Batu Keinsyafan Karya Dwinanto Setyawan Bagian 1
Balaiifglakqx - -,__,';:'
WN ICNALRI uas-"f" mgkn ' w..)- leg-;, -' Batu "Keinsvafan Dwinanto Setyawan awi, JP FC " W FERFLEIAKAAH namum. RI Bala! Pustaka
Batu Kainevafan Diterbitkan oleh Penerbitan dan Peroetakan
PT Balai Pustaka (Persero)
Jalan Bunga Na. Bea Matraman,.lakarta Timur 13140
TeliFaka. [GE-21) 858 33 99
Website. http:!Wwbalaipus"takaoojd
BP No. 2963 No KDT. Edisi Revisi Cetakan 1: 1991 Cetakan 2: 1993 Penulis: Daic-into Setyawan
B'Clhlm.;14.8 ! 21em BBN! ?"?"401995
Penyelaras Bahasa:FebiRamadan
Penala Letak: Rahmawati __ _
Perancang Sampul: B.L. Bambang Prasodjo
Undang-Undang Republik iri'd-pnesia Nomor 19 Tahun 213132 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan l'ak eksklusif bagi pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya. yang timbul secara utar-ratis setlah
sLatu cipaan dilahirkan tanpa mengurangi pembaasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal "2: 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa tak melakukan perbuatan setagaimara
din'aksud dengan Pasal 2 ayat [H atau Pasal 49 ayat [H dan ayat [23 dipidara dengan
pidara penjaia masing"nasing paling singkat 1 [satu) bulan danfatau denda paling
sedikit Rp1 00090100 [satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 3' [tujuhj
tahun danfatau denda paling banyak Rp5.000.003.000.00 [Iirra miliar rupiah).
2. krangs'apa dengan sengaja menyiarkan. merramerkan. mengedarkan. atau menjLaI
Kepada umum sLatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hakcipta atau HakTerlait
sebagairrana din'aksud pada ayat [13 dipidara dengan pidara penjaia paling larra 5
[lima) tahun danfatau denda paling banyak Rp500.000.000.00 [Iirra ratus juta rupiah).
mmm-namum.- B::j Pusuk: Kata Pengantar Cerita anak yang kami sajikan kali ini mengandung suatu
hikmah hidup, yang berhasil menyadarkan sekelompok perampok
dari sifatjahat dan tak berperikemanusiaan, kejalan yang benar.
Cerita mengisahkan kehidupan sekelomppkfmanusia yang
selalu mengganggu ketenangan dan ketenteraman penduduk di
beberapa desa. Yang menjadi korban bukanfhanya penduduk atau
orang yang kaya saja, tetapijuga merekayang miskin.
Hal ini menyebabkan rakyat menjadi sangat merana dan
selalu merasa was"was. Tetapi akhirnya dengan menyaksikan
korban"korban akibat perbuata_'r-'i"mereka sendiri itu, insyaflah para
perampok tersebut dan kembalilah mereka ke jalan yang benar,
tanpa suatu kekerasan sedikitpun.
Demikianlah kisah-petualangan yang dijalin secara menarik
oleh saudara Dwianto Setyawanyang sudah tidak asing lagi dalam
dunia karang"mengarang cerita anak dan remaja atau mau pun
umum. Balai Pustaka "fi. ._ & iii Baftar Zai Kata Pengantar .............................................................................. iii
Sibaja dan Ayahnya ...................................................................... 'I
Tawanan yang Mengagumkan ................................................ 9
Tuntutan Panglima Telinga Satu ............................................. "IS
Pembicaraan yang Menyentuh Hati ...................................... 23
Perjalanan ........................................................................................ 31
Batu Keinsyafan ............................................................................. 40
Segalanya Pun Berubah ............................................................. 4"
mmm-namum.- B::j Pusuk: Sibaja dan ayahnya Sibaja berdiri tegak. Matanya menatapjalan setapak di kaki
bukit. Jalan kecil itu berkelok"kelok bagaikan ular putih yang
panjang sekali. Ia berumur lima belas tahun. Tetapi wajahnya tampak lebih
dewasa dari usianya. Sikapnya kelihatan matang. Hal itu barangkali
disebabkan oleh tempaan kekerasan hidup dalam lingkungannya.
Sinar mata yang memancar dari mata yang lebar itu menyiratkan
kecerdasan pikirannya. Dan jelas kelihatan dari wajahnya bahwa
Sibaja biasa berpikir banyak, memikirkan segala sesuatu.
Pemuda kecil itu maju selangkah. Tatapan matanya lebih tajam
ke bawah. Tetapi belum tampak sesuatu yang bergerak di jalan
setapak yang menuju ke puncak bukit tempatnya berdiri.
Rambutnya yang panjang sampai ke bahu berkibar-kibar ditiup
sang bayu. Ujung ikat kepalanya yang terbuat dari kain bersulam
benang emas melambai"lambai bagaikan sepasang bendera kecil.
Dadanya telanjang. Hanya tertutup sehelai selempang dari kain
berwarna kuning emas yang menyilang dari bahunya yang kekar
ke arah samping pinggang. Celananya komprang sampai sebatas
lutut. Warna celananya kuning dengan pelipitkain biru tua. Sebilah
parang yang bersarung kulit buaya bergantung pada sabuknya
yang lebar berwarna hitam.
Sibaja berdiri seperti seorang pangeran. Memang, ia adalah
'pangeran'. Bukan karena ayahnya seorang raja yang berdaulat
613 "Primagama: asa.-.a Depan 1
atau karena ia memiliki darah bangsawan, sama sekali tidak. Sibaja
adalah 'pangeran' karena ia adalah putra Simacan, raja perampok
yang paling ditakuti di negeri itu. Ia adalah pewaris harta kekayaan
ayahnya. Ia pula yang kelakakan menggantikan ayahnya memimpin
ratusan anak buah, para pera mpok, yang tersebar di seluruh negeri.
'Putra mahkota' raja perampok itu menoleh, ketika telinganya
menangkap bunyi langkah kaki. Dilihatnya Paman Begor datang
mendekat. Paman Begor adalah orang kepercayaan ayahnya.
Tampangnya menyeramkan. Matanya juling. Mulutnya lebar. Kulit
mukanya kasar. Tetapi bagi Sibaja, laki-laki berumur empat puluh
tahun itu, adalah seorang yang baik hati. Paman Begor adalah
orang yang selalu memperhatikan kepentingan-kepentingannya,
juga gurunya dalam seni keprajuritan. '
"B'elum tampakjuga mereka, heh?" tanya Paman Begor sambil
memandang ke bawah. "Jalan masih sepi," sahutSibajaJ'Ehtah apa sebabnya. Katanya,
Mardaki akan membawa tawanan'penting itu kemari sebelum
tengah hari.Tapi" Ah, terlambat betul dia."
"Terlambat tidak mengapa, Ja! Asal jangan sampai terjadi
sesuatu yang tidak kita kehendaki di perjalanan. Sayang kalau
tawanan kita yang satu-"itu lolos."
"Apakah demikian penting peranannya, Paman?"
"Siapa" Panglima Telinga Satu itu maksudmu?" Paman Begor
menumpangkan tangan ke bahu Sibaja, "Jelas dia orang penting,
.Ia! Kedudukannya tinggi sekali dalam kerajaan negeri ini. Lagi
pula dia merupakan orang kepercayaan baginda. Jika kita berhasil
menculiknya, itu merupakan kemenangan yang luar biasa karena
kita bisa berbuat banyak dengan memanfaatkan dirinya. Kita bisa
minta uang tebusan atau mengorek keterangan tentang kekuatan
tentara kerajaan darinya. Sehingga kita tak perlu khawatir lagi
2 i'inngqu'J' asa.-m Dapem ,-_' -_ 5P
": mmm-namum.- B::j Pusuk: terhadap serangan tentara kerajaan yang selalu ingin menumpas
kita." Si baja meng angguk"angg uk paham.
"Diam menunggu begini terasa sangat menjemukan.
Bagaimana kalau kita berlatih, heh?"
"Siang-siang begini?"
"Apa salahnya" Nah, cabut parangmu." Setelah berkata
begitu, Paman Begor mencabut sebilah pisau pendek yang tajam
mengkilap dari sarungnya.
"Awas!" seru Sibaja memperingatkan.
Lalu pemuda kecil itu mulai menerjang.
Paman Begor menghindar ke kiri dan menangkis ayunan parang
Sibaja. Ting! Bunyi kedua benda tajam itu beradu kuat. Telapak
tangan Sibaja terasa panas. Tetapi ia tidak menghiraukannya.
Ditariknya parang, lalu membabat ke arah pinggang. Paman Begor
berkelit mundur. Cukup lama keduanya berlatih ketangkasan adu senjata tajam.
Sampai pada suatu saat Sibaja merasa mendapat kesempatan
yang tidak ingin disia"siakannya. Kuda"kuda Paman Begor tampak
goyah setelah menangkis serangannya. Seketika itu juga Sibaja
mengayunkan kaki sambil setengahjongkok, menyapu kaki kanan
Paman Begor. Paman Begor yang tidak menyangka akan diserang
secara demikian menjadi gugup. Tapi terlambat. Tahu"tahu
keseimbangannya hilang dan ia roboh terjengkang.
"Bagus sekali, anakku!"
Sibaja menoleh cepat mendengar pujian itu. Dilihatnya
ayahnya telah berdiri di belakangnya. Ayahnya memperhatikan dia
sambil tersenyum puas bercampur rasa bangga.
"Wah, anakmu mengalami kemajuan pesat, Kang," kata Paman
Begor yang sudah berdiri dan mengebas"ngebaskan debu dari
celananya yang longgar. 613 "Primagama: asa.-.a Depan 3
"Kukira juga begitu," sahut Simacan.
Baja perampok itu kemerah"merahan rambutnya. Dan rambut
yang kemerahan warnanya itu berjuntai"juntai sampai ke batas
pinggang. Panjang seperti rambut perempuan. Mukanya lebar.
Bahangnya kekar. Kumisnya melintang bagaikan kumis si .Iampang.
Simacan, perampok ulung yang ditakuti itu, merangkul bahu
anaknya dengan perasaan sayang.
"Mardaki belum tampakjuga, Yah," kata Sibaja kepada ayahnya.
"Tak perlu khawatir," kata Simacan dengan suaranya yang
besar, "i'?".ku percaya kepadanya. Mardaki sudah cukup terlatih
untuk pekerjaan seperti itu. Hanya karena orang penting yang
dibawa nya, tentu ia harus lebih berhati-h ati. Ia harus pa ndai-pandai
menghindarkan diri dan pencarian perajurit"perajuritkerajaan."
Ketiga orang itu berdiri memandang ke bawah. Setelah cukup
lama mereka berdiri memperhatikan ke kaki bukit, dan belum
melihat sesuatu yang mereka nantikan, Simacan mengajak Paman
Begor dan anaknya kembali ke markas mereka yang terletak di
tengah"tengah puncakbukit itu.
Mereka tiba di sebuah perkampungan kecil. ltulah
perkampungan para perampok. Markas besar komplotan Simacan.
Di tempat itulah rencana-rencana kejahatan ditelurkan dan
perintah-perintah kepada anak buah di seluruh negeri dikeluarkan.
Di tempat itu pula harta kekayaan hasil rampokan dikumpulkan.
Paman Begor memisahkan diri. Sementara Simacan dan
anaknya teras berjalan menuju ke tempat tinggal mereka.
Bumah mereka merupakan satu"satunya rumah yang terbesar
di antara bangunan"bangunan yang berserakan di tempat itu.
Dibangun di atas delapan tiang kayu yang kekar. Pada dinding
bambu bergantungan perhiasan, lukisan, pedang, dan pelbagai
benda mahal yang semuanya merupakan hasil rampokan.
4 i'inngqu'J' asa.-m Dapem ,-_' . . _ _ . 6P ": mmm-namum.- B::j Pusuk: Simacan langsung merebahkan diri di lantai bangunan itu.
Kedua lengannya dilipatdi bawah kepalanya sebagai bantal.
Si baja duduktakjauh dari tempat ayahnya berada. Sekali"sekali
ia memperhatikan ayahnya yang memejamkan mata.
Ah, betapa besar kekaguman dirinya terhadap pribadi
ayahnya. Baginya tak ada laki-laki lain di dunia ini yang lebih
besar dari ayahnya. Yang lebih perkasa dari ayahnya. Dan betapa
besar rasa terima kasihnya kepada ayahnya. Karena laki"laki itu
sangat menyayanginya. Laki-laki itu pula yang membesarkan dan
mendidiknya sampai seumurnya sekarang. Ayahnya tak pernah
menikah lagi sejakistrinya, ibu Sibaja, meninggal.
Ia tak peduli siapa ayahnya dan apa pekerjaan-ayahnya. Orang
baik atau orang jahatYang pen ting laki"la ki itu adalah seorang yang
sangat mengasihinya. Kepada dialah selayaknya Sibaja menaruh
rasa hormatsetinggi-tingginya dan membalas menyayanginya.
Andaikata ibunya masih hidup-tentulah masih ada seorang lagi
yang menjadi tumpahan ka sih nya.'Tetapi sayang, ibunya meninggal
ketika melahirkan dia. Di luar, udara bertambah panas. Suasana lebih sepi karena
penghuni perkampunganr'i'tu banyak yang beristirahat, berteduh
menghindari sengatan'sinar matahari yang garang.
"Yah, Yah," panggil Sibaja setengah berbisik.
Ayahnya men oleh. "Ada apa?" "Apa rencana Ayah sebenarnya, sehingga berusaha menculik
Panglima Telinga Satu" Apa benar seperti yang dikatakan Paman
Begor?" "Apa katanya?" Balas Simacan bertanya.
"Katanya,Ayah ingin mengorekketeran gan dari mulutpanglima
itu mengenai kekuatan tentara kerajaan. Atau Ayah menginginkan
uang tebusan?" 613 "Primagama: asa.-.a Depan 5
Simacan tersenyum. Lalu ia duduk menghadapi anaknya dan
menggelengkan kepala. "Bukan itu tujuanku yang utama."
"Lantas apa?" tanya Sibaja agak mendesak.
"Aku ingin mengetahui sesuatu yang sangat rahasia." Simacan
memilin-milin ujung kumisnya. Kemudian ia meneruskan, "Panglima
Telinga Satu adalah sahabat baik Pangeran Muka Merah. Segala
rahasia Pangeran itu diketahuinya."
"Pangeran Muka Merah" Siapa pula dia?"
"Dia adalah adikraja. Dia seorang pang eranyang amatkaya raya.
Kabarnya kekayaannya hampir menyamai milikraja sendiri. Dan dia
senang akan sesuatu yang aneh-aneh. Kesukaannya akan benda
yang aneh"aneh itu menyebabkan ia menyembunyikan harta yang
tak terbilang banyaknya itu. Kabarnya ia memerintahkan menggali
puluhan terowongan di sebuah bukit. Salah satu dari terowongan
Batu Keinsyafan Karya Dwinanto Setyawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu akan membawa kita sampai ke sebuah ruangan berdinding batu
tempat harta itu disimpan. Tetapi untuk menemukan terowongan
yang satu itu bukan soal gampang mengingat begitu banyak
terowonganyang saling bersilangan. Bahkan bagi para penggalinya
sendiri. Sebab setiap hari selalu diadakan pergantian penggali. Yang
tahu pasti tentu hanya pangeran itu sendiri."
"0, aku mulai mengerti sekarang," tukas Sibaja sambil
mengangguk" anggukkan kepalanya. "Tetapi mengapa harus
Panglima Telinga Satu yang akan Ayah mintai keteran ga n?"
"Sebabnya" Karena Pangeran Muka Merah telah meninggal
sebulan yang lalu." Simacan diam sebentar. "Setelah itu aku mulai
berpikir, siapa kira"kira yang mengetahui rahasia itu. Kukira ada
dua orang saja. Yaitu, Sri Baginda sendiri dan Panglima Telinga Satu.
Yang satu adalah kakaknya. Danyang satu lagi, sahabatnya."
5 i'inngqu'J' area-m Dapem ,-_' . . _ _ . 6P ": mmm-namum.- B::j Pusuk: "Primagama: i'iiaaa Depan
7 "Istri dan anaknya?"
"Pangeran itu tidak beristri."
"Untuk menculik Sri Baginda terlalu sulit. Jadi Ayah menculik
Panglima Telinga Satu untuk mengetahui perihal rahasia itu. Begitu,
bukan?" "Kau memang cerdas, Ja! Benar! Begitulahjalan pikiranku."
"Tetapi apakah Panglima Telinga Satu pasti mengetahui rahasia
tempat harta itu?" tanya Sibaja kurang yakin.
" Mema ng belum dapatdipastikan. Mungkin saja ia takta hu apaapa. Aku hanya menerka"nerka saja. Tetapi Hrasatku mengatakan
bahwa Panglima itu pasti mengetahuinya."
"Bagaimana Ayah merasa yakin bahwa ia meng etahui?"
"Hal itu akan kita lihat nanti bila tawanan kita sudah tiba di sini."
Mereka masih mengobrol beberapa saat lagi. Kemudian Paman
Begor datang dan mengabarkan bahwa Mardaki sudah kelihatan
di kaki bukit. Sibaja bangkit dan tergesa"gesa ia keluar dari rumah
hendak menyongsong kedatangan Mardaki serta tawanan itu.
Ayahnya dan Paman Begor menyusul di belakangnya.
Ternyata sudah banyak penghuni perkampungan itu yang
menantikan kedatangan Mardaki. Tampaknya mereka ingin tahu
bagaimana rupa Panglima Telinga Satu, seorang panglima yang
terkenal kegagahannya itu.
8 i'inngqu'J' area-m Dapem ,-_' .., _ . 6P ": mmm-namum.- B::j Pusuk: Tawanan yang mengagumkan Mardaki muncul lebih dulu. Kemudian baru tawanan itu. Di
belakang mereka berjalan dua orang anak buah Mardaki.
Perhatian Sibaja tercurah sepenuhnya kepada tawanan itu.
Seorang laki"laki tua yang kira"kira enam puluh tahun umurnya.
Tetapi meskipun umurnya sudah setua itu ia masih kelihatan
gagah. Tubuhnya tegap dan kekar. Langkahnya tenang. Matanya
memancarkan sinar kewibawaan yang selayaknya dimiliki seorang
panglima. Kumis danjanggutnya putih keperak"perakan warnanya.
Panglima Telinga Satu tidak memakai pakaian kebesaran. Ia
mengenakan pakaian seperti sari dari kain kasar berwarna putih.
Dengan pakaian itu ia lebih mirip seorang pendeta tua daripada
seorang perwira. Yang mengherankan Sibaja dan menimbulkan
kekaguman yang dalam adalah sikap tawanan itu. Ia tidak tampak
gentar sama sekali menghadapi tentangan mata yang liar dari
sejumlah manusia yang terkenal kebuasannya, seperti penghuni
perkampungan Simacan. Mardaki dan kedua temannya menghadap Simacan dan
membungkuk memberi hormat. Merekajuga mengangguk kepada
Sibaja. "Kami datang terlambat, Tuan," kata Mardaki yang bertubuh
kurus itu, "Sebab kami terpaksa bergerak dengan hati"hati. Hampir
61) TiF-imguhjr Ria.-sa Dapem 9
di setiap pelosok, pasukan kerajaan dikerahkan untuk mencari
Panglima Telinga Satu yang hilang. Saya menyuruh tawanan kita
menyamar." Simacan mengangguk penuh rasa puas.
"Aku bisa memaklumi alasanmu. Justru aku merasa bangga
karena kalian tidak bertindak gegabah. Sehingga kalian berhasil
membawa tawanan kita kemari."
Kemudian Simacan menghampiri Panglima Telinga Satu.Tidak
sebagaimana perkiraan anak buahnya, Simacan justru bersikap
sopan terhadap tawanannya. Padahal sebelumnya mereka mengira
Simacan akan bersikap kasar terhadap tawanan itu.
Sibaja memperhatikan kelakukan ayahnya; dengan penuh
perhatian. Hal itu memang sudah menjadi kebiasaannya. Sebab ia
ingin belajar banyak dari pribadi ayahnya.
"Apa kabar, Panglima?" sapa Simacan sambil mengangguk.
PanglimaTelinga satu membalas=jdehgan sekali anggukan yang
tenang. "Baik! Anda, Simacan?"
"ltulah saya. Maaf, karena anak buah saya terpaksa merepotkan
Anda." "Saya mengerti.-Tetapi apa sebenarnya maksud Tuan menculik
saya?" "Itu akan saya jelaskan nanti. Sekarang saya persilakan
Tuan beristirahat lebih dulu. Saya kira Tuan terlalu lelah setelah
menempuh suatu perjalanan yangjauh."
"Memang suatu perjalanan yang sangat meletihkan," kata
panglima itu sambil melirik Mardaki, "Saya terpaksa harus tidur di
antarajerami bercampur dengan anak-anak kambing."
"Saya terpaksa harus melakukannya, Tuan," Mardaki memotong
cepat"cepat. Matanya memandang Simacan, mengharap dimaklumi.
10 nranguaje-nremaDapem .i ', 5P
": mmm-namum.- B::j Pusuk: "Karena saya harus menghindari pemeriksaan tentara kerajaan yang
menggeledah setiap kendaraan yang lewat. Jadi terpaksa Tuan
Panglima saya paksa tidur di bawah tumpukan jerami di dalam
sebuah gerobak." "Anakbuah tuan Simacanya ng satu ini saya akui kecerdikannya,"
kata Panglima Telinga Satu, "Saya tidak marah karena seandainya
saya menjadi dia, saya pun harus berbuat hal yang sama."
Simacan mengangguk"angguk maklum. Sementara Mardaki
tampak merasa lega setelah mendengar perkataan panglima
itu dan bahwa Simacan tidak marah, hal itu sungguh membuat
dadanya merasa lega. "Marilah saya antar Tuan ke tempat yang kami sediakan."
Simacan mempersilakan Panglima Telinga Satu mengikuti
ajakannya. Dengan langkah yang pasti, sedikit pun tidak menunjukkan
keragu-raguan, Panglima itu mengikuti Simacan.
Si baja tidak mengikuti Ayahnya. Ia menghampiri Mardaki.
"Dia ben ar"ben ar orang yang mengagumkan, bu kan?" tanya nya
tiba"tiba. "Siapa?" Mardaki agak heran. Kemudian setelah memaklumi
siapa yang dimaksudkan oleh Sibaja, ia mengangguk, "Dia memang
orang yang luar biasa. Makin lama bersamanya kekagumanku kian
bertambah. Ia seorang laki"laki pemberani.Tenang dan berwibawa.
Pantaslah kalau ia menjadi panglima.
"Pendapatmu sama dengan apa yang kupikirkan," kata Sibaja.
"Sika pnya membuat orang merasa segan."
"Termasuk Ayah, bukan?" tukas Sibaja. Sibaja tahu bahwa
Mardaki tak akan berani membenarkan atau menyangkal
pertanyaannya. Oleh karena itu ia sendiri menyambung, "Tak bisa
dipungkiri.Jelas bahwa ayah pun tampak segan kepadanya."
613 i'inngqu'J' area-m Dapem 1 1
Sibaja mengalihkan soal pembicaraan, "Bagaimana ceritanya,
sehingga kau berhasil menculiknya?"
Mardaki mengajak Si baja duduk di bawah pohon yang rindang.
Tempat itu sudah sepi.Tinggal mereka berdua.
"Kukira kau sudah dengar,Ja!"
"Memang sudah. Tapi kurang jelas."
"Hem!" Lalu Mardaki mulai berkisah, "Mula"mula aku
mengamat"amati kebiasaan panglima itu. Kucari kemungkinan
yang paling baik untuk menculiknya.Ternyata setiap hari Senin, ia
pergi seorang diri ke tepi sebuah hutan yang letaknya di pinggir
ibu kota. Ia menyepi di situ mulai sore sampai malam hari.'u"u'ah, aku
senang sekali setelah mengetahui kebiasaannya itu. Akan sangat
gampang menculiknya. Dan begitulah, pada hari-yang kupilih, aku
dan dua orang anak bu ah ku menyergapnyayMudah sekali." Mard aki
diam sebentar. Matanya menatap daun-daun pohon yang rindang
itu. "Lalu bagaimana?"
"Menculiknya gampang, ,ji-Jstru membawanya kemari yang
sukar. Mengapa" Karena. setelah para pengawal Panglima
menyadari bahwa Panglima tidak pulang, mereka mencari
atasannya itu. Tentufsaja mereka tidak berhasil menemukannya.
Waktu itu aku sudah membawanya kira-kira semalam perjalanan
dari ibu kota." Mar'daki meneruskan, "Bupanya setelah itu kerajaan
menyebarkan pengumuman, bahwa Panglima hilang. Setiap
pelosokharus digeledah untuk menemukannya kembali.Aku sudah
memperkirakannya. Maka siasat pun segera ku susun."
"Tentu akal yang cerdik."
"Mungkin," Mardaki tersenyum bangga, karena dipuji begitu.
"Kami menyamar sebagai petani yang baru pulang menjual hasil
panenan di kota. Panglima Telinga Satu kami ikat dan kami sumbat
12 nranguaje-nremaDapem .i ', 513
": mmm-namum.- B::j Pusuk: mulutnya dan kami suruh berbaring di dasar gerobak. Lalu kami
timbuni dia dengan jerami. Di atasnya adalah anak"a nak kambing."
"Tidak digeledah?" tanya Sibaja.
"Tentu saja digeledah. Tapi untunglah nasib lagi baik. Tidak
sampai ketahuan. Aku sudah ketakutan saja.Jadi tiap kali melewati
pos-pos pemeriksaanjantungku serasa hampir berhenti berdenyut
karena ketegangan yang memuncak."
"Tentu Panglima itu menderita sekali," ujar Sibaja merasa
kasihan. "Apa boleh buat! Tapi dia tidak selalu kami perlakukan
demikian kasar. Di tempat-tempat sepi kami memperbolehkan dia
duduk atau berjalan seperti biasa." Mardaki termenung sebentar.
"Anehnya tiap kali aku akan mengikatnya, mulutku selalu terpaksa
mengucapkan maaf lebih dulu. Entah mengapa" Barangkali sinar
matanya yang tajam itu yang memaksaku selalu minta maaf tiap
kali akan mengikatnya."
"Dia tidak pernah melawan?"
"Tidak! Ketenan ga nnya amat meng ag umka n."
Sibaja terdiam lama sekali setelah mendengar cerita Mardaki.
Kekagumannya kepada tawanan itu makin bertambah. Kini ia
merasa ada seorang lain yang patutdikagumi selain ayahnya, ialah
Panglima Telinga Satu. MardakimengajakSibaja menyusulyanglainkeperkampungan.
Si baja melihataya hnya sedang duduk di dalam rumah. Ayahnya
tampak berpikir keras. Sibaja masuk sebentar ke rumah, keluar lagi,
lalu memperhatikan sebuah gubuk kecil di samping tempat tinggal
mereka. Pintu gubuk itu tertutup rapat.
Sibaja masuklagi. "Ayah menempatkan Panglima di gubuk?"
"Ya. Supaya dekatdengan kita."
61) i'inngqu'J' area-m Dapem 13
"Tidakkah perlu dijaga?"
"Tidak perlu! Dia orang besar. Tak mungkin ia melarikan diri."
"Tampaknya ia memang bukan seorang pengecut."
"Duduklah, Ja!"
Si baja duduk di samping ayahnya.
"Saya merasa ragu-ragu apakah Ayah akan berhasil memaksa
ia memberikan keterangan tentang tempat harta itu, seandainya
Panglima itu benar"benar mengetahuinya." Sibaja menoleh ke arah
ayahnya. "Seperti saya bilang tadi, ia bukan seorang pengecutyang
gampang ketakukan. Disiksa pun ia takkan bicara rasanya."
"Aku tidak akan mempergunakan kekerasan terhadapnya,
Ja! Sudah kaulihat tadi, aku memperlakukannya dengan sopan."
Simacan memilin"milin ujung kumisnya. "Cara kekerasan jelas
takkan berhasil.Aku akan membujuknya, agar ia mau bicara."
"Ya, mudah-mudahan saja kita berhasil." Kata Sibaja sambil
berdiri. "Mau ke mana kau?"
"Ke luar sebentar."
Sibaja berjalan mengendap"endap mendekati gubuk tempat
tawanan itu ditahan. Entah mengapa hatinya tergoda untuk melihat
orang itu. Melalui lubang kecil, Sibaja mengintip ke dalam.
Panglima Telinga Satu sedang duduk dengan tenang. Kedua
kakinya bersila. Kedua tangan bersidekap. Matanya terpejam. Ia
kelihatan sangattenang.Terpaku. Bagai patung batu.
Untuk sejenak lamanya Sibaja terus memperhatikan sikap laki"
laki tua itu. Kemudian perlahan"lahan ia meninggalkan tempat itu
dan masuk ke rumah. 14 nranguaje-nremaDapem 513
": mmm-namum.- B::j Pusuk: Tuntutan Panglima Telinga Satu Panglima Telinga Satu memasuki ruangan undangan Simacan.
Ia diantar oleh Paman Begor. Simacan dan anaknya sudah
menunggu di belakang meja yang sudah penuh hidangan. Si ma can
berdiri menyambut Panglima Telinga Satu dan mempersilakan
tamunya duduk. Tak lama kemudian keempat orang itu, yaitu
Simacan dan anaknya, Paman Begor, dan tawanan yang sekarang
diperlakukannya seperti tamu agung itu, sudah duduk menikmati
hidangan yang tersedia. Panglima itu makan dengan lahap tanpa menunjukkan sikap
yang canggung. Seolah-olah ia sedang berada di rumah seorang
sahabatnya. Sambil makan, sekali"sekali ia menanyakan hal"hal
yang ringan. Misalnya, berapa umur Sibaja, apa saja kerja penghuni
perkampungan di atas bukit itu bila sedang tidak ada tugas.
Bertanikah"Atau beternak"
Simacan menjelaskan apa yang ingin diketahui tamunya.
Setelah selesai mereka makan, Panglima Telinga Satu kembali
mengulangi pertanyaan, apa maksud Simacan menculiknya.
Simacan diam sebentar. Ia merubah lebih santai duduk. Lalu
sambil mengangguk"anggukia menatap Panglima itu.
"Baiklah tuan Panglima, saya kira sekarang memang saatyang
Batu Keinsyafan Karya Dwinanto Setyawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
paling tepat untuk mengemukakan tujuan saya mendatangkan
Tuan kemari. 613 i'inngqu'J' area-m Dapem 15
Sebenarnya saya ingin mendapatsuatu keterangan dariTuan."
"Keterangan apa, Tuan Simacan?"
"Tentang tempat penyimpanan harta kekayaan Pangeran Muka
Merah," jawab Simacan sambil menatap mata tamu nya itu.
"0," Panglima itu mengangkat mukanya lebih tengadah. "Jadi
soal itu yang ingin Tuan ketahui."
"Benar! Saya tahu bahwa Tuan mengetahuinya."
"Tetapi dari mana Tuan tahu?"
Sibajamelirikayahnya setelah mendengarpertanyaan Panglima
itu. Ia ingin tahu apa jawaban ayahnya terhadap pertanyaan itu.
"Dari perkiraan saya," sahut Simacan mantap.
"O, perkiraan! Perkiraan!Tapi perkiraan bisa meleset, bukan?"
"Dalam soal ini saya yakin, tidak. Tuan adalah sahabat baik
Pangeran Muka Merah. Dan Tuan adalah seorang jujur yang bisa
dipercaya. Dengan alasan di atas, saya percaya bahwa Pangeran itu
pernah menceritakan, di mana ia menyimpan hartanya. Tuan pasti
tahu letaknya dengan tepat."
Panglima Telinga Satu mengangguk"angguk, tetapi tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Ia diam. Kulit dahinya yang
sudah berkeriput berkerenyit"kerenyit. Tampaknya ia berpikir
keras, mempertimbangkan untung ruginya bila ia mengatakan
atau membenarkan tebakan Simacan. Cukup lama juga ia
mempertimbangkan. Yang lain menantikan dengan perasaan
tegang. "Yaahhh," Akhirnya Panglima Telinga Satu menghela napas
dalam"dalam. "Karena Tuan sudah begitu yakin bahwa saya
mengetahuinya, maka tak adil rasanya kalau saya memungkiri, saya
memang tahu tempatnya. Saya adalah satu-satunya orang yang
mengetahui tempat itu.Tak ada yang lain. Bahkan Sri Baginda pun
tidak." 15 nranguaje-nremaDapem 513
": mmm-namum.- B::j Pusuk: Simacan dan Sibaja kelihatan lega setelah mendapatkepastian
dari Panglima Telinga Satu. Tetapi sesaat kemudian rasa cemas
kembali meliputi hati Sibaja, Panglima itu mengaku bahwa ia tahu.
Tetapi masalahnya kini, apakah ia mau menjelaskannya.
"Nah, itulah yang ingin saya ketahui, tuan Panglima. Saya
harapTuan tidak keberatan meng ata kannya kepada saya." Sebelum
Panglima itu memotong perkataannya, Simacan menyambung
cepat,"Bila Tuan sudah menjelaskannya, saya berjanji tidak akan
melakukan sesuatu yang merugikan diri Tuan. Bahkan Tuan akan
saya bebaskan setelah kami berhasil mengambil harta itu."
"Janji yang menyenangkan," kata Panglima itu sambil tersenyum
lebar, "Hanya sekarang masalahnya bagi Tuan apakah saya mau
mengatakannya atau tidak. Bukankah demikian?"
"Itu saya akui."
"Begini Tuan Simacan, saya sama sekali tidak keberatan
menceritakan tentang tempatdi perutbukititu."
Sibaja keheran"heranan mendengar jawaban itu. Tak pernah
ia menyangka, begitu gampang jawaban Panglima Telinga Satu. Ia
memandang muka Panglima itu.
"Syukurlah bila demikian," ujar Simacan penuh rasa lega.
"Tetapi," Panglima itu diam sebentar, "Asalkan tuan Simacan
bersedia memenuhi syaratyang saya ajukan."
"Syarat" Apa syaratnya?"
"Segera setelah mendapatkan harta itu, Tuan harus
membubarkan kelompok Tuan. Tuan harus membagi"bagikan
harta itu secara adil kepada anak buah Tuan. Dan menganjurkan
kepada mereka, termasuk Tuan sendiri tentu saja, agar kembali ke
jalan yang benar. Tegasnya Tuan dan anak buah Tuan harus menjadi
orang baik-baikdan kembali ke masyarakat."
"Itu tidakmungkin," Paman Begoryang diam sejaktadi berteriak
keras, "Sama sekali tidak mungkin. Tuan panglima, mestinya Tuan
613 i'inngqu'J' area-m Dapem 17
tahu, bahwa kami menyukaijalan hidup seperti ini. Kami tidak bisa
meninggalkannya. Tuan menghendaki kami menjadi orang baik"
baik" Lantas apa yang bisa kami kerjakan sebagai orang baik"baik?"
"Pertanyaanmu lucu," kata Panglima itu, "Justru akan lebih
banyak yang bisa kaukerjakan, bila kau menjadi orang baik-baik
daripada kau menjadi perampok."
"Gor!" Simacan memperingatkan ketika melihat Paman Begor
masih akan membantah. Lalu dengan nada lunak Simacan berkata
kepada Panglima itu, "Syarat yang Tuan ajukan kedengarannya
gampang sekali.Tetapi sesungguhnya berat bagi kami. Tuan tahu,
tidak mudah untuk merubah kebiasaan hidup. Sayajustru khawatir,
anak buah saya akan lebih menderita lagi, bila tidak bersama-sama
saya. Kami sudah terbiasa hidup bersama dalam satu persaudaraan
yang erat." "Mula-mula memang mungkin sulit. Tapi lama kelamaan pasti
terbiasa.Toh Tuan tidak mungkin hidup dengan cara begini terus.
Menjadi perampok yang memusuhi masyarakat dan pemerintah."
Panglima Telinga Satu memandang Sibaja. Lalu mengarahkan
perhatian kembali kepada Simacan. "Tuan juga harus memikirkan
masa depan putra Tuan. Atau Tuan ingin dia menggantikan Tuan
menjadi pemimpin perampok" Bila benar demikian, Tuan adalah
seorang ayah yang tidak bijaksana."
"Itu urusan kami," Si baja menyeletuk agak ketus.
"Pokoknya begitulah syarat saya,Tuan Simacan.Tinggal tuan
mau menurutinya atau tidak. Bila Tuan mengabulkan tuntutan saya
itu, maka saya akan memberitahukan apa yang ingin Tuan ketahui.
Tetapi bila tidak maaf." Panglima Telinga Satu merentangkan
lengannya. "Dengan rasa menyesal, saya terpaksa tidak bisa
mengatakan apa-apa."
"Tuan adalah tawanan kami!" teriak Paman Begor. Tuan harus
menjadi orang baik"baik dan kembali ke masyarakat Agaknya
18 nranguaje-nremaDapem .i ', 513
": V mmm-namum.- B::j Pusuk: kemarahan laki"laki itu tak terbendung lagi. Ia berdiri dan
mencengkeram bahu panglima itu. "Tuan adalah tawanan. Tuan
tidak berhak menuntut apa"apa.Tuan harus mengatakannya.Harus!
Ayo katakan! Katakan!"
"Gor!" bentak Simacan. "Gor!"
Paman Begor tersentak oleh bentakan itu. Perlahan-lahan ia
melepaskan cengkeramannya. Basa tidak puas meliputi wajahnya.
Sementara itu Panglima Telinga Satu tersenyum saja. Lalu
perlahan-lahan ia berdiri.
"Saya minta diri, tuan Simacan. Segalanya terserah Tuan.
Pikirkanlah baik-baik."
Simacan memberi perintah Sibaja, agar mengantarkan
panglima itu kembali ke tempatnya.
Si baja menyertai panglima itu tanpa banyak bicara.
Sebelum masuk ke gubuk, panglima itu berkata kepada Sibaj a,
"Kasihan kau, Nak!"
Si baja menatap Panglima Telinga Satu dengan mata hampir tak
berkedip. "Seharusnya ayahmu memikirkan masa depanmu." Lalu
panglima itu masuk ke dalam.
Sibaja bergegas kembali ke rumahnya. Di situ ia melihat
ayahnya sedang adu pendapat dengan Paman Beg or.
"Kau terlalu sabar, Kang.Tidak bisa begitu. Kita paksa saja dia
supaya mau berbicara."
"Penggunaan kekerasan tidak akan ada gunanya. Jangan
kausamakan panglima itu dengan tawanan kita lainnya, Gor."
"Lalu apa yang akan kaulakukan untukmembuatnya bicara?"
"Kita harus bersabar. Tidak bisa main paksa. Ingat, hanya dia
sendiri yang mengetahui rahasia tempat itu. Kalau kita kehilangan
dia sebelum dia berbicara, kita akan rugi. Bugi besar. Biarkan aku
memikirkanjalan lain, Gor."
613 i'inngqu'J' area-m Dapem 19
Paman Begor mengangguk"angguk, menoleh kepada Sibaja
sebentar, lalu meninggalkan tempat itu.
Si baja menghampiri ayahnya yang sedang duduk terpeku r.
"Basanya sulitsekali, kan?"
"Yah.Tapi aku tidak putus asa." Simacan beranjak dan berjalan
keluar. Seperti yang sering dilakukannya, ia akan berjalan-jalan
sambil memeriksa keadaan perkampungan.
Keesokan harinya Simacan mengajak anaknya untuk menemui
Panglima Telinga Satu. Sekali lagi ia membujuk panglima itu, agar
mau mengatakan apa yang ingin diketahuinya. Tapi panglima itu
tetap menolak. "Barangkali ada baiknya saya jelaskan di sini mengapa
saya bersedia memberitahukan rahasia itu kepada Tuan," kata
Panglima Telinga Satu dengan sungguh"sungguh, "Karena harta
yang dikumpulkan Pangeran Muka Merah itu adalah harta tidak
halal. Harta yang diperolehnya dengan cara memeras orang
lain." Panglima itu melanjutkan, "Saya paling benci terhadap
segala bentuk kejahatan, Tuan. Oleh karena itu saya bersedia
menunjukkan tempat penyimpanan harta itu. Asal karenanya
saya dapat menginsyafkan Tuan dan kelompok Tuan. Seandainya
harta itu adalah harta yang halal, yang diperoleh dan dikumpulkan
Pangeran Muka Merah dengan cara baik-baik, biarTuan siksa sekali
pun, saya tidak akan sudi mengatakannya." Panglima itu diam
sebentar sebelum melanjutkan, "Nahjelas, Tuan" Jadi apabila Tuan
tidak bersedia memenuhi syarat saya,jangan coba"coba memaksa
saya berbicara." Kembali dari tempat Panglima Telinga Satu, Simacan duduk
termenung.Agaknya perasaan putus asa mulai meliputi hatinya.
"Yah, sebetulnya kita bisa menipunya, bukan?" tanya Sibaja
kepada ayahnya setelah ragu"ragu sebentar, "Kita bisa berpura"
pura menyetujui syarat yang diajukannya, tapi setelah itu kita
20 i'inngqu'J' area-m Dapem _- -'; .i ', 513
": V mmm-namum.- B::j Pusuk: i'innguIijJ' Ria.-sa Bagan
'21 mengingkarinya. Asal harta itu sudah kita dapatkan.Tapi aku tahu,"
Sibaja melirik ayahnya, "Ayah pasti tidak menyukai cara itu."
"Biarpun penjahat, aku ini orang yang berpegang teguh pada
janji, Ja! Kau sudah tahu sifatku. Kalau aku berjanji memenuhi
syarat pasti akan benar-benar kupenuhi. Ini sulitnya." Simacan
menggeleng kebingungan. "Ah, bagaimana kalau kita pakai cara lain,Yah?"
"Cara lain?" "Saya akan menemuinya dan mencoba membujuknya supaya
bersedia menunjukkannya tempat itu," kata Sibaja mengajukan
usulnya dengan penuh semangat, "Saya akan berjanji untuk
meyakinkan Ayah supaya merubah cara hidup setelah kita
memperoleh harta itu. Jadi saya sekedar berjanji. Kalau nanti Ayah
menolak, Ayah tak perlu merasa bersalah. Karena Ayah sendiri tidak
menjanjikan apa-apa kepada panglima itu. Tapi saya yang berjanji.
Saya. Kan lain?" "Memang cara yang baik. Tapi masalahnya apakah dia bersedia
menjelaskan sebelum mendengarjanji dari mulutku sendiri?"
"Itu akan kita lihat nanti. Segala itu harus dicoba, buka n?" Sibaja
berdiri dengan penuh keyakinan pada diri sendiri. "Tinggal saya
bisa meyakinkan dia atau tidak. Nanti malam saya akan menemui
panglima itu." 22 i'inngqu'J' area-m Dapem 513
": mmm-namum.- B::j Pusuk: Pembicaraan yang menyentuh Bati Malam itu seorang diri Sibaja pergi ke tempat Panglima Telinga
Satu. Panglima itu menyambutnya dan menyuruhnya dudukdi atas
sehelai tikar. "Saya ingin membicarakan sesuatu hal, Tuan," kata Sibaja
setelah mereka duduk berhadap"hadapan.
"Aku tak berkeberatan untuk mendengarkannya, Nak. Soal
apa?" sambut panglima itu sambil ma tanya menatap Sibaja.
Sibaja berdehem"dehem sebentar. Ia berusaha menenangkan
dirinya. "Soal apa" Katakan saja."
"Soal tempat penyimpanan harta Pangeran Muka Merah," kata
Sibaja akhirnya. "0, itu" Mengapa bukan ayahmu yang datang?"
"Saya kemari karena dorongan hati saya sendiri. Saya ingin
persoalan itu selesai secepatnya, sehingga Tuan tidak perlu terlalu
lama menjadi tawanan kami."
"Itu lebih baik. Bagaimana?"
"Begini, sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat
antara Tuan dan ayah saya.Yaitu mengenai syaratyang Tuan ajukan
sebelum Tuan sudi mengatakan tempatyang ingin diketahui ayah
itu." "Itu benar!" 6!) i'iFengqu'J' area-m Dapem 23
"Tampaknya soal itu akan sulit diselesaikan. Saya kira, Tuan
tahu sifat dan pendirian ayah saya, bukan" Nah, bagaimana kalau
Tuan menunjukkan tempat itu kepada saya. Bila sudah, nanti saya
yang akan meyakinkan ayah, agar bersedia memenuhi syaratTuan,
yaitu mengubah cara hidup seperti yang Tuan kehendaki. Saya akan
berusaha sekuattenaga, agar ayah mau menuruti kata-kata saya."
"Kau begitu yakin. Bagaimana kalau ayahmu menolak" Atau
kau sendiri yang mengingkari janjimu?"
Sibaja tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Perasaan
kurang enak merayap di balik dadanya. Ia menjadi resah, karena
menduga Panglima Telinga Satu sudah memaklumi apa yang
direncanakannya. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Ia tidak boleh
mundur. "Sungguh, saya akan berusaha meyakinkan ayah," katanya.
"Berusaha meyakinkan." Laki"laki tua itu mengangguk"angguk.
"Memang masih setengah-setengah, belum pasti benar. Tetapi
baiklah, Nak, karena aku meng hargaimu, aku bersedia menunjukkan
tempat itu ." Sibaja merasa lega sekali mendengar persetujuan itu.
"Tapi ingat, hanya kepadamu.Tidakkepada orang lain."
"Saya setuju." "Dan sebelum kau bisa mengubah cara hidup ayahmu, kau
harus berjanji tidakakan mengatakan tempatitu. Bagaimana?"
Sibaja mengangguk"angguk. Anggukan kepala yang tidak
mantap. Panglima Telinga Satu seakan"akan tidak menghiraukan
ketidakmantapan sikap Sibaja. Ia mulai mengalihkan pokok
pembicaraan. "Kau senang tinggal di bukit ini bersama kawanan ayahmu?"
"Mengapa Tuan menanyakan soal itu?"
"Hanya ingin tahu."
Batu Keinsyafan Karya Dwinanto Setyawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
24 i'iFengqu'J' area-m Dapem 513
": mmm-namum.- B::j Pusuk: "Saya senang. Saya senang karena saya selalu dekat dengan
ayahf "Kau sering turun dari tempat ini. Melihat keramaian kota,
misalnya?" "Kadang-kadang."
"Seorang diri?"
"Tidak. Dengan ayah dan beberapa orang anak bua hnya."
"Tentu kau tidak bisa menikmati segala sesuatu dengan bebas,
sebebas-bebasnya," Panglima itu menatap mata Sibaja dengan
pandangan yang tajam, "Benar, tid ak?"
"Itu saya akui," sahut Sibaja perlahan-lahan.
"Perbuatan yang menyalahi hukum selalu menimbulkan
kekangan atas kebebasan seseorang. Seperti yang dirasakan
ayahmu. Kalian tidakbisa menikmati segala sesuatu dengan tenang.
Tetapi sering kali harus dengan kegelisahan. Menyelinap, khawatir
tiba-tiba disergap penegak hukum."
Diam"diam Sibaja mengakui kebenaran kata"kata laki"laki itu.
"Apakah kau tidak ingin memiliki kebebasan seperti anak muda
lainnya?" tanya panglima itu dengan tiba"tiba.
"Tentu saja saya ingin." Sibaja berusaha menghentikan
pertanyaan selanjutnya. Ia berkata, "Tetapi itu semua urusan saya!"
"Memang, itu urusanmu," kata Panglima Telinga Satu dengan
tenang, "Tetapi kalau aku menaruh kasihan atas nasibmu, boleh
bukan" Sebab sebetulnya anak muda sebaya kamu bukan di sini
tempatnya. Tempat yang berbau kekerasan. Seharusnya kamu
berada di tengah masyarakatsebagai anak muda yang baik, belajar
dengan su nggu h"sun gguh, menuntut ilmu untuk menjadi manusia
yang berguna bagi bangsa dan negaramu. Kau bisa memiliki
kebebasan dan bisa bergaul dengan teman-teman sebayamu,
bercengkerama dengan mereka, bersuka"suka." Panglima itu
613 i'iFengqu'J' area-m Dapem 25
menatap mata Sibaja dengan pandangan mengandung belas
kasihan yang dalam, "Tapi sayang sekali, kau tidak memiliki semua
itu." Si baja diam termangu"mangu mendengar ka ta"katayang sukar
dibantah kebenarannya itu. Untuk sejenak lamanya pikirannya
melayang-layang, membayangkan betapa senang hatinya bila ia
mengalami kegembiraan semacam itu. Sementara itu Panglima
Telinga Satu berbicara lagi. Dan Sibaja mendengar sebuah kisah
yang amat menyentuh perasaannya.
"Masa mudamu dan masa mudaku sangat berbeda, Nak. Aku
dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang melarat, tetapi kami
bukan orangjahat.Walau pun hidup dalam kemiskinan, tetapi kedua
orang tuaku tidak pernah menyakiti hati orang lain. Tidak pernah
mengiri terhadap kesenangan orang lain. Apalagi menginginkan
barang milik orang lain. Dan kami, anak-anaknya, dididik untuk
berlaku demikian pula. Malah kami dianjurkan membantu orang
lain semampu kami. Apabila tidak bisa membantu dengan barang
atau uang, karena kami sendiri terlalu miskin, bantulah dengan
tenaga atau pikiran. Itulah sebabnya sehingga aku kehilangan
sebelah telingaku." Sibaja tersentak mendengar kalimat yang terakhir yang
diucapkan laki-laki tua itu. Ia memasang telinganya lebih tajam,
ingin tahu apa sebab panglima itu sampai kehilangan sebuah
telinganya. "Ketika umurku sebaya dengan kamu, aku pergi merantau.
Di sebuah kota aku melihat kesengsaraan sebuah keluarga yang
serasa tak tertahankan. Keluarga itu terdiri dari seorang ayah dan
istrinya serta tujuh orang anak. Mereka sangat miskin.
Dan dalam keadaan payah begitu, si ayah tertimpa musibah.
Ia mempunyai hutang kepada seorang lintah darat yang kaya
25 i'iFengqu'J' area-m Dapem _- -'; .i ', 513
": mmm-namum.- B::j Pusuk: _! "ll" ..!..- banfuiah dengan fenagaafau pikiran. Ifui'ah sebabnya sehingga aku
kehilangan sebuah telinga
513 i'iFengqu'J' area-m Dapem 27
" raya dan kejam tindakannya. Si Ayah yangmiskin tidak bisa
mengembalikan pinjamannya. Akibatnya, lintah darat itu marah"
marah. Ia mengancam akan memenjarakan si ayah yang malang
itu. Bukan itu saja, ia juga akan menjadikan tiga orang anak dari
keluarga itu sebagai budak-budaknya. Bayangkan apa yang akan
terjadi terhadap keluarga itu seandainya semua itu terjadi"
Aku yang mendengar persitiwa itu tidak bisa menahan diri.
Kuberanikan hatiku untuk menemui lintah darat yang tidak
berperikemanusiaan itu. Aku mohon kepadanya, agar ia tidak
melaksanakan niatnya yang kejam itu terhadap si ayah dan anakanaknya. Apa katanya" Setelah tertawa terbahak"bahak, menertawakan diriku, lintah
daratitu berkata, "Kalau kau ingin menolongnya, anak muda, boleh
saja. Serahkan sebelah telingamu, maka aku akan membebaskan
keluarga keparat itu dari hukuman."
Dengan mantap permintaannya itu kuterima.
Dasar dia orang kejam, ia ingin melihat kata"katanya menjadi
kenyataan. Diperintahkannya salah seorang anak buahnya untuk
memotong telingaku. Sakitnya bukan kepalang, tapi hatiku merasa
bahagia, karena aku telah berhasil menyelamatkan sebuah keluarga
dari kehancuran yang takkan tertahankan.
Kebetulan pada saatitu ada seorang perwira tin ggiyang sedang
melewati kota itu. Beliau mendengar peristiwa menyedihkan yang
menimpa diriku. Beliau marah bukan kepalang. Segera diseretnya
lintah darat yang kejam itu ke muka pengadilan. Lintah darat itu
telah main hakim sendiri, juga telah menganiaya orang, maka ia
harus dihukum. Kemudian oleh perwira yang baik hati itu aku diajaknya ikut
serta dalam pasukannya, kalau aku mau.Aku menerima tawaran nya
28 i'iFengqu'J' area-m Dapem _- -'; .i ', 513
": mmm-namum.- B::j eman: dengan segala senang hati. Begitulah, mulai dari prajurit aku
berjuang dengan tekun, sehingga pangkatku naik terus. Sampai
akhirnya aku memperolehjabatan seperti sekarang."
Panglima Telinga Satu termenung setelah menceritakan kisah
dirinya yang mengesankan itu.
Sibaja melirik panglima itu berkali-kali. Dia takhabis mengerti,
bagaimana mungkin seseorang telah merelakan telinganya untuk
menolong orang lain" Ba sanya tidak masuk akal. Tapi buktinya ada.
Pengalaman panglima itu dan kata-katanya yang penuh arti
sangat menyentuh hati Sibaja. Semua itu membuatnya berpikir
dan berpikir, mengkaji tentang kebenaran yang dikisahkan oleh
Panglima Telinga Satu. Tak lama setelah itu Sibaja minta diri.
"Baiklah, kalau ayahmu setuju, maka selambat"lambatnya
besok lusa, kita harus sudah berangkat dari sini," kata Panglima
Telinga Satu. Sibaja mengiyakan. Kemudian Sibaja menjumpai ayahnya dan menceritakan hasil
pembicaraannya yang menyangkut tempat harta itu. Tetapi sama
sekali ia tidak menyinggung perihal kisah pribadi Panglima Telinga
Satu atau nasihat-nasihatnya yang menyentuh hatinya.
"Jadi dia setuju?"
"Betul,Yah." "Dan mengajakmu pergi ketempatitu" Seorang diri?"
"Ya! Mengapa ayah kelihatan ragu"ragu?"
"Terlalu berbahaya bagimu untuk pergi seorang diri dengan
dia. Bagaimana kalau tiba"tiba dia mengingkari janjinya dan
menyerahkan kamu kepada tentara kerajaan?"
"Ayah sendiri mengatakan bahwa dia orang besaryang berjiwa
besar.Tidakmungkin dia mengingkarijanjinya. Basanya Aya h,justru
kitalah yang akan melukai hatinya karena mengingkarijanji...."
613 i'iFengqu'J' area-m Dapem 29
"Ya, ya, terpaksa.Ja, apa kau takgentar pergi bersamanya?"
"Saya bisa menjaga diri baik"baik, Yah! Percayalah, saya pasti
akan kembali dengan selamat."
"Kalau begitu, pergilah, Anakku. Aku percaya akan
kemampuanmu." "Ayah tak perlu khawatir." Setelah berkata begitu. Sibaja
merebahkan diri. Matanya dipejamkannya, tetapi dia tidak tidur.
30 i'iFengqu'J' area-m Dapem _- _'; -_ 5P
mmm-namum.- B::j eman: Perjalanan Sebagian besar dari anak buah Simacan, terutama Paman
Begor dan Mardaki, tidak dapat menyetujui rencana melepaskan
Sibaja pergi seorang diri dengan Panglima Telinga Satu. Bahkan
Mardaki mengeluh, "Dengan susah payah aku membawanya
kemari, sekarang tawanan itu akan kita lepaskan begitu saja."
Untunglah Simacan dapat meyakinkan anak buahnya,
bahwa mereka tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan Sibaja.
Dan tujuan itu juga bukan untuk melepaskan tawanan mereka,
melainkan untuk menemukan tempatharta Pangeran Muka Merah
yang mereka inginkan. Simacan meyakinkan pula bahwa Sibaja
pasti akan kembali dengan tawanan itu dengan membawa rahasia
tempat penyimpanan harta yang mereka cari. Akhirnya keresahan
kawanan perampok itu bisa ditenangkan. Sehingga Sibaja dan
Panglima Telinga Satu bisa berangkattanpa hambatan.
Pagi"pagi sekali Sibaja dan panglima itu berangkat mening"
galkan perkampungan di atas bukit. Mereka berjalan menuju ke
selatan. Selama dalam perjalanan tak pu tus-putusnya Panglima Telinga
Satu menceritakan pengalaman hidupnya. Ceritanya dimaksudkan
untuk menyadarkan Sibaja, apa artinya hidup dengan baik, berjalan
di jalan yang lurus. Sibaja makin terkesan akan kisah-kisah panglima
itu. 613 l'iFengqu'J' area-m Dapem 31
Hubungan mereka pun makin akrab, sehingga mirip cucu
dengan kakeknya. Di samping berkisah tentang pengalaman hidup yang menjadi
pelajaran berguna bagi Sibaja, panglima itu juga menunjukkan
kepada Sibaja tempat-tempat yang indah yang belum pernah
dilihatnya oleh Sibaja. Baru kali itu Sibaja dapat menikmati
perjalanan dengan tenang, tanpa merasa khawatir disergap tentara
kerajaan. Sebab, mereka tentu tidak akan menyangka bahwa dirinya
adalah pu tra tunggal Simacan, raja perampok yang menjadi musuh
kerajaan. Dan panglima itujuga tidakpernah menunjukkan gejala-gejala
ingin mengingkari janjinya terhadap Sibaja. Meskipun mereka
sering bersua dengan tentara kerajaan, tak pernah Panglima Telinga
Satu memperkenalkan diri sebagai seorang panglima yang saatitu
sedang dicari-cari oleh anak buahnya yang setia.
Pa nglimaTelin ga Satu meminjam uang bekal Sibaja. Mula-mula
Sibaja tidak mengetahui untuk apa. Baru kemudian dia mengerti,
bahwa uang itu dipergunakan oleh Panglima Telinga Satu untuk
beramal. Kepada pengemis yang kebetulan dijumpainya, Panglima
Telinga Satu memberinya sedekah.
Lama-kelamaan Sibaja merasa tertarik untuk mengikuti
perbuatan Panglima Telinga Satu. Ia pun memberi sedekah.
Dan perasaan yang lain, yang belum pernah dirasakannya,
menghinggapi dirinya setiap kali setelah ia memberikan sedekah
kepada orang miskin tersebut. Terutama bila ia menatap mata si
pengemis. Mata itu memancarkan perasaan terima kasih yang
dalam, yang membuat perasaan Sibaja benar"benar bahagia.
Pada suatu siang yang panas mereka duduk berteduh di bawah
sebatang pohon yang rindang di tepi sungai. Sedang mereka asyik
berbicara, terdengar derap langkah kaki kuda datang mendekat.
32 l'iFengqu'J' area-m Dapem _- -'; .i ', 513
": mmm-namum.- B::j eman: Tak lama kemudian tampak seorang penunggang kuda sedang
memacu kudanya ke arah sungai. Setibanya di tepi sungai, laki"laki
penunggang kuda itu membiarkan kudanya minum sementara ia
sendiri berjalan menghampiri Sibaja dan panglima itu.
"Selamatsiang," kata laki-laki itu.
"Selamat siang," balas Panglima Telinga Satu."Tampaknya Anda
baru saja menempuh perjalanan panjang."
"Tidak salah," sahut laki"laki itu sambil duduk di dekat Sibaja.
"Baru saja saya ikut dalam rombongan yang mengejar kawanan
perampok, anak buah Simacan."
Sibaja merasakan ketegangan menguasai dirinya, ketika ia
mendengarpenjelasan itu. "Anda seorang prajurit?" tanya Panglima Telinga Satu.
"Bukan! Tetapi saya memang merelakan diri untuk ikut
mengejar penjahat-penjahatitu. Mereka terlalu kurang ajar."
Sibaja hampir-hampir tidak bisa menguasai diri mendengar
kata"kata itu. Ingin dia melabrak orang yang dianggapnya musuh
kawanan ayahnya.Tetapi panglima itu memberi isyarat, agar tidak
melaksanakan niatnya. Sibaja terpaksa menahan diri.
"Baru saja mereka melakukan perampokan di sebuah desa yang
terletakdidekathulusungaiini,"Laki-lakiitu menjelaskan,"Penjahat"
penjahat yang tak punya rasa peri kemanusiaan. Penduduk desa
yang sudah terlalu melaratpun mereka sikathartanya. Saya marah
sekali menyaksikan kelaliman mereka. Sehingga tanpa diminta
pun saya bersedia bergabung dengan orang"orang yang mengejar
mereka." "Ada yang berhasil ditangkap?" tanya Panglima Telinga Satu.
"Sampai saat ini belum. Mereka adalah perampok-perampok
yang ahli. Segala sesuatu sudah mereka persiapkan. Sulit betul
mengikuti jejak mereka." Laki"laki itu memandang kepada Panglima
613 l'iFengqu'J' area-m Dapem 33
Telinga Satu dan Sibaja berganti"ganti. Kemudian ia bertanya,
"Tentu Anda pernah mendengar kebiadaban kelakuan komplotan
Simacan,bukan?" "Ya, pernah," jawab Panglima Telinga Satu.
"Entah kapan pengacau-pengacau itu dapat ditumpas
sampai ke akar-akarnya. Kasihan penduduk apabila mereka masih
merajalela. Ketenteraman hidup selalu terganggu rasanya. Tidak
tenang." Laki"laki itu menoleh ke arah kudanya. Lalu memandang
ke arah Panglima Telinga Satu lagi. "Sudah cukup kuda saya
beristirahat. Saya harus melanjutkan perjalanan." Laki-laki itu
menganggukkepada Panglima Telinga Satu dan Sibaja lalu pergi.
"Kau sudah menyaksikan sendiri, bagaimana besarnya
kebencian orang kepada ayahmu dan anak bu ahnya," ujar Panglima
Telinga Satu kepada Sibaja, "Itu belum seberapa."
Si baja tidak memberikan tanggapan.
Batu Keinsyafan Karya Dwinanto Setyawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu keduanya melanjutkan perjalanan.
Selama dalam perjalanan itu Sibaja tidak banyak berbicara. Ia
terpengaruh untuk memikirkan kata"kata laki"laki penunggang
kuda tadi. Andaikata hal itu terjadi dulu, barangkali ia akan masa
bodoh terhadap perkataan semacam itu.
Tetapi setelah bergaul dengan Panglima Telinga Satu dan tahu
tentang arti serta nilai kebaikan, sadar akan penderitaan orang
miskin, keadaannya menjadi lain. Segala ucapan laki"laki tadi
membekas dalam di hatinya.
Mereka kemudian tiba di desa yang baru saja dirampok oleh
anak buah Simacan. Keadaan desa itu sangat menyedihkan. Beberapa rumah
terbakar. Asap masih mengepul dan suasananya tampak porak
poranda. Beberapa orang penduduk duduk termenung di muka
rumah. Agaknya mereka sedang merenungi nasib malang yang
34 l'iFengqu'J' area-m Dapem _- _'; ,-_' -_ 5P
": mmm-namum.- B::j eman: menimpa diri mereka. Dari rumah"rumah terdengar jerit tangis
perempuan"perempuan dan anak kecil.
Panglima Telinga Satu kelihatan geram sekali melihatkeadaan
di tempat itu. Sementara itu Sibaja berjalan bagai orang linglung.
Tak pernah dia bayangkan, akibat perbuatan anak buah ayahnya
ternyata begitu hebat. Tak heran, kalau laki-laki penunggang kuda
tadi hatinya diliputi kemarahan.
Panglima Telinga Satu menghampiri seorang nenek tua yang
sedang duduk sambil menangis terisak-isakdi muka sebuah rumah
yang sudah reyot keadaannya.
Panglima itu berpura-pura belum mengetahui apa yang telah
terjadi, lalu ia menanyai orang tua itu. Di luar dugaannya, nenek
tua itu justru meledak tangisnya ketika mendengar pertanyaan
tersebut. Untuk beberapa lama nenek itu masih menangis tersedu-sedu.
Baru setelah tangisnya mereda, ia pun menjelaskan apa yang telah
terjadi. "Penjahat"penjahat itu baru saja menyerang desa ini. Mereka
merampok habis"habisan harta kami. Bahkan satu"satunya kambing
milik saya pun diambil.Tidak sedikit pun mereka menaruh kasihan
kepada saya yang melarat ini." Nenek itu terisak-isak lagi. "Dan
tetangga saya, tetangga di sebelah ini, mencoba mempertahankan
uang hasil tabungannya yang dikumpulkannya dengan susah
payah. Apa yang mereka lakukan" Mereka memukuli dia, kemudian
merampas uang hasiljerih payahnya yang dikumpulkannya selama
bertahu n"ta hun. Kasihan dia." Ka ta sang neneksambil menggeleng"
gelengkan kepala. "Sungguh saya tidak mengerti, bagaimana
mungkin ada manusia sejah at mereka.Tak punya rasa belas kasihan
sedikitpun." 613 l'iFengqu'J' area-m Dapem 35
Si baja tertu nduk, ketika nenek itu menatapnya.
"Nak," kata nenek itu kepada Sibaja, "Bila kau sudah dewasa
kelakjadilah orang baik"baik. Jangan seperti mereka yang selalu
menimbulkan kekacauan dan menyusahkan orang saja."
Sibaja makin menunduk dalam-dalam. "Ah, untung nenek itu
tidak tahu siapa saya sebenarnya. Seandainya dia tahu, apa yang
akan dilakukannya" Mungkin mukaku akan diludahinya," pikir
Sibaja. Karena hari sudah petang, Panglima Telinga Satu memutuskan
untuk bermalam di desa itu saja. Dari pembicaraan yang terjadi
antara mereka dengan kepala desa itu, Sibaja pun lebih banyak
mengetahui tentang kekejaman komplotan ayahnya. Makin
banyak dia mendengar, hatinya makin bertambah sedih. Basa
bersalah mulai merayapi batinnya. Dan ia mulai dijangkiti perasaan
menyesal, mengapa ayahnya menjadi seorang raja perampok. Ia
belum melihat semua tempat yang pernah dirampok oleh anak
buahnya. Tetapi ia dapat membayangkan, pasti keadaannya tidak
jauh berbeda dengan apa yang dilihatnya kini. Akibatnya adalah
penderitaan bagi orang lain. Sungguh menyedihkan sekali.
Sepanjang malam Sibaja dilanda oleh kegelisahan. Hatinya
resah. Pelbagai bayangan yang mengerikan muncul dalam mimpi
yang mengganggu tidurnya. Sebentar-sebentar ia terbangun.
Keesokan harinya mereka meneruskan perjalanan. Langkah
Sibaja tidak semantap hari"h ari kemarin.
Belum lama mereka meninggalkan tepi sungai, tiba"tiba Sibaja
menghentikan langkahnya. "Ada apa?" tanya Panglima Telinga Satu heran.
Sibaja tidak segera menjawab. Ia menatap Panglima Telinga
Satu dengan pandangan bimbang.
35 l'iFengqu'J' area-m Dapem 513
": mmm-namum.- B::j eman: "Kita baru saja beristirahat. Perjalanan masih jauh," kata
panglima itu pula. "Kau kelihatan lesu.Ada apa?"
"Saya sedang mempertimbangkan," kata Sibaja dengan suara
perlahan"lahan, "Masih perlukah perjalanan mencari harta itu kita
teruskan" Atau lebih baik saya kembali saja?"
"Ah! Apa yang menyebabkan kau berkata demikian"
Kemarin kau masih penuh semangat untuk mengetahui tempat
penyimpanan harta Pangeran Muka Merah."
"Memang," Sahut Sibaja sambil menghindari tatapan mata
Panglima Telinga Satu, "Tetapi pengalaman di desa yang baru kita
tinggalkan itu dan setelah menyaksikan akibat perbuatan anak
buah ayah saya, semangat saya, terus terang... mulai berkurang."
Sibaja membuang pandangan ke langit. "Saya pikir, lebih baik saya
menemui ayah dan mengajaknya ke desa tadi."
"Supaya ayahmu menyaksikan dengan mata kepala sendiri?"
"Benar." Sibaja meneruskan dengan sungguh-sungguh,
"Tuan, selama ini saya selalu merasa bangga bila mendengar
keberhasilan anak buah ayah dalam menjalankan perampokan.
Saya mendengarkan cerita mereka dengan rasa tertarikyang amat
besar. Saya senang dilahirkan dalam lingkungan saya. Saya bangga
menjadi anak Simacan." Sibaja diam sebentar. Kemudian sambil
agak menundukkan kepala, ia melanjutkan, "Namun setelah saya
melihat akibat perbuatan kawanan ayah saya yang ternyata sangat
kejam, saya merasa sedih. Saya tidak merasa bangga lagi."
Panglima Telinga Satu mengangguk"angguk.
"Nak, agaknya kesadaran baru telah kautemukan. Syukurlah."
Panglima Telinga Satu menepuk"nepuk bahu anak muda itu.
"Maksudku telah tercapai."
Si baja menatap PanglimaTelinga Satu dengan perasaan kurang
mengerti setelah mendengar kata"kata itu.
613 l'iFengqu'J' area-m Dapem 37
"Mungkin kau tidak menduga, bahwa kesediaanku untuk
menunjukkan tempat harta itu mengandung rencana tertentu.
Supaya aku punya kesempatan untuk menunjukkan apa sebetulnya
yang telah diperbuat kelompok ayahmu selama ini. Apa akibatnya
bagi orang lain. Supaya kau tahu keadaan yang sebenarnya.
Syukurlah, bila setelah menyaksikannya, engkau akan sadar."
Sibaja mengangkat muka perlahan"lahan dan menentang
mata laki"laki tua itu.
"Selama ini kau hidup bagaikan katak dalam tempurung. Kau
kurang tahu dengan tepat apa yang sebetulnya dilakukan kawanan
ayahmu. Kau cuma mendengar cerita-cerita dari mereka. Kau
belum pernah melakukan sendiri suatu perampokan. Kau belum
pernah mengalami sendiri." Panglima Telinga Satu tersenyum. "Aku
tahu sebetulnya bibitkebaikan bersemi di hatimu. Hanya selama ini
tertutup oleh pengaruh lingkunganmu yang buruk. Oleh sebab itu
aku ingin menyadarkan dirimu. Kau anakyang cerdas, Ja."
Kata"kata Panglima Telinga Satu bagaikan air sejuk mengaliri
batin Sibaja. "Saya akan menemui ayah saya," kata Si baja.
"Itu tidak akan ada gunanya."
"Apa maksud,Tuan?"
"Begini, Ja.Aku ber teru sterang saja. Sudah terlalu lama ayahmu
hidup dalam dunia kejahatan. Boleh dikatakan ia sudah terlalu
terbiasa menyaksikan akibat perbuatannya. Jadi kalau maksudmu
ingin menginsyafkan dia dengan mengajaknya ke desa tadi, aku
berani menjamin, niatmu itu akan sia"sia belaka."
Sibaja mengakui kebenaran kata"kata laki"laki tua itu.
"Lalu sebaiknya apa yang harus saya lakukan?" tanyanya.
"Ada satu jalan yang paling tepat. Yaitu membuat ayahmu
mengalami sendiri bagaimana hebatnya penderitaan yang
ditimbulkan oleh suatu bencana perampokan. Jelasnya, ayahmu
38 l'iFengqu'J' area-m Dapem _- -'; .i ', 513
": V mmm-namum.- B::j eman: harus mengalami sendiri apa yang telah dialami oleh penduduk
desa yang baru kita tinggalkan tadi."
"Saya belum men gerti ."
"Nanti kau akan mengerti. Sekarang ikuti saja aku. Tetapi
sebelum kita menjalankan rencana ini, lebih dulu aku menuntut
kesediaanmu untukberkorban,Ja."
"Berkorban?" "Ya! Pengorbanan yang amat berat."
"Saya bersedia."
"Sungguh?" "Saya berjanji, apa pun pengorbanan itu akan saya laku kan asal
saya dapatmenginsyafkan ayah saya."
"Bagus. Nah, mari kita berangkat."
Sibaja mengikuti Panglima Telinga Satu, meskipun dia belum
mengetahui dengan tepat apa yang akan dilakukan panglima itu.
6P l'iFengqu'J' area-m Dapem 39
v Batu Keinayaian Mereka berjalan tiga hari tiga malam lamanya. Lalu tibalah
mereka di kaki sebuah gunung batu. Sebuah tempatyang gersang.
Cahaya matahari yang memantul pada batu"batu yang licin
mengkilap terasa menyakitkan mata. Panasnya tempat itu bagaikan
kuali penggorengan raksasa.
Sibaja berdiri dengan badan merasa letih. Sekujur tubuhnya
mandi keringat. Di sebelahnya PanglimaTelinga Satu berdiri dengan
napas tersengal"sengal.
Keduanya saling berdiam diri cukup lama. Sementara itu
Panglima Telinga Satu mengatur napasnya.
"Nak," kata Panglima Telinga Satu setelah napasnya tidak
tersengal-sengal lagi. "Pada salah satu tempat di puncak bukit itu
terdapat sebuah batu yang disebut batu keinsyafan. Kau harus
mengambilnya, kalau kau ingin menyadarkan ayahmu."
"Di tempat ini memang penuh batu"batu. Bagaimana saya
dapat memilih yang dinamakan 'batu keinsyafan'?" tanya Sibaja
kebingungan. Ia juga merasa ngeri, bagaimana mungkin ia dapat
menemukan sebuah batu di tempatseluas itu"
"Itu bergantung pada tekadmu, Ja. Kalau hatimu mantap
dan benar"benar ingin mendapatkannya, maka pasti kau
akan menemukannya. Bawalah batu itu turun dan nanti akan
40 l'iFengqu'J' area-m Dapem ,-_' -_ 5P
": mmm-namum.- B::j eman: kutunjukkan caranya kepadamu bagaimana cara mempergunakan
untuk menginsyafkan ayahmu."
"Apakah Tuan sudah pernah melihat batu itu?"
"Belum, Ja, belum. Aku mendengarnya dari cerita orang"
orang tua." Panglima itu berkata lagi, "Sekarang segalanya terserah
kepadamu. Sanggup atau tidak kau berkorban demi maksudmu
itu." Si baja meng ga nguk mantap.
"Saya sudah berjanji akan menempuh cara apa pun yang baik,
yang paling tepat untuk menyadarkan ayah. Maka saya akan pergi!"
"Seandainya dalam pencarian batu itu kau boleh ditemani, Ja,
aku pasti akan menemani. Tapi sayang syaratnya kau harus pergi
sendiri." "Saya mengerti!"
"Kutunggu kau di sini,Ja!"
Sibaja mengangguk, lalu dengan langkah mantap ia mulai
mendaki pucak gunung itu.
Belum lama mendaki, ia sudah merasa sangat payah. Dan
panasnya udara di situ makin menyedot tenaganya. Kulitnya serasa
hangus terbakar. Tetapi Sibaja pantang menyerah. Sudah bulat
tekadnya ia harus mendapatkan batu itu.Apa pun yang akan terjadi.
Penderitaan penduduk desa akibat kekejaman anak buah ayahnya
selalu terbayang dalam pikirannya. Dan hal itu makin mendorong
niatnya untuk menginsyafkan ayahnya. Agar ayahnya tidak lagi
menambah penderitaan penduduk yang sudah melarat. Agar
ayahnya tidak lagi menjadi orang yang dibenci di seluruh jagad.
Ia sendiri heran, betapa cepat pikirannya berubah. Kalau waktu
berangkat dari perkampungan tempattinggalnya, ia masih diliputi
kebanggaan karena menjadi anak Simacan, kini perasaan itu sudah
lenyap sama sekali. Berganti dengan kesedihan yang mendalam.
613 l'iFengqu'J' area-m Dapem 41
Matahari suah condong ke ufuk barat. Panas udara agak
berkurangTetapi keletihan makin memberati langkahnya.Telapak
kaki dan tangannya sudah lecet"lecet tergores"gores batu"batu
yang runcing. Basa perih"perih ma kin membuatnya tersiksa. Namun
Sibaja tidak berhenti sedetik pun. Biar merambat asal tetap maju.
Dan ia telah memutuskanjustru malam itu ia tidak boleh mengaso.
Mumpung udara dingin. Ia harus terus berjalan, agar pagi harinya
sudah mencapai puncak. Dan itulah yang dilakukannya. Dalam kantuk dan letih terus
saja ia mendaki. Setapakdemi setapak ia lalui.
Ketikafajar mulai menyingsing keesokan harinya, ia sudah dekat
dengan puncakgunung itu. Sibaja merasa lebih lega. Ia beristirahat
sebentar, memulihkan tenaga yang kiranya amatdiperlukan untuk
mencari batu itu. Puncak itu ternyata luas sekali. Penuh berbatu-batu. Ada yang
besar, sebesar rumah.Ada yang kecil hingga sebesar kerikil.
Sibaja menebarkan pandangan ke sekeliling. Beribu"ribu batu,
bahkan mungkin puluhan ribu, bertebaran di tempat seluas itu.
Yang manakah batu yang dia cari"
Teng ah ia terman gu"man gu takta hu harus berbuat bagaimana,
tiba-tiba secercah cahaya kebiru-biruan turun dari langit. Cahaya
itu tidak berasal dari matahari. Dan cahaya yang warnanya kebirubiruan itu menyoroti sebuah batu di seberang sana.
Sibaja termenung sebentar sambil matanya mengikuti arah
cahaya itu. Tiba"tiba ia bertepuk tangan. Ah! Tentu cahaya itu
menunjukkan batu yang dicarinya. Agaknya pengorbanannya
membuahkan hasil. Jerih payahnya tidak sia"sia.
Segera saja ia bergerak ke arah cahaya itu. Cukupjauh jaraknya
dari tempat ia berdiri. Lagi pula jalan yang ia tempuh bukanlah
dataran yang licin melainkan daerah yang berbatu"batu dan kasar
42 l'iFengqu'J' area-m Dapem _- -'; .i ', 513
Batu Keinsyafan Karya Dwinanto Setyawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
": mmm-namum.- B::j eman: permukaannya. Tetapi Sibaja tidak memperhatikan semua itu.
Pikirannya hanya tertuju kepada batu itu.
Jarak batu itu tinggal kurang lebih sepuluh langkah lagi. Sibaja
berhenti sebentar. Diperhatikannya batu itu dengan seksama.
Batu itu kira-kira sebesar kepala ukurannya. Mengkilap
permukaannya. Cahaya kebiru-biruan yang menimpanya membuat
permukaan bertambah cemerlang.
Setelah merasa puas memperhatikan batu itu, Sibaja maju dan
menghampirinya lebih dekat.
Namun apa yang terjadi"
Ketika ia hendak memungut batu itu tiba-tiba cahaya kebirubiruan itu berpindah tempat. Seperti sorot lampu batarei yang
dipindahkan. Sibaja tertegun. Cahaya itu sudah berpindah ke sebelah lain. Kira-kira lima puluh
meter di samping kanannya danjatuh di permukaan batu lain.
Sibaja mengernyitkan kulit dahinya. Ia mulai menimbang"
nimbang di dalamhati.Benarkahbatu yang sekarangdihadapannya
itu 'batu keinsyafan'. Atau batu yang sekarang sedang ditimpa
cahaya kebiru"biruan itu" Sibaja memutuskan untuk mendekati
batu yang kini sedang ditimpa cahaya itu untuk meyakinkan
pendapatnya. Ia pun bergerakke sebelah kanan.
Tetapi lagi"lagi itulah yang terjadi. Ketika dekat dengan batu
yang kena cahaya, tiba"tiba cahaya itu berpindah tempat lagi.
Begitulah yang berkali"kali terjadi.
Akhirnya Sibaja merasa yakin, bahwa dirinya sedang dicoba.
Ia mengangguk-angguk sendiri. Tahulah dia apa yang harus
dilakukannya. Ia pun memutuskan batu mana saja yang diarahkan
oleh sinar cahaya itu akan dihampirinya.
613 l'iFengqu'J' area-m Dapem 43
Cahayakebirubiruan itu tetap beiadapada tempa tnya semula, maiaupun
Sibaja iama menyentuhnya.
44 l'iFengqu'J' area-sel Dapem 5P
M V mmm-namum.- B::j eman: Dan Sibaja bagai berkejar"kejaran dengan cahaya. Ke mana
cahaya itu mengarah, ke situlah ia bergerak.
Hampir setengah hari ia dipermainkan oleh cahaya itu. Tetapi
Sibaja pantang berputus asa. Walaupun tubuhnya letih, telapak
kakinya pedih, batang tenggorokannya bagai kering terbakar, perut
berkeroncongan, tetapi ia pantang menyerah.
Kemudian setelah lama kejadian itu berlangsung, setelah
cahaya itu seolah"olah yakin akan besarnya tekad dan kesungguhan
Sibaja, cahaya itu berhenti bergerak. Kali ini yang diarahkannya
adalah sebuah batu yang besar, tingginya hampir menyamai tinggi
Sibaja sendiri. Sibaja bergerak perlahan-lahan. Dengan gerak ragu-ragu
ia menyentuh batu itu. Takut"takut kalau cahaya itu tiba"tiba
berpindah tempat lagi. Untung itu tidak terjadi. Cahaya kebiru"
biruan itu tetap berada pada tempatnya semula, walaupun Sibaja
lama menyentuhnya. Syukurlah! Syukurlah! Ia telah mendapatkan 'batu keinsyafan' itu. Ia sudah menemu"
kannya. Hati Sibaja bersorak"sorai gembira. Dan ia menengadah,
mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa karena niatnya
tercapai. Perlahan-lahan cahaya itu menghilang.
Si baja membelai"belai batu itu. Hatinya puas.
Sesaat kemudian kulit dahinya berkerenyit"kerenyit lagi. Ia
tidak sempat memikirkan bagaimana cara membawa turun batu
itu.Tadi ia terlalu bergembiraTetapi kini"
Sibaja menggeretakkan geraham. Dengan bersusah payah ia
mencari batu itu. Maka kini betapa pun besarnya, ia akan berusaha
membawanya turun. Kalau perlu akan didorongnya setapak demi
setapak. 613 l'iFengqu'J' area-sel Dapem 45
Dan itulah yang dilakukan Sibaja.
Dan untuk kesekian kalinya keajaiban terjadi. Belumjauh Sibaja
bergerak, batu itu pun berubah. Menyusut dan menyusut menjadi
kecil. Kecil sehingga menjadi sebesar telur bebek.
Sibaja membawa batu itu hati-hati sekali. Hatinya bersyukur
karena semua percobaan telah dilaluinya dan ia berhasil.
Di kaki gunung, Panglima Telinga Satu bergegas"gegas
menyongsongnya. "Kau berhasil, Ja?" tanya laki-laki tua itu dengan penuh
ketegangan. "Saya kira begitu, Tuan," Sibaja menyodorkan 'batu keinsyafan
kepada Panglima Telinga Satu, "Inilah batu yang saya dapatkan
dengan susah payah."
Panglima Telinga Satu menerimanya dan mengamat"amatinya
dengan seksama. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ceritakanlah apa yang kaualami di atas sana."
Sibaja memenuhi permintaan Panglima Telinga Satu.
Setelah mendengar cerita Sibaja, laki"laki tua itu menepuk"
nepuk bahu Sibaja dengan perasaan puas.
"Tak salah lagi. Pasti batu itu yang kaucari. Syukurlah kau
bisa mengatasi ujian-ujian yang berat itu. Aku percaya dengan
kesungguhanmu itu pasti berhasil baik yang kauperoleh. Ayahmu
akan dapatkauinsyafkan."
"Lalu apa yang mesti saya lakukan selanjutnya?"
Panglima Telinga Satu memberi petunjuk kepada Sibaja
tentang apa yang harus dilakukannya setelah mendapatkan batu
itu. Sibaja mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Sekarang makan dan minumlah sepuas hatimu. Aku sudah
menyediakannya. Sesudah itu kita kembali ke tempat ayahmu dan
laksanakan petunjukku."
Si baja mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
45 l'iFengqu'J' area-sel Dapem ,-_' .., _ . 613 ": mmm-namum.- B::j eman: Segalanya Pun Berubah Kedatangan Sibaja dan Panglima Telinga Satu disambut
oleh penghuni perkampungan Simacan dengan rasa ingin tahu.
Bagaimana hasil perjalanannya" Adakah tempat harta Pangeran
Muka Merah telah diketahui Sibaja"
Mardaki dan Paman Begor berusaha menanyai Sibaja. Tetapi
Sibaja mengelak. Dia berkata akan melaporkan kepada ayahnya
lebih dulu. Simacan menyambut anaknya dengan hati gembira.
Dibimbingnya Sibaja masuk ke rumah. Sementara itu Panglima
Telinga Satu dipersilakan kembali masuk ke gubuk tempat ia
ditahan. Mereka hanya berdua saja. Duduk berhadap-hadapan. Sibaja
menatap ayahnya sebelum mulai berbicara. Kemudian ia mulai
berkisah. Sejak keberangkatannya mencari tempat penyimpanan
harta Pangeran Muka Merah, sampai saat ia bertemu dengan laki"
laki penunggang kuda yang baru saja mengejar perampok. Sampai
ia tiba di desa yang baru saja dijadikan sasaran perampokan anak
buah ayahnya. Sibaja menceritakan kesannya terhadap nasib korban
perampokan itu. Betapa menyedihkan nasib meraka. Dan betapa
kejamnya perbuatan anak buah ayahnya. Sibaja bercerita dengan
penuh perasaan. Dan itu sangat mengherankan ayahnya. Apalagi
613 l'iFengqu'J' area-sel Dapem 47
setelah Sibaja tampak merasa kasihan kepada penduduk yang
menjadi korban perampokan itu.
"Kau ini bicara apa, Ja" Bukan bercerita tentang tempatyang
ingin kuketahui, malah menyinggung soal yang tidak"tidak" Apa
hubungannya nasib penduduk itu dengan rencana kita" Persetan
dengan mereka! Yang penting adalah harta itu! Kita sangat
membutuhkannya, Ja!" Simacan menatap anaknya tajamtajam.
"Sebetulnya sudah kautemukan tempatitu atau belum?"
Sibaja memperhatikan ayahnya. Kemudian kepalanya
menggeleng lemah. "Jadi kau belum menemukannya?" tanya Simacan tersentak.
"Memang belum ke sana."
"Hah"Jadi apa yang kaulakukan selama ini?"
"Yah, setelah menyaksikan penderitaan pendudukyang malang
itu, saya merasa kasihan kepada mereka. Saya pikir, apakah tidak
lebih baik bila kita menuruti petunjuk Panglima Telinga Satu. Kita
tinggalkan jalan kita yang sesat ini."
Simacan menggebrak meja mendengar kata"kata itu.
Kemarahannya memuncak. Sibaja belum pernah menyaksikan
ayahnya marah sehebat itu. Tetapi itu memang sudah pernah
dibaya ngkan nya. Ia sudah merasa siap untuk menghadapinya.
"Tak kusangka Panglima Telinga Satu telah meracuni
pikiranmu. Jadi selama ini ia mencekoki kamu dengan nasihatnya"
Ya, tidak" Dan kau terpengaruh"Tak kusangka anakku semudah itu
pendiriannya berubah" Kau adalah calon penggantiku, Ja! Ingat
itu!" Simacan mondar"mandir sambil menggerutu, "Memalukan!
Sungguh memalukan! Apa kata anak buahku kalau mendengar
kejadian yang memalukan ini?"
Sibaja tidak memberi komentar satu patah kata pun.
48 l'iFengqu'J' area-sel Dapem ,-_' .., _ . 613 ": mmm-namum.- B::j eman: "Ini semua gara"gara panglima sial itu! Aku harus memberi
pelajaran kepadanya!" geram Simacan dengan kemarahan yang
masih berkobar" kobar.
"Apa yang akan Ayah lakukan terha da pnya?" Sibaja berdiri. "Dia
tidak bersalah. Semua itu berdasarkan pemikiranku sendiri."
"Omong kosong! Aku akan memaksa dia menunjukkan tempat
harta itu. Setelah itu akan kuhukum dia! Dan juga kau!" bentak
Simacan. Ketika mereka keluar dari rumah, anak buah Simacan sudah
berkumpul di sekitar rumah itu. Mereka menantikan hasil kepergian
Sibaja dan Panglima Telinga Satu.
Simacan melirik anaknya. Dia adalah orang tegas.Tak pandang
bulu. Walaupun anak sendiri apabila bersalah, tak segan"segan ia
menjatuhkan hukuman. "Anak buahku sekalian," katanya, "Perjalanan Sibaja ternyata
telah gagal. Ia membangkang perintahku. Akibatnya ia tidak
menemukan tempat yang kita cari. Oleh sebab itu aku akan
menjatuhkan hukuman kepadanya, setelah kita menemukan
tempat yang kita cari itu. Aku juga akan menghukum Panglima
Telinga Satu yang kuanggap telah mengkhianati kepercayaanku
kepadanya. Tetapi sebelum semua itu kulakukan, lebih dulu aku
akan memaksa dia berbicara, menunjukkan tempatharta itu!"
Sibaja menundukkan kepala. Agaknya memang sulit
menginsyafkan Simacan dan anak buahnya. Tidak adajalan lain. Ia
harus melaksanakan petunjuk Panglima Telinga Satu.
Sibaja mengambil 'batu keinsyafan' dan menggenggamnya
erat-erat. Ia memejamkan mata sejenak lalu melemparkan batu itu
ke tanah. 6!) l'iFengqu'J' area-sel Dapem 49
"BLAABBBBH" Ledakan kuat terjadi. Lalu asap tebal muncul dari tempat
jatuhnya batu itu. Asap itu bergulung"gulung. Warnanya hitam
pekat Orang"orang yang hadir di tempat itu, termasuk Simacan
dan Sibaja, keheran-heranan. Namun keheranan mereka hanya
sejenak. Ketika mereka mencium bau asap itu perasaan pusing pun
menyerang kepala mereka. Segalanya lalu tampak berputar"putar.
Tak lama kemudian seluruh penghuni perkampungan itu jatuh
pingsan. Ketika sadar dari keadaan pingsan, mereka merasa segalanya
telah berubah.... Pada anggapan mereka, mereka bukanlah para perampok.
Melainkan penduduk desa yang baik. Dan Simacan adalah kepala
kampung yang sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat
desa. Hidup mereka tenteram. Damai. Pagi-pagi mereka berangkat
ke sawah atau ke ladang. Sebagian berangkat ke pasar untuk
berdagang. Simacan mempunyai sapi dan kerbau yang banyak. Juga sawah
yang luas. Dan ia bersama Sibaja yang mengurus semua itu.
Alangkah damainya hidup mereka. Tak ada ketegangan. Tak
ada permusuhan. Tak ada khawatir akan tertangkap oleh tentara
kerajaan. Tetapi pada suatu ketika, bencana pun terjadi!
Serombongan perampok yang kejam menyerbu desa mereka.
Merampok harta mereka. Menyikat milik mereka sampai tidak ada
yang tertinggal. Bukan itu saja, bahkan para perampok itu mendera mereka.
Simacan, sebagai kepala kampung, dipukuli. Sibaja mereka siksa.
50 l'iFengqu'J' area-sel Dapem .i '. 513
": mmm-namum.- B::j eman: Sungguh berat penderitaan mereka. Sedih dan berduka karena
harta yang mereka kumpulkan dengan susah payah, disikat begitu
saja. Bumah yang mereka bangun dibakar habis. Sungguh suatu
siksaan lahir dan batin yang dahsyat! Tak tertahankan rasanya!
Dalam penderitaan yang hebatitu, keajaiban lagi terjadi.Terjadi
ledakan untuk kedua kalinya. Dan bunyi ledakan itu menyadarkan
mereka. Mereka kembali ke alam kenyataan....
Sibaja menggeleng kuat-kuat. Apa yang baru dialaminya
sungguh mengerikan. Sibaja termenung. Ia sadar peristiwa yang
baru terjadi adalah akibat khasiat'batu keinsyafan'.
Sementara itu Simacan belum sadar sepenuhnya. Pemimpin
perampok yang biasanya tegar hati dan takmengenal rasa kasihan
itu, keadaannya tampak menyedihkan. Ia berguling"guling di tanah.
Menjerit"jeritdan menyumpahi para perampok.
"Manusia-manusia laknat! Kenapa kau tega berbuat sekejam
itu! Kau hancurkan apa yang kubangun dengan susah payah.
Kaurenggut ketenteraman hidupku. Kauambil milikku, hasil jerih
payahku! Perampok terkutuk!" Dan Simacan menangis tersedu"
sedu. Sibaja menghampiri ayahnya dan mengguncang-guncangkan
badan ayahnya. "Yah, Yah, sadar! Sadarlah!"
Simacan membuka mata perlahan"lahan. Ia melihat anaknya. Ia
melihatPaman Begor, Mardaki, dan anak buahnya yang lain. Semua
tampak duduktermenung. Diam.
Batu Keinsyafan Karya Dwinanto Setyawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Simacan menggeleng"geleng, ketika ingatan akan peristiwa
yang mengerikan tadi berkelebat dalam pikirannya.
Pada saat itu Panglima Telinga Satu berjalan perlahan-lahan
menghampiri mereka. Laki"laki tua yang bijaksana itu berdiri di
tengah"tengah mereka dan memperhatikan mereka.
613 l'iFengqu'J' area-sel Dapem 51
"Baru saja kalian mengalami peristiwa yang mengerikan. Aku
tahu itu," katanya dengan suara perlahan"lahan tetapi tegas, "Kalian
yang biasanya merampok kali ini menjadi korban perampokan.
Kalian bisa merasakan sendiri betapa menderita orang yang
menjadi korban kejahatan karena keserakahan perampok. Betapa
sakitnya hati melihat harta milik direbut dan diambil seenak
perut. Kata"kataku tak bisa melukiskan apa yang kalian rasakan di
dalam hati kalian. Kalian sendiri yang dapat merasakannya. Dan
sudah meresapkannya, aku yakin." Panglima itu melanjutkan, "Kini
segalanya kembali kepada diri kalian. Masih ingin melanjutkanjalan
hidup sesat sebagai perampok yang mengancam ketenteraman
umum, atau menjadi manusia baik-baik" Kalian sendiri yang bisa
menentukan." Keheningan mencengkam tempat itu setelah Panglima
Telinga Satu selesai berbicara. Yang hadir termenung. Hanyut
dalam arus pikiran masing-masing. Sementara kengerian dalam
membayangkan peristiwa yang baru mereka alami tadi masih
membekas, dan makin membekas di dalam hati.
Sibaja berdiri perlahan"lahan. Ia memperhatikan ayahnya
sebentar, kemudian ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
"Kalaudulu,"katanya perlahan-lahan tetapicukupjelasdidengar,
"Kita pasti akan membantah kata-kata Panglima Telinga Satu. Kita
akan meremehkan dia dan tidak menanggapinya.Tetapi setelah tadi
kita alami dan rasakan sendiri penderitaan akibatkeganasan kaum
perampok, kita pasti sadar. Bila tidak, maka makhluk itu pasti bukan
manusia. Entah apalah." Sibaja meneruskan, "Sekarang marilah
kita meninggalkan cara hidup kita. Kita kembali ke jalan benar. Di
mana kita bisa menikmati kebebasan dan ketenteraman tanpa rasa
khawatir. Kita bekerja memeras keringat, halal dan menikmati hasil
jerih payah kita dengan perasaan puas dan bahagia."
52 l'iFengqu'J' area-sel Dapem ,-_' .., _ . 613 ": mmm-namum.- B::j eman: "Kau benar, Ja," kata Simacan sambil berdiri perlahan"lahan.
"Aku tidak bisa membantah kenyataan." Simacan menghadap
ke arah anak buahnya, "Aku membubarkan perkumpulan kita
sekarang. Dan aku mengundurkan diri sebagai kepala perampok.
Siapa yang mengikuti jejakku, tentu akan kusambut dengan
gembira. Sebaliknya, siapa yang tetap mau mempertahankan cara
hidup ini, silakan.Tapi tanggung sendiri akibatnya!"
Seketika itu juga anak buah Simacan menyatakan mengikuti
jejak Simacan.Tak ada seorang pun yang men en tang.
Panglima Telinga Satu tersenyum lega.
"Panglima," kata Simacan, "Tuan bukan tawanan lagi sekarang.
Tuan bebas. Bahkan sekarang saya menyerahkan nasib saya kepada
Tuan. Tuan adalah panglima yang berkuasa. Hukuman apa pun
yangTuanjatuhkan terhadap diri saya, saya rela menanggungnya."
"Mengapa saya mesti menghukum orang yang sudah sadar"
Tidak, Tuan Simacan, saya tidak menjatuhkan hukuman apa-apa.
Saya hanya menuntut."
"Menuntutapa,Tuan?"
"Agar Tuan dan kelompok Tuan benar"benar memenuhi janji
di hadapan saya. Bahwa kalian akan menjadi orang baik"baik. Bila
demikian, saya akan mengusulkan pengampunan umum bagi
kelompokTuan." "Terima kasih, Tuan. Saya dan anak buah saya pasti akan
menepati janji. Jangan kh awatir!"
"Baja kita dan segenap rakyat kita pasti akan menyambut
peristiwaini denganrasalega."PanglimaTelinga Satu menyambung,
"Banyakjalan baik"baikyang dapatkalian tempuh.Aku yakin kalian
akan berhasil. Percayalah."
Simacan mengangguk-angguk.
613 l'iFengqu'J' area-sel Dapem 53
"Anak"anak," katanya kepada anak buahnya, "Harta kita akan
kubagi rata. Masing"masing akan mendapat modal sekedarnya.
Selanjutnya harus berjuang mengembangkannya. Sebagian
besar dari harta kita akan kita kembalikan kepada yang berhak
memilikinya. Untuk membangun desa yang pernah kita hancurkan.
Untuk menolong kembali orang-orang yang pernah kita rugikan.
Kalau masih ada sisanya, kita akan mendermakannya kepada fakir
miskin." Semua setuju. "Satu hal lagi yang penting," kata Panglima Telinga Satu, "Saya
tetap akan menunjukkan tempat harta Pangeran Muka Merah.
Tetapi sekarang persoalannya lain. Tidak untuk kalian miliki,
melainkan untuk menambah dana yang akan kalian bagi"bagikan
kepada orang miskin. Bagaimana?"
"Setujuuu!" "Kita akan menolong membagikan harta itu kepada mereka
yang membutuhkan," seru Sibaja girang.
"Setujuuu! Setuujuuu!"
Panglima Telinga Satu menghampiri Sibaja setelah pertemuan
itu selesai. "Syukurlah,Ja, semuanya berakhir dengan baik."
"Itu semua berkatjasaTuan." Sibaja terdiam lama sekali setelah
berkata begitu. "Apa yang kau pi kirkan, Nak?"
"Seandainya Tuan bersedia menerima, saya ingin bergabung di
dalam pasukan Tuan. Saya ingin menjadi perajurit yang baik."
"Ah, keinginanmu itu pasti kusambut dengan gembira."
Panglima Telinga Satu menepuk-nepuk bahu Sibaja. "Aku yakin
kelak kau tidak hanya menjadi perajurityang baik, melainkan juga
menjadi perwira yang bijaksana. Aku senang, Ja. Sekarang bantulah
54 l'iFengqu'J' area-sel Dapem .i '. 513
": mmm-namum.- B::j eman: ayahmu mengumpulkan harta, menyusun daftar orang"orang yang
akan kalian tolong. Setelah semua beres, kau bisa segera mengikuti
aku." Si baja mengangguk, lalu meninggalkan Panglima Telinga Satu.
Tiba-tiba suasana di bukit itu berubah. Kedamaian dan
ketenteraman terasa benar.
Batu keinsyafan telah lenyap setelah membuktikan khasiatnya.
Tetapi bekasnya nyata benar, menyentuh hati orang"orang sesat
yang kini akan berusaha menjadi manusia berguna, berguna bagi
bangsa dan negaranya! 6P l'iFengqu'J' area-sel Dapem 55
v l'iFe Ria.-sa Depan 4% _"Mmmun B::j eman: Penerbitan dan Percetakan
PT Balai Pustaka [Pamer"aji
Jalan Bunga No.aaA Matraman, Jakarta 'I'imu r 1 3140
V TeIiFaka. cae-211353 3369
Website: http:"Ale'uewbalaipustakaeon
Jo Anak Gelandangan 1 Goosebumps - 42 Monster Telur Dari Mars Rahasia Mo-kau Kaucu 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama