinta Di Kota Medang 17

Cari Blog Ini