Jago Dari Seberang 3

Jago Dari Seberang 3

Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang Bagian 3


rumah penginapan" Dia mengaku bernama
Rintan. Tapi Bayu tidak percaya begitu saja kalau namanya, Rintan.
Bayu jadi teringat ketika gadis itu hampir saja
memenggal lehernya dengan golok. Sebuah golok yang cukup besar dan biasa
digunakan untuk memotong daging.
Golok itu sangat berat. Anehnya, Rintan mampu
mengayunkannya dengan cepat dan nampak ringan. Juga ketika meringkusnya,
tenaganya luar biasa. Bayu sendiri merasa adanya pengerahan tenaga dalam yang
ditahan. Semua itu baru disadarinya sekarang.
"Rintan, berapa usiamu sebenarnya?" tanya Bayu
bernada penuh selidik.
"Lima belas," sahut Rintan.
"Sungguh?"
"Kenapa aku mesti berdusta" Ayah selalu memberiku hadiah tepat pada saat
kelahiranku. Katanya untuk mengingatkan usia dan ibuku."
Bayu menarik napas panjang, kemudian bangkit berdiri.
Langkahnya pelan menuju ke mulut goa yang hampir tertutup semak belukar dan
rerumputan yang cukup tinggi.
"Kau jaga Mayang. Aku akan ke Gantar Angin," kata Bayu tanpa menoleh.
"Percayalah! Aku pasti merawatnya dengan baik," sahut Rintan.
Bayu terus saja melangkah keluar dari goa itu. dia segera melesat begitu tiba di
luar goa. Dalam sekejap saja, bayangan tubuhnya tidak terlihat lagi.
*** Saat itu senja mulai beranjak turun. Matahari hampir bersembunyi di balik
belahan bumi barat. Istana Kerajaan Gantar Angin masih selalu dijaga ketat oleh
prajurit bersenjata lengkap. Sementara di dalam sebuah ruangan ber-dinding batu,
Raden Bantar Gading terbelenggu berdiri dengan posisi merapat ke dinding. Rantai
baja mengekang tangan dan kakinya. Ruangan itu sangat sempit, dan tidak
tertembus cahaya matahari. Lembab sekali. Hanya sebuah obor yang berada di luar
ruangan itu yang menerangi samar-samar dari balik jeruji besi.
Raden Bantar Gading memandang seorang lai-laki yang terbaring di lantai batu
berdebu dan lembab. Jubah putihnya koyak. Bercak-bercak darah kering masih
melekat, mengotori jubah dan tubuhnya. Raden Bantar Gading kenal betul, siapa
laki-laki itu. dia tidak lain adalah Paman Nampi, salah seorang panglima perang
Gantar Angin yang selalu dekat dengan Raden Sangga Alam. Padahal Raden Bantar
Gading sendiri yang menjebloskan orang tua itu ke dalam penjara ini. Ternyata,
dia memang belum mati.
Nasib baik masih berpihak padanya.
Paman Nampi beringsut bangun dan duduk bersandar pada dinding batu berlumut.
Pandangannya sayu dan langsung ke arah Raden Bantar Gading. Bibirnya
menyunggingkan senyum tipis. Entah apa makna
senyumannya itu. Punggung tangannya menyeka darah yang hampir mengering di sudur
bibirnya. "Semua orang di sini rupanya sudah tidak waras..."
gumam Paman Nampi pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
"Paman, apa yang mereka lakukan padamu?" tanya
Raden Bantar Gading.
"Seharusnya kau bisa jawab sendiri, Anak Muda," jawab Paman Nampi yang enggan
menyebut nama Raden pada Raden Bantar Gading.
Raden Bantar Gading tidak tersinggung. Disadari kalau dirinya bukan seorang
raden, pewaris tahta Kerajaan Gantar Angin. Dia hanya tersenyu kecut mendengar
kata-kata sindiran itu.
"Maafkan aku, Paman. Aku memang bodoh, kerdil, dan selalu mementingkan diri
sendiri," kata Raden Bantar Gading polos.
"Tidak perlu menyesali diri. Di dunia ini tidak ada yang sempurna," masih pelan
suara Paman Nampi.
"Ya. Dan aku paling tidak sempurna di antara yang tidak sempurna," juga pelan
suara Raden Bantar Gading.
"Mengapa kau sampai masuk ke dalam neraka ini?"
tanya Paman Nampi.
"Aku menentang Ayahanda Prabu, dan mencoba
meninggalkan Gantar Angin. aku sadar kalau tindakanku selama ini hanya merugikan
orang banyak. Yang tertinggal sekarang hanya rasa sesal. Kini aku bermaksud
menebus dosa atas perbuatanku," lirih sekali nada suara Raden Bantar Gading.
"Penyesalan memang selalu terlambat datangnya."
"Ya....dan memang tidak ada gunanya untuk disesali."
"Kenapa kau menentang Prabu Abiyasa?" tanya Paman Nampi lagi.
"Aku tahu siapa diriku. Aku memang tidak berhak atas tahta Gantar Angin. Ada
orang yang lebih berhak dari itu semua," sahut Raden Bantar Gading.
"Kau tahu siapa?"
"Raden Sangga Alam. Dialah yang berhak atas tahta Gantar Angin."
Paman Nampi terdiam dengan kepala tertunduk.
"Maafkan aku, Paman. Tidak seharusnya aku menjebloskanmu dalam penjara ini," ucap Raden Bantar Gading penuh penyesalan. "Aku
malu! Segala tekad dan tindakan sucimu kunodai oleh kepicikanku sendiri."
"Kau tidak picik, Anak Muda. Juga, tidak bodoh. Kau tidak bersalah dalam hal
ini. Kau hanya salah satu korban dari permainan manusia-manusia berhati culas,
haus kekuasaan, harta benda dan kesenangan duniawi. Hhh...
aku sendiri juga kotor, penuh dengan noda."
Raden Bantar Gading menatap laki-laki tua itu dalam-dalam.
"Aku memang ingin mengembalikan tahta kepada yang lebih berhak. Tapi jalan yang
kutempuh sangat kotor.
Entah, setan mana yang telah menutupi hati dan mataku.
Aku mengambil seroang anak perempuan yang belum
genap berusia tujuh tahun, lalu berkerja sama dengan Durati si Selendang Sakti
untuk mendidik dan merawat anak itu. Dia kujejali dengan cerita-cerita kosong
dan palsu! Aku telah menjerumuskannya ke dalam lembah yang sangat nista...." Pelan
sekali suara Paman Nampi.
"Siapa anak itu, Paman?" tanya Raden Bantar Gading dengan dada berdebar.
"Kau tentu telah mengenalnya. Aku benar-benar malu pada diriku sendiri, karena
telah melibatkan seorang anak yang tidak berdosa dan tidak mengerti apa-apa!
Bahkan aku telah membuatnya tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya, asalusulnya yang sebenarnya. Sungguh terkutuk!"
"Paman apa yan gkau maksudkan itu..."
"Ya dia Mayang," pelan suara Paman Nampi.
"Ahhh..." Raden Bantar Gading mendesah panjang.
"Dia sebenarnya bukan puteri Gusti Ratu Kunti Boga.
Namanya pun bukan Mayang. Aku tidak tahu, siapa nama yang sebenarnya. Dia
kupungut ketika terjadi pertempuran perebutan kekuasaan oleh Prabu Abiyasa. Dia
kuambil ketika berada dalam pelukan seorang wanita yang tewas tertembus panah.
Aku kenal wanita itu. Semula, dalam hatiku tidak ada niatan untuk menjadikannya
sebagai Mayang. Pikiran itu mendadak timbul saat kudengar putri Ratu Kunti Boga
lenyap dalam pertempuran di dalam istana. Sampai kini aku tidak tahu di mana dia
berada, dan bagaimana kabarnya."
"Jadi, Mayang yang sebenarnya belum tewas?"
"Ya! Dia hanya hilang."
"Dan Raden Sangga Alam?"
"Dia waktu itu masih berusia sekitar tiga bulan, lalu dipungut oleh Permaisuri
Pramita Wardani sebagai anak.
Dan kau sendiri baru berusia tiga tahun. Aku tidak menyalahkanmu jika kau sampai
tidak tahu apa-apa tentang dirimu sebenarnya selama ini."
"Sekarang aku tahu, Paman."
"Dari mana kau tahu?"
"Ayahku."
"Prabu Abiyasa?"
"Bukan! Patih Luminta."
"Dewata Yang Agung....ternyata dia juga masih setia kepada Gusti Ratu Kunti Boga.
Benar-benar buta mataku, tidak bisa membesakan mana kawan dan mana lawan!
Kukira dia juga haus akan kekuasaan, sehingga berkhianat dan mempuyai perjanjian
dengan Prabu Abiyasa!"
Raden Bantar Gading mengangkat kepalanya. Dan pada saat itu matanya sempat
melihat bayangan berkelebat di depan jeruji besi yang membatasi ruangan tahanan
ini dengan sebuah lorong batu bawah tanah. Raden Bantar Gading menggigit
bibirnya. Sungguh tidak disadari kalau ada seseorang yang mendengar semua
percakapan ini.
Siapa orang itu..."
*** Raden Bantar Gading tidak tahu, sudah berapa lama
berada di kamar tahanan bawah tanah ini. Di dalam ruangan tertutup tanpa cahaya
matahari, sangat sulit untuk menghitung waktu. Ebg mengangkat kepalanya ketika
mendengar suara pintu besi kamar tahanan ini dibuka.
Dua orang prajurit melangkah masuk. Beberapa prajurit lain menunggu di luar. Dua
orang prajurit itu mengangkat Paman Nampi agar berdiri. Laki-laki tua itu sudah
tidak punya daya lagi. Apalagi untuk berdiri. Sebentar dipandanginya Raden
Bantar Gading. "Akan dibawa ke mana dia?" tanya Raden Bantar
Gading. "Menjalani hukuman," sahut salah seorang prajurit.
"Hukuman apa?"
"Raden...." Pelan suara Paman Nampi.
Raden Bantar Gading menatap Paman Nampi dalamdalam. "Prabu Abiyasa telah memutuskan bahwa hari ini aku harus menjalani hukuman
sebagai pengkhianat," kata Paman Nampi.
"Tidak...!" desis Raden Bantar Gading. "Tidak! Kau tidak boleh mati...!"
Raden Bantar Gading berusaha memberontak, tapi
rantai yang membelenggu tangan dan kakinya begitu kuat.
Raden Bantar Gading terus meronta sambil berteriak-teriak. Seorang prajurit
bertubuh tegap dan berotot, menghampiri. Tanpa bicara lagi, dilayangkan satu
pukulan keras ke perut.
"Hughk!" keluh Raden Bantar Gading.
Rontaan dan teriakannya langsung berhenti. Tubuhnya sedikit membungkuk. Perutnya
kini terasa mual, dan matanya berkunang-kunang. Pukulan prajurit itu sungguh
keras, meskipun hanya sedikit menggunakan tenaga dalam.
Namun akibatnya cukup luar biasa. Seluruh isi perut Raden Bantar Gading serasa
akan keluar. "Jalan!"
Paman Nampi melangkah lesu didorong seroarng
prajurit. Raden Bantar Gading mengangkat kepalanya per-lahan-lahan. Kedua bola
matanya merembang. Pintu kamar tahanan bawah tanah itu kembali tertutup.
"Tidak..." rintihnya lirih. "Maafkan aku, Paman. Seandainya waktu itu aku tidak
menangkapmu, tetnu kau tidak akan bernasib malang seperti ini...."
Raden Bantar Gading benar-benar menyesali diri.
Dimaki-maki dan dirutuki dirinya yang tidak sadar kalau tengah diperalat oleh
mereka yang haus kekuasaan dan harta benda duniawi. Benar kata Paman Nampi. Dia
hanya dijadikan alat tanpa disadari lebih dahulu.
"Raden...."
Raden Bantar Gading tersentak ketika telinganya mendengar suara bisikan halus.
Kembali diangkat kepalanya yang semula tertunduk lesu. Bola matanya langsung
membeliak lebar begitu melihat seorang pemuda bertubuh tegap dan berbaju kulit
harimau telah berdiri di depan pintu jeruji besi.
"Pendekar Pulau Neraka...." Desis Raden Bantar Gading setengah tidak percaya.
Pemuda tampan bernama Bayu Hanggara itu tersenyum.
Dia melangkah mendekati pintu. Tangannya menggenggam dua jeruji besi. Sebentar
ditarik napas dalam-dalam lalu mulai ditarik jeruji besi itu.
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membongkar pintu
berjeruji besi itu.
wajahnya nampak memerah saga, dan otot-ototnya ber-sembulan ke luar. Jelas
sekali kalau dia tengah mengerahkan tenaga dalam sepernuhnya. Raden Bantar
Gading ter-longong begitu pintu jeruji besi terangkat dan terbuka lebar.
Pendekar Pulau Neraka bergegas masuk, lalu memutuskan rantai yang membelenggu
tangan dan kaki Raden Bantar Gading dengan Cakra Mautnya.
"Cepat keluar sebelum mereka memergoki kita," kata Pendekar Pulau Neraka.
"Terima kasih," ucap Raden Bantar Gading seraya cepat melangkah ke luar.
"Bagaimana kau bisa sampai ke sini?"
"Dua hari aku menyelidiki tempat ini," sahut Bayu.
"Dua hari..."!" Raden Bantar Gading terperanjat.
"Nanti kujelaskan. Yang penting sekarang kau harus cepat meninggalkan tempat
ini. Aku akan membebaskan Paman Nampi," potong Bayu cepat.
"Tunggu dulu, aku ikut bersamamu!"
"Kau sanggup?"
"Aku masih bisa melawan sepuluh prajurit sekaligus!"
"Ayolah! Waktu kita tidak banyak!"
*** 7 Paman Nampi digiring ke atas panggung. Di situ, tiang gantungan siap menunggu
dengan tambang melingkar.
Seorang prajurit melingkarkan tambang ke lehernya. Tidak kurang lima puluh
prajurit berjaga-jaga di sektiar tempat itu. Paman Nampi mengedarkan
pandangannya ke
sekeliling. Tidak ada Prabu Abiyasa, dan Raden Sangga Alam. Yang ada hanya para
prajurit dan algojo yang siap menggantungnya.
"Tidak perlu! Aku tidak perlu penutup mata!" kata Paman Nampi tegas.
Seroang algojo yang memegang kain hitam penutup
mata melangkah mundur,mengurungkan niatnya menutup mata Paman Nampi. Empat orang
prajurit menjaga di panggung gantungan, sedangkan dua orang algojo berada di
depan Paman Nampi. Mereka tinggal menunggu
perintah dari seorang punggawa yang sudah berdiri di depan panggung gantungan
itu. "Laksanakan!" seru punggawa itu lantang.
Seorang algojo menarik tambang di bawah kaki Paman Nampi, maka papan yan
gdipijak laki-laki tua itu terbuka ke bawah. Paman Nampi tersentak! Lehernya
langsung terasa nyeri. Napasnya mulai terasa terhambat. Tubuhnya menggelepar,
sedangkan matanya membeliak lebar.
Mulutnya pun tak urung terbuka lebar. Dia berusaha untuk tetap bernapas, tapi
semakin sesak dan terasa sulit.
Pada saat yang kritis itu, dua buah bayangan berkelebat cepat. Salah satu
bayangan menyambar tubuh Paman Nampi, dan langsung memutuskan tambang yang
menjerat leher. Kejadian yang begitu cepat dan tiba-tiba itu, membuat semua
prajurit dan algojo hanya terkesiap.
Empat orang prajurit yang berada di atas panggung, tiba-tiba terjungkal roboh
dengan leher koyak mengucurkan darah.
Dua bayangan itu sangat cepat bergerak dan tahu-tahu sudah lenyap sebelum semua
orang yang ada di situ menyadari apa yang terjadi. Mereka seperti terpaku
memandang tali gantungan yang putus, tanpa terdapat tubuh Paman Nampi di sana.
"Kejar! Tangkap mereka...!" punggawa yang memimpin hukuman gantung itu berteriak
keras. Semua prajurit yang berada di sekitar tempat itu serempak berlarian ke arah dua
bayangan yang membawa Paman Nampi menghilang. Sementara dua roang algojo
melompat turun dari panggung gantungan. Mereka menghampiri punggawa itu.
"Bagaimana?" tanya salah seorang algojo.
"Kalian jangan ke mana-mana! Aku akan laporkan hal ini pada Gusti Prabu," sahut
punggawa itu langsung
melangkah pergi.
Dua orang algojo itu saling berpandangan dan mengangkat bahunya. Tidak ada lagi
prajurit yang terlihat. Hanya empat orang saja tergeletak tak bernyawa di atas
panggung gantungan.
*** "Bodoh!" umpat Prabu Abiyasa sambil menggebrak
mejda dengan keras.
Meja berukir dari kayu jati yang tebal itu sampai retak, hampir terbelah dua.
Punggawa yang melaporkan tentang kejadian di tiang gantungan mengkeret
menggigil. Para panglima dan patih yang berada di situ, tidak berani mengangkat
wajahnya. Prabu Abiyasa benar-benar marah mendengar kegagalan pelaksanaan
hukuman mati bai Panglima Nampi. Apalagi sampai bisa lolos, diselamatkan dua
orang yang tidak jelas siapa orangnya.
"Aku perintahkan pada kalian semua. Cari dan bunuh mereka!" lantang suara Prabu


Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Abiyasa. "Gusti..." Panglima Jambak mengangkat kepalanya.
"Hamba yakin mereka belum keluar dari benteng istana.
Sekitar benteng sudah dikepung para pemberontak."
"Heh..."!" Prabu Abiyasa terperanjat.
"Ampunkan hamba, Gusti. Semula hamba memang
hendak melaporkan hal ini, tapi punggawa lebih dulu datang dan melaporkan
kegagalan pelaksanaan hukuman mati itu," kata Panglima Jambak lagi.
"Panglima! Aku tidak peduli bagaimana caranya! Aku tidak ingin melihat para
pemberontak menjarah istana ini.
juga, cari pengkhianat itu sampai dapat!" perintah Prabu Abiyasa.
"Hamba laksanakan, Gusti."
Panglima Jambak bergegas keluar diikuti para penglima lainnya. Punggawa itu juga
bergegas ke luar. Di situ tinggal Prabu Abiyasa bersama beberapa patih dan
delapan orang jago bayaran dari tanah seberang. Prabu Abiyasa menatap delapan
orang berpakaian aneh itu.
"Kalian kuperintahkan mencari pengkhianat itu.
siapapun dia, bunuh!"
Delapan jago dari tanah seberang membungkuk hormat, lalu melangkah meninggalkan
ruangan itu. Prabu Abiyasa juga bergegas pergi. Tinggal sekitar lima orang patih
yang masih berada di sana. Mereka hanya saling pandang.
"Mungkin ini akhir dari Gantar Angin...." gumam salah seorang patih pelan.
"Bagaimana tindakan kita?" tanya salah seorang
lainnya. "Tidak perlu ikut campur. Kita semua, hanya jabatannya saja yang patih. Tapi
tugas dan pekerjaan sudah ditangani orang-orang Prabu Abiyasa. Kita lihat saja.
Siapapun yang duduk di atas tahta, dialah junjungan kita."
"Setuju!"
"Kalian tidak bisa bersikap demikian."
Lima orang patih itu terkejut, dan hampir bersamaan menoleh. Wajah mereka
langsung pucat pasi begitu melihat Raden Sangga Alam tahu-tahu sudah berada di
ruangan ini. Pemuda tampan bagai wanita itu melangkah pelan menghampiri.
Sikapnya lembut dan bibirnya tidak pernah lepas dari senyuman.
"Kalian adalah orang-orang yang dulu berjanji setia pada Prabu Abiyasa.
Sebelumnya, kalian juga mengaku setia pada Ratu Kunti Boga. Dan kini, kalian
pasti akan mengatakan setia pada orang yang mungkin akan
meruntuhkan tahta Kerajaan Gantar Angin. Sungguh tidak kusangka! Patih-patih
Kerajaan Gantar Angin, ternyata bermental penjilat!" lembut suara Raden Sangga
Alam, tapi terdengar tegas dan langsung mengena di hati.
"Raden, kami..."
"Tidak perlu berdalih! Sebenarnya kalian lebih berbahaya dari para pemberontak!"
potong Raden Sangga Alam.
Lima orang patih itu terdiam menunduk.
"Jika kalian masih menganggap diri kalian manusia, punya hati, dan perasaan,
tentu punya rasa malu berada di istana ini," lanjut Raden Sangga Alam.
Lima orang patih itu saling pandang. Kata-kata Raden Sangga Alam yang lembut dan
tegas iu, sangat mengena di hati mereka. Seperti ada yang memberi komando,
mereka langsung menjatuhkan diri dan berlutut di depan pemuda tampan berkulit
putih bersih itu.
"Ampunkan kami, Raden. Kami tidak tahu harus
bersikap bagaimana. Kami tidak punya daya..." kata salah seorang patih.
"Kalian pasti masih punya otak untuk berpikir, dan masih punya hati untuk
merasakan. Tentukanlah sendiri langkah yang harus ditempuh. Kalian harus punya
sikap tegas dan mampu menilai pantas atau tidaknya junjungan yang harus
dihormati dan dipatuhi. Seharusnya kalian sadar bahwa kalian bukan boneka kayu
yang dapat dikendalikan tanpa mampu melakukan sesuatu dengan sendirinya."
"Raden. Hukumlah kami yang bodoh ini."
"Hukuman bukan jalan satu-satunya."
"Raden. Kami semua tahu siapa Raden sesungguhnya.
Dan kami berjanji setia pada peritnah Raden."
"Kesetiaan bukan hanya di mulut, tapi perbuatan dan niat hati yang murni."
"Tunjukkan, apa yang harus kami lakukan."
"Halangi orang-orang asing itu mengejar Paman Nampi!"
Lima orang patih itu terkejut, sampai mendongakkan kepalanya. Perintah Raden
Sangga Alam membuat jantung mereka seperti copot. Dan belum lagi sempat bicara,
Raden Sangga Alam sudah berbalik melangkah meninggalkan ruangan itu.
*** Raden Sangga Alam tersenyum-senyum masuk ke
kamar perisitirahatan pribadinya. Bergegas dikuncinya pintu. Pandangannya
langsung tertuju ke pembaringan, tempat seorang laki-laki tua terbujur di sana.
Di sampingnya berdiri seorang pemuda mengenakan baju kulit harimau dan seorang
pemuda tampan gagah dengan pakaian koyak.
"Aku tidak mau ambil resiko dengan membawa orang lain ke sini," kata Raden
Sangga Alam. "Berikan pil ini pada Paman Nampi."
Pemuda berbaju koyak dengan wajah babak belur
menerima pil berwarna merah dari tangan Raden Sangga Alam, kemudian memasukannya
ke mulut Paman Nampi yang terbaring lemah di atas ranjang. Wajah laki-laki tua
itu berubah merah, setelah pil tertelan. Sebentar dia menggeliat, lalu diam
dengan napas mulai teratur.
"Sebentar lagi kesehatanmu akan pulih," kata Raden Sangga Alam seraya melangkah
mendekati jendela.
Pandangannya terarah ke luar.
"Raden..."
"Jangan panggil aku Raden, Kanda Bantar Gading.
Meskipun kita sama-sama sudah mengetahui diri masing-masing, aku tetap
menganggapmu sebagai kakak," potong Raden Sangga Alam seraya membalikkan
tubuhnya. Bantar Gading tertunduk. Hatinya merasa malu akan kemuliaan hati Raden Sangga
Alam. Benar-benar disesali semua perbuatan yang telah dilakukannya.
"Aku tahu semua tentang diriku, kau dan semua yang telah terjadi di sini. Itu
semua berkat jasa besar Pendekar Pulau Neraka," ambung Raden Sangga Alam seraya
memandang Bayu Hanggara.
"Jangan terlalu membesarkan, Raden." Kata Bayu
merendah. Bantar Gading melirik Bayu. Meskipun belum ada yang memberitahu, tapi sudah
dapat diduga kalau semua yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka di sini, tentu
berkat bantuan Raden Sangga Alam. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang
ruangan bawah tanah selain para keluarga kerajaan, dan para prajurit pilihan.
Dan lagi tidak mudah masuk ke sana kalau bukan karena bantuan Raden
Sangga Alam. Perhatian mereka langsung tertumpah pada Paman
Nampi yang mulai siuman. Laki-laki tua itu segera beranjak duduk begitu
menyadari berada dalam kamar Raden
Sangga Alam. Paman Nampi cepat beringsut turun dari pembaringan dan bersimpuh di
lantai. "Bangunlah, Paman. Tidak pantas kau berbuat demikian padaku," kata Raden Sangga
Alam. "Ampunkan hamba, Raden," kata Paman Nampi tetap
duduk bersila. "Tidak ada yang harus dimaafkan. Aku tahu kenapa kau selalu merahasiakan semua
ini. Aku sungguh berterima kasih karena kau selalu setia pada ibundaku. Bahkan
tetap mengabdi padaku dengan memberiku bekal yang cukup,"
kata Raden Sangga Alam.
"Raden sudah mengetahui?" Paman Nampi agak
terkejut juga. "Ya," sahut Raden Sangga Alam kembali melirik Bayu Hanggara.
"Maaf, aku terpaksa menceritakan semuanya. Ini
kulakukan demi kalian semua," ucap Bayu.
"Aku memang sudah memperkirakan. Cepat atau
lambat, semuanya pasti terbongkar," desah Paman Nampi.
"Saat ini benteng istana sudah dikepung para
pemberontak. Kalian tidak mungkin dapat meninggalkan kamar ini," kata Raden
Sangga Alam memberi tahu.
Paman Nampi dan Bantar Gading terkejut. Hanya Bayu yang kelihatannya tenangtenang saja. "Tidak perlu dicemaskan. Mereka berjuang untukku, untuk keadilan di Gantar Angin
ini," sambung Raden Sangga Alam.
"Tapi..." Bantar Gading teringat Ki Maruta.
"Mereka adalah para penglima dan prajurit setia Ibunda Ratu Kunti Boga yang
sempat melarikan diri ketika itu. Aku berhasil menghimpun mereka dalam waktu dua
hari ini bersama Pendekar Pulau Neraka, dan sama sekali tidak melibatkan rakyat.
Tapi, aku tidak bisa menolak kehadiran pada pemuda yang rela berkorban demi
keadilan."
"Bagaimana dengan kaum pemberontak di Hutan
Danaraja?" jawab Bantar Gading.
"Sampai saat ini aku tidak mendengar kabar beritanya,"
jawab Raden Sangga Alam.
"Paman! Betulkah kau pernah cerita sewaktu di dalam penjara bahwa para
pemberontak yang menghimpun
kekuatan di Hutan Danaraja atas prakarsamu" Mengapa mereka tidak membantu?"
Bantar Gading menatap Paman Nampi yang sudah duduk di kursi.
"Itulah kesalahanku yang paling fatal! Aku menghimpun kekuatan di Hutan Danaraja
dengan mempercayakan
kepemimpinan pada Ki Maruta, adik tiri Prabu Abiyasa...!"
kata Paman Nampi. Suaranya menyiratkan penyesalan.
"Ki Maruta memanfaatkannya untuk kepentingan
pribadi," sambung Bayu. "Dia tengah mencari kesempatan, dengan membiarkan bekasbekas prajurit dan panglima merebut tahta lebih dahulu."
"Dan semua itu sudah kupikirkan masak-masak,"
sambung Raden Sangga Alam. "Sehingga perjuangan ini tidak menjadi sia-sia."
"Ah! aku bangga sekali padamu, Raden," desah Paman Nampi terharu.
"Sudahlah, Paman. Semua ini berkat bimbinganmu
juga," Raden Sangga Alam merendah.
"Apa rencana selanjutnya?" tanya Bantar Gading.
Raden Sangga Alam tidak langsung menjawab, tapi
malah tersenyum seraya memandang Pendekar Pulau
Neraka. Kembali dipandang keadaan di luar jendela.
Tempak beberapa prajurit masih tampak sibuk di luar sana. Para panglima pun
sibuk mengatur penjagaan.
Bahkan ratusan prajurit sudah siap dengan senjata, dan berbaris di alun-alun
istana. Mereka benar-benar telah siap menghadapi perang pemberontakan.
*** Waktu terus berjalan dengan pasti. Malampun berganti siang. Matahari baru saja
menampakkan dirinya di ufuk timur. Dan pada saat itu, Bayu baru saja melompat keluar dari jendela kamar Raden Sangga
Alam. Gerakannya sangat ringan. Tubuhnya melenting ke udara lalu hinggap di atas
atap. Sambil merapatkan tubuhnya ke atap, matanya yang tajam mengamati
sekitarnya. Pendekar Pulau Neraka itu kembali melentingkan
tubuhnya dan meluruk ke bawah. Begitu kakinya menjejak tanah, kembali melesat
dan langsung menuju ke arah tembok benteng. Sungguh cepat dan ringan sekali
lesatannya. Sekejap saja sudah melewati tembok benteng yang tinggi dan kokoh.
Tubuhnya membungkuk, dan
kakinya tertekuk ketika mendarat di luar tembok benteng.
Seorang laki-laki berusia sektiar tujuh puluh lima tahun berlari-lari
menghampiri. Bayu berdiri tegak menanti. Laki-laki tua mengenakan baju putih dan
ikat kepala putih itu berhenti di depan Pendekar Pulau Neraka. Di pinggangnya
tergantung sebilah pedang.
"Bagaimana, Tuan Pendekar" Kami sudah menunggu
perintah," kata laki-laki tua itu seperti tidak sabar.
"Raden Sangga Alam meminta untuk membatalkan
penyerangan," sahut Bayu.
Laki-laki tua itu terkejut mendengarnya. Harapannya semula, pagi ini juga akan
dilakukan penyerangan. Semua prajurit setia Ratu Kunti Boga, ditambah ratusan
pemuda sudah tidak sabar menunggu penyerangan.
"Ki Raban! Raden Sangga Alam tetap memerintahkan untuk mengepung sekitar istana
ini. rasanya itu memang harus dilakukan, mengingat Prabu Abiyasa masih dibantu
delapan orang jago dari tanah seberang. Mereka bukan orang sembarangan! Dan
lagi, para prajurit bukanlah tandingan mereka. Maaf, bukannya aku mengecilkan
arti para panglimamu," jelas Bayu.
"Kenapa bisa begitu?" laki-laki tua yang bernama Ki Raban minta penjelasan.
"Masih ada kelompok lain yang menghendaki tahta
Kerajaan Gantar Angin. Mereka kini berada di luar lingkungan istana. Raden
Sangga Alam mengkhawatirkan kelompok yang satu ini, karena dinilai lebih
berbahaya. Sementara keadaan di dalam istana mungkin masih bisa dikuasai. Yang jelas, tidak
semua prajurit akan setia pada Prabu Abiyasa. Bahkan sebagian besar adalah para
prajurit Panglima Nampi. Sebagian kecil saja yang memang prajurit bawaan Prabu
Abiyasa." Jelas Bayu.
"Lalu, apa yang harus kulakukan?"
"Tetap berada di tempat, dan tingkatkan kewaspadaan.
Jangan sampai ada di antara mereka menyusup ke dalam pasukanmu."
Ki Raban menggeleng-gelengkan kepalanya. Rasanya masih belum bisa mengerti jalan
pikiran Raden Sangga Alam. Ki Raban adalah seroang panglima besar yang membawahi
para panglima besar pada saat Kerajaan Gantar Angin masih diperintah Ratu Kunti
Boga. Tidak terhitung lagi, berapa peperangan telah dijalakannya. Tapi, baru
kali ini dia tidak bisa memahami maksud pewaris syah Kerajaan Gantar Angin.
Bertahun-tahun saat seperti ini ditunggu-tunggu. Dan begitu tiba masanya,
semuanya jadi terhalang. Dia tidak tahu persis, apa yang jadi penghalang
utamanya. Bayu bisa menangkap adanya sedikit kekecewaan
dalam sinar mata Ki Raban. Bisa dimengerti kalau saat seperti ini memang sudah
lama dinantikannya. Dan sekarang, saat-saat yang seharusnya membangkitkan
semangat pepreangan, harus tertunda kembali. Dan ini disebabkan keadaan di dalam
benteng istana belum dapt dikuasai sepenuhnya. Pertahanan mereka masih terlalu
kuat. Lebih-lebih dengan adanya delapan orang jago dari tanah seberang. Hal itu
menjadi bahan pemikiran Raden Sangga Alam. Dia tidak ingin mengorbankan nyawa
terlalu banyak, meskipun hal itu tidak mungkin dapat terelakkan.
Tapi paling tidak memperkecil jumlahnya.
"Rasanya tidak ada lagi yang harus kusampaikan," kata Bayu.
"Tunggu dulu, Tuan Pendekar," cegah Ki Raban ketika Bayu akan berbalik.
Bayu mengurungkan niatnya untuk kembali ke dalam benteng istana.
"Apa yang tengah dilakukan Raden Sangga Alam di
dalam?" tanya Ki Raban ingin tahu.
"Menarik kembali roang-orang yang masih setia
padanya," sahut Bayu.
Setelah berkata demikian, Bayu langsung berbalik dan melesat ke atas tembok
benteng. Setelah melewati tembok, langsun gmeluruk ke bawah. Dengan manis
kakinya kembali menjejak tanah di dalam tembok Istana Gantar Angin. Namun baru
saja hendak melesat lai, sebuah tombak meluruk ke arahnya.
"Eit!"
*** 8 Bayu Hanggara menarik tubuhnya ke samping, maka
tombak itu hanya lewat, menyambut tempat kosong. Belum juga Pendekar Pulau
Neraka itu menarik tubuhnya kembali, sebuah bayangan meluruk ke arahnya. Buruburu Bayu menjatuhkan diri dan bergulingan beberapa kali di tanah, lalu bergegas
melompat bangkit. Kelopak matanya agak menyipit begitu melihat empat orang
berpakaian aneh sudah berdiri mengepungnya.
Empat orang itu adalah jago undangan dari tanah
seberang. Mereka langsung menyerang tanpa bicara apa-apa. Bayu berlompatan
dengan tubuh meliuk-liuk menghindari serangan yang datang secara beruntun dari
empat arah. Agak kerepotan juga dia, karena jurus-jurus yang digunakan empat
orang itu sangat asing baginya.
"Ugh!"
Bayu tidak bisa mengelakkan satu pukulan keras yang mendarat di perutnya.
Seketika itu juga dirasakan perutnya mual. Namun dengan cepat dikerahkan hawa
murni sehingga rasa mual pada perutnya cepat terusir. Pendekar Pulau Neraka itu
mengegoskan kepalanya ke kiri ketika sebuah senjata mendesing ke arah kepalanya.


Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan satu gerakan manis, tangannya bergerak cepat ke
samping. Des! Orang yang berada di samping, terjengkang ke belakang.
Dan pada saat yang sama, kaki Bayu menyepak ke
belakang. Satu orang lagi yang berada di belakangnya terjungkal terhantam bagian
dadanya. Bayu langsung melesat ke belakang melewati kepala orang yang tengah
terhuyung tersepak kakinya.
"Hiyaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Pendekar Pulau Neraka itu mengirimkan satu pukulan
keras ke kapala prang itu. Tak dapat dihindari lagi. Pukulan bertenaga dalam
hampir sempurna itu mendarat telak di kepala orang itu.
"Aaa...!" orang itu menjerit keras sambil memegangi kepalanya yang pecah.
Begitu kakinya mendarat di tanah, Bayu langsung
mengirimkan dua pukulan geledek beruntun ke punggung dan pinggang orang itu.
Satu jeritan panjang menyayat kembali terdengar disertai bunyi tulang-tulang
patah. Orang itu menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari kepala yang
pecah. "Giliran kalian bertiga!" dengus Bayu geram.
Pendekar Pulau Neraka memiringkan tubuhnya ke kiri setengah membungkuk. Kakinya
terpentang agak lebar dan lututnya tertekuk hampir menyentuh tanah. Kemudian
tangan kanannya mengibas cepat ke depan. Secercah cahaya keperakan dari senjata
Cakra Maut kini melesa bagai kilat.
Cakra Maut itu meluncur deras tidak terbendung lagi ke arah salah seorang jago
dari tanah seberang. Orang itu terperangah sesaat, lalu menjerit melengking
tinggi. Lehernya koyak hampir putus terpenggal senjata milik Pendekar Pulau
Neraka. "Hiyaaa...!"
Seketika itu juga tubuhnya melesat cepat dan mengayunkan kakinya ke arah dada
orang itu. Akibatnya, orang itu terjungkal ambruk ke tanah. Hanya sedikit Bayu
mengangkat tangan kanannya. Dan saat senjata cakranya kembali menempel pada
pergelangan tangan kanan,
kembali dikibaskannya dengan cepat. Cakra Maut itu kembali melesat ke arah salah
seorang lagi. Sementara Bayu meluruk deras menyambar satu jago dari seberang
yang lain. Dua orang jago dari seberang itu masih terpaku
menyaksikan kematian dua orang temannya yang belum sempat mengeluarkan jurusjurus andalan mereka. Dan belum juga mereka sempat menyadari, serangan kembali
datang dengan cepat. Tentu saja hal ini membuat mereka jadi sibuk menghindari
serangan-serangan dahsyat Pendekar Pulau Neraka. Satu orang menghadapi langsung
Pendekar Pulau Neraka, sedangkan seorang lagi
berlompatan menghindari terjangan dahsyat Cakra Maut.
Sungguh suatu pertarungan yang sanga tunik, namun mengandung hawa maut!
"Modar...!" bentak Bayu tiba-tiba.
Seketika itu juga dia menggedor tangan kanannya ke depan. Jago dari seberang itu
terperangah sesaat, buru-buru dimiringkan tubuhnya ke kanan. Namun gedoran
tangan Pendekar Pulau Neraka masih sempat mengenai bahu kirinya. Orang itu
memekik tertahan. Tubuhnya pun terhuyung ke belakang beberapa langkah.
Bayu tak menyia-nyiakan kesempatan yang sedikit itu.
dia segera melompat sambil mengayunkan kaki kanannya.
Tendangan yang cepat dan keras, disertai pengerahan tenaga dalam hampir sempurna
itu, tidak bisa dielakkan lagi. Tapak kaki Bayu mendarat telak di dada yang
terbuka. "Hugh!" jago dari tanah seberang itu mengeluh pendek.
Belum lagi sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, satu pukulan keras menghantam
kepalanya. Jerit melengking terdengar menyayat. Orang itu memegangi kepalanya
yang retak. Darah pun mengucur deras dari sela-sela jari tangannya. Pada saat
itu, Bayu kembali mendaratkan pukulan mautnya ke arah leher. Lawannya langsung
diam tak bergerak-gerak lagi. Sesaat kemudian, tubuhnya ambruk dengan kepala
terpisah. Tebasan jari tangan Pendekar Pulau Neraka sungguh luar biasa, karena
dapat lebih tajam dari pada sebilah pedang. Serangan Pendekar Pulau Neraka itu
tidak tanggung-tanggung lagi. Dikeluar-kannya jurus andalan simpanannya yang
tidak pernah digunakan sebelumnya. Jurus 'Pukulan Mata Pedang Dewa'.
"Hhh...!" Bayu mendengus berat seraya memalingkan
kepalanya. Tampak beberapa puluh prajurit Gantar Angin berlarian ke arah pertarungan itu.
Rupanya mereka mendengar suara pertarungan, sehingga menguncang mereka untuk ke
sana. Kembali Bayu mendengus berat. Segera diangkat tangan kanannya ke atas
kepala. Senjata Cakra Maut yang tengah melayang-layang, menyerang seorang jago
dari tanah seberang, melesat balik dan langsung menempel di pergelangan tangan
kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Nyawamu masih terampuni kali ini, orang asing!" kata Bayu dingin.
Setelah berkata demikian, Bayu langsung melompat cepat ke arah atap bangunan
istana. Dan begitu jari kakinya menjejak atap, tubuhnya kembali meluruk turun ke
balik tembok istana itu. Beberapa prajurit yang mengejar, kini kehilangan jejak.
Sedangkan jago dari seberang yang tersisa, hanya berdiri mematung dengan napas
kembang-kempis.
*** Bayu langsung menutup jendela kamar pribadi Raden
Sangga Alam begitu berada di dalam. Tarikan napasnya masih agak tersenggal.
Tubuhnya berbalik, dan langsung menatap Raden Sangga Alam, Bantar Gading dan
Paman Nampi. Ketiga orang itu berdiri memandanginya dengan paras wajah
menyiratkan suatu kecemasan yang amat sangat.
"Apa yang terjadi, Bayu?" tanya Paman Nampi tidak bisa membendung rasa ingin
tahunya. "Huh...!" Bayu mendengus menghembuskan napas
kencang. "Kau bentrok dengan para prajurit?" tebak Bantar Gading.
"Empat roang asing," jawab Bayu seraya menghenyakkan tubuhnya di kursi dekat jendela.
"Lalu?" desak Bantar Gading lagi.
"Aku berhasil menewaskan tiga di antaranya. Satu lagi berhasil selamat karena
keburu datang prajurit-prajurit sialan itu."
Bantar Gading dan Paman Nampi saling berpandangan.
Sementara Raden Sangga Alam berjalan mondar-mandir dengan tangan terlipat di
depan dada. Tampaknya tengah berpikir keras dengan peristiwa yang baru saja
dialami Pendekar Pulau Neraka ini. selama masih ada jago-jago undangan dari
tanah seberang, memang merupakan satu ganjalan yang sukar dilewati. Jago-jago
dari seberang itu rata-rata memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.
Para panglima kerajaan pun belum tentu sanggup
menandinginya. Hanya Pendekar Pulau Neraka saja yang dapat diandalkan. Tapi
untuk menghadapi semuanya sekaligus..... Satu hal yang sangat riskan dan terlalu
berbahaya. Raden Sangga Alam menatap Bayu dalam-dalam.
Sedangkan Bayu juga balas menatap pemuda tampan
bagai wanita itu. Entah apa arti pandangan mereka, seolah-olah tengah berbicara
menggunakan kekuatan batin.
Sementara Bantar Gading dan Paman Nampi hanya memperhatikan saja dengan
pandangan tidak mengerti.
"Tampaknya tidak ada jalan lain. Korban nyawa tidak mungkin lagi dihidnari. Para
panglima dan patih yang setia pada Prabu Abiyasa mencium adanya pemberontakan di
dalam. Mereka menangkap dan menjebloskan panglima, patih dan para prajurit yang
dicurigai akan memberontak,"
pelan suara Raden Sangga Alam.
"Perjuangan membutuhkan pengorbanan, Raden," kata Paman Nampi mulai bisa
menangkap kegundahan hati pemuda itu.
"Ya. Perngorbanan yang tidak kecil," desah Raden Sangga Alam pelan.
Raden Sangga Alam mengalihkan pandangannya ke
jendela. Terdengar suara-suara para prajurit yang masih mencari Pendekar Pulau
Neraka. Suara-suara itu demikian dekat, dan pasti berada tidak jauh dari jendela
kamar itu. "Hanya satu yang kupikirkan saat ini," kata Raden Sangga Alam lagi setelah
suara-suara itu mulai senyap.
"Apa?" tanya Paman Nampi.
"Jago-jago dari seberang yang diundang Prabu Abiyasa."
"Serahkan padaku!" sergah Bayu tegas.
"Bayu..." Paman Nampi langsung menatap Pendekar
Pulau Neraka itu. "Mereka sangat tangguh. Jurus-jurusnya pun sangat berbeda
dengan yang ada di negeri ini. Maaf, bukannya aku mengecilkan arti dirimu, aku
hanya mengkhawatirkan kalau-kalau..."
"Terima kasih, Paman." Cetus Bayu cepat memotong.
"Kalian tidak perlu mencemaskan diriku. Memang sudah jadi kewajibanku untuk
menghadapi orang-orang asing yang ikut campur dalam urusan kerajaan di sini. Dan
aku juga tidak akan ikut bertempur melaran prajurit. Aku hanya mencegah orangorang asing itu ikut campur!" tegas kata-kata Bayu Hanggara.
"Tuan Pendekar! Aku tidak akan melupakan jasamu ang sangat besar ini," ucap
Raden Sangga Alam terharu.
"Lupakan saja. Yang penting sekarang, Raden harus memberikan tanda untuk memulai
peperangan. Mereka yang berada di luar tidak sabar lagi menunggu perintah Raden.
Meskipun Ki Raban bisa mengerti, tapi aku khawatir yang lainnya tidak bisa
mengendalikan diri," jelas Bayu lagi.
"Baiklah! Untuk sementara kita kesampingkan dulu kelompok ketiga yang dipimpin
Ki Maruta. Hal ini bisa di-tanggulangi nanti setelah istana ini dapat kita
kuasai," sahut Raden Sangga Alam.
Setelah berkata begitu, Raden Sangga Alam melangkah keluar dari kamar. Bayu
membuka jendela kamar itu dan melompat keluar. Bantar Gading dan Paman Nampi
mengikuti keluar dri jendela juga. Untung saja tidak seorang prajurit pun yang
berada di sektiar kamar itu, sehingga ketiga orang itu dapat leluasa bergerak.
*** Peperangan tak terhindarkan lagi. Begitu Raden Sangga Alam memberi tanda dengan
melepas seasang burung merpati, para prajurit dan pemuda yang setia pada Ratu
Kunti Boga langsung menyerbu benteng Istana Kerajaan Gantar Angin. Pekik
peperangan dan jerit kematian berbaur jadi datu memecah udara di Kerajaan Gantar
Angin. Para prajurit yang berada di dalam benteng, jumlahnya memang sangat sedikit.
Sehingga, dalam waktu tidak berapa lama saja pintu gerbang benteng isatana
jebol. Tampak Ki Raban memimpin di depan menerobos pintu benteng yang hancur
berantakan. Denting senjata bergema mengiringi jerit kematian dan pekik
peperangan. Tubuh-tubuh mulai bergelimpangan. Darah bersimbah membasahi tanah Gantar Angin.
Di antara para prajurit dan pemuda rakyat yang tengah bertempur menyabung nyawa,
tampak Bayu sedang menghadapi dua orang jago dari seberang. Tidak jauh dari
tempat pertarungan itu, terlihat tiga orang jago dari seberang tergeletak dengan
tubuh bersimbah darah.
Rupanya Pendekar Pulau Neraka telah berhasil mem-binasakan tiga dari lima jago
dari seberang yang tersisa.
Jumlah yang banyak dengan ditambah semangat berkobar-kobar, membuat mereka yang setia pada Ratu Kunti Boga berada di atas
angin. semangat mereka semakin berkobar begitu para panglima, patih, dan
prajurit yang ditawan telah dibebaskan Bantar Gading. Mereka langsung
menerjunkan diri dalam kancah pertempuran. Suasana jadi semakin tidak menentu.
Tidak terhitung lagi, berapa para prajurit setia Prabu Abiyasa yang tewas
berlumuran darah.
"Mampuslah kalian!" terdengar bentakan keras
Pendekar Pulau Neraka.
"Aaa...!" satu jeritan melengking mengantarkan
kematian salah seorang jago dari seberang dengan leher terpenggal.
Bayu berdiri tegak memandang salah seorang jago dari seberang yang tersisa.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, dan berkulit kuning langsat. Wajahnya
cukup tampan, namun sorot matanya mencerminkan kebengisan.
Senjata berupa pedang yang kecil dan tipis berwarna keperakan.
Perlahan-lahan diangkat pedangnya ke atas kepala.
Kedua tangannya memegang gagang pedang erat-erat, lalu tangan kiri mengembang ke
samping. Pedang tipis kecil panjang itu terpisah jadi dua bagian. Kini di tangan
kanan dan kiri, masing-masing menggenggam satu pedang
dengan bentuk dan ukuran yang sama.
"Hiyaaa...!"
Orang itu berteriak nyaring. Seketika itu juga tubuhnya melesat cepat menerjang.
Bayu yang sudah siap sejak tadi, memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri
menghindari sodokan pedang di tangan kanan lawannya. Kemudian kaki kanannya
terangkat menekuk menghindari tebadan pedang di tangan kiri. Dua serangan
serentak luput tanpa mengenai sasaran.
"Yaaah...!" Bayu berteriak keras.
Buk! "Hugh!"
Entah bagaimana mulainya, tahu-tahu Pendekar Pulau Neraka sudah mendorong kedua
tangannya ke depan. Dan orang dari seberang itu terdorong beberapa langkah ke
belakang. Tangan kirinya menekan dada, sedangkan dari mulutnya menyebur darah
kental kehitaman. Tampak di dadanya yang terbuka terdapat gambar telapak tangan
berwarna hitam kebiru-biruan. Ternyata Bayu melepaskan jurus 'Pukulan Tapak
Beracun'. Satu jurus andalan yang sangat dahsyat, dan dapat berakibat fatal bagi
lawan yang terkena pukulan beracun itu.
"Huh! Yeaaah...!"
Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri setengah
membungkuk, sedangkan kakinya tertekuk dengan lutu hampir menyentuh tanah. Orang
yang pernah bentrok dengan Pendekar Pulau Neraka, pasti dapat menebak kalau
dirinya akan melontarkan senjata mautnya yang aneh. Tapi Bayu jadi tertegun,
karena lawannya hanya berdiri diam tidak bergerak-gerak.
Belum sempat disadari, tahu-tahu orang asing itu ambruk ke tanah dengan punggung
tertembus tombak.
Tampak Paman Nampi berdiri tidak jauh dari orang asing itu. Bayu kembali berdiri
tegak, mengurungkan niat melontarkan senjata mautnya. Sementara pertempuran
masih terus berlangsung. Kelihatan sekali kalau para prajurit Prabu Abiyasa
sudah demikian terdesak. Bahkan beberapa prajurit mencoba melarikan diri. Tapi,
para prajurit yang dipimpin langsung Ki Raban tidak
membiarkan mereka melarikan diri.
"Paman, di mana Raden Sangga Alam?" tanya Bayu
yang sejak terjadinya pertempuran tidak melihat kehadiran Raden Sangga Alam.
"Di dalam, bersama beberapa panglima. Mereka tengah mengamankan keluarga
kerajaan. Prabu Abiyasa sudah ditawan," sahut Paman Nampi.
"Kalau begitu, hentikan pertempuran ini!" seru Bayu.
"Tidak mungkin, Bayu! Mereka bukan prajurit terdidik.
Lebih banyak rakyat dari pada prajurit sesungguhnya.
Biarkan saja mereka melampiaskan dendam dan sakit hati mereka."
Bayu sempat terhenyak mendengar jawaban Paman
Nampi, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sudah berjanji tidak mencampuri
urusan dalam Kerajaan Gantar Angin.
Bayu merasa tidak ada gunanya lagi berlama-lama di lingkungan istana ini.
Sementara Paman Nampi sudah kembali terjun dalam kancah pertempuran. Laki-laki
tua itu seperti sedang melampiaskan amarah dan rasa sakit hatinya. Mereka yang
berani mendekat, habis dibantai tanpa ampun lagi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera
melompat tinggi ke udara. Tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat melewati pagar
benteng istana itu. Sekejab saja bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka lenyap di
balik tembok benteng. Sementara pertempuran terus berlangsung. Bahkan di bagian
lain, rakyat dan para prajurit setia Ratu Kunti Boga bersorak-sorai akan
kemenangan yang diraihnya. Gantar Angin benar-benar banjir darah. Perang saudara
berkecamuk akibat rasa dendam dan sakit hati yang tak terobati. Rasa dendam itu
dilampiaskan dengan membantai para prajurit Prabu Abiyasa yang nyata-nyata sudah
tidak mampu lagi mem-pertahankan diri.
Bayu berdiri tegak di atas sebuah bukit. Tatapan matanya tertuju langsung ke
arah Kerajaan Gantar Angin. Dari ketinggian di atas bukit itu bisa dilihat
jelas, bagaimana pertempuran berlangsung di dalam benteng istana. Pertempuran
yang sudah berubah jadi arena pembantaian dan pelampiasan hati yang tertekan
selama ini. "Hhh! Mereka sudah seperti binatang! Tidak lagi menggunakan otak...!" dengus Bayu
berat.

Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak ikut bertempur, Kakang?"
Bayu tersentak kaget, dan langsung menoleh. Sama sekali Pendekar Pulau Neraka
itu tidak menyadari kalau Mayang mengayunkan kakinya mendekati dan berdiri di
sampingnya. "Bagaimana keadaan di sana, Kakang?" tanya Mayang.
"Kau lihat sendiri. Mereka tidak seperti manusia lagi, tapi cenderung bagaikan
binatang yang sedang memperebutkan daerah kekuasaan," sahut Bayu agak tertahan
suaranya. "Seharusnya kau menghentikan pembantaian itu,
Kakang," kata Mayang.
"Percuma! Mereka tidak memerlukan aku lagi. Mereka sudah dikendalikan hawa nafsu
dan rasa dendam yang mendalam di dalam hati. Raden Sangga Alam sendiri tidak
mampu mengendalikannya."
"Lalu, bagaimana dengan Kakang Bantar Gading?"
tanya Mayang teringat kekasihnya.
"Aku tidak melihat sejak terjadi pertempuran."
"Oh....." Mayang mendesah lirih.
Bayu memalingkan kepalanya. Jelas, ada rasa cemas terpancar pada wajah wanita
itu. Sangat jelas terlihat, meskipun wajahnya masih pucat. Kondisi tubuh Mayang
memang belum pulih benar dari luka-lukanya. Bayu membalikkan tubuhnya saat
telinganya mendengar ranting ter-injak. Dari dalam semak belukar muncul Rintan.
Gadis muda berwajah kekanak-kanakan.
"Rintan, kenapa kau ke sini?" tanya Mayang.
"Aku mencarimu, Kak. Aku cemas, kau belum sembuh benar," jawab Rintan.
"Sebaiknya kalian kembali saja. Kau masih perlu banyak istirahat, Mayang," usul
Bayu. "Aku akan menunggu Kakang Bantar Gading di sini,"
sahut Mayang tegas.
"Dia pasti datang. Percayalah," bujuk Bayu.
"Tidak, Kakang Bayu. Perasaanku mengatakan lain.
Selama ini seluruh rakyat menganggap Kakang Bantar Gading putra sulung Prabu
Abiyasa. Dan kau tahu, tindakannya sangat kejam. Tidak terhitung lagi rakyat
yang tewas di ujung pedangnya. Aku yakin mereka akan meng-adili Kakang Bantar
Gading, dan menghukum mati," agak tersendat Mayang.
"Jangan berprasangka buruk dulu, Mayang. Dia pasti..."
Bayu belum sempat mengakhiri kata-katanya, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat
cepat. Ternyata Bantar Gading tahu-tahu sudah berdiri di depan mereka. Mayang
segera berlari memburu dan memeluknya. Bayu menarik napas panjang. Dadanya
terasa lega melihat Bantar Gading muncul.
"Mayang! Kita harus segera menginggalkan Gantar
Angin! Seluruh rakyat tidak mau perduli, dan tetap menuntut agar aku dihukum
gantung," kata Bantar Gading agak tersenggal napasnya.
"Oh, Kakang..." desah Mayang kembali memeluk erat.
"Ayo, cepatlah! Sudah kusiapkan kuda untuk kita," kata Bantar Gading.
"Kakang..." Mayang melepaskan pelukannya, lalu
menoleh pada Pendekar Pulau Neraka dan Rintan.
"Tuan Pendekar, maaf. Bukannya aku tidak memperdulikanmu, tapi keadaan memaksa kita berpisah di sini,"
ujar Bantar Gading.
"Pergilah kalau itu sudah menjadi keputusanmu," kata Bayu tersenyum maklum.
"Ayo, Mayang."
"Tunggu dulu, Kakang. Bagaimana dengan ayahku?"
"Aku tidak bisa mencegah perintah Raden Sangga Alam.
Dia sudah memerintahkan para panglimanya untuk meng-habisi para pemberontak.
Saat ini pasti tengah terjadi pertempuran di Hutan Danaraja. Maafkan aku,
Mayang. Aku bukan lagi orang yang punya hak di Gantar Angin. Bahkan
keselamatanku pasti terancam jika masih berada di sini.
Kita harus pergi sejauh mungkin dan melupakan semua yang telah terjadi," jelas
Bantar Gading. Mayang menatap Bayu sebentar, kemudian melangkah pergi setelah Bayu tersenyum
dan mengangguk. Sepasang kekasih itu bergegas meninggalkan tempat itu. Tinggal
Bayu dan Rintan masih berada di atas puncak bukit ini.
Untuk beberapa saat mereka berdiam diri, tidak berkata satu patah kata pun.
"Sudah saatnya kita juga harus berpisah," kata Rintan pelan setengah mendesah.
"Eh, tunggu!" cegah Bayu menangkap tangan gadis itu.
Rintan berbalik dan menatap langsung bola mata
pemuda berbaju kulit harimau itu. Bayu melepaskan pegangannya pada pergelangan
tangan gadis itu.
"Aku tahu siapa kau sebenarnya, Rintan. Kau adalah Mayang, putri Ratu Kunti Boga
yang hilang! Dan usiamu tidak lagi lima belas tahun. Hanya wajahmu saja yang
terlihat lebih muda dari usia yang sebenarnya," tebak Bayu.
"Dari mana kau tahu itu?" tanya Rintan terkejut.
"Kau mengaku putri pemilik kedai dan rumah
penginapan. Itu yang membuatku merasa penasaran, karena mereka yang mengenal
pemilik kedai itu tidak mengatakan, bahwa dia mempunyai anak seorangpun.
Bahkan istri saja tidak punya. Aku menyelidiki siapa kau sebenarnya. Kemudian
aku bertemu seroang perempuan yang mengaku bernama Nyai Tampik. Dari dialah
kuketahui siapa kau sebenarnya," jelas Bayu.
"Di mana kau bertemu dengan guruku?" Rintan yang ternyata adalah putri Ratu
Kunti Boga segera mengakui meskipun tidak menyatakannya secara langsung.
"Di perbatasan sebelah utara. Dia menunggumu dan ingin mengajakmu pulang.
Katanya, kau belum sempurna mempelajari ilmu-ilmu yang diturunkannya."
Rintan langsung diam.
"Rintan..... kenapa kau memasuki Kerajaan Gantar
Angin" Dan lagi mengapa kau diam saja di saat saudaramu sedang berjuang
mengembalikan tahta yang sesungguhnya," tanya Bayu ingin tahu.
"Aku hanya ingin melihat keadaan tanah kelahiranku.
Dan aku cukup senang karena adikku ternyata mampu menguasai kembali tahta
kerajaan. Dalam hatiku, tidak ada minat sama sekali terhadap kedudukan dan
kejayaan. Terus terang, aku sudah bertekad untuk mengubur siapa diriku sebenarnya. Di
samping itu, aku tahu kalau kau seorang pendekar yang dapat diandalkan untuk
membantu adikku. Maaf, kalau tanpa sepengetahuanmu aku terus menggiringmu masuk
ke dalam kemelut itu," Rintan mengakui terus terang.
Bayu jadi bengong. Sama sekali tidak disadarinya kalau gadis yang kelihatan
masih terlalu muda itu ternyata memiliki otak yang cerdas. Dia sampai-sampai
tidak menyadari kalau sesungguhnya sengaja digiring untuk terlibat. Satu
perbuatan yang terencana rapi, hingga tidak terbongkar sedikitpun.
"Rintan, tunggu....!" Bayu tersentak dari rasa ter-kesimanya.
Tapi terlambat, Rintan sudah melesat cepat meninggalkan bukit itu. gerakannya
sangat ringan, cepat luar biasa.
Pertanda kalau gadis itu sudah menguasai ilmu meringankan tubuh dengan baik
sekali. Bayu menarik napas panjang. Kepalanya menggeleng-geleng begitu memahami
semua yang telah terjadi dan dialaminya selama ini. namun bibirnya tersenyum
juga. "Aku boleh bangga dengan kedigdayaanku. Tapi, ternyata ada orang lain yang lebih
digdaya dengan otak dan pikirannya. Aku mengaku kalah padamu Rintan..." gumam Bayu
tulus. TAMAT Created Ebook by fujidenkikagawa
Lembah Nirmala 11 Joko Sableng Muslihat Sang Ratu Darah Dan Cinta Di Kota Medang 10

Cari Blog Ini